Anda di halaman 1dari 16

ILMU BAHASA DALAM PERSPEKTIF KAJIAN BUDAYA

Anang Santoso

Jurusan Sastra Indonesia Fak. Sastra Universitas Negeri Malang

Abstract: The development of cultural studies has broadened the horizon of how to
attend to and approach various cultural phenomena. In this regard, language, central
to the notion of culture, has been assuming more strategic roles. Linguistics,
accordingly, needs to accommodate broader views so as to go in line with the
broader views of culture as the home base of linguistics. In this case, linguistics
needs to build on the assumptions that (1) language is not innocent (neutral), (2)
language deals with the issue of representation, (3) language has to do with power,
and (4) language is concerned with articulation; this point is relevant to the
development of cultural studies.

Key words: linguistics, cultural studies, positioning, language games, power.

Tulisan ini lebih merupakan renungan yang Pelbagai literatur antara lain Cavallaro
agak serius tentang apa yang selama ini (2004), Storey (2003), Barker (2000)
sudah dirumuskan dalam pelbagai literatur meman-faatkan pandangan language games
kajian budaya (cultural studies) bahwa (Wittgenstein) dan performative utterences
bahasa merupakan perhatian utama dalam (Austin) untuk menunjukkan bahasa yang
kajian budaya . Storey (2003:x), misalnya, dimaksud dalam kajian budaya adalah
menyebutkan bahwa bahasa merupakan bahasa sehari-hari , bukan bahasa logis.
alat dan medium untuk memunculkan arti Wittgenstein menunjukkan bahwa bahasa
penting atau signifikansi (significance) atau memunyai beberapa fungsi dan untuk
makna (meaning) . Menginvestigasi budaya memahaminya, perhatian harus dialihkan
berarti mengeksplorasi bagaimana makna dari logika dan penyusunan bahasa yang
diproduksi secara simbolik di dalam bahasa sempurna kepada logika bahasa sehari-
sebagai sebuah sistem tanda (signifying hari , yaitu bahasa common sense. Bagi
system). Pandangan Storey semakin Wittgenstein, bahasa bukanlah sebuah
mengukuhkan peran bahasa seperti sudah kehadiran metafisik, tetapi sebuah alat yang
dikemukakan oleh Bourdieu, Foucault, dan digunakan manusia untuk mengkoordinasi-
Habermas, maupun oleh para pemikir kan tindakan-tindakannya dalam konteks
pasca-modernisme yang menempatkan hubungan sosial (Storey, 2003:ix). Makna
bahasa dalam posisi sentral, sampai-sampai sebuah kata bergantung pada pengguna-
muncullah jargon the linguistic turn (lihat annya dalam bahasa. Yang terpenting
Santoso, 2006:i). adalah dalam situasi apa sebuah kalimat itu

1
2 BAHASA DAN SENI, Tahun 35, Nomor 1, Februari 2007

digunakan sehingga kalimat melahirkan persoalan tempat dari mana se-seorang


makna tertentu . berbicara, kepada siapa, dan untuk tujuan
Untuk melihat bahasa sebagai alat, kita apa.
harus menyugesti diri bahwa kita melaku- Kajian budaya merupakan gerakan
kan segala hal dengan bahasa. Bahasa keilmuan dan praksis kebudayaan yang
adalah tindakan dan pembimbing menuju mencoba cerdas-kritis menangkap semangat
tindakan itu. Bahasa dalam konteks peng- teori-teori budaya yang bias kepentingan
gunaan sosialnya dapat secara temporer elite budaya dan kekuasaan sembari
ditetapkan untuk tujuan-tujuan praktis. merengkuhkan perhatiannya pada budaya-
Jika perhatian kajian budaya terpusat budaya yang selama ini tidak terjamah atau
pada fungsi bahasa sehari-hari, ilmu bahasa tidak diakui oleh ilmu-ilmu sosial
mestilah merespon fungsi itu. Ada dua humaniora tradisional yang telah mapan
catatan penting berkenaan dengan rumusan (Cavallaro, 2004:xiv). Karena sifatnya yang
tersebut. Pertama, ilmu bahasa berbasis kritis, kajian budaya memiliki sifat disiplin
fungsi berangkat dari premis bahwa bentuk dan metodologi yang sangat berbeda dengan
bahasa merespon fungsi-fungsi penggunaan ilmu-ilmu yang sudah mapan yang
bahasa. Kedua, linguistik berbasis fungsi itu umumnya disipliner. Kajian budaya bersifat
berangkat dari asumsi bahwa linguistik- interdisiplin atau posdisiplin. Kajian budaya
seperti juga bahasa-memiliki fungsi-fungsi lebih bersifat eklektis.
berbeda, tugas-tugas berbeda, dan sebagai- Munculnya kajian budaya paling tidak
nya. Bentuk lingual akan merespon fungsi- dapat dilihat dari pelbagai lingkup dan
fungsi lingual itu. bidang yang menjadi garapannya terkait
Untuk menjawab pertanyaan ilmu erat dengan struktur politik yang menindas,
bahasa yang seperti apa yang relevan patriarkis, dan rasis akibat dari persepsi
dengan kajian budaya, berikut dipaparkan mengenai kebudayaan yang salah kaprah.
secara berturut-turut: (1) kajian budaya di Konkretnya, sebuah kelompok, komunitas,
dalam-nya mencakup pengertian, ruang atau masyarakat tidak jarang memandang
lingkup, dan konsep-konsep kunci dirinya lebih tinggi derajatnya daripada
kemudian dilanjutkan dengan (2) ilmu kelompok, komunitas, atau masyarakat lain
bahasa yang berorientasi pada kajian sehingga dengan pandangan demikian,
budaya. kalompok atau komunitas yang merasa
lebih tinggi derajatnya sering melakukan
KAJIAN BUDAYA penindasan baik fisik, politik, ideologis,
maupun kultural terhadap kelompok atau
Pengertian dan Ruang Lingkup komunitas lain yang dianggap lebih rendah.
Mengenai ruang lingkup kajian budaya
Kajian budaya (cultural studies) adalah
diungkapkan secara jelas dalam Barker
sebentuk teori yang dimunculkan oleh para
(2000), yakni (1) relasi antara kebudayaan
pemikir yang memandang produksi
dan kekuasaan, (2) seluruh praktik, institusi,
pengetahuan teoretis sebagai sebuah praktik
dan sistem klasifikasi yang tertanam dalam
politik (Storey, 1993:vi). Pengetahuan tidak
nilai-nilai partikular, kepercayaan, kom-
pernah menjadi fenomena yang netral atau
petensi, kebiasaan hidup, dan bentuk-bentuk
objektif, tetapi selalu terikat pada nilai-nilai
perilaku yang biasa dari sebuah populasi,
tertentu. Pengetahuan selalu lebih
(3) pelbagai kaitan antara bentuk-bentuk
merupakan sebuah persoalan posisionalitas,
kekuasaan gender, ras, kelas, kolonialisme
kekinian-kenantian (nowness-laterness) dan
dan sebagainya dengan pengem-bangan
kedisinian-kedisanaan (hereness-thereness),
Santoso, Ilmu Bahasa dalam Perspektif Kajian Budaya 3

cara-cara berpikir tentang kebudayaan dan Representasi


kekuasaan yang biasa digunakan oleh agen- Bagian terbesar kajian budaya pada
agen dalam mengejar perubahan, dan (4) pertanyaan tentang representasi, yakni
pelbagai kaitan wacana di luar dunia
bagaimana dunia itu dikonstruksi dan
akademis dengan gerakan sosial dan politik, direpresentasikan secara sosial kepada dan
para pekerja di lembaga kebudayaan, dan oleh kita. Unsur utama kajian budaya dapat
manajemen kebudayaan. dipahami sebagai kajian kebudayaan
sebagai praktik pemaknaan representasi.
Konsep-Konsep Kunci
Dalam memahami representasi, kita
Barker (2000) telah memberikan diharapkan mengeksplorasi pembentukan
deskripsi yang jelas tentang delapan konsep makna tekstual. Tentu bukan makna teks
kunci dalam kajian budaya, yaitu (1) yang vakum sosial. Kajian budaya
kebudayaan dan praktik pemaknaan, (2) menghendaki penyelidikan tentang cara
representasi, (3) materialis-me dan non- dihasilkannya makna pada beragam
reduksionisme, (4) artikulasi, (5) kekuasaan, konteks. Representasi dan makna budaya
(6) ideologi dan hegemoni, (7) teks dan memiliki materialitas tertentu. Representasi
pembacanya, serta (8) subjektivitas dan dan makna melekat pada bunyi, prasasti,
identitas. Beberapa konsep kunci yang objek, citra, buku, majalah, dan program
relevan dengan topik tulisan ini dipaparkan televisi. Makna budaya diproduksi,
berikut. ditampilkan, digunakan, dan dipahami
dalam konteks sosial tertentu.
Kebudayaan dan Praktik Pemaknaan
Kajian budaya memandang kebudayaan Materialisme dan Nonreduksionisme
terkait dengan pertanyaan tentang makna Sebagian besar kajian budaya
sosial (social meaning) yang dimiliki memberikan perhatian pada ekonomi
bersama, yakni berbagai cara kita industri modern dan budaya media yang
memahami dunia ini. Akan tetapi, makna diproduksi pada sistem kapitalis tempat
tidak semata-mata mengawang-awang di representasi diproduksi oleh perusahaan
luar sana . Makna dibangun melalui tanda, yang didorong oleh motif mencari laba.
khususnya tanda-tanda bahasa. Selain memfokuskan pada praktik-praktik
Kajian budaya menyatakan bahwa pemaknaan, kajian budaya berusaha
bahasa bukanlah media netral bagi menghubungkan mereka dengan ekonomi
pembentukan makna dan pengetahuan politik. Disiplin tersebut membicarakan
tentang dunia objek independen yang ada kekuasaan dan distribusi sumber daya
di luar bahasa. Sebaliknya, bahasa ekonomi dan sosial. Akibatnya, kajian
merupakan bagian utama dari makna dan budaya banyak membicarakan siapa yang
pengetahuan tersebut. Bahasa memberikan memiliki dan mengontrol produksi budaya,
makna pada objek material dan praktik distribusi dan mekanismenya, dan
sosial yang dibeberkan oleh bahasa kepada konsekuensi dari pola-pola kepemilikan dan
kita. Proses-proses produksi makna kontrol tersebut bagi kontur lanskap
merupakan praktik pemaknaan dan budaya. Kajian terhadap media massa,
memahami kebudayaan berarti meng- misalnya, pada akhirnya mempertanyakan
eksplorasi cara makna dihasilkan secara siapa yang memiliki dan mengontrol
simbolis dalam bahasa sebagai suatu berita sehingga menciptakan perspektivitas
sistem pemaknaan . tertentu (Fairclough, 1995).
4 BAHASA DAN SENI, Tahun 35, Nomor 1, Februari 2007

Kekuasaan Teks dan Pembacanya


Dalam kajian budaya, sentralitas konsep Teks dalam kajian budaya bukan hanya
kekuasaan dipandang berlangsung pada merujuk pada kata-kata tertulis, melainkan
setiap level relasi sosial. Kekuasaan bukan semua praktik yang memiliki makna.
hanya perekat yang menyatukan kehidupan Termasuk di dalamnya adalah pembentukan
sosial, atau kekuatan koersif yang makna melalui berbagai citra, bunyi,
menyubordinasikan sekelompok orang atas objek seperti pakaian dan aktivitas seperti
orang lain, melainkan proses yang tari dan olahraga. Semua dinamakan teks
membangun dan membuka jalan bagi budaya .
adanya segala bentuk tindakan, hubungan, Kajian budaya mengkritik produksi
atau tatanan sosial. Meskipun kadang- konsensus yang berimplikasi kepada
kadang kekuasaan benar-benar meng- penyamaan masyarakat dengan makna
hambat, kekuasaan juga dipahami sebagai budaya yang dibangun oleh praktik-praktik
sesuatu yang melapangkan jalan. pemaknaan teks hegemonik. Makna budaya
Terkait dengan kekuasaan tersebut, tidak ada yang stabil. Makna budaya adalah
kajian budaya menunjukkan perhatian sesuatu yang labil .
ekstraspesifik terhadap kelompok-kelompok Makna yang dibaca kritikus dalam teks
pinggiran karena secara berturut-turut mulai budaya niscaya tidak sama dengan yang
soal kelas, ras, gender, kebangsaan, diproduksi oleh audien aktif atau
kelompok umur, dan sebagainya. pembaca . Pembaca tentu tidak akan
berbagi makna yang sama antara yang satu
Ideologi dan Hegemoni dengan yang lain. Kritikus hanyalah bagian
Ideologi berarti peta makna (Barker, dari pembaca atau salah satu di antara
2000:11). Selalu terdapat klaim bahwa sekian juta pembaca. Tidak ada kritikus
ideologi sebagai kebenaran universal yang yang menghegemonik rezim kebenaran.
merupakan pemahaman yang khas berdasar- Teks sebagai bentuk representasi bersifat
kan latar belakang sejarahnya yang me- polisemis, artinya memiliki banyak arti.
merumit dan menjaga kekuasaan. Makna
Subjektivitas dan Identitas
yang sebenarnya partikular menjadi seolah-
olah universal secara bawah sadar. Ideologi Kajian budaya mengeksplorasi cara kita
sering menjadi sumber motivasi bagi menjadi orang sebagaimana kita sekarang
anggota kelompok tertentu. dan di sini , bagaimana kita diproduksi
Hegemoni adalah proses penciptaan, sebagai subjek, bagaimana diri kita menjadi
perawatan, dan reproduksi makna dan laki-laki atau perempuan, bagaimana kita
praktik yang menguasai kehidupan dibentuk sebagai pribadi-pribadi. Pelbagai
masyarakat. Hegemoni berakibat kepada argumen dalam kajian budaya terkenal
situasi di mana satu kelompok yang dengan anti-esensialisme. Identitas bukan-
berkuasa menggunakan autoritas sosial dan lah sesuatu yang eksis. Ia tidak memiliki
kepemimpinan terhadap kelompok- kandungan universal atau esensial. Sebalik-
kelompok subordinat lewat kemenangan nya, identitas merupakan konstruksi dis-
konsensus, tanpa harus melalui ancaman kursif, produk diskursus atau cara bertutur
fisik. yang terarah tentang dunia. Identitas itu
dibangun dan diciptakan--daripada ditemu-
kan--oleh representasi, terutama bahasa.
Tidak ada identitas yang begitu saja hadir
dalam keadaan jadi di hadapan kita.
Santoso, Ilmu Bahasa dalam Perspektif Kajian Budaya 5

ILMU BAHASA YANG ideologi merupakan sumber utama


BERORIENTASI PADA KAJIAN pengetahuan dan hipotesis dalam kerangka
BUDAYA kerja linguistik kritis (Fowler, 1986:8).
Analisis wacana publik merupakan
Dengan paparan tersebut, paling tidak,
kita dapat memeroleh gambaran tentang sebuah analisis yang dirancang untuk (1)
sosok ilmu bahasa yang dikehendaki dalam memeroleh atau menemukan ideologi yang
kajian budaya. Tentu saja yang dimaksud dikodekan secara implisit di belakang
adalah ilmu bahasa yang dapat memuncul- proposisi yang jelas (overt propositions)
kan kesadaran kritis terhadap pelbagai dan (2) mengamati ideologi secara khusus
penindasan itu. Berikut dipaparkan pokok- dalam konteks pembentukan sosial (Fowler,
pokok pikiran ilmu bahasa seperti yang 1996:3). Piranti-piranti untuk menganalisis-
dimaksud dalam kajian budaya di atas. nya adalah seleksi gabungan dari kategori
deskriptif yang sesuai dengan tujuannya,
Ilmu Bahasa Haruslah Bersifat Kritis khususnya struktur-struktur yang diidentifi-
kasikan Halliday sebagai komponen
Karena kajian budaya begitu gandrung ideasional dan interpersonal. Selain itu,
pada relasi antara kebudayaan dan Fowler juga mengambil dari tradisi
kekuasaan, ilmu bahasa yang dimaksud linguistik lainnya, misalnya saat ia
adalah ilmu bahasa yang dapat menjangkau menganalisis tindak-tindak ujaran dan
dimensi kekuasaan itu. Harapan ini--paling transformasi.
tidak--dapat ditemukan dalam linguistik
kritis (critical linguistics). Ilmu Bahasa Haruslah Bersifat
Linguistik kritis merupakan kajian ilmu Instrumental
bahasa yang bertujuan mengungkap relasi
kuasa tersembunyi (hidden power) dan Karena kajian budaya begitu concern
proses-proses ideologis yang muncul dalam terhadap seluruh praktik, institusi, dan
sistem klasifikasi yang tertanam dalam
teks-teks lisan atau tulis (Crystal, 1991:90).
Analisis linguistik belaka diyakini tidak nilai-nilai partikular, kepercayaan, kom-
dapat mengungkapkan signifikansi kritis. petensi, kebiasaan hidup, dan bentuk-bentuk
perilaku yang biasa dari sebuah populasi,
Menurut Fowler (1986:6) hanya analisis
kritis yang merealisasikan teks sebagai ilmu bahasa tentu haruslah yang bersifat
modus wacana serta memperlakukan teks instrumental. Hal ini dapat ditemukan
sebagai wacana yang akan dapat paling tidak dalam linguistik instrumental.
melakukannya. Linguistik kritis mengajak Linguistik instrumental dimunculkan
membicarakan arah teori bahasa dalam sebagai penjabaran pandangan Halliday
fungsi yang penuh dan dinamik dalam tentang konsep instrumental dalam
konteks-konteks historis, sosial, dan retoris. linguistik fungsional-sistemik. Dalam
Dalam relasinya dengan makna struktur pandangan Fowler (1996), istilah fungsional
lingual, sesuatu yang amat fundamental dalam linguistik fungsional memiliki dua
adalah terdapatnya fungsi relasi antara pengertian. Pertama, linguistik fungsional
konstruksi tekstual dengan kondisi-kondisi berangkat dari premis bahwa bentuk bahasa
sosial, institusional, dan ideologis dalam merespon fungsi-fungsi penggunaan bahasa.
proses-proses produksi dan resepsinya. Kedua, linguistik fungsional berangkat dari
Struktur-struktur lingual digunakan untuk asumsi bahwa linguistik seperti juga
menyistematisasikan dan mentransformasi- bahasa memiliki fungsi-fungsi berbeda,
kan realitas. Oleh karena itu, dimensi- tugas-tugas berbeda, dan sebagainya.
dimensi sejarah, struktur sosial, dan
6 BAHASA DAN SENI, Tahun 35, Nomor 1, Februari 2007

Bentuk linguistik akan merespon fungsi- ideologi untuk menyembunyi-kan realitas


fungsi linguistik itu. subordinasi mereka .
Dalam wawancara dengan Herman Beberapa komunikasi yang diyakini
Parret, Halliday (1978) menerima pandang- selalu penuh kesenjangan, antara lain (1)
an bahwa linguistik itu menjadi linguistik komunikasi dalam politik, (2) hubungan
instrumental , yakni kajian bahasa untuk antara atasan dan bawahan, (3) komunikasi
memahami sesuatu yang lain. Dengan dalam wacana media massa, (4) komunikasi
demikian, sebuah linguistik instrumental lintas budaya, dan (5) relasi antara laki-laki
memiliki relevansi karakteristik dengan dan perempuan dalam politik jender.
tujuan yang akan dicapai. Linguistik Menurut Fowler (1996:5), model linguistik
instrumental juga memelajari hakikat kritis tersebut sangat memerhatikan
bahasa sebagai fenomena keseluruhan. Oleh penggunaan analisis linguistik untuk mem-
karena itu, menurut Halliday (1978:36), bongkar misrepresentasi dan diskrimi-
tidak ada kontradiksi antara linguistik nasi dalam pelbagai modus wacana publik.
instrumental dengan linguistik otonom . Topik-topik yang diteliti meliputi masalah-
Linguistik instru-mental adalah kajian masalah, seperti (1) seksisme, (2) rasisme,
bahasa untuk memahami sesuatu yang lain, (3) ketidaksamaan dan ketidakadilan dalam
misalnya sistem sosial. Linguistik otonom pendidikan, pekerjaan, pengadilan, dan
adalah kajian bahasa untuk memahami sebagainya, (4) perang, (5) senjata nuklir
sistem lingual itu sendiri. dan kekuatan nuklir, (6) strategi politik, dan
(7) iklan.
Ilmu Bahasa Haruslah Bersifat Untuk mencapai tujuan pemberdayaan,
Pemberdayaan terhadap Subordinat ilmu bahasa perlu menggunakan dua piranti
Karena kajian budaya mengurusi yang saling berkaitan: (1) penidakakraban
pelbagai kaitan wacana di luar akademis (defamiliarisation) dan (2) pemunculan
dengan gerakan-gerakan sosial dan politik, kesadaran. Piranti pertama, yakni penidak-
ilmu bahasa sudah semestinya mengambil akraban, kritis terhadap pelbagai fenomena
posisi pemberdayaan, khususnya kepada lingual. Kritisisme lingual (linguistic
kelompok, komunitas, atau masyarakat criticism) memiliki dua tujuan. Pertama,
yang secara fisik, politis, dan ideologis kritisisme bertujuan demistifikasi
tertindas. (demystification), yakni demonstrasi praktik
Sesuai dengan rumusan linguistik kritis analisis terhadap penggunaan bahasa,
yang bertujuan mengungkap relasi kuasa terutama bahasa yang tampak tidak ada
tersembunyi dan proses-proses ideologis, masalah apa-apa (innocent) dan alamiah.
linguistik kritis amat cocok untuk Penggunaan bahasa yang selama ini
menganalisis fenomena komunikasi yang dianggap sebagai pengetahuan umum
penuh kesenjangan, yakni komunikasi yang (common sense) harus dihadapkan pada
hubungan antarpartisipannya tidak setara penidakakraban . Kedua, kritisisme
atau tidak simetris. Asumsinya adalah bertujuan pengujian diri dan ketajaman
bahwa para pelaku dalam komunikasi selalu perhatian untuk menembus teks ke arah
akan berorientasi memperjuangkan ideologi refleksi.
yang diyakininya. Partisipan yang lebih Piranti pertama, yakni penidakakraban,
tinggi akan menggunakan ideologi untuk akan memunculkan kesadaran kritis bahwa
menindas atau memeras , sebaliknya ada yang tersembunyi dalam penggunaan
yang lebih rendah akan menggunakan bahasa. Analis tidak begitu saja percaya
dengan penggunaan bahasa tertentu tanpa
sikap kritis itu. Dengan demistifikasi itu,
Santoso, Ilmu Bahasa dalam Perspektif Kajian Budaya 7

akan tampak dengan sejelas-jelasnya bahwa berada di bawah kesadaran dalam melaku-
penggunaan bahasa yang tampak tidak ada kan pilihan bahasa itu.
apa-apanya, menampakkan wajah tidak
berdosa, dan tampak alamiah ternyata Ilmu Bahasa yang Memandang Teks
menyembunyikan ideologi tertentu dari sebagai Realisasi Modus Wacana
penghasil teks. Karena kajian budaya memberikan
perhatian pada ekonomi industri modern
Ilmu Bahasa dan Kesadaran Kendala dan budaya media yang diproduksi pada
Nonlingual dalam Pilihan Bahasa sistem kapitalis, ilmu bahasa harus
Karena kajian budaya begitu memer- memandang teks sebagai realisasi modus
hatikan peran kekuasaan dan hegemoni wacana. Fowler (1986), misalnya, selalu
pada setiap tataran sosial, ilmu bahasa memertahankan tesisnya bahwa teks
seharusnya menyadari keberadaan kendala- merupakan realisasi sebuah modus wacana,
kendala nonlingual dalam pilihan bahasa. biasanya lebih dari satu modus. Sebuah teks
Bentuk-bentuk bahasa digunakan individu bukan hanya karya individual. Teks yang
tentu saja tidak secara bebas dapat dipilih. dihasilkan oleh penghasil teks sebagai
Menurut Birch (1996:67) pilihan bahasa individu bukanlah hasil dari keseluruhan
dibuat menurut seperangkat kendala individu itu. Teks yang dihasilkan mungkin
(constraints) politis, sosial, kultural, dan saja berasal dari wacana praada (baca:
ideologi. Ada kekuatan di luar individu sebelumnya) yang itu semua berakar pada
yang ikut menentukan bentuk bahasa kondisi-kondisi sosial, ekonomi, politis, dan
tertentu yang akan digunakan. Hal itu sering ideologis yang terletak jauh di balik
terjadi secara bawah sadar. Implikasinya kesadaran dan kontrol penghasil teksnya.
adalah bahwa masyarakat dapat di- Sebuah teks yang lahir mungkin saja hasil
manipulasi, dikehendaki dalam aturan yang dari suatu perjuangan di antara banyak
baik (good order), dan dinilai peran dan tangan penghasil wacana itu.
status bawahan serta atasan (inferior- Kajian bahasa hakikatnya adalah kajian
superior) melalui sistem strategi-strategi kewacanaan yang bersifat historis. Sistem
sosial yang melibatkan aspek-aspek: kuasa, bahasa merupakan bagian yang integral dari
aturan, sub-ordinasi, solidaritas, kohesi, struktur dan proses sosial. Sebuah wacana
antagonisme, kesenangan, dan sebagainya tidak dapat terlepas dari dimensi
yang semuanya merupakan bagian integral kesejarahan. Sebuah tuturan politik oleh
dari kontrol terhadap masyarakat. seorang pemimpin partai, misalnya, bukan-
Menurut Menz (1988), makna dan nilai lah teks yang vakum sosial. Sebaliknya,
dari pilihan bahasa bukan menjadi milik teks tuturan itu dibentuk oleh sebuah proses
individu yang unik, tetapi diproduksi dalam yang rumit dan panjang dalam pertarungan
perjuangan atau perebutan komunikatif sosial. Banyak tangan yang ikut campur
(communicative struggle) dan interaksi menentukan bentuk dan isi teksturnya.
aktual yang ditentukan secara ideologis dan Kajian terhadap teks-teks bahasa bukan
dimotivasi secara politis (dalam Birch, semata-mata untuk kajian teks itu yang
1996:65). Merujuk pada pandangan amat terbatas. Akan tetapi, kajian teks
tersebut, aktor penghasil teks bukanlah adalah kajian kewacanaan dengan meng-
individu yang merdeka , tetapi merupakan ikutsertakan dimensi kritis, yakni dimensi
individu yang diatur oleh dimensi-dimensi politis, ideologis, dan kultural tentang
sosiokultural dan institusional yang bagaimana masyarakat dan institusi mem-
determinatif. Individu-individu sering buat makna melalui teks.
8 BAHASA DAN SENI, Tahun 35, Nomor 1, Februari 2007

Ilmu Bahasa Harus Memandang Bahasa alamiah , bukan sebagai refleksi kultural-
sebagai Pengklasifikasi Pengalaman nya .
Karena kajian budaya memfokuskan Menurut Fowler (1986:19), bahasa
adalah medium efisien dalam pengodean
perhatiannya pada bahasa sehari-hari yang
menghasilkan makna sosial, ilmu bahasa kategori-kategori sosial. Ketika kebudayaan
seharusnya memfokuskan pada makna- tertentu memerlukan ekspresi diskriminasi,
makna sosial yang bersifat situasional. peran bahasa sebagai pengkategori tampak
Untuk itu, haruslah ditanamkan pada diri amat jelas. Bahasa tidak hanya menyedia-
sendiri bahwa bahasa adalah pengklasifikasi kan kata-kata untuk konsep-konsep tertentu,
pengalaman manusia tentang dunia. bahasa juga mengkristalisasikan dan men-
Dunia tempat hidup manusia bersifat stabilisasikan ide-ide itu. Fowler ingin
kompleks dan secara potensial mem- menunjukkan bahwa struktur bahasa yang
bingungkan (Fowler, 1986:13). Komplek- dipilih menciptakan sebuah jaring makna
yang mendorong ke arah sebuah perspektif
sitas hidup ditingkatkan melalui organisasi
sosial dan aktivitas teknologis. Menghadapi tertentu. Jaring makna itu merupakan
dunianya yang kompleks, manusia melaku- sebuah ideologi atau teori dari penutur-
kan proses kategorisasi sebagai bagian nya yang tentu saja bukan berupa kategori
dari strategi umum untuk menyederhanakan alamiah. Jaring makna lebih merupakan
dan mengatur dunianya itu. Manusia tidak kategori kultural. Masyarakat haruslah
menggunakan secara langsung dunia berkesadaran dan berpikir kritis dalam
objektif, tetapi menghubungkannya melalui menghadapi kategori-kategori kultural itu.
sistem klasifikasi dengan menyederhana-
Ilmu Bahasa dan Kesadaran Kritis
kan fenomena objektif dan membuatnya
terhadap Konvensi Sosial
menjadi sesuatu yang dapat dikelola.
Yang menjadi persoalan adalah bahwa Karena kajian budaya begitu me-
klasifikasi sering memunculkan hasil yang merhatikan peran ideologi dalam setiap
bersifat alamiah (natural). Anggota aktivitas kehidupan, ilmu bahasa harus
masyarakat memerlakukannya sebagai berangkat dari asumsi bahwa tanda-tanda
asumsi-asumsi sebuah kebenaran yang bahasa tidak bersifat netral. Fowler
tanpa pembuktian serta memercayainya (1986:27), misalnya, merumuskan bahwa
sebagai sesuatu yang berupa akal sehat kode lingual tidak merefleksikan realitas
(common-sense) atau pengetahuan umum. secara netral. Kode lingual itu menafsirkan,
Semuanya itu dipandang sebagai sebuah mengorganisasikan, dan mengklasifikasi-
kebenaran begitu saja. Kata-kata seperti kan subjek-subjek wacana. Wacana tertentu
pandangan dunia , teori , hipotesis , selalu membentuk teori tentang bagai-
atau ideologi sering dianggap sebagai mana dunia itu disusun. Itulah yang disebut
akal sehat. Sementara itu, menurut Fowler pandangan dunia atau ideologi . Bahasa
(1986:18), semua kata seperti itu adalah tidak hanya sebagai pengetahuan yang
distorsi . Kata-kata itu lebih merupakan internal dan pasif. Sebaliknya, bahasa
sebuah interpretasi atau representasi dari- adalah aktivitas yang dibawa dalam ber-
pada sebuah refleksi. Implikasi dari bicara, menyimak, menulis, dan membaca
penggunaan kata dan istilah yang penuh yang aktual dan intensif setiap hari.
dengan akal sehat itu membuat masyarakat Untuk keperluan komunikasi, konvensi
menjadi begitu percaya bahwa teorinya tentang bentuk dan makna bahasa memang
tentang cara dunia bekerja adalah refleksi diperlukan. Keputusan itu diambil agar
antarpelaku komunikasi bisa saling ber-
Santoso, Ilmu Bahasa dalam Perspektif Kajian Budaya 9

hubungan satu dengan lainnya. Kebutuhan an, kedisinian-kedisanaan, persoalan tempat


akan stabilitas makna merupakan sesuatu seseorang berbicara, kepada siapa, dan
yang vital dalam relasi konseptual individu untuk tujuan apa, ilmu bahasa harus
dengan dunianya itu. Pada tahap menonjolkan peran konteks dalam tafsir
selanjutnya, kode-kode konvensi itu yakni teks.
bahasa yang menyandikan pandangan dunia Terkait dengan itu, ada dua hal penting
tertentu akan diterima sebagai akal sehat berkaitan dengan penyusunan teks yakni
oleh penggunanya. Dalam konteks tersebut, kalimat dan teks . Teks berisi kalimat-
peringatan Fowler perlu dicamkan, yakni kalimat yang dihubungkan secara bersama-
akal sehat itu bukan sesuatu yang alamiah, sama melalui cara-cara tertentu. Sebuah
tetapi produk dari konvensi sosial . Oleh kalimat berisi satu proposisi atau lebih.
karena itu, akal sehat itu perlu dikritisi. Banyak kalimat mengekspresikan lebih dari
Akal sehat memang bersifat menye- satu proposisi.
nangkan . Akal sehat sangat diperlukan Menurut Fowler (1986:56), sebuah
untuk kebutuhan komunikasi. Hanya saja, proposisi adalah sebuah unit makna abstrak.
perlu diperhatikan dua sisi negatif akal Untuk sampai kepada kalimat terdapat
sehat, yaitu (1) masalah legitimasi dan (2) realisasi atau ekspresi antara ide abstrak
masalah pembiasaan (habitualization). dan bentuk kalimat yang konkret. Proposisi
Legitimasi berkenaan dengan tersedia- harus diekspresikan secara sintaksis sebagai
nya makna dalam individu yang bukan urutan kata atau frasa yang diatur secara
berasal dari individu itu. Makna itu sudah tetap. Proses-proses kombinasi, pengaturan
disandikan dalam bahasa yang diperolehnya kembali, penghilangan, dan sebagainya
sebagai anak. Dengan demikian, bahasa itu yang mencampuri antara makna proposisi
adalah bahasa masyarakat, yakni bahasa dan bentuk sintaktik dikenal dengan
yang dianggap resmi oleh kebudayaan- transformasi . Fowler menegaskan bahwa
kebudayaan yang dianggap dominan. secara transformasional susunan seperang-
Dominasi bahasa yang terlegitimasi ber- kat proposisi yang sama dapat menimbulkan
langsung melalui kehidupan kita. Banyak pengaruh makna yang berbeda atau
kosakata yang bermuatan kepentingan- perspektif makna yang berbeda.
kepentingan politis dan ekonomis yang Dari kalimat yang ada, kemudian,
bersifat prasangka . disusun sebuah teks. Dalam konteks
Pembiasaan berkaitan dengan tersebut, Fowler (1986:60) merumuskan
kemapanan makna dalam pikiran anggota bahwa penyusunan teks tidak hanya
masyarakat. Tindakan seperti ini sering menjalankan kalimat dengan makna-makna
bersifat automatis dan tidak analitis. individu yang dimilikinya dan kaidah bagi
Pembiasaan dalam penggunaan bahasa struktur ekspresi makna-makna yang
membawa kita kepada analogi yang ber- mungkin. Lebih dari itu, dalam teks
bahaya. Kita begitu saja mudah melakukan kalimat-kalimat itu dihubungkan satu
analogi tanpa sikap kritis. Kritisisme me- dengan yang lainnya melalui jaringan yang
miliki peran dalam memberantas tendensi- kompleks dari pertalian-pertalian yang
tendensi nonkritis tersebut. melibatkan sejumlah bagian-bagian struktur
yang berbeda seperti kosakata, pro-
Ilmu Bahasa Harus Menempatkan Teks nomina, penghilangan kalimat, dan sebagai-
dalam Konteks nya. Jika hal itu dijalankan, menurut
Karena kajian budaya selalu mem- Fowler, sebuah teks dapat dianggap sebagai
persoalkan posisionalitas, kekinian-kenanti- sebuah komunikasi yang pantas (sensible
communication) sesuai dengan harapan
10 BAHASA DAN SENI, Tahun 35, Nomor 1, Februari 2007

(expectation) pembaca. Hanya saja harapan Teks dapat dipandang sebagai


itu sering tidak tercapai. medium wacana. Untuk melihat bahasa
Tiga persyaratan diharapkan terpenuhi sebagai wacana, kita dibawa kepada
dalam penyusunan teks, yakni kohesi, keseluruhan proses interaksi lingual yang
progresi, dan tematisasi (Fowler, 1986:61). rumit antara masyarakat yang menghasilkan
Kohesi berkenaan dengan peng- dan masyarakat yang memahami teks. Oleh
organisasian teks dalam relasinya karena itu, untuk mengaji bahasa sebagai
dengan harapan pembaca: (1) teks itu wacana kita perlu memerhatikan tiga hal,
koheren, (2) terdiri atas satu topik, dan yaitu (1) tahap-tahap struktur yang meng-
(3) tidak terjadi lompatan yang tidak hubungkannya dengan partisipan dalam
diharapkan dari subjek satu ke subjek komunikasi, (2) tindakan yang mereka
yang lain. munculkan melalui teks yang dihasilkan,
Progresif berkenaan dengan harapan dan (3) konteks dalam wacana yang
pembaca agar dalam teks itu tidak dibangun. Semua faktor ekstralinguistik
mengulang-ulang pokok persoalan yang itu direfleksikan secara sistematis ke dalam
sama secara tetap. Sebaliknya, pembaca struktur kalimat yang dihasilkan penutur.
selalu mengharapkan dalam teks hadir
perkembangan argumen atau naratif. Ilmu Bahasa dan Pengintegrasian Aspek-
Pembaca selalu menafsirkan pasangan Aspek Dialog
kalimat yang berhubungan secara logis Karena kajian budaya begitu me-
atau kronologis. Pembaca selalu merhatikan logika bahasa sehari-hari, ilmu
mengharapkan agar proposisi dalam bahasa haruslah mengintegrasikan aspek-
sebuah teks yang kohesif disusun dalam aspek dialog dalam jabaran teoretisnya.
rangka membuat urutan ide-ide yang Aspek-aspek dialog yang perlu diintegrasi-
progresif. kan adalah (1) pengurutan, (2) tindak
Tematisasi berkenaan dengan harapan ujaran, dan (3) implikatur (Fowler, 1986:
pembaca agar organisasi teks meng- 102). Ketiganya adalah teks yang berisi
gambarkan perhatian kepada bagian struktur dialogis yang sering begitu saja
isinya yang sangat penting, yakni dianggap sebagai common sense sehingga
tema . perlu dihadapkan pada kerangka kerja
Catatan penting dikemukakan oleh kritisisme.
Fowler (1986:70) bahwa satuan bahasa Pengurutan (sequencing) adalah peng-
dalam penggunaan yang nyata lebih dari aturan kontribusi terhadap percakapan.
sekadar sebuah teks yang dibangun Terdapat konvensi yang rinci untuk
bersama-sama dengan konvensi dasarnya, menyusun pembukaan, mengembangkan
tetapi lebih banyak berupa wacana dari dan menutup percakapan, mengendalikan
yang sudah dilahirkannya itu. Fowler peserta, menginterupsi, dan mengambil
membedakan konsep teks dan wacana . giliran. Konvensi-konvensi itu bervariasi
Untuk melihat bahasa sebagai teks, kita menurut latar, status, hubungan pembicara,
dibawa kepada kajian keseluruhan unit-unit dan topik wacana. Perbedaan pengurutan
komunikasi yang dilihat sebagai struktur berimplikasi pada segi ideologi tertentu. Hal
sintaksis dan semantik yang koheren yang tersebut tampak nyata dalam wacana
dapat diucapkan atau ditulis. Dalam politik.
pandangan kritis, teks dipandang secara Tindak ujaran adalah teori yang penting
dinamis sebagai komunikasi interpersonal untuk mengaji teks-teks dialogis. Pemaham-
dalam konteks. an dasar teori tindak ujaran berkenaan
Santoso, Ilmu Bahasa dalam Perspektif Kajian Budaya 11

dengan pandangan bahwa penggunaan menggunakan ironi untuk melanggar


bahasa memiliki dimensi ekstra yang agak maksim kualitas atau menggunakan
dihindari oleh ahli logika dan linguis yakni ekspresi hiperbolis untuk melanggar
dimensi performatif . Para filsuf tindak maksim kuantitas .
ujaran mengamati bahwa bahasa memiliki Meskipun teori implikatur yang sudah
fungsi pragmatik . Tuturan digunakan dikemukakan Grice ini dalam terminologis
untuk menampilkan tindakan. Prinsip yang sangat informal dan masih kabur
tersebut mudah dipahami dalam hubungan- dalam perinciannya, teori tersebut dapat
nya dengan ujaran tertentu yang berisi memerkaya pandangan kita tentang
verba-verba performatif, seperti: promise, bagaimana wacana itu bekerja dan
declare, name, baptize, request, order, menjanjikan banyak pemahaman terhadap
guarante, dan sebagainya. Sebuah tindak kritisisme linguistik (Fowler, 1986:107).
ujaran bukan hanya mengatakan sesuatu, Sejauh dialog itu diperhatikan, teknik
tetapi juga melaksanakan sesuatu melalui pelanggaran maksim dan pemunculan
berbicara . Kriteria keberha-silannya implikatur adalah pusat struktur dialogis.
bukan pada apakah ujaran itu benar, tetapi Prinsip kerjasama mewujudkan sebuah
pada apakah ujaran itu memenuhi asas harapan tidak hanya pada kemauan untuk
kesatuan . Semua tindak ujaran memiliki saling membantu, tetapi juga sebuah
kondisi kebenaran masing-masing, berbeda persetujuan untuk membawa ke arah
dari satu kasus ke kasus lainnya. pemahaman tuturan terhadap pengetahuan
Implikatur berkaitan dengan makna bersama.
tradisional ketika seseorang mengatakan
sesuatu dan berarti sesuatu yang lain Ilmu Bahasa Harus Memusatkan pada
(Fowler, 1986:106). Hal itu dapat dilakukan Makna Sosial
dengan penggunaan ironi dan metafora. Karena kajian budaya memandang
Implikatur adalah proposisi yang muncul kebudayaan terkait dengan pertanyaan-
dari suatu yang dikatakan, tetapi tidak pertanyaan tentang makna sosial, ilmu
secara aktual dimuat dalam kata-kata yang bahasa haruslah memusatkan kajiannya
diujarkan, juga secara logis dapat diperoleh pada makna-makna sosial itu. Untuk itu,
dari yang dikatakan itu. Hal tersebut sangat perlu ada kesadaran dari kita bahwa bahasa
sesuai dengan teori Grice tentang prinsip berperan penting dalam pengklasifikasian
kerja sama (cooperative principle). Grice pengalaman penutur. Fowler (1986:147)
menyarankan agar percakapan terjadi di menegaskan bahwa bahasa berperan penting
bawah bimbingan prinsip kerja sama yang dalam penyusunan klasifikasi pengalaman
mengikat penutur untuk mengekspresikan penutur atau dalam pandangan Halliday
mereka sendiri dalam cara yang tidak bahasa memiliki fungsi pengalaman atau
mengganggu interpretasi (Fowler, 1986: ideasional.
106). Sebaliknya, pendengar beranggapan Terkait dengan pengklasifikasian ter-
bahwa apa pun yang dialamatkan kepada sebut, perlu dikemukakan dua jenis makna
mereka dirancang untuk membuat makna yang dapat dimasuki penutur, yaitu (1)
agar mereka dapat berusaha mendapatkan makna alamiah (natural meaning), dan (2)
interpretasi itu. Implikatur percakapan makna sosial (social meaning). Makna
muncul saat pendengar memutuskan bahwa alamiah lebih bersifat semesta (universal),
penutur sudah melanggar dengan sengaja dalam pengertian bahwa semua manusia
satu dari maksim-maksim itu. Pelanggaran secara biologis dilengkapi alat untuk
itu dapat dilakukan penutur dengan membuat diskriminasi atau klasifikasi.
12 BAHASA DAN SENI, Tahun 35, Nomor 1, Februari 2007

Konsep tentang atas-bawah , lebih besar kehidupannya (Fowler, 1986:149). Kita


daripada , segiempat , dan merah harus lebih berpikir bahwa fungsi ideasional
mengandung makna alamiah. Sebaliknya, menyediakan sebuah repertoar perspektif
makna sosial merefleksikan organisasi untuk sejumlah modus wacana tempat
masyarakat dan hubungannya dengan penutur berpartisipasi. Dengan rumusan
lingkungan. Konsep tentang guru , lain, sebuah bahasa mewujudkan banyak
demokrasi , keadilan , dan anak laki- cara untuk melihat dunia, bukan satu cara
laki mengandung makna sosial. Perbedaan saja.
makna sosial antara bahasa satu dengan Kita mungkin saja memerhatikan gaya
bahasa lainnya cenderung besar. Pandangan yang berbeda dalam diri penutur. Itu semua
dunia berkenaan dengan makna sosial merupakan produk pilihan struktur lingual
tersebut. yang diulang secara teratur. Sifat
Makna sosial dihasilkan dari konstruksi keteraturan itu menetapkan variasi atau
sosial realitas. Yang menjadi persoalan register wacana tertentu, seperti wacana
adalah ketika berhadapan dengan kata-kata hukum, tulisan ilmiah, jurnalisme populer,
yang mengandung makna sosial itu banyak wacana politik, fiksi roman, dan
anggota masyarakat menyikapinya sebagai sebagainya. Masalah perbedaan stilistika
kata yang mengandung makna alamiah atau register berkorelasi dengan keadaan
sehingga kata-kata tersebut dianggap sosial dan ideologis yang membawa
sebagai sesuatu yang berupa pengetahuan perbedaan signifikansi ideologis. Dengan
umum atau akal sehat . Dalam persoalan demikian, gaya lingual yang berbeda dari
ini, Fowler (1986:148) menegaskan bahwa pidato politik, misalnya, mengimplikasikan
bahasa-bahasa itu beragam dalam mengode- perspektif tertentu tentang topik-topik yang
kan makna, bahkan dalam menganggap disuguhkan.
sebuah area dasar dan struktur-struktur
pengalaman. Hal itu sesuai dengan rumusan Ilmu Bahasa dan Fitur Lingual untuk
Halliday bahwa bahasa melayani ekspresi, Mengungkap Ideologi
bahasa memiliki representasi, atau bahasa Karena kajian budaya begitu concern
memiliki fungsi ideasional tempat penutur pada dimensi ideologi yang diaktualisasikan
atau penulis mewujudkan pengalaman dari melalui tanda-tanda bahasa, ilmu bahasa
dunia nyata ke dalam bahasa. harus berangkat dari asumsi bahwa fitur-
Pengalaman dan pengodeannya dalam fitur lingual tertentu membawa dimensi
bahasa dibedakan dari individu satu dengan ideologi tertentu. Dalam hubungannya
individu lainnya. Pembedaan itu bukanlah dengan makna struktur lingual, sesuatu
sesuatu yang acak, tetapi menurut konvensi yang amat fundamental dalam pandangan
yang mengatur peran individu dalam sistem Fowler (1986) dan Fairclough (1989) adalah
sosial dan ekonomi. Konsekuensinya adalah terdapatnya fungsi hubungan antara
bahwa pengalaman kita, apa yang kita konstruksi tekstual dengan kondisi-kondisi
ketahui, dan apa yang kita butuhkan selain sosial, institusional, dan ideologis dalam
sudah dikodekan dalam sumber makna kita proses-proses produksi serta resepsinya.
yang bersifat personal, juga produk dari Struktur-struktur lingual digunakan untuk
posisi kita dalam relasi-relasi sosio- menyistematisasikan dan mentransformasi-
ekonomis. kan realitas. Oleh karena itu, dimensi
Tidak benar untuk berpikir bahwa kesejarahan, struktur sosial, dan ideologi
setiap individu memiliki satu pandangan merupakan sumber utama pengetahuan dan
dunia atau ideologi yang tunggal, yang
monolitis, yang meliputi seluruh aspek
Santoso, Ilmu Bahasa dalam Perspektif Kajian Budaya 13

hipotesis dalam kerangka kerja kritisisme spesialis, sifat suka menonjolkan ke-
linguistik (Fowler, 1986:8). ilmuan, obsesi, dan sebagainya.
Untuk melihat ideologi atau pandangan Kekurangan leksikal berkenaan dengan
dunia dalam teks, menurut Fowler (1985; suatu keadaan di mana terjadi halangan
1986), kita dapat menganalisis berbagai pada istilah atau seperangkat istilah bagi
fitur lingual yang berbeda yang digunakan konsep tertentu. Menurut Fowler
dalam penstrukturan ideasional, yakni (1) (1986:152), kekurangan leksikal di-
proses-proses leksikal, (2) ketransitifan, (3) markahi oleh dua piranti lingual, yaitu
piranti-piranti sintaksis, (4) modalitas, (5) (1) penindasan atau penindihan istilah
tindak ujaran, (6) implikatur, (7) gilir tutur, yang sedang dipakai dan (2) peng-
(8) sapaan, nama, dan rujukan pribadi serta gantian ekspresi kompleks yang sedang
(9) fonologi. dipergunakan dalam register dengan
istilah yang lebih sederhana. Dalam
Proses Leksikal fenomena kekurangan leksikal itu,
Proses leksikal adalah proses-proses konsep atau objek yang rupanya tidak
yang terjadi dalam kosakata sebagai refleksi lazim dirasakan oleh penutur kemudian
dan ekspresi kepentingan kelompok atau diubah dengan penggunaan kata-kata
komunitas. Kosakata penutur memiliki yang terlalu banyak dan tidak perlu.
pengaruh yang kuat dan menjadi indikator Kelebihan leksikal terjadi jika terdapat
rentangan dan penstrukturan pengalaman penggunaan yang melimpah dari istilah-
penutur. Dalam pandangan kritis, kosakata istilah untuk objek atau konsep tertentu.
diperlakukan sebagai fenomena yang Proses tersebut berupa tersedianya
bersifat dinamis. Kosakata diperlakukan banyak sinonim atau sinonim yang
secara amat dinamis dibandingkan dengan mendekati. Beberapa pengarang banyak
memperlakukan daftar kata dalam kamus memanfaatkan kelebihan leksikal itu
yang mungkin saja amat membosankan. dengan menggunakan gaya hiperbola
Tiga hal yang perlu dianalisis dalam yang menciptakan kesan-kesan peraya-
proses-proses leksikal meliputi (1) an, pujian, dan pernyataan yang ber-
leksikalisasi, (2) kekurangan leksikal, dan lebihan.
(3) kelebihan leksikal. Setiap pilihan
kosakata mengimplikasikan posisi ideologis Ketransitifan
tertentu. Teori ketransitifan bersumber dari
Secara sederhana, leksikalisasi berkaitan fungsi representasi bahasa, yakni fungsi
dengan keberadaan sebuah kata untuk bahasa yang bertugas (1) menyandikan
sebuah konsep. Dari analisis leksi- (encode) pengalaman tentang dunia dan (2)
kalisasi, mungkin saja, kita akan membawa gambaran tentang realitas.
memeroleh informasi tentang generali- Gambaran mental itu dapat berupa struktur
sasi yang berlebihan atau penggunaan frasa, klausa, dan kata. Ketransitifan adalah
istilah yang konsisten yang keduanya seperangkat kategori universal yang
mengandung makna sosial tertentu. mencirikan jenis peristiwa dan proses yang
Generalisasi yang berlebihan akan berbeda, tipe partisipan yang berbeda dalam
menciptakan kesan gaya berpikir yang peristiwa tertentu serta berbagai keadaan
cenderung kekanak-kanakan, naif, tempat dan waktu dalam peristiwa yang
kepura-puraan, dan pengelakan. terjadi.
Penggunaan istilah yang konsisten akan Pangkal makna sebuah proposisi adalah
menimbulkan kesan pengetahuan predikat dan satu nomina atau lebih yang
14 BAHASA DAN SENI, Tahun 35, Nomor 1, Februari 2007

terkait dengan predikat itu. Predikat hilangan dilakukan karena alasan mitra
membawa berbagai jenis aktivitas atau tutur sudah mengetahui apa yang
keadaan yang terkait dengan nomina itu. dimaksudkan. Dalam kaidah pasif,
Mereka dibagi ke dalam beberapa tipe yang penghilangan sering dilakukan untuk
berbeda, yaitu (1) tipe tindakan, (2) tipe menyembunyikan agen (pelaku).
nontindakan, dan (3) tipe mental. Tipe Pengurutan berkenaan dengan modus
tindakan (action) adalah sebuah gerakan penyampaian dengan urutan yang
atau tindakan yang disengaja dengan berbeda, terutama pada pelaku (agent).
konsekuensi di bawah kontrol nomina. Tipe Hal itu dapat diperhatikan, misalnya,
nontindakan terdiri atas dua macam, yaitu dalam modus aktif dan pasif. Dalam
(1) keadaan (states) dan (2) proses. Tipe pandangan kritis, semua aturan
keadaan adalah tipe ketransitifan yang pengurutan adalah piranti retoris untuk
secara sederhana mencirikan kepemilikan memanipulasi perhatian pendengar.
objek. Tipe proses adalah tipe ketransitifan Kekompleksan berkenaan dengan
di mana peristiwa atau perubahan yang kerumitan susunan kalimat. Kekomplek-
terjadi terhadap sesuatu tanpa kontrol san kalimat terjadi ketika beberapa
mereka. Tipe mental adalah ketransitifan klausa disusun dalam satu rangkaian
yang berbentuk proses mental dan kalimat: klausa koordinatif dan sub-
keadaan mental . ordinatif. Kekompleksan klausa sub-
Fowler (1986:157) menegaskan bahwa ordinatif mengimplikasikan relasi-relasi
pembedaan sederhana antara tipe peristiwa logis. Kekompleksan klausa koordinatif
dan keadaan peristiwa yang berbeda akan mengimplikasikan urutan dari proposisi
membawa gambaran yang berbeda tentang yang terpisah-pisah. Klausa koordinatif
apa yang sedang terjadi dalam dunia. Hal sering diasosiasikan dengan modus
itu tentu terkait dengan perbedaan ideologi wacana yang naif dan primitif.
atau pandangan dunia penuturnya. Per-
bedaan dalam memilih ketransitifan berarti Modalitas
perbedaan dalam pandangan dunia. Modalitas adalah fitur lingual yang
menunjukkan tingkat komitmen atau sikap
Piranti Sintaksis penutur terhadap proposisi yang mereka
Stilistika tradisional berpandangan tuturkan atau sikap terhadap pendengar.
bahwa variasi kalimat digunakan untuk Berbagai modal dalam bahasa tertentu dapat
mengekspresi-kan makna yang sama menginformasikan tingkat komitmen dan
dengan fokus, cara pandang, dan penekanan sikap penutur itu. Dalam bahasa Indonesia,
yang berbeda. Pandangan itu perlu misalnya, dari analisis terhadap modalitas
disempurnakan. Variasi kalimat berimpli- dapat menginformasikan bahwa seseorang
kasi terhadap perbedaan cara memandang dapat menyatakan keinginan , harapan ,
dunia. Tiga piranti sintaksis yang dapat ajakan , pembiaran , per-mintaan , ke-
memberikan informasi tentang ideologi mungkinan , keteramalan , keharusan ,
adalah (1) penghilangan (deletion), (2) kepastian , perintah , izin , larangan ,
pengurutan (sequencing), dan (3) kemampuan , dan kesanggupan .
kekompleksan (complexity).
Penghilangan adalah piranti sintaksis Tindak Ujaran
yang menghilangkan bagian tertentu Kajian tindak ujaran menunjukkan
dalam klausa karena alasan tertentu. bahwa sebuah ujaran tidak hanya mengo-
Dalam kaidah elipsis, misalnya, peng- munikasikan makna proposisi, tetapi juga
Santoso, Ilmu Bahasa dalam Perspektif Kajian Budaya 15

mencapai tindakan melalui ujaran, seperti pribadi itu. Pilihan pronomina persona
berjanji, memerintah, meminta maaf, dan kedua dia dan beliau menginformasikan
sebagainya. Makna tindak ujaran menekan- banyak hal tentang kuasa dan solidaritas itu.
kan pada kekuatan pragmatik ujaran, Demikian juga dengan penggunaan Anda
kemampuannya tidak hanya mendeksripsi- dan Bapak akan menginformasi-kan
kan dunia, tetapi juga mengubah dunia. relasi-relasi kuasa dan solidaritas itu.
Konvensi-konvensi tindak ujaran me-
wujudkan representasi ideologis subjek dan Fonologi
relasi-relasi sosialnya. Melalui ujaran, Kajian terhadap fonologi menunjukkan
penutur dapat mengartikulasikan relasi- bahwa bunyi dan pola-pola bunyi
relasi kuasa yang melekat pada dirinya. berkorelasi dengan stratifikasi dan kelas
Tindak ujaran berimplikasi pada penetapan sosial dalam masyarakat. Sebuah fonem
dan pemertahanan relasi-relasi kuasa. tertentu hanya diucapkan oleh satu kelas
sosial tertentu, dan tidak atau jarang
Implikatur diucapkan oleh kelas sosial lainnya.
Grice sudah menunjukkan, bahwa Bahkan, dalam kajian vokal ditemukan
implikatur dihasilkan sering melalui bahwa kebundaran mulut saat membunyi-
pelanggaran yang nyata terhadap konvensi kan vokal bundar menginformasikan apakah
kerjasama yang membangun percakapan. orang itu berasal dari kelas borjuis atau
Ada dua catatan terhadap hal ini. Pertama, sebaliknya dari kelas pekerja.
sebuah implikatur bukan sebuah
kecelakaan , tetapi produk tindakan yang PENUTUP
bertujuan atau memiliki motivasi tertentu.
Hal itu berkaitan dengan status dan Kajian bahasa sudah seharusnya
autoritas. Kedua, melalui sebuah implikatur, menempatkan dimensi kritis untuk
seorang penutur memaksakan ideologinya menerjemahkan apa yang dikehendaki
kepada orang lain. dalam kajian budaya. Kajian bahasa harus
lebih menjawab pertanyaan mengapa
Gilir Tutur sebuah bentuk dan makna dipilih dalam
komunikasi. Bukan waktunya lagi memer-
Kajian terhadap gilir tutur menunjukkan tentangkan bahasa sebagai sistem dan
bahwa sebuah percakapan bukanlah sesuatu bahasa sebagai penggunaan dalam kajian
yang bebas dan tanpa aturan, tetapi terdapat bahasa. Keduanya saling melengkapi dan
aturan untuk urutan kontribusi peserta dan menyempurnakan untuk menemukan
gilir tuturnya. Dari gilir tutur dapat ideologi tersembunyi dari penutur.
diperoleh berbagai informasi: (i) siapa yang Linguistik dalam perspektif kajian
berkuasa dan siapa yang dikuasai, (ii) siapa
budaya bertujuan mengungkap relasi kuasa
mengontrol pembicaraan dan siapa yang tersembunyi dan proses-proses ideologis.
dikontrol, (iii) siapa yang sering mengambil Linguistik harus lebih banyak memusatkan
giliran tanpa memerhatikan kaidah yang
pada kajian teks-teks yang aktual, teks yang
sudah disepakati, dan sebaliknya. dihasilkan dalam perebutan komunikatif,
teks yang selalu terkait dengan posisi-
Sapaan, Nama, dan Rujukan Pribadi
onalitas, teks yang akrab dengan kekinian-
Kajian terhadap sapaan, nama, dan kenantian, kedisinian-kedisanaan, teks yang
rujukan pribadi menunjukkan bahwa diproduksi oleh siapa, kapan, dan untuk apa,
terdapat dimensi kuasa dan solidaritas dari teks yang tidak mengawang-awang di
pilihan terhadap sapaan, nama, dan rujukan udara, teks yang merealisasikan pelbagai
16 BAHASA DAN SENI, Tahun 35, Nomor 1, Februari 2007

modus wacana, dan teks yang selalu berada Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas
pada konteks. Negeri Malang.
Storey, J. 1993. Teori Budaya dan Budaya
DAFTAR RUJUKAN Pop: Memetakan Lanskap Konseptual
Cultural Studies. Terjemahan Dede
Barker, C. 2000. Cultural Studies: Teori Nurdin (2003). Yogyakarta: Qalam.
dan Praktik. Terjemahan oleh Nurhadi
(2004). Yogyakarta: Penerbit Kreasi
Wacana.
Birch, D. 1996. Critical Linguistics as
Cultural Process. Dalam James, J.E.
(Ed.), The Language-Culture Connection
(hlm. 64 85). Singapore: SEAMEO
Regional Language Centre.
Cavallaro, D. 2001. Teori Kritis & Teori
Budaya. Terjemahan oleh Laily
Rahmawati (2004). Yogyakarta: Niagara.
Crystal, D. 1991. A Dictionary of
Linguistics and Phonetics. Third Edition.
Oxford: Basil Blackwell Ltd.
Fairclough, N. 1989. Language and Power.
New York: Longman Group UK
Limited.
Fairclough, N. 1995. Critical Discourse
Analysis: The Critical Study of
Language. Harlow-Essex: Longman
Group Limited.
Fowler, R. 1985. Power. Dalam van Dijk, T.
(Ed.), Handbook of Discourse Analysis
Volume 4: Discourse Analysis in Society
(hlm. 61 82). London: Academic Press.
Fowler, R. 1986. Linguistic Criticism.
Oxford: Oxford University Press.
Fowler, R. 1996. On Critical Linguistics.
Dalam Caldas-Coulthard, C.R. &
Coulthard, M. (Eds.), Texts and
Practices: Reading in Critical Discourse
Analysis (hlm. 3 14). London:
Routledge.
Halliday, M.A.K. 1978. Language as Social
Semiotic: The Social Interpretation of
Language and Meaning. London:
Edward Arnold.
Santoso, A. 2006. Bahasa, Masyarakat, dan
Kuasa: Topik-Topik Kritis dalam Kajian
Ilmu Bahasa. Malang: Jurusan Sastra

Anda mungkin juga menyukai