Anda di halaman 1dari 16

Asakusa Culture Tourist Information Center (ACTIC) dan

Arsitektur Urban Jepang

Nate December 26, 2018 1

Arsitektur berasal dari terminologi Yunani architektoon, yang dihimpun dari arche yang berarti:
asli, utama, awal; dan tektoon yang merujuk pada sesuatu yang berdiri kokoh dan stabil. Terlepas dari
pemaknaan lain yang berkembang setelahnya, terminologi ‘arsitektur’ cenderung merujuk pada sudut
pandang teknis terhadap sebuah bangunan.

Di India, istilah Vasthu dipilih sebagai cara memaknai ‘arsitektur’, sebagaimana yang disampaikan oleh
Y. B. Mangunwijaya (Romo Mangun) dalam bukunya Wastu Citra di bab keempat-belas:

“Dalam bahasa Jawa Kuna, Vasthuwidya atau Wastuwidya berarti: ilmu bangunan (Widya = ilmu,
Wastu = bangunan). … Namun arti wastu jauh lebih luas dan mendalam. … Bahkan dalam arti aslinya
Vasthu berarti juga: norma, tolok ukur dari hidup susila, hidup secara betul, pegangan normatif
semesta, namun norma yang sudah mengambil wujud dan bentuk, jadi konkretisasi dari Yang Mutlak.

Oleh karena itu dalam Kitab Manasara III 2-3 tertera, bahwa dalam pengertian Vasthu terhitung juga:
tata bumi (dhara), tata gedung (harsya), tata lalu lintas (yana), bahkan sampai perkara kecil mendetail
seperti perabot rumah dan sebagainya terhitung juga dalam pengertian Vasthu.”

Pemaknaan ini sekiranya menarik untuk memperkaya pemahaman terhadap arsitektur. Mengutip lagi
sebuah potongan puisi karya Rabindranath Tagore dalam buku Wastu Citra, dikatakan: “Pedagang
kayu boleh jadi mengira, bahwa bunga-bunga dan dedaunan hanya hiasan-hiasan bagi pohon, tetapi
bila mereka dihilangkan, ia akan sadar terkena rugi, kayunya akan menyusul enyah juga.”

Hal ini berlaku pula dalam arsitektur. Arsitektur bukan hanya bagaimana merancang bangunan yang
kokoh, memiliki aliran udara yang baik, pembagian ruang yang tepat guna dan lain-lain, melainkan juga
melayani sebuah fungsi yang lebih luhur: memberi dukungan terhadap pemikiran-pemikiran manusia,
baik budaya maupun perilaku, melalui citra yang ditampilkan pada bangunan tersebut. Tanpa citra yang
demikian, arsitektur bisa menjadi kering dan kurang memberikan manfaat.

Sebuah kasus perancangan pusat informasi turis di Tokyo, Jepang, dapat dijadikan contoh
pembahasan bagaimana pemikiran-pemikiran manusia yang mencakup budaya, perilaku, dan
lingkungannya diejewantahkan dalam satu produk arsitektur di masa kini.

Hingga 1940-an, Asakusa adalah pusat komersial dan hiburan bagi warga Jepang. Tidak seperti
banyak distrik lain di pusat kota Tokyo, Asakusa masih mempertahankan jejak-jejak sejarahnya, melalui
beberapa bangunan tua dari masa pasca Perang Dunia II yang masih berdiri, dan yang amat terkenal,
gerbang Kaminari-mon menuju kuil Senso-ji. Penulis peraih penghargaan Nobel sastra, Yasunari
Kawabata, mendeskripsikan Asakusa sebagai “percampuran yang menjanjikan antara masa lalu dan
masa kini, antara budaya aristokrat dan budaya populer” dalam novelnya The Scarlet Gang of Asakusa
(1930).

Asakusa Culture Tourist Indormation Center (ACTIC) didirikan dengan semangat untuk mengembalikan
kejayaan kawasan tersebut. Didesain oleh Kengo Kuma and Associates dan dibuka resmi pada April
2012, ACTIC bertujuan untuk mendukung kebutuhan turis melalui tiga kata kunci: finding, showing, and
supporting. ACTIC termasuk dalam pusat informasi turis kategori tiga, teratas dalam sistem sertifikasi
Japan National Tourism Organization (JNTO), yang menyediakan informasi turis untuk seluruh Jepang
dalam 4 bahasa

Kawasan Asakusa.

Gerbang Kaminari-mon

Distrik Asakusa terletak di ujung timur-laut Central Tokyo. Asakusa adalah pusat dari kawasan yang
disebut Shitamachi, bermakna harfiah “kota rendah”, yang merujuk pada ketinggian tanah yang rendah
di bagian kota tua Tokyo sepanjang Sungai Sumida. Sesuai dengan namanya, kawasan Asakusa
memiliki atmosfer tradisional Jepang yang lebih kental dibandingkan kawasan lain di Tokyo.
Gambaran Asakusa pada masa Edo

Kawasan Asakusa pada masanya terkenal sebagai distrik hiburan karena keberadaan
Kuramae. Pada zaman Edo (1603-1868) Kuramae (yang berarti “di depan gudang”) adalah istilah untuk
gudang penyimpanan beras. Gaji bagi para pegawai pemerintahan diberikan dalam bentuk jatah beras,
dan para distributor (fudasashi) ditawari ruang penyimpanan di gudang dengan harga murah.

Bentuk awal kegiatan industri ini segera berubah dari hanya menjaga persediaan beras, menjadi
kegiatan barter nasi dengan uang kepada para samurai, lalu berlanjut lagi menjadi kegiatan penjualan
beras kepada pedagang kecil. Keuntungan dari penjualan beras lalu dijadikan modal memberikan
pinjaman dengan sistem bunga. Melalui proses ini, para fudasashi mendapatkan kekayaan yang
banyak dan Asakusa pun berkembang menjadi tempat untuk membelanjakan kekayaan tersebut—
teater-teater kabuki dan rumah-rumah geisha bertebaran di sepanjang jalan.

Asakusa termasuk kawasan yang terkena dampak pemboman massal Amerika Serikat pada Perang
Dunia II, khususnya pemboman Tokyo pada Maret 1945. Meskipun telah dibangun kembali pasca
perang, namun kawasan Asakusa tidak lagi semeriah dulu—Shinjuku dan banyak tempat lain di Tokyo
telah mengambil alih gelarnya sebagai distrik hiburan. Meskipun begitu, usaha pengusaha lokal untuk
mengembalikan kejayaan Asakusa setidaknya telah berbuah: kini, Asakusa adalah salah satu pusat
atraksi turis di Tokyo.
Kuil Senso-ji

Di kota dimana bangunan berusia lebih dari 50 tahun amat jarang, Asakusa menawarkan lebih
banyak bangunan dari tahun 1950-an dan 1960-an dibandingkan kebanyakan kawasan di Tokyo.
Terdapat beberapa ryokan (guesthouse) tradisional, rumah-rumah tua, juga apartemen kecil yang
tersebar di seluruh distrik.

Dengan banyaknya bangunan religius (kuil) di Asakusa, festival matsuri yang diadakan tiap kuil paling
tidak setahun sekali pun menjadi hal yang jamak dilihat. Matsuri yang terbesar dan paling populer
adalah Sanja Matsuri di bulan Mei, saat jalanan ditutup dari subuh hingga larut malam. Kuil sekaligus
lokasi wisata yang paling terkenal di Asakusa adalah Kuil Senso-ji, dengan kurang lebih 30 juta
pengunjung setiap tahunnya. Sebelum masuk ke kuil, terdapat gerbang Kaminari-mon yang tak kalah
terkenal, yang dilanjutkan dengan Nakamise—jalanan sepanjang 250 meter menuju kuil yang penuh
dengan pedagang berbagai souvenir dan makanan di sisi jalan. Tak hanya sebagai daya tarik utama
turis, Nakamise sebenarnya adalah salah satu shopping street tertua di Jepang, dan pengunjung kuil
Senso-ji telah menjadi pelanggan setianya selama berabad-abad.
Suasana Nakamise Shopping Street

Restoran-restoran izakaya dan yakitori di sepanjang Hoppy Street di Asakusa menambahkan meja-
kursi plastik pada malam hari, menghidupkan suasana yang nyaman dan santai, tak seperti image
Tokyo pada umumnya. Karena lokasinya yang penuh warna dan suasana yang cenderung santai
menurut standar Tokyo, Asakusa menjadi pilihan yang populer bagi backpackers di Tokyo.

Arsitektur Urban di Jepang: Machiya, Ageya, dan Nagaya-mon.

Machiya adalah rumah toko tradisional yang dapat ditemukan di seluruh Jepang, namun
melekat sebagai ciri khas ibu kota bersejarah Jepang, Kyoto. Machiya (ruko) dan noka (rumah di
peternakan) adalah dua kategori arsitektur vernakular Jepang yang lebih dikenal dengan minka (rumah
rakyat). Machiya mulai berkembang pada periode Heian, berlanjut hingga periode Edo, bahkan semasa
Restorasi Meiji. Machiya adalah tempat tinggal bagi pedagang dan pengrajin rumahan, kelas pekerja
yang dikategorisasikan sebagai chonin (penduduk kota).
Tipikal susunan ruang di sebuah machiya

Machiya yang terdapat di Kyoto, disebut juga kyomachiya, mendefinisikan atmosfer arsitektural di pusat
kota Kyoto selama berabad-abad dan mewakili tipologi machiya secara umum. Bentuk machiya tipikal
adalah rumah berbahan kayu dengan ukuran yang relatif sempit jika dilihat dari jalan, namun
memanjang jauh ke dalam. Kebanyakan machiya memiliki satu atau lebih taman di dalamnya, yang
disebut juga tsuboniwa. Dinding machiya disusun dari tanah dan penutup atapnya menggunakan
genteng, dengan ketinggian mulai dari satu, satu setengah, atau dua hingga tiga lantai.

Potongan tipikal sebuah machiya, dengan sisi depan di sebelah kiri gambar

Bagian depan machiya digunakan sebagai toko (shop space/mise no ma), dan umumnya
memiliki dinding/tirai yang bisa dilipat/digeser untuk menampilkan produk yang dijual. Di belakang mise
no ma terdapat kyoshitsubu (living space), yang terdiri dari kamar-kamar dengan lantai kayu yang
diangkat dan alas tatami, dan doma atau toriniwa, ruang berlantai tanah yang digunakan sebagai area
servis dan sirkulasi menuju bagian belakang bangunan, dimana kura (gudang) biasanya ditemukan.
Sebuah hibukuro yang terletak di bagian atas dapur berfungsi sebagai cerobong, membawa keluar
asap dan panas dari proses memasak sekaligus memasukkan cahaya alami ke dalam dapur.
Fasad tipikal machiya

Luas lahan machiya dapat menunjukkan kekayaan keluarga yang memilikinya. Lahan machiya
biasanya hanya memiliki lebar 5.4 meter hingga 6 meter, namun dapat memanjang hingga 20 meter,
yang memunculkan julukan unagi no nedoko atau tempat tidur belut saking panjangnya.

Iklim lokal juga turut dipertimbangkan dalam perancangan machiya. Kyoto cukup dingin saat musim
salju dan sangat panas dan lembap saat musim panas. Berlapis-lapis pintu geser (fusuma dan shoji)
digunakan untuk mengatur suhu di dalam ruang: menutup seluruhnya akan memberikan perlindungan
terhadap udara dingin, sedangkan membukanya di musim panas akan menghilangkan panas dan
kelembapan yang berlebihan. Material yang digunakan pada fusuma dan shoji juga berganti-ganti
seiring musim. Sebagai contoh, anyaman bambu akan digunakan selama musim panas untuk
memungkinkan aliran udara, namun menahan panas matahari agar tidak masuk. Taman-taman dalam
juga membantu sirkulasi udara dan membawa cahaya masuk ke dalam bangunan.

Sebuah ageya

Ageya adalah tempat hiburan yang menawarkan pelayanan semacam geisha dan tayu, dengan ciri
bangunan yang serupa dengan machiya, hanya saja ageya berukuran lebih lebar pada bagian yang
menghadap ke jalan (biasanya merupakan penggabungan beberapa machiya).
Nagaya

Bahkan pada jaman dahulu, lahan telah menjadi aset yang berharga di Jepang, sehingga rumah-rumah
orang yang kurang mampu biasanya sangat kecil. Ini tidak hanya berlaku bagi orang-orang kota, namun
jugaa samurai dengan tingkatan yang lebih rendah. Mereka hidup di dekat rumah majikannya, dalam
rumah deret yang disebut nagaya, dengan konstruksi panjang yang menaungi beberapa rumah di
bawah satu atap.

Estetika Tradisional Jepang.

Interior Istana Takamatsu

Apa yang biasanya diidentifikasi sebagai estetika Jepang berakar dari ide-ide Taoisme, yang
datang dari China. Meskipun budaya Jepang amat beragam, dalam hal interior, mereka sepakat bahwa
estetika lahir dari sesuatu yang simpel dan minimalis.

Ide bahwa keindahan sebuah ruangan terdapat pada ruang kosong diantara lantai dan atapnya datang
dari Lao Tzi, seorang filsuf yang juga menemukan kepercayaan Taoisme, yang kukuh dengan ‘’estetika
kekosongan’’, dimana suasana ruangan akan dapat dihayati oleh imajinasi, bukannya dipaksakan
melalui hal-hal yang ada secara fisik. Desain ala Jepang didasari dengan kuat oleh ketukangan,
keindahan, dan penggabungan. Desain interiornya sangat simpel, namun dibuat dengan perhatian yang
tinggi terhadap kerumitan detailnya. Hingga kini, hal yang sama masih menjadi perhatian di Jepang era
modern.

Arsitektur dan interior Jepang menggunakan banyak material yang alami, seperti kayu, bambu, sutra,
anyaman padi, dan kertas. Material alami digunakan untuk menjaga simplisitas dalam ruang dalam
yang terhubung dengan alam di luarnya. Kayu sangat banyak digunakan terutama untuk struktur,
karena struktur kayu cenderung menahan gempa bumi lebih baik. Skema warna yang banyak
digunakan cenderung netral, yang termasuk hitam, putih, abu-abu, dan coklat.

Minimalisme dalam arsitektur Jepang

Ketidakpermanenan adalah salah satu tema yang kuat pada bangunan-bangunan di Jepang.
Ukuran ruang bisa diubah dengan menggeser pintu (shoji), lemari-lemari dibangun built-in ke dalam
dinding untuk menyembunyikan tempat tidur (futon), yang hanya digelar saat hendak beranjak tidur,
sehingga memberikan ruang lebih untuk beraktivitas sehari-hari. Fleksibilitas ruang makin terlihat
dengan perubahan musim. Pada musim panas, dinding luar dapat dibuka untuk membawa angin sejuk
masuk ke dalam bangunan. Dekorasi yang minimalis juga sering diubah sesuai musimnya
Analisis.

Terletak pada lahan seluas 326 meter persegi di seberang Gerbang Kaminari-mon, ACTIC
adalah bangunan multifungsi yang menaungi pusat informasi turis, ruang konferensi, ruang sebaguna,
dan ruang pameran. Desain yang diajukan oleh Kengo Kuma & Associates adalah sebuah pusat
informasi turis yang terlihat seperti rumah-rumah tradisional dengan atap miring yang menumpuk ke
atas, masing-masing ‘rumah’ merepresentasikan 1 lantai.

Bentukan yang membaurkan struktur dan fasad digarisbawahi dengan penggunaan material yang khas
untuk memperbesar dampak visual bangunan terhadap lingkungan urban di sekitarnya. Fasad
bangunan didominasi oleh material kayu, merujuk pada bangunan tradisional Jepang yang digubah
secara kontemporer. Interiornya merepresentasikan esensi estetika ala Jepang, namun keseluruhan
‘tumpukan’ bangunan, dikosongkan isinya, dan diisi lagi dengan program ruang yang dibutuhkan,
adalah wujud gubahan secara kontemporer lainnya oleh sang arsitek.
Fasad ACTIC dari samping kanan, depan, dan kiri

Perspektif yang dihasilkan dari setiap sudut pandang selalu berbeda, dengan orientasi ‘rumah’
di tiap lantai yang berbeda pula. Susunan fasad yang terkesan dinamis membantu proses pengamatan
terhadap bangunan, seakan mengajak pengamatnya untuk melihat karakteristik bangunan yang
berbeda tiap lantainya dari bawah hingga ke puncak. Sudut atap dan kemiringan plafon berbeda di tiap
lantainya, sehingga setiap lantai pun memberikan pengalaman yang unik terhadap lingkungan luarnya.

Interior ACTIC dengan atensi tinggi terhadap detail

Di bagian interior, nampak estetika tradisional Jepang yang mengutamakan simplisitas dan
minimalisme, disusun dengan perhatian yang tinggi terhadap detail. Panel kaca yang disinari dari
belakang dihias dengan motif-motif tradisional yang dicetak di atas berbagai jenis kayu, terkenal dengan
nama Edo Chiyogami, yang muncul pada periode Edo di Jepang
Suasana lantai satu bangunan

Di dalam bangunan yang kompak, namun kompleks ini, pengunjung diarahkan ke berbagai
suasana ruang dengan alur yang sama seperti yang terbentuk pada eksteriornya. Pada lantai pertama
dan kedua bangunan, terdapat atrium dan tangga, membentuk sebuah urutan dimana pengunjung
dapat mengamati perubahan kemiringan dari kedua jenis atap.

Suasana lantai mezanin

Di antara bordes menuju ke lantai dua, disediakan platform kayu dimana pengunjung dapat
beristirahat, mengakses Wifi, sambil menikmati pemandangan ke arah Kaminari-mon.
Auditorium di lantai enam yang mengadopsi arsitektur minimalis

Di lantai enam, mengambil keuntungan dari atap yang miring, didapat pula lantai yang miring,
yang dapat berfungsi sebagai ruang auditorium

Kafe dan observation deck di lantai 8 dengan pemandangan ke arah Kuil Senso-ji

Di lantai delapan, terdapat sebuah kafe dan observation deck, yang memberikan pemandangan
panoramik sepanjang Sungai Sumida hingga ke Tokyo Skytree.
Potongan bangunan: arsir hitam adalah lokasi utilitas

Utilitas bangunan diletakkan pada ruang-ruang diagonal yang terbentuk diantara plafon lantai
sebelumnya dan pelat lantai di atasnya, menghemat ruang dan mengurangi kesan masif pada
bangunan.
Di bangunan setinggi 8 lantai ini, dapat jelas terlihat fasad yang bervariasi di setiap sisinya,
yang mewakili beberapa jenis bangunan vernakular Jepang: machiya (rumah toko), ageya (rumah
hiburan), dan nagaya (rumah deret). Sebagai komposisi yang bertumpukan, rumah-rumah disusun
sebagai bagian-bagian fragmen yang disatukan dengan shading vertikal dari kayu yang serupa di setiap
lantainya.

Konstruksi ACTIC disusun dari bahan baja, kayu, dan kaca. Shading vertikal dari kayu mahoni turut
membentuk fasad keempat sisi bangunan, dengan jarak antar shading yang berbeda-beda, tergantung
kebutuhan bayang-bayang dan kebutuhan privasi interiornya. Bagian interior bangunan diselesaikan
dengan berbagai jenis kayu, baik pada lantai, ornamen, maupun furniturnya. Atap miring yang menjadi
fitur eksterior bangunan dan membedakan tiap lantai bangunan dibuat dari pelat baja.
KESIMPULAN
Sebagai pusat informasi turis, Asakusa Culture Tourist Information Center telah memasukkan
unsur-unsur budaya, perilaku, dan lingkungan lokal Asakusa dan nasional Jepang ke dalam
bangunannya, yang diolah dengan cara yang kontemporer.

Bangunan memiliki ciri khas yang sesuai jamannya dimana ide kontemporer yang menghasilkan
struktur yang rumit dapat diatasi dengan teknologi modern, namun tetap memberikan gagasan yang
amat gamblang mengenai inspirasi desainnya, yakni mengadopsi rumah tradisional Jepang secara utuh

Anda mungkin juga menyukai