Anda di halaman 1dari 3

KRITIK ARSITEKTUR

Sustainable Sebagai Sebuah Trend


“Sustainable” sebuah kata yang sering menimbulkan banyak perdebatan. Terlepas dari perbedaannya
dengan kata “green” untuk bangunan, Sustainable memiliki lingkup yang lebih luas. Mengurangi
penggunaan energi dan mengolah energi merupakan satu prinsip sustainable. Sustainable menuntut
manusia untuk hidup hemat, berinvestasi untuk kebutuhan yang akan datang. Pemikiran ini sudah tidak
lagi terfokus pada masa sekarang namun berorientasi pada masa depan atau kehidupan selanjutnya.

Sassi (2006) berpendapat bahwa pemikiran berkelanjutan melawan naluri primitif kita (manusia) yang
mengedepankan diri sendiri sebelum orang lain demi bertahan hidup. Hal ini menyempitkan pandangan
kita bahwa manusia sejatinya adalah makhluk individualis. Manusia dapat berubah setiap saat dalam
kurun waktu tertentu. Namun, apabila kita melihat sedikit ke belakang, mungkin kita akan tahu jati diri
kita sebagai manusia sebenarnya.

Gambar: Diagram Arsitektur Sebagai Kebutuhan Manusia


Sumber: Sistesa Penulis

Dari skema di atas mari kita telaah perkembangan arsitektur atas dasar naluri manusia dalam bertahan
hidup. Bermula dari peradaban kuno, sebuah arsitektur berdiri karena unsur politik. Kekuasan
pemerintah/kerajaan saat itu sangat berpengaruh terhadap bentuk arsitektur. Pemimpin seperti Ratu
Victoria, Ramses II, Sultan Mahmed II, dan Shah Jahan telah melahirkan Royal Albert Hall, Piramid Giza,
Hagia Sophia, dan Taj Mahal. Bermegah-megahan ialah keinginan untuk menunjukkan derajat
kekuasaan masing-masing pemimpin. Keinginan seperti ini mementingkan satu golongan dan
menggerakkan perbudakan hanya untuk memuaskan hasrat pribadi.

TRI LEO BAYU | 1551010033


KRITIK ARSITEKTUR

Pada abad ke-19 dan ke-20, muncul beragam peristiwa besar dalam sejarah. Setelah kejadian Perang
Dunia I, banyak sekali bangunan rata dengan tanah. Akibatnya pemerintah menuntut agar
pembangunan dijalankan dengan cepat. Arsitektur modern menegaskan kebutuhan dari kegiatan
manusia untuk ditampung dalam bangunan. Hanya sebatas mencukupi aktivitas manusia. Tanpa ada
jiwa, tempelan hiasan berharga, pernak-pernik mistis, dsb. Selanjutnya pada masa Revolusi Industri
tingkat pengangguran meningkat secara drastis. Mengganti tenaga otot dengan tenaga besi, semua
bahan menjadi serba instan oleh fabrikasi. Hal-hal tersebut muncul karena adanya pemikiran modern
yang menyebar melalui Pendidikan Formal pada tahun 1960an.

Fritjof Capra (2010), seorang ekolog dan fisikawan mencoba menerangkan bahwa kita tidak perlu repot-
repot menciptakan masyarakat dengan pemikiran berkelanjutan. Kita cukup menggali dan mempelajari
pada kelompok masyarakat tertentu. Karena pemikiran sustainable ternyata sudah berkembang sejak
dahulu. Manusia hanya perlu bertindak dan menyelaraskan apa yang mereka ciptakan dengan alam.

Pergerakan manusia secara dinamis dan tanpa disadari menghadirkan sustainabilitas dalam kehidupan.
Dalam segi arsitektur salah satu contoh ialah arsitektur tradisional di Indonesia. Pada umumnya rumah
adat nusantara terbangun secara berkelompok. Hidup secara bergotong-royong untuk tumbuh dan
berkembang. Mereka telah mengolah energi dan sumber daya alam dalam menjalin simbiosis
mutualisme.

Isu mengenai permasalahan lingkungan dan bagaimana seharusnya kita bertindak telah muncul sejak
tahun 1960an. Namun kala itu arsitektur modern dan postmodern lebih booming. Sehingga kontinuitas
Sustainbale tertutupi oleh masalah yang menurut mereka (the architect) lebih penting. Perhatian
terhadap lingkungan muncul kembali ketika isu Global Warming pada tahun 1990. Berdasarkan data
pencarian Google di Google Trends, kepedulian masyarakat akan isu mengenai sustainable menurun
sejak tahun 2005.

TRI LEO BAYU | 1551010033


KRITIK ARSITEKTUR

Gambar: Grafik pencarian kata “Sustainable”


Sumber: Google Trends (diakses pada 10 Mei 2018)

Saat ini sering kita dengar bahwa arsitektur haruslah memiliki konsep “green”. Di sisi lain, seperti contoh
kasus di Tiongkok, perkembangan ekonomi, bangunan tinggi, dan khususnya bangunan sustainable telah
melesat jauh dari negara maju lainnya seperti Jerman dan UAE. Bangunan Hijau di China digunakan
banyak digunakan untuk investasi bagi mereka yang memiliki modal besar. Capital investment di
negerinya menghadirkan polemik persaingan dan kesenjangan sosial. Yang kaya semakin kaya dan yang
miskin semakin miskin. Secara tidak sadar hal tersebut mengedepankan ego daripada kesejahteraan
bersama.

Dikhawatirkan sustainable(-isme) saat ini hanya akan menjadi sebuah trend. Surut sepanjang waktu
berjalan. Tertutupi oleh perhatian akan isu yang sekali lagi mereka anggap lebih penting. Manusia
sejatinya tidak dapat lepas dari naluri dan sifat alamiahnya. Yang mungkin dapat dilakukan adalah
bagaimana mengontrol diri agar selaras dengan lingkungan dan teknologi. Semua hal yang terjadi di
masa lampau bukan berarti salah. Namun, ialah sebuah proses untuk menjadikan kualitas hidup umat
manusia lebih baik dengan cara berarsitektur.

REFERENCES
1. Sassi, P. 2006. Strategies for Sustainable Design. New York: Taylor & Francis e-library.
2. Church, D. 2010. The Healing Heart of the World: The Harnessing the Power of Intention to
Change Your Life and Your Planet. New York: Elite Books.

TRI LEO BAYU | 1551010033

Anda mungkin juga menyukai