Anda di halaman 1dari 4

Sejarah dan kebudayaan Suku Gayo Aceh.

Suku Gayo adalah salah satu etnis suku bangsa


yang mendiami dataran tinggi Gayo di Provinsi Aceh bagian tengah. Bagian wilayah suku
Gayo meliputi kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah dan Gayo Lues. Sebagian juga
mendiami wilayah di Aceh Timur yaitu di kecamatan Serba Jadi, Peunaron, dan Simpang
Jernih. Masyarakat suku Gayo beragama islam dan dikenal taat dalam beragama.

Suku Gayo suku tergolong ke dalam ras Proto Melayu yang berasal dari India. Kedatangan
bangsa ini diperkirakan datang ke Indonesia sekitar 2000 tahun sebelum masehi. Ciri khas
dari bangsa ini adalah berkulit hitam, tubuhnya kecil dan berambut keriting. Suku Gayo
terdiri dari tiga kelompok yaitu Masyarakat Gayo laut yang mendiami daerah Aceh Tengah
dan Bener Meriah, Gayo Lues yang mendiami daerah Gayo Lues dan Aceh Tenggara serta
Gayo Blang yang mendiami sebagian kecamatan di Aceh Tamiang.

Kata Gayo berasal dari kata Pegayon yang berarti tempat mata air jernih dimana terdapat ikan
suci (bersih) dan kepiting. Konon, dahulu serombongan pendatang suku Batak Karo ke
datang ke Blangkejeren dengan melintasi sebuah desa bernama Porang. Di perjalanan mereka
menjumpai sebuah perkampungan yang terdapat sebuah telaga yang dihuni seekor kepiting
besar, kemudian mereka melihat binatang tersebut dan berteriak Gayo Gayo. Dari sinilah
daerah tersebut dinamai dengan Gayo.

Bahasa

Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Gayo. Bahasa tersebut mempunyai keterkaitan dengan
bahasa Suku Batak Karo di Sumatera Utara dan termasuk kelompok bahasa yang disebut
"Northwest Sumatra-Barrier Islands" dari rumpun bahasa Austronesia. Dialek bahasa Gayo
memiliki beberapa variasi karena pengaruh dari bahasa luar. Bahasa Gayo yang ada di
Lokop, sedikit berbeda dengan bahasa Gayo yang ada di Gayo Kalul, Gayo Lut, Linge dan
Gayo Lues. Hal tersebut disebabkan karena pengaruh bahasa Aceh yang lebih dominan di
Aceh Timur. Sedangkan bahasa Gayo Kalul, di Aceh Tamiang, sedikit banyak terdapat
pengaruh Melayu karena lebih dekat ke Sumatera Utara. Kemudian, Gayo Lues lebih
dipengaruhi oleh bahasa Alas dan bahasa Karo karena interaksi yang lebih banyak dengan
kedua suku tersebut lebih-lebih komunitas Gayo yang ada di kabupaten Aceh Tenggara.

Dialek pada suku Gayo, menurut M.J. Melalatoa, dialek Gayo Lut terdiri dari subdialek Gayo
Lut dan Deret, sedangkan Bukit dan Cik merupakan sub-subdialek. Demikian pula dengan
dialek Gayo Lues terdiri dari subdialek Gayo Lues dan Serbejadi. Subdialek Serbejadi sendiri
meliputi sub-subdialek Serbejadi dan Lukup (1981:53). Sementara Baihaqi Ak., dkk
menyebut jumlah dialek bahasa Gayo sesuai dengan persebaran suku Gayo tadi (Gayo Lut,
Deret, Gayo Lues, Lokop/Serbejadi dan Kalul). Namun demikian, dialek Gayo Lues, Gayo
Lut, Gayo Lukup/Serbejadi dan Gayo Deret dapat dikatakan sama atau amat berdekatan. Di
Gayo Lut sendiri terdapat dua dialek yang disana dinamakan dialek Bukit dan Cik (1981:1).

Marga

Hanya sebagian kecil masyarakat Gayo yang masih mencantumkan nama marga-marganya,
terutama yang bermukim di wilayah Bebesen. Hal ini hanya untuk mengetahui asal/Garis
keturunan.

Berikut daftar marga-marga pada suku Gayo:


1. Ariga
2. Cibero
3. Linge
4. Melala
5. Munte
6. Tebe
7. Alga

Sejarah

Pada abad ke-11, Kerajaan Linge didirikan oleh orang-orang Gayo pada era pemerintahan
Sultan Makhdum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kesultanan Perlak. Informasi ini
diketahui dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesen dan
dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa
sebagai raja di era kolonial Belanda.
Raja Linge I, disebutkan mempunyai 4 orang anak. Yang tertua seorang wanita bernama
Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga (Ali Syah), Meurah Johan (Johan
Syah) dan Meurah Lingga (Malamsyah).

Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Karo dan membuka negeri di sana dia dikenal
dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan
kerajaannya yang bernama Lam Krak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamuri atau
Kesultanan Lamuri. Ini berarti Kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan
sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun
termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di
Pasai. Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wih ni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah
Linge, Aceh Tengah. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.

Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Linge
lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain
lebih memilih untuk mengembara.

Dinasti Lingga

1. Adi Genali Raja Linge I di Gayo


2. Raja Sebayak Lingga di Tanah Karo. Menjadi Raja Karo
3. Raja Meurah Johan (pendiri Kesultanan Lamuri)
4. Meurah Silu anak dari Meurah Sinabung (pendiri Kesultanan Samudera Pasai), dan
5. Raja Linge II alias Marah Lingga di Gayo
6. Raja Lingga III-XII di Gayo
7. Raja Lingga XIII menjadi Amir al-Harb Kesultanan Aceh. Pada tahun 1533
terbentuklah Kerajaan Johor baru di Malaysia yang dipimpin oleh Sultan Alauddin
Mansyur Syah. Raja Lingga XIII diangkat menjadi kabinet di kerajaan baru tersebut.
Keturunannya mendirikan Kesultanan Lingga di kepulauan Riau, pulau Lingga, yang
kedaulatannya mencakup Riau (Indonesia), Temasek (Singapura) dan sedikit wilayah
Malaysia.
8. Raja-raja di Sebayak Lingga Karo tidak terdokumentasi. Pada era Belanda kembali
diangkat raja-rajanya tapi hanya dua era
9. Raja Sendi Sibayak Lingga (pilihan Belanda)
10. Raja Kalilong Sibayak Lingga

Kehidupan sosial

Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut kampong. Setiap kampong
dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman, yang
dipimpin oleh mukim. Sistem pemerintahan tradisional berupa unsur kepemimpinan yang
disebut sarak opat, terdiri dari reje (raja), petue (petua), imem (imam), dan rayat (rakyat).

Pada masa sekarang beberapa buah kemukiman merupakan bagian dari kecamatan, dengan
unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas: gecik, wakil gecik, imem, dan cerdik pandai yang
mewakili rakyat.
Sebuah kampong biasanya dihuni oleh beberapa kelompok belah (klan). Anggota-anggota
suatu belah merasa berasal dari satu nenek moyang, masih saling mengenal, dan
mengembangkan hubungan tetap dalam berbagai upacara adat. Garis keturunan ditarik
berdasarkan prinsip patrilineal. Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah
eksogami belah, dengan adat menetap sesudah nikah yang patrilokal (juelen) atau matrilokal
(angkap).

Kelompok kekerabatan terkecil disebut sara ine (keluarga inti). Kesatuan beberapa keluarga
inti disebut sara dapur. Pada masa lalu beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah
rumah panjang, sehingga disebut sara umah. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke
dalam satu belah (klan). Pada masa sekarang banyak keluarga inti yang mendiami rumah
sendiri. Pada masa lalu orang Gayo terutama mengembangkan mata pencaharian bertani di
sawah dan beternak, dengan adat istiadat mata pencaharian yang rumit.

Selain itu ada penduduk yang berkebun, menangkap ikan, dan meramu hasil hutan. Mereka
juga mengembangkan kerajinan membuat keramik, menganyam, dan menenun. Kini mata
pencaharian yang dominan adalah berkebun, terutama tanaman Kopi Gayo. Kerajinan
membuat keramik dan anyaman pernah terancam punah, namun dengan dijadikannya daerah
ini sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Aceh, kerajinan keramik mulai dikembangkan
lagi. Kerajinan lain yang juga banyak mendapat perhatian adalah kerajinan membuat sulaman
kerawang dengan motif yang khas.

Mata Pencaharian

Mayoritas masyarakat Suku Gayo bermata pencaharian utama sebagai petani dengan hasil
utamanya kopi. Selain itu, masyarakat Gayo mengembangkan kerajinan membuat keramik,
menganyam, dan menenun serta kerajinan membuat sulaman kerawang Gayo dengan motif
yang khas. Masyarakat tradisional Gayo menganut prinsip “keramat mupakat behu
berdedele” yang bermakan kemuliaan karena mufakat, berani karena bersama dan “tirus lagu
gelngan gelas, bulet lagu umut, rempak lagu re, susun lagu belo” yang bermakna bersatu
teguh.

Seni Budaya

Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara lain tari Saman dan seni bertutur yang disebut
Didong. Selain untuk hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi
ritual, pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan
keseimbangan dan struktur sosial masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk kesenian
seperti tari Bines, tari Guel, tari Munalu, Sebuku /Pepongoten (seni meratap dalam bentuk
prosa), guru didong, dan melengkan (seni berpidato berdasarkan adat).

Orang Gayo memiliki dan membudayakan sejumlah nilai budaya sebagai acuan tingkah laku
untuk mencapai ketertiban, disiplin, kesetiakawanan, gotong royong, dan rajin (mutentu).
Pengalaman nilai budaya ini dipacu oleh suatu nilai yang disebut bersikemelen, yaitu
persaingan yang mewujudkan suatu nilai dasar mengenai harga diri (mukemel). Nilai-nilai ini
diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti dalam bidang ekonomi, kesenian,
kekerabatan, dan pendidikan. Sumber dari nilai-nilai tersebut adalah agama Islam serta adat
setempat yang dianut oleh seluruh masyarakat Gayo.

Seni dan Tarian

1. Didong
2. Didong Niet
3. Tari Saman
4. Tari Bines
5. Tari Guel
6. Tari Munalu
7. Tari Sining
8. Tari Turun ku Aih Aunen
9. Tari Resam Berume
10. Tuah Kukur
11. Melengkan
12. Dabus

Makanan Khas

1. Masam Jaeng
2. Gutel
3. Lepat
4. Pulut Bekuah
5. Cecah
6. Pengat
7. Gegaloh

Anda mungkin juga menyukai