Anda di halaman 1dari 40

NILAI DAN PERAN SOSIAL PADA TARI ANAK DALAM

UPACARA ADAT MALLAULU DI KABUPATEN SIMEULUE,


ACEH

Proposal Tesis

diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar


Magister Pendidikan Seni

Oleh

Citra Dewi Maysarah, S.Pd


1707837

PENDIDIKAN SENI
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2019
A. NILAI DAN PERAN SOSIAL PADA TARI ANAK DALAM UPACARA
ADAT MALLAULU DI KABUPATEN SIMEULUE, ACEH.

B. Latar Belakang
Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan manusia
(Ardhianita dan Andayani, hal. 101). Hal ini menjadi penting karena pernikahan
merupakan prosesi sakral, dimana bersatunya dua insan manusia yang kemudian
saling berjanji untuk saling setia, dengan pernikahan menjadi jalan sepasang
manusia untuk memiliki keturunan selanjutnya. Ini merupakan siklus kehidupan
yang berfungsi sebagai pertumbuhan dan perkembangan umat manusia. Erikson
menyatakan bahwa pertumbuhan manusia berjalan sesuai prinsip epigenetik yang
menyatakan bahwa kepribadian manusia berjalan menurut delapan tahap, yakni
masa bayi, masa kanak-kanak awal, masa pra sekolah, masa sekolah, masa remaja,
masa dewasa awal, masa dewasa, masa hari tua (Suryabrata, 1983. hal. 82).
Perkembangan manusia dari satu tahap ke tahap berikutnya ditentukan oleh
keberhasilan atau ketidak berhasilannya dalam menempuh tahap sebelumnya.
Lebih lanjut Van Gennep menjelaskan bahwa kehidupan manusia bukan satu
bentuk yang terjadi secara seragam. Pengalaman seseorang akan menyusun
tingkatan-tingkatan dalam kehidupan (daur hidup), seperti lahir, pubertas,
pernikahan, melahirkan dan kematian (Maulana, 2013. hal. 624).
Pada umumnya masyarakat Indonesia selalu mengaitkan pernikahan antara
agama dengan adat setempat, keduanya memiliki peran dan nilai sosial tersendiri
dalam kehidupan manusia. Contohnya seperti Upacara Daur Hidup dalam
Pernikahan Adat Sunda. Upacara adat pernikahan pada suku Sunda terbagi ke
dalam tiga bagian: (1) Sebelum akad nikah (preluminal), kategori daur hidup
preluminal, maka upacara seserahan, aras dan siraman, serta ngeuyeuk seureuh
menjadi penanda bagi pemisahan hidup seseorang dari kehidupan dewasa dalam
keluarganya ke kehidupan berkeluarga dengan keluarga suami/istrinya; (2) Akad
nikah (luminal), daur transisi sangat terlihat pada upacara ini. Pengantin wanita dan
pria, tengah melakukan dan memersiapkan kondisi di mana mereka berdua tidak
lagi hidup bersama keluarga masing-masing. Mereka berdua akan bertanggung
jawab atas perjalanan kehidupan mereka masa yang akan datang. Akad nikah, telah

1
mentransisikan mereka berdua untuk masuk pada jenjang daur hidup membuat dan
mengembangkan keluarga barunya di masyarakat; (3) Sesudah akad nikah
(postluminal), simbol-simbol yang muncul pada fase post-luminal, di mana kedua
belah pihak mulai belajar untuk memainkan peran sebagai suami dan istri,
merupakan nasehat dan proses awal dari terjadinya reaggregasi dalam daur hidup
perkawinan adat Sunda. Masing-masing bagian tersebut memiliki simbol dan
makna. Pernikahan adat Sunda ini secara langsung ataupun tidak telah menyerap
nilai-nilai agama Islam yang datang pada abad ke-15 di Tanah Sunda (Maulana,
2013. hal. 623).
Selanjutnya upacara Leksikon dalam pernikahan adat Melayu Riau. Masyarakat
Riau pada umumnya menganut agama Islam sebagai kepercayaan utama. Etnis
Melayu merupakan etnis utama dalam kehidupan masyarakat Riau. Terlihat dari
sistem pemerintahan terdahulu yang di pimpin oleh para raja. Seperti kerajaan Riau,
Lingga, Johor dan Pahang. Keempat kerajaan tersebut adalah bukti kejayaan Riau
masa lalu hingga Riau pun disebut sebagai “Satu Negeri dari Empat Negeri”.
Upacara Leksikon merupakan kebiasaan Masyarakat Melayu Riau dalam sebuah
penyebutan rangkaian adat pernikahan. Adapun rangkaian adat pernikahan Melayu
Riau dimulai dari, mengatung-ngatung, malam berinai, upacara berandam, upacara
Khatam Al-Qur’an, hantaran belanja, akad nikah, upacara menyembah, tepuk
tepung tawar, mengarak pengantin lelaki, hingga bersanding (Yani, Juli, 2016. hal.
87). Chaer (Dhuhani, 2018. hal. 6) mengatakan bahwa istilah Leksikon berasal dari
kata Yunani Kuno yang berarti “kata”, “ucapan”, atau “cara berbicara”. Sehingga
Masyarakat Melayu Riau penyebutan Leksikon pada upacara adat pernikahan
menjadi sangat penting karena mengandung nilai-nilai kehidupan serta tuturnya
dirasa unik, karena banyak menggunakan sastra lisan Melayu Riau.
Dari kedua contoh di atas dapat dilihat peran agama dan adat dalam sebuah
pernikahan sangat erat hubungannya, hingga tidak dapat dipisahkan. Etnis Sunda
dengan Upacara Daur Hidup dan Leksikon dalam pernikahan adat Melayu Riau,
dimana keduanya memiliki nilai dan peran sosial dari masing-masingnya, sehingga
adat berperan kuat, namun tetap berlandaskan ajaran Islam dalam penyajiannya.

2
Tidak jauh berbeda dari adat pernikahan antara etnis Sunda dan Melayu Riau,
Aceh juga memiliki hubungan yang erat antara adat dan kepercayaan. Masyarakat
Aceh yang mayoritas beragama Islam, sehingga Aceh juga dikenal sebagai Serambi
Mekkah. Hampir semua aturan kehidupan di Aceh telah mengalami alkulturasi
yang padu dengan hukum Islam (hukum Syariah), karena itu hakikat adat Aceh
identik pula dengan Islam. Dalam istilah masyarakat Aceh dikenal pula istilah
hadih maja. Hadih maja merupakan perkataan atau peribahasa di dalam kehidupan
masyarakat Aceh. Bagi Masyarakat Aceh Hadih maja menjadi unsur filosofi yang
digunakan sebagai nasehat agar menjadi pedoman di dalam menjalani kehidupan
(Puspa, 2018. hal. 1). Seperti hadi majah berikut yang menggambarkan ikatan adat
dengan hukum dalam masyarakat Aceh (Harun, 2009. hal. 118-119):

Hukom ngon adat hanjeuet cre


Lagee zat ngon sifeuet
(Hukum dengan adat tidak boleh dipisahkan
Bagaikan zat dengan sifat)

Hukum yang dimaksud adalah hukum syariat atau hukum Islam, sehingga antara
adat dan hukum tidak boleh bertentangan, karena hukum seharusnya mendampingi
adat. Dengan kata lain, adat mewarnai hukum dan hukum mewarnai adat. Antara
keduanya tidak bisa dipisahkan, oleh karena itu, adat Aceh dapat dikatakan
berlandaskan Islam dan Islam menjadi nafas bagi adat Aceh.
Hukum Islam atau syariat Islam berlaku di seluruh daratan hingga pesisir Aceh,
sehingga tidak ada satu Kabupaten/Kota pun yang luput dari syariat Islam ini.
Termasuk Kabupaten Simeulue, Simeulue merupakan sebuah wilayah kepulauan
yang terletak di tengah Samudera Hindia, secara geografis terletak di sebelah Barat
Selatan Provinsi Aceh dengan rincian, dari Meulaboh, Aceh Barat yaitu 105 Mil
laut, atau 85 Mil laut dari Tapak Tuan, Aceh Selatan, dan berada pada astronomi
antara 02º 15' 03''-02º 55'' 04'' Lintang Utara dan 95º 40' 15'' - 96º 30' 45'' Bujur
Timur. Dengan panjang kepulauan Simeulue yakni, ±100 Km dan lebarnya antara

3
8-28 Km (Roesli, 2017. hal.18-19). Pulau Simeulue berdiri definitif sejak tahun
1999 berdasarkan Undang-undang Nomor 48/1999 (tentang pembentukan
Simeulue), dimana dulunya Pulau Simeulue merupakan bahagian dari wilayah
Aceh Barat dan sekarang ditetapkan menjadi Kabupaten Simeulue.
Masyarakat Simeulue merupakan masyarakat yang heterogen, ada banyak suku
yang terdapat di Pulau Simeulue, diantaranya suku Aceh, Minang, Melayu, Bugis,
Batak dan Nias (Travel Guide to Simeulue, 2018. hal. 34). Salah satu etnis yang
berpengaruh besar terhadap Pulau Simeulue adalah etnis Aneuk Jamee. Etnis ini
pada hakikatnya merupakan campuran antara orang Aceh dengan orang
Minangkabau. Pada zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), yakni raja Aceh
yang paling berpengaruh pada masanya, wilayah Minangkabau pernah berada di
bawah kontrol Kerajaan Aceh Darussalam. Banyak orang Aceh yang hijrah ke
Minangkabau, terutama sebagai pegawai kerajaan lalu menikah dengan putri
setempat. Pada masa Kolonial Belanda menerapkan politik agitasi devide et empire,
orang Minangkabau memberontak terhadap Kesultanan Aceh dan kemudian
mengusir orang Aceh, termasuk orang Minangkabau yang sudah berkeluarga
dengan orang Aceh atau orang yang memiliki hubungan dengan orang Aceh. Saat
itulah terjadi eksodus besar-besaran penduduk dari pesisir Minangkabau ke Pantai
Selatan dan Barat Aceh. Sebagian orang Minangkabau yang merasa betah hidup di
tanah baru kemudian mengajak keluarganya hijrah ke Aceh. Setelah itu, mereka
membentuk kampung-kampung atau pemukiman terutama sekitar Tapaktuan,
Labuhan Haji, Susoh dan Manggeng dan Simeulue di pantai Selatan Aceh. Pribumi
Aceh menerima mereka dengan senang hati dan sejak saat itu terjadilah asimilasi.
Maka tidak heran mengapa adat dan budaya Minangkabau terasa begitu kental di
wilayah Pesisir Pantai Selatan Aceh (Harun, 2009. hal. 2).

Pada abad ke-17 Simeulue dikenal dengan Pulau U, selanjutnya pada


pertengahan abad ke-18 sebelum Islam masuk, masyarakat Pulau U hidup
dalam bentuk persekutuan-persekutuan yang dipimpin oleh seorang kepala
suku. Sultan Iskandar Muda mengutus seorang ulama yang berasal dari
Minangkabau untuk mengislamkan masyarakat yang ada di Pulau U, Ulama
tersebut bernama Tengku Halilullah dengan masyarakat pulau U dikenal
dengan sebutan Tengku Di Ujung. Dalam menyebarkan agama Islam Tengku
di Ujung menggunakan kesenian-kesenian yang berasal dari Minangkabau, ini

4
dilakukan agar masyarakat Pulau U dapat menerima agama Islam dengan
mudah. Selanjutnya, Tengku di Ujung menikah dengan seorang putri Simeulue
yang bernama Putri Meulur. Melalui proses yang panjang, maka nama Pulau U
kemudian ditetapkan menjadi Pulau Simalur. Nama Simalur inilah yang
merupakan asal mula nama kepulauan tersebut. Seiring dengan berjalannya
waktu, sebagai pengaruh dialek bahasa penuturnya, secara perlahan kata
Simalur berubah menjadi Simeulue, nama yang kini dikenal dan dipakai secara
resmi (Roesli, 2017. hal. 17).

Adapun adat, seni dan budaya yang terdapat di Kabupaten Simeulue adalah,
adat turun karai, kenduri laut, panen padi, Mallaulu dan lain-lain. Sementara seni
yang berkembang di Kabupaten Simeulue adalah, tari silat gelombang, tari
Sidampeng, tari Pedang, tari Sapu tangan, tari Payung, tari Anak, Debus, musik
Nandong, Nanga-nanga dan lain sebagainya. Ini semua adalah bukti kekayaan adat,
seni dan budaya yang ada di Kabupaten Simeulue. Seperti adat Mallaulu yang
merupakan salah satu rangkaian adat pernikahan masyarakat Pulau Simeulue.
Mallaulu sendiri berasal dari kata Laulu yang berarti paman. Paman yang dimaksud
disini merupakan saudara laki-laki dari pihak ibu mempelai wanita. Mallaulu
sendiri merupakan prosesi adat yang dilakukan sebelum dilaksanakannya upacara
pernikahan. Pada prosesi adat Mallaulu terdapat sebuah tarian yang bernama tari
Anak. Tari Anak bukanlah tarian yang ditarikan oleh anak-anak, melainkan tari ini
ditarikan secara berpasangan oleh dua orang penari laki-laki dewasa. Tari Anak
merupakan bagian ke-8 pada tari Andalas. Dimana tari Andalas merupakan tarian
yang berasal dari Sumatera Barat yang kemudian berkembang di seluruh pesisir
Sumatera. Oleh masyarakat Pulau Simeulue kemudian mengadopsi dan
melestarikan tarian tersebut dalam setiap kegiatan kesenian di Pulau Simeulue.
Adapun awal pertama masuknya tari Andalas di Pulau Simeulue dibawakan oleh
para seniman Singkil pada tahun ±1970 dan bagian tarian yang pertama ditarikan
pada awal pengenalannya adalah tari Payung, Saputangan dan tari Anak (Maysarah,
2016. hal. 1). Pada dasarnya, Masyarakat Simeulue hanya mengenal tari Anak
sebagai tarian hiburan semata, tidak banyak mengetahui nilai serta peran
sesungguhnya. Selama ini Masyarakat hanyak mengetahui makna tarian tersebut
melalui syair yang dilantunkan oleh syeh, tapi itupun hanya sebagian masyarakat
yang mengetahuinya terutama para orang tua atau urang jaman. Biasanya para

5
orang tua inilah yang banyak mengetahui tentang makna syair yang di dendangkan,
karena pada umumnya syair yang di dendangkan menggunakan bahasa jame kiasan
yang berupa pantun berisikan kiasan-kiasan perumpamaan dalam kehidupan yang
menggunakan bahasa Jame (pendatang). Jika dilihat lebih mendalam, tari Anak
ternyata memiliki nilai dan peran yang penting dalam kehidupan Masyarakat
Simeulue. Nilai dan peran tersebut dapat terlihat dari simbol-simbol yang
dihadirkan ketika tari Anak di tampilkan di hadapan calon anak daro (pengantin
wanita), keluarga serta masyarakat yang hadir pada malam Mallaulu. Tari Anak
mengisahkan kasih sayang kedua orang tua kepada anaknya, tarian ini juga menjadi
pembelajaran bagi orang tua terhadap pola asuh yang baik terhadap anak. Inilah
alasan utama peneliti untuk meneliti tarian ini, tari Anak bukan hanya berfungsi
sebagai hiburan semata, tari Anak memiliki nilai dan peran yang mampu diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dianggap penting sebagai media
pembelajaran bagi calon pengantin sebelum nantinya menjadi orang tua bagi anak-
anaknya. Maka berdasarkan penjabaran tersebut, adapun judul proposal penelitian
ini adalah Nilai dan Peran Sosial Pada Tari Anak Dalam Upacara Adat Mallaulu
Di Kabupaten Simeulue, Aceh.
C. Rumusan Masalah
1) Bagaimana koreografi tari Anak dalam upacara adat Mallaulu di Kabupaten
Simeulue, Aceh?
2) Bagaimana syair tari Anak dalam upacara adat Mallaulu di Kabupaten
Simeulue, Aceh?
3) Bagaimana nilai tari Anak dalam upacara adat Mallaulu di Kabupaten
Simeulue, Aceh?
4) Bagaimana peran sosial pada tari Anak dalam upacara adat Mallaulu di
Kabupaten Simeulue, Aceh?

D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Untuk mendeskripsikan ragam gerak tari Anak dalam upacara adat Mallaulu di
Kabupaten Simeulue, Aceh.

6
2) Untuk mendeskripsikan syair tari Anak dalam upacara adat Mallaulu di
Kabupaten Simeulue, Aceh.
3) Untuk memahami dan menganalisis nilai yang terdapat pada tari Anak dalam
upacara adat Mallaulu di Kabupaten Simeulue, Aceh.
4) Untuk menganalisis peran sosial pada tari Anak dalam upacara adat Mallaulu
di Kabupaten Simeulue, Aceh.

E. Manfaat Penelitian
1) Secara Teoretis
Penelitian ini bermanfaat bagi keilmuan tari dalam kajian Etnokoreologi dalam
membahas seni tari Anak yang mengandung nilai dan peran sosial dalam
kegiatan upacara adat Mallaulu di Kabupaten Simeulue, Aceh.
2) Secara Praktis
a) Bagi Peneliti
Dapat memberikan wawasan yang luas dan mendapat pengalaman
berharga dengan mengenal lebih dalam budaya masyarakat Simeulue
melalui upacara adat Mallaulu khususnya pada tari Anak.
b) Bagi masyarakat Simeulue
Bagi masyarakat hasil dari penelitian ini bermanfaat sebagai acuan serta
pedoman dalam melestarikan dan menerapkan nilai dan peran sosial yang
terkandung pada tari Anak di dalam upacara adat Mallaulu.
c) Bagi Sekolah
Bagi siswa dan siswi hasil penelitian ini bisa bermanfaat sebagai apresiasi
terhadap salah satu contoh kearifan lokal, sehingga mampu menambah
pemahaman siswa terhadap budaya lokal dan Nusantara.
d) Bagi Guru dan Dosen Seni dan Budaya
Guru seni dan budaya di SMP dan SMA dan dosen seni tari di Aceh, dapat
memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai bahan ajar seni budaya
khususnya seni tari.
e) Bagi Pemerintah
Diharapkan kepada pemerintah terkait khususnya Majelis Adat Aceh dan
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Simeulue agar bisa

7
bertindak mengatur acuan dalam membuat kebijakan pelestarian
kebudayaan serta turut andil dalam mengenalkan dan menjaga nilai-nilai
dan peran sosial yang terdapat pada tari Anak dalam upacara adat Mallaulu
di Kabupaten Simeulue, Aceh.
f) Bagi Peneliti Lain
Hasil penelitian ini bisa menjadikan penelitian lain sebagai acuan kajian
teori penelitian lanjutan, dan bisa menjadi rujukan apabila akan meneliti
kesenian yang lain nantinya.
F. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang pernah dilakukan yang berkaitan dengan tema yang
diteliti pada tesis ini, dihimpun untuk dijadikan data, perbandingan serta referensi
pendukung. Enam penelitian terdahulu yang menjadi acuan dengan permasalahan
yang akan diteliti tentang Nilai dan peran tari Anak dalam upacara adat Mallaulu
di Kabupaten Simeulue, Aceh. Berikut adalah rangkuman penelitian terdahulu yang
akan berkontribusi dalam penelitian ini.
Akhmad Zaini (2018) Tesis, menulis Fungsi dan Peran Tari, Simbol dan
Makna dalam Upacara Aruh Ganal Di Masyarakat Suku Dayak Meratus,
Kalimantan Selatan. Penelitian ini membahas dan mendeskripsikan tentang
kehidupan orang Dayak Meratus dalam upacara Aruh Ganal serta mengetahui
fungsi tari sebagai ritual untuk keseimbangan kosmos antagonistik. Tujuan
penelitian ini adalah untuk menemukan fungsi dan peran tari, simbol dan makna
upacara Aruh Ganal. Zaini menggunakan teori Performance Studies sebagai
payung teori dipadu dengan Antropologi, Sosiologi, dan Estetika Paradoks.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan paradigma penelitian
kualitatif.
Suku Dayak Meratus adalah salah satu rumpun Dyak Ngaju yang berada di
Kalimantan Selatan. Salah satu upacara ritual yang masih dilaksanakan masyarakat
Dayak Meratus adalah upacara ritual Aruh Ganal, upacara ini merupakan upacara
syukuran pasca panen padi yang dilaksanakan setahun sekali oleh masyarakat
Dayak Meratus.Penyajian ritual Aruh Ganal dilaksanakan menjadi tiga tahap yaitu,
persiapan, pelaksanaan, dan penutupan. Pada keseluruhan fungsi prosesi upacara

8
merupakan ritual. Fungsi tari adalah sebagai ritual untuk keseimbangan kosmos
antagonistik. Peran tari untuk mengundang, menjamu, dan meminta doa
keselamatan. Hal itu tersimbolkan pada tari bakanjar (mengundang), tari Batandik
(menjamu dan meminta doa). Konsep dualisme antagonistik menyatakan suku
Dayak Meratus yang selalu menjaga keseimbangan dan keselarasan antara manusia
dengan kosmos.
Simbol dan makna pada upacara ada pada penari yang diperankan oleh laki-
laki dan pemusik yang diperankn oleh perempuan adalah sebuah pola pikir, nilai,
dan norma yang berlaku di masyarakat suku Dayak Meratus. Laki-laki menjadi
pemimpin dalam datu keluarga dan perempun yang melengkapi, hal itu tercermin
dari pelaksanaan upacara ini. Melalui prosesi batandik, ritual Aruh Ganal
merupakan upacara kesuburan. Hal itu dimanifestasikan dalam bentuk property tari
gelang hyang, dimana merupakan simbol yoni (perempuan) dan penarinya simol
lingga (laki-laki). Seruan untuk kesuburan pada berbagai kedudukan yang terwujud
dari 3 lapis gelang tersebut yaitu dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah. Gerak
memutar altar panggung lalaya merupakan sebuah simbol arus kehidupan yang
mereka jalani dalam menunjukkan konsistensi, keutuhan, satu kesatuan karena
berpusat pada satu titik. Ciri ritual yang lain adalah busana, simbol dan makna pada
busana para pelaku upacara Aruh Ganal yaitu kesederhanaan, spiritual, dan
kebahagiaan. Busana ini juga menunjukkan identitas, status sosial, dan aturan-
aturan adat yang ada pada masyarakat. Dengan demikian disimpulkan bahwa
upacara Aruh Ganal adalah cara masyarakat Suku Dayak Meratus untuk menjaga
keseimbangan keselarasan serta kesatuan antara manusia dengan makhluk hidup
(mikrokosmos), manusia dengan alam (makrokosmos), dan manusia dengan Tuhan
(metakosmos).
Penelitian yang dilakukan oleh Zaini berkontribusi terhadap penelitian yang
dilakukan oleh peneliti saat ini, karena sama-sama melihat peran sebuah tarian
dalam upacara adat. Sementara perbedaannya adalah, Zaini meneliti Fungsi dan
Peran Tari, Simbol dan Makna dalam Upacara Aruh Ganal Di Masyarakat Suku
Dayak Meratus, Kalimantan Selatan. Semantara peneliti akan memfokuskan pada

9
nilai dan peran tari Anak dalam upacara adat Mallaulu di Kabupaten Simeulue,
Aceh.
Vani Sasri Wahyuni, Nursyirwan dan Rosta Minawati (2017) Jurnal Bercadik,
menjelaskan tentang “Makna Tari Sikambang Pada Masyarakat Kambang
Kecamatan Lengayang Kabupaten Pesisir Selatan”. Tari Sikambang bermula dari
kisah nyata di daerah Kambang tepatnya di Kampung Medan Baik, yaitu tentang
kisah keluarga Raja Bagindo Paca Matodan istrinya Puti Gadi Aluih, mengisahkan
tentang anak raja yang dibunuh oleh orang terdekat sebagai pembantu raja, dengan
tujuan agar warisan raja jatuh ke tangannya. Dari hal tersebut, sehingga masyarakat
berinisiatif menciptakan sebuah tarian dengan menggunakan ratok (tangisan) dalam
bagian tari yang berjudul tari Sikambang. Ratok dijadikan sebagai dendang dalam
musik tari Sikambang, atau lebih dikenal dengan lagu Sikambang. Hubungan tari
Sikambang dengan lagu Sikambang adalah sikambang dalam tari merupakan
sebuah nama dari lagu pengiring tari. Sikambang yang dijadikan sebagai dendang
pembuka tari Sikambang.
Tari Sikambang dengan lagu Sikambang adalah sama-sama pertunjukan
tradisional anak nagari yang lahir di daerah Pesisir Selatan bersifat hiburan dan
sama-sama mempunyai tema cerita menggambarkan tentang kesedihan. Tari
Sikambang sebagai tari tradisional merupakan rekayasa simbolis yang terinspirasi
dari kisah nyata. Kisah nyata tersebut terangkum dalam tiga babak, yakni, (1) Babak
I : Sikambang yakni, babak pembuka dalam bagian tari Sikambang. Babak
pembuka tari Sikambang diberi nama Sikambang, karena Sikambang dalam tari
adalah nama dari suatu lagu pengiring yang dipertunjukan pada sebuah tari
Sikambang yaitu dendang pembuka tari Sikambang; (2) Babak II : Maratok
(ratapan) merupakan bagian yang menceritakan tentang kesedihan raja dan istri,
mereka mengetahui bahwa anak mereka telah tiada; (3) Babak III : Katera. Babak
katera merupakan babak penutup dari bagian tari Sikambang. Katera pada tari
Sikambang ini diartikan sebagai joget atau goyang. Babak Katera adalah babak
terakhir dari pertunjukan tari Sikambang. Gambaran tentang bentuk tari Sikambang
adalah di saat penari bergerak mengayunkan anak dalam gendongan (pangkuan)
diiringi ratok, gerakannya seperti seorang ibu yang sedang menggendong anak.

10
Penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni dan kawan-kawan berkontribusi
terhadap tesis yang diteliti yakni sebagai salah satu sumber mengenai asal muasal
tari Sikambang yang diyakini bersama yakni berasal dari daerah Kambang yang
berada di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Terdapat persamaan dan
perbedaan antara tari Sikambang yang ada di Pesisir Selatan, Sumatera barat,
kemudian di Tapanuli Tengah, Sibolga dan juga yang ada di Pesisir Barat Selatan
Aceh, Kabupaten Simeulue. Diharapkan melalui jurnal ini, peneliti bisa dapat
mengkaji lebih dalam tentang asal muasal hingga perkembangan tari Sikambang
atau tari Anak yang ada di masing-masing daerah. Adapun kesamaan penelitian
yang dilakukan oleh Wahyuni dan kawan-kawan dengan peneliti adalah sama-sama
meneliti tentang tari Sikambang atau tari Anak. Sementara perbedaannya adalah,
jika Wahyuni dan kawan-kawan meneliti tentang tari Sikambang yang ada di Pesisir
Selatan, Sumatera Barat dengan kisah keluarga Raja Bagindo Paca Mato dan
istrinya Putih Gadih Aluih dan disajikan dalam tiga bagian. Sementara peneliti,
meneliti tari Sikambang yang masyarakat Simeulue menyebutnya dengan tari Anak
memiliki kisah sepasang suami istri yang memiliki seorang anak, yang kemudian
anak tersebut sakit, hingga sang ayah dan ibu berusaha pergi mengobati sang anak
dengan menemui seorang tabib untuk mengobati sang anak. Sementara rangkaian
tari Anak yang ada di Kabupaten Simeulue memiliki 18 ragam gerak pada
penyajiannya.
Darmansyah (2016) Jurnal Garak Jo Garik Pengkajian dan Penciptaan Seni,
yang berjudul “Ratok Sikambang dan Tari Sikambang Sebagai Ekspresi Budaya
Masyarakat Batang Kapas Di Kabupaten Pesisir Selatan”. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui dan menganalisis salah satu repertoar lagu dalam pertunjukan
biola yang sangat dikenal oleh masyarakat setempat, yaitu Ratok Sikambang.
Penelitian ini menerapkan metode kualitatif dengan pendekatan semiotik sebagai
simbol budaya.
Tulisan ini membahas keterkaitan ratok Sikambang dengan tari Sikambang
pada masyarakat Pesisir Selatan. Ratok Sikambang merupakan penyampaian teks
kaba (cerita) yang diratokkan dengan iringan instrumen gesek mirip biola (viol)
yang penyajiannya dikenal dengan Babiola. Ratok Sikambang yang diyakini

11
sebagai ratok tradisional tertua di daerah Pesisir Selatan memiliki karakteristik
melodi dan teks yang diekspresikan dalam bentuk isak tangis/ratapan yang
dipandang masyarakat pendukungnya sebagai representasi suasana sedih kebatinan
yang dialami tokoh legenda Sikambang yang selalu dirundung penderitaan hidup.
Pernyataan sedih ini diungkapkan juga melalui gerak-gerak tari yang ditarikan
oleh dua orang penari yaitu; satu orang laki-laki dan satu orang lagi perempuan
dengan menggunakan properti kain. Gerak tari diwujudkan sesuai dengan irama
ratok Sikambang yang dihasilkan tukang biola.
Berdasarkan cerita oral yang berkembang di tengah masyarakat Pesisir Selatan,
diceritakan bahwa kisah legenda Sikambang berawal dari peristiwa-peristiwa yang
terjadi di dalam kerajaan Minangkabau yang dipimpin sementara waktu ketika itu
oleh Bundo Kanduang, karena anaknya Dang Tuangku sebagai putra mahkota calon
pengganti raja masih berumur remaja. Dalam tradisi kerajaan Minangkabau,
seseorang yang berperan sebagai pembantu Bundo Kanduang atau pembantu raja
di Istana diberi panggilan khusus dengan nama ‘Sikambang.’ Dengan demikian
terdapatlah beberapa orang Sikambang di Istana Kerajaan Minangkabau; ada
Sikambang yang berasal dari Pesisir Selatan daerah Sumatera Barat, ada pula
Sikambang yang negeri asalnya Pesisir Selatan (Sibolga) daerah Sumatera Utara,
dan terdapat juga Sikambang yang dari Pesisir Barat daerah Aceh Darussalam. Oleh
karena itu masyarakat pada ketiga daerah tersebut masih mewarisi legenda
Sikambang hingga sekarang dan memposisikan figur Sikambang sebagai simbol
kehidupan sosial dan simbol kehidupan seni sesuai persepsi yang dibangun oleh
masyarakat daerahnya masing-masing.
Di sisi lain, berdasarkan wawancara dengan salah seorang budayawan Pesisir
Selatan bernama Bchtiar (wawancara di Salido, 24 Juni 2015). Dengan demikian,
di antara ratok-ratok Sikambang yang ada di Pesisir, maka ratok Ratok Sikambang
adalah dianggap paling sakral oleh masyarakat Pesisir Selatan, karena terlahir dari
latar belakang legenda Sikambang yang cukup fenomenal.
Penelitian yang dilakukan Darmansyah berkontribusi terhadap penelitian ini,
dimana penelitian ini membahas tentang ratok Sikambang yang ada di Pesisir
Selatan, sehingga nantinya akan memudahkan peneliti dalam menganalisis syair

12
yang terdapat pada Sikambang atau tari Anak yang ada di Kabupaten Simeulue.
Disamping itu, jurnal ini juga memberikan informasi yang relevan terhadap adanya
ikatan emosional antara masyarakat etnis Aneuk Jame di pesisir Sumatera yakni
masyarakat Minangkabau, Pesisir Tapanuli Tengah hingga Aceh. Adapun
perbedaan antara keduanya yakni, Darmansyah hanya meneliti tentang syair
Sikambang pada masyarakat Pesisir Selatan, sementara peneliti akan meneliti
tentang nilai dan peran tari Anak yang menggunakan syair Sikambang dalam
iringannya yang terdapat pada acara adat Mallaulu di Kabupaten Simeulue.
Hasbi Ali (2017) Jurnal Pkn Progresif, yang berjudul “Transformasi Nilai
Nilai Kearifan Lokal (Local Genius) Dalam Proses Pembelajaran Sebagai Upaya
Pembentukan Karakter Bangsa Pada SMA Se-Kabupaten Simeulue”. Penelitian ini
membahas tentang pendidikan nasional yang berfungsi untuk mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Oleh
karena itu, para pendidik diharapkan dapat mentranformasikan nilai- nilai kearifan
lokal (local genius) dalam setiap proses pembelajaran secara lintas bidang ilmu.
Cerita rakyat dapat dikatakan menyimpan sejumlah informasi sistem budaya seperti
filosofi, nilai, norma, perilaku masyarakat. Bercermin pada peristiwa Gempa dan
Tsunami yang melanda Provinsi Aceh tahun 2004 yang lalu, maka cerita rakyat
Simeulue merupakan bukti nyata betapa pentingnya tranformasi budaya pada
generasi muda.
Memori kolektif masyarakat Simeulue tentang Tsunami dahsyat pada tahun
1907 yang dikenal oleh masyarakat setempat dengan istilah Smong telah terbukti
dapat menyelamatkan masyarakat Simeulue dari bencana Tsunami tersebut. Smong
adalah pemahaman mengenai budaya masa lalu yang telah tertanam secara kolektif
dalam masyarakat Simeulue. Smong dalam bentuk konkretnya merupakan sebuah
cerita (nanga-nanga, tarian Sikambang, atau musik tradisional nandong) atau
kesenian tradisional berupa dendang. Kata Smong (nama lain dari Tsunami dalam
bahasa Simeulue) merupakan sebuah bentuk pemahaman budaya yang telah
mengalami proses ditanamkan berpuluh-puluh tahun dalam memori kolektif
masyarakat Pulau Simeulue. Cerita tentang Smong karena telah menjadi memori
kolektif, maka kata Smong telah menjadi bagian dari jati diri (karakter) masyarakat

13
Simeulue. Potongan syair tentang Smong dapat ditemukan pada senandung
pengantar tidur anak-anak di Pulau Simeulue. Istilah Smong dikenal masyarakat
Simeulue setelah tragedi Tsunami pada hari Jumat, 04 Januari 1907.
Gempa disertai Tsunami dahsyat yang terjadi di wilayah perairan Simeulue
masih pada zaman penjajahan Hindia Belanda. Kejadian Tsunami ini tercatat dalam
buku Belanda S-GRAVENHAGE, MARTINUSNIJHOF tahun 1916 yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Saat itu masyarakat Simeulue belum
mengetahui perihal Tsunami ini, laut yang tiba-tiba surut pasca gempa menjadi
daya tarik bagi masyarakat pesisir pantai, karena ditemukannya banyak ikan-ikan
yang terdampar. Sebagian besar penduduk pesisir berlarian ke arah pantai dan
berebut ikan-ikan yang terdampar tersebut, akan tetapi secara mengejutkan tiba-
tiba kemudian datanglah Tsunami yang menderu-deru dari arah laut lepas, sehingga
sebagian besar masyarakat meninggal atas kejadian itu. Sebagian yang selamat,
menjadi saksi mata atas kejadian Smong dan menuturkannya untuk generasi
mendatang agar berhati- hati terhadap kejadian serupa.
Berdasarkan paparan diatas, terdapat persamaan dan peredaan antara penelitian
Ali dengan penelitian yang dilakuakn oleh peneliti. Penelitian Ali mengkaji tentang
nilai-nilai local genius yang ada di Kabupaten Simeulue yakni Smong atau Tsunami
yang memiliki pesan dan nilai terdapat dalam syair-syair Nandong, Sikambang,
Nanga-nanga serta Nafi-nafi, yang kemudin di implementasikan sebagai upaya
pementukan karakter bangsa bagi siswa SMA yang ada di Kabupaten Simeulue.
Adapun peneliti disini meneliti tentang nilai dan peran tari Anak yang ada dalam
upacara adat Mallaulu di Kabupaten Simeulue.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa syair yang terdapat pada tari Anak,
merupakan syair berbalas pantun yang oleh masyarakat Simeulue menyebutnya
dengan sebutan Sikambang. Sehinggan penelitian yang dilakukan oleh Ali
berkontribusi terhadap penelitian ini yakni sebagai sumber acuan pendukung
tentang peran Sikambang dalam kehidupan masyarakat Kabupaten Simeulue serta
nilai-nilai local genius yang bisa diterapkan dalam sistem kehidupan masyarakat
serta sistem pembelajaran di Kabupaten Simeulue.

14
Fitri Anggriani, Ismawan, dan Tengku Hartati (2017) Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Program Studi Pendidikan Seni Drama, Tari dan Musik Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Unsyiah. Meneliti tentang “Bentuk Penyajian Tari Anak Pada
Adat Perkawinan Di Kecamatan Simeulue Timur Kabupaten Simeulue”. Penelitian
ini memaparkan tentang teks yang terdapat pada tari Anak yang terdapat di
Kabupaten Simeulue, yakni meliputi bagaimana masyarakat Simeulue mengemas
dan menyajikan tarian ini dalam sebuah bentuk pertunjukan, yang kemudian dilihat
dari gerak, rias, busana, iringan, properti hingga tata panggung yang digunakan
pada penyajian tari Anak tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan bentuk penyajian tari Anak pada adat perkawinan di Kecamatan
Simeulue Timur Kabupaten Simeulue.
Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif dengan metode deskriptif.
Tari Anak yang merupakan salah satu bagian dari Tari Andalas menceritakan
tentang sepasang suami istri yang merawat Anaknya yang sedang sakit dan
berusaha keras untuk mengobati Anaknya. Tari ini sudah dikenal masa kolonial
Belanda yang dulunya dibawakan oleh penari yang berasal dari Aceh Singkil. Sejak
saat itu Tari Anak yang termasuk salah satu bagian dari Tari Andalas terus
dikembangkan dan dilestarikan oleh seniman Simeulue hingga saat sekarang ini.
Tarian ini ditampilkan khusus pada acara adat perkawinan malam Bainai Gadang
khususnya di wilayah Kecamatan Simeulue Timur Kabupaten Simeulue.
Kabupaten Simeulue terbagi menjadi delapan Kecamatan, tetapi adat
perkawinan ini hanya dilaksanakan oleh mayoritas masyarakat yang tinggal di
Kecamatan Simeulue Timur. Sekarang hanya sebagian kecil dari masyarakat di
Kecamatan Simeulue Timur yang masih menggunakan adat perkawinan ini.
Biasanya masyarakat dengan status sosial menengah ke atas yang menggunakan
adat perkawinan ini karena biaya pelaksanaan memerlukan dana lebih dan ada juga
yang tidak ingin mempersulit rangkaian persiapan pernikahan. Oleh karena itu
tercatat dalam satu tahun hanya 10 sampai 12 orang yang menggunakan adat
perkawinan ini. Tarian Anak ditarikan oleh dua orang penari yang berperan sebagai
ibu dan ayah, kemudia dua pemain musik yang sangat berperan mengiringi tari
tersebut. Tari ini dilakukan dengan gerakan yang berulang-ulang gerakan yang

15
dilakukan seperti orang bersilat. Gerakan tersebut kesannya seperti diulang-ulang
saja. Tari ini dilakukan pada malam Bainai Gadang di depan mempelai laki-laki
dan mempelai perempuan, saat berlangsungnya Tari Anak kedua mempelai duduk
di atas pelaminan menyaksikan Tari Anak tersebut sampai selesai dan sebelum tari
tersebut selesai kedua mempelai belum boleh meninggalkan pelaminan.
Penelitian yang dilakukan Anggriani dan kawan-kawan berkontribusi pada
penelitian ini. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Anggriani akan menjadi sumber
dan menjadi acuan utama bagi peneliti dalam meneliti tentang nilai dan peran yang
terdapat pada tari Anak yang ada di Kabupaten Simeulue. Adapun perbedaan antara
keduanya adalah, penelitian yang dilakukan Anggriani hanya membahas tentang
bentuk penyajian tari Anak, sementara peneliti akan mencoa mengkaji lebih dalam
tentang teks dan konteks yakni terkait nilai dan peran yang terkandung pada tari
Anak dalam acara adat Mallaulu di Kabupaten Simeulue.
Fahriani (2014) Wacana Haba, Membahas tentang “Tradisi Lisan Dari
Tapanuli Tengah”. Sumatera Utara terkenal kaya dengan aneka seni dan budayanya
seiring dengan keanekaragaman suku bangsa yang mendiami Provinsi Sumatera
Utara. Kesenian yang dimilikinya meliputi seni musik, seni tari, seni suara da seni
lainnya yang menjadi kekayaan budayanya. Salah satu kesenian tradisional yang
dimiliki oleh Provinsi Sumatera Utara adalah kesenian Sikambang yang merupakan
kesenian tradisional masyarakat Pesisir Sibolga Tapanuli Tengah.
Sibolga merupakan kawasan pesisir yang merupakan bagian dari Sumatera
Utara, yang sebahagian penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan. Adat
dan budayanya menunjukkan kepribadian dari masyarakat pesisir yang mempunyai
perasaan halus, tenggang rasa yang sesuai dengan alamnya seperti launan ombak
dan riak gelombang yang gulung menggulung ikut mengikuti satu dengan lainnya
bersama-sama berdebur di Tepian Teluk Sibolga. Kesenian tradisional ini biasanya
dilakukan pada malam pesta perkawinan masyarakat Sibolga yang dibarengi
dengan berbalas pantun.
Sikambang adalah seni tradisi lisan masyarakat pesisir Tapanuli Tengah yang
berisikan syair-syair tentang kehidupan. Pada saat ini tradisi tersebut semakin
berkembang yang di dalam penggunaannya seni Sikambang sudah dipadupadankan

16
dengan tarian, seperti tari Anak, tari Adok, tari Pahlawan serta tarian tradisional
lainnya, sementara untuk iringannya sudah menggunakan alat alat musik tambahan
seperti Gondang Sikambang, Gondang Batapik, Biola, dan Caranoh. Pada awalnya
kesenian Sikambang hanya menggunakan suara vocal yang dipadukan dengan
pukulan tangan terhadap pinggiran perahu yang terbuat dari kayu.
Menurut sejarahnya, tardapat dua versi tentang asal mula kesenian Sikambang.
Versi pertama mengatakan bahwa Sikambang berawal dari masuknya agama Islam
di pantai barat Sumatera Utara, tepatnya daerah Barus. Saat itu, para pembawa
agama Islam datang untuk “mengambang” (menyiarkan) agama Islam melalui
kesenian daerah setempat. Akhirnya kata Sikambang tersebut melekat pada
masyarakat setempat untuk mengambang” ajaran agama Islam yang dibawa oleh
para pedanga Persia. Selanjutnya, versi lain menurut Radjoki, asal usul Sikambang
merupakan sebuah legenda, seperti yang tertulis pada abad ke-VII tentang kisah
seorang puteri yang bernama Puteri Runduk dan dayangnya yang bernama
Sikambang. Dari hasil kedua sejarah tersebut, maka masyarakat Tapanuli Tengah
menjadikan kesenian Sikambang menjadi kesenian tradisional setempat.
Karya tulis ini berkontribusi dalam penelitian yang dilakukan peneliti, yakni
terkait asal mula Sikambang yang berasal dari Tapanuli Tengah Sibolga dan juga
tentang tampilan Sikambang yang ditampilkan pada upacara perkawinan, khitanan
dan upacara tradisional lainnya. Karya tulis ini dapat menambah referensi terkait
Sikambang dan tari Anak yang ada di Tapanuli Tengah Sibolga. Terdapat peredaan
antara karya tulis Fariani dengan peneliti, yakni jika Farini menitik beratkan pada
asal mula Sikambang yang berupa syair yang ada di Tapanuli Tengah Sibolga,
sementara peneliti menulis tentang Tari anak yang menggunakan Sikambang
sebagai pengiring tari Anak dalam adat Mallaulu yang ada di Kabupaten Simeulue
dan untuk menentukan nilai dan peran melalui syair yang ada.
G. Landasan Teori
1. Teori Etnokoreologi

Narawati dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu
Pendidikan Seni di Universitas Pendidikan Indonesia (2009. hal. 8-10) menjelaskan

17
terkait apa itu Etnokoreologi dan menggapa kita harus menggunakan istilah tersebut
dalam pengkajian sebuah tari.

Dalam seni tari dikenal pula istilah Etnokoreologi (Ethnochoreology) untuk


menamakan disiplin kajian tari yang mencermati tari seperti yang diutarakan
oleh Merriam dan Hold. Seperti kita ketahui, kajian tari yang semula mendapat
nama Etnologi Tari (Dance Ethnology) atau Antropologi Tari (Dance
Anthropology), baru mulai mendapat perhatian secara khusus dari para peneliti
di Inggris pada awal abad ke-20. Boas (Shelemay, ed., 1992:73)
mendefinisikan etnologi tari sebagai “sebuah studi tentang kebudayaan serta
bentuk-bentuk sosial yang terekspresikan lewat medium tari; atau bagaimana
fungsi-fungsi tari dalam pola kebudayaan”. Kemudian Kurath (1960:235)
dalam tulisannya yang berjudul “Panorama Of Dance Ethnology”
menyamakan istilah Ethnochoreography dengan Etnologi tari dan
mendefinisikannya sebagai “studi ilmiah tentang tari-tarian etnis atas semua
signifikansnya dalam kebudayaan, fungsi-fungsi keagamaan atau simbolisme,
atau tempatnya dalam masyarakat”. Dalam tulisan ini Kurath (1960:236) mulai
memunculkan istilah Koreology (Choreology). Ia berpendapat, bahwa
koreologi mengamati tentang setting budaya tari, termasuk kedudukan budaya
dari individu-individu, pola-pola organisasi sosialnya, serta aktivitas
ekonominya. Koreologi dapat pula mengidentifikasi gaya-gaya lokal serta
gaya-gaya yang tersebar ke wilayah yang lebih luas. Lebih lanjut ditegaskan,
seorang koreolog (choreologist) dapat mendesain studi-studi komperatif untuk
memecahkan masalah-masalah prasejarah, orthogenesis, difusi, serta
perubahan-perubahan internal serta akulturasi. Masih ada seorang sarjana lagi
yaitu Kaeppler (1967) yang secara serius mengerjakan disertasi untuk gelar
doktornya berjudul The Structure of Tongan Dance dengan tegas mengatakan,
bahwa seorang sarjana Antropologi Tari harus memiliki penguasaan pada
disiplin-disiplin antropologi, linguistik, etnomusikologi, notasi tari, serta
memiliki penguasaan tari yang ditelitinya secukupnya. Selanjutnya dalam
seminar di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) di Surakarta Soedarsono
mengutarakan, sudah siapkah kita menggunakan Istilah Etnokoreologi untuk
mengganti nama kajian tari di Indonesia? (Soedarsono, 2000). Penggantian
istilah etnokoreologi ini lebih merupakan saran agar dalam kiprah para
penelitian tari tidak terlalu tertinggal jauh dari pada penelitian dalam bidang
musik-musik etnis di Indonesia yang telah agak lama menggunakan istilah
Etnomusikologi.
Dalam praktiknya, Tati Narawati sudah membuktikan efektivitas penggunaan
pendekatan Etnokoreologi dalam kajian sebuah tari. Seperti disertasinya yang
berjudul “Pengaruh Budaya ‘Priyayi’ dan Tari Jawa terhadap Perkembangan Tari
Sunda” memperoleh hasil yang maksimal, dengan pendekatan Etnokoreologi dan
sistem analisis yang digunakan dengan berbagai konsep, serta menggunakan teori

18
berbagai disiplin atau bisa dikatakan menggunakan pendekatan multidisiplin untuk
memecahkan masalah yang ada, sehingga pendekatan historis yang dipadu dengan
teori dan konsep Sosiologi serta Antropologi (Masunah, Juju dan Tati Narawati,
2012. hal. 53).
Dapat disimpulkan, Etnokoreologi hadir sebagai kajian tari yang berlandas
etnis, yang memiliki tempat dimasyarakat. Diharapkan kepada para peneliti di
Indonesia agar dapat menggunakan istilah Etnokoreologi dalam pengkajian tari
yang bersifat kearifan lokal. Seperti tari Anak yang ada pada upacara Adat
Mallaulu, dirasa cocok menggunakan pendekatan ini karena tari Anak juga
merupakan salah satu kearifan lokal yang ada di Kabupaten Simeulue. Dengan
demikian peneliti akan menggunakan pendekatan Etnokoreologi untuk membedah
teks dan konteks yang terdapat pada tari Anak dalam upacara Adat Mallaulu di
Kabupaten Simeulue, Aceh.
2. Teori Komposisi Tari
John Martin seorang penulis dan kritikus tari dari Amerika Serikat dalam
bukunya yang berjudul The Modern Dance mengemukakan, bahwa subtansi baku
tari adalah gerak. Disamping itu ia mengutarakan pula, bahwa gerak adalah
pengalaman fisik yang paling elementer dari kehidupan manusia (Sedyawati, Edi
dkk, 1986. hal. 81). Karena tari adalah seni, walaupun subtansi dasarnya adalah
gerak, tetapi gerak-gerak di dalam tari itu bukanlah gerak yang realistis, melainkan
gerak yang telah diberi bentuk ekspresif. Selanjutnya Curt Sahch dengan memaknai
gerak sebagai elemen pertama dari tari dan ritme sebagai elemen kedua
mengemukakan definisi, yakni “tari adalah gerak yang ritmis” (Sedyawati, Edi dkk,
1986. hal. 82). Ini mengisyaratkan bahwa gerakan lebih besar berkaitan dengan pola
waktunya sebagai sebuah proses, seperti halnya yang dikemukakan oleh Dr. J.
Verkuyl (Hidajat. 2005. hal.25) “tari adalah gerak-gerak tubuh dan anggota-
anggotanya yang diatur sedemikian rupa sehingga berirama”. Selanjutnya
Soerjodiningrat menjelaskan lebih rinci “yang disebut dengan tari adalah seluruh
gerakan anggota badan yang selaras dengan bunyi musik (gamelan), diatur sesuai
irama lagu (gending), yang sesuai dengan maksud dari tari” (Hidajat. 2005. hal.26).
Disimpulkan bahwa gerak merupakan unsur utama yang harus ada dalam sebuah

19
tarian, dengan gerak maka akan tercipta sebuah tarian yang salah satu fungsinya
adalah sebagai media penghubung untuk menyampaikan sebuah pesan melalui
simbol-simbol gerak yang terkandung di dalamnya.
Selanjutnya jika dilihat berdasarkan pola garapannya, tari dapat dibagi menjadi
dua jenis, yaitu tari tradisional dan tari kreasi baru. Yang termasuk dalam kelompok
tari tradisional adalah semua tarian yang mengalami perjalanan sejarah yang cukup
lama, yang selalu bertumpu pada pola-pola tradisi yang telah ada. Tari tradisional
sendiri terbagi atas nilai artistik garapannya, yakni tari primitif (sederhana), tari
rakyat atau tari pergaulan, dan tari klasik yang berkembang di kalangan raja dan
bangsawan yang telah mencapai kristalisasi artistik yang memiliki nilai tradisional.
Selanjutnya tari kreasi baru, yaitu ungkapan seni yang tidak berpolakan tradisi,
tetapi lebih merupakan garapan baru yang tidak berpijak pada standar yang telah
ada (Sedyawati, Edi dkk, 1986. hal. 92-95). Sedangkan menurut fungsinya, tari
bisa berbentuk sebagai tari upacara agama dan adat, tari bergembira atau tari
pergaulan dan tari pertunjukan atau tontonan. Selanjutnya Sedyawati, Edi dkk
(1986. hal. 97-98) menjelaskan perkembangan komposisi tari di Indonesia,

Tari juga dapat dibagi berdasarkan bentuk komposisinya serta temanya, dalam
duni tari komposisi tari sering disebut sebagai koreografi. Istilah koreografi
merupakan istilah baru di Indonesia yang mulai dikenal sekitar tahun 1950,
ketika Pemerintah Republik Indonesia mulai giat mengirim misi kesenian ke
Luar Negeri. Istilah koreografi sudah sering digunakan, bahkan penyebutan
istilah koreografer juga sudah banyak digunakan untuk menamakan seorang
penggarap atau pengubah tari. Istilah koreografi berasal dari kata Yunani
choreia yang berarti tari masal dan kata grapho yang berarti catatan. Jadi
apabila diartikan berdasarkan makna kata-katanya saja, koreografi berarti
catatan tentang tari. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya arti koreografi
berubah menjadi garapan tari atau dance composition. Sampai permulaan abad
ke XX istilah koreografi masih mempunyai arti sesuai dengan arti kata-
katanya. Istilah ini mulai populer di Eropa setelah Roul Ager Feuillet seorang
ahli tari pada jaman Raja Louis-XIV di Prancis pada tahun 1700 menerbitkan
sebuah buku yang berjudul Choregraphie, Oul’Art Decrire La Dance
(Koreografi, atau Seni Mencatat Tari). Tetapi sekarang koreografi bisa
diartikan garapan tari atau komposisi tari. Sedang sistem pencatatan tari disebut
notasi tari (dance notation).
Berdasarkan bentuk koreografinya, tari dapat dibagi atas beberapa bentuk,
yaitu tari tunggal (solo), tari duet (past dedeux) atau berpasangan, dan tari

20
kelompok (group choreography). Pembagian semacam ini berdasarkan atas jumlah
penarinya. Sedangkan menurut temanya, tari dibagi menjadi dua, yaitu tari dramatik
dan tari non dramatik ). Apabila tari dinilai sebagai suatu bentuk seni, maka perlu
kiranya untuk sedikit mengetahui tentang komposisi tari. Pengetahuan komposisi
tari atau pengetahuan koreografi adalah pengetahuan yang harus diketahui oleh
seorang koreografer dari sejak menggarap gerak-gerak tari sampai kepada
pengetahuan tata cara menyiapkannya pada satu program pertunjukan. Adapun
elemen-elemen komposisi tari yang harus diketahui adalah gerak tari, desain lantai
atau floor design, desain atas atau air design, desain musik, desain dramatik,
dinamika, koreografi kelompok atau group choreography, tema, rias dan kostum,
prop tari, pementasan atau staging, tata lampu dan penyusunan acara (Sedyawati,
Edi dkk, 1986. hal. 103). Berdasarkan elemen-elemen komposisi tari diatas, maka
inilah nantinya yang akan digunakan peneliti dalam membedah tari Anak
berdasarkan koreografinya untuk mengetahui nilai dan peran tari Anak dalam
upacara adat Mallaulu di Kabupaten Simeulue.
3. Teori Fungsi
Tari yang ditampilkan bukan hanya sekedar dilihat dari bentuk gerakannya saja,
lebih dari itu tari dapat dilihat dari kajian fungsional yang berkaitan dengan
penetapan sumbangan tari dalam kehidupan masyarakat atau budaya secara
berkesinambungan (Royce, 2007. hal. 69).

Selanjutnya fungsi tari menurut Gertrude Kurath (Royce, 2007. hal. 84) dalam
artikelnya yang berjudul “Universality of Purpose” ia membuat empat belas
maksud atau peristiwa di mana tarian menyajikan fungsinya secara khusus, yakni
inisiasi pubertas, saling mengenal, hubungan baik, perkawinan, pendudukan,
pertumbuhan, tarian astronomik, berburu, peniruan binatang, peniruan perang, dan
morisca, penyembuhan, kematian, tarian ekstasi, tarian komedi. Selanjutnya
Anthony Shay menciptakan tipologi atas kategori yang ada dalam tingkatan yang
lebih umum, yakni 1) tari sebagai cerminan dan legitimasi tatanan sosial, tari
sebagai wahana ekspresi ritus yang bersifat sekuler maupun religius, tari sebagai
hiburan sosial atau kegiatan rekreasional, tari sebagai saluran maupun pelepasan

21
kejiwaan, tari sebagai cerminan nilai estetik atau sebuah kegiatan estetik dalam
dirinya sendiri, dan tari sebagai managemennya yang ketat, yang memasukkan
sosialisasi serta kontrolnya lewat elemen-elemen terpisah yang potensial; 2)
adaptasi, yang menunjuk pada penyesuaian antara lingkungan sosial dan non sosial,
peran, dan pembagiaan pekerjaan; 3) pencapaian tujuan, atau seluruh jangkauan
masyarakat, dan 4) integrasi, yang memasukkan semua mekanisme seperti halnya
kontrol sosial, struktur kekuasaan. Lebih lanjut Soedarsono (Hidajat. 2005. Hal.38)
menjelaskan tiga fungsi tari berdasarkan kemanfaatannya, yakni 1) fungsi tari
sebagai upacara, 2) fungsi tari sebagai hiburan, 3) fungsi tari sebagai pertunjukan.
Dapat disimpulkan tari berfungsi berdasarkan kebutuhan masyarakatnya,
dimana masyarakat sebagai penentu atas fungsi tari tersebut. Pada masyarakat
Kabupaten Simeulue, tari Anak bukan hanya berfungsi sebagai hiburan semata. tari
Anak berfungsi sebagai media pendidikan atas gambaran pola asuh kedua orang tua
kepada anak, seperti fungsi yang dijelaskan Shay dan Malinowski sebelumnya
yakni tari juga berfungsi sebagai sosialisasi, penyesuaian lingkungan serta
pencapaian tujuan dalam kehidupan berumah tangga serta dikaitkan dengan
kebutuhan psikologis dan biologis manusia itu sendiri.
4. Teori Folklor
Kata Folklor adalah pengindonesiaan kata Inggris folklore, kata itu adalah
kata majemuk, yang berasal dari dua kata dasar folk dan lore. Menurut Alan Dundes
(Dananjaya, James. 1991. hal. 1) folk adalah sinonim dengan kolektif, yang juga
memiliki ciri-ciri pengenal fisik atau kebudayaan yang sama, serta mempunyai
kesadaran kepribadian sebagai kesatuan masyarakat. Sementara lore adalah tradisi
folk yaitu sebagai kebudayaannya, yang diwariskan secara turun temurun secara
lisan atau melalui suatu contoh yang disertai melalui isyarat atau alat pembantu
pengingat. Selanjutnya Dananjaya memperluar definisi folklor secara lebih luas
sebagai kebudayaan kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun, diantara
kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam
bentuk tulisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat
pembantu pengingat (mnemonic device) (Dananjaya, James. 1991. hal. 2). Agar

22
dapat membedakan folklor dari kebudayaan lainnya, Dananjaya mengenali ciri-ciri
utama folklore pada umumnya (Dananjaya, James. 1991. hal. 3-4), yakni :
a) Penyebaran dan pewarisan biasanya dilakukan secara lisan, yakni
disebarkan melalui tutur kata dari mulut kemulut dari satu generasi ke
generasi berikutnya.
b) Folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap
atau dalam bentuk standar. Disebarkan di antara kolektif tertentu dalam
waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi).
c) Folklor ada (exist) dalam versi-versi bahkan dalam varian-varian yang
berbeda. Folklor dengan mudah dapat mengalami perubahan, walaupun
demikian perbedaannya hanya terletak pada bagian luarnya saja,
sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap bertahan.
d) Folklor bersifat anonim, yaitu nama pencitanya sudah tidak diketahui
orang lain.
e) Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola, seperti sajak,
puisi dan cerita rakyat.
f) Folklor mempunyai fungsi dalam kehidupan bersama suatu kolektif.
g) Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai
dengan logika umum.
h) Folklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu.
i) Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali
kelihatannya kasar dan terlalu spontan.
Berdasarkan bentuk folklor di Indonesia terdiri atas, bahasa rakyat, ungkapan
tradisional, pertanyaan tradisional, sajak dan puisi rakyat, cerita rakyat mite,
lagenda maupun dongeng, selanjutnya ada nyanyian rakyat, kepercayaan rakyar,
permainan rakyat hingga makanan rakyat. Ini semua merupakan bagian dari folklor
Indonesia yang harus di jaga dan dilestarikan. Adapun jenis folklor yang terdapat
pada masyarakat Simeulue Provinsi Aceh, salah satunya adalah folklor sajak yang
berbentuk nyanyian rakyat yang disebut Sikambang. Menurut Dananjaya (1991.
hal. 46) genre folklor lisan ini adalah bahwa kalimatnya tidak berbentuk bebas (free
phrase) melainkan berbentuk terikat (fix phrase). Sajak atau puisi rakyat adalah
kesusastraan rakyat yang sudah tertentu bentuknya, biasanya terdiri atas beberapa
deret kalimat, ada yang berdasarkan mantra, panjang pendek suku kata, lemah
tekanan suara, atau hanya berdasarkan irama. Sementara menurut Jan Harold
Brunvand (Dananjaya, 1991. hal. 141) nyanyian rakyat adalah salah satu genre atau
bentuk folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu, yang beredar secara lisan di

23
antara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional, serta banyak mempunyai
varian.
Adapun sajak Sikambang yang di lantunkan masyarakat Simeulue diiringi oleh
pukulan rapa’i dan biola. Sajak Sikambang banyak memiliki kisah, diantaranya
kisah kasih sayang, percintaan, nasihat, untung rugi, hingga perantauan. Sajak
Sikambang digunakan dalam mengiringi berbagai tarian tradisional yang ada di
Kabupaten Simeulue, diantaranya tari Anak yang disajikan pada malam bainai
gadang upacara adat Mallaulu. Dari lantunan sajak-sajak yang berbentuk nyanyian
rakyat tersebutlah masyarakat Simeulue mampu mengambil hikmah dan pelajaran
sehingga selamat dan tentram dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.
5. Teori Filsafat Nilai
Nilai adalah sesuatu yang dipandang berharga oleh orang atau kelompok orang
serta dijadiakan acuan tindakan maupun pengarti arah hidup (Sutrisno dan Hendar
Putranto, 2005. hal.67). Pengertian lain tentang Nilai, yakni sesuatu yang
dipentingkan manusia sebagai subjek, menyangkut segala sesuatu yang baik atau
buruk, sebagai abstraksi, pandangan atau maksud dari berbagai pengalaman dalam
seleksi perilaku yang ketat (Soelaeman, 2005. hal. 35). Lebih lanjut Alasdair
Macintyre dalam karya terakhirnya Dependent Rational Animals dan Philipp Foot
yang berjudul Natural Goodness, para filsuf tersebut menyatakan bahwa ada
banyak manfaat yang bisa diperoleh dengan fokus pada makna predikatif kata
“baik” dari pada fokus pada makna kontributifnya. Konsep moral secara “tipis”
mereka beranggapan hanya sekedar baik-buruk, salah-benar, yang seharusnya
memiliki makna yang lebih “tebal” seperti kedermawanan dan tata krama. Adapun
pendekatan terhadap filsafat moral ini sering disebut dengan teori nilai (Graham,
2015. hal.88).
Selanjutnya Soerjono (1983. hal. 161) menyatakan, nilai dapat disimpulkan
sebagai sesuatu yang positif dan bermanfaat dalam kehidupan manusia dan harus
dimiliki setiap manusia untuk dipandang dalam kehidupan masyarakat. Menurut
Nicholas Resche (Parmono, 1989) menjelaskan nilai diartikan sebagai kualitas atau
sesuatu kenyataan yang mempunyai keunggulan, kegunaan dan diinginkan.
Selanjutnya Harold (Parmono, 1989) menjelaskan pengetahuan, nilai dan

24
perbuatan, pada hakikatnya berhubungan. Fungsi utama dari pengetahuan dan nilai
adalah memberi bimbingan bagaimana seharusnya perbuatan dilakukan. Salah satu
nilai yang sering kita praktikkan dalam kehidupan adalah nilai etika atau moral,
sehingga mamfaat nilai yang terdapat pada tari Anak sangat pantas untuk diterapkan
di Masyarakat Simeulue, agar terciptanya jalinan kekeluargaan dan hubungan antar
masyarakat yang harmonis.
6. Teori Peran Sosial
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Peran, adapun teori
yang digunakan adalah teori Linton (1936), seorang antropolog yang telah
mengembangkan teori peran dengan menggambarkan interaksi sosial dalam
terminologi aktor-aktor yang bermain sesuai dengan apa-apa yang ditetapkan oleh
budaya. Selanjutnya Biddle dan Thomas menjelaskan peran adalah seperangkat
aturan yang menentukan apa perilaku yang harus dijalankan oleh seseorang anggota
dari posisi tersebut lakukan (Henderson, dalam Zaini, 2018, hal.24) Lebih lanjut
Zaini menjelaskan peran adalah sebuah identitas seseorang yang dipercayai oleh
suatu komunitas masyarakat dalam melakukan tugas di dunia, sehingga tercipta
keseimbangan, peran menggariskan mengenai sejumlah konsep yang berhubungan
dengan peran yang melekat pada diri seseorang (2018, Hal. 24-25) .
Peran merupakan aspek dinamisasi kedudukan (status) (Soekanto, 2006. hal.
243). Adapun konsep tentang peran (role) yang dijelaskan oleh Komaruddin (1994.
hal. 768), 1) bagian dari tugas utama yang harus dilakukan oleh manajemen; 2) Pola
perilaku yang diharapkan dapat menyertai suatu status; 3) Bagian suatu fungsi
seorang dalam kelompok atau pranata; 4) Fungsi yang diharapkan dari seseorang
atau karakteristik yang ada padanya; 5) Fungsi setiap variabel dalam hubungan
sebab akibat.
Seperti yang terdapat dalam upacara adat Mallaulu, masing masing orang
memiliki perannya masing-masing dalam menjalankan tugasnya, contohnya seperti
Induk Inang yang berperan sebagai pengatur acara dari pihak anak daro atau
pengantin perempuan dan Talangkai yang berfungsi sebagai pemandu jalannya
acara adat Mallaulu.
H. Posisi Teoretis Peneliti

25
Dalam keenam penelitian di atas, memiliki kesamaan yaitu meneliti tentang
makna tari Anak atau Sikambang, melihat kearifan Simeulue, bentuk penyajian tari
Anak serta iringan yang terdapat pada tari Anak, dan menggunakan Etnokoreologi
sebagai payung teori. Disamping persamaan tersebut ada perbedaan dalam
penelitian terdahulu yang dapat menjadi acuan saya dalam meneliti nilai dan fungsi
tari Anak dalam upacara adat Mallaulu di Kabupaten Simeulue, Aceh. Berikut
penjelasanya : Tesis yang di tulis Zaini menjadi salah satu acuan dalam saya
memahami peran tari sebagai payung teori dalam mengkaji teori pada tari Anak.
Jurna Vani Sasri Wahyuni, Nursyirwan dan Rosta Minawati menjelaskan tentang
makna tari Sikambang ada masyarakat Kambang Kecamatan Lengayang
Kabupaten Pesisir Selatan, menjadi acuan saya untuk melihat asal usul serta makna
maupun nilai yang terdapat pada tari Anak. Jurnal Darmansyah yang membahas
tentang ratok Sikambang yang berasal dari Pesisir Selatan, akan menjadi acuan
peneliti dalam menganalisis syair tari Anak yang ada di Kabupaten Simeulue.
Jurnal Hasbi yang membahas tentang nilai-nilai kearifan lokal di Kabupaten
Simeulue menjadi relevan terhadap peneliti nantinya dalam melihat nilai-nilai
kearifan lokal yang ada di Kabupaten Simeulue. Jurnal Fitri Anggriani yang
membahas Bentuk Penyajian Tari Anak di Kabupaten Simeulue menjadi sumber
utama bagi peneliti dalam mengkaji nilai dan peran pada tari Anak. Wacana
Fahriani yang membahas tradisi lisan dari Tapanuli Tengah dimana Sikambang
menjadi tuan rumah utama bagi masyarakat Sibolga dalam bersyair. Kajian ini
menjadi rujukan bagi peneliti dalam mengkaji syair tari Anak yang ada di
Kabupaten Simeulue. Walaupun dalam penelitian terdahulu terdapat kesamaan atas
tari maupun bentuk syair yang sama hanya saja fokus penelitian ini adalah tentang
nilai yang terekam melalui kearifan lokal Simeulue yakni syair Sikambang dan
hadih maja masyarakat Aceh yang menguak nilai etis dalam berumah tangga, serta
peran yang terlihat dari teks tari Anak melalui keberadaan adat Mallaulu yang ada
di Kabupaten Simeulue. Sehingga sangat jelas bahwa penelitian yang akan peneliti
lakukan mengenai nilai dan peran tari Anak dalam upacara adat Mallaulu di
Kabupaten Simeulue, Aceh belum pernah dikaji dan diteliti lebih mendalam dan
originalitas penelitian tersebut terjamin serta bebas plagiarisme.

26
I. Kerangka Berfikir
Berdasarkan Teori dan Konsep yang ditemukan diatas menghasilkan kerangka
berfikir penelitian sebagai berikut :

TARI ANAK

Etnokoreologi

Teks Tari Konteks Tari

Komposisi Tari Gerak Nilai Etis Filsafat

Folklor Syair Peran Sosiologi

Fungsi Antropologi

Nilai dan Peran Sosial pada Tari Anak dalam Upacara Adat
Mallaulu Di Kabupaten Simeulue

Bagan 1. Kerangka Berfikir


Sumber : Citra Dewi Maysarah, 2019

Dari keragka berfikir diatas mengenai nilai dan peran tari Anak dalam upacara
adat Mallaulu di Kabupaten Simeulue, Aceh. Mengungkap tentang sosial budaya
masyarakat Simeulue serta nilai dan fungsi yang terdapat pada tari Anak
berdasarkan narasumber dan penelitian terdahulu. Dalam mengungkapkan nilai dan
peran yang terdapat pada tari Anak, peneliti menggunakan Etnokoreologi sebagai

27
payung teori dan untuk mengupas lebih dalam terkait teks dan kontek untuk
mengungkapkan nilai etis dan peran yang terdapat pada tari Anak. Sehingga
diharapkan masyarakat Simeulue bisa menerapkan nilai etis dalam berumah tangga
melalui tari Anak yang ditampilkan dalam upacara adat Mallaulu dalam kehidupan
sehari-hari.
J. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif. Menurut Basrowi (2008. hal.
20,23) menyatakan penelitian kualitatif merupakan penelitian yang dilakukan
berdasarkan paradigma, strategi, dan implementasi model secara kualitatif. Ia juga
menjelaskan tentang tujuan penelitian kualitatif adalah untuk mendapatkan
pemahaman yang bersifat umum terhadap kenyataan sosial dari perspektif
partisipan. Selanjutnya menurut Bodgan dan Taylor (Basrowi, 2008. hal. 21)
mendefinisikan metodelogi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
dan perilaku yang dapat diamati. Lebih lanjut Kirk dan Miller berpendapat bahwa
penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang
bergantung pada pengamatan manusia dan berhubungan dengan orang-orang
tersebut dalam bahasannya dan peristilahannya. Sehingga dari konsep diatas dapat
disimpulkan bahwa penelitian yang digunakan dalam penelitian tari Anak merujuk
pada memahami nilai dan peran yang terdapat pada tari anak, yang nantinya akan
menghasilkan sebuah deskripsi mengenai tari Anak berdasakan data yang
dikumpulkan dilapangan.
Penelitian ini menggunakan metode Deskriptif Analisis, yaitu menguraikan dan
mendeskripsikan data dan fakta yang ada kemudian dianalisis. Menurut Mardalis
(1999. hal. 26) menyatakan penelitian deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan
apa-apa yang saat ini berlaku, dengan kata lain penelitian deskriptif bertujuan untuk
memperoleh informasi-informasi mengenai keadaan saat ini, dan melihat kaitan
antara variabel-variabel yang ada. Jenis penelitian deskriptif analisis sangat tepat
digunakan untuk mendapatkan informasi secara langsung oleh subjek penelitian
pada penguraian data penelitian mengenai nilai dan peran tari Anak dalam upacara
adat Mallaulu di Kabupaten Simuelue, Aceh. Dengan menggunakan Etnokoreologi

28
untuk mengungkapkan nilai serta peran yang ada pada tari Anak di Kabupaten
Simeulue.

1. Partisipan Penelitian
Saya selaku peneliti yang terlibat langsung pada lokasi penelitian di Desa
Sinabang, menentukan partisipan, yaitu masyarakat yang menjadi sumber informasi
dalam penelitian ini. Terutama para seniman yang ada di Desa Sinabang, ketua adat,
serta para orang tua yang di anggap paham dan mengerti mengenai tari Anak dan
adat Mallaulu di Kabupaten Simeulue, Aceh. Selanjutnya peneliti juga mengambil
sumber informasi dari instansi seperti Majelis Adat Aceh, kepala Desa Sinabang,
dan Dinas Pariwisata Kabupaten Simeulue. Alasan saya memilih partisipan
penelitian tersebut adalah mereka adalah orang-orang atau instansi yang di anggap
paham mengenai Tari anak dalam upacara adat Mallaulu, karena peneliti
memerlukan sumber yang akurat dari berbagai sumber untuk mengumpulkan data
yang di anggap relevan mengenai nilai dan fungsi tari anak yang ada di Kabupaten
Simeulue. Namun dari narasumber yang telah ditetapkan oleh peneliti, tidak
terkecuali adanya kemungkinan sumber-sumber lain yang melengkapi temuan
penelitian dikemudian hari.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini akan dilakukan di desa Sinabang, Kecamatan Simeulue
Timur, Kabupaten Simeulue, Provinsi Aceh. Salah satu rumah warga yang
melaksanakan pernikahan yang menggunakan adat Mallaulu serta menampilkan
tari Anak dalam acara malam bainai gadang.
3. Instrumen Penelitian
Sebagaimana yang di kemukakan oleh Sugiyono (2015. hal.305) bahwa dalam
penelitian kualitatif, yang menjadi instrument atau alat penelitian adalah peneliti itu
sendiri atau human instrumen. Oleh karena itu peneliti sebagai instrumen juga harus
“divalidasi” seberapa jauh peneliti kualitatif siap melakukan penelitian yang
selanjutnya terjun kelapangan. Lebih lanjut Nasution (Sugiyono, 2015. hal. 306-
307) dalam penelitin kualitatif tidak ada pilihan lain dari pada menjadikan manusia
sebagai instrumen penelitian utama. Alasannya ialah bahwa segala sesuatunya
belum mempunyai bentuk yang pasti. Masalah, fokus penelitian, prosedur

29
penelitian, hipotesis yang digunakan, bahkan hasil yang diharapkan, itu semuanya
tidak dapat ditentukan secara pasti dan jelas sebelumnya. Segala sesuatu masih
perlu dikembangkan sepanjang penelitian itu dalam keadaan serba tidak pasti dan
tidak jelas, tidak ada pilihan lain dan hanya peneliti sebagai satu-satunya yang dapat
mencapainya. Berdasarkan dua pernyataan tersebut dapt disimpulkan bahwa,
penelitian kualitatif pada awalnya permasalahan belum jelas dan pasti, maka yang
menjadi instrumen adalah peneliti sendiri. Tetapi setelah masalah yang akan diteliti
menjadi jelas, maka dapat dikembangkan lagi instrumen penelitiannya, yang
diharapkan mampu untuk melengkapi data yang telah ditemukan melalui observasi
dan wawancara. Selanjutnya peneliti akan terjun langsung kelapangan guna
mengumpulkan data, menganalisis dan menarik kesimpulan, sehingga hasil yang
peroleh mampu menjawab semua rumusan masalah yang ada. Berikut penjabaran
instrumen penelitian dalam bentuk tabel oleh penulis:

Variabel Aspek Indikator


1. Sosial budaya (keluarga dan Adat budaya masyarakat
masyarakat)
2. Peran 1. Laulu (paman dari pihak
ibu)
2. Pemangku adat
3. Imam gampong
Adat
Mallaulu
3. Simbol 1. Tandu
2. Pakaian
3. Makanan
4. Warna
5. Peusijuk

1. Nilai kearifan lokal (nilai 1. Teks tari


etis sebagai orang tua) 2. Konteks tari
2. Fungsi Adat budaya masyarakat
3. Gerak tari 1. Bentuk Gerak (Kesatuan,
Variasi, Perpindahan atau
Tari Anak transisi, Rangkaian ,
Klimaks) dan (gerak
berpindah tempat
(locomotion), gerak murni
(pure movement), gerak
maknawi (gesture) dan

30
gerak penguat ekspresi
(baton signal)
4. Busana dan Rias 1. Baju
2. Celana
3. Kain songket
4. Aksesoris kepala
5. Warna
5. Properti 1. Selendang
2. Kain panjang
3. Boneka
4. Caranoh
6. Musik Pengiring 1. Syair
2. Alat musik

Pedoman Observasi
Hari/Tanggal : ……………………………………………………...
Tempat :……………………………………………………….

No Aspek yang diobservasi Deskripsi


Sosial budaya (keluarga dan Melihat penyajian upacara adat Mallaulu
1
masyarakat)
Peran Melihat peran Laulu (paman dari pihak ibu),
2 pemangku adat, imam gampong dalam
upacara adat Mallaulu
Simbol Melihat simbol-simbol yang digunakan
dalam upacara adat Mallaulu, seperti tandu,
3
pakaian, warna, makanan, serta perangkat
peusijuk yang digunakan.
Nilai kearifan lokal (nilai Melalui teks dan konteks tari anak, sehingga
4
etis sebagai orang tua) ditemukan nilai etis di dalamnya
Fungsi Melihat adat budaya setempat, sehingga
5 fungsi tari dapat di deskripsikan sebagai
salah satu temuan penelitian
6 Gerak tari Melihat bentuk dan ragam gerak tari Anak
Busana dan Rias Melihat baju, celana, songket, aseksoris
7 kepala dan penggunaan warna busana pada
tari Anak
Properti Yang digunakan, selendang, kain panjang,
8 boneka dan caranoh untuk melihat nilai
yang terkandung pada tari Anak.

31
Musik Pengiring Untuk menentukan nilai yang terkandung
9 melalui syair dan iringan musik yang ada
pada tari Anak

Pedoman Wawancara
Wawancara kepada kepala Majelis adat Aceh, seniman Kabupaten Simeulue, para
pemangku adat yang ada di Desa Sinabang dan masyarakat yang paham tentang
upacara adat Mallaulu dan tari Anak.

Daftar Pertanyaan yang menjadi pedoman wawancara penelitian berdasarkan


indikator adalah:

1. Wawancara mengenai apa itu upacara adat Mallaulu.


2. Wawancara mengenai bagaimana rangkaian upacara adat Mallaulu tersebut.
3. Wawancara mengenai apa saja aturan yang terdapat pada upacara adat
Mallaulu.
4. Wawancara mengenai siapa saja yang berperan dalam upacara adat Mallaulu.
5. Wawancara mengenai simbol apa saja yang terdapat pada uapacara adat
Mallaulu.
6. Wawancara mengenai kapan waktu pelaksanaan tari Anak dalam upacara adat
Mallaulu.
7. Wawancara mengenai bagaimana bentuk rangkaian gerakan tari Anak dalam
upacara adat Mallaulu.
8. Wawancara mengenai apa fungsi tari Anak dalam dalam upacara adat
Mallaulu.
9. Wawancara mengenai nilai apa yang terkandung pada tari Anak dalam upacara
adat Mallaulu.
10. Wawancara mengenai penggunaan busana tari Anak dari segi baju, celana, kain
songket, aksesoris kepala dalam upacara adat Mallaulu.
11. Wawancara mengenai penggunaan warna pada busana tari Anak dalam upacara
adat Mallaulu.

32
12. Wawancara mengenai alat musik dan syair sebagai pengiring tari Anak,
mengenai cara memainkan dan syair kisah apa yang akan dibawakan dalam
upacara adat Mallaulu.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam
penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data (Sugiyono,
2015. hal.308).
1) Observasi
Menurut Nasution (Sugiyono, 2015), menyatakan observasi adalah dasar
semua ilmu pengetahuan. Para ilmuan hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu
fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi. Observasi
sendiri terbagi atas tiga bagian, yakni Observasi partisipatif dimana peneliti terlibat
langsung dengan kegiatan sehari-harin orang yang diamati. Selanjutnya Observasi
terus terang dan tersamar dimana pada observasi ini peneliti berterus terang kepada
sumber data, bahwa ia sedang melakukan penelitian. Yang terakhir ialah observasi
tak berstruktur dimana observasi ini dilakukan dengan tidak berstruktur, karena
fokus penelitian belum jelas. Adapun penelitian yang digunakan pada penelitian ini
adalah observasi partisipatif, dimana peneliti berperan sebagai partisipasi aktif
yakni peneliti ikut melakukan apa yang dilakukan oleh nara sumber tetapi belum
sepenuhnya lengkap (Sugiyono, 2015. hal. 312). Selanjutnya untuk menghindari
kekeliruan dari si peneliti pada saat observasi diperlukan alat yang dapat membantu,
seperti catatan pribadi, kamera, tape rekorder, dan kamera video yang dapat
memudahkan. Adapun yang akan diobservasi adalah apa itu upacara adat Mallaulu,
siapa yang berperan dalam upacara tersebut, simbol apa yang terdapat pada upacara
tersebut dan bagaimana bentuk teks dan konteks tari Anak yang terdapat pada
upacara adat Mallaulu.
2) Wawancara
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan wawancara terstruktur dan tidak
terstruktur, tujuan dari wawancara jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan
lebih terbuka (Sugiyono, 2015. hal. 320). Wawancara yang dilakukan oleh peneliti
tertuju pada pastisipan atau orang-orang yang terlibat pada penelitian ini, seperti

33
ketua Majelis Adat Aceh Kabupaten Simeulue, para pemangku adat Desa Sinabang,
serta seniman-seniman yang mengetahui tentang tari Anak.
3) Studi Pustaka
Studi pustaka adalah langkah selanjutnya dalam melakukan kajian yang
berkaitan dengan teori dan topik penelitian. Untuk memecahkan masalah peneliti
melakukan studi pustaka dengan cara membaca buku-buku referensi, internet, hasil-
hasil penelitian serta hal-hal yang relevan dengan permasalahan yang diteliti
tentang tari Anak dalam upacara adat Mallaulu di Kabupaten Simeulue.
4) Dokumentasi
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa
berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya monumental dari seseorang (Sugiyono,
2015. hal. 329). Adapun alat yang digunakan saat observasi adalah, fotografi, video,
dan perekam audio. Teknik-teknik perekaman ini digunakan karena dipandang
lebih tepat, cepat dan akurat serta realistik berkenaan dengan fenomena yang
diamati. Data-data yang dikumpulkan dengan teknik dokumentasi cenderung data
sekunder berupa gambar atau foto dokumentasi tentang upacara adat Mallaulu dan
tari Anak yang ada di dalam upacara tersebut.
5. Analisis Data
Analisis data merupakan proses mencari dan menyusun secara sistematis data
yang diperole dari hasil wawancara, catatn lapanga, dan dokumentasi, dengan cara
mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan kedalam unit-unit,
melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan yang
akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri
sendiri maupun orang lain (Sugiyono, 2015. hal. 335).
1) Reduksi Data (data reduction)
Menurut Sugiyono (2015, hal. 338) bahwa mereduksi data berarti merangkum,
memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema
dan polanya dan membuang yang tidak perlu. Langkah-langkah dalam mereduksi
data sebagai berikut :
a) Memilih, menyederhanakan, mengabstrakan, dan mentranformasi data
kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan.

34
b) Menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu.
c) Mengorganisasi data dengan cara yang baik hingga kesimpulan-kesimpulan
finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.
Tahapan ini bertujuan untuk mempermudah peneliti dalam proses penyusunan
data, dalam hal ini yang akan direduksi pada data penelitian adalah merangkum data
yang perlu mengenai upacara adat Mallaulu dan tari anak yang ada dalam upacara
adat tersebut.
2) Triangulasi
Menurut Sugiyono (2015. hal. 330) bahwa dalam teknik pengumpulan data,
triangulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data yang bersifat
menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah
ada. Teknik ini dilakukan agar peneliti mendapat hasil yang mendekati hingga
akurat dalam penelitian tentang nilai dan peran tari anak dalam upacara adat
Mallaulu.
3) Menyajikan Data (display data)
Setelah mereduksi data, maka selanjutnya adalah mendisplay data. Menurut
Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2015. hal. 341) penyajian data dalam
penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. Dengan menyajikan
data, maka akan dengan mudah untuk memahami apa yang terjadi dan bisa
melanjutkan kerja selanjutnya. Langkah-langkah menyajikan data adalah :
a) Menyederhanakan informasi yang kompleks ke dalam kesatuan bentuk.
b) Mengkonfigurasi untuk mudah dipahami.
c) Menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yan padu dan
mudah diraih.
d) Penyajian dapat dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan hubungan
antar kategori, grafik, matrik, dan chart.
Maka pada tahap ini peneliti melakukan penyusunan data mengenai data-data
yag telah ditemukan sebelumnya, guna untuk mengetahui hasil penelitian dan dapat
mendeskripsikan terkait nilai dan peran tari Anak dalam upacara adat Mallaulu.
4) Menarik Kesimpulan (verification)

35
Langkah terakhir adalah verifikasi yaitu menarik suatu kesimpulan untuk
menjawab rumusan masalah penelitian apakah sudah kredibel atau belum.
Kesimpulan ini diharapkan merupakan temuan baru yang dulunya masih reman-
remang menjadi terang dan jelas setelah diteliti. Langkah-langkah menarik
kesimpulan adalah :
a) Deskripsi atau gambaran data.
b) Membuat hubungan kausal (sebab-akibat)
c) Membuat hubungan iteraktif (saling mempengaruhi dan saling
berhubungan).
Pada tahapan ini peneliti menarik kesimpulan dari data yang telah dikumpulkan
sebelumnya, kemudian mendeskripsikan uraian indikator dari variabel nilai dan
peran tari Anak.
K. Jadwal Penelitian

2018 2019
NO KEGIATAN
NOV DES JAN FEB MAR APR MEI JUN
1 Pengajuan Judul
2 Survei Awal
Penyelesaian
3
Bimbingan BAB I-III
4 Sidang Proposal
5 Revisi Proposal
6 Penelitian
Penyelasaian dan
7
Bimbingan Tesis
8 Sidang Thesis Tahap I
9 Sidang Thesis Tahap II
10 Wisuda

L. Daftar Pustaka

36
Ardhianita, Iis dan Budi Andayani. Kepuasan Pernikahan Ditinjau dari Berpacaran
dan Tidak Berpacaran. Jurnal Psikologi. Fakultas Psikologi Universitas
Gadjah Mada. Vol. 32, No. 2, hal. 101.
Basrowi dan Suwandi. (2008). Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta : PT
Rineka Cipta.
Dananjaya, James. (1991). Folklor Indonesia. Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti
Dhuhani, Aisyah. (2018). Ekoleksikon Perikanan Dalam Bahasa Melayu
Kepulauan Riau Desa Tanjung Kelit Kecamatan Senayang Kabupaten
Lingga Kepulauan Riau. Skripsi. Program Studi Sastra Indonesia Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Simeulue. (2018). Travel Guide to
Simeulue. Jakarta: Cipta Kreasindo.
Fahriani. (2014). Membahas tentang Tradisi Lisan Dari Tapanuli Tengah. No.71
Th.XIV edisi April-Juni 2014. hal. 42-46. Banda Aceh :Balai Pelestarian
Nilai Budaya.
Graham, Benjamin. (2015). The Intelligent Investor: The Definitive Book on Value
Investing. Now York : Harper Collins.
Harun, Mohd. (2009). Memahami Orang Aceh. Bandung : Citapustaka Media
Perintis.
Hidajat, Robby. (2005). Menerobos Pembelajaran Tari Pendidikan. Malang :
Banjar Seni Gantar Gumelar.
Komaruddin. (1994). Ensiklopedia manajemen. Surabaya : kartika.
Mardalis. (1999). Metode Penelitian : Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta : PT
Bumi Aksara.

Masunah, Juju dan Tati Narawati. (2012). Seni dan Pendidikan Seni. Bandung :
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Seni Tradisional UPI.

Maulana, Mu’min dan Himpunan Mahasiswa Tasikmalaya. (2013). Upacara Daur


Hidup dalam Pernikahan Adat Sunda. Refeksi. Jakarta. Vol. 13, No. 5, hal.
624.
Maysarah, Citra Dewi. (2016). Bentuk Penyajian Tari Tradisional Andalas Di
Kabupaten Simeulue. Skripsi. Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Narawati, Tati. (2009). Etnokoreologi Sebagai Sebuah Disiplin Kajian Tari. Pidato
Pengukuhan Prof. Dr. Tati Narawati, M.Hum. Sebagai Guru Besar dalam
Bidang Pendidikan Seni pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni
Universitas Pendidikan Indonesia.
Parmono. (1989). Nilai Dalam Budaya. Yogyakarta : Fakultas Filsafat Universitas
Gadjah Mada.

37
Puspa, H. (2018). Kajian dan Penanaman Nilai Sosial Hadih Maja Dalam Tari
Tarek Pukat Melalui Contextual Taeching And Learning di SMP Banda
Aceh. Tesis. Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Robert Linton, Dkk (1936). Memorandum for the Study of Acculturtion. In
Amerikan Anthropologist. Vol.38 Page.149-152.
Roesli, M. Riswan. (2017). Smong dan KEARIFAN LOKAL Masyarakat Simeulue.
Aceh : PT Aceh Media Grafika.
Royce, Anya Peterson terjemahan F.X. Widaryanto. (2007). Antropologi Tari.
Bandung : Sunan Ambu Press STSI Bandung.
Sedyawati, Edi dkk. (1986). Pengetahuan Elemen Tari dan Beberapa Masalah
Tari. Jakarta : Direktorat Kesenian Proyek Pengembangan Kesenian Jakarta
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Soelaeman, Munandar. (2005). Ilmu Sosial Dasar. Bandung : PT Eresco.
Soekanto, Soerjono. (2006). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo.
Soerjono, Soekanto. (1983). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press.
Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Alfabeta
Suryabrata, Sumadi. (1983). Psikologi Kepriadian. Jakarta : Raja Grafindo Persadi.
Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto. (2005). Teori-Teori Kebudayaan.
Yogyakarta : Kanisius.
Yani, Juli. (2016). Leksikon dalam pernikahan adat melayu Riau ; Kajian
Etnolinguistik. Jurnal ilmu budaya. Fakultas ilmu budaya universitas
lancang kuning. Vol. 12, No.2, hal.87.
Zaini, Akhmad. (2018). Fungsi dan Peran Tari, Simol dan Makna dalam Upacara
Aruh Ganal Di Masyarakat Suku Dayak Meratus, Kalimantan Selatan. Tesis.
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Internet Access :

Ali, Hasbi. (2017). Transformasi Nilai Nilai Kearifan Lokal (Local Genius) Dalam
Proses Pembelajaran Sebagai Upaya Pembentukan Karakter Bangsapada
SMA Se-Kabupaten Simeulue. Pkn Progresif. Vol.12, No.1, hal 528-542.
Program Studi Ppkn Fkip Unsyiah Banda Aceh. Diakses dari :
file:///E:/7.%20PASCA%20SARJANA/6.%20TESIS/tari%20anak/transfor
masi%20nilai%20kearifan%20lokal.pdf

Anggriani, Fitri dan Ismawan1, Tengku Hartati. (2017). Bentuk Penyajian Tari
Anak Pada Adat Perkawinan Di Kecamatan Simeulue Timur Kabupaten
Simeulue. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Program Studi Pendidikan Seni Drama,
Tari dan Musik Fakultas Keguruan

38
dan Ilmu Pendidikan Unsyiah. Vol.2, No.3 hal.211-223 Program Studi
Pendidikan Seni Drama Tari dan Musik, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Syiah Kuala. Diakses dari :
http://www.jim.unsyiah.ac.id/sendratasik/article/view/8908/3777

Darmansyah. (2016). Ratok Sikambang dan Tari Sikambang Sebagai Ekspresi


Budaya Masyarakat Batang Kapas Di Kabupaten Pesisir Selatan. Jurnal
Garak Jo Garik Pengkajian dan Penciptaan Seni. Vol.12. No.1. hal. 1-18.
Prodi Karawitan Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Padang
Panjang Sumatera Barat, Indonesia. Diakses dari :
file:///E:/7.%20PASCA%20SARJANA/3.%20semester%203/jurnal%20terb
aru%20sikambang%20dan%20tari%20anak/ratok%20sikambang.pdf

Marzali, Amri. (1997). Struktural-Fungsionalisme. Jurnal Antropologi Indonesia


Vol.XXI. No.52. hal.33–43. Universitas Indonesia. Diakses dari :
file:///C:/Users/acer/Downloads/Documents/3558-6730-1-SM.pdf
Wahyuni, Vani Sasri. Nursyirwan dan Rosta Minawati. (2017). Makna Tari
Sikambang Pada Masyarakat Kambang Kecamatan Lengayang
Kabupaten Pesisir Selatan. Jurnal Bercadik. Vol.4, No.1, hal.103-
109ISSN 2355-5149. Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia
Padang Panjang. Diakses dari :
file:///E:/7.%20PASCA%20SARJANA/3.%20semester%203/jurnal%20t
erbaru%20sikambang%20dan%20tari%20anak/makna%20tari%20sikam
bang.pdf

39

Anda mungkin juga menyukai