Anda di halaman 1dari 41

LINGUISTIK

OLEH :

HASMIAH 2153028

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
COKROAMINOTO PINRANG
TAHUN AKADEMIK 2018

1
KATA PENGANTAR
Segala puji dan puji bagi sang ilahi, serta muara cinta bagi seluruh insan yang
merindukannya. Atas karna cintahnya sehinggah kita semua selaku insan
perindu dapat berada pada dunia ini untuk mengemban amanah
terkhususnya dalam menyelesaikan tugas makalah ini, yang diberikan oleh
dosen pembimbing kami A.Yusdarwati yusuf M,S,pd,M,pd.
Makalah ini kami rangkum dari berbagai jenis sumber website atau
google kemudian saya sempurnahkan dan disusun sedimikian rupa
sehinggah jadilah makalah ini dengan harapan yang besar supaya dosen
dapat memberikan kami penambahan nilai sebagai penyempurnah ilmu yang
kami dapatkan.
Tak lupa kami ucapkan terimah kasih yang setulusnya kepada
kakanda-kakanda, senior-senior, teman-teman maupun orangtua kami yang
senantiasa memberikan masukan dan bimbingan. Kami menyadari bahwa
penyusunan makalah ini belum sepenuhnya sempurnah bahkan jauh dari
kesempurnaan. Oleh karna itu, kami sangat membutuhkan apresiasi atau
masukan yang membangun untuk perbaikan makalah ini bukan hanya
sekedar mengkritik karna semua kita bisa mengkritik namun tidak mudah
untuk memberi masukan yg membangun.

Pinrang, 13 Juli 2018

Penyusun,

2
DAFTAR ISI
Kata pengantar.......................................................................................................................................
...................................................................................................................................................................... i

Daftar isi ..................................................................................................................................................


...................................................................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................


................................................................................................................................................... 1

A. Latar belakang .......................................................................................................................


...................................................................................................................................................... 1
B. Rumusan masalah ................................................................................................................
...................................................................................................................................................... 1
C. Tujuan penulisan ..................................................................................................................
...................................................................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN .........................................................................................................


................................................................................................................................................... 3

A. Sosiolingustik .........................................................................................................................
...................................................................................................................................................... 3
B. Penelitian sosiolinguistik .................................................................................................. 3
C. Interferensi Fonologis ........................................................................................................ 3
D. Pembentukan Korespondensi Fonemis.....................................................4
E. Metode Rekonstruksi.............................................................................................. 8
F. Implikasi Rekontruksi ............................................................................................ 19

BAB III PENUTUP 36


A. Kesimpulan ................................................................................................................. 36
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................38

3
BAB 1
PENDAHULUAN
A. latar Belakang
seringkali kita ingin mengetahui apakah bunyi-bunyi, bentuk-bentuk kata,
dan gramatikal bahasa A sana dengan bahasa B.  Upaya membandingkan
bahasa bahasa itu sama usianya dengan timbulnya ilmu bahasa itu sendiri.
Hal itu tidak dapat dihindari sebab perkenalan antara bahasa yang satu
dengan yang lain selalu menarik perhatian orang untuk mengadakan
perbandingan terhadap aspek-aspek bahasa tersebut. Upaya untuk
meletakkan dasar-dasar perhatian tentang perkembangan dan kekerabatan
antara bahasa-bahasa di dunia, mencoba menemukan unsur pengaruh
timbal-balik antara bahasa-bahasa yang pernah mengadakan kontak dalam
sejarah adalah merupaka upaya pengkajian Linguistik Komparatif. Kalau
melihat sub-cabang ilmu ini, maka pengertian yang tercakup dalam Linguitik
Komparatif mencakup perbandingan atas segi-segi deskriptif-sinkronos, juga
mencakup segi-segi historis-diakronis. Ia mencakup segi-segi yang bertalian
gengan garis keturunan bahasa bahasa atau bidang geonologinya, dan juga
segi-segi struktural/tipologinya.
Selain kegunaan serta manfaat yang telah diberikan dimuka, masih
terdapat pula kegunaan dan manfaat tambahan dilihat dari suatu
pandanagn yang lebih luas. Sebenarnya, tindak ada satu ilmu
pengetahuan yang terpisah dari cabang ilmu pengetahuan yang lain.
Setiap ilmu pengetahuan pada kesempatan awal/pertama menjadi titik
pusat peneropongan dalam bidang itu sendiri. Sedangkan bidang-bidang
pengetahuan yang lain bertindak sebagai ilmu bantu, dan begitu juga
sebaliknya. Bertitik tolak dari perian itu, maka Linguistik Komparatif
dalam kedudukan sentral pembahasan dapat menerima bantuan dari
cabanag-cabang ilmu lain, seperti :Fonologi, Antropologi, Arkeologi,
Sosiologi dan sebagainya, sehungga kaidah-kaidah atau kesimpulan-

4
kesimpulan yang diambil untuk kepentingan disiplin ilmu, lebih kuat dan
dapat bertahan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di awal makalah,
rumusan masalah yang akan dibahas, antara lain:
1. Pengertian Sosiolinguistik
2. Penelitian Sosiolinguistik
3. Bagaimana mendeskripsikan pembentukan korespondensi?
4. Bagaimana pembentukan korespondensi fonemis?
5. Apa yang terdapat dalam metode rekonstruksi dan implikasi
rekontruksi?
6. Apa saja bagian yang terdapat dalam pengelompokkan?

C. Tujuan
1. Mengetahui deskripsi pembentukkan korespondensi.
2. Mengetahui pembentukkan korespondensi fonemis.
3. Mengetahui yang terdapat dalam metode rekonstruksi dan implikasi
rekontruksi.
4. Mengetahui bagian yang terdapat dalam pengelompokkan.

5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sosiolinguistik
a. Pengertian Sosiolinguistik
Istilah sosiolinguistik terdiri dari dua unsur: sosio dan linguistik. Kata sosio
berasal dari sosial yaitu yang berhubungan dengan masyarakat, kelompok-
kelompok masyarakat dan aktifis kemasyarakatan. Sedangkan linguistik adalah ilmu
yang mempelajari tentang bahasa, khususnya unsur-unsur bahasa (fonem, morfem,
kata dan kalimat) dan hubungan antar unsur-unsur (struktur) bahasa tersebut
(http://library.usu.ac.id/download/fs/fs-mulyani.pdf-Similar pages The Truth Is
Out There).

Menurut J.A Fishman (dalam Chaer dan Agustina 2004:4) mendefinisikan


sosiolinguistik sebagai kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi
bahasa, dan pemakai bahasa karena ketiga unsur ini selalu berinteraksi, berubah,
dan saling mengubah satu sama lain dalam suatu masyarakat tutur. Obyek dalam
kajian sosiolinguistik dilihat atau didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi
di dalam masyarakat manusia.

B. Penelitian Sosiolinguistik
Bahasa sastra dapat menjadi objek kajian bidang linguistik. Dalam hal ini
yang dimaksud bukan membuat suatu kritik sastra, tetapi lebih bersifat mengkaji
unsur kebenaran, unsur pemakaian bahasa dalam cipta sastra. Oleh karena itu,
bahasa sastra dapat dikaji secara mikrolinguistik dan secara makroliguistik. Dari sisi
mikrolinguistik dapat dibuktikan atau dijelaskan bahwa suatu teori linguistik dapat
menggunakan data bahasa sastra. Dari sisi makrolinguistik bahasa dapat dikaji
secara interdisipliner dan secara terapan. Bersifat interdisipliner berarti kajian
bahasa yang memanfaatkan beberapa bidang kajian.
C. Interferensi Fonologis
Interferensi fonologis terjadi apabila penutur mengungkapkan kata-kata
dari suatu bahasa dengan menyisipkan bunyi-bunyi bahasa dari bahasa lain.
Interferensi fonologis dibedakan menjadi dua macam, yaitu interferensi fonologis
pengurangan huruf dan interferensi fonologis pergantian huruf.

6
Pada dasarnya bahasa Indonesia menumbuhkan banyak varian, yaitu varian
menurut pemakaian yang disebut sebagai ragam bahasa dan varian menurut
pemakai yang disebut sebagai dialek. Setiap bahasa mempunyai banyak ragam yang
dipakai dalam keadaan dan keperluan atau tujuan yang berbeda. arefa (2003:56)
menjelaskan bahwa ragam bahasa adalah istilah untuk menunjuk suatu bentuk
keaneragaman bahasa sesuai dengan pembedaan pemakaian sehingga akan timbul
pemakaian bahasa yang sesuai dengan fungsi dan situasinya. Ada dua pandangan
mengenai variasi atau ragam bahasa.

1) Variasi atau ragam bahasa itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman
sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu.
2) Variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya
sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam.
Dialek yaitu keseluruhan ciri bahasa seseorang. Sekalipun kita semua berbahasa
Indonesia, kita masing-masing memiliki ciri-ciri khas pribadi dalam pelafalan, tata
bahasa, atau pilihan dan kekayaan kata. Karena ragam bahasa Indonesia sangat
banyak, ia dibagi atas dasar pokok pembicaraan, perantara pembicaraan, dan
hubungan antar pembicara. Dilihat dari segi sarana pemakaiannya ragam bahasa
dapat dibedakan atas ragam lisan dan ragam tulis. Ragam bahasa secara lisan
sebagai pertukaran informasi melalui penggunaan lambang-lambang verbal dan
nonverbal, mode-mode, serta proses-proses produksi dalam berbahasa. Adapun
ragam bahasa tulis adalah melukiskan lambang-lambang grafik yang
menggambarkan suatu bahasa yang dipakai oleh seseorang sehingga orang lain
dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut.

D. Pembentukan Korespondensi Fonemis


Bila uraian di atas dalam butir 5 diterima hanya sebagai suatu prosedur
pencalonan,atau sebagai suatu indikator mengenai kemungkinan adanya
korespondensi fonemis antara sejumlah bahasa, maka perlu ada persyaratan
lain yang harus dipenuhi untuk menyusun atau menetapkan suatu perangkat
koerspondensi bunyi yang absah. Sesudah mencatat indikator tersebut, harus
diadakan pengujian supaya perangkat korespondensi itu mendapat status
yang kuat, dan di samping itu jangan sampai terjadi ada korespondensi yang

7
seharusnya ada, ternyata diabaikan; atau suatu indikator sebenarnya bukan
korespondensi diperlakukan sebagai suatu perangkat korespondensi.
Prosedur yang dimaksud adalah: rekurensi.fonemis (phonemic recurrence),
ko-okurensi (co-occurence), dan analogi.

a. Rekurensi Fonemis
Bila telah dicatat suatu indikasi mengenai adanya perangkat
korespondensi fonemis pada suatu pasang kata, maka tidak lanjut yang
pertama, yang harus dilakukan adalah menemukan pasangan-pasangan yang
lain, yang mengandung perangkat tersebut. prosedur untuk menemukan
perangkat bunyi itu yang muncul secara berulang-ulang dalam sejumlah
pasang kata yang lain disebut rekurensi fonemis (phonemic recurrence).
Untuk menjelaskan prosedur tersebut di atas, marilah kita mengikuti
pembahasan dengan mempergunakan data-data berikut :

Glos Inggris          Jerman         Belanda          Denmark         Swedia

Orang mɛn                 man              man                   man                man
Tangan hɛn                  hant              hant                  hϽnˀ           hand
fut                   fu:s               vu:t                   fo: ˀð           fo:t
Kaki ’fiŋgә              ’fiŋer            ’viŋer                ’feŋˀer            ’fiŋer
Jari Haws              haws             hØɥs                  hu:ˀs              hu:s
Rumah ’wintә             ’vinter          ’winter               ’venˀdәr        ’vinter
’sʌmә              ’zomer        ’zo:mer               ’sϽmәr          ˇsϽmar
Winter Driŋk              ’triŋken        ’driŋke               ’dregә            ˇdrika  
m. panas briŋ                 ’briŋen         ’breŋe                 ’breŋә            ˇbriŋa
minum livd                  ’le:pte          ’le:vde               ’le:vәðә          ˇle:vde
membawa
hidup

8
Dari daftar di atas dapat diturunkan seperangkat korespondensi fonemis
dengan menemukan rekurensinya pada pasangan-pasangan yang lain. Peluan
korespondensibbunyi dari daftar di atas cukup banyak, sehingga sebelum
menemukan rekurensi masing-masing perangkat, sudah dapat dipastikan
bahwa tidak mungkin peluang itu terjadi hanya karena kebetulan. Untuk
menetapkan secara pasti bahwa terdapat korespondensi fonemis, maka perlu
dibuktikan bahwa ada rekurensinya, yaitu bahwa tiap perangkat itu akan
muncul kembali dalam pasangan-pasangan yang lain. Untuk landasan kerja,
kita ambil salah satu pasangan kata di atas, yaitu glos ‘rumah’.
Kata rumah memiliki sejumlah perangkat korespondensi fonemis, yaitu :
    / h    –    h ·   -   h    -  h      ̸
    / aw  -  aw    -  u:   -  u:    ̸
     / s    -   s       - s      -  s     ̸
Setiap perangkat korespondensi fonemis di atas harus diperkuat dengan
sejumlah rekurensi pada pasangan-pasangan kata yang lain. Misalnya
perangkat korespondensi / aw  -  aw  -  Ø   -  u:/  dalam glos ‘rumah’ dijumpai
kembali dalam pasangan-pasangan lain seperti dapat dilihat dalam tabel
berikut:

Glos Inggris           Jerman          Belanda         Denmark     Swedia
Tikus Maws              maws              mØɥs              mu: ˀs           mu: s
Kutu Laws               laws                lØɥs                lu:ˀs              lu: s
Keluar Awt                 awt                 Øɥt                  u: ˀd              u:t
Coklat Brawn             brawn             brØɥn              bru: ˀn           bru :
n

Contoh-contoh dan teknik penetapan perangkat korespondensi fonemis


seperti diperlihatkan di atas dapat dilakukan pada pasangan-pasangan lain.
Disamping itu dapat ditetapkan pula pasangan-pasangan korespondensi yang

9
lain. Semakin banyak data yang diteliti dan diperbandingkan semakin
terbuka kemungkinan. Dengan demikian melalui rekurensi fonemis dapat
ditetapkan sacara meyakinkan adanya sebuah koerspondensi fonemis.

b. Ko- okurensi
Sebuah perangkat korespondensi selalu diturunkan dari kata-kata yang
mirip bentuk dan maknanya. Karena adanya prinsipbentuk dan makna ini,
dapat terjadi bahwa bentuk-bentuk lain dalam bahasa kerabat, pada halnya
bentuk semacam itu adalah bentuk kerabat juga. Yang dimaksud dengan ko-
okurensi adalah gejala-gejala tambahan yang terjadi sedemikian rupa pada
kata-kata kerabat yang mirip bentuk dan maknany, sehingga dapat
mengaburkan baik kemiripan bentuk-maknanya maupun korespondensi
fonemisnya dengan kata-kata lain dalam bahasa kerabat lainnya.
Gejala menghilangkan /r/ antar vokal (intervocalis r) merupakan
peristiwa yang umum terjadi dalam bahasa-bahasa Nusantara, misalnya
seperti terdapat dalam bahasa Melayu turut dan Jawa tut. Kata tut secara
historis berasal dari kata turut dalam bahasa Jawa Kuno, berturut-turut
menjadi: tuhul-tuul-tüt – dan akhirnya menjadi tut. Contoh lain dalam bahasa
Jawa adalah : berat- behal-beat-bot; beras-behas-beas-wos bisa juga
melalui: beras – weras- wehas- weas- wos.
Bahwa ada asumsi umum yang menerima perubahan /r/ antar vokal
yang menghilangkan mula-mula melalui /h/ baru kemudian fonem /h/
menghilangkan, akhirnya terjadi sandi dalam pada kedua vokal beruntun itu,
dapat dibuktikan melalui kenyataan berikut.
Jadi dalam menetapkan koerspondensi fonemis harus diperhatikan pula
apakah sepasang kata yang tanpaknya tidak sama itu sebenarnya
mengandung gejala lain yaitu ko-okurensi,yaitu gejala-gejala yang timbul
dalam kata itu sehingga sudah mengubah bentuk kata itu. Bila ada, maka
kedua kata itu tetap dimasukkan dalam kata yang identik atau mirip.

10
c.  Analogi
Analogi adalah menghilangnya /h/ antar vocal yang berasal dari /r/
antar vocal dalam bahasa Bali dan Lamalera terjadi karena analogi. Yaitu
analogi dengan menghilangnya /h/ antar vocal dalam bentuk-bentuk lain
seperti : asu-aho-ao’anjing’. Dan tasik-tahik-tai’laut’. Analogi sendiri
merupakan suatu proses pembentukan kata.

E. Metode Rekonstruksi
Metode perbandingan klasik tidak hanya bertalian dengan menemukan
hokum bunyi antara bahasa-bahasa kerabat, atau dengan iatilah
kontemporer ‘menemukan korespondensi fonemis antar bahasa kerabat’,
tetapi masih dilanjutkan dengan usaha mengadakan rekonstruksi unsur-
unsur purba, baik fonemis maupun morfemis. Oleh sebab itu para
ahli  bahasa mengembangkan pula suatu metode baru untuk mengadakan
pemulihan (rekonstruksi) baik fonem-fonem purba (proto) maupun morfem-
morfem proto, yang dianggap pernah ada dalam bahasa-bahasa purba, yang
sama sekali tidak memiliki naskah-naskah tertulis.
Karena rekonstruksi fonemis atau morfemis menyangkut bahasa-bahasa
yang tidak memiliki naskah-naskah tertulis, maka teknik rekonstruksi
merupakan suatu teknik pra-sejarah bahasa. Sebaliknnya terhadap bahasa-
bahasa yang memiliki naskah-naskah tua, tidak perlu diadakan lagi
rekonstruksi, karena memang bentuk tuanya sudah diketahui dari naskah-
naskah tertulisnya itu. Rekonstruksi fonem dann morfem proto
dimungkinkan karena para ahli menerima suatu asumsi bahwa jika diketahui
fonem-fonem kerabat dari suatu fonem bahasa proto, maka sebenarnya
fonem proto itu dapat ditelusuri kembali bentuk tuanya. Untuk mengadakan
rekonstruksi fonem-fonem dan bentuk-bentuk morfem bahasa kerabat
kepada fonem atau morfem proto yang diperkirakan menurunkan bahasa-
bahasa kerabat tersebut, maka perlu dilakukan langkah-langkah berikut:

11
a. Mencatat semua korespondensi fonemis dalam bahasa-bahasa kerabat
yang diperbandingkan.
b. Memperbandingkan unsure-unsur yang menunjukkan kontras itu dalam
lingkungan yang lebih luas dengan mencari pasangan-pasangan baru
untuk memperkuat nomor satu.
c. Mengadakan rekonstruksi tiap fonem yang terkandung dalam pasangan
kata-kata yang diperbandingkan.
d. Dengan selesainya mengadakan rekonstruksi fonemis pada tiap bunyi
yang terdapat dalam pasangan kata yang diperbandingkan itu, berarti juga
selesai mengadakan rekonstruksi morfemis dan morfem proto.

1. Teknik Rekonstruksi Fonem


Untuk menerapkan prinsip rekonstruksi fonemis, pertama-tama
diadakan perbandingan pasangan-pasangan kata dalam pelbagai bahasa
kerabat dengan menemukan korespondensi fonemis dari tiap fonem yang
membentuk kata-kata kerabat tersebut. Dengan menemukan korespondensi
fonemisnya dapat diperkirakan fonem proto mana yang kiranya
menurunkan  fonem-fonem yang berkorespondensi tersebut. Untuk
menentuka fonem proto yang mana menurunkan satu perangkat
korespondensi dalam bahasa kerabat itu, perlu diperhatikan beberapa factor
berikut:
a. Sebuah fonem yang distribusinya paling banyak dalam sejumlah bahasa
kerabat dapat dianggap merupakan pantulan linear dari fonem proto.
b. Fonem yang tetap dalam butir pertama di atas harus didukung pula
dengan distribusi geografinya yang luas, atau fonem itu terdapat dalam
banyak daerah bahasa.
c. Fonem proto yang yang ditetapkan dengan ketentuan butir pertama dan
kedua hanya boleh menurunkan satu perangkat korespondensi fonemis.
Misalnya dalam kasus korespondensi fonem/ b-w-b –f/ dan b-b-b-b/
dalam bahasa Melayu-Jawa-Karo-Lamalera, maka sekali ditetapkan bahwa

12
fonem proto */b/ menurunkan perangkat korespondensi /b-b-b-b maka
tidak bleh menentukan lagi bahwa fonem proto */t menurunkan juga
perangkat korespondensi /b-w-b-f/. untuk itu perangkat korespndensi /b-
w-b-f/ misalnya akan ditetapkan sebagai diturunkan oleh */w/ atau */f/,
bukan dari */b/.

Perhatikan contoh teknik rekonstruksi fonemis berikut:


Eslandia       Inggris          Saksen         Jerman Tinggi
Glos Gotik        Kuno          Kuno             Kuno                 Kuno
Ikan Fisks        Fiskr           Fisk                    Fisk                 Fisk

Data-data tersebut menunjukkan adanya kemungkinan korespondensi


fonemis yang meliputi semua bahasa dalam fonem-fonem pembentuk kata
‘ikan’. Berdasarkan fakta-fakta sebagaimana telah diuraikan di atas, maka
kata (bentuk) proto yang dianggap menurunkan kata ikan dalam bahasa-
bahasa itu adalah fisk.

2. Rekonstruksi Morfemis
Suatu tingkat rekonstruksi yang lain adalah rekonstruksi morfemis
(antar bahasa kerabat), yang mencakup pula rekonstruksi atas alomorf-
alomorf (rekonstruksi untuk menetapkan bentuk tua dalam satu bahasa).
Dengan melakukan rekonstruksi fonemis sebagai dikemukakan pada bagian
di atas (butir 2), telah diperoleh dua hal sekaligus, yaitu:
1. Rekonstruksi fonem proto yang memantulkan atau menurunkan fonem
fonem dalam bahasa-bahasa kerabat sekarang.
2. Dengan memulihkan semua fonem bahasa-bahasa kerabat sekarang
sebagai yang tercermin dalam pasangan kata-katanya ke suatu fonem
proto, maka sudah berhasil pula dilakukan rekonstruksi morfemis (kata
dasar atau bentuk terikat), yaitu menetapkan suatu morfem proto yang
diperkirakan menurunkan morfem-morfem dalam bahasa-bahasa kerabat

13
sekarang. Seperti halnya dengan fonem proto, maka morfem proto ini
biasanya ditandai dengan sebuah tanda asterisk di depannya. Dalam
menyajikan rekonstruksi fonemis telah dipergunakan bahasa Barat, maka
dalam rekonstruksi morfemis ini akan dipergunakan bahasa-bahasa
Austronesia, yaitu bahasa Melayu, Tagalog, Jawa dan Batak. Rekonstruksi ini
harusnya dimulai dari rekonstruksi fonemis sesuai dengan teknik yang telah
digelarkan di atas. Untuk itu mari kita perhatikan pasangan kata-kata
berikut, yang menghasilkan sejumlah perangkat korespondensi fonemis. Di
samping itu akan kita lihat bahwa prinsip mayoritas distribusi tidak selalu
diperlakukan, karena harus diperhatikan pula kaidah-kaidah lain.

Glos Tagalog Melayu Jawa Batak Rekonstruksi


memilih ‘pi:li? Pilih pilik Pili *pilik
kurang ‘ku:lan Kurag kurag Hurag *kulag
hidung i’lun Hidung irug Igug *igug
Ingin ‘hi:lam Idam idam Idam *hidam
tunjuk ‘tu:ru? Tunjuk tuduk Tudu *tuduk
Taji ‘ta:ri? Taji tadi Tadi *tadi
Sagu ‘sa:gu Sagu sagu Sagu *tagu
buruk ‘bu’guk Buruk vu? Buruk *buyuk
Ada satu catatan dari rekonstruksi yang diadakan antar bahasa-bahasa
tersebut di atas  yaitu mengenai kata buruk dalam bahasa Jawa. Bloomfield
menderetkan dalam perangkat korespondensi fonemisnya sebagai 0 (zero).
Bila diperhatikan peristiwa-peristiwa kebahasaan dalam bahasa Austronesia
pada umumnya, khususnya dalam bahasa Jawa, maka kata /vu?/ sebenarnya
mengandung ko-okurensi. Sehingga di dalamnya sebenarnya secara tak
langsung terdapat fonem /r/, yaitu fonem inter-vokalik yang menghilang
dalam segmen ini.
Dari hasil rekonstruksi yang disajikan dalam contoh-contoh di atas,
tampak bahwa tidak ada satu pun dari bahasa-bahasa itu lebih dekat dengan

14
bentuk rekonstruksinya. Sebab itu haruslah dihindari anggapan bahwa salah
satu dari bahasa-bahasa kerabat itu yang mewakili bahasa protonya. Jika ada
kemiripan yang lebih besar, maka hal itu berarti terjadi pewarisan linear dari
bahasa proto ke bahasa tersebut.
Proses rekonstruksi itu dilakukan dengan mempergunakan prinsip-
prinsip tertentu: kesederhanaan, penghematan, dan bahwa tidak ada factor
yang menggangu evolusi itu, dan bahwa evlusi itu berada dalam situasi
isolasi yang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa kita menyadari  sepenuhnya,
bahwa hasil dari rekonstruksi itu mungkin tidak parallel dengan keadaan
yang sebenarnya yang erlaku dalam perkembangan sejarah yang faktual.
Sejauh kita belum memperoleh bukti-bukti tentang gangguan isolasi
tersebut, kita tetap mempergunakan bentuk-bentuk rekonstruksi dengan
sikap terbuka.

3. Rekonstruksi Dalam
Adalah rekonstruksi yang dilakukan dalam satu bahasa untuk
mendapatkan bentuk-bentuk tuanya. Dalam hal ini kita hanya
mempergunakan bahan-bahan dari satu bahasa saja, yaitu rekonstruksi atas
altenasi morfofonemis atau atas alomorf-alomorf suatu morfem. Anggapan
dasar (asumsi dasar) yang dijadikan pegangan adalah beberapa peristiwa
dalam sejarah suatu bahasa meninggalkan data-data atau berkas-berkas
tertentu, sehingga dengan mempergunkan data-data tersebut dapat
diturunkan kesimpulan tertentu tentang suatu keadaan pada masa
sebelumnya.
Rekonstruksi ini dilakukan karena beberapa kenyataan berikut dalam sebuah
bahasa yaitu

a. Adanya Alomorf
Dalam bahasa Indonesia kita jumpai sejumlah bentuk kata seperti:
berjalan, bermain, berdiri, belajar, bekerja, berumah, dan lain-lain. Bentuk-

15
bentuk tersebut terdiri atas morfem teikat dan morfem dasar. Bentuk-
bentuk itu  bervariasi karena lingkungan yang dimasukinya. Berdasarkan
prosedur-prosedur tertentu lalu ditetapkan bahwa ada satu morfem untuk
masing-masing kelompok variasi bentuk di atas, sedangkan ketiga bentuk
dari tiap satuan itu disebut alomorf. Sesuai dengan prinsip rekonstruksi
morfemis melalui rekonstruksi fonemis, kita dapat menentukan
bagaimana bentuk morfem-morfem terikat itu pada masa lampau.
Berdasarkan prinsip kesederhanaan dan penghematan, serta melihat
distribusi tiap alomorf, maka dapat disimpulkan bahwa bentuk proto
alomorf-alomorf di atas adalah: */ber/ dan */ter/.

b. Netralisasi
Beberapa gejala dalam bahasa Indonesia dewasa ini dapat memperkuat
hipotesa ini, yaitu adanya posisi /b/ pada posisi akhir dalam kata lembab,
sebab, Sabtu yang diucapkan dengan /p/ : lembap/, /sebap/, /saptu/.
Kata-kata tersebut pertama-tama disebar luaskan dengan tullisan buka
melalui bahasa lisan. Sebab itu ejaannya tetap dipertahankan walaupun
cara mengucapkannya tidak selalu konsisten dengan ejaannya itu.
Berdasarkan prinsip ejaan bagi bahasa Indosnesia yang berlaku sekarang
yaitu satu tanda untuk satu bunyi, maka tak usah heran bila suatu waktu
ejaan itu akan berubah menjadi: lembap, sebap, dan Saptu. Untuk
kata lembab, Kamus Umum Bahasa Indonesia malah sudah menghalalkan
itu.
c. Reduplikasi
Reduplikasi merupakan peristiwa atau gejala lain dalam bahasa yang
dapat dipergunakan untuk mengadakan rekonstruksi dalam. Dalam bahasa
Austronesia terdapat bentuk-bentuk reduplikasi pada suku kata awal,
sperti pada kata: tatangga- tetangga, laki-lelaki, luhur-leluhur, dan
sebagainya. Dalam bahasa Melayu ( dan Indonesia) reduplikasi ini
melemahkan vocal pada suku kata awal sehingga menjadi /e/. Hal ini

16
terjadi sebagai akibat dari tekanan kata yang ditempatkan pada suku
kedua dari akhir.Secara historis tidak semua bentuk reduplikasi itu sudah
ada sejak jaman ‘pra-sejarah’ bahasa Melayu. Ada bentuk reduplikasi yang
merupakan hasil ciptaan kemudian berdasarkan prinsip analogi.
Reduplikasi ciptaan baru karena analogi ini dapat dilihat dalam kata-
kata: rumput-rerumput, pohon-pepohon, buah-bebuah, dan sebagainya.
Dalam mengadakan rekonstruksi bentuk-bentuk yang terjadi karena
analogi, tidak boleh dipakai sebagai contoh.
d. Bentuk Infleksi
Kasus lain mengenai hilangnya aspirate terdapat dalam bentuk infleksi,
khususnya dalam infleksi nomen. Bentuk normative dari kata rambul
dalam bahasa Yunani adalahthriks, sedangkan bentuk genetifnya
adalah irikhos. Dalam kasus normatif aspirate hilang dari konsonan /k/
karena penanda /s/. bahwa aspirate itu hilang dari /k/ Karena penanda
/s/ dapat dilihat kembali dalam kata onuks ‘cakar’ dengan bentuk
genetifnya onukhos. Sebaliknya ada juga bentuk infleksi lain misalnya kata
keruks ‘bentara’ dengan genetif kerukos, di mana konsonan /k/ tidak
mengalami perubahan. Dengan demikian dapat ditetapkan bahwa
kata thriks memang berasal dari bentuk *thrikh, yang merupakan
perkembangan yang lebih jauh dari kata Proto Indo-Eropa dhrigh-.
4. Rekonstruksi  di atas Morfem
Penggunaan metode korespondensi fonemis, metode rekonstruksi
fonemis, dan rekonstruksi morfemis mengandung asumsi bahwa terdapat
relasi antar bahasa-bahasa yang dibandingkan itu. Dengan mengadakan
rekonstruksi melalui korespondensi fonemis dapat disusun:
a. Fonem proto: yaitu fonem purba yang menurunkan satu fonem atau lebih
dalam bahasa-bahasa sekarang.
b. Morfem proto: yaitu morfem purba menurunkan satu morfem atau
morfem-morfem dalam bahasa sekarang.
c. Bahasa proto: yaitu bahasa yang menurunkan beberapa bahasa haru.

17
Seperti sudah diperlihatkan dalam uraian-uraian sebelumnya.
Rekonstruksi hanya bisa berhasil baik pada unsur-unsur terlepas seperti
fonem proto dan morfem proto. Sejauh ini belum diperoleh suatu hasil yang
memuaskan mengenai unsurr yang terpadu seperti sintaksis. Cerita yang
direkonstruksi adalah suatu fable dalam bahasa Arya primitive (Jespersen,
1959: hal.81), yaitu cerita mengenai Kuda dan Domba. Hasil rekonstruksinya
adalah sebagai berikut:
AVIS AKVASAS KA
Avis, jasman varna na a ast, dadarka akvams,
Tam, vagham garum vaghantam, tam, bharam magham
Avis akabhjams a vavakal:
Kard aghnulai vidanti manum akvams aganlam.
Akvasas a vavakant:
Krudhi avai, kard aghnutai vividvantves:
Manus patis varnam avisams karnanti
Svabhjam gharman vastram avibhjams ka varna na asti
Tat kukruvants avis agram a bhugat.

DOMBA DAN KUDA


(Seekor) domba, yang (padanya) tak ada bulu, melihat kuda yang berjalan
Dengan (menarik) kereta yang berat, yang memeuat beban yang besar,
Yang membawa dengan cepat seorang manusia.
Domba berkata kepada kuda:
Saya merasa sedih melihat manusia menggiring kuda itu.
Kuda berkata:
Dengarlah domba, hatiku sangat sedih karena melihat:
Manusia menjadi tuan atas bulu domba untuk menjadi pakaian yang hangat.
Bagi dirinya,

18
Dan domba tidak memiliki lagi bulunya.
Sesudah mendengar itu, domba menghindar ke padang.

Dari hasil rekonstruksi di atas, kata-katanya lebih mirip ke kata-kata


Sanskerta. Kata *avis merupakan rekonstruksi dari kata Sanskerta avid an
Latin ovis. Kata *akvasasadalah hasil rekonstruksi dari kata Sanskerta aqua
dan Latin equus.
Fonem-fonem proto yang diperlihatkan dalam rekonstruksi di atas juga
lebih dekat ke bahasa Sanskerta. Dalam kenyataan tidak demikian halnya.
Penyelidikan-penyelidikan lebih lanjut membuktikan bahwa dalam bahasa
Sanskerta telah terjadi banyak perubahan. Bahasa Sanskerta tidak bisa
dianggap sebagai pantulan (refleksi) dari bahasa Proto Indo-Eropa.

5. Penerapan Rekonstruksi
Mengadakan rekonstruksi (fonemis-morfemis) pada prinsipnya
merupakan suatu usaha untuk menelusuri kembali jejak perpisahan itu.
Misalnya untuk mengadakan rekonstruksi untuk menelusuri gerak
perpisahan itu kita mengambil conth berikut. Kata ‘babi’ dalam beberapa
bahasa Nusantara adalah sebagai berikut: Melayu: babi, Batak: babi, Jawa:
babi, Bali: bawi, Dayak: bawoi, Ma’anya: wawui, Favorlang: babu, Ibanag:
babuy, Tagalong: babuy, Sangir: bawi, Tombulu: wawi, Bugis: bawi,
Sumbawa: wawi, Bima: wawi, Buru: wavu, Sula: vavi, Lamalera: fafe, Timr:
vavi, Roti: bavi. Untuk mengadakan rekonstruksi yang lebih akurat,
seharusnya kita mencatat semua bentuk dalam semua bahasa kerabat.
Namun, untuk keperluan sekarang data di atas dianggap mencukupi.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengadakan
pengelompokan bentuk-bentuk yang identik. Dari ke-19 bahasa yang diambil
sebagai contoh di atas, terdapat sebelas bentuk kata babi, yaitu:
a. Babi terdapat dalam 3 bahasa
b. Bawi terdapat dalam 3 bahasa

19
c. Wawi terdapat dalam 3 bahasa
d. Babuy terdapat dalam 2 bahasa
e. Vavi terdapat dalam 2 bahasa
f. Bavi, bawoi, wawui, babu, wavu dan fafe masing-masing dalam satu
bahasa.

Dari data tersebut di atas terdapat sejumlah korespondensi fonemis


antara: /b-w-f-v/, antara /a-a-a-a/, dan antara /i-oi-ui-uy-u-e/. Bila kita
mengikuti prosedur rekonstruksi fonemis, maka dari bentuk pantulan ini
langsung ditemukan bentuk protonya. Namun berdasarkan prinsip
pencabangan yang bertahap, akan diikuti prosedur lain yaitu mengadakan
rekonstruksi yang bertahap pula. Sekurang-krangnya ada sebelas bentuk
kerabat untuk kata ‘babi’. Dari tingkat kemiripan struktur fonemisnya pada
tahap pertama diadakan pengelompokan bagi pasangan-pasangan yang
mirip. Dengan proses rekonstruksinya adalah sebagai berikut:

Tahap 1:
            Kata babi dan bavi merupakan pantulan dari *babi;
            Kata fafe dan vave dipantulkan dari kata *vavi;
            Kata babu dan babuy merupakan pantulan dari *babu;
            Kata wawuy dan bawoy dipantulkan dari kata *wawuy;
            Kata wawi dan bawi dipantulkan dari kata *wawi;
            Kata wavu diturunkan secara linear dari *wavu.

Tahap 2:
            Kata *vavi dan *babi diturunkan dari kata tua *vavi;
            Kata *babu, *wawuy, dan *wavu diturunkan dari *wawu;
            Kata *wawi dirturunkan secara linear dari kata *wawi.

20
Tahap 3:
            Kata *vavi diturunkan dari kata tua *vavi’
            Kata *wawu dan *wawi diurunkan dari kata tua *wawi

Tahap 4:
Tahap keempat dan terakhir adalah merekonstruksi bentuk *vavi dan
*wawi sebagai diturunkan dari bentuk proto: *vavi.

Hasil dari seluruh rekonstruksi yang dilakukan di atas menyatakan


bahwa bentuk proto yang menurunkan kesembilan belas bentuk kerabat
dewasa ini adalah bentuk *vavi. Pencabangan itu mula-mula atas dua cabang,
selanjutnya ada yang hanya menurunkan satu anggota, dan dalam
perkembangan selanjutnya ada juga cabang-cabang yang menurunkan tiga
bentuk kerabat.
Tentu saja bentuk-bentuk proto yang ditetapkan tadi harus
memperhatikan pula bebrapa factor sebagai telah diuraikan di depan yaitu:
luas wilayah penyebaran, jumlah bentuk yang mirip atau identik, dan kaidah-
kaidah perubahan fonemis. Berdasarkan prinsip metode komparatif,
terdapat asumsi bahwa akan terdapat korespondensi teratur, karena bahasa
yang berbeda-beda itu secara teratur pula berkembang dari bahasa protonya.
Demikian pula harus diingat bahwa proses rekonstruksi itu diadakan dengan
mempergunakan prinsip-prinsip tertentu: kesederhanaan, penghematan, dan
bahwa tidak ada faktoryang menggangu evolusi itu berada dalam situasi
isolasi yang kuat.
Disadari sepenuhnya, bahwa apa yang dihasilkan dari Rekonstruksi itu
mungkin tidak pararel dengan keadaan yang sebenarnya dengan
perkembangan sejarah yang faktual. Tetapi sejauh kita belum memperoleh
bukti-bukti tentang gangguan isolasi sebagai yang dimaksud di atas, kita
tetap mempergunakan bentuk-bentuk rekonstruksi secara pasti dapat

21
memberi implikasi tentang wujud kata-kata proto, tetapi ia bukan kata-kata
proto itu sendiri.

F. Implikasi Rekontruksi
1. Tipe-tipe perubahan fonetis
Pada waktu mengadakan rekonstruksi fonem-fonem proto, tampak
bahwa perubahan sebuah fonem proto ke dalam fonem-fonem bahasa
kerabat sekarang ini berlangsung dalam beberapa macam tipe. Pola-pola
pewarisan yang terpenting adalah sebagai berikut.
a. Pewarisan linier
Pewarisan linier adalah pewarisan sebuah fonem proto ke dalam
bahasa sekarang dengan mempertahankan cirri-ciri fonem protonya.
Misalnya fonem proto */d/ menurunkan fonem /d/, dan sebagainnya.
Pewarisan dengan perubahan terjadi bila suatu fonem proto
mengalami perubahan dalam bahasa sekarang. Misalnya fonem prto
Austronesia Purba */i/ dalam kata */ikur/ ‘ekor’ berubah menjadi
fonem /e/ dalam kata /ekor/ bahasa Melayu.
b. Pewarisan dengan penghilangan
Pewarisan dengan penghilangan adalah suatu tipe perubahan fonem
dimana fonem proto menghilang dalam bahasa sekarang. Misalnya fonem
*/a/ dalam suatu bahasa proto berubah menjadi fonem zero/O/ dalam
bahasa sekarang.
c. Pewarisan dengan penambahan
Pewarisan dengan penambahan adalah suatu proses perubahan
berupa munculnya suatu fonem baru dalam bahasa sekarang, sedangkan
dalam bahasa proto tidak terdapat fonem semacam itu dalam sebuah
segmen tertentu. Dalam beberapa bahasa proses semacam itu dikenal
dengan istilah vokalisasi yaitu penambahan suatu vocal pada suku kata
akhir yang tertutup, atau ada proses lain yang disebut nasalisasi

22
homorgan yaitu penambahan sengau homorgan sebelum sebuah
konsonan.
Penambahan fokal pada suku kata terakhir misalnya terdapat dalam
bahasa Malagasi. Kata Austronesia */urat/ dala bahasa Malagasi
menjadi /uzatrL/; Austronesia Purba */b∂sar/ ‘besar’ menjadi
/maBesatrL/, dan sebagainya.
d. Penanggalan parsial
Penanggalan parsial atau penghilang sebagian adalah suatu proses
pewarisan dimana sebagian dari fonem proto menghilang dalam bahas
kerabat sedangkan sebagian lain dari cirri fonem proto bertahan dalam
bahasa kerabat tersebut. Proses ini masih jelas terlihat dalam bahasa
inggris, misalnya fonem /k/ dalam bahasa inggris kuno ada yang bertahan
tetapi ada juga yang menghilang.
e. Perpaduan (merger)
Perpaduan (merger) adalah suatu proses perubahan bunyi dimana
dua fonem proto atau lebih berpadu menjadi suatu fonem baru dalam
bahasa sekarang. Perpaduan dapat pula berwujud penggabungan antara
satu fonem purba dengan satu cirri fonetis dari fonem lainnya.
f. Pembelahan (split)
Pembelahan (split) adalah suatu proses perubahan fonem dimana
suatu fonem proto membelah diri menjadi dua fonem baru atau lebih, atau
suatu fonem proto memantulkan jumlah fonem yang berlainan dalam
bahasa kerabat atau dalam bahasa lebih muda. Pembelahan ini dapat juga
berwujud suatu fonem proto membelah diri sebagian menjadi fonem yang
baru, sedangkan sebagian yang lain dari ciri-ciri fonetisnya bergabung
dengan sebuah fonem yang lain (=merger persial).
Dalam bahasa latin fonek /k/ menurunkan tiga fonem yang berbeda
dalam bahasa prancis yaitu fonem /k/, /s/, dan /ś/. Misalnya fonem /k/
dalam kata-kata car “hati”, clarus“terang”, dan quando ‘bilamana’.
Disamping itu fonem /k/ latin menurunkan juga fonem /s/  dalam bahasa

23
prancis seperti terlihat dalam kata-kata sebagai berikut:
Lat. centum‘seratus’-Prancis cent,Lat cervus ‘rusa’-
Prancis cerf,Lat. cinis ‘abu’- Prancis cendre:dan pembelahan yang lain
adalah fonem /k/ menjadi /ś/ dalam bahasa Prancis sekarang seperti
tampak dalam kata-kata: Lat.cantare ‘menyanyi’- Prancis chanter,
Lat. carbo ‘arang’ – Prancis charbon, Lat. causa ‘sebab’- Prancis ‘chose’

2. Macam-macam Perubahan Bunyi
a. Asimilasi
Asimilasi adalah proses perubahan bunyi yang menyebabkannya
mirip atau sama dengan bunyi lain yang ada di dekatnya,
seperti sabtu dalam bahasa Indonesia yang diucapkan [saptu]. ASIMILASI
= Perubahan bunyi dari dua buah bunyi yangtidak sama menjadi bunyi
yangsama atau hampir sama.Asimilasi dibagi 2,yaitu:1.Asimilasi regresif
2.Asimilasi progresif *Asimilasi regresif: fonemyang mengalami
perubahanterletak sebelum fonem
yangmempengaruhinya.contoh :somnus (latin) sonno(Italia)µtidur¶ 
*Asimilasi progresif: fonem berikutnya berubah dandisesuaikan dengan
fonemsebelumnya.cth:collis(latin)colnis=bukit 
Menurut pengaruhnya terhadap fonem, asimilasi dibagi menjadi dua yaitu
 fonemis, yang menyebabkan berubahnya identitas suatu fonem
 fonetis, yang tidak menyebabkan perubahan identitas suatu fonem.
Menurut letak bunyi yang diubah, asimilasi dibagi tiga yaitu
 progresif, jika bunyi yang diubah terletak di belakang bunyi yang
memengaruhinya,
 regresif, jika bunyi yang diubah terletak di depan
 resiprokal, jika perubahan terjadi pada kedua bunyi yang saling
memengaruhi.

24
b. Disimilasi
Disimilasi adalah perubahan sebuah fonem yang berdekatan satu sama
lain menjadi fonem yang berbeda. Kebalikan dari asimilasi. Disimilasi
terjadi karena rasa kelegaan atau kenyamanan. Disimilasi juga
mencangkup proses menghilangnya sebuah segmen dalam sebuah bentuk.
Hal tersebut terjadi karena dua segmen yang sama, yang berurutan dalam
sebuah konstruksi disusutkan sehingga hanya satu kali muncul.
DISIMILASI = Perubahan bunyi dari dua bunyi yang sama atau mirip menjadi
bunyi yangtidak sama.cth: sayur-sayur >sayur-mayur.
Contoh:
 Kata citta dalam bahasa Sanskerta menjadi "cipta" dalam bahasa
Indonesia (meskipun istilah "cita" juga masih ada).
 Kata janma dalam bahasa Sanskerta menjadi "jelma" dalam bahasa
Indonesia. Nasal pertama berubah menjadi /l/.
c. Perubahan berdasarkan tempat
Metatesis merupakan suatu proses perubahan bunyi yang berujud
pertukaran tempat dua fonem
METATESIS = Perubahanurutan bunyi fonemis padasuatu kata sehingga
menjadidua bentuk kata yang bersaing.Cth = jalur > lajur resap >serap
 Afresis merupakan suatu proses perubahan bunyi antara bahasa
kerabat, berupa penghilangan fonem pada awal sebuah kata
 Apokop merupakan perubahan bunyi berupa menghilangnya sebuah
fonem pada akhir kata.
 Protesis merupakan suatu proses perubahan kata berupa
penambahan sebuah fonem pada awal kata.
 Epentesis atau Mesogog merupakan proses perubahan kata berupa
penambahan sebuah fonem di tengah kata.

25
d. Perubahan –perubahan lain
 Monoftongisasi merupakan suatu proses atas dua vokal menjadi satu
vokal tunggal.
Cth : ramai rame
 DIFTONGISASI = Perubahan bunyi vokal tunggal menjadi bunyivokal
rangkap secara berutan.
Cth: anggota
 Anaptiksis merupakan proses penambahan suatu bunyi pada sebuah
kata untuk melancarkan ucapan.
ANAPTIKSIS =perubahan bunyi dengan jalan menambahkan bunyi
tertentu di antara konsonanuntuk memperlancar ucapan.Anaptiksis
ada tiga jenis:1. Protesis, penambahan bunyi diawal kata: cth mpu >
empumas > emas tik > ketik 2. Epentesis, penambahan ditengahkata.cth :
kapak > kampak upama > umpama3. Paragog, penambahan diakhir kata.
cth : adi > adik hulubala > hulubalang

3. Perubahan Morfemis
Perubahan yang terjadi pada sebuah kata atau morfem sejauh hanya
menyangkut perubahan bunyi tidak merupakan obyek perubahan morfemis.
Dalam hal ini, pada jaman yunani kuno sudah dikenal satu proses perubahan
morfemis yang sangat penting yaitu analogi atau keteraturan dengan
lawannya anomaly atau ketak-teraturan. Suatu peristiwa perubahan yang
lain yang terjadi karena analogi adalah perubahan bentuk yang terjadi karena
pencampuran antara dua bentuk yang berlainan yang memiliki bidang
semantic yang berbeda. Peristiwa ini disebut kontaminasi atau perancuan.
Suatu bentuk analogi yang lain adalah HIPERKOREK, yaitu suatu
proses  yang dimaksutkan untuk memperbaiki suatu bentuk yang
sebenarnya sudah betul, tetapi diadakan perubahan sehinbgga salah.
Etimologi rakyat merupakan pembentukan yang sebenarnya tidak sesuai
dengan sejarah perkembangan itu sendiri.

26
Dalam bahasa Indonesia juga terdapat kata-kata yang dibentuk
berdasarkan analogi. Kata berniaga sebenarnya merupakan suatu bentuk
baru berdasarkan analogi, yang umum terjadi dalam bahasa melayuyaitu
pembentukan sebuah kata jadian dengan mempergunakan perfiks ber-.
Menurut sejarahnya kata berniaga seluruhnya adalah kata dasar yang berasal
dari kata vanijjya lalu menjadi banijjya yang kemudian dalam bahasa minang
menjadi baniyaga atau baniago. Bentuk terakhir ini berdasarkan analogi
dialihkan ke bahasa melayu menjadi berniaga.
Disamping itu ada perubahan morfemis lain yang terjadi karena salah
analisa. Dalam bahasa jawa kuno awalan ma- akan berubah menajdi pa-
kalau didahului konsonan /n/ berdasarkan proses disimilasi. Korylowics
mengajukan sejumlah kaidah berdasarkan prinsip linguistic umum dan
hubungan antar bentuk-bentuk untuk menjelaskan terjadinya analogi dalam
bahasa. Mengenai timbulnya analogi itu ia mengajukan dalil-dalilnya sbb:

a. penanda-penanda morfologis ganda cenderung menggantikan yang


tunggal.
b. analogi bergerak dari bentuk dasar ke bentuk-bentuk turunan
c. sebuah konstruksi yang terdiri dari sebuah bentuk tetap dan sebuah
fariabel dipakai sebagai sebuah pola bagi sebuah bentuk isolasi
dengan fungsi yang sama
d. sebuah bentuk analogi yang baru mengambil alih fungsi utama sebuah
konstruksi. Sementara bentuk yang menggantikannya itu dipakai
untuk fungsi sekunder.

Sebaliknya manczak mengajukan kaidah-kaidah beriikut:

1) Kata-kata yang panjang, kecuali paradigma, sering dibentuk kembali


menurut kata-kata yang pendek bukan kebalikannya.
2) Alternasi akar-akar lebih sering diabaikan daripada dimanfaatkan.

27
3) Bentuk infleksi yang panjang seringkali dibentuk kembali menurut
bentuk yang pendek.
4) Akhiran zero sering diganti dengan akhiran penuh.

4. Unsur-Unsur Bahasa
Hubungan antara sebuahbahasa proto dengan bahasa-bahasa kerabat
secara metodologis bermanfaat untuk sesuatu tujuan lain yaitu menetapkan
usia unsur-unsur bahasa. Dalam bahasa-bahasa pantulannya itu merupakan
hasil observasi empiris, yang menghasilkan kesimpulan-kesimpulan
Dalam kenyataan korespondensi-korespondensi yang ada secara empiris
dewasa ini tidak harus berasal dari masa-laku yang sama, tetapi dari
runtunan masa yang berlainan. Dengan demikian bila ada beberapa
korespodensi semacam itu, maka data-data tersebut, seperti yang dimaksud
dalam bagian ini.

a. Bahasa-bahasa Eropa
Dalam sejarah bahasa belanda dan jerman di satu pihak dan bahasa
inggris di pihak lain, terdapat korespondensi konemis antara/a/ dan /o/.
menurut catatan sejarah, korespondensi ini terjadi pada suatu waktu
tidak lama sesudah suku-suku Anglo-Sakson memisahkan diri dari Frisia
dan Saksen darat pada abad XII-XIII.
Dengan bantuan ilmu sejarah dan lain-lain, dapat ditentukan bahwa
waktu berlangsungnya korespondensi itu sesudah abad XVII. Di samping
kedua korespondensi tersebut pula sebuah korespondensni yang lain
yaitu antara /a/  dan /a/  seperti terdapat dalam  kata Vader, Vater, dan
Father. Penetapan usia unsure bahasa dapat juga dilakukan dalam sebuah
bahasa, misalnya antara inggris kuno dan inggris modern. Hal itu terbukti
dari kenyataan lain diluar bahasa inggris yaitu : bahwa kata-kata
seperti mutus ‘bisu’ dalam bahasa latin, ketika masuk dalam bahasa latin.

28
b. Bahasa-bahasa Austronesia Barat
Pada waktu membicarakan masalah ko-okurensi sudah dikemukakan
masalah menghilangnya fonem /r/ antara vocal dalam bahasa Jawa, Bali
dan Lamalera. Dalam bahasa melayu misalnya tidak terdapat suatu kata
yang mengandung fonem /∂/ pada akhir kata, sebaliknya dalam bahasa
Jawa dan Bali suku kata terakhir dapat mengandung fonem itu.

5. Status Bentuk Rekontruksi


Bentuk-bentuk rekontruksi dapat diperlakukan sebagai mewakili bahan
dokumentasi dari jaman sejarah.

Sansakerta Yunani Latin Lithaunia Gotik Hittit Rekontruksi

a`smi Eimi Sum esmi im esmi *esmi


a`si Essi Es Esi is __ *es(es)i
a`sti Esti Est esti ist eszi *es-ti
sa`nti Enti Sunt __ sind asanzi *s-enti

Dalam buku Franz Bopp yang klasik secara definitif menciptakan


bahasa  Indo-Eropa pada waktu terbitnya tahun 1816. Bukti relasi genetis
diatas dari bahasa-bahasa tersebut terletak pada dalam morfologi
perbandingan.  Seperti contoh diatas. Rekontruksi kata ‘ada’
diatas  memperlihatkan bahwa untuk bentuk tunggalrekontruksinya adalah
*es, sedangkan untuk bentuk jamak *s. Dalam hal ini sebuah alomorf akar
untuk bentuk tunggal presens lebih banyak mengansung vokal sedangkan
alomorf akar bentuk jamak presen dan perfek kurang vokalnya.
Bentuk-bentuk gramatikal yang berkoresponden dalam bahasa kerabat
dalam banyak merperlihatkan kesamaan baik komosisi maupun distribusi
morfe-morfem dan srtruktur morfologisnya. Sedangkan berdasarkan
struktur morfologisnya khususnya berdasarkan distribusi  karakteristik dari
alomorf tertentu, dan bukan karena kesamaan kata-katanya. Unsur kata-kata

29
yang merperlihatkan kesamaan sangat jarang dan meragukan.  Kesamaan
struktur morfologis tampaknya bersifat esensil untuk menetapkan suatu
keluarga bahasa dan untuk menentukan anggotanya, dan dalam hal yang
ekstrim dapat mengatsi ketidak hadiran kosa kata yang berkoresponden.

6. Pengelompokan
Salah satu tujuan lain dari Linguistik Historis adalah usaha untuk
mengadakan ‘pengelompokan (sub-gruping)’ bahasa-bahasa, sehingga bukan
hanya diketahui bahwa antara bahasa –bahasa tertentu terdapat tali
kekerabatan, tetapi juga dapat diketahui lebih lanjut bagaimana tingkat
kekerabatanantara bahasa-bahasa itu. Dengan mengetahui tingkat-tingkat
kekerabatanitu berarti akan diketahui pula kelompok-kelompok, baik kecil
maupun besar, dala suatu kesatuan bahasa proto. Untuk mengadakan
pengelompokan , muncul teori yang terkenal yaitu teori Batang Pohon
(Stammbaumtheorie, atau Pedigree Theory) dari A. Schleicher (1823-1868)
yang dikemukakan dalam tahun 1866. Teori ini kemudian disempurnakan
oleh J. Schmid (1843-1901) dalam tahun 1872, dengan namaTeori
Gelombang (Wellentheorie atau Wave Theory). Karena landasan
pengelompokan bahasa bertolak dari kedua teori ini, maka ada baiknya bila
teori ini diperinci terlebih dahulu.

a. Stammbaumtheorie
Teori Batang Pohon (Stammbaumtheorie, atau Pedigree Theory) dari A.
Schleicher (1823-1868), gagal dalam usahanya untuk mengadakan
rekontruksi sebuah cerita purba, namun ia telah mewariskan suatu metode
yang sangat bergunabagi pengelompokan bahasa-bahasa di dunia. Metode ini
didasarkan pada teorinya yang terkenal dengan nama Stammbaumtheorie
(1866) atau kemudian dikenal dengan sebutan Family Tree atau Silsilah.
Teori ini sebenarnya dikembangkan dari teori hukum bunyi yang dianut pada
waktu itu. August Schleicher sendiri adalah seorang biolog, yang dipengaruhi

30
oleh teori Darwin. Sebab itu model Stammbau yang disusunnya mengikuti
prinsip silsilah keturunan. August Schleicher mengemukakan suatu
pandangan yang jelas tentang bahasa- bahasa, mulai dari bahasa proto
yang berkembang menjadi cabang-cabang bahasa, serta pengembangan
selanjutnya dari cabang-cabang utama sampai ke cabang-cabang yang lebih
kecil, yang tepat memperlihatkan hubungan baik dalam waktu maupun
ruang.
Dasar dari teori Stammbaum adalah korespondensi fonemis. Dari
korespondensi fonemis beberapa bahasa kerabat, dapat diadakan
rekontruksi untuk mendapatkan suatu fonem proto. Menurut August
Schleicher bahasa itu bercabang dua, dan percabangan itu terjadi pula tiba-
tiba. Konsepsinya mengenai percabangan dua itu diterapkannya dalam
bahasa Indo-Eropa sebagai tanpak pada gambabar berikut :
Seperti halnya dengan garis ketirunan pada manusia, maka
perkembangan pada bahasa-bahasa dinyatakan pula dengan istilah
Stammbaum atau Silsilah, yamg memperlihatkan bagaimana hubungan dan
tingkatan perkembangan antara bahasa-bahasa kerabat tersebut. Oleh sebab
itu dapat dikatakan bahwa bahasa Inggris bercabang dari bahasa-bahasa
German, dan bahasa-bahasa German lebih lanjut bercabang dari bahasa-
bahsa Slavo-Germanik, yang merupakan suatu cabang besar dari bahasa-
bahasa Indo-Eropa.
Bahasa tidak memiliki wujud yang bebas seperti binatang dan pohon.
Bahasa merupakan rangkaian konvensi-konvensi, seperti halnya dengan
mode, pertandingan, tata laku manusia lainnya. Perubahan dalam bahasa
dibuat oleh manusia, bukan bahasa itu sendiri. Sebab itu silsilah Sammbaum,
family tree, atau silsilah harus dipergunakan dengan hati-hati.
Kekurangan dalam Teori August Schleicher ini adalah konsep tentang
perubahan dalam bahasa itu sendiri. Jika bahasa Melayu benar-benar
merupakan suatu cabang dari bahasa Austronesia, makam ia tidak
memperkenalkan sesuatu perubahan yang disebabkan oleh pengaruh dari

31
cabang atau sub-cabang lain yang telah terpisah dari batang atau cabang
yang lebih tua. Tidak boleh ada kata atau unsur bahasa Jawa, Sunda, masuk
ke dalam bahasa Melayu (Indonesia). Ternyata keadaannya menunjukan
sebaliknya. Banyak kata atau unsur bahasa Jawa, Sunda masuk ke dalam
bahasa Melayu atau bahasa Indonesia.
Kekurangan lainnya adalah bahwa tiap cabang hanya boleh menurunkan
dua cabang baru, dan pencabangan itu terjadi secara tiba-tiba. Perubahan itu
mlai dengan perbedaan-perbedaan yang sangat kecil dari ciri-ciri fonologi,
kemudian berkembang menjadi perbedaan fonemis, meningkat menjadi
perbedaan morfologis dan leksikal. Yang secara kumulatif bertambah banyak
dari waktu ke waktu.

b. Teori Gelombang
Teori ini mengatakan bahwa bahasa-bahasa dipergunakan secara
berantai dalam suatu wilayah tertentu dan dipengaruhi oleh perubahan-
perubahan yang terjadi pada suatu tempat tertentu. Perubahan-perubahan
ini menyebar ke semua arah, seperti halnya gelombang dalam sebuah kolam
yang disebabkan oleh barang yang dijatuhkan ke dalam kolam tersebut. Atau
dengan kata lain perubahan-perubahan linguistis dapt tersebar seperti
gelombang pada suatu wilayah bahasa, dan tiap perubahan dapat meliputi
suatu wilayah yang tidak tumpang-tindih dengan wilayah perubahan
terdahulu. Hasi dari gelombang-gelombang yang berurutan itu adalah
jaringan-jaringan isoglos. Daerah-daerah yang berdekatan dengan pusat
penyebaran akan lebih banyak menunjukkan persamaan-persamaan dengan
pusat penyebarannya. Perbedaan-perbedaan semakin besar sesuai dengan
jarak yang ditempuh, dan semakin banyak pula jaringan isoglos yang
dilewati.
Dalam penelitian yang dilakukan, semakin banyak diketemikan data yang
menunjukkan eratnya kekerabatan semakin bertambah pula data-data yang
menunjukkan diagram yang lain. Dalam suatu karangan J. Schmidt yang

32
terkenal pada tahun 1872, menunjukan adanya kontradiksi-kontradiksi
tersebut yang terdapat dalam bahasa-bahasa Indo-Eropa. Bahasa-bahasa
German dan Balto-Slavik mengalami masa perkembangan yang berbeda,
tetapi bahsa-bahasa itu memiliki pula unsur-unsur yang sama, yang
menunjukkan bahwa unsur itu berasal dari jaman Indo-Eropa. Kemiripan-
kemiripan tertentu dapat diketemukan bagi kedua cabang bahasa Indo-Eropa
itu, serta kemiripan yang khusus ini banyak jumlahnya dalam cabang-cabang
yang secara geografis berdekatan. Disamping itu meskipun bahasa-bahasa itu
sudah berpisah, masih terdapat kontak satu sama lain, khususnya bagi
bahasa kerabatan yang berdekatan. Dengan demikian kelemahan-kelemahan
yang terdapat dalam Stammbaumtheorie dapat diatasi dengan Teori
Gelombang.
Dalam penyebarannya dari pusat ke pinggir daerah penyebaran dapat
terjadi bahwa unsur yang hilang di tengah jalan dalam penyebaran itu.
Kata putih  dalam bahsa Sunda misalnya adalah bodas, dalm bahasa
Bima sika, yang secara fonetis dianggap berkerabatan. Ini menunjukan
bahwa daerah penyebaran sudah mengalami perubahan.

c. Metode Pemeriksaan
Dalam ilmu perbandingan bahasa historis, pertama-tama akan
ditetapkan apakah terdapat tingkat-tingkat perbedaan dalam hubungan
antara bahasa-bahsa kerabat. Misalnya dalam meneliti bahasa-bahasa yang
masih hidup dewasa ini misalnya bahasa Melayu, Jawa, Sunda, dan Bali
berdasarkan korespondensi fonemis. Dapat ditetapkan bahasa mana di
antara keempatnya lebih mirip satu sama lain. Apakah bahasa Melayu lebih
dekat dengan bahasa Sunda atau lebih dekat dengan bahasa Jawa. Prosedur
semacam ini disebut prosedur sub-grouping atau prosedur pengelompokan.
Salah satu cara yang paling kuno untuk menetapkan pengelompokan
bahasa-bahasa adalah dengan mempergunakan metode pemeriksaan sekilas
(inspection). Dalam mengadakan pengelompokan bahasa-bahasa dengan

33
mempergunakan metode ini, si pengamat hanya mengadakan peninjauan
sepintas lalu mengenai persamaan dan perbedaan antara bahasa-bahasa
yang dibandingkan. Contoh sebagai berikut

Melayu : dua,           tadi,     anjiŋ
Sunda : dua,             tadi,     anjiŋ
Jawa : loro,               mau,    asu

Metode ini kadang-kadang berhasil tetapi kadang gagal pula, tergantung


dari materi yang dipergunakan. Semakin banyak data yang dimaksud dalam
pemeriksaan ini, tentu semakin dapat diandalkan hasilnya.
Dengan mempergunakan metode pemeriksaan atas data-data dari
sejumlah bahasa Eropa, seperti terdapat dalam daftar di bawah ini, dapat
disimpulkan bahwa terdapat dua kelompok bahasa yaitu bahasa Inggris-
Jerman-Belanda, dan kelompok yang lain terdiri dari Prancis-Italia-spanyol.
Di samping terlihat adanya hubungan bunyi (korespondensi fonemis) antara
kelompok-kelompok tersebut, jelas terlihat pula kesamaan bentuk-makna
kata-kata antara kedua kelompok itu.

Gloss Inggris Jerman Belanda Prancis Italia Spanyol


Tangan Hand Hand Hand Main Mano Mano
Hidup Life Leben Leven Vie Vita Vida
m.panas Summer Sommer Zomer Ete Estate Estio
Beri Give Geben Geven Donner Donare Doner
Kaki Foot Fuss Voet Pied Piede Pie
Dua Two Zwei Twee Deux Due Dos
Tiga Three Drei Drie Trois Tre Tres
Saya Me Mich Me Moi Me Me
 
d. Metode Kosa Kata Dasar

34
Metode pengelompokan bahasa yang mula-mula dilakukan hanya dengan
menggunakan metode pemeriksaan sepintas (inspection) kemudian
disempurnakan dengan mengadakan seleksi atas kata-kata mana yang
dipergunakan dalam perbandingan. Kosa kata yang dipergunakan dalam
metode kosa kata dasar (basic vocabulary) adalah kosa kata yang dianggap
menjadi syarat mati-hidupnya sebuah bahasa, kosa kata yang dimiliki sebuah
bahasa sejak awal perkembangannya. Kosa kata ini seperti juga nama
metodenya disebut kosa kata dasar atau perbendaharaan kata dasar (basic
vocabulary).
Asumsi bahwa perbendaharaan kata dalam suatu bahasa dapat
dibedakan dalam dua kelompok yang besar, antara lain sebagai berikut:
3. Kata-kata yang tidak gampang berubah, misalnya kata-kata mengenai
anggota tubuh, kata-kata ganti, kata-kata yang mengatakan perasaan, kata-
kata bertalian dengan cuaca dan alam, kata-kata bilangan, kata-kata yang
berhubungan dengan perlengkapan rumah tangga yang dianggap ada
sejak permulaan.
Semua kata ini dimasukkan dalam sebuah kelompok yang disebut kosa
kata dasar.
4. Kata-kata yang mudah berubah, yaitu kata-kata yang dipinjamkan kepada.
Atau, dan, dari kebudayaan lain. Misalnya kata : meja, kursi, baju, lampu.
Kata-kata ini mudah mengalami difusi, sebab itu gampang pula mengalami
perubahan. Kata-kata ini disebut kata-kata budaya (cultural word).
Kata yang dipergunakan dalam pengelompokan dengan metode ini
merupakan perbendaharaan kata dasar, karena kata-kata dianggap
sebagai warisan bersama dari bahasa proto.
5. Inovasi
Bahwa dengan menggunakan kosa kata dasar yang diwarisi bersama dari
suatu bahasa proto, proses pengelompokan akan mengalami kesulitan,
jumlah kemiripan bentuk makna antara bahasa-bahasa yang dibandingkan
itu sama. Untuk mengatasi kesulitan yang ditimbulkan oleh jumlah

35
kemiripan yang sama antara sejumlah besar bahasa krabat, maka
dikembangkan suatu metode lain sebagai pelengkap, yaitu metode inovasi
atau metode pembaharuan dari kata-kata dasrnya.
Metode ini bertolak dari suatu asumsi bahwa pada suatu waktu, karena
suatu alas an atau karena sebab-sebab tertentu, suatu bahasa kerabat
memperbaharui satu atau lebih kosa kata dasarnya. Pembaharuan ini terjadi
bukan karena pinjaman atau pengaruh dari luar, tetapi karena daya tumbuh
dari bahasa itu sendiri. Inovasi pertama-tama terjadi karena salah satu
ucapan salah tulis sebuah kata dalam teks lama. Pembaharuan dapat juga
terjadi karena perubahan makna. Dalam perjalanan waktu ada kata-kata tua
yang berubah maknanya, sedangkan dalam bahasa kerabat yang lain makna
dan bentuk tua tetap dipergunakan. Kata hulu dulu berarti “Kepala” yang
masih bertahan dalam beberapa bahasa Austronesia Barat. Dalam bahasa
Melayu dan Indonesia kata hulu berubah maknanya sehingga berarti
“tangkai” atau “bagian udik sungai”.
Kadang terjadi bahwa dalam bahasa yang sudah mengalami inovasi
makna tersebut, makna lama masih bertahan dalam ungkapan-ungkapan
tertentu, sehingga masih mengandung fungsi peripheral, sementara makna
yang baru dengan bentuk yang lama itu menduduki fungsi primer. Bentuk tua
dengan makna yang lama yang masih bertahan dalam bahasa sekarang
disebut relif sedangkan bentuk yang diperbaharui disebut inovasi.
Inovasi utuk mengadakan pengelompokan bahasa dapat juga
berlangsung pada struktur fonologi bahasa.  Factor-faktor tertentu ada fonem
proto dalam sebuah segmen diganti oleh fonem lain dalam sebuah bahasa
atau lebih, sedangkan bahasa lainnya mempertahankan fonem yang
diturunkan secara linier dari bahasa protonya. Bahasa Jawa misalnya
memiliki fonem global, sebaliknya bahasa Sunda tidak mengenal fonem itu.
Bila ada dua bahasa atau lebih mengalami pembaharuan kata dasarnya atau
sistem fonem protonya (common inovation) dengan meninggalkan unsur

36
yang lama, maka bahasa-bahasa itu sejak mengalami perubahan itu dianggap
membentuk kelompok baru. 
Jawa     : asu,      lapo
Melayu : anjiŋ,   lapar
Sunda   : anjiŋ,  lapar

Misalnya dalam membandingkan unsur kata dasar dalam bahasa-bahasa


berikut dapat ditarik kesimpulan bahwa bahasa Jawa yang mempergunakan
kata asu lebih dahulu memisahkan diri. Pembendaharaan kata baru yang
dimiliki bersama oleh bahasa-bahasa yang mengalami inovasi itu
disebut shared innovation.
6. Masalah Pengelompokan Bahasa Nusantara
Usaha untuk mengadakan pengelompokan bahasa-bahasa Nusantara
tidak memberikan hasil yang memuaskan dengan menggunakan teknik
pemeriksaan sekilas, maupun dengan menggunakan kosa kata dasar.
Pertama yang dilakukan untuk pengelompokan bahasa Nusantara, harus
mempergunakan kosa kata dasar, baru kemudian bila timbul hal-hal yang
meragukan menggunakan metode inovasi, baik inovasi dalam kosa kata
dasar, maupun inovasi unsur-unsur gramatikal dan inofasi fonolois.
Usaha mempergunakan kosa kata dasar sebagai landasan
pengelompokan mengalami kegagalan atau tidak memuaskan karena hal-hal
berikut :
a. Prosentase kemiripan kata –kata kerabat bahasa-bahasa Nusantara kecil
saja, berkisar antara 30 - 40%. Dengan demikian sukar menentukan
bahasa mana lebih dekat ke bahasa lain.
b. Kosa kata dasar sukar sekali dijadikan dari sub-grouping karena kata-
kata itu terdapat pada geografis yang sangat berjauhan. Kosa kata dasar
bahasa-bahasa Austronesia tersebar dalam wilayah geografis yang luas,
dapat dilihat dalam table berikut :

37
Gloss Satu      Dua      Tiga      Empat      Lima      Enam       Tujuh
Melayu      Esa        dua       tiga        ǝmpat        lima        ǝnam         tujuh
Jawa      Siji        loro       tǝlu        papat         limo        nǝnǝm       pita
Tagalog      Isa        dalawa  tatlo       apat           lima         anim          pito
Lamalera      Tou       rua        tǝlo        pa               lema       nǝmu         pito
Sikka       Ha        rua        tǝlu       hutu           lima         ǝna            pitu
Malagasi      Isi         ru          telu       efatri          dimi         enina        fitu
Tuba      Sada    dua        tolu       opat           lima          onom       pitu
Sunda     Hiji       dua         tilu       opat           lima          gǝnǝp       tuju

Data-data di atas membuktikan bahwa kosa kata dasatr itu dipertahankan


terus dalam bahasa-bahasa itu, walaupun distribusi geografisnya berjauhan.
Hal ini menunjukkan bahawa kata-kata tersebut kurang bermanfaat bagi sub-
grouping. Unsure inovasi pada kosa kata dasar dan inovasi unsure gramatikal
akan membantu mengatasi kesulitan dalam pengelompokan. Dalam
mengadakan sub-grouping dengan menggunakan kosa kata dasar, tidak
boleh diadakan perbandingan secara etimologis atau terlalu bersifat
atimologis.

38
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan kajian dan gambaran tentang metode perbandingan
korespondensi maka dapat disimpulkan bahwa istilah korespondensi berasal
dari adanya kritik atas hukum bunyi. Misalnya dalam pembentukan
Korespondensi Fonemis, perlu adanya persyaratan yang harus dipenuhi untuk
menyusun atau menetapkan suatu perangkat korespondensi yang absah.
Prosedur yang dimaksud adalah rekurensi fonemis (pasangan kata atau
perangkat bunyi yang muncul secara berulang-ulang), ko-okurensi (kata-kata
yang mirip bentuk dan maknanya) dan analogi (proses pembentukan kata).
Untuk menerapkan prinsip rekonstruksi fonemis, maka perlu diadakan
perbandingan pasangan-pasangan kata dalam pelbagai bahasa kerabat
dengan menemukan korespondensi fonemis dari tiap-tiap fonem yang
membentuk kata-kata kerabat tersebut, maka dapat diperkirakan fonem
proto mana yang kiranya menurunkan fonem-fonem yang berkorespondensi,
kemudian dicarikan suatu fonem pengenal untuk memudahkan referensi.
Pada tingkat rekonstruksi yang dilakukan dalam satu bahasa bertujuan
untuk memulihkan suatu bahasa pada tahap perkembangan tertentu pada
masa lampau, dengan tidak mempergunakan bahan-bahan dari bahasa lain,
melainkan hanya mempergunakan data dari bahasa itu sendiri. Misalnya
pada rekonstruksi dalam yang dilakukan karena beberapa kenyataan, seperti
adanya alomorf, netralisasi, reduplikasi, bentuk infleksi, danrekonstruksi  di
atas morfem
Kemudian ada beberapa tipe perubahan fonetis yang mengadakan
rekonstruksi fonem proto ke dalam fonem-fonem bahasa kerabat, yakni
pewarisan linear, pewarisan dengan perubahan, pewarisan dengan
penghilangan, pewarisan dengan penambahan, penanggalan parsial,
perpaduan (merge) dan pembelahan (split). Selanjutnya proses perubahan
bunyi itu sendiri lebih dipengruhi oleh asimilasi dan disimilasi.

39
Selain itu perubahan morfemis yang lebih dikenal dengan istilah analogi,
dapat mengubah morf-morf atau kombinasi morf-morf atau pola-pola
linguistik berdasarkan bentuk-bentuk yang sudah ada, dan menciptakan
morfem-morfem baru berdasarkan morfem yang sudah ada.
Hakikat pengelompokan merupakan upaya penemuan kemiripan dan
kesamaan unsur-unsur kebahasaan yang inovatif dan eksklusif pada bahasa
baik pada tataran fonologi maupun leksikal. Penemuan kemiripan dan
kesamaan inovasi segi fonologi dapat ditelusuri pada kesamaan pola atau
kaidah perubahan fonem yang ada pada bahasa-bahasa itu sendiri.

40
DAFTAR PUSTAKA
Keraf, Gorys. 1996. Linguistik bandingan Historis. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama

41

Anda mungkin juga menyukai