Anda di halaman 1dari 4

THE VITRUVIAN FALLACY

David Smith Capon

Kajian tentang Teori Arsitektur


Dalam dunia praktek, diyakini bahwa seluruh bentukan arsitektur yang
tercipta selalu dipengaruhi oleh perkembangan ideologi, teknologi, maupun paham
pemikiran yang ada pada jamannya. Hal yang sama terjadi dengan perkembangan
pengetahuan (teori) arsitektur. Disertasi yang dilakukan oleh Capon ini pada
awalnya bertujuan untuk mengetahui asal – usul teori arsitektur modern yang
berkembang sekitar abad ke-20 seperti Functionalism, Cubism, Fauvism, dan
sebagainya (Lihat vol. 2, Le Corbusier’s Legacy). Untuk itu, ia mencoba
menelusurinya lewat pemahaman mengenai pokok – pokok pemikiran yang
berpengaruh terhadap teori arsitektur.
Berangkat dari pemahaman struktural, Capon berpendapat bahwa setiap
obyek di dunia selalu memiliki relasi dengan obyek lainnya (1). Kesadaran manusia
mengenai obyek utama dapat direpresentasikan dengan lingkaran di sekeliling
obyek tersebut (2). Setiap obyek, apapun itu, dapat dianalisis dengan
mengkategorikan obyek – obyek lain di sekitarnya berdasarkan tingkat
dominasinya (3). Setelah itu, diagram tadi dapat disederhanakan dengan
menentukan mana obyek yang paling dominan mempengaruhi obyek utama tadi
(4). Diagram di bawah ini menjelaskan empat tahap penting dalam memahami suatu
obyek.

1 2 3 4

Gambar 1. Tahap Pemahaman Sebuah Obyek menurut Capon


Sumber : The Vitruvian Fallacy, 1999

Capon kemudian mengungkapkan dua jenis metode dalam melakukan


kajian terhadap teori arsitektur. Pertama adalah dengan menempatkan teori – teori

31
arsitektur sebagai kajian sejarah. Pada metode ini, peneliti hanya mengemukakan
teori – teori yang telah ada secara kronologis, kemudian dilengkapi dengan
pendapat pakar lainnya mengenai teori tersebut. Sedangkan metode kedua
berlandas pada pemahaman bahwa setiap teori arsitektur yang ada selalu memiliki
relasi dengan ilmu pengetahuan lain. Berbeda dengan metode pertama yang
cenderung hanya membahas tentang perkembangan teori arsitektur dari waktu ke
waktu, metode kedua menuntut adanya pemahaman mengenai ilmu filsafat, yang
diyakini merupakan induk dari seluruh ilmu pengetahuan yang ada. Oleh karena
itu, tidaklah mengherankan bahwa teori arsitektur akan selalu terkait dengan
perkembangan pemikiran dalam ilmu filsafat.
Penelitian yang dilakukan oleh Capon berlandas pada metode kedua, yakni
dengan melihat relasi antara ilmu filsafat dan teori arsitektur. Secara umum, tujuan
dari penelitiannya ini adalah membuat kategori mengenai pemikiran dalam filsafat
dan arsitektur, dari masa Yunani Kuno sampai masa modern. Dalam bidang filsafat,
beberapa pemikiran yang ditelusuri antara lain berasal dari Plato, Aristoteles,
doktrin – doktrin Gereja Katolik, sampai pada pemikiran Descartes yang diyakini
merupakan asal mula pemikiran filsafat modern. Ia berpendapat bahwa dengan
melalui proses pengkategorian tadi, pemikiran - pemikiran yang ada dapat
dikelompokan secara sistematis sehingga lebih mudah dipahami.

Kategori Primer (Primary Category) dan Sekunder (Secondary Category)


Untuk menentukan definisi dari ‘arsitektur yang ideal’, Capon mengacu
pada pendapat filsuf Yunani, Aristoteles, yang berpendapat bahwa suatu obyek
dapat dinilai berdasarkan tiga hal yakni Elements, Cause, dan Principles. Tiga hal
ini menjadi titik tolak Capon dalam melakukan kajian terhadap arsitektur. Para
filsuf pada masa Yunani Kuno sepakat bahwa aspek arsitektur terbagi atas enam
kategori yakni Substance, Relation, Quantity, Quality, Activity, Will. Keenamnya
kemudian dikelompokkan berdasarkan kategori primer (primary category) yang
terdiri dari Quantity, Activity, dan Quality; serta kategori sekunder (secondary
category) yang terdiri dari Substance, Relation, dan Will.
Dalam arsitektur, Quantity mengacu pada Bentuk (Form), Activity mengacu
pada Fungsi (Function), sedangkan Quality mengacu pada Makna (Meaning).

32
Sedangkan Substance mengacu pada konstruksi (Construction), Relation mengacu
pada konteks (Context), dan Will mengacu pada spirit (Spirit). Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa bentuk berpasangan dengan konstruksi, fungsi berpasangan
dengan konteks, dan makna berpasangan dengan spirit (lihat gambar 2). Lalu
bagaimana penilaian terhadap teori arsitektur yang ada berdasarkan kedua kategori
ini?

Gambar 2. Kategori Primer dan Sekunder dalam Arsitektur

The Vitruvian Fallacy


Dari seluruh teori arsitektur, teori yang dikemukakan oleh Vitruvius (80 –
15 BC) dapat dikatakan merupakan teori paling awal dan paling banyak dikenal di
kalangan praktisi maupun teoritikus arsitektur. Melalui buku yang berjudul “The
Ten Books on Architecture”, ia mengungkapkan bahwa arsitektur selalu terdiri dari
tiga aspek penting, yakni Firmitas (kekuatan) – Utilitas (kegunaan) – Venustas
(keindahan). Dalam uraiannya tersebut, Firmitas mengacu pada struktur atau
konstruksi bangunan; Utilitas mengacu pada nyaman atau tidaknya bangunan
ketika digunakan, lokasi bangunan dalam skala perkotaan, sampai pada aspek
ekonomi. Sedangkan Venustas mengacu pada prinsip - prinsip utama penataan
bentuk antara lain simetri (symmetry), proporsi (proportion), serta ritme
(eurythmia).

33
Berdasarkan pada uraian pada bagian sebelumnya, dapat dipahami bahwa
kategori primer dalam arsitektur terdiri dari fungsi, bentuk, dan makna. Ketika
ketiganya diterapkan pada teori Vitruvius, ia menemukan ketidaksesuaian. Menurut
Vitruvius, Firmitas, yang mengacu pada struktur dan konstruksi bangunan
merupakan hal yang utama. Sedangkan jika dinilai berdasarkan diagram yang
diajukan oleh Capon, konstruksi seharusnya merupakan bagian dari aspek bentuk.
Dengan kata lain, konstruksi bukanlah merupakan aspek utama dalam arsitektur.
Fungsi
(Utilitas)

Konstruksi
(Firmitas)

Bentuk
(Venustas)

Gambar 2. Diagram Kategori Capon (kiri) dan Vitruvius (kanan)

34

Anda mungkin juga menyukai