Anda di halaman 1dari 9

A.

Pengertian Kedwibahasaan Menurut Para Ahli

1. Robert Lado

Kedwibahasaan merupakan kemampuan berbicara dua bahasa dengan sama atau hampir sama
baiknya. Secara teknis pendapat ini mengacu pada pengetahuan dua bahasa, bagaimana
tingkatnya oleh seseorang.

2. Francis William Mackey

Kedwibahasaan adalah pemakaian yang bergantian dari dua bahasa. Merumuskan


kedwibahasaan sebagai kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih oleh seseorang (the
alternative use of two or more languages by the same individual). Perluasan pendapat ini
dikemukakan dengan adanya tingkatan kedwibahasaan dilihat dari segi penguasaan unsur
gramatikal, leksikal, semantik, dan gaya yang tercermin dalam empat keterampilan berbahasa,
yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.

3. Hartman dan Stork

Kedwibahasaan adalah pemakain dua bahasa oleh seorang penutur atau masyarakat ujaran.

B. Pembagian Kedwibahasaan

Menurut Chaer dan Agustina (2004:170) ada beberapa jenis pembagian kedwibahasaan
berdasarkan tipologi kedwibahasaan, yaitu sebagai berikut.

1. Kedwibahasaan Majemuk (Compound Bilingualism)

Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa salah satu bahasa lebih baik
dari pada kemampuan berbahasa bahasa yang lain. Kedwibahasaan ini didasarkan pada kaitan
antara B1 dengan B2 yang dikuasai oleh dwibahasawan. Kedua bahasa dikuasai oleh
dwibahasawan tetapi berdiri sendiri-sendiri.

2. Kedwibahasaan Koordinatif/Sejajar

Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa pemakaian dua bahasa sama-sama baik oleh seorang
individu. Kedwibahasaan seimbang dikaitkan dengan taraf penguasaan B1 dan B2. Orang yang
sama mahirnya dalam dua bahasa.

3. Kedwibahasaan Subordinatif (Kompleks)

Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa seorang individu pada saat memakai B1 sering
memasukkan B2 atau sebaliknya. Kedwibahasaan ini dihubungkan dengan situasi yang dihadapi
B1, adalah sekelompok kecil yang dikelilingi dan didominasi oleh masyarakat suatu bahasa yang
besar sehinga masyarakat kecil ini dimungkinkan dapat kehilangan B1-nya.

Report this ad

Ada beberapa pendapat lain oleh pakar kedwibahasaan dalam tipologi kedwibahasaan di
antaranya adalah (Paul, 2004:235).

4. Baeten Beardsmore

Menambahkankan satu derajat lagi yaitu kedwibahasaan awal (inception bilingualism) yaitu
kedwibahasan yang dimemiliki oleh seorang individu yang sedang dalam proses menguasai B2.

5. Pohl

Tipologi bahasa lebih didasarkan pada status bahasa yang ada didalam masyarakat, maka Pohl
membagi kedwibahasaan menjadi tiga tipe yaitu sebagai berikut.

a. Kedwibahasaan Horizontal (Horizontal Bilingualism)

Merupakan situasi pemakaian dua bahasa yang berbeda tetapi masing-masing bahasa memiliki
status yang sejajar baik dalam situasi resmi, kebudayaan maupun dalam kehidupan keluarga dari
kelompok pemakainya.

b. Kedwibahasaan Vertikal (Vertical Bilinguism)

Merupakan pemakaian dua bahasa apabila bahasa baku dan dialek, baik yang berhubungan
ataupun terpisah, dimiliki oleh seorang penutur.

c. Kedwibahasaan Diagonal (Diagonal Bilingualism)

Merupakan pemakaian dua bahasa dialek atau tidak baku secara bersama-sama tetapi keduanya
tidak memiliki hubungan secara genetik dengan bahasa baku yang dipakai oleh masyarakat itu.

Menurut Arsenan tipe kedwibahasaan pada kemampuan berbahasa, maka ia mengklasifikasikan


kedwibahasaan menjadi dua yaitu:

1) Kedwibahasaan produktif (produktif bilingualisme) atau kedwibahasaan aktif atau


kedwibahasaan simetrik (symmetrical bilingualisme) yaitu pemakaian dua bahasa oleh seorang
individu terhadap seluruh aspek keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan
menulis).

2) Kedwibahasaan reseptif (reseptive bilingualisme) atau kedwibahasaan pasif atau


kedwibahasaan asimetrik (asymetrical bilingualism).

1. Diglosia dalam Kedwibahasaan


Diglosia adalah suatu situasi bahasa yang relatif stabil di mana, selain dari dialek-dialek utama
satu bahasa (yang memungkinkan mencakup satu bahasa baku atau bahasa-bahasa baku
regional), ada ragam bahasa yang sangat berbeda, sangat terkondisikan dan lebih tinggi, sebagai
wacana dalam keseluruhan kesusastraan tertulis yang luas dan dihormati, baik pada kurun waktu
terdahulu maupun masyarakat ujaran lain, yang banyak dipelajari lewat pendidikan formal dan
banyak dipergunakan dalam tujuan-tujuan tertulis dan ujaran resmi, tetapi tidak dipakai oleh
bagian masyarakat apapun dalam pembicaraan-pembicaraan biasa (Hudson, 1980).

Report this ad

Diglosia adalah hadirnya dua bahasa baku dalam satu bahasa, bahasa tinggi dipakai dalam
suasana-suasana resmi dan dalam wacana-wacana tertulis, dan bahasa rendah dipakai untuk
percakapan sehari-hari (Hartmann & Stork 1972). Diaglosia adalah persoalan antara dua dialek
dari satu bangsa, bukan antara dua bahasa. Kedua ragam bahasa ini pada umumnya adalah
bahasa baku (standard language) dan dialek daerah regional daerah (regional dialect) (Agustina,
2008:5).

2. Parameter Diglosia/Kedwibahasaan

Mackey (1956) mengemukakan bahwa pengukuran kedwibahasaan dapat dilakukan melalui


beberapa aspek, yaitu sebagai berikut.

a) Aspek Tingkat

Dapat dilakukan dengan mengamati kemampuan memakai unsur-unsur bahasa, seperti fonologi,
morfologi, sintaksis, leksikon serta ragam bahasa.

b) Aspek Fungsi

Dapat dilakukan melalui kemampian pemakaian dua bahsa yang dimiliki sesuai dengan
kepentingan-kepentingan tertentu. Ada dua faktor yang harus diperhatikan dalam pengukuran
kedwibahasaan yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang
menyangkut pemakaian bahasa secara internal, sedangkan faktor eksternal adalah faktor dari
luar bahasa.

Hal ini antara lain menyangkut masalah kontak bahasa yang berkaitan dengan lamanya waktu
kontak seringnya mengadakan kontak bahasa si penutur dapat ditentukan oleh lamanya waktu
kontak, seringnya kontak dan penekanannya terhadap bidang-bidang tertentu seperti bidang
ekonomi, budaya, politik, dan lain-lain.

c) Aspek Pergantian

Aspek pergantian yaitu pengukuran terhadap seberapa jauh pemakai bahasa mampu berganti dari
satu bahasa kebahasa yang lain. Kemampuan berganti dari satu bahasa ke bahasa yang lain ini
tergantung pada tingkat kelancaran pemakaian masing-masing bahasa.
d) Aspek Interferensi

Aspek interferensi yaitu pengukuran terhadap kesalahan berbahasa yang disebabkan oleh
terbawanya kebiasaan ujaran berbahasa atau dialek bahasa pertama terhadap kegiatan berbahasa.

1. Konsep dan Kategori Pemilihan Bahasa

Report this ad

Masyarakat dwibahasa (bilingual) yang berbicara menggunakan dua bahasa harus memilih
bahasa yang digunakan dalam bertutur. Pemilihan bahasa menurut Fasold (dikutip Chaer dan
Agustina, 2004:203) tidak sesederhana yang kita bayangkan, yakni memilih sebuah bahasa
secara keseluruhan (whole language) dalam suatu peristiwa komunikasi. Kita membayangkan
seseorang yang menguasai dua bahasa atau lebih harus memilih bahasa mana yang akan ia
gunakan. Misalnya, seseorang yang menguasai bahasa Jawa dan bahasa Indonesia harus memilih
salah satu di antara kedua bahasa itu ketika berbicara kepada orang lain dalam peristiwa
komunikasi. Dalam pemilihan bahasa terdapat tiga kategori pemilihan. Pertama, dengan memilih
satu variasi dari bahasa yang sama (intra language variation). Apabila seorang penutur bahasa
Jawa berbicara kepada orang lain dengan menggunakan bahasa Jawa krama, misalnya, maka ia
telah melakukan pemilihan bahasa kategori pertama ini.

Kedua, dengan melakukan alih kode (code switching), artinya menggunakan satu bahasa pada
satu keperluan dan menggunakan bahasa yang lain pada keperluan lain dalam satu peristiwa
komunikasi. Dengan kata lain, konsep alih kode terjadi saat dimana kita beralihdari ragam santai
ke ragam formal. Ketiga, dengan melakukan campur kode (code mixing), artinya menggunakan
satu bahasa tertentu dengan bercampur serpihan-serpihan dari bahasa lain. Di Indonesia, campur
kode sering sekali digunakan saat orang berbincang-bincang yang dicampur ialah bahasa
Indonesia dan bahasa daerah.

Peristiwa alih kode dapat terjadi karena dua faktor utama, yakni faktor pertama menyangkut
situasi seperti kehadiran orang ketiga dalam peristiwa tutur yang sedang berlangsung dan
perubahan topik pembicaraan. Faktor kedua menyangkut penekanan kata-kata tertentu atau
penghindaran terhadap kata-kata yang tabu.

Alih kode yang pertama terjadi karena perubahan situasi dan alih kode yang kedua terjadi karena
bahasa atau ragam bahasa yang dipakai merupakan metafor yang melambangkan identitas
penutur. Campur kode merupakan peristiwa percampuran dua atau lebih bahasa atau ragam
bahasa dalam suatu peristiwa tutur. Di Indonesia, Nababan (1993:7) menyebutnya dengan istilah
bahasa gado-gado untuk pemakaian bahasa campuran antara bahasa Indonesia dan bahasa
daerah.

2. Faktor Pemilihan Bahasa

Pemilihan bahasa dalam interaksi sosial masyarakat dwibahasa/multibahasa disebabkan


oleh berbagai faktor sosial dan budaya. Evin-Tripp (dikutip Rokhman, 2007:3)
mengidentifikasikan empat faktor utama sebagai penanda pemilihan bahasa penutur dalam
interaksi sosial, yaitu (1) latar (waktu dan tempat) dan situasi; (2) partisipan dalam interaksi, (3)
topik percakapan, dan (4) fungsi interaksi. Faktor pertama dapat berupa hal-hal seperti makan
pagi di lingkungan keluarga, rapat di kelurahan, selamatan kelahiran di sebuah keluarga, kuliah,
dan tawar-menawar barang di pasar.

Report this ad

Faktor kedua mencakup hal-hal seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial ekonomi, dan
perannnya dalam hubungan dengan lawan tutur. Hubungan dengan lawan tutur dapat berupa
hubungan akrab dan berjarak. Faktor ketiga dapat berupa topik tentang pekerjaan, keberhasilan
anak, peristiwa-peristiwa aktual, dan topik harga barang di pasar. Faktor keempat berupa fungsi
interaksi seperti penawaran, menyampaikan informasi, permohonan, kebiasaan rutin (salam,
meminta maaf, atau mengucapkan terima kasih).

Dari paparan berbagai faktor di atas, yang perlu diperhatikan bahwa tidak terdapat faktor tunggal
yang dapat mempengaruhi pemilihan bahasa seseorang. Hal ini membuktikan bahwa
karakteristik penutur dan lawan tutur merupakan faktor yang paling menentukan dalam
pemilihan bahasa dalam suatu masyarakat, sedangkan faktor topik dan latar merupakan faktor
yang kurang menentukan dalam pemilihan bahasa dibanding faktor partisipan.

3. Pendekatan Pemilihan Bahasa

Kajian pemilihan bahasa menurut Fasold (dikutip Chaer dan Agustina, 1995:205) dapat
dilakukan berdasarkan tiga pendekatan, yaitu pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial,
dan pendekatan antropologi. Ketiga pendekatan itu dapat dijelaskan sebagai berikut.

a) Pendekatan Sosiologi

Pendekatan sosiologi berkaitan dengan analisis ranah (domain). Pendekatan ini pertama
dikemukakan oleh Fishman (1964). Pendekatan sosiologi melihat adanya konteks institutional
tertentu (domain) yang terkait dengan dwibahasa yang terdiri dari domain formal dan domain
informal. Ranah (domain) didefinisikan sebagai konsep sosiokultural yang diabstraksikan dari
topik komunikasi, hubungan peran antar komunikator, tempat komunikasi di dalam keselarasan
lembaga masyarakat dan bagian dari aktivitas masyarakat tutur.

Di sisi lain, ranah juga adalah konsep teoretis yang menandai satu situasi interaksi yang
didasarkan pada pengalaman yang sama dan terikat oleh tujuan dan kewajiban yang sama,
misalnya keluarga, ketetanggaan, agama, dan pekerjaan. Sebagai contoh, apabila penutur
berbicara di rumah dengan seorang anggota keluarga mengenai sebuah topik, maka penutur itu
dikatakan berada pada ranah keluarga. Pendek kata, bahasa rendah (low) yang cenderung dipilih
dalam domain keluarga, sedangkan bahasa tinggi dipergunakan dalam domain yang lebih formal,
seperti pendidikan dan pemerintahan.

b) Pendekatan Psikologi Sosial


Berbeda dengan pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial lebih tertarik pada proses
psikologis manusia daripada kategori dalam masyarakat luas. Pendekatan ini lebih berorientasi
pada individu, seperti motivasi individu, daripada berorientasi pada masyarakat. Pendekatan
psikologi sosial melihat proses psikologi manusia, seperti motivasi dalam memilih suatu bahasa
atau ragam dari suatu bahasa untuk digunakan pada keadaan tertentu.

Report this ad

Herman (dikutip Rokhman, 2007:7) mengemukakan teori situasi tumpang tindih yang
mempengaruhi seseorang di dalam pemilihan bahasa. Menurut Herman seorang penutur
dwibahasa berada pada lebih dari satu situasi psikologis. Herman membicarakan tiga jenis
situasi. Situasi pertama berhubungan dengan kebutuhan personal penutur (personal needs),
kedua situasi lain berhubungan dengan pengelompokkan sosial (social grouping), yaitu situasi
latar belakang (background situation) dan situasi sesaat (immediate situation).

Pertama, satu situasi yang berkaitan dengan kebutuhan yang ada pada pribadi, yaitu keinginan
untuk berbicara dalam bahasa tertentu (bahasa yang paling dikuasainya); situasi lain berkaitan
dengan norma-norma kelompoknya yang memungkinkan dia memaksa diri menggunakan bahasa
lain (bahasa itu mungkin belum dikuasainya secara baik). Di sini terjadi konflik antara kebutuhan
pribadi dan tuntutan kelompok. Kedua, dalam penentuan bahasa yang akan digunakan muncul
kekuatan yang tidak hanya dari situasi yang bersemuka (face to face), akan tetapi juga dari
situasi yang lebih besar.

Dengan kata lain, seorang penutur mungkin tidak mengalami kesulitan sama sekali dalam
memilih bahasa atau variasi bahasa untuk menyesuaikan dengan orang lain, dan ada penutur
yang dengan sengaja memilih bahasa atau variasi bahasa yang tidak sesuai dengan orang yang
diajak berbicara. Hal di atas terjadi ketika penutur ingin menekankan loyalitasnya pada
kelompoknya sendiri dan membedakan dirinya dari kelompok lawan bicara. Satu contoh yang
jelas adalah ketika seorang Amerika kulit hitam yang berbicara dengan orang berkulit putih
dengan menggunakan bahasa Inggris dialek hitam untuk menunjukkan jati dirinya.

c) Pendekatan Antropologi

Dari pandangan antropologi, pilihan bahasa bertemali dengan perilaku yang mengungkap
nilai-nilai sosial budaya. Seperti juga psikologi sosial, antropologi tertarik dengan bagaimana
seorang penutur berhubungan dengan struktur masyarakat. Perbedaannya adalah jika psikologi
sosial memandangnya dari sudut kebutuhan psikologis penutur. Pendekatan antropologi
memandangnya dari bagaimana seseorang menggunakan pemilihan bahasanya untuk
mengungkapkan nilai kebudayaannya (Fasold dikutip Rokhman, 2007:9).

Pendekatan antropologi dapat memberikan perspektif penjelasan atas pemilihan bahasa


berdasarkan persepsinya sebagai penutur dalam sebuah kelompok. Implikasi dari pendekatan ini,
yang mengarah kepada peneliti sebagai instrumen penelitian relevan untuk mengungkap secara
alamiah gejala pemilihan bahasa dalam masyarakat multibahasa di Indonesia.

1. Cara Mengukur Kedwibahasaan


Robert Lado (1961) mengemukakan agar dalam pengukuran kedwibahasaan seseorang dilakukan
melalui kemampuan berbahasa dengan menggunakan indikator tataran kebahasaan (sejalan
dengan Mackey). Kelly (1969) menyarankan agar kedwibahasaan seseorang diukur dengan cara
mendeskripsikan kemampuan berbahas seseorang dari masing-masing bahasa dengan
menggunakan indikator elemen kebahasaan kemudian dikorelasikan untuk menentukan
keterampilan berbahasa.

Report this ad

John MacNawara (1969) memberikan desain teknik pengukuran kedwibahasaan dari aspek
tingkat dengan cara memberikan tes kemampuan berbahasa yang menggunakan konsep dasar
analisis kesalahan berbahasa. Pengukuran dapat memakai indikator membaca pemahaman,
membaca leksikon, kesalahan ucapan, kesalahan ketatabahasaan, interferensi leksikal B2,
pemahaman bahasa lisan, kesalahan fonetis, makna kata dan kekayaan makna.

Berbeda dengan pendapat-pendapat di atas, yaitu Jakobovits (1970) memberikan desain teknik
pengukuran kedwibahasaan dengan cara:

1) menghitung jumlah tanggapan terhadap rangsangan dalam B1,

2) menghitung jumlah tanggapan dalam rangsangan dalam B2 terhadap B1,

3) menghitung perbedaan total antara B1 dan B2,

4) menghitung jumlah tanggapan dalam B1 terhadap rangsangan dalam B1,

5) menghitung jumlah tanggapan dalam B2 terhadap rangsangan dalm B2,

6) menghitung tanggapan dalam B2 terhadap rangsangan dalam B1,

7) menghitung jumlah tanggapan dalam B1 terhadap rangsangan dalam B2,

8) menghitung tanggapan terjemahan terhadap rangsangan dalam B2,

9) menyatakan hasil dalam bentuk presentase, dan

10) menghitung tanggapan dua bahasa terhadap rangsangan B1 dan B2 jika memungkinkan.

Lambert (1955) mengajukan teknik pengukuran kedwibahasaan dengan dengan mengungkapkan


dominasi bahasa, artinya bahasa mana dari kedua bahasa itu yang dominant. Mackey (1968)
memberikan teknik pengukuran kedwibahasaan dengan menggunakan tes ketrampilan berbahasa
pada masing-masing bahasa. Lambert telah mengembangkan suatu alat untuk mengukur
kedwibahasaan dengan mencatat hal-hal berikut (Mar’at, 2005:92).
1. Waktu reaksi seseorang terhadap dua bahasa. Bila kecepatan reaksinya sama, maka
dianggap sebagai dwibahasaan. Misalnya, dalam menjawab pertanyaan yang sama, tetapi
dalam bahasa yang berbeda.
2. Kecepatan reaksi dapat diukur pula dari bagaimana seseorang melaksanakan perintah-
perintah yang diberikan dalam bahasa yang berbeda
3. Kemampuan seseorang melengkapkan suatu perkataan. Misalnya, kepada subjek
diberikan kata-kata yang tidak sempurna kemudian ia harus menyempurnakannya.
4. Mengukur kecenderungan (preferences) pengucapan secara spontan. Dalam hal ini
kepada subjek diberikan suatu perkataan yang sama tulisannya, tetapi berbeda
pengucapan dalam dua bahasa. Misalnya, tulisan “nation” harus dibaca dan spontan oleh
dwibahasawan Inggris-Perancis. Kemudian dilihat apa yang diucapkannya, “nesian”
(Inggris) atau “nesjan” (Perancis).

faktor-faktor terjadinya kedwibahasaan adalah:


1. Faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya.
2. Faktor pendidikan.
3. Faktor perkawinan.
4. Perpindahan penduduk.
Lalu adanya kedwibahasaan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor ekstern dan intern.
Faktor ekstern yaitu pergaulan hidup di keluarga, pergaulan di masyarakat, serta kemajuan
(teknologi), komunikasi, dan transportasi. Sedangkan faktor intern yang mempengaruhi ragam
kedwibahasaan seseorang adalah tahapan usia pemeroleh, usia belajar B2 (bahasa ke dua),
berdasarkan konteks, berdasarkan hakikat tanda dalam kontak bahasa, tingkat pendidikan,
keresmian komunikasi, dan kesosialan.
BILINGUALISME?
B i l i n g u a l i s m e a d a l a h d i g u n a k a n n n ya d u a b u a h b a h a s a o l e h s e o r a n g
p e n u t u r d a l a m pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
BILINGUAL?
• Orang yang mampu atau bisa menggunakan dua bahasa (Kridalaksana, 1984:29)
• Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa disebut orang yang bilingual (dalam
bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan) (Chaer dan Leonie, 2010:84-85).

SITUASI DIGLOSIA DI BEBERAPA NEGARA


 Fishman mengemukakan kasus di Paraguay di mana masyarakat mengenal dua
bahasa, yaitu bahasa Guarani, yang termasuk rumpun bahasa Indian, bahasa Spanyol,
dan Roman. Banyak penduduk Paraguay di desa-desa yang tadinya monolingual
(Guarani), lalu menjadikan bahasa Spanyol sebagai alat interaksi sosial yang
berhubungan dengan pendidikan, pemerintahan, dan agama. Sebaliknya, banyak
penduduk kota yang memertahankan penggunaan bahasa Gurani untuk kegiatan-
kegiatan santai demi solidaritas kelompok.
 Di Tanzania masyarakat yang multilingual berdiglosia ganda yaitu, bahasa daerah
dipelajari di rumah sebagai bahasa ibu, dan digunakan dalam komunikasi
antarkeluarga atau antarpenutur yang berbahasa ibu sama. Bahasa Swahili dipelajari
di sekolah dasar dan digunakan sebagai bahasa pengantar proses belajar mengajar,
serta alat komunikasi antarteman sekolah yang tidak berbahasa ibu yang sama.

Anda mungkin juga menyukai