Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH SEMIOTIKA

TOKOH-TOKOH SEMIOTIKA
Disusun untuk Memenuhi Tugas Semiotika

DISUSUN OLEH:

Defrizal Ahmad Nugraha (1910722017)

Rosi Hestika Putri (1910721037)

Huswathun Hasannah (1910721019)

Wiranti Gusman (1910721001)

Annisa (1910722019)

Fauzan Mubaraq (1910723009)

SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ANDALAS
2021
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan pemakalah kemudahan
sehingga dapat menyelesaikan makalah ini sebagai tugas dari mata kuliah Semiotika Tanpa
Ridho-Nya tentunya pemakalah tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan
baik.

Pemakalah tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, pemakalah mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya nantinya akan menjadi makalah yang
lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, pemakalah
mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Pemakalah juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada dosen
Semiotik yang telah membimbing dalam menulis makalah ini. Demikian, semoga makalah ini
dapat bermanfaat. Terima Kasih.

Agam, 19 September 2021

Pemakalah
TOKOH-TOKOH SEMIOTIKA

A. Ferdinand De Saussure

Semiotika menurut Saussure adalah kajian yang membahas tentang tanda dalam kehidupan
sosial dan hukum yang mengaturnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa tanda terikat dengan hukum
yang ada di masyarakat. Saussure lebih menekankan bahwa tanda memiliki makna karena
dipengaruhi peran bahasa. Dibandingkan bagian – bagian lainnya seperti, adat istiadat, agama
dan lain sebagainya.

Saussure membagi konsep semiotikanya menjadi 4 konsep. Yaitu

1. signifiant dan signifie,


Pertama yaitu signifiant dan signifie, signifiant atau petanda adalah hal – hal yang
dapat diterima oleh pikiran kita seperti gambaran visual asli dari objek. Signifie adalah
makna yang kita pikirkan setelah kita menerima sebuah tanda. Misalnya, kita gunakan
pintu sebagai objek untuk diterangkan menggunakan signifiant dan signifie.
Signifiant dari pintu adalah komponen dari kata pintu itu yaitu P-I-N-T-U.
Sedangkan signifie dari pintu adalah apa yang ditangkap pikiran kita ketika melihat pintu
itu. yaitu alat yang digunakan untuk menghubungkan ruang satu keruang lainnya.
2. langue dan parole,
Konsep kedua adalah bagian dari bahasa, yang terbagi dalam parole dan launge.
Menurut Saussure Langue ialah pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat akan suatu
hal tertentu. Langue dapat diartikan sebagai suatu sistem dari tanda atau kode itu sendiri.
Sedangkan untuk parole adalah tindakan yang dilakukan secara individual dari kemauan
dan kecerdasan berpikir.
3. synchronic dan diachronic,
Konsep ketiga adalah synchronic dan diachronic, merupakan konsep yang
mempelajari bahasa dalam kurun waktu tertentu. Synchronic dalam bahasa adalah
penjelasan tentang kondisi tertentu yang berhubungan dengan suatu masa. Sedangkan
diachronic ialah penjelasan tentang perkembangan setelah suatu hal yang terjadi di suatu
masa tertentu.
4. serta syntagmatic dan paradigmatic.
Konsep keempat, syntagmatic dan paradigmatic adalah hubungan unsur dari ilmu
bahasa yang berisikan susunan atau rangkaian kata, bunyi dalam suatu konsep. Semasa
sekolah kita diajari untuk membentuk suatu kalimat terdiri dari subyek, predikat, objek
dan keterengan sehingga membentuk kalimat dalam satu kesatuan utuh.
Yang dimaksud dengan syntagmatic seperti unsur dari susunan suatu kalimat yang
tidak dapat digantikan dengan unsur lainnya. Sedangkan untuk paradigmatic unsur suatu
kalimat dapat diubah atau diganti dengan unsur lainnya yang harus memiliki makna yang
sama.

b. Charles Sanders peirce

Konsep semiotika Pierce ialah tanda berkaitan erat dengan logika. Logika digunakan
manusia untuk bernalar melalui tanda – tanda yang muncul disekitarnya. Tanda mampu
menghubungkan pikiran antara satu orang dengan orang lainnya. Pierce membagi tanda atas 3
hal untuk memberikan makna pada suatu objek. 3 hal tersebut ialah ikon, indeks, dan simbol.

 Ikon adalah gambaran visual yang memiliki kemiripan antara bentuk tanda dan objek
yang ditunjukkan.
Contohnya objek dari seekor sapi, maka ikon dari objek ini dapat berupa gambar sapi,
sketsa sapi, patung sapi, atau foto dari sapi. Mereka memiliki persamaan yaitu
menggambarkan seekor sapi.
 Indeks adalah tanda yang menunjukkan atau mengisyaratkan suatu objek tertentu.
Hubungan dari tanda dan petanda bersifat sebab akibat dan mengacu pada fakta yang ada.
Contohnya, objek seekor kucing, indeksnya ialah suara kucing, atau gerak kucing yang
menandakan bahwa objek yang tengah dibicarakan tersebut adalah seekor kucing. Orang
yang melihat dapat dengan cepat menangkap maksud yang ingin disampaikan.
 Simbol sendiri adalah tanda yang menunjukkan pada hubungan tanda dan petanda yang
alamiah. Langsung merujuk pada objek yang dibicarakan yang sudah melewati
pemahaman yang ada dimasyarakat.
Contohnya, gambar sebuah masjid, maka tanda ini simbolisasi dari umat Islam.

C. Teori Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes dilahirkan pada tahun 1915 di Cheorbough, dan tumbuh besar di Bayonne.
Ia hidup dalam keluarga yang menganut agama Protestan. Roland merupakan tokoh besar dalam
sejarah semiotika. Menurutnya semiotika adalah ilmu yang digunakan untuk memaknai suatu
tanda. Bahasa merupakan susunan dari tanda yang memiliki pesan – pesan tertentu dari
masyarakat. Selain bahasa tanda dapat berupa lagu, not musik, benda, dialog, gambar, logo,
gerak tubuh, dan mimik wajah.

Roland, mencetuskan model analisis tanda signifikasi dua tahap atau two order of
signification. Kemudian Roland membaginya dalam denotasi dan konotasi. Signifikasi tahap
pertama merupakan hubungan antara petanda dan penanda dalam bentuk nyata. Barthes
menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna asli atau makna umum yang mutlak dipahami oleh
kebanyakan orang.
 Contohnya, kata ayam memiliki makna denotasi yaitu unggas, yang menghasilkan telur,
berbulu dan berkotek. Ini merupakan makna umum yang hampir seluruh orang paham
akan maksudnya.

Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap
kedua. Hal ini menggambarkan hubungan yang terjadi ketika tanda tercampur dengan perasaan
atau emosi. Konotasi seringkali tidak disadari kehadirannya, dianggap sebagai denotasi. Maka
analisis semiotika digunakan untuk memperbaiki kesalahpahaman yang sering terjadi. Konotasi
bekerja dalam tingkat subjektif, sehingga kehadirannya tidak disadari.

 Contohnya : kata teratai dalam bahasa Indonesia berarti bunga yang konotasinya
memiliki makna keindahan, tetapi di India bunga teratai memiliki makna yang berbeda.
Dalam agama Budha dan Hindu, bunga teratai memiliki arti perlambang yang dalam
pada kedua agama tersebut.

Pada signifikasi tahap kedua yaitu mitos, merupakan pesan yang didalamnya terdapat
pandangan masyarakat. Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami
beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos berhubungan dengan kebiasaan
masyarakat, atau budaya yang ada dalam masyarakat. Jadi, mitos adalah bagaimana kebudayaan
menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam.

Tokoh – tokoh semiotika memiliki persamaan dalam pengertiannya terhadap sebuah tanda.
Yang membedakan hanyalah dari konsep yang mereka gunakan dalam pendekatan untuk
memaknai sebuah tanda. Jika Ferdinand lebih menekankan pada bahasa untuk memaknai sebuah
tanda dan membaginya dalam konsep yang panjang. Padahal tanda dapat muncul melalui adat
istiadat, agama dan masih banyak lainnya. Sedangkan konsep semiotika Pierce yang
menggunakan 3 konsep untuk menganalisis sebuah makna.

Terdiri dari ikon, indeks dan simbol.

tetapi konsep ini masih kurang rinci untuk menemukan makna – makna yang tersembunyi.
Sehingga model analisis Roland lebih dipilih untuk mencari makna tanda secara rinci dan
terkonsep. Mencakup secara utuh hampir semua aspek yang dicetuskan oleh tokoh – tokoh
sebelumnya.

D Baudrillard

Baudrillard memperkenalkan teori simulasi. Di mana peristiwa yang tampil tidak


mempunyai asal-usul yang jelas, tidak merujuk pada realitas yang sudah ada, tidak mempunyai
sumber otoritas yang diketahui. Konsekuensinya, kata Baudrillard, kita hidup dalam apa yang
disebutnya hiperrealitas (hyper-reality). Segala sesuatu merupakan tiruan, tepatnya tiruan dari
tiruan, dan yang palsu tampaknya lebih nyata dari kenyataannya (Sobur, 2006).
Sebuah iklan menampilkan seorang pria lemah yang kemudian menenggak sebutir pil
multivitamin, seketika pria tersebut memiliki energi yang luar biasa, mampu mengerek sebuah
truk, tentu hanya ‘mengada-ada’. Karena, mana mungkin hanya karena sebutir pil seseorang
dapat berubah kuat luar biasa. Padahal iklan tersebut hanya ingin menyampaikan pesan produk
sebagai multivitamin yang memberi asupan energi tambahan untuk beraktivitas sehari-hari agar
tidak mudah capek. Namun, cerita iklan dibuat ‘luar biasa’ agar konsumen percaya. Inilah tipuan
realitas atau hiperealitas yang merupakan hasil konstruksi pembuat iklan.

Barangkali kita masih teringat dengan pengalaman masa kecil (entah sekarang masih ada
atau sudah lenyap) di pasar-pasar tradisional melihat atraksi seorang penjual obat yang
memamerkan hiburan sulap kemudian mendemokan khasiat obat di hadapan penonton? Padahal
sesungguhnya atraksi tersebut telah ‘direkayasa’ agar terlihat benar-benar manjur di hadapan
penonton dan penonton tertarik untuk beramai-ramai membeli obatnya.

E. Derrida

Derrida terkenal dengan model semiotika Dekonstruksi-nya. Dekonstruksi, menurut


Derrida, adalah sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk
kesimpulan yang baku. Konsep Dekonstruksi –yang dimulai dengan konsep demistifikasi,
pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian realitas—pada dasarnya
dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda (siginifier) melalui penyusunan
konsep (signified). Dalam teori Grammatology, Derrida menemukan konsepsi tak pernah
membangun arti tanda-tanda secara murni, karena semua tanda senantiasa sudah mengandung
artikulasi lain (Subangun, 1994 dalam Sobur, 2006: 100).

Dekonstruksi, pertama sekali, adalah usaha membalik secara terus-menerus hirarki oposisi
biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang semula pusat,
fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip.
Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang permanen
sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas.

Sebuah gereja tua dengan arsitektur gothic di depan Istiqlal bisa merefleksikan banyak hal.
Ke-gothic-annya bisa merefleksikan ideologi abad pertengahan yang dikenal sebagai abad
kegelapan. Seseorang bisa menafsirkan bahwa ajaran yang dihantarkan dalam gereja tersebut
cenderung ‘sesat’ atau menggiring jemaatnya pada hal-hal yang justru bertentangan dari moral-
moral keagamaan yang seharusnya, misalnya mengadakan persembahan-persembahan berbau
mistis di altar gereja, dan sebagainya.

F. Umberto Eco
Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai ahli semiotikan yang
menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif dan kontemporer.
Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena ia mengintegrasikan teori-teori semiotika
sebelumnya dan membawa semiotika secara lebih mendalam (Sobur, 2006).

Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin memusatkan
perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco kemudian mengubah konsep tanda menjadi konsep
fungsi tanda. Eco menyimbulkan bahwa “satu tanda bukanlah entitas semiotik yang dapat
ditawar, melainkan suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur independen (yang berasal dari dua
sistem berbeda dari dua tingkat yang berbeda yakni ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar
hubungan pengkodean”.

Eco menggunakan “kode-s” untuk menunjukkan kode yang dipakai sesuai struktur bahasa.
Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki arti apapun, dan dalam pengertian yang
paling radikal tidak berfungsi secara linguistik. Kode-s bisa bersifat “denotatif” (bila suatu
pernyataan bisa dipahami secara harfiah), atau “konotatif” (bila tampak kode lain dalam
pernyataan yang sama). Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan karya Saussure, namun Eco
ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode-s yang lebih bersifat dinamis daripada
yang ditemukan dalam teori Saussure, di samping itu sangat terkait dengan teori linguistik masa
kini.

G. Ogden & Richard

Teori Semiotika C. K. Ogden dan I. A. Richard merupakan teori semiotika trikotomi yang
dikembangkan dari Teori Saussure dan Teori Barthes yang didalamnya terdapat perkembangan
hubungan antara Petanda (signified) dengan Penanda (signifier) dimana Penanda kemudian
dibagi menjadi dua yaitu Peranti (Actual Function/Object Properties) dan Penanda (signifier) itu
sendiri. Petanda merupakan Konotasi dari Penanda, sedangkan Peranti merupakan Denotasi dari
Penanda. Pada teori ini Petanda merupakan makna, konsep, gagasan, sedang Penanda merupakan
gambaran yang menjelaskan peranti, penjelasan fisik obyek benda, kondisi obyek/benda, dan
cenderung (tetapi tidak selalu) berupa ciri-ciri bentuk, ruang, permukaan dan volume yang
memiliki suprasegmen tertentu (irama, warna, tekstur, dsb) dan Peranti merupakan wujud
obyek/benda/fungsi aktual (Christian).

H. Roman Jacobson
Dalam berbagai aspek kehidupan kita tidak dapat terhindarkan dari suatu makna. Makna
yang dimaksud bisa dalam sebuah ungkapan maupun gesture seseorang. Dalam sebuah ungkapan
adanya komunikasi antar dua belah pihak menjadi acuan yang sangat penting. Gestur, tuturan,
mau segala hal dalam bentuk sesuatu memiliki makna, contohnya simbol. Dalam ilmu semiotika,
kode atau simbol sangat didalami termasuk beberapa pakar bahasa yang mengemukakan
berbagai pandangan mengenai semiotik. Penulis disini menjelaskan mengenai salahsatu
bahasawan strukturalis yaitu Roman Jakobson. Roman jakobson memiliki nama lengkap Roman
Osipovich Jacobson. Yang lahir di Moscow, 11 Oktober 1896. Sejak awal Jakobson
berkecimpung didunia linguistik, dia sangat berpengaruh didalamnya. Pada abad 20 dia juga
merupakan salahsatu bahasawan berpengaruh dimasanya.
Pada awalnya Roman Jakobson sempat menginginkan untuk menganalisis lebih jauh
mengenai bidang terluar suatu bahasa termasuk seni berbicara (verbal arts) untuk menemukan
wilayah semiotika yang lebih luas dalam budaya dan seni. Ia juga berkontribusi pada masalah-
masalah utama semiotika, seperti konsep tanda, sistem kode, struktur, fungsi, komunikasi, dan
sejarah semiotika. Maka pada awalnya ini Roman Jakobson mengembangkan teorinya mengenai
fungsi-fungsi bahasa.
Menurut Nuarca (2017:17) Jakobson juga mengajukan satu model sistem komunikasi
linguistik untuk menjelaskan apa yang disebutnya sebagai poetic function of language dengan
menyejajarkan 6 faktor bahasa dan 6 fungsi bahasa sebagaimana tampak dalam diagram berikut.
Diagram :
Contect
Message
Addresser ------------------
----------------- Addresse
Contact
Code
Maksud dari diagram ini dapat diberi penjelasan seperti berikut : setiap percakapan terdiri
dari pesan-pesan tertentu (message) yang datang dari seorang pembicara atau pengirim
(addresser). Pesan tersebut mempunyai sebuah konteks dan disampaikan melalui sebuah
hubungan atau contact (sebuah medium seperti dalam bentuk ujaran, tertulis, telepon dan lain-
lain) kepada si alamat (addressee). Pesan tersebut menggunakan suatu kode tertentu. Keenam
unsur bahasa yang terlibat di dalam kegiatankomunikasi sebagaimana digambarkan pada
diagram di atas masing-masing memiliki fungsi yang berbeda-beda. Pesan selanjutnya
ditentukan oleh kenyataan, di manakah di manakah keenam unsur yang tersangkut itu dominan.
Semiotika Roman Jakobson, bagi Roman Jakobson MAKNA terletak pada PENANDA
(SIGNIER) dan bukan pada PETANDA (SIGNIFIED). Terdapat tiga pokok pikiran Roman
Jakobson, karna ia ilmuan semiotik yg berbasis linguistik, ia membagi 3 macam jenis
penerjemahan:
1. Penerjemahan intralingual
2. Penerjemahan interlingual
3. Penerjemahan INTERSEMIOTIK.

I. Pemikiran Louis Hjemslev


Louis Hjelmslev merupakan ahli semiotika dan ahli linguistik penerus Ferdinan De Saussure
yang berasal dari Denmark pada abad 20. Louis lahir di Denmark pada tahun 1889 dan
meninggal pada tahun 1965 tanggal 30 Mei. Louis mengatakan bahwa sebuah tanda tidak hanya
mengandung internal antara aspek material (Penanda) dan konsep mental (petanda), tetapi
mengandung juga hubungan antara dirinnya dan sebuah sistem yang lebih luas dari dirinya
(Yuris, 2008).
Sumbangan Louis terhadap semiologi saussure adalah dalam menegaskan perlunya
sebuah sains yang mempelajari bagaimana tanda hidup dan berfungsi dalam masyarakat. Louis
mengedepankan “Langue” (Fakta sosial ) sebagai sebuah sistem yang mengatur sebuah produksi
tanda. Dan dia beranggapan bahwa sebuah tanda tidak bisa dengan sederhana dibagun
berdasarkan kombinasi antara penanda dan petanda. Menurut Louis, sebuah tanda merupakan
“Self-Reflectiv” maksudnya adalah sebuah penanda dan sebuah petanda masing-masing dari
mereka harus berturut-turut menjadi kemampuan dari ekspresi dan persepsi. Dalam bidang
semiotik, Louis mengembangkan sistem “Dyadic System”. Dan dia membagi tanda ke dalam 2
istilah yaitu “Expression” dan “Content”, dua istilah tersebut sejajar dengan Signifier dan
Signified yang dipaparkan oleh Saussure. Akan tetapi, konsep tersebut dikembangkan lagi lebih
luas baik itu Expression dan Content. Menurut Louis bahasa juga mempunyai segi lain, yaitu
Form (Bentuk) dan Subtance (Subtansi). Dengan bentuk yang dipilih pembicara, suatu kata akan
mempunyai arti dan makna. Sehingga Louis memiliki 4 unsur dalam semiotik yaitu Expression
Form (Bentuk Ekspresi), Content Form (Bentuk Isi), Expression Subtance (Subtansi Ekspresi),
dan Content Subtance (Subtansi Isi).
J. Pemikiran Semiotic Greimas
Teori semiotika Greimas merupakan teori semiotika yang masuk kedalam jenis semiotika
narassi yang kemudian dikenal dengan nama semiotika naratif. Semiotika naratif merupakan
semitoik yang membahas sistem tanda dalam narasi yang dongeng dan cerita lisan. Namun genre
semiotika naratif menurut Greimas tidak hanya terpaku pada dongeng saja, tetapi juga pada
mitos-mitos. Menurut Greimas fungsi narasi sebagai struktur makna dan terlibat dengan konsep
strukturalisme. Dalam semiotika naratif, teks tidak bisa terlepas dari struktur-struktur teks yang
dikaji dan menghasilkan tanda- tanda yang baru dan hidup.
Berdasarkan (Taufik, 2016) dalam semiotika naratif Greimas, terdapat dua struktur yaitu
struktur lahir (bentuk teks yang tersurat) dan struktur batin (bentuk teks yang tersirat). Konsep
semiotika naratif Greimas menekankan teks pada konsep aktan yang kemudian menjadi subjek
yang mengatur jalan cerita dari sebuah teks. Menurut Aj. Greimas dalam (Bodystun, 1990)
Aktan memiliki enam unsur penting yaitu :
1. Pengirim (sender)
Dalam aktan, sender menjadi penggerak sebuah cerita yang melahirkan suatu aturan, nilai dan
merepresentasikan ideologi teks
2. Penerima (receiver)
Dalam aktan, receiver menjadi penerima dan pembawa nilai dari sender atau pencipta teks.
3. Subjek (subject)
Dalam aktan, subject menjadi peran utama dalam sebuah narasi yang menyampaikan pesan-
pesan.
1. Objek (object)
Dalam aktan, object dimunculkan oleh subject atau dengan kata lain adalah teks yang menjadi
represntasi atau tujuan yang ingin dicapai oleh subject.
5. Pendukung (helper)
Dalam aktan, adjuvant mendukung subjek untuk mencapai tujuannya (object).
6. Penghambat (opposant)
Dalam aktan, traitor menghambat dan menghalangi tujuan dari teks atau subject yang ingin
disampaikan.
Adapun ilustrasi aktan dalam bagan, sebagai berikut :
Tanda panah dari sender yang mengarah ke object berarti ada keinginan dari pengirim
untuk mendapatkan, menemukan, atau memiliki objek. Tanda panah dari object ke receiver
berarti ada objek yang diusahakan oleh subjek dan diinginkan oleh pengirim untuk diserahkan
atau ditujukan kepada penerima. Tanda panah dari helper ke subject menunjukkan bahwa
penolong memudahkan subjek untuk mendapatkan objek. Sebaliknya, tanda panah dari opposant
ke subject mempunyai kedudukan untuk menentang, menghalangi, mengganggu, merusak, atau
menolak usaha subjek. Tanda panah dari subject menuju object berarti subjek bertugas
menemukan atau mendapatkan objek yang dibebankan oleh pengirim.
Daftar Pustaka

Ibid,.55. Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana,
Analisis , dan Analisis Framing, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2006),99.
https://jaririndu.blogspot.com/2011/11/teori-semiotik-menurut-para-ahli.html?m=1
http://arifbudi.lecture.ub.ac.id/tag/semiotik/
Barthes, Roland. 2012. Elemen – Elemen Semiologi : Sistem Tanda Bahasa, Hermeutika,
dan Strukturalis. Terjemahan M Ardiansyah. Jogjakarta : IRCiSoD.
Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media : Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Sobur, Alex. 2013. Semiotika Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Taufik. 2016. Semiotika untuk Kajian Sastra dan Al-Quran. Bandung: Yrama Widya.

Anda mungkin juga menyukai