Anda di halaman 1dari 31

1

EMPAT PILAR KEBANGSAAN


DAN SELF-AWARENESS MASYARAKAT INDONESIA

Meski Indonesia telah menjadi rumah kita lebih dari setengah abad, masyarakat
multikultur yang kita jalin dalam naungan Bhineka Tunggal Ika belum mewujudkan relasi
yang kokoh sebagai saudara sebangsa dan setanah air. Wabah disintegrasi bangsa masih
menjadi bagian kendala utama negara dalam mewujudkan kemakmuran yang berkeadilan.
Umumnya disintegrasi disebabkan ketidakselarasan antara kepentingan-kepentingan
masyarakat sebagai pihak yang diatur dengan pemerintah yang memiliki kendali kuasa.
Kesenjangan ini berkorelasi erat dengan pengabaian kearifan lokal. Pemerintah cenderung
mengupayakan pembangunan sosial dengan paradigma yang berseberangan dengan falsafah
hidup penduduk daerah. Implikasinya, pembangunan tipe ini berpotensi menjauhkan kita dari
kearifan lokal yang semestinya menjadi identitas diri. Di samping itu, pemerintah cenderung
tidak memahami pola-pola sosial yang ada. Integritas Nasionalisme menjadi rapuh.
Kebanggaan bangsa Indonesia (khususnya) generasi muda terhadap eksistensi kearifan lokal
menjadi lemah.
Kendati sangat ironis, hal tersebut memiliki basis yang bisa kita terima secara logis.
Bahwa pemahaman ke-Indonesia-an belum merekat sebagai self-awareness (kesadaran diri)
kolektif masyarakat Indonesia. Hal ini mengakibatkan sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan;
yang terdiri dari Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan
Bhinneka Tunggal Ika; sulit untuk efektif.
Perlu adanya pemaknaan yang lebih komunikatif menyangkut eksistensi Empat Pilar
Kebangsaan. Agar masyarakat Indonesia lebih memahami nilai-nilai Empat Pilar Kebangsaan
secara konseptual, bukan hanya teoritis atau normatif semata. Sehingga Empat Pilar
Kebangsaan mampu merengkuh masyarakat Indonesia menuju cita-cita bersama dalam
mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan merata. Dengan mengimplementasikan Empat
Pilar Kebangsaan sebagai self-awareness kolektif masyarakat Indonesia, pembangunan
karakter bangsa menuju peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia bisa kita capai
bersama.
2

Upaya-upaya pemaknaan dan pengimplementasian Empat Pilar Kebangsaan sebagai
self-awareness kolektif masyarakat Indonesia meliputi;

Religiositas dan Kebangkitan Spiritual
Kebangkitan religiositas merupakan elemen utama bagi kita untuk mengadopsi Empat
Pilar Kebangsaan sebagai self-awareness. Aspek religiositas Indonesia ini dikukuhkan sila
pertama Pancasila, yakni: Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita meyakini keberadaan Tuhan yang
dimanifestasikan dalam ritual-ritual keagamaan dan aturan moral yang mengangkat posisi
manusia ke ranah beradab.
Tentunya, religiositas yang dimaksud di sini tidak terbatas pada agama-agama besar
semata, melainkan termasuk pengakuan negara atas agama (kepercayaan) tradisional yang
berkorelasi erat dengan warisan budaya leluhur bangsa Indonesia. Lebih spesifik lagi, kita
harus memberi ruang agama (kepercayaan) tradisional untuk tetap berkembang sejauh agama
(kepercayaan) ini tidak berseberangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan aturan moral yang
berlaku.
Memang, religiositas sangat identik dengan agama. Namun pada ranah empiris,
religiositas lebih akomodatif dan universal. Kecenderungan mengasumsikan sila pertama
Pancasila sebagai hanya agama-agama besar (mayoritas) di Indonesia mengakibatkan kita
rentan dengan perpecahan dan kompetisi perebutan sumberdaya kehidupan yang dipicu
perbedaan agama dan keyakinan. Di antara konsep religiositas yang tersaji dalam literatur di
Indonesia, warisan pemikiran YB. Mangunwijaya (6 Mei 1929-10 Februari 1999) yang akrab
dipanggil Romo Mangun sangat representatif.

Agama lebih menunjuk kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau
kepada Dunia Atas dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan
dan hukum-hukumnya, serta keseluruhan organisasi tafsir kitab-kitab keramat
dan sebagainya yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan (Gesellschaft,
bahasa Jerman). Religiositas lebih melihat aspek yang di dalam lubuk hati,
riak getaran hati nurani pribadi; sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi
3

orang lain, karena menapaskan intimitas jiwa, du coeur dalam arti Pascal, yakni
cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawinya) ke
dalam si pribadi manusia. Dan karena itu, pada dasarnya religiositas mengatasi
atau lebih dalam daripada agama yang tampak, formal, dan resmi. Religiositas
lebih bergerak dalam tata paguyuban (Gemeinschaft) yang cirinya lebih intim.

Pada tingkat religiositas, bukan peraturan atau hukum yang berbicara, akan
tetapi keikhlasan, kesukarelaan, kepasrahan diri kepada Tuhan. Dalam rasa
hormat takjub, namun juga dalam rasa cinta. Dalam suasana pujaan yang tidak
lagi mencari menang. Karena tergenang oleh rasa syukur penuh rendah hati.
Sebab kita sadar bahwa kita yang menang bukanlah agama ini atau itu,
melainkan Tuhan Allah sendiri, Yang Mahaagung, namun juga Yang Maha
Pemurah dan Maha Kasih. Yang kalah pun bukan orang siapa atau agama yang
mana, melainkan kelaliman, kebohongan, kesombongan kesewenang-wenangan,
iblis, roh serat pikiran-pikiran jahat, tingkat nista. Dalam taman sari religiositas
bunga-bunga yang bermacam-macam corak tidak saling bersaing, tetapi
memeriahkan. Pohon-pohon tidak mencemoohkan perdu atau rumput, tetapi
saling menyumbang demi keselarasan keseluruhan. Seperti juga suami yang
tidak meremehkan istri, hanya karena dia perempuan; dan istri kagum bangga
karena suaminya justru lelaki sejati (Mangunwijaya, 1986).

Sehingga bisa kita cermati bahwa religiositas bersifat universal dan identik dengan
relasi yang lebih intim antara individu atau masyarakat dengan Tuhan yang diyakini dengan
menjadikan perilaku budi luhur sebagai ekspresi rohani. Korelasi antara agama dan
religiositas inilah yang belum menjadi bagian self-awareness kolektif di Indonesia. Kita
cenderung beriman dengan dominasi kesalehan religi Dunia Atas dan mengabaikan
kesalehan sosial. Sehingga banyak kita temukan individu beragama tapi tidak beriman.
Contoh sederhana yang paling menonjol bisa kita lihat dari fenomena beberapa partai
politik yang memanipulasi agama untuk merebut simpati massa. Oknum aktor partai politik
ini menggunakan jasa kiai, ustadz, dan pemimpin-pemimpin spiritual lainnya dengan
4

membawa ayat-ayat kitab suci sebagai jembatan komunikasi massa. Tapi setelah meraih
kedudukan di lembaga pemerintah yang mereka inginkan, mereka korupsi berjamaah,
menelurkan kebijakan-kebijakan yang memiskinkan rakyat, dan melakukan berbagai
tindakan asusila lainnya. Inilah cermin individu beragama tanpa nilai-nilai religiositas yang
masih menjamur di Tanah Air.
Pemahaman kita menyangkut agama yang padu dengan aspek religiositas akan
mengantarkan kita pada ruang toleransi yang dicitrakan Bhineka Tunggal Ika. Indonesia
bukan negara Islam, Kristen, Buddha, Hindu, keyakinan religi, ataupun agama tradisional
lainnya. Melainkan, Indonesia merupakan negara religiositas. Di mana kita sama-sama
menyadari keberadaan kekuatan gaib yang berada di luar kita, yang Mahakuasa, yang kita
sembah dengan ritual atau cara yang berbeda.
Tidak diperkenankan adanya pemaksaan dalam menganut atau menyebarkan agama
apapun. Inilah sebuah indikasi bahwa pembelajaran agama mayoritas lembaga pendidikan di
Indonesia harus kita rekontruksi. Materi pembelajaran harus mengedepankan visi religiositas
agama yang diajarkan. Agar agama yang dianut memberikan kedamaian, ketentraman, dan
energi sebagai etos kerja dalam pembangunan sosial. Tidak ada lagi persaingan antraumat
beragama, saling hujat, atau saling sesat-menyesatkan. Kita bisa saling bahu-membahu dalam
mencapai kemakmuran dalam kekeluargaan di rumah yang bernama Indonesia.
Sisi positif pengetahuan religiositas akan mendorong kita memberi ruang agama-
agama tradisional sebagai bagian aset bangsa yang memiliki pesona, daya tarik pariwisata,
dan minat penelitian ilmiah. Ugamo Malim merupakan salah satu agama tradisional yang
berada pada tataran ini.
Ugamo Malim dalam peradaban Indonesia berakar dari sistem budaya Batak,
Sumatera Utara; merupakan salah satu agama (kepercayaan) tradisional yang patut kita
hormati. Dalam bahasa lokal penganut Ugamo Malim; ugamo berarti agama dan malim
berarti suci. Sehingga bisa kita ramu dalam pemahaman harfiah, Ugamo Malim berarti
Agama Suci. Sipahalima sebagai ritual keagamaan komunitas keagamaan yang akrab disebut
Parmalim ini merupakan salah satu daya tarik wisata yang tak ubahnya mutiara terpendam di
Sumatera Utara.

5

Raja Marnangkok Naipospos, pemimpin upacara itu, mengatakan, Yang haram
dan bertentangan dengan ajaran ugamo Malim adalah melakukan pekerjaan-
pekerjaan yang kotor dan merugikan orang lain seperti minum minuman keras,
melakukan korupsi. Jangan memakai narkoba dan jangan melakukan yang tidak
patut untuk dikerjakan. Marilah kita menghemat namun bukan untuk menumpuk
harta. Begitulah khotbah yang disampaikannya, saat memberikan wejangan
terakhir, di ritual Sipahalima, yang berlangsung di Huta Tinggi, Laguboti, Balige
(Poerba, 2011).

Ritual Ugamo Malim. Foto. Hotli Simanjuntak
http://warisanindonesia.com/2011/09/parmalim-agama-tua-suku-batak/ [28 Januari
2011]
Sipahalima berarti bulan kelima. Ritual ini menjadi elemen utama ritual Ugamo
Malim yang dirayakan setahun sekali sebagai pameleon bolon atau persembahan kepada
Mula Jadi Nabolon. Pameleon bolon secara tersirat dilakukan untuk ungkapan syukur atau
mauliate godang kepada Sang Khalik (dalam keyakinan Ugamo Malim) yang telah
6

menganugerahkan limpahan hasil panen padi. Penganut Ugamo Malim tersebar di Nusantara.
Sipahalima yang biasanya diselenggarakan di minggu awal bulan Juli menjadi momen pulang
ke kampung halaman mereka di Laguboti sebagaimana Lebaran bagi umat Muslim atau Natal
bagi umat Nasrani.
Setali tiga uang dengan Ugamo Malim, Komplek Masjid Agung Mataram Kotagede
merupakan kawasan situs sejarah di Yogyakarta yang menjadi saksi sinkretisme agama Islam
dengan agama Hindu yang dianut penduduk lokal terlebih dahulu.

Penulis di depan salah satu gapura Komplek Pemakaman
Raja-raja Mataram Kotagede. Foto. Dok. Penulis.
Seni arsitektur Masjid Agung Mataram adalah tipe Jawa tradisional, dengan atap
tumpang bersusun tiga, yang dilengkapi dengan serambi dan parit yang mengelilingi masjid
di tiga sisi. Gapura masjid ini berbentuk paduraksa atau atap bertingkat. Bentuk paduraksa
7

dan arsitektur tradisional Jawa bercorak Hindu-Buddha adalah wujud toleransi Sultan Agung
pada warga yang ikut membangun masjid yang masih memeluk agama Hindu atau Budha.
Tidak hanya segi arsitektur semata, hingga kini ritual keagamaan masyarakat Muslim
dan masyarakat penganut Hindu-Buddha di kawasan Komplek Masjid Agung Mataram
Kotagede tetap berjalan dengan suasana yang penuh harmoni. Bahkan umat Muslim,
umumnya wisatawan, memiliki kesempatan untuk mengenal inovasi kebudayaan Hindu-
Buddha atau Kejawen. Khususnya untuk ritual yang berlangsung di komplek pemakaman
Raja-raja Mataram yang menyatu dengan situs sejarah Masjid Agung Mataram Kotagede.
Mengimplementasikan religiositas sebagai self-awareness akan membukakan kita
pintu gerbang kebangkitan spiritual. Kita tidak akan mudah lagi diguncang polemik sensitif
suku, agama, ras, dan adat-istiadat (SARA). Karena memang pada dasarnya polemik SARA
bukanlah ciri khas peradaban Indonesia. Sinkretisme agama Islam dan Hindu-Buddha di
Kotagede merupakan refleksi nyata bahwa bangsa Indonesia telah meretas dan mewujudkan
toleransi antarumat beragama jauh sebelum masa kemerdekaan Indonesia.
Bila kejayaan toleransi antarumat beragama masa lalu ini kita kobarkan kembali; citra
Indonesia sebagai sarang teroris dan sengketa berbasis SARA; akan terkikis. Dengan
demikian, para investor asing dan domestik tidak akan memiliki keraguan dalam
berpartisipasi membangun sendi-sendi pariwisata dan pembangunan sosial Indonesia.
Wisatawan pun akan nyaman, aman, dan mengalami peningkatan kunjungan. Demikian pula
sektor ekonomi-sosial lainnya, para investor atau ilmuwan asing akan menjadikan Indonesia
sebagai minat studi. Sehingga, devisa negara mengalami kenaikan yang progresif dan
berkesinambungan.

Bhineka Tunggal Ika
Wacana Bhineka Tunggal Ika akan selalu mengingatkan penulis tentang pengalaman
unik pada seremoni puncak nasional Sumpah Pemuda ke-82 di Surakarta (Solo), 28 Oktober
2010. Penulis terpilih sebagai Wakil Cerpenis Pemuda Berprestasi Penghargaan Menteri
Negara Pemuda dan Olah Raga Republik Indonesia. Waktu itu penulis memakai pakaian adat
Jawa, yakni beskap Yogyakarta. Hal ini menjadi kontroversi karena penulis hadir atas nama
Provinsi Sumatera Barat.
8

Peristiwa tersebut membuat batin penulis tersentak. Tidak hanya berurusan dengan
pihak keamanan, tapi penulis juga mendapat berbagai protes. Termasuk protes dari tamu
Sumatera Barat yang menyatakan bahwa pakaian adat Jawa bukan bagian dari kebudayaan
penulis sebagai orang Minang. Dan tentu saja, secara alamiah, penulis membela diri dan
mempertanyakan esensi Bhineka Tunggal Ika. Sumpah Pemuda diperingati sebagai wujud
peleburan self-awareness kedaerahan; Tanah Air satu, Tanah Air Indonesia; berbangsa satu,
bangsa Indonesia; berbahasa satu, bahasa Indonesia; bukan Jawa, Kalimantan, Sulawesi,
ataupun Sumatera. Bhineka Tunggal Ika adalah INDONESIA. Tapi, kenapa pakaian adat
Jawa yang penulis pakai menjadi kontroversi hanya karena penulis seorang pemuda Sumatera
Barat?
Kasus kontroversi beskap-Yogyakarta yang penulis pakai pada akhirnya bisa
diselesaikan dengan jalan kekeluargaan. Apalagi penulis menyatakan motivasi yang kuat
untuk memakainya. Bahwasanya, penulis memakai beskap Yogyakarta untuk menghargai
budaya Jawa dan membuktikan diri penulis mampu memberikan sesuatu yang berarti bagi
Yogyakarta. Hal ini terdorong tindakan yang beraroma prejudice yang penulis alami di
Yogyakrta; penulis sering dituduh pendatang yang dipertanyakan kontribusinya untuk
Yogyakarta. Sangat ironis, ternyata paham primordial masih mewabah di provinsi yang
digadang-gadangkan sebagai kota toleransi.
Berkat argumen yang merupakan bagian dari realitas Yogyakarta itu, penulis
mendapat dukungan dan simpati. Terutama dari Asisten Deputi Bidang Pengembangan
Wawasan dan Kreativitas Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga RI, Bapak Twisyono,
yang berasal dari Yogyakarta juga. Bapak Twisyono membenarkan bahwa suku Minang
masih dianggap sebagai suku penjajah di Yogyakarta karena sangat mendominasi ekonomi
mandiri bidang perdagangan, khususnya di kawasan Malioboro.
Saudara-saudara se-Indonesia, pengalaman kontroversi pakaian adat Jawa yang
penulis pakai menjadi pelajaran berharga yang selalu penulis bagi. Bahwa, Bhineka Tunggal
Ika bukan konsep yang sudah mapan, matang, ataupun telah memiliki eksistensi mutlak.
Bhineka Tunggal Ika adalah sebuah proses peleburan berbagai self-awareness kedaerahan
yang masih terus berlangsung hingga sekarang.

9


Pemuda Berprestasi Tingkat Nasional Penghargaan Menteri Negara Pemuda dan Olah
Raga Republik Indonesia 2010 dalam seremoni Sumpah Pemuda ke-82 di Surakarta
(Solo), 28 Oktober 1928. Penulis berdiri paling pinggir dengan beskap Yogyakarta
(warna hitam). Foto. Dok. Penulis.

Perjuangan kita belum selesai. Benih disintegrasi ada di mana-mana dan bisa muncul
dengan beragam wajah; tidak hanya paham primordial. Hal ini pula menjadi kendala dalam
pengembangan pembangunan sosial. Termasuk kasus yang masih subur terjadi di Yogyakarta
yang kita kenal sebagai salah satu sentral kebudayaan dan pendidikan Indonesia yang sarat
dengan suasana toleransi.
Menurut hemat penulis, perebutan sumber daya kehidupan menjadi polemik yang
mendasar dalam mewujudkan Bhineka Tunggal Ika telah terjadi sejak awal peradaban.
Termasuk motif pendudukan kolonial Belanda dan Jepang di Indonesia. Upaya penaklukan
sebuah bangsa bertujuan untuk menguasai sumber daya kehidupan; yang terdiri dari sumber
10

daya alam dan sumber daya manusia; untuk menyalakan pembangunan sosial bangsa
penjajah tersebut. Motif-motif perebutan sumber daya kehidupan di Indonesia antara lain;
Pertama, perebutan sumber daya kehidupan era kerajaan-kerajaan daerah yang identik
dengan pendudukan kolonial. Terutama obsesi Kerajaan Majapahit untuk menyatukan
Nusantara. Tentunya perebutan sumberdaya kehidupan ini melibatkan perang yang menuntut
kerugian moril dan materil. Meskipun sebuah kerajaan takluk, tapi invansi atau serangan
pihak kerajaan lain berpotensi besar abadi sebagai pengalaman traumatis dalam memori
kolektif rakyat kerajaan yang ditaklukkan. Akibatnya, suku bangsa-suku bangsa di Indonesia
punya kecenderungan untuk bersikap prejudice.
Kedua, perbedaan adat istiadat mendorong kita untuk memiliki perspektif kearifan
lokal yang berbeda. Sehingga aturan-aturan moral masing-masing suku bangsa juga memiliki
perbedaan. Sepanjang perbedaan ini tidak disikapi secara berkeadilan, kita akan terus tumbuh
sebagai bangsa yang bersikap prejudice antar SARA.
SARA cenderung dimaknai sebagai ikatan sosial untuk mencapai eksistensi
kebebasan finansial, kuasa, maupun politik. Tak heran di Indonesia menjamur komunitas,
organisasi, maupun bentuk-bentuk golongan lainnya yang berakar dari SARA. Sayangnya
kelompok sosial ini bukan hanya bertujuan untuk afiliasi atau mencari relasi yang memiliki
paradigma identik guna mewujudkan visi progresif, tapi mengarah pada dominasi dalam
kompetisi perebutan sumberdaya kehidupan. Misalnya, kelompok sosial Muslim saling
menjalin relasi persaudaraan untuk memegang kendali pemerintahan dan mewujudkan sistem
pemerintahan berbasis syariat Islam.
Ketiga, distribusi pembangunan sosial yang tidak merata. Kita sadari atau tidak,
sistem administrasi pemerintahan Indonesia merupakan warisan pemerintah kolonial
Belanda. Pada masa kemerdekaan ini belum terekontruksi. Termasuk tradisi korupsi,
penyimpangan ini sudah terjadi dalam sistem pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia.
Sebagaimana pusat administrasi pemerintahan masa pendudukan kolonial Belanda,
pusat administrasi pemerintahan kita menjadikan Pulau Jawa sebagai sentral. Sehingga,
pembangunan sosial masa kemerdekaan tetap menjadikan Pulau Jawa sebagai prioritas
utama. Sangat ironis, mengingat pembangunan-pembangunan sosial di Pulau Jawa ini didanai
sumber daya kehidupan daerah; Provinsi Papua misalnya.
11

Kendati Provinsi Papua merupakan penghasil tambang emas terbesar di dunia, hingga
sekarang kesejahteraan penduduk lokal Provinsi Papua masih terbelakang. Tentu saja, secara
logika, sangat rasional timbulnya gerakan-gerakan yang menuntut keadilan sosial. Rumitnya,
gerakan-gerakan ini cenderung diasumsikan sebagai gerakan separatis yang harus dibasmi.
Ternyata, kemajuan peradaban Indonesia masa kemerdekaan belum mendorong
terjadinya pergeseran paradigma manajemen konflik. Manajemen konflik kita masih
mengadopsi warisan pendudukan kolonial yang menjadikan kekuatan militer untuk
menumpas golongan sosial yang berselisih dengan pemerintah pusat.
Untuk jangka pendek, kekuatan militer memang potensial sebagai media manajemen
konflik. Akan tetapi, untuk jangka panjang, manajemen konflik dengan kekuatan militer bisa
memperlemah pemerintah pusat. Akan menurunnya simpati pada eksistensi pemerintah pusat.
Sejalan dengan ini, self-awareness yang menyangkut Bhineka Tunggal Ika pun menjadi
semakin rapuh.
Semestinya, pemerintah harus mengedepankan nilai-nilai luhur budaya kita sebagai
jalan untuk integrasi bangsa. Karena pada dasarnya, sistem budaya Indonesia menganut
konsep kekeluargaan. Hal ini sudah dibuktikan solidaritas seluruh suku bangsa Indonesia
dalam perjuangan kemerdekaan untuk mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kebangsaan
Meski perkembangan keilmuan di Indonesia terbilang pesat, sebagian pemaknaan
kebangsaan masih bersifat politis. Di mana esensi bangsa dan ke-Indonesia-an diasumsikan
pembayangan atau imajinasi.

Bangsa, menurut Benedict Anderson (1983) merupakan komunitas terbayang.
Elemen bangsa terkecil pun tidak akan pernah tahu dan tidak mengenal
sebagian besar elemen lain, bahkan mungkin tidak akan pernah mendengar
tentang mereka. Hal terpenting dalam kokohnya sebuah bangsa yaitu adanya
perasaan kebersamaan dan persaudaraan sebagai elemen komunitas bangsa
12

tersebut. Inilah yang memungkinkan para pahlawan rela mengorbankan
nyawanya demi pembayangan tersebut (Wibowo, 2009).

[...] pada dasarnya pembentukan Indonesia merupakan suatu imajinasi
kelompok kaum cendikiawan (Syarikat Islam, Boedi Utomo, Gerakan
Nasionalis Sukarno) yang telah mengenyam pengetahuan-pengetahuan
modern sehingga imajinasi keberadaan Indonesia harus terus diciptakan,
disosialisasikan kepada seluruh masyarakat. Salah satu keberhasilan dalam
membentuk budaya Indonesia ini adalah penggunaan bahasa Indonesia
sebagai bahasa pemersatu di antara kelompok-kelompok etnis (Yasmine,
2006).

Kedua definisi kebangsaan tersebut penulis temukan dalam jurnal budaya mahasiswa
dan buku modul kuliah sebuah perguruan tinggi negeri Indonesia. Saudara-saudara, bisa
Anda cermati realitas pemahaman kebangsaan di Indonesia pada ranah akademis. Di mana
sebuah bangsa diasumsikan komunitas yang terbayang atau pembentukan Indonesia sebagai
suatu imajinasi. Bila kita korelasikan dengan realitas sosial yang selama ini kita jalani;
berarti kita hidup di negeri bayang-bayang atau negeri imajinasi. Tidak mengherankan bila
etos kerja dan loyalitas oknum wakil rakyat sering kali berseberangan dengan spektrum moral
dan keadilan sosial. Karena self-awareness mereka mengenai Indonesia adalah bayang-
bayang atau imajinasi, dunia abstrak, bukan sebuah peradaban dengan proses pertumbuhan
yang bisa kita ukur dengan rasionalitas ilmiah.
Demikian pula kita para generasi muda, bila mengadopsi pemahaman terbayang
atau imajinasi, maka self-awareness kita pun menjadi terbayang atau imajinasi. Kita
hidup di alam abstrak, bukan di dunia realitas yang memberi ruang untuk kita dalam
pengabdian dan berkarya untuk masyarakat. Apa bedanya kita dengan kehidupan hantu dalam
film-film horor?
Jika Anda mengadopsi pemahaman terbayang dan imajinasi mengenai kebangsaan
dan ke-Indonesia-an, perspektif ini harus diubah. Bahwa konsep bangsa dan Indonesia adalah
realitas yang bisa kita pertanggungjawabkan dengan kebenaraan ilmiah.
13

Khususnya mengenai pemahaman imajinasi, kita tidak menampik bahwa imajinasi
merupakan kekuatan yang luar biasa. Einstein pun mengakui; ilmu pengetahuan terbatas, tapi
imajinasi meliputi segalanya. Hanya saja perlu kita tegaskan, imajinasi tidak akan pernah
lepas dari realitas sosial yang ada. Termasuk Einstein sebagai ahli nuklir. Inovasi nuklir
Einstein berakar dari penguasaan beliau dalam ilmu pengetahuan yang berkorelasi erat
dengan sumber daya kehidupan yang ia temukan.
Demikian pula proses pembentukan sebuah bangsa dan keberadaan bangsa Indonesia.
Sebuah bangsa, khususnya bangsa Indonesia bukanlah komunitas terbayang atau produk
imajinasi sekelompok intelektual semata; melainkan bangsa Indonesia memiliki jalinan darah
yang dibuktikan dengan keberadaan peninggalan-peninggalan sejarah, baik yang berupa
artefak yang tidak bisa dikembangkan, maupun kebudayaan yang terus dilestarikan.
Perspektif ini lebih spesifik bisa kita telaah dalam wacana Indonesia sebagai Negara Maritim.

Negara Maritim
Laut adalah nadi bangsa Indonesia. Dasar-dasar peradaban kita selalu bersumber dari
laut. Keberadaan nenek moyang, persebaran budaya, sampai jalur perdagangan Internasional
memiliki relasi yang sangat sinergis dengan posisi laut di Tanah Air. Maka, Jalesveva
Jayamahe (Di lautan kita jaya) merupakan seruan kepada bangsa Indonesia untuk megejar
dan mempertahankan kemajuan peradaban warisan leluhur di mata dunia.
Sejarah peradaban Indonesia mengajarkan pada kita bahwa kejayaan dan keruntuhan
kerajaan-kerajaan di Nusantara sebelum lahir Negara Kesatuan Republik Indonesia
tergantung pada penguasaan laut. Semakin kuat kekuasaan sebuah kerajaan terhadap dunia
maritim, maka semakin besar pengaruh kekuasaan politiknya. Lemahnya proteksi area
maritim membuka peluang invansi bangsa-bangsa asing menancapkan cakar penjajahan di
bumi pertiwi. Komitmen kita dalam memberdayakan potensi maritim akan menjadi obat
penawar bagi krisis multidimensi yang menggerogoti sendi-sendi pemerintahan Indonesia.
Ironisnya, Jalesveva Jayamahe belum menjadi bagian dari self-awareness (kesadaran
diri) bangsa Indonesia. Sebagai rakyat Indonesia secara kolektif, kita belum memiliki
kelautan dalam peta kognitif. Pengetahuan kelautan kita terbatas. Sehingga kita tidak bisa
merawat dan menjaga lautan Indonesia yang kaya dengan kandungan hayati, pariwisata,
14

maupun jejak-jejak historis jalur transportasi dunia. Indikasi ini terlihat dari tindak
kriminalitas negara-negara asing di perairan Indonesia.


Sebuah relief kapal di Candi Borobudur. Bukti
eksistensi J alesveva J ayamah dalam sejarah
peradaban Indonesia. Foto Dokumentasi Penulis.

Nyaris sepanjang tahun terjadi penjarahan kekayaan hayati laut kita. Bahkan tindak
kriminalitas ini telah mengarah pada perampasan pulau-pulau kecil di wilayah perairan
Indonesia. Kita masih tertatih dalam menghadapi invansi yang telah merugikan negara
milyaran dollar per tahun. Sehingga, aksi-aksi serupa berpotensi besar tetap terjadi dan
berkesinambungan. Kekayaan laut yang semestinya meningkatkan perekonomian bangsa dan
kesejahteraan rakyat banyak di rampas dari tangan kita. Bangsa Indonesia tak ubahnya
burung pipit kelaparan di hamparan padi yang menguning.
Tentunya, kita tidak bisa menyalahkan atau menuntut pertanggungjawaban sepihak
TNI Angkatan Laut Indonesia. Karena laut merupakan bagian dari elemen pembentuk menara
15

sosial-budaya Indonesia. Polemik yang sudah kronik berarti permasalahan kita secara
kolektif.
Saudara-saudara sebangsa dan setanah air, sejarah peradaban Indonesia bermula dari
lautan. Asumsi dasar ini ditegaskan oleh Adrian B. Lapian dalam ORANG LAUT BAJAK
LAUT RAJA LAUT: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX (hal. 1).

Menurut Kamus Umum, zaman bahari berarti zaman purbakala. Dengan kata lain
istilah bahari dalam hal ini merupakan sinonim dari pengertian purbakala atau
dahulu kala. Hal demikian menunjukkan betapa erat pengertian bahari
dihubungkan dengan dahulu kala sehingga seolah-olah sudah dianggap sebagai
suatu sinonim. Oleh sebab itu sejarah merupakan disiplin yang mempelajari masa
bahari (masa lampau) hendaknya juga memperhatikan masalah bahari (masalah
maritim) (Lapian, 2009).

Di lain sisi, sejarah merupakan disiplin ilmu yang menjadi refleksi perkembangan
seorang individu, baik sebagai makhluk pribadi maupun sebagai makhluk sosial. Tanpa
mengetahui sejarahnya, seorang individu tidak akan pernah menjadi dewasa dan akan terus
mengulangi kesalahan. Fenomena inilah yang tampaknya mewabah di Indonesia.
Esensi maritim dalam substansi dasar kebudayaan Indonesia dikukuhkan dengan seni
arsitektur rumah adat di Nusantara, seperti Rumah Gadang dari Sumatera Barat sebagai
sampel pertama. Arsitektur badan rumah adat Sumatera Barat ini identik dengan perahu. Dan
dalam sejarah peradaban Sumatera Barat terdapat juga indikasi atap rumah gadang yang
menyerupai gonjong meniru layar yang digunakan kapal ekspedisi nenek moyang orang
Minang.
Eksistensi maritim dalam budaya alam Minangkabau juga dicitrakan simbolisme seni
ukir yang terdapat di Rumah Gadang, misalnya Jalo Taserak (Jala Tersebar);

16


Motif ukiran Jalo Taserak

Jalo atau jala (alat yang terbuat dari rajutan benang untuk menangkap binatang
laut). Jalo taserak ini melambangkan sistem pemerintahan Datuk Parpatih Nan
Sabatang dalam proses mengadili seseorang yang melanggar hukum dengan cara
mengumpulkan data dan kemudian dipilah-pillih hingga akhirnya diketahui siapa
yang sebenarnya bersalah
1
.

Jalo (jala) jelas sebuah alat nelayan sebagai bagian dari kebudayaan maritim
Indonesia. semakin lengkap dengan filosofi orang Minang Alam takambang jadi guru
(alam terbentang jadi guru). Datuk Parpatih Nan Sabatang merupakan salah seorang
pemimpin dari Istana Pagaruyung. Motif ukir lain yang langsung berkaitan dengan
maritim bernama Ombak-Ombak jo Pitih-Pitih.




1
Gambar dan keterangan berasal dari: http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/495/jbptunikompp-gdl-zodiomeker-
24713-2-babii.pdf
17

Nama ombak pada motif ini diambil dari kata-kata adat:
Nak tau di gadang ombak liek ka pasienyo.
Jika ingin tahu besarnya ombak, lihatlah pasirnya.

Maksudnya adalah bila ingin mengetahui atau mau menilai tentang sesuatu
janganlah hanya dengan memandang atau mendengar dari jauh tetapi
haruslah disaksikan, dilihat dan diteliti dari dekat
2
.

Kedatangan nenek moyang orang Minangkabau di Pulau Sumatera bagian barat dan
persebarannya juga melalui jalur pelayaran Nusantara. Mulanya di Sumatera Barat rumah-
rumah modern tetap memperlihatkan corak gonjong meski beratap seng. Pengelupasan esensi
budaya maritim terlihat dengan semakin langka pembangunan rumah yang selaras dengan
corak rumah adat ini.





2
Gambar dan keterangan berasal dari: http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/495/jbptunikompp-gdl-zodiomeker-
24713-2-babii.pdf
18


Rumah adat Sumatera Barat atau Rumah Gadang
3


Rumah adat Tana Toraja (Tongkonan) Provinsi Sulawesi Selatan
4


3
http://www.armhando.com/2012/01/kumpulan-gambar-rumah-adat-tradisional.html
4
http://media-cdn.tripadvisor.com/media/photo-s/01/13/72/fb/tongkonan-rooms.jpg
19


Fenomena budaya tersebut juga terjadi di Tana Toraja Provinsi Sulawesi Selatan.
Rumah adat Tana Toraja yang disebut Tongkonan memiliki konsep arsitektur yang identik
dengan Rumah Gadang di Sumatera Barat. Bahkan, atap rumah adat Tongkonan persis
perahu terbalik.
Perkembangan pola hidup modern yang mengarah pada konsep praktis semakin
mengurangi minat pembangunan rumah penduduk dengan arsitektur tradisional. Padahal,
Rumah Gadang dan Tongkonan memiliki konsep arsitektur yang selaras dengan iklim tropis
Indonesia. Kedua rumah adat ini memiliki kolong yang tinggi untuk sirkulasi udara, atap
yang landai agar air hujan meluncur lancar, dan bahan bangunan alamiah (bukan beton)
membuat kita tidak terjebak panas ketika musim kemarau tiba.
Masih berkorelasi dengan rumah adat; Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kota
Yogyakarta dengan Tim Pengkajian Lembaga Penelitian dan Pengkajian Sejarah dan
Antropologi 2004 (2007), menjelaskan di dalam ruang utama Masjid Agung Mataram
Kotagede dapat dilihat empat saka guru dari kayu jati utuh, dengan rusuk yang disusun ngruji
payung (memusat), dan tidak ada plafond yang berfungsi sebagai langit-langit. Di dalam
ruang utama tampak adanya ruang pengimaman/mihrab di dinding sebelah barat, dengan
mimbar kayu berukir. Di antara ornamen yang tertera ada ragam geometris, sulur-suluran,
bahkan di kaki mimbar ada ornamen berbentuk sepasang binatang yang distilir dengan
sempurna sehingga bentuk aslinya tidak dapat dikenali lagi
5
.
Bila Anda ke Sumatera Barat dan mencermati motif ukiran di Rumah Gadang, maka
Anda akan menemukan konsep ukiran ragam geometris, sulur-suluran, dan binatang yang
disamarkan (distilir) dari bentuk asli sebagaimana di Majid Agung Mataram Kotagede.
Konsep ukiran ini menandai masuknya pengaruh Islam di Nusantara. Karena dalam ajaran
agama Islam; hiasan yang paling indah berwujud bunga (tumbuh-tumbuhan) dan larangan
ukiran (gambar timbul) berwujud manusia atau hewan yang frontal. Bisa kita prediksi, jalur
perdagangan kebudayaan maritim merupakan salah satu jalan persebaran agama kebudayaan
Islam.

5
Toponim Kota Yogyakarta (hal. 14)
20

Perbandingan budaya di atas mengindikasikan konsep Indonesia dalam kerangka
integrasi budaya telah ada jauh sebelum kaum intelektual menyatukan kita dengan imajinasi
atau pembayangan.
Di lain pihak, perspektif kelahiran Indonesia karena adanya musuh bersama atau
bangsa kolonial harus kita benahi. Hal ini mengindikasikan kita sebagai bangsa yang
ekstrim. Sungguh sebuah realitas yang menyedihkan pula karena kebangsaan dan bangsa
Indonesia dipahami sebagai komunitas terbayang atau produk imajinasi tanpa adanya
realitas sosial berupa peradaban yang sesungguhnya melahirkan bayangan atau imajinasi
tersebut. Kita semakin jauh dari lautan yang termasuk alasan utama lahir sebagai bangsa
Indonesia.
Oleh karena itu, kita harus turut mensosialisasikan self-awareness kelautan sebagai
bagian Empat Pilar Kebangsaan. Lautan menyatukan kita. Nenek moyang kita orang pelaut.
Kita terlahir untuk menguasai dan memberdayakan lautan untuk kemakmuran rakyat
Indonesia dan dunia.

Kearifan Lokal dalam Konsep Pendidikan Indonesia
Pendidikan termasuk elemen sosial-budaya yang paling mendasar dalam
pembentukan self-awareness. Konsep edukasi formal dalam sistem pendidikan Indonesia
masih berada dalam kerangka yang parsial. Terlalu banyak materi pembelajaran yang harus
dikuasai anak didik. Dan umumnya materi pembelajaran dasar dan menengah (SD, SMP, dan
SMA) Indonesia belum beradaptasi dengan konsep esensial Empat Pilar Kebangsaan.
Sehingga nilai-nilai ke-Indonesia-an yang berelasi erat dengan budaya kita belum tersublim
dalam peta kognitif generasi muda. Indikasi ini bisa kita cermati dari gaya hidup generasi
muda yang menggandrungi budaya asing; seperti Korea, Jepang, ataupun Amerika. Mereka
memuja band Korea, gaya harajuku, film-film Amerika. Bahkan tidak jarang mereka
menceburkan diri dalam kebudayaan pop; kesenangan yang memabukkan atau pergaulan
bebas. Untuk itulah, kita perlu mengadopsi kearifan lokal sebagai konsep pendidikan untuk
mengenalkan Indonesia melalui jalur pendidikan formal ataupun nonformal.
Untuk meningkatkan self-awareness generasi muda sebagai ujung tombak
pembangunan sosial, kurikulum pendidikan perlu direkontruksi. Semua jenjang pendidikan
21

perlu ditata sesuai kearifan lokal Indonesia. Pembelajaran harus mampu mentransfer ilmu-
ilmu sosial-budaya Indonesia.
Adopsi kearifan lokal dalam pendidikan Indonesia sangat penting dilakukan dan harus
disegerakan. Mengingat, kesepakatan free-trade dan konsekwensi menjadi masyarakat global
telah melanda Indonesia. Kita bisa jumpai setiap hari warga Indonesia dan mungkin termasuk
diri kita berjam-jam mengakses internet. Gaya hidup ini memberi peluang internalisasi
kebudayaan asing yang mengaburkan kebudayaan lokal dalam self-awareness pribadi.
Di samping internet, berbagai saluran televisi, surat kabar, majalah, dan media massa
lainnya, turut berperan sebagai katalisator invansi kebudayaan asing ke dalam sistem budaya
Indonesia. Serat-serat kebudayaan lokal yang kaya estetika dan nilai-nilai luhur peradaban
menjadi kabur dan dilupakan. Akibatnya, kita menjadi bangsa yang rentan dengan klaim
negara lain terhadap produk budaya; seperti upaya klaim batik, reog ponorogo, dan tari
pendet oleh negara Malaysia; atau produk budaya yang berhasil dipatenkan; seperti hak paten
tempe oleh negara Jepang.
Tentunya sistem pembelajaran yang penulis maksud tidak fokus pada lembaga
pendidikan dasar dan menengah saja, tapi meliputi lembaga pendidikan setara perguruan
tinggi. Kearifan lokal harus menjadi materi pokok jenjang pendidikan dan segala jurusan.
Agar kaum intelektual muda bisa mengenali kebudayaan warisan leluhur sebagai bagian dari
identitas anak bangsa.
Di samping mempelajari kebudayaan Nasional, materi-materi kearifan lokal dalam
pendidikan hendaknya beradaptasi dengan daerah di mana lembaga pendidikan berada.
Karena akan lebih mudah dalam menggali serat-serat nilainya. Sebagai contoh, di lembaga
pendidikan kawasan Yogyakarta; kearifan lokal Jawa harus menjadi bagian materi wajib
kuliah; yang terdiri dari berbagai alternatif sesuai minat mahasiswa atau pelajar; seperti, seni
rupa tradisional, seni teater lokal, seni tari Jawa klasik, seni sastra Jawa, seni musik
(karawitan), dan sebagainya.
Implikasi positif dari adopsi kearifan lokal sebagai materi pembelajaran wajib, pelajar
dan mahasiswa yang berasal dari luar provinsi wilayah pendidikannya berpeluang
mempelajari dan mengenal secara langsung kekayaan kebudayaan Indonesia yang berada di
luar kebudayaannya. Hal ini akan menekan imbas paham primordial, prejudice, dan paham-
22

paham kedaerahan yang kontraproduktif lainnya; sehingga integrasi bangsa secara riil bisa
kita kukuhkan dan kita bela bersama. Generasi muda Indonesia menjadi mampu berpikir
lokal dan bertindak global.

Budaya Literasi
Sesungguhnya, Empat Pilar Kebangsaan sangat akomodatif sebagai solusi sebagian
besar polemik sosial yang menggerogoti sendi-sendi Indonesia. Aplikasi Empat Pilar
Kebangsaan dalam kehidupan akan mengantarkan kita ke ranah kekeluargaan. Sehingga, kita
bisa bersatu padu dalam mengukuhkan eksistensi Indonesia di tengah badai globalisasi.
Namun menjadi polemik karena Epat Pilar Kebangsaan tidak lepas dari perspektif
kesejarahan yang membangun paradigma integrasi. Polemik yang penulis maksud di sini;
sejarah Indonesia pascakemerdekaan sangat rentan dengan tindakan-tindakan manipulatif,
rekayasa, maupun penghancuran oleh rezim tertentu untuk melanggengkan kekuasaannya.
Indikasi ini terlihat frontal masa rezim Orde Baru. Materi pembelajaran (pendidikan) dan
paradigma sejarah dipegang oleh pemerintah yang berkuasa. Miskin alternatif. Perbedaan
perspektif cenderung diasumsikan sebagai benih separatis; bukan disikapi sebagai kritik yang
akan memunculkan dialog dan memperkaya pemahaman kita terhadap eksistensi Indonesia.
Tanpa mengabaikan rasa hormat terhadap sumbangsih pembangunan masa rezim
Orde Baru, masa rezim ini berkuasa, kesejarahan Indonesia lebih bersifat politis yang berelasi
erat dengan kekuasaan golongan. Materi-materi kesejarahan lebih mengarah pada upaya
pencitraan kebenaran dari realitas tunggal, bukan kebenaran yang berasal dari realitas yang
telah dikritisi. Mengingat Empat Pilar Kebangsaan juga mewarnai paradigma kesejarahan
yang sarat politis ini, menjadi lampu merah bagi kita bersama; apakah Empat Pilar
Kebangsaan rentan dengan motif politis yang akan menjauhkan visi utama sebagai paham
yang merekat ke-Indonesia-an?
Bila tidak terjadi upaya dialogis secara universal di Indonesia, tidak menutup
kemungkinan sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan lebih mengarah pada kepentingan politik.
Di lain sisi, keberadaan Empat Pilar Kebangsaan berpotensi besar diasumsikan masyarakat
sebagai wajah baru dari pencitraan politis rezim yang tengah berkuasa. Masyarakat Indonesia
yang mengalami pengalaman traumatis akan bersikap antipati. Upaya dialogis akan
23

menjembatani masyarakat dan duta Empat Pilar Kebangsaan. Di sinilah kebudayaan literasi
memegang peran penting dan perlu disebarkan.
Budaya literasi secara sederhana bisa dimaknai sebagai budaya kesusastraan. Elemen
utama budaya literasi tentunya penguasaan terhadap aksara dan bahasa. Budaya literasi bisa
menjadi lawan bagi pemerintah yang tirani dan bisa menjadi pendukung pembangunan sosial
pemerintahan yang berkeadilan. Karya sastra merupakan refleksi realitas masyarakat yang
sesungguhnya. Melalui sastra semua elemen-elemen kehidupan dibahasakan. Jika kita ingin
mengenal sebuah bangsa, maka kita harus membaca dan menggali unsur-unsur nilai yang
tertuang dalam karya sastra.
Budaya literasi merupakan jantung peradaban. Mengenal sastra berarti mengenal
sebuah bangsa secara utuh. Tidak heran pada masa Revolusi Budaya (1966-1976) kekuasaan
Mao Zedong tak sedikit karya sastra Cina dihancurkan. Demikian pula realitas di Indonesia
yang terjadi hingga sekarang, paradigma pembangunan yang menjadikan industrialisasi
sebagai menara suar telah menuntun kita menjadi bangsa yang terancam buta sastra.
Pada ranah yang sederhana kondisi yang memprihatinkan di ranah budaya literasi di
Indonesia dapat kita lihat dari rendahnya penghargaan terhadap pekerja seni di bidang sastra.
Menjadi pengarang profesional di Indonesia menjadi perjuangan terbilang berat. Pengarang
adalah inovator. Untuk melahirkan sebuah karya mereka harus membaca; baik materi yang
tersirat (realitas sosial), maupun tersurat (tekstual). Setiap karya, seaneh apapun, tidak akan
lepas dari peristiwa faktual. Sehingga self-awareness seorang penulis atau pengarang karya
sastra merupakan kesadaran otonom.
Sastra merupakan bahaya bagi kekuasaan tirani. Menjadikan sastra bagian kehidupan
berarti kita memutuskan untuk mengenali pola-pola sosial yang ada dalam masyarakat.
Selanjutnya, kita akan hanyut dalam diskursif kebangsaan, kemerdekaan, hak asasi, dan nilai-
nilai kemanusiaan lainnya. Hal inilah yang dialami pendiri bangsa Indonesia pada masa
pendudukan kolonial, khususnya masa pendudukan kolonial Belanda.
Masa pendudukan kolonial Belanda menjadi zaman emas budaya literasi di
Nusantara. Wacana ini muncul dalam Tragedi Nol Buku, Tragedi Kita Bersama yang
disampaikan Taufiq Ismail sebagai pidato kunci pada Rakerpus IPI (Ikatan Pustakawan
Indonesia), 31 Mei 3 Juni 2005 di Pekan Baru. Penyair kondang kelahiran Bukittinggi ini
24

memaparkan kemunduran minat baca sastra di Indonesia, khususnya di lembaga pendidikan
formal. Antara Juli-Oktober 1997, Taufiq Ismail mewawancarai alumni SMA dari 13 negara
dengan pertanyaan; 1) kewajiban membaca buku, 2) tersedianya buku wajib di perpustakaan
sekolah, 3) bimbingan menulis dan 4) pengajaran sastra di tempat mereka selama 3 atau 4
tahun. Dari 13 negara yang diuji, Indonesia pascakemerdekaan menempati urutan terbawah
(0 judul).
Taufiq Ismail menegaskan indikasi Tragedi Nol Buku dimulai pada tahun 1950. Di
mana kedaulatan negara telah jatuh secara total ke tangan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Namun tampaknya terjadi difusi efek politik mercusuar. Pembangunan Indonesia
seolah terkontaminasi perang dingin yang diperbudak teknologi. Salah satu produknya
bisa kita kenal sebagai Tugu Monas-Jakarta menjadi ikon kemajuan yang dibangun kala
masyarakat Indonesia masih memikul kerugian moril dan materil akibat revolusi fisik.
Pengkultusan teknologi sebagai wajah eksistensi Indonesia sebagai bangsa yang
merdeka menjadikan ilmu-ilmu pengetahuan eksakta dipuja. Wajib baca 25 buku sastra
berlaku pada siswa Algemene Middelbare School (SMA zaman pendudukan kolonial
Belanda) Yogya dalam waktu 3 tahundiamputasi karena dianggap tidak penting. Sehingga
lahirlah kebijakan-kebijakan pemerintah yang menyangkut ekonomi-politik, yakni
pembangunan jalan raya, rumah sakit, pertanian, perkebunan, pabrik-pabrik industri, dan
investasi negara asing yang tidak jarang mengabaikan keseimbangan ekosistem alam.
Meski wawancara Taufiq Ismail kuantitatif tahun 1997, data tersebut terbilang masih
berkorelasi erat dengan realitas kontekstual. Karena mayoritas masyarakat Indonesia tidak
hanya buta sastra, tapi juga buta medium yang menuntun mereka dalam mengenal sastra,
yaitu aksara.
Rendahnya pengkajian sastra mengakibatkan pola pikir kita menjadi tidak terstruktur.
Indikasi ini bisa kita cermati dari pola pengembangan pikiran antara sebuah buku sastra dan
artikel sebuah surat kabar. Sebuah peristiwa kematian yang disebabkan konflik di Papua bisa
ditulis wartawan dengan tuntas dalam sepuluh paragraf. Padahal, bila peristiwa ini masuk ke
ranah sastra, di tangan pengarang, peristiwa yang sama bisa konfigurasikan dalam sebuah
buku yang sangat representatif, novel Tanah Tabu misalnya. Melalui novel yang menjadi
pemenang utama Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (2008) ini sang pengarang,
Anindita S. Thayf, menuntun kita menemukan akar konflik Papua.
25

Dari wawancara Taufiq Ismail terdapat temuan pelajar SMA membaca buku sastra
masa pendudukan Hindia Belanda Yogyakarta (1939-1942) 25 judul dan Hindia Belanda
Malang (1929-1932) 15 judul. Sungguh perbandingan yang sangat kontras dengan posisi 0
judul di masa kemerdekaan.
Melalui sastra serat-serat kompleksitas kehidupan individu bisa tergali dengan
komprehensif. Tak heran bila integrasi budaya sangat erat pada masa pra kemerdekaan yang
dibuktikan kelahiran Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Para intelektual muda masa
lalu memiliki pola pikir struktural, bukan dominasi pola pikir parsial dan gaya hidup instan,
sebagaimana sekarang.
Kebudayaan literasi termasuk jalan yang harus kita tempuh untuk merekatkan Empat
Pilar Kebangsaan ke dalam self-awareness masyarakat. Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan
tanpa mengobarkan pembangunan sosial bidang budaya literasi tidak akan mencapai kondisi
integrasi yang menjadi bagian visi Empat Pilar Kebangsaan.
Pembangunan sosial bidang literasi berkorelasi erat dengan peningkatan budaya baca
dan tulis. Sehingga sasaran utama kita merupakan pemberantasan buta aksara. Karena
pemerintah telah menelurkan kebijakan kenaikan biaya pendidikan formal; maka pemerintah
harus mendukung, mengagendakan, dan merealisasikan pendidikan alternatif bagi rakyat
Indonesia. Ketidakmampuan dalam menguasai aksara memutuskan kita dengan bahasa yang
menjadi instrumen komunikasi. Jika seorang individu tidak mampu berbahasa, bagaimana ia
bisa menyampaikan atau menuntut hak asasinya yang dijanjikan dan dilindungi negara?
Bila respon negara tidak memungkinkan, kita sebagai generasi muda dapat bertindak
independen. Kita bisa mendirikan kelompok belajar di daerah kita masing-masing.
Kemampuan kita membaca dan berhitung adalah tambang emas yang juga menjadi impian
para buta aksara.
Untuk mendukung pemberantasan buta aksara, perlu adanya pendirian perpustakaan
daerah. Sebagai pemuda berasal dari daerah Sumatera Barat, penulis sangat merasakan
ketertinggalan kami di daerah bukan karena daya intelektual yang rendah, tapi kami masih
belum banyak membaca buku. Hal ini semakin terasa karena penulis memiliki minat tinggi
dalam penulisan sastra.
26

Semasa SMA di Sumatera Barat, penulis tergolong pelajar yang sangat menonjol di
bidang sastra dan diharapkan menjadi sastrawan. Tapi ketika menginjakkan kaki di
Yogyakarta tahun 2002, penulis bukan siapa-siapa. Perlu belajar lagi dengan lebih banyak
membaca dan waktu sekitar enam tahun untuk mencapai standar penulisan Yogyakarta yang
menjadi gudang cendikiawan muda.
Penguasaan bahasa dan keberadaan perpustakaan tidak akan lengkap dengan realisasi
budaya tulis. Melalui menulis, khsususnya sastra (cerpen atau novel), kita terlatih untuk
mendokumentasikan ilmu pengetahuan yang kita miiki. Sastra juga menuntut kita memiliki
paradigma rasional ilmiah. Bahkan sastra bisa menjangkau kehidupan sosial secara kompleks.
Mempelajari dan mengembangkan budaya literasi berarti kita turut mempertahankan
eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Akan lebih baik lagi bila adopsi sastra dalam konsep pendidikan zaman Belanda
diaplikasikan kembali ke dalam sistem pendidikan Indonesia. Kualitas pembelajaran sastra di
jenjang pendidikan, khususnya dasar dan menengah, harus ditingkatkan. Tanpa sastra, kita
kehilangan kontak dengan informasi dan mengalami kemunduran dalam berkomunikasi.
Teknologi tanpa sastra akan menyulap kita menjadi robot-robot yang tunduk pada industri
dan tirani.

Generasi Muda dan Pembangunan Sosial
Sebagai pelengkap wacana, tindakan yang nyata merupakan ekspresi dari Empat Pilar
Kebangsaan yang sesungguhnya. Khususnya pada konteks ini, kita harus mengobarkan andil
generasi muda dalam pembangunan sosial. Membangun Indonesia tidak harus melakukan hal
yang luar biasa, tapi kita bisa melakukan hal yang sederhana dengan semangat yang
istimewa.
Sebagai salah seorang pemuda yang beruntung untuk sejajar dengan Pemuda
Berprestasi Tingkat Nasional Penghargaan Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga Republik
Indonesia, penulis sangat takjub dengan andil saudara-saudara pemuda di Nusantara.
Ternyata Indonesia memiliki pemuda-pemuda yang sadar, mencintai, dan berjuang untuk
mengabdi pada masyarakat Indonesia di bidang mereka masing-masing. Tidak menunggu
27

waktu mengubah segalanya, tapi mereka memulai pembangunan dengan hal sederhana
dengan impian yang luar biasa.
Maka dari itu, izinkan penulis memperkenalkan Indri Masruroh. Ia merupakan rekan
penulis dalam barisan Pemuda Berprestasi Tingkat Nasional Penghargaan Menteri Negara
Pemuda dan Olah Raga Republik Indonesia, Andi A. Mallarangeng, pada puncak peringatan
Hari Sumpah Pemuda ke-82 (28 Oktober 2010) di Surakarta (Solo).
Indri Masruroh mendayagunakan limbah sebagai bahan baku alat peraga.
Kita sadari atau tidak, metode belajar konvensional yang menjadikan buku sebagai
bahan utama pembelajaran sulit mencapai tingkat pemahaman maksimal bagi anak didik.
Belajar dari buku saja tidak akan membentuk sebuah jalinan kemunikasi yang efektif dalam
transformasi ilmu pengetahuan. Kita membutuhkan wujud nyata sebagai media perwujudan
konsep ilmu pengetahuan dalam dimensi ruang dan waktu. Tanpa adanya wujud nyata ini,
buku-buku menjelma teori yang berisi huruf-huruf mati. Di sinilah letak ketertinggalan
daerah dibandingkan kota. Kekurangan fasilitas alat-alat peraga dalam proses belajar-
mengajar bisa menghambat laju pertumbuhan kognitif anak didik.
Sebagai tenaga pengajar di TK Dharma Wanita Plancungan, Ponorogo, Jawa Timur,
Indri Masruroh merasakan kendala ketiadaan alat peraga. Problem ini bersinergi dengan
kecemasannya terhadap pengaruh limbah terhadap lingkungan. Maka, Indri Masruroh dengan
sabar menjelaskan kepada anak didiknya untuk mengumpulkan limbah berupa kemasan
plastik makanan instan. Selain itu, anak didiknya juga dituntun untuk mengumpulkan limbah
alami seperti ranting-ranting, daun-daun kering, biji-bijian. Setelah bahan-bahan terkumpul,
Indri Masruroh dan murid-muridnya membuat alat peraga huruf alfabet yang dinamakan
Pohon Pintar.
Proses pembuatan pohon pintar sangat sederhana. Daun-daun dan kemasan makanan
ringan dari plastik digunting dengan pola daun atau sesuai inovasi pribadi murid. Ranting
berfungsi sebagai batang Pohon Pintar. Biji-bijian ( seperti lamtoro, jagung, dan semangka)
direkatkan dengan lem pada daun Pohon Pintar membentuk huruf alfabet. Daun-daun dengan
tempelan huruf alfabet ini dikaitkan pada cabang-cabang Pohon Pintar.
Penggunaan Pohon Pintar, yaitu murid mencocokkan huruf alfabet yang ada di daun
dengan bentangan kotak huruf-huruf alfabet yang ada di bawah pohonnya. Pohon pintar
28

menjadi permainan favorit dan mempermudah anak didik untuk segera mahir dalam
mengenal dan menguasai huruf alfabet.


Indri Masruroh dalam sebuah presentasi alat peraga
(foto atas izin Indri Masruroh)

Inovasi Indri tidak terhenti pada pohon pintar semata. Dukungan dan simpati
masyarakat, khususnya karang taruna, semakin memicu motivasi Indri Masruroh untuk
berekreasi dan menghasilkan alat peraga lain; seperti sempoa dari jagung, puzzle menara dari
kardus, dan sebagainya. Anak didiknya semakin senang belajar karena langsung mengalami
dan terlibat dalam visualisasi konsep pendidikan. Berkat alat peraga inovasinya, Indri
Masruroh terpilih sebagai Pemuda Pelopor Provinsi Jawa Timur dan Pemuda Pelopor Tingkat
Nasional tahun 2010.

Penutup
Empat Pilar Kebangsaan harus menjadi sebuah konsep yang universal dan terus kita
perbaharui melalui proses yang dialogis. Tidak hanya konsep yang mati atau mutlak. Karena
29

melalui proses dialogis ini akan terungkap konsep ke-Indonesia-an yang sejati. Di mana kita
akan bersatu dan mengembalikan kejayaan Indonesia di masa lalu; jaya di laut, jaya pula di
daratan.
Empat Pilar Kebangsaan merupakan kunci bagi kita mewujudkan integrasi bangsa dan
cita-cita kemerdekaan. Namun, tanpa pemaknaan yang representatif dan berkorelasi dengan
bukti-bukti empiris, Empat Pilar Kebangsaan terperangkap dalam pemahaman teoritis dan
normatif. Empat pilar Kebangsaan tidak akan menjadi self-awareness (kesadaran diri)
kolektif bangsa Indonesia. Sehingga tujuan sosialisasi dan pembentukan konsep Empat Pilar
Kebangsaan tidak tercapai.
Bila kita korelasikan Empat Pilar Kebangsaan dengan bukti-bukti empiris ke-
Indonesia-an, Empat Pilar Kebangsaan bertransformasi ke ranah yang universal. Lebih bisa
dipahami dan diaplikasikan sebagai self-awareness. karena Empat Pilar Kebangsaan mampu
mewakili konsep integrasi bangsa.
Tindak lanjut dari Empat Pilar Kebangsaan adalah timbulnya self-awareness
masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda, untuk mendayagunakan potensi diri pribadi
untuk berperan serta dalam pembangunan sosial. Dengan demikian, kualitas sumberdaya
manusia yang berakarakter dan memiliki self-awareness Empat Pilar Kebangsaan akan lahir
dan berani meneguhkan eksistensinya sebagai pengabdi masyarakat dalam mewujudkan cita-
cita kemerdekaan yang tertera dalam pembukaan UUD 1945.


Daftar Acuan
Armando, Nina M. (2006). Psikologi Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka
Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Yogyakarta dengan Tim Pengkajian
Lembaga Penelitian dan Pengkajian Sejarah dan Antropologi 2004.
(2007). Toponim Kota Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Pariwisata, Seni
dan Budaya Kota Yogyakarta.
30

Djamaris, Edwar. (2001). Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Katalog Kotagede. (2009). Kotagede dalam Sketsa Perak 2009. Yogyakarta.
Mangunwijaya, Y.B. (1986). Menumbuhkan Sikap Religius Anak-anak. Jakarta: Gramedia.
Yasmine, Daisy Indra. (2006). Sistem Sosial Budaya Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka.
Wibowo, Agung Setiyo. (2009). Benang-benang Perajut Keindonesiaan.
Jakarta: Jurnal Kohesi BEM Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia.














31

Anda mungkin juga menyukai