Anda di halaman 1dari 3

Asal Usul Dusun Bedaro, Kabupaten Bungo

Sejarah Asal Usul Dusun Bedaro Bungo dan penemuan Dusun Bedaro, menurut legenda
yang dipercayai oleh masyarakat Bungo pada umumnya bahwa adanya kisah melegenda
yang diceritakan dari generasi ke generasi melalui mulut ke mulut, bahwa Sulthan Jambi
pada zaman dahulu, (semacam ekpedisi) ke daerah-daerah yang masuk ke wilayah
kekuasaannya.
Dari hilir dikirimlah tim ekpedisi dengan menggunakan transfortasi air ke Kuala Tungkal
dan ke Muara Sabak, ke hulu dikirim pula tim ekpedisi ke Muara Bulian, Muara Tembesi,
Muara Tebo, Sarolangun, Bangko, dan termasuk ke Muaro Bungo.

Ketua tim ekpedisi tersebut ketika telah sampai ke tempat ekpedisi langsung diangkat dan
ditugaskan sebagai wakil Sulthan dimana ia ditugaskan seandainya kepala wilayah tersebut
belum terbentuk, dan melaporkan tentang ekpedisi dan wilayahnya masing-masing.
Jikalau kepemimpinan wilayah tersebut telah terbentuk maka tim ekpedisi hanya
melaporkan kepada Sulthan Jambi bahwa kepala wilayah tersebut mengaku tunduk dan
patuh ke pusat Kesultanan jambi.

Diantara tim ekpedisi tersebut, terdapat tim ekpedisi ke Muaro Bungo dengan alat
transformasi air/sungai untuk melihat ketundukan dan kepatuhan rakyat Muaro Bungo
secara umum kepada Sulthan di pusat Kesultanan Jambi.

Berkumpullah mereka yang sekarang disebut dengan Tanjung Menanti (karena mereka
disitu saling menanti/menunggu kehadiran lainnya. Setelah berkumpul lalu mereka
berangkat menyusuri sungai Batang Tebo menuju Muaro Bungo.

Sesampainya di Muaro Bungo (sekitar Tanjung Gedan sekarang) mereka sudah mendapati
bahwa rakyat Muaro Bungo pada umum sudah sangat tunduk dan patuh kepada titah
Sulthan Jambi.

Setalah sampai di Muaro Bungo tersebut mereka mulai memisahkan diri menjadi dua
kelompok, diaman kelompok yang banyak lelakinya menyusuri sungai Batang Tebo
sampai ke hulu sungai.
Sementara yang lebih banyak perempuannya menyusuri Sungai Batang Bungo sampai ke
hulunya. Ekpedisi yang diyakini banyak kaum perempuannya itu mulai memisahkan diri di
daerah Bungo Dani (Talang Pantai sekarang) dan yang lainnya menyusuri Sungai menuju
ke hulu Sungai Batang Bungo.

Sampailah Mereka (tim ekpedisi kedua yang diyakini banyak perempuannya tersebut) di
suatu dusun/perkampungan yang di kepalai/dipimpin oleh datuk Marajo Kuto.
Kampung/usun ini kemudian dikenal dengan kampung/dusun Pendung yang wilayahnya
masih sangat sederhana tanpa dijelaskan secara detai batas-batas wilayahnya. Disebut
dengan Datuk Merajo Kuto tersebut karena Datuk benar-benar dipatuhi titah dan
perintahnya oleh masyarakat di wilayah Kuto (Dusun) itu. Seolah-olah datuk sebagai
raja/penguasa. Dusun/kampung ini pada tahun 1827 sesuai dengan saran salah satu toko
masyarakat untuk berpindah dari wilayah Pendung itu untuk berpindah ke wilayah yang
sungai relatif lebih kecil di haluannya, diakrenakan wilayah tersebut terkesan kurang
bersahabat. Saran ini diikuti oleh si Datuk lalu memerintahkan warga masyarakat untuk
berpindah ke Tempat yang disarankan. Wilayah kampung inilah yang kemudian dikenal
Dengan Dusun Bedaro.

Datuk Marojo Kuto yang ditemui oleh tim ekpedisi tersebut benar-benar menunjukkan dua
kepiawayannya dalam memimpin dusunnya, tetapi nama Dusun tersebut belum ada nama
resmi yang tercatat di kesultanan Jambi.

Di wilayah dusun yang di kepalai oleh Datuk Marajo Kuto tersebut terdapat para pegawai
Syara’ yang bertugas dalam hal agama dan juga terdapat seorang Qadi (yang bertugas
mengadili secara agama) yang wilayah tugasnya masih hanya dalam wilyah Kuto/dusun itu
saja.

Dari penelusuran yang di dapat oleh tim ekpedisi tersebut  bahwa wilayah Kuto itu
memang benar-benar tunduk dan patuh ke titah Sulthan Jambi di Jambi.

Di kampung itu  pula lah mereka banyak menemu/mendapati rumah rumah kediaaman
penduduk yang gaya bangunannya benar-benar mengikuti kesultaanan Melayu Jambi.

Asal nama Dusun Bedaro bukanlah buah Bedaro/Lengkeng ataupun yang sejenisnya dalam
bahasa orang-orang Melayu Jambi di sebut Bedaro. Dusun Bedaro yang populer sekarang
kebanyakan orang salah memahami makna dari nama dusun Bedaro tersebut.
Kebanyakan orang menganggap bahwa dusun Bedaro merupakan dusun yang disitu
banyak tumbuhan pohon atau buah bedaro / lengkeng, padahal nama Dusun nama tersebut
terambil dari kata Dera atau orang-orang Melayu Jambi menyebutnya dalam bahasa daerah
mereka dengan Dero.

Ini di karenakan kebiasakan orang-orang sekitar/setempat yang menyebutnya bahwa dusun


tersebut sudah populer sebagai tempat Bedero/Mendero orang yang bersalah terjadi di
wilayah Datuk Marojo. Lalu kemudian terjadilah plesetan dari kata nama dusun tersebut
yaitu aslinya dusun Bedero kedusun Badaro.

Bedero yang diambil dari kata Dero/Dera yang bermakna Bedera mencambuk atau tempat
melakukan penderaan / pencambukan orang yang melakukan kesalahan/ kemaksiatan
( dosa besar ) sebagai hasil dari keputusan sidang yang dilakukan oleh Qodim/ Hakim
resmi pemerintah.

Bahwa tersebutlah / tersohorlah di dusun itu dahulu kala dimana diangkatlah seorang
Qodim/hakim resmi dari pemerintah kesultanan Jambi untuk memberikan keputusan untuk
membertikan keputusan pengadilan bidang agama (itu merupakan keputusan final) yang
mengepalai atau mewilayahi tempat-tempat sungai besar, yaitu sungai Batang Bungo,
Tebo, Pelepat dan Senamat, singkat kata, wilayah yang dikuasainya adalah seluas ukuran
Kabupaten Bungo saat sekarang ini. Apabila telah diputuskan telah bersalah dan
dinyatakan dihukum Dera sejumlah sekian kali Dera, maka di eksekusi terdakwa/terpidana
dengan hukuman.

Adapun nama-nama kampung yang ada di Dusun Bedaro dari dulu hingga saat ini
diantaranya ada yang telah melakukan perkembangan dengan sendirinya yaitu: Bedaro Ilir,
Bedaro Ulu, Bedaro Seberang, Polak Tinggal, Pasar Bedaro, Panti/Pekir,Talang Pekan
Jum’at, Sungai Lipai.

Anda mungkin juga menyukai