Anda di halaman 1dari 4

COURSE IN GENERAL LINGUISTICS

Ferdinand de Saussure, Charles Bally & Albert Sechehaye (ed.)

Ferdinand de Saussure (1857 – 1913) adalah seorang pakar dalam ilmu


bahasa, sehingga pemahamannya tentang ilmu tanda tidak dapat dipisahkan dari
ilmu bahasa. Sebagai pengajar bahasa Sansekerta, Gotik, dan bahasa Jerman Kuno,
pada awalnya Saussure lebih tertarik pada bahasa – bahasa tertentu dalam sejarah,
dan bukan linguistik secara umum. Namun pada tahun 1906, ia ditugaskan untuk
mengajar linguistik umum. Pendekatannya terhadap bidang ini dinilai berbeda
dengan pendekatan para pakar ilmu bahasa pada abad ke-19, yang mengkaji ilmu
bahasa berdasarkan transformasinya dalam kurun waktu tertentu (diakronik).
Sebaliknya, Saussure berpendapat bahwa penelitian ilmiah terhadap bahasa tidak
harus dilakukan secara diakronik, melainkan hanya dalam suatu tahap atau keadaan
tertentu dengan melihat relasinya dengan hal – hal lain (sinkronik).

Langue sebagai Obyek Linguistik


Sejalan dengan teori yang pernah dikemukakan oleh Emile Durkheim
mengenai masyarakat1, Saussure berpendapat bahwa bahasa dapat dianggap
sebagai “benda” yang terlepas dari pemakaian penuturnya. Hal ini disebabkan
karena bahasa diwariskan dari penutur lain yang mengajarkan bahasa tersebut, dan
bukan merupakan ciptaan individu tadi. Bahasa juga merupakan fakta sosial, karena
digunakan berdasarkan kesepakatan (konvensi) dalam suatu masyarakat. Oleh

1
Emile Durkheim (1858 – 1917) merupakan pakar dalam bidang sosiologi. Melalui bukunya yang
berjudul “The Rules of Sociological Methods” (1895), Durkehim menyatakan bahwa masyarakat
dapat diteliti secara ilmiah karena interaksi antar anggotanya menimbulkan adat istiadat, tradisi, dan
kaidah perilaku yang seluruhnya membentuk kumpulan data yang mandiri. Fenomena ini kemudian
disebut dengan ‘fakta sosial’. Fakta sosial ini memiliki beberapa ciri, antara lain berasal dari luar
individu serta tidak diciptakan oleh individu tersebut, tetapi merupakan bagian dari warisan budaya.
Fenomena tersebut mengendalikan impuls dasar dan mengatur perilaku individu dalam suatu
masyarakat. Berangkat dari pemahaman tersebut, Durkheim menyimpulkan adanya kesadaran
kolektif dan kesadaran individu.

1
karena itu, bahasa sebagai fakta sosial dapat dipelajari secara terpisah dari perilaku
penuturnya.
Saussure kemudian membedakan bahasa menjadi tiga, yaitu Langue,
Parole, dan Langage. Secara singkat, Parole merupakan manifestasi individu atas
bahasa. Parole bukan merupakan fakta sosial, karena merupakan pilihan dari
individu yang dilakukan secara sadar. Gabungan Parole dan kaidah bahasa dalam
suatu masyarakat dinamakan dengan Langage. Langange juga bukan merupakan
fakta sosial, karena di dalamnya terdapat ujaran individu (Parole) tadi.
Saussure kemudian mengajukan aspek yang ketiga, dengan menyisihkan
ujaran individu dalam Langage. Dari sinilah diperoleh konsep bahasa yang sesuai
dengan konsep fakta sosial, yang disebut dengan Langue. Ia merupakan sesuatu
yang ada dan serupa pada setiap individu, serta berada di luar kesadaran individu
tersebut. Langue dapat diteliti karena mengandung pola yang sifatnya stabil di
belakang ujaran – ujaran individu. Menurutnya, tujuan linguistik adalah mencari
struktur (Langue) dari kenyataan yang konkret dan tampak acak (Parole).

Semiologi
Saussure berpendapat bahwa bahwa Langue adalah suatu tanda yang
mengeskpresikan ide atau gagasan. Oleh karena itu, sebagai tanda ia dapat
dibandingkan dengan tulisan, huruf - huruf untuk orang bisu-tuli, simbol-simbol
keagamaan, aturan-aturan sopan santun, tanda-tanda kemiliteran dan sebagainya.
Ia juga berpendapat bahwa tanda selalu terdiri dari dua sisi (diadic) yaitu
petanda (signifie atau signified) dan penanda (signifiant atau signifier). Penanda
adalah aspek material dari sebuah benda, yang dapat dirasakan oleh panca indera.
Sedangkan petanda adalah konsep atau gagasan yang dirujuk oleh penanda. Kedua
aspek ini tidak dapat dipisahkan, layaknya dua halaman pada selembar kertas (lihat
gambar 1). Saussure kemudian menamakan kajian tentang tanda ini sebagai
semiologi.

2
TANDA

PENANDA PETANDA
Aspek Material Konsep / gagasan

Gambar 1. Dua Aspek Tanda Menurut Saussure

Sifat Tanda
Terhadap petanda dan penanda sebagai sebuah tanda, ia menekankan bahwa
makna dari sebuah tanda (bagaimana tanda – tanda tersebut dapat dimengerti oleh
manusia) terletak pada relasinya. Relasi antara penanda dan petanda cenderung
bersifat arbitrer, yang berarti antara penanda dan petanda tidak terdapat hubungan
alamiah. Sebagai contoh, kata “kucing” tidak memiliki kesamaan apapun yang
mengingatkan penuturnya pada hewan mamalia berkaki empat, berbulu, dan
mengeong.
Selain itu, Saussure juga berpendapat bahwa untuk memahami makna suatu
tanda diperlukan perjanjian atau kesepakatan sosial. Contohnya dapat dilihat pada
penggunaan bahasa, yang terikat oleh perjanjian tertentu dalam masyarakat. Bahasa
yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat belum tentu dapat dipahami dan
digunakan oleh kelompok masyarakat lain. Kata “dog” dalam bahasa Inggris yang
merujuk pada hewan mamalia berkaki empat, berbulu, memiliki ekor, dan
menggongong; tidak dapat dimengerti oleh penutur berbahasa Indonesia, yang
mengenal hewan tersebut dengan kata “anjing”.
Selanjutnya, makna suatu tanda dapat diketahui karena tanda tersebut
memiliki hubungan atau relasi dengan tanda lain. (Lihat gambar 2) Sebuah tanda
hanya bermakna karena ia berbeda dengan tanda lain. Hubungan perbedaan ini
kemudian dikenal dengan nama oposisi biner (binary opposition). Roman
Jakobson, salah satu ahli bahasa yang sependapat dengan Saussure,

3
mengungkapkan bahwa oposisi ini sebetulnya memang merupakan prinsip kerja
otak manusia. Kita tidak mungkin mengetahui arti kata “maskulin”, tanpa
membandingkannya terlebih dulu dengan arti kata “feminin”. Sama halnya dengan
mengetahui perbedaan arti kata “kaku” dengan “luwes” atau “gelap”- “terang”.
Menurut Saussure, seluruh mekanisme bahasa berlandas pada prinsip tentang
perbedaan ini.

TANDA TANDA
Penanda relasi Penanda
Petanda Petanda

Makna

Gambar 2. Makna Diperoleh Melalui Relasi Antar Tanda

Hubungan Sintagmatik - Asosiatif


Terkait dengan relasi antar tanda, Saussure kemudian mengajukan batas –
batas kombinasi maupun substitusi elemen – elemen tanda. Ia membedakannya
menjadi dua, yaitu relasi sintagmatik dan asosiatif. Relasi sintagmatik mengatur
cara menyusun beberapa tanda, atau dalam hal ini beberapa kata; sehingga
membentuk kalimat yang logis dan dapat dimengerti. Hubungan ini meniadakan
kemungkinan untuk melafalkan dua unsur sekaligus.
Sistem penandaan ini tidak hanya dapat berlangsung dalam kombinasi linier
untuk membentuk sintagma. Apabila terdapat beberapa alternatif tanda, sebuah kata
dalam susunannya dapat diganti dengan kata lain yang memiliki kesamaan arti.
Sejauh tetap memenuhi syarat hubungan sintagmatik, pergantian tersebut bersifat
fleksibel. Contohnya dapat dilihat dalam sebuah kalimat “Kucing sedang berbaring
di atas karpet.” Kata kucing, bisa saja memiliki hubungan yang saling
menggantikan (asosiatif) dengan singa atau anjing, karena masih dalam lingkup
hewan mamalia berkaki empat. Pergantian kata ini terbukti tidak mempengaruhi
hubungan sintagmatik, selain pertukaran dua kata benda.

Anda mungkin juga menyukai