Anda di halaman 1dari 12

Nama : Ego Prasetya

Nim : 19714251004

1. Ekokritik sastra
a. Afry Adi Chandra. EKOKRITIK DALAM CERPEN INDONESIA
MUTAKHIR. Jurnal Pena Indonesia, Vol. 3, No. 2 – Oktober 2017
b. Safrudin Atfalusoleh. KAJIAN EKOKRITIK SASTRA CERPEN
HARIMAU BELANG KARYA GUNTUR ALAM DALAM
KUMPULAN CERPEN KOMPAS 2014 “KARMA TANAH &
CERITA LAINNYA”. PROSIDING SEMNAS KBSP V
c. Juanda Juanda. Eksplorasi Nilai Pendidikan Lingkungan Cerpen
Daring Republika: Kajian Ekokritik. Jurnal Sosial Humaniora (JSH)
2018, Volume 11, Ed. 2 ISSN Online: 2443-3527 ISSN Print: 1979-
5521
d. Novita Dewi. MANUSIA DAN LINGKUNGAN DALAM CERPEN
INDONESIA KONTEMPORER: ANALISIS EKOKRITIK CERPEN
PILIHAN KOMPAS. LITERA, Volume14, Nomor 2, Oktober 2015
e. Nurul Asyifa', Vera Soraya Putri. KAJIAN EKOLOGI SASTRA
(EKOKRITIK) DALAM ANTOLOGI PUISI MERUPA TANAH DI
UJUNG TIMUR JAWA. PS PBSI FKIP Universitas Jember 2018 |
Seminar Nasional #4
f. YUNITA ANDRI ANGGRAINI. Rusake Alam Sajrone Geguritan
Sastra Jawa Modern: Tintingan Ekokritik.
2. Antropologi sastra lisan
a. Bisarul Ihsan 1) Sisfiyah Zuliyanti 2). KAJIAN ANTROPOLOGI
SASTRA DALAM NOVEL RANGGALAWE: MENDUNG DI
LANGIT MAJAPAHIT KARYA GESTA BAYUADHY. PENTAS:
Jurnal Ilmiah Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Vol. 4, No. (1)
Mei 2018.
b. Risnawati. BENTUK MITOS JAWA DALAM NOVEL SIMPLE
MIRACLE: DOA DAN ARWAH KARYA AYU UTAMI SEBAGAI
PIRANTI PENDIDIKAN KARAKTER (KAJIAN ANTROPOLOGI
SASTRA). (Seminar Nasional Bahasa dan Sastra) Edisi 1 Tahun 2017
Halaman 341-351, E-ISSN 2599-0519
c. IKA DWI ASTUTIK. BUDAYA JAWA DALAM NOVEL TIRAI
MENURUN KARYA NH. DINI (Kajian Antropologi Sastra). Jurnal.
Volume 01 Nomor 01 Tahun 2012, 0 – 216
d. Lutfi Irawan Rahmat. KAJIAN ANTROPOLOGI SASTRA DALAM
CERITA RAKYAT KABUPATEN BANYUWANGI PADA
MASYARAKAT USING. Jurnal Kredo Vol. 3 No. 1 Oktober 2019.
e. I Wayan Rasna. SASTRA LISAN DALAM IMPLEMENTASI
PENGOBATAN TRADISIONAL BALI OLEH PARA DUKUN DI
KABUPATEN JEMBRANA: SEBUAH KAJIAN ANTROPOLOGI
SASTRA – ETNO MEDIS. Prosiding seminar internasional
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
(PIBSI) XXXVI Yogyakarta, 11-12 Oktober 2014 Membangun Citra
Indonesia di Mata Internasional melalui Bahasa dan Sastra Indonesia
3. Zoologi sastra
a. V. Vimala 1 and V. Pulla Reddy 2. OBSOLESCENCE OF
LITERATURE IN ZOOLOGY. Malaysian Journal of Library &
Information Science, Vol.1, no.2, July 1997:
b. ANDREW J. HAMILTON, ROBERT M. MAY & EDWARD K.
WATERS. Here be dragons. NATURE | VOL 520 | 2 APRIL 2015
c. Robert R. Jackson & Simon D. Pollard. Intraspecific interactions and
the function of courtship in mygalomorph spiders: a study of
Porrhothele antipodiana (Araneae: Hexathelidae) and a literature
review.
4.
Manusia dan Alam Dalam Geguritan Argha Iki Karya Siswidiadi Ngesti N:
SUATU KAJIAN EKOKRITIK GREG GARRARD

Ego Prasetya

Nim. 19714251004

abstrak

Alam merupakan sebuah representasi pengimajinasian manusia dalam pembuatan


karya sastra. Fenomena-fenomena alam yang terjadi seringkali ditonjolkan oleh
seorang pengarang kedalam sebuah karya sastranya. Karya sastra berkaitan dengan
alam merupakan isyarat-isyarat atau sebuah simbol yang disembunyikan pengarang
melalui sebuah karya sastra. Geguritan merupakan salah satu bentuk karya sastra
yang berhubungan dengan lingkungan alam. Dalam sebuah karya geguritan banyak
terdapat diksi pemajasan wujud dari representasi pengarang dalam membangun
sebuah karya sastra yang menarik untuk dikaji dan diselami. Ekokritik merupakan
sebuah kajian ilmu yang mengkhususkan untuk menyelami kasanah karya sastra
yang berkaitan dengan lingkungan. Eksistensi ekokritik dipengaruhi oleh
lingkungan atau adanya hubungan timbal balik atau adanya hubungan saling
berkaitan antara karya sastra dengan lingkungan. Ekokritik dapat menyelami lebih
jauh sebuah karya sastra saat dimana ada ketidakseimbangan alam dalam sebuah
karya sastra.
Pendahuluan

Karya sastra merupakan suatu bentuk ungkapan pengarang berupa


pemikiran, gagasan, maupun pengalaman yang diwujudkan dalam suatu gambaran
konkret sebagai suatu bentuk kreativitas (Nurul Asyifa', Vera Soraya Putri: 2018).
Karya sastra juga dapat diartikan sebagai sebuah kontruksi pengetahuan, yang
diekspresikan dengan ilmu estetika tingkat tinggi melalui tulisan yang khas sastra
(Endraswara, 2013:133). Karya sastra memiliki unsur-unsur berupa pemikiran, ide,
dan gagasan. Sebagai bentuk pemikiran atas sebuah gagasan, karya sastra mampu
menjadi media bagi pengarang untuk menyampaikan berbagai hal yang dianggap
penting. Penyampaian gagasan tersebut dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk
karya sastra. Dalam sebauh karya sastra tanpa disadari alam merupakan sesuatu
gambaran yang menarik dalam sebuah karya sastra yang jarang diperhatikan. Sudah
sejak lama alam menjadi bagian representasi dari banyak karya sastra. Pengarang
atau penulis karya sastra seringkali menggunakan alam bukan hanya sekadar
menjadi latar sebuah cerita tetapi juga dapat menjadi tema utama dalam karyanya.
Banyak penulis-penulis karya sastra yang menjadikan alam sebagai imajinasi dalam
pembuatan sebuah karya sastra. Pengimajinasian pengarang dimaksudkan sebagai
sebuah kepedulian pengarang terhadap alam melalui sebuah karya sastra yang
dihasilkan. Kepedulian pengarang terhadap lingkungan alam terkadang ditonjolkan
sebuah kejadian fenomena alam yang terjadi dalam sebuah karya sastra.
Pengimajinasian pengarang dalam sebuah karya sastra sangatlah menarik untuk
dikaji dan dikritisi guna untuk menemukan maksud yang ingin disampaikan
pengarang melalui sebuah karya sastra dalam hal ini yaitu geguritan. Sebuah karya
sastra yang baik tentunya selalu berkaitan dengan bidang-bidang ilmu pengetahuan
yang lain. Banyak ditemukan unsur-unsur ilmu pengetahuan lain seperti halnya
filsafat, sains, antropologi, ekologi, sosial, dan lain sebagainya.

Salah satu ilmu yang dapat dikaitkan untuk mengkaji maupun mengkritisi
karya sastra yang menonjolkan tentang fenomena-fenomena alam yaitu ekologi.
Dalam perkembanganya ekokiritik atau kritik ekologi bersumber dari pergerakan
lingkungan modern sekitar tahun 1960an di eropa untuk menyikapi perubahan
populasi, dalam hal itu telaaah ekologi dikaitkan dengan ilmu sastra sehingga
menghasilkan kajian ekologi sastra, ekokritik sastra, atau sastra ekologis (bahardur
dan suryo: 2017). Alam dan lingkungan dalam sebuah karya sastra bukan hanya
sebagai latar seting yang hanya dimanfaatkan sebagai pembangun dalam sebuah
karya sastra, melainkan sebuah aspek yang tanpa banyak disadari adalah sebuah
keindahan dalam karya sastra. Alam dan lingkungan merupakan sebuah ranah
dalam kajian ilmu sastra khususnya menggunakan ekokritik sastra.

Ekologi

Ekologi merupakan ilmu yang mengaji hubungan antara organisme dengan


lingkungan Mc. Naughton dan Wolf (dalam Kaswadi, 2015:4). Menurut
Endraswara (dalam Widianti, 2017:3) ekologi sastra merupakan ilmu ekstrinsik
sastra yang mendalami masalah hubungan sastra dengan lingkungannya. Kajian
ekologi terhadap salah satu wujud karya sastra berarti mempertemukan konsep ilmu
ekologi dengan karya sastra. Paradigma ekologi terhadap kajian sastra merupakan
bentuk penerapan pendekatan ekologi dalam memandang sebuah karya sastra.
Dalam pandangan ekologi, eksistensi organisme dipengaruhi oleh lingkungannya
atau ada hubungan timbal balik dan saling keterkaitan antara organisme dengan
lingkungannya. Lingkungan berarti semua faktor eksternal yang langsung
memengaruhi kehidupan, pertumbuhan, perkembangan, dan reproduksi suatu
organisme. Dalam paradigma ekologi, karya sastra diposisikan sebagai suatu
spesies atau komponen dalam sebuah ekosistem (Kaswadi, 2015:5). Kajian ekologi
dalam pengertian tersebut juga dikenal dalam dua bentuk, yaitu kajian ekologi
dengan menekankan aspek alam sebagai inspirasi karya sastra dan kajian ekologi
yang menekankan pembelaan atau advokasi terhadap kerusakan lingkungan yang
disebabkan oleh perbuatan manusia (Widianti, 2017:3). Paradigma ekologi
terhadap kajian sastra berarti menerapkan pendekatan ekologi untuk mendekati
karya sastra. Dalam pandangan ekologi, eksistensi organisme dipengaruhi oleh
lingkungannya atau ada hubungan timbal balik dan saling keterkaitan antara
organisme dengan lingkungannya.

Ekokritik

Ekokritik sastra adalah perspektif menafsirkan sastra dengan


mempertimbangkan lingkungan (Endraswara, 2016: 48). Kritik sastra sama halnya
menghakimi sastra (Pradopo, 2002: 31). Kritikus adalah orang yang sedang
menafsirkan teks dan kata-kata (Endraswara, 2016: 49). Kritik dapat diartikan
sebagai bentuk ekspresi, penilaian yang berkaitan tentang kualitas-kualitas baik
atau buruk dari sesuatu. Ekokritik sastra (ekologi dan sastra) mensyaratkan
kehadiran, kebersamaan, dan kesatu-paduan berbagai teori yang relevan dan
konsern terhadap masalah kajian sastra dan lingkungan, di antaranya adalah teori
kritis, kritik sastra, teori kebudayaan, dan teori etika lingkungan (ekologi).
Ekokritik dapat membantu menentukan, mengeksplorasi, dan menyelesaikan
masalah ekologi. Sebagai media representasi sikap, pandangan, dan tanggapan
masyarakat terhadap lingkungan sekitarnya, sastra berpotensi mengungkapkan
gagasan tentang lingkungan, termasuk nilainilai kearifan lingkungan. Sastra
tumbuh, berkembang, dan bersumber dari lingkungan masyarakat dan lingkungan
alam (ekologis). Ekokritik sastra menafsirkan sastra dengan mempertimbangkan
lingkungan. Ekokritik memberikan perhatian terhadap hubungan timbal balik
antara sastra dengan lingkungan hidup termasuk hubungan dengan realitas sosial
dan fisik, yang biasanya menjadi perhatian dalam ekologi. Ecocriticism berfokus
pada sastra (dan seni) ekspresi pengalaman manusia terutama dialami dan akibatnya
dalam dunia budaya berbentuk: sukacita kelimpahan, penderitaan kekurangan,
harapan untuk ekosistem harmonis, dan ketakutan kehilangan dan bencana
(Endraswara, 2016: 64). Pendekatan ekokritis bertujuan untuk meningkatkan
kesadaran manusia terhadap situasi lingkungan bumi melalui karya sastra. Kajian
sastra ekokritisisme dapat memberikan wawasan menarik tentang representasi
tempat dan alam dalam teks sastra. Ada hubungan erat antara ekokritik dan sastra.
Dengan analogi, ekokritik berkaitan dengan hubungan antara sastra dan lingkungan
atau bagaimana hubungan manusia dengan lingkungan fisiknya tercermin dalam
sastra (Juanda, 2018:70). Kajian terhadap karya sastra menggunakan ekokritik akan
menjelaskan bagaimana alam, lingkungan hidup, dengan berbagai persoalannya
menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam karya sastra. Alam dan lingkungan
hidup, tidak hanya dipahami sebagai latar tempat dan suasana, tetapi juga
merupakan aspek yang ikut membangun estetika sebuah karya sastra.

Ekokritik Menurut Greg Garrard

Ekokritik merupakan teori sastra kontemporer karena hubungannya yang


erat dengan ilmu ekologi. Ekokritik mungkin tidak memenuhi syarat untuk
berkontribusi pada perdebatan tentang masalah dalam ekologi, tetapi tetap
melampaui batas disiplin dan mengembangkan 'literasi ekologis' sejauh mungkin.
Karena itu diskusi singkat tentang beberapa ancaman lingkungan yang dihadapi
oleh dunia saat ini. “Ecocriticism is unique amongst contemporary literary and
cultural theories because of its close relationship with the science of ecology.
Ecocritics may not be qualified to contribute to debates about problems in ecology,
but they must nevertheless transgress disciplinary boundaries and develop their
own ‘ecological literacy’ as far as possible. I therefore provide brief discussions of
some important environmental threats faced by the world today” (Garrard, 2004:
5). Masalah ekologis adalah masalah yang timbul dari hubungan manusia dengan
alam, dari mana manusia harus membebaskan diri sendiri, dan yang tidak di anggap
sebagai konsekuensi yang tak terelakkan dari apa yang baik dalam masyarakat
seperti dalam kutipan berikut: “Ecocriticism is a movement in literary studies
focused on nature’s role in the texts we read. In practice, ecocritics engage the
long-overlooked aesthetic, ethical, and political relations reciprocating between
books and the world around them” (Garrard, 2004: 5).

Menurut Garrard ekokritik meliputi studi tentang hubungan antara manusia


dan non-manusia, sejarah manusia dan budaya yang berkaitan dengan analisis kritis
tentang manusia dan lingkungannya. Masalah lingkungan memerlukan analisis
budaya secara ilmiah karena masalah tersebut merupakan hasil interaksi antara
pengetahuan ekologi dan perubahan budayanya. Garrard menekankan pentingnya
pengetahuan ekologi bukan hanya untuk melihat harmoni dan stabilatas lingkungan
tetapi juga untuk mengetahui sikap dan perilaku manusia. Oleh karena itu, secara
singkat dia mengatakan analisis ekokritik bersifat interdisipliner yang merambah
disiplin ilmu lain, yaitu sastra, budaya, filsafat, sosiologi, psikologi, sejarah
lingkungan, politik dan ekonomi, dan studi keagamaan. Menurut Garrard, ekokritik
itu sendiri dapat dibatasi sebagai studi tentang hubungan antara karya sastra dan
lingkungan fisik. Fondasi dasarnya adalah bahwa karya sastra memiliki hubungan
dengan alam. Dengan demikian, ekokritik menjadi jembatan bagi keduanya.
Ekokritik menjadi pisau bedah analisis untuk menangkap fenomena alam dan
lingkungan yang terbesit dalam sastra. lingkungan alam itu diam, akan bergerak
dan berfungsi estetis ketika ada sentuhan sastrawan. Dalam karya sastra tentu tidak
melulu menceritakan hubungan manusia dengan manusia saja, melainkan meliputi
hubungan manusia dengan makhluk-makhluk lainnya yang ada di alam semesta ini.
Karya sastra terkadang mengungkap hal-hal kecil yang ada di kehidupan manusia
yang kurang diperhatikan namun memiliki pengaruh besar.

Metodelogi Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan ialah penelitian kualitatif. Metode kualitatif


digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang mengandung
makna. Makna adalah data yang sebenarnya, data yang pasti yang merupakan suatu
nilai di balik data yang tampak (Sugiyono, 2015: 3). Data dalam metode kualitatif
diuraikan dengan menggunakan data-data bukan angka-angka. Penelitian ini
bersifat deskriptif sebab tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan data dengan
cara menganalisis data yang berupa harmonisasi antara alam dan manusia.
Penelitian kualitatif juga diartikan sebagai penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya,
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik dan dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang
alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2005:6).
Pendekatan yang dipergunakan untuk melakukan penelitian ini adalah pendekatan
ekokritik. Sastra selalu berkaitan dengan manusia, salah satu komponen didalamnya
yakni lingkungan. Sastra adalah cermin keadaan lingkungan (Endraswara, 2016:
viii).

Pembahasan

Geguritan

ARGA IKI

Mataun-taun
Sira ngrusak geger lan awakku
Makaping-kaping
Landhepe bendho lan pacul

Nyigar lemah subur dadi larik-larik tandur


Pokalmu mblandhong sapenak dhengkul…
Lemah ijo wis malih gundhul
Tirta musna ing mangsa ketiga

Ninggal belik nalika paceklik


Jare wadhuk dadi alesan
Ora bakal ana rampunge
Nadyan donya pisan
Denuntal sakabehe…

Yoh
Entenana
Yen tekan titi mangsa
Arga iki nagih prasetya…

(Siswidiadi Ngesti N)

Geguritan berjudul merapi mengisahkan tentang keadaan gunung merapi,


penyair dalam geguritan tersebut membuat tipografi menyerupai paragraf.
Tipografi tersebut menjelaskan bahwa geguritan tersebut menceritakan keadaan
gunung atau pegunungan yang sudah rusak atau dirusak oleh manusia dengan
mengutamakan keindahan pada tiap barisnya. Penggunaan diksi-diksi berkaitan
dengan sudah rusaknya gunung atau pegunungan yang menjadi latar belakang karya
sastra tersebut. Pada bait pertama terdapat penggunaan-penggunaan diksi yang
menggambarkan manusia telah merusak gunung dalam waktu bertaun-taun.
“Mataun-taun, Sira ngrusak geger lan awakku, Makaping-kaping, Landhepe
bendho lan pacul” penggunaan diksi “geger lan awakku” merupakan pengibaratan
gunung atau pegunungan yang diibaratkan sebagai anggota badan manusia.
Penggunaan diksi tersebut dimaksudkan keprihatinan pengarang mengenai kondisi
alam gunung yang dikemas dalam bentuk-bentuk pemajasan yang dapat
memperindah penuturnya. Pada bait kedua pengarang masih menggunakan diksi-
diksi sebagai pemajasan yang berkaitan dengan pengrusakan alam dengan
diekplisitkanya kata “nyigar lemah” pada larik pertama. “Nyigar lemah subur dadi
larik-larik tandur, Pokalmu mblandhong sapenak dhengkul…,Lemah ijo wis malih
gundhul,Tirta musna ing mangsa ketiga”. Pengarang menggunakan diksi-diksi
yang berkaitan dengan pengrusakan gunung/pegunungan untuk membuat ungkapan
tindakan manusia yang senang mengrusak lingkungan alam dengan berbagai cara.
Bait ketiga pengarang menggambarkan alasan-alasan manusia dalam merusak
alam. Pengarang menggambarkan alasan-alasan yang dibuat manusia dalam
kegiatanya yang merusak alam merupakan sebuah alasan pembangunan. Pengarang
dalam bait ini menjelaskan pengrusakan alam yang tiada habisnya meskipun dunia
ini sekalipun sudah tiada. Pada bait terakhir pengarang menggambarkan hubungan
timbal balik, yaitu timbal balik antara alam dengan manusia. Dalam konteks ini
dijelaskan melalui diksi-diksi yang digunakan pengarang sebagai pemajasan dalam
memperindah karyanya. Pengarang menjelaskan bahwasanya dengan merusak alam
suatu saat nanti alam akan memberikan hukuman timbal balik atas apa yang telah
dilakukan manusia terhadapnya.

Dari analisis geguritan tersebut dapat diperoleh gambaran mengenai


representasi gunung/pegunungan melalui pendekatan ekokritik Greg Garrard. Di
dalam geguritan tersebut gunung/pegunungan menjadi representasi. Gunung dalam
hal ini sebuah gambaran dari alam bukan hanya sekedar menjadi gambaran setting
tempat saja tetapi juga menjadi tema dalam geguritan ini. Pemilihan diksi dalam
geguritan menggambarkan bahwasanya alam dapat menjadi jembatan para
pengarang dan penulis karya sastra untuk menyampaikan suasana, citraan, latar,
ataupun, tema besar yang ada dalam karya sastra. Representasi keadaan gunung
dalam geguritan ini menjadi satu pokok pembahasan utama, hal tersebut
dimaksudkan untuk menjelaskan keadaan gunung yang senantiasa dirusak oleh
manusia. Isi dalam geguritan ini berkaitan dengan pengrusakan terhadap gunung
yang tiada henti, pengarang dalam hal ini mampu menciptakan suasana dengan
penggunaan diksi-diksi pemajasan yang mampu menciptakan efek yang menarik
dalam sebuah geguritan. Representasi pengrusakan gunung yang terjadi merupakan
gambaran penting dalam geguritan ini, penggambaran dapat dirasakan pada setiap
baris dalam geguritan yang terlihat lebih menarik dan berkualitas. Berdasarkan
deskripsi dalam geguritan keadaan gunung sudah sangat memprihatinkan, hal
tersebut terbukti dengan pengrusakan gunung yang dilakukan manusia bertaun-taun
dan belum berhenti meskipun dunia ini sudah tidak ada.

Ekokritik menjelaskan bahwa karya sastra berkaitan dengan alam. Ketika


melihat analisis geguritan, keterkaitan antara alam dan karya sastra sangat dekat.
Pengarang sangat detail menggunakan representasi tentang alam. Penggambaran
representasi alam ini, bukan hanya sebagai hiasan tetapi mempunyai pesan ekologi.
Pesan ekologis dalam penelitian ini yaitu keadaan gunung yang selalu dirusak
manusia demi alasan pembangunan yang terdapat dalam stiap baris pada geguritan.
Pengrusakan-pengrusakan yang dilakuakn tidak semestinya dilakukan, hal tersebut
dikarenakan akan menimbulkan hubungan sebab akibat. Dalam konteks ini yaitu
akibat pengrusakan alam yang dilakukan oleh manusia yang nantinya akan
menyebapkan beberapa bencana alam. Penggunaan diksi pada setiap baris
menunjang suasan atau pesan ekologis bahwa tidak adanya keharmonisan antara
alam dengan manusia. Penggambaran representasi pengrusakan alam secara tersirat
alam sudah sangat memprihatinkan dan selalu dirusak oleh manusia, hal tersebut
terjadi karena adanya pengrusakan alam yang berjalan bertaun-taun dan seakan
meskipun dunia ini sudah tidak ada akan tetap terjadi pengrusakan alam.

Kesimpulan

Representasi pengrusakan alam oleh manusia dalam geguritan arga iki karya
Siswidiadi Ngesti N digambarkan dengan sangat jelas. Dalam geguritan tersebut,
alam tidak hanya menjadi sebah latar setting tempat tetapi juga menjadi tema dalam
geguritan dengan maksud menjelaskan pengrusakan-pengrusakan manusia
terhadap alam yang telah terjadi. Keseluruhan bait dalam geguritan berkaitan
dengan alam, dengan penggambaran pengrusakan-pengrusakan alam menggunakan
diksi pemajasan oleh pengarang guna dapat memberikan kualitas pada karyanya.
Representasi pengrusakan alam dalam geguritan tersebut tergambar melalui
pengrusakan-pengrusakan alam yang dilakukan oleh manusia.

Pustaka

Endraswara, Suwardi. 2013. “Metodelogi Kritik Sastra”. Yogyakarta: Ombak.

---------------. 2016. “Metodelogi Penelitian Ekologi Sastra”. Yogyakarta: CAPS.

Garrard, Greg. (2004). “Ecocriticism”. London and New York: Routledge.

Iswadi Bahardur dan Suro Ediyono. 2017. “Unsur-unsur ekologi dalam sastra
lisan mantra pengobatan sakit gigi masyarakat kelurahan kuranji”. Jurnal
basindo: jurnal kajian bahasa, sastra indonesia, dan pembelajaranya.

Juanda, J. J. (2018). “Eksplorasi Nilai Pendidikan Lingkungan Cerpen Daring


Republika: Kajian Ekokritik”. Jurnal Sosial Humaniora, 11 (2),

Kaswadi. 2015. “Paradigma Ekologi dalam Kajian Sastra”. Jurnal Paramasastra.


Surabaya: Universitas Negeri Surabaya Volume 2 Nomor 2.
Moleong, Lexy J. 2005. “Metodologi Penelitian Kualitatif”. Bandung: Remaja
Rosdakarya.

Nurul Asyifa', Vera Soraya Putri. “Kajian Ekologi Sastra (Ekokritik) Dalam
Antologi Puisi Merupa Tanah Di Ujung Timur Jawa”. PS PBSI FKIP Universitas
Jember 2018 | Seminar Nasional #4.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. “Kritik Sastra Indonesia Kontemporer”.


Yogyakart: Gama Media

Sugiyono. (2015). “Memahami Penelitian Kualitatif”. Bandung: CV. Alfabeta


Bandung.

Widianti, Ande Wina. 2017. “Kajian Ekologi Sastra dalam Kumpulan Cerpen
Pilihan Kompas 2014 Di Tubuh Tarra dalam Rahim Pohon”. Jurnal Diksastrasia.
Ciamis: Universitas Galuh Volume 1 Nomor 2.

Sumber Web

https://pasberita.com/geguritan-bahasa-jawa/ diunduh pada 2 januari 2020 pukul 23:19

Anda mungkin juga menyukai