PENDAHULUAN
1
Bernard Raho, Sosiologi (Maumere: Penerbit Ledalero, 2016), hlm. 130.
2
Drs. Onong U. Effendy, M.A., Dimensi-Dimensi Komunikasi (Bandung: Penerbit Alumni, 1981),
hlm. 28.
3
Etimologi merupakan cabang ilmu bahasa yg menyelidiki asal-usul kata serta perubahan dalam
bentuk dan makna.
1
sebagai pengajar bahasa, Max Muler yang memperkenalkan teori dindong teori,
dan juga teori konvensionalisme yang menekankan keasalan bahasa merupakan
hasil dari interaksi antar manusia, serta banyak lagi teori lain yang berkembang.4
Akan tetapi, semua praktik yang berkembang ini belum bisa memberikan suatu
kesimpulan yang secara pasti diakui oleh semua ilmu sehingga kesimpulan yang
dapat dipakai sebagai sebuah jalan tengah adalah manusia dan bahasa berkembang
bersama-sama.5
Mempersoalkan asal-usul bahasa dalam kajian ilmiah bukanlah hal yang
baru. Persoalan ini telah menjadi salah satu persoalan yang mengganggu para
pemikir berabad-abad sebelumnya.6 Sokrates sebagaimana dikutip oleh Alex
Sobur mengatakan: “Bahasa yang kita gunakan sudah ada sebelum kita
menggunakannya. Kita tidak tahu siapa yang menemukannya sehingga
dimitoskan adanya seorang penemu bahasa yang menentukan nama-nama, tetapi
tidak sewenang-wenang”.7 Hal yang sama diakui oleh Komaruddin Hidayat
seperti yang dikutip oleh Alex Sobur. Dia menulis:
Berteori tentang asal-usul bahasa sangatlah spekulatif. Berbahasa
ibarat menghirup udara. Setiap saat kita konsumsi tanpa
mempertanyakan dari mana asal-usul udara. Kita baru merasa resah
mengenai kualitas udara tatkala kita merasakan adanya polusi yang
membuat pernafasan sesak. Hal ini serupa terjadi pada bahasa,
ketika kata-kata dan informasi tidak lagi menyehatkan dan bahkan
membingungkan, kita mulai bersikap kritis untuk mempertanyakan
bahasa dan berbagai aspek serta fungsinya.8
Persoalan mengenai asal-usul bahasa sangat penting untuk dikaji.
Tiadanya teori yang menegaskan asal-usul bahasa bukan berarti menempatkan
persoalan asal-usul bahasa menjadi persoalan yang tidak penting. Persoalan
tentang asal-usul bahasa tetap relevan dan aktual untuk menjadi pokok
pembahasan dalam diskusi-diskusi serta kajian-kajian ilmu demi kemajuan
perkembangan kehidupan manusia. Sembari terus mengkaji kemungkinan
4
Drs. Alex Sobur, M.Si., Semiotika Komunikasi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), hlm.
281-285.
5
Ibid., hlm. 287.
6
Pada dasawarsa ini telah terdapat banyak ilmu-ilmu kajian bahasa dalam berbagai bidang seperti:
Fonologi, Hermeneutika, Gramatika, Neurolinguistik, Psikolinguistik, Semiotika, dan Semantik
serta berbagai ilmu lainya yang membahas tentang kajian bahasa.
7
Drs. Alex Sobur, M.Si., op. cit., hlm. 280.
8
Ibid., hlm. 278.
2
kemajuan perkembangan manusia, pengkajian perluasan bidang bahasa juga perlu
untuk terus dikembangkan, seperti pada konteks penggunaan bahasa sebagai
sebuah alat komunikasi dalam interaksi kehidupan manusia.
Alex Sobur mengatakan, sebagian besar manusia dapat menghabiskan
lebih banyak waktu hidupnya untuk bahasa.9 Hal ini dapat didukung karena semua
hal yang dikomunikasikan oleh manusia selalu diwakilkan dalam bahasa. Dalam
berinteraksi manusia selalu membawa pada dirinya bahasa yang
memungkinkannya dapat berinteraksi dengan orang lain. Bahasa menjadi salah
satu hal yang berperan penting dalam kehidupan manusia. Tanpa adanya bahasa
manusia tidak dapat berkomunikasi dengan orang lain.10
Komunikasi antara manusia pada prinsipnya terarah pada relasi-interaksi
antara penyampai berita dengan penerima berita. Proses komunikasi relasi-
interaksi ini dapat berupa dua bentuk, yaitu komunikasi personal dan komunikasi
kelompok.11
Pertama, komunikasi personal dapat dibedakan menjadi komunikasi
intrapersonal dan interpersonal. Pada komunikasi intrapersonal, komunikan
berkomunikasi terlebih dahulu dengan dirinya sendiri. Melalui komunikasi
dengan diri, komunikan mengkomunikasikan apa yang ingin dikomunikasikan
dan menganalisis. Hal demikian dilakukan untuk menganalisis apa yang akan
menjadi kemungkinan tanggapan orang lain terhadap apa yang diungkapkannya.12
Menurut Herbert Blumer sebagaimana ditulis Riestiani, sebelum manusia
memberikan makna atau tanggapan atau respon terhadap rangsangan yang
diterimanya, dia terlebih dahulu melakukan serangkaian kegiatan berupa:
memilih, memeriksa, mengelompokkan, memprediksi dan membandingkan setiap
makna dalam kaitannya dengan situasi, posisi, dan arah tindakannya terhadap
rangsangan yang diterimanya. Semua manusia dalam tindakannya selalu terlebih
dahulu berdialog dengan dirinya sendiri dalam upaya untuk mendapatkan
kenyamanan diri. Untuk itu, memilih, memeriksa, mengelompokkan,
memprediksi serta membandingkan makna menjadi tindakan statis yang selalu
dilakukan oleh manusia baik dalam kesadarannya maupun dalam
9
Ibid., hlm. 271.
10
Ibid., hlm. 275.
11
Drs. Onong U. Effendy, M.A., op. cit., hlm. 24.
12
Drs. Alex Sobur, M.Si., op. cit., hlm. 194-195.
3
ketaksadarannya.13
Pada komunikasi interpersonal, komunikator menyampaikan kepada
komunikan apa yang ingin disampaikannya dalam bentuk bahasa. Selanjutnya,
komunikan menanggapinya lalu berubah menjadi komunikator baru dan
menyampaikan umpan balik kepada komunikator sebelumnya yang kini telah
berganti posisi menjadi komunikan.14 Relasi pertukaran peran ini akan terus
berlangsung selama interaksi komunikasi berjalan. Akan tetapi, arus balik dalam
pertukaran peran interaksi komunikasi seringkali menimbulkan berbagai dampak
atau respon balik. Dan dampak-dampak yang terjadi dalam komunikasi seringkali
tidak dapat diprediksi, apakah dampaknya bersifat positif ataukah negatif.
Pada situasi yang berdampak positif, komunikator akan merasakan
penerimaan yang baik dari komunikan terhadap bahasa yang disampaikannya.
Komunikan akan menemukan dirinya terus mengembangkan apa yang menjadi
pokok pemikirannya. Sebab dengan memperhatikan dampak atau respon balik
yang berkembang pada komunikan, komunikator akan terus berusaha untuk
mengacu pada pola penyesuaian dengan situasi komunikan.
Berbeda dengan situasi yang berdampak positif, pada situasi yang negatif
meskipun secara sosial kita berbagi simbol dan bahasa yang sama, tetapi belum
tentu dalam proses berpikir kita menafsirkan kata yang sama secara sama dengan
orang yang lainnya. Hal ini tergantung dari bagaimana masing-masing individu
mampu mengintepretasikan bahasa yang disampaikan oleh komunikator.
Dampak-dampak ini pada hakikatnya tetap merupakan bagian dari inti
komunikasi. Karena semua dampak ini ditimbulkan dari faktor-faktor yang
menjadi pendukung pada saat komunikasi berlangsung. Terdapat banyak faktor
yang menjadi penunjang berjalannya suatu komunikasi, yaitu: 15 pertama situasi,
dalam menanggapi pesan, masing-masing orang turut pula dipengaruhi situasi dan
lingkungan yang ada disekitarnya. Situasi yang dimaksudkan adalah kondisi yang
ada pada saat komunikasi tengah berlangsung. Kedua, ikatan kelompok, hal yang
13
Riestiani Kadiriandi, “Teori Sosiologi Modern” diposting pada 03 April 2017,
https://riestianikadiriandi.blogspot. com/2017 /04/teori-sosiologi-modern-interaksionisme.html,
diakses pada 30 oktober 2018.
14
Drs. Onong U. Effendy, M.A., op. cit., hlm. 33.
15
https://id.wikipedia.org/wiki/Komunikasi, diakses pada 27 Oktober 2018.
4
menjadi penekanan di sini adalah nilai-nilai yang menjadi panutan dalam suatu
kelompok tertentu. Pada saat dalam berinteraksi, seseorang merasa nila-nilai yang
dianutnya mendapat penghargaan dari orang lain, tentu respon yang diberikannya
akan baik. Ketiga, harapan. Harapan juga menjadi salah satu faktor yang
memengaruhi situasi seseorang untuk menerima sebuah pesan. Apabila pesan
yang diterima bersesuaian dengan apa yang diharapkan, tentu situasi yang tercipta
adalah positif dan demikian apabila terjadi yang sebaliknya. Keempat, pendidikan.
Memaknai sebuah pesan dapat pula dipengaruhi dari derajat pendidikan yang
dimiliki oleh seseorang. Semakin tinggi derajat pendidikannya maka akan terbuka
kemungkinan untuk memiliki banyak sudut pandang terhadap sebuah persoalan.
Kelima, latar belakang budaya kelompok. Latar belakang budaya suatu kelompok
juga menjadi hal yang penting untuk diperhatikan dalam berkomunikasi karena
dari budayalah terbentuk suatu karakter kepribadian seseorang.
Kedua, komunikasi kelompok. Pada komunikasi kelompok terdapat dua
bentuk komunikasi, yaitu komunikasi antara personal dengan kelompok dan
komunikasi antarkelompok. Komunikasi antara personal dengan kelompok terjadi
antara seorang individu dengan satu kelompok tertentu. Komunikasi antara
personal dengan kelompok dapat terjadi dalam bentuk pengajaran di kelas,
seminar dan berbagai bentuk komunikasi lainnya. Sedangkan komunikasi
antarkelompok yaitu komunikasi yang tercipta dari interaksi sebuah kelompok
dengan kelompok yang lain. Interaksi ini terjadi dalam rupa interaksi dalam
kelompok yang besar.
Anugerah Sin menyebutkan dalam komunikasi kelompok hal-hal yang
dibahas berupa struktur dan fungsi kelompok, hubungan antarmanusia,
komunikasi dan proses pengorganisasian, serta budaya kelompok. Komunikasi ini
mengarah pada sebuah bentuk kajian struktural pada masyarakat.16 Akan tetapi
menurut Bernad Raho, komunikasi antarkelompok ini sesungguhnya mengarah
pada bentuk komunikasi formal. Komunikasi ini dapat dikatakan formal karena
komunikasi yang berlangsung dapat menunjukkan bentuk struktural dari suatu
masyarakat atau kelompok tertentu. Komunikasi yang berlangsung selalu berada
16
Anugerah Sin, Bentuk-Bentuk Komunikasi, diposting pada 20 oktober 2014,
https://www.anugerahdino.com/ 2014/10/bentuk-bentuk-komunikasi.html, diakses pada 27 oktober
2018.
5
pada tataran status tertentu dalam kelompok. Kondisi ini, yang menjadi pemeran
komunikasi selalu mengatasnamakan kelompok, maka bentuk komunikasi yang
dilakukan adalah merupakan bentuk upaya pemenuhan kebutuhan dari kelompok
atau masyarakatnya sendiri. Sehingga apabila dalam suatu bentuk komunikasi hal-
hal seperti ini tidak diperhatikan, maka akan dapat menimbulkan suatu
permasalahan dalam struktural masyarakat.17
Masing-masing individu selalu diarahkan dalam dirinya untuk mampu
menempatkan dirinya dalam posisi yang wajar dalam bertindak pada jalur
komunikasi yang baik dengan orang lain. Komunikasi yang baik hanya dapat
terjadi apabila masing-masing pribadi mampu untuk menyadari dan mengakui
kehadiran orang lain dalam lingkungannya.18 Melalui kesadaran ini seseorang
dimungkinkan untuk mampu menempatkan lawan bicaranya pada tataran yang
sama dengan dirinya sendiri. Penempatan diri orang lain yang sama dengan diri
sendiri akan membantu komunikator dan komunikan untuk saling percaya satu
dengan yang lain. Kepercayaan merupakan hal inti yang perlu ada dalam diri
komunikator dan komunikan.19 20
Herbert Blumer sebagaimana dikutip oleh Alex Sobur21 mengatakan
komunikasi antarmanusia menuntut suatu pandangan ke masa depan. Manusia
dalam interaksinya, jika menginginkan suatu keberhasilan dalam berkomunikasi,
mesti memastikan apa yang menjadi bahan komunikasinya mampu untuk
dipahami oleh orang lain. Hal yang mesti dilakukan oleh manusia untuk dapat
memastikan apa yang ingin dikomunikasikannya dapat dipahami oleh orang lain
adalah menempatkan dirinya secara mental pada situasi orang lain. Melalui
penempatan diri pada situasi orang lain, akan dengan mudah manusia
mengasumsikan apa yang menjadi tanggapan orang lain terhadap apa yang ingin
dikomunikasikan.
Komunikasi antara manusia menurut Alex Sobur mengandung banyak
bentuk simbol. Secara tidak langsung masing-masing individu atau manusia
dituntut untuk dapat memahami dan mengaplikasikan simbol-simbol tersebut
17
Bernard Raho, SVD., op. cit., hlm. 69.
18
Ibid., hlm. 66.
19
Drs. Onong U. Effendy, M.A., op.cit., hlm. 39.
20
Drs. Daryanto dan Dr. Muljo Rahardjo, St. M.Pd., Teori Komunikasi (Yogyakarta: Gava Media,
2016), hlm. 59.
21
Drs. Alex Sobur, M.Si., loc. cit.
6
dalam kehidupannya sehari-hari. Apabila masing masing individu tidak mampu
untuk tanggap terhadap persoalan ini, maka komunikasi yang dijalaninya akan
dipenuhi dengan berbagai bentuk prasangka. Blumer menegaskan terdapat tiga
premis utama yang perlu diketahui manusia dalam menganalisis tindakan manusia
lain. Pertama, manusia bertindak berdasarkan makna-makna yang ada pada
sesuatu dalam hubungan dengannya. Kedua, makna-makna akan sesuatu didapat
berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain. Ketiga, makna-makna
ini kemudian akan terus berkembang dan disempurnakan pada saat proses
interaksi sosial berlangsung.22
Fenomena komunikasi interaksi memang bukanlah hal yang sederhana.
Sebab terdapat berbagai bentuk kajian yang berusaha untuk membahas pokok ini.
Salah satu contohnya terdapat dalam diri sastra. Dalam konteks sastra, komunikasi
dan sastra tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Sastra merupakan salah
satu media dari komunikasi. Karya sastra merupakan bentuk pendeskripsian
kehidupan manusia maka dengan sendirinya sastra tidak dapat dipisahkan dari
komunikasi yang juga merupakan salah satu unsur dalam kehidupan manusia.
Dalam sastra terdapat komunikasi yang tengah berlangsung, yaitu dari penulis dan
pembaca.23
Komunikasi dalam sastra dapat terlihat dalam bentuk komunikasi dari
penulis dan juga pembaca. Namun selain itu, terdapat pula bentuk komunikasi lain
yang terdapat di dalam karya sastra, yaitu komunikasi dalam sastra itu sendiri.
Komunikasi dalam diri sastra dapat berupa lakon yang terjadi di antara para tokoh
yang ada di dalam alur lakon. Kenyataan ini dapat terlihat dalam rupa salah satu
bentuk sastra, yaitu novel.
Di dalam novel, terdapat lakon-lakon yang diperankan oleh para tokoh
untuk membentuk sebuah cerita tentang kehidupan manusia. Lakon-lakon ini
merupakan bentuk nyata komunikasi yang tengah berlangsung di antara manusia
yang menjadi tokohnya. Meskipun lakon-lakon ini merupakan bentuk imajinasi
dari para pengarang. Tetapi dalam dirinya sendiri, ketika karya sastra telah
menjadi karya sastra, dia telah menjadi suatu yang independen dan menjadi
22
Ibid.
23
Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, penerj. Melani Budianti (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2016), hlm. 99.
7
terlepas dari penulis yang merupakan bentuk kreatornya.
Lakon-lakon dalam sastra memberi bentuk kehidupan yang sama dengan
kehidupan yang dihidupi oleh manusia. Dalam lakon, manusia berinteraksi seperti
apa yang terjadi di dalam dunia nyata. Mereka mentranformasikan kehidupan
nyata di dunia manusia ke dalam dunia imajinatif. Sehingga dalam suatu bentuk
karya sastra, seperti dalam lakon, simbol-simbol yang menjadi kekayaan interaksi
manusia juga menjadi milik dari dunia sastra.
Seperti halnya yang terdapat di dalam novel Hujan Bulan Juni karya
Sapardi Djoko Damono. Sebagai seorang sastrawan yang mempunyai nama besar
dalam dunia sastra Indonesia dan juga dunia, Sapardi selalu memberikan suatu
karya yang sangat luar biasa.24 Salah satu dari karyanya yang luar biasa adalah
Hujan Bulan Juni. Karya ini terdapat didalam dua genre sastra, yaitu: Puisi dan
juga Novel.
Di dalam Novel Hujan Bulan Juni, Sapardi bercerita tentang kehidupan
relasi percintaan dari dua orang pelaku utama, yaitu Sarwono dan Pingkan yang
dua-duanya merupakan dosen di Universitas Indonesia. Ketidakjujuran dari
keduanya dalam mengungkapkan perasaan mereka menyebabkan kebingungan
dari masing-masing keduanya dalam memandang status hubungan mereka. Di
dalam alur selanjutnya masing-masing tokoh dihadapkan pada tantangan-
tantangan yang menguji perasaan mereka satu dengan yang lain. Apakah mereka
dapat mempertahankan perasaan mereka atau tidak?
24
Luar biasa di sini dapat dimengerti sebagai pembeda dari para penulis yang lain. Sapardi
merupakan salah satu penyair yang karyanya banyak dikutip oleh orang-orang lain. Puisinya
banyak dikutip dan bermunculan dalam lagu, kartu pos, kelender, poster, T-shirt, bloknot, topi pet
dan kue, sebagaimana ditulis oleh Bakdi Soemanto dalam bukunya Sapardi Djoko Damono Karya
Dan Duniannya (Jakarta: PT Grasindo, 2017).
8
proses komunikasi yang lebih baik dan benar.
Teori ini diaplikasikan pada salah satu tokoh di dalam novel, untuk melihat
interaksi yang dilakukan oleh sang tokoh berhadapan dengan tokoh-tokoh lainnya
di dalam novel. Penulis memberikan judul pada tulisan ini: Analisis Interaksi
Sarwono dalam Novel Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko Darmono
Berdasarkan Teori Interaksionisme Simbolik Herbert Blumer
9
ketebalan ix + 135 halaman dengan ilustrasi cover didominasi warna kuning
dengan tulisan judul novel, Hujan Bulan Juni yang sebagian buram seolah-olah
terkena tetasan air hujan. Kedua, buku Symbolic Interactionism; Perspective and
Method karya Herbert Blumer. Buku ini memiliki ketebalan x + 208 halaman.
Selain sumber primer, sumber data tambahan atau sekunder dalam
penelitian ini diperoleh dari kajian-kajian terdahulu yang mendukung tema.
Kajian-kajian ini terdapat di dalam naskah-naskah yang berbicara tentang tema
yang diangkat dan teori-teori terkait seperti di dalam buku, jurnal ilmiah, majalah,
dan artikel-artikel yang terkait. Wujud data yang diteliti adalah kata, frasa dan
kalimat yang merujuk pada interaksi Sarwono di dalam novel Hujan Bulan Juni.
Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis mengalir (flow model
of analysis) yang meliputi tiga komponen yaitu reduksi data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan. Validitas yang digunakan adalah triangulasi teori dan
sumber data. Triangulasi teori berupa perbandingan antara rumusan informasi
hasil akhir penelitian dan perspektif teori yang relevan, sedangkan triangulasi
sumber data merujuk pada pendalaman kebenaran suatu pokok berdasarkan
berbagai sumber. Prosedur penelitian yang dilakukan terdiri atas beberapa tahap
yaitu pengumpulan data, penyeleksian data, penganalisisan data yang telah
diseleksi, dan pembuatan laporan penelitian.
10
Bab V merupakan bagian penutup yang berisikan kesimpulan dan usul
saran dari penulis
11
BAB II
SAPARDI DJOKO DAMONO DAN NOVEL HUJAN BULAN JUNI
25
Tulisan ini merupakan kompilasi dari buku Bakdi Sumanto, Sapardi Djoko Damono; Karya dan
Dunianya (Jakarta: PT Grasindo, 2017), dan Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2015), hlm. 134-135.
12
menjadi Country editor26 untuk majalah Tenggara yaitu sebuah jurnal sastra Asia
Tenggara yang terbit di Kuala Lumpur dan menjadi koresponden untuk Indonesia
Circle pada sebuah jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh School of Oriental and
African Studies (SOAS) University of London.
Kecintaan Sapardi pada dunia tulis-menulis memang tidak pernah mati.
Saat ini di sela-sela kesibukannya mengajar, Sapardi masih terus menulis fiksi
maupun nonfiksi. Selain menjadi seorang dosen, Sapardi juga pernah menjabat
sebagai dekan FIB UI (Universitas Indonesia) pada periode 1995-1999. Kini, dia
menjadi seorang guru besar di UI. Sapardi masih aktif mengajar di Sekolah
Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta. Ia menikah dengan Wardiningsih dan
dikaruniai seorang putra serta seorang putri.
13
Gila yang diterbitkan pada tahun 2003. Pada tahun 2005 Sapardi menjadi salah
seorang penyusun, Nona Koelit Koetjing: Antologi Cerita pendek Indonesia
Periode Awal 1870an - 1910an. Selain kumpulan sajak dan cerpen, Sapardi juga
menerbitkan novel. Adapun novel-novelnya adalah Trilogi Soekram yang
diterbitkan pada tahun 2015, Hujan Bulan Juni pada tahun 2015, Suti tahun 2015,
Pingkan Melipat Jarak pada tahun 2017.
Selain karya-karya sendiri, Sapardi juga menerbitkan karya yang
merupakan terjemahan dari karya orang lain. Karya-karya itu antara lain Lelaki
Tua dan Laut yang diterbitkan tahun 1973, terjemahan dari karya Ernest
Hemingway, Sepilihan Sajak George Seferis terbit tahun 1975, terjemahan karya
George Seferis, Puisi Klasik Cina terbit tahun 1976, Lirik Klasik Parsi tahun
1977, Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak pada tahun 1982, Daisy Manis
(karya Henry James), Afrika yang Resah pada tahun 1988, Mendorong Jack
Kunti-kunti: Sepilihan Sajak dari Australia terbit tahun 1991 dikerjakan bersama
R.F. Brissenden dan David Broks.
Hal-hal yang patut dibanggakan dari karya Sapardi, selain menerjemahkan
karya-karya penulis luar negeri, karya-karya Sapardi juga banyak diterjemahkan
oleh para penulis luar negeri. Karya-karya yang berisikan terjemahan dari karya
Sapardi adalah Water Color Poems terbit tahun 1986 dan diterjemahkan oleh J.H.
McGlynn, Suddenly The Night: The Poetry of Sapardi Djoko Damono tahun 1988
diterjemahkan oleh J.H. McGlynn. Black Magic Rain diterjemahkan oleh Harry G
Aveling, Before Dawn: The Poetry of Sapardi Djoko Damono tahun 2005
diterjemahkan oleh J.H. McGlynn, The Birth of I La Galigo terbit tahun 2013
diterjemahkan oleh Muhammad Salim dan karya ini merupakan kumpulan puisi
dwibahasa bersama John McGlynn.
Sapardi Djoko Damono banyak menerima penghargaan dari berbagai
pihak. Pada tahun 1978, Sapardi mendapat penghargaan Cultural Award dari
Australia. Tahun 1985, dia mendapat penghargaan Mataram Award. Anugerah
SEA Write Award diperoleh pada tahun 1986 di Thailand. Ia juga penerima
penghargaan dari pemerintah Indonesia pada tahun 1990, yaitu Anugerah Seni
Dari Pemerintah Indonesia. Pada tahun 1996, Sapardi mendapatkan penghargaan
Kalyana Kretya dari Menristek RI, dan penghargaan Achmad Bakrie pada tahun
14
2003.
27
Singkatan UGM di dalam Novel tidak dijelaskan lebih jauh arti atau kepanjangannya oleh
penulis, tetapi sebuah informasi tambahan yang diberikan oleh penulis adalah letak kampus ini
berada di Yogja.
28
Sewaktu SD, Pingkan pernah disuruh ibunya untuk belajar menari Jawa; yang mengajarinya
adalah seorang Bei. Namun setiap kali Pingkan melakukan kesalahan atau gerakan yang kaku, pak
Bei selalu mengatakan, “Ndak apa-apa, Non. Kamu kan Manado”. Sapardi Djoko Damono, Hujan
Bulan Juni, cetakan keenam (Jakarta: Gramedia, 2015), hlm. 22.
15
asal-usul ibu terserah, bukan masalah, asal tidak dari neraka”. 29 Ayah Pingkan
merupakan seorang turunan Tonsea, salah satu sub-etnis Minahasa sedangkan
Ibunya adalah seorang turunan Jawa yang juga tidak dijelaskan asal-usulnya
secara jelas oleh penulis.
Berbeda dengan Pingkan, Sarwono merupakan pria keturunan keluarga
Jawa yang memegang teguh adat istiadat Jawa. Keluarga Sarwono adalah mantan
pelayan dalam istana dan juga merupakan keluarga muslim yang taat. Hal ini juga
turut serta memengaruhi kepribadian Sarwono. Seperti yang terlihat ketika
Sarwono dan Pingkan melakukan perjalanan dari Manado ke Gorontalo.
Dikisahkan penulis dengan menggunakan sudut pandang Pingkan yang melihat
Sarwono sebagai sosok yang tidak asing masuk Masjid. 30 Selama perjalanan
mereka dari Manado ke Gorontalo, Sarwono dan sang supir yang beragama
muslim terhitung dua kali menyempatkan diri singgah di Mesjid untuk beribadah.
Perjalanan Sarwono dan Pingkan ke Manado merupakan perjalanan yang
telah direkayasa oleh Sarwono. Berbekal dengan alasan membutuhkan guide
dalam perjalanan menyusun MOU31 dengan Universitas Sam Ratulangi, Sarwono
berhasil mengakali Dekan Fakultas tempat di mana Pingkan mengajar untuk
mengizinkan Pingkan pergi bersamanya. Dan pada akhirnya, rekayasa Sarwono
ini berhasil. Pingkan dizinkan untuk pergi bersamanya ke Manado sebagai
asistennya.
Selama perjalanan tugas mereka di Manado, Sarwono kerap kali dilanda
kebimbangan dalam menghadapi perasaannya kepada Pingkan, “Ia mencintai
gadis itu, tetapi tidak mampu berbuat apa pun-tak terkecuali menulis puisi-kalau
sedang dalam keadaan puyeng memikirkannya”.32 Sarwono mencintai Pingkan,
perempuan yang selalu menolak label pacar pada hubungan mereka tetapi
menerima sebagai sebutan calon istri, dengan sepenuh hati. Hal ini telah terlihat
sejak berada di jenjang Sekolah Menengah Atas. Sarwono selalu menggunakan
banyak alasan untuk menunjukkan ketertarikannya pada Pingkan. Termasuk
29
Ibid. hlm. 18.
30
Ibid, hlm. 31.
31
MOU merupakan nota kesepahaman. Dalam bahasa Inggris disebut sebagai Memorandum of
Understanding atau MOU. MOU berbentuk sebuah dokumen legal yang menjelaskan persetujuan
antara dua belah pihak. Pengertian ini diakses dari artikel Will Kenton, Memorandum of
Understanding (MOU), diposting pada 19 Mei 2019, https://www.investopedia. com
/terms/m/mou.asp…, diakses pada 24 Mei 2019.
32
Sapardi Djoko Damono, op. cit., hlm. 25.
16
dengan menggunakan alasan mengerjakan tugas bersama Budiman di rumah Toar
dan juga alasan yang dia berikan kepada kepada mahasiswa yang menjemput
mereka dari Manado ke Gorontalo bahwa Pingkan adalah tunangannya dan tahun
depan adalah waktu pernikahan mereka.
Perasaan yang sama juga dirasakan oleh Pingkan, dia mencintai Sarwono
tetapi tidak berani untuk mengungkapkannya secara jujur. Sebab dia pun belum
yakin apakah Sarwono juga mencintainya. Ketika dia mendengar pernyataan
Sarwono kepada mahasiswa yang mengantar mereka, Sarwono mengakui dia
sebagai calon istrinya, dia mengerti itu sebagai sebuah lamaran.
Perjuangan cinta Sarwono dan Pingkan tidaklah berjalan mulus. Setelah
kepulangan dari Manado, Sarwono dan Pingkan selalu dihantui cerita tentang
Matindas. Dongeng yang terdiri atas beberapa versi, banyak menimbulkan
berbagai spekulasi di antara mereka. Spekulasi pertama muncul dari Pingkan yang
menebak-nebak, Matindas yang mana yang cocok dengan sosok Sarwono yang
dicintainya itu. Dan spekulasi yang kedua datang dari Sarwono yang juga telah
mendengar dongeng tentang Matindas yang diberikan hadiah patung dari putri
Pingkan Lumelenoan. Baginya, dia adalah Matindas yang harus pergi berperang
ke negeri orang apabila raja dari negeri seberang merebut patung Matindas.
Tiadanya pengakuan secara terbuka di antara Sarwono dan Pingkan,
menyebabkan timbul keraguan di antara mereka untuk saling mengungkapkan
perasaannya masing-masing. Hal ini semakin dipertegang dengan kedatangan
tante-tante Pingkan dari Manado, yang alasan kedatangan mereka untuk mengurus
persiapan pernikahan Toar, tetapi ternyata mereka juga membawa maksud
tersembunyi yaitu memaksa Pingkan menikah dengan Pak Tumbelaka, seorang
dosen di UNSRAT. Mereka yang merasa diri sebagai pewaris fam Tonsea
menginginkan Pingkan untuk tinggal di Manado setelah kepulangan studinya dari
Jepang.
Beruntung bagi Sarwono, ketika kerabat Pingkan melanjutkan perjalanan
mereka ke Surabaya, Sarwono diajak Ibu Pelenkahu ke rumahnya untuk diajak
ngobrol bersama. Saat duduk bersama di ruang tamu, Ibu Pelenkahu bertanya
kepadanya apakah dia benar-benar mencintai Pingkan. “Apa kamu benar-benar
ingin mengawininya, Sar?”. Dan dia menjawab, “ya, bu, benar”. Jawabannya ini
17
bersambut baik dengan jawaban Ibu Pelenkahu yang merestuinya menjadi
menantunya. “Kamu menantuku, Matindas”, kata Ibu Pelenkahu.
Ujian yang harus dihadapi Sarwono tidak berakhir pada peristiwa
kedatangan tante-tante Pingkan saja. Hal yang paling berat dan harus
dilakukannya adalah merelakan Pingkan untuk dapat pergi melanjutakan studi
beasiswanya di Jepang. Ketika melepaskan Pingkan di Bandara satu pertanyaan
yang terselip dari Ibu Pingkan kepada Sarwono, “Sensei itu baik sekali, ya Sar,”
dan jawabnya, “iya, Bu. Kata Pingkan dia sangat dekat dengan mahasiswanya
juga.” Bagi Sarwono, pesona Sensei yang menjadi senior dari Pingkan tidak
menjadi masalah buatnya. Yang paling ditakutkannya adalah saat Pingkan
bertemu dengan Katsuo, mantan mahasiswa di UI dan kini menjadi dosen di
Kyoto, yang selalu disebut Sarwono sebagai Sontoloyo.
Kepergian Pingkan ke Jepang membuat Sarwono berusaha untuk
menyibukkan diri dengan melakukan tugas penelitiannya. Sarwono selalu ditugasi
sekurang-kurangnya dua penelitian sekaligus. Hal ini bagi Sarwono sangat
membantu selain untuk menambah penghasilannya juga untuk dapat melupakan
kecemasannya kepada Pingkan. Demikian pula halnya yang terjadi pada Pingkan.
Dia pun kini sibuk untuk mempersiapkan dua puluh mahasiswa yang siap untuk
ke Indonesia melakukan berbagai kegiatan dalam rangka mempraktekkan
kemampuan berbahasa.
Kurang lebih enam minggu waktu yang telah mereka lalui dalam
hubungan yang terhalang oleh jarak. Selama itu pula, Sarwono selalu berkeliling
Indonesia melakukan tugas yang diberikan prodi kepadanya. Meskipun dia
bahagia, tetapi kini dirasakannya ada yang lain pada dirinya sendiri. Dari hasil
pemeriksaan, dia disarankan oleh dokter untuk dapat beristirahat selama kurang
lebih seminggu. Dia pun memutuskan untuk dapat menggunakan waktu itu untuk
pulang ke Solo. Sebelum beranjak dari kampungnya, Sarwono kembali
dipesankan untuk menyelesaikan sebuah tugas kerja sama dengan UGM.
Setelah menyelesaikan tugasnya di UGM, Sarwono melanjutkan
perjalanannya ke Solo dengan menggunakan taksi. Selama di perjalanan, Sarwono
tidak banyak berbicara dan demikian pun halnya dengan sopir yang membawanya.
Dia tengah sibuk dengan pikirannya yang bertualang ke negeri antaberanta.
18
Hingga di tengah perjalanan Sarwono sempat ditegur oleh sopir menanyakan
keadaan Sarwono, tetapi dijawabnya dia baik-baik saja dan dia hanya kecapaian.
Setelah teguran tersebut, tiada lagi dialog yang terjadi dengan si sopir taksi,
Sarwono sudah terlelap.
Kedatangan Pingkan kembali ke Indonesia untuk menemani dua puluh
mahasiswa Jepang tidak berjalan dengan lancar. Saat hendak mengambil barang
bawaannya yang dibagasikan, dia melihat pesan dari kakaknya untuk segera pergi
ke Solo karena Sarwono telah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Segera saja
dijelaskan situasi tersebut kepada Katsuo dan meminta izin untuk segera kembali
ke Solo.
Pingkan pergi ke Solo menggunakan penerbangan pertama. Sesampainya
di rumah, ibunya telah menunggu di depan pintu. Segera saja ibunya
memerintahkannya menyiapkan diri untuk berangkat ke rumah sakit. Sambil
menikmati tumpangan becak, ibunya menjelaskan secara sama-samar tentang
Sarwono yang suda dirawat secara intensif di rumah sakit selama seminggu.
Sesampainya di rumah sakit, yang pertama menyambutnya adalah Ibu
Hadi. Sembari memeluk Pingkan, Ibu Hadi mengatakan dokter melarang orang-
orang untuk menjenguk Sarwono. Ibu Hadi juga memberikan sebuah lipatan
koran yang sudah agak lecet kepada Pingkan dengan pesan koran tersebut dari
Sarwono. Demikianlah puisi yang telah ditulis oleh Sarwono pada salah satu
koran sampai kepada Pingkan. Puisi itu berupa tiga sajak pendek yang
mengungkapkan perasaannya kepada Pingkan.
19
Yohanes Orong dalam bukunya Bahasa dan Sastra Indonesia
menyebutkan unsur ekstrinsik dalam sebuah karya sastra adalah segala macam
unsur yang berada di luar karya sastra itu sendiri, tetapi secara tidak langsung
memengaruhi karya sastra. Unsur-unsur ini menjadi landasan bagi terbentuknya
sebuah karya sastra. Hal-hal ini berupa sikap subjektivitas individu pengarang
seperti sikap, keyakinan, dan pandangan hidupnya. Sikap-sikap ini sangat
berpengaruh bagi perkembangan penulisan karya yang dilakukan oleh penulis.
Melalui tulisan, seorang penulis bisa menuangkan sikap, keyakinan dan
pandangan hidupnya.34
Unsur ekstrinsik novel Hujan Bulan Juni berakar pada keseluruhan
bangunan psikologi, emosi, budaya dan agama dalam diri penulis, Sapardi Djoko
Damono. Faktor psikologi, emosi, budaya dan agama memberikan pengaruh yang
amat kuat kepada Sapardi untuk merangkai kisah dalam novel ini. Salah satu
faktor dalam diri Sapardi yang kemudian memberikan warna khas bagi kisah
dalam novel ini adalah agama. Dalam novel Hujan Bulan Juni Sapardi tampaknya
mengarahkan perhatian pembaca pada problematika asmara beda agama yang
dialami oleh Sarwono sebagai seorang muslim dan Pingkan sebagai seorang
kristen. Dengan demikian, merujuk pada pemahaman suatu karya sastra dilahirkan
atas konteks dan latar belakang penulisnya, maka penekanan yang khas pada tema
agama dalam novel ini harus merupakan implikasi dari pengalaman Sapardi
tentang agama. Dengan kata lain, tema agama yang dimasukkan sapardi dalam
novel Hujan Bulan Juni mengambarkan pengalaman, pengetahuan dan
kedekatannya terhadap agama-agama.
Bakdi Soemanto dalam Sapardi Djoko Damono, Karya dan Dunianya
menampilkan secara singkat kedekatan Sapardi sebagai seorang muslim terhadap
agama lain, khususnya Katolik. Soemanto menjelaskan, semasa mudanya Sapardi
amat tertarik pada kumpulan sajak Balada Orang-Orang Tercinta karya W. S.
Rendra saat ia masih memeluk agama Katolik dan lakon Murder in the Cathedral
karya T. S. Eliot yang mengisahkan konflik perebutan tahta dalam Gereja. 35
Soemanto menganggap, pembacaan terhadap dua karya besar ini merupakan tahap
awal yang dilalui Sapardi untuk masuk lebih dalam ke dunia sastra. Dengan
34
Ibid., hlm. 107-108.
35
Bakdi Soemanto, op. cit., hlm. 11-12.
20
demikian, pengenalan awal sapardi terhadap sastra serentak merupakan
internalisasi nilai dan unsur dari sastra itu secara tak sadar.
Selain agama, unsur ekstrinsik lainnya dalam novel Hujan Bulan Juni
adalah budaya. Dalam novel Hujan Bulan Juni Sapardi berjuang supaya tema
budaya harus mendapat tempat proporsional dalam keseluruhan kisah dalam
novel. Perhatian Sapardi dalam novel itu terarah terutama kepada kebudayaan di
Jawa dan kebudayaan di Manado. Lewat novel Hujan Bulan Juni Sapardi
mengkritisi dan memberikan jawaban yang mungkin atas persoalan dalam
budaya-budaya yang cendrung mengikat dan memaksa setiap anggota untuk
patuh. Kritikan ini dibuat supardi tentu berdasarkan konsep dan idealisme yang
telah tertanam dalam dirinya. Dengan kata lain, kritikan atas budaya dalam novel
Hujan Bulan Juni berakar pada pengalaman-pengalaman sosial yang secara
kognitif telah membentuk persepsi-persepsi dalam diri Supardi.
Bakdi Soemanto dalam Sapardi Djoko Damono, Karya dan Dunianya juga
mengisahkan pengaruh kebudayaan dalam membentuk persepsi dalam diri
Sapardi. Soemanto menjelaskan, tempat kelahiran dan tumbuh kembang Supardi
adalah di kampung-kampung kecil yang terdapat di kota Solo. 36 Sebagai seorang
yang bertumbuh dalam lingkungan yang amat tradisional, Sapardi tentu sangat
akrab dengan kebudayaan yang ia hidupi. Pemahaman dan pengenalan yang baik
tentang suatu kebudayaan membangkitkan semangat dalam diri Sapardi untuk
mengenal dan memahami lebih lanjut kebudayaan-kebudayaan lainnya. Oleh
karena itu, novel Hujan Bulan Juni secara ekstrinsik juga dapat dipandang sebagai
upaya Sapardi untuk mengkonfrontasikan ideologi dalam kebudayaan-kebudayaan
agar lebih terbuka dan kaya. Dalam novel Hujan Bulan Juni, upaya konfrontasi ini
secara metaforis tampak dalam konflik yang dialami Sarwono yang amat militan
dengan kebudayaan Jawa dengan Pingkan yang amat menghargai kebudayaan
Manado.
36
Ibid., hlm. 6.
21
2.3.2 Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik merupakan unsur-unsur yang berada di dalam tubuh suatu
karya sastra atau fiksi. Unsur ini adalah unsur yang penting karena merupakan
unsur pembangun dalam suatu karya sastra atau fiksi sendiri. Unsur intrinsik
terdiri dari tema, tokoh dan penokohan, alur atau plot, amanat, sudut pandang,
gaya bahasa dan latar belakang.37
2.3.2.1 Tema
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tema adalah pokok pikiran;
dasar cerita yang dipercakapkan dan dipakai sebagai dasar mengarang, mengubah
sajak dan berbagai hal. Tema menjadi bahan yang digunakan untuk mengolah
pemikiran seorang penulis sehingga penulis dapat memfokuskan tulisannya pada
satu tujuan tertentu. Penulis mengembangkan ide dasar tentang tema. Selanjutnya
tema dapat menjadi insprasi bagi penulis untuk lebih mendalami suatu
permasalahan.38
Sugihastuti Suharto dalam bukunya Kritik Sastra Feminis; Teori dan
Aplikasi juga menambahkan, tema menjadi salah satu unsur dari novel yang
memberikan kekuatan dan sekaligus sebagai pemersatu semua fakta dan sarana
yang mengungkapkan permasalahan kehidupan tokoh cerita. Tema tidak dapat
dipisahkan dari permasalahan di dalam cerita. Melalui fakta dan sarana dalam
cerita, tema dapat disimpulkan.39
Dalam novel Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono, tema yang
diusung adalah kisah percintaan sepasang kekasih yang berbeda agama dan
budayanya, yaitu antara agama Islam dengan Kristen dan budaya Jawa dengan
Manado. Tokoh yang beragama Islam dan berbudaya Jawa diwakilkan dalam diri
tokoh Sarwono sedangkan yang beragama Kristen dan berbudaya Manado
terwakilkan dalam diri Pingkan. Perbedaan yang menjadi penghalang bagi cinta
Sarwono dan Pingkan menjadi pokok pembahasan yang menguasai sebagaian
besar cerita novel Hujan Bulan Juni.
Persoalan cinta yang terhalang perbedaan agama dan budaya, menjadi
37
Ibid.
38
Pusat Bahasa; Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 2007), hlm.1164.
39
Sugihastuti Suharto, Kritik Sastra Feminis; Teori dan Aplikasinya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002), hlm. 45.
22
tema sentral keseluruhan novel Hujan Bulan Juni. Akan tetapi dalam mengikuti
keseluruhan ceritanya, dapat pula ditemukan tema-tema pendukung lainnya,
misalnya tema budaya yang tertuang dalam dongeng Matindas dari Manado, dan
tema lingkungan hidup yang memperlihatkan keindahan lingkungan Jepang dan
juga keadaan Jakarta, serta beberapa tempat lainnya.
23
novel Hujan Bulan Juni. Sarwono ditampilkan sebagai tokoh yang memiliki
karakter lugu, pekerja keras, puitis, dan lucu. Karakter lugu dengan jelas tampak
pada saat Bu Pelenkahu bertanya kepadanya apakah dia mencintai Pingkan. Dia
pun menjawab dengan lugu ya, dia mencintai Pingkan.
Sebagian besar cerita di dalam novel Hujan Bulan Juni menceritakan
kedekatan Pingkan dan Sarwono. Pingkan merupakan sosok yang sangat dicintai
oleh Sarwono. Sarwono selalu menganggap Pingkan sebagai sosok yang sangat
berarti bagi dirinya sendiri dan masa depannya. Bentuk cintanya ini dinyatakan
Sarwono dalam rupa tindakan yang memperlihatkan perhatiannya kepada
Pingkan. Selain itu, Sarwono juga banyak menciptakan puisi yang ditujukan
kepada Pingkan.
Karakter lain yang kuat dalam diri Sarwono adalah seorang pribadi yang
pekerja keras. Sifat kerja keras ini ditampakkan dengan kesiagaan melakukan
berbagai tugas yang dipercayakan oleh Prodi kepadanya. Semua tugas yang
dipercayakan kepadanya selalu dilakukan dengan baik dan tidak pernah dia
menolaknya. Hal ini disukainya, mengingat Sarwono adalah seorang anak yang
mandiri dan tidak tergantung kepada orang tuanya. Dia selalu berupaya supaya
tidak membebani orang lain.
Kedua, Pingkan. Pingkan adalah seorang yang ditampilkan penulis sebagai
perempuan yang cerdas dan penyayang. Dengan alasan cerdas, Pingkan diutus
oleh kampus untuk melanjutkan beasiswanya di Jepang. Selain dari hal
melanjutkan studi, dinyatakan juga oleh Sapardi, Pingkan merupakan salah satu
lulusan terbaik dari kampus UI, karena alasan inilah maka ketika wisuda, dialah
yang berhak menerima ijazah dari rektor mewakili wisudawan dari fakultasnya.43
Sifat penyayang Pingkan terlihat dari bentuk sikapnya kepada Sarwono
yang selalu menunjukkan perhatian, meskipun selalu berusaha untuk
diutarakannya secara tidak langsung. Bentuk-bentuk sikap yang menunjukkan
perhatiannya kepada Pingkan seperti, pesannya kepada kakaknya Toar untuk
menjaga Sarwono, calon adik iparnya, pesan yang selalu dikirimkannya dari
Jepang dan pernyataan pengakuannya kepada Benny, dia ingin menikah dengan
Sarwono.
43
Sapardi Djoko Damono, op. cit., hlm. 13.
24
Ketiga, Ibu Hartini. Ibu Hartini atau Bu Pelenkahu adalah ibu dari Pingkan
dan Toar. Dia adalah sosok yang sangat pengertian dan mempunyai kepribadian
yang halus. Selama adegan yang menunjukkan sosok Bu Pelenkahu, dialog yang
digunakan selalu bertutur dengan sopan santun dan menunjukkan kesederhanaan.
Seperti pada dialognya dengan Sarwono yang menanyakan kesungguhan cinta
Sarwono kepada Pingkan. Bentuk karakter sederhana Bu Pelenkahu terlihat dari
penggunaan becak yang dipilih oleh Bu Pelenkahu sebagai transportasi yang akan
digunakan ketika pulang setelah mengantar Pingkan dan kerabatnya ke Stasiun
Balapan.
Keempat, Pak Hadi dan Bu Hadi. Pak Hadi dan Bu Hadi merupakan kedua
orang tua Sarwono yang memiliki karakter percaya kepada keputuasan anaknya.
Hal ini dibuktikan dari kesungguhan Pak Hadi dan Bu hadi yang percaya pada
keinginan anaknya yang ingin melanjutkan pendidikannya di Jakarta. Bentuk lain
kepercayaan mereka adalah dengan menyerahkan kembali keputusan keinginan
Sarwono untuk menikahi Pingkan. Kedua situasi ini merupakan landasan yang
kuat untuk menilai karakter Pak Hadi dan Bu Hadi.
Kelima, Benny dan Tante-Tante Pingkan. Karakter yang kuat dari sosok-
sosok ini adalah sifat memaksakan kehendak. Kunjungan mereka dari Manado
yang bertujuan untuk membicarakan pernikahan Toar, ternyata bersifat bermata
dua. Selain membicarakan pernikahan Toar, mereka juga menginginkan untuk
menikahkan Pingkan dengan seorang dosen orang Manado. Misi ini merupakan
misi yang telah disepakati bersama oleh keluarga besar Pelenkahu di Manado.
Mereka yang menjalankan misi, merasa harus berhasil menjalankan misi sehingga
berbagai cara mereka tempuh termasuk berbicara dengan Bu Pelenkahu dan
keluarga Pelenkahu di Surabaya.
Keenam, Toar dan Budiman. Toar dan Budiman adalah dua sahabat
Sarwono sejak SMA. Toar yang kini berprofesi sebagai pegawai Bank dan
Budiman yang berprofesi sebagai wartawan digambarkan Sapardi sebagai sosok
yang selalu mendukung Sarwono dalam setiap pilihan yang dipilihnya termasuk
pada hubungan Sarwono dan Pingkan. Karakter Budiman digambarkan Sapardi
sebagai seorang yang humoris sedangkan Toar lebih digambarkan sebagai sosok
yang dewasa yang bersikap lebih memahami perasaan orang lain.
25
Ketujuh, Kaprodi. Sosok Kaprodi digambarkan Sapardi sebagai sosok
yang selalu memberikan perintah kepada Sarwono. Relasi yang tergambar dari
keduanya memperlihatkan kedekatan selain hubungan sebagai atasan dan
bawahan juga sebagai rekan dalam dunia pendidikan. Kaprodi menyukai kerja
yang ditampilkan oleh Sarwono dan karena alasan inilah, dia selalu menyuruh
Sarwono untuk mengikuti berbagai tugas penelitian yang diterima oleh prodi-
nya.44
26
gadis yang sangat dicintainya, yang sedang menjalani masa studi di Jepang.
Setelah penulis membahas puisi Sarwono, secara perlahan, penulis mengarahkan
pembaca pada masa lampau saat Pingkan masih berada di Indonesia bersama
sarwono.
Tegangan di dalam novel ini, terasa berjalan secara perlahan. Sebab tokoh
utama, yaitu Pingkan dan Sarwono ditampilkan sebagai sosok yang sudah dewasa
dan bersikap lebih bijaksana. Kesan ketegangan yang ditimbulkan ketika
membaca Novel Hujan Bulan Juni cenderung lambat. Puncak tegangan yang
diberikan penulis kepada para pembaca terdapat diakhir novel.
2.3.2.4 Amanat
Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra atau pesan yang ingin
disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. Gagasan ini diambil
dengan menyimpulkan seluruh narasi yang disampaikan oleh pengarang.
Penyimpulan ini dapat berupa secara langsung atau tidak langsung, tergantung
dengan situasi sang pembaca atau pengarang.47 Keseluruhan makna atau isi suatu
wacana merujuk pada konsep dan perasaan yang hendak disampaikan pembicara
untuk dimengerti dan diterima oleh pendengar.48
Amanat yang disampaikan dalam novel Hujan Bulan Juni mengandung
ajaran moral yaitu: toleransi antar umat beragama, toleransi budaya dan suku,
serta kesetiaan kepada pasangan. Gambaran pesan moral ini terlihat dengan jelas
secara eksplisit pada tubuh novel Hujan Bulan Juni.
47
Pusat Bahasa; Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., hlm. 35.
48
Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 9-10.
49
Pusat Bahasa; Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., hlm. 1097.
27
yang dipakai dalam novel Hujan Bulan Juni adalah sudut pandang pihak ketiga.
2.3.2.7 Setting
Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan, latar belakang
merupakan keterangan mengenai suatu peristiwa guna melengkapi informasi yang
tersiar sebelumnya. Keterangan ini menjadi penting bagi pemahaman akan
kebenaran informasi yang ditangkap oleh para penikmat informasi. Melalui
informasi yang banyak dan mempunyai latar belakang yang lengkap, terjadinya
kesalahan informasi dapat diminimalisir.52
Latar belakang juga dapat berarti bagian kalimat yang menempatkan unsur
dari suatu wacana pada tempat yang kedua atau ketiga. Hal ini berlaku bagi
pemahaman konteks dalam suatu tulisan. Pada tulisan selalu terdapat latar yang
menjadi pokok suatu tulisan. Melalui pokok tulisan teruraikan penjelasan yang
lebih jauh tentang suatu hal.53
Bagi Sugihastuti, sebuah cerita selalu bertumpu pada latar tempat atau
50
Ibid., hlm. 340.
51
Goris Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm. 112.
52
Pusat Bahasa; Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., hlm. 625.
53
Harimurti Kridalaksana, op. cit., hlm. 97.
28
waktu. Sebuah cerita tidak dapat terlepas pisah dari kondisi keadaan tempat dan
waktu. Latar tempat dapat merujuk pada kawasan secara geografik dan konkret.
Latar ini meliputi, penggambaran lokasi geografis, pemandangan, perlengkapan
ruangan, termasuk pada pekerjaan atau kesibukan dari para tokoh sedangkan latar
waktu merujuk pada suatu waktu tertentu.54
Latar dalam novel ini meliputi latar tempat dan waktu. Pada latar tempat
ditampilkan kota Jakarta, Kyoto (Jepang), Manado dan Gorontalo, Solo, dan
Yogyakarta. Jakarta merupakan tempat di mana Sarwono dan Pingkan tinggal dan
bekerja. Kota Solo, merujuk pada asal dan juga tempat tinggal orang tua mereka.
Manado dan Gorontalo merupakan kota yang menjadi latar yang mendukung
cerita ini. Cerita di kota Manado dan Gorontalo menggambarkan awal mula peran
yang dialami oleh Sarwono dari keluarga besar Pingkan sedangkan kota Kyoto
adalah kota tempat Pingkan melanjutkan studi yang dipercayakan universitasnya.
Latar waktu terjadi di dalam novel Hujan Bulan Juni terdapat pada masa
modern. Hal ini ditandai dengan perkembangan pesat di bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi. Perkembangan ini ditandai dengan gambaran penggunaan pesawat
terbang, penggunaan aplikasi Whatshapp yang merupakan aplikasi media
komunikasi di abad ke 21 ini.
Selain pada dua latar yang di atas, novel Hujan Bulan Juni juga
memperlihatkan latar sosial-budaya yang tergambar dalam budaya masyarakat
Jawa, Manado, dan Jepang. Budaya Jawa dapat terlihat dari penggambaran atas
situasi keluarga besar Sarwono. Gambaran budaya Manado terlihat dari keluarga
Pingkan dari pihak ayahnya sedangkan budaya Jepang terlihat dari pengalaman
Pingkan sewaktu di Kyoto bersama dengan Katsuo menyusuri sungai yang
membelah kota Kyoto pada perayaan saat perayaan musim semi.
54
Sigihastuti Suharto., op. cit., hlm. 54-55.
29
BAB III
TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK HERBERT BLUMERT
55
Tulisan ini merupakan kompilasi dari tulisan Ken Plummer, “Herbert Blumer and the Life
History Tradition”, Symbolic Interaction, 13:2 (Ithaka: 1990), pp. 125-127., Nina Siti Salmaniah
Siregar, “Kajian Tentang Interaksionisme Simbolik”, Perspektif, 4:2, (Palangkaraya: Oktober
2011), hlm. 100-110., Aas Al-Pakambani, “Herbert George Blumer 1900 – 1987” Rabu, 27 April
2016, http://aas-alpakambani.blogspot.com/2016/04/herbert-george-blumer-1900-1987.html,
diakses pada 15 Februari 2019.,
30
yang lahir pada 7 Maret 1900 di St. Louis. Blumer termasuk sosiolog mazhab
Chicago yang cukup terkenal. Ia merupakan sosok bersahaja yang memiliki
ketertarikan utama pada isu interaksionisme simbolik dan metode penelitian
sosial. Ia menerima gelar doktor sosiologi di Universitas Chicago pada tahun
1928. Selanjutnya ia mengajar di pergururuan tinggi tersebut hingga memperoleh
gelar profesor pada tahun 1952. Kemudian sejak tahun 1952 hingga 1972, Blumer
dipercaya menduduki posisi sebagai ketua program studi sosiologi di Universitas
California di Berkeley.
Semasa muda, Blumer tidak hanya menekuni dunia akademik. Ia tercatat
pernah aktif sebagai pemain American football professional di Chicago. Blumer
aktif di sepak bola profesional selama tujuh tahun. Namun demikian, hal itu tidak
menghalangi Blumer untuk berprestasi pada banyak posisi penting di bidang
akademik. Pada awal kariernya, Blumer pernah menjadi editor prentice hall
sociologi series pada tahun 1934. Pada tahun 1940 hingga 1952 ia juga menjadi
editor jurnal sosiologi terkemuka di Amerika, yakni American journal of
sociology. Blumer sempat bergabung dengan American Sociology Association
pada tahun 1956.
Sebagaimana Herbert Mead dan Horton. H cooley, Blumer juga memiliki
ketertarikan dalam mengembangkan dan meneliti konsep interaksionisme
simbolik. Selama masa mengajarnya di Chicago pengaruh Herbert Mead, Cooley,
Thomas, dan Park begitu kuat memengaruhi Herbert Blumer. Dari pengaruh
pemikiran tersebut lahirlah pikiran-pikiran kritis terhadap hasil pikiran para
pendahulunya, yaitu teori Interaksionisme Simbolik.
Blumer pertama kali mengemukakan istilah interaksionisme simbolik pada
tahun 1937. Dia memperkenalkan teori ini dalam kalangan akademis melalui essai
dan melalui seminar-seminar yang dia bawakan. Hasil dari tindakannya ini pada
tahun 1969, atas desakan dari beberapa pihak terutama dari kolega dan murid-
muridnya, dia menerbitkan sebuah buku yang berjudul Interaksionisme Simbolik:
Perspektif dan Metode. Pada buku ini, Blumer menjelaskan prinsip-prinsip utama
dari teori sosiologi dan metodologi dari teori Interaksionisme simbolik yang
diperkenalkannya. Buku ini merupakan kumpulan dari essai-essai yang pernah
ditulisnya pada berbagai media.
31
Selain karyanya tentang teori interaksi simbolik, Blumer juga mempunyai
beberapa karya lain. Karya-karya tersebut di antaranya Film dan Perilaku yang
diterbitkan pada tahun 1933 dan Film Kenakalan dan Kejahatan juga pada tahun
yang sama. Blumer meninggal pada 13 April 1987 di California. Pada tahun 1990,
sebuah kumpulan essai tentang Organisasi Sosial dan Industrialisasi Terbentuk
Dari Perspektif Interaksionisme Sosial diterbitkan secara anumerta atas nama
Herbert Blumer.
32
interaksi, yaitu saling melakukan aksi, berhubungan dan memengaruhi orang atau
pihak lain.58
58
Yohanes Orong, Bahasa Indonesia Identitas Kita (Ledalero: Penerbit Ledalero, 2017), hlm. 10.
59
Drs. Alex Sobur, M.Si., Semiotika Komunikasi (Bandung: Pt Remaja Rosdakarya, 2006), hlm.
155-157.
60
Pusat Bahasa; Departemen Pendidikan Nasional, op.cit., hlm. 630.
61
I Made Astika, S.Pd., M.A. dan I Nyoman Yasa, S.Pd., M.A, Sastra Lisan: Teori dan
Penerapannya (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), hlm. 23
33
dilakukan aktor selalu didasarkan atas penilaian makna yang sudah dilakukannya
sebelum berindak.
Pada pemahaman ini, terdapat deretan konsep-konsep: diri, penggabungan
tindakan, objek, interaksi, interpretasi, organisasi, saling ketergantungan. Hal yang
terletak dalam interaksionisme simbolik adalah sebuah gambaran tentang dunia
yang mendukung untuk:
Selalu memperhatikan proses, perubahan, cara hidup, kelompok dan seluruh
aspek kehidupan masyarakat. Tidak ada yang statis dalam kehidupan sosial.
Kehidupan sosial selalu mengalami perkembangan.
Selalu mencari arti, simbol, bahasa dalam setiap tindakan sosial yang dibuat.
Inilah yang membuat kehidupan manusia selalu bermakna khusus, dan
mengapa itu membutuhkan jenis metode khusus untuk ‘menggali’
pergeseran/perkembangan makna tersebut
Selalu memberi perhatian pada interkasi dan interkoneksi. Tidak ada yang
namanya individualitas dalam pandangan ini, sebab individu selalu
berinteraksi dengan yang lain. Masyarakat adalah jaringan interaksi
antarmanusia dalam melakukan sesuatu bersama-sama.
62
Tulisan ini merupakan kompilasi dari tulisan Drs. Alex Sobur, M.Si. op. cit., hlm. 200-204.,
Fusun Alver dan Sebnem Caglar, “The Impact of Symbolic Interactionism On Research Studies
About Communication Science”, International Journal of Arts & Sciences, (Tamilnadu, 2015),
hlm. 479–484., Dadi Ahmadi, “Interaksi Simbolik: Suatu Pengantar”, MEDIATOR, 9:2, (Bandung,
Desember, 2008), hlm. 301-313., Itsna Nurhayati Effendie, “Hubungan Pertemanan Pada
Komunitas Miskin Perkotaan; Studi Komunikasi Antar Pribadi (Antarpribadi) Pada Komunikasi
Miskin di Babakan Hantap Kecamatan Kiaracondong, Kota Bandung”, Comunication, 4:1
(Jakarta, April 2013), hlm. 70-71., Michael J Carter dan Celene Fuller, “Symbolic interactionism”,
dalam Sociopedia.isa, 2015, http://www.sagepub.net/isa/resources/pdf/ Symbolic%
20interactionism.pdf, diakses pada 15 Februari 2019., Part of Mediatheque Network, “Herbert
Blumer; American sociologist, player of american football” https://upclosed.com/people/herbert-
blumer/... , diakses pada 15 Februari 2019.
34
ilmu sosiologis yang lahir di Hadley, salah satu kota kecil di Massachusetts,
negara bagian Amerika Serikat pada tahun 1863. Mead memulai kariernya dengan
menjadi seorang dosen di kampus Oberlin, Ohio. Kemudian dia diundang oleh
John Dewey untuk pindah ke Universitas Michigan ke Universitas Chicago
tahun 1894. Di Chicago inilah Mead sebagai seseorang pemikir membuat catatan
kontribusi yang penting bagi perkembangan ilmu sosial dengan meluncurkan the
theoretical perspective. Pemikiran ini menjadi cikal bakal perkembangan “Teori
Interaksi Simbolik”. Helbert Mead menetap di Chicago selama 37 tahun. Ia
meninggal dunia pada tahun 1931.
Semasa hidupnya, Mead memainkan peran penting dalam membangun
perspektif tentang interaksi perilaku sosial dengan memfokuskan pemahaman
pada aspek internal dari manusia. Mead tertarik pada interaksi yang terjadi pada
manusia. Mead berpendapat bahwa dalam interaksi semua bentuk ungkapan dapat
memengaruhi pikiran orang yang sedang berinteraksi. Hal ini dapat berupa isyarat
nonverbal ataupun makna suatu pesan verbal. Untuk itu bagi Mead, setiap isyarat
nonverbal (seperti body language, gerak fisik, baju, status, atau apa pun yang
digunakan manusia dalam berinteraksi), dan pesan verbal (seperti kata-kata, suara,
dan lain-lain) yang dimaknai berdasarkan kesepakatan bersama oleh semua pihak
yang terlibat dalam suatu interaksi merupakan satu bentuk simbol yang
mempunyai arti atau makna yang sangat penting (a significant symbol).
Mead tertarik mengkaji interaksi sosial, di mana dua atau lebih individu
berpotensi mengeluarkan simbol yang bermakna karena dalam interaksi ini
perilaku seseorang dapat dipengaruhi oleh simbol yang diberikan oleh orang lain,
demikian pula sebaliknya. Melalui pemberian isyarat berupa simbol, maka
seseorang dapat mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan
cara membaca simbol yang ditampilkan oleh orang lain, seseorang dapat mengerti
akan apa yang disampaikan oleh orang lain.
Selain Mead, telah banyak pemikir yang menggunakan dan mencoba
menjelaskan pendekatan teori interaksi simbolik di dalam penelitian-penelitian
mereka, antara lain John Dewey, Robert E. Park, William James, Charles Horton
Cooley, Ernest Burgess, dan James Mark Baldwin. Generasi setelah Mead
merupakan awal perkembangan interaksi simbolik, di mana pada saat itu dasar
35
pemikiran Mead terpecah menjadi dua Mazhab (School), di mana kedua mahzab
tersebut berbeda dalam hal metodologi, yaitu Mazhab Chicago (Chicago School)
yang dipelopori oleh Herbert Blumer, dan Mazhab Iowa (Iowa School) yang
dipelopori oleh Manfred Kuhn, Carl Couch dan Kimball Young.
36
pada akhirnya akan mengarah pada analisis mikroskopis. Langkah yang dipakai
oleh Kuhn ditunjang dengan metode yang dimunculkannya, “Tes Sikap Pribadi
Dengan Dua Puluh Pertanyaan [The Twenty Statement Self-Attitudes Test
(TST)]”. Tes ini digunakan oleh Khun dan teman-temannya untuk mengukur
berbagai aspek kepribadian pada seseorang pribadi.
Terdapat empat konsep yang selalu dipakai oleh Kuhn dalam setiap
langkah penelitiannya. Pertama, dasar dari segala tindakan adalah interaksi
simbolis. Konsep ini merupakan konsep yang sama dengan pemikiran Mead.
Konsep ini menunjukkan seorang anak dapat bersosialisasi melalui interaksi
dengan para anggota masyarakat di mana dia dilahirkan. Dari hasil interaksinya,
manusia menemukan makna pada semua hal dalam lingkungannya. Kedua, plan
of action. Konsep ini merujuk pada pola tingkah laku tertentu terhadap objek
tertentu atau sikap seseorang atas objek.
Ketiga, orientational other. Konsep ini merujuk pada orang-orang yang
sudah berpengaruh dalam kehidupan seorang manusia. Untuk mengukur seberapa
kuat pengaruh seseorang terhadap orang lain, Kuhn memberikan empat kualitas.
Pertama, orang-orang yang memiliki ikatan emosional dan psikologi pada
manusia, yaitu orang-orang di tempat manusia itu tinggal. Kedua, orang-orang
yang melengkapi seorang manusia. Hal ini dapat berupa pembendaharaan kata,
konsep dan kategori. Ketiga, mereka yang memberikan bentuk pemisahan
mendasar antara pribadi dan orang lain. Keempat, komunikasi di antara
orentational other untuk mempertahankan konsepsi pada diri seorang manusia.
Keempat, konsep diri. Kuhn memperluas pemahamannya tentang diri
melalui penelitiannya pada pokok konsepsi diri, rencana tindakan individu
terhadap diri sendiri, kesukaan dan penghindaran, tujuan-tujuan, ideologi, dan
evaluasi diri.
Berdasarkan beberapa konsep interaksi simbolik di atas, terlihat jelas
perbedaan antara Mazhab Chicago dengan Mazhab Iowa. Mazhab Chicago
melanjutkan tradisi humanistik sedangkan Mazhab Iowa lebih mengutamakan
pendekatan struktural objektif. Kritik kelemahan yang dilontarkan terhadap
metode Kuhn yaitu, metode ini dianggap tidak memadai untuk menyelidiki
tingkah laku berdasarkan proses, yang merupakan elemen penting dalam interaksi.
37
3.2.3 Premis Dasar Interaksionisme Simbolik
Blumer mengutarakan tiga prinsip utama dalam teori interaksionisme
simbolik, yaitu pemaknaan, bahasa dan pikiran. Premis ini merupakan landasan
utama untuk dapat mengerti konsep diri seseorang dan sosialisasinya dalam
masyarakat.
Pertama, Manusia bertindak terhadap segala sesuatu seturut makna segala
sesuatu itu bagi dirinya. Segala sesuatu dalam pengertian Herbert Blumer
mencakup benda fisik, sesamanya manusia, kategori manusia, lembaga, cita-cita,
tindakan orang lain, dan segala situasi yang dihadapi seorang dalam keseharian
hidupnya. Cakupan yang dipakai dalam konsep pertama ini adalah segala sesuatu
yang dijumpai manusia dalam hidupnya. Selama manusia berinteraksi dalam
hidupnya, selama itu pula dia selalu bertindak berdasarkan pemahamannya.63
Kedua, makna segala sesuatu berasal dari hasil interaksi sosial seorang
dengan sesuatu. Makna yang dapat dipahami oleh manusia tidak muncul atau
melekat pada sesuatu atau objek secara alamiah, melainkan muncul dari hasil
proses negosiasi melalui penggunaan bahasa (simbol). Blumer ingin menegaskan
betapa pentingnya penanaman dalam proses pemaknaan. Melalui proses ini
seseorang akan dapat berinteraksi dengan lingkungannya karena memiliki
pemaknaan yang jelas. Namun masalahnya menurut Mead, sebelum manusia
berpikir, manusia butuh sesuatu yang dapat digunakan sebagai pengantara dalam
menggambarkan sesuatu yang dipikirkan. Manusia memliki kecenderungan untuk
berkomunikasi secara simbolik. Oleh karena itu, manusia membutuhkan bahasa.
Bahasa merupakan alat yang dapat menggerakkan pikiran kita. Dengan bahasa
manusia dapat bertukar simbol dan saling memahami simbol.64
Ketiga, makna yang diperoleh oleh manusia dari hasil interaksi
sebelumnya, selanjutnya ditangani dan diubah atau dimodifikasi melalui proses
interaksi yang digunakan ketika ia menghadapi hal yang sama. Interaksionisme
simbolik menggambarkan proses modifikasi ini sebagai sebuah proses berpikir.
Proses berpikir ini sendiri bersifat reflektif, terdapat dialog yang terjadi di dalam
diri manusia. Dialog ini berupa perbincangan dengan diri sendiri untuk menilai
63
Herbert Blumer, Symbolic Interactionism; Perspective and Method (California: University of
California Press, 1986), hlm. 2.
64
Ibid.
38
situasi yang dihadapinya dan menyimpulkan bagaimana cara untuk
meresponnya.65
Interaksionisme simbolik mengandung inti dasar pemikiran umum tentang
komunikasi manusia. Dari premis pertama yang mengandung arti manusia sebagai
makhluk sosial selalu berinteraksi. Dalam kegiatan interaksinya, manusia secara
tidak langsung membentuk kesesuaian tindakan bersama serta membentuk
struktur sosial.
Pada premis yang kedua dan ketiga, manusia yang saling berinteraksi
membentuk sebuah pemahaman bersama terhadap sebuah objek. Objek-objek
diberi nama untuk dapat dimengerti. Penamaan ini bersesuaian dengan bentuk
makna yang dimiliki masing-masing manusia yang saling berinteraksi. Dari
tindakan manusia yang saling menafsir dapat disimpulkan tindakan manusia
sebagai tindakan interpretatif. Untuk dapat memahami lebih jauh tentang tiga
premis ini, terlebih dahulu perlu diketahui apa hakikat masyarakat manusia,
hakikat interaksi sosial, hakikat objek, hakikat manusia sebagai subjek yang
bertindak, hakikat tindakan manusia, dan hakikat keterkaitan antara tindakan atau
tindakan bersama. Pokok-pokok ini merupakan kunci utama dalam memahami
teori interaksionisme simbolik dengan tiga premisnya di atas.
65
Ibid.
66
Ibid., hlm. 6-7.
39
dan kelompok manusia mesti dilihat dalam bingkai tindakan. Setiap skema
empiris tentang masyarakat manusia mesti menghargai kenyataan pada tempat
pertama dan utama masyarakat manusia itu terdiri dari orang-orang yang terlibat
dalam tindakan.
40
Hakikat manusia sebagai pelaku atau organisme yang bertindak dilihat
dalam taraf tindakan manusia itu sendiri. Manusia sebagai sebuah organisme tidak
hanya menanggapi orang lain pada taraf non simbolik tetapi juga membuat
indikasi-indikasi kepada tindakan orang lain dan sekaligus menafsirkan kembali
indikasi-indikasi tersebut. Pengindikasian yang dilakukan oleh manusia bisa
terjadi karena pada dirinya dia memiliki ‘diri’ (self) yaitu sebuah kesadaran yang
utuh terhadap diri sendiri. Melalui kesadaran ini manusia memiliki dua kenyataan
dalam bertindak. Pertama, manusia dapat menjadi objek tindakannya sendiri.
Kedua, diri itu memungkinkan dia untuk berinteraksi dengan dirinya sendiri.
Melalui interaksi dengan diri sendiri, manusia menampilkan sesuatu yang
bercorak sosial, yaitu komunikasi. Manusia yang terlibat dalam interaksi-diri
bukan hanya sebagai organisme yang tanggap melainkan terutama sebagai
organisme yang bertindak, yang harus menempa serangkaian tindakan seturut apa
yang ia indahkan, dan bukan melulu memberi tanggapan.
41
mereka selalu saling terkait satu dengan yang lain. Tindakan yang dilakukan oleh
salah satu anggota masyarakat selalu terkait langsung dengan komunitas
masyarakat. Situasi keterkaitan ini dapat berupa relasi antara pribadi manusia atau
norma-norma dan apapun yang terkandung di dalam komunitas masyarakat.
Terdapat tiga ciri keterkaitan di antara tindakan bersama yang disampaikan
oleh Blumer. Pertama, repetitif atau berulang dan stabil atau tetap. Dalam konteks
berulang dan stabil tindakan manusia ini dilakukan secara berulang-ulang dan
dengan pola yang sama. Hal ini tidak terbatas pada satu manusia, tetapi dapat
dilakukan oleh orang lain dengan pola yang tetap. Hasil dari tindakan ini adalah
budaya, tatanan sosial, norma, nilai, kaidah sosial. Semua hasil ini merupakan
hasil yang diperoleh melalui interaksi sosial. Proses sosial yang terjadi didalam
kehidupan kelompok yang menciptakan dan mempertahankan aturan.
Kedua, adanya koneksi luas di antara berbagai tindakan. Koneksi yang
menjalin tindakan manusia menyerupai jejaring yang mengatur keterlibatan
beragam orang oleh beragam tindakan pada beragam titik. Hal ini ditandai dalam
interaksi manusia terdapat sistem dan relasi timbal balik yang terjadi. Manusia
saling berinteraksi, memberikan penamaan pada suatu objek, membagikannya dan
kembali.
Ketiga, latar belakang tindakan terdahulu banyak memiliki partisipan,
itulah yang memunculkan tindakan bersama. Tindakan bersama tidak dapat
dipahami terlepas dari konteksnya. Selalu ada koneksi dan kontinuitas dengan
yang terdahulu. Koneksi yang terjadi di antara tindakan yang sekarang dan
terdahulu merupakan bentuk penyerasian tindakan masing-masing pribadi. Dalam
melakukan penyerasian ini, masing-masing pihak mencari arti maksud dalam
perbuatan orang lain dan memakainya dalam menyusun kelakuannya.
42
BAB IV
TINDAKAN SARWONO BERDASARKAN TEORI INTERAKSIONISME
SIMBOLIK HERBERT BLUMER
4.1 Pengantar
43
Pada bab ini, penulis mencoba untuk menganalisis tindakan Sarwono
dalam konteks teori Interaksionisme Simbolik. Usaha integrasi ini pada dasarnya
bukan untuk mencocokkan dua disiplin ilmu berbeda, melainkan sebuah proses
ilmiah yang sah. Artinya, kendati tokoh Sarwono adalah hasil imajinasi Sapardi
dalam bentuk narasi sastra,namun kepribadiannya merupakan representasi dari
pribadi manusia yang riil dan dapat menjadi suatu kajian ilmiah. Oleh karena itu,
penulis berupaya menjelaskan interaksi-interaksi langsung Sarwono berhadapan
dengan tokoh-tokoh lain berdasarkan tiga premis dalam Interaksionisme Simbolik
Herbert Blumer, yaitu pertama, manusia selalu bertindak terhadap sesuatu
berdasarkan makna dari sesuatu itu bagi dirinya. Kedua, makna-makna didapatkan
dari interaksi yang dilakukan oleh manusia. Ketiga, dalam proses penerapan
makna, manusia melakukan modifikasi berdasarkan kebutuhannya.
Penjelasan ini tidak akan lagi menguraikan satu persatu ketiga premis di
atas dan selanjutnya meninjau tindakan sarwono berdasarkan premis tersebut,
melainkan penulis langsung menguraikan tindakan Sarwono dalam konteks
penerapan ketiga premis di atas. Penulis akan memakai beberapa pandangan tokoh
untuk membantu memahami makna dari suatu tindakan yang terkait dengan
interaksi Sarwono. Hal ini berguna untuk membantu penulis dalam memahami
suatu jalinan tindakan antara Sarwono dan tokoh-tokoh yang ada di dalam novel
Hujan Bulan Juni.
Sapardi membagi novelnya dalam lima bagian, yang masing-masing
bagian tersusun dari konteks yang berbeda-beda. Dia memberikan judul ‘bab’
pada masing-masing bagian, untuk menandakan pembagian pada bukunya. Bab
ini tersusun secara berurutan dalam urutan angka, sehingga novelnya terdiri dari
lima bab, yaitu Bab 1, Bab 2, Bab 3, Bab 4, dan Bab 5. Demi memudahkan
penjelasan terhadap tindakan Sarwono, penulis akan menambahkan judul pada
setiap bab berdasarkan hubungan sebab akibat yang ditunjukan bab tersebut bagi
peran Sarwono dalam novel.
44
dalam rangka bertemu dengan rekan-rekan dosen dari UGM untuk menyelesaikan
penelitian tentang Kali Code, mengalami dualisme pemikiran. Pada satu sisi, dia
ingin segera untuk dapat menemukan puisinya yang terbit hari itu di sebuah koran
seperti yang dijanjikan oleh sahabatnya yang adalah redaktur budaya koran Swara
Keyakinan, koran yang menerbitkan puisinya hari itu. Di sisi lain, dia mengalami
dilema memikirkan konsep pinggiran pada penelitian yang sedang dijalaninya.
Konsep pinggiran yang digunakan dalam penelitian, bagi Sarwono, tidak lagi
cocok untuk menggambarkan situasi Kali Code yang berada di tengah-tengah
kota. Tetapi dia pun tidak berani untuk mempermasalahkannya lebih jauh, sebab
baginya yang terpenting pada saat itu adalah bisa mendapatkan honor dan tiket
pesawat gratis untuk kembali ke Jakarta setelah menyelesaikan tugasnya sesuai
dengan permintaan klien.
Sarwono yang telah menyelesaikan pertemuannya selama dua hari
bersama dengan para dosen dari UGM, segera berencana ke Malioboro untuk
mencari koran yang memuat puisinya. Sarwono selain bekerja sebagai seorang
dosen juga memiliki hobi untuk menulis termasuk menulis puisi. Puisinya kali ini,
disebutkan sebagai puisi yang sangat spesial baginya. Dia sempat berpikir, sajak-
sajaknya yang pernah disiarkan sebelumnya boleh saja lenyap, asalkan jangan
yang dimuat pada saat itu karena puisi yang disiarkan pada hari itu. Puisinya kali
ini adalah puisi yang sangat tangkas dalam menghubungkannya dengan seorang
perempuan yang spesial baginya di Jepang.
Puisi yang diterbitkan pada hari itu terdiri dari tiga buah puisi pendek yang
diletakkan oleh redaktur di salah satu sudut halaman koran. Ketika pertama kali
melihat puisinya, Sarwono merasa sangat bahagia. Saking bahagianya, tanpa
disadari Sarwono telah beberapa kali membuka dan menutup koran untuk melihat
puisinya yang masih berada di tempat yang sama dan tidak berkurang satu huruf
pun. Tingkah laku Sarwono mendapatkan banyak respon negatif dari orang-orang
di sekitarnya.72
45
mereka berdua. Kaprodi yang merupakan atasan dari Sarwono ditampakkan
sebagai pribadi yang selalu memberikan perintah penelitian kepada Sarwono.
Perintah ini merupakan sebuah bentuk keharusan yang mesti ditaati oleh Sarwono
sebagai seorang bawahan. Maka tidak heran dalam memahami perannya sebagai
seorang bawahan, Sarwono menggambarkan Kaprodi sebagai ‘Sang Penguasa
Prodi Antropologi’.
Sarwono yang telah terbiasa mengadakan penelitian antropologi
memahami dengan baik arti dari relasi yang terjalin di antara dirinya dan Kaprodi.
Arti Penguasa yang disematkannya kepada Kaprodi-nya menempatkan dirinya
sebagai seorang bawahan mesti menaati apa yang disampaikan oleh atasannya.
Sarwono tidak mempunyai hak untuk dapat menawar ataupun memberikan
interupsi pada apa yang telah menjadi perintah dari atasannya. Akibat langsung
dari sikapnya ini ialah hampir selama enam minggu setelah kepergian Pingkan ke
Jepang, dia selalu ditugasi oleh Kaprodi-nya setidaknya mengikuti dua penelitian
sekaligus.
46
penting dengan dirinya sendiri.73
Johnson sebagaimana dikutip oleh Supratiknya,74 menyebutkan
keterbukaan diri memiliki dua sisi, yaitu terbuka kepada yang lain dan terbuka
bagi yang lain. Terbuka kepada yang lain merujuk pada diri yang membagikan
informasi dan membiarkan orang lain untuk mengenalnya. Sisi terbuka bagi yang
lain merujuk pada kesiapan pribadi untuk menerima dan mengenal orang lain.
Kedua sisi ini dapat berjalan masing-masing dan juga serentak bersamaan dalam
suatu komunikasi.
Tindakan Sarwono dan Redaktur Koran, merupakan tindakan relasi yang
terbuka. Kedua bela pihak sama-sama menunjukkan kesiapan diri untuk bersikap
terbuka kepada dan bersikap terbuka bagi orang lain. Melalui keterbukaan diri,
masing-masing pribadi mampu membagi dan menerima informasi dari orang lain.
Sarwono yang percaya kepada Redaktur Koran sudah menerapkan konsep
interaksi. Demikian pula dengan Redaktur Koran yang membagikan informasi
kepada Sarwono.
73
Bdk. Dr. A. Supratiknya, Komunikasi Antarpribadi;Tinjauan Psikologis, cet. 10 (Yogyakarta:
Kanisius, 2000), hlm. 15-20.
74
Ibid., hlm. 14-15.
75
Bdk. Ibid., hlm. 60.
47
berpikir dan menafsir manusia selalu menggunakan konsep-konsep yang dapat
menunjukkan arah tindakan dan alur pemikiran dalam berkomunikasi. Seorang
pribadi yang melakukan aksi dalam suatu komunikasi interaksi dengan orang lain
selalu membawa pada dirinya suatu konsep yang didapatkannya dari lingkungan
hidupnya.76 Tindakan Sarwono yang tidak ingin merespon lebih lanjut ekspresi
dari Tukang Becak merupakan bentuk komunikasi yang baik dan mendasar pada
konsep interaksi. Sarwono yang menyadari tidak ada keuntungan untuk
memperdebatkan lebih jauh terntang apa yang lucu dan tidak lucu bagi si Tukang
Becak, telah memiliki konsep yang jelas tentang si Tukang Becak yang adalah
orang Jawa.
Bagi Sarwono, pemahaman lucu dan tidak lucu bagi orang Jawa berbeda
dengan masyarakat pada umumnya. Sarwono telah memahami, ‘di Jawa apa yang
dianggap tidak lucu, bisa saja diterima sebagai suatu hal yang lucu’ 77. Hal ini
berlaku pula kepada si Tukang Becak. Untuk itu, dia tidak ingin
mempermasalahkan lebih jauh reaksi yang diberikan oleh Tukang Becak terhadap
persoalan hujan di bulan Juni. Baginya pada saat itu yang terpenting adalah segera
mendapatkan koran yang memuat puisinya pada hari itu.
76
D. Lawrence Kincaid dan Wilbur Schramm, Asas-asas Komunikasi Antar Manusia (Jakarta:
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Jakarta,
bekerjasama dengan East-West Communication Institute (EWCI), Hawaii, Cetakan keenam,
1985), hlm. 21-23.
77
Sapardi Djoko Damono, op. cit., hlm. 3.
78
Bdk., Ibid., hlm. 4-7.
48
lingkungannya, komunikasi antarpribadi tidak dapat terjadi. Sarwono lebih asyik
memperhatikan puisinya yang dimuat di koran daripada berinteraksi dengan
lingkungannya. Dia membatasi dirinya hanya kepada koran yang memuat
puisinya dan tidak melakukan suatu kontak dengan lingkungannya. Komunikasi
yang terjadi hanya berlangsung di dalam dirinya sendiri. Sehingga perannya
sebagai salah satu anggota masyarakat, yaitu turut berpartisipasi dalam tindakan
bersama pada titik ini dinilai tidak ada.
49
pernah samurai meninggalkan tuannya.
50
dengan pemaksaan. Selain itu, hal ini dinyatakan Viscoot sebagai sesuatu yang
wajar, saling mengungkapkan perasaan adalah hal yang mutlak dalam dalam suatu
relasi. Tanpa adanya pengungkapan perasaan dalam suatu relasi, akan
menimbulkan rasa ketertutupan dan kecurigaan kepada masing-masing
pasangan.83
83
Ibid.
84
Bdk. Sapardi Djoko Damono, op. cit., hlm. 16.
51
untuk pergi ke Jakarta melanjutkan kuliahnya. Budiman yang merasa kalah
bersaing hanya bisa merelakan impiannya jatuh ke tangan Sarwono.
Berbeda dengan relasi Sarwono dan Budiman yang banyak
memperlihatkan persaingan di antara mereka berdua, relasi Sarwono dan Toar
diperlihatkan Sapardi sebagai relasi intim suatu keluarga. Kesadaran dari Toar
yang memandang Sarwono sebagai calon iparnya, menuntunnya untuk selalu
menjaga setiap kata dan tindakan untuk tidak melukai perasaan Sarwono. Dia juga
telah dipesankan oleh Pingkan untuk dapat menjaga Sarwono, apalagi kata
Pingkan, ‘Sarwono memiliki tubuh yang ringkih’. Toar yang membaca pesan itu
hanya bisa terharu.
Sarwono tahu Toar telah mengetahui hubungannya dengan adiknya,
Pingkan. Setiap kali bertemu, dia selalu berusaha untuk menyenangkan hati Toar.
Seperti ketika dia berkesempatan untuk bertemu Toar saat sedang mengadakan
penelitian di Tobelo. Ketika di Tobelo, Sarwono dipaksa untuk dapat tinggal di
‘pondokannya’85 Toar. Di sana, mereka banyak menghabiskan waktu untuk
berbagi pengalaman.
85
Pondokan dapat diartikan sebagai tempat tinggal sementara. Dalam konteks novel Hujan Bulan
Juni, pondokan digunakan untuk menyebutkan rumah yang ditempati oleh Toar, kemungkinan
rumah itu adalah rumah kontrakan yang digunakannya.
86
Bdk., Sapardi Djoko Damono, op. cit., hlm. 83-86.
52
ujian yang akan menguji keseriusan cintanya kepada Pingkan. Dan benar saja,
jawabannya telah meluluskannya di dalam ujian tersebut. Bu Pelenkahu
menerimanya sebagai calon menantu dan menyebut Sarwono sebagai Matindas.87
Penerimaan Bu Pelenkahu terhadap Sarwono tidak terbatas pada
ucapannya saja, dia juga mengajak Sarwono untuk menemaninya ke pernikahan
Toar di Makassar. Mengajak Sarwono ke pernikahan Toar merupakan pilihan Bu
Pelenkahu yang dipandang Sarwono sebagai bentuk pengakuan Sarwono sebagai
menantunya. Karena hadir menemani Bu Pelenkahu di tengah-tengah keluarga
besar Pelenkahu sama artinya dengan menjadi saksi dan telah diterima sebagai
bagian dari keluarga.88
53
Sarwono sadar orangtuanya telah menganggapnya sebagai seorang pria dewasa
yang telah mampu untuk mengambil suatu keputusan yang baik. Tetapi sebagai
seorang anak yang berbakti, Sarwono tetap merasa wajib untuk menyampaikan
segala perihal tentang kehidupannya.91
54
pengamatan dan penafsiran terhadap hubungan Sarwono dan Pingkan serta
mengalami atau memproses ulang semua tindakan tersebut di dalam pikirannya.
Sehingga tanggapan yang diberikannya kepada Sarwono di atas merupakan hasil
dari proses yang sudah dilakukan sebelumnya.94
Sarwono yang menjadi sasaran tanggapan Prof. Ahmad, memilih diam
sebagai jawabannya. Sarwono tidak ingin memberikan respon yang akan
menimbulkan berbagai spekulasi terhadap hubungannya dengan Pingkan.
Diamnya Sarwono tidak berarti menghindar dari pertanyaan, sebab diam juga
dapat berarti sebuah jawaban.
94
Bdk., Sapardi Djoko Damono, op. cit., hlm. 37.
95
Drs. Onong Uchjana Effendy, M.A. Kepemimpinan dan Komunikasi (Bandung: penerbit Alumni,
1981), hlm. 58
96
Ibid.
55
yang berbeda dengan golongan derajat mereka. Sarwono yang mempunyai derajat
budaya Jawa dan agama Islam akan mengalami kesulitan berkomunikasi dengan
kaum Pingkan yang berderajat budaya Manado dan beragama Kristen. Oleh
karena itu, mereka berusaha untuk mengatasi kesulitan derajat ini dengan
menjodohkan Pingkan dengan Pak Tumbelaka, dosen UNSRAT yang menurut
mereka memiliki derajat yang sama dengan mereka, yaitu sama-sama orang
Manado dan beragama Kristen.
4.3.7 Katsuyo dan Sensei Hiro: Sebuah Usaha Melawan Hasrat Diri
Hubungan Sarwono dengan sosok Katsuyo dan Sensei Hiro tidak
dijelaskan oleh Sarpardi dengan terperinci di dalam novel. Hubungan yang
ditampilkan oleh Sapardi lebih menunjukkan suatu kecemasan dari Sarwono yang
akan kehilangan Pingkan apabila nanti Pingkan akan bertemu Katsuyo yang
berada di Jepang. Kecemasan Sarwono ini didasarkan pada pengalaman masa lalu
yang diketahuinya. Katsuyo yang pernah menjadi mahasiswa di Indonesia,
diketahuinya pernah dekat dengan Pingkan.98
Sarwono yang memiliki ketakutan kehilangan Pingkan yang diduganya
akan berpaling ke lain hati apabila bertemu lagi dengan Katsuyo, digambarkan
Sapardi selalu merasa cemas ketika melihat foto Pingkan bersama dengan
Katsuyo. Setiap foto yang dikirim oleh Pingkan selalu diperhatikannya baik-baik,
kalau-kalau sosok katsuyo juga berada di dalam foto tersebut. Sarwono tidak ingin
Katsuyo turut serta dalam setiap foto yang dikirimkan oleh Pingkan kepadanya.
97
Bdk., Sapardi Djoko Damono, op. cit., hlm. 72-74.
98
Ibid., hlm. 122.
56
Dia hanya menginginkan foto Pingkan sendiri tanpa ada Katsuyo di dekatnya.99
4.4 Penantian
Setelah pada akhir bab dua Pingkan digambarkan pergi ke Jepang, Sapardi
selanjutnya memberikan gambaran masa penantian bagi Sarwono dalam bab tiga.
Pada bab tiga diceritakan Sarwono yang telah menyelesaikan pertemuannya
dengan teman-teman dosen dari UGM dan hendak bergegas kembali ke Solo.
Pertemuan ini merupakan kelanjutan cerita yang dibangun oleh Sapardi untuk
menunjukkan bentuk pengalihan pikiran yang dipakai Sarwono dalam menahan
perasaannya kepada Pingkan, yaitu menjalani tugas penelitian yang ditugaskan
Prodi kepadanya.100
57
lebih rendah dari atasan seringkali memberikan pendapat yang berguna untuk
menyenangkan atasannya. Keempat, taraf hati. Pada taraf hati hal utama yang
ditekankan ialah adanya rasa saling memercayai dalam berkomunikasi. Rasa
saling percaya ini terhubung antarpribadi yang melakukan komunikasi. Kelima,
taraf hubungan puncak. Taraf hubungan puncak dapat terlihat dari kehidupan
pasangan suami-istri.103
103
Ibid., hlm. 34.
104
Bdk., Sapardi Djoko Damono, op. cit., hlm. 177.
105
Ibid.
106
Ibid., hlm. 118-120.
58
Tindakan diam sang sopir ini menimbulkan rasa nyaman dalam diri
Sarwono yang pada saat itu sedang membutuhkan waktu untuk sendiri. Dia
bersyukur sopir yang membawanya ke Solo tidak suka untuk ngobrol. Hanya
beberapa kali dirinya diusik dengan pertanyaan-pertanyaan dari sopir yang
menanyakan keadaanya yang terlihat pucat. Tindakan saling mengerti antara sopir
dan Sarwono ini merupakan bentuk pertautan tindakan yang saling
menguntungkan. Adanya saling pengertian di antara mereka berdua
memungkinkan kenyamanan terjadi di antara mereka berdua.107
107
Ibid.
59
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
60
pernyataan verbal maupun non-verbal, sengaja maupun tidak sengaja. Melalui
umpan balik para komunikator dibantu untuk mengetahui apakah pesan mereka
tersampaikan atau tidak dan sejauh mana pencapaian makna telah terjadi dalam
komunikasi yang sedang mereka jalani.
61
memengaruhi perkembangan interaksi selanjutnya yang terjadi di antara manusia.
Demikian halnya dalam pemaknaan terhadap interaksi yang terjadi di dalam
novel. Pemaknaan terhadap interaksi yang terjadi di dalam novel berguna untuk
membantu para penikmat sastra menemukan korelasi pemaknaan yang terjadi di
antara tokoh-tokoh yang saling berinteraksi di dalam novel.
62
seseorang dapat mengutarakan tujuan tertentu yang diinginkannya. Kehidupan
manusia akan tampak hampa apabila tidak ada komunikasi. Karena tanpa
komunikasi, interaksi antarmanusia, baik secara perorangan, kelompok, ataupun
organisasi tidak mungkin dapat terjadi.
Dua orang atau lebih dapat dikatakan melakukan interaksi apabila masing-
masing melakukan aksi dan reaksi. Aksi dan reaksi dilakukan manusia baik secara
perorangan, kelompok, atau organisasi. Oleh karena itu sudah sepantasnya bagi
seseorang pribadi untuk selalu berusaha memahami teknik-teknik komunikasi
yang baik dalam interaksinya. Karena komunikasi yang baik hanya terjadi apabila
orang-orang yang berinteraksi dapat saling mengerti maksud satu dengan yang
lain. Untuk mampu mengerti maksud orang lain diperlukan pula tindakan analisis
terhadap tindakan orang lain. Analisis ini menjadi penting dalam rangka
menentukan tindakan yang tepat untuk merespon interaksi orang lain. Penulis
ingin mengajak pembaca agar selalu membina sikap analisis kritis dalam
interaksinya agar dapat membangun suatu interaksi dan relasi yang baik dalam
kehidupnnya.
DAFTAR PUSTAKA
I. KAMUS
II. BUKU-BUKU
Astika, I Made dan I Nyoman Yasa. Sastra Lisan: Teori dan Penerapannya.
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014.
Damono, Sapardi Djoko. Hujan Bulan Juni. Cet. keenam. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2015.
Danesi, Marcel. Pesan, Tanda, dan Makna; Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika
63
dan Teori Komunikasi. Yogyakarta: Jala Sutra, 2012.
Daryanto dan Muljo Rahardjo. Teori Komunikasi. Yogyakarta: Gava Media, 2016.
Orong, Yohanes. Bahasa dan Sastra Indonesia; Bahan Kuliah di STFK Ledalero.
Ledalero: Penerbit Ledalero, 2014.
Wellek, Rene dan Austin Warren. Teori Kesusastraa., Penerj. Melani Budianti.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2016.
III. ARTIKEL
64
Alver, Fusun dan Sebnem Caglar, “The Impact of Symbolic Interactionism On
Research Studies About Communication Science”, International Journal of
Arts & Sciences, 08(07) 2015.
Plummer, Ken. “Herbert Blumer and the Life History Tradition”. Symbolic
Interaction, 13:2. Ithaka: 1990.
IV. INTERNET
Al-Pakambani, Aas. “Herbert George Blumer 1900 – 1987” Rabu, 27 April 2016,
http://aas-alpakambani.blogspot.com/2016/04/herbert-george-blumer-1900-
1987.html, diakses pada 15 Februari 2019.
65
Part of Mediatheque Network. “Herbert Blumer; American sociologist, player of
american football” https://upclosed.com/people/herbert-blumer/... , diakses
pada 15 Februari 2019.
Szczepanski, Kallie. What Were the Ronin? Feudal Japanese Warriors Serving No
Daimyo, diposting pada 6 Januari 2019, https://www.thoughtco.com/what-
is-a-ronin-195386., diakses pada 2 Mei 2019.
66