Anda di halaman 1dari 9

Cerita “Peni dan Nogo” merupakan sebuah kisah nyata berasal dari Kampung Lamatuka.

Sebuah
kampung terpencil di Kabupaten Lembata yang di bangun dari reruntuhan “Tragedi Lepan-
Batan” (Peristiwa bencana alam; gempa dashyat *Blero lero* yang disusul tsunami besar *aru
bure*, menewaskan hampir sekitar ratusan orang kala itu).

Cerita ini dimulai dengan perjuangan seorang ibu yang selamat dalam tragedi na’as itu. Dengan
darah dan keringat, dia membesarkan anak kakak-beradik, Peni dan Nogo. Kedua anak dara itu
tumbuh menjadi gadis primadona dengan lakon kharakter yang begitu berbeda. Peni yang lembut,
penuh perhatian, sopan dan suka menolong, sementara itu, Nogo yang sedikit agresif, sombong,
dan agak angkuh mewakili dua sisi kehidupan berbeda dari rahim yang sama seperti dua sisi
pada satu mata uang logam.

Konflik memanas dengan kehadiran Demon, seorang pemuda ganteng bersahaja, yang kemudian
terjebak dalam cinta segitiga. Nogo mencintai Demon, tapi Demon lebih mencintai Peni,
sedangkan Peni juga mencintai Demon. Seperti dongeng “Bawang Merah dan Bawang Putih”,
persaingan merebut hati Demon, membuat Nogo menghalalkan segala cara, termasuk menjebak
dan menuduh Peni, saudarinya sebagai seorang “Suanggi” (Suanggi: orang yang dibenci dan
diharamkan saat itu, karena memiliki kekuatan ilmu hitam. Biasanya membutuhkan tumbal
seperti memakan daging manusia untuk meningkatkan ilmunya).
Kamis, 25 April 2019

 Home
 Ekbis
 Hukrim
 Polkam
 Sosbud
 Opini
 Pendidikan
 ….





Search her

news flash

Frans Sarong Sudah Laporkan Dugaan Kecurangan

AWOLOLO, SITUS SEJARAH DAN


BUDAYA LEMBATA
Januari 31st, 2019 | by Bonne Pukan
Sosbud
0

Jadikan Cagar Budaya Yang Dilindungi dengan Perda

Oleh: Thomas Ataladjar


“Ao Ao kenali kawok oo. Utim mato likat tawa lekem megali kawok ooo ooo”. (” Hai anjing,
makhluk hina. Sehari-hari hanya berbaring melingkari tungku dapur. Kemaluanmu kau
letakan dekat alas tungku untuk mengais abu dapur “)

Demikian penggalan syair yang dilantunkan seekor anjing jantan yang ikut bertandak ria dalam
perhelatan besar di Awololo, beberapa saat sebelum bencana air laut pasang dahsyat menerjang
dan menenggelamkan Negeri Awololo.

Menurut kisah tutur, suatu saat dulu kala, di Awololo diadakan perhelatan besar. Pesta itu
berlangsung siang dan malam hari selama berhari-hari. Seluruh penduduk Awololo terlibat
dalam pesta meriah tersebut. Aneka tarian adat digelar seperti hamang, tandak, sole oha dan
tarian tradisional lainnya ikut memeriahkan pesta rakyat ini.

Pada suatu malam pesta ini mencapai puncak kemeriahannya dengan menggelar tarian hamang
yang telah membentuk beberapa lingkaran. Syair dan pantun muncul silih berganti dari
peserta tari hamang. Irama hentakan kaki-kaki penari serta bunyi gemerencing giring-giring
(kemorong) di kaki, kian bikin penari kian bersemangat. Semua orang seperti “mabuk” pesta,
seperti mau “cungkil matahari” beberapa kali.

Tiba-tiba entah dari mana datangnya, mucullah seekor anjing jantan yang besar berlari kian
kemari, seperti mabuk mengelilingi lingkaran tarian hamang bagian dalam tersebut. Tingkah
anjing ini sungguh sangat mengganggu para penari, yang lagi asyik berpantun ria dalam irama
gerak tari hamang yang menghentak-hentak. Anjing itu di tendang kian kemari agar bisa lari
keluar dari dalam lingkaran tarian tersebut. Namun semakin kesakitan lantaran tendangan dan
sepakan kaki penari, ulah anjing itu semakin menjadi-jadi. Seorang dari penari tersebut lalu
meludahi anjing tersebut sambil memakinya :” Kalau kau mau ikut menari bersama kami,
siapkan dirimu dulu baru masuk ke mari “.

Pada suatu malam pesta ini mencapai puncak kemeriahannya dengan menggelar tarian hamang
yang telah membentuk beberapa lingkaran. Syair dan pantun muncul silih berganti dari
peserta tari hamang. Irama hentakan kaki-kaki penari serta bunyi gemerencing giring-giring
(kemorong) di kaki, kian bikin penari kian bersemangat. Semua orang seperti “mabuk” pesta,
seperti mau “cungkil matahari” beberapa kali.

Mendengar dirinya dicaci maki, anjing itu serta merta ngeloyor keluar dari dalam lingkaran
tarian tersebut. Ia berlari menuju sebuah rumah penduduk terdekat, masuk dan mengambil
sebuah alas periuk (keneran) yang dianyam dari daun lontar, langsung dipakainya di kepalanya
sebagai pengganti topi ( kenobo koli lolo). Dengan topi kolinya, anjing itu lalu kembali berlari
masuk ke tengah-tengah lingkaran tarian hamang yang kian meriah tersebut.

Sambil mengikuti gerak tari hamang, anjing itu tiba-tiba ikut melantunkan syair sebagai
berikut :“Ao ao kenali kawok o. Utim mato likat tawa lekem megali kawok oooooooooo Lau lau
bera aka, jae jae bera nau ”. (Hai anjing, makhluk hina. Sehari-hari hanya berbaring
melingkari tungku dapur. Kemaluanmu kau letakan dekat alas tungku untuk mengais abu dapur.
Yang dari jauh segera datang bergabung “).
Seluruh peserta hamang sontak hening sesaat mendengarkan syair yag keluar dari mulut seekor
anjing, hewan yang tak berakal budi itu. Seluruh peserta mendadak takjub penuh ketakutan.
Karena hal itu seharusnya tak boleh terjadi. Awololo mendadak gempar dan panik. Dan pada
saat bersamaan muncul deruh angin dan gelombang air pasang yang dahsyat melanda
seluruh Awololo. Awololo tenggelam tersapu air laut. Banyak penduduk terkubur ke dasar laut.
Sebagian lagi mampu nenyelamatkan diri dengan sampan dengan secukupnya barang yang
dibawanya. Mereka mengungsi berpencar ke berbagai tempat mencari tempat tinggalnya yang
baru.

Sebagian Orang Atadei, Leluhurnya Pengungsi Dari Awololo

Setelah terjadi bencana tenggelamnya Awololo, sebahagian yang selamat bisa menggapai
daratan, mulai mencari tempat hunian baru. Ada sebahagian dari pengungsi ini berlayar
menggunakan perahu mengarungi Laut Flores menuju ke arah timur laut. Mereka singgah
sejenak di Wairian, di Kedang, namun tidak ingin menetap di sana. Mereka terus berlayar
menuju arah tenggara dan akhirnya berlabuh di Tanjung Noni dan Poho, namun di sini juga
mereka belum merasa aman. Mereka terus berlayar ke arah selatan menggunakan dua buah
perahu bernama ‘”Tena Tobilolo “ dan “ Wato Tena“.

Namun setibanya di sebuah tanjung, kedua perahu ini terhempas ombak dan hancur di batu
karang. Kondisi tempat itu sungguh menyeramkan. Mau menuju ke darat langsung berhadapan
dengan tebing terjal yang tidak dapat didaki. Sedangkan balik ke arah laut, berhadapan langsung
hempasan ganas gelombang laut Sawu yang menakutkan, datang silih berganti. Di antara
mereka yang terdampar di situ ada yang bernama Ata dan Watolite. Sedangkan suku-suku yang
ikut dalam rombongan pengungsi ini antara lain suku Tukan, Nunang, Bungan, Kolin, Tapun,
Telupun, Nadin, Puor, Hakeng (Sakeng), Mudaj, Ladjar dan Malun.

Di tanjung itu terdapat sebuah gua namanya “Wikliang”. Karena tidak ada jalan lain untuk
meluputkan diri dari hempasan gelombang laut maka, orang dari Suku Tukan memberanikan
diri mencoba memasuki gua Wikliang, menelusuri terowongan yang terdapat dalam gua
tersebut. Mereka akhirnya berhasil mencapai pintu keluar dari terowongan gua, persis di atas
sebuah puncak bukit yang tinggi dan terjal yang bernama Watupogo. Karena keberhasilannya
tersebut maka Suku Tukan kemudian menjadi tuan tanah daerah ini.

Tanjung Atadei Top of Form

Setelah orang Suku Tukan mencapai puncak bukit, maka akhirnya orang mulai berbondong-
bondong masuk ke dalam gua tersebut melewati terowongan menuju puncak. Di dalam
rombongan ini terdapat seorang ibu dari suku Bungan yang sedang hamil tua. Konon orang dari
suku Bungan ini bau badannya harum dan lehernya berwarna merah. Saat ibu yang tengah hamil
tua ini mencapai pintu terowongan di puncak bukit Watupogo, ternyata lubang keluarnya terlalu
sempit buatnya. Untuk keluar lubangnya sempit, sementara untuk kembali tidak bisa karena
padatnya orang dalam terowongan yang mengikutinya dari belakang. Karena udara panas dalam
gua yang sempit itu maka akhirnya semua yang berada di dalam gua menemui ajal karena
lemas dan kehabisan udara.

Menurut kisah, yang masih berada di luar gua dan terowongan adalah Ata dan Watolite.
Menyaksikan kecelakaan besar yang menimpah sebagian rombongan pengungsi Awololo ini,
keduanya sangat bingung dan ketakutan, tak tahu mau buat apa. Keduanya hanya pasrahkan diri
pada kemurahan alam. Karena tidak ada lagi yang dapat mereka makan akhirnya keduanya mati
kelaparan. Ata meninggal dalam keadaan berdiri. Kemudian keduanya berubah menjadi batu.
Batu yang tingginya mencapai 3 meter dan lebar badannya satu meter lebih tegak berdiri 3 meter
dari tebing. Ata Dei, Ata yang lagi berdiri. Di dekat batu Atadei ini tegak Watolite Dari batu ini
maka muncul nama Tanjung Atadei, bahkan Kecamatan Atadei yang dikenal hingga saat ini.
Dan penghuni kawasan Tanjung Atadei ini juga disebut sebagai Orang Atadei…….Orang yang
selalu berdiri….tidak duduk, tidak tidur.

Demikian salah satu versi kisah terjadinya peristiwa tragis tenggelamnya Awololo dan Batu
Atadei, yang disarikan dari tulisan Bapak Guru Bernardus Bala Ladjar berjudul “Atadei Dalam
Namanya”, yang ditulis di Kalikasa, Februari 1994. Tulisan guru dan budayawan asal Atadei ini
dibuat setelah mewawancarai 9 orang nara sumber yakni Aloy Baha Ladjar ( 71
tahun) Frans Gala Koban (71 tahun), Leo Boli Ladjar ( 61 tahun), Pelile Nunang (75 tahun),
Nama Nunang (70 tahun), Pelea Koban ( 75 tahun), Pade Baun ( 80 tahun), Blido Kriki (80
tahun) dan Yos Benolo Koban (60 tahun) saat itu.

Kisah Bencana Awololo pernah penulis turunkan dalam bab 4 buku “ Lame Lusi Lako, Dari
Tanah Nuba Nara Menuju Tanah Misi”, dengan judul :”Awololo, Negeri Makmur Ditelan
Bencana” yang terbit tahun 2015.

Suku lain di Atadei yang menurut kisah tutur juga berasal dari Awololo antara lain Suku
Amanuban dan Suku Karangora. Suku Ata Ujan yang ada di Bakan, Kali kasa, Kolilerek serta
Udak juga ada pendapat bahwa mereka berasal dari pelarian bencana Awololo; namun ada juga
yang mengatakan Suku Ata Ujan berasal dari Seram Goran dan Lepan Batan.

Dalam buku “Orang Ataili, Rekonstruksi Jejak-Jejak Yang Tercecer” karya Pastor Pasionis
Patrisius Duan Witin ditulis bahwa leluhur Orang Ataili adalah migran yang berasal dari Seran-
Gorang Abo Muar menuju Lepan Batan dan Pulau Rusa. Saat terjadi bencana Lepan Batan,
sebahagiaannya terdampar di Kmeru Wutun seperti Suku Ataili ( Ilin), Uden Bnatulolo Suku
Bakior (Bakin), Suku Ampolen (Polen) dan Suku Taumor ( Taum) dan Lerek.

Gelombang migran kedua datang dari utara setelah peristiwa Awololong tenggelam. Hal ini
diketahui dari syair dan lagu Abajole. Mereka yang lari dari Awololo itu antara lain suku Witin,
Buran, Ingan, Kepitan, Patin. Saat mereka tiba di Ataili, ternyata di sana sudah ada penduduk
yang datang dari Lepan Batan.

Suku Tapoona di Lamalera punya kisah tutur bahwa leluhurnya Beda Vulo Vutun adalah
pelarian dari Awololo. Ia kemudian kawin dengan Peni Belan Lolon dan tinggal di Lamamanu,
kemudian turun ke Lamalera dan membentuk Suku Tapoona. (Napak Tilas Jejak Leluhur
dan….…..berdirilah Ata Ile Lodo oleh Thomas Ataladjar, Suara Lembata Agustus 1999 hal.16-
19).

Dari catatan di atas tampak jelas bahwa sebahagian suku yag menghuni kawasan Atadei dan
sekitarnya, adalah pelarian dari Awololo.

Mengapa terjadi bencana Awololo? Menurut kisah, karena di Awololo yang sebelumnya
makmur, tenang dan damai, perlahan orang mulai lupa akan norma adat dan nubanara yang
diwariskan nenek moyangnya. Banyak aturan adat telah dilanggar. Petuah nenek moyang tak
lagi diindahkan. Mereka tak lagi mempedulikan resiko besar yang harus ditanggung bila
melanggar aturan adat nenek moyang yang berlaku dan tidak lagi menghormati orang tua dan
leluhurnya.

Semula mereka menyembah Lera Wulan Tana Ekan sebagai “tuhan”nya, dengan rajin
memberikan sesajian serta mengadakan upacara khusus kepada Nubanara untuk
menghormatinya. Antara lain dengan memotong hewan seperti babi , kambing atau ayam. Darah
hewan tersebut direciki pada Nuba Nara sementara bagian paling utama dari daging hewan itu
yakni bagian hati dan jantung dipersembahkan kepada Nuba Nara bersama tuak dan sirih pinang.
Menurut keyakinan mereka, bila mereka lupa akan Nubanara, maka ia akan marah dan mereka
akan beroleh bencana, malapetaka, serta terjangkit berbagai jenis penyakit bahkan kematian.

Kepercayaan kepada “agama asli” leluhur ini, kini masih dapat kita saksikan bahkan tetap
lakukan lewat aneka ritual adat dan budaya, yang sekaligus menjadi kearifan lokal di Tanah
Lembata umumnya dan Atadei khususnya.

Awololo, Kerajaan dan Negeri Gema Ripah Loh Jinawi.

Berdasarkan cerita tutu marin, penduduk Lembata sebahagian besar berasal dari dua pulau yakni
Lepan dan Batan atau Keroko Puken yang terletak di sebelah ujung timur Kedang. Suatu saat
terjadi bencana air pasang besar yang menenggelamkan kedua pulau tersebut. Sebahagian besar
tak berhasil menyelamatkan diri, sebahagian lain mengungsi ke pulau-pulau terdekat termasuk
sebahagian terdampar di Awololo.

Menurut kisah, Awololo merupakan sebuah negeri yang besar, makmur dan berpenduduk banyak.
Bahkan menurut Antropolog Sosial DR.Chris Boro Tokan,SH,MH Awololon ini dulu
merupakan sebuah kerajaan. Dalam artikel Kompas.com Senin 9 Januari 2012
berjudul “ Mencontoh Tradisi Kerukunan Beragama Orang Lamaholot”, tulisan Laurensius
Molan, Chris Boro Tokan antara ain menyatakan bahwa di pulau Adonara pernah berdiri
kerajaan Molo Ging, kerajaan Wotan Ulu Mado, kerajaan Libu Kilha, kerajaan Lamahala,
Terong dan kerajaan Lian Lolon yang merupakan cikal bakal Adonara.

Selain itu menurut Dosen Luarbiasa di bidang hukum dan Perubahan Sosial Fakultas Pasca
Sarjana Bidang Ilmu Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang ini, ada Kerajaan Awololon di
Pulau Pasir dekat Lewoleba, serta kerajaan Lamakera dan Lohayong di Solor.
Sambil menantikan penelitian lebih lanjut tentang adanya kerajaan di lokasi yang kini bernama
Awololo oleh para pakar, satu hal yang pasti adalah bahwa Awlolo ini dulu merupakan sebuah
negeri besar, bukan sekedar sebuah kampung.

Buktinya, dari berbagai kisah “Kar Pana” atau pengungsian yang terjadi setelah peristiwa
bencana melanda Awololo tersebut, tercatat begitu banyak suku yang menurut kisah tutur
sukunya, mereka pengungsi dari Awololo, termasuk sejumlah besar suku di Atadei dan tempat
lain.

Pulau kecil Awololo ini memang sangat dikenal melalui legenda sebagai tempat kediaman
sebagian suku yang kemudian menjadi penduduk Lembata. Kisahnya boleh jadi memiliki versi
yang cenderung berbeda satu sama lain. Namun di balik kisah itu terdapat kemiripan dan
persamaan. Ada negeri namanya Awololo. Ada pesta dan perhelatan besar yang diramaikan
dengan tandak dan hamang. Ada sosok anjing. Dan ada bencana air laut pasang dahsyat yang
menenggelamkan Awololo dan ada kisah pengungsian massal yang membawa serta budaya
leluhurnya dari Awololo. Dan satu hal yang juga patut dicatat adalah bahwa bencana yang
menewaskan banyak jiwa ini, menjadikan Awololo sebagai sebuah pekuburan massal leluhur.

Negeri Leluhur yang Indah

Bila hendak landing di bandara Wunopito, penumpang bisa menikmati dengan mata telanjang
betapa indahnya Awololo dari Susi Air atau Trans Nusa. Awololo terletak sekitar 1,5 km di
depan pantai Lewoleba Ibu Kota Kabupaten Lembata. Awololo dapat dicapai dengan
perahu bermotor sekitar 10 menit atau kurang lebih 25 menit dengan sampan dari pantai
Lewoleba (Kampung Bajo – Rayuan Kelapa).

Awololo merupakan sebuah pulau kecil yang indah dan berpasir putih, merupakan beting
penghalang yang sebahagian besar masih berada di bawah permukaan laut. Awololo
berupa gundukan pasir putih sepanjang kurang lebih 600 meter dengan garis tengah sekitar 25
meter, dan populer juga dengan nama Pulau Siput.

Awololo berada pada ketinggian 50 cm di atas permukaan laut dan dihuni oleh ribuan kemang
dan siput. Perairan dangkal di sekitarnya merupakan paparan koloni terumbu karang dan
berbagai jenis ikan aneka warna. Awololo memiliki dua keunikan khas . Pertama bahwa pulau
ini hanya muncul sempurna pada saat terjadi surut. Kedua Awololo dihuni oleh ribuan bahkan
jutaan siput menjadikannya sebagai sumber penghasil siput yang tidak pernah ada habis
walaupun terus diambil entah dari mana datangnya. Pengunjung dapat memperoleh siput /
kerang dengan cara cukup mengorek atau menggali pasir sedalam 5 cm sampai 10 cm. Lewat
kegiatan mencari siput ke Awololo ini, muncullah “budaya berkarang” yang berangsung hingga
sekarang, sebagai salah satu mata pencaharian warga, “hadiah” leluhurnya.

Jadikan Awololo Cagar Budaya Yang Perlu dilindungi


Berdasarkan semua catatan di atas, dapat disimpulkan bahwa Awololo sesungguhnya adalah
sebuah situs Sejarah dan Budaya. Ia merupakan tempat banyak suku di Lembata berasal.
Awololo bukan sekedar sebuah mitos, legenda apalagi cerita khayalan. Kisah Awololo adalah
kisah sejarah yang diturunkan dari generasi ke generasi lewat cerita tutur. Ia sudah masuk ranah
sejarah, karena mengisahkan fakta-fakta sejarah. Tena Lagadoni saja sebagai alat angkut
pengungsi dari Awololo ke Atadei, bahkan selalu dipentaskan dalam tarian baik saat menghantar
tamu penting baik awam maupun klerus. Berbagai aneka ritus adat dan budaya yang dibawa
pengungsi dari Awololo dan dijalankan secara turun temurun hingga sekarang, membuktikan
fakta sejarah itu sendiri.

Awololo sudah dapat dikategorikan sebagai cagar budaya. Cagar budaya adalah daerah yang
kelestarian hidup masyarakat dan peri kehidupannya dilindungi UU dari bahaya kepunahan.
Menurut UU No11 Tahun 2010 ,cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa
Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar budaya, Struktur Cagar Budaya,Situs Cagar Budaya, dan
Kawasan Cagar Budaya di darat di darat dan atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya,
karena memiliki nilai penting bagi sejarah, lmu pengetahuan, pendidikan, agama dan atau
kebudayaan,melalui proses penetapan.

Dan bila kita sepakat bahwa Awololo itu bekas kerajaan leluhur kita. Bekas asal usul nenek
moyang kita. Pernah dihuni masyarakatnya yang memiliki kebudayaan yang tinggi dengan
berlimpah kearifan lokal yang ada di dalamnya yang diwariskan hingga saat ini, pantas kalau
Awololo patut dilindung dan dilestarikan. Bukan Dari situs sejarah dan budaya diubah menjadi
destinasi wisata kuliner atau hiburan, misalnya. Karena kehilangan Awololo, akan merupakan
kehilangan sebagian sisi sejarah dan budaya Lembata penting yang kita miliki.

Sementara untuk melindunginya dari kepunahan atau sejenisnya, tidak perlu proses yang ribet
dan sulit–sulit amat. Cukup buatkan Perda khusus yang menetapkan bahwa Awololo merupakan
kawasan cagar budaya yang dilindungi undang-undang. Dengan demikian Awololo cukup
dijadikan destinasi wisata sejarah dan budaya tempat orang melakukan penelitian lebih jauh dan
lebih mendalam tentang Tanah Lembata, yang penuh dengan harta karun budaya dan
sejarahnya.Semoga.

*) Penulis, Anak Kampung Waiwejak,tinggal di Bogor)

Anda mungkin juga menyukai