Anda di halaman 1dari 25

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Luka bakar merupakan masalah kesehatan masyarakat global. Hal ini disebabkan
karena tingginya angka mortalitas dan morbiditas luka bakar, khususnya pada negara
dengan pendapatan rendah-menengah, dimana lebih dari 95% angka kejadian luka
bakar menyebabkan kematian (mortalitas). Bagaimanapun juga, kematian bukanlah
satu-satunya akibat dari luka bakar. Banyak penderita luka bakar yang akhirnya
mengalami kecacatan (morbiditas), hal ini tak jarang menimbulkan stigma dan
penolakan masyarakat.1

Pada tahun 2014, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa


terdapat 265.000 kematian yang terjadi setiap tahunnya di seluruh dunia akibat luka
bakar. Di India, lebih dari satu juta orang menderita luka bakar sedang-berat per
tahun. Di Bangladesh, Columbia, Mesir, dan Pakistan, 17% anak dengan luka bakar
menderita kecacatan sementara dan 18% menderita kecacatan permanen. Sedangkan
di Nepal, luka bakar merupakan penyebab kedua cedera tertinggi, dengan 5%
kecacatan. Menurut data American Burn Association (2015), di Amerika Serikat
terdapat 486.000 kasus luka bakar yang menerima penanganan medis, 40.000
diantaranya harus dirawat di rumah sakit. Selain itu, sebanyak 3.240 kematian terjadi
setiap tahunnya akibat luka bakar. Penyebab terbanyak terjadinya luka bakar adalah
karena trauma akibat kecelakaan kebakaran, kecelakaan kendaraan, terhirup asap,
kontak dengan listrik, zat kimia, dan benda panas.1

Di Indonesia, prevalensi luka bakar pada tahun 2013 adalah sebesar 0.7% dan
telah mengalami penurunan sebesar 1.5% dibandingkan pada tahun 2008 (2.2%).
Provinsi dengan prevalensi tertinggi adalah Papua (2.0%) dan Bangka Belitung
(1.4%) (Depkes, 2013). Berdasarkan data rekam medis RSUP Haji Adam Malik
2

Medan, terdapat 353 kasus luka bakar pada tahun 2011-2014 dengan penyebab
terbanyak adalah flame burn injury(174 kasus, 50,4%).2

Luka bakar merupakan respon kulit dan jaringan subkutan terhadap paparan
yang berasal dari sumber panas, listrik, zat kimia, dan radiasi. Hal ini akan
menimbulkan gejala berupa nyeri, pembengkakan, dan terbentuknya lepuhan (Grace
dan Borley, 2006). Semua luka bakar (kecuali luka bakar ringan atau luka bakar
derajat I) dapat menimbulkan komplikasi berupa shock, dehidrasi dan
ketidakseimbangan elektrolit, infeksi sekunder, dan lain-lain.2

Permasalahan yang dialami oleh penderita luka bakar, selain komplikasi,


adalah proses penyembuhan luka bakar yang lama. Proses penyembuhan luka dapat
dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase inflamasi, proliferasi, dan maturasi. Pertama, fase
inflamasi yang berlangsung sejak terjadinya luka hingga 3-4 hari. Pada fase ini terjadi
perubahan vaskuler dan proliferasi seluler. Daerah luka mengalami agregasi
trombosit dan mengeluarkan serotonin, serta mulai timbul epitelisasi. Kedua, fase
proliferasi yang berlangsung sejak berakhirnya fase inflamasi hingga hari ke-21. Pada
fase inflamasi, terjadi proliferasi fibroblas, angiogenesis, dan proses epitelisasi.
Ketiga, fase maturasi, terjadi sejak hari ke-21 hingga 1-2 tahun dimana terjadi proses
pematangan kolagen, penurunan aktivitas seluler dan vaskuler. Bentuk akhir dari fase
ini berupa jaringan parut yang berwarna pucat, tipis, lemas tanpa rasa nyeri atau
gatal.3
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Luka Bakar


Luka bakar merupakan kerusakan atau kehilangan jaringan yang diakibatkan
oleh kontak dengan panas kering (api), panas lembab (uap dan cairan panas), kimiawi
(bahan-bahan korosif), barang-barang elektrik (aliran listrik atau lampu), friksi atau
energi. Luka bakar adalah luka yang terjadi bila sumber panas bersentuhan dengan
tubuh atau jaringan dan besarnya luka ditentukan oleh tingkat suhu dan durasi
kontak.1

2.2 Anatomi Kulit

Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari
lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 1,5 m2 dengan berat kira kira
15% berat badan. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital yang merupakan
cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat komplek, elastic dan sensitive,
bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras dan juga bergantung pada luas tubuh.3

Kulit secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga lapisan utama yaitu lapisan
epidermis atau kutikel, lapisan dermis dan lapisan subkutis. Tidak ada garis tega yang
memisahkan dermis dan subkutis, subkutis ditandai dengan adanya jaringan ikat
longgar dan adanya sel dan jaringan lemak. 3

Epidermis tersusun atas lapisan korneum (tanduk), lapisan lusidum, lapisan


granulosum, lapisan spinosum (Malpighi) dan lapisan basale. Lapisan korneum
merupakan lapisan kulit mati, yang dapat mengelupas dan digantikan oleh sel-sel
baru. Lapisan spinosum berfungsi menahan gesekan dari luar. Lapisan granulosum
mengandung sel-sel yang aktif membelah diri, mengantikan lapisan sel-sel pada
lapisan korneum. Lapisan Malpighi mengandung pigmen melanin yang memberi
4

warna pada kulit. Lapisan dermis adalah lapisan dibawah epidermis yang jauh lebih
tebal daripada dermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastik dan fibrosa padat dengan
elemen-elemen selular dan folikel rambut.3

Pada suhu lingkungan tinggi (panas), kelenjar keringat menjadi aktif dan
pembuluh kapiler di kulit melebar. Melebarnya pembuluh kapiler akan memudahkan
proses pembuangan air dan sisa metabolisme. Aktifnya kelenjar keringat
mengakibatkan keluarnya keringat ke permukaan kulit dengan cara penguapan.
Penguapan mengakibatkan suhu di permukaan kulit turun sehingga kita tidak
merasakan panas lagi. Sebaliknya, saat suhu lingkungan rendah, kelenjar keringat
tidak aktif dan pembuluh kapiler di kulit menyempit. Pada keadaan ini darah tidak
membuang sisa metabolisme dan air, akibatnya penguapan sangat berkurang,
sehingga suhu tubuh tetap dan tubuh tidak mengalami kendinginan.3

Gambar 1. Anatomi kulit

2.3 Etiologi
Penyebab luka bakar berdasarkan penyebabnya, dibedakan menjadi trauma
termal, trauma listrik, trauma petir, trauma benda kimia, trauma radiasi, dan trauma
suhu sangat rendah. Trauma termal merupakan penyebab paling sering dari sumber
5

panas kepada tubuh (lidah api, permukaan yang panas, logam yang panas, dan
lelehan-lelehan yang panas. Suhu tinggi dapat menyebabkan terjadinya heat
exhaustion primer. Temperatur kulit yang tinggi dan pelepasan panas yang rendah
menimbulkan kolaps pada seseorang karena ketidakseimbangan antara darah sirkulasi
dengan lumen pembuluh darah. Hal ini sering terjadi pada paparan panas, aktivitas
berlebihan dan pakaian yang terlalu tebal. Heat exhaustion sekunder terjadi akibat
dehidrasi. Heat stroke terjadi akibat kegagalan kerja pusat pengatur suhu karena
temperatur pusat tubuh terlalu tinggi. Kekerasan oleh benda bersuhu tinggi akan
dapat menimbulkan luka bakar yang cirinya amat tergantung dari jenis
bendanya, ketinggian suhunya serta lamanya kontak dengan kulit. Api, benda
padat panas atau membara dapat mengakibatkan luka bakar derajat I, II, III, atau IV.
Zat cair panas dapat mengakibatkan luka bakar tingkat I, II, atau III. Gas panas dapat
mengakibatkan luka bakar tingkat I, II, III, atau IV.4,2
Kekerasan oleh hawa bersuhu dingin biasanya dialami oleh bagian tubuh
yang terbuka; seperti misalnya tangan, kaki, telinga atau hidung. Mula-mula
pada daerah tersebut akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah superfisial sehingga
terlihat pucat. Selanjutnya akan terjadi paralise dari vasomotor kontrol yang
mengakibatkan daerah tersebut menjadi kemerahan. Pada keadaan yang berat dapat
terjadi gangren.4
Sengatan oleh benda bermuatan listrik dapat menimbulkan luka bakar sebagai
akibat berubahnya energi listrik menjadi panas. Besarnya pengaruh listrik pada
jaringan tubuh tersebut tergantung dari besarnya tegangan (voltase), kuatnya arus
(amper), besarnya tahanan (keadaan kulit kering atau basah), lamanya kontak serta
luasnya daerah terkena kontak. Bentuk luka pada daerah kontak (tempat
masuknya arus) berupa kerusakan lapisan kulit dengan tepi agak menonjol dan di
sekitarnya terdapat daerah pucat, dikelilingi daerah hyperemis. Sering ditemukan
adanya metalisasi. Pada tempat keluarnya arus dari tubuh juga sering ditemukan luka.
Bahkan kadang-kadang bagian dari baju atau sepatu yang dilalui oleh arus listrik
ketika meninggalkan tubuh juga ikut terbakar. Tegangan arus kurang dari 65
6

volt biasanya tidak membahayakan, tetapi tegangan antara 65-1000 volt dapat
mematikan. Sedangkan kuat arus (amper) yang dapat mematikan adalah 100 mA.
Kematian tersebut terjadi akibat fibrilasi ventrikel, kelumpuhan otot pernafasan atau
pusat pernafasan. Sedangkan faktor yang sering mempengaruhi kefatalan adalah
kesadaran seseorang akan adanya arus listrik pada benda yang dipegangnya. Bagi
orang-orang tidak menyadari adanya arus listrik pada benda yang dipegangnya
biasanya pengaruhnya lebih berat dibanding orang-orang yang pekerjaannya setiap
hari berhubungan dengan listrik.4
Petir terjadi karena adanya loncatan arus listrik di awan yang
tegangannya dapat mencapai 10 mega volt dengan kuat arus sekitar 100.000 A
ke tanah. Luka-luka karena sambaran petir pada dasarnya merupakan luka-luka
gabungan akibat listrik, panas dan ledakan udara. Luka akibat panas berupa luka
bakar dan luka akibat ledakan udara berupa luka-luka yang mirip dengan luka
akibat persentuhan dengan benda tumpul. Dapat terjadi kematian akibat efek arus
listrik yang melumpuhkan susunan saraf pusat, menyebabkan fibrilasi ventrikel.
Kematian juga dapat terjadi karena efek ledakan ataun efek dari gas panas
yang ditimbulkannya. Pada korban mati sering ditemukan adanyaarborescentmark
(percabangan pembuluh darah terlihat seperti percabangan pohon), metalisasi benda-
benda dari logamyang dipakai. Pakaian korban terbakar atau robek-robek.4
Zat-zat kimia korosif dapat menimbulkan luka-luka apabila mengenai tubuh
manusia. Ciri-ciri lukanya amat tergantung dari golongan zat kimia tersebut, yaitu
dibagi menjadi bahan kimia golongan asam dan bahan kimia golongan basa.
Termasuk zat kimia korosif golongan asam antara lain: asam mineral, yaitu: H2SO4,
HCL, NO3;asam organik, yaitu: asam oksalat, asam formiat dan asam asetat; garam
mineral, yaitu: AgNO3, dan zinc chlorida;halogen, yaitu: F, Cl, Ba dan J. Cara kerja
zat kimia korosif dari golongan ini sehingga mengakibatkan luka ialah mengekstraksi
air dari jaringan, mengkoagulasi protein menjadsi albuminat, dan mengubah
hemoglobin menjadi acid hematin. Ciri-ciri dari luka yang terjadi akibat zat-zat asam
korosif adalah luka terlihat kering, berwarna coklat kehitaman, kecuali yang
7

disebabkan oleh nitric acid berwarna kuning kehijauan, perabaan keras dan kasar.
Zat-zat kimia korosif yang termasuk golongan basa antara lain KOH, NaOH, dan
NH4OH. Cara kerja dari zat-zat tersebut sehingga menimbulkan luka ialah
mengadakan ikatan dengan protoplasma sehingga membentuk alkaline albumin dan
sabun, dan mengubah hemoglobin menjadi alkaline hematin. Ciri-ciri luka yang
terjadi sebagai akibat persentuhan dengan zat-zat ini adalah luka terlihat basah dan
edematous, berwarna merah kecoklatan, dan perabaan lunak dan licin.4,

2.4 Klasifikasi Luka Bakar


Derajat keparahan luka bakar ditentukan berdasarkan etiologi, kedalaman dan
luas luka.5

1. Luka Bakar Berdasarkan Etiologi


Berdasarkan etiologinya dapat dibagi menjadi 3, yaitu termal, luka bakar listrik,
dan luka bakar kimiawi.
a. Termal Luka bakar akibat panas, umumnya terjadi akibat meningkatnya suhu
yang mengakibatkan kematian sel. Pada keadaan ini dapat menyebabkan luka
lepuh akibat terpapar zat panas.
b. Luka bakar listrik
Luka bakar listrik umumnya terjadi akibat aliran listrik yang menjalar ke
tubuh.
c. Luka bakar kimiawi
Luka bakar ini terjadi akibat paparan zat yang bersifat asam maupun basa.
Karakteristik keduanya memiliki perbedaan dalam hal kedalaman luka bakar
yang terjadi. Luka bakar akibat paparan zat yang bersifat basa umumnya
mengakibatkan luka yang lebih dalam dibandingkan akibat zat asam. Hal ini
disebabkan zat basa akan menyatu dengan jaringan lemak di kulit sehingga
menyebabkan kerusakan jaringan yang lebih progresif, sedangkan luka bakar
akibat asam akan menyebabkan koagulasi protein.5
8

2. Luka Bakar Berdasarkan Kedalaman


Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tingginya suhu yang menyebabkan
cedera, lamanya paparan dan ketebalan kulit. Berdasarkan dalamnya jaringan yang
rusak akibat luka bakar tersebut, luka bakar dapat diklasifikasikan menjadi derajat I,
II, III dan IV.7 Pada luka bakar derajat 1 (superficial burn), kerusakan hanya terjadi
di permukaan kulit. Kulit akan tampak kemerahan, tidak ada bulla, sedikit oedem dan
nyeri, dan tidak akan menimbulkan jaringan parut setelah sembuh. Luka bakar derajat
2 (partial thickness burn) mengenai sebagian dari ketebalan kulit yang melibatkan
semua epidermis dan sebagian dermis.
Pada kulit akan ada bulla, sedikit oedem, dan nyeri berat. Pada luka bakar
derajat 3 (fullthickness burn), kerusakan terjadi pada semua lapisan kulit dan ada
nekrosis. Lesi tampak putih dan kulit kehilangan sensasi rasa, dan akan menimbulkan
jaringan parut setelah luka sembuh. Luka bakar derajat 4 disebut charring injury.
Pada luka bakar ini kulit tampak hitam seperti arang karena terbakarnya jaringan.
Terjadi kerusakan seluruh kulit dan jaringan subkutan begitu juga pada tulang akan
gosong.2

Gambar 2. Klasifikasi Luka Bakar Berdasarkan Kedalamannya.4


9

3. Luka Bakar Berdasarkan Luas


Penilaian luasnya luka bakar memilki peranan yang sangat penting dalam
menentukan luasnya luka bakar yang terjadi yang berpengaruh terhadap banyaknya
terapi cairan yang diberikan. Luas luka bakar ditentukan berdasarkan total body
surface area (TBSA). Metode yang seringkali dipakai untuk menentukan luas luka
bakar adalah mengacu pada rule of nine untuk dewasa. Sedangkan pada anak
digunakan lund browder chart.Perhitungan luas luka bakar berdasarkan Rule Of
Nine oleh Polaski dan Tennison dari WALLACE adalah sebagai berikut:6
1. Kepala dan leher : 9%
2. Ekstremitas atas : 2 x 9% (kiri dan kanan)
3. Paha dan betis-kaki : 4 x 9% (kiri dan kanan)
4. Dada, perut, punggung, bokong : 4 x 9%
5. Perineum dan genitalia : 1%

Gambar 2.Penilaian Luas Luka Bakar.4

Gambar 3. Penentuan Lokasi Luka Bakar


10

Selain dari kedua metode tersebut di atas, dapat juga digunakan cara lainnya
yaitu mengunakan metode hand palm. Metode ini adalah cara menentukan luas atau
persentasi luka bakar dengan menggunakan telapak tangan. Satu telapak tangan
mewakili 1 % dari permukaan tubuh yang mengalami luka bakar.3,4

Kriteria berat ringannya luka bakar menurut American Burn Association


ialah:3,4,5
1. Luka bakar ringan
a. Luka bakar derajat II < 15% pada orang dewasa
b. Luka bakar derajat II < 10% pada anak-anak
c. Luka bakar derajat III < 2%

2. Luka bakar sedang


a. Luka bakar derajat II 15% 25% pada orang dewasa
b. Luka bakar derajat II 10% 20% pada anak-anak
c. Luka bakar derajat III < 10%

3. Luka bakar berat


a. Luka bakar derajat II 25% atau lebih pada orang dewasa
b. Luka bakar derajat II 20% atau lebih pada anak-anak
c. Luka bakar derajat III 10% atau lebih
d. Luka bakar mengenai wajah, telinga, mata, dan genitalia/perineum
e. Luka bakar dengan cedera inhalasi, listrik, disertai trauma lain

Penilaian Derajat Luka Bakar


1. Luka bakar grade I
a. Disebut juga luka bakar superficial
b. Mengenai lapisan luar epidermis, tetapi tidak sampai mengenai daerah dermis.
Sering disebut sebagai epidermal burn
11

c. Kulit tampak kemerahan, sedikit oedem, dan terasa nyeri.


d. Pada hari ke empat akan terjadi deskuamasi epitel (peeling).

2. Luka bakar grade II.


a. Superficial partial thickness:
Luka bakar meliputi epidermis dan lapisan atas dari dermis
Kulit tampak kemerahan, oedem dan rasa nyeri lebih berat daripada luka
bakar grade I
Ditandai dengan bula yang muncul beberapa jam setelah terkena luka
Bila bula disingkirkan akan terlihat luka bewarna merah muda yang basah
Luka sangat sensitive dan akan menjadi lebih pucat bilaterkena tekanan
Akan sembuh dengan sendirinya dalam 3 minggu ( bila tidak terkena infeksi ),
tapi warna kulit tidak akan sama seperti sebelumnya.
b. Deep partial thickness
Luka bakar meliputi epidermis dan lapisan dalam dari dermis
disertai juga dengan bula.
permukaan luka berbecak merah muda dan putih karena variasi dari
vaskularisasi pembuluh darah( bagian yang putih punya hanya sedikit
pembuluh darah dan yang merah muda mempunyai beberapa aliran darah.
luka akan sembuh dalam 3-9 minggu.

3. Luka bakar grade III


a. Menyebabkan kerusakan jaringan yang permanen
b. Rasa sakit kadang tidak terlalu terasa karena ujung -ujung saraf dan pembuluh
darah sudah hancur.
c. Luka bakar meliputi kulit, lemak subkutis sampai mengenai otot dan tulang
4. Luka Bakar grade IV
d. Berwarna hitam.11
12

2.5 Patofisiologi Luka Bakar


Luka bakar disebabkan oleh peralihan energi dari suatu sumber panas kepada
tubuh dan panas dapat dipindahkan melalui hantaran atau radiasi elektromagnetik.
Luka bakar pun menghasilkan respon bermacam respon meliputi: respon pada kulit,
respon sistemik, kardiovaskular, efek pada cairan elektrolit dan volume darah,
pulmoner, dan respon sistemik lainnya.5

Gambar 4. Patofisiologi luka bakar7


13

Perubahan patofisiologik yang terjadi pada kulit segera setelah luka bakar
tergantung pada luas dan ukuran luka bakar. Untuk luka bakar yang kecil (smaller
burns), respon tubuh bersifat lokal yaitu terbatas pada area yang mengalami injuri.
Sedangkan pada luka bakar yang lebih luas misalnya 25 % dari total permukaan
tubuh atau lebih besar, maka respon tubuh terhadap injuri dapat bersifat sistemik dan
sesuai dengan luasnya injuri.5,7
Perubahan patofisiologik yang disebabkan oleh luka bakar yang berat selama
awal periode syok luka bakar mencakup hipoperfusi jaringan dan hipofungsi organ
yang terjadi sekunder akibat penurunan curah jantung dengan diikuti oleh fase
hiperdinamik serta hipermetabolik. Insiden, intensitas dan durasi perubahan
patofisiologik pada luka bakar sebanding dengan luasnya luka bakar yang terlihat
pada seberapa luas permukaan tubuh yang terkena. Kejadian sistemik awal sesudah
luka bakar yang berat adalah ketidakstabilan hemodinamik akibat hilangnya integritas
kapiler dan kemudian terjadinya perpindahan cairan, natrium, serta protein dari ruang
intravaskular kedalam ruang interstisial.5
Segera setelah luka bakar, dilepaskan substansi vasoaktif (katekolamin,
histamin, serotonin, leukotrien, dan prostaglandin) dari jaringan yang mengalami
injuri. Substansi-substansi ini menyebabkan meningkatnya permeabilitas kapiler
sehingga plasma merembes kedalam sekitar jaringan. Injuri panas yang secara
langsung mengenai pembuluh akan lebih meningkatkan permeabilitas kapiler. Injuri
yang langsung mengenai membran sel menyebabkan sodium masuk dan potasium
keluar dari sel. Secara keseluruhan akan menimbulkan tingginya tekanan osmotik
yang menyebabkan meningkatnya cairan intraseluler dan interstitial dan yang dalam
keadaan lebih lanjut menyebabkan kekurangan volume cairan intravaskuler.
Luka bakar yang luas menyebabkan edema tubuh general baik pada area yang
mengalami luka maupun jaringan yang tidak mengalami luka bakar dan terjadi
penurunan sirkulasi volume darah intravaskuler. Denyut jantung meningkat sebagai
respon terhadap pelepasan katekolamin dan terjadinya hipovolemia relatif, yang
mengawali turunnya curah jantung. Kadar hematokrit meningkat yang menunjukan
14

hemokonsentrasi dari pengeluaran cairan intravaskuler. Disamping itu pengeluaran


cairan secara evaporasi melalui luka terjadi 4-20 kali lebih besar dari normal.
Sedangkan pengeluaran cairan yang normal pada orang dewasa dengan suhu tubuh
normal perhari adalah 350 ml. Keadaan ini dapat mengakibatkan penurunan pada
perfusi organ. Jika ruang intravaskuler tidak diisi kembali dengan cairan intravena
maka syok hipovolemik dan ancaman kematian bagi penderita luka bakar yang luas
dapat terjadi.8
Kurang lebih 18-36 jam setelah luka bakar, permeabilitas kapiler menurun,
tetapi tidak mencapai keadaan normal sampai 2 atau 3 minggu setelah injuri. Curah
jantung kembali normal dan kemudian meningkat untuk memenuhi kebutuhan
hipermetabolik tubuh kira-kira 24 jam setelah luka bakar. Perubahan pada curah
jantung ini terjadi sebelum kadar volume sirkulasi intravena kembali menjadi normal.
Pada awalnya terjadi kenaikan hematokrit yang kemudian menurun sampai di bawah
normal dalam 3-4 hari setelah luka bakar karena kehilangan sel darah merah dan
kerusakan yang terjadi pada waktu injuri. Tubuh kemudian mereabsorbsi cairan
edema dan diuresis cairan dalam 2-3 minggu berikutnya.9
Volume darah yang beredar akan menurun secara dramatis pada saat terjadi
syok luka bakar. Disamping itu, kehilangan cairan akibat evaporasi lewat luka bakar
dapat mencapai 3 sampai dengan 5 liter atau lebih selama periode 24 jam sebelum
permukaan kulit yang terbakar ditutup. Selama syok luka bakar, biasanya korban
mengalami hiponatremia, hiperkalemia, dan atau hipokalemia. Pada saat luka bakar,
sebagian besar sel darah merah dihancurkan dan sebagian yang lainnya mengalami
kerusakan sehingga terjadi anemia. Walaupun demikian, nilai hematokrit korban
dapat meninggi akibat kehilangan plasma.10
Pada korban yang mengalami luka bakar biasanya disertai dengan kerusakan
pulmoner, yang ditandai dengan cedera inhalasi, berikut adalah klasifikasinya: cedera
saluran napas atas, cedera inhalasi dibawah glotis, yang mencakup keracunan karbon
monoksida dan defek restriktif. Cedera saluran napas atas terjadi akibat panas
langsung atau edema, bentuknya obstruksi-mekanis saluran atas yang menyerang
15

faring dan laring. Cedera inhalasi dibawah glotis terjadi akibat menghirup produk
pembakaran yang tidak sempurna atau gas berbahaya, cedera ini menyebabkan
hilangnya fungsi silia, hipersekresi, edema mukosa yang berat, dan kemungkinan
bronkospasme. Keracunan karbon monoksida akan mengakibatkan seseorang tidak
mampu memenuhi kebutuhan oksigen yang adekuat kepada jaringan, hal ini karena
afinitas hemoglobin terhadap karbon monoksida 200 kali lebih besar daripada
afinitasnya terhadap oksigen. Sedangkan defek restriktif terjadi jika timbul edema
dibawah luka bakar full thickness yang melingkar pada leher dan toraks.7
Fungsi sistem imun mengalami depresi. Depresi pada aktivitas limfosit, suatu
penurunan dalam produksi immunoglobulin, supresi aktivitas komplemen dan
perubahan/gangguan pada fungsi neutrofil dan makrofag dapat terjadi pada korban
yang mengalami luka bakar yang luas. Perubahan-perubahan ini meningkatkan resiko
terjadinya infeksi dan sepsis yang mengancam kelangsungan hidup korban.10
Fungsi renal dapat berubah sebagai akibat dari berkurangnya volume darah,
destruksi sel-sel darah merah pada lokasi cedera akan menghasilkan hemoglobin
bebas dalam urin. Jika terjadi kerusakan di otot (akibat luka bakar listrik), myoglobin
akan dilepaskan dari sel-sel otot dan diekskresikan melalui ginjal, bila aliran darah
yang melewati tubulus renal tidak cukup maka hemoglobin dan myoglobin akan
menyumbatnya sehingga timbul komplikasi nekrosis akut tubuler dan gagal ginjal.
Pertahanan imunologik tubuh sangat berubah akibat luka bakar, kehilangan integritas
kulit diperparah lagi dengan pelepasan faktor-faktor inflamasi yang abnormal, hal ini
membuat seseorang yang menderita luka bakar berisiko tinggi mengalami sepsis.10
Selain itu, hilangnya kulit juga menyebabkan ketidakmampuan tubuh untuk
mengatur suhu, sehingga seorang yang menderita luka bakar dapat memperlihatkan
suhu tubuh yang rendah dalam beberapa jam pertama pasca-luka bakar, namun
kemudian akan mengalami hipertermia sekalipun tidak disertai infeksi karena
hipermetabolisme menyetel kembali suhu tubuh inti. Ada dua komplikasi
gastrointestinal yang potensial yaitu: ileus paralitik (tidak adanya peristalsis usus) dan
16

ulkus curling, berkurangnya peristalsis dan bising usus merupakan manifestasi ileus
paralitik yang terjadi akibat luka bakar.10

2.6 Penyebab Kematian Akibat Luka Bakar (Manner of Death)


Kematian akibat luka bakar dapat bersifat segera (immediate) atau tertunda
(delayed). Kematian segera artinya kematian yang langsung terjadi akibat paparan
panas mengenai tubuh, misalnya tubuh yang terbakar atau terkena cedera inhalasi.
Sedangkan kematian yang tertunda adalah kematian yang terjadi dalam 1 atau 4 hari
akibat syok, kehilangan cairan berlebih, lower nephron nephrosis, pulmonary edema,
pneumonia, atau akibat infeksi dan kegagalan respirasi akut lainnya.2,6

a. Keracunan Zat Karbon Monoksida


Kebanyakan kematian pada luka bakar biasanya terjadi pada kebakaran yang
hebat yang terjadi pada gedung-gedung atau rumah-rumah bila dibandingkan
dengan kebakaran yang terjadi pada kecelakaan pesawat terbang atau mobil. Pada
kasus-kasus kebakaran yang terjadi secara bertahap maka CO poisoning dan smoke
inhalation lebih sering bertanggung jawab dalam penyebab kematian korban
dibanding dengan luka bakar itu sendiri. CO poisoning merupakan aspek yang
penting dari penyebab kematian pada luka bakar, biasanya korban menjadi tidak
sadar dan meninggal sebelum api membakarnya, ini dapat menjawab pertanyaan
mengapa korban tidak melarikan diri pada waktu terjadi kebakaran. Sehingga
dalam menentukan penyebab dari kematian, maka luas dan derajat luka bakar serta
saturasi darah yang mengandung CO harus dinilai secara hatihati. Gas CO ini
dibentuk dari pembakaran yang tidak sempurna misalnya kayu yang terbakar,
kertas, kain katun, batu bara yang terbakar akan menghasilkan gas CO. CO dalam
darah merupakan indikator yang paling berharga yang dapat menunjukkan bahwa
korban masih hidup pada waktu terjadi kebakaran. Oleh karena gas ini hanya dapat
masuk melalui absorbsi pada paru-paru.
17

Pada perokok dapat dijumpai saturasi CO dalam darah hanya lebih dari 5%,
dan ini dapat menunjukan bahwa korban masih bernafas pada waktu terjadinya
kabakaran, demikian juga pada korban atherosclerosis coroner yang berat dapat
meninggal dengan kadar COHB yang lebih rendah dari pada individu yang sehat.
Bila CO merupakan penyebab mati yang utama maka saturasi dalam darah paling
sedikitnya dibutuhkan 40% COHB, kecuali pada orang tua, anak-anak dan
debilitas dimana pernah dilaporkan mati dengan kadar 25 %. Sebenarnya kadar
COHB pada korban yang sekarat selama kebakaran, sering tidak cukup tinggi
untuk menyebabkan kematian. Banyak kasus-kasus fatal menunjukan saturasi 50-
60 %, walaupun kadarnya secara umum kurang dari kadar yang terdapat dalam
darah pada keracunan CO murni, seperti pembunuhan dengan gas mobil atau
industrial exposure, dimana konsentrasinya dapat mencapai 80 %. Selain itu
adanya gas-gas toksik dan pengurangan oksigen dalam atmosfer dapat
menyebabkan kematian dengan kadar CO yang rendah.2
b. Menghirup asap pembakaran (Smoke Inhalation)
Pada banyak kasus kematian, dimana cedera panas pada badan tidak sesuai
dengan penyebab kematian maka dikatakan penyebab kematian adalah smoke
inhalation. Asap yang berasal dari kebakaran terutama alat-alat rumah tangga
seperti furniture, cat , kayu, pernis, karpet dan komponen-komponen yang secara
struktural terdiri polystyrene, polyurethane, polyvinyl dan material-material plastik
lainnya dikatakan merupakan gas yang sangat toksik bila dihisap dan potensial
dalam menyebabkan kematian.2
c. Trauma Mekanik
Kematian oleh karena trauma mekanik biasanya disebabkan karena runtuhnya
bangunan disekitar korban, atau merupakan bukti bahwa korban mencoba untuk
melarikan diri seperti memecahkan kaca jendela dengan tangan. Luka-luka ini
harus dicari pada waktu melakukan pemeriksaan luar jenasah untuk memastikan
apakah luka-luka tersebut signifikan dalam menyebabkan kematian. Trauma
18

tumpul yang mematikan tanpa keterangan antemortem sebaiknya harus dicurigai


sebagai suatu pembunuhan.6
d. Anoksia dan hipoksia
Kekurangan oksigen dengan akibat hipoksia dan anoksia sangat jarang sebagai
penyebab kematian. Bila oksigen masih cukup untuk menyalakan api maka masih
cukup untuk mempertahankan kehidupan. Sebagai contoh tikus dan lilin yang
diletakkan dalam tabung yang terbatas kadar oksigennya ternyata walaupun lilin
padam lebih dahulu tikus masih aktif berlari disekitarnya. Radikal bebeas dapat
diajukan sebagai salah satu kemungkinan dari penyebab kematian, oleh karena
radikal bebas ini dapat menyebabkan surfaktan menjadi inaktif, jadi mencegah
pertukaran oksigen dari alveoli masuk kedalam darah.2
e. Luka bakar itu sendiri
Secara umum dapat dikatakan bahwa luka bakar seluas 30 50 % dapat
menyebabkan kematian. Pada orang tua dapat meninggal dengan presentasi yang
jauh lebih rendah dari ini, sedangkan pada anak-anak biasanya lebih
resisten. Selain oleh derajat dan luas luka bakar prognosis juga dipengaruhi oleh
lokasi daerah yang terbakar, keadaan kesehatan korban pada waktu terbakar. Luka
bakar pada daerah perineum, ketiak, leher, dan tangan dikatakan sulit dalam
perawatannya, oleh karena mudah mengalami kontraktur.6
f. Paparan panas yang berlebih
hypertermia dapat menjadi sangat fatal dan bisa menyebabkan kematian. Bila
tubuh terpapar gas panas, air panas atau ledakan panas dapat menyebabkan syok
yang disertai kolaps kardiovaskuler yang mematikan.6

2.7 Keadaan Umum yang Ditemukan pada Mayat dengan Luka Bakar
Pada kebakaran yang hebat, apakah di dalam gedung atau yang terjadi pada
kecelakaan mobil yang terbakar, sering terlihat bahwa keadaan tubuh korban yang
terbakar sering tidak mencerminkan kondisi saat matinya. Berikut keadaan umum
yang ditemukan pada mayat dengan luka bakar.6
19

a. Skin split
Kontraksi dari jaringan ikat yang terbakar menyebabkan terbelahnya kulit dari
epidermis dan korium yang sering menyebabkan artefak yang menyerupai luka
sayat dan sering disalah artikan sebagai kekerasan tajam. Artefak postmortem ini
dapat mudah dibedakan dengan kekerasan tajam antemortem oleh karena tidak
adanya perdarahan dan lokasinya yang bervariasi disembarang tempat. Kadang-
kadang dapat terlihat pembuluh darah yang intak yang menyilang pada kulit yang
terbelah.6
b. Abdominal wall destruction
Kebakaran parsial dari dinding abdomen bagian depan akan menyebabkan
keluarnya sebagian dari jaringan usus melalui defek yang terjadi ini. Biasanya ini
terjadi tanpa perdarahan, apakah perdarahan yang terletak diluar atau didalam
rongga abdomen.6
c. Skull fractures
Bila kepala terpapar cukup lama dengan panas dapat menyebabkan
pembentukan uap didalam rongga kepala yang lama kelamaan akan
mengakibatkan kenaikan tekanan intrakranial yang dapat menyebabkan
terpisahnya sutura-sutura dari tulang tengkorak. Pada luka bakar yang hebat dan
kepala sudah menjadi arang atau hangus terbakar dapat terlihat artefak fraktur
tulang tengkorak yang berupa fraktur linear. Disini tidak penah diikuti oleh
kontusio serebri, subdural atau subarachnoid.6
d. Pseudo epidural hemorrhage
Keadaan umum yang biasanya terdapat pada korban yang hangus terbakar dan
kepala yang sudah menjadi arang adalah pseudo epidural hemorrhage atau
epidural hematom postmortem. Untuk membedakan dengan epidural hematom
antemortem tidak sulit oleh karena pseudo epidural hematom biasanya berwarna
coklat, mempunyai bentukan seperti honey comb appearance, rapuh tipis dan
secara tipikal terletak pada daerah frontal, parietal, temporal dan beberapa kasus
dapat meluas sampai ke oksipital.6
20

e. Non-cranial fractures
Artefak berupa fraktur pada tulang-tulang ekstremitas juga sering ditemukan
pada korban yang mengalami karbonisasi oleh karena tereksposure terlalu lama
dengan api dan asap. Tulangtulang yangterbakar mempunyai warna abu-abu
keputihan dan sering menunjukan fraktur kortikal pada permukaannya. Tulang ini
biasanya hancur bila dipegang sehingga memudahkan trauma postmortem pada
waktu transportasi ke kamar mayatatau selama usaha memadamkan api. Mayat
sering dibawa tanpa tangan dan kaki, dan mereka sudah tidak dikenali lagi di TKP
karena sudah mengalami fragmentasi.6
f. Pugilistic Posture.
Pada mayat yang hangus terbakar, tubuh akan mengambil posisi pugilistic.
Koagulasi dari otot-otot oleh karena panas akan menyebabkan kontraksi serabut
otot otot fleksor dan mengakibatkan ekstremitas atas mengambil sikap seperti
posisi seorang boxer dengan tangan terangkat didepannya, paha dan lutut yang
juga fleksi sebagian atau seluruhnya. Posisi pugilistic ini tidak berhubungan
apakah individu itu terbakar pada waktu hidup atau sesudah kematian. pugilistic
attitude atau heat rigor ini akan hilang bersama dengan timbulnya pembusukan.6

2.8 Identifikasi Korban Luka Bakar


Proses identifikasi korban dapat segera ditegakkan melalui identifikasi
personal, fotografi, atau fingerprintsbila tidak terdapat kerusakan yang berat dari luka
bakar. Akan tetapi bila tubuh sudah hangus terbakar seperti arang dan terjadi mutilasi
pada kepala atau ekstremitas sehingga tidak didapatkan lagi sidik jarinya maka
metode lain harus digunakan.5
Metode yang terbanyak dan paling dipercaya adalah dental identification
karena gigi relatif tahan terhadap api. Metode lain yang dapat dipercaya tetapi kurang
umum penggunaannya adalah membandingkan x-ray yang diambil antemortem dan
postmortem dari korban. Bila identifikasi tidak dapat dilakukan melalui finger prints,
dental charts, dental x-rays atau antemortem x-ray maka hanya cara yang dapat
21

digunakan dalam menegakan identifikasi yaitu melalui pemeriksaan DNA.


Disamping itu, kelengkapan data-data pembanding seperti karakter fisik, luka-luka
lama atau bekas operasi dan tato tetap harus dilakukan dalam mengidentifikasi
jenazah.5

2.9 Penentuan Intravitalitas Luka Bakar


Faktor yang tidak kalah penting dalam patologi forensik adalah bagaimana cara
membedakan apakah korban mati sebelum atau sesudah kebakaran.1
a. Jelaga dalam saluran nafas.
Pada kebakaran rumah atau gedung dimana rumah atau gedung beserta
isi perabotannya juga terbakar seperti bahan-bahan yang terbuat dari kayu,
plastik akan menghasilkan asap yang berwarna hitam dalam jumlah yang
banyak. Akibat dari inhalasi ini korban akan menghirup partikel karbon dalam
asap yang berwarna hitam. Sebagai tanda dari inhalasi aktif antemortem,
maka partikel-partikel jelaga ini dapat masuk kedalam saluran nafas melalui
mulut yang terbuka, mewarnai lidah, dan faring, glottis, vocal cord, trachea
bahkan bronchiolus terminalis. Sehingga, secara histologi ditemukan jelaga
yang terletak pada bronchiolus terminalis merupakan bukti yang absolut dari
fungsi respirasi. Sering pula dijumpai adanya jelaga dalam mukosa lambung,
ini juga merupakan bukti bahwa korban masih hidup pada wakrtu terdapat
asap pada peristiwa kebakaran. Karbon ini biasanya bercampur dengan mukus
yang melekat pada trachea dan dinding bronkus oleh karena iritasi panas pada
mukosa. Ditekankan sekali lagi bahwa ini lebih nyata bila kebakaran terjadi
didalam gedung dari pada di dalam rumah.1
b. Saturasi COHB dalam darah.
CO dalam darah merupakan indikator yang paling berharga yang dapat
menunjukkan bahwa korban masih hidup pada waktu terjadi kebakaran. Oleh
karena gas ini hanya dapat masuk melalui absorbsi pada paru-paru. Akan
tetapi bila pada darah korban tidak ditemukan adanya saturasi COHB maka
22

tidak berarti korban mati sebelum terjadi kebakaran. Pada nyala api yang
terjadi secara cepat, terutama kerosene dan benzene, maka level
karbonmonoksida lebih rendah atau bahkan negative dari pada kebakaran
yang terjadi secara perlahan-lahan dengan akses oksigen yang terbatas seperti
pada kebakaran gedung.1
Satu lagi yang harus disadari bahwa kadar saturasi CO dalam darah
tergantung beberapa faktor termasuk konsentrasi CO yang terinhalasi dari
udara, lamanya eksposure, rata-rata dan kedalaman respiration rate dan
kandungan Hb dalam darah. Kondisi-kondisi ini akan mempengaruhi
peningkatan atau penurunan rata-rata absorbsi CO. sebagai contoh api
yangmenyala dalam ruangan tertutup, akumulasi CO dalam udara akan cepat
meningkat sampai konsentrasi yang tinggi, sehingga diharapkan absorbsi CO
dari korban akan meningkan secara bermakna. 1,3
Pada otopsi biasanya relatif mudah untuk menentukan korban yang
meninggal pada keracuan CO dengan melihat warna lebam mayat yang
berupa cherry red pada kulit, otot, darah dan organ-organ interna, akan tetapi
pada orang yang anemik atau mempunyai kelainan darah warna cherry red ini
menjadi sulit dikenali. Warna cherry red ini juga dapat disebabkan oleh
keracuan sianida atau bila tubuh terpapar pada suhu dingin untuk waktu yang
lama. 1,3
c. Reaksi jaringan.
Tidak mudah untuk membedakan luka bakar yang akut yang terjadi
antemortem dan postmortem. Pemeriksaan mikroskopik luka bakar tidak
banyak menolong kecuali bila korban dapat bertahan hidup cukup lama
sampai terjadi respon respon radang. Kurangnya respon tidak merupakan
indikasi bahwa luka bakar terjadi postmortem. Pemeriksaan slide secara
mikroskopis dari korban luka bakar derajat tiga yang meninggal tiga hari
kemudian tidak ditemukan reaksi radang, ini diperkirakan oleh karena panas
menyebabkan trombosis dari pembuluh darah pada lapisan dermis sehinggga
23

sel-sel radang tidak dapat mencapai area luka bakar dan tidak menyebabkan
reaksi radang.
Blister juga bukan merupakan indikasi bahwa korban masih hidup
pada waktu terjadi kebakaran, oleh karena blister ini dapat terjadi secara
postmortem. Blister yang terjadi postmortem berwarna kuning pucat, kecuali
pada kulit yang hangus terbakar. Agak jarang dengan dasar merah atau areola
yang erythematous, walaupun ini bukan merupakan tanda pasti. Secara
tradisionil banyak penulis mengatakan bahwa untuk dapat membedakan
blister yang terjadi antemortem dengan blister yang terjadi postmortem adalah
dengan menganalisa protein dan chlorida dari cairan itu. Blister yang dibentuk
pada antemortem dikatakan mengandung lebih banyak protein dan chloride,
tetapi inipun tidak merupakan angka yang absolut.1
d. Pendarahan subendokardial ventrikel kiri jantung.
Perdarahan subendokardial pada ventrikel kiri dapat terjadi oleh
karena efek panas. Akan tetapi perdarahan ini bukan sesuatu yang spesifik
karena dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme kematian. Pada korban
kebakaran perdarahan ini merupakan indikasi bahwa sirkulasi aktif sedang
berjalan ketika tereksposure oleh panas tinggi yang tidak dapat ditolerasi oleh
tubuh dan ini merupakan bukti bahwa korban masih hidup saat terjadi
kebakaran.1
24

BAB III
KESIMPULAN

Luka bakar merupakan kerusakan atau kehilangan jaringan yang diakibatkan


oleh kontak dengan panas kering (api), panas lembab (uap dan cairan panas), kimiawi
(bahan-bahan korosif), barang-barang elektrik (aliran listrik atau lampu), friksi atau
energi. Luka bakar adalah luka yang terjadi bila sumber panas bersentuhan dengan
tubuh atau jaringan dan besarnya luka ditentukan oleh tingkat suhu dan durasi kontak.
Penyebab kematian yang paling sering yaitu oleh karena keracunan zat karbon
monoksida, menghirup asap pembakaran (smoke inhalation), trauma mekanik,
anoksia dan hipoksia, luka bakar itu sendiri dan paparan panas yang berlebih.
Keadaan umum yang paling sering ditemukan pada mayat luka bakar yaitu
skin spli, abdominal wall destruction, skull fracture, pseudo epidural
hemorrhage, non-cranial fractures dan pugilistic posture.
25

DAFTAR PUSTAKA

1. DiMaio J, DiMaio D. 2001. Fire Deaths. In: DiMaio J, DiMaio D (eds).


Forensic Pathology. 2nd ed. New York: CRC press LLC; p. 1-21
2. Basebeth Keren DR.SPF.DFM. Kematian Karena Luka Bakar. Available at:
http://deathduetofire.blogspot.com. Acceseed at January 11, 2011.
3. Dix J. 2000. Thermal Injuries. In: Dix J (ed). Color Atlas of Forensic
Pathology. New York: CRC Press LLC;2000. P. 116-124
4. Moenadjat, Yefta. 2003. Luka Bakar: Pengetahuan Klinis Praktis. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
5. Budiyanto A, et all. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: SMF Forensik
Fakultas Kedokteran universitas Indonesia.
6. Idris, A.M. 1997. Luka Bakar dalam Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi
pertama,Jakarta: PT Binarupa Aksara.
7. Deirdre, C., Elsayed, S., Reid, O., Winston, B., Lindsay, R. 2006. Burn Wound
Infection.Clin Microbiol Rev; 19(2): 403434.
8. Puteri AM, Sukasah CL. 2009. Presentasi Kasus: Luka Bakar. Jakarta:
DepartemenBedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
9. Riasa, I. N. P. Memahami Luka Bakar. (diakses tanggal 29 April 2011).
Diunduh dari: http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0306/14/ilpeng/368438.htm.
10. James A.B. 1990. Medical Science of Burning, First Edition. Australia:
MelbourneUniversity Pres
11. Wim de Jong. 2005. Bab 3 : Luka, Luka Bakar : Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi
2. EGC. Jakarta. p 66-88

Anda mungkin juga menyukai