BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Luka bakar merupakan masalah kesehatan masyarakat global. Hal ini disebabkan
karena tingginya angka mortalitas dan morbiditas luka bakar, khususnya pada negara
dengan pendapatan rendah-menengah, dimana lebih dari 95% angka kejadian luka
bakar menyebabkan kematian (mortalitas). Bagaimanapun juga, kematian bukanlah
satu-satunya akibat dari luka bakar. Banyak penderita luka bakar yang akhirnya
mengalami kecacatan (morbiditas), hal ini tak jarang menimbulkan stigma dan
penolakan masyarakat.1
Di Indonesia, prevalensi luka bakar pada tahun 2013 adalah sebesar 0.7% dan
telah mengalami penurunan sebesar 1.5% dibandingkan pada tahun 2008 (2.2%).
Provinsi dengan prevalensi tertinggi adalah Papua (2.0%) dan Bangka Belitung
(1.4%) (Depkes, 2013). Berdasarkan data rekam medis RSUP Haji Adam Malik
2
Medan, terdapat 353 kasus luka bakar pada tahun 2011-2014 dengan penyebab
terbanyak adalah flame burn injury(174 kasus, 50,4%).2
Luka bakar merupakan respon kulit dan jaringan subkutan terhadap paparan
yang berasal dari sumber panas, listrik, zat kimia, dan radiasi. Hal ini akan
menimbulkan gejala berupa nyeri, pembengkakan, dan terbentuknya lepuhan (Grace
dan Borley, 2006). Semua luka bakar (kecuali luka bakar ringan atau luka bakar
derajat I) dapat menimbulkan komplikasi berupa shock, dehidrasi dan
ketidakseimbangan elektrolit, infeksi sekunder, dan lain-lain.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari
lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 1,5 m2 dengan berat kira kira
15% berat badan. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital yang merupakan
cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat komplek, elastic dan sensitive,
bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras dan juga bergantung pada luas tubuh.3
Kulit secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga lapisan utama yaitu lapisan
epidermis atau kutikel, lapisan dermis dan lapisan subkutis. Tidak ada garis tega yang
memisahkan dermis dan subkutis, subkutis ditandai dengan adanya jaringan ikat
longgar dan adanya sel dan jaringan lemak. 3
warna pada kulit. Lapisan dermis adalah lapisan dibawah epidermis yang jauh lebih
tebal daripada dermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastik dan fibrosa padat dengan
elemen-elemen selular dan folikel rambut.3
Pada suhu lingkungan tinggi (panas), kelenjar keringat menjadi aktif dan
pembuluh kapiler di kulit melebar. Melebarnya pembuluh kapiler akan memudahkan
proses pembuangan air dan sisa metabolisme. Aktifnya kelenjar keringat
mengakibatkan keluarnya keringat ke permukaan kulit dengan cara penguapan.
Penguapan mengakibatkan suhu di permukaan kulit turun sehingga kita tidak
merasakan panas lagi. Sebaliknya, saat suhu lingkungan rendah, kelenjar keringat
tidak aktif dan pembuluh kapiler di kulit menyempit. Pada keadaan ini darah tidak
membuang sisa metabolisme dan air, akibatnya penguapan sangat berkurang,
sehingga suhu tubuh tetap dan tubuh tidak mengalami kendinginan.3
2.3 Etiologi
Penyebab luka bakar berdasarkan penyebabnya, dibedakan menjadi trauma
termal, trauma listrik, trauma petir, trauma benda kimia, trauma radiasi, dan trauma
suhu sangat rendah. Trauma termal merupakan penyebab paling sering dari sumber
5
panas kepada tubuh (lidah api, permukaan yang panas, logam yang panas, dan
lelehan-lelehan yang panas. Suhu tinggi dapat menyebabkan terjadinya heat
exhaustion primer. Temperatur kulit yang tinggi dan pelepasan panas yang rendah
menimbulkan kolaps pada seseorang karena ketidakseimbangan antara darah sirkulasi
dengan lumen pembuluh darah. Hal ini sering terjadi pada paparan panas, aktivitas
berlebihan dan pakaian yang terlalu tebal. Heat exhaustion sekunder terjadi akibat
dehidrasi. Heat stroke terjadi akibat kegagalan kerja pusat pengatur suhu karena
temperatur pusat tubuh terlalu tinggi. Kekerasan oleh benda bersuhu tinggi akan
dapat menimbulkan luka bakar yang cirinya amat tergantung dari jenis
bendanya, ketinggian suhunya serta lamanya kontak dengan kulit. Api, benda
padat panas atau membara dapat mengakibatkan luka bakar derajat I, II, III, atau IV.
Zat cair panas dapat mengakibatkan luka bakar tingkat I, II, atau III. Gas panas dapat
mengakibatkan luka bakar tingkat I, II, III, atau IV.4,2
Kekerasan oleh hawa bersuhu dingin biasanya dialami oleh bagian tubuh
yang terbuka; seperti misalnya tangan, kaki, telinga atau hidung. Mula-mula
pada daerah tersebut akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah superfisial sehingga
terlihat pucat. Selanjutnya akan terjadi paralise dari vasomotor kontrol yang
mengakibatkan daerah tersebut menjadi kemerahan. Pada keadaan yang berat dapat
terjadi gangren.4
Sengatan oleh benda bermuatan listrik dapat menimbulkan luka bakar sebagai
akibat berubahnya energi listrik menjadi panas. Besarnya pengaruh listrik pada
jaringan tubuh tersebut tergantung dari besarnya tegangan (voltase), kuatnya arus
(amper), besarnya tahanan (keadaan kulit kering atau basah), lamanya kontak serta
luasnya daerah terkena kontak. Bentuk luka pada daerah kontak (tempat
masuknya arus) berupa kerusakan lapisan kulit dengan tepi agak menonjol dan di
sekitarnya terdapat daerah pucat, dikelilingi daerah hyperemis. Sering ditemukan
adanya metalisasi. Pada tempat keluarnya arus dari tubuh juga sering ditemukan luka.
Bahkan kadang-kadang bagian dari baju atau sepatu yang dilalui oleh arus listrik
ketika meninggalkan tubuh juga ikut terbakar. Tegangan arus kurang dari 65
6
volt biasanya tidak membahayakan, tetapi tegangan antara 65-1000 volt dapat
mematikan. Sedangkan kuat arus (amper) yang dapat mematikan adalah 100 mA.
Kematian tersebut terjadi akibat fibrilasi ventrikel, kelumpuhan otot pernafasan atau
pusat pernafasan. Sedangkan faktor yang sering mempengaruhi kefatalan adalah
kesadaran seseorang akan adanya arus listrik pada benda yang dipegangnya. Bagi
orang-orang tidak menyadari adanya arus listrik pada benda yang dipegangnya
biasanya pengaruhnya lebih berat dibanding orang-orang yang pekerjaannya setiap
hari berhubungan dengan listrik.4
Petir terjadi karena adanya loncatan arus listrik di awan yang
tegangannya dapat mencapai 10 mega volt dengan kuat arus sekitar 100.000 A
ke tanah. Luka-luka karena sambaran petir pada dasarnya merupakan luka-luka
gabungan akibat listrik, panas dan ledakan udara. Luka akibat panas berupa luka
bakar dan luka akibat ledakan udara berupa luka-luka yang mirip dengan luka
akibat persentuhan dengan benda tumpul. Dapat terjadi kematian akibat efek arus
listrik yang melumpuhkan susunan saraf pusat, menyebabkan fibrilasi ventrikel.
Kematian juga dapat terjadi karena efek ledakan ataun efek dari gas panas
yang ditimbulkannya. Pada korban mati sering ditemukan adanyaarborescentmark
(percabangan pembuluh darah terlihat seperti percabangan pohon), metalisasi benda-
benda dari logamyang dipakai. Pakaian korban terbakar atau robek-robek.4
Zat-zat kimia korosif dapat menimbulkan luka-luka apabila mengenai tubuh
manusia. Ciri-ciri lukanya amat tergantung dari golongan zat kimia tersebut, yaitu
dibagi menjadi bahan kimia golongan asam dan bahan kimia golongan basa.
Termasuk zat kimia korosif golongan asam antara lain: asam mineral, yaitu: H2SO4,
HCL, NO3;asam organik, yaitu: asam oksalat, asam formiat dan asam asetat; garam
mineral, yaitu: AgNO3, dan zinc chlorida;halogen, yaitu: F, Cl, Ba dan J. Cara kerja
zat kimia korosif dari golongan ini sehingga mengakibatkan luka ialah mengekstraksi
air dari jaringan, mengkoagulasi protein menjadsi albuminat, dan mengubah
hemoglobin menjadi acid hematin. Ciri-ciri dari luka yang terjadi akibat zat-zat asam
korosif adalah luka terlihat kering, berwarna coklat kehitaman, kecuali yang
7
disebabkan oleh nitric acid berwarna kuning kehijauan, perabaan keras dan kasar.
Zat-zat kimia korosif yang termasuk golongan basa antara lain KOH, NaOH, dan
NH4OH. Cara kerja dari zat-zat tersebut sehingga menimbulkan luka ialah
mengadakan ikatan dengan protoplasma sehingga membentuk alkaline albumin dan
sabun, dan mengubah hemoglobin menjadi alkaline hematin. Ciri-ciri luka yang
terjadi sebagai akibat persentuhan dengan zat-zat ini adalah luka terlihat basah dan
edematous, berwarna merah kecoklatan, dan perabaan lunak dan licin.4,
Selain dari kedua metode tersebut di atas, dapat juga digunakan cara lainnya
yaitu mengunakan metode hand palm. Metode ini adalah cara menentukan luas atau
persentasi luka bakar dengan menggunakan telapak tangan. Satu telapak tangan
mewakili 1 % dari permukaan tubuh yang mengalami luka bakar.3,4
Perubahan patofisiologik yang terjadi pada kulit segera setelah luka bakar
tergantung pada luas dan ukuran luka bakar. Untuk luka bakar yang kecil (smaller
burns), respon tubuh bersifat lokal yaitu terbatas pada area yang mengalami injuri.
Sedangkan pada luka bakar yang lebih luas misalnya 25 % dari total permukaan
tubuh atau lebih besar, maka respon tubuh terhadap injuri dapat bersifat sistemik dan
sesuai dengan luasnya injuri.5,7
Perubahan patofisiologik yang disebabkan oleh luka bakar yang berat selama
awal periode syok luka bakar mencakup hipoperfusi jaringan dan hipofungsi organ
yang terjadi sekunder akibat penurunan curah jantung dengan diikuti oleh fase
hiperdinamik serta hipermetabolik. Insiden, intensitas dan durasi perubahan
patofisiologik pada luka bakar sebanding dengan luasnya luka bakar yang terlihat
pada seberapa luas permukaan tubuh yang terkena. Kejadian sistemik awal sesudah
luka bakar yang berat adalah ketidakstabilan hemodinamik akibat hilangnya integritas
kapiler dan kemudian terjadinya perpindahan cairan, natrium, serta protein dari ruang
intravaskular kedalam ruang interstisial.5
Segera setelah luka bakar, dilepaskan substansi vasoaktif (katekolamin,
histamin, serotonin, leukotrien, dan prostaglandin) dari jaringan yang mengalami
injuri. Substansi-substansi ini menyebabkan meningkatnya permeabilitas kapiler
sehingga plasma merembes kedalam sekitar jaringan. Injuri panas yang secara
langsung mengenai pembuluh akan lebih meningkatkan permeabilitas kapiler. Injuri
yang langsung mengenai membran sel menyebabkan sodium masuk dan potasium
keluar dari sel. Secara keseluruhan akan menimbulkan tingginya tekanan osmotik
yang menyebabkan meningkatnya cairan intraseluler dan interstitial dan yang dalam
keadaan lebih lanjut menyebabkan kekurangan volume cairan intravaskuler.
Luka bakar yang luas menyebabkan edema tubuh general baik pada area yang
mengalami luka maupun jaringan yang tidak mengalami luka bakar dan terjadi
penurunan sirkulasi volume darah intravaskuler. Denyut jantung meningkat sebagai
respon terhadap pelepasan katekolamin dan terjadinya hipovolemia relatif, yang
mengawali turunnya curah jantung. Kadar hematokrit meningkat yang menunjukan
14
faring dan laring. Cedera inhalasi dibawah glotis terjadi akibat menghirup produk
pembakaran yang tidak sempurna atau gas berbahaya, cedera ini menyebabkan
hilangnya fungsi silia, hipersekresi, edema mukosa yang berat, dan kemungkinan
bronkospasme. Keracunan karbon monoksida akan mengakibatkan seseorang tidak
mampu memenuhi kebutuhan oksigen yang adekuat kepada jaringan, hal ini karena
afinitas hemoglobin terhadap karbon monoksida 200 kali lebih besar daripada
afinitasnya terhadap oksigen. Sedangkan defek restriktif terjadi jika timbul edema
dibawah luka bakar full thickness yang melingkar pada leher dan toraks.7
Fungsi sistem imun mengalami depresi. Depresi pada aktivitas limfosit, suatu
penurunan dalam produksi immunoglobulin, supresi aktivitas komplemen dan
perubahan/gangguan pada fungsi neutrofil dan makrofag dapat terjadi pada korban
yang mengalami luka bakar yang luas. Perubahan-perubahan ini meningkatkan resiko
terjadinya infeksi dan sepsis yang mengancam kelangsungan hidup korban.10
Fungsi renal dapat berubah sebagai akibat dari berkurangnya volume darah,
destruksi sel-sel darah merah pada lokasi cedera akan menghasilkan hemoglobin
bebas dalam urin. Jika terjadi kerusakan di otot (akibat luka bakar listrik), myoglobin
akan dilepaskan dari sel-sel otot dan diekskresikan melalui ginjal, bila aliran darah
yang melewati tubulus renal tidak cukup maka hemoglobin dan myoglobin akan
menyumbatnya sehingga timbul komplikasi nekrosis akut tubuler dan gagal ginjal.
Pertahanan imunologik tubuh sangat berubah akibat luka bakar, kehilangan integritas
kulit diperparah lagi dengan pelepasan faktor-faktor inflamasi yang abnormal, hal ini
membuat seseorang yang menderita luka bakar berisiko tinggi mengalami sepsis.10
Selain itu, hilangnya kulit juga menyebabkan ketidakmampuan tubuh untuk
mengatur suhu, sehingga seorang yang menderita luka bakar dapat memperlihatkan
suhu tubuh yang rendah dalam beberapa jam pertama pasca-luka bakar, namun
kemudian akan mengalami hipertermia sekalipun tidak disertai infeksi karena
hipermetabolisme menyetel kembali suhu tubuh inti. Ada dua komplikasi
gastrointestinal yang potensial yaitu: ileus paralitik (tidak adanya peristalsis usus) dan
16
ulkus curling, berkurangnya peristalsis dan bising usus merupakan manifestasi ileus
paralitik yang terjadi akibat luka bakar.10
Pada perokok dapat dijumpai saturasi CO dalam darah hanya lebih dari 5%,
dan ini dapat menunjukan bahwa korban masih bernafas pada waktu terjadinya
kabakaran, demikian juga pada korban atherosclerosis coroner yang berat dapat
meninggal dengan kadar COHB yang lebih rendah dari pada individu yang sehat.
Bila CO merupakan penyebab mati yang utama maka saturasi dalam darah paling
sedikitnya dibutuhkan 40% COHB, kecuali pada orang tua, anak-anak dan
debilitas dimana pernah dilaporkan mati dengan kadar 25 %. Sebenarnya kadar
COHB pada korban yang sekarat selama kebakaran, sering tidak cukup tinggi
untuk menyebabkan kematian. Banyak kasus-kasus fatal menunjukan saturasi 50-
60 %, walaupun kadarnya secara umum kurang dari kadar yang terdapat dalam
darah pada keracunan CO murni, seperti pembunuhan dengan gas mobil atau
industrial exposure, dimana konsentrasinya dapat mencapai 80 %. Selain itu
adanya gas-gas toksik dan pengurangan oksigen dalam atmosfer dapat
menyebabkan kematian dengan kadar CO yang rendah.2
b. Menghirup asap pembakaran (Smoke Inhalation)
Pada banyak kasus kematian, dimana cedera panas pada badan tidak sesuai
dengan penyebab kematian maka dikatakan penyebab kematian adalah smoke
inhalation. Asap yang berasal dari kebakaran terutama alat-alat rumah tangga
seperti furniture, cat , kayu, pernis, karpet dan komponen-komponen yang secara
struktural terdiri polystyrene, polyurethane, polyvinyl dan material-material plastik
lainnya dikatakan merupakan gas yang sangat toksik bila dihisap dan potensial
dalam menyebabkan kematian.2
c. Trauma Mekanik
Kematian oleh karena trauma mekanik biasanya disebabkan karena runtuhnya
bangunan disekitar korban, atau merupakan bukti bahwa korban mencoba untuk
melarikan diri seperti memecahkan kaca jendela dengan tangan. Luka-luka ini
harus dicari pada waktu melakukan pemeriksaan luar jenasah untuk memastikan
apakah luka-luka tersebut signifikan dalam menyebabkan kematian. Trauma
18
2.7 Keadaan Umum yang Ditemukan pada Mayat dengan Luka Bakar
Pada kebakaran yang hebat, apakah di dalam gedung atau yang terjadi pada
kecelakaan mobil yang terbakar, sering terlihat bahwa keadaan tubuh korban yang
terbakar sering tidak mencerminkan kondisi saat matinya. Berikut keadaan umum
yang ditemukan pada mayat dengan luka bakar.6
19
a. Skin split
Kontraksi dari jaringan ikat yang terbakar menyebabkan terbelahnya kulit dari
epidermis dan korium yang sering menyebabkan artefak yang menyerupai luka
sayat dan sering disalah artikan sebagai kekerasan tajam. Artefak postmortem ini
dapat mudah dibedakan dengan kekerasan tajam antemortem oleh karena tidak
adanya perdarahan dan lokasinya yang bervariasi disembarang tempat. Kadang-
kadang dapat terlihat pembuluh darah yang intak yang menyilang pada kulit yang
terbelah.6
b. Abdominal wall destruction
Kebakaran parsial dari dinding abdomen bagian depan akan menyebabkan
keluarnya sebagian dari jaringan usus melalui defek yang terjadi ini. Biasanya ini
terjadi tanpa perdarahan, apakah perdarahan yang terletak diluar atau didalam
rongga abdomen.6
c. Skull fractures
Bila kepala terpapar cukup lama dengan panas dapat menyebabkan
pembentukan uap didalam rongga kepala yang lama kelamaan akan
mengakibatkan kenaikan tekanan intrakranial yang dapat menyebabkan
terpisahnya sutura-sutura dari tulang tengkorak. Pada luka bakar yang hebat dan
kepala sudah menjadi arang atau hangus terbakar dapat terlihat artefak fraktur
tulang tengkorak yang berupa fraktur linear. Disini tidak penah diikuti oleh
kontusio serebri, subdural atau subarachnoid.6
d. Pseudo epidural hemorrhage
Keadaan umum yang biasanya terdapat pada korban yang hangus terbakar dan
kepala yang sudah menjadi arang adalah pseudo epidural hemorrhage atau
epidural hematom postmortem. Untuk membedakan dengan epidural hematom
antemortem tidak sulit oleh karena pseudo epidural hematom biasanya berwarna
coklat, mempunyai bentukan seperti honey comb appearance, rapuh tipis dan
secara tipikal terletak pada daerah frontal, parietal, temporal dan beberapa kasus
dapat meluas sampai ke oksipital.6
20
e. Non-cranial fractures
Artefak berupa fraktur pada tulang-tulang ekstremitas juga sering ditemukan
pada korban yang mengalami karbonisasi oleh karena tereksposure terlalu lama
dengan api dan asap. Tulangtulang yangterbakar mempunyai warna abu-abu
keputihan dan sering menunjukan fraktur kortikal pada permukaannya. Tulang ini
biasanya hancur bila dipegang sehingga memudahkan trauma postmortem pada
waktu transportasi ke kamar mayatatau selama usaha memadamkan api. Mayat
sering dibawa tanpa tangan dan kaki, dan mereka sudah tidak dikenali lagi di TKP
karena sudah mengalami fragmentasi.6
f. Pugilistic Posture.
Pada mayat yang hangus terbakar, tubuh akan mengambil posisi pugilistic.
Koagulasi dari otot-otot oleh karena panas akan menyebabkan kontraksi serabut
otot otot fleksor dan mengakibatkan ekstremitas atas mengambil sikap seperti
posisi seorang boxer dengan tangan terangkat didepannya, paha dan lutut yang
juga fleksi sebagian atau seluruhnya. Posisi pugilistic ini tidak berhubungan
apakah individu itu terbakar pada waktu hidup atau sesudah kematian. pugilistic
attitude atau heat rigor ini akan hilang bersama dengan timbulnya pembusukan.6
tidak berarti korban mati sebelum terjadi kebakaran. Pada nyala api yang
terjadi secara cepat, terutama kerosene dan benzene, maka level
karbonmonoksida lebih rendah atau bahkan negative dari pada kebakaran
yang terjadi secara perlahan-lahan dengan akses oksigen yang terbatas seperti
pada kebakaran gedung.1
Satu lagi yang harus disadari bahwa kadar saturasi CO dalam darah
tergantung beberapa faktor termasuk konsentrasi CO yang terinhalasi dari
udara, lamanya eksposure, rata-rata dan kedalaman respiration rate dan
kandungan Hb dalam darah. Kondisi-kondisi ini akan mempengaruhi
peningkatan atau penurunan rata-rata absorbsi CO. sebagai contoh api
yangmenyala dalam ruangan tertutup, akumulasi CO dalam udara akan cepat
meningkat sampai konsentrasi yang tinggi, sehingga diharapkan absorbsi CO
dari korban akan meningkan secara bermakna. 1,3
Pada otopsi biasanya relatif mudah untuk menentukan korban yang
meninggal pada keracuan CO dengan melihat warna lebam mayat yang
berupa cherry red pada kulit, otot, darah dan organ-organ interna, akan tetapi
pada orang yang anemik atau mempunyai kelainan darah warna cherry red ini
menjadi sulit dikenali. Warna cherry red ini juga dapat disebabkan oleh
keracuan sianida atau bila tubuh terpapar pada suhu dingin untuk waktu yang
lama. 1,3
c. Reaksi jaringan.
Tidak mudah untuk membedakan luka bakar yang akut yang terjadi
antemortem dan postmortem. Pemeriksaan mikroskopik luka bakar tidak
banyak menolong kecuali bila korban dapat bertahan hidup cukup lama
sampai terjadi respon respon radang. Kurangnya respon tidak merupakan
indikasi bahwa luka bakar terjadi postmortem. Pemeriksaan slide secara
mikroskopis dari korban luka bakar derajat tiga yang meninggal tiga hari
kemudian tidak ditemukan reaksi radang, ini diperkirakan oleh karena panas
menyebabkan trombosis dari pembuluh darah pada lapisan dermis sehinggga
23
sel-sel radang tidak dapat mencapai area luka bakar dan tidak menyebabkan
reaksi radang.
Blister juga bukan merupakan indikasi bahwa korban masih hidup
pada waktu terjadi kebakaran, oleh karena blister ini dapat terjadi secara
postmortem. Blister yang terjadi postmortem berwarna kuning pucat, kecuali
pada kulit yang hangus terbakar. Agak jarang dengan dasar merah atau areola
yang erythematous, walaupun ini bukan merupakan tanda pasti. Secara
tradisionil banyak penulis mengatakan bahwa untuk dapat membedakan
blister yang terjadi antemortem dengan blister yang terjadi postmortem adalah
dengan menganalisa protein dan chlorida dari cairan itu. Blister yang dibentuk
pada antemortem dikatakan mengandung lebih banyak protein dan chloride,
tetapi inipun tidak merupakan angka yang absolut.1
d. Pendarahan subendokardial ventrikel kiri jantung.
Perdarahan subendokardial pada ventrikel kiri dapat terjadi oleh
karena efek panas. Akan tetapi perdarahan ini bukan sesuatu yang spesifik
karena dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme kematian. Pada korban
kebakaran perdarahan ini merupakan indikasi bahwa sirkulasi aktif sedang
berjalan ketika tereksposure oleh panas tinggi yang tidak dapat ditolerasi oleh
tubuh dan ini merupakan bukti bahwa korban masih hidup saat terjadi
kebakaran.1
24
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA