Anda di halaman 1dari 14

Kelompok 2

PERSEPSI UJARAN
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah

Ilmu al-Lughah an-Nafsiy wa Ilmu al-Lughah al-Ijtima’iy 

  

Dosen Pembimbing :

Prof. Dr. Emzir, M.Pd 

Disusun Oleh:

Arizka Agustina                     : 2088104002

Novita Fitri Handayani          : 2088104011

Zazinatul Walidah                       : 2088104017

Pascasarjana Pendidikan Bahasa Arab

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

RADEN INTAN LAMPUNG

TAHUN AKADEMIK : 2020/2021


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Ujaran adalah sesuatu berupa kata, kalimat, atau gagasan yang keluar dari
mulut manusia yang memiliki arti. Sedangkan persepsi adalah sebuah proses ketika
seorang individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan yang didapat oleh
mereka guna memberikan arti bagi lingkungan mereka. Persepsi terhadap ujaran
bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan oleh manusia sebab ujaran berasal dari
aktivitas verbal yang meluncur tanpa adanya batasan waktu yang jelas antara satu kata
dengan kata lain.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah proses persepsi terhadap ujaran berlangsung?

C. Tujuan 
Suatu kegiatan tanpa tujuan itu suatu hal yang sia-sia, adapun tujuan utama dalam
penyusunan makalah ini adalah:
1. Agar dapat menganalisa proses persepsi terhadap ujaran berlangsung.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tinjauan Sejarah Penelitian Persepsi Ujaran

Persepsi ujaran ternyata bukan sesuatu yang baru, hal tersebut telah terjadi
sejak zaman dahulu dan telah diamati oleh para ahli hingga menemukan sesuatu yang
dapat diamati dan dipelajari oleh orang lain. Para ahli mengemukakan bagaimana
proses perkembangan persepsi ujaran itu terjadi melalui berbagai penelitian yang
akhirnya timbul teori sebagai berikut:

1. Teori Motor

Teori pertama perkembangan persepsi ujaran ialah teori yang dalam bahasa
Inggris disebut motor theory of speech perception yang menyatakan bahwa setiap
individu atau manusia mempersepsi bunyi yang didengar dengan memakai acuan
dalam menilainya seperti saat dia memproduksi bunyi itu. Penentuan bunyi
tersebut didasarkan pada persepsi si pendengar yang seolah olah membayangkan
bagaimana bunyi itu dibuat dan seandainya ia sendiri yang mengujarkannya.
Dengan demikian ia akan menilai bunyi tersebut dan secara psikologis ia akan
menilai dan membuat persepsi sesuai dengan pandangannya.

2. Analisis Sintesis

Teori perkembangan persepsi ujaran yang kedua adalah tiap individu atau
manusia memiliki ujaran yang berbeda-beda tergantung pada berbagai faktor yang
terjadi pada waktu tersebut seperti keadaan kesehatan, keadaan sesaat seperti
sedang dalam perasaan sedih aau senang, dan keadaan alat sekitar yang lain seperti
merokok atau tidak dan sebagainya yang dapat berpengaruh pada perasaan dan
emosi.

B. Masalah Utama Persepsi Ujaran

Masalah dalam mempersepsikan ujaran seperti contoh  dalam bahasa Inggris


orang rata-rata mengeluarkan 125-1880 kata tiap menit. Penyaji berita di televisi
mencapai 210 kata (Gleoson dan Ratner 199) jumlah ii didasarkan pada kenyataan
bahwa sebagian besar kata dalam bahasa ini bersuku dua atau lebih. maka jumlah kata
per menit yang diujarkan oleh orang pastilah lebih kecil angka atas, mungkin 80-90
kata. Masalah yang dihadapi adalah bagaimana kita menangkap dan mencerna bunyi
yang dihadapi dengan kecepatan seperti diatas.

Disamping kecepatan, bunyi bunyi dalam suatu ujaran juga tidak dapat
diucapkan secara utuh tetapi sepertinya lebur dengan bunyi yang lain. Kita sebagai
pendengar diharapkan dapat memilah-milah mana ikut yang sama. Kalimat Inggris Ed
had etidet itu bila diujarkan secara wajar akan kedengaran aneh dan lucu,
/edhaededitidit/, tetapi penutur asli tetap saja dapat mempersepsikan dengan benar.
Suara seorang wanita, seorang pria, dan seorang anak juga berbeda-beda. Getaran pita
suara untuk wanita berkisar antara 200-300 per detik, sedangkan untuk pria hanya
sekitar 100. Karena itu, suara seorang pria kedengaran lebih berat, Suara anak lebih
tinggi dari pada suara wanita karena getaran pita suaranya bisa mencapai 400 per
detik. Perbedaan-perbedaan ini tentu saja memunculkan bunyi yang berbeda-beda,
meskipun kata yang diucapkan itu sama. Kata “tidur” yang diucapkan oleh seorang
wanita, pria, dan anak tidak akan berbunyi sama. Namun, kita sebagai pendengar
dapat mempersepsikannya sebagai kata yang sama.

C. Signal Ujaran

Signal / ‫ إش ارة‬adalah tanda yang disengaja, yang dibuat oleh pemberi sinyal
agar si penerima sinyal melakukan sesuatu. Jadi sinyal ini boleh dikatakan bersifat

imperative / ‫امر قطعي‬. Misalnya letusan pistol dalam lomba lari. Letusan pistol yang
ditembakkan dengan sengaja merupakan sinyal atau isyarat bagi para pelari yang ikut
berlomba untuk melakukan tindakan lari. Contoh lain seperti dalam lampu lalu lintas.
Sedangkan ujaran adalah suara murni (tuturan), langsung, dari sosok yang berbicara.
Jadi ujaran itu adalah sesuatu baik berupa kata, kalimat, gagasan, yang keluar dari
mulut manusia yang mempunyai arti. Dengan adanya ujaran ini maka munculah
makna sintaksis, semantik, dan pragmatik. 

Bahasa merupakan salah satu perilaku dari kemampuan manusia, sama dengan
kemampuan dan perilaku untuk berfikir, bercakap-cakap, bersuara, ataupun bersiul.
Berbahasa ini merupakan kegiatan dan proses memahami menggunakan isyarat
komunikasi yang disebut bahasa. Berbahasa merupakan gabungan berurutan antara
dua proses yaitu proses proses produktif dan reseptif. Proses produktif berlangsung
pada diri pembicara yang menghasilkan kode-kode bahasa yang bermakna dan
berguna. Sedangkan proses reseptif berlangsung pada diri pendengar yang menerima
kode-kode bahasa yang bermakna dan berguna yang disampaikan oleh pembicara
melalui alat-alat artikulasi dan diterima melalui alat-alat pendengaran. Proses
produksi disebut enkode sedangkan proses penerimaan, perekaman, dan pemahaman
disebut dekode.

Proses rancangan berbahasa produktif dimulai dengan encode semantic yaitu


proses penyusunan konsep, ide, atau pengertian. Dilanjutkan dengan enkode
gramatikal yaitu penyusunan konsep atau ide tersebut dalam bentuk satuan
gramatikal. Selanjutnya diteruskan dengan enkode fonologi yaitu penyusunan unsur
bunyi dari kode tersebut. Proses enkode tersebut terdapat dalam otak pembicara
kecuali representasi fonologi. G. kempen telah mengembangkan suatu model yang
menjelaskan sistem bagian-bagian yang membentuk sistem penggunaan bahasa.

Adapun sistem-sistem tersebut memiliki hubungan yang erat antara yang satu
dengan yang lainnya. Sistem-sistem tersebut diantaranya adalah: Pertama: The
speech recognizer atau pengenalan bunyi-bunyi berfungsi mengenal bunyi-bunyi yang
diucapkan sistem manusia sebagai bahasa tertentu, langkah pertama dalam proses
mengerti pembicaraan orang adalah mengenal atau mendeteksi adanya kesatuan
fonologi yang berupa fonem-fonem dari sinyal-sinyal bicara (Acoustical Speech
Signal) yang kita tangkap. Kedua: system panser (analisis kalimat) yang berfungsi
untuk menganalisa struktur kalimat. Ia mendeteksi bagaimana hasil kerjasama antara
tiga sistem dalam central processing unit yaitu speech recognizer, system konsepsi,
dan leksikon. Ketiga: sistem konseptual (the conceptual system) merupakan inti
dalam penggunaan bahasa oleh manusia, karena proses berpikir yang mendasari
tingkah laku manusia terdapat dalam sistem konseptual tersebut. System ini dapat
dijelaskan dengan konsep jaringan (Conceptual Network) yang menyangkut dua hal
penting yaitu pengertian pengertian atau konsep-konsep dan alat-alat operasional
untuk konsep-konsep tersebut. Keempat: system generator kalimat (The Sentence
Generators), system ini berfungsi untuk mentransferkan struktur konseptual ke dalam
bahasa ucapan. Kelima: yaitu sistem articulator yang berfungsi untuk mengucapkan
kata-kata atau menyampaikan susunan yang dibentuk oleh generator kalimat.
Keenam: system leksikon yang berfungsi untuk membantu mengerti arti dari suatu
pengertian yang ingin kita ucapkan yang meliputi informasi-informasi seperti
informasi tentang fonologi, sintaksis, semantic, dan pengejaan kata.
 
 
 

D. Persepsi Segmen Fonetik

Persepsi terhadap bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat bicara dikelompokan
menjadi dua, yakni: 1) Persepsi terhadap bunyi yang berupa satuan struktural, yaitu
vokal dan konsonan. 2) Persepsi terhadap bunyi yang berupa cepat-lambat,
kelantangan, tekanan, dan nada. 

Dalam linguistik, bunyi-bunyi vokal dan konsonan yang kita dengar disebut
bunyi segmental. Bunyi bahasa yang berupa cepat-lambat, kelantangan, tekanan, dan 
nada disebut bunyi suprasegmental atau prosodi. Perhatikan tiga ujaran berikut :
a) Bukan angka, b) Buka nangka c) Bukan nangka.

Meskipun ketiga ujaran ini berbeda maknanya satu dari yang lain, dalam
pengucapannya ketiga bentuk ujaran ini bisa sama [bukanangka]. Di samping itu,
suatu bunyi juga tidak diucapkan secara persis sama tiap kali bunyi itu muncul.
Bagaimana suatu bunyi diucapkan dipengaruhi oleh lingkungan dimana bunyi itu
berada. Bunyi [b] pada kata buru, misalnya, tidak persis sama dengan bunyi  [b] pada
kata biru. Pada kata buru bunyi /b/ dipengaruhi oleh bunyi /u/ yang mengikutnya
sehingga sedikit banyak ada unsur pembundaran bibir dalam pembuatan bunyi ini.
Sebaliknya, bunyi yang sama ini akan diucapkan  dengan bibir yang melebar pada
kata biru  karena bunyi /i/ merupakan bunyi vokal depan dengan bibir melebar.
Namun demikian, manusia tetap saja dapat mempersepsi bunyi-bunyi bahasanya
dengan baik.

E. Kecenderungan Persepsi Ujaran Sebagai Suatu Segmen Tunggal

 
F. Model-Model Persepsi Ujaran

Persepsi ujaran adalah peristiwa ketika telinga menangkap sebuah bunyi yang
dapat berupa bunyi lepas, kata, atau kalimat (Su’udi, 2011:19). Kalau orang tidak
dapat mendengar bunyi dengan jelas, tentu saja orang tidak menangkap maknanya,
lebih-lebih kalau bunyi itu berupa kalimat dan orang itu belum menguasai bahasa
yang digunakan dalam kalimat tersebut. Ketidakmampuan menangkap bunyi yang
didengar bisa disebabkan oleh berbagai sebab, yaitu yang disebabkan oleh
ketidaksempurnaan organ dengar dan kedua yang berasal dari materi yang didengar.

Masalah utama dalam menentukan model persepsi ujaran adalah menentukan


model persepsi yang tepat dari sebuah proses persepsi ujaran. Hal tersebut dapat
terjadi melalui dua cara, yaitu : top-down dan bottom –up process (field). beberapa
model persepsi ujaran diantaranya:
a.   Motor theoty of speech perseption (model teori motor)
Teori ini menyatakan  bahwa pendengar mampu merasakan gerakan
fonetik, dalam model ini  adalah representasi dari penyempitan saluran vokal
pembicara sambil menghasilkan bunyi ujaran.
Dalam Model Teori Motor ini menurut Goldstone (1994) akan ditemukan
proses categorical perception (persepsi kategoris). Persepsi kategoris adalah
konsep bahwa fonem ujaran dapat dibagi secara kategoris setelah mereka fonem-
fonem tersebut diproduksi. Ujaran terdiri dari tempat artikulasi dan waktu onset
suara. Beberapa gerakan vokal hanya dapat terjadi dari satu jenis artikulasi.
Gerakan lainnya memiliki berbagai coarticulation. Ini berarti bahwa suara yang
sama dapat diproduksi di satu tempat di saluran vokal, atau dapat dihasilkan dari
beberapa tempat yang berbeda di saluran vokal.
Adapun kemampuan untuk menentukan di mana suara tertentu diproduksi
akan membantu dalam menentukan suara (jenis fonem) setelah diproduksi.
Gerakan vokal yang berbeda menghasilkan onset suara pada waktu yang berbeda,
tergantung pada apa suara yang dihasilkan . Sebagai contoh, /b/ memiliki onset
suara yang berbeda dari /p/ namun keduanya diproduksi di tempat yang sama di
saluran vokal. Membuat perbedaan antara artikulasi dan onset suara
memungkinkan gerakan pengelompokan (pembuatan kategori) yang ditentukan
berdasarkan cara suara-suara tersebut diproduksi.
b.      Analysis-by-synthesis model ( model analisis dengan analisis )
Dardjowidjojo (2005:53) menyebutnya dengan Model Analisis
dengan Sintesis. Model ini menyatakan bahwa pendengar mempunyai
sistem produksi yang dapat mensintesiskan bunyi sesuai dengan mekanisme
yang ada padanya). Sebagai contoh bila penutur bahasa Indonesia
mendengar deretan bunyi /pola/ maka mula-mula di analisislah ujaran itu
dari segi fitur distingtifnya, kemudian disintesiskanlah ujaran itu untuk
memunculkan bentuk-bentuk yang mirip dengan bentuk itu (/mula/,
/pula/, /kola/, /pola/) sampai akhirnya ditemukan deretan yang persis sama,
yakni /pola/. Baru pada saat inilah deretan tadi dipersepsikan dengan benar.
c.       Cohort Model
Model ini diusulkan pada tahun 1980-an oleh Marslen-Wilson,
Model Cohort adalah representasi untuk pengambilan leksikal. Aitchison
(1987) menyatakan bahwa leksikon individu adalah kamus mental
seseorang. Menurut sebuah studi, rata-rata individu memiliki leksikon
sekitar 45.000 sampai 60.000 kata Premis dari Model Cohort adalah bahwa
pendengar memetakan kata-kata baru dengan kosakata yang sudah ada
dalam kamus mentalnya. Setiap bagian dari tuturan dapat dipecah menjadi
beberapa segmen. Semakin banyak segmen yang didengar, ia bisa
menghilangkan kata-kata dari kamus mereka yang tidak berpola sama.
Marslen-Wilson dan Welsh (1978) dalam Gleason dan Ratner (1998) secara
umum menjelaskan Model Cohort dalam sebuah tahap dimana informasi
mengenai fonetik dan akustik bunyi-bunyi pada kata yang kita dengar
memicu ingatan kita untuk memunculkan kata-kata lain yang mirip dengan
kata tadi.
Bila kita mendengar kata /prihatin/ maka semua kata yang mulai
dengan /p/ akan teraktifkan: pahala, pujaan, priyayi, prakata, dsb. Kata-kata
yang dimunculkan itulah yang disebut cohort. Kemudian kata-kata yang
tidak mirip dengan target (pahala,pujaan) akan tersingkirkan. Lalu kata
/priyayi/ dan /prakata/ akan ikut disingkirkan aren fonem selanjutnya adalah
/h/ dan persis cocok dengan yang diterima.
d.      Exemplar Theory
Menurut Goldinger (1996), premis utama Examplar Theory
(Teori Contoh-Contoh Leksikon) sangat mirip dengan Model Cohort.
Examplar Theory didasarkan pada hubungan antara memori dan
pengalaman sebelumnya dengan kata-kata.
Teori ini bertujuan untuk menjelaskan cara pada saat pendengar
bisa mengingat episode akustik. Sebuah episode akustik adalah sebuah
pengalaman terhadap kata-kata yang diucapkan. Rincian kata didengar
dan diingat secara spesifik oleh pendengar. Jika kata tersebut akrab
bagi pendengar. Pendengar mungkin dapat mengenali kata-kata dengan
lebih baik, jika sebelumnya ia mendengar kata tersebut secara
berulang-ulang dari pembicara yang sama dan dengan kecepatan bicara
yang sama.
e.       Dual Stream
Model Dual Stream Model, diusulkan oleh Hickok dan
Poeppel ( 2007). Model ini dinamakan dual stream karena
dinyatakan bahwa terdapat dua jaringan saraf fungsional berbeda
dalam proses ujaran dan informasi bahasa. Salah satu jaringan
saraf terutama berkaitan dengan informasi sensorik dan fonologi
berkaitan dengan konseptual dan semantik. Jaringan lainnya
beroperasi dengan informasi sensorik dan fonologi berkaitan
dengan motorik dan sistem artikulasi .
Sedemikian itu, dalam Dual Stream Model ada beberapa
aspek yang diperhatikan yaitu; kunci dari ujaran, produksi dan
persepsi. Belahan kiri otak manusia berurusan dengan informasi,
tetapi sebagai Hickok & Poeppel (2007) menemukan bahwa
belahan otak kiri ini juga mampu mewakili informasi akustik
sama mudahnya seperti belahan kanan. Dengan demikian teori
Dual Stream Model dikatakan unik dan masuk akal sebagai
model untuk persepsi ujaran.
 

 
BAB III 
KESIMPULAN

C. Signal Ujaran
Ujaran adalah suara murni (tuturan), langsung dari orang yang berbicara.
Sehingga, dengan kata lain ujaran merupakan kata, kalimat, atau gagasan yang keluar
dari mulut manusia yang mempunyai arti. Proses dalam pengujaran tersebut adalah
suatu perwujudan dari proses artikulasi yang kemudian terkonsep dalam otak manusia
secara sempurna.
Persepsi ujaran adalah proses dimana sebuah ujaran ditafsirkan. Persepsi ujaran
melibatkan 3 proses di dalamnya, yaitu: pendengaran, penafsiran, dan pemahaman
terhadap semua suara yang dihasilkan oleh penutur. Kombinasi fitur-fitur tersebut
adalah fungsi utama dalam persepsi ujaran. Sedemikan itu, di dalam persepsi ujaran
tidak hanya menggabungkan aspek fonologi dan fonetik saja, melainkan aspek
sintakmatik dan semantik dari pesan lisan tersebut.
Suatu proses berbahasa dapat dikatakan berjalan baik, apabila makna yang
dikirimkan penutur dapat diresepsi atau dipahami oleh pendengar persis seperti yang
dimaksudkan oleh penutur. Sebaliknya, jika suatu proses berbahasa tidak berjalan
dengan baik maka makna yang dikirim oleh penutur asli diresepsi atau dipahami
pendengar tidak sesuai dengan yang dikehendaki penutur. Ketidaksesuaian ini bisa
disebabkan oleh faktor penutur yang kurang pandai dalam memproduksi ujaran, bisa
juga disebabkan oleh faktor pendengar yang kurang mampu meresepsi ujaran tersebut,
atau bisa juga disebabkan oleh faktor lingkungan saat ujaran tersebut ditransfer dari
mulut ke mulut penutur ke dalam telinga pendengar. Sehingga signal ujaran yang di
dengar tidak berjalan dengan baik.
Secara awam, manusia menggunakan kata “mendengar” atau “mendengarkan”,
artinya organ dengar kita menangkap berbagai bunyi yang secara tidak langsung
prosesnya, kemudahannya, atau kesulitannya tidak banyak kita sadari. Bunyi yang
tertangkap pun beragam, ada yang mengandung makna dan adapula yang tidak
mengandung makna, ada yang tertangkap secara utuh dan adapula yang hanya sebagian
saja atau utuh tetapi mengalami distorsi. Menangkap signal ujaran bukanlah suatu
proses yang sederhana, dikarenakan manusia harus memulai dengan bagaiamana proses
mencerna bunyi-bunyi tersebut sebelum dapat dipahami sebagai bentuk dari ujaran.
Proses pengujaran adalah sebuah perwujudan dari proses artikulasi yang
kemudian terkonsep dalam otak secara sempurna. Selanjutnya proses tersebut
diwujudkan dalam bentuk bunyi yang akan dipahami oleh interlokutor tertentu
(Darjowidjojo, 2005:49). Terkadang tanpa disadari manusia melakukan proses ujaran
diwujudkan dalam bentuk bunyi yang melewati udara itu ternyata sebuah proses yang
kompleks. Pada dasarnya ujaran adalah suara murni (tuturan) langsung dari sosok yang
berbicara. Jadi ujaran dapat berupa kata, kalimat, atau gagasan yang keluar dari mulut
manusia yang memiliki makna. Adapun dengan adanya ujaran terebut maka akan
muncul makna sintaksis, semantik, dan pragmatik.

D. Persepsi Segmen Fonetik


Persepsi ujaran adalah peristiwa ketika telinga menangkap sebuah bunyi yang
dapat berupa bunyi lepas, kata, atau kalimat (Su’udi, 2011:). Jika seseorang tidak dapat
mendengar bunyi dengan jelas, tentu saja oang tersebut tidak dapat menangkap
maknanya, lebih-lebih kalau bunyi tersebut berupa kalimat dan orang itu belum
menguasai bahasa yang digunakan dalam bahasa tersebut. Ketidakmampuan dalam
menangkap ujaran signal yang didengar bisa disebabkan oleh berbagai sebab,
diantaranya disebabkan oleh ketidaksempurrnaan organ dengar dan kedua yang berasal
dari materi yang didengar.
Adapun ketidaksempurnaan persepsi bunyi antara lain disebabkan oleh
kecepatan bunyi yang didengar, khususnya dalam bentuk kalimat. Menurut
Dardjowidjojo (2005:49) persepsi terhadap ujaran bukanlah suatu hal yang mudah
dilakukan oleh manusia karena ujaran merupakan salah satu aktivitas verbal yang
meluncur tanpa ada batas waktu yang jelas antara satu kata dengan kata lainnya.
Ujaran adalah suara murni (tuturan), langsung, dari sosok yang berbicara. Jadi
ujaran merupakan kata, kalimat, gagasan, yang keluar dari mulut manusia yang
memiliki makna. Dengan adanya ujaran ini, maka akan timbullah makna sintakis,
semantik, dan pragmatik. Persepsi adalah sebuah proses saat individu mengatur dan
menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka guna memberikan arti bagi
lingkungan mereka.
Persepsi terhadap ujaran bukan suatu hal yang mudah untuk dilakukan oleh
manusia sebagai penutur ujaran, karena ujaran merupakan suatu aktivitas verbal yang
meluncur tanpa ada batas ruang dan waktu yang jelas antara satu kata dengan kata
yang lain. Ketika seseorang berbicara atau bernyanyi, indera pendengaran kita mampu
untuk membedakan ciri bunyi yang satu dengan yang lainnya. Indera pendengaran
mampu menangkap dan memahami rangkaian bunyi vokal dan konsonan yang
membentuk sebuah tuturan, cepat-lambat tuturan, dan nada tuturan yang dihasilkan
oleh seorang penutur.
Berdasarkan uraian di atas, persepsi terhadap bunyi bahasa yang di hasilkan
oleh alat bicara dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu sebgai berikut:
1. Persepsi terhadap bunyi yang berupa satuan struktural, yaitu vokal dan
konsonan
2. Persepsi terhadap bunyi yang berupa cepat-lambat, kelantangan, tekanan, dan
nada
Pada aspek linguistik, bunyi-bunyi vokal yang kita dengar disebut dengan
bunyi segmental. Bunyi bahasa berupa cepat-lambat, kelantangan, tekanan, dan nada
disebut dengan bunyi suprasegmental atau prosodi. Perhatikan tiga ujaran berikut: a)
Bukan angka, b) Buka nangka, c) Bukan nangka. Meskipun ketiga ujaran ini berbeda
maknanya satu dari yang lain, dalam pengucapannya ketiga bentuk ujaran ini bisa
sama [bukankah].
Disamping itu, suatu bunyi juga tidak diucapkan secara persis sama tiap kali
bunyi itu muncul. Bagaimana suatu bunyi diucapkan dipengaruhi oleh lingkungan
dimana bunyi itu berada. Bunyi [b] pada kata buru, misalnya; tidak persis sama
dengan bunyi [b] pada kata biru. Pada kata buru bunyi /b/ dipengaruhi oleh bunyi /u/
yang mengikutinya sehingga sedikit banyak ada unsur pembundaran bibir dalam
pembuatan bunyi ini. Sebaliknya, bunyi yang sama ini akan diucapkan dengan bibir
yang melebar pada kata biru karena pada bunyi /i/ merupakan bunyi vokal depan
dengan bibir melebar. Namun demikian, manusia tetap saja dapat meresepsi bunyi-
bunyi bahasanya dengan baik. Tentu saja persepsi seperti ini dilakukan melalui tahap-
tahap tertentu.
1. Tahap Pemrosesan Ujaran
Menurut Clark dan Clark dalam Dardjowidjojo (2005:49-52) pada
dasarnya ada tiga tahap dalam pemrosesan suatu bunyi, yaitu sebagai berikut:
a. Tahap Auditori
Pada tahap ini, manusia menerima ujaran sepotong demi sepotong.
Ujaran ini kemudian ditanggapi dari segi itur akustiknya. Konsep-konsep
seperti titik artikulasi, cara artikulasi, fitur distingtif, dan VOT (Voice Onset
Time; waktu antara lepasnya udara untuk pengucapan suatu konsonan dengan
getaran pita suara bunyi vokal yang mengikutinya) sangat bermanfaat di sini
karena ihwal seperti inilah yang memisahkan satu bunyi dari bunyi yang lain.
Bunyi-bunyi dalam ujara kata tersebut disimpan dalam memori audio kita.

b. Tahap Fonetik

Bunyi-bunyi tersebut kita identiikasi. Dalam proses mental kita, kita


lihat terlebih dahulu kita lihat, misalnya apakah bunyi tersebut [+konsonantal],
[+vois], [+nasal], dst. Begitupula lingkungan bunyi itu; apakah bunyi tersebut
diikuti oleh vokal atau oleh konsonan. Jika diikuti oleh vokal, vokal jenis apa-
vokal depan, vokal belakang, vokal tinggi, vokal rendah, dsb. Seandainya
ujaran itu adalah Bukan nangka, maka mental kita menganilisis bunyi /b/
terlebih dahulu dan menentukan bunyi apa yang kita dengar itu dengan
memperhatikan hal-hal seperti titik artikulasi, cara artikulasi, dan fitur
distingtifnya.

Kemudian VOT nya juga diperhatikan, karena VOT inilah yang akan
menentukan kapan getaran pada pita suara itu terjadi. Segmen-segmen bunyi
ini kemudian kita simpan di memori fonetik. Perbedaan antara memori auditori
dengan memori fonetik yaitu pada memori auditori semua variasi alofonik
yang ada pada bunyi tersebut kita simpan, sedangkan pada memori fonetik
hanya fitur-fitur yang sifatnya fonemik saja. Misalnya, bila kita mendengar
bunyi [b] dari kata buntu maka yang kita simpan pada memori auditori bukan
fonem /b/ dan bukan hanya titik artikulasi, cara artikulasi, dan fitur-fitur
distingtifnya saja, akan tetapi pengaruh bunyi /u/ juga yang mengikutinya.
Dengan demikian maka [b] ini sedikit banyak diikuti oleh bundaran bibir (lip -
rounding).

Pada memori fonetik, hal-hal seperti ini tidak diperlukan kembali karena
begitu kita tangkap bunyi itu sebagai bunyi /b/ maka detailnya sudah tidak
signifikan kembali. Artinya, apakah /b/ tersebut diikuti oleh bundaran bibir
atau tidak, tetap saja bunyi itu adalah bunyi /b/. Analisis mental yang lain
adalah untuk melihat bagaimana bunyi-bunyi itu diurutkan sesuai karena
urutan bunyi inilah yang menentukan kata tersebut masuk ke dalam jenis apa.
Bunyi /a/,/k/, dan/n/ dapat mementuk kata yang berbeda bila urutannya pun
berbeda. Bila /k/ di dengar terlebih dahulu, kemudian /a/ dan /n/ makan akan
terdengar bunyi /kan/; bila /n/ terlebih dahulu maka yang terdengar adalah
bunyi /nak/.

c. Tahap Fonologis
Pada tahap ini mental kita menerapkan aturan fonologis pada deretan
bunyi yang telah di dengar untuk menentukan apakah bunyi-bunyi tadi telah
mengikuti aturan fonotaktik yang terdapat pada bahasa kita. Untuk bahasa
Inggris, bunyi /h/ tidak mungkin memulai suatu suku kata. Oleh karena itu,
penutur bahasa Inggris tidak menggabungkannya dengan vokal.
Sedemikian itu, jika ada urutan bunyi dengan bunyi berikutnya, tentunya
bunyi tersebut akan menempatkan bunyi sesuai dengan bunyi di mukanya
(depannya), bukan di belakangnya. Sehingga deretan bunyi /b/, /ə/, /h/, /i/
dan /s/ pasti akan dipersepsi sebagai beng dan is, tidak mungkin be dan ngis.
Orang Indonesia yang mendengar deretan bunyi /m/ dan /b/ tidak
mustahil akan mempersepsikannya sebagai /mb/ karena fonotaktik dalam
bahasa memungkinkan urutan seperti pada kata mbak dan mbok, meskipun
keduanya sama-sama pinjaman dari bahasa Jawa. Sebaliknya, penutur bahasa
Inggris pasti akan memisahkan kedua bunyi ini ke dalam dua suku kata yang
berbeda.
Adapun kombinasi bunyi yang tidak dimungkinkan oleh aturan
fonotaktik bahasa tersebut pasti akan ditolak. Kombinasi /kt/, /fp/, atau /pk/
tidak mungkin memulai suatu suku sehingga kalau terdapat deretan bunyi
/anaktuhgal/ tidak mungkin akan dipersepsi sebagai /ana/ dan /ktuhgal/ secara
mental dengan melalui proses yang sama. Kemudian bunyi /k/, dan seterusnya.
Sehingga akhir semua bunyi yang terdapat dalam ujaran tersebut dapat
teranalisis dengan baik. Jadi, hal yang membedakan antara bukan nangka,
bukan angka, dan buka nangka adalah jeda (juncture) yang terdapat antara satu
kata dengan kata lainnya.

Anda mungkin juga menyukai