Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang


Semantik yang bermula berasal dari bahasa Yunani mengandung makna to
signify atau memaknai.Sebagai istilah teknis, semantik mengandung pengertian “tetang
makna”.Dengan anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, maka semantik
merupakan bagian dari linguistik. Seperti halnya bunyi dan tata bahasa , komponen
makna dalam hal ini juga menduduki tingkatan tertentu. Apabila komponen bunyi
umumnya menduduki tingkat pertama, tata bahasa pada tingkat kedua, maka komponen
makna menduduki tingkatan terakhir.
Hubungan ketiga komponen itu sesuai dengan kenyataan bahwa (a) bahasa pada
awalnya merupakan bunyi abstrak yang mengacu pada adanya lambang-lambang
tertentu, (b) lambang-lambang merupakan seperangkat sistem yang memiliki tatanan dan
hubungan tertentu, dan (c) seperangkat lambang yang memiliki bentuk dan hubungan itu
mengasosiasikan adanya makna tertentu (Palmer, 1981: 5).

B.    Rumusan Masalah


1. Pengetian Pendekatan Ideasional
2. Pengertian Pendekatan Behavioral
3. Pengertian pendekatan Struktural

C.    Tujuan Penulisan


1.    Mengetahui penegertian makna dalam pemakaian sehari-hari
2.    Mengetahui pengertian makna sebagai istilah
3.    Mengetahui pengertian makna dan pendekatan referensial
4.    Mengetahui pengertian dalam pendekatan ideasional
5.    Mengetahui pengertian makna dalam pendekatan behavioral
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendekatan Ideasional


Kelemahan dalam pendekatan referensial, selain telah disebutkan diatas, juga
dikaiakan dengan masalah adanya paradoksal antara keberantungan pada wujud yang
diacu dan subjektifitas dalam memberi julukan. Selain itu, skema konsep yang
dianggap bersifat individual, karena duni kita merupakan dunia yang satu ini jug, pada
akhirnya bisa menjadi milik bersama. Seorang petani adalah salah satu diantara petani
lainnya, seorang penyair adalah satu diantara penyair lainnya. Kelemahan lain yang
sangat menarik sehubungan dengan kajian dalam butir-butir ini adalah meniadakan
hubungan hakiki makna dan bahasa sebagai hubungan antara bentuk dan isi, mencabut
makna dari konvensi dan mengeluarkannya dair konteks komunikasi.
Dalam pendekatan idesional, makna adalah gambaran gagasan dari satu bentuk
kabahsaan yang bersifat sewenang-wenang, tetapi memiliki konvensi sehingga dapat
saling dimengerti. Gambaran kesatuan hubungan antara makna dan bentuk kebahasaan
itu secara jelas dapat dikaji dalam perumus Grice,..... X meant that P adn X mean that P
entail P. Dengan kata lain, X berarti P dan X memaknakan P seperti dimiliki ole P. X
dalam konsep Grice adalah perangkat kalimat sebagai bentuk kebahasaan yang telah
dimiliki satuan gagasan. Kalimat yang berbunyi, X memaknakan P seperti yang
dimiliki P memberikan gambaran tentang keharusan memaknai X sebgai P seperti yang
telah berada dalam konvensi bahwa P adalah P.
Meletakan komponen semantik pada adanya satuan gagasan, bukan berarti
pendekatan idesional mengabaikan makna pada aspek bunyi, kata, dan frase. Jerrold J.
Katz mengungkapkan bahwa penanda semantis dari bunyi, kata, dan frase sebagai unsur-
unsur pembangun kalimat, dapat langsugn diidentifikasi lewat kalimat. Dengan
mengidentifikasi unsur-unsur kalimat itu sebagai satuan gagasan, diharapkan pemaknaan
tidak berlangsung secara lepas-lepas, tetapi sudah mengacu pda kesatuan makna yang
dapat digunakan dalam komunikasi (Katz, dalam Steinberg & Jokobovist, 1978: 297).
Sebab itulah, apabila X adalah kata, menurut Grice, X has meaning NN if it is used and
comunication (Grice, 1957). Atau dengan kata lain, kata setelah berada dalam komunikasi
memiliki potensialitas makna yang bermacam-macam. Mungkin makna 1,2,3... N.
1. .Makna Dalam Pemakaian Sehari-Hari

Dalam pemakaian sehari-hari, kata makna digunakan dalam berbagai bidang


maupun konteks pemakaian. Apakah pengertian khusus kata makna tersebut serta
pembedanya dengan ide, misalnya, tidak begitu diperhatikan. Sebab itu, sudah sejajarnya
bila makna juga disejajarkan pengertiannya dengan arti, gagasan, konsep, pernyataan,
pesan, informasi, maksud, firasat, isi dan pikiran.Berbagai pengertian itu begitu saja
disejajarkan dengan kata makna karena keberadaanya memang tidak pernah dikenali
secara cermat dan dipilah secara tepat.
Dari sekian banyak pengertian yang diberikan itu, hanya arti yang dekat
pengertiannya dengan makna. Meskipun demikian, bukan berarti keduanya sinonim
mutlak.Disebut demikian karena arti adalah kata yang mencakup makna dan pengertian
(cf. Kridalaksana, 1982: 15).Pengertian gagasan pada dasarnya memiliki kesejajaran
pengertian dengan pikiran maupun ide. Sebab itu, dalam bahasa Inggris ketiga kata itu
tercakup dalam kata thought. Lebih lanjut, thought sebagai aktivitas mental meliputi
konsep maupun pernyataan (Hudson, 1980: 75).
Apabila konsep berkaitan dengan olahan ingatan dan kesimpulan, maka istilah
pernyataan berkaitan dengan proposisi dan statemen.Prosuposisi sebagai istilah juga
diberi pengertian berbeda-beda. Sebagai gejala kejiwaan, proposisi adalah gejala
kejiwaan, proposisi adalah isi konsep yang masih kasar yang akan melahirkan statemen.
Sedangkan Lyons lebih cendrung mengartikan proposisi sebagai perwujudan ekspresi
dalam bentuk kalimat, yang bisa benar atau salah (Lyons, 1979: 38).Selain itu, Harimurti
memberi pembatasan pengertian batasan proposisi sebagai konsfigurasi makna yang
menjelaskan isi dari pembicaraan, terjadi dari predikator yang berkaitan dengan satu
argumen atau lebih (Kridalaksana, 1982: 139).
Sehubungan dengan kajian ini, berbeda dengan rumusan diatas, proposisi
diartikan sebagai pernyataan dasar yang masih berada dalam abstraksi pikiran penutur.
Tatanan “saya lapar” yang masih berada dalam pikiran adalah contoh proposisi,
sedangkan perwujudannya dalam kalimat, misalnya, tadi pagi saya tidak sarapan,
seharian saya belum makan, dan sejumlah wujud kalimat lain yang mewakili proposisi
“saya lapar” adalah pernyataan atau statemen.
Baik penyataan proposisi, maupun gagasan yang mencakup pengertian pikiran
dan ide, konsep, pesan, dan maksud pada dasarnya merupakan aspek semantis yang harus
dikembalikan dan berasal dari sender. Pesan atau massage disebut berada pada sender
karena pesan adalah isi koumunikasi dalam sender yang diwadahi oleh tatanan lambang
kebahasaan secara individual (Cherry, 1957: 304; Lyons, 1979: 36). Apabila pesan itu
sudah ditransmisikan lewat signal atau tanda, maka isi pesan itu disebut informasi.
Pemahaman informasi pada diri pembaca, biasa disebut dengan isi atau conteks. Menurut
Lyons, kegiatan penyusuanan pesan tidak dapat terlepas dari enkonding, sedangkan usaha
memahami pesan yang dilakukan penerima pesan disebut dekoding. Apabila dekoding
gagal, informasi dan isi dapat tinggal jadi pesan yang ada pada si penutur.dengan
demikian, komunikasi itu pun belum berhasil.

2. Makna Sebagai Istilah

Kata makna sebagai istilah mengacu pada pengertian yang sangat luas. Sebap itu,
tidak mengherankan bila Odgen & Richards dalam bukunya, The meaning of meaning
(1923), mendaftar enam belas rumusan pengertian makna yang berbeda-beda antara yang
satu dengan yang lainnya. Adapun batasan pemberian makna dalam pembahasan
ini.Makna ialah hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati bersama
oleh para pemakai bahasa sehingga dapat saling mengerti (cf. Grice, 1957; Bolinger,
1981: 108). Dari batasan pengeritan itu dapat diketahui adanya unsur pokok yang
tercakup di dalamnya, yakni (1) makna adalah hubngan antara bahasa dan dunia luar, (2)
penentuan hubungan terjadi karen adanya kesepakatan para pemakai, serta (3)
perwujudan makna itu dapat digunakan untuk menyampaikan informasi sehingga dapat
saling mengerti.
Bagaimana bentuk antara hubungan antara makna dan dunia luar?Dalam hal ini
terdapat tiga pandangan filosofis yang berbeda-beda antar yang satu dengan yang
lainnya.Ketiga pandangan yang dimaksud itu adalah (1) realisme (2) nominalisme (3)
konseptualisme.Realisme beranggapan bahwa terhadap wujud dunia luar, manusia selalu
memiliki jalan pikiran tertentu.Terhadap dunia luar, manusia selalu memberikan gagasan
tertentu. Sebab itu, pemaknaan antara “makna kata” dengan “wujud yang dimaknai”
selalu memiliki hubungan yang hakiki.
Pandangan bahwa antara “makna kata” dengan “wujud yang dimaknai” memiliki
hubungan yang hakiki, akhirnya menimbulkan klasifikasi makna kata yang dibedakan
antara yang konkret, abstrak, tunggal, jamak, khusus, maupun yuniversal. Penentuan
bentuk hubungan itu ternyata tidak selamanya mudah. Batas antara benda kongkret dan
abstrak, khusu atau universal, sering kali sulit ditentukan. Dalam situasi demikian, apa
atau siapa yang menentukan, penentuan itu bersifat objekgtif ataukah subjektif? Selain
itu, makna suatu kata, makna denotatumnya dapat berpindah-pindah.Kata mendung,
misalnya, selain dapat diacukan pada benda, juga dapat diacukan ke dalam “suasana
sedih”. Pada sisi lain, referen yang sama dapat ditunjukan oleh kata-kata yang berbeda-
beda. Sudin sebagai guru, ayah dan anak-anaknya, suami atau tetangga yang baik dapat
disebut sebagai pak guru, bapak, mas oom maupun sebutan lainnya. Sebab itulah kaum
nomalis menolak anggapan bahwa antara kata dengan wujud luar terdapat hubungan
(Lyons, 1979: 111)
Dalam nominalisme, hubungan antar makna kata dengan dunia luar semata-mata
bersifat arbitrer meskipun sewenang-wenang penentuan hubungannya oleh para pemakai
dilatari oleh adanya konvensi.Sebab itulah, penunjuk makna kata bukan bersifat
perseorangan, melainkan memiliki kebersamaan.Dari adanya simbolik bahasa yang tidak
lagi diikat oleh dunia yang diacu itulah, bahasa akhirnya lebih membuka peluang untuk
menjadikan media memahami realitas, bukan realitas yang dikaji untuk memahami
bahasa.

3. Makna dan Pendekatan Referensial


Berarti telah diketahui, bahasa memiliki berbagai fungsi. Tiga fungsi bahasa yang
relevan diangkat sebagai pijakan awal pembahasan masalah (1) pendekatan referensial
(2) pendekatan ideasional serta (3) pendekatan behavioral ini adalah, fungsi bahasa
sebagai (1) wakil realitas yang menyertai sebagai proses berfikir manusia secara
individual, (2) sebagai media yang dalam mengolah pesan dan menerima informasi, serta
(3) sebagai fakta sosial yang mampu menciptakan berbagai bentuk komunikasi. Apabila
fungsi pertama menjadi pijakan awal pendekatan referensia, fungsi kedua menjadi dasar
kajian pendekatan ideasional, makna fungsi ketiga adalah pusat pandang dari pendekatan
behavioral.
Dalam pendekatan referensial, makna diartikan sebagai label yang berada dalam
kesadaran manusia untuk menunjuk dunia luar.Sebagai lebel atau julukan, makna itu
hadir karena adanya kesadaran pengamatan terhadap fakta dan penarikan kesimpulan
yang keseluruhanny berlangsung secara subjektif.Terdapatnya julukan simbolik dalam
kesadaran individual itu, lebih lanjut memungkinkan manusia untuk menyusun dan
mengembangkan skema konsep. Kata pohon, misalnya, berdasarkan kesadaran
pengamatan dan penarikan kesimpulan, bukan hanya menunjuk jenis-jenis tumbuhan,
melainkan memperoleh julukan sebagai “ciptaan”, “hidup”, “fana”, sehingga pohon
dalam baris puisi Goenawan Muhammad disebutnya.... berbagai dingin di luar
jendela/mengekalkan yang esok yang mungkin tak ada.
Kesadaran pengamatan dan penarikan kesimpulan dalam pemberian julukan, dan
pemaknaan tersebut, berlangsung melalui bahasa.Akan tetapi, berbeda dengan bahasa
keseharian, bahasa yang digunakan disitu adalah bahasa perseorangan atau private
language (Harman, 1968).Dengan demikian, makna dalam skema konsep dapat
merambah ke dunia absurt yang mempribadi dan terasing dari komunikasi keseharian.
Sehubungan dengan kegiatan berpikir, manusia berpikir menggunakan bahasa yang juga
bisa digunakan dalam komunikasi. Sebab itulah, kegiatan kegiatan pengolahan pesan
lewat bahasa atau encoding, penyampaian pesan lewat bahasa atau koding.
Komponen pembabangun gagasan dalam enkode menurut Jerold Katz bisa saja
tidak sama persis dengan kode. Akan tetapi, yang pasti, hubungan linear itu haru diikut
daur, yakni hubunan timbal balik antara penyampai dan penerima pesan yang ditandai
oleh adanya “saling mengerti”. Grice juga menyebutkan suatu bentuk kebahasaan itu
dimaknai P oleh penutur adalah apabila pemaknaan P itu secara laras nantinya juga
dimaknai P oleh pendengarnya.

B.   Pengertian Tentang Makna Dalam Pendekatan Behavioral


Dalam dua pendekatan yang telah diurai di depan, dapat diketahui bahwa (1)
pendekatan reveresiala dapat mengkaji makna lebih menekankan pada fakta sebagai
objek kesadaran pengamatan dan penarikan kesimpulan secara individual, dan (2)
pendekatan ideasional lebih menekankan pada keberadaan bahasa sebagai media dalam
mengolah pesan dalam menyampaikan informasi. Keberatan dari pendekatan
behavioral terhadap kedua pendekatan tersebut, salah satunya adalah, kedua pendekatan
itu telah mengabaikan konteks sosial dansituasional yang oleh kaum behavioral
dianggap berperan penting dalam menentukan makna.
Kritik lain terhadap pendekatan diatas adalah pada objek kajian utama yang
justrul tidak pernah diobservasikan secara langsung. Pernyataan dalam kajian
ideasional yang berkaitan dengan keselarasan pemahaman antara penutur dengan
pendengar dalam memaknai kode misalnya, dalam pendekatan behavioral dianggap
kajian spekulatif karena pengkaji dianggap tidak mampu meneliti karakteristik idea
atau pikiran penutur pendengar, sejalan dengan katifitas pengolahan pesan dan
pemahamannya. Sebab itualah, kajian makna yang bertolak dari pendekatan behavioral,
mengkaji makna dalam peristiwa ujaran (speech event) yang berlangsung dalam situasi
tertentu (speech situation). Satuan tuturan atau unit tekecil yang mangandung makna
penuh dari keseluruhan atau speech event yang berlangsung dalam speech situation
disebut speech act (Hymes, 1972: 56).
Penentuan makna dalam speech act menurut Searle harus bertolak dari berbagai
kondisi dan situasi yang melatari pemunculanannya (Searle, 1969). Unik ujaran yang
berbunyi masuk! Misalnya dapat berarti “di dalam garis” bila muncul misalnya dalam
permainan bulu tangkis, “berhasil” bagi yang main lotre, “silahkan ke dalam” bagi
tamu dan tuan rumah, ”hadir” bagi mahasiswa yang dipresetasi Pak Dosen. Makna
keseluruhan unit ujaran itu dengan demikian harus disesuaikan dengan latar situasi dan
bentuk sosial interaksi yang mengkondisikannya.
Konsep yang antara lain dikembangkan oleh Autin , Here, Searle, Alston, dll.,
akhirnya juga tidak dapat terlepas dari kritik. Kritik utama, yang datang dari Chomsky,
menganggap bahwa meletakan unsur luar bahasa sejajar dalam bahasa dalam rangka
menghadirkan makna, berarti menghilangkan aspek kreatif bahasa itu sendiri yang
dapat digunakan untuk mengekpresikan gagasan secara bebas.
Bahasa sebagai suatu sistem adalah “sistem dari sistem”. Perbendaharaan kata
atau leksikon pemakaiannya bukan hanya memperhatikan kaidah leksikal dan
gramatikal, melainkan juga ditentukan oleh refresentasi semantik. Konponen
refresentasi semantik yang menunjuk dunia luar pada dasarnya telah mengandung
“sistem luar biasa” itu ke dalam dirinya. Dengan demikian, konteks sosial dan
situasional sebagai sutu sistem bukan berada di luar bahasa, melainkan berada di dalam
dan mewarnai keseluruahan sistem kebahasaan itu sendiri (cf. Mc Cawley, 1978: 176)
baru setelah unsur yang tercakup di dalam deep structure itu laras, hadirlah surface
struture yang pemunculannya dalam tuturan juga memperhatikan kaidah fonologi atau
phonological rules. Konsep demikian, sedikit banyak juga mewaranai kajian semiotik
yang dilaksanakan oleh Moris.

1. Penerapan Tiga Pendekatan Dalam Studi Makna


Dari ketiga pendekatan yang telah diuraika diatas, dapat disimpulkan bahwa
pendekatan pertama mengaitkan makna dengan masalah nilai juga proses berfikir
manusia dalam memahami realitas lewat bahasa secar benar, pendekatan kedua
mengaitkan makna dengan kegiatan menysun dan meyampaikan kegiatan lewat bahas,
dan pendekatan ketiga mengaitkan makna dengan fakta pemakaian bahasa dalam konteks-
sosialsituasional. Dengan demikian, keberadaan ketiga pendekatan tersebut lebih
menyerupai satu rangkaian. Sebab itulah, Gilbert H. Harman, misalnya, yang tidak
menyetujui pemakaian ketiga istilah pendekatan tersebut, lebih puas dengan
menggunakan istilah three levels of meaning (1968)
Lebih lanjut, konsep dalam ketiga pendekatan itu masing-masing terus
berkembang dan menebarkan pengaruhnya. Konsep dalam pendekatan pertama, misalnya
yang dilandasi pemikiran para fisup seperti John Dewey, Rudolf Carnap, maupun Bertad
Russell, akhirnya memang lebih dengan kontemplasi dalam upaya memahami realitas
secara benar. Kajian yang erat dengan masalah filsafat itupun sebenarnya tidak asing dari
kehidupan manusia pada umumnya. Hal itu terjadi karena di samping mahluk berpikir,
manusia adalah juga mahluk pencari makna, kegiatan soliloquy, ngudarasa, atau yang
oleh Pak Anton Mulyono diindonesiakan dengan ekacakap, oleh Dewey diartikan sebagai
......... is the product and reflex of converse with others, sebagai suatu dialog antara diri
dengan dunia luar yang telah bersif.....transedental.
Selain itu, dalam tingkatan yang paling sederhana, kata itu sendiri hadir karena
adanya dunia luar. Kat perang bintang atau kartika yuda, bis susun, jembatan layang,
adalah kata-kata yang hadir untuk menamai luar. Dengan demikian, pada tingkat awal,
antara makan dan dunia luar. Dengan demikian, pada tingkat awal, antara makna dengan
dunia luar memang terdapat wigati.
Sebab itulah dalam kajian semantik, pendekatan referensial umumnya digunakan
pada awal kajian. Bahkan tokoh seperti Stephen Ulman yang banyak memberikan kritikan
terhadap refresential, konsep yang diajukan sehubungan dengan keberadaan makna, yakni
name, ‘bentuk fonetis kata’ sense ‘pengertian’, serta thing ‘referen acuan’ tidak lebih
hanya pembahasan dari model pembagian signifiant dan signifie dari Sausure yang
digabungkan dengan Basic triangle Ogden & Richard yang sebagai konsep yang oleh
Ulman diketahui bertolak dari pendekatan referensial (Ulman, 1977:57)
Apabila pendekatan referensial lebih berpusat pada masalah “bagaimana
mengolah suatu realitas secara benar” maka kajian semantik lewat pendekatan lewat
pendekatan ideasional lebih menekankan pada masalah “bagaimana menyampaikan
makan lewat struktur kebahasaan secar benar tanpa mengabaikan kesalarasan
hubungannya dengan realitas”. Pusat permasalahan dalam pendekatan ideasional itu
dalam kajiannya ternyata menunjukan adanya perbedaan.
Pengkajian semantik yang bertolak dari kajian pandangan generatif transformasi,
misalnya, meskipun sama-sama bertolak dari konsep dasar bahwa tata bahasa dalam
setiap bahasa adalah a system of rules that expreses the correspondence between sound
and meaning in this language (Comsky, 1971: 182), dalam pengembangan berikutnya
menghadirkan dua kubu yang berbeda. Kedua kubu tersebut lazim disebut (1) semantik
interpretif yang dikembangkan antara lain oleh Katz, Fodor, maupun Comsky sendiri dan
Morris Helle, serta (2) semantik generatif yang dikembangkan sendiri oleh filmore, Bach,
R lakop, George Lakoff, Mc Kauley, dan lain-lain (Lakoff, 1971: 232).
Perbedaan utama dari kedua itu ialah, kajian dalam semantik iteretatif
beranggapan bahwa komponen refresentasi semantik memiliki tingkatan tersendiri
sebelum deep strukture. Komponen refresentasi sematik itu berisis semantik content of
lexical item yang akhirnya membentu post leksikal strukture sebagai butir leksikon yang
membangun deep strukture (Chomsky, 1971: 185) wawasan tersebut tidak sesuai dengan
pandangan semanti generatif yang sebenarnya juga berpijak pada konsep generatif
transformasi yang dikembangkan oleh Chomsky. Bagi mereka, pemilihan tingkat
komponen refresentasi sematis lewat struktur dalam itu pad dasarnya tidak perlu karena
keduanya identik.
2 . Peroses Kejiwaan dan Penguasaan Lambang Dalam Pemaknaan
Dalam komunikasi sehari-hari, keempat unsur yang disebutkan Osgood di atas,
bisa jadi tampil secara simultan dan spontan.akan tetapi adankalanyaproses mekanistis itu
mengalami hambatan. Hali itu terjadi apabila penanggap menjumpai bentuk kgusus yang
berada di luar pembendaharaan pengalamannya dalam komunikasi keseharian. Bentuk
khusus tersebut menjadi “sesuatu yang asing” bagi penanggap, mungkin karena (a) pilihan
kata dan penataan stukturnya, (b) acuan maknanya sudah dipertinggi,atau mungkin (c)
gambar peristiwanya telah terasa lepas dari kehidupan rutin keseharian. Kalimat
Goenawan Mohammad yang berbunti Sang Iblis adalah kecongkakan diterkam oleh
fikiran ragu,adalah slah satu contoh paparan itu secara keseluruhan. Contohnya lain
paparan demikian dpat dijumpai di dalam karya sastra, baik puisi maupun prosa fiksi.
Menjumpai paparan demikian, proses psikologis penanggap dalam upaya
memahaminya menjadi rangkap. Hal itu terjadi karena kata bukan hanya berkaitan
dengan denotatum, melainkan juga desingnatum. Dalam kegiatan designatif, mungkin
sekali terjadi pembayangan yang bertentangan, mendatangkan keraguan. Dan mungkin
juga absurd. Maka bukan hanya menunjuk pada tanda, bukan hanya menunjuk pada fakta
keseharian, melainkan juga menunjukan hanya pada sesuatu yang mempribadi, pada
realitas lain yang transcendental.
Dalam situasi demikian memory bukan hanya berkaitan dengan ingatan makna
kata, relasi makna dalam stuktur maupun pemakaian, melainkan juga menunjuk pada
skema konsep pada sejumlah julukan suatu fakta yang dibentuk oleh pikiran maupun
pengetahuan penanggap. Dalam hal demikian itulah, konsep makna seperti yang diajukan
oleh teori referensial menjadi begitu wigati. Sebab itulah, penanggap yang menguasai
bahasa hanya pada tataran fungsi instrumental, yakni sebagai alat dalam memenuhi
kebutuhan fisis sehari-hari, akan membaca paparan itu sebagai sesuatu yang “aneh”.
Dalam hal demikian, keberadaan bahasa dalam fungsi personal, heuristik, dan imajinatif,
sedikit banyak sudah harus dirambah oleh penanggap.
C. PENDEKATAN STRUKTURAL
Pendekatan struktural merupakan pendekatan intrinsik, yakni membicarakan
karya tersebut pada unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Pendekatan
tersebut meneliti karya sastra sebagai karya yang otonom dan terlepas dari latar belakang
sosial, sejarah, biografi pengarang dan segala hal yang ada di luar karya sastra (Satoto,
1993: 32). Pendekatan struktural mencoba menguraikan keterkaitan dan fungsi masing-
masing unsur karya sastra sebagai kesatuan struktural yang bersama-sama menghasilkan
makna menyeluruh (Teeuw, 1984: 135).
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa pendekatan struktural adalah suatu
pendekatan dalam ilmu sastra yang cara kerjanya menganalisis unsur-unsur struktur yang
membangun karya sastra dari dalam, serta mencari relevansi atau keterkaiatan unsur-
unsur tersebut dalam rangka mencapai kebulatan makna.
Pendekatan struktural juga merupakan pendekatan yang memandang dan
memahami karya sastra dari segi struktur itu sendiri. Pendekatan ini memahami karya
sastra secara close reading (membaca karya sastra secara tertutup tanpa melihat
pengarangnya, realitas, dan pembaca).
1. Tujuan Pendekatan Struktural
Pendekatan struktural bertujuan membongkar dan memaparkan secermat, seteliti,
semendetil, dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan
aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw,
1984).

2  Unsur-unsur Intrinsik Dalam Pendekatan Struktural


Struktur karya sastra (fiksi) terdiri atas unsur unsur alur, penokohan, tema, latar dan
amanat sebagai unsur yang paling menunjang dan paling dominan dalam membangun
karya sastra (fiksi) (Sumardjo, 1991:54).
a.    Alur (plot)

Dalam sebuah karya sastra (fiksi) berbagai peristiwa disajikan dalam urutan
tertentu (Sudjiman, 1992: 19). Peristiwa yang diurutkan dalam menbangun cerita itu
disebut dengan alur (plot). Plot merupakan unsur fiksi yang paling penting karena
kejelasan plot merupakan kejelasan tentang keterkaitan antara peristiwa yang
dikisahkan secara linier dan kronologis akan mempermudah pemahaman kita terhadap
cerita yang ditampilkan. Atar Semi(1993: 43) mengatakan bahwa alur atau plot adalah
struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interrelasi fungsional
yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dlam keseluruhan karya fiksi.

Lebih lanjut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2000: 113) mengemukakan bahwa


alur atau plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya
dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan
peristiwa yang lain. Dalam merumuskan jalan cerita, pembaca dapat membuat atau
menafsirkan alur cerita melalui rangkaiannya. Luxemburg memberikan kebebasan penuh
dalam menafsirkan atau membangun pemahaman dari jalannya cerita.

Alur bisa dilihat sebagai konstruksi yang dibuat oleh pembaca mengenai
sebuah deretan peristiwa atau kejadian yang saling berkaitan secara logis dan kronologis,
serta deretan peristiwa itu diakibatkan dan dialami oleh para tokoh (1986: 112). Karena
alur berusaha menguraikan jalannya cerita mulai awal sampai akhir cerita.
Masih mengenai alur (plot), secara estern Mursal (1990: 26) merumuskan
bahwa alur bisa bermacam-macam, seperti berikut ini:
 Alur maju (konvensional Progresif ) adalah teknik pengaluran dimana jalan
peristriwa dimulai dari melukiskan keadaan hingga penyelesaian.
 Alur mundur (Flash back, sorot balik, regresif), adalah teknik pengaluran dan
menetapkan peristiwa dimulai dari penyelesaian kemudian ke titik puncak
sampai melukiskan keeadaan.
 Alur tarik balik (back tracking), yaitu teknik pengaluran di mana jalan cerita
peristiwanya tetap maju, hanya pada tahap-tahap tertentu peristiwa ditarik ke
belakang (1990: 26). Melalui pengaluran tersebut diharapkan pembaca dapat
mengetahui urutan-urutan atau kronologis suatu kejadian dalam cerita,
sehingga bisa dimengerti maksud cerita secara tepat.
b. Tokoh
Dalam pembicaraan sebuah fiksi ada istilah tokoh, penokohan, dan
perwatakan. Kehadiran tokoh dalam cerita fiksi merupakan unsur yang sangat penting
bahkan menentukan. Hal ini karena tidak mungkin ada cerita tanpa kehadiran tokoh
yang diceritakan dan tanpa adanya gerak tokoh yang akhirnya menbentuk alur cerita.
Rangkaian alur cerita merupakan hubungan yang logis yang terkait dalam waktu.

Pendefinisian istilah tokoh, penokohan dan perwatakan banyak diberikan


oleh para ahli, berikut ini beberapa definisi tersebut:
 Tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita (Nurgiyantoro, 2000: 165)
Penokohan adalah bagaimana pengarang menampilkana tokoh-tokoh dalam
ceritanya dan bagaimana tokoh-tokoh tersebut, ini berarti ada dua hal penting,
yang pertama berhubungan dengan teknik penyampaian.
 Tokoh berhubungan dengan watak atau kepribadian tokot-tokoh tersebut
(Suroto, 1989: 92-93). Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan
sikap para tokoh seperti ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas
peribadi seorang tokoh (Nurgiyantoro, 2000: 165). Penokohan atau karakter atau
disebut juga perwatakan merupakan cara penggambaran tentang tokoh melalui
perilaku dan pencitraan. Panuti Sudjiman mencerikan definisi penokohan adalah
penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh (1992: 23).
 Hasim dalam (Fanani, 1997: 5) bahwa penokohan adalah cara pengarang
untuk menampilkan watak para tokoh di dalam sebuah cerita karena tanpa
adanya tokoh, sebuah cerita tidak akan terbentuk.
Untuk mengenal watak tokoh dan penciptaan citra tokoh terdapat beberapa cara, yaitu:
 Melalui apa yang diperbuat oleh tokoh dan tindakan-tindakannya, terutama
sekali bagaimana ia bersikap dalam situasi kritis.
 Melalui ucapan-ucapan yang dilontarkan tokoh.
 Melalui penggambaran fisik tokoh. Penggambaran bentuk tubuh, wajah dan
cara berpakaian, dari sini dapat ditarik sebuah pendiskripsian penulis tentang
tokoh cerita.
 Melalui jalan pikirannya, terutama untuk mengetahui alasan-alasan
tindakannya.
 Melalui penerangan langsung dari penulis tentyang watak tokoh ceritanya.
Hal itu tentu berbeda dengan cara tidak langsung yang mengungkap watak
tokoh lewat perbuatan, ucapan, atau menurut jalan pikirannya (Sumardja,
1997: 65-66).

Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh, tokoh cerita dibedakan
menjadi dua yaitu tokoh utama (central character, main character)dan tokoh tambahan
(pheripheral character) (Nurgiyantoro, 2000: 176-178). Tokoh utama adalah tokoh yang
diutamakan penceritaannya. Tokoh ini tergolong penting. Karena ditampilkan terus
menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita. Karena tokoh utama paling
banyak ditampilkan ada selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat
menentukan perkembangan plot secara keseluruhan.
Tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali
dalam cerita dan itu bersifat gradasi, keutamaannya bertingkat maka perbedaan antara
tokoh utama dan tambahan tidak dapat dilakukan secara pasti.
Karena tokoh berkepribaduian dan berwatak, maka dia memiliki sifat-sifat karakteristik
yang dapat dirumuskan dalam tiga dimensi, yaitu ;
 Dimensi fisiologis, adalag ciri-ciri badan, misalnya usia (tingkat
kedewasaan), jenis kelamin, keadaaan tubuh, ciri-ciri muka, dan lain
sebagainya.
 Dimensi sosiologis, adalah ciri kehidupan masyarakat, misalnya status sosial,
 pekerjaan, peranan dalan masyarakat, tingkat pendidikan, dan sebagainya.
 Dimensi psikologis, adalah latar belakang kejiwaan, misalnya mentalitas,
tingkat kecerdasan dan keahliannkhusus dalam bidang tertentu (satoto, 1993:
44-45).

c. Latar (setting)
Kehadiran latar dalam sebuah cerita fiksi sangat penting. Karya fiksi sebagai
sebuah dunia dalam kemungkinan adalah dunia yang dilengkapi dengan tokoh penghuni
dan segala permasalahannya. Kehadiran tokoh ini mutlak memerlukan ruang dan
waktu.Latar atau setting adalah sesuiatu yang menggambarkan situasi atau keadaan
dalam penceriteraan. Panuti Sudjiman mengatakan bahawa latar adalah segala
keterangan, petunjut, pengacuan yang berkaiatan dengan waktu, ruang dan suasana
(1992:46). Sumardjo dan Saini K.M. (1997: 76) mendefinisikan latar bukan bukan
hanya menunjuk tempat, atau waktu tertentu, tetapi juga hal-hal yang hakiki dari suatu
wilayah, sampai pada pemikiran rakyatnya, kegiatannya dan lain sebagianya.
Latar atau setting tidak hanya menyaran pada tempat, hubungan waktu maupun
juga menyaran pada lingkungan sosial yang berwujud tatacara, adat istiadat dan nilai-
nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutan.
 Latar tempat
 Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan
dalam sebuah karya fiksi. Latar tempat berupa tempat-tempat yang dapat
dijumpai dalam dunia nyata ataupun tempat-tempat tertentu yang tidak disebut
dengan jelas tetapi pembaca harus memperkirakan sendiri. Latar tempat tanpa
nama biasanya hanya berupa penyebutan jenis dan sifat umum tempat-tempat
tertentu misalnya desa, sungai, jalan dan sebagainya. Dalam karya fiksi latar
tempat bisa meliputi berbagai lokasi.
 Latar waktu menyaran pada kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya
dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat
dikaitkan dengan sejarah. Pengetahuan dan persepsi pembaca terhadap sejarah
itu sangat diperlukan agar pembaca dapat masuk dalam suasana cerita.

 Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku


kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalan karya fiksi.
Perilaku itu dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, pandangan
hidup, pola pikir dan bersikap. Penandaan latar sosial dapat dilihat dari
penggunaan bahasa daerah dan penamaan terhadap diri tokoh.

d. Tema dan Amanat


Secara etimologis kata tema berasal dari istilah meaning, yang berhubungan arti,
yaitu sesuatu yang lugas, khusus, dan objektif. Sedangkan amanat berasal dari kata
significance, yang berurusan dengan makna, yaitu sesuatu yang kias, umun dan subjektif,
sehingga harus dilakukan penafsiran. Melalui penafsiran itulah yang memungkinkan
adanya perbedaan pendapat (Juhl dalam Teeuw, 1984: 27). Baik pengertian tentang
“arti” maupun “makna” keduanya memiliki fungsi yang sama sebagai penyampai
gagasan atau ide kepengarangan.
Lebih jauh Sudjiman memberikan pengertian bahwa tema merupakan gagasan,
ide atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra (1992:52). Mengenai adanya
amanat dalam karya sastra bisa dilihat dari beberapa hal, seperti berikut ini:
“dari sebuah karya sastra adakalanya dapat diangkat suatu ajaran moral atau pesan yang
ingin disampaikan pengarang, itulah yang disebut amanat.
Jika permasalahan yang diajukan juga diberi jalan keluarnya oleh pengarang,
maka jalan keluarnya itulah yang disebut amanat. Amanat yang terdapat pada sebuah
karya sastra, bisa secara implisit (tersirat) ataupun secara eksplisit(terang-terangan).
Implisit jika jalan keluar atau ajaran moral diisyaratkan dalam tingkah laku tokoh
menjelang cerita berakhir. Eksplisit jika pengarang pada tengah atau akhir cerita
menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasehat, dan sebagainya. (Sudjiman, 1992: 57-
58).
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dapat disimpulkan pendekatan semantik ada tiga aspek, Pendekatann ideasional
mengaitkan makna dengan masalah nilai proses berpikir manusia dlam memahami
realitas lewat bahasa secara benar, pendekatan kedua mengaitkan makna dengan kegiatan
pendekatan behavioral dan mengaitkan makna dengan fakta pemakaian bahasa, dan
pendekatan ketiga pendekatan struktural mengaitkan makna dengan fakta pemakaian
bahasa dlam konteks sosial-situasional.
Tujuan dari pendekatan struktural dalam karya satra yaitu membongkar dan
memaparkan secermat, seteliti, semendetil, dan semendalam mungkin keterkaitan dan
keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna
menyeluruh (Teeuw, 1984). Unsur-unsur Intrinsik dalam pendekatan struktural ada 4
yaitu : alur (plot), tema dan amanat, latar (tempat, waktu, dan sosial), dan tokoh.
B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini, banyak kekurangan dan keterbatasan dalam
pengetahuan penulis, begitu pula kurangnya rasa ingin tahu dari penulis. Saya Berharap
kepada pembacaagar bisa memakluminya, jika terdapat adanya kesalahan dalam
penulisan atau kata-kata dalam makalah dalam makalah saya ini. Adapun kebenaran itu
datangnya dari Allah SWT dan kekurangannya datangnya dari penulis. penulis berharap
pembaca tidak puas dengan makalah dengan makalah saya ini dan akhir kata saya
ucapkan terimakasih.

Anda mungkin juga menyukai