PROPOSAL SKRIPSI
Oleh
HAMIZATUN NAZIH
20161110014
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya sastra dipandang sebagai suatu bentuk gejala sosial yang dalam
perkembangannya tidak luput dari latar belakang masalah-masalah yang ada di
masyarakat. Sastra yang ditulis dalam kurun waktu tertentu berkaitan dengan
norma-norma dan adat istiadat di zaman itu. Sastra tidak hanya mencerminkan
kenyataan, tetapi juga sastra membangun masyarakat. Dalam artian, sastra
memiliki pengaruh positif yang dikemas pengarang dengan tujuan dapat
membangun untuk menjadi lebih baik lagi segala hal melalui sastra. Karya sastra
sebagai wahana bahasa dan ideologi mampu mengungkapkan banyak hal
menarik untuk dibahas, serta wadah untuk menyampaikan ide atau gagasan
pengarang yang berbentuk suatu karya mengungkapkan hakikat kehidupan
manusia.
Jika dilihat dari kacamata kritis, alam atau lingkungan amat dekat dengan
sastra sehingga kajian ekologi dan sastra menjadi suatu hal sangat penting.
Ekologi dengan ciri khasnya yang memiliki cakupan luas tentang eksistensi
segala aspek yang ada di alam kemudian sastra yang memiliki ciri khas dengan
segala keindahan bahasa yang terkandung di dalamnya, menjadi suatu ciri yang
menghidupkan tema yang ada dalam kajian sastra itu sendiri dengan berbagai
kacamata yang ada. Kajian ekologi yang banyak membahas kondisi alam
menjadi suatu hal yang amat dekat dengan kajian sastra. Sastra dengan ciri
khasnya akan menjadikan alam sebagai salah satu sumber inspirasi atau
pengilhaman bagi penulisnya sehingga lahirlah sebuah karya sastra dengan gaya
bahasa yang banyak menyinggung tentang kondisi alam. Menurut Ragil (2017:
2) lingkungan dan sastra tidak dapat dipisahkan, hal tersebut dikarenakan
lingkungan adalah salah satu hal yang dapat menghidupkan suatu cerita dalam
karya sastra. Dari pendapat tersebut diketahui bahwa lingkungan menjadi salah
satu unsur yang dapat membantu sastra untuk menjadikan suatu cerita lebih
hidup.
Salah satunya sastra yang menarik untuk dibahas adalah sastra hijau
karena timbulnya gerakan sastra hijau menunjukkan adanya perhatian khusus
terhadap alam dan lingkungan yang berperan besar dalam penyelamatan bumi.
Di Indonesia telah melakukan gerakan sastra hijau yang dipelopori oleh seorang
novelis Naning Pranoto. Dalam tulisan Wiyatmi, dkk, istilah sastra hijau (green
literature) menurut Pranoto (2014: 4) identik dengan ecocriticism. Pranoto
(2014:5) mengungkapkan bahwa sastra hijau memiliki beberapa kriteria, yaitu
bahasa yang digunakan bayak mengandung diksi ekologis dan isi karya dilandasi
cinta pada bumi (Wiyatmi, dkk) . Kecintaan pada bumi membuat kita
tergerakkan atas kerusakan terhadap bumi yang hancur, melawan ketidakadilan
atas perlakuan sewenang-wenang terhadap bumi dan segala isinya (pohon,
tambang, air, udara, dan penghunianya manusia), dalam menyikapi kerusakan
bumi yang hancur sastra hijau harus mampu menyampaikan ide atau gagasan
yang mampu mempengaruhi pola pikir masyarakat. Hal ini sesuai dengan visi
dan misi sastra hijau, yakni sastra yang beperan dalam penyadaran dan
pencerahan yang diharapkan dapat mengubah gaya hidup perusak menjadi
pemelihara alam dan lingkungan sekitar.
Perempuan dalam karya sastra menjadi korban dari cara pandang yang
cenderung menyalahkan perempuan atas pelanggaran moral yang terjadi.
Akibatnya, perempuan yang menjadi korban tersebut dianggap hanya sebagai
konsekuensi logis dari cara perempuan yang tidak mengikuti kontrol patriaki.
Permasalahan dan isu-isu sosial yang diselesaikan memadai dan tidak konstan
diselesaikan melalui jalan kritik bukanlah hal yang baru, tetapi kritik terhadap
lingkungan melalui karya sastra adalah sesuatu hal yang baru. Melalui karya
sastra, sastrawan berusaha mengkritisi bencana dan kerusakan alam dan
lingkungan yang diakibatkan oleh manusia, baik secara langsung atau tidak
langsung tidak lepas dari kuasa patriarki.
Oleh karena itu, novel ini menjadi semakin menarik untuk dibahas
dikaitkan dengan kajian ilmu interdisipliner, yakni ketertindasan ekologi dan
perempuan yang melahirkan konsep kajian ilmu ekofeminisme, teori
ekofeminisme merupakan teori yang saat ini sedang banyak dibicarakan orang
dan teori tersebut terhitung baru di Indonesia serta masih jarang teori ini dilirik
utuk dimanfaatkan sebagai pisau bedah untuk sebuah penelitian. Novel Dunia
Anna karya Jostein Garder menarik untuk dikaji dari prespektif ekofeminisme
sastra karena: 1) kesadaran tokoh perempuan dalam menjaga alam dan
lingkungan, tokoh Anna khawatir akan perubahan iklim diakibatkan oleh
manusia dan takut kalau hidup saat ini mempertaruhan iklim dan lingkungan
bumi ini tanpa memedulikan generasi selanjutnya; 2) Peran perempuan terhadap
alam dan lingkungan; 3) Perjuangan perempuan terhadap alam dan lingkungan,
merancang sebuah kelompok pecinta lingkungan yang akan mereka dirikan.
B. Fokus penelitian
Penelitian ini memfokuskan pada kajian eksistensi perempuan terhadap alam
dan lingkungan dalam novel Dunia Anna karya Jostein Garder. Eksistensi
perempuan dimaksud adalah teks-teks yang menunjukan adanya tokoh
perempuan yang menjadi peran utama dalam novel tersebut yang digambarkan
dalam novel oleh penulis.
1) Kesadaran tokoh perempuan dalam menjaga alam dan lingkungan dalam
novel Dunia Anna karya Jostein Garder.
2) Peran perempuan terhadap alam dan lingkungan dalam novel Dunia Anna
karya Jostein Garder.
3) Perjuangan perempuan terhadap alam dan lingkungan dalam novel Dunia
Anna karya Jostein Garder.
C. Tujuan Penelitian
Melalui pemaparan focus penelitian, maka tujuan penelitian dapat
dikemukakan sebagai berikut :
1) Mendeskripsikan kesadaran tokoh perempuan dalam menjaga alam dan
lingkungan dalam novel Dunia Anna karya Jostein Garder.
2) Mendeskripsikan peran perempuan terhadap alam dan lingkungan dalam
novel Dunia Anna karya Jostein Garder.
3) Mendeskripsikan perjuangan perempuan terhadap alam dan lingkungan
dalam novel Dunia Anna karya Jostein Garder.
D. Manfaat Penelitian
Suatu penelitian yang berhasil adalah suatu penelitian yang dapat
memberikan manfaat terhadap pembaca. Berikut adalah manfaat dari penelitian
ini :
1. Manfaat teoretis
Manfaat teoretis yang dapat diambil dari penelitian ini, yakni :
1. Memberikan sumbangan dalam memperluas ilmu pengetahuan bidang
ekologi sastra dalam perspektif ekofeminisme.
2. Memperkuat referensi pustaka pada bidang ekologi sastra dalam perspektif
ekofeminisme.
3. Penelitian diharapkan mampu menyumbangkan pemikiran yang bersifat
teoretis pada ekologi sastra dalam perspektif ekofeminisme.
2. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis yang dapat dijabarkan dalam penilitian ini yakni :
Pembaca
Manfaat praktis penelitian ini yang diharapkan bagi pembaca, yakni :
1. Memberikan pemahaman kepada pembaca untuk lebih kritis menanggapi
kondisi alam dan lingkungan melalui media sastra.
2. Memberikan pemahaman kepada pembaca bahwa novel merupakan salah
satu karya sastra yang dapat menjadi pengantar kajian tentang kondisi alam
dan lingkungan.
3. Memberikan pemahaman kepada pembaca bahwa perempuan juga memiliki
peranan penting terhadap kondisi alam dan lingkungan.
Peneliti selanjutnya
Manfaat praktis penelitian ini yang diharapkan bagi peneliti selanjutnya, yakni :
1. Menambah wawasan maupun refrensi lebih kritis dalam memahami karya
sastra berbasis lingkungan.
2. Menjadikan faktor pendorong kajian ekologi dengan menggunakan
perspektif ekofeminisme dalam karya sastra ke depan yang lebih baik.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Eksistensi Manusia Terhadap Alam dan Lingkungan
Eksistensi dapat diartikan sebagai suatu bentuk keberadaan. Dalam Armawi
(2011:23-24), Hadiwijono mengatakan bahwa manusia berada di dalam dunia
atau dengan perkataan lain cara berada manusia di dalam dunia. Kata ‘eksistensi’
berasal dari kata ‘eks’ (keluar) dan ‘sistensi’, yang diturunkan dari kata kerja
‘sisto’ (berdiri, menempatkan). Oleh karena itu, kata ‘eksistensi’ dapat diartikan
manusia yang berdiri sebagai diri sendri dengan keluar dari dirinya. Manusia
pada hakikatnya menghadapi nisbahnya dengan alam. Manusia dalam
menghadapi alam senantiasa mempersiapkan diri unruk memelihara alam
sehingga ia dapat melandasi dan menghayati kehidupan yang akan datang.
Menurut Kierkegaard, “Hidup bukanlah sekedar sesuatu sebagaiamana yang
dipikirkan melainkan sebagaimana yang dihayati. Semakin mendalam
penghayatan manusia mengenai kehidupan maka semakin bermakna pula
kehidupannya” disitulah eksistensi manusia yang sesungguhnya.
Saiful Jihad (dalam Wicaksana, 12-13) eksistensi adalah pandangan tentang
cara manusia berada di dunia ini. Jadi eksistensi tidak disamakan dengan
keberadaan. Bagi eksistensialisme, manusia harus dilihat tidak hanya sebagai
suatu yang berada di dalam dunia, tetapi juga menghadaip dunia, menghadapi
banyak arti-arti dan barang-barang yang dihadapi, mengerti akan kegunaan
suatu barang.
Fromm (dalam Jumino, 2017: 712) manusia pada hakikatnya adalah
makhluk individu, karena pada umumnya mereka cenderung memikirkan
kebutuhannya sendiri sebelum memikirkan kebutuhan manusia lainnya. “Man is
primarily an isolated beig, whose primary interest is the optimal satisfaction of
both his ego and his libidinous interest”. Begitulah asas pertama
eksistensialisme, hampir setiap manusia memperhatikan atau tidak terlepas dari
pengaruh eksternal lainnya. Ia berperilaku karena adanya faktor lingkungan
(manusia dan alam) dan tindakan yang telah dilakukannya, dapat ditiru atau
dilakukan orang lain.
Setiap tindakan yang dilakukan manusia adalah sikap yang baik, terlebih
apabila jika tindakan tersebut diarahkan pada kebaikan. Memutuskan hal yang
baik, akan menuai hal kebaikan yang dicontoh oleh manusia lainnya. Begitupula
sebaliknya, jika kita memutuskan perbuatan yag salah, akan menuai hal yang
tidak kita inginkan dan terlebih akan ditiru oleh yang lainnya pula. Manusia
adalah pengambilan keputusan dalam eksistensinya. Apapun keputusan yang
diambilnya, manusia senantiasa dihadapkan pada pilihan antara baik dan buruk.
Suatu bentuk eksistensi manusia yang sebenarnya adalah manusia yang
dapat mengambil keputusan. Sebaliknya, jika manusia tidak dapat mengambil
keputusan yang tegas maka hal tersebut suatu eksistensi yang semu. Dalam
Armawi, Soren Kierkigaad membagi eksistensi manusia ke dalam tiga tingkat
yang setiap tingkatan memiliki ciri khas masing-masing, yaitu: (1) Eksistensi
estetik, (2) Eksistensi etik, (3) Eksistensi religius. Keiga bentuk eksistensi inilah
yang akan mempengaruhi eksistensi manusia dan merupakan cara keberadaan
manusia. Yang dipaparkan sebagai berikut:
1. Eksistensi Estetik
Eksistensi estetik ini perhatian manusia tertuju kepada segala
sesuatu yang berada di luar diri dan hidupnya di dalam masyarakat
dengan segala yang dimiliki dunia dan masyarakat. Bentuk kenikmatan
jasmaniah dan rohaniah terpenuhi. Sifat hakiki pada taraf eksistensi ini,
yakni tidak adanya ukkuran-ukuran moral umum yang ditetapkan, juga
kesadaran dan kepercayaan akan nilai-nilai keagamaan.
2. Eksistensi Etik
Eksistensis etik ini perhatian manusia tertuju benar-benar kepada
batinnya, yakni hidup dalam hal-hal yang kongkret adanya. Di situlah
sikap manusia sudah mengarah pada segi kehidupan batiniah. Dari
pergeseran antara taraf eksistensi estetik ke taraf eksistensi etik
digambarkan oleh Kierkegaard sebagai orang yang meninggalkan nafsu
sementara dan masuk ke segela bentuk kewajiban. Dalam menjalani
kehidupan, manusia telah menyadari dan menghayati akan adanya
Patokan-patokan nilai yang bersifat umum. Oleh sebab itu, manusia
dihadapkan sebuah pilihan-pilihan dan manusia secara otomatis
menyikapi tindakan yang harus dilakukan. Dengan berbuat dan bersikap
terhadap keadaan tersebut maka keputusannya itu menjadi bermakna.
Sebaliknya, jika manusia tanpa pendirian yang tegas atas pilihan-pilihan
terhadap hidupnya maka sebenarnya manusia tidak menjalani sebuah
bentuk eksistensi yang berarti atau bermakna. Hal ini adalah sebuah hak
atas manusia dalam bebas menentukan sebuah pilihan. Artinya, manusia
harus mampu bertanggungawab penuh atas kebebasan untuk memilih
dan memutuskan menjadi bermakna atau tidak. Pada taraf eksistensi etik
ini manusia telah menyadari akan adanya suatau pertimbangan-
pertimbanagan etis dan menghayati bentuk kesadaran moral.
3. Eksistensi Religius
Eksistensi religius ini manusia melakukan denga kesadaan dan
keimanan. Setelah manusia melalui peningkatan dan menyadari dan
menghayat dengan kesadara moralnya, ia akan dihadapkan pada
kekurangan-kekurangan dan kesalahan serta dosanya. Dalm
perkembangannya, manusia mengatasi kesulitan pada taraf eksistensi eti,
manusia harus menerangi dirinya kepada taraf religius. Bentuk eksistensi
religius dapat memberikan suatu sikap dan perilaku manusia yang haiki
dalam menghadapi segala bentuk keputusan yang berada di tangan
Tuhan. Dalam mencapai taraf eksistensi religius ini, tidak hanya bisa
melakukan sekali saja melainkan haus diulangi secara terus-menerus
sebagai suatu yang berkesinambungan. Manusia dalam eksistensi religius
ini tidak memikirkan kebenaran yang objektif karena pada taraf ini
adalah kebenaran yang mutlak. Bentuk kedekatan manusia terhadap
Tuhan merupakan suatu penghayatan yang eksistensial karena Tuhan
sebagai kebenaran yang dihayati adaah bersifat subjektif. Manusia
sejatinya sebagai pribadi yang tunggal dihadapan Tuhan.
Setiap manusia adalah penuh dengan ciri khasnya tersendiri sebab satu
dengan lainnya tidak pernah sama, terkhusus dalam kesadaran. Oleh karena itu,
eksistensialisme adalah jalan untuk memahami hidup dan kehidupannya masing-
masing. Jalan untuk memberi makna terhadap pengalaman konkret di dunia.
Dengan begitu, eksistensi menggiring manusia untuk berefleksi secara
mendalam tentang makna keberadaan dirinya dan pergaulannya dengan sesama
manusia lain serta dengan alam semesta.
2. Ekologi Sastra
Utina dan Wahyuni (2009:10-12) mengemukakan kata “ekologi” mula-
mula diusulkan oleh biologiwan bangsa Jerman, Ernest Haeckel dalam tahun
1869. Sebelumnya banyak biologiwan yang terkenal di abad ke-18 dan ke-19
yang telah memberikan sumbangan pikiran dalam bidang ekologi. Ekologi mulai
berkembang pesat pada tahun 1900 sampai saat ini, mengatasi berbagai
persoalan masalah lingkungan. Ekologi merupakan cabang ilmu yang mendasar
dan berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Ekologi merupakan studi
keterkaitan antara organisme dengan lingkungannya. Baik lingkungan abiotik
maupun biotik.
Mengkaji ekologi tidak dapat dipisahkan dengan pembahasan tentang
energi ekosistem. Akar dari penerapan ekologi sendiri adalah lingkungan hidup.
Menurut Utina dan Wahyuni (2009:12) lingkungan merupakan penelaah
terhadap sikap dan perilaku manusia dengan tanggungjawab dan berkewajiban
dalam mengelola lingkungan hidup. Tindakan ini sangat diperlukan sehingga
kemungkinan kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lainnya. Menurut Armour (dalam Utina dan Wahyuni 2009:13)
menghadapi kehidupan manusia yang kompleks di bawah tatanan alam semesta,
sehingga menghasilkan kombinasi hukum manusia dan hukum alam berdasarkan
teori.
Kajian ekologi memiliki tujuan umum mempelajari cara organisme
terintegrasi dengan lingkungannya, organisme mengalami modifikasi oleh
lingkungannya, dan cara organisme berinteraksi dengan yang lain. Rumusan
tersebut oleh McNaughton dan Wolf (dalam Kaswadi 2010:36-37) dikemukakan
dalam batasan ekologi sebagai ilmu yang berkaitan dengan biologi dan fisik.
Akan tetapi, rumusan tersebut dapat menjadi prinsip umum kajian ekologi yang
dapat diterapkan untuk kajian yang nonbiologi dan fisik dengan menyesuaikan
rumusan dibidang kajian.
Kajian ekologi merupakan salah satu contoh disiplin ilmu yang
menggandeng disiplin ilmu lain. Salah satu contohnya adalah menggandeng
disiplin ilmu sastra. Kajian tersebut kemudian dikenal sebagai kajian ekologi
sastra. Menurut Farida ekologi sastra merupakan sastra masa depan yang
mengkaji tentang hubungan antar manusia dan lingkungan hidup, mengaitkan
ilmu kemanusiaan dan alam, serta bersifat interdisipliner (Farida 2017: 49). Dari
pendapat tersebut dapat diketahui bahwa ekologi sastra merupakan disiplin ilmu
yang menggandengkan dua disiplin ilmu yakni disiplin ilmu tentang alam dan
sastra.
Alam dan lingkungan mempunyai pengaruh terhadap kesusastraan dan
kebutuhan manusia. Hal tersebut menyebabkan lahirnya ekologi sastra sebagai
studi yang mengaitkan karya sastra dengan alam dan lingkungan. Perkembangan
ilmu pengetahuan menjadikan antar disipin ilmu memiliki hubungan sehingga
melahirkan teori-teori baru yang dapat dikaji berdasar kebutuhan dan
perkembangannya. Kajian lingkungan merupakan salah satu disiplin ilmu yang
menarik untuk menjadi bahan kajian. Gaya penyampaian dalam kajian
lingkungan harus memiliki daya tarik tersendiri sehingga dapat dipahami oleh
berbagai kalangan.
Ekologi sastra mempelajari bagaimana manusia beradaptasi dengan
lingkungan alamnya. Dalam Setyowati suatu ciri ekologi sastra adalah perhatian
mengenai adaptasi pada dua tataran: pertama sastra beradaptasi terhadap
lingkungan totalnya, dan kedua sabagai konsep adaptasi sitematis, sastra
beradaptasi dan saling menyesuaikan diri. Dengan kajian sastra, akan terungkap
bagaimana peran sastra dalam memanusiakan lingkungan (Setyowati 2018: 49).
Berdasar pendapat tersebut dapat dipahami bahwa kajian sastra di Indonesia
dapat menggunakan lingkungan sebagai bahan imajinasi dalam proses
pembuatan karya sastra. Mengacu pada pendapat tersebut, karya sastra, yang
juga produk budaya, juga merupakan bentuk atau cara penyampaian dan pola
perilaku masyarakat dalam mencapai suatu tujuan tertentu yang memiliki
keterkaitan dengan lingkungan. Lingkungan menjadi faktor penting bakan
penentu dalam proses sebuah karya sastra tercipta.
Menurut Kaswadi (2010:35-36) kajian ekologi terhadap karya sastra
mempertemukan ekologi dengan karya sastra. Paradigma ekologi terhadap
kajian sastra berarti menerapkan pendekatan ekologi untuk mendekati karya
sastra. Dalam pandangan ekologi, eksistensi organisme dipengaruhi oleh
lingkungan atau ada hubungan timbal balik dan saling keterkaitan antara
organisme dengan lingkungan. Lingkungan sendiri faktor eksternal yang secara
otomatis memengaruhi kehidupan, pertumbuhan, perkembangan, dan reproduksi
organisme. Dalam pandangan ekologis, karya sastra diposisikan sebagai suatu
spesies atau komponen dalam sebuah ekosistem. Berkembangnya karya sastra
akibat aksi dan reaksi ekologis dalam kondisi ekosistem yang saling berkaitan.
Dikemukakan Widianti (2014:1-2) Keterkaitan alam dengan karya sastra
memunculkan konsep tentang permasalahan ekologi dalam sastra oleh para
kritikus sastra. Ekologi sendiri sudah menjadi jembatan para sastrawan dalam
pemilihan diksi seperti Air, Pepohonan, Awan, Angin, Sungai, Ombak dan
Tanah. Alam menjadi jembatan para pengarang dan penulis karya sastra untuk
menyampaiakan suasana, citraan, latar, ataupun tema yang ingin di kritiki
melalui karya sastra. Topik tentang alam memang sudah banyak disinggung dala
banyak karya sastra malalui puisi, fiksi, dan karya sastra lainnya.
Aspek-aspek dalam ekologi dapat diteladani dan dimanfaatkan dalam
penelitian sastra. Karena secara ekologis, ada kaitannya antara karya sastra
dengan fenomena organisme dalam lingkungannya. Keduanya merupakan
komponen ekosistem tertentu dan berkembang dalam hubungan dengan
komponen ekosistem yang lain. Kaitanya dengan kajian ekologi sastra dapat
dimanfaatkan dan dimodifikasi menjadi kajian cara karya sastra terintegrasi
dengan lingkungannya, cara karya sastra mengalami modifikasi oleh
lingkungannya, cara sastra berinteraksi satu sama lainnya.
Menurut Krebs (dalam Kaswadi, 2010:36) kajian sastra dapat
menerapkan model pendekatan pada ekologi. Fenomena hubungan antara
makhluk hidup dan lingkungan dijelaskan dengan 3 pendekatan. Yang pertama,
yakni pendekatan deskriptif untuk menjelaskan ekologi pada faktor alamiah.
Pendekatan deskriptif menanyakan mengenai “apa” yang dimanfaatkan untuk
mendeskripsikan unsur-unsur ekologi terhadap karya sastra. Yang kedua, yakni
pendekatan fungsional untuk menjelaskan ekologi dengan titik tekan pada
dinamika dan hubungan sebab akibat dan menganalisis permasalahan umum
yang terdapat pada ekosistem yang berbeda. Pendekatan fungsional menanyakan
mengenai “bagaimana” yang dimanfaatkan untuk menganalisis cara unsur-unsur
ekologi pada karya sastra. Yang ketiga, yakni pendekatan evolusi untuk
menjelaskan organisme dan hubungan timbal balik sebagai produk evolusi.
Pendekatan evolusi menanyakan mengenai “mengapa” yang dimanfaatkan untuk
menganalisis sebab-akibat unsur-unsur ekologi dalam karya sastra.
Hubungan timbal balik tersebut dapat dimaknai bahwa karya sastra
merupakan representatif renungan penulis dalam menyampaikan gagasannya
tentang kondisi alam. Berdasarkan perenungan penulis yang kemudian
dituangkan dalam teks sastra tersebut diharapkan manusia mampu melihat
kondisi alam secara objektif dan perenungan yang mendalam pula sebagai wujud
kepedulian terhadap kondisi alam.
Istilah ekologi dalam kajian sastra dipakai pengertian yang beragam.
Menurut Glofelty (dalam Kaswadi 2010:37-38). Pertama, kajian ekologi yang
pertama ini dikenal dalam dua ragam, yakni kajian ekologi yang menekankan
aspek alam sebagai inspirasi karya sastra dan kajian ekologi yang menekankan
pembelaan terhadap kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh manusia. Yang
popular sebagai kajian ekokritik. Kedua, kajian ekologi yang dipakai daalm
pengertian ekologi budaya.
3. Feminisme
Feminisme dalam KBBI adalah gerakan perempuan yang menuntut
persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki. Perempuan
benar-benar bagian dari alam manusia, kondisi laki-laki maupun perempuan
dalam mendapatkan hak-haknya sebagai makhluk sosial. Hal ini diharapkan
perempuan mampu berperan dan berpartisipasi dalam semua kegiatan seperti
politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan. Dengan terciptanya peran
wanita yang berkesempatan memegang peranan sebagai kepemimpinan dapat
membawa dampak yang positif yaitu permasalahan kesetaraan gender ditantai
dengan tidak adanya perbedaan antara perempuan dan laki-laki . Kesetaraan ini
biasanya disebut kesetaraan gender. Menurut Nuryati (163:2015) Gerakan
feminisme lahir dari sebuah pembongkaran terhadap ideologi penindasan atas
nama gender, pencarian akar ketertindasan perempuan, sampai upaya penciptaan
pembebasan perempuan. Hakikatnya feminisme adalah teori dari gerakan
pembebasan perempuan.
4. Ekofeminisme
Morgan (dalam Sudikan 2016:147-148) menyatakan secara terminologis,
ekofeminisme diperkenalkan oleh Francoise d’Eaubone dalam bukunya yang
berjudul Le Feminisme ou la Mort (Feminisme atau Kematian) yang terbit pada
tahun 1974. Dalam buku tersebut mempersoalkan mengenai perempuan dan
ekologis dikaitkan secara multidimensional. Sebagai gerakan sosial,
ekofeminisme merupakan respon terhadap krisis ekologi sekaligus kritik
terhadap pendekatan pendekatan pembangunan yang tidak memperhatiakan
keberlangsungan ekologis yang meminggirkan salah satu entitas manusia di
dalamnya, yaitu perempuan. Para pencetus teori ekofeminisme atara lain adalah
Rosemary Radford Ruether, Ivobe Gebara, Vandana Shiva, Susan Griffin, Alce
Walker, Starhawk, Sallie McFague, Luisah Teish, Sun Ai Lee Parj, Paula Gun
Allen, Monica Sjoo, Greta Gaard, Karen Warren, van Andy Swith.
Ekofeminisme tidak hanya memgaitkan perempuan dan lingkungan, tetapi juga
spiritualitas. Krisis dan kehancuran bumi merupakan suara dari devaluasi bumi
sekaligis devaluasi perempuan (Spretnak, 1990:5-6).
Dalam patriarki, perempuan dan bumi adalah objek dan properti yang
layak diekploitasi (King, 1990). Perempuan mulai sadar hubungan antara
konstruksi kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan, paralel dengan
eksploitasi tanpa henti terhadap bumi oleh sistem ekonomi kapitalisme yang
masih berada dalam kontrol sistem besar patriarki. Dari ketidakadilan terhadap
perempuan dan bumi Ekofeminisme merupakan gerakan sosial yang unik dan
memiliki ideologi yang kuat dalam menentang pertumbuhan ekonomi yang tidak
memperhatikan keberlanjutan ekosistem, hal tersebut berdampak kerugian besar
terhadap makhluk hidup yang ada di bumi dan menguntungkan sebelah pihak
saja. Ekofeminisme selain sebagai filsafat dan ideologi, sekaligus melahirkan
gerakan-gerakan sosial yang semakin banyak tumbuh terkait dengan semakin
buruk kondisi lingkungan. Menurut Sudikan Ekofeminisme merupakan dialektis
yang bergerak pada area konsep (teori) dan parktik (praksis) untuk memecahkan
persoalan yang ada antarmanusia, sekaligus relasi manusia terhadap alam dan
lingkungan. Tujuannya, yang diharapkan dari ekofeminisme tersendiri mencapai
perubahan sistem dan struktur masyarakat yang menempatkan manusia, laki-laki
dan perempuan, lingkungan dan alam, menjadi satu kesatuan yang integral
holistik (Sudikan, 2016:148).
C. Kerangka Berpikir
Penelitian dengan objek novel Dunia Anna karya Jostein Gaarder ini
meneliti tentang eksistensi perempuan terhadap alam dan lingkungan. Data
Eksistensi Perempuan
penelitian Tehadap
ini diambil Alam dan Lingkungan
dari unsur-unsur dalam
cerita dalam Novel
novel. Dunia
Dari data Anna
tersebut
Karya Jostein Gaarder (Kajian Ekofeminisme)
kemudian dilakukan pemilihan data yang terindikasi adanya kesadaran, peran,
dan perjuangan perempuan terhadap alam dan lingkungan. Adapun kerangka
berpikir dari eksistensi perempuan terhadap alam dan lingkungan kajian
Fokus
ekofeminisme adalah sebagai berikut:
Teori kajian
Ekofeminisme
A. Jenis Penelitian
B. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode fenomenologi yang bersifat
kualitatif. Metode kualitatif dengan menggunakan metode fenomenologi
merupakan riset terhadap dunia kehidupan sehari-hari. Periset akan secara
konsisten akan melakukan bracketing atau mengurung asumsi-asumsi fenomena
dari sudut pandang responden. Fenomenologi berusaha mendekati objek kajian
secara kontrukvis serta pengalaman yang cermat, dengan tidak menyertakan
prasangka oleh konsepsi-konsepsi sebelumnya. Penulis dalam ini menggunakan
metode fenomenologi kualitatif karena dengan metode ini maka data-data yang
diperolah serta korelasi pada teori yang diambil dapat dijelaskan dengan fakta
yang ada pada novel Dunia Anna Karya Jostein Gaarder.
a. Teknik Baca
Teknik ini dilakukan dengan membaca referensi yang berkaitan dengan
penelitian ini, terutama membaca secara seksama teori ekofeminisme dan
sumber data, yaitu novel Dunia Anna karya Jostein Gaarder.
b. Teknik Catat
Teknik catat digunakan setelah melalui pembacaan yang secara seksama
kemudian mengidentifikasi teks-teks yang bermuatan ekofeminisme yakni
eksistensi perempuan terhadap alam dan lingkungan dalam novel Dunia Anna
karya Jostein Gaarder sebagai sumber data utama.
E. Keabsahan data
Arivia, Gadis. 2006. Feminisme: Sebuah Kata Hati. Jakarta: Penerbiit buku Kompas.
Sukmawan. Sony. 2016. Ekokritik Sastra: Menanggap Sasmita Arcadia. Malang. UB
Press.
Luxemburg, Jan van, Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijn. 1984. Pengantar Ilmu
Sastra. (Diindonesiakan oleh Dick Hartoko). Jakarta: PT Gramedia.
Susilo, Ragil, 2017. Kajian Ekologi Sastra Cinta Semanis Racun 99 Cerita dari 9
Penjuru Dunia Terjemahan Anton Kurnia. NOSI. Vol 5.
Farida, Nur, Devi. 2017. Kritik Ekologi Sastra Puisi Perempuan Lereng Gunung
Karya Ika Permata Hati dalam Antologi Puisi Perempuan di Ujung Senja Melalui
Ekofeminisme Susan Griffin. Basindo. Diakses dari.
(http://journal2.um.ac.id/index.php/basindo/article/view/2297/1387). Pada 9
Desember 2019.
Hadiwijono, Harun, 1980, Seri Sejarah Filsafat Barat 2, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Armawi, Armaidy. 2011. Eksistensi Manusia dalam Filsafat Soren Kierkegaard. Vol.
21, No 1. ( http://jurnal.ugm.ac.id ). Pada 8 Desember 2019
Jumino, 2017, Eksistensi Manusia Sebagai Makhluk Individu dan Sosial Berdasarkan
Puisi Robert Frost, “Stoppinf By Wood On A Snow Evening” dan “The Road Not
Taken”, Melalui kajian Stalistik. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro
Semarang. Semarang. Diakses dari (https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://eprints.undip.ac.id/58961/1/22._Jumino_Undip.pdf
&ved=2ahUKEwj_-
LenkL7mAhWLWX0KHTDxDLQ4FBAWMAF6BAgJEAE&usg=AOvVaw2XgAYoh7
NQEZlq3wu5AaK0 ). pada 18 Desember 2019.