Anda di halaman 1dari 35

TEORI SOSIAL INDONESIA

ILMU SOSIAL PRPFETIK – REFLEKSI PEMIKIRAN KUNTOWIJOYO


ALTERNATIF INDIGENISASI ILMU SOSIAL DI INDONESIA
Makalah ini Disusun guna Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Teori Sosial Indonesia
Dosen Pengampu : Dr. Nasiwan, M.Si

Shaffira Atsiilah Mustawati


(16416241027)
KELAS A

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2017

anto comp
[COMPANY NAME]  [Company address]
DAFTAR ISI
BAB I......................................................................................................................................2
PENDAHULUAN..................................................................................................................2
A. Latar Belakang...........................................................................................................2
B. Rumusan Masalah......................................................................................................3
C. Tujuan.........................................................................................................................3
D. Manfaat.......................................................................................................................3
BAB II.....................................................................................................................................4
PEMBAHASAN.....................................................................................................................4
A. Biografi Kuntowijoyo.................................................................................................4
B. Keadaan Ilmu Sosial di Indonesia.............................................................................7
1. Hegemoni Teori Sosial Barat.................................................................................7
2. Persoalan Ilmu Sosial dalam Perkembangannya di Indonesia.........................10
3. Orientalisme: Pandangan Barat terhadap Timur.............................................11
C. Pandangan Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo.......................................................15
1. Awal Mula Gagasan Ilmu Sosial Profetik..........................................................15
2. Ilmu Sosial Profetik, Ilmu Sosial Transformatif................................................16
3. Wahyu : Basis Epistemologis dan Implikasinya................................................21
D. Perlunya Indigenisasi Ilmu Sosial di Indonesia.....................................................24
BAB III.................................................................................................................................29
PENUTUP............................................................................................................................29
a. Kesimpulan...............................................................................................................29
b. Saran.........................................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................31
LAMPIRAN.........................................................................................................................33

1
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu sosial di Indonesia mengalami suatu kelesuan. Dimana teori-teori
sosial mengalami stagnansi akibat tidak adanya penggalian-penggalian ilmu
sosial yang dapat menjelaskan berbagai fenomena yang hidup di Indonesia.
Ilmuwan dan masyarakat di Indonesia cenderung merasa bebas untuk
mengadopsi berbagai ilmu dari Barat dan menganggap bahwa ilmu dari Barat
adalah yang terbaik tanpa menoleh ke peradaban kita sendiri.

Adanya fenomena di negara-negara Asia khususnya Indonesia tersebut,


timbulah respon dari Syed H Alatas pada tahun 1970-an yang kemudian
memperkenalkan sebuah teori yang bernama captive mind sebagai upaya
membaca perkembangan ilmu sosial di negara dunia ketiga ini. Teori ini
mengatakan bahwa ilmu sosial di Nusantara merupakan korban Orientalisme
dan Eurosentrisme yang dicirikan dengan cara berpikir yang didominasi
pemikiran-pemikiran peradaban Barat dan hanya bisa meniru tanpa adanya
pemikiran yang kritis.

Sudah barang kita tahu bahwa ilmu-ilmu yang berasal dari Barat tersebut
lahir karena dipengaruhi oleh nilai-nilai yang ada di sana. Padahal kita
memiliki latar kehidupan yang berbeda yang tidak semua persoalan dapat
diselesaikan dengan teori Barat.

Salah seorang cendekiawan muslim Indonesia, Kuntowijoyo, juga


memberikan kritik yang mendalam mengenai keadaan ilmu sosial di Indonesia
yang mengalami kemandegan bahkan seperti kehilangan kerangka nilai yang
seharusnya menjadi mata angin untuk memberi arah kemana seharusnya
transformasi masyarakat Indonesia digerakkan. Dalam hal ini kemudia ia

2
berusaha untuk memperbaiki kondisi ilmu-ilmu sosial di Indonesia dengan
menyuguhkan sesuatu yang disebut Ilmu Sosial Profetik atau ISP.

B. Rumusan Masalah
Adapaun rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu
a. Bagaimana biografi Kuntowijoyo ?
b. Bagaimana gambaran keadaan ilmu sosial di Indonesia ?
c. Bagaimana pemikiran Kuntowijoyo mengenai Ilmu Sosial Profetik ?
d. Mengapa Indigenisasi Ilmu Sosial itu perlu dilakukan di Indonesia ?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini, yaitu
a. Mendeskripsikan biografi Kuntowijoyo.
b. Menggambarkan keadaan ilmu sosial di Indonesia yang mengalami
kelesuan.
c. Menjelaskan pemikiran Kuntowijoyo mengenai Ilmu Sosial Profetik.
d. Menjelaskan perlunya Indigenisasi Ilmu Sosial di Indonesia.

D. Manfaat
Adapun beberapa manfaat yang dapat dipetik dari makalah ini adalah sebagai
berikut,
a. Bagi Mahasiswa
Makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan inspirasi bagi
mahasiswa mengenai alternatif ilmu sosial yang ditawarkan Kuntowijoyo
yang bernafas keindonesiaan.
b. Bagi Masyarakat
Makalah ini sekiranya dapat memberi informasi kepada masyarakat
mengenai Ilmu Sosial Profetik yang menjadi pemikiran Kuntowijoyo.

3
BAB II

PEMBAHASAN
A. Biografi Kuntowijoyo
Kuntowijoyo adalah sejarawan, budayawan, dan sastrawan Indonesia.
Sebagai intelektual dan akademisi beliau banyak menghasilkan telaah-telaah
kritis terhadap berbagai masalah sosial, budaya, dan sejarah. Perhatian
terhadap sejarah, sosial, dan budaya terlihat dari buku-bukunya yang banyak
beredar di masyarakat. Buku-buku tersebut antara lain; Dinamika Sejarah
Umat Islam Indonesia (1985), Budaya dan Masyarakat (1987), Paradigma
Islam : Interpretasi untuk Aksi (1991), Demokrasi dan Budaya Birokrasi
(1994), Identitas Politik Umat Islam (1997), Pengantar Ilmu Sejarah (2001),
Muslim Tanpa Masjid (2001), Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang
Realitas (2002), Radikalisasi Petani : Esai-Esai Sejarah Kuntowijoyo (2000),
Raja, Priyayi, dan Kawula : Surakarta 1900-1915 (2004), dan Penjelasan
Sejarah (2008).
Semasa hidupnya, ia mengajar di jurusan Sejarah Fakultas Ilmu
Budaya (sebelumnya Fakultas Sastra) Universitas Gadjah Mada. Peraih gelar
doktor dari Universitas Colombia, dengan disertasi Social Change in an
Agrarian Society : Madura 1850-1940, ini banyak menerima penghargaan
atas karya-karyanya di bidang sastra.
Karya sastra Kuntowijoyo antara lain terkumpul dalam buku Suluk
Awang-Uwung (kumpulan sajak, 1975), Makrifat Daun, Daun Makrifat
(kumpulan sajak, 1995), Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (kumpulan
cerpen, 1992), Hampir Sebuah Subversi (kumpulan cerpen, 1999), Kereta Api
yang Berangkat Pagi Hari (novel, 1996), Pasar (novel, mendapat hadiah Hari
Buku 1972), Khotbah di Atas Bukit (novel, 1976), Mantra Pejinak Ular
(2000), dan Wasripin dan Satinah (2003), Rumput-Rumput Danau Bento
(drama, 1968), Tidak Ada Waktu Bagi Nyonya Fatma, Barda, dan Cartas

4
(drama, 1972), dan Topeng Kayu (1973). Karyanya tersebar pula dalam
berbagai antologi.
Sebagai sastrawan beliau banyak menerima penghargaan, antara lain
Hadiah Seni dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (1986),
Penghargaan Penulisan Sastra Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
untuk Buku Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1994), Penghargaan
Kebudayaan dari ICMI (1995), Cerpen Terbaik Kompas (1995,1996, 1997,
dan 2005), ASEAN Award on Culture (1997), Satyalencana Kebudayaan RI
(1997), Mizan Award (1998), Penghargaan Kalyanakretya Utama untuk
Teknologi Sastra dari Menristek (1999), dan Sea Write Award dari
Pemerintah Thailand (1999).
Kuntowijoyo yang lahir di Bantul, Yogyakarta, 18 September 1943 ini
adalah alumni Universitas Gadjah Mada. Semasa mahasiswa, Kuntowijoyo
mendirikan Lembaga Kebudayaan dan Seniman Islam (Leksi) dan Studi Grup
Mantika (bersama Dawam Rahardjo, Sju’bah Asa, Chaerul Umam, Arifin C.
Noer, Amri Yahya, Ikranegara, dan Abdul Hadi W.M.). Kematangannya
sebagai sastrawan dan intelektual semakin terbukti dengan beberapa karya
semasa dan setelah ia menyelesaikan studi S-2 (University of Connecticut,
1974) dan S-3 (Columbia University, 1980) di Amerika Serikat.
Tidak banyak sastrawan Indonesia yang sukses sebagai sastrawan
sekaligus sebagai intelektual dan akademisi. Kualitas dan produktivitas
Kuntowijoyo menulis karya sastra sebanding dengan kekuatannya menulis
karya ilmiah dalam bidang sejarah atau pemikiran sosial berbasis Islam. Baik
dalam sastra (khususnya prosa) maupun dalam dunia intelektual/akademisi,
Kuntowijoyo menduduki posisi penting dan terhormat. Dua aktivitas itu
dijalaninya dengan khusyuk, dengan perhatian dan penekanan yang seimbang.
Kuntowijoyo, selain seorang sastrawan, juga seorang sejarawan,
budayawan, dan cendekiawan. Itulah mengapa ia cukup dikenal di kalangan
dunia intelektual dan akademik.

5
Dalam bidang sejarah, misalnya, Kuntowijoyo sangat tepat apabila
diberi gelar sejarawan profesional. Beliau tidak hanya menulis karya sejarah,
akan tetapi juga menulis bagaimana seharusnya sejarah ditulis. Kuntowijoyo
mengenalkan baik metode maupun metodologi sejarah sesuai dengan
perkembangan ilmu sejarah. Bahkan ketika kita teringat pesan Sukarno
dengan JASMERAH-nya, Kuntowijoyo-lah orang yang benar-benar
menyuarakan. Dapat dilihat, dalam setiap tulisannya, Kutowijoyo sering kali
mengungapkan peristiwa sejarah sebagai bahan pelajaran bagi para pembaca.
(Nasiwan dan Yuyun Sri, 2016: 90)
Beliau juga menegaskan bahwa kita sebagai bangsa haruslah belajar
dari sejarah, supaya lebih arif, dan tidak terpelosok pada lubang yang sama.
Dalam proses belajar dari sejarah itu, kita jangan jadi tawanan masa lalu,
biarkan sejarah itu terbuka dan bergerak maju. (Kuntowijoyo, 1997: 82)
Selebihnya Ma’arif (melalui Nasiwan, 2016) mengatakan bahwa,
“secara umum Kuntowijoyo adalah salah seorang cendekiawan yang
dalam banyak hal pemikirannya perlu dijadikan rujukan. Misalnya,
diakui oleh Syafi’i Ma’arif, bahwa para cendekiawan Indonesia harus
tampil di depan untuk menyelesaikan permasalahan bangsa. Dalam
konteks ini, mereka bisa belajar pada sejarawan dan budayawan
Kuntowijoyo. Sebagaimana dikatakan, "dalam pemikiran
Kuntowijoyo, tindakan korupsi APBN yang tidak berpihak pada
rakyat miskin dan organisasi kemasyarakatan (ormas) yang tidak
menyuarakan kepedulian pada kaum miskin adalah termasuk
pendusta agama." Pemikiran seperti itu semestinya perlu
dikembangkan lagi, bukan hanya di Muhammadiyah, misalnya, tetapi
juga di seluruh ormas yang ada di Indonesia agar lebih peduli pada
masalah sosial masyarakat.”

Dalam bidang ke-Islaman, Kuntowijoyo juga layak disebut


cendekiawan muslim. Sangat tampak bahwa ketika Kuntowijoyo
menterjemahkan Islam sangat mudah dipahami dan menjadi enak untuk
diikuti. Islam di tangan Kuntowijoyo menjadi Islam yang ramah, yang cocok

6
untuk kultur Indonesia, dan Islam yang benar-benar rahmatan lil ’alamin.
(Nasiwan dan Yuyun, 2016: 91)
Misalnya, Kuntowijoyo mengatakan, “dengan berpikir objektif dan
melihat realitas yang ada, kini saatnya Islam dipahami sebagai ilmu, bukan
sebagai mitos atau ideologi. Ketika Islam dijadikan ilmu, usaha terpokok
adalah memobilisasi kesadaran masyarakat. Kuncinya bukan lagi Negara,
tetapi sistem. Dulu ada upaya mencapai Negara yang ideal, sekarang beralih
menjadi upaya mencapai sistem yang rasional. Di situ negara hanya
merupakan satu aspek dari sistem. Perjuangan pun tidak hanya tergantung
pada perlemen, namun bisa lebih luas. Berpikir Islam sebagai Ilmu, maka
menjadi formulasi y ang teoretis. Ia selanjutnya berkembang menjadi disiplin
ilmu dan memiliki program aplikasi, misalnya ilmu sosial Islam”
(Kuntowijoyo, 1984: 59).
Kuntowijoyo wafat pada tanggal 22 Februari 2005 disebabkan
penyakit meningo enchepalitis yang telah dideritanya selama bertahun-tahun.
Meskipun menderita penyakit parah, beliau masih saja menulis beberapa buku
yang baru terbit setelah kepergiannya menghadap Illahi.

B. Keadaan Ilmu Sosial di Indonesia


Nasiwan (2013) Dalam buku yang berjudul Membongkar Hegemoni
Negara Kapitalis atas Negara Berkembang - Mozaik Pemikiran Ilmu Sosial
Profetik, menyebutkan beberapa hal yang menurut saya dapat
menggambarkan keadaan Ilmu Sosial di Indonesia saat ini yang menyebabkan
adanya kelesuan terhadap ilmu-ilmu sosial tersebut. Di antaranya adalah,
1. Hegemoni Teori Sosial Barat
Teori sosial barat memberi banyak pengaruh pada peta keilmuwan
sosial di Indonesia. Fakta bahwa sebagian besar ilmu sosial dan humaniora
di masyarakat (negara) berkembang datang dari barat telah memunculkan
masalah relevansi ilmu-ilmu sosial bagi kebutuhan dan masalah dunia

7
ketiga. Tokoh-tokoh barat terkadang diposisikan sebagai penemu, perintis
beberapa teori sosial yang pada tahapannya akhirnya ditanamkan dan
digunakan di masyarakat nonbarat.
Relasi antara timur dan barat beroperasi berdasarkan model ideology
yang dalam pandangan Gramsci sebagai Hegemoni, suatu pandangan
bahwa gagasan tertentu lebih berpengaruh dari gagasan lain, sehingga
kebudayaan tertentu lebih dominan dari kebudayaan lain. Dalam konteks
ini ada dominasi gagasan barat terutama dalam ilmu sosial terhadap
pemikiran gagasan dunia timur.
Masyarakat intelektual Indonesia diposisikan sebagai konsumen yang
selalu membeli teori-teori pemikiran dari dunia barat yang terkadang tidak
sesuai dengan kajian masyarakat di negara dunia ketiga. Hegemoni teori
sosial barat menjadi suatu keniscayaan karena perkembangan pengetahuan
barat yang maju beberapa langkah dibanding perkembangan keilmuwan di
dunia ketiga.
Perkembangan tersebut menurut Farid Alatas, sebagai akibat langsung
dari perkembangan teknologi informasi serta dorongan kuat untuk
mengembangkan ilmu-ilmu sosial di Barat, akibat perkembangan itu
dipandang sebagai fenomena Barat. Ilmu-ilmu sosial yang berkembang
dan dipelajari di lembaga pendidikan (kampus) di Indonesia, termasuk
juga negara-negara Dunia Ketiga merupakan ilmu sosial yang dihasilkan
oleh sarjana Barat dari hasil pembacaan terhadap masyarakat mereka.
Kuatnya pengaruh ilmu sosial Barat tersebut lebih disebabkan masalah
internal intelektual-akademisi Indonesia sendiri, mereka telah terpuaskan
dengan meniru apa yang berkembang di Barat, bahkan intelektual
Indonesia bekerja keras untuk menerapkan teknik yang dipelajari dari
buku-buku yang ditulis oleh sarjana Amerika dan Eropa dalam
menjelaskan dan persoalan empiris atas masalah yang kebanyakan
dirumuskan oleh ilmuwan Barat.

8
Ketergantungan terhadap teori barat sebenarnya tidak menjadi
dominasi dari perkembangan ke ilmuwan di Indonesia. Hampir
kebanyakan negara di Asia sangat bergantung pada teori barat. Ilmuwan
asia sudah berpuas diri dengan hanya sebagai intelektual peniru, ilmuwan-
ilmuawan tersebut bekerja keras menerapkan teknik yang dipelajari dari
buku-buku inggris dan Amerika untuk memperoleh jawaban empiris ada
masalah-masalah kebanyakan yang dirumuskan oleh sosiologi barat.
Hegemoni teori sosial barat sudah dirasakan sejak beberapa dekade
lalu, dimana banyak teori barat yang kurang cocok dengan realitas
masalah sosial di Asia. Selama itu pula hanya sedikit karya ilmuwan sosial
yang berhasil menciptakan mahzab pemikiran ilmu sosial yang
dinasionalisasi, dilokalkan sesuai dengan ciri khas negara-negara di Asia.
Dominasi teori barat jelas terlihat, hal tersebut terjadi karena tingginya
derajat yang disematkan pada teori, sehingga mengukuhkan teori barat
baik klasik maupun kontemporer sebagai pusat perdebatan teoretis.
Akibat dari dominasi tersebut muncul ketergantungan dari
negaranegara di Asia terhadap perspektif teori sosial barat.
Kebergantungan intelektual dapat dilihat baik dalam struktur
kebergantungan akademis maupun dari relevansi ide-ide yang berlatar
asing. Kebergantungan akademis dapat diukur dari ketersediaan relative
dana dunia pertama untuk riset, prestise yang dilekatkan pada publikasi
jurnal Amerika dan Inggris, kualitas tinggi pendidikan universitas barat
dan banyak indikator lainnya.
Hegemoni teori sosial barat tidak bisa dipungkiri masih menjadi
mahzab yang selalu menghiasi bangku perkualiahan. Dalam sosiologi, jika
akan mengetahui tentang kapitalisme maka rujukannya selalu teori yang
dikemukakan Karl Marx, apabila ingin tahu tentang legitimasi dan
birokrasi, maka acuannya Max Weber sedangkan apabila berbicara gender
pasti yang dilihat teori feminis. Penggunaan teori-teori tersebut

9
dikarenakan teori memungkinkan dan membantu pemahaman yang lebih
baik terhadap segala sesuatu dalam tahap intuitif. Teori selalu bersifat
majemuk dan multisentral, sehingga terkadang teori menjadi sulit dan
harus melihat pada teoritisi secara khusus.

2. Persoalan Ilmu Sosial dalam Perkembangannya di Indonesia


Persoalan pelik dalam perkembangan ilmu sosial di Indonesia dimulai
dari ketidakmapuan dan ketidakpercayaan ilmuwan, akademisi terhadap
pemikiran orisinal yang bersumber dari masyarakat. Ketidakpercayaan ini
menjadi penyakit yang mengerogoti ilmuwan, karena tanpa sadar
memaksa peneliti untuk menggunakan, menduplikasi teori-teori barat
yang dianggap sebagai pusatnya ilmu.
Beberapa masalah kemudian dimunculkan untuk melihat persoalan
yang muncul dalam perkembangan ilmu sosial. Persoalan perkembangan
ilmu sosial diadaptasi dari pemikiran Syed Farid Alatas sebagai berikut:
1. Ada bias eurosentris sehingga ide,model, pilihan masalah, metofologi,
teknik bahkan prioritas riset cenderung semata-mata berasalh dari
Amerika, Inggris, Perancis dan Jerman.
2. Ada pengabaian umum terhadap tradisi filsafat dan sastra lokal.
3. Kurangnya kreativitas atau ketidakmampuan para ilmuwan sosial
untuk melahirkan teori dan metode yang orisinal. Ada kekurangan ide-
ide orisinal yang menumbuhkan konsep baru,teori baru dan aliran
pemikiran baru.
4. Mimesis (peniruan) terlihat dalam pengadopsian yang tidak kritis
terhadap model ilmu sosial barat.
5. Diskursus eropa mengenai masyarakat non barat cenderung mengarah
pada konstruksi esensialis yang mengkonfirmasi bahwa dirinya adalah
kebalikan dari eropa.

10
6. Tiadanya sudut pandang minoritas
7. Adanya dominasi intelektual negara dunia ketiga oleh kekuatan ilmu
sosial eropa.
8. Telaah ilmu sosial dunia ketiga dianggap tidak penting sebagian
karena wataknya yang polemis dan retorik plus konseptualisasi yang
tidak memadai.
Beberapa permasalahan sosial yang dimunculkan oleh Syed Farid
Alatas tersebut menjadi cambuk bagi pengembangan ilmu sosial di dunia
timur. Ilmu sosial tidak berkembang di dunia timur sendiri terutama di
Indonesia juga dipengaruhi oleh psikologis dan perilaku dari kalangan
ilmuwan dan akademisi yang tidak focus pada pengembangan keilmuan.
Kebanyakan ilmuwan merasa menjadi ‘bos’ dimana ‘pelayan’ telah
memberikan banyak kenikmatan dalam bentuk teori-teori jadi. Hanya saja
para ‘bos’ ini tidak pernah terjun langsung di masyarakat untuk melihat
sejauh mana teori-teori yang dicomot dari ilmuwan eropa cocok dan pas
ketika diterapkan untuk membaca permasalah yang ada di Indonesia.
Banyak ilmuwan di Indonesia ketika sudah menikmati jabatan structural
menjadi lupa akan kewajiban untuk mengembangkan dan mencetak
pengetahuan baru yang berbasis pada kehidupan nyata masyarakat.
3. Orientalisme: Pandangan Barat terhadap Timur
Diskursus yang berkembang di barat menempatkan timur sebagai
bagian dari obyek yang menarik untuk dikaji. Barat kemudian mulai
berpikir untuk mengkaji kebudayaan timur melalui sebuah ilmu yang
kemudian dikenal sebagai orientalisme yaitu ilmu yang mempelajari
tentang ke’timuran’.
Kata timur sendiri digunakan untuk merujuk asia baik secara
geografis, moral maupun budaya, dengan kata lain orang barat
memandang timur secara berbeda bahkan berkebalikan. Kondisi ini

11
jugalah yang mendorong orang ‘timur’ untuk melihat pula barat secara
berbeda.
“secara langsung penduduk-penduduk pribumi (timur) memiliki
perasaan naluriah bahwa pihak-pihak asing yang berurusan dengan
mereka tidak disokong oleh kekuatan, kewenangan, simpati dan dukungan
yang penuh dan ikhlas dari negara yang mengirim mereka. Penduduk-
penduduk ini merasa kehilangan semua sense of order-nya yang menjadi
basis peradaban mereka”.
Konteks itulah yang memunculkan orientalisme sebagai suatu
kekuatan budaya yang secara halus menghegemoni timur. Identitas barat
atas dunia timur tersebut bukan sekedar dari usaha barat sendiri,
melainkan juga dari serangkaian “manipulasi cerdas” yang diterapkan oleh
barat untuk mengidentifikasi timur.
Permasalahan kemudian timbul ketika timur sudah dipersepsikan oleh
barat dan relasi pun timbul secara bersamaan, dimana disatu sisi timur pun
merasa akhirnya benar-benar menjadi orang timur. Karena diperoleh dari
kekuatan-kekuatan barat, maka pengetahuan tentang timur pada akhirnya
benar-benar menciptakan “orang timur”. Menurut Cromer dan Balfour,
orang timur dilukiskan sebagai orang yang diadili/terdakwa, orang yang
dikaji dan dipaparkan, orang yang didisiplinkan atauu bahkan sebagai
orang yang diilustrasikan. Intinya adalah bahwa dalam setiap kasus di
atas, orang timur hampir selaludikendalikan dan direpresentasikan oleh
struktur-struktur yang mendominasinya.
Tampaknya ‘ketimuran” itu tanpa sadar menjadi hambatan bagi
pengembangan keilmuan di timur, sehingga sampai sekarang masih
terjajah. Dengan kata lain orientalisme berhasil mengalahkan kultur
ketimuran itu sendiri.
Bagi Said sendiri orientalisme pada hakikatnya tak lebih sebagai
bentuk “legitimasi” atas superioritas kebudayaan barat terhadap

12
inferioritas kebudayaan timur. Ada hegemoni cultural sebagai praktik tak
berkesudahan yang terus berlangsung dalam wacana orientalisme.
Pada level strategi pengembangan ilmu-ilmu Sosial di Indonesia,
menurut penulis nampaknya perlu dipertimbangkan untuk
mengkombinasikan antara berbagai pemikiran cendekiawan dielaborasi
pada tingkat yang lebih real misalnya pada wilayah institusi pendidikan.

Diskursus mengenai posisi ilmu sosial keIndonesiaan masih relevan


didiskusikan hingga saat ini mengingat masih adanya beberapa persoalan
krisis ilmu sosial dan humaniora. Krisis tersebut dapat dipahami pada dua
tingkatan yang berbeda, yakni kualitas produksi ilmu pengetahuan sosial
pada tingkat nasional dan orientasi ideologi ilmu sosial.
Jika kualitas produksi bergantung pada sumberdaya peneliti ilmu
sosial dan kapasitas lembaga produksi ilmu pengetahuan modern, maka
orientasi ideologi ilmu sosial berhubungan dengan tujuan dan arah
pengembangan ilmu pengetahuan. Baik kualitas produksi ilmu
pengetahuan sosial dan humaniora maupun orientasi ideologi berada pada
posisi yang terbelit satu sama lain yang menyebabkan perkembangan ilmu
sosial dan humaniora di Indonesia menghadapi tantangan baik secara
internal maupun eksternal.
Purwo Santosa dalam pidato pengukuhan guru besarnya di Universitas
Gadjah Mada pada tahun 2011 menolak pandangan mainstream
kebanyakan ilmuwan bahwa ilmu pengetahuan seharusnya tidak dibatasi
oleh nasionalisme. Menurutnya, ilmu sosial di Indonesia adalah ilmu
sosial tentang Indonesia. Sebagai akibatnya teori-teori sosial yang
dibangun oleh orang asing tentang kebersamaan kita sebagai komunitas

13
bangsa merupakan ketidaksadaran kita akan arti penting masa depan kita.
Pengetahuan ilmuwan asing mengenai bangsa kita merupakan kesempatan
bagi bangsa lain untuk mengusai kita.
Purwo Santosa (melalui Nasiwan, 2013) menyatakan bahwa,
penguasaan akan ketidaksadaran kita dengan kata lain adalah pintu bagi
dominasi atau hegemoni terhadap masyarakat kita. Purwo Santosa
menanyakan apa yang akan terjadi kalau kendali pengembangan ilmu
pengetahuan berada di tangan orang asli karena ketidaksadaran mengenai
kehidupan sehari-hari yang diteorisasikan oleh ilmuwan asing itu
memungkinkan bangsa lain mengendalikan bangsa kita melalui hagemoni
ilmu pengetahuan.
Dampak dari hegemoni ilmu pengetahuan terhadap para pengkaji ilmu
sosial tampat pada kontribusi mereka dalam pengembangan ilmu baik
pada tataran teoretik maupun metodologis belum bisa dibanggakan.
Indikasi lain adalah para peneliti ilmu sosial kita masih terombang-ambing
dalam menentukan aliran atau mahzab yang ditawarkan oleh ilmuwan
asing, sehingga rujukannya selalu pada pakar ahli Indonesia yang non-
Indonesia. Indonesia bagi mereka hanyalah lokasi penelitian atau
laboratorium sosial oleh para ilmuwan asing seperti JH Boeke, Furnivall,
Clifford Geertz, dan Benedict Anderson.
Pengkaji ilmu sosial yang lain Vedi Hadiz dan Dhaniel Dakidae dalam
bukunya yang berjudul social sciences and power in Indonesia pada tahun
2005 (melalui Nasiwan, 2013), menyebutkan bahwa bahwa orientasi
ideologi ilmu sosial di Indonesia berkaitan dengan konteks sosial dan
politiknya. Perkembangan ilmu sosial tidak lah berjalan dengan
independen dari konteks politik karena mengutip konsepsi Michael
Foucault (2002), diasumsikan bahwa pengetahuan itu sendiri adalah
kekuasaan dalam konteks menciptakan kepatuhan dan kedisiplinan. Ia
tidak hanya menjadi instrumen legitimasi penguasa dan kebijakan politik,

14
namun mengkonstruksi dan mereproduksi cara berfikir tertentu sehingga
menciptakan jairngan yang bersifat kompleks. Rejim kekuasaaan selalu
mendasarkan legitimasinya pada ilmu pengetahuan. Sebaliknya, ilmu
pengetahuan juga memerlukan dukungan dari kekuasaan untuk
berkembang luas dan diakui dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu,
diperlukan analisis untuk melihat genealogi ilmu sosial yang berkembang
di Indonesia.

C. Pandangan Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo

Di Indonesia, pandangan mengenai ilmu sosial profetik yang cukup


komprehensif dapat ditemui pada tulisan-tulisan Kuntowijoyo. Ia secara sadar
membangun sebuah paradigma baru ilmu pengetahuan, yakni ilmu
pengetahuan yang profetik, dengan landasan agama, yaitu agama islam karena
dia seorang muslim dan memang tidak ada agama lain yang menurutnya
sangat dekat dengan ilmu selain islam. Gagasan Kuntowijoyo sebenarnya
bukan hal yang baru di dunia pemikiran Islam.
1. Awal Mula Gagasan Ilmu Sosial Profetik
Kata profetik berasal dari kata bahasa Inggris yaitu prophet, yang
memiliki arti nabi. Sehingga makna profetik adalah mempunyai sifat atau
ciri seperti nabi, atau bersifat prediktif, memrakirakan. Profetik di sini
dapat kita terjemahkan menjadi ‘kenabian’. Namun mengenai ilmu sosial
profetik atau ilmu sosial yang bernafas kenabian ini, Heddy Shri Ahimsa
dalam tulisannya yang berjudul Pradigma Profetik yang disampaikan
dalam acara sarasehan profetik 2011 di Universitas Gadjah Mada,
menjelaskan bahwa Kuntowijoyo mengatakan, asal-usul dari pikiran
tentang Ilmu Sosial Profetik itu dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan

15
Muhammad Iqbal dan Roger Garaudy. Muhammad Iqbal adalah tokoh
pemikir Islam, sedang Roger Garaudy yang seorah mualaf adalah ahli
filsafat Perancis. Sebagai seorang sejarawan dan ilmuwan sosial,
Kuntowijoyo banyak mengambil gagasan dua pemikir tersebut untuk
mengembangkan apa yang diangan-angankannya sebagai ilmu-ilmu
profetik, lebih khusus lagi ilmu sosial profetik.
Gagasan mengenai ilmu sosial profetik yang dikemukakan oleh
Kuntowijoyo dipicu antara lain oleh perdebatan yang terjadi di kalangan
cendekiawan Islam mengenai teologi, yang terjadi dalam sebuah seminar
di Kaliurang, Yogyakarta. Saat itu ada dua kubu yang berseberangan
pendapat di situ, yakni kubu teologi konvensional (mengartikan teologi
sebagai ilmu kalam, yaitu suatu disiplin yang mempelajari ilmu
ketuhanan, bersifat abstrak normatif, dan skolastik) dengan kubu teologi
transformatif (memaknai teologi sebagai penafsiran terhadap realitas
dalam perspektif ketuhanan. Jadi lebih merupakan refleksi-refleksi
empiris). Menurut Kuntowijoyo, perbedaan pandangan ini sulit
diselesaikan, karena masing-masing memberikan makna yang berbeda
terhadap konsep paling pokok di situ, yaitu konsep teologi itu sendiri.
Untuk mengatasi kemacetan dialog ini Kuntowijoyo mengusulkan
digantinya istilah teologi menjadi ilmu sosial, sehingga istilah Teologi
Transformatif diubah menjadi Ilmu Sosial Transformatif. (Putra, 2011)
Beliau kemudian menghimpun gagasan-gagasan yang masih
terserak di sana-sini menjadi sebuah “nonbuku darurat”, “nonbuku comat-
comot” -begitu dia menyebut buku kecilnya- yang diberi judul Islam
sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika. Menurut
Kuntowijoyo, Pengembangan Paradigma Islam itu merupakan langkah
pertama dan strategis ke arah pembangunan Islam sebagai sistem, gerakan
sosial-budaya ke arah sistem Islam yang kaffah, modern dan berkeadaban.
Dengan demikian Islam akan lebih credible bagi pemeluknya dan bagi

16
non-Muslim. (Kuntowijoyo, 2006: 10). Apa yang ia lakukan merupakan
sebuah langkah awal untuk mewujudkan sebuah paradigma islam dalam
jagad ilmu pengetahuan, yang sampai saat ini umumnya menggunakan
basis paradigma dari dunia Barat.
2. Ilmu Sosial Profetik, Ilmu Sosial Transformatif
Sebenarnya paradigma Islam untuk ilmu pengetahuan yang
dikembangkan oleh Kuntowijoyo akan mencakup juga ilmu-ilmu alam,
tetapi karena Kuntowijoyo adalah ahli sejarah, yang berarti juga ilmuwan
sosial, maka gagasannya lebih terfokus pada upaya mengembangkan ilmu
sosial profetik, yang pada dasarnya juga merupakan ilmu sosial yang
transformatif. Rahman (1995: 21) menyatakan bahwa apa yang dimaksud
transformatif di sini oleh Kuntowijoyo adalah terjadinya perubahan sosial,
baik berkaitan dengan cara berpikir, bersikap, dan berperilaku, secara
individual maupun social.
Sebagaimana diungkapkan oleh Abu Baker A. Bagder (melalui
Nasiwan 2016),
“ilmu-ilmu sosial telah mendapatkan penghargaan tertinggi di dunia
modern karena diyakini bahwa ia menampilkan analisis terhadap
peristiwa-peristiwa kontemporer dalam masyarakat. Para pejabat
pengambil keputusan dan para perencana program yang menaruh
perhatian pada masalah sosial meminta bantuan kepada para pakar
ilmu sosial.”

Salah satu kepentingan besar Islam sebagai sebuah ideologi sosial


adalah bagaimana mengubah masyarakat sesuai dengan citacita dan
visinya mengenai transformasi sosial. Semua ideologi atau filsafat sosial
menghadapai suatu pertanyaan pokok, yaitu bagaimana mengubah
masyarakat dari kondisinya sekarang menuju keadaan yang lebih dekat
dengan tatanan yang lebih ideal. (Nasiwan dan Yuyun, 2016:125)
Elaborasi terhadap pertanyaan pokok tersebut biasanya
menghasilkan teori-teori sosial yang berfungsi untuk menjelaskan kondisi

17
masyarakat yang empiris pada masa kini, dan sekaligus memberikan
insight mengenai perubahan dan transformasinya. Karena teori-teori yang
diderivasi dari ideologi-ideologi sosial sangat berkepentingan terhadap
terjadinya transformasi sosial, maka dapat dikatakan bahwa hampir semua
teori sosial tersebut bersifat transformatif. (Kuntowijoyo, 1991: 337).
Oleh karena itu ruang lingkupnya bukan pada aspek-aspek
normatif yang permanen seperti pada teologi, tetapi pada aspek-aspek
yang bersifat empiris, historis, dan temporal.

Gagasan munculnya ilmu sosial profetik, bermula dan diawali


dengan munculnya perdebatan di sekitar pemikiran Muslim Abdurrahman
mengenai istilah Teologi Transformatif. Istilah ‘teologi’ yang digunakan
di sini, adalah dimaksudkan agar agama diberi tafsir baru dalam rangka
memahami realitas. Selanjutnya, metode yang efektif untuk maksud
tersebut adalah dengan mengelaborasi ajaran-ajaran agama ke dalam
bentuk suatu teori sosial. Lingkup yang menjadi sasaran dari pemikiran
ini adalah lebih pada rekayasa sosial untuk transformasi sosial. (Nasiwan
dan Yuyun, 2016:127)
Namun selanjutnya, penggunaan istilah ‘teologi’, kelihatannya,
mendatangkan banyak pertanyaan, karena banyak yang memahaminya
dalam kerangka aspek-aspek normatif yang bersifat permanen seperti
pada pemahaman terhadap Ilmu Kalam atau Ilmu Tauhid. Untuk
menghindari problem berkepanjangan mengenai istilah tersebut,
Kuntowijoyo, kemudian menyebutnya sebagai ‘ilmu sosial’ yang lebih
bisa diterima tanpa harus diberi pretensi doktrinal dan dengan lingkup
garapannya adalah aspek yang bersifat empiris, histori, dan temporal,
Sampai di sini, munculah gagasan ‘Ilmu Sosial Transformatif’.
Dalam benak-pikiran Kuntowijoyo selanjutnya, ilmu sosial yang
bagaimanakah yang dapat dipakai untuk melakukan transformasi sosial?

18
Ilmu sosial transformatif yang tergambar dalam pikiran Kuntowijoyo
adalah ilmu sosial yang tidak seperti ilmu-ilmu sosial akademis maupun
ilmu-ilmu sosial kritis, yang tidak berhenti hanya untuk menjelaskan
fenomena sosial, namun juga berupaya untuk mentransformasikannya.
Tapi kemudian muncul persoalan, ke arah mana transformasi itu
dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa? Sampai di sini, menurut
Kuntowijoyo, ilmu-ilmu sosial transformatif tidak bisa memberikan
jawaban yang jelas (Kuntowijoyo, 2005: 86).
Dalam rangka menjawab pertanyaan itulah, Kuntowijoyo
mengemukakan bahwa yang dibutuhkan saat ini adalah ilmu-ilmu sosial
profetik, yaitu yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena
sosial, tetapi juga memberi jalan ke arah mana transformasi itu dilakukan,
untuk apa, dan oleh siapa. Oleh karena itu, ilmu sosial sosial profetik
tidak sekedar mengubah untuk perubahan, tetapi mengubah berdasarkan
cita-cita etik dan profetik tertentu. Dalam pengertian ini, maka ilmu sosial
profetik secara sengaja memuat kandungan nilai-nilai dari cita-cita
perubahan yang diidamkan masyarakatnya.
Menurutnya, perubahan itu semestinya didasarkan pada cita-cita
humanisasi-emansipasi, liberasi, dan transendensi. Tiga muatan nilai ini,
ia ambil dari kandungan yang ada dalam QS Ali ‘Imran (3), ayat 110:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah…”. Tiga muatan inilah yang menjadi ciri ilmu
sosial profetik. Dengan kandungan nilai-nilai humanisasi, liberasi, dan
transendensi, ilmu sosial profetik diarahkan untuk rekayasa masyarakat
menuju cita-cita sosio-etiknya di masa depan (Kuntowijoyo, 2005: 87).
Gagasan ilmu sosial profetik, dalam pengakuan Kuntowijoyo,
sebenarnya juga diilhami oleh pemikiran Muhammad Iqbal, khususnya
ketika Iqbal berbicara tentang peristiwa mi’raj Nabi Muhammad saw.

19
Seandainya Nabi Muhammad saw adalah seorang mistikus atau sufi, kata
Iqbal, tentu beliau tidak ingin kembali ke bumi, karena telah merasa
bersatu dengan Tuhan dan berada di sisi-Nya. Justru, yang terjadi adalah,
Nabi Muhammad saw kembali ke bumi untuk menggerakkan dan
melakukan perubahan sosial, untuk mengubah jalannya sejarah. Nabi
Muhammad saw mulai melakukan transformasi sosial budaya
berdasarkan cita-cita profetik (Kuntowijoyo, 2005: 87).

Nilai yang menjadi Muatan Ilmu Sosial Profetik


Nasiwan dan Yuyun dalam bukunya yang berjudul Seri Teori-teori
Sosial Indonesia (2016) mendeskripsikan 3 nilai yang menjadi muatan
ilmu sosial profetik, sebagaimana yang telah disinggung yaitu,
humanisasi, liberasi, dan transendensi. Setelah melakukan kajian dari
beberapa literatur, terutama dari buku-buku hasil pemikiran Kuntowijoyo,
berikut adalah 3 nilai tersebut :
Pertama, dalam bidang sejarah, Kuntowijoyo tergolong sejarawan
yang piawai. Kuntowijoyo tidak hanya produktif dalam menulis sejarah,
akan tetapi dia menganjurkan bagaimana seharusnya sejarah ditulis.
Demikian pula, dia juga menganjurkan kepada orang Indonesia
khususnya, bahwa sebagai pelaku sejarah apa yang seharusnya diperbuat
masyarakat Indonesia. Dalam konteks itu semua, maka dia menorehkan
gagasannya, misalnya, dalam buku-buku yang berjudul: “Pengantar Ilmu
Sejarah”, “Metodologi Sejarah”, “Identitas Politik Umat Islam”, “Selamat
Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas”, “Paradigma Islam: Interpretasi
Untuk Aksi”, dan “Islam Sebagai Ilmu: Epistimologi, Metodologi, dan
Etika”.
Kedua, dengan mengacu pada pengertian bahwa cendekiawan adalah
orang-orang yang tidak pernah puas menerima kenyataan sebagaimana
adanya, cendekiawan adalah mereka yang selalu mempertanyakan

20
kebenaran yang berlaku pada suatu saat dalam hubungannya dengan
kebenaran yang lebih tinggi, lebih luas, dan lebih ideal, atau kaum
cendekiawan adalah orang-orang yang mencari ‘kebenaran’, mencari
prinsip-prinsip yang terkandung dalam kejadian-kejadian serta tindakan-
tindakan, maka Kuntowijoyo sudah melakukan semua itu. Dalam
pemikiran-pemikiran yang dituangkan dalam buku-buku karangan
Kuntowijoyo tampak bahwa dia adalah seorang pejuang kebenaran.
Kuntowijoyo adalah orang yang selalu resah melihat perilaku-perilaku
manusia Indonesia yang tidak tepat, misalnya, sehingga dia segera
meluruskan dan mengkritisi lewat tulisan-tulisannya. Demikian pula, dia
juga menunjukkan baik kepada manusia Indonesia pada umumnya dan
khususnya kepada umat Islam apa yang seharusnya dilakukan dengan
melihat kondisi objektif di Indonesia.
Ketiga, sebagai seorang cendekiawan, misalnya, Kuntowijoyo
menganjurkan dan menggariskan sebagai landasan kebenaran tindakan
manusia, bahwa pada hakikatnya pergerakan umat manusia adalah dari
etika idealistik ke etika profetik. Oleh karena itu, kerangka pikir atau
paradigma pergerakan prilaku manusia harus meniru para Nabi, dengan
kata lain, mempunyai etika profetik. Dalam QS Ali Imran (3): 110,
misalnya, telah disebutkan: bahwa “kamu adalah umat terbaik yang
dilahirkan di tengah manusia untuk berbuat kebajikan, mencegah
kemungkaran, dan beriman kepada Allah”. Intinya adalah bahwa landasan
pergerakan manusia di dunia ini adalah harus melakukan amar ma’ruf,
nahi munkar (memerintah kepada hal kebaikan dan mencegah perbuatan
yang munkar) dan tu’minuna billahi (yang mengandung nilai-nilai
humanisasi, liberasi, transendensi).
3. Wahyu : Basis Epistemologis dan Implikasinya
Gagasan Garaudy mengenai wahyu sebagai salah satu sumber
pengetahuan rupanya sangat menarik perhatian Kuntowijoyo, karena ini

21
merupakan sebuah alternatif yang ditawarkan oleh Garaudy untuk
mengatasi kelemahan yang ada dalam ilmu pengetahuan empiris.
Wahyu harus dimasukkan dalam sistem ilmu pengetahuan profetik
karena beberapa hal yaitu,
a. Sumber Pengetahuan : Wahyu - Akal
Menurut Kuntowijoyo “Wahyu” itu sangat penting”, tulisnya.
Unsur wahyu inilah yang membedakan epistemologi Islam dengan
“cabang-cabang epistemologi Barat yang besar seperti
Rasionalisme atau Empirisme, yang mengakui sumber
pengetahuan sebagai hanya berasal dari akal atau observasi saja”.
Dilihat dari perspektif Islam, epistemologi Rasionalisme dan
Epirisme menurut Kuntowijoyo menjadi “tampak terlalu
sederhana”. Dalam epistemologi Islam menurut Kuntowijoyo,
“unsur petunjuk transendental yang berupa wahyu juga menjadi
sumber pengetahuan yang penting. Pengetahuan wahyu, oleh
karena itu menjadi pengetahuan apriori. “Wahyu” menempati
posisi sebagai salah satu pembentuk konstruk mengenai realitas,
sebab wahyu diakui sebagai “ayat-ayat Tuhan” yang memberikan
pedoman dalam pikiran dan tindakan seorang Muslim. Dalam
konteks ini, wahyu lalu menjadi unsur konstitutif di dalam
paradigma Islam”. Dalam Islam wahyu yang dianggap paling
sempurna dan karena itu memiliki otoritas tertinggi adalah Al
Qur’an. Al Qur’an merupakan kumpulan wahyu yang diyakini
diturunkan oleh Allah s.w.t. melalui perantaraan malaikat Jibril
kepada manusia yang dipilih oleh Allah s.w.t. untuk
menyampaikan wahyu tersebut kepada seluruh umat manusia,
yaitu Muhammad s.a.w. Oleh karena itu, dalam keyakinan umat
Islam Muhammad s.a.w. adalah seorang Nabi dan utusan Allah
(Rasulullah).

22
b. Pendekatan : Strukturalisme Transendental
Menempatkan wahyu sebagai sumber pengetahuan juga
mempunyai implikasi lebih jauh, yaitu pengakuan adanya struktur
transendental yang dapat menjadi referensi untuk menafsirkan
realitas; “Pengakuan mengenai adanya ide yang murni, yang
sumbernya berada di luar diri manusia; suatu konstruk tentang
struktur nilai-nilai yang berdirisendiri dan bersifat transendental”.
Hal ini juga berarti “mengakui bahwa Al Qur’an harus dipahami
sebagai memiliki bangunan ide yang transendental, suat orde,
suatu sistem gagasan yang otonom dan sempurna”.
Mengapa pengakuan itu diberikan? Oleh karena pesan utama
Al Qur’an, menurut Kuntowijoyo, “sesungguhnya bersifat
transendental, dalam arti melampaui zaman”. Untuk itu diperlukan
metodologi yang “mampu mengangkat teks (nash) Al Qur’an dari
konteksnya”.
Caranya, tidak lain adalah “dengan mentransendensikan makna
tekstual dari penafsiran kontekstual berikut bias-bias historisnya”
Dengan begitu kita akan dapat menangkap kembali “makna teks
-yang seringkali merupakan respons terhadap realitas historis-
kepada pesan universal dan makna transendentalnya”, sekaligus
“membebaskan penafsiran-penafsiran terhadapnya dari bias-biasa
tertentu akibat keterbatasan situasi historis..”.
Apa implikasi dari pandangan adanya struktur yang bersifat
transenden tersebut? Tidak lain adalah pandangan bahwa “Al
Qur’an sesungguhnya menyediakan kemungkinan yang sangat
besar untuk dijadikan sebagai cara berfikir. Cara berfikir inilah
yang kita namakan paradigma Al Qur’an, paradigma Islam..”.
Lantas, seperti apa kirakira struktur transendental Al Qur’an
tersebut kira-kira? Menurut Kuntowijoyo, “Struktur Transendental

23
Al Qur’an adalah suatu ide normatif dan filosofis yang dapat
dirumuskan menjadi paradigma teoretis. Ia akan memberikan
kerangka bagi pertumbuhan ilmu pengetahuan empiris dan ilmu
pengetahuan rasional yang orisinal dalam arti sesuai dengan
kebutuhan pragmatis masyarakat Islam, yaitu mengaktualisasikan
misinya menjadi khalifah di bumi”.
Selain itu, Kuntowijoyo memilih strukturalisme untuk
mendekati Al Qur’an karena menurutnya “tujuan kita bukanlah
memahami Islam, tetapi bagaimana menerapkan ajaran-ajaran
sosial yang terkandung dalam teks lama pada konteks sosial masa
kini tanpa mengubah strukturnya”.

D. Perlunya Indigenisasi Ilmu Sosial di Indonesia


1. Indigenisasi Ilmu Sosial di Indonesia
Idealisme para ilmuan sosial di Indonesia adalah mengakarkan teori-
teori Ilmu Sosial dari fakta empiris di masyarakat sendiri atau indigenisasi
ilmu-ilmu sosial. Untuk melakukannya seorang ilmuan harus dapat mensiasati
perangkap ’ideologi’, sistem kekuasaan, dan metodologi mapan yang lahir
dari fakta empiris dan sejarah masyarakat Barat. Ini bukanlah sebuah
kemustahilan. Sebab, beberapa ilmuan sosial dengan gemilang telah
melakukan terobosan indigenisasi ilmu-ilmu sosial melalui karya-karya
monumental bagi peletakan pondasi keilmuan sosial yang beruratakar dari
masyarakat Indonesia. Tidak berlebihan jika saya menyebut nama-nama
antara lain: Prof Sajogyo, Prof. Selo Soemardjan, Prof. Soediono
Tjondronegoro, Prof. Harsya Bachtiar, Prof Mubyarto, Prof. Mochtar Buchori,
Prof. Mochtar Kusuma Atmaja, dan Prof. Sartono Kartodirdjo yang terbilang
telah menghasilkan temuan yang sangat empirik dan relevan. (Martanto,
2012)

24
Istilah indigenisasi ilmu sosial ibarat karet gelang yang semakin ditarik
akan semakin memanjang. Sekadar contoh, Alatas (1993) menawarkan ilmu
sosial Islam untuk indigenisasi ilmu sosial di Dunia Ketiga. Said (1978)
mengajukan tawaran pengembangan ilmu sosial minus colonial scholarship
dan orientalist discourse. Gardono (1998) menawarkan gagasan indigenisasi
sebagai informasi ilmiah – informasi yang dilandaskan pada kenyataan sosial
dan diperoleh melalui metodologi ilmiah.
Indigenisasi menurut Kleden (1987; 1995) pengembangan ilmu sosial
sebagai ilmu tentang masyarakat daripada ilmu untuk kepentingan negara.
Samuel (2000) memandang indigenisasi ilmu sosial sebagai ilmu dan institusi
keilmuwan yang semi autonomous. Dalam tulisan ini, indigenisasi saya tarik
dari konsep yang ketat. Oleh karenanya, penegasan yang terkandung
didalamnya bukan hanya perlu atau tidaknya indigenisasi ilmu sosial di
Indonesia tetapi indigenisasi macam apa yang diperlukan oleh ilmuan sosial
kita.
Mengapa indigenisasi Ilmu Sosial di Indonesia diperlukan. Setidaknya
ada tiga asalan. Pertama, Ilmu-Ilmu Sosial di Negara Berkembang berawal
dari Barat sehingga kerangka teoritis, prinsip metodologi, pengetahuan atas
pengetahuan yang dibentuk di sana belum tentu sejalan dengan di Indonesia.
Kedua, ilmu pengetahuan selalu mencari bentuk praksisnya yang tidak hanya
berbicara tentang pentingnya konteks tetapi juga tidak lepas dari pengaruh
ideologi. Ketiga, teori-teori yang lahir dalam konteks masyarakat Barat
memiliki keterbatasan daya-penjelas dalam konteks masyarakat Indonesia.
Selama teori dibangun dari masyarakat maka teori yang ada akan selalu
memuat kekosongan jika digunakan pada konteks yang berbeda. (Martanto,
2012)
Ilmu Sosial yang Bercorak Keindonesiaan
Kita mungkin bertanya-tanya mengenai makna ilmu sosial
yang bercorak keindonesian. Dan terbesit dipikiran kita mengenai ilmu

25
yang juga bersifat univerversal. Ilmu sosial yang bernafaskan
keindonesiaan yang dimaksudkan adalah ilmu-ilmu sosial yang lahir
dari fenomena masyarakat Indonesia. Sebagai suatu entitas,
masyarakat Indonesia tentu memiliki perbedaan dengan masyarakat
lainnya. Perbedaan tersebut disebabkan oleh lingkungan alam yang
berbeda. Lingkungan alam yang berbeda menghasilkan sistem budaya
yang berbeda. Lingkungan alam yang berbeda juga telah melahirkan
sistem nilai dan norma yang berbeda. Di Indonesia ada ratusan
masyarakat dengan kebudayaannya sebagai respon terhadap
lingkungannya masing-masing. Keanekragaman suku, budaya, adat
istiadat dan agama yang ada di Indonesia merupakan “ladang” bagi
perkembangan ilmu sosial, karena membutuhkan penjelasan dan
pemahaman sendiri. Banyak peneliti asing yang melakukan penelitian
untuk memahami masyarakat Indonesia, kemudian melahirkan teori-
teori yang berbeda dengan teori-teori yang dibangun di tempat lain.
(Warsono, 2017)
Meskipun teori-teori yang dihasilkan oleh ilmuan sosial
berangkat dari fakta empiris masyarakat Indonesia, namun tidak
berarti semua karya-karya tersebut menunjuk konsep indigenisasi. Kita
harus berhati-hati untuk menyimpulkan demikian, karena harus
dibedakan antara ”indigenisasi dan ”nativisasi”. Menurut Alatas
(1993) ”Nativisasi” merupakan sebuah konsep yang menunjuk pada
anti tesis dari proses hegemoni Barat. (Martanto, 2012)
Di lain sisi, teori-teori yang dibangun dari masyarakat Barat,
tidak selalu relevan dan mampu menyelesaikan persoalan yang terjadi
di Indonesia. Almarhum Prof. Mubiarto, seorang ahli ekonomi yang
memahami berbagai teori ekonomi yang dikembangkan di negara
Barat, kemudian mengembangkan konsep atau teori tersendiri yang
dikenal dengan ekonomi Pancasila, karena menurut Beliau teori-teori

26
yang dibangun dari barat tidak cocok diaplikasikan di Indonesia.
Begitu juga dalam teori politik yang diimport dari Barat, tidak selalu
relevan dipraktikan di Indonesia, sehingga muncul suatu konsep
barumisal demokrasi Pancasila. (Martanto, 2012)
Sebagai obyek kajian ilmu sosial, fenomena yang terjadi di
masyarakat Indonesia memiliki keunikan dan kekhususan yang tidak
selalu dapat dijelaskan dengan teori-teori yang dibangun dari
masyarakat Barat. Selama ini kita sering terperangkap dengan teori-
teori Barat, dan melupakan untuk membangun dan mengembangkan
ilmu sosial yang berbasis dari masyarakat Indonesia sendiri. Justru
banyak ilmuwan sosial Barat yang datang meneliti masyarakat
Indonesia. Dari hasil penelitian tersebut dihasilkan buku yang
kemudian kita pelajari. Tampaknya gairah ilmuwan sosial di Indonesia
untuk meneliti dan membangun teori yang dibangun dari masyarakat
sendiri, masih perlu ditingkatkan. (Warsono, 2017)
2. Tawaran Ilmu Sosial Profetik
Persoalan serius yang dihadapi oleh ilmuwan sosial di Indonesia
adalah bagaimana menghadirkan ilmu sosial yang mampu untuk
melakukan transformasi. Mengapa perlu memfokuskan pada pertanyaan
ini. Hal ini dikarenakan ilmu sosial pada dekade ini masih mengalami
kemandegan. Ilmu sosial yang dibutuhkan adalah bukan hanya mampu
menjelaskan fenomena sosial, namun juga mentransformasikan fenomena
sosial tersebut, memberi petunjuk kearah mana transformasi dilakukan,
untuk apa dan oleh siapa. (Nasiwan, 2013)
Menurut refleksi Kuntiwijoyo dalam menghadapi persoalan ini
ilmu sosial akademis dan ilmu sosial kritis, belum bisa memberikan
jawaban yang jelas. Jalan keluar yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo
adalah dengan membangun ilmu sosial profetik, yaitu suatu ilmu sosial
yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial tetapi juga

27
memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan
oleh siapa (Kuntowijoyo, 2006). Oleh karena itu ilmu sosial profetik, tidak
sekedar mengubah demi perubahan,tetapi mengubah berdasarkan cita-cita
etik dan profetik tertentu. Dalam pengertian ini maka ilmu sosial profetik
secara sengaja memuat kandungan nilai dari cita-cita perubahan yang
diidamkan masyarakatnya.
Menurut Kuntowijoyo (melalui Nasiwan, 2013) arah perubahan
yang diidamkan adalah didasarkan pada cita-cita humanisasi/emansipasi,
liberasi dan transendensi, suatu cita-cita profetik yang diderivasikan dari
misi historis Islam. Dengan Ilmu sosial profetik, akan dilakukan orientasi
terhadap epistemologi, yaitu orientasi terhadap mode of thought dan mode
of inquiry, bahwa sumber ilmu pengetahuan itu tidak hanya dari rasio dan
empiris, tetapi juga dari wahyu.
Dengan gagasan ilmu sosial profetik ilmuwan sosial Muslim tidak
perlu terlalu khawatir yang berlebihan terhadap dominasi ilmu sosial Barat
di dalam proses theory building. Islamisasi pengetahuan dengan proses
peminjaman dan sistesis ini tidak harus diartikan sebagai westernisasi
Islam. (Nasiwan, 2013)

28
BAB III

PENUTUP
a. Kesimpulan
Keadaan Ilmu sosial di Indonesia saat ini yang mengalami
kemandegan karena sikap masyarakat yang captive mind, pasrah, dan
menganggap peradaban Barat adalah yang paling baik. Sehingga Indonesia
kurang menggali lagi ilmu-ilmu sosial yang berakar keindonesiaan. Karena
adanya anggapan Barat yang terbaik tersebut.
Seharusnya terhadap teori Barat, tidak kita konsumsi secara mentah-
mentah semuanya, karena tidak semua teori dari Barat relevan dan mampu
menjawab atau menggambarkan fenomena yang sesungguhnya yang ada di
Indonesia.
Menanggapi hal itu, Kuntowijoyo salah seorang cendekiawan bangsa
ini menawarkan suatu teori alternatif yang dinamai Ilmu Sosial Profetik yang
yang mampu membawa pada perubahan sosial di Indonesia yang lebih relevan

29
dengan realitas di Indonesia karena dijiwai dan dilatar belakangi oleh nilai-
nilai yang ada di Indonesia. Terdapat 3 nilai yang menjadi muatan ilmu sosial
profetik, sebagaimana yang telah disinggung yaitu, humanisasi, liberasi, dan
transendensi.
Sudah seharusnya kita melakukan indigenisasi ilmu sosial guna
menghidupkan kembali ilmu sosial yang bernafas keindonesiaan yang lebih
relevan sehingga mampu menjawab persoalan-persoalan bangsa. Indigenisasi
tersebut diperlukan karena Ilmu-Ilmu Sosial di Negara Berkembang berawal
dari Barat sehingga kerangka teoritis, prinsip metodologi, pengetahuan atas
pengetahuan yang dibentuk di sana belum tentu sejalan dengan di Indonesia,
ilmu pengetahuan selalu mencari bentuk praksisnya yang tidak hanya
berbicara tentang pentingnya konteks tetapi juga tidak lepas dari pengaruh
ideologi, teori-teori yang lahir dalam konteks masyarakat Barat memiliki
keterbatasan daya-penjelas dalam konteks masyarakat Indonesia. Selama teori
dibangun dari masyarakat maka teori yang ada akan selalu memuat
kekosongan jika digunakan pada konteks yang berbeda

b. Saran
Usaha untuk menyalakan kembali gairah meneliti dan
mengembangkan ilmu sosial di Indonesia harus terus dilakukan, agar bisa
menghasilkan teori-teori yang mampu memahami dan menjelaskan berbagai
fenomena sosial di Indonesia. Masih banyak fenomena sosial yang belum
diteliti. Oleh karena itu, sebaiknya para ilmuwan sosial Indonseia bisa lebih
fokus untuk meneliti dan mengkaji masyarakat Indonesia sendiri, sehingga
menghasilkan penjelasan dan pemahaman bagaimana mereka mamahami dan
memaknai lingkungan alamnya, masyarakat, dan dirinya sendiri.

30
DAFTAR PUSTAKA

Alatas, Syed. Hussain.1993. On the Indigenisation of Academic Discourse,


Alternatives.
Biografi Kuntowijoyo. Diakses tanggal 7 Januari 2017 dari
https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKE
wjGmeevxsXYAhXHYo8KHfo5DFoQFggsMAA&url=http%3A%2F
%2Frepository.usu.ac.id%2Fbitstream%2Fhandle
%2F123456789%2F29846%2FAppendix.pdf%3Fsequence
%3D1%26isAllowed%3Dy&usg=AOvVaw3RHvEMGCnH6USR_69tSE1X

Gardono, Iwan. 1998. Indigenisasi Sosiologi di Indonesia, Masyarakat Indonesia.


Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3ES, Jakarta.

Kuntowijoyo. 1984. Islam sebagai suatu Ide. Prisma Ekstra.

Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam : interpretasi untuk aksi. Bandung : Mizan.

31
Kuntowijoyo. 1997. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan.

Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu : Epistemologi, Metodologi, dan Etika.


Yogyakarta: Tiara Wacana.

Martanto Ucu. 2012. Matinya Ilmu Sosial di Indonesia: Indigenisasi Reflektif-


Emansipatif. Jurnal Politik Indonesia, Vol 1 No.1
Nasiwan, dkk. 2013. Membongkar Hegemoni Negara Kapitalis atas Negara
Berkembang - Mozaik Pemikiran Ilmu Sosial Profetik. Yogyakarta: Prima Print

Nasiwan dan Yuyun Sri. 2016. Seri Teori-teori Sosial Indonesia. Yogyakarta: UNY
Press

Putra Heddy. 2011. Paradigma Profetik Mungkinkah ? Perlukah ?. Makalah


Sarasehan Profetik yang diselenggarakan oleh sekolah Pascasarjana UGM.
Diakses tanggal 28 Desember 2017 dari
https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKE
wj8nODEzsXYAhXJs48KHVO2CcQQFggsMAA&url=http%3A%2F
%2Fmfile.narotama.ac.id%2Ffiles%2FUmum%2FJURNAL%2520UGM
%2Fparadigma%2520profetik.pdf&usg=AOvVaw3m09WCGE-
wXiIlxTuFM8lN

Said, E.W. 1978. Orientalism: Western Conceptions of the Orient. London: Penguin
Books.

Samuel, Hanneman. 2000 The Development of Sociology in Indonesia: The


Production of Knowledge, State Formation and Economic Change. Swinburne:
Swinburne University of Technology.

Warsono. 2017. Pembelajaran Ilmu-Ilmu Sosial yang Bercorak Keindonesiaan.


Yogyakarta.

32
LAMPIRAN

33
34

Anda mungkin juga menyukai