Anda di halaman 1dari 16

KEBUDAYAAN SUKU GAYO

Disusun Oleh :

Mulyana Aminuddin

178600149

Pembimbing :

Faridz Ravsamjani, M.OR, M.PSI

FAKULTAS PSIKOLOGI (KELAS B)

UNIVERSITAS MEDAN AREA

TAHUN AJARAN

2017

MEDAN
A. Pengertian budaya

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki


bersama oleh sebuah kelomok orang, dan diwariskan dari generasi ke
generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem
agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan
karya seni dan bahasa. Sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak
terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung
menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha
berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya, dan
menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu
dipelajari. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat
kompleks, abstrak, dan luas.

B. Pengertian kebudayaan

Kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat


pengetahuan, dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam
pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari,kebudayaan itu
bersifat abstrak.

Kebudayaan secara umum adalah hasil cipta,rasa dan karsa manusia


dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang kompleks yang mencakup
pengetahuan, keyakinan, seni, susila, hukum adat dan setiap kecakapan, dan
kebiasaan. Sedangkan menurut definisi Koentjaraningrat yang
mengatakan bahwa pengertian kebudayaan adalah keseluruhan manusia dari
kelakuan dan hasil yang harus didapatkannya dengan belajar dan semua itu
tersusun dalam kehidupan masyarakat.
KEBUDAYAAN SUKU GAYO (ACEH)
a. Sejarah kebudayaan Suku Gayo (Aceh)

Provinsi aceh terletak di ujung barat Indonesia dan termasuk garis besar
khatulistiwa, di provinsi aceh terkenal Kopi yang berasal dari Gayo, ia Gayo
adalah salah satu suku yang ada dan sudah lama berdomisi di aceh terletak
di tengah provinsi aceh, kota takengon di apit oleh pegunungan yang hijau
di sana kebudayaan dan kebiasaan masyarakat gayo berkembang dari masa
kemasa, masyarakatnya banyak bertempat tinggal di Aceh Tengah, Bener
Meriah, Aceh Tenggara, dan Gayo Lues

Suku Gayo adalah salah satu etnis suku bangsa yang mendiami dataran
tinggi Gayo di Provinsi Aceh bagian tengah. Bagian wilayah suku Gayo
meliputi kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah dan Gayo Lues. Sebagian
juga mendiami wilayah di Aceh Timur yaitu di kecamatan Serba Jadi,
Peunaron, dan Simpang Jernih. Masyarakat suku Gayo beragama islam dan
dikenal taat dalam beragama.

Suku Gayo tergolong ke dalam ras Proto Melayu yang berasal dari
India. Kedatangan bangsa ini diperkirakan datang ke indonesia sekitar 2000
tahun sebelum masehi. Ciri khas dari bangsa ini adalah berkulit hitam,
tubuhnya kecil dan berambut keriting. Suku Gayo terdiri dari tiga kelompok
yaitu Masyarakat Gayo laut yang mendiami daerah Aceh Tengah dan Bener
Meriah, Gayo Lues yang mendiami daerah Gayo Lues dan Aceh Tenggara
serta Gayo Blang yang mendiami sebagian kecamatan di Aceh Tamiang.

Kata Gayo berasal dari kata Pegayon yang berarti tempat mata air jernih
dimana terdapat ikan suci (bersih) dan kepiting. Konon, dahulu
serombongan pendatang suku Batak Karo datang ke Blangkejeren dengan
melintas sebuah desa bernama Porang. Di perjalanan mereka menjumpai
sebuah perkampungan yang terdapat sebuah telaga yang dihuni seekor
kepiting besar, kemudian mereka melihat binatang tersebut berteriak Gayo
Gayo. Dari sinilah daerah tersebut dinamai dengan Gayo.
b. Agama

Islam masuk ke Nusantara melalui Aceh, akan tetapi agama islam masuk
ke Gayo memerlukan waktu oleh orang Gayo menganut animisme dan agam
Budha, hal ini dapat dilihat dari jejak-jejak kerangka yang ditemukan di
Ujung Karang dan Mendale yang berdasarkan uji carbon berusia 7400 tahun
yang lalu. Dan setelah masuknya islam ke dataran tinggi gayo masyarakat
gayo akhirnya memeluk agama islam dan sekarang hidup dengan rukun
dengan adat istiadat dan hukumyang berlaku.

c. Bahasa

Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Gayo. Bahasa tersebut


mempunyai keterkaitan dengan bahasa Suku Batak Karo di Sumatera Utara
dan termasuk kelompok bahasa yang disebut “Northwest Sumatera-Barrier
Islands” dari rumpun bahasa Austronesia. Dialek bahasa Gayo memiliki
beberapa variasi karena pengaruh dari bahasa luar. Bahasa Gayo yang ada di
Lokop, sedikit berbeda dengan bahasa Gayo yang ada di Gayo Kalul, Gayo
Lut, Linge dan Gayo Lues. Hal tersebut disebabkan karena pengaruh bahasa
Aceh yang lebih dominan di Aceh Timur. Sedangkan bahasa Gayo Kalul, di
Aceh Tamiang, sedikit banyak terdapat pengaruh Melayu karena lebih dekat
ke Sumatera Utara. Kemudian, Gayo Lues lebih dipengaruhi oleh bahasa
Alas dan bahasa Karo karena interaksi yang lebih banyak dengan kedua
suku tersebut lebih-lebih komunitas Gayo yang ada di kabupaten Aceh
Tenggara.

Dialek pada suku Gayo, menurut M.J. Melalatoa, dialek Gayo Lut terdiri
dari subdialek Gayo Lut dan Deret, sedangkan Bukit dan Cik merupakan
sub-subdialek. Demikian pula dengan dialek Gayo Lues terdiri dari
subdialek Gayo Lues dan Serbejadi. Subdialek Serbejadi sendiri meliputi
sub-subdialek Serbejadi dan Lukup (1981:53). Sementara Baihaqi Ak,ddk
menyebut jumlah dialek bahasa Gayo sesuai dengan persebaran suku Gayo
tadi (Gayo Lut, Deret, Gayo Lues, Lokop/ Serbejadi dan Kalul). Namun
demikian, dialek Gayo Lues, Gayo Lut, Gayo Lukup/ Serbejadi dan Gayo
Deret dapat dikatakan sama atau amat berdekatan. Di Gayo Lut sendiri
terdapat dua dialek yang disana dinamakan dialek Bukit dan Cik (1981:1).

Berbicara tentang bahasa Gayo banyak yang berpendapat suku Gayo


memakai bahasa aceh walaupun aceh sendiri lebih didominasi bahasa aceh
tapi masyarakat gayo memiliki bahasa yaitu bahasa Gayo yang sangat jauh
berbeda dengan bahasa dialeknya.

Ditakengon sendiri bahasa Gayo yang dipakai masyarakat adalah bahasa


Gayo, bahasa gayo ada yang halus ada yang kasar karena kemajuan zaman
dan perubahan dan silsilah bergantinya suku dan ras yang masuk ke
takengon bahasa yang dipakai lebih sering bahasa kasar bahasa halus lebih
banyak yang mengetahui orang tua karena dalam bahasa halus tersebut
banyak istilah-istilah yang harus dimengerti.

Dalam tutur berkeluarga di suku gayo ayah di panggil ama ibu di


panggil ine abang/kakak di panggil aka adik di panggil encu laki-laki
disebut rawan/wen perempuan disebut banan/ipak, dalam bahasa Gayo suku
Gayo juga mengenal tingkat kesopanannya dalam berbicara dan ditunjukkan
dengan tutur (cara memanggil orang) dengan panggilan yang sopan dan
berbeda. Hal tersebut menunjukkan tata karma, sopan santun, rasa hormat,
penghargaan dan kasih sayangkepada orang tua minsalnya akan memilih
tutur yang berbeda dengan anak-anak, dapat kita contohkan, pemakaian
panggilan ko dan kam, yang kedua kata tersebut memiliki arti yang sama
(anda). Panggilan ko biasadigunakan dari orang tua kepada yang lebih
muda, sebaliknya, terasa janggal atau tidak sopan bila yang muda
mengatakan kata Ah kepada orang yang lebih tua, kata kam sendiri lebih
sopan dari kata ko. Selain itu, kam itu menunjukkan kata makna kata jamak.

Contoh percakapan dalam bahasa Gayo (perkenalan)

Sahan geral ni kam : siapa nama anda

Geralku melala : nama saya melala


Hana keber ? : apa kabar ?

Keber jeroh : kabar baik

Nge eke mangan ? : sudah makan

Gere ilen : belum

d. Marga

Walaupun sebagian masyarakat suku Gayo tidak mencantumkan nama


marganya, tetapi sebagian kecil masih ada yang menabalkan atau
mencantumkan nama marga-marganya, terutama yang bermukim di wilayah
Bebesen. Sebenarnya marga itu hanya untuk mengetahui asal / Garis
keturunan Individu itu sendiri, makanya di suku Gayo marga tidak terlalu di
pentingkan. Berikut marga-marga pada suku Gayo :

- Ariga
- Cibero
- Linge
- Melala
- Munte
- Tebe
- Alga

Marga uken

- Bukit : Bukit eweh dan bukit lah

- Jongok

- Gunung

- Kala
e. Sejarah Marga
- Marga Linge

Pada abad ke-11, kerajaan Linge didirikan oleh orang-orang Gayo pada
era pemerintahan Sultan Makhdum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari
kesultanan Perlak. Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan
anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesen dan dari Zainuddin yaitu dari
raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di
era kolonial Belanda.

Raja Linge 1, disebutkan mempunyai 4 orang anak. Yang tertua seorang


wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga (Ali
Syah), Meurah Johan (Johan Syah) dan Meurah Lingga (Malamsyah).

Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Karo dan membuka negeri


di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan
mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama
Lam Krak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamuri atau Kesultanan
Lamuri. Ini berarti Kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan
sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi
raja Linge turun temurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan
menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai Meurah Mege sendiri
dikuburkan di Wih ni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge,
Aceh Tengah. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh
penduduk.

Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat


dikisahkan bahwa Raja Linge lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege.
Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk
mengembara.

- Dinasti Lingga
1. Adi Genali Raja Linge I di Gayo
2. Raja sebayak Lingga di Tanah Karo. Menjadi Raja Karo
3. Raja Meurah Johan (pendiri Kesultanan Lamuri)
4. Meurah Silu anak dari Meurah Sinabung (pendiri Kesultanan Samudera
Pasai), dan
5. Raja Linge II alias Marah Lingga di Gayo
6. Raja Lingga III-XII di Gayo
7. Raja Lingga XIII menjadi Amir al-Harb Kesultanan Aceh. Pada tahun
1533 terbentuklah kerajaan Johor baru di Malaysia yang dipimpin oleh
Sultan Alauddin Mansyur Syah. Raja Lingga XIII diangkat menjadi
kabinet di kerajaan baru tersebut. Keturunannya mendirikan Kesultanan
Lingga di kepulauan Riau, pulau Lingga, yang kedaulatannya
mencakup Riau (Indonesia), Termasuk (Singapura) dan sedikit wilayah
Malaysia.

Raja raja di Sebayak Lingga Karo tidak terdokumentasi. Pada era Belanda
kembali diangkat raja-rajanya tetapi hanya dua era

1. Raja Sendi Sibayak Lingga (pilihan Belanda)


2. Raja Kalilong Sibayak Lingga

f. Kehidupan sosial

Rumah Adat Gayo Pitu Ruang

Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut


kampong. Setiap kampung dikepalai oleh seseorang gecik. Kumpulan
beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin oleh mukim. Sistem
pemerintahan tradisional berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak
opat terdiri dari reje (raja), petue (petua), imem (imam), dan rayat (rakyat).

Pada masa sekarang beberapa buah kemukiman merupakan bagian


dari kecamatan, dengan unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas : gecik,
wakil gecik, imem, dan cerdik pandai yang mewakili rakyat.

Sebuah kampong biasanya dihuni oleh beberapa kelompok belah


(klan). Anggota-anggota suatu belah merasa berasal dari satu nenek
moyang,masih saling mengenal, dan mengembangkan hubungan tetap
dalam berbagai upacara adat. Garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip
patrilineal. Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah
eksogami belah, dengan adat menetap sesudah nikah yang patrilokal
(juelen) atau matrilokal (angkap).

Kelompok kekerabatan terkecil disebut sara ine (keluarga inti).


Kesatuan beberapa keluarga inti disebut sara dapur. Pada masa lalu
beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah rumah panjang,
sehingga disebut sara umah. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke
dalam satu belah (klan). Pada masa sekarang banyak keluarga inti yang
mendiami rumah sendiri. Pada masa lalu orang Gayo terutama
mengembangkan mata pencaharian bertani di sawah dan beternak, dengan
adat istiadat mata pencaharian yang rumit.

Selain itu ada penduduk yang berkebun, menangkap ikan, dan meramu
hasil hutan. Mereka juga mengembangkan kerajinan membuat keramik,
menganyam, dan menenun. Kini mata pencaharian yang dominan adalah
berkebun, terutama tanaman Kopi Gayo. Kerajinan membuat keramik dan
anyaman pernah terancam punah, namun dengan dijadikannya daerah ini
sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Aceh., kerajinan keramik mulai
dikembangkan lagi. Kerajinan lain yang juga banyak mendapat perhatian
adalah kerajinan membuat sulaman kerawang dengan motif yang khas.

g. Mata Pencaharian

Di Gayo saat ini masyarakat lebih banyakbercocok tanam, komuditinya


kebanyakan kopi, tapi didaerah danau laut tawar banyak masyarakatnya
sebagai nelayan dan sambil berkebun kopi juga, jika di daerah isaq itu lebih
banyakmasyarakatnya memelihara atau mengembalai hewan tapi kopi lah
yang menjadi komuditi utama masyarakat gayo dan sebagai mata
pencahariannya.
h. Ilmu Pengetahuan

Sistem dalam masyarakat gayo dahulu mengenal beberapa teknologi


yang manual, seperti di bidang pertanian, para petani di Gayo banyak
menggunakan tenaga kuda, kerbau dalam menggarap sawah. Begitu juga
dengan yang lain seperti kerajinan yaitu seni arsitektur, seni ukir, sulaman
dan anyaman. Dahulu masyarakat Gayo selalu menggunakan peralatan
tradisional, dengan perkembangan zaman yang semakin canggih tidak
mengurangi keinginan untuk mengikuti tantangan zaman, yaitu masyarakat
sudah beralih menggunakan alat yang lebih modernuntuk penghidupan dan
kesejahtraan, para petani yang dulu menggunakan tenaga kuda dan kerbau
untuk menggarap sawah kini beralih menggunakan mesin traktor dan para
pengrajin kerawang sudah beralih ke alat modern tapi tanpa mengurai seni
dalam tradisional kerawang gayo tersebut.

i. Seni Budaya

Kubur tradisional orang Gayo

Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu dikalangan masyarakat


Gayo adalah kesenian, yang hampir tidak pernah mengalami kemandekan
bahkan cenderung berkembang. Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara
lain tari Saman dan seni bertutur yang disebut Didong. Selain untuk hiburan
dan rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual,
pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan
keseimbangan dan struktur sosial masyarakat. Di samping itu ada pula
bentuk kesenian seperti tari Bines, tari Guel, tari Munalu,
Sebuku/pepongoten (seni meratap dalam bentuk prosa) guru didong, dan
melengkan (seni berpidato berdasarkan adat).

Dalam seluruh segi kehidupan, orang Gayo memiliki dan


membudayakan sejumlah nilai budaya sebagai acuan tingkah laku untuk
mencapai ketertiban, disiplin, kesetiakawanan, gotong royong, dan rajin
(mutentu). Pengalaman nilai budaya ini dipacu oleh suatu nilai yang disebut
bersikemelen, yaitu persaingan yang mewujudkan suatu nilai dasar
mengenai harga diri (mukemel). Nilai-nilai ini diwujudkan dalam berbagai
aspek kehidupan, seperti dalam bidang ekonomi, kesenian, kekerabatan, dan
pendidikan. Sumber dari nilai-nilai tersebut adalah agama islam serta adat
setempat yang dianut oleh masyarakat Gayo.

Di masayarakat Gayo sendiri ada budaya yang dinamakan sumang


disini maksudnya adalah cara orang dalam bermasyarakat yang dilarang
atau interaksi sosial orang yang tua dengan orang yang muda, yaitu :

a. Sumang percerakan : cara dalam berbicara


b. Sumang penengonen : cara melihat
c. Sumang pelangkahan : cara berjalan
d. Sumang pekunulen :cara duduk

j. Seni dan Tarian


- Didong
- Didong Niet
- Tari Saman
- Tari Bines
- Tari Guel
- Tari Munalu
- Tari Sining
- Tari Turun ku Aih Aunen
- Tari Resam Berume
- Tuah Kukur
- Melengkan
 Didong

 Tari Saman
 Tari Guel

k. Makanan Khas Gayo


- Masam Jaeng
- Gutel
- Lepat
- Pulut Bekuah
- Cecah
- Pengat
- Gegaloh
l. Sayur Masam Jaeng

2. Gutel

3. Lepat
4. Pulut Bekuah

5. Cecah

6. Pengat
I. Galeri
a. Urang Gayo

b. Danau Laut Tawar Aceh Tengah

Anda mungkin juga menyukai