Anda di halaman 1dari 6

Salah satu kaidah berbahasa adalah seorang penutur harus selalu berusaha agar tuturannya selalu

relevan dengan konteks, jelas, dan mudah dipahami sehingga lawan tuturnya dapat memahami maksud
tuturan. Demikian pula dengan lawan tutur, ia harus memberikan jawaban atau respons dengan apa
yang dituturkan oleh penutur. Bila keduanya tidak ada saling pengertian maka tidak akan terjadi
komunikasi yang baik. Oleh sebab itu diperlukan semacam kerja sama antara penutur dengan lawan
tutur agar proses komunikasi itu berjalan secara lancar.

Kenyataan membuktikan, di dalam percakapan sehari-hari tidak jarang kita temukan praktik-praktik
pelanggaran terhadap maksim-maksim Grice tersebut. Akan tetapi, bagi pengamat pragmatik, justru
pelanggaran-pelanggaran itulah yang menarik untuk dikaji: mengapa penutur melakukan pelanggaran
terhadap maksim tertentu, ada maksud apa di balik pelanggaran maksim tersebut? Misalnya, mengapa
penutur yang bermaksud meminjam uang atau memerlukan bantuan kepada mitra tutur biasanya
diawali dengan menceritakan secara panjang lebar keadaan dirinya seraya disertai dengan janji-janji?
Apakah itu berlaku secara universal? Bukankah tindakan tersebut melanggar maksim kuantitas? Pada
intinya, untuk memenuhi komunikasi secara wajar dan terjadi kerja sama yang baik, maka dalam
komunikasi harus memenuhi prinsip (maksim).

Pengertian Pragmatik

Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji bahasa dari aspek pemakaian aktualnya. Leech
(1983:5-6) menyatakan bahwa pragmatik mempelajari maksud ujaran (yaitu untuk apa ujaran itu
dilakukan); menanyakan apa yang seseorang maksudkan dengan suatu tindak tutur; dan mengaitkan
makna dengan siapa berbicara kepada siapa, di mana, bilamana, dan bagaimana.

Dalam tulisan Putu Wijana diungkapkan bahwa ilmu pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang
menelaah makna-makna satuan lingual secara eksternal. Yule (1996: 3), misalnya, menyebutkan empat
definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna
menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna
yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk
ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.

Thomas (1995: 2) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian, pertama,
dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara
(speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan
pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation).

Selanjutnya Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis
yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial,
dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai
bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction).

Leech (1983: 6) melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik yang mempunyai kaitan
dengan semantik. Keterkaitan ini ia sebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari
semantik; pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik; dan
komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi.

Pengertian Maksim

Maksim merupakan kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual; kaidah-kaidah yang mengatur
tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan
lawan tuturnya. Selain itu maksim juga disebut sebagai bentuk pragmatik berdasarkan prinsip kerja
sama dan prinsip kesopanan.

Maksim Kerja Sama

Dalam komunikasi yang wajar agaknya dapat diasumsikan bahwa seorang penutur mengartikulasikan
ujaran dengan maksud untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada lawan bicaranya, dan berharap lawan
bicaranya dapat memahami apa yang hendak dikomunikasikan itu. Untuk itu penutur selalu berusaha
agar tuturannya selalu relevan dengan konteks, jelas, mudah dipahami, padat dan ringkas (concise),
serta selalu pada persoalan (straight forward), sehingga tidak menghabiskan waktu lawan bicaranya.

Bila dalam suatu percakapan terjadi penyimpangan, ada implikasi-implikasi tertentu yang hendak
dicapai oleh penuturnya. Bila implikasi itu tidak ada, maka penutur yang bersangkutan tidak
melaksanakan kerjasama atau tidak bersifat kooperatif. Jadi, secara ringkas dapat diasumsikan bahwa
ada semacam prinsip kerja sama yang harus dilakukan pembicara dan lawan bicara agar proses
komunikasi itu berjalan lancar.
Grice berpendapat bahwa di dalam rangka melaksanakan prinsip-prinsip kerja sama itu, setiap penutur
harus mematuhi empat maksim percakapan (conversational maxim), yakni maksim kuantitas (maxim of
quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim
pelaksanaan (maxim of manner).

a. Maksim Kuantitas

Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang secukupnya atau
sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya atau pembicara memberikan informasi yang cukup,
relatif dan seinformatif mungkin.

Contoh yang sesuai:

A : Apakah Anda sudah mengerjakan tugas?

B : Ya, sudah.

Contoh yang tidak sesuai:

A : Apakah Anda sudah mengerjakan tugas?

B : Belum. Kemarin saya berlibur di rumah nenek di Yogya. Sampai rumah sudah larut sehingga saya
tidak sempat mengerjakan tugas.

b. Maksim Kualitas
Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan sesuatu yang nyata dan sesuai
dengan fakta sebenarnya. Kontribusi peserta percakapan hendaknya didasarkan pada bukti-bukti yang
memadai. Apabila patuh pada prinsip ini, jangan pernah mengatakan sesuatu yang diyakini bahwa itu
kurang benar atau tidak benar.

Contoh yang sesuai:

A : Kamu tahu, Eko kuliah dimana?

B : di ITB.

Contoh yang tidak sesuai:

A : Kamu tahu, Eko kuliah dimana?

B : Dia tidak kuliah di UNJ seperti kita, tapi di ITB.

c. Maksim Relevansi

Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta tutur dapat memberikan kontribusi yang relevan
(sesuai) tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan.

Contoh yang sesuai:

A : Dimana kotak permenku?

B : Di kamar belajarmu.
Contoh yang tidak sesuai:

A : Dimana kotak permenku?

B : Saya harus segera pergi kuliah.

d. Maksim Pelaksanaan

Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara secara langsung, tidak kabur,
tidak taksa, dan tidak berlebih-lebihan, serta runtut.

Contoh yang sesuai:

A : Siapa teman Anda yang orang Korea itu?

B : KIM EOK SOO

Contoh yang tidak sesuai:

A : Siapa teman Anda yang orang Korea itu?

B : K-I-M E-O-K S-O-O

. MAKSIM RELEVANSI
Maksim ini mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan
masalah pembicaraan. Perhatikan contoh (7) berikut ini :

(6) A : There is somebody at the door

B : I’m in the bath.

(Joan Cutting , 2002:36)

Ketika A mengatakan kepada B bahwa ada seseorang yang datang di depan pintu rumah mereka dan
berharap B untuk membukakan pintu untuk tamu itu, maka B mengatakan bahwa dia sedang berada di
kamar mandi pada saat itu. Jawaban B mengimplikasikan bahwa dia mengharapkan A untuk mengerti di
mana B berada pada saat itu, sehingga B tidak bisa membukakan pintu dan melihat siapa yang datang
pada saat itu. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa keterkaitan antara peserta tutur tidak
selalu terletak pada makna ujarannya, tetapi dapat pula terletak pada apa yang diimplikasikan ujaran
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai