Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH SISTEM BIROKRASI PEMERINTAHAN DI INDONESIA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sistem Pemerintahan di Indonesia

Indonesia adalah sebuah negara yang terletak di kawasan Asia Tenggara yang merdeka pada tanggal 17

Agustus 1945 dari penjajahan Belanda, Inggris, dan Jepang. Dalam mencapai kemerdekaannya, bangsa

Indonesia mengalami perjuangan yang tidak mudah namun dengan rahmat Allah dan perjuangan yang

tiada henti pada akhirnya Indonesia dapat merdeka dengan sendirinya tanpa pemberian dan bantuan

militer dari negara lain.

Saat dideklarasikan pada 17 Agustus 1945, Indonesia menganut sistem parlementer dimana negara ini

memiliki seorang presiden sebagai kepala negara dan memiliki seorang perdana menteri untuk menjadi

kepala pemerintahannya. Kemudian Indonesia merubah sistem pemerintahannya menjadi presidensial,

yaitu negara yang dipimpin oleh seorang presiden yang sekaligus menjadi kepala negara dan kepala

pemerintahan bagi negaranya. Sistem ini berjalan hingga ada kesepakatan antara Indonesia dan Belanda

pada tahun 1949. Belanda yang masih berniat menguasai Indonesia sebagai negara jajahanya berupaya

untuk memecah belah Indonesia dengan mendirikan negara-negara boneka di wilayah Indonesia. Maka

Indonesia kembali merubah sistem pemerintahannya seperti pada saat awal kemerdekaan Indonesia yaitu

sistem parlementer dan konstitusipun berubah menjadi UUD 1950 serta bentuk negara yang semula

negara kesatuan juga berubah menjadi Republik Indonesia Serikat.


Namun karena rakyat tidak setuju dan Presiden Soekarno meneruskan perjuangannya kembali maka

Indonesia kembali menjadi negara kesatuan namun tetap dengan menggunakan konstitusi UUD 1950.

Pada tahun 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya adalah kembali

pada konstitusi yang semula yaitu UUD 1945. Sampai sekarang Indonesia masih menganut sistem

pemerintahan presidensial dan konstitusi UUD 1945.

B. Sistem Birokrasi Pemerintahan di Indonesia

Penyelenggaraan pemerintahan negara yang baik (good governance) menjadi agenda utama di Indonesia

dewasa ini. Menarik bahwa penentuan agenda ini didahului oleh krisis finansial (1997) yang meluas

menjadi krisis ekonomi. Krisis tersebut telah mendorong arus balik yang luas yang menuntut perbaikan

ekonomi negara, penciptaan good corporate governance di sektor swasta, dan perbaikan pemerintahan

negara.

Seperti dialami bersama, bangsa Indonesia memulai semua itu dengan mendesak suksesi kepemimpinan

nasional dari Presiden Soeharto ke Presiden Habibie (1998). Tentu saja, suksesi tidak cukup sebagai

jawaban atas tuntutan masyarakat. Reformasi politik akhirnya melebar: berkembangnya sistem multi

partai, penyelenggaraan pemilihan umum oleh lembaga yang independen (1999), pembentukan lembaga

perwakilan yang lebih representatif dan lebih berdaya dalam mengawasi pemerintah (eksekutif),

pengurangan dan bahkan penghilangan intervensi militer dalam kehidupan politik dan pemerintahan di

luar bidang mereka, peningkatan profesionalisme dan independensi lembaga peradilan, dan lain-lain.

Pendek kata, berbagai pihak (atau sektor) yang terlibat dalam keseluruhan dinamika governance

menerima sorotan dan harus diperbaiki, pihak-pihak itu bukan hanya negara (legislatif, yudikatif, dan

eksekutif) melainkan juga pihak swasta dan masyarakat sipil (civil society). Yang terakhir dituntut

meningkatkan perannya dalam rangka mengembangkan demokratisasi dan akuntabilitas pemerintahan

negara.

Namun governance reform yang kini terpusat pada pihak eksekutif dan administrasi negara, tidak dapat
dihindari. Berbagai faktor telah menyebabkannya. Konstitusi Indonesia termasuk a heavy-executive

constitution, yang memberikan kekuasaan besar kepada presiden. Peran pemerintah selama 30-an tahun

terakhir juga begitu dominan dalam berbagai aspek kehidupan. Dominasi ini telah didukung secara

sistematis melalui peran birokrasi yang tidak netral-politik karena menganut monoloyalitas kepada

Golkar, sistem kepartaian dominan (dominant party system), dan militer.

Dengan pemerintahan negara yang elitis, sedangkan masyarakat sipil masih lemah atau bahkan

dibungkam, pemerintah memainkan peran yang strategis di bidang politik, sosial dan ekonomi.

Eksekutifpun semakin independen, karena anggaran negara banyak didukung oleh hutang luar negeri.

Maka dapat dimengerti bahwa independensi pemerintah tersebut juga merambah ke dunia usaha dan

menghasilkan pengusaha pemburu rente (rent-seekers).

Tuntutan reformasi yang dirumuskan dalam slogan anti korupsi, kolusi dan nepotisme menggambarkan

kebobrokan sistem pemerintahan negara yang didominasi oleh pemerintah, dengan aktor-aktor utama

tersebut di muka, dan dalam sektor swasta yang seharusnya mandiri dan bebas dari intervensi pemerintah.

Maka, reformasi pemerintahan negara (governance reform) yang terfokus pada pihak eksekutif dan

administrasi negara merupakan salah satu jalur strategis bagi tercapainya good governance. Untuk itu

terdapat berbagai strategi pencapaiannya.

Pertama, usaha telah dijalankan untuk menghasilkan pemerintahan yang demokratik dan legitimate.

Perkembangan sistem multi partai menjadi saluran bagi masyarakat untuk mendirikan asosiasi politik dan

menjatuhkan pilihannya secara bebas. Penyelenggaraan pemilu oleh lembaga yang independen (KPU)

dan pemantauan oleh masyarakat sipil

(domestik dan international), telah meningkatkan kredibilitas sistem pembentukan legislatif dan eksekutif.

Kedua, seharusnya diperjelas otoritas pemerintahan baru di hadapan birokrasi lama. Tetapi hal ini belum

memungkinkan, baik karena ketidakjelasan pengaturan, tidak adanya dukungan legislatif, maupun

resistensi birokrasi lama. Masalah-masalah yang muncul dalam penunjukan pejabat-pejabat politik
(political appointess), misalnya, mencerminkan bahwa watak Indonesia sebagai beambtenstaat (negara

birokrasi) masih menonjol. Dalam sistem politik yang demokratik dan menghasilkan pemerintahan yang

legitimate, seharusnya wajar belaka jika pemerintah berhak menentukan jabatan-jabatan tertentu dalam

birokrasi negara. Jika tidak, maka pemerintahan yang demokratik akan dibajak oleh sistem birokrasi

lama. Upaya memperjelas masalah ini dapat dimulai dengan menghasilkan perundang-undangan tentang

lembaga kepresidenan. Dalam pengaturan itu ditentukan tentang otoritas politik, hak-hak dan

kewajibannya, dan akuntabilitas.

Ketiga, reformasi administrasi negara. Seperti diketahui bersama, birokrasi di Indonesia merupakan

birokrasi yang menggurita. Mereka bukan hanya berada di lingkaran eksekutif seperti Sekretariat Negara,

Departemen, Lembaga Non-departemen, dan BUMN, melainkan juga di lembaga perwakilan rakyat dan

peradilan. Upaya awal sudah dilakukan, seperti transfer administrasi peradilan umum dari Departemen

Kehakiman ke Mahkamah Agung, atau penentuan anggaran sendiri oleh lembaga perwakilan rakyat.

Namun banyak hal masih harus dilakukan dalam reformasi administrasi negara ini. Secara umum

reformasi itu mencakup peran atau tugas sistem addministrasi negara antara lain guna melayani

masyarakat secara aspiratif daripada melayani kepentingan sendiri melalui kolusi dengan dunia usaha dan

nepotisme. Peran lain adalah memberi ruang pada masyarakat dan sektor swasta untuk berkembang dari

bawah (bottom-up) dan di daerah (decentralization).

Bappenas, Dirjen Sospol Depdagri, Dephankam, misalnya telah mengalaminya.

Aspek lainnya adalah penataan kelembagaan, termasuk melakukan rasionalisasi lembaga dan personil.

Hal ini memerlukan peninjauan ulang terhadap keberadaan dan fungsi berbagai macam lembaga sesuai

dengan perkembangan sosial, ekonomi dan politik dewasa ini. Termasuk yang harus mengalami reformasi

adalah proses dan tata-cara administrasi negara yang tidak berbelit-belit, transparan, memuaskan dan

tidak korup.

Keempat, kultur dan etika birokrasi. Kultur keterbukaan, pelayanan yang cepat, dan etika pejabat harus

ditingkatkan. Pelayanan yang lamban sudah menjadi ciri birokrasi kita (perhatikan layanan KTP,
pemasangan saluran telepon baru atau air minum). Etika jabatan menyangkut hal-hal seperti larangan

perangkapan jabatan, berkolusi, penerimaan uang pelicin dan lain-lain.

Kelima, masalah sumber daya manusia yang memerlukan rekruitmen berdasarkan kualitas dan

profesionalisme, peningkatan pelatihan, promosi reguler berdasarkan merit system, dan meningkatnya

kesejahteraan (bandingkan antara gaji guru dengan pejabat esselon, juga pegawai negeri sipil-militer

dengan pegawai BUMN).

Keenam, pengawasan administrasi negara. Hal ini dapat dilakukan secara preventif maupun represif.

Pengawasan preventif melekat pada sistem administrasi negara yang bersangkutan, seperti kejelasan job

description, pengawasan oleh atasan, dan secara umum berupa penyelenggaraan pemerintah berdasarkan

prinsip-prinsip yang baik, yang harus diikuti atau diwujudkan dalam menghasilkan legislasi. Indonesia

belum memiliki ketentuan hukum dalam hal ini. Sedangkan secara represif, pengawasan ini dapat

berwatak politis, yaitu melalui DPR dan DPRD, maupun berwatak yudisial melalui peradilan

adminastrasi yang terbatas pada keputusan konkret (beschikking).

Memang banyak hal yang harus diperbaiki. Peran legislatif dalam mengutamakan kepentingan publik

harus ditingkatkan, bukan sekedar kepentingan partai atau golongan. Pemahaman anggota (yang baru)

mengenai administrasi pemerintahan masih harus ditingkatkan pula. Bias birokrasi, kekuasaan, politik

dan bisnis yang mewarnai kultur peradilan selama ini, belum sepenuhnya hilang. Sebaliknya,

ketidakpatuhan birokrasi dalam menjalankan putusan hakim juga menuntut pemberdayaan putusan

peradilan administrasi.

Berbagai strategi lain mungkin saja dipikirkan, diusulkan dan dikembangkan. Tujuannya bukan sekedar

melahirkan wacana, konsep-konsep dan program yang reformatif untuk menuju clean and the good

governance, melainkan juga untuk mendorong perwujudannya.

Sentralisasi adalah memusatkan seluruh wewenang atas segala urusan yang menyangkut pemerintahan

kepada tingkat pusat.. Sentralisasi banyak digunakan pada pemerintahan lama di Indonesia sebelum
adanya otonomi daerah. Bahkan pada zaman kerajaan, pemerintahan kolonial, maupun di zaman

kemerdekaan.Istilah sentralisasi sendiri sering digunakan dalam kaitannya dengan kontrol terhadap

kekuasaan dan lokasi yang berpusat pada satu titik.

Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan

sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi

akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi

sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia.

Desentralisasi di bidang pemerintahan adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada satuan

organisasi pemerintahan di wilayah untuk meyelenggarakan segenap kepentingan setempat dari

sekelompok penduduk yang mendiami wilayah tersebut.

Dengan demikian, prakarsa, wewenang,dan tanggung jawab mengenai urusan yang diserahkan pusat

menjadi tanggung jawab daerah , baik mengenai politik pelaksanaannya, perencanaan, dan

pelaksanaannya maupun mengenai segi pembiayaannya. Perangkat pelaksananya adalah perangkat daerah

itu sendiri.

Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan sumber-sumber

daya (dana, manusia dll) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

Menurut UU Nomor 5 Tahun 1974, desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintah dari pusat

kepada daerah. Pelimpahan wewenang kepada Pemerintahan Daerah, semata- mata untuk mencapai suatu

pemerintahan yang efisien.

Dekonsentrasi wewenang administrative.Dekonsentrasi berupa pergeseran volume pekerjaan dari

departemen pusat kepada perwakilannya yang ada di daerah tanpa adanya penyerahan atau pelimpahan

kewenangan untuk mengambil keputusan atau keleluasaan untuk membuat keputusan. Delegasi kepada

penguasa otorita Delegasi adalah pelimpahan pengambilan keputusan dan kewewenangan manajerial

untuk melakukan tugas –tugas khusus kepada suatu organisasi yang secara langsung berada di bawah
pengawasan pusat. Devolusi kepada pemerintah daerah Devolusi adalah kondisi dimana pemerintah pusat

membentuk unit-unit pemerintahan di luar pemerintah pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi-fungsi

tertentu kepada unit-unit itu untuk dilaksanakan secara mandiri.

Devolusi adalah bentuk desentralisasi yang lebih ekstensif untuk merujuk pada situasi di mana

pemerintah pusat mentransfer kewenangan kepada pemerintah daerah dalam hal pengambilan keputusan,

keuangan dan manajemen. Pemindahan fungsi dari pemerintah kepada swasta Yang di sebut sebagai

pemindahan fungsi dari pemerintahan kepada swasta atau privatisasi adalah menyerahkan beberapa

otoritas dalam perencanaan dan tanggung jawab admistrasi tertentu kepada organisasi swasta.

10

Dampak Positif dan Negatif Sentralisasi di berbagai bidang antara lain :

Dari segi ekonomi, efek positif yang di berikan oleh sistem sentralisasi ini adalah perekonomian lebih

terarah dan teratur karena pada sistem ini hanya pusat saja yang mengatur perekonomian. Sedangkan

dampak negatifnya adalah daerah seolah-olah hanya di jadikan sapi perahan saja dan tidak dibiarkan

mengatur kebijakan perekonomiannya masing- masing sehingga terjadi pemusatan keuangan pada

Pemerintah Pusat.

Segi Sosial Budaya. Dengan di laksanakannya sistem sentralisasi ini, perbedaan-perbadaan kebudayaan

yang dimiliki bangsa Indonesia dapat di persatukan.Sehingga, setiap daerah tidak saling menonjolkan

kebudayaan masing-masing dan lebih menguatkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang di miliki

bangsa Indonesia.

Sedangkan dampak negatif yang di timbulkan sistem ini adalah pemerintah pusat begitu dominan dalam

menggerakkan seluruh aktivitas negara. Dominasi pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah telah

menghilangkan eksistensi daerah sebagai tatanan pemerintahan lokal yang memiliki keunikan dinamika

sosial budaya tersendiri, keadaan ini dalam jangka waktu yang panjang mengakibatkan ketergantungan

kepada pemerintah pusat yang pada akhirnya mematikan kreasi dan inisiatif lokal untuk membangun

lokalitasnya.

Dampak positif yang dirasakan dalam penerapan sentralisasi ini dari segi keamanan dan politik adalah
keamanan lebih terjamin karena pada masa di terapkannya sistem ini, jarang terjadi konflik antar daerah

yang dapat mengganggu stabilitas keamanan nasional Indonesia.

Tetapi, sentralisasi juga membawa dampak negatif dibidang ini. Seperti menonjolnya organisasi-

organisasi kemiliteran. Sehingga, organisasi-organisasi militer tersebut mempunyai hak yang lebih

daripada organisasi lain.

Dampak positif yang dirasakan di bidang politik sebagai hasil penerapan sistem sentralisasi adalah

pemerintah daerah tidak harus pusing-pusing pada permasalahan yang timbul akibat perbedaan

pengambilan keputusan, karena seluluh keputusan dan kebijakan dikoordinir seluruhnya oleh pemerintah

pusat. Sehingga keputusan yang dihasilkan dapat terlaksana secara maksimal karena pemerintah daerah

hanya menerima saja.

Sedangkan dampak negatifnya adalah terjadinya kemandulan dalam diri daerah karena hanya terus

bergantung pada keputusan yang di berikan oleh pusat. Selain itu, waktu yang dihabiskan untuk

menghasilkan suatu keputusan atau kebijakan memakan waktu yang lama dan menyebabkan realisasi dari

keputusan tersebut terhambat.

Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam penyelenggaraan

pemerintahan di setiap negara hukum terutama di negara-negara hukum dengan sistem kontinental. Asas

legalitas berkaitan erat dengan gagasan demokrasi dan gagasan negara hukum. Gagasan demokrasi ini

menuntut setiap undang-undang agar mendapatkan persetujuan dari wakil rakyat sebanyak mungkin

dengan memperhatikan kepentingan rakyat.

Penerapan asas legalitas akan menunjang kepastian hukum dan kesamaan perlakuan. Penyelengggaraan

pemerintahan yang didasarkan pada asas legalitas yang berarti didasarkan undang-undang dalam

praktiknya tidak memadai dikarenakan hukum masih terdapat kelemahan. Meski asas legalitas memiliki

kelemahan namun tetap merupakan asas utama bagi setiap negara hukum.

C. Perubahan Sistem Birokrasi di Indonesia

Sejak jatuhnya era Orde Baru, reformasi dalam berbagai sektor pemerintahan mulai dilaksanakan. Bukan

hanya pemisahan antara TNI dan POLRI tetapi juga berbagai lembaga pemerintahan juga mereformasi
lembaganya masing masing. Tranparansi kinerja dan pelayanan terhadap publik yang dahulu terkesan alot

dan sulit kini semakin dipermudah meskipun pada kenyataannya masih ada proses birokrasi yang

dipersulit dan yang masih tertutup. Merubah tatanan birokrasi Indonesia tidaklah mudah. Memerlukan

jangka waktu yang panjang dan lama untuk mengubah tatanan birokrasi yang alot, tertutup, menyulitkan

dan buruk kinerjanya.

Saat ini, perubahan tidak hanya menjadi tugas pemerintah tetapi juga tugas rakyat. Bersama-sama

merubah tatanan birokrasi Indonesia ke arah yang lebih baik untuk menjadikan proses administrasi negara

berjalan sebagaimana mestinya.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Indonesia menganut sistem parlementer dimana negara ini memiliki seorang presiden sebagai kepala

negara dan memiliki seorang perdana menteri untuk menjadi kepala pemerintahannya. Kemudian

Indonesia merubah sistem pemerintahannya menjadi presidensial, yaitu negara yang dipimpin oleh

seorang presiden yang sekaligus menjadi kepala negara dan kepala pemerintahan bagi negaranya. Sistem

ini berjalan hingga ada kesepakatan antara Indonesia dan Belanda pada tahun 1949. Indonesia kembali

merubah sistem pemerintahannya seperti pada saat awal kemerdekaan Indonesia yaitu sistem parlementer

dan konstitusipun berubah menjadi UUD 1950 serta bentuk negara yang semula negara kesatuan juga

berubah menjadi Republik Indonesia Serikat. Tahun 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit

presiden yang isinya kembali pada UUD 1945, maka Indonesia kembali menjadi negara kesatuan namun

tetap dengan menggunakan konstitusi UUD 1945.

Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam penyelenggaraan

pemerintahan di setiap negara hukum terutama di negara-negara hukum dengan sistem kontinental. Asas

legalitas berkaitan erat dengan gagasan demokrasi dan gagasan negara hukum. Gagasan demokrasi ini

menuntut setiap undang-undang agar mendapatkan persetujuan dari wakil rakyat sebanyak mungkin
dengan memperhatikan kepentingan rakyat.

Tranparansi kinerja dan pelayanan terhadap publik yang dahulu terkesan alot dan sulit kini semakin

dipermudah meskipun pada kenyataannya masih ada proses birokrasi yang dipersulit dan yang masih

tertutup.

Merubah tatanan birokrasi Indonesia tidaklah mudah. Memerlukan jangka waktu yang panjang dan lama

untuk mengubah tatanan birokrasi yang alot, tertutup, menylitkan dan buruk kinerjanya.

B. Saran

Saat ini, perubahan pada sistem birokrasi tidak hanya menjadi tugas pemerintah tetapi juga tugas rakyat.

Bersama-sama merubah tatanan birokrasi Indonesia ke arah yang lebih baik untuk menjadikan proses

administrasi negara berjalan sebagaimana mestinya. Berusaha menghilangkan citra buruk dan

mempermudah alur birokrasi adalah kewajiban kita untuk membangun kembali sistem birokrasi yang

baik.

Setiap sistem pemerintahan pasti memiliki kelemahan atau kekurangan. Hal ini biasa terjadi dalam sistem

ketatanegaraan. Dalam mewujudkan tujuan nasional hendaknya ada kerjasama yang sinergis antara

pemerintah dengan rakyatnya. Dengan adanya kerjasama yang baik antara pemerintah dan rakyatnya,

maka akan terwujud tujuan nasional. Tujuan nasional merupakan suatu bentuk keinginan dari rakyat.

Bagaimana menjalankan pemerintahan, bagaimana mewujudkan cita-cita rakyat, semua itu hanya dapat

dilakukan bila ada suatu kerjasama yang baik dari pemerintah kepada rakyatnya.

Anda mungkin juga menyukai