Anda di halaman 1dari 217

Fonologi

BAB I
KEDUDUKAN FONOLOGI DALAM KAJIAN
BAHASA
1.1

Pengertian Fonologi
Secara etimologi kata fonologi berasal dari dua
gabungan bentuk lingual yaitu fon yang berarti bunyi
dan logi yang berarti ilmu. Sebagai sebuah ilmu,
fonologi didefinisikan sebagai bagian dari kajian
linguistik yang mempelajari, membahas, membicarakan
dan menganalisis bunyi-bunyi bahasa yang diproduksi
atau dihasilkan oleh alat-alat ucap manusia (Chaer,
2013:1).
Selanjutnya, menurut Gorys Keraf, fonologi
adalah bagian dari tata bahasa atau ilmu bahasa yang
mempelajari bunyi-bunyi ujaran suatu bahasa (1991:19).
1.2

Bahasa adalah Sistem Bunyi Ujaran


Bahasa adalah sistem bunyi ujaran sudah
dipahami oleh para linguis dan masyarakat pemakainya.
Oleh karena bahasa adalah sistem bunyi ujaran, maka
objek utama kajian linguistik adalah bahasa lisan, yaitu
bahasa dalam bentuk bunyi ujaran.
Konsekuensi logis dari anggapan bahwa bahasa
adalah sistem bunyi ujaran adalah dasar analisis cabangcabang linguistik, seperti fonologi, morfologi, sintaksis,
smantik, leksikologi, dan lain-lainnya berpusat pada
korpus data yang bersumber dari bahasa lisan, yaitu
bunyi ujaran. Material atau bahan mentah bahasa adalah
bunyi-bunyi ujaran. Jadi, objek utama linguistik adalah
bahasa lisan, yaitu bahasa dalam bentuk ujaran.
1

Fonologi
1.3 Tujuan dan Peranan Kajian Fonologi
1.3.1 Tujuan Mempelajari Fonologi
Tujuan mempelajari fonologi didorong beberapa
alasan (Shendra,1998: 5-6; Martha, 2011:101), yaitu:
1) Para ahli bahasa mempelajari fonologi agar dapat
menemukan bahasa-bahasa suku bangsa
terasing yang belum bersentuhan dengan
peradaban
modern
dan
kemudian
menganalisisnya.
Dengan
mengkaji
dan
mendeskripsikan sistem bunyi bahasa serta
menciptakan satu sistem tulisan yang sesuai
dengan sistem bunyinya, para ahli berharap dapat
memberikan sumbangan bagi kemajuan umat
manusia, dan dapat melakukan upaya pelestarian
salah satu aspek budaya manusia yang paling
utama, yakni bahasa.
2) Untuk
memahami
dan
mendeskripsikan
perubahan dan variasi bahasa, baik dalam waktu
tertentu (synchronic phonology), misalnya
fonologi sebuah dialek sosial atau regional
tertentu, maupun dalam perjalanan waktu atau
dari waktu ke waktu ((diachronic phonology);
misalnya perubahan-perubahan fonologis pada
pijinisasi dan kreolisasi sebuah bahasa (apa yang
terjadi jika sebuah bahasa berkembang menjadi
beberapa dialek, atau ciri khas fonologisnya apa
yang terdapat dalam sebuah pijin (pidgin) atau
kreol (creole).
3) Untuk memahami bagaimana tahapan-tahapan
anak-anak memperoleh bahasanya (language
acquisition) berdasarkan mudah atau sulitnya
bunyi-bunyi bahasa yang dikuasainya.
2

Fonologi
4) Untuk
mengetahui
dan
menggambarkan
kecacatan
bahasa
anak
melalui
aspek
fonologisnya (phonological disorders).
1.3.2

Kajian Fonologi untuk Pelajaraan


Dari sudut pendidikan, kajian fonologi amat
penting untuk tujuan pengajaran bahasa (Shendra,1998:
6-7; Martha, 2011:101-102), misalnya:
1) Guru bahasa dapat menggunakan fonologi untuk
membantu proses pengajaran bahasa secara efektif.
Dengan membandingkan sistem fonologi bahasa yang
diajarkan dengan sistem fonologi bahasa ibu siswa
(analisis kontrastif), guru bahasa dapat mengajarkan
pengucapan bahasa yang dipelajari seecara efektif dan
efisien. Dengan pengetahuan fonologisnya, para guru
juga dapat mengantisipasi masalah dan kendala yang
muncul dalam proses belajar-mengajar, mempersiapkan
bahan pengajaran secara tepat, dan menggunakan waktu
secara efisien.
2) Pengetahuan fonologi yang dimiliki oleh guru dapat
diterapkan dalam pengajaran membaca dan menulis bagi
anak-anak. Dalam pengajaran membaca, guru dapat
mengarahkan siswanya bagaimana mengartikulasikan
bunyi-bunyi bahasa yang dipelajari secara tepat sesuai
dengan sistem fonologi bahasa yang bersangkutan.
Dalam pengajaran membaca dan menulis, seorang anak
harus dapat menentukan bagaimana hubungan antara
bunyi bahasa --- dalam hal ini fonem --- dengan lambang
tulisannya --- grafem. Proses dekoding dalam membaca
dan enkoding dalam menulis melibatkan pengetahuan
tentang aturan-aturan fonologi.
3

Fonologi
3) Pada bahasa yang memiliki tulisan sendiri (misalnya:
Bahasa Bali, Bahasa Arab, Bahasa Cina, Bahasa Thai),
para guru dapat menggunakan pengetahuan fonologinya
dalam mengajarkan bagaimana harusnya merangkaikan
setiap simbol bunyi (huruf) secara tepat menurut aturan
penggunaan huruf dan sistem bunyi bahasa yang
bersangkutan.
1.4

Sudut Pandang Kajian Fonologi


Kajian mendalam tentang bunyi-bunyi ujaran
yang dipelajari dalam cabang fonologi, meliputi dua
sudut pandang, yaitu:
1) Fonologi Merupakan Media Bahasa yang
Utama
Bunyi-bunyi ujaran dipandang sebagai media
bahasa yang utama. Dengan demikian, Bunyibunyi ujaran dianggap sebagai material utama atau
bahan mentah dalam penyusunan bahasa.
2) Bunyi Ujaran dalam Fonologi sebagai sistem
bahasa yang utama
Bunyi-bunyi ujaran dalam fonologi dipandang
sebagai bagian dari sistem bahasa yang utama.
Oleh karena itu bunyi-bunyi ujaran merupakan
bagian dari struktur kata dan sekaligus berfungsi
untuk membedakan makna. Dalam pemakaian
bahasa untuk komunikasi lisan, pemakai bahasa
atau pembicara sering menyertai pernyataan
verbalnya dengan gerakan-gerakan angota tubuh
yang dilakukan dengan sengaja untuk menguatkan
maksud atau pesan pembicaraannya. Gerakangerakan angota tubuh yang dilakukan itu disebut

Fonologi
parabahasa (paralanguage) yang dipelajari secara
khusus dalam body language atau bahasa tubuh.
1.5 ``Bidang Kajian Fonologi
Kajian fonologi termasuk kajian bahasa murni
(pure theoretical linguistics) yang memfokuskan
kajiannya pada fonetik dan fonemik. Kajian fonologi
itu termasuk kajian bahasa murni (pure theoretical
linguistics) yang memfokuskan kajiannya pada fonetik
dan fonemik. Kedua bidang kajian ini memerlukan
paparan-paparan mekanis mengenai:
1) Bagaimana bunyi-bunyi itu dihasilkan oleh alat
ucap (organs of speech). Kajian bidang alat ucap
(organs of speech) ini mengulas tentang alat ucap
yang digunakan untuk menghasilkan bunyi-bunyi
ujaran.
2) Bagaimana menggambarkan bunyi-bunyi itu
Bagaimana menggambarkan bunyi-bunyi itu atau
mentranskripsikan fon/fona dan fonem itu ke dalam
bentuk simbol fonetis dan simbol fonemis.
Menurut status/hirarki satuan bunyi terkecil yang
menjadi objek kajian-nya, fonologi dibedakan atas 2
bidang (Keraf, 1991:19-20, Chaer, 2014:3), yaitu:
1) Fonetik
Fonetik didefinisikan sebagai cabang
fonologi yang mengkaji bunyi-bunyi bahasa tanpa
memperhatikan statusnya, apakah bunyi-bunyi itu
dapat
membedakan
makna
atau
tidak
(Chaer,2013:3).
2) Fonemik
5

Fonologi
Fonemik didefinisikan sebagai cabang
fonologi yang mengkaji bunyi-bunyi bahasa yang
dapat
membedakan
arti
atau
makna
(Chaer,2013:3).
1.6

Kedudukan Fonologi dalam Cabang-cabang


Linguistik
Mengingat fonologi sebagai bidang yang
berkonsentrasi dalam deskripsi dan analisis bunyi-bunyi
ujaran, maka hasil kerja fonologi dapat dimanfaatkan
dalam cabang-cabang linguistik yang lain seperti, bidang
morfologi, sintaksis, semantik, leksikologi, dialektologi,
pengajaran
bahasa
dan
psikolinguistik
yang
memanfaatkan korpus data bahasa lisan sebagai sasaran
analisisnya (Muslich, 2014:2-4). Jadi, studi fonologi
sangat berkaitan dengan (bahkan berperan pada) bidangbidang linguistik lain, baik linguistik teoretis maupun
linguistik terapan.
1.7 Tahapan dalam Sistem Komunikasi Lisan
Kegiatan komunikasi lisan di mulai dari otak
pembicara
(Muslich,
2014:26-30).
Dengan
memanfaatkan fungsi kreativitas otak; O1 (Orang
pertama atau pembicara) menemukan atau mempunyai
gagasan (ide) yang akan disampaikan kepada O2 (Orang
kedua atau lawan bicara). O1 memilih kata, frase,atau
ungkapan yang dapat mewakili gagasan, lalu
menyusunnya dalam bentuk kali mat yang sesuai dengan
sistem bahasa yang dipakainya. Tahapan pemilihan unsur
6

Fonologi
kebahasaan yang sesuai dengan ide disebut tahapan
linguistik.
Setalah gagasan tersusun dalam otak,
kemudian
otak mengaktifkan saraf motoris dan
mengirimkan perintah dalam bentuk rangsanganrangsangan ke otot-otot alat ucap. Atas perintah ini, alat
ucap mengadakan gerakan-gerakan sedemikian rupa
sehingga memunculkan perubahan tekanan udara di
sekelilingnya yang berpotensi menimbulkan fonasi.
Fungsi transmisi otak ini berada pada tahapan
fisiologis.
Perubahan tekanan udara yang diakibatkan oleh
gerakan alat ucap menimbulkan gelombang bunyi yang
merambat keluar dari alat ucap O1 oleh hantaran udara
menuju ke alat pendengar O2. Posisi gelombang bunyi
yang berada antara alat ucap O1 dan alat pendengar O2
ini disebut tahapan akustis.
Selanjutnya, gelombang bunyi yang berjalan
melalui udara masuk ke dalam alat dengar O2 sehingga
merangsang saraf sensoris yang dikendalikan otak dan
dicerapnya sebagai bunyi. Tahapan pengaktifan fungsi
alat dengar yang dikendalikan oleh otak ini disebut
taghapan fisiologis.

Fonologi
Serangkaian bunyi yang didengar O2 kemudian
dicocokkan dengan pengetahuan sistem bunyi bahasa
sehingga O2 mengerti gagasan dalam kalimat yang
dikomunikasikan O1. Proses pengolahan gejala bunyi
menjadi realitas bahasa yang bisa dimengerti ini
dilakukan oleh otak O2 dalam kapasitasnya sebagai
fungsi kreativitas. Oleh karena itu tahap ini disebut
tahapan linguistik.
Berdasarkan skema dan penjelasan di atas
dapatlah diketahui bahwa yang menjadi cakupan fonetik
adalah:
1) Tahapan fisiologis,
Tahapan fisiologis, yaitu ketika O1 memproduksi
bunyi.
2) Tahapan akustis,
Tahapan akustis, yaitu ketika gelombang bunyi
bergerak dari alat ucap O1 menuju ke alat dengar O2.
3) Tahapan fisiologis,
Tahapan fisiologis, yaitu ketika gelombang bunyi
didengar oleh alat dengar O2 sebagai bunyi.
4) Tahapan linguistik,
8

Fonologi
Tahapan linguistik, yaitu ketika gelombang bunyi
didengar oleh alat dengar O2 sebagai bunyi.
Tahapan linguistik pada O1 dan O2 tidak
termasuk
dalam pembahasan fonetik karena sudah
menyangkut neurologi khususnya nerolinguistik.

BAB II
FONETIK
2.1 Prinsip Dasar Kajian Fonetik
Menurut Gorys Keraf, fonetik adalah bagian
dari tata bahasa yang menyelidiki dan menganalisis
bunyi-bunyi ujaran yang dipakai dalam tutur, serta
mempelajari bagaimana menghasilkan bunyi-bunyi
tersebut dengan alat ucap manusia. (Keraf,1991:19).
Selanjutnya, menurut Muslich, fonetik merupakan bidang
kajian ilmu pengetahuan (science) yang menelaah
bagaimana manusia menghasilkan buny-bunyi bahasa
dalam ujaran, menelaah gelombang-gelombang bunyi
9

Fonologi
bahasa yang dikeluarkan; dan bagaimana alat
pendengaran manusia menerima bunyi-bunyi bahasa
untuk dianalisis oleh otak manusia (2014:8). Dengan kata
lain, fonetik adalah ilmu bahasa yang mempejari tentang
bunyi-bunyi ujaran yang dipakai dalam tutur dan
bagaimana bunyi itu dihasilkan oleh alat ucap manusia.
Sasaran fonetik adalah mempelajari semua bunyi
ujaran yang dapat dihasilkan oleh alat-alat ucap dan
bagaimana menghasilkan bunyi-bunyi itu dengan tepat
menurut kebiasaan masyarakat bahasa itu.

2.2 Proses Terjadinya Bunyi Bahasa


2.2.1 Sumber Energi Utama Pembentukan Bunyi
Bahasa
Sumber energi utama proses pembentukan bunyi
bahasa adalah arus udara yang mengalir dari/ke paruparu. Getaran-getaran udara itu timbul pada pita suara
sebagai akibat tekanan udara yang dibarengi dengan
gerakan-gerakan alat-alat ucap sedemikian rupa sehingga
menimbulkan perbedaan/perubahan rongga udara yang
terdapat dalam mulut atau hidung (Chaer, 2013:25-31).

10

Fonologi
2.2.2 Sarana Utama Pembentukan Bunyi Bahasa
Adapun sarana utama yang berperan dalam proses
pembentukan bunyi bahasa (Muslich, 2014:31-42),
adalah: (1) arus udara, (2) pita suara, dan (3) alat ucap.
Ketiga sarana ini juga yang oleh fonetis dipakai sebagai
dasar pengklasifikasian bunyi.

2.2.2.1 Arus Udara


Arus udara yang menjadi Sumber energi utama
pembentukan bunyi bahasa
merupakan hasil kerja alat atau organ tubuh yang
dikendalikan oleh otot-otot
tertentu atas perintah saraf-saraf otak.
Sehubungan dengan arus udara sebagai sumber
pembunyian, dibedakan 3 macam arus udara (Chaer,
2013: 26), yaitu:
(1) Arus Udara Pulmonik
Arus udara pulmonik yaitu arus udara yang berasal
dari paru-paru. Arus udara pulmonik merupakan
arus udara utama dalam menghasilkan bunyi bahasa.
11

Fonologi
(2) Arus Udara Glotalik
Arus udara glotalik yaitu arus udara yang berasal
dari rongga faring (rongga kerongkongan).
(3) Arus Udara Velarik
Arus udara velarik yaitu arus udara yang berasal dari
gerakan-gerakan ke belakang di dalam rongga
mulut.

2.2.2.2 Pita Suara


Pita suara merupakan sumber bunyi. Pita suara
bergetar atau digetarkan oleh udara yang keluar masuk
paru-paru. Pita suara terletak dalam kerongkongan
(larynx) dalam posisi mendapar dari muka (anterior) ke
belakang (posterior) (Muslic, 2014:32).
Pita suara dengan kelenturannya bisa membuka
dan menutup sehingga bisa memisahkan dan sekaligus
bisa menghubungkan antara udara yang ada di paru-paru
dan yang ada di rongga mulut aau rongga hidung. Bila
klep dibuka lebar udara yang ada di dalam paru-paru bisa
berhubungan dengan udara yang ada di rongga mulut
atau rongga hidung. Bila klep ditutup rapat, udara yang

12

Fonologi
ada di dalam paruparu terpisah dengan udara yang ada
dalam rongga mulut.
Untuk menghasilkan suatu bunyi, glotis itu dapat
mengambil empat macam posisi yang penting ((Martha,
2011: 36; Chaer, 2013:20-21dan 28) seperti yang tampak
dalam deskripsi berikut ini:
(a) Glotis Terbuka Lebar
Bila glotis atau celah di antara pita suara berada
dalam keadaan terbuka lebar, tidak ada bunyi bahasa
yang dihasilkan, selain desah nafas.
(b) Glotis terbuka agak lebar
Bila glotis atau celah di antara pita suara berada
dalam keadaan terbuka agak lebar, akan terjadi
bunyi tidak bersuara.
(c) Glotis terbuka sedikit
Bila glotis atau celah di antara pita suara dalam
keadaan terbuka sedikit, akan
terjadi bunyi bersuara.
(d) Glotis tertutup ratap

13

Fonologi
Bila glotis atau celah di antara pita suara dalam
keadaan tertutup ratap, akan terjadi bunyi hamzah
atau bunyi hambat glotal.
Bagan Macam Posisi Pita Suara

Pita Suara

B
C
A
Glotis
Glotis
Glotis
terbuka
terbuka
terbuka
Keterangan:
A
=
Posisi
pita
suara
untuk
bernafas
agak
lebar
sedikit
lebar
biasa.
B = Posisi pita suara untuk bunyibunyi tak bersuara (voiceless)
C = Posisi pita suara untuk bunyi
bersuara (voiced)

14

D
Glotis
tertutup
sama
sekali

Fonologi
D = Posisi pita suara untuk bunyi
hamzah (glotal stop)

2.2.2.3 Alat-alat Ucap


Untuk memahami semua bunyi ujaran itu dengan
baik, perlu diketahui semua alat ucap dan bagaimana
kerja sama dari semua alat ucap itu untuk menghasilkan
suatu bunyi.
Organ-organ tubuh yang dipergunakan sebagai alat
ucap untuk menghasilkan bunyi bahasa dibagi menjadi
tiga komponen (Muslich, 2014:34-42), yaitu:

Komponen
Supraglotal
Rongga Hidung
Rongga Mulut
Komponen
Laring

Komponen
Subglotal

15

Rongga Faring (Ronggan

Trakea (SaluranPernapasan)

Fonologi
Saluran Bronkia

Paru-paru

(1) Komponen Subglotal


Fungsi utama komponen subglotal adalah
memberi arus udara yang merupakan syarat mutlak
untuk terjadinya bunyi bahasa.
Komponen subglotal terdiri dari:
(a) Paru-paru (Lung) kiri dan kanan
(b) Saluran Pernapasan (Trakea)
(c) Otot paru-paru
(d) Rongga dada
Paru-paru (lung) adalah sumber arus udara yang
merupakan syarat muthlak untuk terjadinya bunyi
bahasa. Namun, perlu diketahui pula bahwa bunyi
bahasa dapat juga dihasilkan dengan arus udara yang
datang dari luar mulut.
16

Fonologi
Apabila kedua paru-paru yang dihubungkan oleh
saluran bronkial mengembang maka tekanan udara
yang terdapat di luar lebih besar daripada yang
terdapat di dalam paru-paru.Akibatnya, udara
mengalir masuk ke dalam rongga paru-paru.
Sebaliknya, apabila kedua paru-paru yang
dihubungkan oleh saluran brokial ini mengempis
maka tekanan udara yang terdapat di dalam paru-paru
lebih besar daripada yang terdapat di luar. Dengan
demikian, udara yang terdapat dalam paru-paru
mengalir ke luar. Tanpa arus udara yang keluar dari
paru-paru bunyi bahasa tidak akan tercipta (Muslich,
2014:40-41).
Kalau arus udara datang dari dalam paru-paru
disebut arus udara egresif atau eksplosif dan bunyi
bahasanya disebut bunyi egresif atau bunyi eksplosif;
dan kalau arus udara datang dari luar paru-paru
disebut arus udara ingresif atau implosif dan bunyi
bahasanya disebut bunyi ingresif atau bunyi implosif.
2) Komponen Laring (Tenggorokan)
Pangkal tenggorok (larynx) adalah sebuah
rongga pada ujung saluran pernafasan. Di ujung atas
pangkal tenggorok (larynx) terdapt dua buah pita
yang elastis yang disebut pita suara. Letak pita suara
itu horisontal. Celah di antara pita suara itu disebut
17

Fonologi
glotis. Pada glotis inilah awal terjadinya bunyi bahasa
dalam proses produksi bunyi itu. Dalam proses
pembunyian epiglotis (katup pangkal tenggorok)
bertugas menutup dan membuka jalan nafas (jalan
udara dari dan ke paru-paru) dan jalan makanan
/minuman ke arah pencernaan.
Komponen laring (tenggorokan) merupakan
kotak yang terbentuk dari tulang rawan yang
berbentuk lingkaran. Di dalanya terdapat pita suara.
Laring berfungsi sebagai klep yang mengatur arus
udara antara paru-paru, mulut dan hidung.
Dalam proses produksi bunyi, pada laring
inilah awal mula terjadinya bunyi bahasa itu; baik
dengan aliran udara egresif (eksplosif) maupun udara
ingresif (implosif). Posisi glotis (celah di antara pita
suara) menentukan bunyi yang akan dihasilkan,
apakah bunyi bersuara, bunyi tak bersuara atau bunyi
glotal (Chaer, 2013: 26).
Sehubungan dengan arus udara sebagai
sumber pembunyian biasanya dibedakan atas 3
macam arus udara, yaitu:
(1) Arus Udara Pulmonik
Arus Udara Pulmonik, yaitu arus udara yang
berasal dari paru-paru.
18

Fonologi
(2) Arus Udara Glotik
Arus Udara Glotik, yaitu arus udara yang berasal
dari rongga faring (rongga kerongkongan).
(3) Arus Udara Velarik
Arus Udara Velarik, yaitu arus udara yang berasal
dari gerakan-gerakan ke belakang di dalam
rongga mulut.
3) Komponen Subglotal
Komponen subglotal ini terdiri atas tiga
rongga yang berfungsi sebagai lubang resonansi dalam
pembentukan bunyi bahasa, yaitu:
a) Rongga Kerongkongan atau Pharynx (Chaer,
2013: 21)
Komponen supraglotal adalah alat-alat ucap
yang berada di dalam rongga mulut dan rongga
hidung baik yang menjadi artikulator aktif maupun
yang menjadi artikulator pasif (titik artikulasi)
Bagan Komponen Supraglotal (Chaer,
2013:27)

rongga hidung

19

Fonologi

palatum
Alveolum

velum

rongga mulut

uvula

gigi

bibir

Punggung lidah
lidah

daun lidah

rongga

rongga faring

faring

ujung lidah

epiglotis

pita suara
tenggorok

kerongkongan
piglotis

Keterangan:
velum

= langit-langit

uvula

= anak tekak

lunak

20

Fonologi
epiglotis

= katup

pangkal tenggorokan
alveolum

= lengkung

kaki gigi
palatum

= langit-langit

keras
rongga faring = rongga
kerongkongan
Rongga kerongkongan (pharynx) adalah
sebuah rongga yang terletak di antara pangkal
tenggorokan dengan rongga mulut dan rongga
hidung.
Rongga
kerongkongan
(pharynx)
berfungsi sebagai tabung udara yang akan ikut
bergetar bila pita suara bergetar. Bunyi bahasa
yang dihasilkan disebut bunyi faringal.
Terjadinya bunyi bahasa dalam produksi
bunyi bahasa pada umumnya dimulai dari proses
pemompaan udara keluar dari paru-paru melalui
pangkal tenggorokan (laring) ke tenggorokan yang
di dalamnya terdapat pita suara atau selaput suara;
supaya udara itu bisa keluar, pita suara itu harus
berada dalam keadaan terbuka. Setelah melalui
pita suara yang merupakan jalan satu-sayunya
21

Fonologi
untuk bisa keluar, arus udara itu diteruskan ke kuar
ke udara bebas.
Hambatan terhadap arus udara yang keluar
dari paru-paru itu dapat terjadi mulai dari tempat
yang paling dalam yaitu pada glotis (celah pita
suara) sampai pada tempat yang paling luar, yaitu
bibir atas dan bibir bawah. Bila bibir atas dan bibir
bawah tertutup lalu arus udara yang terhambat
tiba-tiba dilepaskan kita akan mendengar bunyi
letup /b/, /p/
b) Rongga Hidung (Chaer, 2013: 23)
Bunyi bahasa yang dihasilkan melalui rongga
hidung disebut bunyi nasal. Bunyi nasal ini
dihasilkan dengan cara menutup rapat-rapat arus
udara di rongga mulut, dan menyalurkannya
keluar melalui rongga hidung. Yang ada dalam
bahasa Indonesia adalah bunyi nasal bilabial [m],
bunyi nasal dental [n] bunyi nasal laminopalatal
[], bunyi nasal dorsovelar [].
c) Mulut dan Rongga Mulut (Chaer, 2013: 23)
Di dalam mulut dan rongga mulut terdapat
alat-alat ucap, seperti:

22

Fonologi
(1) Langit-langit Lunak (Velum), Anak Tekak
(Uvula) dan Pangkal Lidah (Dorsum) (Chaer,
2013: 22)
Langit-langit lunak (velum) dan bagian
ujungnya yang disebut anak tekak (uvula) dapt
turun naik untuk mengatur arus udara yang
keluar masuk melalui rongga hidung atau
rongga mulut. Anak tekak (uvula) akan
merapat ke dinding rongga kerongkongan
(faring) kalau arus udara keluar melalui rongga
mulut; dan akan menjauh dari dinding rongga
kerongkongan (faring) kalau arus udara keluar
melalui rongga hidung. Bunyi bahasa yang
dihasilkan kalau udara keluar melalui rongga
hidung disebut bunyi nasal; dan kalau udara
keluar melalui rongga mulut disebut bunyi
oral.
Bunyi bahasa yang dihasilkan dengan
velum sebagai artikulator pasif dan dorsum
sebagai artikulator aktif disebut bunyi dorsovelar; dari gabungan kata dorsum dan velum.
Sedangkan bunyi yang dihasilkan oleh uvula
disebut bunyi uvular.

23

Fonologi
(2) Langit-langit Keras (Palatum), Ujung Lidah
(Apex) dan Daun Lidah (Laminum) (Chaer,
2013: 22)
Dalam
pembentukan
bunyi-bunyi
bahasa, langit-langit keras (palatum) berlaku
sebagai artikulator pasif dan yang menjadi
artikulator aktifnya adalah ujung lidah (apex)
atau daun lidah (laminum). Bunyi bahasa yang
dihasilkan oleh langit-langit keras (palatum)
dan ujung lidah (apex) disebut bunyi apikopalatal; sedangkan bunyi yang dihasilkan oleh
langit-langit keras (palatum) dan daun lidah
(laminum) disebut bunyi lamino-palatal.
(3) Ceruk atau Lengkung Kaki Gigi (Alveolum),
Ujung Lidah (Apex), dan Daun Lidah
(Laminum) (Chaer, 2013: 22)
Dalam pembentukan bunyi bahasa,
alveolum sebagai artikulator pasif; dan aspeks
atau laminum sebagai artikulator aktifnya.
Bunyi yang dihasilkan oleh alveolum dan apex
disebut apiko-alveolar. Lalu, yang dihasilkan
oleh alveolum dan laminum disebut bunyi
lamino-alveolar.

24

Fonologi
(4) Gigi (Dentum), Ujung Lidah (Apex), dan
Bibir (Labium)
Dalam produksi bunyi bahasa, gigi atas
dapat berperan sebagai artikulator pasif; yang
menjadi artikulator aktifnya adalah apeks atau
bibir bawah. Bunyi yang dihasilkan oleh gigi
atas dan apeks disebut apiko-dental; dan yang
dihasilkan oleh gigi atas dan bibir bawah
disebut bunyi labio-dental. Dalam hal ini ada
juga bunyi interdental, di mana apeks sebagai
artikulator aktif berada di antara gigi atas dan
gigi bawah yang menjadi artikulator pasifnya
(Chaer, 2013: 22)

(5) Bibir Bawah dan Bibir Atas (Chaer, 2013:


23)
Dalam pembentukan bunyi bahasa, bibir
atas bisa menjadi arti- kulator pasif dan bibir
bawah menjadi artikulator aktif. Bunyi yang
dihasilkan disebut bunyi bilabial, seperti bunyi
[b] dan bunyi [p].
Bibir bawah bisa juga
menjadi
artikulator aktif dengan gigi atas sebagai
sebagai artikulator pasifnya. Lalu bunyi yang
25

Fonologi
dihasilkan disebut bunyi labiodental, dari kata
labium dan dentum.
(6) Lidah (Tongue) (Chaer, 2013: 23)
Lidah terbagi atas 4 bagian, yaitu: (1)
Ujung lidah (2) Daun lidah (laminum), (3)
Pangkal (punggung) lidah (dorsum), (4) Akar
lidah (root). Lidah dengan bagia-bagiannya
dalam pembentukan bunyi bahasa selalu
selalu menjadi artikulator aktif, yakni
artikulator yang bergerak. Sedangkan
artikulator pasifnyaadalah alat-alat ucap yang
terdapat rahang atas.Posisi lidah ke depan, ke
tengah, atau ke belakang, dan ke atas atau ke
bawah menentukan jenis vokal yang
dihasilkan.
Proses pembunyian dibantu oleh
epiglotis (katup pangkal tenggorok) yang
bertugas menutup dan membuka jalan nafas
(jalan udara dari dan ke paru-paru) dan jalan
makanan /minuman ke arah pencernaan.
Rongga mulut dengan kedua belah
bibir (atas dan bawah) berperanan dalam
pembentukan bunyi vokal. Kalau bentuk
mulut membundar maka akan dihasilkan
26

Fonologi
bunyi vokal bundar atau bulat; kalau bentuk
mulut tidak bundar atau melebar akan
dihasilkan bunyi vokal tidak bundar.
Secara umum semua bunyi bahasa yang
dihasilkan di rongga mulut disebut bunyi oral,
sedangkan bunyi yang dihasilkan melalui rongga
hidung disebut bunyi nasal.

2.3 Kajian Fonetik


2.3.1 Jenis-jenis Fonetik
Berdasarkan tempat beradanya bunyi itu sewaktu
dikaji, fonetik dibedakan atas 3 macam fonetik
(Chaer,2013:10-12, Muslich, 2014: 8-10), yaitu:

2.3.1.1 Fonetik Artikulatoris


a. Pengertian Fonetik Artikulatoris

27

Fonologi
Fonetik artikulatoris disebut juga fonetik
organis atau fonetik fisiologis yaitu fonetik yang
mempelajari dan meneliti bagaimana bunyi-bunyi
bahasa itu diproduksi oleh alat-alat ucap manusia.

Cabang fonetik ini mengkhususkan kajiannya


pada cara-cara terbentuknya bunyi ujar oleh alat-alat
ucap (organ of speech) yang sebagian besar terdapat
pada mulut manusia. Karena kajian diarahkan pada
aktivitas alat bicara dalam menghasilkan bunyi-bunyi
ujar, maka cabang fonetik ini disebut juga fonetik
organis. Jadi konsentrasi kajian diarahkan pada
pembicara (encoder) saat aktivitas komunikasi
dilakukan.
Kajian fonetik artikulatoris dapat diarahkan
pada:
1) Alat bicara mana yang menghasilkan bunyi ujaran
itu,
2) Cara bagaimana bunyi ujaran itu di hasilkan oleh
alat ucap,
3) Dalam keadaan bagaimana alat bicara itu
menghasilkan bunyi ujar tertentu,

28

Fonologi
4) Kemudahan dan halangan apa yang terjadi saat
bunyi ujar tertentu dihasilkan.
Fonetik organis/artikulatoris akan menyelidiki
dan mendeskripsikan semua bunyi ujar yang
dihasilkan oleh alat-alat bicara serta menggolonggolongkan bunyi ujar itu menurut artikulasinya.
Fonetik organisasi ini berkaitan dan mempunyai
peranan yang amat penting dalam penelitian bahasa
(linguistik).
Oleh
karena
itu,
fonetik
organis/artikulatoris ini untuk sebagian besar
berhubungan dengan linguistik (ilmu bahasa)
Dalam hal berbahasa, manusia yang normal
tentu mampu menghasilkan bunyi-bunyi bahasa
dengan menggerakkan atau memanfaatkan organorgan/alat-alat tuturnya, seperti lidah, bibir dan gigi
bawah yang digerakkan oleh rahang bawah. Fonetik
organis/artikulatoris inilah yang paling berkaitan
dengan ilmu linguistik karena fonetik ini sangat
berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi bahasa
itu dihasilkan oleh alat ucap.
Fonetik organis atau fonetik artikulatoris
dipandang penting dan signifikan dipelajari dalam
kajian fonologi, mengingat (Muslich,2014:29):

29

Fonologi
(a) Praktis:

karena kita sebagai manusia normal


mempunyai organ tubuh yang dapat
difungsikan untuk menghasilkan bunyi
bahasa.

(b) Pragmatis: karena


kita
bisa
langsung
menggunakannya
dalam
praktik
berbahasa sehingga tidak memerlukan
laboratorium khusus.

2.3.1.2 Fonetik Akustik


Fonetik akustik yaitu fonetik yang mempelajari
dan meneliti bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu
merambat di udara; antara lain membicarakan gelombang
bunyi beserta frekuensi dan kecepatannya ketika
merambat di udara, spektrum, tekanan dan intensitas
bunyi. Kajian fonetik akustik lebih mengarah kepada
kajian fisika daripda kajian linguistik.
Kajian fonetik akustik bertumpu pada struktur
fisik bunyi-bunyi bahasa dan bagaimana alat
pendengaran manusia memberikan reaksi kepada bunyibunyi bahasa yang diterima. Fonetik akustik ini
mempunyai manfaat dan peranan yang penting dalam
bidang fisika, terutama dalam dalam penelitian tentang
hakikat bunyi itu sebagai gejala fisika.
30

Fonologi
Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa
dalam fonetik akustik dipelajari tentang bagaimana suatu
bunyi bahasa ditanggapi dan dihasilkan oleh mekanisme
pertuturan manusia, bagaimana pergerakan bunyi-bunyi
bahasa itu dalam ruang udara yang seterusnya bisa
merangsang proses pendengaran manusia.
Ada 3 ciri utama bunyi-bunyi bahasa yang
mendapat penekanan dalam kajian fonetik akustik, yaitu:
1) Frekuensi bunyi bahasa
2) Tempo yaitu durasi waktu sebuah bunyi bahasa
diucapkan.
3) Kenyaringan sebuah bunyi bahasa diucapkan.
Alat untuk kaji gelombang bunyi bahasa dan
mengukur
pergerakan
udara
antara
lain
(Muslich,2014:30):
a) Oskilograf (Oscillosgraph) yaitu sebuah alat yang
membuat getaran-getaran bunyi dapat dilihat.
b) Spektograf (Spectograph) yaitu sebuah alat
elektronik untuk menganalisis getaran-getaran
bunyi dalam bentuk frekuensi, yaitu jarak getaran
dalam waktu tertentu.
31

Fonologi
c) Amplitudo, yaitu sebuah alat elektronik untuk
menganalisis lama getaran dalam waktu tertentu
dan intensitas yaitu panjang/skala getaran pada
waktu tertentu.
Walaupun ala-alat elektronik seperti
Oskilograf (Oscillosgraph), Spektograf (Spectograph) dan Amplitudo tidak dibicarakan dalam
kajian fonologi, namun ada dua simpulan dari
telaah fonetik akustik yang dapat dipahami
berkaitan dengan bunyi (Muslich, 2014:30), yaitu:
1) Bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap
manusia merupakan satu kontinum, yaitu satu
kesatuan waktu tertentu.
2) Bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh
manusia selalu bervariasi, tidak
mempunyai
kesamaan
total,
diucapkan oleh alat ucap yang sama
(pemakai bahasa) yang sama.

alat ucap
ada yang
walaupun
dari orang

Fonetik akustik mengarahkan kajiannya


pada bunyi ujar menurut aspek fiskalnya sebagai
getaran udara setelah bunyi ujar itu keluar dari
pembicara. Kajian ini dilakukan dengan meneliti
gelombang bunyi diudara dan membuat
penggolongan intensitas bunyi berdasarkan hakikat
32

Fonologi
(kesejatian) bunyi itu sendiri. Hasil penelitian
bidang fisika tentang hakikat bunyi itu di peroleh
kesimpulan bahwa: Bunyi ujaran itu adalah hasil
getaran gelombang pemampatan yang mempunyai
atau dapat merangsang pendengaran dengan saraf
intensitas 10-16 s.d 10-4 watt/cm2 dan dengan
frekuensi: 16-20.000 cycle/scon.
Penyelidikan khusus tentang fonetik akustik
memerlukan peralatan elektronik yang rumit dan
biasanya dilakukan di laboratorium akustik. Di
depan telah disebutkan bahwa pada tahun 1970
telah ditemukan digital signal procesing, dan malah
sekarang sudah digunakan secara luas alat
spektrograf digital. Alat ini mengeluarkan rekaman
analisisnya dalam bentuk lembaran kertas yang
disebut spektrogram. Melalui spektrogram ini kita
dapat mengetahui kualitas akustik bunyi ujar yang
kita analisis.
Fonetik akustik ini mempunyai manfaat dan
peranan yang penting dalam bidang fisika, terutama
dalam penelitian tentang hakikat bunyi itu sebagai
gejala fisikal.

2.3.1.3 Fonetik Auditoris atau Fonetik Persepsi


33

Fonologi
Fonetik auditoris atau fonetik persepsi yaitu
fonetik yang mempelajari dan meneliti bagaimana bunyibunyi bahasa itu diterima dan dipahami oleh pendengar.
Jadi, cabang fonetik auditoris ini mengkhususkan
kajiannya pada bagiamana bunyi bahasa itu dapat
diterima dan dipahami oleh pendengar. Dengan kata lain,
bagaiman bunyi bahasa itu dapa di-decoding oleh
pendengar (decoder). Fonetik ini mengarahkan
penyelidikannya pada bagaimana cara penerimaan bunyi
ujaran/bunyi bahasa oleh telinga. Penerimaan bunyi
bahasa oleh telinga berkaitan erat dengan kerja saraf
(neuron). Dalam hal ini pembahasannya mengenai
struktur dan fungsi alat dengar yang disebut telinga itu
bekerja. Oleh karena itu, kajian fonetik auditoris lebih
berkenaan dengan ilmu kedokteran, termasuk kajian
neurologi.
Dalam fonetik auditoris atau fonetik persepsi ini
dipelajari tentang bagaimana manusia menentukan
pilihan bunyi-bunyi yang diterima oleh alat
pendengarannya. Dengan kata lain, kajian ini meneliti
bagaimana seorang pendengar menanggapi bunyi-bunyi
yang diterimanya sebagai bunyi-bunyi yang perlu
diproses sebagai bunyi-bunyi bahasa bermakna, dan
apakah ciri bunyi-bunyi bahasa yang dianggap penting
oleh pendengar dalam usahanya untuk membedabedakan setiap bunyi bhasa yang didengar. Tegasnya,
fonetik auditoris adalah kajian terhadap respons sistem
pendengaran terhadap rangsangan gelombang bunyi yang
diterima.

34

Fonologi
Penelitian tentang kerja saraf menuntut
pengetahuan dan keahlian dalam ilmu kedokteran saraf
(neurologi). Para ahli saraf (neurolog) mengemukakan
bahwa, penerimaan bunyi ujaran oleh telinga dengan
kerja sarafnya, terjadi melalui proses seperti yang tampak
dalam bagan berikut ini.
Bagan Penerimaan Bunyi Ujaran oleh Telinga dengan
Kerja Sarafnya
Bunyi Ujaran
(Pembicara)

3 Tulang Pendengar, yaitu:


1) Tulang Landasan
2) Tulang Martil
3) Tulang Sanggurdi

Rumah Siput

35

Fonologi
Saraf Otak 8

Pusat Pendengaran
(Untuk Diartikan)

Fonetik auditoris ini mempunyai kegunaan untuk


mengetahui kerja saraf dalam penerimaan gelombang
dan getaran bunyi. Karena itu, cabang fonetik ini untuk
sebagian besar termasuk bidang kedokteran, khususnya
ilmu saraf (neurologi). Dalam ilmu kedokteran saraf,
bidang ini sudah berkembang pesat, bahkan alat-alat
untuk membantu pendengaran juga sudah banyak
dikembangkan.
2.3.2 Hubungan Antara Fonetik
Hubungan antara fonetik artikulatoris, fonetik
akustik dan fonetik auditoris dapatlah dideskripsikan
berikut ini.
1) Sewaktu bunyi bahasa itu berada dalam proses
produksi di dalam mulut penutur, bunyi-bunyi bahasa
36

Fonologi
itu menjadi objek kajian fonetik artikulatoris atau
fonetik organis.
2) Sewaktu bunyi bahasa itu berada atau sedang
merambat di udara menuju telinga pendengar, bunyibunyi bahasa itu menjadi objek kajian fonetik akustik.
3) Sewaktu bunyi bahasa itu sampai atau berada di
telinga pendengar., bunyi-bunyi bahasa itu menjadi
objek kajian fonetik auditoris.
Hubungan antara fonetik artikulatoris, fonetik
akustik dan fonetik auditoris; tampak seperti dalam
bagan berikut ini.

1
Penutur

2
Bunyi bahasa
merambat di udara

3
Pendengar

Telinga dan
sistem
neurologisnya
Alat-alat ucap

37

FONETIK AUDITORIS
(untuk sebagian besar
Termasuk neurologi)

Fonologi
FONETIK ORGANIS
(untuk sebagian besar
termasuk linguistik)

FONETIK AKUSTIS
(untuk sebagian besar
Termasuk fisika)

2.4 Hubungan Gangguan Bicara dengan Kajian


Fonetik
Istilah ketidaklancaran berujar atau Gangguan
Bicara diterjemahkan dari language disordered atau
language disabilities. Apabila dikaitkan dengan proses
berbahasa lisan, maka ketidaklancaran berujar atau
gangguan bicara ini merujuk kepada kegagalan atau
kekurangmampuan seseorang untuk berkomunikasi
dengan menggunakan bahasa lisan dengan lancar dan
berkesan (Lahey, 1988 dalam Muslich, 2014:10). Dalam
beberapa kasus, fenomena ketidaklancaran berujar atau
gangguan
bicara
sering
dikaitkan
dengan
ketidakmampuan
belajar
oleh
individu
yang
bersangkutan.
Pada umumnya penutur yang mempunyai
masalah ketidaklancaran berujar atau gangguan bicara ini
akan sukar atau tidak langsung merespons yang
sewajarnya atau keadaan lain yang tidak diharapkan
dalam suatu percakapan. Masalah ketidaklancaran
berujar oleh penutur ini dapat dilihat dari segi atau
38

Fonologi
kelemahan organ pertuturannya, keadaan suaranya
(terutama dari segi nada dan kenyaringan), dan
kelancaran berujar (Thomas dan Carmack, 1990:2 dalam
Muslich, 2014: 10). Permasalahan ketidaklancaran
berujar atau gangguan bicara bisa disebabkan oleh:
2.4.1 Kegagapan (Stuttering)
Menurut Ainsworth (1975 dalam Muslich,
2014:11), gagap merupakan salah satu permasalahan
yang berhubungan dengan ketidaklancaran ketika
berbahasa, yang dialami oleh seorang penutur. Pada
umunya, penutur yang gagap adalah penutur yang
menghadapi masalah kekurangmampuan artikulator
untuk berfungsi secara normal, dan/atau masalah
pengaturan pernapasan atau lewatan udara dari paru-paru
si penutur. Antara lain, yang termasuk ciri-ciri kegagapan
adalah pemandekan, pemanjangan, dan pengulangan.
2.4.1.1 Pemandekan atau Kemandekan
Pemandekan atau kemandekan merujuk kepada
ketidakmam-puan penutur untuk menggerakkan atau
mengawali gerak artikulator-artikulator pertuturannya
untuk menghasilkan suatu perkataan yang dikehendaki.
Kemandekan ini muncul secara spontan sehingga penutur
berupaya melancarkannya. Upaya penutur untuk
memaksa artikulator-artikulatornya bergerak ini begitu
kuatnya sehingga raut muka terlihat memerah (Muslich,
2014:11).
39

Fonologi
2.4.1.2 Pemanjangan
Pemanjangan
merujuk
kepada
keadaan
memanjangkan bunyi tertentu dalam jangka waktu yang
lebih lama dibandingkan dengan jarak waktu normal.
Pada umumnya, penutur yang normal akan
memanjangkan bunyi suatu bahasa dalam jangka waktu
yang singkat dibandingkan dengan penutur yang gagap.
Misalnya sewaktu mengucapkan bunyi [n] untuk
mengujarkan kata [napas], penutur gagap akan
membunyikan dalam jangka waktu yang lbih lama (bila
dibandingkan dengan penutur normal). Pemanjangan
juga bisa dilihat dari pengekalan suatu artikulator pada
posisi tertentu dalam jangka waktun yang lebih lama,
misalnya mengekalkan posisi lidah dan rahang ketika
mengucapkan bunyi [t] dalam kata [tiba] (Muslich,
2014:11).

2.4.1.3 Pengulangan
Pengulangan merujuk pada keadaan mengulang
secara berturut-turut bunyi bunyi tertentu dalam suku
kata, kata, frase, atau kalimat ketika diujarkan dalam
suatu percakapan. Misalnya, kalimat Dia terjatuh ke
dalam parit diucapkan D-d- dia dia dia t-t-ter-terja-jatuh ke-ke-ke da-da-dalam p-p-parit (Lihat Thomas dan
Carmach, 1990:104-110 dalam Muslich, 2014:12).
40

Fonologi
Keadaan seperti pemandekan, pemanjangan, dan
pengulangan
ini
mewujudkan
masalah
pada
pembentukan dan kualitas nada, keadaan kelancaran
lewatan udara paru-paru, dan kekuatan suara penutur
yang bersangkutan. Alat seperti laringoskop dapat
membantu
fonetis
untuk
memahami
masalah
pemandekan yang dihadapi penutur gagap. Dengan
bantuan alat ini, akan terlihat keadaan pita suara yang
tertutup rapat yang meyekat kelancaran aliran udara dari
paru-paru penutur.
Untuk mgetahui kedudukan lidah dengan tepat
sewaktu
penutur
gagap
menghadapi
masalah
pemandekan, fonetisi bisa menggunakan
teknik
sineradiograf. Dengan teknik sineradiograf ini fonetisi
bisa mengambil satu per satu gambar pergerakan setiap
satu artikulator ketika penutur berujar, di samping
mengetahui dengan pasti kedudukan titik artikulasinya.
(painter, 1979:69 dalam Muslich, diucapkan D-d- dia
dia dia t-t-ter-terja-ja-tuh ke-ke-ke da-da-dalam p-pparit (Lihat Thomas dan Carmach, 1990:104-110 dalam
Muslich, 2014:12).
Ciri pemanjangan (bunyi atau suku kata) yang
terjadi pada penutur gagap dapat diukur dengan
menggunakan spektograf. Ukuran ini dipaparkan dalam
cermin kata spektograf dalam bentuk pola spektografik.
Setiap kali sesudah penutur gagap diajarkan bagaimana
peletakkan lidah yang betul untuk menghasilkan kualitas
bunyi yang baik, maka spektograf pula yang akan
41

Fonologi
digunakan sebagai perbandingan kualitas bunyi-bunyi
yang dihasilkan (Ohde dan Sharf, 1992:9 dalam Muslich,
2014:12). Cara ini akan membantu penutur yang
bersangkutan untuk menghasilkan pola spektografik yang
mencerminkan kualitas ujaran
2.4.2 Kelumpuhan Syaraf Otak (Celebral Palsied)
Istilah kelumpuhan otak merujuk pada
kecederaan
di bagian tengah sistem nervous otak
manusia yang mengakibatkan proses
arahan dan
perpindahan dari otak ke saraf penggerak yang
mendorong pergerakan anggota tubuh sangat lemah
bahkan tidak berfungsi (Mysak, 1990; dalam Muslich,
2014:12-13). Kelumpuhan ini turut melibatkan secara
langsung
ketidaklancaran
proses
pengujaran.
Ketidaklancaran ini berkaitan dengan keadaan
pernapasan yang tidak normal yang berdampak pada
aliran udara diperlukan ketika menghasilkan bunyi
ujaran, kenyaringan dan kejelasan suara, dan kemampuan
gerakan artikulator-artikulator pertuturan. Fonetisi atau
ahli fonetik berupaya memahami masalah kondisi
pernapasan yang tidak normal ini dengan menggunakan
beberapa alat tertentu, misalnya, pneumokatograf dan
respirometer. Alat pneumokatograf berfungsi untuk
mengukur volume setiap pergerakan udara dalam bentuk
mililiter, sedangkan alat
respirometer memberikan
petunjuk tentang kapasitas paru-paru dan perubahan

42

Fonologi
volume paru-paru (Painter,
1079, dalam Muslich,
2014:12-13).
Dalam kasus kelumpuhan syaraf otak (celebral
palsied),fonetisi atau ahli fonetik berusaha membantu
penutur yang mengalami kelumpuhan syaraf otak ini
untuk berlatih menggerakan artikulator-artikulator ke
posisi yang tepat sesuai dengan bunyi bahasa yang ingin
dihasilkan. Penutur bisa diajari juga menyalurkan
gerakan-gerakan udara dari paru-paru ke rongga hidung
atau rongga mulut.
2.4.3 Belahan Langit-langit Mulut (Cleft palate)
Belahan langit-langit mulut (cleft palate)
merujuk pada keadaan (Muslich, 2014:13-14):
1) Terbelahnya atau merekahnya langit-langit mulut
seorang penutur
Belahan atau rekahan langit-langit mulut ini bisa
terjadi pada langit-langit keras saja, langit-langit lunak
saja, atau kedua-duannya.
2) Belahan atau rekahan pada bibir penutur
Kedua masalah ketidaklancaran berujar atau gangguan
bicara di atas dapat dtanggulangi dengan bantuan dan
bentuk pembelajaran oleh fonetisi.Untuk memastikan
apakah bagian langit-langit mulut masih berfungsi
atau tidak dalam proses menghasilkan bunyi bahasa,
fonetisi dapat dapat memanfaatkan alat palatografi.
Penutur
yang
bersangkutan
juga
diminta
mengucapkan bunyi-bunyi bahasa untuk direkam ke
43

Fonologi
dalam
bentuk
gelombang
pada
alat
oskilloskop.Perekaman ini penting untuk menentukan
tekanan dan alian udara rongga mulut, rongga hidung
atau pada bibir.
Berdasarkan pemahaman tentang keadaan
artikulator dan titik artikulasi serta tekanan dan aliran
udara di rongga mulut dan rongga hidung, penutur
yang mempunyai belahan langit-langit mulut dan
belahan atau rekahan pada bibir itu, maka:
(1) Fonetisi atau ahli fonetik dapat mencoba
membantu perbaikan kualitas bunyi-bunyi bahasa
yang dihasilkan.
(2) Fonetisi atau ahli fonetik dapat mengajarkan
penutur yang bersangkutan tentang posisi lidah
yang betul pada titik yang dapat menghasilkan
bunyi bahasa yang dikehendaki.
(3) Fonetisi atau ahli fonetik dapat mengajarkan cara
letusan atau letupan dua bibir yang betul dalam
menghasilkan bunyi afrikatif (bunyi c, j, k, g) dan
plosif (bunyi p, b, t,d).
2.4.4 Rusaknya Pendengaran (Hearing Impaired)
Kasus kerusakan pendengaran ini dapat dibagi
dalam dua keadaan (Muslich, 2014:14-15), yaitu:
1) Penutur yang Mempunyai Masalah Kualitas
Pendengaran Rendah
Penutur yang mempunyai masalah kualitas
pendengaran yang rendah berkemungkinan untuk
44

Fonologi
gagal mengenal dengan baik bunyi-bunyi yang
berfrekuensi tinggi seperti bunyi [s]dan [f]. Karena itu
ia akan menghadapi masalah ketika memahami
perkataan dalam suatu ujaran yang mengandung
bunyi-bunyi yang berfrekuensi tersebut di atas
(Thomas dan Carmach, 1990 dalan Muslich, 2014:14).
Penutur yang mengalami kerusakan pendengaran ini
diajarkan bertutur dengan bantuan alat spektograf dan
oskiloskop oleh fonetisi atau ahli fonetik. Penutur
yang bersangkutan akan berusaha bertutur dengan
betul atau memperbaiki kualitas pertuturannya dengan
melihat pola spektografik yang dihasilkan di atas
kertas spektogram, seperti:
(1) Kualitas bunyi vokal,
(2) Perbedaan di antara bunyi-bunyi vokal, nasal dan
lateral,
(3) Mengenal dengan baik perbedaan antara:
a) Bunyi-bunyi letup dan frikatif,
b) Bunyi-bunyi letup dan getar,
c) Bunyi-bunyi bersuara dan tidak bersuara.
Sayangnya, usaha-usaha pembinaan terhadap
ketidaklancaran berujar atau gangguan bicara ini tidak
didukung oleh peralatan yang memadai sehingga
angan-angan ini masih jauh kenyataan.
2) Penutur yang Pekak atau Tuli
Penutur yang pekak atau tuli tidak dapatih dilatih
untuk memperbaiki organ pendengarannya, terutma
penutur yang alat pendengaraannya sudah rusak total.
45

Fonologi
Penutur yang pekak atau tuli hanya dapat dibantu
dengan alat bantu dengar elektronik yang dihubungkan
langsung ke gendang-gendang telinga.

2.5 Jenis-jenis Bunyi Bahasa


2.5.1

Bunyi Vokoid, Semi Vokoid dan Kontoid


(Muslich, 2014:46; Marsono, 1989:16-25)

Pembedaan bunyi vokoid, kontoid dan semi


vokoid didasarkan pada ada tidaknya hambatan atau
proses artikulasi pada alat-alat ucap.

2.5.1.1 Bunyi Vokoid (Muslich, 2014:46; Marsono,


1989:16-25)
Pembahasan tentang bunyi vokoid, meliputi:
a. Pengrtian Bunyi vokoid
Bunyi vokoid (Muslich, 2014:46) adalah bunyi
yang dihasilkan tanpa melibatkan penyempitan atau
penutupan pada daerah artikulasi. Selanjutnya,
menururut Jos Daniel Parera (1979:12), bunyi vokoid

46

Fonologi
dihasilkan dengan pelonggaran udara yang keluar dari
dalam paru-paru tanpa mendapat halangan.
Ketika bunyi itu diucapkan, yang diatur
hanyalah ruang resonansi pada rongga mulut melalui
pengaturan posisi lidah dan bibir.
Berkaitan dengan pengaturan ruang resonansi
pada rongga mulut lewat posisi lidah dan bibir, Daniel
Jones menemukan delapan titik vokoid yang disebut
dengan nama Vokal Kardinal (Cardinal Vowel), seperti
yang tampak dalam diagram Vokoid Kardinal berikut
ini (Muslich, 2014: 47).
[i].

[u]

[e].

.[o]

[].
.[O]

47

Fonologi
[a]. .
.[]

Bunyi-bunyi vokoid itu jumlahnya hanya sedikit


bila dibandingkan dengan bunyi-bunyi kontoid. Hal
ini karena terbatasnya pengaturan posisi lidah dan
bibir ketika bunyi itu diucapkan.
Bunyi vokoid dalam berbagai bahasa sangat
bervariatif, apalagi setelah diterapkan dalam berbagai
distribusi dan lingkungan. Bunyi-bunyi vokoid inilah
yang kemudian diseleksi menjadi fonem vokal.
b. Kriteria Pengelompokkan Bunyi-bunyi Vokoid
Pengelompokkan bunyi-bunyi vokoid dilakukan
berdasarkan (Muslich, 2014: 56-58) kriteria-kriteria
berikut ini:
1) Berdasarkan Berdasarkan Tinggi Rendahnya
Lidah
Berdasarkan tinggi rendahnya lidah (Chaer,
2013:39), vokoid dapat dibedakan atas enam
macam, yaitu:
(1) Vokoid Tinggi Atas, seperti Vokoid: [i] dan [u]
48

Fonologi
(2) Vokoid Tinggi Bawah, seperti Vokoid: [I] dan
[U]
(3) Vokoid Sedang Atas, seperti Vokoid: [e] dan [o]
(4) Vokoid Sedang Bawah, seperti Vokoid: [] dan
[]
(5) Vokoid Sedang (Tengah), seperti Vokoid: []
(6) Vokoid Rendah, seperti Vokoid: [a]
2) Berdasarkan Maju Mundurnya Lidah
Berdasarkan maju mundurnya lidah (Chaer,
2013:39), vokoid dapat dibedakan atas tiga macam,
yaitu:
(1) Vokoid Depan, seperti Vokoid: [i], [e] dan [a]
(2) Vokoid Tengah (Pusat), seperti Vokoid: []
(pepet)
(3) Vokoid Belakang, seperti Vokoid: [u], [o]
3) Berdasarkan Posisi Bibir atau Bentuk Bibir
(Bentuk Mulut)
Berdasarkan posisi bibir atau bentuk bibir
(bentuk mulut), vokoid dapat dibedakan atas tiga
macam, yaitu:
(1) Vokoid Bundar, yaitu vokoid yang diucapkan
dengan posisi bibir atau bentuk bibir (bentuk
mulut) membundar. Dalam hal ini ada yang
bundar terbuka, seperti vokoid: [] dan yang
bundar tertutup, seperti vokoid: [o] dan [u]

49

Fonologi
(2) Vokoid Tak Bundar, yaitu vokoid yang
diucapkan dengan posisi bibir atau bentuk
bibir (bentuk mulut) tidak membundar,
melainkan terbentang lebar, seperti vokoid:
[i], [e] dan [].
(3) Vokoid Netral, yaitu vokoid yang diucapkan
dengan posisi bibir atau bentuk bibir (bentuk
mulut) tidak membundar dan tidak melebar,
seperti vokoid: [a].

2.5.1.2 Bunyi Semi Vokoid


Bunyi semi vokoid adalah bunyi yang proses
pembentukannya mula-mula secara vokoid lalu diakhiri
secara kontoid. Karena itu bunyi ini disebut juga bunyi
hampiran (aproksiman). Bunyi semi vokoid hanya ada
dua, yaitu bunyi bilabial [w] dan bunyi laminopalatal [y].

2.5.1.3 Bunyi Kontoid


Bunyi kontoid (Muslich, 2014:48) yaitu bunyi
yang dihasilkan dengan melibatkan penyempitan atau
penutupan pada derah artikulasi. Bunyi-bunyi kontoid ini
lebih banyak jumlahnya bila dibandingkan dengan
bunyi-bunyi vokoid, seiring dengan banyaknya jenis
50

Fonologi
artikulator yang terlibat dalam upaya penyempitan atau
penutupan ketika bunyi diucapkan.
Bunyi kontoid dalam berbagai bahasa juga sangat
bervariatif, apalagi setelah diterapkan dalam berbagai
distribusi dan lingkungan. Bunyi-bunyi kontoid inilah
yang kemudian diseleksi menjadi fonem konsonan.

2.5.2 Bunyi Oral dan Bunyi Nasal


Pembedaan kedua
bunyi
berdasarkan jalnnya udara, yaitu:

ini

dilakukan

a) Bunyi Oral
Bunyi oral yaitu bunyi ujaran yang dihasilkan
dengan cara arus udara keluar melalui rongga mulut
(bdk.Keraf, 1991:27) seperti bunyi [b], [p], [v], [f],
[d], [t], [z], [s], [l], [r], [j], [c], [sy], [g], [k, [kh], [R],
dan [h].
b) Bunyi Nasal
Bunyi nasal yaitu bunyi ujaran yang dihasilkan
dengan cara arus udara keluar melalui rongga hidung,
seperti bunyi [m], [n],],[].

51

Fonologi

2. 5.3 Bunyi Bersuara dan Bunyi Tak Bersuara


Berdasarkan ada tidaknya getaran pada pita
suara sewaktu bunyi itu dihasilkan (Muslich, 2014:50
Chaer, 2013:33), bunyi ujaran dibedakan atas:
a) Bunyi Bersuara
Bunyi Bersuara yaitu bunyi ujaran yang dihasilkan
bila pita suara turut bergetar ketika bunyi-bunyi itu
dihasilkan, seperti bunyi [b], [d], [g], [z].
b) Bunyi Bunyi Tak Bersuara
Bunyi Tak Bersuara yaitu bunyi ujaran yang
dihasilkan bila pita suara tidak bergetar ketika bunyibunyi itu dihasilkan, seperti bunyi [p], [t], [k], [s].

2. 5.4 Bunyi Panjang dan Bunyi Pendek


Berdasarkan lama tidaknya bunyi itu dihasilkan
(Muslich, 2014:50, Chaer, 2013:34), bunyi ujaran
dibedakan atas:

52

Fonologi
a) Bunyi Panjang
b) Bunyi Pendek
Pembedaan kedua bunyi ini didasarkan pada
lama atau tidaknya bunyi itu dihasilkan. Baik bunyi
vokoid maupun bunyi kontoid dapt dibagi atas bunyi
panjang dan bunyi pendek. Kedua bunyi ini tidak
terdapat dalam Bahasa Indonesia. Sampai sejauh ini
kedua bunyi ini hanya terdapat dalam Bahasa Latin
dan Bahasa Arab.
(Catatan: Marilah kita selidiki kedua bunyi ini dalam
bahasa daerah kita masing-masing).

2. 5.5 Bunyi Bunyi Keras dan Bunyi Lunak


Berdasarkan
ada
tidaknya
ketegangan
kekuatan arus udara ketika bunyi itu dihasilkan (Chaer,
2013:34), bunyi ujaran dibedakan atas:
a) Bunyi Keras
Bunyi keras (fortis) yaitu bunyi ujaran yang
terjadi karena pernapasan yang kuat dan otot yang
tegang, seperti bunyi [t], [k], [s].

53

Fonologi
b) Bunyi Lunak
Bunyi lunak (lenis) yaitu bunyi ujaran yang
terjadi karena pernapasan yang lembut dan otot yang
kendur, seperti bunyi [d], [g], [z].

2. 5.6 Bunyi Tunggal dan Bunyi Rangkap


Pembedaan kedua bunyi ini berdasarkan pada
hadirnya sebuah bunyi yang tidak sama sebagai satu
kesatuan dalam sebuah silabel (suku kata), bunyi ujaran
dibedakan atas:
a. Bunyi Tunggal Vokoid atau Monoftong
Bunyi tunggal vokoid disebut monoftong,
seperti bunyi [a] dan [i] pada kata [lantai] dan [ cerai ].
b. Bunyi Rangkap Vokoid atau Diftong
Bunyi rangkap vokoid
seperti bunyi [a] dan [i] pada

disebut

[lantai] dan [ cerai ].


c. Bunyi Rangkap Kontoid atau Kluster

54

diftong

Fonologi
Bunyi rangkap kontoid disebut kluster seperti
bunyi [k] dan [l] pada kata [ klasik] dan [klitika] (Chaer,
2013: 34).

2. 5.7 Bunyi Nyaring dan Bunyi Tak Nyaring


Berdasarkan derajat kenyaringan (sonoritas)
bunyi-bunyi (Chaer, 2013:34),
bunyi ujaran dibedakan atas:
a) Bunyi Nyaring
b) Bunyi Tak Nyaring
Pembedaan bunyi nyaring
dan bunyi tak
nyaring didasarkan pada derajat kenyaringan (sonoritas)
bunyi-bunyi itu yang ditentukan oleh besar kecilnya
ruang resonansi pada waktu bunyi itu diucapkan.
Bunyi vokoid pada umumnya mempunyai
sonoritas yang lebih tinggi darpada bunyi kontoid. Oleh
karena itu, setiap bunyi vokoid menjadi puncak
kenyaringan setiap silabel. Bila ada dua buah vokoid
beruntun yang masing-masing memiliki kenyaringan
yang tinggi berari kedua vokoid itu merupakan dua

55

Fonologi
silabel yang berbeda, seperti pada kata [ia], [beo] dan
[tua] dalam Bahasa Indonesia (Chaer, 2013:34).

2. 5.8 Bunyi Egresif dan Bunyi Ingresif


Berdasarkan sumber arus udara, yaitu dari mana
datangnya arus udara dalam menghasikan bunyi itu
(Chaer, 2013:35), bunyi ujaran dibedakan atas:
a) Bunyi Egresif (Eksplosif)
Bunyi Egresif (Eksplosif) yaitu bunyi ujaran
yang dihasilkan bila udara datang dari dalam paruparu, artinya arus udara dihembuskan keluar dari
dalam paru-paru, seperti bunyi [b], [d], [g] dalam
Bahasa Indonesia.
Ada dua macam bunyi egresif (eksplosif)
yaitu:
(1) Bunyi egresif (eksplosif) pulmonik, apabila arus
udara itu berasal dari dalam paru-paru, pangkal
tenggorokan
(2) Bunyi egresif (eksplosif) glotalik, apabila arus
udara itu berasal dari dalam pangkal tenggorokan

56

Fonologi
b) Bunyi Ingresif (Implosif)
Bunyi ingresif (implosif) yaitu bunyi ujaran
yang dihasilkan bila udara datang dari luar, yaitu dari
udara bebas di alam semesta; artinya arus udara
dihirup masuk ke dalam paru-paru, seperti bunyi []
dalam kata [oa] pukul, [] dalam kata [oo]
turunl, [] dalam kata [oo] mengonggong
(anjing) dalam Bahasa Nagekeo.

2.5.9 Bunyi Suprasegmental


2.5.9.1 Arus Ujaran Merupakan Runtunan Bunyi
(Bahan Ajar, 201:76-77)
Arus ujaran manusia merupakan runtunan bunyi
kontinum,
bersambung terus-menerus. Dalam arus
ujaran itu terdapat dua macam bunyi ujaran, yaitu a)
bunyi
ujaran
yang
dapat
dipenggal
dan
berkomplementasi dengan bunyi ujaran yang dapat
dipenggal; b) Bunyi sertaan, yaitu bunyi ujaran yang
tidak dapat dipenggal atas segmen atau ruas-ruas yang
disebut bunyi-bunyi suprasegmental atau bunyi-bunyi
prosodi.
Bunyi
suprasegmental
atau
nonsegmental
(Muslich, 2014:61-66, Chaer, 2013:53-56 ), yaitu bunyi
57

Fonologi
yang tidak dapat disegmentasikan karena kehadiran
bunyi ini selalu mengiringi atau menemani bunyi
segmental baik bunyi vokoid maupun bunyi kontoid.
Sejauh ini bunyi (unsur) suprasegmental tidak
berlaku atau tidak ditemukan dalam fonetik Bahasa
Indonesia, tetapi berlaku atau ditemukan dalam fonetik
bahasa lain. Misalnya, dalam Bahasa Ngbaka di Kongo
Utara, benua Afrika (Chaer, 2013:35); kata [sa]
memanggil. Bila diberi nada turun [sa \] sedang
memanggil, bila diberi nada datar [sa ]
sudah
v
memanggil, bila diberi nada turun naik [sa ] sudah
memanggil, bila diberi nada naik [sa ] panggillah
(sebagai bentuk imperatif).

2.5.9.2 Klasifikasi Bunyi Suprasegmental atau Ciriciri Prosodi (Martha, 2011:77-82)


Unsur suprasegmental yang berupa tekanan, nada,
durasi, dan jeda karena tidak bersifat fonemis tidak diberi
lambang apa-apa.
Unsur atau bunyi suprasegmental bekerja atau
berlangsung sewaktu bunyi segmental dihasilkan. Unsur
suprasegmental yang disebut juga ciri-ciri prosodi dapat
diklasifikasikan seperti berikut ini:
58

Fonologi
(1) Tekanan
Tekanan atau stres menyangkut masalah keras
lemahnya bunyi. Suatu bunyi segmental yang
diucapkan dengan arus yang kuat menyebabkan
amplitudonya melebar, pasti dibarengi dengan
tekanan keras . Sebaliknya, sebuah bunyi segmental
diucapkan dengan arus yang tidak kuat menyebabkan
amplitudonya menyempit, pasti dibarengi dengan
tekanan lemah.
Tekanan ini mungkin terjadi:
(a) Secara sporadis,
(b) Secara berpola,
(c) Bersifat distingtif, artinya dapat membedakan
makna,
(d) Tidak distingtif
Dalam Bahasa Indonesia tekanan tidak
berperan pada tingkat fonemis, melainkan berperan
pada tingkat sintaksis karena dapat membedakan
makna kalimat, seperti contoh berikut ini: Dia
menangkap ayam itu.

59

Fonologi
(a) Kalau tekanan diberikan pada kata dia, maka
berarti yang menangkap ayam itu adalah dia;
bukan orang lain.
(b) Kalau tekanan diberikan pada kata menangkap,
maka berarti yang dilakukan adalah menangkap;
bukan menyembelih atau perbuatan yang lain.
(c) Kalau tekanan diberikan pada kata ayam, maka
berarti yang ditangkap adalah ayam; bukan
kambing atau binatang lain.
(d) Kalau tekanan diberikan pada kata itu, maka
berarti yang ditangkap adalah ayam itu; bukan
ayam ini.
(2) Nada
Nada atau pich berkenaan dengan masalah
tinggi rendahnya suatu bunyi. Bila suatu bunyi
segmental diucapkan dengan frekuensi getaran yang
tinggi, tentu akan disertai dengan nada yang tinggi.
Sebaliknya, bila suatu bunyi segmental diucapkan
dengan frekuensi getaran yang rendah, tentu akan
disertai dengan nada yang rendah
Dalam bahasa Tonal seperti bahasa Thai dan
bahasa Vietnam, nada bersifat fonemis, artinya dapat
membedakan makna kata.
60

Fonologi
Dalam bahasa Tonal biasanya dikenal adanya
5 macam nada, yaitu:
(1) Nada naik atau meninggi yang biasanya tanda
garis ke atas ( )
(2) Nada datar yang biasanya tanda garis lurus
mendatar ( )
(3) Nada turun atau merendah yang biasanya tanda
garis menurun ( \ )
(4) Nada turun naik yaitu nada yang merendah lalu
meninggi yang biasanya tanda garis turun naik
(v)
(5) Nada naik turun yaitu nada yang meninggi lalu
merendah yang biasanya tanda garis naik turun
(^)
Dalam bahasa Indonesia, nada tidak
berfungsi pada tingkat fonemis; melainkan
berfungsi pada tingkat sintaksis, karena dapat
membedakan makna kalimat.
Variasi nada yang menyertai unsur
segmental dalam kalimat disebut intonasi. Intonasi
biasanya dibedakan atas 4 macam, yaitu:
61

Fonologi
(1) Nada rendah, biasanya ditandai dengan angka 1.
(2) Nada sedang, biasanya ditandai dengan angka
2.
(3) Nada tinggi, biasanya ditandai dengan angka 3.
(4) Nada sangat tinggi, biasanya ditandai dengan
angka 4.
Unsur intonasi yang dapat mengubah
makna kalimat diberi lambang berupa tanda baca,
yaitu:
a) Untuk kalimat deklaratif diberi tanda baca tanda
titik (.).
b) Untuk kalimat interogatif diberi tanda baca tanda
tanya (?).
c) Untuk kalimat imperatif diberi tanda baca tanda
seru (!).
d)

Untuk menandai bagian-bagian kalimat


digunakan tanda baca koma (,) dan tanda baca
titik koma (,).

3) Jeda atau Perhentian (Persendian)

62

Fonologi
Jeda atau Perhentian (persendian) berkenaan
dengan masalah hentian bunyi dalam arus ujaran.
Disebut jeda karena adanya hentian itu dan disebut
persendian karena di tempat perhentian itulah
terjadinya persambungan antara dua segmen ujaran.
Jeda ini dapat bersifat penuh atau bersifat sementara.
Jeda atau Perhentian (Persendian) biasanya
dibedakan atas dua macam, yaitu:
a) Sendi Dalam (Internal Juncture)
Sendi dalam (internal juncture) menunjukkan
batas antara satu sikabel dengan silabel yang lain.
Sendi dalam yang menjadi batas silabel biasanya
ditandai dengan tanda (+).
Contoh: [am+bil]
[lak+sa+na]
[ke+le+la+war]
b) Sendi Luar (Open Juncture)
Sendi luar (open juncture) menunjukkan
batas yang lebih besar dari silabel. Sendi dalam
yang menjadi batas silabel biasanya ditandai
dengan tanda (+).
63

Fonologi
Jeda luar (open juncture) biasanya
dibedakan atas tiga macam, yaitu:
(1) Jeda antarkata dalam frase ditandai dengan
garis miring tunggal (/)
(2) Jeda antarfrase dalam klausa ditandai dengan
garis miring ganda (//)
(3) Jeda antarkalimat dalam wacana/paragraf
ditandai dengan garis berpotongan (#)
Tekanan dan jeda dalam Bahasa Indonesia
sangat penting karena tekanan dan jeda itu dapat
mengubah makna kalimat.
Contoh: # buku // sejarah / baru #
Kalimat pertama di atas
mengenai sejarah baru.

bermakna

buku

# buku / sejarah // baru #


Kalimat kedua di atas bermakna buku baru
mengenai sejarah.
4) Durasi
Durasi berkaitan dengan masalah panjang
pendeknya atau lama singkatnya suatu bunyi
diucapkan. Tanda untuk bunyi panjang adalah titik
64

Fonologi
dua di sebelah kanan dari bunyi yang diucapkan
(.......:) atau tanda garis kecil di atas bunyi segmental
yang diucapkan.

2. 5.10) Bunyi Utama dan Bunyi Sertaan


Berdasarkan pada adanya proses artikulasi
bunyi ujaran (Chaer, 2013:35-36; Muslich,2014:67-68)
dibedakan atas:
a) Bunyi Utama atau Bunyi Primer
Dalam pertuturan, bunyi-bunyi bahasa itu tidak
berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling pengaruhmempengaruhi baik dari bunyi yang ada sebelumnya
maupun dari bunyi sesudahnya. Begitulah ketika
sebuah bunyi diujarkan/ diartikulasikan, maka akibat
dari pengaruh bunyi berikutnya; terjadi pulalah bunyi
ujaran/artikulasi lain yang disebut bunyi/artikulasi
sertaan atau ko-artikulasi atau artikulasi sekunder.
b) Bunyi Sertaan atau Bunyi Sekunder
Bunyi Pengiring atau Bunyi Sertaan atau Bunyi
Tambahan (Muslich, 2014:67-69, Chaer, 2013:35-37),
adalah bunyi yang ikut muncul ketika bunyi utama
65

Fonologi
diucapkan atau dihasilkan. Bunyi-bunyi sertaan disebut
juga bunyi pengiring yang muncul, antara lain, akibat
adanya proses artikulasi.
Bunyi pengiring atau bunyi sertaan
dikelompokkan seperti berikut ini:
(1) Bunyi Labialisasi
Labilisasi, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan
dengan cara kedua bibir dibulatkan dan disempitkan
segera atau ketika bunyi utama diucapkan, sehingga
terdengar bunyi sertaan [] pada bunyi utama.
Misalnya bunyi [t] pada kata [tujuan] terdengar
sebagai bunyi [t]sehingga lafalnya [tujuan]. Jadi
bunyi [t] dikatakan dilabialisasikan.
(2) Bunyi Palatalisasi
Palatalisasi yaitu bunyi sertaan yang duhasilkan
dengan cara tengah lidah dinaikkan mendekati langitlangit keras (palatum) segera atau ketika bunyi utama
diucapkan sehingga terdengar bunyi sertaan [].
Misalnya bunyi [p] pada kata [piara] terdengar
sebagai bunyi [p] sehingga ucapannya menjadi
[para]. Jadi, bunyi [p] telah dipalatalisasi.
(3) Bunyi Velarisasi
66

Fonologi
Velarisasi yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan
dengan cara mengangkat lidah ke arah langit-langit
lunak (velum) segera atau ketika bunyi utama
diucapkan sehingga terdengar bunyi sertaan [].
Misalnya, bunyi [m] pada kata [mahluk ] terdengar
sebagai bunyi [m], sehingga ucapannya menjadi
[maxluk].
(4) Bunyi Retrofleksi
Retrofleksi yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan
dengan cara ujung lidah ditarik ke belakang segera
atau ketika bunyi utama diucapkan sehingga
terdengar bunyi sertaan [r]. Misalnya bunyi [kr]
sehingga ucapannya menjadi [krertas]. Jadi, bunyi [k]
telah diretofleksikan.
(5) Glotalisasi (Bunyi Ejektif)
Glotalisasi yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan
dengan cara glotis ditutup setelah bunyi utama
diucapkan shingga terdengar bunyi sertaan [].
Misalnya bunyi [a] pada kata <akan> terdengar
sebagai bunyi [a] sehingga menjadi [akan].
(6) Bunyi Aspirasi
Aspirasi yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan
dengan cara arus udara yang keluar lewat ronga
67

Fonologi
mulut terlalu keras sehingga terdengar bunyi sertaan
[Kh]. (K = Kontoid atau Konsonan). Misalnya: a)
bunyi [p] pada awal kata bahas Inggris [peace]
terdengar sebagai bunyi [ph], sehingga ucapannya
menjadi [pheis]; b) bunyi [l] sebagai varian dari bunyi
[r] pada awal kata bahasa Nagekeo Dialek Lape Ia
pada kata [loba] terdengar sebagai bunyi [lh],
sehingga ucapannya menjadi [lhoba] ; kain sarung
(7) Bunyi Nasalisasi
Nasalisasi yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan
dengan cara memberikan kesempatan arus udara
melalui rongga hidung sebelum atau sesaat bunyi
utama diucapkan, sehingga terdengar bunyi sertaan
[m]. Hal ini biasa terjadi pada konsonan hambat
bersuara, yaitu [b], [d], dan [g], sehingga menjadi [
b] [nd] [g].
(8) Bunyi Klik
Bunyi Klik yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan
dengan cara lidah belakang menempel rapat pada
velum (langit-langit lunak) sebelum dan sewaktu
bunyi utama dihasilkan sehingga ketika penempelan
pada velum dilepas terdengar bunyi [Kk]. (K =
Kontoid atau Konsonan).

68

Fonologi
(9) Bunyi Eksplosif atau Bunyi Lepas
Eksplosif atau Bunyi Lepas yaitu bunyi
sertaan yang dihasilkan dengan cara arus udara
dilepaskan kembali setelah dihambat total.
Lawannya adalah bunyi implosif (bunyi tak lepas).
Misalnya: bunyi [b] pada awal kata bahasa
Nagekeo dialek Toto pada kata [boko] buah
terdengar sebagai bunyi [bh], sehingga ucapannya
menjadi [bhoko];

2.6 Silabel atau Kata Suku


Silabel atau Kata Suku (Chaer, 2013: 57-60,
adalah satuan ritmis terkecil dalam suatu ujaran. Satu
silabelnya biasanya melibatkan satu bunyi vokal, atau
satu vokal dan satu konsonan atau lebih.
Untuk memahami tentang suku kata ini, para
linguis atau fonetisi mengemukakan dua teori (Muslich,
2014:73-76,), yaitu:
1) Teori Sonoritas
Teori sonoritas menjelaskan bahwa suatu
rangkaian bunyi bahasa yang diucapkan oleh penutur
selalu terdapat puncak-puncak kenyaringan (sonoritas)
di antara bunyi-bunyi yang diucapkan. Puncak
kenyaringan ini ditandai dengan denyutan dada yang
69

Fonologi
menyebabkan paru-paru mendorong udara keluar.
Satuan kenyaringan bunyi yang dikuti dengan satuan
denyutan dada yang menyebabkan udara keluar dari
paru inilah yang disebut satuan silaba atau suku kata.
Silabel sebagai satuan ritmis terkecil mempunyai
puncak kenyaringan atau sonoritas yang biasanya
jatuh pada sebuah bunyi vokal. Kenyaringan atau
sonoritas yang menjadi puncak silabel terjadi karena
adanya ruang resonansi berupa rongga mulut atau
rongga-rongga lain di dalam kepala atau dada. Bunyi
yang paling banyak menggunakan ruang resonansi itu
adalah bunyi vokal, bukan bunyi konsonan. Karena
itulah yang dapat disebut bunyi silabis atau puncak
silabis adalah bunyi vokal. Misalnya, kata [dan]
dalam bahasa Indonesia. Kata itu terdiri atas bunyi [d],
bunyi [a], dan bunyi [n]. Bunyi [d], dan bunyi [n]
adalah bunyi kontoid, sedangkan bunyi [a] adalah
bunyi bunyi vokoid. Bunyi [a] pada kata [dan] itu
menjadi puncak silabis dan puncak kenyaringan sebab
bunyi [a] sebagai bunyi vokoid ketika diproduksi
mempunyai ruang resonansi yang lebih besar. Secara
relatif ketiga bunyi yang membentuk kata [dan] tinggi
kenyaringan dapat digambarkan sebagai berikut:

70

Fonologi
d

Contoh lain, kata /kambing/ mempunyai dua


puncak kenyaringan; karena mempunyai dua buah
silabel, seperti yang digambarkan berikut ini.

k
i

Kemungkinan urutan bunyi konsonan vokal


dalam silabel disebut fonotaktik. Bunyi konsonan
yang berada sebelum vokal (yang memjadi puncak
kenyaringan disebut onset (O) dan konsonan yang
hadir sesudah vokal disebut koda; sedangkan
vokalnya sendiri disebut nuklus.
Sejauh ini urutan vokal (V) dan konsonan (K)
yang ada dalam Bahasa Indonesia, adalah:
1) V,

71

seperti [i] pada kata [ i + ni]

Fonologi
2) KV,

seperti [la] pada kata [ la + ut]

3) VK,

seperti [am] pada kata [ am + bil]

4) KVK,

seperti [but] pada kata [ se + but]

5) KKV,

seperti [kla] pada kata [ kla + sik]

6) KKVK, seperti [trak] pada kata [ trak + tor]


7) KKVK, seperti [teks] pada kata [ kon + teks]
8) KVKK, seperti [stra] pada kata [ stra + te + gi]
9) KKKV, seperti [pleks] pada kata [ kom + pleks]
10) KKVKK,
tur]

seperti [struk] pada kata [ struk +

11) KKKV, seperti [eks] pada kata [ eks + por]


Catatan:
Pola 1- 4 adalah pola silabel asli Bahasa
Indonesia/Bahasa Melayu. Pola 5 11 adalah silabel
yang berasal dari bahasa asing. Oleh karena itu,
banyak kata yang berasal dari bahasa asing dan
memiliki pola silabel dua buah konsonan beruntun,
maka di antara kedua konsonan itu diselipkan bunyi
72

Fonologi
[]. Misalnya, kata [klas] menjadi [k + las], kata
praktek menjadi [p +rak + tek] dan kata
[administrasi] menjadi [ad +mi + nis +tra +si].
Dengan penyisipan bunyi []itu, maka polanya
menjadi pola slabel asli Bahasa Indonesia.

2) Teori Prominans
Teori prominans menitikberatkan pada gabungan
sonoritas dan ciri-ciri suprasegmental, terutama jeda
(juncture). Ketika rangkaian bunyi itu diucapkan,
selain terdengar satuan kenyaringan bunyi, juga terasa
adanya jeda di antaranya; yaitu kesenyapan sebelum
dan sesudah puncak kenyaringan. Atas anjuran teori
ini, batas di antara bunyi-bunyi puncak itu diberi tnda
tambah (+); misalnya kata [mendaki] ditranskripsikan
menjadi [men + da + ki] Ini berarti, kata tersebut
terdiri atas tiga suku kata; dan dari sinilah silabisasi
bisa diterapkan secara fonetis.

73

Fonologi
Berdasarkan teori sonoritas dan teori prominans
diketahui bahwa sebagian besar struktur suku kata
terdiri atas satu bunyi sonor yang berupa vokoid, baik
tidak didahului dan diikuti kontoid, didahului dan
diikuti kontoid, didahului kontoid saja, atau diikuti
(K)V(K)
oleh saja. Pernyataan itu bisa dirumuskan sebagai
berikut:

Rumus di atas dibaca: Vokal merupakan unsur


yang harus ada pada setiap suku kata, sedangkan
Konsonan merupakan unsur manasuka. Secara
fonotaktik, bunyi puncak sonoritas suku kata yang
biasanya berupa vokoid disebut nuklus (neucleus, N);
kontoid yang mendahului nuklus disebut Onset (O),
sedangkan kontoid yang mengikuti nuklus disebut
koda ( coda, K). Dengan demikian, kalau rumusan itu
dijabarkan akan menjadi struktur suku kata dan
struktur
fonotaktik
dengan
kemungkinankemungkinan berikut ini.

Struktur
Kata
V
74

Suku Struktur Fonotaktik

Contoh

[a] pada [a + ku]

Fonologi
KV

ON

[si] pada [si + ku]

VK

NK

[m] pada [m + ber

KVK

ONK

[tam] pada [tam + pa

KKV

OON

[pro] pada [pro + tes

KKVK

OONK

[prak] pada [prka + t

KKVKK

OONKK

[plks] pada [kOm +

VKK

NKK

[ks] pada [ks + pO

KVKK

ONKK

[sks] pada [sks]

KKKV

OOON

[stra] pada [stra + te

KKKVK

OOONK

[struk] pada [struk +

75

Fonologi

Dalam praktiknya lebih lanjut, persoalan


penyukuan atau silabisasi bisa dibedakan atas tiga
macam, yaitu:
1) Silabisasi fonetis adalah penyukuan kata yang
didasarkan pada realitas
pengucapan yang ditandai oleh satuan hembusan
napas dan satuan bunyi
bunyi sonor.
2) Silabisasi fonemis adalah penyukuan kata yang
didasarkan pada struktur fonem bahasa yang
bersangkutan.
3) Silabisasi morfologis adalah penyukuan kata yang
memperlihatkan
proses
morfologis
yang
memperhatikan proses morfologis ketika itu itu
dibentuk.
Contoh:

Contoh
Kata

76

Silabisasi fonetis

Silabisasi fonemis

Silabisasi

Fonologi
peruntukan

[p+run+tu+an]

/ p+run+tu+kan /

/ pr+un+

mengajar

[me+a+jar]

/ me+a+jar /

/ me+a+j

penguatan

[pe+u+wa+tan]

/ pe+u+a+tan /

/ pe+u+a

konsentrasi

[kOn+sn+tra+si]

/ kon+sn+tra+si /

/ kon+sen

kebimbangan

[ke+bim+ba+an]

/ ke+bim+ba+an/

/ ke+bim+

Berkaitan dengan penyukuan kata ini, sering


dijumpai sebuah bunyi yang ketika diucapkan dalam
arus ujaran terdengar sebagai koda dan sebagai onset
sekaligus. Kata ilusrtasi, misalnya, yang diucapkan
[ilustrasi], kalau disukukan berdasarkan syarat
sonoritas dan prominans terdiri atas empat suku kata,
[i+lus+ stra + si]. Dari hasil penyukuan tersebut
terlihat bahwa bunyi [s] selain sebagai koda pada
suku kedua [lus] juga sebagai onset pada suku ketiga
[stra]. Bunyi yang menduduki posisi mendua ini oleh
Charles
F.
Hockett
disebut
interlude
(Muslich,2014:75).
77

Fonologi
Untuk kepentingan fonotaktik, fonomena
interlude ini perlu disikapi dengan jelas, sebab bunyi
tersebut pada dasarnya hanyalah satu bunyi, bukan
dua bunyi. Dengan demikian, posisipun harus jelas:
sebagai koda atau sebagai onset. Untuk itu perluh
ditambahkan persyaratan lain, yaitu paralelisme.
Dengan syarat paralelisme ini akan diketahui mana
yang lebih banyak distribusi bunyi [s], yaitu:
a) Apakah yang berposisi sebagai koda;
b) Apakah yang berposisi sebagai onset.
Dari hasil pengamatan ternyata distribusi bunyi
[s] yang berposisi sebagai koda lebih banyak dari
pada yang berposisi sebagai [onset] dalam kluster
[str]. Oleh karena itu, dengan memperhatikan syarat
paralelisme tersebut, penyukuan [ilustrasi] adalah
[i+lus+tra+si] (Muslich,2014:76).

2.7 Tokoh-tokoh Ilmu Fonetik: Pandanga n dan


Kajiannya
Tokoh-tokoh ilmu fonetik serta pandangan dan
kajiannya, adalah:
2.7.1 Bertil Malmberg

78

Fonologi
Bertil Malmberg (1968) adalah seorang fonetisi
Perancis. Malmberg mendefinisikan fonetik sebagai
pengkajian bunyi-bunyi bahasa.
1) Pengertian Fonetik
Fonetik ialah pengkajian yang yang lebih
menitikberatkan pada ekspresi
bahasa bukan isinya. Yang dipentingkan bunyibunyi bahasa yang dihasilkan
penutur, bukan makna yang ingin disampaikan
(Muslich,2014:17).
Unit-unit yang digunakan dalam bahasa lisan
adalah bunyi-bunyi dan kumpulan bunyi-bunyi yang
mampu dibedakan oleh telinga dengan jelas. Telinga
akan menyaring bunyi-bunyi yang biasa didengar ini
untuk diproses lebih lanjut ke otak. Otak inilah yang
mengenal dengan pasti dan menerjemahkan semua
perbedaan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap
manusia.
2) Cabang-cabang Ilmu Fonetik
Menurut Bertil Malmberg, ilmu fonetik bisa
dibagi menjadi empat cabang (Muslich,2014:17-18),
yaitu:
(1) Ilmu Fonetik Umum
Ilmu fonetik umum mengkaji bagaimana
bunyi-bunyi itu dihasilkan dan fungsi mekanisme
ucapan. Yang dikaji adalah bagaimana bunyibunyi itu dihasilkan dan apa saja organ yang
terlibat dalan menghasilkan bunyi bahasa.
79

Fonologi
(2) Ilmu Fonetik Deskriptif
Ilmu fonetik deskriptif mengkaji kelainan
atau perbedaan bunyi suatu bahasa tertentu.
bagaimana bunyi-bunyi itu dihasilkan dan fungsi
mekanisme ucapan. Yang dikaji adalah bagaimana
perbedaan bunyi dalam bahasa yang sama
sehingga melahirkan atau memunculkan dialek
yang berbeda; misalnya perbedaan bunyi bahasa
Indonesia daerah (penutur asli) Jakarta dengan
bahasa Indonesia baku merupakan sasaran kajian
fonetik deskriptif ini.
(3) Ilmu Fonetik Sejarah
Ilmu fonetik sejarah mengkaji bagaimana
perubahan bunyi suatu bahasa berdasarkan
sejarah bahasa tersebut. Yang dikaji adalah
mencari kekerabatan atau kekeluargaan bahasa
bagi bahasa-bahasa yang dikaji. Juga mengkaji
perubahan bunyi sebagai akibat perbedaan kurun
waktu;
misalnya mengkaji keluarga bahasa Austronesia
dilihat dari perubahan bunyi bahasa-bahasa yang
dikaji lewat daftar kata Swadesh.
(4) Ilmu Fonetik Formatif
Ilmu fonetik normatif mengkaji bagaimana
kaidah bunyi yang benar pada suatu bahasa. Yang
dikaji adalah menentukan bunyi-bunyi baku pada
suatu bahasa tertentu untuk dijadikan patokan
pengucapan bahasa baku atau bahasa formal.
80

Fonologi
Penngkajian ini diperlukan dalam rangka
pengajaran bahasa resmi di suatu negara. Negara
Indonesia sampai saat ini,misalnya sampai saat
ini belum mempunyai Pedoman Pengucapan
Baku. Dalam Tata Baku pun belum
dibicarakan perihal ucapan baku secara memadai.
Pada halnya pedoman ini sangat diperlukan bagi
penutur bahasa Indonesia
yang ingin
meningkatkan kualitas pengucapan bunyi bahasa
Indonesia; terutama bagi mereka yang bergerak di
bidang yang berkaitan dengan bunyi, misalnya
penyiar radio dan televisi, MC, penyanyi, dsbnya.
2.7.2 J.D. OConnor
1) Pengertian Fonetik
Menurut OConnor fonetik adalah ilmu yang
bersangkut paut dengan bunyi-bunyi ujar yang
dihasilkan oleh alay ucap manusia (Muslich, 2014:1922). Bunyi- bunyi yang dapat didengar ini kemudian
diformulasikan sedemikian rupa sehingga menjadi
kebiasaan yang terdapat dalam mkasyarakat bahasa
yang bersangkutan. Seterusnya, formula bunyi-bunyi
ujar ini diberi fungsi tertentu sehingga dapat dipakai
untu menyampaikan pesan-pesan tertentu. Misalnya,
jika dalam bunyi ujar itu pendengar mendengar
perkataan
[buku],
pendengar
bisa
merekonstruksikannya dari bunyi [b], [u], [k] dan [u].
Dilihat dari fungsi dan pesan yang disampaikan,
81

Fonologi
bunyi- bunyi itu digabungkan menjadi perkataan
buku. Akhirnya barulah bunyi ujaran tersebut bisa
dipahami dan dimanfaatkan.
2) Fungsi Otak Penutur
Menurut
OConnor,
tingkah
laku
berkomunikasi berawal dari otak pembicara. Pada
tahapan ini kita bisa beranggapan bahwa otak penutur
mempunyai
dua
fungsi
yang
berbeda
(Muslich,2014:19-22), yaitu: (1) fungsi kreatif
(creative function) dan (2) fungsi saluran (forwarding
function)
(1) Fungsi Kreatif (Creative Function)
Fungsi kreatif merupakan fungsi terpenting
sebab lewat fungsi inilah pesan-pesan bisa dibentuk
dan
diterima.
Berkaitan
dengan
berkomunikasiatau , kalau kita ingin berkomunikasi
atau berbahasa dengan baik, kita memerlukan
pengetahuan kaidah yang cukup sehingga tujuan
atau pesan yang ingin kita sampaikan bisa tercapai.
Di sinilah fungsi kreatif memainkan peranan
penting.
Dalam praktiknya, ada tiga fase yang
berbeda dalam fungsi kreatif otak ini, yaitu:
a) Fase Pertama Menghidupkan Komunikasi
Fase ini berkaitan dengan respon kita
terhadap kejadian, peristiwa, keadaan dunia
sekitar yang menyebabkan kita ingin
berkomunikasi. Atau apa yang terlintas dalam
82

Fonologi
pikirran yang kita curahkan. Contoh: Si istri
sedang makan siang dengan si suami. Nasi yang
dimakan si suami sudah habis. Mengetahui
keadaan ini, si istri bisa langsung menambahkan
nasi lagi ke piring suami atau menghidupkan
komunikasi dengan suaminya. Jika si istri
bermaksud ingin menyampaikan pesan, si istri
mesti memilih salah satu dari cara yang terdapat
dalam fase kedua berikut ini.
b) Fase Kedua, Alat Komunikasi
Fase ini berupa pemilihan alat yang
cocok untuk menyampaikan pesan. Alat ini
bisa berupa ucapan, tulisan, atau isyarat.
Contoh: Karena si istri ingin berkomunikasi,
alat yang dipilih adalah ucapan atau tulisan.
c) Fase ketiga, memastikan bentuk pesan
Bentuk pesan ini bisa kalimat perintah,
kalimat tanya, atau kalimat berita. Contoh:
karena yang dipilih istri adalah ucapan atau
lisan, maka kalimatnya berupa sebagai berikut:
(1) Saya ambilkan nasi lagi, ya, Pa? (kalimat
tanya)
(2) Ambil nasi lagi, Pa! (kalimat perintah atau
seru)
(3) Sebaiknya papa tambah nasi lagi agar
kenyang. (kalimat berita).
Semua fase ini merupakan kerja fungsi kreatif
otak yang dilakukan secara spontan dan cepat.
83

Fonologi
(2) Fungsi Saluran (Forwarding Function)
Fungsi saluran pada otak penutur lebih
berisfat teknis. Fungsi saluran ini melibatkan
pembicaraan mengenai peranan otak yaitu organ
utama yang terlibat dalam menghasilkan bunyi
bahasa dan tiga peringkat bagi proses pemahaman
bunyi yang dihasilkan.
Bagian otak yang terkait dengan pergerakan
otot, memberikan perintah-perintah dalam bentuk
impuls saraf (nervous impuls) di sepanjang saluran
rasa yang menghubungkan otak dengan otot-otot
organ yang bertanggungjawab untuk menghasilkan
bunyi-bunyi bahasa, yaitu paru-paru, laring, lidah
dan sebagainya. Perintah terhadap otot-otot yang
terlibat ini berkombinasi secara halus dan lembut.
Otot-otot bergerak secara berurutan sehingga
menghasilkan bunyi-bunyi yang sesuai
dan
dikeluarkan dalam urutan yang sesuai juga.
Secara hirarkis dapat dijelaskan sebagai
berikut. Paru-paru ditekan, udara keluar dan
menggetarkan pita suara, menggerakkan lidah,
rahang, dan bibir sehingga menghasilkan bunyi.
Keeseluruhan proses ini dikenal sebagai
transfomasi pertama, atau biasa disebut fonetik
artikulasi.
Proses selanjutnya adalah perubahan dari
pergerakan otot kepada pergerakan udara.
84

Fonologi
Perubahan ini dikenal sebagai transformasi kedua.
Pergerakan dalam bentuk gelombang udara ini
merebak ke setiap ruang; dan pergerakan ini
semakin lemah apabila jarak semakin jauh dan
tenaganya terserap. Pergerakan udara ini pada
akhirnya akan menyetuh alat dengar pendengar,
jika pendengar berada dalam jarak yang dekat
dengan gelombang tersebut. Pengkajian tentang
gelombang udara dan hubungannya dengan bunyi
ini dikenal dengan fonetik akustik.
Dari sini selanjutnya muncul proses
transformasi ketiga yang melibatkan fonetik
auditorik. Gendang telinga cukup sensitif dengan
tekanan gelombang udara, yang bisa bergerak ke
arah dalam dan luar sesuai dengan pergerakan yang
menekannya. Pergerakan gendang telinga ini
ahirnya menyentuh bagian dalam telinga yang
diterima sebagai aktivitas neurologi. Dengan
impuls saraf tertentu, sentuhan ini disalurkan ke
saluran rasa yang menghubungkan telinga dengan
otak pendengar. Pada tahap ini kita dapat melihat
dua fungsi otak yaitu fungsi mendengar dan fungsi
kreatif.
Rasa yang datang dari telinga diterima
sebagai urutan bunyi yang memiliki ciri-ciri
tertentu, yaitu tempo, tekanan, kenyaringan.
Misalnya bunyi vokal di terima lebih nyaring
daripada bunyi konsonan.
Fungsi saluran tidak brhenti sampai di sini.
Setelah penangkapan bunyi selanjutnya pendengar
85

Fonologi
memprosesnya menjadi urutan bunyi bermakna dan
akhirnya ditangkap sebagai pesan seperti yang
disampaikan penutur
Pendengar menangkap suatu pesan, tetapi
masih belum memahaminya. Untuk memahaminya,
pendengar perlu menerjemahkan bunyi yang
didengarnya dengan bantuan kaidah yang tersimpan
di dalam otak. Setelah ada keterkaitan, kesesuaian
dan padanan dengan kaidah tersebut barulah
pendengar
mengetahui
makna
yang
sebenarnya.Kaidah-kaidah yang dimaksud adalah
mulai dari kaidah bunyi, kaidah bentuk kata, kaidah
susunan kalimat, pemakaian intonasi, dan kaidah
kesesuaian antara makna/informasi dan realitas.
Dengan demikian kesan yang disampaikan tidak
hanya menyangkut aktivitas pengeluaran bunyi
oleh penutur tetapi penyaluran dan penerimaan.
2.7.3 David Abercrombie
David Abercrombie (1971) berpendapat bahwa
fonetik adalah ilmu yang bersifat tekhnis (Muslich,
2024:23-24). Dalam ilmu fonetik, suatu bahasa akan
dilihat secara analitis yaitu tidak saja mendengar
percakapan, tetapi juga menyadari setiap gerak jasmani
yang melatar belakanginya. Waktu kita bernapas,
misalnya, udara tidak dikeluarkan terus menerus. Aliran
udara tidak berkelanjutan. Otot pernapasan tegang dan
kendur berulang-ulang dalam satu pernapasan yang
86

Fonologi
panjang. Rata-rata gerakan tegang-kendur otot
pernapasan adalah lima kali dalam satu detik atau tiga
ratus kali dalam satu menit. Udara dikeluarkan dari
paru-paru setiap kali hembusan.
Ternyata, setiap ketegangan dan hembusan yang
dihasilkan merupakan suku kata (silabe). Satu suku kata
berdasarkan gerakan tegang dan kendur ini. Satu suku
kata bersamaan dengan satu gerakan ujaran. Irama
napas/dada begitu teratur dan sistematis sehingga bisa
disebut sebagai nada. Satu detik memuat lima suku kata.
Kenyataan ini merupakan landasan bagi semua bunyi
bahasa.
Abercrombie juga berpendapat bahwa perilaku
ujaran sangat kompleks karena selain gerakan paru-paru
juga ada gerakan lidah, gigi, langit-langit lembut dan
keras yang terus menerus. Kalau kita berusaha
memecahkan ujaran, semata-mata hanya untuk
kepentingan analisis bunyi bahasa tersebut. Ujaran inilah
yang nantinya dijadikan unsur-unsur dasar segmental
(peruasan bunyi). Usaha-usaha ini sangat sukar karena
hal-hal (Muslich, 2024:23-24) berikut ini:
1) Gerakan bunyi bahasa sangat kompleks.
Banyak gerakan yang terlibat sekaligus dan serentak.
2) Gerakan bunyi bahasa sangat cepat.
Lidah bergerak 720 kali dalam satu menit. Ini sama
dengan 12 kali setiap detik.
3) Gerakan bunyi bahasa sangat halus.
87

Fonologi
Contohnya pemindahan lidah 2 atau 3 mm akan
ditanggapi sebagai bunyi lain oleh penutur bahasa.
4) Gerakan bunyi bahasa selalu berkelanjutan.
Gerakan demi gerakan berlangsung secara terus
menerus. Perhentian antara satu gerakan ke gerakan
lain sangat singkat.

88

Fonologi

BAB III
FONEMIK
89

Fonologi

3.1 Pengertian Fonem


Pengertian fonem yang disajikan di sini diambil
dari pendapat beberapa ahli bahasa, yaitu:
1) Menurut Jos Daniel Parera, fonem adalah kesatuan
bunyi yang terkecil dalam sebuah bahasa yang
membedakan makna (1983:28).
2) Menurut Masnur Muslich, fonem adalah kesatuan
bunyi terkecil suatu bahasa yang berfungsi
membedakan makna (2014:77)
3) Menurut H.Akhlan Husen dan Yayat Sudaryat, fonem
adalah kesatuan bahasa terkecil yang bersifat
fungsional, artinya satuan fonem yang memiliki fungsi
untuk membedakan makna (Husen,1996:81).
4) Menurut Abdul Chaer, fonem adalah satu kesatuan
bunyi terkecil yang dapat membedakan makna kata
(2013:63).
3.2 Penemuan Fonem atau Prosedur Fonemisasi)
3.2.1 Proses Penemuan Fonem
Bagaimana kita tahu bahwa sebuah bunyi adalah
fonem atau bukan fonem? Banyak cara dan prosedur telah
dikemukakan oleh berbagai pakar.
Penyelidikan fonetik didasarkan pada kesan
pendengaran (auditif). Oleh karena itu, data utama
penyelidikan fonetik berupa bahasa lisan. Bahasa lisan ini
berupa wacana utuh. Bahasa lisan ini kemudian
90

Fonologi
disegmentasi secara bertahap menjadi paragraf, kalimat,
klausa, frase, kata, dan bunyi-bunyi sebagaimana didengar
atau dalam bentuk fona-fona. Fona-fona ini menjadi data
hasil penelitian fonetik yang dapat dimasukkan ke dalam
korpus (himpunan) data fonetik. Fona-fona tersebut
selanjutnya diuji apakah hanya merupakan varian-varian
dari sebuah fonem atau merupakan fonem-fonem yang
berbeda.
Cara yang umum digunakan dalam penelitian
fonologi untuk menemukan bunyi-bunyi yang bersifat
fungsional yang disebut fonem itu biasanya dilakukan
melalui bebarapa cara berikut ini.

3.2.1.1) Pasangan Minimal (minimal perars)


Pasangan minimal (minimal perars), yaitu
pasangan bentuk-bentuk bahasa yang terkecil dan
bermakna dalam sebuah bahasa (biasanya berupa kata
tunggal) yang secara ideal sama, kecuali satu bunyi
berbeda. Bunyi yang berbeda itu saling bertentangan
dalam posisi (distribusi) yang sama (Husen, 1996: 8283). Jadi, disebut pasangan minimal karena setiap
pasangan paling sedikit beranggotakan dua buah kata.
Pasangan minimal ini merupakan alat yang paling utama
digunakan dalam penelitian fonologi untuk membedakan
fonem-fonem suatu bahasa.
Contoh 1: Penentuan status fonem-fonem vokal
91

Fonologi
Penentuan status fonem vokal melalui
pasangan minimal

Fonem

Posisi dalam kata


Awal

Tengah

Akhi

Fonem /i/

[ikan]

[makin]

[dari

Fonem /a/

[akan]

[makan]

[dara

Fonem //

[ra]

Fonem /o/

[ora]
[untu]
[ente]

[kalu]
[kale]

[satu

Fonem /u/

[sate
Fonem /e/
Ketiga pasangan kata tersebut berbeda, baik
bentuk (susunan bunyi-bunyi) maupun maknanya.
Unsur pembeda kata-kata itu ialah pasangan bunyi /i/
- /a/, / // - /o/, /u/ - /e/; karena itu bunyi-bunyi /i/ /a/, / // - /o/, /u/ - /e/; masing-masing merupakan
fonem karena merupakan unit bahasa terkecil dan
92

Fonologi
bersifat fungsional atau distingtif, artinya berfungsi
sebagai pembeda makna kata.
Contoh 2: Penentuan status fonem konsonan
Penentuan status fonem konsonan melalui
pasangan minimal
Fonem
Awal
Tengah

Akh

Fonem /b/
Fonem /p/

batuk
patuk

rabat
rapat

Fonem /d/
Fonem /t/
Fonem /g/
Fonem /k/
Fonem / k /
Fonem /c/

dara
tara
galah
kalah
karang
carang

dadar
datar
pagar
pakar
makam
macam

Keempat pasangan kata tersebut berbeda, baik


bentuk (susunan bunyi-bunyi) maupun maknanya.
Unsur pembeda kata-kata itu ialah pasangan bunyi /b/
- /p/, /d/ - /t/, /b/ - /g/, /k/ - /c/, /k/; karena itu bunyibunyi /b/ - /p/, /d/ - /t/, /b/ - /g/, /k/ - /c/, /k/; masingmasing merupakan fonem karena merupakan unit
bahasa terkecil dan bersifat fungsional atau distingtif,
artinya berfungsi sebagai pembeda makna kata.
Sebagai alat utama, pasangan minimal harus
memenuhi syarat-syarat (Bahan ajar,2015:25) berikut
ini:

93

Fonologi
1) Anggota pasangan minimal itu berasal dari bahasa
yang sama, yakni bahasa yang ingin diselidiki
fonem-fonemnya.
2) Hanya mengandung satu bunyi berbeda, yaitu
bunyi yang ingin dibuktikan apakah fonem atau
varian fonem.
3) Kedua atau lebih kata yang menjadi anggota
pasangan minimal itu diketahui mengandung
makna dalam bahasa yang bersangkutan.
4) Satu bunyi yang berbeda, yang ingin dibuktikan
yang fonem atau bukan ada dalam distribusi yang
sama, misalnya sama-sama di awal kata, samasama di tengah kata atau sama-sama di akhir kata.
5) Jumlah bunyi yang digunakan sebagai pasangan
minimal itu sama banyaknya, misalnya sama-sama
3 bunyi, 4 bunyi, 5 bunyi, dan seterusnya.
6) Kata-kata pasangan minimal itu dikenal betul oleh
informan yang berasal dari bahasa yang
bersangkutan.
3.2.1.2 Distribusi Komplementer
Distribusi komplementer yaitu distribusi
sistematis bunyi-bunyi sedaerah ucap yang tidak
kontrastif (Parera, 1983:31). Jadi, dapat dikatakan bahwa
apabila dua atau lebih bunyi demikian terbagi antara
bentuk-bentuk bahasa, sehingga hanya bunyi-bunyi
tertentu saja yang dapat muncul dalam lingkungan itu
dan yang lain tidak muncul, maka dikatakan bunyi-bunyi
94

Fonologi
itu berdistribusi saling melengkapi atau berdistribusi
komplementer. Bunyi-bunyi ini saling berganti
berdasarkan lingkungannya dan posisinya. Umpamanya
dalam bahasa Indonesia bunyi [k] dalam kata /kuku/
berbeda dengan bunyi [k] dalam kata /kaki/ dan bunyi [k]
dalam kata /bapak/. Hal ini didasarkan pada
lingkungannya yaitu, yang satu didepan vokoid belakang
[u], sehingga [k<] disitu tertarik menjadi bunyi velar
belakang. Dan bunyi [k] didepan vokoid depan [i]
menjadi [k] velar depan. Dan
[k] pada posisi akhir menjadi hamzah. Pergantian antara
bunyi-bunyi itu tidak membawah perbedaan makna.
Bunyi [k] dan bunyi [] dapat disatukan dalam satu
fonem yang sama yaitu fonem [k]. Dan bunyi-bunyi itu
disebut alofon dari fonem yang sama yaitu dari fonem
[k].
Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:
/kuku/
/kaki/
/bapa/

/k/

3.2.2 Tahapan-tahapan Menemukan Fonem


Bagaimana kita tahu bahwa sebuah bunyi adalah
fonem atau bukan fonem? Banyak cara dan prosedur telah
dikemukakan oleh berbagai pakar; namun secara sederhana
95

Fonologi
kita dapat menemukan sebuah fonem seperti yang
digambarkan melalui: Bagan Proses Penemuan Fonem
(Martha, 2011:24) berikut ini:
Bagan Proses Penemuan Fonem
Bahasa Lisan

Segmentasi
Bertahap
Data Fonetik,
yaitu:
Fon-fon (Fona-fona)
Distingtif
Melalui:
1. Pasangan
Minimal
Data Fonemik, yaitu:
Fonem-fonem

3. 3 Jenis-jenis Fonem
3.3.1 Fonem Vokal
3.3.1.1 Klasifiksi Fonem Vokal
96

Fonologi
Fonem vokal diklasifiksikan berdasarkan
kriteria-kriteria berikut ini.
a) Berdasarkan Tinggi Rendahnya Posisi Lidah
Berdasarkan tinggi rendahnya posisi lidah
(Muslich, 2014:56; Keraf,1991:23; Chaer, 2013:6869), vokal-vokal dapat dibedakan atas:
1) Vokal Tinggi (Atas), yaitu vokal yang ketika
diucapkan ujung dan belakang lidah dinaikkan,
seperti vokal/i/ dan /u/.
2) Vokal Pusat (Tengah), yaitu vokal yang ketika
diucapkan posisi lidah di tengah atau rata, seperti
vokal //.
3) Vokal Rendah, yaitu vokal yang ketika diucapkan
posisi lidah merendah, sehingga menjauhi langitlangit keras, seperti vokal /a/.
b) Berdasarkan Maju Mundurnya lidah
1) Vokal Depan
Vokal Depan, yaitu vokal yang ketika diucapkan
ujung lidah dan belakang lidah dinaikkan, seperti
vokal/i/ dan /e/.

97

Fonologi
2) Vokal Tengah (Pusat)
Vokal Tengah (Pusat), yaitu vokal yang ketika
diucapkan poosisi lidah itu rata, seperti vokal
//dan /a/.
3) Vokal Belakang
Vokal Belakang, yaitu vokal yang ketika diucapkan
hanya bagian belakang lidah yang dinaikkan,
seperti vokal /u/, /o/.
c) Berdasarkan Posisi Bibir atau Bentuk Mulut
1) Vokal Bulat
Vokal Bulat, yaitu vokal yang ketika diucapkan
posisi bibir membulat, seperti vokal /u/, /o/ dan
/a/.
2) Vokal Tak Bulat
Vokal Tak Bulat, yaitu vokal yang ketika diucapkan
poosisi bibir merata atau tak bulat, seperti vokal /i/,
/e/.

98

Fonologi
3.3.1.2 Posisi Fonem Vokal sebagai Puncak
Kenyaringan pada Silabel
Berkenaan dengan posisinya sebagai puncak
kenyaringan pada setiap silabel, fonem vokal selalu dapat
menduduki posisi pada semua tempat.

1) Vokal /a/
Vokal /a/, dapat menduduki semua posisi seperti pada
tampak pada contoh : [ambil], [zat], dan [kra]
2) Vokal /i/
Vokal /i/, dapat menduduki semua posisi seperti pada
tampak pada contoh : [indah], [amin], dan [tani]
3) Vokal /e/
Vokal /e/, dapat menduduki semua posisi seperti tampak
pada contoh : [enak], [karet], dan [sate]
4) Vokal //

99

Fonologi
Vokal / dapat menduduki posisi awal , posisi tengah, dan
posisi akhir seperti tampak pada contoh [mas], [lmbut],
[kod]
5) Vokal /u/
Vokal /u/ dapat menduduki semua posisi seperti tampak
pada contoh pada [uda, [sambut], dan [lagu]
6) Vokal /o/
Vokal /o/ dapat menduduki semua posisi, seperti tampak
pada contoh: [oleh], [belok], [bakso]

3.3.1.3 Diagram Fonem-fonem Vokal


Jenis-jenis vokal yang dideskripsikan di atas
disajikan dalam bentuk diagram untuk memudahkan kita
mengenal jenisnya masing-masing.
Diagram Fonem Vokal (Keraf, 1991:24)

100

Depan

Pusat

Belakang

Tak Bundar

Bundar

Fonologi
Tingggi (Atas)

Tengah

Rendah (Bawah)

3.3.1.4 Realisasi Fonem Vokal


Secara umum realisasi fonem vokal (Chaer,
2013:75-77,) adalah sebagai berikut:
1) Fonem /i/
Fonem /i/ ini mempunyai dua macam realisasi,
yaitu:
Pertama: Fonem /i/ direalisasikan sebagai bunyi [i]
apabila berada pada silabel terbuka atau silabel
tak berkoda seperti pada kata /kini/ [kini], /lidi/
[lidi], dan /sapi/ [sapi].
Kedua:

101

Fonem /i/ direalisasikan sebagai bunyi [l]


apabila berada pada silabel tertutup atau silabel

Fonologi
berkoda seperti pada kata /batik/ [batlk],
/ambil/ [ambll], dan /lirik/ [lirlk]
Catatan: Fonem [i] pada suku pertama kata lirik
sebenarnya berada pada suku terbuka. Namun,
dilafalkan juga sebagai bunyi [I] sebagai akibat
dari lafal fonem [i] pada suku kedua kata itu
yang merupakan suku tertutup. Hal ini disebut
harmonisasi vokal.
2) Fonem /e/
Fonem /e/ mempunyai dua macam realisasi,
yaitu:
Pertama: Fonem /e/ direalisasikan sebagai fonem
[e] apabila berada pada silabel terbuka,
seperti pada kata /sate/ [sate], /pete/
[pte], dan /berabe/ [brabe].

102

Kedua:

Fonem /e/ direalisasikan sebagai bunyi


[] apabila berada pada silabel tertutup,
seperti pada kata /monyet/ [mt],
/karet/ [kart], dan /ember/ [mbr].

Catatan:

Pada kata efek [fk], fonem /e/ pada


silabel pertama juga dilafalkan sebagai
bunyi [] meskipun berada pada silabel
terbuka. Hal ini terjadi karena pengaruh

Fonologi
bunyi [] pada silabel kedua yang
merupakan silabel tertutup.
3) Fonem /a/
Secara umum fonem /a/ direalisasikan
sebagai bunyi[a], baik pada posisi awal
kata, tengah kata, maupun akhir kata itu
sendiri seperti pada kata /apa/ -[apa], /padam/ -- [ padam], dan /dua/ -[dua].
Pertama: Fonem /a/ direalisasikan sebagai fonem
[a] apabila berada pada silabel terbuka,
seperti pada kata /apa/ [apa], /dua/ [dua].
Kedua:

Fonem /a/ direalisasikan sebagai bunyi


[] apabila berada pada silabel tertutup,
seperti pada kata /padam/ [padm].

Catatan: Pada kata /padam/ [pdm], fonem /a/


pada silabel pertama juga dilafalkan
sebagai bunyi [] meskipun berada pada
silabel terbuka. Hal ini terjadi karena
pengaruh bunyi [] pada silabel kedua
yang merupakan silabel tertutup.

103

Fonologi
4) Fonem//
Secara umum direalisasikan sebagai
bunyi [] seperti pada kata /kera/
[kra], /erat/ [rat], dan /maret/ [ mart]
5) Fonem/u/
Fonem /u/ ini mempunyai dua realisasi,
yaitu:
Pertama: Fonem /u/ dilafalkan sebagai bunyi [u]
apabila berada silabel terbuka seperti
pada kata /susu/ [susu], /ibu/ [ibu],
dan/tunggu/ [tugu].

104

Kedua:

Fonem /u/ direalisasikan sebagai bunyi


[U] apabila berada pada silabel tertutup
seperti pada kata /kasur/ [kasUr], /libur/
[libUr] dan /tangguh/ [tagUh].

Catatan:

Pada kata /ukur/ [UkUr/], fonem /u/


pada silabel pertama juga dilafalkan
sebagai bunyi [U] meskipun berada
pada silabel terbuka. Hal ini terjadi
karena pengaruh bunyi [U] pada silabel
kedua yang merupakan silabel tertutup.
Hal ini juga disebut harmonisasi vokal.

Fonologi
6) Fonem /o/
Fonem /o/ini mempunyai dua macam
realisasi, yaitu:
Pertama: Fonem /o/ direalisasikan sebagai bunyi
[o] apabila berada silabel terbuka,
seperti padakata / toko/ -- [toko], /bakso/
-- [baso], dan /oto/ -- [oto].
Kedua

: Fonem /o/ direalisasikan sebagai bunyi


[]apabila berada silabel tertutup,
seperti pada kata /tokoh/ -- [t kh],
/besok/ -- bsk]
dan / bodoh/
[bdh].

Catatan: Pada kata /tokoh/ -- [tkh], fonem /o/


pada silabel pertama juga dilafalkan
sebagai bunyi [] meskipun berada
pada silabel terbuka. Hal ini terjadi
karena pengaruh bunyi [] pada silabel
kedua yang merupakan silabel tertutup.
Hal ini juga disebut harmonisasi vokal.

3.3.2 Fonem Diftong

105

Fonologi
Fonem diftong yang ada dalam bahasa Indonesia
adalah fonem diftong /ay/, diftong /aw/, dan diftong /oy/
(Chaer, 2013: 44-46 dan 69). Ketiganya dapat dibuktikan
dengan pasangan minimal .
/ay/ seperti terdapat pada kata: gulai x gula (gulay x
gula)
/aw/ seperti terdapat pada kata: pulau x pula ( pulaw x
pula)
/oi/ seperti terdapat pada kata: sekoi x seka (skoy x
seka)
Posisi fonem diftong yang ada dalam bahasa
Indonesia, tampak seperti berikut ini:
1) Diftong /aw/
Diftong /aw/ dapat menduduki posisi awal dan akhir,
seperti tampak pada
contoh :kata /aula/ [awla] dan /pulau/ [pulaw].
Diftong /aw/ tidak dapat menduduki posisi tengah.
2) Diftong /ay/

106

Fonologi
Diftong /ay/hanya menduduki posisi akhir, seperti pada
kata [pantai] dan [landay]. Tidak dapat menduduki posisi
awal dan posisi tengah.
3) Diftong /oy/
Diftong /oy/ hanya menduduki posisi akhir, seperti
tampak pada kata /sakoi/ [sakoy] dan /amboi/ [amboy].
Diftong /oy/ tidak dapat menduduki posisi awal dan
posisi tengah.
4) Diftong /y/
Diftong /y juga hanya menduduki posisi akhir, seperti
tampak pada contoh : kata /survei/ [survy]. Diftong /y/
tidak dapat menduduki posisi awal dan posisi tengah

3.3.3 Fonem Konsonan


3.3.3.1 Klasifiksikan Fonem Konsonan
Fonem-fonem
konsonan
berdasarkan kriteria-kriteria berikut ini:

diklasifiksikan

a. Berdasarkan Artikulator dan Titik Artikulasi

107

Fonologi
Berdasarkan artikulator dan titik artikulasi untuk
menghasilkan sebuah konsonan (Keraf, 1991:24-25),
konsonan dibedakan atas:
(1) Konsonan Bilabial
Konsonan Bilabial yaitu konsonan yang dihasilkan
dengan mempertemukan kedua belah bibir yang
bersama-sama bertindak sebagai artikulator dan
titik artikulasi; seperti konsonan. /b/, /p/, /m/.
(2) Konsonan Labio-dental
Konsonan Labio-dental yaitu konsonan yang
dihasilkan dengan mempertemukan bibir bawah
sebagai artikulator dan gigi atas sebagai titik
artikulasi; seperti konsonan /f/, /v/.

(3) Konsonan Apiko-dental


Konsonan Apiko-dental yaitu konsonan yang
dihasilkan dengan ujung lidah (apex) sebagai
artikulator dan daerah antar gigi (dens) titik
artikulasi; seperti konsonan. /t/, dan /n/ dalam
Bahasa Indonesia.
108

Fonologi
(4) Konsonan Apikoalveolar
Konsonan Apikoalveolar yaitu konsonan yang
dihasilkan dengan dengan ujung lidah (apex)
sebagai artikulator dan lengkung kaki gigi
(alveolum) sebagai titik artikulasi; seperti
konsonan /t /, /d/ dan /n/ ( ketiga kosonan itu
bertitik di bawahnya) dalam Bahasa Jawa.

(5) Konsonan Palatal atau Konsonan Laminopalatal


Konsonan Palatal atau Konsonan Lamino-palatal
yaitu konsonan yang dihasilkan
dengan belakang lidah (dorsum) sebagai
artikulator dan langit-langit keras (palatum)
sebagai titik artikulasi; seperti konsonan. /c/, /j/,
dan //.
(6) Konsonan Velar atau Konsonan Dorsovelar
Konsonan Velar atau Konsonan Dorsovelar yaitu
konsonan yang dihasilkan dengan belakang lidah
(dorsum) sebagai artikulator dan langit-langit

109

Fonologi
lembut (velum) sebagai titik artikulasi; seperti
konsonan. /k/, /g/, /.
(7) Konsonan Glotal, atau Konsonan Hambat
Glotal
Konsonan Glotal, atau Konsonan Hambat Glotal
yaitu konsonan yang dihasilkan dengan posisi pita
suara sama sekali merapat sehingga menutup
glotis. Udara sama sekali dihalangi; seperti
konsonan. //.
b. Berdasarkan Halangan atau Hambatan Jalannya
Udara
Berdasarkan halangan atau hambatan jalannya
udara ketika keluar dari rongga ujaran untuk
menghasilkan sebuah konsonan (Keraf, 1991:26),
konsonan dibedakan atas:
(1) Konsonan Hambat (Stop)
Konsonan Hambat (Stop) yaitu konsonan yang
dihasilkan dengan udara yang sama sekali
dihalangi atau dihambat pada daerah artikulasi;
seperti konsonan /p/, /b/, /t/,/d/, /c/, /j/,/k/, /g/,
dan //.
(2) Konsonan Frikatif
110

Fonologi
Konsonan Frikatif yaitu konsonan yang terjadi
bila udara yang keluar dari paru-paru digesekkan
sehingga terdengar bunyi geser atau frikatif;
seperti konsonan /v/, /f/, /kh/ dan /h/.
(3) Konsonan Spiran atau Sibilan
Konsonan Spiran atau Sibilan yaitu konsonan
yang terjadi bila udara yang keluar dari paru-paru
mendapat halangan berupa pengadukan sehingga
terdengar bunyi desis; seperti konsonan /z/, /s/,
dan /sy/.
(4) Konsonan Lateral
Konsonan Lateral yaitu konsonan yang dihasilkan
dengan menaikan lidah ke langit-langit sehingga
udara terpaksa diaduk dan keluar melalui kedua
sisi lidah; seperti konsonan /l /.

(5) Konsonan Tril atau Konsonan Getar


Konsonan Tril atau Konsonan Getar, yaitu
konsonan yang dihasilkan dengan mendekatkan
dan menjauhkan lidah ke alveolum dengan cepat
dan berulang-ulang sehingga udara bergetar.
Getaran udara yang terjadi disebut getar apikal
111

Fonologi
(apical trill) artikulasi; seperti konsonan. /r/. Bila
uvula yang menjauh dan mendekat ke belakang
lidah terjadi dengan cepat dan berulang-ulang,
terjadilah getar yang disebut getar uvular (uvular
trill); seperti konsonan /R /.
c. Berdasarkan Bergetar Tidaknya Selaput Suara
atau Pita Suara
Berdasarkan bergetar tidaknya selaput suara atau
pita suara untuk menghasilkan sebuah konsonan
(Keraf, 1991:26), konsonan dibedakan atas:
(1) Konsonan Bersuara
Konsonan Bersuara yaitu konsonan yang terjadi
bila udara yang keluar dari rongga ujaran turut
menggetarkan selaput suara atau pita suara; seperti
konsonan /m/, /b/, /v/
/n/,/d/, /r/, //, /j/, //,/g/ dan /R/.
(2) Konsonan Tak Bersuara
Konsonan Tak Bersuara yaitu konsonan terjadi
bila udara yang keluar dari rongga ujaran tidak
menggetarkan selaput suara atau pita suara; seperti
konsonan /p/, /f/, /t/, /s/ /sy/,/k/, /kh/, // dan /h/.

112

Fonologi
d. Berdasarkan Jalannya Keluar Udara
Berdasarkan jalan yang dilalui arus udara ketika
udara ketika keluar dari rongga ujaran untuk
menghasilkan sebuah konsonan (Keraf, 1991:27),
konsonan dibedakan atas:
(1) Konsonan Oral
Konsonan Oral yaitu konsonan yang terjadi
bila udara keluar melalui
rongga mulut; seperti konsonan /b/, /p/, /v/
/f/,/d/, /t/, /z/, /s/, /l/,/r/, /j/, /c/, /sy/, /g/,/k/, /kh/,
/R/, //, dan /h/.
(2) Konsonan Nasal
Konsonan Nasal yaitu konsonan terjadi bila udara
keluar melalui rongga hidung; seperti konsonan
/m/, /n/, / / dan / /.

3.3.3.2 Gugus Konsonan


Gugusan konsonan adalah dua buah konsonan
yang berbeda tetapi berada dalam sebuah silabel atau
suku kata.
113

Fonologi
Adapun gugusan konsonan atau kluster yang
terdapat dalam Bahasa Indonesia, adalah:
1) Gugusan konsonan /br/
Gugusan konsonan /br/ dapat menduduki posisi awal dan
posisi tengah, seperti pada kata brahmana dan labrak.
2) Gugusan konsonan /bl/
Gugusan konsonan /bl/ dapat menduduki posisi awal
dan posisi tengah, seperti pada kata blangko dan
amblas.
3) Gugus konsonan /by/
Gugus konsonan /by/ hanya menduduki posisi tengah,
seperti pada kata obyek dan subyek.
4) Gugus konsonan /dr/
Gugus konsonan /dr/ dapat menduduki posisi awal dan
posisi tengah,seperti pada kata drama dan sudra.
5) Gugusan konsonan /dw/
Gugusan konsonan /dw/ dapat menduduki posisi awal
saja, seeperti pada kata dwidarma.

114

Fonologi
6) Gugus konsonan /dy/
Gugus konsonan /dy/ hanya menduduki posisi tengah,
seperti pada kata madya.
7) Gugus konsonan /fl/ dapat menduduki posisi awl, dan
posisi tengah, seperti pada kata flanel dan inflasi.
8) Gugus konsonan /fr/
Gugus konsonan /fr/ dapat menduduki posisi awal,
dan posisi tengah, seperti pada kata frater dan infra.
9) Gugus konsonan /gl/
Gugus konsonan /gl/ hanya menduduki posisi awal
seperti pada kata global dan glukosa.
10) Gugus konsonan /gr/
Gugus konsonan /gr/ hanya menduduki posisi awal
seperti pada kata grafis dan gram.
11) Gugus konsonan /kl/
Gugus konsonan /kl/ hanya menduduki posisi awal
seperti pada kata klasik dan klinik.
12) Gugus konsonan /kr/
115

Fonologi
Gugus konsonan /kr/ hanya menduduki posisi awal
seperti pada kata krikt dan kroket.
13) Gugus konsonan /ks/
Gugus konsonan /ks/dapat menduduki posisi awal,
tengah, dan akhir seperti pada kata ksatria, eksponen,
dan konteks.
14) Gugus konsonan /kw/
Gugus konsonan /kw/ dapat menduduki posisi awal
dan tengah seperti pada kata kwintal dan takwin.
15) Gugus konsonan /pr/
Gugus konsonan /pr// dapat menduduki posisi awal
dan tengah seperti pada kata pribadi dan keprok.
16) Gugus konsonan /ps/
Gugus konsonan /ps/ hanya menduduki posisi awal
seperti pada kata psikologi dan psikiater.
17) Gugus konsonan /sl/
Gugus konsonan /sl/ hanya menduduki posisi awal
seperti pada kata slogan dan slebor.

116

Fonologi
18) Gugus konsonan /sp/
Gugus konsonan /sp/hanya menduduki posisi awal
saja seperti pada kata spontan dan sprit.
19) Gugus konsonan /sr/
Gugus konsonan /sr/ hanya dapat menduduki posisi
awal saja seperti pada kata srigala.
20) Gugus konsosnan /st/
Gugus konsosnan /st/ hanya dapat menduduki posisi
awal, seperti pada kata studio dan stasiun.
21) Gugus konsonan /sk/
Gugus konsonan /sk/ hanya dapat menduduki posisi
awal saja, seperti pada kata skala.
22) Gugus konsonan /skr/
Gugus konsonan /skr/ dapat menduduki posisi awal
dan posisi tengah,
seperti pada kata skripsi dan manuskrip.
23) Gugus konsonan /tr/

117

Fonologi
Gugus konsonan /tr/ dapat menduduki posisi awal dan
tengah, seperti pada
contoh tragedi dan sutra.

3.3.3.3 Realisasi Fonem Konsonan Bahasa Indonesia


(Chaer, 2013:75-82, Husen,1996: 90-123)
Realisasi fonem sebenarnya sama dengan
bagaimana fonem itu dilafalkan. Hanya masalahnya
kalau orang Indonesia banyak sekali variasinya. Hal ini
berkenaan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai
etnis dan berbagai bahasa daerah; sehingga ketika
melafalkan fonem-fonem bahasa Indonesia pasti
dipengaruhi oleh sistem fonolgi bahasa daerahnya. Di
samping itu, bagaimana lafal baku Bahasa Indonesia
belum pernah ditetapkan atau distandarisaikan. Memang
ada konsensus mengenai lafal bahasa Indonesia yang
menyatakan bahwa lafal baku Bahasa Indonesia adalah
lafal yang bersih dari pengaruh bahasa daerah. Namun
bagaimanakah lafal yang bersih dari bahasa daerah itu
pun masih perlu dipertanyakan.
Di sini secara terbatas dalam kajian fonetik, kita
mencoba merumuskan bagaimana fonem-fonem (Bahasa
Indonesia) harus direalisasikan, dalam arti harus
dilafalkan atau diucapkan (Chaer, 2013:77-82).
118

Fonologi
1) Fonem Konsonan /b/
Fonem /b/ ini memilik dua macam realisasi, yaitu:
a) Direalisasikan sebagai /b/
Fonem /b/ direalisasikan sebagai /b/ apabila
berada pada awal silabel, baik pada silabel terbuka
maupun silabel tertutup yang bukan ditutup oleh
fonem konsonan
dapat menduduki posisi awal dan posisi akhir,
seperti tampak pada kata /bambu/, /timbul/, dan
/sebab/. Namun, pada posisi akhir sebagai koda
posisinya sebagai fonem /b/, dan dapat pula sebagai
fone m /p/.
b) Direalisasikan sebagai /b/ atau /p/
apabila berposisi sebagai koda pada sebuah silabel.
Misalnya pada kata:
/sebab/ diucapkan [sbab] atau [sbap]
/jawab/ diucapkan [jawab] atau [jawap]
/sabtu/ diucapkan [sabtu] atau [saptu]
2) fonem /p/
119

Fonologi
Fonem ini secara umum direalisasikan sebagai bunyi [p]
baik sebagai onset pada sebuah silabel maupun sebagai
koda. Misalnya kata: /papan/ [papan], /pukul/ [pukul], dan
/sampul/ [sampul]. Bila fonem /p/ pada awal kata diberi
prefiks me- atau prefiks pe- akan luluh atau disenyawakan
dengan bunyi nasal yang homorgan (sealat ucap).
Misalnya:
me + pilih

[memilih]

pe + pilih

[pemilih]

me + potong

[memotong]

pe + potong

[pemotong]

3) fonem /n/
Fonem ini secara umum direalisasikan sebagai bunyi
[n] seperti pada kata /nanas/ --[nanas], /pinang/ -[pina], dan /iman/ -- [iman]
4) Konsonan semivokal /w/
Fonem /w/ ini direalisasikan sebagai bunyi [w], seperti
pada kata /waris/ -- [waris] dan /awan/ -- [awan].
5) Konsonan /f/

120

Fonologi
Fonem /f/ ini ini direalisasikan sebagai bunyi [f], seperti
pada kata /fikir/ -- [fikir], /kafe/ -- [kafe], dan /aktif/ -[aktif].
Kata serapan asing yang secara ortografis ditulis
dengan huruf /v/ seperti pada kata /vitamin/, /variasi/
dan /rival/ juga dilafalkan sebagai bunyi [f]. Jadi, lafal
ketiga kata itu adalah [fitamin], [fariasi], dan [rifal].
6) Konsonan /d/
Fonem /d/ ini ini direalisasikan yaitu:
Pertama: Direalisasikan sebagai bunyi [d] apabila
berposisi sebagai onset pada sebuah silabel.
Misalnya pada kata /daging/ -- [dagi],
/hadis/ -- [hadis] dan /dada/ -- [dada].
Kedua: Direalisasikan sebagai bunyi [t] dan [d] bila
berposisi sebagai koda pada sebuah silabel
yaitu:

7) Fonem /t/
121

/abad/

dilafalkan [abat] atau [abad]

/ahad/

dilafalkan [ahat] atau [ahad]

/jilid/

dilafalkan [jilit] atau [jilid]

Fonologi
Fonem /f/ ini secara umum direalisasikan sebagai
bunyi [t], seperti pada kata /titi/ -- [titi], /latih/ -[latih], dan /rebut/ -- [rebut]. Namun perlu dicatat
fonem /t/ pada posisi awal diberi prefiks me- atau
prefiks pe- akan luluh dan bersenyawa dengan bunyi
nasal yang homorgan dengan fonem /t/ itu misalnya:
me + tari

[menari]

pe + tari

[penari]

me + tumbuk

[menumbuk]

pe + tumbuk

[penumbuk]

8) Fonem /n/
Fonem /n/ ini secara umum direalisasikan sebagai
bunyi [n], baik sebagai onset maupun sebagai koda
pada silabel. Misalnya /nama/ -- [nama], /panasa/ -[panas], dan /asin/ -- [asin]
9) Fonem /l/
Fonem /l/ ini direalisasikan sebagai bunyi [l], baik
sebagai onset maupun sebagai koda pada sebuah
silabel, seperti pada kata /lari/ -- [lari], -- /halal/
[halal], dan /batal/ -- [batal].

122

Fonologi
10) Fonem /r/
Fonem /r/ ini direalisasikan sebagai bunyi [r], seperti
pada kata /ribut/ -- [ribut], /karet/, [karet] -- dan
/kabar/ -- [kabar]
11) Fonem /z/
Fonem /z/ direalisasikan sebagai bunyi [z], bila
sebagai onset maupun sebagai koda pada sebuah
silabel. Misalnya
/zaman/ -- [zaman], /zakat/ -- [zakat] dan /zam-zam/
-- [zamzam]. Bila sebagai koda dilafalkan sebagai
bunyi [z] atau [s]. Misalnya pada kata /aziz/ -- [azis].
12) Fonem /s/
Fonem /s/ ini direalisasikan sebagai bunyi [s], baik
sebagai onset maupun sebagai koda pada sebuah
silabel. Misalnya pada kata /sakit/ -- [sakit], /pesan/ -[pesan].
13) Fonem //
Fonem // ini direalisasikan sebagai bunyi [], baik
sebagai onset maupun sebagai koda .Misalnya

123

Fonologi
/syarat/ -- [arat], /syahbandar/ -- [ahbandar],
dan /arasy/ -- [ara].
14) Fonem //
Fonem // direalisasikan sebagai bunyi // misalnya
pada kata /nyanyi/ [a i], /banyak/ -- [baak], dan
/nyonya/ -- [a]. Fonem // tidak perna berposisi
sebagai koda.
15). Fonem /j/
Fonem ini direalisasikan sebagai bunyi [j], seperti
pada kata /jalan/ -- [jalan], /jujur/ -- [jujur], dan /ajal/
-- [ajal]. Fonem /j/ tidak perna berposisi sebagai koda.
16). Fonem /c/
Secara umum fonem /c/ direalisasikan sebagai bunyi
[c], seperti pada kata /cari/ -- [cari], /acar/ -- [acar], dan /
cacar/ -- [cacar]. Fonem ini tidak perna berposisi sebagai
koda.
17. Fonem /y/
Fonem ini selalu direalisasikan sebagai bunyi [y],
seperti pada kata /yatim/ -- [yatim] , /ayun/ -- [ayun],
dan /yayasan/ -- [yayasan]. Fonem ini tidak pernah
berposisi sebagai koda.
124

Fonologi

18) Fonem /g/


Fonem ini mempunyai dua macam realisasi, yaitu:
Pertama: Direalisasikan sebagai bunyi [g], apabila
berposisi sebagai onset.
Misalnya pada kata /gajah/ -[gajah], /agar/ -- [agar] dan /gagal/ -[gagal].
Kedua:

Direalisasikan sebagai bunyi [g] atau [k]


apabila berposisi sebagai koda misalnya:
/gudeg/ dilafalkan [gudak] atau [gudek]
/grobak/ dilafalkan [grbag] atau [grbak]
/goblok/ dilafalkan [gblg] atau [gblk]

19) Fonem /k/


Fonem ini mempunyai tiga macam realisasi, yaitu:
Pertama: Direalisasikan sebagai bunyi [k], apabila
berposisi sebagai onset pada sebuah
125

Fonologi
silabel. Misalnya pada kata /kabar/ -[kabar], /bakar/ -- [bakar] dan /akur/ -[akur].
Kedua:

Direalisasikan sebagai bunyi glotal []


apabila berposisi sebagai koda pada
sebuah silabel seperti: /bapak/ -[bapa], /nikmat/ -- [nimat] dan /rakyat/
-- [rayat].

Ketiga:

Direalisasikan sebagai bunyi [g] bila


berposisi
sebagai
koda
/gudeg/
dilafalkan
[gudek] atau [gudek] dan
/gebuk/ -- [gbuk] atau [gbug].

20) Fonem //
Fonem ini selalu direalisasikan sebagai bunyi [],
baik berposisi sebagai onset maupun
sebagai koda pada sebuah silabel.
Misalnya pada kata /nganga/ -- [aa],
/angin/ -- [ain], dan /bingung/ -- [biu].
Fonem ini tidak pernah berposisi sebagai
koda.
(21) Fonem /k/

126

Fonologi
Fonem ini direalisasikan sebagai bunyi [k], baik
berposisi sebagai onset maupun sebgai koda pada
sebuah silabel. Misalnya pada kata / kas/ -- [kas];
/akhir/ -- [axir]. /tarik/ -- [tarik].
22) Fonem /h/
Fonem ini direalisasikan sebagai bunyi [h] baik
berposisi sebagai onset maupun sebagai koda pada
sebuah silabel.
Misalnya pada kata /hari/ -- [hari]; /sehat/ -- [shat],
dan /lebih/ -- [lbih]
23) Fonem //
Fonem ini direalisasikan sebagai bunyi[] yang muncul
pada silabel pertama dari sebuah kata yang berupa
vonem vokal. Misalnya pada kata /akan/ -- [?akan],
/isap/ -- [isap], dan /udang/ -- [/uda]

3.4 Perubahan Fonem


3.4.1 Jeni-jenis Perubahan Fonem
127

Fonologi
Di dalam praktik bertutur, fonem atau bunyi
bahasa itu tidak berdiri sendiri, melain-kan saling
berkaitan di dalam suatu runtunan bunyi. Oleh karena itu,
secara fonetis maupun fonemis, akibat dari saling
berkaitan dan saling pengaruh-mempengaruhi, bunyibunyi itu bisa saja berubah (Chaer, 2013:96-105,Muslich,
2014:118-127; Martha, 2011: 84-98), yaitu:
1) Perubahan Fonetis
Perubahan fonetis yaitu kalau perubahan fonem
itu tidak menyebabkan identitas fonemnya bisa
berubah.
2) Perubahan Fonemis
Perubahan fonemis yaitu kalau perubahan fonem
itu sampai menyebabkan identitas fonemnya bisa
berubah.

3.4.2 Penyebab Perubahan Fonem


Penyebab perubahan itu bisa diperinci menjadi:
1) akibat adanya koartikulasi; 2) akibat pengaruh bunyi
yang mendahului atau yang mengikuti; 3) akibat
distribusi; dan 4) akibat lainnya.
128

Fonologi

2) Retrofleksi
Retrofleksi adalah proses penarikan ujung lidah
melengkung ke arah palatum 3.4.2.1 Akibat Adanya
Koartikulasi
Koartikulasi disebut juga artikulasi sertaan, atau
artikulasi kedua, adalah proses artikulasi lain yang
menyertai terjadinya artikulasi utama, artikulasi primer,
atau artikulasi pertama. Koartikulasi ini terjadi karena
sewaktu artikulasi primer untuk memproduksi bunyi
pertama berlangsung, alat-alat ucap sudah mengambil
ancang-ancang untuk membuat atau memproduksi bunyi
berikutnya. Akibatnya, bunyi pertama yang dihasilkan
berubah mengikuti ciri-ciri bunyi kedua yang akan
dihasilkan.
Dalam peristiwa ini dikenal adanya prosesproses: 1) Labialisasi, 2) Rerofleksi, 3) Palatalisasi, 4)
Velarisasi, 5) Faringalisasi, 6) Glotalisasi.
Adapun masing-masing proses koartikulasi itu,
dideskripsikan berikut ini.
1) Labialisasi

129

Fonologi
Labialisasi adalah proses pelabialan atau
pembulatan bentuk bibir ketika artikulasi primer
berlangsung. Selain bunyi labial bunyi lain dapat
dilabialisasikan. Misalnya, bunyi [t] atau fonem /t/
adalah bunyi apiko-alveolar, tetapi pada kata /tujuan/,
bunyi [t] itu akibat dari akan diucapkan bunyi [u] yang
merupakan vokal bundar maka bunyi [t] disertai
dengan proses pembulatan bibir, sehingga bunyi [t]
terdengar sebagai bunyi [t]. Jadi, kata /tujuan/
dilafalkan menjadi [tujuan]
sewaktu artikulasi primer berlangsung sehingga
terdengar bunyi [r]. Selain bunyi apikal, bunyi lain
dapat juga diretrofleksikan. Misalnya, bunyi [k]
adalah bunyi dorsopalatal, tetapi bunyi [k] pada
kata /kertas/ dilafalkan sebagai bunyi [kr] karena
bunyi [k] itu direrofleksikan dulu. Jadi, kata /kertas/
dilafalkan menjadi [ketas].
3) Palatalisasi
Palatalisasi adalah proses pengangkatan daun
lidah ke arah langit-langit keras (palatum) sewaktu
artikulator primer berlangsung. Selain bunyi palatal,
bunyi lain dapat dipalatalisasi-kan. Misalnya bunyi
[p] adalah bunyi apiko-alveolar tak bersuara, tetapi
pada kata /piara/, bunyi [p] dipalatalisasikan sehingga

130

Fonologi
terdengar sebagai bunyi [p]. Maka kata /piara/
dilafalkan menjadi [para]

4) Velarisasi
Velarisasi ialah proses pengangkatan pangkal
lidah (dorsum) ke arah langit-langit lunak (velum)
ketika artikulasi primer berlangsung. Selain bunyi
velar, bunyi lain dapat divelari-sasikan. Misalnya,
bunyi [m] pada kata /makhluk/ divelarisasikan
menjadi [m]. Oleh karena itu, kata /makhluk/
dilafalkan menjadi [maxluk].
5) Faringalisasi
Faringalisasi ialah prose penyempitan rongga
faring ketika artikulasi sedang berlangsung dengan
cara menaikkan laring, menganggkat uvular (ujung
langit-langit lunak), serta dengan meenarik belakang
lidah (dorsum) ke arah dinding faring. Semua bunyi
dapat difaringalisasikan.
6) Glotalisasi

131

Fonologi
Glotalisasi ialah proses penyertaan bunyi
hambat pada glotis (glotis tertutup rapat) sewaktu
artikulasi primer berlangsung. Misalnya, bunyi [a]
dan bunyi [o] pada kata /akan/ dan /obat/ dilafalkan
menjadi [akan] dan [obat]. Begitu juga bunyi [a]
pertama pada kata /taat/ dan /saat dilafalkan
menjadi [taat dan [saat].

3.4.2.2 Akibat Pengaruh Bunyi Lingkungan


Akibat pengaruh bunyi lingkungan (bunyi yang
berada sebelum atau sesudah bunyi utama ) akan terjadi
dua peristiwa perubahan yang disebut: 1) A asimilasi, 2)
Disimilasi.
1) Asimilasi
Yang dimaksud dengan asimilasi ialah
perubahan bunyi secara fonetis akibat pengaruh
bunyi yang berada sebelum atau sesudahnya.
Asimilasi, baik progresif maupun regresif lazim
diartikan sebagai penyamaan dua buah bunyi yang
berbeda menjadi dua buah bunyi yang sama.
Ada dua macam asimilasi , yaitu:
a. Asimilasi Progresif
132

Fonologi
Asimilasi progresif, yaitu kalau arah
pengaruh itu ke depan. Contoh: Bunyi [t] adalah
bunyi apiko-alveolar atau apiko-dental; tetapi pada
kata /stasiun/, bunyi [t] itu dilafalkan sebagai
bunyi [t] lamino-alveolar adalah karena pengaruh
secara progresif dari bunyi geseran lamino-palatal
[s].
b. Asimilasi Regresif,
Asimilasi regresif, yaitu kalau arah pengaruh
itu ke belakang. Contoh: Bunyi [p] adalah bunyi
hambat bilabial; tetapi bunyi [p] pada silabel
pertama kata /pantun/ dilafalkan secara apikoalveolar. Perubahan bunyi hambat bilabial [p]
menjadi bunyi hambatan apiko-alveolar adalah
karena pengaruh nasar apiko-alveolar [n].
2) Disimilasi
Disimilasi merupakan proses kebalikan dari
asimilasi. Kalau dalam asimilasi dua buah bunyi yang
tidak sama diubah menjadi sama, maka dalam kasus
disimilasi duah buah bunyi yang sama diubah menjadi
dua buah bunyi yang berbeda atau tidak sama.
Contoh: dalam Bahasa Indonesia ada kata /belajar/,
yang berasal dari pembentukan ber+ajar, yang
seharusnya menjadi /berajar/. Namun, di sini bunyi [r]
133

Fonologi
pertama didisimilasikan dengan bunyi [l], sehingga
menjadi /belajar/. Contoh lain bunyi [r] dan [r] pada
kata /terantar/ diubah menjadi bunyi [l] dan [r]
sehingga menjadi /telantar/.

3.4.3 Akibat Distribusi


Yang di maksud dengan distribusi adalah letak atau
teempat suatu bunyi dalam satu satuan ujaran. Akibat
distribusi ini akan terjadi perubahan bunyi, yang disebut:
1) Aspirasi, 2) pelepasan (release), 3) Pemanduan dan 4)
Netralisasi.
1) Aspirasi
Aspirasi adalah pengucapan suatu bunyi
yang disertai dengan hembusan keluarnya udara
dengan keras, sehingga terdengar bunyi [h].
Misalnya, bunyi [p] dalam Bahasa Inggris bila
berposisi pada awal kata akan diucapkan dengan
aspirasi, sehingga terdengar bunyi [ph]. Jadi, kata
/peace/ dan /peter/ akan diucapkan menjadi [pheis]
dan [phit]. Namun, bila konsonan [p] itu berada pada
posisi akhir kata atau berada sesudah bunyi laminoalveolar, maka aspirasi itu tidak ada, seperti pada kata
/map/ yang diucapkan /mp/ dan kata /space/ yang
134

Fonologi
diucapkan /speis/. Bunyi yang beraspirasi
bunyi aspirat.

disebut

2) Pelepasan (release)
Yang dimaksut dengan pelepasan (release)
adalah pengucapan bunyi hambat letup tanpa
hambatan dan letupan, lalu dengan serentak bunyi
berikutnya diucapkan. Jadi, hambatan atau letupan itu
dilepaskan atau dibebaskan. Misalnya, bunyi [p]
adalah bunyi hambat letup bersuara; tetapi bunyi [p]
pada kata /tatap muka/ dilafalkan tanpa hambat letup.
Begitu juga bunyi [t] yang sebenarnya berupa bunyi
hambatan letup, pada kata /tempat nenek/ dilafalkan
tanpa hambatan letup.
3) Pemaduan (pengafrikatan)
Yang dimaksud dengan pemaduan atau
pengafrikatan adalah penghilangan letupan pada
bunyi hambat letup. Dalam hal ini, setelah hambat
letup dilepaskan, lalu bunyi digeserkan secara
perlahan-lahan. Jadi artikulasinya bukan hambat
letup, melainkan menjadi hambat geser. Misalnya,
bunyi [t] pada kata /hebat/ dan /tempat/ dilafalkan
menjadi [hbat] dan [tmpat]..
135

Fonologi
4) Harmonisasi vokal
Harmonisasi
vokal
adalah
proses
penyamanan vokal pada silabel pertama terbuka
dengan vokal pada silabel kedua yang tertutup.
Umpamanya: pada kata-kata /sate/, /onde-onde/,
dan /rante/ vokal [e] dilafalkan sebagai bunyi [e];
tetapi pada kata /karet/, /coret/, dan / kontet/
diucapkan sebagai bunyi []. Namun, pada kata
/bebek/, /ketek/, dan /seret/ tarik dilafalkan sebagai
[bbk], [ktk],dan [srt]. Jadi, meskipun pada
silabel terbuka bunyi [e] itu dilafalkan sebagai []
juga. Hal ini terjadi karena pengaruh atau dari
distribusi [e] yang terdapat pada silabel kedua yang
tertutup. Peristiwa inilah yang disebut dengan istilah
harmonisasi vokal.
5 ) Netralisasi
Netralisasi adalah hilangnya kontras antara
dua buah fonem yang berbeda. Misalnya, bunyi [b]
pada kata /jawab/ bisa dilafalkan sebagai bunyi [p]
dan juga sebagai [b], sehingga kata /jawab/ itu bisa
dilafalkan sebagai [jawab] dan [jawap]. Hal seperti
ini di dalam kajian fonemik disebut arkifonem,
yakni dua buah fonem yang kehilangan kontrasnya.
Sebagai arkifonem kedua fonem itu dilambangkan
sebagai fonem /b/ (ditulis huruf kapital). Kenapa
136

Fonologi
fonem /B/ bukan /p/; karena apabila diberi proses
afiksasi dengan sufiks {-an}, fonem /b/nya itu akan
muncul kembali jadi { jawab } + {-an} -[ja.wa.ban.

3.4.4 Akibat Proses Morfologi


Perubahan bunyi akibat adanya proses morfologi
lazim disebut dengan istilah morfofonemik dan
morfofonologi. Dalam proses ini dapat terjadi, peristiwa:
( a) Pemunculan fonem, (b) Pelepasa fonem, (c)
Peluluhan fonem, (d) Pergeseran fonem, dan (e)
Perubahan fonem.
1) Pemunculan Fonem
Yang dimaksud dengan pemunculan fonem
adalah hadirnya sebuah fonem yang sebelumnya
tidak ada akibat dari terjadinya proses morfologi.
Misalnya, dalam prefiksasi me- atau pe- akan muncul
bunyi nasal yang homorgan dengan fonem pertama
dari dasar yang diberi prefiks itu. Contoh :

137

{me-} + {bina}

membina

{pem} + {bina}

pembina

Fonologi
Juga akan muncul bunyi pelancar [y] apabila
sebuah kata yang berakhir dengan bunyi [i] diberi
sufik {-an}; dan muncul bunyi pelancar [w] apabila
sebuah kata yang berakhir dengan bunyi [u] diberi
sufiks {-an}. Contoh :
{hari} + {-an}

[ harian ]

{satu} + {-an}

[satuan ]

2) Pelesapan fonem
Pelesapan fonem adalah peristiwa hilangnya
fonem akibat proses morfologis. Misalnya, hilangnya
bunyi [r] yang ada pada prefiks {ber-} dalam proses
prefiksasi pada kata /renang/; hilangnya bunyi [h]
pada proses pengimbuhan dengan akhiran {wan}
pada kata /sejarah/; dan hilangnya bunyi [k] pada
proses pengimbuhan dngan akhiran {nda}. Simak
contoh berikut!
{sejarah} + {wan}
[ sejarahwan ]
{anak}
+ {nda}
[ ananda ]

138

Fonologi
Dalam perkembangan Bahasa Indonesia
terakhir ada juga proses pelepasan bunyi yang sama
dalam proses komposisi. Simak contoh berikut.
{pasar} + {raya}
[ pasaraya ]
{kereta} + {api}
[ keretapi ]
{ko}
+
[ koperasi ]

{operasi}

3) Peluluhan fonem
Peluluhan fonem adalah proses luluhnya
sebuah fonem, lalu menyatu pada fonem berikutnya.
Hal ini terjadi dalam prefikasi {me} atau {pe} pada
kata yang dimulai dengan konsonan tak bersuara,
yaitu [ s, k, dan t ].
Contoh : {me} + {sikat}
[ mikat ]
{pe} + {sikat}
[ pikat ]
{me} + {kirim}
[ mKirim ]
139

Fonologi
{pe} + {kirim}
[ pKirum ]
{me} + {pilih}
[ mmilih ]
{pe} + {pilih}
[ pmilih ]
{me} + {tulis}
[ mnulis ]
{pe} + {tulis}
[ pnulis ]
4) Pergesaran fonem
Pergeseran fonem adalah berubahnya posisi
sebuah fonem dari satu silabel ke dalam silabel
berikutnya. Umpamanya, fonem /t/, fonem /n/ , dan
fonem /m/ pada kata /lompat/, /makan/, dan /minum/
akan pindah ke silabel berikutnya bila diberi sufiks {an}. Simak contoh berikut:
{lom.pat} + {an}
[lm.pa.tan]
{ma.kan} + {an}
[ma.ka.nan]
140

Fonologi
{mi.num} + {an}
[mi.nu.man]
5) Perubahan fonem
Perubahan fonem adalah proses berubahnya
sebuah fonem menjadi fonem yang lain karena
menghindari adanya dua bunyi yang sama. Umpamanya,
dalam proses prefiksasi {ber} pada kata /ajar/ dan
prefiksasi {ter} pada kata /anjur/, bubyi [r] pada prefiks
{ber} berubah menjadi bunyi [l]. Simak dan perhatikan
{ber} + {ajar}

[belajar]

{ter} + {anjur}

[telanjur]

3.4.5 Akibat dari Perkembangan Sejarah


Perubahan bunyi akibat dari perkembangan sejarah
ini tidak berkaitan dengan kajian fonologi, melainkan
berkenaan dengan pemakaian sejumlah unsur leksikal di
dalam masyarakat dan budaya. Perubahan yang
berkenaan dengan perkembangan sejarah pemakaian
bahasa ini, antara lain, adalah: 1) Proses kontraksi
(penyingkatan), 2) Mmetatesis, 3) Diftongisasi, 4)
monoftongisasi, dan 5) Anaptiksis.

141

Fonologi
1) Kontraksi (Penyingkatan)
Kontraksi atau penyingkatan adalah proses
menghilangkan sebuah bunyi atau lebih pada sebuah
unsur leksikal. Dilihat dari bagian mana dari unsur
leksikal itu yang dihilangkan, dapat dibedakan atas:
a) Aferesis, b) Apokop, dan c) Sinkop.
a) Aferesis
Aferesis adalah proses menghilangkan suatu
fonem atau lebih pada awal kata. Misalnya:
tetapi

tapi

pepermin

permen

upawasa

puasa

hembus

embus

hutang

utang

satu

atu

b) Apokop
Apokop adalah proses menghilangkan satu
fonem atau lebih pada akhir kata. Misalnya:

142

Fonologi
Pelangit

pelangit

Mpulaut

pulau

President

presiden

c) Sinkop
Sinkop adalah proses menghilangkan sebuah
fonem atau lebih pada tengah kata.
Misalnya :

Baharu

baru

Sahaya

saya

Utpatti

upeti

2) Metatesis
Metatesis adalah perubahan urutan bunyi
fonemis pada suatu kata. Dalam Bahasa Indonesia
kata-kata yang mengalami proses metatesis ini tidak
banyak. Di antaranya yang ada, adalah: Jalur
lajur
Royal
loyar
Brantas
bantras

143

Fonologi
Ulur
urul
Kelikir
kerikil
Sapu
apus -- usap
3) Diftongisasi
Diftongisasi adalah proses perubahan vokal
tunggal menjadi vokal rangkap secara berurutan.
Perubahan vokal tunggal ke vokal rangkap ini masih
diucapkan dalam satu puncak kenyaringan. Jadi,
masih dalam satu silabel.
Contoh:
anggauta, bunyi [o]

anggota
[au]

sentausa, bunyi [o]

sentosa
[au]

tauladan, bunyi [e]

teladan
[au]

taupan,

topan
[au]

bunyi [o]

4) Monoftongisasi

144

Fonologi
Monoftongisasi adalah proses perubahan dua
buah vokal atau gugus vokal menjadi sebuah vokal.
Proses ini banyak terjadi dalam Bahasa Indonesia
akibat dari ingin memudahkan ucapan.
Contoh: [ramay]

diucapkan

[rame]
[kalaw]

diucapkan [kalo]

[satay]

diucapkan [sate]

[pulaw]

diucapkan

[pulo]

5) Anaptiksis
Anaptiksis adalah proses penambahan bunyi
vokal di antara dua konsonan dalam sebuah kata; atau
penambahan sebuah konsonan pafa sebuah kata
tertentu.
Ada tiga macam anaptiksis, yaitu:

145

Fonologi
a) Protesis
Protesis adalah proses penambahan bunyi
pada posisi awal kata.
Contoh: [mas]

[mas]

[mpu]

[mpu]

[tik]

[ktik]

[lang]

[la]

b) Epentesis
Epentesis adalah proses penambahan bunyi
pada posisi tengah kata.
Contoh:

[kapak]

[kampak]

[sajak]

[sanjak]

[upama]

[umpama]

c) Paragoge
Paragoge adalah proses penambahan bunyi
pada posisi akhir kata.
Contoh:
146

[hulubala]

[hulubala]

Fonologi
[ina]

[ina]

[adi]

[adik]

3.5. Alofon atau Varian Fonem


3.5.1 pengertian Alofon
Ada sejumlah definisi yang diberikan pada alofon
yang tampaknya berbeda, tetapi saling melengkapi,
seperti yang disajikan berikut ini. (Martha, 2011:68)
(1) Alofon adalah satuan bunyi bahasa yang terkecil yang
tidak membedakan makna.
(2) Alofon adalah salah satu cara konkret pengucapan
sebuah fonem.
(3) Alofon adalah anggota dari sebuah fonem yang
merupakan sebuah wujud nyata dari pengucapan
fonem.
(4 Alofon adalah varian fonem yang dapat didengar
melalui perbedaan-perbedaan lafal atau ucapan
sebuah fonem.

3.5.2 Realisasi Alofon atau Varian Fonem (Martha,


2011: 45,66-71)
Secara teoritis dapat dinyatakan bahwa realisasi
pengucapan sebuah fonem mempunyai kecenderungan
lebih dari satu, lebihlebih kalau dihubungkan dengan
dua premis yang telah diakui, yaitu :
147

Fonologi
1) Bunyi-bunyi bahasa itu cenderung berfruktuasi karena
kemampuan organ bicara yang terbatas, sehingga
organ-organ itu tidak dapat mengulangi secara
tetap/konstan ucapan yang sama.
2) Realisasi sebuah fonem itu selalu lebih dari satu
karena pengucapan sebuah fonem dipengaruhi oleh
lingkungannya. Hal ini berarti bahwa setiap kali
manusia mengucapkan sebuah fonem, ucapan fonem
itu selalu berbeda dengan ucapan fonem yang sama
yang dihasilkan pada waktu yang berlainan. Kesan
impresifnya memang seperti tidak adaperbedaan tetapi
kalau diselidiki dan diukur dengan alat-alat yang
memadai seperti spektograf digital, akan tampak ada
perbedaan antara ucapan fonem yang kedengarannya
sama itu. Jadi, fon/fona yang merupakan realisasi
fonem yang sama itu disebut alofon atau variasi
fonem.
Kalau pada oposisi bunyi, kita membicarakan
fonem karena bunyi itu membedakan arti atau berposisi
dalam pasangan minimal, namun pada bembicaraan
tentang varian vonem atau alofon, kita akan
membicarakan bunyi-bunyi yang tidak membedakan arti.
Untuk itu, perhatikanlah contoh-contoh realisasi alofon
berikut ini.
Kata
Realisasi
Fonem
Pengucapan
1
/batuk/
[batUk]
/k/
[batU]
2

148

/gerobak/

[gerObak]
[gerObag]

/k/

Alofon
/k/
//
/k/
/g/

Fonologi

1)
2)
3)
4)
5)

/putih/

[putih]
[putih]

/i/

/i/
/I/

/butuh/

[butuh]
[butuh]

/u/

/u/
/U/

/sendok/

[sendok]
[sendOk]

/e/

/e/
//

/elok/

[elok]
[elO]

/o/

/o/
/O/

Contoh-contoh di atas menunjukkan, bahwa:


Fonem /k/ mempunyai alofon [k], glotal [], dan [g].
Fonem /i/mempunyai alofon [i] dan [I]
Ffonem /u/mempunyai alofon [u] dan [U]
Fonem /e/ mempunyain alofon /e/ dan []
Fonem /o/ mempunyai alofon [o] dan [O]

3.5.3 Ciri-ciri Alofon


Ada beberapa sifat atau ciri yang melekat pada
alofon, di anaranya ialah: Martha, 2011:68)
(1) Tidak Membedakan Arti
Beda ucapan pada alofon-alofon tidak akan
membedakan arti,karena alofon itu sendiri adalah
anggota dari sebuah fonem.Yang membedakan arti
hanyalah fonemnya,bukan alofonnya Kata /kakak/
bisa
diucapkan
[`akak],[kaka?],[kaka],
149

Fonologi
[kaak],namun perbedaan ucapan itu tidak
membedakan arti.
(2) Mempunyai kesamaan Organis, tetapi berbeda
ciri fonetisnya
Alofon-alofon dari sebuah fonem mempunyai
kesamaan organis,artinya dihasilkan oleh alat-alat
bicara yang sama (homorganis),tetapi ciri fonetisnya
berbeda,misalnya [u] dan [U] sama-sama dihasilkan
oleh lidahdalam posisi belakang,tetapi [u] secara
fonetis tergolong vokal atas belakang dan [U]
tergolong vokal atas bawah belakang (lihat posisi
pembentukannya pada bagan).
(3) Berdistribusi Komplementer
Perbedaan ucapan sebuah fonem dipengaruhi
oleh lingkungannya.
Lingkungan yang sama,menghasilkan pengucapan
yang relatif sama.
Misalnya ucapan fonem /i/pada posisi suku kata
terakhir tertutup cenderung secara stabil diucapkan
[U].Akibatnya,alofon-alofon
itu
berdistribusi
komplementer,artinya
tiap
alofon
memiliki
distribusinya sendiri yang tidak akan ditempati oleh
alofon yang lain.Beberapa contoh distribusi
komplementer itu dapat digambarkan seperti berikut.

3.6 Gugus Fonem dan Deret Fonem (Chaer, 2013:8388, Husen,1996: 140-d)
150

Fonologi
3.6.1 Pengertian Gugus Fonem dan Deret Fonem
Yang dimaksud dengan gugus fonem adalah
dua buah fonem yang berbeda tetapi berada dalam
sebuah silabel atau suku kata.
Sedangkan yang dimaksud deret fonem adalah
dua buah fonem yang berbeda, berada dalam silabel yang
berbeda, meskipun letaknya berdampingan.

3.6.1.1 Gugus Vokal


a. Diftong
1) Pengertian Diftong
Diftong adalah dua buah vokal berurutan yang
diucapkan dalam satu kesatuan waktu (Keraf,
1991:24). Contoh: Vokal /au/ dan /ai/ yang terdapat
dalam kata-kata: /pulau/, /harimau/, /bangau/,
/ramai/ /pantai/, /lantai/. Jadi, kalau dalam satu silabel
terdapat dua buah vokal beruntun, maka vokal
beruntun itu disebut diftong.
Masalah diftong atau vokal rangkap ini
berhubungan dengan sonoritas atau tingkat
kenyaringan suatu bunyi. Ketika dua deret bunyi vokal
151

Fonologi
diucapkan dengan satu hembusan udara, akan terjadi
ketidaksamaan sonoritasnya atau kenyaringannya
dibanding dengan bunyi vokal yang lain.
Konsep vokal rangkap yang disebut diftong itu
berkaitan dengan dua buah vokal yang merupakan
satu kesatuan bunyi dalam satu silabel. Namun, posisi
lidah ketika mengucapkan bergeser ke atas atau ke
bawah.
2) Jenis atau Macam Bunyi Diftong
Dalam praktik berbahasa secara universal,
dikenal adanya tiga macam diftong, yaitu 1) Diftong
naik, 1) Diftong turun dan 3) Diftong memusat
(Chaer, 2013: 44-46,Muslich, 2014:69-70 dan 125;).
Yang ada dalam bahasa Indonesia tampaknya hanya
diftong naik.
Deskripsi ketiga macam bunyi diftong di atas
(Chaer, 2013:44-46; Muslich, 2014:69-70), disaji,
berikut ini.
1) Diftong Menurun (Falling Diphtong)
Diftong menurun adalah diftong yang ketika
perangkapan bunyi vokal itu diucapkan,
vokal
pertama bersonoritas, sedangkan vokal kedua
152

Fonologi
kurang bersonoritas, bahkan mengarah ke ke bunyi
nonvokoid atau bunyi nonvokal.
Contoh Dalam
2014:69-70)

Bahasa

Indonesia

[pula] pulau

[sampa] sampai

[harima] harimau

[rama] ramai

(Muslich,

Perhatikan bagan berikut ini.


Contoh Dalam Bahasa Jawa (Chaer, 2013:44-46)
[ua] pada kata [muarem] sangat puas

[uanteng] sangat tenang


[uo] pada kata [luoro] sangat sakit
[duowo] sangat panjang
[u] pada kata [uelek] sangat jelek

[uenteng] sangat ringan


[u] pada kata [uempuk] sangat empuk
153

Fonologi
[luemu] sangat gemuk
Perhatikan bagan berikut ini
[i]

[]

[u]

[]

[]

[a]

2) Diftong Menaik (Rising Diphtong)


Diftong menaik adalah diftong yang terjadi
bila vokal kedua diucapkan dengan posisi lidah
lebih tinggi daripada vokal yang pertama (Chaer,
2013:44-46). Pendapat lain mengtakan, diftong
menaik (rising diphtong) adalah adalah diftong
yang ketika perangkapan bunyi vokoid (vokal) itu
diucapkan, vokoid (vokal) pertama kurang atau
menurun sonoritasnya; dan mengarah ke bunyi

154

Fonologi
nonvokoid (nonvokal); sedangkan vokoid (vokal)
kedua menguat sonoritasnya (Muslich, 2014:70).
Contoh Dalam Bahasa Indonesia (Chaer, 2013:45).
[ ai]

[gulai]

[au]

[pulau]

[oi]

[sekoi]

[i]

[esei]

Perhatikan bagan berikut ini


[i]

[u]

[]

[a]

155

[o ]

Fonologi

3) Diftong Memusat
Diftong memusat, yaitu diftong yang terjadi
bila vokal kedua diacu oleh sebuah atau lebih vokal
yang lebih tinggi, dan juga diacu oleh sebuah atau
lebih vokal yang lebih rendah. Dalam bahasa
Inggris ada diftong [o] seperti pada kata [more]
dan kata [floor]. Ucapan kata [more] adalah [mo]
dan ucapan kata [floor] adalah [flo]; dan ucapan
kata [there] adalah [d] (Chaer, 2013:45-46).

[i]

[u]

[]

[]

156

[o]

Fonologi
b. Deretan Vokal
Deretan vokal adalah urutan dua buah vokal
diucapkan dalam satuan waktu yang berlainan (Keraf,
1991:24). Jadi, deret vokal adalah dua buah vokal
yang berbeda berada dalam silabel yang berbeda,
meskipun letaknya berdampingan. Contoh: Vokal /au/
dan /ai/ yang terdapat dalam kata-kata:
/kaum/, /bait/, /saat/, /luar/,
/raut/, /kait/, /taat/, /kuat/,
/mau/, /naik/. /maaf/, /puas/,
Sedangkan deret vokal yang tercatat ada sampai saat
ini adalah:
aa seperti pada kata saat dan taat
au seperti pada kata laut dan daun
ai seperti pada kata kain dan kait
ao seperti pada kata kaos dan laos
ua seperti pada kata luar dan kuat
ue seperti pada kata kue
157

Fonologi
ui seperti pada kata puing dan suit
ia seperti pada kata siar dan kiat
iu seperti pada kata tiup dan liur
io seperti pada kata kiong dan biola
oa seperti pada kata loak dan soak
oi seperti pada kata koin dan poin
eo seperti pada kata beo dan leo
catatan: Deretan vokal ii, uu, dan oo hanya ada pada
beberapa nama orang seprti iin, uun, oon.
3.6.1.2 Gugus Konsonan
a. Kluster
Kluster atau gugus konsonan adalah dua buah
konsonan yang letaknya berdampingan. Dalam
bahasa-bahasa tertentu, bunyi kluster atau konsonan
rangkap (dua atau lebih) ini merupakan bagian dari
struktur fonetis atau fonotsaktis yang disadari oleh
penuturnya (Muslich, 2013:71-72). Oleh karena, itu,
pengucapannya pun harus sesuai dengan struktur

158

Fonologi
fonetis tersebut. Sebab, kalau salah pengucapan,
akan berdampak pada pembedaan makna.
Munculnya kluster dalam bahasa Indonesia
sebagai akibat pengaruh struktur fonetis unsur
serapan; namun, pada umumnya kluster bahasa
Indonesia seputar kombinasi berikut ini.
1) Jika kluster terdiri atas dua kontoid, yang
berlaku adalah:
a) Kontoid pertama hanyalah sekitar [p], [b], [t],
[d], [k], [g], [f], dan [s].
b) Kontoid kedua hanyalah sekitar [l], [r], [w],
[s], [m], [n], [n], dan [s]
Contoh: [pl] pada kata [pleonasme]
[gr] pada kata [grafik]

159

[bl] pada kata [pleonasme]


pada kata [fustrasi]

[fr]

[kl] pada kata [pleonasme]


pada kata [pasrah]

[sr]

[gl] pada kata [pleonasme]


pada kata [psikologi]

[ps]

Fonologi
[fl] pada kata [pleonasme]
pada kata [ekstra]

[ks]

[sl] pada kata [pleonasme]


pada kata [dwifusi]

[dw]

[pr] pada kata [pleonasme]


pada kata [swadaya]

[sw]

[br] pada kata [pleonasme]


pada kata [kwintal]

[kw]

[tr] pada kata [pleonasme]


pada kata [grafik]

[sp]

[dr] pada kata [pleonasme]


pada kata [smokl]

[sm]

[kr] pada kata [pleonasme]


pada kata [snobism]

[sn]

[sk]
pada kata [skema]
2) Jika kluster terdiri atas tiga kontoid, yang
berlaku adalah:
(1) Kontoid pertama selalu [s]

160

Fonologi
(2) Kontoid kedua [t] atau [p]
(3) Kontoid ketiga [r] atau [l]
Contoh: (1) [str] pada kata [strategi]
(2) [spr] pada kata [sprintr]

(3) [skr] pada kata [skripsi]


(4) [skl] pada kata [sklerosis]
Karena kosakata asli Bahasa Indonesia
tidak mempunyai .kluster, maka ketika
menggunakan kluster kata-kata serapan, penutur
Bahasa
Indonesia
cenderung
untuk
menduasukukatakan dengan menambahkan [] di
antaranya. Misalnya, kata [prako]
sering
diucapkan
[prako],
[slogan]
sering
diucapkan[slogan], [klinik] sering diucapkan
[klinik].
Dalam perkembangan dewasa ini gugus
konsonan atau klaster yang ada dalam Bahasa
Indonesia (Chaer,2013:84-85 ), adalah:
br seperti pada kata brahma dan labrak
161

Fonologi
bl seperti pada kata blangko dan semblih
by seperti pada kata obyektif
dr seperti pada kata drama dan drakula
dw seperti pada kata dwidarma
dy seperti pada kata madya
fl

seperti pada kata flannel dan inflasi

fr

seperti pada kata frater dan infra

gl

seperti pada kata global dan gladiol

gr

seperti pada kata gram dan grafis

kl

seperti pada kata klasik dan klinik

kr

seperti pada kata kritik dan kristen

ks seperti pada kata ksatria dan eksponen


kw seperti pada kata kwatir dan kwartet
pr seperti pada kata pribadi dan keprok
ps seperti pada kata psikolog dan psikopat
162

Fonologi
sl seperti pada kata slogam dan slalom
sp seperti pada kata spontan dan spesial
spr seperti pada kata sprit dan spreyer
sr seperti pada kata srigala dan sronok
st seperti pada kata studio dan stasion
str seperti pada kata strata dan strika
sw seperti pada kata swadaya dan swasta
sk

seperti pada kata skala

skr seperti pada kata skripsi dan manuskrip


tr

seperti pada kata tragedi dan trahum

ty seeperti pada kata satya


b. Deretan Konsonan
Deretan konsonan yang ada dalam Bahasa
Indonesia antara lain (Chaer,2013:85-87 ), adalah:
bd

seperti pada kata sabda

bh

seperti pada kata subhat

163

Fonologi
bl

seperti pada kata kiblat

hb

seprti pada kata tahbis

hk

seperti pada kata mahkamah

hl

seperti pada kata bahla, bahlul

hm seperti pada kata tahmid


ht

seperti pada kata tahta

kb

seperti pada kata takbir, akbar

kl

seperti pada kata iklan, coklat

km seperti pada kata sukma


kr

seperti pada kata pokrol, takrir

ks

seperti pada kata siksa , paksa

kt

seperti pada kata bakti,bukti

seperti pada kata [bada]

seperti pada kata [taluk]

m seperti pada kata [bami]


n
164

seperti pada kata [mana]

Fonologi
y

seperti pada kata [rayat]

lb seperti pada kata kalbu, talbiah


ld seperti pada kata kaldu, kaldera
lk seperti pada kata talking, palka
lm seperti pada kata halma, gulma
lp seperti pada kata pulpen, bolpoin
mb seperti pada kata sambut, timbul
mp seperti pada kata simpan, sampul
mpr seperti pada kata kompran
nc

seperti pada kata hancur,lancip

ncl seperti pada kata kinclong


ncr seperti pada kata kencring
nd seperti pada kata janda, tunda
nj

seperti pada kata janji, tanjung

np seperti pada kata tanpa


nt
165

seperti pada kata nanti, pantun

Fonologi
g seperti pada kata lagar
k seperti pada kata naka, bokar
kr seperti pada kata bakrut
s

seperti pada kata pisan, sasi

pt

seperti pada kata baptis, sabtu

rb

seperti pada kata karbon, terbang

rc

seperti pada kata karcis

rd

seperti pada kata kerdil, kardus

rg seperti pada katasurga , harga


rh

seperti pada kata berhala

rj

seperti pada kata terjang, trjal

rk

seperti pada kata brkas, harkat

rl

seperti pada kata perlu

rm seperti pada katanorma, nirmala


rn

seperti pada kata sirna, porno

rp

seperti pada kata korpus

166

Fonologi
rs

seperti pada kata sirsak

rt

seperti pada kata kertas, karton

sb

seperti pada kata tasbih

sk

seperti pada kata miskin, riskan

sl

seperti pada kata muslim

sr

seperti pada kata mesrah, pasrah

sp

seperti pada kata puspa

d seperti pada kata tadid


r

seperti pada kata tari

tm seperti pada kata ritme


tl

seperti pada kata mutlak

xl

seperti pada kata maxluk

Untuk memudahkan lafal seringkali deret


konsonan hilang karena diselipi vokal /e/, seperti pada
kata coklat menjadi cokelat; dan vokal /a/, seperti
kata proyek menjadi paroyek.

3.6 Perbedaan Fonetik dengan Fonemik


167

Fonologi
3.6.1 Materi Pokok Kajian Fonetik dengan Fonemik
Istilah fonetik dan fonemik selalu akan menjadi
pokok pembicaraan dalam
kajian bunyi bahasa, seperti yang tampak dalm topiktopik berikut ini (Martha, 2011:8-9)., yaitu:
1) Dalam Hal Aspek Isi/Pokok Kajian
Berdasarlkan aspek isi atau pokok kajiannya,
fonetik mengkaji semua fon/fona yang dimiliki oleh
suatu bahasa; sedangkan fonemik mengkaji semua
fonem yang dimiliki oleh suatu bahasa
2) Dalam Hal Aspek Luasnya Kajian
Berdasarkan aspek luasnya kajian, fonetik
menjalankan tugas kajian yang lebih luas
dibandingkan dengan fonemik, karena fonetik
mengkaji semua fon atau fona yang dimiliki oleh
suatu bahasa tanpa memandang fon/fona itu
membedakan arti atau tidak yang jumlahnya tidak
terbatas; sedangkan fonemik hanya mengkaji fon atau
fona yang dapat membedakan arti dalam suatu bahasa
yang jumlah sangat terbatas sesuai dengan jumlah
fonem dalam bahasa itu.
3) Dalam Hal Aspek Simbol-simbol Transkripsi yang
Digunakan
Berdasarlkan aspek simbol-simbol transkripsi
yang digunakan, fonetik memerlukan simbol-simbol
yang
lebih
banyak
jumlahnya
untuk
mentranskripsikan semua fon/fona yang dapat
dihasilkan oleh suatu bahasa; sedangkan fonemik
hanya memerlukan simbol-simbol yang terbatas
168

Fonologi
sesuai dengan penggunaan simbol-simbol itu terhadap
fonem yang ada dalam bahasa itu.
4) Dalam Hal Aspek Mengidentifikasikan fon/fona
Cara
mendapatkan
data
atau
mengidentifikasikan fon/fona diperlukan cara dan
alat-alat elektronik yang khsusus; alat-alat elektronik
seperti
itu umumnya belum dikenal apalagi
digunakan di laboratorium-laboratorium bahasa di
Indonesia.
5) Dalam Hal Aspek Tingkat Kerumitan Kajiannya
Berdasarlkan aspek kerumitan kajiannya,
kajian fonetik lebih rumit karena dalam mendapatkan
data diperlukan cara dan alat yang khsusus, seperti:
(1) Alat Rekaman (Tape Recorder)
(2) Penggunaan Oskilograf (Oscillosgraph) yaitu
alat yang membuat getaran-getaran bunyi dapat
dilihat, yang mulai digunakan sejak tahun 1920.
(3) Penggunaan Forier Analysis serta Henrici
Analyzer untuk menganalisis bunyi ujaran pada
tahun 1940.
(4) Penggunaan Spektograf (Spectograph)
Spektograf yaitu alat yang dapat menentukan
perbedaan antara fon/fona atau variasi bunyibunyi ujaran dengan tingkat kecermatan yang
tinggi, seperti yang pertama kali dikembangkan di
laboratorium perusahaan telepon Bell di Amerika
Serikat sebagai
bagian dari upaya
untuk
menganalisi dan mensintesis sistem transmisi
ujaran pada tahun 1950.
(5) Penggunaan Digital Signal Processing
169

Fonologi
Pada tahun 1970 ditemukan digital signal
processingaran.
(6) Penggunaan Alat Spekktograf Digital
Penggunaan alat spekktograf digital yaitu sebuah
alat elektronik untuk menganalisis getarangetaran bunyi dalam bentuk frekuensi, yaitu jarak
getaran dalam waktu tertentu. Dewasa ini, telah
digunakan
secara
luas
alat
spektograf
(specktograf)
digital,
yaitu
alat
untuk
mengeluarkan rekaman analisinya dalam bentuk
lembaran kertas yang disebut spektogram dan
melalui spektogram ini kita dapat mengetahui
kualitas akustik bunyi ujaran yang dianalisis.
Spektogram ini menjadi alat indikator kualitas
bunyi (vokal) bahasa manusia yang cukup
diandalkan.
6) Dalam Hal Aspek Pemanfaatannya
Berdasarkan aspek pemanfaatannya, fonetik
lebih
luas
pemanfaatannya;
karena
fonetik
memberikan deskripsi bunyi-bunyi bahasa lebih rumit
dan mendetail; seperti yang sekarang banyak
dimanfaatkan di bidang musik.

3.6.2 Perbedaan Fonetik dengan Fonemik


Sesungguhnya tidaklah mudah bagi kita untuk
membedakan fonetik dengan fonemik, karena lahan
kajiannya sama-sama bunyi ujaran dengan sumber yang
sama yaitu alat bicara manusia (Martha, 2011:15).

170

Fonologi
Untuk membedakan fonetik dan fonemik berikut
dirumuskan perbedaan kedua bidang kajian tersebut,
bila dipandang dari aspek-aspek tertentu, yaitu:
1) Dalam Pelaksanaan Kajian,
Dalam pelaksanaan kajian,
mendahului penelititan fonemik.

penelitian

fonetik

2) Data Kajian Fonetik


Data kajian fonetik yang berupa fona-fona menjadi
bahan bagi analisis fonemik. Dengan kata lain, fonetik
menyediakan bahan mentah bagi penyelidikan
fonemik.
3) Jangkaun Kajian Fonetik
Sejalan dengan perbedaan pada nomor 2, studi fonetik
lebih luas jangkaunnya daripada studi fonemik, karena
studi fonetik menjangkau semua bunyi ujar yang
mampu dihasilkan oleh alat bicara, baik yang berupa
varian maupun nonvarian.
4) Cara Transkripsi Data
a) Transkripsi Fonetis
Semua fon/fona yang diperoleh berdasarkan
pendengaran ( auditif ) dalam penyelidikan fonetik
ditranskripsikan dengan simbol/tanda fonetik yang
dikenal dengan nama transkripsi fonetis
171

Fonologi
Transkripsi fonetik adalah penulisan bunyibunyi bahasa secara akurat atau secara tepat dengan
menggunakan huruf atau tulisan fonetik (Chaer,
2013:13-17, Muslich, 2014:42). Huruf fonetik ini
dibuat berdasarkan huruf (alfabet) Latin yang
dimodifikasikan atau diberi tanda-tanda diakritik;
karena alfabet Latin hanya berjumlah 26 buah huruf,
pada hal bunyi-bunyi bahasa itu sangat banyak;
melebihi jumlah huruf Latin (Chaer, 2013:).
Misalnya: Huruf vokal dalam alfabet Latin hanya ada
5, yaitu [a], [i], [u], [e], [o]; pada halnya fonem vokal
dalam Bahasa Indonesia ada 6, yaitu: /a/, /i/, /u/,
/e/, //, [o]. Jadi, untuk vokal /e/ dimodifikasikan
dengan dibalik dari vokal /e/ menjadi //.
Pada dasarnya dalam kajian fonetik, satu huruf
hanya digunakan untuk satu bunyi, atau satu huruf
hanya digunakan untuk satu bunyi; atau satu bunyi
dilambangkan dengan satu huruf. Tidak ada
penggunaan satu huruf untuk dua bunyi yang berbeda;
juga tidak ada penggunaan dua huruf untuk satu
bunyi.

b) Transkripsi Fonemis
Semua bunyi ujaran yang dapat membedakan
arti yang ditemukan dalam penyelidikan fonemik
ditranskripsikan dalam simbol/tanda fonemik yang
dikenal dengan nama transkripsi fonemik.

172

Fonologi
5) Tanda atau simbol
Tanda atau simbol fonetik menyatakan tanda
ucapan spesifik dari sebuah bunyi ujaran yang
dinyatakan dalam kurung besar, yakni [....], sementara
tanda fonemik menyatakan sebuah fonem, yang bisa
saja memiliki varian ucapan lebih dari satu. Tanda
fonemik dinyatakan di antara garis miring, yakni /..../.
dengan demikian, simbol fonetik menyatakan wujud
konkret pengucapan suatu bunyi ujar.
6) Hasil deskripsi
Hasil deskripsi bunyi ujaran (fon/fona) pada penelitian
fonetik lebih kompleks dibandingkan dengan hasil
deskripsi fonem-fonem dalam penelitian fonemik.
7) Kebutuhan Simbol
Dalam penelitian fonetik diperlukan simbol-simbol
lebih banyak dibandingkan dengan dalam penelitian
fonemik, karena fon/fona jauh lebih banyak daripada
fonem-fonem.

173

Fonologi

174

Fonologi
BAB IV
EJAAN ATAU SISTEM TULISAN

4.1 Pengertian Ejaan atau Sistem Tulisan, Huruf


dan Abjad
4.1.1 Pengertian Ejaan atau Sistem Tulisan
Menurut Gorys Keraf, ejaan atau sistem tulisan
adalah peraturan bagaimana menggambarkan bunyi
ujaran suatu bahasa (1991:37). Jadi, ejaan merupakan
keseluruhan peraturan bagaimana menggambarkan
lambang-lambang bunyi ujaran (bahasa) dan bagaimana
interelasi antara lambang-lambang itu (pemisahannya,
penggabungannya) dalam suatu bahasa.
4.1.2 Pengertian Huruf dan Abjad
Huruf adalah lambang atau gambaran dari bunyi.
Sedangkan abjad (alfabet) atau aksara adalah rangkaian
urutan huruf menurut suatu sistem tulisan (Keraf,1991:
37).
4.1.3 Topik-topik tentang Ejaan
Secara umum, pembahasan tentang ejaan meliputi
topik-topik yang berkenaan dengan:
1) Masalah atau persoalan pelambangan fonem dengan
huruf.
175

Fonologi
2) Masalah atau persoalan mengatur ketetapan tentang
bagaimana satuan-satuan morfologis seperti:
a) Cara menulis Penyukuan kata,
b) Cara menulis Kata dasar,
c) Cara menulis Kata ulang,
d) Cara menulis Kata majemuk,
e) Cara menulis Cara menulis Kata berimbuhan,
f) Cara menulis Partikel-partikel dituliskan.
3) Masalah atau persoalan
tentang bagaimana
menuliskan kalimat dan bagian-bagian kalimat
dengan pemakaian tanda-tanda baca, seperti:
a) Tanda baca titik (.).
b) Tanda baca koma (,).
c) Tanda baca titik koma (;).
d) Tanda tanya (?).
e) Tanda suruh atau perintah (!).
f) Tanda petik (petik tunggal ........ dan petik ganda
........ ).
g) Tanda kurung (kurung biasa (...), kurung siku [...],
kurung kurawal {...}, dan sebagainya.
4.1.4 Kegunaan Penyelidikan tentang Bunyi
Beberapa kegunaan penyelidikan tentang bunyi,
misalnya:
1) Untuk mencari seperangkat tanda-tanda guna
menyatakan ujaran bahasa itu.
Pada kegunaan yang pertama, yaitu mencari
seperangkat tanda untuk menyatakan ujaran (bunyi
bahasa) itu, harus diingat bahwa ada dua bentuk
pelambangan
yang
dapat
digunakan
untuk
menyatakan bunyi-bunyi itu, yakni:
176

Fonologi
a) Lambang fonetik (phonetic transcriptions), dan
b) Lambang fonemik (phonemic trancriptions).
2) Hasil penyelidikan bunyi bahasa dapat pula dipakai
sebagai dasar pembentukan sistem tulisan, misalnya
apakah sistem ideograf, sistem piktograf, sistem
silabis, atau sistem fonetis. Hal ini bergantung pada
sifat/karakteristik bahasa itu.
Dalam bahasa Indonesia, ejaan fonemiklah yang
digunakan karena dasar penyusunannya adalah
transkripsi fonemik, yakni apa atau bagaimana tulisannya
demikian atau itulah yang diucapkan. Jadi apa yang
dituliskan itulah yang dibaca (Mahasiswa disarankan
untuk memiliki dan membaca Buku Baca Buku Ejaan
Yang Disempurkan)
4.2 Manfaat Fonologi dalam Penyusunan Ejaan
Bahasa (Chaer, 2013:5-6)
4.2.1 Peranan Fonetik dan Fonemik
dalam
Penyusunan Ejaan (Martha, 2011:102--105)
Ejaan, jika dilihat dari sudut pandang ilmu bunyi,
sebenarnya muncul dari upaya manusia untuk
mentranskripsikan bahasa ujarnya (Inggris: speech,
Prancis: parole, Jerman: sprache). Karena itulah, ejaan
menurut sudut pandang ilmu bunyi merupakan writing
system suatu speech bagi manusia.
Pemahaman yang baik dan mendalam tentang
fonologi (fonetik dan fonemik) akan berkontribusi
langsung dalam penyusunan ejaan; mengingat pertanyaan
awal yang sering muncul bila kita membicarakan ejaan
adalah apakah ejaan itu?
177

Fonologi

4.2.2 Macam-macam Ejaan/Sistem Tulisan


1) Perlambangan Unsur Segmental dan Unsur
Suprasegmental
Mengingat bunyi ujaran ada dua unsur, yaitu unsur
segmental dan unsur suprsegmental, maka ejaan pun
menggambarkan atau melambangkan kedua unsur
bunyi ujaran tersebut.
a. Perlambangan Unsur Segmental
Perlambangan unsur segmental bunyi ujaran,
meliputi:
1) Bagaimana melambangkan bunyi-bunyi ujaran
atau huruf.
2) Bagaimana menuliskan bunyi-bunyi ujaran
dalam bentuk kata, frase, klausa dan kalimat.
3) Bagaimana memenggal suku kata,
4) Bagaimana menuliskan singkatan, nama orang,
lambang-lambang teknis keilmuan, dsbnya.
b. Pelambangan Unsur Suprasegmental
Pelambangan unsur suprasegmental bunyi
ujaran, menyangkut: Bagaimana melambangkan
tekanan, nada, durasi, jeda dan intonasi.
Perlambangan unsur suprsegmental dikenal dengan
istilah tanda baca atau pungtuasi.
Tata cara penulisan bunyi ujaran (baik
segmental mapun suprsegmental) ini bisa
178

Fonologi
memanfaatkan kajian fonologi, terutama hasil
kajian fonemik terhadap bahasa yang bersangkutan.
Sebagai contoh, ejaan bahasa Indonesia yang telah
diterapkan dalam penulisan selama ini
memanfaatkan hasil studi fonologi Bahasa
Indonesia, terutama yang berkaitan dengan
pelambangan fonem. Oleh karena itu ejaan Bahasa
Indonesia dikenal dengan istilah ejaan fonemis.
2) Macam-macam Ejaan/Sistem Tulisan
(1) Menurut Gorys Keraf
Menurut Gorys Keraf (1991: 36), sejauh ini
sekurang-kurangnya telah dikenal 4 macam sistem
tulisan, yaitu:
a) Tulisan Piktograf
Tulisan piktograf yaitu rangkaian gambar
untuk melukiskan suatu
peristiwa, misalnya huruf Indian Meksiko.
b) Tulisan Ideograf atau Tulisan Logograf
Tulisan ideograf atau tulisan logograf yaitu satu
tanda atau lambang mewakili satu kata atau
pengertian, misalnya huruf Cina dan huruf
Kanji Jepang.
c) Tulisan Silabis
179

Fonologi
Tulisan silabis yaitu satu tanda untuk
menggambarkan suatu suku kata, misalnya
tulisan Katagana Jepang, Dewanegari, Arab dan
Jawa.
d) Tulisan Fonemis
Tulisan fonemis yaitu satu tanda untuk
melambangkan satu bunyi,
Misalnya huruf Latin, Yunani dan Gotik.

(1) Menurut Abdul Chaer (Chaer, 2013:


17,108 dan 115)
Menurut Abdul Chaer ada 3 macam ejaan
atau sistem tulisan (2013: 17,108), yaitu:
a) Ejaan Fonetik
Dalam ejaan fonetik bunyi-bunyi bahasa
beserta ciri-cirinya ( baik unsur
segmental maupun suprasegmentalnya
dilukiskan secara akurat sama persis
dengan bunyi dan ciri prosodi yang
didengar.
b) Ejaan Fonemik
Dalam ejaan fonemik bunyi-bunyi
dituliskan
sesuai
dengan
satuan
fonemisnya. Jadi, mungkin kurang
akurat.
180

Fonologi
c) Ejaan Ortografik atau Ejaan
Grafemik
Dalam ejaan ortografik atau ejaan
grafemik bunyi-bunyi dituliskan sesuai
dengan konvensi (kesepakatan) grafemis
yang disepakati. Artinya, sesuai dengan
sistem dan aturan ejaan yang berlaku,
misalnya, dalam bahasa Indonesia tentu
menurut aturan yang disepakati dalam
pedoman Ejaan Yang Disempurnakan
(EYD).
3) Macam-macam Ejaan atau Sistem Tulisan dalam
Bahasa Indonesia
Sejauh ini kita mengenal beberapa ejaan
1926.Bahasa Indonesia (Keraf, 1991:38-40), yaitu:
(1) Ejaan Ch. van Ophuijsen atau Ejaan Balai
Pustaka
Ejaan Ch. van Ophuijsen atau ejaan Balai
Pustaka tahun 1901; disempur-nakan tahun 1926.
Sebelumnya, Pada tahun 1900 Ch. van Ophuijsen
mendapat perintah untuk menyusun ejaan Melayu
dengan mempergunakan sistem aksara Latin.
Dalam usahanya itu van Ophuijsen sekadar
merpersatukan bermacam-macam ejaan yang
181

Fonologi
sudah ada dengan bertolak dari sistem ejaan
Bahasa Belanda sebagai landasan pokok. Dengan
bantuan Engku Nawawi gelar Sutan Mamur dan
Moehammad Taib Soetan Ibrahim; akhirnya
ditetapkan ejaan itu dalam bukunya Kitab Logat
Melayu yang terkenal dengan nama Ejaan
Suwandi atau Ejaan Balai Pustaka pada tahun
1901. Setelah diperbaiki terus-menerus baru pada
tahun 1026 mendapat bentuk yang tetap.
(2) Ejaan Suwandi
Ejaan Suwandi ditetapkan pada tahun 1947
kemudian disempurnakan pada tahun 1949.

(3) Ejaan Melindo


Ejaan Melindo tahun ditetapkan pada tahun
1959; namun tidak diumumkan karena masalah
politik dengan Malaysia.
(4) Ejaan Yang Dsempurnakan (EYD)
Ejaan Yang Dsempurnakan (EYD) digagas
pada tahun 1966 oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, Sarino Mangunpranoto, lalu
dibentuk sebuah panitia Ejaan bahasa Indonesia
182

Fonologi
yang bertugas menyusun konsep baru yang
merangkum segala usaha penyempurnaan yang
terdahulu.
Sesudah
berkali-kali
dibuat
penyempurnaan maka berdasarkan Keputusan
Presiden No.57 tahun 1972 diresmikan ejaan baru
yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1972
yang dinamakan Ejaan Yang Disempurnakan
(EYD).
Menurut pedoman EYD, grafem-grafem
atau tulisan-tulisan (huruf-huruf) untuk fonem-fonem
Bahasa Indonesia
(Chaer,2013:108-112) adalah
sebagai berikut.
a. Grafem atau Tulisan (Huruf) Fonem Vokal

Fonem

Alofo
n

Grafem/

Contoh

Tulisan
Awal

Tengah

i.tu

a.pik

[i]
/i/
/i/
[I]

183

Akhi

a.pi

Fonologi

[e]
/e/
/e/

e.kor

mo.nyet
tu

sa.te

e.kor
[]
]

//

[]

ke.ra

ka.de

da.pur

la.gu

/e/

e.mas

/u/

u.ji

/o/

o.bat

e.kor

bak.so

a.pi

pi.sah

lu.pa

[u ]

/u/
[U]

/o/

[o]

[]
o
/a/

184

[a]

/a/

Fonologi
b. Grafem atau Tulisan (Huruf) Fonem Diftong

Fonem

Alofo

Grafem/

Contoh

n
Tulisan

Awal

Tengah

Akhir

/aw/

[au]

[ au]

au.la

pu.lau

/ay/

[ai]

[ ai]

lan.dai

/oy/

[oi]

[ oi]

se.poi
de

/ey/

[ei]

[ ei]

sur.vei

c. Tulisan atau Grafem (Huruf) Fonem Konsonan

Fonem

Alofo
n

Grafem/

Contoh

Tulisan
Awal
185

Tengah

Akhir

Fonologi

1) /b/

[b]
[p]

2) /p/

/b/

re.but

pa.ku

ba.pak

si.kap

/p/
[p]

3) /m/

[m]

/m/

mu.ka

a.man

da.lam

4) /w/

[w]

/w/

wa.ris

a.wan

[u]

li.mau

fa.sih

si.fat
av.tur

ak.tif

5) /f/
[f]

/f/

[v]
6) /d/

7) /t/

[d]
[t]

vi.ta.min

a.bad

/d/

da.ta

a.dat

[t]

de.kat
/t/

186

ja.wab
bak.so

ba.ku

ta.ri

ba.tik

Fonologi
8) /n/

[n]

ja.lan
/n/

9) /l/
10) /r/
11) /z/
12) /s/

13) //

14) //
15) /j/
16) /c/
17) /y/

187

na.si

ta.nam

[l]

ba.tal
/l/

la.ri

ma.lam

/r/

ra.sa

ke.ras

/z/

za.kat

ra.zia

[r]

be.nar

[z]

a.ziz

[s]

[]

ba.las
/s/

sa.kit

a.sap

/ /

a.hid

a.ar

a.ra

[]

/ny/

nya.la

ba.nyak

/j/

ja.la

a.jal

[j]

[c]
[y]
[i]

/c/

ca.ri

a.car

/y/

ya.tim

a.yun

la.lai

Fonologi
18) /g/

19) /k/
20) //
21) /x/
22) /h/
23) //

Penjelasan:

188

[g]
[k]

/g/

gi.la

la.gu

[k]

gu.dek

ja.rak
/k/

ki.ra

a.kal

/ng/

nga.nga

a.ngin

/ks/

e.kspor

[]

a.bang

[x]

luks

[h]

su.dah
/h/

ha.bis

ba.hu

/k/

nik.mat

//

sa.at

[]

ba.pak
-

Fonologi
1) Tulisan atau grafem [e] digunakan untuk
melambangkan dua buah fonem vokal, yaitu fonem
vokal /e/ dan / /.
2) Tulisan atau grafem diftong /aw/ dilambangkan
dengan gabungan grafem [au] yang dapat menduduki
podsisi awal dan akhir kata;
3) Tulisan atau grafem diftong /ay/ dilambangkan
dengan gabungan grafem [ai] hanya menduduki
posisi akhir.
4) ] Tulisan atau grafem diftong /oy/ dilambangkan
dengan gabungan grafem [oi] hanya menduduki
posisi akhir.
5) Tulisan atau grafem diftong /ey/ dilambangkan
dengan gabungan grafem ei hanya menduduki
posisi akhir.
6) Tulisan atau grafem [p] selain digunakan untuk
melambangkan fonem /p/
juga dipakai untuk
melambangkan fonem /b/ sebagai koda dari sebuah
silabel.
7) Tulisan atau grafem [t] selain digunakan untuk
melambangkan fonem /t/
juga dipakai untuk
melambangkan fonem /d/ sebagai koda dari sebuah
silabel.
189

Fonologi
8) Tulisan atau grafem [f] selain digunakan untuk
melambangkan fonem /f/
juga dipakai untuk
melambangkan fonem /v/ sebagai koda dari sebuah
silabel.
9) Tulisan atau grafem [k] selain digunakan untuk
melambangkan fonem /k/
juga dipakai untuk
melambangkan fonem /g/ sebagai koda dari sebuah
silabel.
10) Gabungan huruf atau grafem masih digunakan, yaitu:
[ng] untuk melambangkan fonem //
[ny] untuk melambangkan fonem //
4.2.3 Lambang Unsur Suprsegmental
(Chaer,2013:111)
Unsur suprsegmental yang berupa tekanan, nada,
durasi, jeda karena tidak bersifat fonetonasi mis tidak
diberi lambang apa-apa; tetapi unsur intonasi yang dapat
mengubah makna kalimat diberi kalimat diberi lambang
berupa tanda baca, yaitu:
1) Untuk kalimat deklaratif diberi tanda baca tanda titik
(.).
2) Untuk kalimat interogatif diberi tanda baca tanda
tanya (?).
190

Fonologi
3) Untuk kalimat imperatif diberi tanda baca tanda seru
(!).
4) Untuk menandai bagian-bagian kalimat digunakan
tanda baca tanda koma (,) dan tanda baca tanda titik
koma (;)

191

Fonologi

BAB V
FONOLOGI GENERATIF
5.1 Pelopor (Pencetus) Teori Fonologi Generatif

192

Fonologi
Sejarah perkembangan Teori Fonologi Generatif
sebenarnya bermula dari pemikiran radikal Chomsky
pada tahun 1950-an. Dalam buku Chomsky yang
berjudul Syntactic Structures (1997a dalam Suparwo,
2009:3), tercetus pemikiran baru dalam linguistik
(terutama sintaksis) yang kemudian dikenal sebagai
inovasi teori sebelumnya, yaitu Teori Struktural. Teori
baru tersebut kemudian terkenal dengan sebutan nama
Teori Generatif Transformasi. Dalam buku kedua yang
berjudul Fundamentals of Language (1957b dalam
Suparwo, 2009:3) yang berisi ulasan buku Jakobson dan
Halle, Noam Chomsky mengemukakan pandangannya
dalam bidang fonologi yang sekarang dikenal sebagai
Teori Fonologi Generatif Transformasi atau Fonologi
Generatif.
Dalam teori baru itu, yaitu Teori Fonologi
Generatif Transformasi atau Fonologi Generatif.
Chomsky menggambarkan pendekatan fonologi sebagai
sistem dalaman (underlying system) yang abstrak
dihubungkan dengan ucapan yang sebenarnya dengan
memakai rumus-rumus. Akan tetapi, penguraian
Fonologi Generatif yang lebih terperinci kemudian
diberikan oleh Halle dua tahun kemudian dalam bukunya
yang berjudul The Sound Pattern of Russian (1959 dalam
Suparwo, 2009:3-4). Sejak itu, kemudian terbit beberapa
karya baru yang makin mengukuhkan Teori Fonologi
Generatif seperti The Logical Basis of Linguistic theory
(Chomsky, 1964b dalam Suparwo, 2009:4), dan Asspects
193

Fonologi
of the theory of Syntax (Chomsky, 1965 dalam Suparwo,
2009:4).
Pada tahun 1968 Chomsky bekerja sama dengan
Halle menerbitkan karya besar dalam bidang Fonologi
yang berjudul The Sound Pattern of English. Buku ini
kemudian menjadi buku rujukan utama dalam teori
Fonologi Generatif. Sejak saat itu Teori Fonologi
Generatif telah mendapat pengakuan di seluruh dunia.
Walaupun begitu, teori baru tersebut tidak lepas dari
kritikan-kritikan linguis lain di samping banyak juga
yang
mengikuti
teori
ini
dengan
berbagai
penyempurnaan; terutama hal yang di perdebatkan
(Suparwo, 2009:3-4) adalah:
(1) Penentuan bentuk dasar
(2) Urutan kaidah fonologis.
Untuk teori itu, teori Fonologi Generatif era
tahun 70-an ini kemudian disebut teori standar.
Teori Fonologi Generatif yang digagas oleh
Noam Chomsky dan Morris Halle yang terkenal dengan
buku yang berjudul The Sound Pattern of English
tahun 1968; hanya diterapkan dalam Bahasa Inggris.
5.2 Penerapan Teori Fonologi Generatif dalam Modul
ini
Teori Fonologi Generatif yang diterapkan dalam
modul ini adalah Teori Fonologi Generatif yang
disempurnakan oleh Sanford A. Schane (1973) atau
194

Fonologi
disebut juga Teori Fonologi Generatif Standar yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh
Kentjanawati G. (1992 dalam Suparwo, 2009:3-4) dari
buku aslinya Generative Phonolog y.
Di Indonesia teori Teori Fonologi Generatif yang
banyak diterapkan adalah Teori Fonologi Generatif dari
Sanford A. Schane (1973) atau disebut juga Teori
Fonologi Generatif Standar yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia oleh Kentjanawati G. (1992
dalam Suparwo, 2009:3-4) dari buku aslinya Generative
Phonology.
5.2 Penerapan Teori Fonologi Generatif dalam Modul
ini
2) Teori Fonologi Generatif yang dipelopori oleh Sanford
A. Schane tahun 1973 yang diterjemahkan ke dalam
Bahasa Indonesia tahun 1992. Teori Fonologi
Generatif yang dipelopori oleh Sanford A. Schane ini
mengacu pada pelbagai bahasa sehingga lebih
meyakinkan orang bahwa teori Schane ini cocok
diterapkan pada bahasa-bahasa di dunia (termasuk
bahasa-bahasa Nustaraan).
Diakui banyak pihak bahwa Teori Fonologi
Generatif yang dipelopori oleh Schane ini masih
berupa kerangka teoretis. Teori Fonologi Generatif
yang digagas oleh Schane ini dilengkapi dengan
berbagai studi operasional bidang-bidang
khusus
(Suparwo,2009:1-2), seperti:
195

Fonologi
(1) Bidang proses dan kaidah perubahan bunyi
dilengkapi dengan pandangan Kenstowicz (1994)
dalam Phonology in in Grammar.
(2) Bidang pelbagai macam bentuk artkulasi bunyi
banyak dibantu oleh Peter Ladefoged dengan
bukuny yang berjudul A Course in Phonetics
tahun 1982.
(3) Dalam analisis suku kata (silabel) banyak diikuti
pandangan Edmund Gusman dengan bukunya
yang berjudul Phonology: Analysis and Teory
tahun 2002.
(4) Dalam hal deskripsi fitur-fitur atau ciri-ciri
pembeda bunyi dibantu dengan gagasan
Mangantar Simanjuntak yang terkenal dengan
bukunya yang berjudul Teori Fitur Distingtif
dalam Fonologi Generatif : Perkembangan dan
Penerapannya tahun 1990.
Adapun pandangan mendasar yang diikuti dalam
Fonologi Generatif ialah:
(1) Dalam bahasa lisan, bunyi menyampaikan makna,
dan makna diwujudkan melalui bunyi bahasa
(Schane, 1992:1)
(2) Fonologi saling berhubungan dengan sintaksis dan
semantik.
(3) Teori Fonologi Generatif tidak berkembang secara
terpisah dari bidang bahasa yang
lain, tetapi
merupakan bagian dari teori komprehensif bahasa
yang
196

Fonologi
disebut
grammatika
tranformasional
atau
Tranformasional Grammar. Gagasan tentang
grammatika tranformasional atau Tranformasional
Grammar itu terlihat jelas dinyatakan, antara lain
oleh:
(a) Bickford et.al. (1991) dalam buku yang berjudul
A Course in Basic Grammatical Analysis.
(b) Radford dalam bukunya Aspects of the Teory of
Sintax (1965)
Secara khusus, hubungan fonologi dan sintaksis
dibicarakan oleh Sharon Inkelas dan Draga Zeg (edit.)
(19 99) dalam bukunya yang berjudul The Phonology
Syntax Connection.
Dewasa ini sudah banyak ahli fonologi yang
tidak hanya menganalisis fonologi leksikal saja, tetapi
juga menganalisis fonologi posleksikal (masalah fonologi
di atas tataran kata , frasa dan klausa).
5.1 Fitur atau Ciri Pembeda
Kajian penting dalam teori fonologi generatif
ialah fitur. Fitur (feature) adalah ciri atau milik atau sifat
yang khusus (Simanjuntak, 1990:11).
Contoh:
1) Setiap mobil mempunyai ciri-ciri yang menjadi milik
mobil itu, sehingga kita dapat membedakannya
daripada kapal terbang atau kereta api.

197

Fonologi
2) Mobil-mobil pun dapat juga kita jenis-jeniskan
menurut ciri-ciri atau fitur-fitur tertentu; seperti: a)
Merek Fiat, b) Merek Toyota, c) Merek Honda.
3) Mobil-mobil bermerek Honda pun mempunyai ciriciri khusus atau fitur-fitur khusus, sehingga kita dapat
membedakan Honda Accord daripada Honda Civic
atau Fiat 124 daripada Fiat 125 atau Toyota Corolla
daripada Toyota Corona.
Dalam konteks linguistik, fitur atau ciri pembeda
pada hakikatnya adalah unsur-unsur terkecil yang
menjadi milik atau sifat khusus dari fonetik, leksikal, dan
suatu transkripsi fonologis yang dibentuk oleh kombinasi
dan rangkaian (bdk. Simanjuntak, 1990:13-14).
Fitur distingtif (distinctive) oleh Chomsky dan
Halle disebut juga ciri pembeda yang terdapat pada
segmen yang berfungsi untuk membedakan satuan-satuan
bahasa. Fitur yang distingtif dapat menggambarkan
bunyi yang digunakan dalam tutur. Sebuah fitur
dikatakan distingtif apabila fitur itu dapat memberikan
spesifikasi pada segmen (Schane, 1992b:26).
Dalam Bahasa Indonesia, misalnya, kita dapat
mengenal bunyi-bunyi dalam Bahasa Indonesia
berdasarkan fitur-fitur distingtif. Analisis fonologi
generatif menerapkan sistem biner (binary), yakni tanda
plus (+) dan tanda minus (-) untuk menunjukkan sifatsifat yang berlawanan, artinya sifat itu ada atau tidak.
Tanda plus (+) berarti mamiliki ciri sedangkan tanda
198

Fonologi
minus (-) berarti tidak memiliki ciri. misalnya silabis x
nonsilabis, konsonantal x nonkonsonantal, sonoran x
nonsonoran, dan sebagainya. Hanya satu ciri tunggal
digunakan untuk untuk dua nama yang terpisah, seperti
seperti tegang dan kendur. Jadi, bunyi tegang ditetapkan
sebagai [+ teg], dan bunyi kendur ditetapkan sebagai [teg].
Kegunaan sistem biner adalah untuk
diperlihatkan dengan tegas dan eksplisit bagaimana
anggota-anggota suatu pasangan, seperti bersuara-tak
bersuara, atau nasal dan oral berhubungan satu sama
lainnya, sedangkan anggota yang lain tidak berhubungan.
5.2 Ciri Biner atau Ciri Pembeda
Ciri biner atau ciri pembeda adalah unsur-unsur
terkecil dari fonetik, leksikal, dan suatu transkripsi
fonologis yang dibentuk oleh kombinasi dan rangkaian
(Pastika, 1990:17).
Untuk ciri-ciri yang menunjukkan sifat-sifat
yang berlawanan , kita dapat menggunakan dua nama
terpisah , seperti bersuara da tak bersuara, tetapi hanya
satu ciri saja,[besuara]; kemudian bunyi bersuara dapat
dirinci sebagai [+bersuara], dan yang tak bersuara
sebagai [- bersuara]. Notasi biner itu ideal untuk semua
ciri yang menyatakan kualitasyng bertolak belakang.
Keuntungan dari sistem biner ialah bahwa orang dapat
memperlihatkan suatu pasangan secara eksplisit
bagaimana anggota suatu pasangan seperti bersuara tak
199

Fonologi
bersuara atau nasal oral, berhubungan satu sama lain
dengan cara yang tidak terdapat pasangan lain seperti
bersuara- oral atau tak bersuara-nasal. Setiap pasangan
wajar, seperti bersuara tak bersuara, digambarkan oleh
suatu ciri , dalam hal ini [bersuara]; dan kedua anggota
perangkat itudibedakan oleh nilai [+ atau -].
Kesederhanaan sistem biner memungkinkan kita
bertanya apakah semua ciri, termasuk ciri yang pada
mulanya tampak tidak biner, misalnya ciri-ciri ketinggian
untuk vokal atau ciri-ciri daerah artikulasi untuk
konsonan, bisa ditafsirkan dengan ciri biner sistem
biner?. Pertanyaan ini pertama-tama dijawab dengan
ya oleh Jacobson. Dalam menyajikan perangkat ciri
pembeda yang disusunnya sendiri, ia membuat
pernyataan yang lantang bahwa skala dikotomi
dilapiskan oleh bahasa pada bunyi. Choomsky dan
Halle juga berpendapat bahwa ciri-ciri bersifat biner
hanya pada tataran penggolongan atau fonemis
sistematis; sedangkan pada tataran fonetis sistematis,
ciri-ciri itu tidak harus biner(Schane, 1992:27-28).
5.2.1 Ciri Kelas Utama
Silabis, Sonoran, Konsonantal
Persamaan dan perbedaan antara vokal dan
konsonan dapat dilihat dari sifat yang berkaitan dengan
silabisistas, sonoritas, dan jenis penyempitan, Ketiga ciri
tersebut, [silabisistas], [sonoritas], dan [konsonantal]

200

Fonologi
mencakup sifat-sifat ini. Pada umumnya, vokal adalah
[+silabis], sedangkan konsonan [-silabis].
Ciri silabisitas menggambarkan peran yang
dimainkan oleh satu segmen dalam struktur silabelnya.
Pada umumnya, vokal adalah [+ silabis] sedangkan
konsonan [- silabis]. Ciri ini juga diperlukan untuk
membedakan bunyi nasal dan bunyi likuid silabis ([+
silabis]) dengan pasangannya yang nonsolabis.
Ciri [sonoran] merujuk ke kualitas resonan suatu
bunyi. Vokal selalu [+sonoran], seperti halnya bunyi
nasal, likuid, dan semi vokal. Bunyi obstruen konsonan
hambat, frikatif, afrikat, dan luncuran laringal tentu
saja [- sonoran].
Ciri [+ konsonantal] merujuk ke hambatan yang
menyempit ke dalam rongga mulut baik hambatan total
maupun geseran. Bunyi hambat frikatif, afrikat, nasal,
dan likuid adalah [+ konsonatal] ; sedangkan vokal dan
semi vokal tanpa tingkat penyempitan ini, adalah [konsonantal]. Bunyi luncuran laringal juga digolongkan
sebagai [-konsonantal], karena bunyi ini tidak memiliki
penyempitan dalam rongga mulut (Schane, 1992:28).

Silabis
Sonoral
201

Obstruen
rongga
mulut
-

Nasal,
Likuid
+

Likuid,
nasal
silabis
+
+

Luncuran
laringal
-

Semi
vokal
+

Fonologi
Konsonantal
+
+
+
Keterangan: Obstruen adalah bunyi hentian bersuara
atau bunyi bukan resonan, seperti, b,d,g.
Seperangkat ciri membuat pernyataan yang
eksplisit tentang hubungan pelbagai jenis segmen.
Semakin banyak nilai ciri yang sama-sama dimiliki oleh
kelas-kelas yang berbeda, semakin banyak pula
kesamaan kelas-kelas itu. Jadi, kelas-kelas dengan satu
nilai ciri saja yang berbeda mempunyai hubungan yang
lebih erat dibandingkan kelas-kelas dengan dua atau tiga
nilai ciri yang berebeda. Perhatikan bagaimana ciri
[silabis], [sonoran], dan [konsonantal] menghubungkan
pelbagai kelas utama.
1. Bunyi obstruen dan vokal bertolak belakang karena
nilai dari masing-masing ciri bunyi itu berlawanan.
2. Bunyi luncurn laringal serupa dengan semivokal;
perbedaannya hanya dalam nilai untuk [sonoran].
Oleh karena itu, keduanya membentuk kelas luncuran.
3. Di antara bunyi luncuran, semivokal mempunyai
hubungan yang lebih erat dengan vokal dibandingkan
luncuran laringal dengan vokal. Semivokal dan vokal
hanya berbeda dalam nilai untuk [silabis], sedangkan
bunyi luncuran laringal (dan juga konsonan nasal dan
likuid) berbeda dari vokal dalam dua ciri. Jadi,
semivokal merupakan konsonan yang paling
menyerupai vokal.

202

Fonologi
4. Di antara bunyi luncuran, luncuran laringal lebih erat
hubungannya dengan bunyi obstruen. Bunyi luncuran
laringalberbeda dengan bunyi obstruen dalam nilai
untuk [konsonantal], sedangkan semivokal dan
obstruen mempunyai dua nilai ciri yang berbeda.
Hubungan yang erat antara bunyi luncuran laringal
dan obstruen sesuai dengan pengamatan bahwa ? dan
h sering berfungsi sebagai obstruen murni.
5. Dibandingkan dengan bunyi nasal dan likuid silabis,
konsonan nasal dan likuid lebih serupa dengan bunyi
obstruen. Konsonan nasal dan likuid berlawanan
dengan obstruen dalam nilai untuk [sosnoran],
sedangkan bunyi nasal dan likuid silabis berlawanan
dengan obstruen dalam dua nilai ciri.
6. Dibandingkan dengan konsonan nasal dan likuid,
bunyi nasal dan likuid silabis lebih serupa dengan
vokal. Bunyi nasal dan likuid silabis berlawanan
dengan vokal dalam nilai untuk [konsonantal],
sedangkan konsonan nasal dan likuid berlawanan
dengan vokal dalam dua nilai ciri.
7. Semivokal berhubungan dengan vokal dengan cara
yang sama seperti konsonan nasal dan likuid
berhubungan dengan bunyi nasal dan likuid silabis.
Perbedaannya terletak pada nilai ciri [silabis].

5.2.2 Ciri Cara Artikulasi


203

Fonologi
Kontinuan, Penglepasan Tertunda, Striden, Nasal,
Lateral (Schane, 1992:30-31).
Ciri [sonoran] dan [konsonantal] membedakan
antara bunyi obstruen dan bunyi sonoran, antara bunyi
luncuran dan konsonan-konsonan lain. Di antara bunyibunyi obstruen, kita masih masih perlu membedakan
konsonan hambat, frikatif, dan afrikat. Untuk konsonan
sonoran yang bukan semi vokal, kita harus membedakan
antara bunyi nasal dan bunyi likuid; untuk bunyi likuid,
kita membedakan antara bunyi lateral dan bunyi
nonlateral.
Di antara bunyi-bunyi obstruen ialah konsonan
frikatif, yaitu bunyi dengan geseran yang terus menerus
([+ kontinuan]), dan konsonan hambat dan afrikat, yaitu
bunyi yang dimulai dengan hambatan total ([kontinuan]). Ciri ini juga membedakan afrikatif [kontinuan] dari h [+kontinuan]. Walaupun konsonan
hambat afrikat dimulai dengan hambatan total,cara
melepaskan hambatannya berbeda. Konsonan afrikat
mempunyai penglepasan yang tertunda [+penglepasan
tertunda]. Konsonan kontinuan perlu dibedakan lebih
lanjut. Khususnya, kita harus membedakan antara
konsosnan bilabial dan konsonan labiodental f,
konsonan dental dan konsonan alveolar s, konsonan
palatal dan konsonan palatoalveolar , serta konsonan
velar x dan konsonan uvular X.
t
t
ts

Sonoran
204

Fonologi
Konsonantal
+
+
+
+
Kontinuan
+
Penglepasan tertunda
+
+
Striden
+
Ciri [nasal] dan [lateral] membedakan pelbagai
konsonan sonoran. Konsonan nasal dipertentangkan
dengan konsonan likuid seperti [+nasal] dengan [-nasal].
(Ciri ini juga membedakan vokal nasal [+nasal] dengan
vokal oral [-nasal]. Di antara bunyi-bunyi likuid,
konsonan lateral dipertentangkan dengan konsonan
nonlateral sebagai [+lateral] dengan [-lateral]). Ciri
[konsonantal], [nasal], dan [lateral] menetapkan pelbagai
jenis konsonan sonoran.
y
n
l
Sonoran
+
+
+
Konsonantal
+
+
Nasal
+
Lateral
+
Maksud pemakaian ciri [kontinuan], [nasal] dan
[lateral] cukup jelas. Yang kurang jelas adalah
[penglepasan tertunda] dan [striden]. Spesifikasi [kontinuan dengan serasi membentuk kelas wajar untuk
konsonan hambat dan afrikat, yang berlawanan dengan
konsonan frikatif. Dalam bahasa Inggris misalnya, bunyi
beraspirasi dalam lingkungan yang sama dengan bunyi
p,t,k. Akan tetapi karena penglepasan konsonan afrikat
menyerupai konsonan frikatif, ada alasan yang bagus
untuk memasukkan konsonan afrikat dan frikatif dalam
kelas wajar. Sistem ciri ini tidak memungkinkan
205

+
+
+

r
+
+
-

Fonologi
demikian, kecuali jika segmen-segmen ini dirinci sebagai
[+striden]. Cara ini tidak dapat diterapkan pada setiap
bahasa yang mempunyai konsosnan frikatif striden dan
nonstriden serta konsonan afrikat striden dan nonstriden.
5.2.3 Ciri-ciri Daerah Artikulasi
Anterior, Koronal.
Chomsky dan Halle menggolongkan empat
daerah utama untuk artikulasi konsonan-labium, dentum,
palato-alveolum, dan velum berdasarkan apakah
penyempitan itu berada di daerah terdepan rongga mulut
(konsonan anterior) atau lebih ditarik ke belakang
(konsonan nonanterior), dan apakah artikulator itu berupa
daun lidah (konsonan koronal) atau arti kata lain
(konsonan nonkoronal).

Anterior
Koronal

p
+
-

t
+
+

Konsonan dental dan velar saling bertolak


belakang, seperti halnya konsonan labial dan
palatoalveolar. Semua pasangan lain mempunyai satu
spesifikasi yang sama. Walaupun konsonan labial dan
palatoalveolar nampaknya tidak membentuk kelas wajar,
kita tidak begitu yakin apakah konsonan dental dan velar
harus juga demikian. Misalnya, bukan tidak lazim kedua
jenis konsonan ini dipalatalisasi sebelum vokal depan206

k
-

Fonologi
perhatikan regent, regency; electric, electricity.
Hubungan antara konsonan labial dan konsonan lain
juga tidak jelas. Konsonan labial dan dental (konsonan
[+anterior] dalam sistem ini) tidak berfungsi secara
khusus sebagai kelas wajar. Lagipula secara fonetis ciri
[anterior] tidak cukup beralasan. Bagian depan rongga
mulut merupakan penandaan yang agak kabur dan
arbitrer. Sebaliknya ada petunjuk untuk menjadikan
konsonan labial dan velar (konsonan [-koronal] satu
kelompok. Misalnya dalam gugus konsonan, bunyi
laktem; bahasa Rumania, lapte susu. Kelemahan lain
ialah dalam penggambaran konsonan labial. Dalam
sistem ini kita tidak mungkin dapat memperlihatkan
hubungan antara konsonan labial, konsonan yang
dilabialisasi, serta vokal bundar dan semi vokal.
5.2.4 Ciri Batang Lidah
Tinggi, Rendah, Belakang dan Ciri Bentuk Bibir:
Bulat
Dalam klasifikasi vokal, kita menggunakan
parameter tinggi, sedang, rendah, depan belang, bundar,
dan tak bundar. Parameter yang berhubungan dengan
posisi belakang dan pembundaran tentu saja biner.

Belakang
Bundar
207

i
-

u
+
+

+
-

Fonologi
Oleh karena paling banyak hanya dua tingkat
(nilai+ dan nilai -) yang dapat dibedakan untuk sebuah
ciri, untuk membedakan tiga tingkat seperti tinggi,
sedang dan rendah; kita perlu memadukan dua ciri yaitu
dengan merinci nilai kedua nilai itu. Jika kita
menggambil kedua tingkat ketinggian vokal yang sangat
berbeda tinggi dan rendah, dan menyusunnya sebagai ciri
bebas, kita dapat menafsirkan ketiga parameter yang asli
itu dalam kerangka biner.

Tinggi
Rendah

Vokal Tinggi
+
-

Vokal Sedang
-

Vokal Rendah
+

Dalam sistem biner yang menggunakan dua ciri, orang


harus mampu membedakan paling banyak empat
kesatuan. Akan tetapi, kemungkinan keempat, vokal yang
[+tinggi] dan [+rendah], tidak dimasukkan. Artikulasi
yang mendasari konfigurasi ini tidak mungkin, karena
lidah tidak dapat dinaikkan dan diturunkan sekaligus.
Artinya, sebuah segmen dapat berupa segmen tidak
tinggi atau tidak rendah (yaitu sedang), tetapi tidak ada
segmen yang dapat berupa segmen tinggi dan sekaligus
rendah.
Jika ada bahasa dengan empat ketinggian vokal
sistem ciri ini tidak dapat menampungnya. Ladefoged
menyatakan bahwa ketiggian vokal dapat berupa ciri
ysng terbagi tiga (atau empat (?), dan bahwa penetapan
208

Fonologi
[tinggi] dan [rendah] sebagai ciri terpisah menjadi siasat
untuk memaksakan ciri bernilai banyak masuk dalam
sistem biner.
Semi vokal menyerupai vokal tinggi, kecuali
untuk silabisitas. Akibatnya ciri [tinggi], [belakang], dan
[bundar] juga akan membedakan pelbagai semi vokal.\
i
y

u
Silabis
+
+
+
Konsonantal
+
+
+
Tinggi
+
+
+
+
+
Belakang
+
Bundar
+
+
+

w
+
+
+
+

Batang lidah dan bibir dilibatkan dalam


modifikasi konsonan sekunder, yaitu palatalisasi dan
labialisasi; penempatan corak serupa y atau w pada
artikulasi primer. Ciri [tinggi], [belakang], dan [bundar]
menggambarkan lebih lanjut modifikasi sekunder ini.

Anterior
Koronal
Tinggi
Belakang
Bundar

p
+
-

py
+
+
-

pw
+
+
+
+

t
+
+
-

ty
+
+
+
-

tw
+
+
+
+
-

Terakhir batang lidah merupakan artikulator


untuk konsonan [-anterior, - koronal] yaitu konsonan
palatal, velar dan uvular. Untuk konsonan palatal batang
209

k
+
+
-

ky
+
-

Fonologi
lidah dinaikkan ([+tinggi]) ke daerah palatal ([belakang]); untuk konsonan velar batang lidah dinaikkan
([+tinggi]) ke daerah velar ([+belakang]); sedangkan
untuk konsonan uvular, batang lidah tidak dinaikkan ([tinggi]), tetapi masih ditarik masuk ([+belakang]).

Anterior
Koronal
Tinggi
Belakang

Palatal

Velar

Uvular

+
-

+
+

Chomsky dan Halle memperhatikan bahwa


apabila konsonan labial dan dental dipalatalisasi,
konsonan itu mempertahankan daerah artikulasi aslinya
dan memperoleh palatalisasi sekunder. Sebaliknya,
apabila konsonan velar dipalatalisasi, konsonan itu
mengalami pergeseran daerah artikulasi dan menjadi
konsonan palatal Perubahan ini tercakup rapih dalam
sistem ciri ini. Perhatikan, spesifikasi yang diberikan di
atas untuk bunyi ky sama dengan spesifikasi yang
diberikan untuk konsonan palatal.

5.2.5 Ciri Tambahan


Tegang, Bersuara, Aspirasi, Glotalisasi

210

Fonologi
[+tegang]
= tegang
= kendur
[+bersuara]
= bersuara
= tak bersuara
[+aspirasi]
= beraspirasi
= tak beraspirasi
[+glotalisasi] = diglotalisasi
= tak diglotalisasi

[-tegang]
[-bersuara]
[-aspirasi]
[-glotalisasi]

Ciri [tegang] terdapat pada vokal dan konsonan.


Ciri ini dapat juga digunakan untuk konsonan likuid
nonlateral, untuk membedakan antara konsonan getar r
([+tegang]) dan flap r ([-tegang]). Ciri [bersuara]
terdapat pada semua jenis segmen, walaupun bunyi
xsonoran lebih jarang memiliki perbedaan penyuaraan.
Ciri [aspirasi] dan [glotalisasi], dengan istilah yang
berbeda dalam Sound Pattern of English, digunakan
secara unik untuk konsonan, dan sering hanya untuk
konsonan obstruen. Ada baiknya jika kedua ciri ini
berturut-turut dihubungkan secara eksplisit dengan h dan
aftar. Chomsky dan Halle membuat daftar beberapa ciri
lain yang tidak akan kita bahas di sini, dan mereka juga
mengajukan ciri-ciri untuk mengatasi bunyi-bunyi aneh
seperti bunyi klik bahasa Afrika.
5.2.6 Ciri Prosodi
Untuk ciri-ciri prosodi, kita perlu mengenal
[tekanan] dan [panjang]. Vokal bertekanan diberi tanda
211

Fonologi
[+tekanan], dan segmen panjang tentu saja diberi tanda
[+panjang]. Oleh karena kita tidak akan membahas
bahasa nada, kita tidak akan merumuskan ciri nada
manapun. Beberapa di antaranya telah diusulkan oleh
Wang dan oleh Fromkin.

5.2 Perkembangan Lebih Lanjut Teori Fonologi


Generatif
Perkembangan lebih lanjut dari Teori Fonologi
Generatif ditandai Suparwo, 2009:4) dengan:
1) Pada tahun 1968 muncullah teori baru yang disebut
Fonologi Autosegmen. Dalam teori dibicarakan
secara khusus tentang fenomena yang lebih besar dari
pada segmen. Dalam teori ini beberapa ciri dianggap
mempunyai otonomi relatif dari ton segmental. Ada
banyak prinsip yang menggalakkan pembentukan
autosegmen bagi ton. Ide dasar adalah fitur-fitur ton
boleh dibentuk pada tahap atau peringkat yang
terlepas dari elemen-elemen lain. Teori ini pun juga
banyak menemui masalah seperti dalam hal analisis
ton kontur. Bersamaan dengan berkembangnya Teori
Fonologi Autosegmen muncul pula teori lain sebagai
perkembangan lebih lanjut dari Teori Fonologi
Generatif, yaitu munculnya Teori Fonologi Matriks
yang berusaha menjelaskan pola tekanan dalam kata
212

Fonologi
kompleks, frasa, dan kalimat; fonologi leksikal yang
berusaha menjelaskan pola-pola fonologis dalam
kata-kata kompleks.
2) Pada tahun 1990-an muncul lagi teori baru yang
dikenal dengan nama
Teori Optimalitas
(Optimalitas Theory). Teori ini diperkenalkan oleh
Alan Prince dan Paul Smolensky melalui buku yang
berjudul Optimality Theory: Constraint Interaction
in Generative Grammar (1993 dalam Suparwo,
2009:5). Seperti dikemukakan oleh Roca dan Johnson
(1999:xv) bahwa Teori Optimalitas adalah Teori
Fonologi Generatif. Hanya perbedaannya bahwa teori
sebelumnya memakai kaidah untuk penjelasan,
sedangkan Teori Optimalitas menggunakan pembatas
(constraints). Secara mendasar huungkan antara
bentuk dasar dengan derivasinya dihubungkan oleh
operasi-operasi atau proses-proses. Proses-proses
tersebut mengubah bentuk dasar (input) menjadi
bentuk derivasinya (output). Teori Optimalitas
memakai dua macam operasi, yaitu: (1) GEN
(Generator) dan (2) EVAL (Evaluator). Keduanya
selalu
mengingat
CON
(Constraint
atau
pembatas).Perbedaan yang menonjol antara Fonologi
Generatif dengan Teori Optimalitas trletak pada
uraian/analisisnya; dalam hal ini Teori Generatif
menggunakan kaidah, sedangkan Teori Optimalitas
menggunakan
kendala
(constraints).
Teori
Optimalitas ini pun tidak khusus membahas bidang
213

Fonologi
fonologi, tetapi juga bidang morfologi dan sintaksis.
Selain itu juga, teori ini belum banyak diujicabakan
pada dalam menganalisi berbagai bahasa sehingga
belumdiketahui
kelemahan-kelemahannya
dan
keunggulan-keunggulannya.

00000000000000000000000
Dalam menetapkan sebuah kaidah, ada tiga hal
yang peerlu diperhatikan (Suparwo, 2009: 36), yaitu:
1) Segmen mana yang berubah
2) Bagaiman segmen itu berubah
3) Dalam kondisi apa segmen itu berubah
Segmen atau kelas segmen yang mengalami
perubahan dinyatakan dengan perangkat ciri yang
minimal untuk identifikasi yang unik. Perubahan
itu juga diungkapkan dalam notasi ciri. Kemudian
segmen yang berubah dan cara perubahannya di
hubungkan dengan tanda panah yang menunjuk
ke arah perubahan itu. Dalam realisasinya,
segmen yang berubah muncul di sebelah kiri
tanda panah, perubahn segmen tersebut muncul
di sebelah kanan tanda panah, dan lingkungan
perubahan di tulis sesudah garis miring. Contoh
kaidah fonologis yang berlaku dalam bahasa
Hanunoo di Filipina (Suparwo, 2009: 36).
214

Fonologi

Kaidah tersebut mengatakan bahwa dalam


bahasa Hanunoo (Filipina), sebuah konsonan /h/
disisipkan untuk memisahkan gugus vokal.
Contoh itu terlihat pada data jika sufiks i
ditambahkan pada kata dasar.
?upat empat ? upati jadikan empat
?unumenam ?unumi jadikan enam
?usasatu ?usahi jadikan satu
Tulu tiga ? tuluhi jadikan tiga
Data bahasa Hanunoo diatas memperlihatkan
bahwa perubahan bunyi /h/ terjadi pada kata dasar
yang berakir dengan vokal. Ketika kata dasar
yang berakir dengan vokal tersebut ditambah
sufiks -i (vokal), trerjadilah gugus voka antar
vonem yang tidak di ijinkan dalam bahasa
tersebut sehingga kemudia muncul bunyi
(epentesis) /h/.
00000000000000000000000

215

Fonologi

000000000000000Sudah
mama000000000000000

selesai

ketik

oleh

UJI PEMAHAMAN
1. Apa bedanya gugus fonem dengan deret
fonem.jelaskan dan beri contoh.
2. Sebuah gugus fonem vokal sebetulnya sama
dengan sebuah diftong. Coba jelaskan dan beri
contoh
3. Sebutkan beberapa deret fonem vokal yang ada
dalam bahasa indonesia. Lengkapindengan
contoh.
216

Fonologi
4. Gugus konsonan br seperti pada kata < labrak >
dan gugus konsonan pr seperti pada kata < keprok
> secara ortografis (menurut EYD) harus
dipisahkan. Coba jelaskan mengapa?
5. Sebutkan beberapa kata yang didalamnya terdapat
a. Deretan konsonan kt
b. Deretan konsonan lp
c. Deretan konsonan sr

00000000000000000000000000

217

Anda mungkin juga menyukai