1
Emile Durkheim (1858 – 1917) merupakan pakar dalam bidang sosiologi. Melalui bukunya yang
berjudul “The Rules of Sociological Methods” (1895), Durkehim menyatakan bahwa masyarakat
dapat diteliti secara ilmiah karena interaksi antar anggotanya menimbulkan adat istiadat, tradisi, dan
kaidah perilaku yang seluruhnya membentuk kumpulan data yang mandiri. Fenomena ini kemudian
disebut dengan ‘fakta sosial’. Fakta sosial ini memiliki beberapa ciri, antara lain berasal dari luar
individu serta tidak diciptakan oleh individu tersebut, tetapi merupakan bagian dari warisan budaya.
Fenomena tersebut mengendalikan impuls dasar dan mengatur perilaku individu dalam suatu
masyarakat. Berangkat dari pemahaman tersebut, Durkheim menyimpulkan adanya kesadaran
kolektif dan kesadaran individu.
1
karena itu, bahasa sebagai fakta sosial dapat dipelajari secara terpisah dari perilaku
penuturnya.
Saussure kemudian membedakan bahasa menjadi tiga, yaitu Langue,
Parole, dan Langage. Secara singkat, Parole merupakan manifestasi individu atas
bahasa. Parole bukan merupakan fakta sosial, karena merupakan pilihan dari
individu yang dilakukan secara sadar. Gabungan Parole dan kaidah bahasa dalam
suatu masyarakat dinamakan dengan Langage. Langange juga bukan merupakan
fakta sosial, karena di dalamnya terdapat ujaran individu (Parole) tadi.
Saussure kemudian mengajukan aspek yang ketiga, dengan menyisihkan
ujaran individu dalam Langage. Dari sinilah diperoleh konsep bahasa yang sesuai
dengan konsep fakta sosial, yang disebut dengan Langue. Ia merupakan sesuatu
yang ada dan serupa pada setiap individu, serta berada di luar kesadaran individu
tersebut. Langue dapat diteliti karena mengandung pola yang sifatnya stabil di
belakang ujaran – ujaran individu. Menurutnya, tujuan linguistik adalah mencari
struktur (Langue) dari kenyataan yang konkret dan tampak acak (Parole).
Semiologi
Saussure berpendapat bahwa bahwa Langue adalah suatu tanda yang
mengeskpresikan ide atau gagasan. Oleh karena itu, sebagai tanda ia dapat
dibandingkan dengan tulisan, huruf - huruf untuk orang bisu-tuli, simbol-simbol
keagamaan, aturan-aturan sopan santun, tanda-tanda kemiliteran dan sebagainya.
Ia juga berpendapat bahwa tanda selalu terdiri dari dua sisi (diadic) yaitu
petanda (signifie atau signified) dan penanda (signifiant atau signifier). Penanda
adalah aspek material dari sebuah benda, yang dapat dirasakan oleh panca indera.
Sedangkan petanda adalah konsep atau gagasan yang dirujuk oleh penanda. Kedua
aspek ini tidak dapat dipisahkan, layaknya dua halaman pada selembar kertas (lihat
gambar 1). Saussure kemudian menamakan kajian tentang tanda ini sebagai
semiologi.
2
TANDA
PENANDA PETANDA
Aspek Material Konsep / gagasan
Sifat Tanda
Terhadap petanda dan penanda sebagai sebuah tanda, ia menekankan bahwa
makna dari sebuah tanda (bagaimana tanda – tanda tersebut dapat dimengerti oleh
manusia) terletak pada relasinya. Relasi antara penanda dan petanda cenderung
bersifat arbitrer, yang berarti antara penanda dan petanda tidak terdapat hubungan
alamiah. Sebagai contoh, kata “kucing” tidak memiliki kesamaan apapun yang
mengingatkan penuturnya pada hewan mamalia berkaki empat, berbulu, dan
mengeong.
Selain itu, Saussure juga berpendapat bahwa untuk memahami makna suatu
tanda diperlukan perjanjian atau kesepakatan sosial. Contohnya dapat dilihat pada
penggunaan bahasa, yang terikat oleh perjanjian tertentu dalam masyarakat. Bahasa
yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat belum tentu dapat dipahami dan
digunakan oleh kelompok masyarakat lain. Kata “dog” dalam bahasa Inggris yang
merujuk pada hewan mamalia berkaki empat, berbulu, memiliki ekor, dan
menggongong; tidak dapat dimengerti oleh penutur berbahasa Indonesia, yang
mengenal hewan tersebut dengan kata “anjing”.
Selanjutnya, makna suatu tanda dapat diketahui karena tanda tersebut
memiliki hubungan atau relasi dengan tanda lain. (Lihat gambar 2) Sebuah tanda
hanya bermakna karena ia berbeda dengan tanda lain. Hubungan perbedaan ini
kemudian dikenal dengan nama oposisi biner (binary opposition). Roman
Jakobson, salah satu ahli bahasa yang sependapat dengan Saussure,
3
mengungkapkan bahwa oposisi ini sebetulnya memang merupakan prinsip kerja
otak manusia. Kita tidak mungkin mengetahui arti kata “maskulin”, tanpa
membandingkannya terlebih dulu dengan arti kata “feminin”. Sama halnya dengan
mengetahui perbedaan arti kata “kaku” dengan “luwes” atau “gelap”- “terang”.
Menurut Saussure, seluruh mekanisme bahasa berlandas pada prinsip tentang
perbedaan ini.
TANDA TANDA
Penanda relasi Penanda
Petanda Petanda
Makna