Anda di halaman 1dari 45

TUGAS

Dosen : A. Yuadarwati Yusuf M S.Pd.,M.Pd

DISUSUN OLEH :

Ernida 2153009

Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

STKIP COKROAMINOTO PINTANG

2018

A. Pengertian Fonologi
Menurut Kridalaksana (2002) dalam kamus linguistik, fonologi

adalah bidang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa

menurut fungsinya. Fonologi ialah bagian dari tata bahasa yang

memperlajari bunyi-bunyi. Fonologi ialah bidang linguistik yang

mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi

bahasa, yang secara etimologi terbentuk dari kata fon yaitu bunyi dan

logi yaitu ilmu (Chaer, 1994: 102). dirman fonologi 3.

Menurut istilah fonologi berasal dari kata Fon yang bearti bunyi

dan Logos yang berarti ilmu pengetahuan. Jadi fonologi adalah ilmu yang

mempelajari bunyi (bahasa), yaitu bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap

manusia. Menerut beberapa ahli, fonologi dapat diartikan sebagai

berikut:

 Keraf (1984: 30), fonologi adalah bagian dari tata bahasa yang

mempelajari bunyi-bunyi bahasa.

 Kridalaksana (1995: 57), fonologi adalah bidang dalam linguistic yang

menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya.

 Chaer (1994: 102), fonologi adalah bidang linguistik yang

mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi

bahasa, yang secara etimologi terbentuk dari kata fon yaitu bunyi

dan logi yaitu ilmu.

 Verhaar (1986: 36) fonologi adalah sebagai bidang khusus dalam

linguistic itu mengamati bunyi-bunyi suatu bahasa tertentu menurut


fungsinya untuk membedakan makna leksikal dalam bahasa

tersebut.

Dari beberapa definisi di atas mengenai pengertian fonologi dapat

disimpulkan bahwa fonologi adalah bidang linguistic yang mempelajari,

mengkaji, dan menganalisis bunyi-bunyi bahasa yang di hasilkan dari

alat ucap manusia menurut fungsinya.

Istilah fonologi ini berasal dari gabungan dua kata Yunani

yaitu phone yang berarti bunyi dan logos yang berarti tatanan, kata, atau

ilmu disebut juga tata bunyi.  Akan tetapi, bunyi yang dipelajari dalam

Fonologi bukan bunyi sembarang bunyi, melainkan bunyi bahasa yang

dapat membedakan arti dalam bahasa lisan ataupun tulis yang

digunakan oleh manusia.

Sementara John Rupet Firth memberikan arti fonologi adalah

peranan atau hubungan dari unsur-unsur fonologi dalam konteks

fonologi dari struktur suku kata dan unsur-unsur lain yang bersamaan

secara paradigmatik yang dapat berperanan dalam konteks yang serupa.

Secara etimologi kata fonologi berasal dari gabungan kata fon yang

berarti ‘bunyi‘ dan logi yang berarti ‘ilmu’. Sebagai sebuah ilmu, fonologi

lazim diartikan sebagai bagian dari kajian linguistik yang mempelajari,

membahas, membicarakan, dan menganalisis bunyi-bunyi bahasa yang

diproduksi oleh alat-alat ucap manusia.


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) dinyatakan bahwa

fonologi adalah bidang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi–bunyi

bahasa menurut fungsinya. Menurut Kridalaksana (2002) dalam kamus

linguistik, fonologi adalah bidang dalam linguistik yang menyelidiki

bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya. Dengan demikian, fonologi

adalah sistem bunyi dalam bahasa Indonesia atau dapat juga dikatakan

bahwa fonologi adalah ilmu tentang bunyi bahasa.

B. Bidang Pembahasannya

Fonologi mempunyai dua cabang kajian.

1. Fonetik yaitu cabang kajian yang mengkaji bagaimana bunyi-bunyi

fonem sebuah bahasa direalisasikan atau dilafalkan. Fonetik juga

mempelajari cara kerja organ tubuh manusia terutama yang

berhubungan dengan penggunaan bahasa. Chaer (2007) membagi

urutan proses terjadinya bunyi bahasa itu, menjadi tiga jenis fonetik,

yaitu:

a) fonetik artikulatoris atau fonetik organis atau fonetik fisiologi,

mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia

bekerja dalam menghasilkan bunyi bahasa serta bagaimana

bunyi-bunyi itu diklasifikasikan.

b) fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis

atau fenomena alam (bunyi-bunyi itu diselidiki frekuensi

getaranya, aplitudonya,dan intensitasnya.


c) fonetik auditoris mempelajari bagaimana mekanisme

penerimaan bunyi bahasa itu oleh telinga kita.

Dari ketiga jenis fonetik tersebut yang paling berurusan dengan

dunia lingusitik adalah fonetik artikulatoris, sebab fonetik inilah

yang berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu

dihasilkan atau diucapkan manusia. Sedangkan fonetik akustik lebih

berkenaan dengan bidang fisika, dan fonetik auditoris berkenaan

dengan bidang kedokteran.

2. fonemik yaitu  kesatuan bunyi terkecil suatu bahasa yang berfungsi

membedakan makna. Chaer (2007) mengatakan bahwa fonemik

mengkaji bunyi bahasa yang dapat atau berfungsi membedakan

makna kata. Misalnya bunyi [l], [a], [b] dan [u]; dan [r], [a], [b] dan

[u] jika dibandingkan perbedaannya hanya pada bunyi yang

pertama, yaitu bunyi [l] dan bunyi [r]. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa kedua bunyi tersebut adalah fonem yang

berbeda dalam bahasa Indonesia, yaitu fonem /l/ dan fonem /r/.

C. Kedudukan Fonologi dalam Cabang-cabang Linguistik

Sebagai bidang yang berkosentrasi dalam deskripsi dan analisis

bunyi-bunyi ujar, hasil kerja fonologi berguna bahkan sering

dimanfaatkan oleh cabang-cabang linguitik yang lain, misalnya

morfologi, sintaksis, dan semantic,leksikologi dan leksokograefi,

dialektologi, linguistic terapan.


1) Fonologi dalam cabang Morfologi

Bidang morfologi yang kosentrasinya pada tataran struktur internal

kata sering memanfaatkan hasil studi fonologi, misalnya ketika

menjelaskan morfem dasar {butuh} diucapkan secara bervariasi

antara [butUh] dan [bUtUh] serta diucapkan [butuhkan] setelah

mendapat proses morfologis dengan penambahan morfem sufiks   {-

kan}.

2) Fonologi dalam cabang Sintaksis

Bidang sintaksis yang berkosentrasi pada tataran kalimat, ketika

berhadapan dengan kalimat kamu berdiri. (kalimat berita), kamu

berdiri? (kalimat tanya), dan kamu berdiri! (kalimat perintah) ketiga

kalimat tersebut masing-masing terdiri dari dua kata yang sama

tetapi mempunyai maksud yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat

dijelaskan dengan memanfaatkan hasil analisis fonologis, yaitu

tentang intonasi, jedah dan tekanan pada kalimat yang ternyata

dapat membedakan maksud kalimat, terutama dalam bahasa

Indonesia.

3) Fonologi dalam cabang Semantik

Bidang semantik, yang berkosentrasi pada persoalan makna kata

pun memanfaatkan hasil telaah fonologi. Misalnya dalam

mengucapkan sebuah kata dapat divariasikan, dan tidak. Contoh kata

[tahu], [tau], [teras] dan [t∂ras] akan bermakna lain. Sedangkan kata

duduk dan didik ketika diucapkan secara bervariasi [dudU?],


[dUdU?], [didī?], [dīdī?] tidak membedakan makna. Hasil analisis

fonologislah yang membantunya.

4) Fonologi dalam bidang leksikologi dan leksokografi

Leksikologi, juga leksokografi, yang berkonsentrasi pada persoalan

perbendaharaan kata suatu bahasa, baik dalam rangka penyusunan

kamus mauun tidak, sering memanfaatkan hasil kajian fonologi.

5) Fonologi dalam bidang dialektologi

Bidang dialektologi, yang bermaksud memetakan “wilayah”

pemakaian dialek atau variasi bahasa tertentu sering memanfaatkan

hasil kajian fonologi, terutama variasi-variasi ucapan pemakaian

bahasa, baik secara sosial maupun geografis.

6) Fonologi dalam bidang linguistik terapan

Begitu juga pada bidang linguistik terapan. Pengajaran bahasa

(khususnya pengajran bahasa kedua dan pengajaran bahasa asing)

yang bertujuan keterampilan berbahasa lisan harus melatihkan cara-

cara pengucapan bunyi-bunyi bahasa target kepada pembelajar (the

leaner). Cara-cara pengucapan ini akan lebih tepat dan cepat bisa

dikuasai kalau pembelajar ditunjukkan ciri-ciri artikulasi dan cara-

cara pengucapan setiap bunyi yang dilatihkan dengan memanfaatkan

hasil kajian fonologi.

7) Fonologi dalam bidang psikolinguistik

Psikolinguistik ketika menganalisis perkembangan penguasaan

bunyi-bunyi bahasa pada diri anak juga memanfaatkan hasil kajian


fonologi. Misalnya, mengapa bunyi-bunyi bilabial dikuasai lebih

dahulu dari pada bunyi-bunyi labiodental.

D. Manfaat Fonologi dalam Penyusunan Bahasa

Ejaan adalah peraturan penggambaran atau pelambangan bunyi

ujar suatu bahasa. Karena bunyi ujar adalah dua unsur, yaitu segmental

dan suprasegmental, ejaan pun menggambarkan atau melambangkan

kedua unsur bunyi tersebut.

Perlambangan unsur segmental bunyi ujar tidak hanya bagaimana

melambangkan bunyi-bunyi ujar dalam bentuk tulisan atau huruf, tetapi

juga bagaimana menuliskan bunyi-bunyi ujar dalam bentuk kata, frase,

klausa, dan kalimat, bagaimana memenggal suku kata, bagaimana

menuliskan singkatan, nama orang, lambang-lambang teknis keilmuan

dan sebagainya. Perlambangan unsure suprasegmental bunyi ujar

menyangkut bagaimana melambangkan tekanan, nada, durasi, jedah dan

intonasi. Perlambangan unsure suprasegmental ini dikenal dengan istilah

tanda baca atau pungtuasi.

Tata cara penulisan bunyi ujar ini bias memanfaatkan hasil kajian

fonologi,terutama hasil kajian fonemik terhadap bahasa yang

bersangkutan. Oleh karena itu, hasil kajian fonemik terhahadap ejaan

suatu bahasa disebut ejaan fonemis.

E. Sejarah Perkembangan Fonologi

Sejarah fonologi dapat dilacak melalui riwayat pemakaian istilah

fonem dari waktu kewaktu Pada sidang Masyarakat Linguistik Paris, 24


mei 1873, Dufriche Desgenettes mengusulkan nama fonem, sebagai

padanan kata Bjm Sprachault. Ferdinand De Saussure dalam bukunya “

Memorie Sur Le Systeme Primitif Des Voyelles Dan Les Langues Indo-

Europeennes” “memori tentang sistem awal vokal bahasa-bahasa Indo

eropa”  yang terbit pada tahun 1878, mendefinisikan fonem sebagai

prototip unik dan hipotetik yang berasal dari bermacam bunyi dalam

bahasa – bahasa anggotanya.

Gambaran mengenai perkembangan fonologi dari waktu ke waktu

dapat dilihat lewat berbagai aliran dalam fonologi.

1) Aliran Kazan. Dengan tokohnya Mikolaj Kreszewski, aliran ini

mendefinisikan fonem sebagai satuan fonetis tak terbagi yang tidak

sama dengan antropofonik yang merupakan kekhasan tiap individu.

Tokoh utama aliran kazan adalah Baudoin de Courtenay

(1895). Menurut linguis ini, bunyi – bunyi yang secara fonetis

berlainan disebut alternan, yang berkerabat secara histiris dan

etimologis. Jadi, meskipun dilafalkan berbeda, bunyi – bunyi itu

berasal dari satu bentuk yang sama. Pada 1880, Courtenay

melancarkan kritiknya terhadap presisi atas beberapa fona yang

dianggapnya tidak bermanfaat. Pada 1925, paul passy mempertegas

kritik tersebut.

Ferdinand De Saussure. Dalam bukunya “Cours de Linguistique

Generale” ‘ Kuliah Linguistik umum’, Saussure mendefinisikan

fonologi sebagai studi tentang bunyi-bunyi bahasa manusia.dari


definisi tersebut tercermin bahwa bunyi bahasa yang dimaksud

olehnya hanyalah unsur-unsur yang terdengar berbeda oleh telinga

dan yang mampu menghasilkan satuan-satuan akustik yang tidak

terbatas dalam rangkaian ujaran. Jadi dapat dikatakan bahwa

Saussure menggunakan kriteria yang semata-mata fonetis untuk

menggambarkan fonem dan memempatkannya hanya pada poros

sintagmatik.

Lalu Saussure mengoreksinya dan mengatakan bahwa pada

sebuah kata yang penting bukanlah bunyi melainkan perbedaan

fonisnya yang mampu membedakan kata itu dengan yang lain.

Dengan konsep-konsepnya, meskipun tidak pernah mencantumkan

istilah struktur maupun fungsi, Saussure dianggap telah membuka

jalan terhadap studi fonologi yang kemudian diadaptasi oleh aliran

Praha. 

2) Aliran Praha. Aliran Linguistik Praha terdiri dari sekelompok ahli

bahasa  dari Czechoslovakia dan Negara-negara lain yang tergabung

dalam “The Linguistic Circle of Prague” (kelompok linguistik praha).

Dalam konfrensi pertama mengenai filologi bahasa Slavonia pada

tahun 1929 “The Lingui“The Linguistic Circle of Prague” 

menyampaikan buku “Travaux du Cercle Lingistique de Pregue” yang

pertama. Pada waktu yang hampir bersamaan buku “Remarques”

karangan Roman Jackobson muncul yang merupakan buku pertama


yang membicarakan secara eksplisit masalah-masalah fonologi

diakronik dalam kerangka konseptual yang baru dikembangkan.

Pada tahun 1930 pertemuan internasional mengenai fonologi

diadakan di praha, dan Asosiasi Internasional untuk studi fonologi

dibentuk. Anggaran dasar Asosiasi Internasional tersebut disetujui

pada kongres internasional ahli bahasa kedua di Geneva pada tahun

1931. Pertemuan pertama Asosiasi Internasional untuk studi

fonologi dilaksanakan bersamaan dengan kongres internasional

ilmu-ilmu fonetik di Amsterdam pada tahun 1932.[2]

3) Aliran London. Aliran londom dipelopori oleh Jhon.R. Firth seorang

guru besar pada Universitas London yang sangat terkenal karena

teorinya mengenai fonologi prosodi[3]. Oleh karena itu sering pula

aliran yang dikembangkannya disebut aliran Firthians, aliran Firth.

Titik berat perhatiaannya pada bidang fonetik dan fonologi,. Kaum

Firthians ini sangat terkenal karena kecendrungannya untuk

menerapkan hal-hal yang praktis. Mereka yang beraliran ini antara

lain: H. Sweet, D. Jones, B. Malinowsi, dan J.R. Firth sendiri.

F. Objek kajian Fonologi

Sebagaimana yang diketahui fonologi adalah ilmu yang

mempelajari tentag pola dan system bunyi dalam sebuah bahasa karena

setiap bahasa memiliki pola dan system bunyi yang berbeda-beda.[7]

Oleh sebab itu, Objek dalam fonologi yang tiada lain adalah bunyi-bunyi

ujar,  maka bunyi-bunyi ujar ini dapat dilihat dari dua sudut pandang:
1. Fonetik

Secara umum fonetik biasa dijelaskan sebagai cabang studi fonologi

yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah

bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna

atau tidak.[8]  Sedangkan menurut Clark dan Yallop (1990), fonetik

merupakan bidang yang berkaitan erat dengan kajian bagaimana

cara manusia berbahasa serta mendengar dan memproses ujaran

yang diterima.

Secara umum dalam studi fonologi, dibedakan adanya tiga jenis

fonetik, yaitu fonetik artikuloris, fonetik akustis, dan fonetik

audiotoris.

a. Fonetik artikuloris, disebut juga fonetik organis atau fonetik

fisiologis, mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara

manusia bekerja dalam menghasilkan bunyi bahasa, serta

bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan.

b. Fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa  menurut aspek-

aspek fisiknya. Bunyi-bunyi itu diselidiki frekuensinya,

getarannya, amplitudonya, intensitasnya dan timbrennya. Alat-

alat yang digunakan  untuk mengkaji gelombang bunyi bahasa

dan mengukur pergerakan udara antaralain, spektograf (alat

untuk menganalisis dan memaparkan frekuensi dan tekanan,

oscilloskop (alat untuk memaparkan ciri-ciri kenyaringan

bunyi).
c. Fonetik audiotoris atau fonetik persepsi ini mengarahkan

kajiaanya pada persoalan bagaimana manusia menentukan

pilihan bunyi-bunyi yang diterima alat pendengarannya. dengan

arti kata kajian ini  meneliti bagaimana seseorang pendengar

menanggapi bunyi-bunyi yang diterimanya sebagai bunyi-bunyi

yang perlu diproses sebagai bunyi-bunyi bahasa..

Kridalaksana (1995: 57) mengemukakan adanya fonetik-

fonetik sebagai berikut.

1) Fonetik instrumental adalah bagian dari fonetik merekam,

menganalisis, dan mengukur unsure-unsur bunyi dengan mesin

atau alat-alat elektronis seperti spektograf, osiloskop, dan lain-

lain.

2) Fonetik parametris adalah pendekatan dalam fonetik yang

memandang wicara sebagai sitem fisiologis tunggal dengan

variebel-variabel artkulasi dalam saluran suara yang terus

menerus bergerak dan saling bekerja sama dalam dimensi

waktuuntuk menghasilkan continuum bunyi yang

disegmentasikan oleh pendengar menurut kaida bahasa yang

berlaku.

3) Fonetik terapan yaitu bidang bidang linguistic terapan yang

mencakup metode dan pengucapan bunyi dengan tepat;


misalnya untuk melatih orang yang gagap, untuk melatih pemain

drama, dan sebagainya.

Ramelan (1985: 82) mengemukakan adanya fonetik sebagai

berikut

1) Fonetik umum yaitu fonetik yang membahas bunyi bahasa yang

dapat dhasilkan manusia secara umum.

2) Fonetik khusus yaitu fonetik yang mengfokuskan perhatiaannya

pada bunyi bahasa tertentu, misalnya fonetik yang mempelajari

bunyi-bunyi bahasa Indonesia disebut fonetik bahasa Indonesia.

Dengan demikian, jelaslah bahwa fonetik itu ialah cabang studi

fonologi yang menyelidiki, mempelajari, dan menganalisis penghasilan,

penyampaian, dan penerimaan bunyi-bunyi ujaran/bahasa yang dipakai

dalam tutur tanpa memperhatikan fungsinya sebagai pembeda

makna/arti, yang melibatkan analisis ilmu fisika, anatomi, dan psikologi.

fonetik yang memfokuskan perhatiannya pada bunyi bahasa tertentu,

misalnya fonetik yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa Indonesia

disebut fonetik bahasa Indonesia.


Dalam kajiannya, fonetik akan berusaha mendeskripsikan

perbedaan bunyi-bunyi itu serta menjelaskan sebab-sebabnya.

Sebaliknya, perbedaan bunyi [p] dan [b] yang terdapat, misalnya,

pada kata [paru] dan [baru] adalah menjadi contoh sasaran studi

fonemik, sebab perbedaan bunyi [p] dan [b] itu menyebabkan

berbedanya makna kata [paru] dan [baru] itu (Chaer, 1994: 102).

Fonetik memiliki tanda […], contoh fonetik : [motor] dan

[mutur], walaupun [o] dan [u] berbeda, tetapi dua kata tersebut

tetap sama maknanya.

2. Fonemik

Setiap makna yang membedakan aslinya dalam sebuah bahasa

merupakan gambaran dari fonem. Jadi, Fonemik adalah cabang studi

fonologi yang mempelajari bunyi bahasa dengan memperhatikan

fungsi bunyi tersebut sebagai pembeda makna. Kenneth L. Pike

mengatakan, “ a phoneme is one of the significant units of souds, or a

contranstive sound unit”. Berdasarkan rumusan tersebut jelaslah

bahwa fonem mempunyai fungsi pembeda, yaitu pembeda makna.

Terlebih lagi fonem adalah salah satu jalan untuk melihat fonologi

sebuah bahasa. Disisilain fonem juga dapat diartikan sebagai sebuah

symbol yang menunjukkan unit kontrastif.


Dalam studi fonemik yang didalamnya terdapat beberapa

pembahasan mengenai fonem, identifikasi fonem, klasifikasi fonem,

khazanah fonem, alofon, perubahan fonem dapat memberi

pemahaman tentang dasar-dasar fonologi khususnya fonemik.

Jadi, jelaslah bahwa fonemik itu adalah cabang studi fonologi

yang menyelidiki dan mempelajari bunyi ujaran/bahasa atau sistem

fonem suatu bahasa dalam fungsinya sebagai pemdeda arti. • Kalau

dalam fonetik kita mempelajari segala macam bunyi yang dapat

dihasilkan oleh alat-alat ucap serta bagaimana tiap-tiap bunyi itu

dilaksanakan, maka dalam fonemik kita mempelajari dan

menyelidiki kemungkinankemungkinan, bunyi ujaran/bahasa yang

manakah dapat mempunyai fungsi untuk membedakan arti.

Sedangkan fonemik adalah bidang linguistik yang mempelajari

bahasa yang berfungsi untuk membedakan makna.Fonemik

mempunyai tanda /…/, contoh fonemik : / agar/ dan /akar/, kedua

kata tersebut sangat mirip, masing-masing terdiri dari empat buah

bunyi. Perbedaannya hanya pada bunyi yang kedua, yaitu bunyi /g/

dan bunyi /k/. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bunyi /g/

dan /k/ adalah dua buah fonem yang berbedadi dalam bahasa

Indonesia sehingga maknanya pun berbeda.


Chaer (2007) mengatakan bahwa fonemik mengkaji bunyi

bahasa yang dapat atau berfungsi membedakan makna kata.

Misalnya bunyi [l], [a], [b] dan [u] dan [r], [a], [b] dan [u]. Jika

dibandingkan perbedaannya hanya pada bunyi yang pertama, yaitu

bunyi [l] dan bunyi [r]. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

kedua bunyi tersebut adalah fonem yang berbeda dalam bahasa

Indonesia, yaitu fonem /l/ dan fonem /r/.

G. Kedudukan Fonologi dalam Linguistik

Linguistik merupakan ilmu bahasa yang menurut objek kajiannya,

linguistik dapat dibagi atas dua cabang besar, yaitu linguistik mikro dan

makro. Objek kajian mikro adalah struktur internal bahasa itu sendiri,

mencakup teori linguistic, linguistic deskriptif, dan linguistic historis

komparatif. Di dalam teori linguistic mengkaji ilmu fonologi (fonetik dan

fonemik), morfologi, sintaksis, semantik. Sedangkan objek kajian

linguistic makro adalah bahasa dalam hubungannya dengan faktor-faktor

diluar bahasa seperti faktor sosiologis, psikologis, antropologi, dan

neurologi.

H. Struktur fonologis dari contoh kata dasar berikut.

1. Nyanyi

nyanyi

nya                              nyi
ny                    a          ny                    i

2. Syukur

Syukur

syu                               kur

sy                     u          k          u          r

I. Sistem Fonologi dan Alat Ucap

Dalam bahasa Indonesia, secara resmi ada 32 buah fonem, yang

terdiri atas: (a) fonem vokal 6 buah (a, i. u, e, ∂, dan o), (b) fonem diftong

3 buah, dan (c) fonem konsonan 23 buah (p, t, c, k, b, d, j, g, m, n, n, η, s, h,

r, l,w, dan z).

Bentuk-bentuk fonem suatu bahasa yang dihasilkan oleh alat ucap

manusia dibahas dalam bidang fonetik. Terkait dengan hal itu, Samsuri

(1994) menyatakan secara fonetis bahasa dapat dipelajari secara teoritis

dengan tiga cara, yaitu:

1. Bagaimana bunyi-bunyi itu dihasilkan oleh alat ucap manusia

2. Bagaimana arus bunyi yang telah keluar dari rongga mulut dan /atau

rongga hidung si pembicara merupakan gelombang-gelombang

bunyi udara

3. Bagaimana bunyi itu diinderakan melalui alat pendengaran dan syaraf

si pendengar
Cara pertama disebut fisiologis atau artikuler, yang kedua disebut

akustis dan yang ketiga auditoris.

Dalam bahasan struktur fonologis cara pertamalah yang paling

mudah, praktis, dapat diberikan bukti-bukti datanya. Hampir semua

gerakan alat-alat ucap itu dapat kita periksa, paru-paru, sekat rongga

dada, tenggorokan, lidah dan bibir.

Alat ucap dibagi menjadi dua macam:

1. Artikulator; adalah alat-alat yang dapat digerakkan/ digeser ketika

bunyi diucapkan

2. Titik Artikulasi; adalah titik atau daerah pada bagian alat ucap yang

dapat disentuh atau didekati

Untuk mengetahui alat ucap yang digunakan dalam pembentukan

bahasa, perhatikan bagan berikut.

Fonem-fonem yang dihasilkan karena gerakan organ-organ bicara

terhadap aliran udara dari paru-paru sewaktu seseorang

mengucapkannya. Jika bunyi ujaran yang keluar dari paru-paru tidak

mendapat halangan, maka bunyi atau fonem yang dihasilkan adalah

vokal. Selanjutnya jika bunyi ujaran ketika udara keluar dari paru-paru

mendapat halangan, maka terjadilah bunyi konsonan.

 Jenis-jenis Fonem

1. Fonem vokal
Nama-nama fonem vokal yang ada dalam bahasa Indonesia adalah:

1. /i/ vokal depan, tinggi, tak bundar

2. /e/ vokal depan, sedang, atas, tak bundar

3. /a/ vokal depan, rendah, tak bundar

4. /∂/ vokal tengah, sedang, tak bundar

5. /u/ vokal belakang, atas, bundar

6. /o/ vokal belakang, atas, bundar

Fonem vokal yang dihasilkan tergantung dari hal berikut.

1. Tinggi rendahnya posisi lidah

Berdasarkan tinggi rendahnya posisi lidah bunyi-bunyi vokal dapat

dibedakan atas:

 vokal tinggi atas, seperti bunyi [i] dan [u]

 vokal tinggi bawah, seperti bunyi [I] dan [U]

 vokal sedang atas, seperti bunyi [e] dan [o]

 vokal sedang bawah, seperti bunyi [ɛ] dan [‫]ﬤ‬

 vokal sedang tengah, seperti bunyi [∂]

 vokal rendah, seperti bunyi [a]

1. Maju mundurnya lidah

Berdasarkan maju mundurnya lidah bunyi vokal dapat dibedakan atas:


 vokal depan, seperti bunyi [i], [e], dan [a]

 vokal tengah, seperti bunyi [∂]

 vokal belakang, seperti bunyi [u] dan [o]

Berkenaan dengan penentuan bunyi vokal berdasarkan posisi lidah ada

konsep yang disebut vokal kardinal (Jones 1958:18), yang berguna untuk

membandingkan vokal-vokal suatu bahasa di antara bahasa-bahasa lain.

Konsep vokal kardinal ini menjelaskan adanya posisi lidah tertinggi,

terendah, dan terdepan dalam memproduksi bunyi vokal itu. Bunyi vokal [i]

diucapkan dengan meninggikan lidah depan setinggi mungkin tanpa

menyebabkan terjadinya konsonan geseran. Vokal [a] diucapkan dengan

merendahkan pangkal lidah sebawah mungkin. Vokal [u] diucapkan dengan

menaikkan pangkal lidah setinggi mungkin.

1. Struktur

Struktur pada bunyi vokal adalah jarak antara lidah dengan langit-langit

keras (palatum). Maka, berdasarkan strikturnya bunyi vokal dapat dibedakan

menjadi:

 Vokal tertutup (close vowels) yaitu vokal yang dibentuk dengan lidah

diangkat setinggi mungkin mendekati langit-langit. Vokal tertutup

antara lain [i], [u].

 Vokal semi tertutup (half-close) yaitu vokal yang dibentuk dengan

lidah diangkat dalam ketinggian sepertiga di bawah tertutup atau dua


per tiga di atas vokal terbuka. Vokal semi tertutup antara lain [e], [∂],

dan [o].

 Vokal semi terbuka (half-open) yaitu vokal yang dibentuk dengan

lidah diangkat dalam ketinggian sepertiga di atas terbuka atau dua per

tiga di bawah vokal tertutup. Vokal semi terbuka antara lain [ɛ] dan [

‫]ﬤ‬.

 Vokal terbuka (open vowels) yaitu vokal yang dibentuk dengan lidah

dalam posisi serendah mungkin. Vokal terbuka adalah [a].

1. Bentuk mulut

Berdasarkan bentuk mulut sewaktu bunyi vokal itu diproduksi dapat

dibedakan:

 Vokal bundar, yaitu vokal yang diucapkan dengan bentuk mulut

membundar. Dalam hal ini ada yang bundar terbuka seperti bunyi [‫]ﬤ‬,

dan yang bundar tertutup seperti bunyi [o] dan bunyi [u].

 Vokal tak bundar, yaitu vokal yang diucapkan dengan bentuk mulut

tidak membundar, melainkan terbentang melebar, seperti bunyi [i],

bunyi [e], dan bunyi [ɛ].

 Vokal netral, yaitu vokal yang diucapkan dengan bentuk mulut tidak

bundar dan tidak melebar, seperti bunyi [a]

Berdasarkan keempat kriteria diatas, maka nama-nama vokal dapat

disebutkan sebagai berikut:


[i] adalah vokal depan, tinggi (atas), tak bundar, tertutup.

[I] adalah vokal depan, tinggi (bawah), tak bundar, tertutup.

[u] adalah vokal belakang, tinggi (atas), bundar, tertutup.

[U] adalah vokal belakang, tinggi (bawah), bundar, tertutup.

[e] adalah vokal depan, sedang (atas), tak bundar, semi tertutup.

[ɛ] adalah vokal depan, sedang (bawah), tak bundar, semi terbuka.

[∂] adalah vokal tengah, sedang, tak bundar, semi tertutup.

[o] adalah vokal belakang, sedang (atas), bundar, semi tertutup.

[‫ ]ﬤ‬adalah vokal belakang, sedang (bawah), bundar, semi terbuka.

[a] adalah vokal belakang, rendah, netral, terbuka.

2. Fonem Diftong

Fonem diftong yang ada dalam bahasa Indonesia adalah fonem diftong /ay/,

diftong /aw/, dan diftong /oy/. Ketiganya dapat dibuktikan dengan pasangan

minimal.

/ay/ gulai x gula (gulay x gula)

/aw/ pulau x pula (pulaw x pula)


/oi/ sekoi x seka (s∂koy x seka)

Adapun klasifikasi diftong adalah sebagai berikut:

1. Diftong naik, terjadi jika vokal yang kedua diucapkan dengan posisi

lidah menjadi lebih tinggi daripada yang pertama.

Contoh:

[ai]                   <gulai>

[au]                  <pulau>

[oi]                   <sekoi>

[∂i]                   <esei>

1. Diftong turun, terjadi bila vokal kedua diucapkan dengan posisi lebih

rendah daripada yang pertama. Dalam bahasa Jawa ada diftong turun

contohnya:

[ua] pada kata <muarem> ‘sangat puas’

[uo] pada kata <luoro> ‘sangat sakit’

[uɛ] pada kata <uelek> ‘sangat jelek’

1. Diftong memusat, terjadi bila vokal kedua diacu oleh sebuah atau

lebih vokal yang lebih tinggi, dan juga diacu oleh sebuah atau lebih
vokal yang lebih rendah. Dalam bahasa Inggris ada diftong [oα]

seperti pada kata <more> dan kata <floor>. Ucapan kata <more>

adalah [mo∂] dan ucapan kata <floor> adalah [flo∂].

2. Fonem Konsonan

Nama-nama fonem konsonan bahasa Indonesia adalah

/b/ konsonan bilabial, hambat, bersuara

/p/ konsonan bilabial, hambat, tak bersuara

/m/ konsonan bilabial, nasal

/w/ konsonan bilabial, semi vokal

/f/ konsonan labiodentals, geseran, tak bersuara

/d/ konaonan apikoalveolar, hambat, bersuara

/t/ konsonan apikoaveolar, hambat, tak bersuara

/n/ konsonan apikoaveolar, nasal

/t/ konsonan apikoaveolar, sampingan

/r/ konsonan apikoaveolar, getar

/z/ konsonan laminoalveolar, geseran, bersuara


/s/ konsonan laminoalveolar, geseran, tak bersuara

/∫/ konsonan laminopalatal, geseran, bersuara

/ñ / konsonan laminopalatal, nasal

/j/ konsonan laminopalatal, paduan, bersuara

/c/ konsonan laminopalatal, paduan, tak bersuara

/y/ konsonan laminopalatal, semivokal

/g/ konsonan dorsevelar, hambat, bersuara

/k/ konsonan dorsevelar, hambat, tak bersuara

/ŋ/ konsonan dorsevelar, nasal

/x/ konsonan dorsevelar, geseran, bersuara

/h/ konsonan laringal, geseran, bersuara

/?/ konsonan glotal, hambat

Fonem konsonan dapat digolongkan berdasarkan 4 kriteria yakni:

1. Tempat artikulasi, yaitu tempat terjadinya bunyi konsonan, atau

tempat bertemunya artikulator aktif dan artikulator pasif. Tempat

artikulasi disebut juga titik artikulasi. Sebagai contoh bunyi [p] terjadi
pada kedua belah bibir (bibir atas dan bibir bawah), sehingga tempat

artikulasinya disebut bilabial. Contoh lain bunyi [d] artikulator

aktifnya adalah ujung lidah (apeksi) dan artikulator pasifnya adalah

gigi atas (dentum), sehingga tempat artikulasinya disebut

apikondental.

2. Cara artikulasi yaitu bagaimana tindakan atau perlakuan terhadap

arus udara yang baru keluar dari glotis dalam menghasilkan bunyi

konsonan itu. Misalnya, bunyi [p] dengan cara mula-mula arus udara

dihambat pada kedua belah bibir, lalu tiba-tiba diletupkan dengan

keras. Maka bunyi [p] itu disebut bunyi hambat atau bunyi letup.

Contoh lain bunyi [h] dihasilkan dengan cara arus udara digeserkn di

laring (tempat artikulasinya). Maka, bunyi [h] disebut bunyi geseran

atau frikatif.

3. Bergetar tidaknya pita suara, yaitu jika pita suara dalam proses

pembunyian itu turut bergetar atau tidak. Bila pita suara itu turut

bergetar maka disebut bunyi bersuara. Jika pita suara tidak turut

bergetar, maka bunyi itu disebut bunyi tak bersuara. Bergetarnya pita

suara adalah karena glotis (celah pita suara) terbuka sedikit, dan tidak

bergetarnya pita suara karena glotis terbuka agak lebar.

4. Striktur, yaitu hubungan posisi antara artikulator aktif dan artikulator

pasif. Umpamanya dalam memproduksi bunyi [p] hubungan

artikulator aktif dan artikulator pasif, mula-mula rapat lalu secar tiba-
tiba dilepas. Dalam memproduksi bunyi [w] artikulator aktif dan

artikulator pasif hubungannya renggang dan melebar.

Fonologi adalah ilmu tentang perbendaharaan bunyi-bunyi (fonem) bahasa

dan distribusinya. Fonologi diartikan sebagai kajian bahasa yang

mempelajari tentang bunyi-bunyi bahasa yang diproduksi oleh alat ucap

manusia.[1]. Bidang kajian fonologi adalah bunyi bahasa sebagai satuan

terkecil dari ujaran dengan gabungan bunyi yang membentuk suku kata. [1]

Asal kata fonologi, secara harfiah sederhana, terdiri dari gabungan kata fon

(yang berarti bunyi) dan logi (yang berarti ilmu).[1] Dalam khazanah bahasa

Indonesia, istilah fonologi merupakan turunan kata dari bahasa Belanda,

yaitu fonologie.[2]

Fonologi terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu Fonetik dan Fonemik. Fonologi

berbeda dengan fonetik. Fonetik mempelajari bagaimana bunyi-bunyi fonem

sebuah bahasa direalisasikan atau dilafalkan. Fonetik juga mempelajari cara

kerja organ tubuh manusia, terutama yang berhubungan dengan penggunaan

dan pengucapan bahasa. Dengan kata lain, fonetik adalah bagian fonologi

yang mempelajari cara menghasilkan bunyi bahasa atau bagaimana suatu

bunyi bahasa diproduksi oleh alat ucap manusia. Sementara itu, Fonemik

adalah bagian fonologi yang mempelajari bunyi ujaran menurut fungsinya

sebagai pembeda arti.


Ada 3 (tiga) unsur penting ketika organ ucap manusia memproduksi bunyi

atau fonem, yaitu:

 udara - sebagai penghantar bunyi,

 artikulator - bagian alat ucap yang bergerak, dan

 titik artikulasi (disebut juga artikulator pasif) - bagian alat ucap yang

menjadi titik sentuh artikulator.

Ada beberapa istilah lain yang berkaitan dengan fonologi, antara lain: fona,

fonem, vokal, dan konsonan. Fona adalah bunyi ujaran yang bersifat netral

atau masih belum terbukti membedakan arti, sedangkan fonem adalah

satuan bunyi ujaran terkecil yang membedakan arti.

Variasi fonem karena pengaruh lingkungan yang dimasuki disebut alofon.

Gambar atau lambang fonem dinamakan huruf, jadi fonem berbeda dengan

huruf. Variasi ini terdiri dari: vokal, konsonan, diftong (vokal rangkap), dan

kluster (konsonan rangkap).

Vokal adalah fonem yang dihasilkan dengan menggerakkan udara keluar

tanpa rintangan. Dalam bahasa, khususnya bahasa Indonesia, terdapat huruf

vokal. Huruf vokal merupakan huruf-huruf yang dapat berdiri tunggal dan

menghasilkan bunyi sendiri. Huruf vokal terdiri atas: a, i, u, e, dan o. Huruf

vokal sering pula disebut huruf hidup.


Konsonan adalah fonem yang dihasilkan dengan menggerakkan

udara keluar dengan rintangan. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan

rintangan adalah terhambatnya udara keluar oleh adanya gerakan atau

perubahan posisi artikulator. Terdapat pula istilah huruf konsonan, yaitu

huruf-huruf yang tidak dapat berdiri tunggal dan membutuhkan

keberadaan huruf vokal untuk menghasilkan bunyi. Huruf konsonan

terdiri atas: b, c, d, f, g, h, j, k, l, m, n, p, q, r, s, t, v, w, x, y, dan z. Huruf

konsonan sering pula disebut sebagai huruf mati

J. Kajian fonologi

Fonologi adalah ilmu tentang perbendaharaan fonem sebuah

bahasa dan distribusinya. Hal-hal yang dibahas dalam fonologi antara

lain sebagai berikut.

1. Bunyi Ujaran.

Bila kita ditempatkan di tengah-tengah suatu lingkungan masyarakat

yang menggunakan suatu bahasa yang tak kita pahami sama sekali,

serta mendengar percakapan antar penutur-penutur bahasa itu, maka

kita mendapat kesan bahwa apa yang merangsang alat pendengar kita

itu merupakan suatu arus-bunyi yang di sana-sini diselingi perhentian

sebentar atau lama menurut kebutuhan penuturnya. Bila percakapan

itu tarjadi antara dua orang atau lebih, akan tampak pada kita bahwa

sesudah seseorang menyelesaikan arus-bunyinya itu, maka yang lain

akan mengadakan reaksi . Reaksinya dapat berupa : mengeluarkan lagi


arus-bunyi yang tak dapat kita pahami itu, atau melakukan suatu

tindakan tertentu.

Dari uraian di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa apa

yang dalam pengertian kita sehari-hari disebut bahasa itu meliputi

dua bidang yaitu : bunyi yang dihasilkan oleh alat-alat ucap dan arti

atau makna yang tersirat dalam arus bunyi tadi; bunyi itu merupakan

getaran yang merangsang alat pendengar kita, serta arti atau makna

adalah isi yang terkandung di dalam arus bunyi yang menyebabkan

adanya reaksi itu. Untuk selanjutnya arus-bunyi itu kita namakan

arus-ujaran.

Bila kita mengadakan pemotongan suatu arus-ujaran atas

bagian-bagian atau segmen-segmen, dan bagian-bagian itu dipotong-

potong lagi dan seterusnya, akhirnya kita sampai kepada unsur-unsur

yang paling kecil yang disebut bunyi-ujaran . Tiap bunyi ujaran dalam

suatu bahasa mempunyai fungsi untuk membedakan arti. Bila bunyi-

ujaran itu sudah dapat membedakan arti maka ia disebut fonem (

phone = bunyi, -ema = suatu akhiran dalam bahasa Yunani yang

berarti mengandung arti ).

Bila kita melihat deretan kata-kata seperti: lari, dari, tari, mari,

atau deretan lain seperti: dari, daki, dasi, dahi, dan sebagainya, dengan

jelas kita melihat bahwa bila suatu unsur diganti dengan unsur

lainnya akan terjadi pula akibat yang besar yaitu: perubahan arti yang

terkandung dalam kata itu. Ini dengan jelas menunjukkan bahwa


kesatuan-kesatuan yang kecil yang terjadi dari bunyi-ujaran itu

mempunyai peranan dalam membedakan arti.

Bunyi-ujaran dihasilkan oleh berbagai macam kombinasi dari

alat-ucap yang terdapat dalam tubuh manusia. Ada tiga macam alat-

ucap yang perlu untuk menghasilkan suatu bunyi-ujaran, yaitu:

1. Udara : yang dialirkan keluar dari paru-paru.

2. Artikulator : bagian dari alat-ucap yang dapat digerakkan atau

digeserkan untuk menimbulkan suatu bunyi.

3. Titik artikulasi : ialah bagian dari alat-ucap yang menjadi tujuan

sentuh dari artikulator.

Dalam menimbulkan bunyi-ujaran /k/ misalnya, dapat kita lihat kerja sama

antara ketiga faktor tersebut dia atas. Mula-mula udara mengalir keluar dari

paru-paru, sementara itu bagian belakang lidah bergerak ke atas serta

merapat ke langit-langit lembut. Akibatnya udara terhalang. Dalam hal ini

belakang lidah menjadi artikulatornya, karena belakang lidah merupakan

alat-ucap yang bergerak atau digerakkan, sedangkan langit-langit lembut

menjadi titik artikulasinya, karena dia tidak bergerak, dia menjadi tempat

tujuan atau tempat sentuh belakang lidah.

Yang termasuk alat-ucap adalah: paru-paru (tempat asal aliran udara),

tenggorokan, di ujung atas tenggorokan ( laring ) terdapat pita suara. Ruang

di atas pita suara hingga ke perbatasan rongga hidung disebut faring . Alat-
alat ucap yang terdapat dalam rongga mulut adalah: bibir ( labium ), gigi

( dens ), lengkung kaki gigi ( alveolum ), langit-langit keras ( palatum ),

langit-langit lembut ( velum ), anak tekak ( uvula) , lidah, yang terbagi lagi

atas beberapa bagian yaitu: ujung lidah ( apex ), lidah bagian depan, lidah

bagian belakang dan akar lidah.

Di samping rongga-rongga laring, faring dan rongga mulut sebagaimana telah

disebutkan di atas, rongga hidung juga memainkan peranan yang penting

dalam menghasilkan bunyi.

ahasa adalah pertama-tama kita harus mengadakan kodifikasi intonasi dari

semua penutur bahasa Indonesia, atau sekurang-kurangnya beberapa orang

yang mewakili berbagai bahasa daerah dan dialek, baru kemudian dapat

ditetapkan kaidah-kaidah intonasi yang baku bagi bahasa Indonesia. Jika

dasar ini tidak diperhatikan, maka akan tampak bahwa ketentuan yang

dibuat itu akan lainnya jalannya dari kenyataan. Adalah menjadi harapan kita

bersama agar dalam waktu yang tidak terlalu lama, sudah dimulai usaha-

usaha ke arah tersebut.

d. Tekanan Kalimat

Walaupun tekanan yang distingtif dalam bidang kata tidak ada dalam bahasa

Indonesia, dalam bidang kalimat tekanan yang distingtif itu ada. Tekanan

semacam itu biasanya disebut emfasis .


Tekanan tersebut dibuat antara lain jika ada kata atau bagian tertentu dari

kalimat yang dipentingkan, atau dipertentangkan dengan bagian lain.

Misalnya:

•  Anak itu memukul adikku.

•  Anak itu memukul adikku.

•  Anak itu memukul adikku.

•  Anak itu memukul adik ku.

•  Anak itu memukul adik ku.

2. Nada

Yang dimaksud dengan nada adalah suatu jenis unsur suprasegmental yang

ditandai oleh tinggi-rendahnya arus-ujaran.

Tinggi rendahnya arus-ujaran terjadi karena frekuensi getaran yang berbeda

antar segmen. Bila seseorang berada dalam kesedihan ia akan berbicara

dengan nada yang rendah. Sebaliknya bila berada dalam keadaan gembira

atau marah, nada tinggilah yang biasanya dipergunakan orang. Suatu

perintah atau pertanyaan selalu disertai nada yang khas. Nada dalam ilmu

bahasa biasanya dilambangkan dengan angka misalnya /2 3 2/ yang berarti

segmen pertama lebih rendah bila dibandingkan dengan segmen kedua,


sedangkan segmen ketiga lebih rendah dari segmen kedua. Dengan nada

yang berbeda, bidang arti yang dimasukinya pun akan berbeda.

a. Pengertian Nada

Yang dimaksud dengan nada adalah suatu jenis unsur suprasegmental yang

ditandai oleh tinggi-rendahnya arus-ujaran.

Tinggi rendahnya arus-ujaran terjadi karena frekuensi getaran yang berbeda

antar segmen. Bila seseorang berada dalam kesedihan ia akan berbicara

dengan nada yang rendah. Sebaliknya bila berada dalam keadaan gembira

atau marah, nada tinggilah yang biasanya dipergunakan orang. Suatu

perintah atau pertanyaan selalu disertai nada yang khas. Nada dalam ilmu

bahasa biasanya dilambangkan dengan angka misalnya /2 3 2/ yang berarti

segmen pertama lebih rendah bila dibandingkan dengan segmen kedua,

sedangkan segmen ketiga lebih rendah dari segmen kedua. Dengan nada

yang berbeda, bidang arti yang dimasukinya pun akan berbeda.

b. Nada yang distingtif dan non-distingtif

Dalam bahasa-bahasa German, demikian juga dalam bahasa-bahasa

Nusantara, nada dalam bidang kata tidak diakui sebagai fonem, yaitu bahwa

tidak ada nada yang bersifat distingtif. Sebaliknya ahli-ahli bahasa mengakui

bahwa nada dalam bahasa Yunani dan Cina mempunyai fungsi distingtif,
yaitu mempunyai peranan untuk membedakan arti. Dalam bahasa Indonesia

tidak ada nada di bidang kata.

c. Nada dalam Kalimat

Seperti apa yang telah diilustrasikan di atas, nada dalam bahasa Indonesia

hanya berfungsi membedakan arti bila terdapat dalam kalimat. Karena

intonasi pertama-tama didasarkan pada nada, maka nada yang distingtif

dalam kalimat, tidak lain pada dasarnya adalah intonasi yang distingtif. Ada

intonasi berita, intonasi tanya, intonasi perintah, intonasi yang menyatakan

kemarahan, kegembiraan dan sebagainya, walaupun mungkin unsur

segmentalnya sama.

3. Durasi

Yang dimaksud dengan durasi adalah suatu jenis unsur suprasegmental yang

ditandai oleh panjang pendeknya waktu yang diperlukan untuk mengucapkan

sebuah segmen.

Dalam tutur, segmen-segmen dalam kata / tinggi / yaitu / ting / dan / gi /

masing-masingnya dapat diucapkan dalam waktu yang sama, tetapi dapat

terjadi bahwa seorang pembicara dapat mengucapkan segmen / ting / lebih

lama dari segmen / gi / atau sebaliknya.

a. Pengertian
Yang dimaksud dengan durasi adalah suatu jenis unsure suprasegmental yang

ditandai oleh panjang pendeknya waktu yang diperlukan untuk mengucapkan

sebuag segmen.

Dalam tutur, segmen-segmen dalam kata / tinggi / yaitu / ting / dan / gi /

masing-masingnya dapat diucapkan dalam waktu yang sama, tetapi dapat

terjadi bahwa seorang pembicara dapat mengucapkan segmen / ting / lebih

lama dari segmen / gi / atau sebaliknya. Misalnya:

/ ti . . ng-gi sekali / atau

/ ting-gi . . sekali /

Dalam hal yang pertama /i/ dari segmen / ting / diucapkan lebih lama,

sedangkan dalam hal yang kedua /i/ dari segmen / gi / diucapkan lebih lama.

b. Durasi yang Distingtif dan Non-distingtif

Pada umumnya durasi pada bahasa-bahasa di dunia tidak bersifat distingtif

dalam bidang kata. Tetapi ada beberapa bahasa yang memiliki durasi

distingtif, misalnya bahasa Sansekerta. Durasi distingtif dalam bidang kata

biasanya dinyatakan oleh adanya vokal pendek dan vokal panjang dalam

bahasa itu. Dalam bahasa Sansekerta misalnya:

bhara (ajektif) = yang mengandung, yang menganugerahkan

bhara (nomina) = muatan, beban


bala (nomina) = kekuatan, pasukan

bala (ajektif) = muda

bala (nomina) = anak

dina (nomina) = hari

dina (ajektif) = hina

Bahasa Indonesia tidak memiliki durasi dalam bidang kata.

c. Durasi dalam Kalimat

Seperti yang telah dikatakan di atas, durasi dalam bidang kata tidak terdapat

dalam bahasa Indonesia. Namun dalam bidang kalimat terdapat durasi yang

distingtif. Sebuah segmen dalam sebuah kalimat dapat diucapkan dalam

waktu yang relatif lebih lama dari segmen-segmen lain dalam kalimat, untuk

menekan segmen itu. Misalnya:

/ pakaian yang dipakainya itu maha . . l sekali /

Atau apabila seorang lagi berpidato atau berbicara akan mengucapkan

bagian tertentu dari pidatonya, entah berwujud klausa, kalimat, atau

rangkaian kalimat-kalimat, dalam waktu yang lebih lambat dari bagian-

bagian lainnya. Dan dalam banyak hal cara ini sering digunakan. Bagian yang

tidak penting diucapkan cepat-cepat, sementara bagian yang penting

diucapkan lambat-lambat.

4. Kesenyapan
Ada kesenyapan yang bersifat sementara atau berlangsung sesaat saja, yang

menunjukkan bahwa tutur itu masih akan dilanjutkan. Ada pula perhentian

yang sifatnya lebih lama, yang biasanya diikuti oleh suara yang menurun

yang menyatakan bahwa tutur atau bagiab dari tutur itu telah mencapai

kebulatan.

Kesenyapan jenis pertama disebut kesenyapan antara atau kesenyapan non-

final atau jeda . Kesenyapan ini biasanya dilambangkan dengan tanda koma

(,). Sedangkan kesenyapan yang kedua disebut kesenyapan akhir atau

kesenyapan final . Kesenyapan ini biasanya dilambangkan dengan tanda titik

(.) atau titik koma (;) bila suaranya merendah, dan akan dilambangkan

dengan tanda tanya (?) jika intonasi merendah, dan kan dilambangkan

dengan tanda seru (!) jika intonasinya lebih keras kedengaran dengan suara

yang menurun.

******************************

9. Ejaan Bahasa Indonesia

Keseluruhan peraturan bagaimana menggambarkan lambang-lambang

bunyi-ujaran dan bagaimana inter-relasi antara lambang-lambang itu

(pemisahannya, penggabungannya) dalam suatu bahasa disebut ejaan.

Ejaan Bahasa Indonesia

A. Huruf
Bagian terbesar dari sejarah umat manusia berada dalam kegelapan karena

perkembangan, perluasan, timbul-tenggelamnya bahasa-bahasa di muka

bumi ini tidak diketahui. Bangsa-bangsa dahulu kala tidak mengenal suatu

cara untuk dapat meninggalkan kepada kita riwayat hidup mereka. Sumber-

sumber yang tertulis baru saja diketahui, dan hanya meliputi beberapa ribu

tahun saja.

Bukti-bukti tertulis itu dalam bentuk yang paling tua terdapat misalnya pada

orang-orang Indian Mexico berupa lukisan-lukisan. Suatu urutan lukisan

menggambarkan kepada kita suatu peristiwa tertentu. Cara ini biassa disebut

piktograf. Piktograf itu lambat laun dikembangkan sedemikian rupa hingga

suatu lukisan dapat menggambarkan pengertian-pengertian tertentu. Kata-

kata yang berlainan tetapi mempunyai bunyi yang sama juga dapat

dilukiskan dengan tanda atau simbol yang sama; sistem ini disebut ideograf

atau logograf, yaitu suatu sistem dimana suatu kata dilambangkan oleh suatu

tanda, misalnya dalam huruf-huruf Tiongkok. Dalam sistem kita yang modern

ini masih dapat ditemukan sistem logograf ini, yaitu bila kita melambangkan

bilangan-bilangan memakai tanda-tanda: 1, 2, 3, 4, 5, dan sebagainya.

Dari sistem ideograf atau logograf itu kemudian diturunkan bermacam-

macam lambang yang mewakili suku kata saja. Contoh yang dapat

dikemukakan adalah huruf-huruf Jepang, Dewa Negari, Arab dan lain-lain.

Untuk menunjukkan vokal dalam huruf-huruf Arab dan Dewa Negari diberi

tanda-tanda baru.perkembangan yang paling akhir sebagai penyempurnaan


dari sistem perlambangan atas suku kata (silabis), adalah setiap bunyi

dilambangkan dengan satu tanda. Sistem ini disebut fonemis , misalnya

aksara Latin, Yunani, Jerman, dan sebagainya.

Dengan bermacam-macam cara itulah orang dapat melukiskan bahasa dalam

bentuk lambang-lambang. Segala macam cara itu pada umumnya disebut

huruf.

Di antara sekian macam sistem itu, huruf yang didasarkan atas satu lambang

untuk satu bunyi adalah sistem yang paling baik. Dan untuk selanjutnya

pengertian huruf yang akan dipakai adalah pengertian terakhir.

Jadi sejauh ini sekurang-kurangnya umat manusia telah mengenal 4 macam

sistem tulisan.

a. Tulisan piktograf: urutan beberapa gambar untuk melukiskan suatu

peristiwa, misalnya pada orang Indian Mexico.

b. Ideograf atau logograf: suatu tanda atau lambang mewakili sepatah kata

atau pengertian, misalnya huruf Cina.

c. Tulisan silabis: suatu tanda untuk menggambarkan suatu suku kata,

misalnya tulisan Jepang, Dewa Negari, dan lain-lain.

d. Tulisan fonemis: satu tanda untuk melambangkan satu bunyi, misalnya

huruf Latin, Yunani, Jerman dan lain-lain.


Batasan: Huruf adalah lambang atau gambaran dari bunyi .

Setiap sistem perlambangan bunyi-ujaran mempunyai urutan-urutan

tertentu. Rentetan urutan sistem Latin lain dari Yunani dan lain pula dari

urutan sistem Rusia. Rentetan huruf-huruf menurut sistem tertentu itu kita

kenal dengan abjad atau alfabet . Jadi ada alfabet Latin, ada alfabet Yunani

dan lain-lain.

B. Ejaan

Walaupun sistem ejaan sekarang didasarkan atas sistem fonemis, yaitu satu

tanda untuk satu bunyi, namun masih terdapat kepincangan-kepincangan.

Ada fonem yang masih dilambangkan dengan dua tanda (diagraf ), misalnya

ng, ny, kh, dan sy. Jika kita menghendaki kekonsekuenan terhadap prinsip

yang dianut, maka diagraf-diagraf tersebut harus dirubah menjadi monograf

(satu fonem satu tanda).

Dasar yang paling baik dalam melambangkan bunyi-ujaran atau bahasa

adalah satu bunyi-ujaran yang mempunyai fungsi untuk membedakan arti

harus dilambangkan dengan satu lambang tertentu. Dengan demikian

pelukisan atas bahasa lisan itu akan mendekati kesempurnaan, walaupun

kesempurnaan yang dimaksud itu tentulah dalam batas-batas ukuran

kemanusiaan, masih bersifat relatif. Walaupun begitu literasi (penulisan)

bahasa itu belum memuaskan karena kesatuan intonasi yang bulat yang

menghidupkan suatu arus-ujaran itu hingga kini belum dapat diatasi. Sudah
diusahakan bermacam-macam tanda untuk tujuan itu tetapi belum juga

memberi kepuasan. Segala macam tanda baca untuk menggambarkan

perhentian antara, perhentian akhir, tekanan, tanda tanya, dan lain-lain

adalah hasil dari usaha itu. Tetapi hasil usaha itu belum dapat menunjukkan

dengan tegas bagaimana suatu ujaran harus diulang oleh yang membacanya.

Segala macam tanda baca seperti yang disebut di atas disebut tanda baca

atau pungtuasi.

Walaupun sistem ejaan sekarang didasarkan atas sistem fonemis, yaitu satu

tanda untuk satu bunyi, namun masih terdapat kepincangan-kepincangan.

Ada fonem yang masih dilambangkan dengan dua tanda (diagraf), misalnya

ng, ny, kh, dan sy. Jika kita menghendaki kekonsekuenan terhadap prinsip

yang dianut, maka diagraf-diagraf tersebut harus dirubah menjadi monograf

(satu fonem satu tanda). Di samping itu masih terdapat kekurangan lain yang

sangat mengganggu terutama dalam mengucapkan kata-kata yang

bersangkutan, yaitu ada dua fonem yang dilambangkan dengan satu tanda

saja yakni e (pepet) dan e (taling). Ini menimbulkan dualisme dalam

pengucapan.

Ejaan suatu bahasa tidak saja berkisar pada persoalan bagaimana

melambangkan bunyi-bunyi ujaran serta bagaimana menempatkan tanda-

tanda baca dan sebagainya, tetapi juga meliputi hal-hal seperti: bagaimana

menggabungkan kata-kata, baik dengan imbuhan-imbuhan maupun antara


kata dengan kata. Pemotongan itu berguna terutama bagaimana kita harus

memisahkan huruf-huruf itu pada akhir suatu baris, bila baris itu tidak

memungkinkan kita menulils seluruh kata di sana. Apakah kita harus

memisahkan kata bunga menjadi bu – nga atau b – unga . Semuanya ini

memerlukan suatu peraturan umum, agar jangan timbul kesewenangan.

Batasan: Keseluruhan peraturan bagaimana menggambarkan lambang-

lambang bunyi-ujaran dan bagaimana inter-relasi antara lambang-lambang

itu (pemisahannya, penggabungannya) dalam suatu bahasa disebut ejaan.

C. Macam-Macam Ejaan

Sebelum tahun 1900 setiap peneliti bahasa Indonesia (pada waktu itu bahasa

Melayu) membuat sistem ejaannya sendiri-sendiri, sehingga tidak terdapat

kesatuan dalam ejaan. Pada tahun 1900, Ch. van Ophuysen mendapat

perintah untuk menyusun ejaan Melayu dengan mempergunakan aksara

Latin. Dalam usahanya itu ia sekedar mempersatukan bermacam-macam

sistem ejaan yang sudah ada, dengan bertolak dari sistem ejaaan bahasa

Belanda sebagai landasan pokok. Dengan bantuan Engku Nawawi gelar

Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim, akhirnya

ditetapkanlah ejaan itu dalam bukunya Kitab Logat Melajoe , yang terkenal

dengan nama Ejaan van Ophuysen atau ada juga yang menyebutnya Ejaan

Balai Pustaka , pada tahun 1901. Ejaan tersebut tidak sekali jadi tapi tatap
mengalami perbaikan dari tahun ke tahun dan baru pada tahun 1926

mendapat bentuk yang tetap.

Selama Kongres Bahasa Indonesia tahun 1938 telah disarankan agar ejaan itu

lebih banyak diinternasionalisasikan. Dan memang dalam perkembangan

selanjutnya terutama sesudah Indonesia merdeka dirasakan bahwa ada

beberapa hal yang kurang praktis yang harus disempurnakan. Sebenarnya

perubahan ejaan itu telah dirancangkan waktu pendudukan Jepang. Pada

tanggal 19 Maret 1947 dikeluarkan penetapan baru oleh Menteri Pengajaran,

Pendidikan dan Kebudayaan Suwandi (SK No. 264/Bag.A/47) tentang

perubahan ejaan bahasa Indonesia; sebab itu ejaan ini kemudian terkenal

dengan nama Ejaan Suwandi.

Anda mungkin juga menyukai