1. ^ a b http://www.pac-nl.org/downloads/colonialarchitectureinindonesia.pdf
2. ^ Schoppert & Damais 1997, hlm. 38-39.
3. ^ Tjahjono 1998, hlm. 105.
4. ^ Pratiwo. (2005). The City Planning of Semarang 1900–1970. In F. Colombijn,
M. Barwegen, P. Basundoro & J. A. Khusyairi (Eds.), Old City, New City: The
History of the Indonesian City Before and After Independence. Yogyakarta:
Penerbit Ombak.
5. ^ a b Dawson, B., Gillow, J., The Traditional Architecture of Indonesia, p. 8, 1994
Thames and Hudson Ltd, London, ISBN 0-500-34132-X
Kata kolonial yang kita kenal identik dengan masa penjajahan bangsa Eropa di
Indonesia. Namun dalam penjajahan, Bangsa Eropa juga memperkenalkan Gaya
Arsitektur di Indonesia. Gaya Arsitektur yang berkembang pada masa penjajahan
tersebut memulai perkembangan arsitektur kolonial di Indonesia.
Proses pembangunan Gedung Sate merupakan suatu kerja besar, sebab melibatkan
2000 pekerja, 150 orang di antaranya adalah pemahat atau ahli Bongpay yaitu pengukir
batu nisan dan pengukir kayu berkebangsaan Cina yang berasal dari Konghu dan
Kanton. Selebihnya adalah tukang batu, kuli aduk, dan peladen yang merupakan
pekerja bangunan yang berpengalaman memba-ngun Gedung Sirap (kampus ITB) dan
Gedung Papak (Balai Kota).
Museum yang tepatnya berada diseberang Museum Sejarah itu memajang keramik
lokal dari berbagai daerah di Tanah Air, dari era Kerajaan Majapahit abad ke-14, dan
dari berbagai negara di dunia.
Gedung yang dibangun pada 12 Januari 1870 itu awalnya digunakan oleh Pemerintah
Hindia-Belanda untuk Kantor Dewan Kehakiman pada Benteng Batavia (Ordinaris Raad
van Justitie Binnen Het Kasteel Batavia). Saat pendudukan Jepang dan perjuangan
kemerdekaan sekitar tahun 1944, tempat itu dimanfaatkan oleh tentara KNIL dan
selanjutnya untuk asrama militer TNI.
Pada 10 Januari 1972, gedung dengan delapan tiang besar di bagian depan itu
dijadikan bangunan bersejarah serta cagar budaya yang dilindungi. Tahun 1973-1976,
gedung tersebut digunakan untuk Kantor Walikota Jakarta Barat dan baru setelah itu
diresmikan oleh Presiden (saat itu) Soeharto sebagai Balai Seni Rupa Jakarta.
Pada mulanya gedung ini merupakan bangunan sederhana yang didirikan pada tahun
1895 dan berfungsi sebagai warung kopi. Seiring dengan makin banyaknya orang
Eropa terutama orang Belanda yang bermukim di kota Bandung, ditambah dengan
semakin meningkatnya kegiatan mereka dalam bidang ekonomi seperti di bidang
perkebunan, industri dan pemerintahan, maka diperlukan tempat untuk rekreasi yang
sesuai dengan budayanya. Kebutuhan rekreasi itu antara lain terpenuhi dengan adanya
gedung tersebut yang sering diperbaharui dan semakin lama makin diperluas sesuai
dengan keperluan.
Pembaharuan secara besar-besaran dilakukan pada tahun 1920 dan 1928, hasilnya
adalah Gedung Merdeka sekarang yang megah bergaya Romawi dan sejumlah bahan
bangunannya (marmer, lampu hias kristal) didatangkan dari Eropa.
Arsitek pembangunan Gedung Merdeka ini adalah Van Gallen last dan C.P. Wolff
Shoemaker, guru besar arsitektur di Technische Hogeschool (THS) yang sekarang
menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB). Gedung yang luasnya 7500 m2 ini dikelola
oleh organisasi Sociteit Concordia yang anggota-anggotanya terdiri kalangan elit Eropa
yang bermukim di kota Bandung dan sekitarnya, terutama pengusaha perkebunan dan
perwira-perwira militer. Di gedung ini terdapat ruang besar (ruang utama) tempat
pertunjukan kesenian atau pertemuan, rumah makan, rumah bola (tempat bermain
bilyard) dan lain-lain. Kadang-kadang ruang utamanya disewakan bagi pertemuan
umum dan pertunjukan kesenian.
4. Gedung Lowo
Bangunan ini dikenal dengan sebutan Gedung Lowo atau Gedung Veteran. Awalnya
bangunan ini digunakan sebagai rumah tinggal bangsawan/pejabat Belanda. Tahun
1945 bangunan ini dihuni oleh keluarga kebangsaan China bernama Djian Ho.
Gedung yang terletak di Jalan Slamet Riyadi ini memiliki bentuk khas arsitektur kolonial
untuk sebuah rumah tinggal.
Setelah merdeka gedung ini diserahkan kepada Pemerintah Indonesia dan digunakan
sebagai Gedung Veteran. Pemugaran besar yang berarti tanpa merubah bentuk asli
bangunan pernah dilakukan pada tahun 1983 – 1985.
Gedung lawang sewu yang dibangun pada awal abad ke-20 dan diselesaikan pada
tahun 1908 ini dimiliki oleh Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij atau Jawatan
Kereta Api Pemerintah Hindia Belanda dan merupakan Kantor Pusat jawatan tersebut
sampai kemerdekaan RI.
Arsiteknya adalah Prof. Jacob F. Klinkhamer dan B.J Queendag yang merupakan
arsitek-arsitek Belanda ternama saat itu. Gedung ini terletak di sudut jalan. Bagian
depannya dihiasi oleh menara kembar yang mengingatkan pada bentuk-bentuk menara
gothic. Di belakang menara gedung ini membelah menjadi dua sayap, masing-masing
memanjang jauh ke belakang.
Oleh masyarakat Semarang, gedung ini disebut Lawang Sewu yang artinya Pintu
Seribu, karena memang gedung besar dan panjang ini memiliki banyak pintu di
sepanjang sayap-sayapnya. Pintu-pintu berjejer di ruangan-ruangannya yang panjang
dan beratap tinggi. Arsitektur gedung ini unik karena menunjukkan adaptasi arsitektur
Eropa terhadap iklim tropis, karena itulah bangunan ini memiliki pintu yang banyak.
Setelah kemerdekaan gedung tersebut sempat dipakai oleh Kodam IV dan kemudian
dikembalikan kepada Jawatan Kereta Api, yang sekarang adalah PT. KAI. Setelah PT.
KAI pindah, gedung ini sempat dipakai sebagai Kantor Wilayah Departemen
Perhubungan sampai tahun 1994. Setelah itu, gedung yang resminya masih menjadi
milik PT. KAI ini ditinggalkan kosong dan tak terpakai selama 10 tahun menjadikan
gedung ini kotor dan berdebu.
Bangunan ini tak ayal adalah bangunan Belanda paling terkenal senatero Indonesia.
Bangunan ini disebut Lawang Sewu oleh penduduk lokal lantaran banyaknya pintu yang
ada di gedung ini. Lawang Sewu didirikan pada 27 Februari 1904 sebagai kantor
perusahaan perkeretaapian Belanda, yaitu NIS. Arsiteknya adalah Prof. Jacob F.
Klinkhamer (TH Delft) dan B.J. Ouendag yang berdomisili di Amsterdam. Gedung tua ini
menjadi saksi pertempuran hebat antara pemuda AMKA (Angkatan Muda Kereta Api)
dengan Kempetai dan Kidobutai, Jepang pada Pertempuran Lima Hari di Semarang (14
Oktober – 19 Oktober 1945). Selain kedua menaranya, bangunan ini juga terkenal karena
hiasan kaca patrinya yang begitu indah.
2. Stadhuis (Jakarta)
Bangunan ini sekarang dikenal sebagai Museum Fatahillah, namun dulunya adalah Balai
Kota (Stadhuis) Batavia atau Jakarta. Bangunan ini dibangun antara kurun waktu 1707-
1710 atas perintah Gubernur Jenderal Johan van Hoorn dan sengaja dibangun menyerupai
Istana Dam di Amsterdam. Pada bangunan ini juga terdapat patung Hermes dan meriam Si
Jagur yang terkenal.
3. Gereja Katedral (Jakarta)
Gereja Katedral Santa Maria Pelindung Diangkat ke Surga adalah sebuah gereja Katolik
yang diresmikan tahun 1901. Gaya arsitekturnya adalah neo-gotik yang merupakan ciri
khas arsitektur gereja di Eropa. Arsiteknya adalah Marius Hulswit asal Belanda. Awalnya,
bagian menara dirancang berbentuk kubah pada ujungnya. Namun rencana ini tak pernah
terlaksana. Sebagai gantinya dibangun menara dari logam, yang tidak lazim untuk sebuah
gereja gotik namun perlu dilakukan karena wilayah Indonesia rentan terhadap gempa. Pada
tahun 1991, bagian balkon katedral dijadikan museum.
4. Gereja Blendhuk (Semarang)
Gereja Blendhuk adalah gereja Kristen Protestan tertua di Jawa Tengah yang dibangun
pada tahun 1753 dan bergaya arsitektur baroque. Gereja ini mendapat namanya karena
kubah bulatnya di bagian atasnya yang dahulu dilapisi perunggu. Nama sesungguhnya dari
gereja ini adalah GPIB Immanuel. Hingga kini, bangunan gereja ini tetap digunakan dan
menjadi ikon kota Semarang selain Lawang Sewu.
5. Gedung Bank Indonesia (Yogyakarta)
Gedung Bank Indonesia atau yang disebut de Javasche Bank pada zaman penjajahan,
diresmikan pada 1 April 1879 sebagai kantor cabang ke-8 di Nusantara. Gedung ini
dirancang oleh arsitek Hulswitt dan Cuypers dengan bergaya arsitektural Eropa dengan dua
menaranya yang kini dicat emas. Bangunan ini terletak tak jauh dari Istana Kepresidenan
RI.
6. Gedung Bank Indonesia (Cirebon)
Tak banyak yang tahu tentang bangunan bersejarah ini, padahal gedung ini pernah muncul
di mata uang 500 rupiah.
Bangunan ini merupakan kantor cabang ke-5 De Javasche Bank yang dibuka pada 1 Juli
1866 (hmm…duluan daripada Yogya malah, hebat). Arsiteknya sama dengan arsitek
Gedung BI Yogyakarta, yaitu F.D. Cuypers & Hulswit. Bangunan ini sekarang beralamat di
Jalan Yos Sudarso no. 5 Cirebon. Ada dua keunikan gedung ini dibandingkan gedung
kolonial lain. Pertama, ini adalah satu-satunya gedung BI yang memiliki satu menara.
Kedua, di bagian depan bangunan utama gedung ini, terdapat sepasang gapura bergaya
Majapahit dari batu bata merah.
Asta Tinggi Sumenep adalah makam-makam raja Madura dan kerabatnya. Dibangun pada
tahun 1750, bangunan utama dari kompleks makam ini adalah bangunan berkubah
(cungkup) tempat raja-raja Madura dimakamkan. Konon, jika kita berdoa di dalam cungkup
ini, niscaya doa kita akan dikabulkan. Oleh sebab itu, kawasan makam ini masih rajin
dikunjungi warga Madura untuk berziarah. Kompleks makam ini memang unik, sebab
terdapat gerbang bergaya Portugis.
BONUS #1
Museum Prasasti (Jakarta)
Museum ini sebenarnya bukan bangunan kolonial, melainkan makam Belanda yang dikenal
dengan nama Hollandsche Kerk atau kini sering disebut pemakaman Kebon Jahe Kober.
Kompleks pemakaman ini dibangun pada tahun 1795 dan terkenal dengan keindahan
patung-patung malaikatnya. Tempat ini sangat populer bagi pecinta fotografi dan sudah
sering menjadi lokasi syuting video klip.
BONUS #2:
Gedung Bank Indonesia (Solo)
Sebagai orang Solo, aku sendiri tidak tahu banyak tentang sejarah Gedung Bank Indonesia
Solo. Bangunan ini diarsiteki oleh Hulswitt dan Cuipers dengan gaya neo-klasik. Bangunan
ini juga menjadi saksi sejarah ketika sekelompok pemuda menggunakannya untuk menculik
PM Sutan Syahrir pada masa revolusi.
Belanda memang menorehkan penderitaan akibat penjajahan di Indonesia. Namun
bangunan-bangunan peninggalan tersebut sudah selayaknya kita jaga. Selain karena
keindahan arsitekturnya, juga sebagai pengingat sejarah panjang perjuangan bangsa kita.