Anda di halaman 1dari 25

Teori Pembahasan

Provinsi Sumatera Selatan merupakan salah satu tempat wisata budaya yang
didalamnya dapat ditemukan beberapa rumah adat di Indonesia. Di provinsi ini masih
banyak desa dan kabupaten yang mempertahankan tradisi rumah tinggal mereka yang
masih menggunakan konsep arsitektur tradisional.
Rumah Limas Rumah Tradisional Sumatera Selatan
Rumah Limas merupakan rumah tradisional khas Provinsi Sumatera Selatan. Dari
namanya, jelaslah bahwa rumah ini berbentuk limas. Bangunannya bertingkat-tingkat
dengan filosofi budaya tersendiri untuk setiap tingkatnya. Tingkat-tingkat ini disebut
masyarakat sebagai bengkilas. Apabila Anda bertamu ke salah satu Rumah Limas di
wilayah Sriwijaya ini, Anda akan diterima di teras atau lantai dua saja. Rumah Limas
sangat luas dan seringkali digunakan sebagai tempat berlangsungnya hajatan atau acara
adat. Luasnya mulai dari 400 hingga 1000 meter persegi. Bahan material dalam membuat
dinding, lantai, serta pintu menggunakan kayu tembesu. Sementara untuk tiang rumah,
pada umumnya menggunakan kayu unglen yang tahan air. Berbeda dengan rangka rumah
yang terbuat dari kayu Seru. Kayu ini cukup langka. Kayu ini sengaja tidak digunakan
untuk bagian bawah Rumah Limas, sebab kayu Seru dalam kebudayaannya dilarang untuk
diinjak atau dilangkahi. Nilai-nilai budaya Palembang juga dapat Anda rasakan dari
ornamen ukiran pada pintu dan dindingnya. Selain berbentuk limas, rumah tradisional
Sumatera Selatan ini juga tampak seperti rumah panggung dengan tiang-tiangnya yang
dipancang hingga ke dalam tanah. Hal ini disebabkan oleh kondisi geografis
lingkungannya yang berada di daerah perairan.

A. Rumah Adat Daerah Musi Rawas


1. Latar Belakang

Masyarakat di Kabupaten Musirawas


dapat dikatakan sedang mengalami proses
transisi yang tajam, baik dari segi demografi,
interaksi sosial dan bisnis dengan daerah-
daerah lain, perkembangan sosial politik
lokal, maupun pertumbuhan ekonomi yang
sedang dialami wilayah tersebut.

Sejarah Arsitektur Timur Halaman 1


Era reformasi dan otonomi daerah juga disambut dengan semangat berbagai segmen
masyarakat di Musirawas. Begitu pula gaung kembali ke adat, yang akhir-akhir ini
menasional, juga ditangkap dengan keinginan untuk mengeksistensikan kembali adat di
Musirawas. Upaya kembali menguatkan adat dan institusi adat, atau yang populer sisebut
pemberdayaan terhadap masyarakat adat, tentu saja perlu diawali dengan studi yang
relatif mendalam terhadap komunitas bersangkutan, apalagi menyangkut komunitas-
komunitas adat di Musirawas yang sedang dalam proses transisi. Oleh karena itu kegiatan
Need Assesment (NA) ini dilakukan di Kabupaten Musirawas.

Cakupan data need assesment ini relatif cukup luas karena program pemberdayaan
masyarakat adat yang akan dilakukan oleh IRE (Institute for Research and Empoerment)-
Yogyakarta atas dukungan Komisi Eropa, juga akan berdimensi relatif luas. Pemberdayaan
yang akan dilakukan mengarah kepada tumbuhnya kepercayaan dari warga masyarakat
adat untuk menghidupkan institusi dari hak-haknya sejalan dengan konsep HAM,
menguatkan manjemen organisasi adat sehingga mempunyai kemandirian serta
profesionalisme dan mampu melakukan proses regenerasi, penguatan wacana
demokratisasi, menumbuhkan semangat pruralisme, menumbuhkan sensivitas gender
dalam komunitas adat, menguatkan ekonomi kerakyatan, mengembangkan jaringan dengan
berbagai stakeholders, dll. Arah kegiatan yang semacam ini tentu saja membutuhkan
pemahaman atas sebuh komunitas dari berbagai sudut, baik pada level grassroots, tokoh-
tokoh adat, masyarakat awam, pers, pelaku bisnis/ekonomi, tokoh agama, dan tentu saja
pejabat terkait di tingkat Dinas, Pemda, maupun DPRD.

2. Masyarakat Adat Terawas

Proyek pemberdayaan ini bertempat di Kelurahan Terawas Kecamatan Batu Kuning


Lakitan Ulu (BKL) Terawas, Kabupaten Musi Rawas Propinsi Sumatera Selatan, sekitar 23
Km dari Kota Lubuk Linggau. Komunitas masyarkat adat Terawas dijadikan objek setekah
melalui analisa/pertimbangan beberapa hal dibandingkan komunitas adat yang terdapat di
Kabupaten Musi Rawas komunitas masyarakat adat Kelurahan Terawas lebih representatif
dan memawakili untuk dijadikan objek pemberdayaan oleh karena beberapa alasan sebagai
berikut:
Masih terdapat organisasi adat danpengurus adat berdasarkan SK Bupati Musi Rawas
Nomor : 140/25/Pundes/1991. Pengurus adat masih komitmen agar nilai-nilai budaya/adat
berperan sebagai pedoman serta mendorong bagi prilaku manusia di Terawas.

Sejarah Arsitektur Timur Halaman 2


Masyarakat Terawas masih menggunakan hukum-nukum adat untuk menyelesaikan
masalah kemasyarakatan, seperti adat hak waris, pernikahan, gotong-royong, penyelesaian
konflik antar warga, menghargai etnis pendatang dan tata cara menjaga wilayah tanah
masyarakat adat. Komunitas adat Terawas berjumlah 80 %, penduduk asli 15 % Jawa, 5 %
suku Batak, Minang, Palembang dan lain-lain.

Di Kabupaten Musi Rawas terdapat beberapa komuditas adat yang pernah diteliti, oleh
TIM Peneliti Universitas Sriwijaya diantaranya : Desa Batu Urip di Kecamatan Lubuk
Linggau Timur dan Dusun Baru Kecamatan Muara Beliti, namun penelitian tersebut tidak
bertujuan pemberdayaan masyarakat adat, sehingga menimbulkan kekecewaan
measyarakat setempat, sedangka Desa Terawas Kecamatan Batu Kuning Ulu Terawas
belum pernah dijadikan objek penelitian.

Gambar 1: Keterangan Ornament Musi Rawas

3. Suku Rawas

Orang Rawas berdiam di Kecamatan Rupit, Kecamatan Rawas Ulu dan Kecamatan
Rawas Ilir, di Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan. Jumlah populasinya
sekitar 90.000 jiwa. Bahasanya termasuk ke dalam kelompok bahasa Melayu yang terbagi
ke dalam tiga dialek, yaitu dialek Rupit, Rawas Ulu dan Rawas Ilir. Masyarakat Suku
Rawas umumnya bekerja sebagai petani di sawah dan ladang, sebagian lagi bekerja
sebagai penganyam barang-barang dari rotan dan pandan, tukang kayu, pedagang kecil dan
sebagainya.

Sejarah Arsitektur Timur Halaman 3


4. Kekerabatan Dan Kekeluargaan
Suku Rawas

Bentuk hubungan keturunan atau


kekerabatan dalam masyarakat Suku Rawas
ini dapat dibagi tiga. Pertama melalui sistem
perkawinan yang mereka sebut ambik anak
(ambil anak), karena setelah kawin suami
tinggal dalam keluarga pihak isteri dan anak-
anak yang lahir langsung mewarisi garis keturunan pihak isteri. Dalam perkawinan seperti
ini suami tidak usah membayar uang jojor (mas kawin). Kedua, perkawinan yang bersifat
patrilineal, karena isteri dibawa masuk ke dalam lingkungan keluarga pihak suami dan
anak-anak yang lahir mewarisi garis keturunan suami. Dalam perkawinan ini suami harus
membayar uang jojor, karena itu disebut juga perkawinan jojor. Ketiga, apa yang disebut
perkawinan rajo-rajo, sifatnya bilateral dan tempat tinggal setelah kawin adalah neolokal.

5. Masyarakat Suku Rawas

Sistem kepemimpinan dan pemerintahan tradisional Suku Rawas dipengaruhi oleh


adat Simbur Cahaya, yaitu kodifikasi peraturan adat yang berasal dari zaman Kesultanan
Palembang.

6. Agama Suku Rawas

Umumnya masyarakat Suku Rawas sudah memeluk Agama Islam dan menjadi
kepercayaan mereka masing-masing.
7. Kebudayaan, Seni-Budaya, dan Pariwisata daerah musi rawas

Kabupaten daerah tingkat II Musi Rawas dikenal memiliki motto daerah yang
disebut Lan Serasan Sekentenan yang secara harfiah diartikan: Lan berasal dari bahasa
Sindang dan Musi yang berarti kerja atau usaha atau karya nyata. Serasan merupakan
bahasa yang lazim dipakai oleh sebagian penduduk Sumatera Selatan yang berarti se
mufakat . Sekentenan berasal dari bahasa Rawas yang berarti berteman akrab atau
kelompok. Kesimpulan pengertian dari Lan Seketenan adalah karya mufakat yang
kompak, ini menunjukkan Masyarakat Kabupaten Daerah Tingkat II Musi Rawas

Sejarah Arsitektur Timur Halaman 4


Senantiasa bekerja sama / mufakat dalam mensukseskan setiap kegiatan pembangunan di
daerah.

Sementara itu dari segi seni dan budaya, Kabupaten Musi Rawas memiliki seni
budaya asli daerah Bumi Silampari , yaitu jenis tari-tarian antara lain: 1. Tari Silampari,
2. Tari Tangai, 3. Tari Putri Bergias, 4. Tari Grigik, 5. Tari Tempurung, 6. Tari Piring, 7.
Tari Sabung 8. Tari Dana, 9. Tari Kume 10. Tari Senjang, 11. Tari Selendang, 12, Tari Kain
13. Tari Turak.

Jenis nyanyi-nyanyian antara lain: 1. Ribu-ribu, 2. Senjang 3. col name name, 4.


umak umak, 5. percang naik gunung, 6.Tiung Di Tiung, 7. Cerai Kasih, 8. Sukat Malam,
9. Cacam Bate dan 10. Bujang Ngen Dere.

Kabupaten Musi Rawas memiliki adat dasar Musi Rawas antara lain tentang cara
perkawinan, seperti umumnya di Sumatera Selatan. Cara Perkawinan di Musi Rawas ada
tiga macam, yakni: Daku Anak ( laki-laki dan Perempuan); Bajojo ( Perempuan ikut Laki-
laki); Semendo Rajo-rajo (Bebas memiliki kedudukan). Sedangkan bahasa yang digunakan
diKabupaten Musi Rawas ada sekitar 6 Bahasa, yaitu : (a) Bahasa Rejang di Ulu Rawas
Kecamatan Rawas Ulu (b) Bahasa Rawas di Kecamatan Rupit dan Rawas Ilir (c) Bahasa
Musi di Kecamatan Muara Kelingi dan Muara Lakitan (d) Bahasa Beliti di Kecamatan
Muara Beliti dan BKL. Ulu Terawas (e) Bahasa Jawa di Kecamatan Jayaloka dan
Tugumulyo (f) Bahasa Campuran (pendatang ) di Kota Lubuk Linggau. Kabupaten Musi
Rawas dikenal memiliki banyak objek wisata yang keindahan alamnya tidak diragukan
lagi.

B. Rumah Adat Daerah Empat Lawang


1. Sejarah

Nama kabupaten ini, menurut cerita rakyat berasal dari kata Empat Lawangan, yang
dalam bahasa setempat berarti "Empat Pendekar (Pahlawan)". Hal tersebut karena pada
zaman dahulu terdapat empat orang tokoh yang pernah memimpin daerah ini.[2][3]

Sejarah Arsitektur Timur Halaman 5


Pada masa penjajahan Hindia Belanda (sekitar 1870-1900), Tebing
Tinggi memegang peran penting sebagai wilayah
administratif (onderafdeeling) dan lalu lintas
ekonomi karena letaknya yang strategis. Tebing
Tinggi pernah diusulkan menjadi ibukota
keresidenan saat Belanda berencana membentuk
Keresidenan Sumatera Selatan (Zuid Sumatera)
tahun 1870-an yang meliputi Lampung, Jambi
dan Palembang. Tebing Tinggi dinilai strategis untuk menghalau ancaman pemberontakan
daerah sekitarnya, seperti Pagar Alam, Pasemah dan daerah perbatasan dengan Bengkulu.
Rencana itu batal karena Belanda hanya membentuk satu keresidenan, yaitu Sumatera.

Pada masa penjajahan Jepang (1942-1945),


Onderafdeeling Tebing Tinggi berganti nama
menjadi wilayah kewedanaan dan akhirnya pada
masa kemerdekaan menjadi bagian dari wilayah
sekaligus ibu kota bagi Kabupaten Empat Lawang.

2. Sistem Kepercayaan
Orang Lintang umumnya adalah pemeluk agama Islam. Yang berperan dalam urusan
keagamaan ini adalah seorang penghulu yang bertanggung jawab pada tingkat marga dan
seorang khatib yang bertanggung jawab pada tingkat dusun. Pengaruh agama Islam juga
terlihat dalam bentuk-bentuk kesenian orang Lintang, diantaranya kesenian rebana, jidor,
dan berbagai tari-tarian. Bentuk kesenian lainnya yang masih berkembang dengan baik
adalah tradisi sastra lisan, seperti pantun, jampi, memoneng, rejung, andai-andai,
karnasian, dan sebagainya.
3. Sisitem pencaharian

Sejarah Arsitektur Timur Halaman 6


Bertani merupakan pekerjaan apara kaum pria Suku lintang sementara para wanita
bekerja mengurus rumah tangga. Ini disbebakan karena suku Lintang menganut sistem
kekeluargaan Patrilineal. Selain bertani masyarakat Suku Lintang juga mencari
penghidupan dari usaha beternak.
4. Konsep Pembangunan
Dari sudut pandang arsitektur, rumah adat asal Empat Lawang didesain dengan
konsep rumah panggung (seperti konsep kebanyakan rumah adat di Indonesia) ialah untuk
menghindari serangan binatang buas, mengantisipasi banjir dan guncangan akibat gempa.
Para kakek nenek moyang jaman dahulu telah minciptakan konsep rumah panggung yang
sangat cocok untuk dibangun di Indonesia karena telah memperhitungkan keadaan
geografis, cuaca dan iklim dan keadaan alam pada masa itu, sehingga rumah adat tersebut
dapat dihuni dan dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan para penghuninya.
Desain Rumah adat orang Empat Lawang yang asli dibuat dengan ukuran yang besar, yaitu
luasnya mencapai 400 hingga 1.000 meter persegi. Rumah adat di kabupaten Empat
Lawang terbuat dari material yang mudah didapatkan pada saat itu. Struktur rumah adat di
Empat Lawang menggunakan kayu Unglen sebagai tiang-tiang penyangganya, kayu ini
dipilih karena kuat dan tahan terhadap air. Sedangkan untuk didnding, lantai dan pintu,
terbuat dari kayu Cempaka atau kayu Meranti.
Pada dasarnya Desain Bentuk rumah adat Empat Lawang memiliki beberapa bentuk,
bentuk-bentuk dari rumah adat di provinsi Sumatera Selatan ini menandakan siapa pemiliki
rumah tersebut, bentuk dari rumah adat-
nya dapat menjelaskan status soisial dan
kedudukan ekonomi masyarakat di Empat
Lawang tersebut.
Kabupaten Empat Lawang sendiri
memiliki cirri khas sendiri, baik itu desain
bentuk maupun tata letak ruangnya.
Rumah Panggung Empat Lawang
memiliki 4 ruang utama, yang terdiri :
- Ruang depan, pada ruang ini terdapat satu kamar, biasanya kamar ini diperuntukan untuk
anak bujang, juga terdapat ruang untuk berkumpul teman temannya.
- Ruang tamu utama, ruangan ini cukup besar, ruangan ini dipergunakan untuk menerima
tamu, dan juga dipergunakan untuk berkumpul keluarga.

Sejarah Arsitektur Timur Halaman 7


- Ruang tengah, pada ruang ini terdapat kamar tidur untuk anak gadis, serta kamar orang
tua. - Ruang belakang, pada ruang ini terdapat, dapur, ruang makan, serta keperluan untuk
mencuci keperluan untuk memasak yang disebut gaghang.
Sedangkan untuk keperluan mencuci serta mandi, sebagian besar masyarakat Empat
Lawang memanfaatkan sungai, sebagian masyarakat juga yang menyediakan tempat
sendiri untuk MCK. Biasanya tempat MCK ini terpisah jauh dengan bangunan utama, pada
tempat ini terdapat sumur, wc serta tempat untuk mandi dan mencuci. Pada ruangan bawah
rumah, biasaya dimanfaatkan untuk gudang, ternak seperti ayam, bebek dan itik, juga
digunakan untuk menyimpan kayu bakar.

C. Rumah Adat Daerah Muara Enim


Suku Semendo berada di Kecamatan Semendo, Kabupaten Muara Enim, Propinsi
Sumatera Selatan. Menurut sejarahnya, suku Semendo berasal dari keturunan suku Banten
yang pada beberapa abad silam pergi merantau dari Jawa ke pulau Sumatera, dan
kemudian menetap dan beranakcucu cucu di daerah Semendo.
Hampir 100% penduduk Semendo hidup dari hasil pertanian, yang masih diolah
dengan cara tradisional. Lahan pertanian di daerah ini cukup subur, karena berada kurang
lebih 900 meter di atas permukaan laut. Ada dua komoditi utama dari daerah ini : kopi
jenis robusta dengan jumlah produksi mencapai 300 ton per tahunnya, dan padi, dimana
daerah ini termasuk salah satu lumbung padi untuk daerah Sumatera Selatan.
Adat istiadat serta kebudayaan daerah ini sangat dipengaruhi oleh nafas keIslaman
yang sangat kuat. Mulai dari musik rebana, lagu-lagu daerah dan tari-tarian sangat
dipengaruhi oleh budaya melayu Islam. Bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-
hari adalah bahasa Semendo. Setiap kata pada setiap bahasa ini umumnya berakhiran "e."
1. Suku Semendo
(Salah Satu Suku Di Kabupaten Muara
Enim Sumatera Selatan)
Letak Sumata
:
Selatan
Populasi : 105.00jiwa
Bahasa : Semeno
Anggota Gereja : 10 (0,01%)
Alkitab dalam bahasa Semendo : Tidak Ada
Film Yesus dalam bahasa Semendo : Tidak Ada
Siaran radio pelayanan dalam bahasa
: Tidak Ada
Semendo

Sejarah Arsitektur Timur Halaman 8


Suku Semendo berada di Kecamatan Semendo, Kabupaten Muara Enim, Propinsi
Sumatera Selatan. Kecamatan Semendo terbagi menjadi 3 wilayah kecamatan yaitu : 1
Kecamatan Pusat dan 2 Kecamatan perwakilan, jumlah desa 31 buah, luasnya 900 km2,
ibukotanya Pulau Panggung. Menurut sejarahnya, suku Semendo berasal dari keturunan
suku Banten yang pada beberapa abad silam pergi merantau dari Jawa ke pulau Sumatera,
dan kemudian menetap dan beranak cucu di daerah Semendo.
2. Sosial Budaya
Hampir 100% penduduk Semendo hidup dari hasil pertanian, yang masih diolah
dengan cara tradisional. Lahan pertanian di daerah ini cukup subur, karena berada kurang
lebih 900 meter di atas permukaan laut. Ada dua komoditi utama dari daerah ini : kopi
jenis robusta dengan jumlah produksi mencapai 300 ton per tahunnya, dan padi, dimana
daerah ini termasuk salah satu lumbung padi untuk daerah Sumatera Selatan. Ada kurang
lebih 5000 bidang sawah produktif yang ditanami dan dipanen 1 kali dalam setahun.
Adat istiadat serta kebudayaan daerah ini sangat dipengaruhi oleh nafas keIslaman
yang sangat kuat. Mulai dari musik rebana, lagu-lagu daerah dan tari-tarian sangat
dipengaruhi oleh budaya melayu Islam. Bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-
hari adalah bahasa Semendo. Setiap kata pada setiap bahasa ini umumnya berakhiran "e."
Salah satu adat yang masih dipegang kuat secara turun temurun oleh suku Semendo
ialah Adat "Tunggu Tubang", yaitu adat yang mengatur hak warisan dalam satu keluarga,
dimana yang berhak atas warisan tersebut adalah anak wanita yang paling tua (sulung).
Warisan yang dimaksud adalah terdiri atas satu bidang sawah, dan satu buah rumah yang
diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya secara terus menerus. Hal tersebut menjadi
penyebab tingginya dorongan untuk merantau bagi anak laki-laki dari masyarakat suku ini.
3. Agama / Kepercayaan
Orang Semendo secara turun temurun beragama Islam. Ajaran Islam ini cukup
berakar dalam masyrakat. Ajaran Islam ini cukup berakar dalam masyarakat.Hal ini dapat
terlihat dari betapa patuhnya sebagian dari masyarakat menjalankan syariat Islam secara
rutin dan teratur, sesuai dengan rukun Islam. Di mana-mana kita bertemu dengan tempat
ibadah baik besar maupun kecil.
Di daerah ini juga terdapat banyak sekali pesantren yang secara khusus mendidik
putra putri remaja dan pemuda suku Semendo menjadi penyebar agama Islam di
daerahnya.
4. Kebutuhan

Sejarah Arsitektur Timur Halaman 9


Suku Semendo membutuhkan peningkatan pengolahan lahan pertanian agar dapat
dikerjakan dengan lebih modern. Saat ini telah ada proyek kerja sama yaitu : proyek
penggilingan kopi, perikanan dan percontohan perikanan. Proyek ini perlu didukung dan
dikembangkan lagi untuk lebih meningkatkan taraf hidup masyarakat. Mereka juga
membutuhkan peningkatan dalam bidang pendidikan.
5. Pokok doa
Kemudian daripada itu aku melihat : sesungguhnya, suatu kumpulan besar orang
banyak yang tidak dapat terhintung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum
dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih
dan memegang daun-daun palem di tangan mereka. Dan dengan suara nyaring mereka
berseru : "Keselamatan bagi Allah kami yang duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba.
2. Berdoa agar Tuhan mencurahkan Roh Kudus, berkat dan kasihNya di tengah-tengah
suku Semendo, agar terang dan kemuliaan Tuhan bercahaya di atasnya. Berdoa agar
hati mereka disentuh oleh kasih Tuhan melalui berbagai cara dan mereka yang berseru
kepada nama Tuhan akan diselamatkan.
3. Berdoa agar Tuhan yang empunya tuaian membangkitkan gerejaNya untuk bersatu
dan bekerjasama, menyediakan pekerja : pendoa syafaat, penerjemah Alkitab, kaum
profesional, penabur dan penuai untuk memberkati dan meningkatkan kesejahteraan
hidup suku Semendo
4. Berdoa bagi adanya lembaga & gereja yang digerakkan oleh Tuhan untuk mengadopsi
suku Semendo yang juga berbeban dalam meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.

Gambar 1 dan 2: Rumah Adat Muara Enim

D. Rumah Rakit Sumatera Selatan

Sejarah Arsitektur Timur Halaman 10


Rumah rakit adalah rumah yang dibangun diatas air. Rumah ini berpondasikan dari
bambu sebagai alat pengapung rumah tersebut. Dahulu alat pengapung rumah rakit hanya
terbuat dari bambu, namun sekarang sudah ditambahkan alat pengapung tambahan seperti
drum dan lainnya. Karena dibangun diatas air, rumah ini termaksud anti banjir. Sehingga
rumah ini mengikuti tingkat ketinggian air. Rumah ini hanya terdapat di Palembang
disekitaran sungai musi dan sebagai salah satu objek wisata di sungai musi.
1. Sejarah Rumah Rakit
Asal usul rumah rakit, konon rumah-rumah rakit yang dibangun di pinggir-pinggir
Sungai Musi ini dulunya dihuni oleh warga keturunan Tionghoa. Disebut sebagai rumah
rakit, karena bentuk dan rupanya memang seperti rakit yang lengkap. Dibangun diatas
sungai karena dahulu sungai dianggap sebagai sumber makanan mata pencaharian dan
sumber air.
2. Fungsi
Fungsinya rumah rakit tidak hanya untuk membawa orang yang ada di atasnya ke suatu
tempat (sebagai alat transportasi) tapi juga digunakan sebagai rumah tinggal terapung.

E. Rumah Adat Daerah Ogan Ilir (OI)

Kecamatan Ogan ilir memiliki 2 kelurahan


yaitu Tanjung batu dan tanjung atap
Kebudayaan Tanjung Batu dan Tanjung
Atap
1. Kebudayaan Tanjung Batu
Tanjung Batu adalah sebuah
Kelurahan yang berada di Kecamatan
Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Ilir,
Provinsi Sumatera Selatan, Negara
Indonesia. Daerah Tanjung Batu dikenal
dengan kerajinan dari emas dan sekarang
juga ke kerajinan perak.
Kerajinan emas di tanjung batu dilakukan secara turun-temurun, dan biasanya para
pengrajin mendapatkan pesanan dari daerah lain seperti Palembang dan daerah tingkat II di
Sumatera Selatan. Selain daripada itu pula telah terjadi pergeseran dari pengrajin juga
berkembang menjadi pengusaha.

Sejarah Arsitektur Timur Halaman 11


Tanjung batu merupakan dataran rendah dengan dominasi rawa yang pada musim
kemarau nampak sebagai hamparan padang rumput hijau, sementara saat musim penghujan
hamparan tersebut tergenang air, sehingga kawasan ini nampak sempit.
a). Bentuk desa
Desa Tanjung Batu ini terdiri dari dua bagian utama, yaitu daerah Tanjung Batu
Induk dan Tanjung Batu Timur. Tanjung Batu Induk ini adalah daerah kediaman utama dan
di anggap pusat bagi sebuah desa. Sedangkan, Tanjung Batu Timur adalah daerah bagian
dari Tanjung Batu Induk. Daerah Tanjung Batu Induk ini ditandai dengan adanya masjid,
balai, dan tempat pasar sekali atau dua kali seminggu. Di daerah Tanjung batu dan tanjung
Atap hanya Tanjung Batu Induk yang mempunyai pasar sehingga dapat dikatakan bahwa
Tanjung Batu Induk adalah pusat bagi desa Tanjung Batu dan Tanjung Atap.
b). Mata Pencarian Hidup
Sebagian besar masyarakat Tanjung Batu memiliki Mata pencarian yaitu membuat
Emas di olah oleh tangan sendiri, dan juga menggunakan alat-alat tradisional. Alat-alat
wajib atau harus ada ketika mengolah Emas misalnya : sepit alit, sempret, ragum, mesin
gilis, dan pengurutan. Selain Emas dan perak, tanjung batu juga membuat songket dan
banyak juga yang berkebun sebagai mata pencarian mereka. Proses mengelolah Emas
menjadi suatu barang, misalnya seperti cincin, kalung, gelang, gelang kaki, dan
sebagainya.
2. Kebudayaan Tanjung Atap
Desa tanjung atap adalah desa yang berdekatan dengan desa tanjung batu. Desa ini
merupakan sentra kerajinan perkakas rumah tangga yang terbuat dari Aluminium.
Karenanya desa ini sering dijuluki desa Aluminium. Produknya tak kalah dengan buatan
pabrikan.
Meski dibuat dengan sederhana, hasil kerajinan tangan ini lumayan bagus, bahkan
bisa melebihi keluaran pabrik.
a) Bentuk desa
Desa Tanjung Atap ini juga terdiri dari dua bagian utama, yaitu : Tanjung Atap Timur
dan Tanjung Atap Barat. Tanjung Atap Timur dan Tanjung Atap Barat sama-sama memiliki
penduduk yang banyak. Tanjung Atap Timur ditandai dengan adanya lapangan-lapangan,
masjid, dan sebagainya. Sedangkan tanjung atap barat ditandai dengan adanya lapangan
pemakaman umum, masjid, padang (daerah ujung dari desa tanjung atap).
b) Mata Pencarian Hidup

Sejarah Arsitektur Timur Halaman 12


Selain sumber penghidupan yang
berasal dari perkakas rumah tangga yaitu
Aluminium. Masyarakat Tanjung Atap
juga bermata pencarian dengan bertani,
membuat tikar purun, dan tidak sedikit
warga disana yang berjualan. Aluminium
sama seperti pembuatan Emas di Tanjung
Batu yang di olah oleh tangan sendiri. Alat-alat yang digunakan yaitu : besi, catok (pukul
kayu), tapakan (cetakan kayu), gunting seng, jangka
besi, paku, kawat.

3. Konsep Banagunan
Desain Bentuk Rumah Adat Ogan Ilir dan Penjelasannya :
Rumah adat di Ogan Ilir memiliki desain bentuk dengan konsep rumah panggung seperti
halnya rumah adat Nusantara pada umumnya. Tapi kini rumah adat asal Ogan Ilir telah
mengalami perkembangan pada desain arsitekturnya, terutama pada bagian kolong rumah
panggung, yang dahulu merupakan ruang kosong atau ruang yang difungsikan sebagai
kandang ternak, kini telah didesain lebih rapi sehingga dapat difungsikan, baik sebagai
ruangan tertutup maupun sekedar ruang terbuka sebagai teras atau tempat bersantai-santai.
Rumah adat orang Ogan Ilir sama seperti rumah adat Sumatera Selatan pada
umumnya, rumah adat tersebut disebut rumah Limas. Rumah adat ini disebut rumah Limas
karena bentuk atapnya menyerupai bentuk Limasan.
Pada awal pembangunannya, konsep rumah panging yang diterapkan pada rumah
adat Limas adalah karena kondisi lingkungan pada lahan dan site tempat pembangunan
rumah tersebut yang merupakan wilayah rawa dan berair sehingga konsep arsitektur rumah
panggung merupakan solusi tepat untuk kondisi geografis seperti itu, selain untuk
menghindari air masuk dalam rumah, juga untuk menjaga kelembaban dalam rumah

Sejarah Arsitektur Timur Halaman 13


dengan adanya sirkulasi dan penghawaan
dari kolong rumah yang menciptakan jarak
antara tanah rawa dengan lantai rumah.

F. OKU(Ogan Komering Ulu ) Timur

1. Budaya OKU

Kesenian dan Adat Istiadat serta kebudayaan penduduk Asli OKU TIMUR masih
kental dengan kebiasaan turun temurun dari nenek moyang mereka sebagai salah satu
contoh adat perkawinan di Kab.OKU TIMUR terdapat empat jenis perkawinan :
1. Perkawinan rasan tuha angkat gawi;
2. Perkawinan rasan tuha takat padang;
3. Perkawinan sibambang (kawin lari);
4. Perkawinan ngakuk anak (mengambil anak).
Serta beberapa jenis tarian yang dikenal akrab oleh penduduk OKU TIMUR antara
lain :
1. Tari Minur (Diperagakan oleh kaum wanita yang sudah menikah);
2. Tari Sabai (Diperagakan oleh pria dan wanita maknanya untuk kegemnbiraan).

Pemberian Gelar atau Adok (Julukan) di daerah komering diberikan menurut


kedudukannya di masyarakat :
1. Kedudukan Bangsawan (bila dia laki-laki diberi gelar yakni DALOM untuk anak cucu
tua);
2. MANGKU untuk anak laki-laki di bawah DALOM;
3. MENTERI untuk anak laki-laki di bawah MANGKU;
4. PRABU untuk anak tua cucung tua;
5. RADEN untuk dibawah PRABU-adiknya;
6. RATU untuk gelar dibawah RADEN;
7. BUNGSU untuk anak paling akhir.

Sejarah Arsitektur Timur Halaman 14


2. Konsep Pembangunan

Rumah atau sering disebut dengan


istilah papan merupakan kebutuhan dasar
manusia disamping pangan dan sandang.
Manusia mulai mengenal pemukiman dan
membangunan rumah sejak zaman
neolitikum, kemudian berkembang
sebagaimana dengan perkembangan
zaman. Semakin kompleks perkembangan yang ada dalam masyarakat maka semakin
kompleks pula bangunan tempat tinggal yang dimilikinya.
Tempat yang menarik bagi manusia untuk membuat permukiman umumnya di
daerah-daerah yang memberikan sumber-sumber makanan. Tempat-tempat yang
menarik untuk dihuni adalah yang cukup mengandung bahan-bahan makanan dan air,
terutama yang sering dikunjungi atau dilalui binatang. Tempat-tempat semacam ini
berupa padang-padang rumput dengan semak belukar dan hutan kecil yang terletak
berdekatan dengan sungai atau danau (Kartodirjo, 1975 : 110-111).
Keadaan lingkungan akan mempengaruhi bentuk rumah tempat tinggal.
Begitupun bentuk rumah ulu, dibuat diselaraskan dengan lingkungan dan
tujuannya. Ulu berasal dari kata uluan sebagai lawan dari pemerintah pusat. Rumah
ulu pada umumnya dibuat di atas tiang, yaitu sebagai pengaman untuk menjamin
keselamatan penghuninya agar tidak diganggu oleh binatang buas dan banjir.
Sehubungan dengan hal tersebut, Hamzuri (1978 :1) mengungkapkan sebagai berikut :
Kehadiran rumah sebagai harta kekayaan, menuntut pula agar bahan-bahan yang
digunakan terbuat dari kayu yang menurut pemahaman mereka adalah baik. Salah satu
yang umum adalah bentuk rumah panggung, ini dikarenakan keadaan alam dengan
banyaknya sungai-sungai dan hutan-hutan yang lebat. Hal itu dimaksudkan untuk
menghindari ganguan binatang dan banjir.
Meskipun begitu, tujuan rumah tempat tinggal tidak hanya sampai di situ.
Sebenarnya tujuan membangun rumah melampaui fungsi tempat bernaung. Rumah
tempat tinggal berupaya memberikan makna kepada kegiatan-kegiatan tertentu, seperti
menyatakan kekuasaan, status atau hal-hal pribadi, dan menunjukkan identitas sesuatu
masyarakat. Rumah juga membawa konsep pemisahan wilayah (domain), yang
membedakan antara yang di sini dengan di sana, yang suci dan yang profane, lelaki dan
wanita, depan dan belakang, domain pribadi dan umum, dan sebagainya melalui ruang-

Sejarah Arsitektur Timur Halaman 15


ruang yang sengaja diwujudkan dan
diaturrupakan dari gabungan struktur dan
teknik bangunannya (Ismail, 1992 : xix).
Mengingat rumah ulu merupakan
bangunan tempat tinggal warisan nenek
moyang maka bangunan tersebut
tergolong arsitektur tradisional. Arsitektur
Tradisional adalah suatu bangunan yang bentuk struktur, fungsi, ragam hias, dan cara
pembuatannya, diwariskan secara turun-temurun, serta dapat dipakai untuk melakukan
aktivitas kehidupan dengan sebaik-baiknya (Alimansur; Arsitektur Tradisional Daerah
Sumatera Selatan).
Rumah Ulu Sumatera Selatan menggambarkan bangunan tempat tinggal dari
daerah uluan atau pedesaan Sumatera Selatan. Secara umum bentuk rumah ulu ini
adalah rumah panggung. Apabila dilihat secara sekilas maka secara garis besar bentuk-
bentuk rumah di desa menunjukkan kesamaan yaitu berupa panggung. Yang
membedakan hanyalah besar kecilnya. Namun apabila diamati secara lebih mendetail,
ada beberapa perbedaan.
Ada dua prinsip dalam membangun rumah yang dipakai dan ditaati oleh warganya
pada waktu itu yaitu rumah siapa dan rumah untuk apa. Rumah untuk apa maksudnya
adalah rumah tersebut akan digunakan untuk rumah tinggal, rumah tumpangan
(penginapan) atau yang lain. Sedangkan rumah siapa maksudnya siapa yang akan
menghuni rumah itu, keturunan apa, mempunyai gelar atau tidak dan sebagainya. Itu
berarti bahwa status sosial temyata mempengaruhi bentuk tempat tinggal.
Perbedaan antara golongan bangsawan dan rakyat biasa antara lain tampak pada
bangunan tempat tinggal terutama pada bentuk atau susunan lantainya. Lantai pada rumah
yang pemiliknya rakyat biasa dibuat rata, sedangkan lantai rumah yang pemiliknya
keturunan pangeran umumnya dibuat berundak yang terdiri dari tiga tingkatan. Tiap
tingkatan disebut pangrat. Pangrat I merupakan lantai paling atas; pangrat II berada
dibawahnya ( pada bagian tengah ); sedangkan pangrat III terletak paling bawah (paling
dekat dengan pintu masuk). Antara pangrat satu dan pangrat yang lainnya dibatasi dengan
gedongan yang berketinggian antara 20 dan 30 Cm.
Rumah keturunan Pangeran dengan lantai yang terdiri dari 3 pangrat
Pada saat ada acara seperti perkawinan atau selamatan, maka keluarganya atau
sesama keturunan Pangeran berada pada pangrat I. Pangrat II ditempati oleh orang-orang

Sejarah Arsitektur Timur Halaman 16


yang pakai adukan (mempunyai marga). Sedangkan pangrat III untuk rakyat biasa.
Meskipun bukan merupakan aturan yang tertulis, akan tetapi masing-masing tamu yang
datang sudah tahu harus duduk di tingkat mana; walaupun tuan rumah belum mengatur
atau mempersilakan. Di samping itu juga memperhatikan faktor usia. Meskipun keturunan
Pangeran, kalau usianya masih muda maka ia akan duduk di pangrat yang lebih bawah.
Perbedaan lain yang sering dijumpai adalah keberadaan sako guru atau dalam istilah
setempat disebut sake penjuhu. Pada rumah milik rakyat biasa jarang sekali dijumpai
adanya sake penjuhu dalam ruang rumahnya; sedangkan pada rumah yang pemiliknya
keturunan pangeran umumnya dijumpai sake penjuhu. Sake penjuhu ini umumnya
berjumlah 4 (empat) buah, berada di tengah-tengah ruangan yaitu dua buah pada pangrat I
dan dua buah pada pangrat II. Sake penjuhu berukuran lebih besar dibandingkan dengan
sako biasa atau sake pemangku.
Disamping dua hal tersebut di atas, perbedaan lain yang sering tampak adalah ragam
hias atau ukiran pada rumahnya. Rumah keturunan pangeran pada umumnya berukir dan
ukirannya relatif banyak dan beragam dibandingkan dengan rumah yang lain. Bahkan,
dijumpai pula ukiran rumah keturunan pangeran yang diperado dengan wama keemasan
sehingga memberikan kesan lebih mewah; sedangkan rumah yang lain, baik pada rumah
yang pemiliknya pakai adukan (mempunyai marga) maupun rakyat biasa ukiran rumahnya
jarang sekali diperado.
Agar lebih jelas, berikut sedikit gambaran tentang rumah ulu salah seorang keturunan
pangeran koleksi Museum Balaputra Dewa yang berasal dari desa Asem Kelat, Kabupaten
Ogan Komering Ulu (OKU).
Ada dua buah tangga untuk naik ke garang atau lintut, yaitu masing-masing di
sebelah kiri dan kanan. Masing-masing tangga jumlahnya tujuh buah (tujuh tapakan).
Lintut berada di bagian depan, tepatnya di tengah-tengah. Pada sepanjang lintut tersebut
ada tiga buah pintu untuk masuk ke ruang dalam. Pada hari-hari biasa pintu bagian tengah
selalu dibuka untuk keluar masuk rumah. Lantai ruang dalam terdiri dari tiga tingkatan
atau tiga pangrat. Pada bagian tengah pangrat I terdapat empat buah sake penjuhu (sako
guru) yang lebih besar dibandingkan dengan sako yang lainnya. Pada ruang dalam setelah
pangrat I terdapat kamar-kamar (ruangan-ruangan) yang dibatasi dengan papan kayu, yang
bagian atasnya diukir yaitu berupa ukir terawangan. Ruangan paling tengah merupakan
gudang, yang didalamnya terdapat tangga untuk naik ke pagu (tempat penyimpanan
barang). Pintu masuk ke ruangan dapur berada di sebelah kiri. Pada dinding dalamnya kiri
dan kanan, berada di atas jendela juga dibuat pagu. Pada pagu ruang dalam tersebut

Sejarah Arsitektur Timur Halaman 17


tersimpan barang-barang berharga seperti terbangan. Ukir terawangan tersebut adalah
berbentuk sulur-suluran dan kipas yang sedang mengembang. Sulur-saluran merupakan
lambang sumber kehidupan
manusia, sedangkan kipas
dimaksudkan agar
penghuninya selalu
mengembang dalam berbagai
kehidupan keluarga, terutama
kehidupan ekonomi.
Risplangnya dibuat berhias
sehingga disebut uncak-uncak putri. Plafonnya, baik gelemat maupun pemangku
kasaunya dibuat permanen dan berkesan mewah, terbuat dari kayu Merbau sehingga
nampak mengkilat. Susunan gelemat dibuat rapi, berhadapan antara kanan dan kiri
pemangku kasau. Keadaan tersebut di atas berbeda dengan rumah penduduk yang puyang-
nya rakyat biasa.
Rumah tersebut pertama kali dibangun, atapnya memakai atap ijuk berlapis 5 (lima).
Lapis pertama ijuk, kemudian atasnya diberi pasir. Lapis kedua ijuk ditumpangi pasir lagi.
Lapis ketiga sampai lapis keempat sama, kemudian lapis kelima atau lapis yang penutup
adalah ijuk. Pada waktu itu bubungannya ada dua buah, yaitu pada bagian depan dan
bagian belakang. Pada bubungan bagian depan terpasang ragam hias tanduk rusa yang
menandakan bahwa pemiliknya pakai adukan (mempunyai marga). Dapurnya dibuat secara
terpisah di belakang rumah yang dihubungkan dengan jembatan kecil.
Sebagaimana rumah-rumah yang Iain di daerah uluan, rumah tersebut dibangun
dengan cara gotong-royong baik dengan keluarga maupun dengan tetangga, baik dalam hal
pengumpulan bahan maupun dalam hal pembangunannya. Sedangkan pengukirnya adalah
pemiliknya sendiri. Sayang sekali keahlian mengukimya tidak diturunkan kepada generasi
berikutnya.
Pada generasi kedua ini ada bagian rumah yang mengalami perubahan. Atap yang
dahulunya terbuat dari ijuk diganti dengan genteng. Sedangkan bubungannya diubah
(dijadikan satu). Dapur dihilangkan dan sebagai penggantinya dibuat dapur di dalam
rumah, satu ruangan dengan ruang makan. Pada sebelah luar dekat dapur dibuat tundan
(tempat mencuci piring dan lain-lain).
Ilustrasi Rumah Ulu yang berbentuk rumah panggung (gambar tampak depan dengan skala
1:50)

Sejarah Arsitektur Timur Halaman 18


Gambar bukaan Rumah Ulu (Gambar tampak samping dengan skala 1:50)

3. Persiapan Pembuatan Rumah Ulu OKU


a). Musyawarah mufakat keluarga terkait pemilihan tempat (lokasi) dan waktu
pelaksanaan yang juga melibatkan Tua-tua atau Ketua Adat. Pemilihan tempat untuk
pendirian rumah ini menganut konsep ulu-ulak (ilir). Apabila tempat tersebut masih luas
dan diharapkan akan digunakan juga untuk pembangunan rumah berikutnya maka
pembangunan rumah yang pertama berada pada bagian ulu. Penghormatan kepada yang
lebih tua untuk tinggal di sebelah ulu; berarti juga bahwa yang lebih tua harus
melindungi atau menjadi pengayom bagi yang lebih muda. Konsep Ulu-ulak
mempunyai nilai yang positif dalam ikatan kekeluargaan. Masing-masing anggota
keluarga tahu akan kedudukannya dalam keluarga.
b). Pembersihan lokasi dari semak belukar dan pembersihan dari roh-roh halus yang
menghuni tempat tersebut. Mereka percaya bahwa setiap tempat ada penghuninya yaitu
makhluk halus. Diadakanlah upacara selamatan yang dihadiri oleh Ketua Adat, Kepala
Marga, Tua-tua serta segenap
anggota keluarga yang terdekat.
4. Pengumpulan Bahan Rumah
Bahan bangunan seperti
kayu dan bambu pada umumnya
diambil dan hutan sekitarnya.
Sebelum berangkat ke hutan,
terlebih dahulu salah satu anggota keluarga, terutama kepala keluarga, menghadap
Kepala Marga dan menyatakan maksudnya untuk menebang kayu di hutan sebagai
bahan bangunan. Pada saat itu sekaligus diadakan musyawarah mengenai penentuan
waktu yang baik untuk berangkat ke hutan, siapa saja yang akan berangkat, serta
penentuan siapa yang akan memilih kayu yang baik serta membacakan mantera-mantera
sebelum menebang kayu. Orang yang ditunjuk untuk memilih kayu yang baik dan
membacakan mantera-mantera umumnya adalah Tua-tua yang dianggap mengetahui,
berpengalaman dan mempunyai kekuatan bathin untuk berhubungan dengan roh-roh
halus.
Yang perlu diperhatikan dalam memilih kayu di hutan yang akan digunakan untuk
bahan bangunan bahwa pohon yang condong tidak baik jika kayunya digunakan untuk

Sejarah Arsitektur Timur Halaman 19


bangunan rumah. Hal tersebut akan membuat penghuni rumah menjadi tidak tegar dan
mudah terserang penyakit. Pohon yang dililit akar-akaran juga dikatakan tidak baik
untuk bahan bangunan rumah, karena hal tersebut akan membawa penghuni rumah
selalu dililit kesulitan-kesulitan dalam hidup. Sedangkan pohon yang mati tegak
dipercayai akan mendatangkan sial apabila kayunya dipergunakan untuk bangunan
tempat tinggal.
Pemilihan kayu untuk tiang dan kitau dipilih kayu yang terkuat yaitu
kayu gehunggang. Bentuknya yang besar dan kuat, sehingga cocok digunakan sebagai
tiang penyangga dan sebagi kitau. Di samping itu, kayu gehunggang juga tahan panas
dan air. Apabila musim hujan, biasanya banjir dan tiangnya tergenang air. Meskipun
tergenang air sampai relatif lama, kayu gehunggang tidak lapuk atau tetap bertahan.
Pemakaian kayu gehunggang untuk tiang juga ada makna simbolisnya, yaitu penghuni
rumah akan tetap tegar dan selamat meskipun harus menerima cobaan-cobaan dalam
hidup ini. Di samping kayu-kayu tersebut, ada pula jenis kayu yang lain yang digunakan
sebagai bahan bangunan, yaitu kayu petaling, kayu medang tanahan, kayu medang sela
hitam dan kayu tampahegis.
Jenis bambu yang digunakan adalah bambu mayan kelingi. Keistimewaan bambu
tersebut adalah tidak perlu direndam. Bambu lain yang dipergunakan adalah jenis ulung.
Hanya saja, untuk bambu jenis ini perlu direndam di dalam air terlebih dahulu.
Merendamnya pada umumnya selama satu bulan. Bambu umumnya digunakan untuk
ring, lantai dan tiber angin. Dahulu ringnya menggunakan kulit kayu seluha. Akan tetapi
pada masa sekarang ini populasi kayu tersebut semakin berkurang, bahkan hampir
punah, jadi diganti dengan bambu. Pemakaian bahan-bahan untuk bangunan tersebut
pada masa sekarang ini mengalami perubahan.
Bahan-bahan bangunan yang dipergunakan pada waktu itu adalah kayu, bamb,
rotan, ijuk serta bahan lain yang didapatkan dari hutan sekitamya. Pengetahuan
mengenai jenis-jenis bahan bangunan yang baik diperoleh secara turun temurun. Pada
masa sekarang, jenis-jenis kayu seperti tersebut di atas semakin langka dan sulit
didapatkan, sehingga bahan-bahan bangunan seperti kayu didapatkan dengan cara
pembelian. Hal tersebut berakibat bahwa generasi sekarang semakin tidak mengetahui
warisan pengetahuan nenek moyang mengenai pemilihan bahan-bangunan yang baik
seperti kayu serta hal-hal yang berhubungan dengan itu.
Bahan bangunan yang dipergunakan banyak mengalami perubahan. Misalnya,
atap yang dahulu menggunakan ijuk, sekarang diganti dengan genteng atau asbes;

Sejarah Arsitektur Timur Halaman 20


tangga yang dahulu dibuat dari kayu, sekarang diganti dengan semen atau keramik dan
lain-lain.
5. Pembuatan Rumah Ulu OKU
- Konsultasi dengan Ketua Adat atau Tua-tua yang dianggap mengetahui untuk
menetapkan saat yang baik untuk mendirikan rumah.
- Upacara selamatan yang biasanya dihadiri oleh Ketua atau Pemangku Adat, Kepala
Marga, Tua-tua dan anggota keluarga terdekat. Upacara selamatan ini umumnya
dipimpin oleh Pemangku Adat yang dibantu oleh Lebai atau Ketip. Syarat selamatan
pendirian bangunan atau peletakan tiang adalah penyembelihan hewan. Hewan yang
disembelih umumnya ayam jantan. Bagi keluarga yang secara ekonomi mampu,
biasanya yang disembelih bukan ayam jantan tetapi kambing atau kerbau atau sapi.
Penyembelihan hewan tersebut dimaksudkan agar para pekerja yang akan membangun
rumah bisa selamat terhindar dari segala malapetaka. Setelah upacara selesai, baru
dimulai pekerjaan pendirian bangunan.
- Pembangunan Rumah Ulu tersebut dimulai dengan peletakan tiang. Sebelum tiang
dipasang terlebih dahulu tiang bagian atas diseping untuk pemasangan kitau. Tiangnya
berbentuk bulat dari kayu gehunggang, dengan diameter antara 50 60 Cm, sedangkan
tingginya 137 Cm. Tiang tersebut berjumlah 15 buah, yaitu tersusun tiga deretan dari
kiri ke kanan dan lima deretan dari depan ke belakang. Tiang-tiang tersebut tidak
dimasukkan pada lobang galian di dalam tanah untuk tapakan, tetapi yang merupakan
galang tiang atau pendudukan tiang adalah tiga buah batu kali, dengan tujuan
sebagai imbangan terhadap goncangan gempa.
- Di atas tiang terpasang kitau. Kitau dipasang secara memanjang dari depan ke belakang.
Sebagaimana bentuk tiang, kitau juga berbentuk bulat dengan jenis kayu yang pada
umumnya sama dengan jenis kayu yang digunakan untuk tiang. Diameter kitau antara
20 25 Cm. Pemasangan kitau di atas tiang tidak menggunakan paku atau engsel besi,
tetapi kitau tersebut dipasangkan pada bagian atas tiang yang telah diseping. Kitau ini
jumlahnya lima buah, yaitu sejumlah deretan tiang dari depan ke belakang. Di atas kitau
terpasang kung atau atung, yang dipasang dengan arah yang berlawanan dengan kitau.
Kitau dipasang dari depan ke belakang, sedangkan atung dipasang dari kiri ke kanan.
Atung paling depan diukir, dan hanya dibuat sepanjang tiga deretan tiang. Atung yang
diukir tersebut berbentuk bulat. Sedangkan kung yang lain tidak diukir dan berbentuk
empat persegi panjang.
- Pemasangan belandar, yaitu yang dipasang di atas atung. Pada bagian depan,
belandarnya dibuat melengkung semakin ke depan semakin runcing sehingga berkesan
indah dengan jarak yang sama sehingga menyerupai tangga yang dipasang secara

Sejarah Arsitektur Timur Halaman 21


horizontal. Oleh karena itu belandar tersebut dinamakan tanggai putri. Jumlah
keseluruhan tanggai putri dari kiri ke kanan adalah 34 buah, yaitu 17 buah berada di
tengah, 9 buah di bagian kiri dan 8 buah pada bagian kanan. Pada atas belandar
dipasang lungser. Paling atas adalah dasar atau lantai. dasar atau lantai terbuat dari
bamb yanag dibelah, kemudian dijalin dengan rotan yang disebut nylampit.
- Pekerjaan bagian atas dilaksanakan setelah pekerjaan bagian bawah seperti pemasangan
tiang dan pekerjaan bagian tengah (bagian badan) yang utama seperti pemasangan kitau,
atung, belandar dan sako selesai. Pekerjaan bagian atas yang utama adalah menaikkan
bubungan. Pekerjaan ini dilaksanakan untuk pemasangan bagian atap seperti tiang
bubungan dan yang lainnya. Pada saat melakukan pekerjaan naik bubungan ini
dilaksanakan upacara selamatan yaitu upacara naik atap atau naik bubungan. Syarat-
syarat yang harus dipenuhi antara lain kendi yang diisi air dari tujuh sungai sebagai
lambang tujuh penjuru angin dengan maksud agar iblis, setan, roh-roh halus pergi dan
tidak mengganggu. Air tersebut juga sebagai lambang obat segala obat dan juga
supaya dingin. Dalam arti hidupnya tenang; kelapa tumbuh dengan maksud supaya
murah rezeki dan selalu tumbuh atau mengembang dalam kehidupan ekonomi; pisang
masak agar tidak putus bahan makan; beringin yang bermakna supaya subur seperti
beringin; serta kembang pelangi sebagai lambang keindahan dan tidak sembarang dalam
mengurus keluarga atau rumah tangga.
- Apabila semua pekerjaan telah selesai maka diadakan selamatan lagi, yaitu yang
dinamakan selamatan tunggu rumah. Selamatan ini dipimpin oleh Ketua Adat yang
dihadiri oleh Tua-tua Kepala Marga, dan sanak keluarga yang terdekat. Hidangan yang
utama berupa serabi, ketan dan buah-buahan. Bagi keluarga yanag mampu, biasanya
diadakan selamatan yang lebih mewah
dengan undangan yang relatif banyak,
bahkan juga dihadiri oleh para bujang
dan gadis. Pada umumnya keluarga dan
tetangga terdekat yang datang sambil
membawa kue-kue atau bahan makanan.
Keseluruhan dari bagian-bagian
rumah ulu menggunakan teknik-teknik
yang dinamakan meruang atau menyambung, teknik jalu, teknik jalin, teknik tumpu,
jepit dan sambung kait. Jadi, tidak menggunakan paku atau engsel besi.

Sejarah Arsitektur Timur Halaman 22


Gambar denah peletakan tiang. Tiang
rumah ulu terdiri dari 15 buah, yang
tersusun tiga deretan dari kiri ke kanan dan
lima deretan dari depan
kebelakangIlustrasi Sistem pemasangan
tiang, kitau dan sako
6. Bentuk dan Bagian Rumah Ulu
OKU
Pada halaman bawah sejajar dengan tiang terdapat pance untuk tempat duduk, dengan
ukuran lebar 100 cm, panjang 236 cm dan tinggi 71 cm Pance diletakkan di depan rumah.
Terdapat tangga untuk naik ke lintut atau garang. Tangga tersebut berjumlah tujuh
buah dengan ukuran masing-masing panjang 146 cm dan lebar 19 cm. Tangga untuk rumah
tradisional di Sumatera Selatan pada umumnya berjumlah ganjil, yaitu berpedoman pada
empat filosofi atau dalam istilah setempat disebut empat sukatan, yaitu : pertama taka,
kedua tangga, ketiga tunggu dan keempat tinggal. Taka berarti bertingkat atau meningkat;
tangga bermakna sekedar tangga atau tidak ada perkembangan; tunggu berarti selalu
ditunggu atau kerasan; sedangkan tinggal berarti selalu ditinggalkan atau tidak kerasan.
Dari empat filosofis tersebut, akan baik apabila jatuh pada angka ganjil. Atas dasar tersebut
maka jumlah tangganya dibuat ganjil.
Setelah naik melalui tangga maka ruang pertama yang dijumpai adalah lintut atau garang,
yaitu yang merupakan mangan terbuka dengan ukuran panjang 217 cm dan lebar 194 cm.
Lintut tersebut diberi pagar dengan tinggi 60 cm. dari lintut untuk memasuki ruang
pemidangan depan melewati pintu yang berukuran tinggi 142 cm dan lebarnya 70 cm.
Dari ruang pemidangan depan ke ruang pemidangan tengah melewati satu pintu yang
berukuran tinggi 112 cm dan lebar 80 cm. Pada bagian bawah pintu terdapat langkahan
dengan ukuran tinggi 40 cm dan lebar 23 cm. Pada daun pintu bagian tengah dipasang
ukiran matahari yang merupakan lambang kehidupan. Pemasangan pintu memakai
pasak, tidak menggunakan engsel. Dengan demikian, apabila pintu tersebut dibuka akan
menimbulkan bunyi; dan hal tersebut dimaksudkan agar apabila terjadi serangan akan
ketahuan. Pintu dibuat satu bukaan, dan pembukaan pintu adalah dari kiri ke kanan atau
tangan kiri yang membuka, yaitu dengan maksud apabila orang yang mengetuk pintu
ternyata tiba-tiba menyerang, maka tuan rumah atau yang membukakan pintu akan bisa
menangkis atau menyerang balik dengan tangan kanan.

Sejarah Arsitektur Timur Halaman 23


Lantainya terbuat dari bambu bilah yang dijalin dengan rotan. Pada ruang pemidangan
tengah, di antara lantainya dipasang kayu empat persegi panjang dengan ukuran tinggi 12,5
cm dan lebar 8,5 cm, sedangkan panjangnya adalah sepanjang ruang pemidangan tengah
yaitu 580 cm. Kayu empat persegi panjang tersebut berfungsi sebagai pijakan atau tempat
lalu lintas yang disebut pengerat. Pengerat tersebut membelah lebar lantai ruang
pemidangan, sehingga lantai tersebut terbagi menjadi dua. Pada sebelah kiri (dekat ruang
tempuan) lebar lantainya 112 cm, sedangkan pada sebelah kanan (dekat ruang gedongan)
lebar lantainya 278 cm. Itu berarti lebar keseluruhan lantai ruang pemidangan tengah 390
cm.
Pada dinding bagian depan terdapat dua buah
jendela, yaitu pada dinding ruang pemidangan
depan dan pada dinding ruang gedongan, yang
masing-masing dengan satu arah bukaan. Dua
buah jendela tersebut menghadap ke arah depan
rumah. Pada ruang tempuan terdapat sebuah
jendela dengan dua arah bukaan ke samping
kiri dan kanan yang dinamakan jendela ingkap,
dengan ukuran lebar 132 cm dan tinggi 74 cm.
Jendela tersebut menghadap ke arah belakang
rumah. Pada waktu pertama kali dibangun
jendela rumah hanya ada satu buah yaitu pada dinding depan yang berukuran relatif kecil.
Pada zaman dahulu jendela tersebut dipergunakan untuk mengeluarkan mayat. Ada
kepercayaan bahwa mayat yang dikeluarkan melalui jendela kecil tersebut rohnya tidak
akan kembali lagi. Pada bagian atas ruang pemidangan tengah terdapat pagu atau tempat
penyimpanan barang, baik berada pada sebelah kiri maupun pada sebelah kanan.
Lantai ruang gedongan dibuat lebih tinggi dibandingkan dengan lantai ruang lainnya.
ruang gedongan berukuran lebar 220 cm sedangkan panjangnya 574 cm. jarak
ketinggian antara lantai ruang pemidangan tengah dengan lantai gedongan adaiah 19
cm.
Pada bagian luar (dekat dengan dapur) terdapat tundan. Dari dapur ke tundan melewati
pintu yang berukuran tinggi 153 cm dan lebar 71 cm. Bagian bawah pintu yang
menghubungkan antara dapur dan tundan tersebut dibuat langkahan atau pijakan dengan
ukuran tinggi 12 cm dan lebar 7 cm.Pada bagian bubungan kiri dan kanan terdapat tiber
angin yang terbuat dari anyaman bambu.

Sejarah Arsitektur Timur Halaman 24


7. Denah lantai rumah ulu
Rumah ulu berbentuk rumah panggung yang pada umumnya susunan ruangannya
tidak dibuat berupa kamar-kamar secara tertutup tetapi ruangan-ruangan secara terbuka.
Meskipun ada bagian-bagian ruangan tertentu untuk memenuhi fungsi tertentu, tetapi
ruangan tersebut tidak dibuat secara tertutup seperti kamar.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.rumahperumahan.com/

https://oerleeotodidac.wordpress.com/2014/06/19/gambaran_umum_musirawas/

http://www.sabda.org/misi/profilo_isi.php?id=55
http://www.rumahperumahan.com/

https://oerleeotodidac.wordpress.com/2014/06/19/gambaran_umum_musirawas/

http://www.sabda.org/misi/profilo_isi.php?id=55
http://dunia-kesenian.blogspot.com/2014/09/rumah-rakit-rumah-adat-asal-palembang.html
http://forumlintangempatlawang.blogspot.com/2008/03/rumah-panggung-khas-empat-
lawang.html#ixzz4dUgvMbDp

Sejarah Arsitektur Timur Halaman 25

Anda mungkin juga menyukai