Anda di halaman 1dari 48

KRITIK EKOLOGI DALAM NOVEL TERJEMAHAN PAK TUA YANG

MEMBACA KISAH CINTA KARYA LUIS SEPULVEDA MELALUI


PENDEKATAN EKOKRITIK

Usulan Penelitian Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan dalam


Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

Diajukan oleh:
Rido Wahyudi
A310150148

Kepada:
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
Juli, 2019

1
PERNYATAAN

Saya yang bertandatangan dibawah ini,

Nama : Rido Wahyudi

NIM : A310150148

Program Studi : Pendidikan Bahasa Indonesia

Judul Proposal Skripsi : KRITIK EKOLOGI DALAM NOVEL TERJEMAHAN


PAK TUA YANG MEMBACA KISAH CINTA KARYA
LUIS SEPULVEDA MELALUI PENDEKATAN
EKOKRITIK

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa proposal skipsi yang saya serahkan ini
benar-benar hasil karya saya sendiri dan bebas plagiat karya orang lain, kecuali
yang secara tertulis diacu/dikutip dalam naskah dan disebutkan dalam daftar
pustaka. Apabila di kemuadian hari skripsi ini hasil plagiat, saya bertanggungjawab
sepenuhnya dan bersedia menerima sanksi sesuai peraturan yang berlaku.

Surakarta, Juli 2019


Yang membuat pernyataan,

Rido Wahyudi

NIM. A310150148

2
Proposal Skripsi

KRITIK EKOLOGI DALAM NOVEL TERJEMAHAN PAK TUA YANG


MEMBACA KISAH CINTA KARYA LUIS SEPULVEDA MELALUI
PENDEKATAN EKOKRITIK

Diajukan oleh:

Rido Wahyudi

A310150148

Proposal skipsi telah disetujui oleh pembimbing skripsi Fakultas Keguruan Dan
Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta untuk dilanjutkan
menjadi skipsi.

Surakatra, Juli 2019

Prof. Dr Ali Imron Al-Ma’ruf, M.Hum

NIDN. 0030085701

3
A. Judul Skripsi
KRITIK EKOLOGI DALAM NOVEL TERJEMAHAN PAK TUA YANG
MEMBACA KISAH CINTA KARYA LUIS SEPULVEDA MELALUI
PENDEKATAN EKOKRITIK
B. Pendahuluan
1. Latar Belakang Masalah
Pembahasan mengenai isu-isu lingkungan menjadi pembahasan
yang semakin hangat diperbincangkan. Hingga saat ini, isu lingkungan
menjadi masalah besar yang tidak hanya dihadapi oleh indonesia saja
tetapi menjadi isu internasional terutama pembahasan mengenai
pencemaran plastik. tetapi tidak hanya terfokus pada isu itu saja, di
tahun –tahun sebelumnya berbagai macam bencana alam yang
disebabkan oleh ulah manusia juga marak terjadi. Kerusakan
lingkungan mulai dari pembalakan hutan, pembakaran hutan untuk
membuka lahan, hingga perburuan satwa liar untuk diperjualbelikan.
Hal ini menjadi topik perbincangan yang hangat di media massa.
Lingkungan yang dimaksud tidak hanya dipahami sebagai
lingkungan yang sempit, namun dipahami melalui cara pandang yang
lebih luas. Kerusakan lingkungan disebabkan oleh beberapa sebab,
yaitu disebabkan oleh perubahan alam itu sendiri dan disebabkan oleh
campur tangan manusia. Kerusakan alam yang terjadi saat ini lebih
banyak disebabkan oleh penyebab yang kedua yaitu karena adanya
campur tangan manusia. Campur tangan manusai mulai dari kegiatan
eksploitasi seperti penambangan, perburuan dan pembukaan lahan,
serta sebab-sebab lainnya. Demikian itu yang menjadi pemerhati bagi
para pecinta lingkungan untuk mewujudkan limgkungan yang selaras
dan seimbang diamana manusia dan alam dapat berjalan berdampingan
tanpa ada pihak yang dirugikan. Bagi para pendidik, di dunia
pendidikanlah mereka akan mengajarkan arti dari cinta lingkungan
kepada siswa-siswanya.

4
Beralih dari berbagai sebab diatas, salahsatu pensebab yang lain
adalah tentang bagaimana kepedulian masyarakat dalam menjaga
lingkungan. Dari hal kecil saja, saat ini salahsatu pencemaran
lingkungan yang sedang menjadi sorotan adalah membanjirnya sampah
plastik. Sampah plastik yang ditemukan bukan hanya didaratan saja,
namun sudah memenuhi lautan. Salahsatu penyumbang terbesar adalah
negara kita sendiri yaitu bangsa Indonesia. kita menyadari betul bahwa
kesadaran masyarakat Indonesia dalam membuang sampah masih
dikatakan rendah. Bukan hanya itu, bahkan badan pengelolaan sampah
di indonesia juga kurang apik kerjanya. Sistem pengelolaan sampah
dibilang masih buruk, terlihat blm mencoloknya pengolahan sampah
mulai dari reduce and resicle hingga pemanfaatan sampah menjadi
produk yang bernilai ekonomi.
Peran serta masyarakat perlu sekali dibangun agar permasalahan
lingkungan ini benar-benar dapat diatasi dengan baik. Melalui
kerjasama permasalah ini dapat terselesaikan. kerjasama antar elemen
masyarakat mulai dari pemerintah, guru, dan masyarakat itu sendiri.
Dengan ini permasalahan akan cepat terselesaikan. Namun kesadaran
masyarakatlah yang paling penting bagi permasalahan ini.
Kembali ke permasalahan Ekologi, bahwasanya ilmu ekologi
dewasa ini sudah meluas. Ekologi tidak hanya membahas dan
mempelajari alam, struktur, dan fungsinya, tetapi sudah meluas dan
merujuk pada kajian-kajian ilmu yang lain. Singkatnya Ekologi telah
bertransformasi menjadi ilmu interdisipliner, salah satu bentuknya yaitu
kajian tentang ekologi sastra.
Karya sastra memiliki relasi dengan fenomena kehidupan
manusia. Penciptaan karya sastra merupakan sebuah proses imajinatif
pengarang terhadap fenomena-fenomena yang muncul atau pernah
terjadi di lingkungan sekitarnya. Pengarang bebas berekspresi dalam
menciptakan karya sastra baik tentang budaya, religi, sosial, maupun
lingkungan.

5
Karya sastra secara tidak langsung akan terpengaruh oleh
lingkungan yang mengitarinya. Hal itu disebabkan karena manusia
hidup dalam dan bersama lingkungan. Lingkungan yang memengaruhi
karya sastra ada tiga, yaitu lingkungan alam, lingkungan budaya, dan
lingkungan sosial. Ketiga lingkungan tersebut saling memberikan
pengaruh terhadap kegiatan manusia di dunia ini. Dewasa ini
permasalahan yang sangat signifikan muncul adalah mengenai
permasalahan lingkungan, mulai dari kekacauan hingga kerusakan
lingkungan yang disebabkan oleh manusia.
Manusia sebagai khalifah dibumi ditugaskan untuk menjaga
kehidupan alam agar tetap lestari dan berjalan dengan damai. Namun
banyak dijumpai kesusakan masih banyak terjadi, hal ini
memperlihatkan bahwa manusia belum sepenuhnya menjalankan
tugasnya. Kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini bisa saja
mengancam kehidupan manusia sendiri. Fenomena yang ada tersebut
kemudian mendorong pengarang untuk memunculkannya dalam karya
sastra. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk sumbangsihnya terhadap
penyelamatan lingkungan alam.
Para kritikus sastra melihat adanya keterkaitan alam dengan karya
sastra memunculkan sebuah konsep tentang permasalahan ekologi
dalam sastra. Karena itulah istilah ekokritik (ecocriticism) digunakan
sebagai istilah mengenai konsep kritik sastra yang berhubungan dengan
alam serta lingkungan. Menurut Harsono (2008:31), istilah ekokritik
berasal dari bahasa Inggris ecocriticism yang merupakan bentukan dari
kata ecology dan kata critic. Ekologi dapat diartikan sebagai kajian
ilmiah tentang pola hubungan-hubungan, tumbuh-tumbuhan, hewan-
hewan, dan manusia terhadap satu sama lain dan terhadap
lingkungannya. Kritik dapat diartikan sebagai bentuk dan ekspresi
penilaian tentang kualitas-kualitas baik atau buruk dari sesuatu.
Menurut Croall dan Rankin(dalam Harsono, 2008:35), ekologi
mencakup rangkaian ilmu alam, ilmu sosial, filsafat, dan pengetahuan
menyeluruh. Pendekatan holistiknya membuat ilmu ini menjadi luas.

6
Pokok utama yang dibahas dan menjadi pusat adalah
kesalingketergantungan semua makhluk hidup. Seperti cakupan
lingkungan itu dapat sempit, terbatas, tetapi dapat juga luas tidak
terbatas, maka ekologi dapat membatasi diri pada rangkuman yang
sempit, namun dapat juga meliputi wilayah yang sangat luas
(Dwidjoseputro, 1991:8).
Novel terjemahan Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta karya
Luis Sepulveda ini setidaknya memperlihatkan adanya isu-isu ekologi
yang terbangun dalam sastra. Dalam novel terlihat bagaimana isu-isu
ekologi dapat tergambarkan melalui peristiwa-peristiwa yang
digambarkan dalam alur cerita. Gambaran utamanya mengenai
bagaimana alam yang sebenarnya mampu memenuhi kebutuhan
manusia dengan cukup. Namun manusia sendiri yang merasa kurang
dan memiliki rasa tamak sehingga melakukan segala cara untuk
memnuhi kebutuhan nafsunya.
Dalam novel diperlihatkan bagaimana terjadi banyak
kerusakanlingkungan akibat penambangan liar. Dan lihat bagaimana
alam membalas dengan datangnya banjir yang selalu memporak-
porandakan setiap kawasan. Selain daripada itu isu utama adalah
mengenai peran tokoh utama terhadap lingkungannya, dimana tokoh
utama ini selalu arif dalam menjaga kelestariannya salahsatunya dengan
dengan hidup bersama hutan. Dalam novel juga diceritakan bagaimana
tokoh utama melawan seekor tutul betina yang membalas dendam
kepada manusia yang telah membunuh segenap kawanannya.
Sedikit ulasan diatas memperlihatkan bagaimana novel
terjemahan Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta karya Luis Sepulveda
syarat akan isu-isu ekologi. Banyak sekali perjalanan tokoh utama
dalam cerita yang menggambarkan bagaimana ia hidup berkelana
selama hidupnya hingga bertemu dengan orang Suar yang mengajarkan
bagaimana ia hidup secara damai dengan alam. Dengan itulah maka
penelitian ini sekiranya dapat menambah gemuknya penelitian tentang
sastra terutama ekologi sastra.

7
Pemilihsn Novel ini drbsgsi Subjek Penelitian juga dipengaruhi
oleh penulis novel tersebut. Luis sepulveda juga seorang penulis
perantauan yang ulung dalam menulis karya-karyanya. Hal ini
dipengaruhi bagaimana Sepulveda telah banyak makan asam garam
dalam perjalanannya selama ia berkelana. Ia bertemu banyak orang dan
banyak kejadian yang mengantarkan ia untuk menciptakan novel-novel
yang luar biasa. Slahsatunya yaitu novel yang akan diteliti yaitu “Pak
Tua yang Membaca Kisah Cinta” yang terinspirasi dari perjalanannya
menelusuri amazon.
Sudah sejak lama terdapat karya sastra yang mengangkat tema
lingkungan. Akan tetapi, akhir-akhir ini mulai serius dan gencar
diperbincangkan kembali. Salah satu karya sastra yang mengangkat
masalah lingkungan yaitu novel Sumur Minyak Air Mata karya
Winendra Gunawan. Novel Sumur Minyak Air Mata karya Winendra
Gunawan ini mampu menghadirkan tiga lingkungan sekaligus yaitu
alam, budaya, dan sosial, serta pengaruhnya masing-masing, baik
pengaruh positif maupun negatif hai ini menjadikan novel ini sangat
menarik untuk dikaji.
Novel memperlihatkan kegentingan yang terjadi di Delta
Mahakam, tepatnya di ladang migas. Kerjasama antara Perusahaan
Minyak Nextco dengan Pemerintah Indonesia yang sudah berada di
ujung kontrak kerja-sama, ternyata menimbulkan konflik-konflik yang
semuanya di luar batas pemikiran manusia. Berbagai cara dilakukan
oleh para Mafia Migas Internasional untuk merebut ladang migas
tersebut tanpa memperdulikan lingkungan, baik lingkungan alam,
sosial, maupun budaya. Representasi kerusakan lingkungan alam juga
tergambar dalam novel ini, seperti pencemaran udara akibat
pengeksploitasian batu bara, pencemaran sungai dan perusakan
ekosistem hutan.
Penelitian dengan judul “Analisis Kepedulian Tokoh terhadap
Lingkungan Alam dalam Novel Sumur Minyak Air Mata karya
Winendra Gunawan melalui Pendekatan Ekokritik Sastra” merupakan

8
penelitian yang belum pernah dibahas sebelumnya. Akan tetapi,
penelitian-penelitian yang mengangkat masalah tentang ekologi dan
kritik ekologi telah banyak dilakukan.
Penelitian Ekokritik juga pernah dilakukan oleh Fauzi (2014)
dengan judul “Kritik Ekologi dalam Kumpulan Cerpen Kayu Naga
karya Korrie Layun Rampan Melalui Pendekatan Ekokritik”. Hasil
penelitian ini menunjukkan adanya kritik terhadap lingkungan yaitu
penebangan pohon dan perusakan hutan yang didasari oleh latar
belakang kepentingan ekonomi. Munculnya kritik ekologi juga
dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya, serta sikap masyarakat
terhadap lingkungan alam.
Selain itu, penelitian ekokritik juga dilakukan oleh Dewi (2015)
dengan judul “Manusia dan Lingkungan dalam Cerpen Indonesia
Kontemporer: Analisis Ekokritik Cerpen Pilihan KOMPAS”.
Penelitian yang dilakukan oleh Dewi membahas tentang kritik ekologi
dalam cerpen Indonesia kontemporer yang direpresentasikan melalui
relasi manusia dan lingkungan. Persamaan penelitian “Analisis
Kepedulian Tokoh terhadap Lingkungan Alam dalam Novel Sumur
Minyak Air Mata karya Winendra Gunawan melalui Pendekatan
Ekokritik Sastra” ini dengan penelitian sebelumnya yaitu mengarah
pada hal-hal yang membahas tentang hubungan manusia (tokoh dalam
novel) dengan lingkungan.
Dalam Penelitian yang akan peneliti lakukan yaitu “Kritik
Ekologi dalam Novel Terjemahan Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta
karya Luis Sepulveda Melalui Pendekatan Ekokritik” peneliti
setidaknya melihat beberapa pandangan mengenai ekologi yang
terdapat dalam Novel. Penelitian yang peneliti laksanakan melihat
bagaimana kritik ekologi yang terdapat dalam novel Pak Tua Yang
Membaca Kisah Cinta Karya Luis Sepulveda, seperti isu-isu kerusakan
alam yang terjadi akibat ulah manusia. Penelitian ini juga melihat
bagaimana keterlibatan tokoh dengan lingkungan sekitarnya.
Hubungan tokoh dengan lingkungan alam dalam novel Pak Tua Yang

9
Membaca Kisah Cinta diulas untuk melihat bagaimana peran seorang
tokoh dalam lingkungannya. Terakhir dalam penelitian ini berusaha
untuk mengungkap bagaimana implikasi proses ekokritik dalam
pembelajaran sastra di SMA/SMK/MA/sederajat Kurikulum 2013.

2. Rumusan Masalah
Melihat latar belakang diatas, maka dapat diidentifikasi beberapa
rumusan permasalahan. Berikut ini rumusan masalah dari penelitian ini.
a. Bagaimana kritik ekologi yang terdapat dalam novel Pak Tua Yang
Membaca Kisah Cinta?
b. Bagaimana hubungan tokoh dengan lingkungan alam dalam novel
Pak Tua Yang Membaca Kisah Cinta?
c. Bagaimana implikasi proses ekokritik dalam pembelajaran sastra di
SMA/SMK/MA/sederajat Kurikulum 2013?

3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan Rumusan Masalah diatas, maka penelitian ini
memiliki tujuan sebagai berikut.
a. Mendeskripsikan bentuk-bentuk kritik ekologi yang terdapat dalam
novel Pak Tua Yang Membaca Kisah Cinta.
b. Mendekripsikan hubungan tokoh dengan lingkungan alam dalam
novel Pak Tua Yang Membaca Kisah Cinta.
c. Mendeskripsikan implikasi proses ekokritik dalam pembelajaran
sastra di SMA/SMK/MA/sederajat Kurikulum 2013.

4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian berdasarkan tujuan penelitian ini diharapkan
dapat memberikan manfaat bagi kepentingan akademis maupun
kepentingan umum. Adapun manfaat penelitian ini secara spesifik
adalah sebagai berikut.
1. Manfaat teoritis

10
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
sebagai berikut.
a. Memberikan sumbangan pemikiran mengenai bentuk-bentuk
kritik ekologi dalam sastra yang mungkin juga terjadi di
masyarakat Indonesia.
b. Memberikan sumbangan pemikiran mengenai implikasi proses
ekokritik dalam pembelajaran bahasa Indonesia.
c. Sebagai landasan/referensi pada penelitian-penelitian
selanjutnya yang berhubungan dengan kajian Ekologi Sastra.
2. Manfaat praktis
Secara praktis penelitian ini dapat bermanfaat sebagai berikut.
a. Bagi penulis, secara tidak langsung menambah wawasan dan
pengetahuan mengenai bidang ilmu sastra, terutama kajian
Ekologi Sastra atau kajian Ekokritik.
b. Bagi pendidik dan calon pendidik, dapat menambah
pengetahuan dan sumbangan pemikiran tentang cara
mengembangkan kesusastraan bagi peserta didik, terutama
dalam kajian ekokritik sastra dalam pembelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia.
c. Bagi Penggiat sastra, diharapkan penelitian mengenai ekologi
sastra ini dapat memberikan khasanah kajian sastra di Indonesia
dan diharapkan dapat menjadi aliran kajian sastra yang populer
di Indonesia.
d. Bagi Pemerintah, diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat
sebagai bahan pemebelajaran sastra berbasis ekologi yang dapat
diterapkan dalam kurikulum pembelajaran Basaha dan Sastra
Indonesia.

C. Tinjauan Pustaka
1. Penelitian yang Relevan
Penelitian mengenai ekologi Sastra pernah dilakukan oleh Ande
Wina Widianti (2017) dengan judul ”Kajian Ekologi Sastra dalam

11
Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2014 Di Tubuh Tarra Dalam Rahim
Pohon” (Widianti 2017). Beberapa judul cerpen yang dikaji dalam
kumpulan cerpen tersebut diantaranya adalah cerpen Di Tubuh Tarra
dalam Rahim Pohon karya Faisal Oddang, Harimau Belang karya
Guntur Alam dan Beras Genggam karya Gus TF Sakai, dan Menunda-
nunda Mati karya Gde Aryantha Soethama, Bulu Bariyaban karya
Zaidinoor.
Ekologi sastra yang muncul berdasarkan hasil penelitian yaitu
dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas 2014 Di Tubuh Tarra Dalam
Rahim Pohon terdapat 3 cerpen yang masuk dalam ekologi alam dan 5
cerpen yang masuk dalam ekologi budaya. Cerpen yang Termasuk
dalam Ekologi Alam yaitu Dalam cerpen Di Tubuh Tarra, dalam Rahim
Pohon karya Faisal Oddang, Harimau Belang karya Guntur Alam dan
Beras Genggam karya Gus TF Sakai. Unsur ekologi alam yang
dimaksud bahwa pengarang melakukan upaya pelestarian memalui
sastra dan mengaitkan alam sebagai sumber kehidupan.
Sedangkan Ekologi Budaya terdapat dalam cerpen Di Tubuh
Tarra, dalam Rahim Pohon karya Faisal Oddang, Harimau Belang
karya Guntur Alam, Menunda-nuda Mati karya Gde Aryantha
Soethama, Beras Genggam karya Gus TF Sakai, Bulu Bariyaban karya
Zaidinoor. Unsur ekologi budaya terlihat dimana pengarang mengaitkan
sastra dengan adat istiadat dan hubungan sastra dengan
kepercayaan/mitos. Penelitian ini juga digunakan untuk dijadikan modul
atau seperangkat pembelajaran apresiasi sastra dengan tema peristiwa.
lima cerpen yang telah dikaji dapat digunakan sebagai alternatif bahan
ajar pembelajaran Bahasa Indonesia dalam apresiasi sastra kelas VII
SMP.
Penelitian terhadap kumpulan cerpen lainnya juga dilakukan oleh
Novita Dewi (2015) dalam penelitiannya yang berjudul “Manusia Dan
Lingkungan Dalam Cerpen Indonesia Kontemporer: Analisis Ekokritik
Cerpen Pilihan Kompas” (Dewi 2015). Penelitiannya ditujukan untuk
mendeskripsikan cerpen Indonesia kontemporer yang berisi pilihan

12
politis-ideologis yang ditampilkan melalui hubungan manusia dan
lingkungan alam. bertujuan untuk menakar apakah sastra Indonesia
masa kini telah memperlihatkan keberpihakan yang serius dalam upaya
menghmencegah kerusakan bumi karena ulah manusia. Data yang
diambil dalam penelitian adalah cerpen di surat kabar Kompas 2010 –
2015, yang bertemakan lingkungan hidup. Terdapat beberapa temuan
dari penelitian tersebut. Pertama, sejumlah cerpen mengambil
lingkungan hidup hanya sebagai latar tempat dan waktu. Kedua, cerpen-
cerpen dengan tema pencemaran air telah menyuarakan ikrar politis
memerangi perusakan lingkungan. Ketiga, sastra hijau, yakni sastra
berperspektif Ekokritik, belum menjadi arus tama dalam sastra
Indonesia kontemporer.
Ragil Susilo (2017) mengkaji ekologi sastra lebih mendalam.
Dalam penelitianya yang berjudul “Kajian Ekologi Sastra cinta semanis
racun 99 cerita dari 9 penjuru Dunia Terjemahan Anton Kurnia”
penelitiannya mengungkap dua cakupan masalah yang menjadi fokus
penelitian tentang ekologi sastra pada lima cerpen mancanegara
terjemahan Anton Kurina (Susilo 2017). Dua fokus tersebut yaitu (1)
proses ekokritik sastra yang terkait dengan ontologi, epistemologi, dan
aksiologi (2) kajian ekokritik sastra yang berkaitan dengan
ecofeminism, ecopolitics, ecososial, ecoculture, dan ecological
imperialism.
Pada sumber data tersebut dipilih 5 cerpen dari 9 penjuru dunia
(mancanegara). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa proses
pembuatan sastra berbasis lingkungan membutuhkan proses ekokritik
didalamnya. Proses ekokritik sangat membantu pengarang dalam
membuat suatu karya yang menarik. Memang tampak bahwa kajian
ekologi mempengaruhi letak geografis seseorang dalam mengangkat
suatu cerita, antara ecofeminism, ecopolitics, ecososial, ecoculture, dan
ecological imperialism. Kaitannya dalam pembelajaran, ketiga unsur
tersebut sangat memudahkan peserta didik dalam mengembangkan
cerita atau membuat cerita. Oleh karena itu, terdapat temuan strategi

13
pembelajaran terkait sastra berbasis lingkungan yaitu ecological
existential yaitu berupa strategi baru terkait pembelajaran sastra berbasis
lingkungan.
Penelitiannya memiliki simpulan yang terkait dengan proses
ekokritik yaitu proses ekokritik berguna untuk menemukan unsur
makna, konsep dan unsur timbal balik pada sastra dengan lingkungan.
Pada ekologi terdapat proses ekokritik yaitu analisis kritik berbasis
lingkungan, meliputi (1) ontologi, (2) epistemologi, dan (3) aksiologi.
Temuan tersebut merupakan bukti bahwa adanya proses ekokritik dalam
karya fiktif berupa cerpen. Terbukti jelas bahwa fakta estetis lingkungan
berperan penting dalam sastra, data tersebut menjelaskan juga bahwa
semua itu berdasarkan dari konsep atau makna yang secara tertata
dengan baik dan juga adanya unsur simbiosis antara lingkungan dengan
sastra. Oleh karena itu, temuan data menjelaskan proses ontologi,
epistemologi, dan aksiologi berperan dalam sastra dan lingkungan.
Salah satu penelitian yang lain yaitu penelitian yang dilakukan
oleh Devi Nur Farida (2017). penelitian yang dilakukan yaitu “Kritik
Ekologi Sastra dalam Puisi Perempuan Lereng Gunung karya Ika
Permata Hati dalam Antologi Puisi Perempuan di Ujung Senja melalui
Ekofeminisme Susan Griffin” (Farida 2017). Penelitiannya
memperlihatkan bahwa antara perempuan dengan alam dan humanistik
terdapat hubungan. Hubungan itu dilandasi dengan adanya perjuangan
perempuan dalam mempertahankan alamnya/lingkungan
biologis/fisiknya dengan menulis apa yang dirasakan maupun dilihat
oleh para perempuan lereng gunung terhadap perubahan alam
disekeliling mereka kedalam sastra. Penelitiannya kurang
memperlihatkan seperti apa gambaran mengenai alam di sekitar lereng
gunung tetapi lebih menunjukkan bahwa puisi tersebut menceritakan
curahan-curahan hati perempuan di lereng gunung.
Hasil penelitian selanjutnya yaitu pada representatif kajian
ekokritik sastra yang meliputi: (1) ecofeminsm, (2) ecopolitics, (3)
ecososial, (4) ecoculture, (5) ecological imperialism. Kesimpulan atau

14
keseluruhan dari kelima cerpen mancanegara tersebut berdiri diatas
unsur pembangun kelima kajian tersebut. Terbukti dari kajian tersebut
bahwa adanya pola pikir penulis dalam mengaitkan lingkungan dalam
sastra dan juga keterkaitan antara sastra dengan lingkungan sangat
bersimbiosis. Oleh karena itu, sastra terhadap lingkungan sangat
berkaitan erat, sebagai sarana komunikasi terhadap sesama dan juga
sebagai pesan moral yang akan disampaikan kepada manusia.
Penelitian megenai ekofeminisme lainnya yaitu penelitian yang
dilakukan oleh Alfi Yusrina (2013) dengan judul “Perspektif Pengarang
Mengenai Relasi Antar Manusia dan lingkungan Hidup dalam Novel
Partikel Karya Dewi Lestari: Sebuah Kajian Ekokritisme” (Ramadhani
2013). Penelitiannya menunjukkan bahwa novel Partikel mengandung
gagasan utama yaitu manusia dan alam merupakan satu hakikat yang
sama atau satu. Pandangan tersebut merupakan hasil analisis pengarang
dalam memandang hubungan manusia dengan lingkungannya. Novel
Partikel juga membahas isu-isu krisis lingkungan hidup. Krisis
lingkungan yang ditampilkan pada novel adalah gambaran Dewi Lestari
atas potret situasi hubungan manusia dengan lingkungannya. Gagasan
pengarang dalam Novel Partikel menunjukkan bahwa kerusakan bumi
terjadi karena manusia tidak memahami alamnya. karena itu, melalui
Zarah, pengarang selalu menekankan bahwa manusia dan alam adalah
satu kesatuan.
Penelitian puisi selanjutnya dilakukan oleh Nurul Setyorini dan
Cintya Nurika Irma (2018) dalam penelitiannya yang berjudul
“Representasi Krisis Ekologi Di Indonesia Puisi Membaca Tanda-
Tanda Dan Menengadah Ke Atas Merenungi Ozon Yang Tak Nampak
Karya Taufik Ismail” (Nurul Setyorini 2018). Secara spesifik penelitian
ini berusaha untuk mengungkap representasi krisis ekologi yang
terdapat dalam puiai tersebut. hasil penelitian menunjukkan dua hal, (1)
Puisi Membaca Tanda-tanda merepresentasikan krisis ekologi yang ada
di Indonesia, seperti pencemaran udara, hutan gundul, dan efek rumah
kaca. (2) Puisi Menengadah Ke Atas Merenungi Ozon Yang Tak

15
Nampak merepresentasikan krisis ekologi di Indonesia, seperti:
pencemaran sungai, danau, dan kebakaran hutan.
Berbeda dengan penelitian Ekologi sastra yang lain, Setyowati
(2018), mencoba mengkaji Problematika Lingkungan Hidup dalam
Syair Populer Indonesia (Setyowati 2018). Penelitian ini bertujuan
untuk mendeskripsikan kondisi lingkungan hidup yang disebabkan oleh
perilaku manusia dalam syair lagu populer Indonesia. Data yang dipakai
dalam penelitian merupakan syair lagu yang dilantunkan sekitar tahun
1980 hingga 2015 dan dinyanyikan oleh Iwan Fals, Gombloh, Naif, The
Rollies, Slank, Riff, Ully Sigar Rusady, Rita Rubby Hatland, Kotak,
Nugie, dan Ebiet G.Ade.
Penelitiannya menunjukkan bahwa syair lagu populer Indonesia
yang berkaitan dengan problematika lingkungan dikategorikan menjadi
lima hal, yang meliputi pernyataan, sindiran, kritikan, himbauan dan
renungan. Syair lagu yang merupakan pernyataan terhadap problem
lingkungan hidup adalah Ujung Aspal Pondok Gede (Iwan Flas), Berita
Cuaca (Gombloh), Dia Adalah Pusaka Sejuta Umat Di Seluruh Dunia
(Naif) dan Kemarau (The Rollies). Adapun syair dalam lagu yang
menunjukkan adanya sindiran terhadap perilaku yang merusak alam
adalah Ujung KulonBaluran (Gombloh), Alami (Slank), Lembah
Baliem (Slank), Pelangiku Sirna (Rif), dan Ku Cari Damai (Ully Sigar
Rurady).
Syair dalam lagu yang menunjukkan adanya kritikan terhadap
perilaku manusia yang merusak alam adalah Isi Rimba Tak Ada
Tempat Berpijak Lagi (Iwan Fals), Hutanku (Iwan Fals), Kepada Alam
dan Pendaki Gunung (Ritta Rubby Hatland), dan Hijaukan Bumi
(Kotak). Syair dalam lagu menunjukkan himbauan bagi perilaku
maupun pola pikir manusia yang mengarah pada hal positif yang
bermanfaat adalah Pohon Untuk Kehidupan (Iwan Fals), Tanam Siram
Tanam (Iwan Fals), dan Mulailah Dari Diri Sendiri (Nugie). Sedang
syair dalam lagu menunjukkan adanya renungan sebagai pertimbangan
dalam bersikap maupun cara berfikir manusia dalam menanggapi

16
kerusakan alam adalah Berita Kepada Kawan (Ebiet G.Ade) dan Untuk
Kita Renungkan (Ebiet G. Ade).
Zaki Mubarok (2017) mencoba mengkaji ekokritik dalam teks
drama. Penelitian yang dilakukan berjudul “Kajian Ekokritik Pada
Naskah Drama Kisah Perjuangan Suku Naga Karya Rendra” mencoba
mendeskripsikan bentuk kepedulian Rendra terhadap lingkungan hidup
strategis dalam naskah drama Kisah Perjuangan Suku Naga (1975),
(Mubarok 2017). Tulisan ini menggunakan sudut pandang ekokritik dan
metode deskripsi. Fakta yang ditemukan pada naskah Kisah Perjuangan
Suku Naga, menjelaskan bahwa Rendra, sebagai seorang seniman,
sangat peduli terhadap lingkungan hidup baik sebagai sistem tata
masyarakat atau lingkungan hidup sebagi bentuk fisik, Rendra juga
menolak bentuk eksploitasi alam dalam segala bentuk, terutama
pertambangan tanpa kajian AMDAL yang benar dan bisa
mengakibatkan kerusakan alam. Selain itu, Rendra menolak menjadikan
desa dan khasanah ritual suatu kebudayaan dijadikan komoditi
pariwisata meskipun menjadi devisa bagi negara.
Penelitian ekokritik yang pernah dilakukan bukan hanya kepada
teks-teks sastra terdapat juga penelitian ekokritik terhadap cerita rakyat.
Seperti halnya yang dilakukan oleh Lilik Lisnasari dan Sony Sukmawan
(2016) dalam penelitiannya yang berjudul “Berhulu Welasasih Pepitu,
Bermuara Narasi Arkadia: Kajian Ekokritik Cerita Rakyat Tengger”
(Lisnasari and Sukmawan 2016). Hasil penelitiannya menunjukan
bahwa karakteristik pastoral dalam cerita rakyat Tengger termuat dalam
legenda dan mitos Tengger. Karakteristik pastoral yang dimaksudkan
sekaligus menjadi karakteristik narasi poetika teks ekokritik cerita
rakyat Tengger.
Secara implisit bentuk pengetahuan Masyarakat Tengger yang
didapatkan dari pengalaman hidup dan kaya akan nilai kearifan lokal
tertuang dalam cerita rakyat Tengger. Dalam cerita rakyat digambarkan
adanya kesadaran Masyarakat Tengger terhadap kehadiran makhluk
alam yang harus diperlakukan sama sebagai sesama makhluk ekosfer.

17
Gambaran laku hidup Masyarakat Tengger tersebut dicerminkan dalam
produk cerita rakyat. Manusia Tengger yang merupakan makhluk
beretika dan memiliki kemampuan fundamental lebih tinggi bertugas
menjaga dan memperbaiki hubungan dengan makhluk alam guna
mencapai konsep Welas Asih Pepitu dan Bekti Marang Guru Papat
seperti yang didengung-dengungkan dalam prinsip ajaran hidupnya.
Masih berkaitan dengan Cerita rakyat, penelitian ekologi yang
dilakukan oleh Sony Sukmawan, Aji Setyanto dan Efrizal (2017)
mengkaji sastra lisan pada masyarakat tengger. Penelitian yang berjudul
“Kearifan Ekologi Dalam Sastra Lisan Tengger Dan Pemanfaatannya
Sebagai Sarana Mitigansi Bencana” memanfaatkan dan memadukan
pengetahuan ekologi dari sastra lisan yang dikaitkan dengan ilmu
kebencanaan, yaitu mitigasi bencana (Sukmawan and Setyanto 2016).
Hasilnya, wujud kearifan ekologi dalam japa Tengger berupa
gagasan, sikap atau tindakan (i) pengupayaan waktu dan ruang secara
silmultan dalam kondisi harmonis, (ii) penghadiran waktu dan ruang
secara multivokalis, yakni sebagai representasi alam fisik sekaligus
alam psikis yang oleh karenanya perlu diundang, dilayani, dijamu, dan
dimuliakan, dan (iii) upaya mengharmoniskan relasi ruang-
manusiawaktu dimediasi oleh ritus slametan. Karena itu, slametan
merupakan teks kebudayaan yang menyimpan sistem pengetahuan
tradisional bagi pencegahan (mitigatif), perlindungan (konservatif),
hingga pemulihan kondisi ketidakseimbagan alam.
Selanjutnya, latar penamaan desa-desa Tengger yang
terklasifikasi atas (i) motif kesesuaian dengan keadaan dan kondisi
alam, (ii) penyebutan nama unsur alam, (iii) penyebutan nama unsur
alam beserta khasiat dan fungsinya (iv) penyebutan nama unsur alam
beserta fenomena alam lainnya, serta (v) penyebutan nama unsur alam
dan keadaannya, merupakan wujud kearifan ekologimasyarakat
Tengger. Kearifan terhadap alam ini tidak lain adalah sebah sistem
pengetahuan yang adaptatif, berkelanjutan, ’ramah’ terhadap
lingkungan serta mitigatif terhadap bencana alam.

18
Terdapat pula penelitian langsung mengenai pembelajaran yang
berkaitan dengan wawasan lingkungan, salahsatunya yang dilakukan
oleh Cahyaningrum Dewojati (2018) dalam penelitiannya yang berjudul
“Pengembangan Pembelajaran Penulis Kreatif Berwawasan lingkungan
Bidang Bahasa dan Sastra Indonesia bagi Guru dan Siswa Pondok
Pesantren Muqimus Sunnah di Palembang” (Dewojati 2019). Penelitian
ini memandang bahwa penulisan kreatif dipandang sebagai sebuah
media pembelajaran yang cukup efektif untuk menyampaikan nilai-nilai
pendidikan akhlak mulia dan pelestarian lingkungan melalui
pembelajaran. Hal ini diwujudkan untuk mendukung Sustainable
Development Goals (SDGs).
Penelitiannya menggunakan metode dengan memberikan materi
dan pelatihan penulisan kreatif berwawasan lingkungan baik dalam
bentuk fiksi maupun nonfiksi. Selain daripada itu, pemberian materi
juga disampaikan melalui permainan. Hasil pelatihan ini menunjukkan
siswa madrasah dan guru sangat antusias dan lebih bersemangat lagi
untuk menulis. Dapat disimpulkan bahwa pelatihan menulis kreatif yang
diujudkan dalam games sastra dan lingkungan, serta kritik terhadap
kondisi lingkungan, sangat diperlukan untuk mengasah kekritisan dan
kreativitas para santri maupun guru dalam dunia literasi.

2. Landasan Teori
a. Novel sebagai karya sastra
Kehidupan masyarakat dapat terefleksikan dalam karya sastra
sebagai bentuk refleksi dari kejadian-kejadian atau fenomena yang
terjadi di alam semesta ini. Sastra yang menjadi refleksi kehidupan
ini mengandung tata nilai didalamnya. Tata nilai tersebut menurut
Sugiarti (2009:165) adalah tata nilai kehidupan manusia dan
perubahan sosial. Tata nilai yang menyertai tersebut tidak dapat
dilepaskan dari dunia sastra. Karya sastra yang lahir merupakan
wujud nyata dari imajinasi kreatif seorang pengarang yang sangat
berkaitan dengan lingkungan yang mengitarinya. Para pengarang

19
menyampaikan nilai-nilai yang diperoleh dari lingkungan tersebut
dan bukan hanya menyampaikan ide atau gagasannya ketika proses
penciptaan karya sastra.
Karya sastra yang memuat nilai-nilai kehidupan salah satunya
adalah novel. Novel merupakan salah satu wujud dari karya sastra
yang mencerminkan berbagai persoalan kehidupan yang di
dalamnya terdapat proses penciptaan yang sudah dimasuki oleh
kreativitas pengarang. Kata “novel” berasal dari bahasa Itali yakni
novella (yang dalam bahasa Jerman: novelle). Novella apabila
diartikan secara harfiah yakni ‘sebuah barang baru yang kecil’, dan
kemudian diartikan sebagai ‘cerita pendek dalam bentuk prosa’
(Abrams dalam Nurgiyantoro 1995:9)
Pengarang menulis sebuah novel mempunyai tujuan yang
tidak hanya sekadar menjadi karya sastra hiburan, namun juga
sebagai sebuah karya yang mengamati dan mempelajari kehidupan
dari berbagai sisi. Novel merupakan karya fiksi yang
mengungkapkan fenomena atau kejadian yang berhubungan dengan
aspek-aspek kemanusiaan yang dibahas secara lebih detail dan
mendalam dengan penyajian yang halus. Selain itu, novel juga
memuat nilai-nilai kehidupan yang diharapkan mampu memberi
efek positif, serta mengarahkan pembaca pada tujuan hidup yang
lebih arif dan berbudi pekerti luhur.
Novel ditulis atas unsur-unsur pembangun yang mampu
mendukung cerita novel tersebur. Unsur-unsur tersebut dirancang
untuk mengupas gambaran berbagai masalah yang kompleks secara
bebas dan menyajikannya secara lebih rinci dan detail. Unsur-unsur
pembangun novel tersebut dapat muncul dari dalam karya sastra itu
sendiri (intrinsik) maupun dari luar (ekstrinsik).
Novel mempunyai unsur pembangun yang dapat
mengkonstruk cerita di dalam novel dan menjadi alasan mengapa
karya sastra tersebut hadir sebagai karya sastra. Unsur-unsur
pembangun karya sastra tersebut salah satunya yaitu unsur intrinsik

20
atau unsur yang muncul dari dalam karya sastra. Adapun unsur
pembangun yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu tokoh dan
penokohan, dan setting/latar.
1) Tokoh dan Penokohan
Tokoh adalah pelaku yang melakonkan sebuah cerita.
Tokoh menjadi pokok cerita dari sebuah karya sastra, oleh
karena itu tidaklah mungkin unsur ini ditinggalkan. Unsur tokoh
dan penokohan ini merupakan tulang punggung dari sebuah
cerita yang berdiri. Cerita tidak akan dapat berjalan tanpa
adanya seorang pelaku cerita, karena cerita tersebut pasti akan
hampa dan kosong.
Tokoh (character) adalah orang-orang yang ditampilkan
dalam suatu karya naratif atau drama yang kemudian ditafsirkan
mengandung kausalitas moral dan kecenderungan tertentu
seperti yang diekspresikan dalam ucapan maupun tindakan
(Abrams dalam Nurgiyantoro 1995:165). Di samping itu,
Aminuddin (2015:79) juga mengemukakan bahwa tokoh
merupakan pelaku-pelaku. Sedangkan penokohan merupakan
cara pengarang dalam menampilkan atau melukiskan tokoh atau
pelaku tersebut. Tidak hanya berfungsi memainkan peran dalam
cerita, tokoh-tokoh yang dihadirkan juga berfungsi sebagai
penyampai ide, plot, motif, dan tema ( Sumardjo dalam Fananie
2002:87).
Aspek penokohan merupakan imajinasi pengarang dalam
merumuskan dan membentuk suatu personalitas tertentu dalam
ceritanya. Ada beberapa cara yang dapat digunakan oleh penulis
dalam mengembangkan penokohan, seperti monolog, dialog
antar tokoh, tindakan atau perilaku tokoh, deskripsi, dan simbol-
simbol. Selain itu, cara sederhana untuk menggambarkan
perwatakan seorang tokoh yaitu dengan memberikan sebuah
nama. Setiap penamaan yang diberikan merupakan semacam

21
menghidupkan, menjiwai, dan mengindividualisasikan tokoh
tersebut.
Setiap tokoh yang dihadirkan oleh pengarang tentu
memiliki karakteristik yang telah dibentuk sedemikian rupa. Di
samping itu, pembentukan perwatakan tokoh juga dapat
dipengaruhi oleh latar, salah satunya yaitu latar sosial budaya.
Hal tersebut dikarenakan setiap tempat mempunyai ciri khas
tertentu yang berbeda dengan tempat lain.
2) Latar atau Setting
Latar atau setting merupakan tumpuan yang memberikan
kesan realitas tentang suatu cerita kepada pembaca. Latar juga
merupakan penunjang bagi para pembaca untuk memunculkan
imajinasi-imajinasi liar. Aminudin (Aminuddin 2015:67)
mengungkapkan bahwa sifat fisikal latar berfungsi untuk
menciptakan kelogisan dalam cerita, sedangkan sifat psikologis
mampu menggerakkan emosi atau kejiwaan pembacanya
melalui suasana-suasana yang diciptakan. Pada umumnya
terdapat tiga macam latar yaitu latar waktu, tempat, dan sosial.
Ketiganya sama-sama memberikan persoalan yang berbeda
dalam suatu cerita. Fungsi latar dalam sebuah karya sastra tidak
terlepas dari permasalahan-permasalahan lainnya, seperti tokoh,
bahasa, tema, atau persoalan-persoalan yang muncul yang
semuanya saling memiliki keterkaitan satu sama lain (Fananie
2002:98).
Montague dan Henshaw (Dalam Sukada 2013:70) juga
berpendapat tentang fungsi latar yang terdapat dalam karya
sastra, menurutnya fungsi latar terbagi dalam tiga ciri. Pertama,
latar dapat menempatkan suatu karakter. Kedua, latar dapat
merupakan faktor yang menentukan tema, apabila fungsinya
lebih dari sebagai latar belakang, tetapi kurang dari karakter.
Ketiga, latar juga dapat sebagai penghubung tema. Secara
keseluruhan latar berfungsi sebagai penyempurna isi cerita dan

22
menciptakan suasana yang diharapkan mampu memunculkan
kualitas keterangan dan efek cerita ( Brook & Warren, dan
Potter dalam Sukada 2013:71).
Pengarang sering dipengaruhi oleh lingkungan yang
mengitarinya dalam menciptakan sebuah latar yang dapat
mendukung cerita yang sedang dibangun. Tidak jarang
pengarang terinspirasi untuk mentransformasikan lingkungan
sekitar ke dalam karya sastra yang ditulisnya. Berbagai
fenomena seperti lingkungan sosial dan berbagai persoalannya,
dan juga lingkungan alam beserta fenomena yang terjadi di
dalamnya menjadi inspirasi bagi para pengarang. Mengapa
demikian karena lingkungan alam telah menjadi bagian dan
sumber inspirasi bagi para sastrawan atau dalam dunia sastra.
b. Ekologi sastra
Istilah ekologi pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli
biologi yang berasal dari Jerman bernama Ernst Haeckel. Menurutnya
ekologi merupakan cabang sains yang mengkaji habitat serta interaksi
antara benda hidup dengan alam sekitarnya (dalam Zulkifli 2014:1).
Secara spesifik, Haeckel mendefinisikan ekologi sebagai ilmu tentang
hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungan
biotik dan abiotik. Ekologi berasal dari bahasa Yunani yaitu oikos
berarti rumah dan logos berarti ilmu atau pelajaran. Secara
terminologis, ekologi memiliki arti ilmu yang mempelajari hubungan
antara organisme dengan alam sekitarnya. Menurut Soemarwoto
(dalam Zulkifli 2014:1) ekologi juga dapat berfungsi sebagai sebuah
pendekatan untuk mengkaji dan menganalisis permasalahan yang
berkaitan dengan lingkungan hidup.
Ekologi mengalami perkembangan ilmu yang cukup pesat di era
dewasa ini. Ekologi tidak hanya membahas dan mempelajari alam,
struktur, dan fungsinya, tetapi sudah meluas dan merujuk pada kajian-
kajian ilmu yang lain. Singkatnya Ekologi telah bertransformasi
menjadi ilmu interdisipliner, salah satu bentuknya yaitu kajian tentang

23
ekologi sastra. Ekologi dan sastra memang dua hal yang berbeda.
Akan tetapi, pada dasarnya sastra membutuhkan ekologi dan
lingkungan karena sastra berada dalam suatu ekosistem. Sastra
memiliki ekosistem yang khas, dimana ekosistem tersebut akan selalu
memengaruhi jalannya perkembangan sastra. Jika ekosistem sastra
terganggu maka sastra akan terganggu atau terhambat pula, dan
sebaliknya apabila ekologi sastra berjaan berjalan dengan baik, maka
sastra akan mengalir deras.
Endaswara (2016:17-18) berpendapat bahwa ekologi sastra
mempelajari bagaimana manusia beradaptasi dengan lingkungan
alamnya. Hal ini menunjukkan bahwa ekologi sastra merupakan
salahsatu sudut pandang untuk memahami persoalan lingkungan
hidup dalam perspektif sastra atau sebaliknya. Lebih terangnya,
ekologi sastra akanbersaha menemukan dan mengungkap hubungan
antara kegiatan manusia dengan proses alam. Merawat lingkungan
berarti menyelamatkannya. Menyelamatkan lingkungan berarti
sekaligus memupuk hadirnya ekologi sastra.
Ekologi merupakan kondisi yang terjadi di sekitar sastrawan
(Endraswara, 2016:72). Kepekaan sastrawan dapat menangkap
suasana ekologis yang terkadang dapat berupa: kacaunya situasi
lingkungan, atau keadaan alam yang dapat menyejukkan dan
memberikan inspirasi untuk hidup. Upaya penyelamatan ekologi
sastra berarti juga menjadi pejuang sastra dan penyelamat lingkungan.
Sastrawan akan tergores hatinya dan kemudian menitikkan air mata
ketika melihat kondisi lingkungan yang serba kacau. Melalui sebuah
karya sastra, sastrawan dapat mengekspresikan apa yang dirasakan
dalam dirinya. Hal tersebut dikarenakan sastrawan tidak akan pernah
terlepas dari dunianya dan lingkungan sebagai sumber air yang
menginspirasinya.
c. Ekokritik sebagai kritik sastra
Ekokritik sastra adalah istilah yang berasal dari bahasa Inggris
ecocriticism yang merupakan ilmu interdisipliner antara ekologi dan

24
kritik sastra. Istilah Ekokritik (Ecocriticism) diciptakan oleh William
Rueckert dalam esainya “sastra dan ekologi” (Juliasih, 2012:83).
Menurut Garrard (dalam Juliasih, 2012:83), ecocriticism meliputi
studi tentang hubungan antara manusia dan non-manusia, sejarah
manusia dan budaya yang berkaitan dengan analisis kritis tentang
manusia dan lingkungannya. Jonathan Bate (dalam Juliasih, 2012:87)
menyimpulkan ecocriticism membicarakan tentang kesadaran
lingkungan dalam karya sastra. Ekokritik memiliki paradigma dasar
bahwa setiap objek dapat dilihat dalam jaringan ekologis, dan ekologi
dapat dijadikan ilmu bantu dalam pendekatan tersebut (Harsono
2008:33).
Ekokritik sebagai kritik sastra sendiri tidak terlepas dari
kegunaannya, yaitu memberi penerangan pada masyarakat melalui
“penilaian” yang diberikan. Pradopo (2002:32) mengemukakan
bahwa kritik sastra merupakan bidang studi sastra untuk
“menghakimi” karya sastra, untuk memberi penilaian mengenai
bermutu atau tidaknya suatu karya sastra. Kritik memang tidak
terlepas dengan penilaian, tetapi tidak sembarang orang dapat menilai
setiap karya sastra. Hal itu disebabkan karena penilaian harus objektif
dan sesuai dengan kriteria penilaian yang berlaku. Hal ini sejalan
dengan pemikiran TS Elliot (dalam Fananie, 2002:20), judge the
literariness of literature by aesthetic criteria. Artinya, penilaian
tehadap karya sastra dititikberatkan pada kriteria estetik, sedangkan
pada kebesaran sastra dititikberatkan pada kriteria ekstra estetik.
Analisis ekokritik bersifat interdisipliner yang merambah ilmu
lain, yaitu sastra, budaya, filsafat, sosiologi, psikologi, sejarah
lingkungan politik dan ekonomi, dan studi keagamaan (Juliasih,
2012:87). Kritik sastra berwawasan ekologi ini bermaksud
memberikan penjelasan lewat pendekatan ekologi untuk memecahkan
permasalahan ekologi dalam karya sastra. Arne Naess (dalam Keraf
2010:2-4) mengatakan bahwa kerusakan lingkungan sebenarnya

25
bersumber pada filosofi atau cara pandang manusia mengenai dirinya,
lingkungan atau alam, dan tempatnya dalam kesuluruhan ekosistem.
Fokus ekokritik sastra adalah meneliti hubungan antara budaya
dan manusia dengan alam sekitarnya. Kerusakan alam dan eksploitasi
bumi yang menyebabkan ketidakstabilan ekosistem terus dilakukan
oleh manusia dengan anggapan mausialah pemegang hak hidup
terbesar di alam. Manusia secara perlahan memanfaatkan lahan dan
sumber daya alam tanpa memperhatikan akibat yang akan terjadi.
Demi dan atas nama kesejahteraan itu pula, manusia
menyembunyikan keserakahannya dalam menguras kekayaan alam
(Nur Seha dalam Setyowati, 2018:46).
Dilihat dari segi lingkungan, kebudayaanlah yang merubah
lingkungan alam menjadi lingkungan manusia (man made
environment) (Ginting, 2012:3). Lingkungan alam terus berubah
seiring perkembangan kebudayaan modern dengan kecanggihan
teknologi yang terus menggeser kehidupan alamiah melalui
eksploitasi. Lalu muncul sebuah pertanyaan, apakah dalam
pembangunan lingkungan yang manusiawi, yaitu kebudayaan,
manusia semakin menyempurnakan lingkungan atau justru
merusaknya. Ekologi menyikapi semua itu dengan ilmu pengetahuan,
yang menjunjung tema keseimbangan.
Dasar pemikiran menggunakan penelitian sastra berwawasan
lingkungan (ekokritik) adalah upaya pemahaman terhadap hubungan
manusia dengan alam sekitar, lingkungan dan manusia lainnya.
Menurut Harsono (2008:35), teori ekokritik bersifat multidisiplin,
disatu sisi ekokritik menggunakan teori sastra dan disisi lain
menggunakan teori ekologi. Teori sastra merupakan teori yang
multidisiplin begitu pula teori ekologi. Teori sastra memiliki asumsi
dasar bahwa kesusastraan memiliki keterkaitan dengan kenyataan.
Hubungan ini menjadikan karya sastra sebagai bentuk kritik sosial
yang dapat dijadikan objek penelitian. Begitu pula ekokritik, melalui

26
pendekatan ekologi, teori sastra berkembang dan menumbuhkan
ekokritik.
Karya sastra sebagai objek penelitian, metode dan teori sebagai
cara untuk meneliti, berkembang bersama-sama dalam kondisi yang
saling melengkapi (Ratna, 2009:15). Meskipun demikian, khususnya
dalam kaitannya dengan proses kelahirannya, teori dan metode selalu
lahir sesudah karya sastra yang dijadikan sebagai objek. Ekokrtitik
memiliki objek kajian yang luas: sastra, seni, budaya dan lain-lain
(Harsono, 2008:36). Esensi dari kritik ini terhadap karya sastra dengan
tema-tema yang mengangkat permasalahan lingkungan adalah bahwa
ekokritik membicarakan tentang kesadaran lingkungan. Ekokritik
mengambil peranan ekologi dalam meneliti karya sastra melalui
metode kritik sastra.
Ekokritik bisa menjadi salah satu alat untuk memahami interaksi
dan hubungan manusia dengan lingkungan dan kebudayaan. Dengan
saling ketergantungan kepada makhluk lain, kehidupan bersama demi
kelangsungan yang serasi dan seimbang ekologi menjadi ilmu yang
kini mulai berkembang. Masalah lingkungan memerlukan analisis
budaya secara ilmiah karena masalah tersebut merupakan hasil
interaksi antara pengetahuan ekologi dan perubahan budayanya
(Juliasih, 2012:87).
d. Lingkungan sebagai Latar dalam Fiksi
Latar memliki fungsi untuk memberi konteks cerita yang
menjadikan latar memiliki peran penting dan bahan penelitian dalam
cerita fiksi (Wiyatmi, 2009:40). Berbeda dengan pendapat Wellek &
Warren (1990:290), latar adalah lingkungan, dan lingkungan terutama
interior rumah dapat dianggap berfungsi sebagai metonomia, atau
metafora, ekspresi dari tokohnya. Menurut Abrams (dalam
Nurgiyantoro, 2000:216), latar atau seting adalah landas tumpu,
menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan
sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

27
Latar sosial dan budaya daerah dalam sebuah fiksi sangat
mempengaruhi pembentukan perwatakan tokoh karena setiap tempat
mempunyai ciri khas tertentu yang berbeda dengan tempat lain. Latar
sosial dan lingkungan juga dapat menggambarkan suasana kedaerahan
tertentu melalui kehidupan sosial masyarakat, penggunaan bahasa
daerah atau dialek-dialek tertentu serta penamaan tokoh dengan
mengetahui latar sebuah fiksi yang menyaran pada suasana tertentu,
pembaca akan dapat memperkirakan suasana dan arah cerita
(Nurgiyantoro, 1995:233).
Menurut Wiyatmi (2009:40), latar dibedakan menjadi tiga
macam, yaitu latar tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat
berhubungan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam
sebuah karya fiksi. Latar sosial berkaitan dengan kehidupan
masyarakat. Latar waktu berhubungan dengan masalah waktu, hari,
jam, maupun historis terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan
dalam sebuah cerita fiksi. Latar juga dapat berfungsi sebagai penentu
pokok: lingkungan dianggap sebagai penyebab fisik dan sosial, suatu
kekuatan yang tidak dapat dikontrol oleh individu ( Wellek & Warren
1990:291).
Fungsi yang dikemukakan oleh Wellek dan Warren diatas secara
langsung menegaskan bahwa latar mempengaruhi sebab dan akibat
dari cerita dalam sebuah karya fiksi. Latar sosial inilah yang
mempengaruhi sebagian besar jalannya cerita karena karakteristik dan
sifat tokoh juga di pengaruhi oleh latar cerita. Amminudin (1991:69)
juga menjelaskan latar selalu mempunyai hubungan dengan
penokohan, perwatakan, suasana cerita dan alur cerita dalam
mewujudkan tema suatu cerita.
e. Tokoh dalam Karya Fiksi
Tokoh adalah para pelaku yang terdapat dalam sebuah fiksi
(Wiyatmi, 2009:30). Tokoh merupakan ciptaan pengarang yang bisa
direfleksikan dalam kehidupan nyata. Pengarang memberikan
gambaran yang bersifat seperti makhluk hidup pada umumnya.
Menurut Nurgiyantoro (2000:165), tokoh menunjuk pada orangnya,

28
pelaku cerita. Bentuk penokohan yang paling sederhana adalah
pemberian nama, setiap “sebutan” adalah sejenis cara memberikan
kepribadian, menghidupkan (Wellek & Warren 1990:287).
Menurut Aminuddin (1995:79), pelaku yang mengemban
peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin
suatu cerita disebut dengan tokoh, sedangkan cara pengarang
menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut dengan penokohan. Setiap
tokoh yang ada dalam fiksi mempunyai peran tersendiri dalam cerita.
Sama halnya dengan manusia yang ada dalam nyata, yang bersifat tiga
dimensi, maka tokoh dalam fiksi pun hendaknya memliki dimensi
fisiologis, sosiologis, dan psikologis (Wiyatmi, 2009:30).
Kehidupan nyata ditranskripsikan kedalam dunia fiksi, maka
dari itu para pelaku dalam cerita fiksi juga digambarkan sama seperti
makhluk hidup pada kehidupan nyata. Para tokoh “diberi” sifat dan
karakteristik oleh pengarang cerita fiksi. Wellek & Waren (1990:280)
mengemukakan bahwa dunia atau komsos seorang novelis –pola atau
struktur atau organisme yang meliputi plot, tokoh, latar, pandangan
hidup, dan “nada” –adalah unsur yang perlu kita pelajari, jika kita
ingin membandingkan sebuah novel dengan kehidupan, atau jika kita
ingin menilai secara etika atau sosial karya seorang novelis.
Seperti yang dikemukaakn sebelumnya, tokoh memiliki tiga
dimensi yaitu dimensi fisiologis, psikologis, dan sosiologis. Dimensi
fisiologis mengemukakan tentang bentuk fisik dari tokoh dalam cerita
fiksi. Sementara itu dimensi psikologis menciptakan watak dan sifat
pada tokoh. Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan
sikap para tokoh seperti ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk
pada kualitas pribadi seorang tokoh (Nurgiyantoro, 2000:165). Para
tokoh dalam cerita juga mempunyai keterkaitan dengan lingkungan
ataupun tokoh yang lain. Menurut Sayuti (Sayuti, 2000:89)
penggambaran perwatakan tokoh dalam sebuah karya fiksi dibedakan
menjadi empat metode.

29
Metode yang pertama yaitu Metode diskursif. Metode ini
menjelaskan tentang cara penjabaran perwatakan tokoh secara
langsung dengan memberikan deskripsi atau penjelasan langsung,
pengarang menyebutkan secara langsung kualitas masing-masing
tokohnya. Metode yang kedua yaitu metode dramatik yang
mendeskripsikan metode pelukisan perwatakan tokoh secara tidak
langsung (Sayuti, 2000:91). Metode dramatik ini dibedakan menjadi
10 jenis.
1) Teknik naming, yaitu dengan pemberian nama tokoh dengan
nama tertentu.
2) Teknik cakapan, dengan dialog (cakapan antara seorang tokoh
dengan banyak tokoh) maupun duolog (cakapan antara dua
tokoh saja) yang dilakukan oleh tokoh-tokohnya.
3) Teknik pikiran tokoh yaitu apa yang sedang melintas dipikiran
tokoh.
4) Teknik stream of consciousness, “arus kesadaran”.
Mengemukakan keadaan bawah sadar, keadaan batin tokoh,
berupa monolog yaitu cakapan batin yang seolah-olah
menjelaskan kejadian-kejadian yang sudah lampau dan
mungkin pula menjelaskan hal yang sedang terjadi.
5) Teknik pelukisan perasaan tokoh, pengarang memberikan
gambaran perwatakan tokoh dalam narasinya, tetapi tidak
termasuk pengalaman bawah sadar.
6) Teknik perbuatan tokoh, yaitu apa yang diperbuat tokoh dalam
sebuah cerita, yang berupa tingkah laku tokoh yang bersifat
fisik.
7) Teknik sikap tokoh, sikap tokoh-tokohnya dalam menghadapi
masalah.
8) Teknik pandangan, pandangan seseorang atau banyak tokoh
terhadap tokoh lain.
9) Teknik pelukisan fisik tokoh, keadaan fisik tokoh missal: bentuk
tubuh dan pakaian.

30
10) Teknik pelukisan latar, latar tertentu dapat menimbulkan kesan
tertentu pada pembaca, pelukisan latar sekitar tokoh mampu
mendukung penokohan.
Metode yang ketiga yaitu metode konteksutal. Metode ini
menjelaskan tentang cara menyatakan karakter melalui konteks verbal
yang mengelilinginya. Hal ini dilakukan dengan cara memberikan
pelukisan latar yang menunjukan suatu karakter tertentu. Sedangkan
metode terakhir adalah metode campuran yakni dengan menggunakan
lebih dari satu metode atau teknik dalam penggambaran tokohnya.
Jarang sekali dijumpai pengarang yang hanya menggunakan satu
metode dalam penggambaran tokohnya dalam novel atau fiksi. Hal ini
karena teknik tersebut akan lebih efektif apabila dikombinasikan
dengan teknik yang lain(Sayuti, 2000:111).
Dalam karya sastra setiap karakter mempunyai hubungan secara
tidak langsung dengan pengarangnya. Goldman (1981: 54-74)
mengemukakan dua pendapat mengenai hal ini dalam karya sastra
pada umumnya. Pertama, bahwa karya sastra merupakan ekspresi
pandangan dunia secara imajiner. Jelas, ada semacam kaitan antara
penokohan (metode sastra) dengan karakterologi (teori tentang watak
dan tipe kepribadian) ( Wellek & Warren 1990:291). Kedua,
pengarang secara imajiner menciptakan sendiri semesta tokoh-tokoh,
objek-objek, dan relasi-relasi didalamnya. Degan kata lain, karya
sastra merupakan penjelmaan pemikiran pengarang dalam
menciptakan dunia imajiner dalam bentuk kata-kata. Oleh karena itu,
latar belakang seorang pengarang dapat mempengaruhi terciptanya
tokoh-tokoh dalam sebuah karya fiksi.
f. Hubungan Manusia dan Lingkungan Alam
Meningkatnya kecanggihan teknologi pada kehidupan
manusia mampu meningkatkan perhatian dan pengaruh manusia
terhadap lingkungan. Tingkat ketinggian kebudayaan manusia sangat
berpengaruh terhadap keanekaragaman kebutuhan hidup manusia.
Besarnya jumlah kebutuhan manusia yang diambil dari lingkungan

31
menunjukkan bahwa manusia juga harus menaruh perhatian besar
terhadap lingkungan. Manusia adalah komponen biotik lingkungan
yang memiliki daya pikir dan nalar paling tinggi dibandingkan
makhluk lain. Melalui hal tersebut, dapat diketahui manusia adalah
komponen biotik lingkungan teraktif. Hal itu dikarenakan manusia
dapat mengubah dan mengelola tatanan ekosistem sesuai kehendak
mereka (Supardi, 2003:5).
Menurut Yani dan Waluya (2010:11-12) Hubungan manusia
dan lingkungan bekerja melalui dua hal. Pertama yaitu kehidupan
manusia dipengaruhi oleh lingkungan, dan yangkedua yaitu manusia
juga berkemampuan untuk mengubah lingkungannya. Terdapat
beberapa paham yang berkaitan dengan bentuk hubungan manusia
dan lingkungan yang akan menguraikan hakekat dari hubungan
tersebut. Paham-paham tersebut yaitu paham determinisme,
posibilisme dan optimisme teknologi.
1) Paham Determinisme
Paham determinisme menjelaskan bahwa alam
merupakan faktor penentu manusia dan perilakunya. Darwin
(dalam Yani and Waluya, 2010:12) mengemukakan bahwa
secara berkesinambungan makhluk hidup mengalami
perkembangan dan terjadi seleksi alam dalam proses
perkembangan tersebut. Alam adalah penentu dalam hal ini.
Alam menjadi titik pusat atas segala yang dilakukan oleh
manusia. Sikap atau perilaku baik buruknya manusia sangat
dipengaruhi oleh alam. Baik buruknya perilaku manusia
bergantung pada apa yang dilakukannya terhadap alam. Alam
akan memberikan energi yang positif apabila manusia
memberikan energi yang positif pula, begitupun sebaliknya.
Manusia sebagai anggota etnis tentu sering melakukan
adaptasi dan interaksi dalam mengembangkan sesuatu atas dasar
lingkungan. Oleh sebab itu, tidak dapat dipungkiri bahwa secara
perlahan hal tersebut akan membawa perubahan-perubahan

32
kemasyarakatan, karena manusia dan alam selalu hidup
berdampingan dan keduanya saling memberikan sumbangsih.
Paham determinisme memandang manusia sebagai figur yang
pasif sehingga hidupnya dipengaruhi oleh alam sekitarnya.
Dengan kata lain, manusia tidak dapat menentukan hidupnya
sendiri. Respon atau tanggapan dalam menghadapi tantangan
alam hanya berupa respon menerima apa adanya. Hal tersebut
dapat ditinjau dari mata pencaharian, kebiasaan, tingkah laku,
serta kebudayaan manusia pada lingkungan tertentu.
2) Paham Posibilisme
Paham ini memiliki paham yang bersebrangan dengan
paham sebelumnya. Paham ini menjelaskan bahwa kondisi alam
bukan merupakan faktor penentu, melainkan faktor pengontrol
yang berkemungkinan memengaruhi kegiatan atau kebudayaan
manusia. Alam hanya sebagai pemberi peluang dan manusia
sendiri yang menentukan peluang yang telah diberikan alam.
Paham tersebut selaras dengan pendapat Blache (dalam Yani
and Waluya, 2010:13) bahwa faktor yang menentukan bukanlah
alam, melainkan proses produksi yang dipilih manusia
berdasarkan kemungkinan yang diberikan oleh alam.
Tidak seperti paham determinisme yang menganggap
manusia bersifat pasif, paham posibilisme menganggap
manusialah yang bersifat aktif dalam pemanfaatan alam. Paham
posibilisme memandang bahwa manusia adalah makhluk yang
berintelektual. Kemampuan intelektual yang dimiliki manusia
itulah yang digunakan manusia untuk merespon peluang yang
diberikan alam. Alam memberikan alternatif (pilihan) dan
manusia memberikan tanggapan akan hal itu.
Manusia mempunyai kemampuan berhasrat dan
berkeinginan. Selain itu, manusia juga mempunyai kebebasan
untuk memilih apabila ia bersungguh-sungguh untuk
mengambil insiatif dan bertanggung jawab atas perbuatannya.

33
Begitu juga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia
tentu akan memanfaatkan kakayaan alam. Akan tetapi, dalam
pemanfaatannya harus tetap menjaga kelestarian alam dan tanpa
merusaknya. Tidak menutup kemungkinan bahwa peluang-
peluang yang diberikan oleh alam nantinya akan menjadikan
manusia sebagai pemilik kekuasaan penuh dalam
mengendalikan kualitas lingkungan.
3) Paham Optimisme Teknologi
Manusia terus mengembangkan pengetahuan dan
teknologinya. Dengan teknologi yang dimilikinya manusia
mampu mengungkap rahasia alam untuk mengeksploitasinya.
Melalui teknologi yang berkembang sekarang, manusia optimis
bahwa kebutuhan manusia dapat dijamin dan ditunjang oleh
teknologi tersebut (Yani and Waluya, 2010:13). Hal inilah yang
mendasari paham optimisme Teknologi ini.
Dalam paham ini, manusia tidak menjalankan perannya
sebagai “the man behind the technology”. Manusia lebih
percaya bahwa teknologi yang berkembang saat ini merupakan
hasil karya dan formula yang dibuat oleh manusia itu sendiri.
Selain itu, mereka memiliki tingkat keoptimisan yang tinggi
bahwa teknologi yang ada saat ini sepenuhnya akan menunjang
kebutuhan mereka di dunia. Manusia seakan lupa bahwa seiring
bertambahnya tahun yang akan membawa mereka menuju ke
kehidupan yang berbeda, teknologi akan menghilang secara
perlahan-lahan.

Ketiga paham di atas memiliki komponen kebenarannya


masing-masing. Kegiatan manusia sebagian ditentukan oleh alam. Hal
tersebut merupakan cerminan paham determinisme lingkungan. Akan
tetapi, seiring kemajuan zaman manusia melakukan berbagai macam
upaya rekayasa untuk mengoptimalkan pemanfaatan alam. Maka dari
itu, kenyataan paham posibilisme dan optimisme teknologi kini

34
semakin menunjukkan jati dirinya. Hubungan manusia dan
lingkungan alam memang sangat rumit dan kompleks dalam
pembahasannya. Maka dari itu, ekokritik hadir dengan tujuannya
yaitu ingin mentransformasikan dunia menjadi lebih sehat dan
harmonis.
g. Ekokritik dalam pembelajaran sastra
Ekokritik sastra berasal dari bahasa istilah Inggris yaitu
ecocriticism yang terdiri atas dua ilmu yaitu antara ekologi dan kritik
sastra yang ter-interdisipliner-kan menjadi satuan ilmu baru. Sebagai
kritik sastra, Ekokritik juga tidak bisa lepas dari perannya yaitu
memberi penerangan pada masyarakat melalui “penilaian” yang
diberikan. Pradopo (2002:32) mengemukakan bahwa kritik sastra
merupakan bidang studi sastra untuk “menghakimi” karya sastra,
untuk memberi penilaian mengenai bermutu atau tidaknya suatu karya
sastra. Artinya adalah Ekokritik menjadi salah satu pembelajaran
sastra dalam kritik sastra.
Kritik tidak bisa lepas dari sebuah nilai/penilaian terhadap karya
sastra, namun demikian tidak sembarang orang dapat menilai setiap
karya sastra. Hal demikian patutlah dipahami, karena penilaian harus
objektif dan sesuai dengan kriteria penilaian tertentu yang berlaku.
Hal ini sejalan dengan pemikiran TS Elliot (dalam Fananie, 2002:20),
judge the literariness of literature by aesthetic criteria. Artinya,
penilaian tehadap karya sastra dititikberatkan pada kriteria estetik,
sedangkan pada kebesaran sastra dititikberatkan pada kriteria ekstra
estetik.
Hal diatas sesuai dengan apa yang dicita-citakan pemerintah
yaitu dengan adanya program Suitable Develophment Goals (SDGs)
2030. Salah satu fokus pengkajiannya adalah pendidikan akhlak mulia
dan pelestarian lingkungan yang dicanangkan oleh pemerintah dan
didukung oleh Universitas Gadjah Mada adalah Education for
Sustainable Development (ESD) dalam bidang sosial dan humaniora.
Kesadaran akan kelestarian lingkungan hidup menjadi hal yang

35
mendesak diperlukan ketika pemanasan global semakin tak
terkendalikan akibat rusaknya keseimbangan alam.
Melihatn posisi Indonesia sebagai paru-paru dunia, salah satu
hal yang perlu diperhatikan adalah kesadaran terhadap pentingnya
pelestarian lingkungan. Kesadaran dari masyarakat pengguna
lingkungan dan generasi-generasi selanjutnya. Oleh karena itu, dalam
usaha menyesuaikan dinamika perkembangan zaman, baik produk
hardcopy maupun digital, kesadaran akan pelestarian lingkungan
salah satunya bisa diwujudkan melalui sebuah karya sastra. Selain itu,
wacana tentang alam dan lingkungan sudah cukup populer sebagai
inspirasi sebuah tulisan, baik dalam genre fiksi maupun nonfiksi.
Isu lingkungan hidup menarik untuk dikaji karena
keberlangsungannya pada masa kini mengalami banyak perubahan.
Salah satu cara untuk menciptakan lingkungan yang lestari dan bisa
selalu terjaga adalah melalui pendidikan. Sastra sebagai salah satu
ilmu sosial berperan penting untuk mendukung kelestarian lingkungan
hidup. Sastra mampu merekam kekayaan alam melalui hikayat, syair,
gurindam, pepatah, hingga karya sastra modern seperti puisi, cerpen,
dan novel. Para pengarang memanfaatkan inspirasi alam tidak hanya
sebagai bagian dari romantisme estestis dalam memberikan warna
yang berbeda dalam karya sastra, tetapi juga sebagai alat penyadaran
sosial dan wacana perjuangan lingkungan hidup. Karya-karya yang
sangat kuat mendukung ide-ide penyelamatan lingkungan kritis itu,
sangat dekat jika dikaitkan dengan studi ecocritism atau ekokritisme.
Sejalan dengan pendapat Garrard (dalam Juliasih, 2012:86-87)
bahwa ekokritik menekankan pentingnya pengetahuan ekologi untuk
mengetahui sikap dan perilaku manusia, bukan hanya untuk melihat
harmoni dan stabilitas lingkungan. Selain itu, Sugiarti (2017:113) juga
mengemukakan bahwa kajian ekokritik sastra, menekankan pada
ekologi, harmoni, dan stabilitas yang ditimbulkan oleh ekologi
postmodern. Melihat semakin pentingnya kajian sastra dengan
paradigma ekologi, maka pengkajian secara komprehensif terhadap

36
aspek-aspek ekologi yang melingkupinya sudah seyogyanya
dilakukan.
3. Kerangka Berfikir
Karya sastra terdiri atas tiga jenis yaitu puisi, drama, dan prosa
fiksi. Salah satu jenis karya sastra yang dilihat dari bentuknya adalah
prosa fiksi. Prosa fiksi merupakan salah satu genre sastra yang berupa
cerita rekaan atau khayalan pengarang, seperti novel (roman) dan
cerpen (cerita pendek).
Dalam sastra kita menengal adanya kritik sastra yang menjadi
titik nilai dari sebuah karya sastra. Kritik sastra dewasa ini telah
mengalami banyak perkembangan dan telah meluas pada aspek-aspek
yang dikaitkan dengan ilmu lain. Kritik ekolgi (ekokritik) menjadi salah
satu aliran baru dalam kritik sastra. Ekokritik menggali kedalaman
sastra melalui pendekatan ekologi. Ekokrtitik membangun sastra yang
mengungkap bagaimana sastra hidup dalam lingkungan dan aspek
lingkungan yang menyertai sastra.
Kritik ekologi muncul dengan terteranya kerusakan dan ketidak
seimbangan kehidupan antara alam dan manusia yang diceritakan
dalam karya sastra. Kerusakan alam yang disebabkan karena beberapa
faktor, seperti perburuan liar, pembalakan hutan, penambangan dan
bentuk kerusakan lainnya. Hal ini menyebabkan alam tidak mengalami
keseimbangan sehingga timbul bencana-bencana yang merugikan
seperti adanya banjir, kebakaran hutan, kegersangan tanah, hingga
penyerangan hewan liar karena perburuan dan perusakan habitat hewan
liar.
Selain daripada itu unsur-unsur pembangun karya sastra juga
perlu diperhatikan kaitannya dengan kritik ekologi. Secara umum unsur
intrinsik sebuah karya sastra dikelompokkan menjadi dua unsur, yaitu
unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik yang secara langsung berada dalam
karya sastra yang merupakan kesatuan unsur intern. Unsur-unsur itu
adalah tema dan amanat, tokoh dan penokohan, konflik, alur, latar dan
sudut pandang yang saling terkait dalam mengungkap ide atau gagasan.

37
Dalam hal ini unsur tokoh dan penokohan sangat signifikan dalam
pembangunan novel. Kehidupan tokoh menjadi sorotan utama dalam
novel. Bagaimana kehidupan tokoh, kedekatannya dengan alam, hingga
bagaimana sikap tokoh terhadap segala tindakan yang merugikan bagi
kehidupan alam. Denganini maka sangat erat sekali hubungan antara
tokoh dalam karya sastra terhadap isu-isu ekologi. Dapat
disederhanakan yaitu bagaimana kepedulian hubungan tokoh terhadap
alam sekitar dalam novel terjemahan Pak Tua yang Membaca Kisah
Cinta karya Luis Sepulveda.
Uraian diatas memperlihatkan bagaimana Kritik sastra yang
merupakan bagian dari kritik sastra dan bagaimana kehidupan tokoh
dipelajari merupakan bagian daripembelajaran sastra. Maka dalam
penelitian ini mencoba untuk mengungkap bagaimana ekokritik dan
implikasinya dalam pembelajaran sastra pada siswa SMK yang
dikaitkan dengan kurikulum 2013. Dengan demikian maka penelitianini
tidak hanya bermanfaat dalam dunia sastra juga dapat dipelajari sebgaia
bahan pembelajran sastra bagi siswa SMK.
Secara garis besar berikut ini bagan gambar dari uraian diatas.

38
Bagan.1.1 Kerangka Berfikir

Karya Sastra

Novel Kritik Sastra

Unsur-Unsur Intrinsik
Ekokritik
Novel

Kerusakan Alam
Tema
Penebangan Liar

Perburuan

Penambangan

Ekologi

Tokoh Alam

Hubungan Tokoh
dengan Alam

Pembelajaran Sastra

39
D. Metode Penelitian
1. Jenis dan Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan strategi penelitian deskriptif
kualitatif. Metode ini digunakan untuk memecahkan atau menjawab
permasalahan secara aktual atau permasalahan terkini yang dihadapi
dengan cra mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan,
menganalisis, dan interpretasi (Kinayati Djojosuroto, 2006).
Menutut Sutopo (1996: 8-10) penelitian deskriptif kualitatif
bertujuan untuk mengungkap berbagai informasi kualitatif dengan
pendeskripsian yang teliti dan penuh nuansa untuk menggambarkan
secara cermat sifat-sifat suatu hal, keadaan, fenomena, dan tidak
terbatas pada pengumpulan data melainkan meliputi nalisis dan
interpretasi data.
Bogdan dan Biklen (dalam Komara, 2005:66) menjelaskan ciri-
ciri penelitian menggunakan metode kualitatif. Pertama metode ini
mempunyai latar alami karena yang merupakan alat penting adalah
adanya sumber data yang langsung dan penelitinya. Kedua, riset
kualitatif bersifat deskriptif, yakni penelitian yang diarahkan untuk
memberikan gejala-gejala, fakta-fakta, atau atau kejadian-kejadian
secara sistematis dan akurat mengenai sifat-sifat yang akan diteliti.
Ketiga, peneliti lebih memperhatikan proses (dari suatu fenomena
sosial) ketimbang hasil atau produk semata. Keempat, analisis data
biasanya secara induktif. Kelima, merupakan makna (bagaimana subjek
yang diteliti memberi makna hidupnya dan pengumpulannya)
merupakan soal esensi untuk ancangan kualitatif .
Menurut Nasution (dalam Soejono, 2005:19) metode penelitian
deskriptif dalam kajian metodologi penelitian selalu dikaitkan dengan
persoalan tujuan penelitian. Akan tetapi tidak semua ahli metodologi
penelitian menyatakan demikian. Penyelidikan deskriptif tertuju pada
pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang.
Menurut Smith & Heshuseusn Penelitian kualitatif mendasarkan
diri pada tafsir hermeneutik yang bersifat antifundasional yang berarti

40
tidak menggunakan tolak ukur yang berlaku umum (dalam H.B. Sutopo
2002). Dengan kata lain, penelitian kualitatif cenderung bersifat
kontekstual yang hasilnya tidak mudah digeneralisasikan terhadap
sesuatu yang khusus.
Design penelitian yang diterapkan dalam penelitian ini
menggunakan studi kasus, dalam arti penelitian difokuskan pada isu-
isu ekologi yang ada didalam novel terjemahan Pakt Tua yang
Membaca Kisah Cinta karya Luis Sepulveda. Data yang telah diperoleh
kemudian dipahami secara mendalam.
2. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah novel terjemahan Pak Tua
yang Membaca Kisah Cinta karya Luis Sepulveda. Novel ini terbagi
menjadi beberapa bab yang menceritakan secara urut
kejadian/pengalaman yang dialami oleh tokoh dalam novel. Pemilihan
novel ini menggunakan teknik sampling karena novel tersebut cukup
kental mengangkat isu-isu ekologi dan juga memperlihatkan bagaimana
tokoh dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Seluruh data
yang disajikan diambil dari novel tersebut yang divokuskan sesuai
dengan rumusan masalah yang hendak dicapai yaitu tentang isu-isu
ekologi dan bagaimana interaksi tokoh dengan lingkungan sekitarnya.
3. Data dan Sumber Data
Sesuai dengan pendekatan dan metode penelitian sastra yaitu
pendekatan kualitatif, maka data penelitian sastra juga data kualitatif.
Data penelitian digali dari unsur-unsur sastra yang terdapat salam teks
sastra. Sesuai dengan pendapat sudaryanto (2002: 5-6) data penelitian
harus berkualifikasi Valid (Shahih) dan Realiable (terandal) maka data
dari penelitian ini berwujud kata, ungkapan, kalimat, dan wacana dalam
hal ini diperoleh dari novel terjemahan Pak Tua yang Membaca Kisah
Cinta.
Adapun sumber data dalam penelitian ini terbagia tas dua sumber
data, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data
primer yaitu sumber data yang digali dari karya sastra yang menjadi

41
sasaran penelitian. Data primer dalam penelitian ini berupa data lunak
berwujud kata, ungkapan, kalimat atau bentuk ekspresi lain yang
diambil dari teks novel terjemahan Pak Tua yang Membaca Kisah
Cinta.
Sumber data sekunder sebagai pendukung data primer dalam
penelitian ini diambil dari buku-buku hasil penelitian/pengkajian sastra,
buku-buku teks, artikel-artikel ilmiah, dan laporan penelitian sastra baik
berupa skipsi, tesis, maupun disertasi yang isinya sesuai dengan objek
atau masalah dalam penelitian ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan atau Penyediaan data dapat dilakukan dengan
teknik pustaka, simak, dan catat (Ratna 2007). Pemerolehan data
penelitian yang telah dikumpulkan berupa data primer dan sekunder
dilakukan dengan teknik yang berbeda. Teknik baca dan teknik catat
digunakan untuk mengunpulkan data Primer. Sedangkan data sekunder
diperoleh dari teknik riset kepustakaan. Berikut ini teknik-teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini.
a. Teknik Baca
Membaca novel terjemahan Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta
secara cermat dan teliti lalu menghubungakannya dengan
permasalahan penelitian yang sudah dirumuskan.
1) Membaca novel terjemahan Pak Tua yang Membaca Kisah
Cinta secara cermat dan teliti, sehingga memperoleh
pemahaman mengenai gambaran kritik ekologi (ekokritik)
yang terdapat dalam novel.
2) Membaca novel terjemahan Pak Tua yang Membaca Kisah
Cinta secara cermat dan teliti, sehingga memperoleh
pemahaman mengenai gambaran interaksi tokoh dengan alam
dan lingkungan.
3) Menafsirkan dan membuat deskripsi dari data, sehingga dapat
diperoleh hasil penelitian berupa implikasi proses ekokritik

42
dalam pembelajaran sastra di SMA/SMK/MA/sederajat
Kurikulum 2013.
b. Teknik Catat
1) Mencatat bagian-bagian dari sumber data yang sesuai dengan
permasalahan yang berhubungan dengan fokus dalam rumusan
masalah.
2) Mencatat ciri-ciri tertentu yang dimiliki satuan-satuan tersebut
menggunakan kertas data.
c. Teknik Riset Kepustakaan
1) Mencari dan menemukan data dari berbagai sumber, seperti
buku, artikel atau hasil penelitian berupa skipsi, tesis maupun
disertasi sebagai refrensi yang mendukung subjek dan fokus
penelitian. Hal tersebut digunakan untuk mengaplikasikan
data berdasarkan teori yang sesuai.
2) Menelaah data yang telah diperoleh sebagai sumber tertulis
yang berhubungan dengan permasalahan/rumusan masalah
dalam penelitian.
5. Keabsahan Data
Penelitian kualitatif secara umum menggunakan teknik
trianggulasi, yakni teknk validitas data yang memanfaatkan sarana
diluar data untuk keperluan pengecakan atau pembanding terhadap data
itu (Maleong, 1995:178). Menurut Patton (dalam H.B. Sutopo 2002:78)
trianggulasi data meliputi empat macam, yaitu (1) trianggulasi data, (2)
trianggulasi peneliti, (3) trianggulasi metode, dan (4) trianggulasi teori.
Secara khusus penelitian ini menggunakan trianggulasi data, yaitu
mengumpulkan data yang sama dari berbagai sumber untuk dicek ulang
pada sumber data yang lain.
Validitas semantik digunakan untuk menguji keabsahan data
yang digunakan dalam penelitian ini. Yaitu dengan cara mengamati
data yang berupa unit-unit kata, kalimat, wacana, dialog, monolog,
interaksi antar tokoh, dan peristiwa dari berbagai data yang ditemukan

43
untuk mengamati seberapa jauh data tersebut dapat dimaknai sesuai
dengan konteksnya (Endraswara 2006:164).
Untuk memperdalam pemahaman dan memperkuat hasil
penelitian terhadap fokus masalah yang akan dikaji dilakukan dengan
refew informan/ narasumber (informan refew). Data yang telah
terkumpul dan dianalisis dikonfirmasikan dengan pakaratau
narasumber yang bersangkutan. Dalam hal ini adalah Prof. Dr Ali
Imron Alma’ruf M.Hum sebagai dosen ahli dalam bidang sastra.
6. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunan dalam penelitian ini
menggunakan prinsip dasar penelitian kualitatif. Prinsip dasar ini
menggunakan model interaktif, yakni dengan menggunakan langkah-
langkah: (1) reduksi data, (2) sajian data, dan (3) penarikan kesimpulan
atau verifikasi (H.B. Sutopo 2002:95-96). Sebelum melangkah proses
diatas, dilakukan terlebih dahulu pengumpulan data.
Pengumpulan data dilakukan menggunakan metode yang telah
diterangkan diatas. Data berupa verbal yang ada dalam novel
terjemahan Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta, baik berupa kata,
frasa, atau satu kalimat. Data yang telah terkumpul kemudian
diklasifikasikan terlebih dahulu. Klasifikasi data mencakup unsur-
unsur sastra yang terekspresikan sebagai kata, ungkapan, kalimat, dan
bentuk lainnya dalam teks sastra. Semua data yang berkaitan dengan
aspek yang diteleiti yang talah diklasifikasikan kemudian dikaji secara
kritis dan mendalam.
Selanjutnya adalah reduksi data, yaitu dengan mengolah data
yang sudah diklasifikasikan kemudian diseleksi untuk memilih data
yang berlimpah untuk dipilah sesuai dengan fokus penelitian. Data yang
diperoleh dikaji untuk memperoleh pemahaman tentang aspek paling
khas dan menonjol sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan
penelitian.
Selanjutnya adalah menyajikan data yang diperoleh dari proses
merakit atau mengorganisasikan informasi yang ditemukan untuk

44
ditarik kesimpulan. Penyajian data sesuai dengan klasifikasi yang telah
dilakukan, yang berkaitan dengan kajian ekokritik sesuai rumusan
masalah. Yang terakhir adalah menarik kesimpulan dari
pengorganisasian data yang diperoleh dari analisis data.
Proses analisis data diatas disesuaikan dengan metode kajian
ekokritik khususnya mengenai bentuk-bentuk kritik ekologi dan
mendekripsikan hubungan tokoh dengan lingkungan alam dalam novel
Pak Tua Yang Membaca Kisah Cinta sebagai berikut.
a. Mendeskripsikan bentuk-bentuk kritik ekologi yang terdapat dalam
novel Pak Tua Yang Membaca Kisah yang ditemukan berdasarkan
data-data yang dicatat dalam kertas data untuk memperoleh
pemahaman dalam memahami bentuk-bentuk kritik ekologi Cinta.
b. Mendekripsikan hubungan tokoh dengan lingkungan alam yang
ditentukan dari data-data yang tela diperoleh dari novel Pak Tua
Yang Membaca Kisah Cinta.
c. Mendeskripsikan implikasi proses ekokritik dalam pembelajaran
sastra di SMA/SMK/MA/sederajat Kurikulum 2013.

45
Daftar Pustaka

A, Wellek R & Warren. 1990. Teori Kesusastraan (Diterjemahkan Oleh: Melani


Budiana). Jakarta: Gramedia.
Aminuddin. 1995. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru
Algesindo.
———. 2015. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru
Algesindo.
Dewi, Novita. 2015. “Manusia Dan Lingkungan Dalam Cerpen Indoneia
Kontemporer: Analisis Ekokritik Cerpen Pilihan Kompas.” Litera 14(2):
376–91.
Dewojati, Cahyaningrum. 2019. “Pengembangan Pembelajaran Penulisan Kreatif
Berwawasan Lingkungangan Bidang Bahasa Dan Sastra Indonesia Bagi
Guru Dan Siswa Pondok Pesantren Muqimus Sunnah Di Palembang.” Bakti
Budaya 1(1): 45.
Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
widyatama.
———. 2016. Metodologi Penelitian Ekologi Sastra: Konsep, Langkah, Dan
Penerapan. Yogyakarta: CAPS (Center For Academic Publishing Service).
Fananie, Zainuddin. 2002. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University
Press.
Farida, Devi Nur. 2017. “Kritik Ekologi Sastra Puisi Perempuan Lereng Gunung
Karya Ika Permata Hati Dalam Antologi Puisi Perempuan Di Ujung Senja
Memalui EKofeminisme Susan Griffin.” BASINDO: Jurnal Kajian Bahasa,
Sastra Indonesia, dan Pembelajarannya 1(2): 48–52.
Ginting, Sukada I. 2012. Teori Etika Linfkungan. Denpasar: Udayana Universiti
Press.
H.B. Sutopo. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret
University Press.
———. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret University
Press.
Harsono, Siswo. 2008. “Ekokritik : Kritik Sastra Berwawasan Lingkungan.”
Ekokritik 32(1): 31–50.
Juliasih. 2012. “Manusia Dan Lingkungan Dalam Novel Live In The Iron Milis
Karya Rebecca Hardings Davis.” Litera 11(1): 83–97.
Keraf, A. Sony. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Kompas.
Kinayati Djojosuroto. 2006. Analisis Teks Sastra Dan Pengajarannya.
Yogyakarta: Pustaka.
Lisnasari, Lilik, and Sony Sukmawan. 2016. “Berhulu Welas Asih Pepitu,
Bermuara Narasi Arkadia: Kajian Ekokritik Cerita Rakyat Tengger.” Jurnal
Ilmiah Edukasi & Sosial 7(2): 167–76.
Mubarok, Zaky. 2017. “Kajian Ekokritik Pada Naskah Drama Kisah Perjuangan
Suku Naga Karya Rendra.” Sasindo Unpam 5(2): 1–24.
http://openjournal.unpam.ac.id/index.php/Sasindo/article/download/849/708.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajahmada
University Press.
———. 2000. Teori Pengkajian FIksi. Yogyakarta: Gajahmada University Press.
Nurul Setyorini, Nurika Irma. 2018. “Reperesentasi Krisis Ekologi Di Indonesia

46
Puisi Membaca Tanda-Tanda Dan Menengadah Ke Atas Merenungi Ozon
Yang Tak Nampak Karya Taufik Ismail.” Bahtera 5(9): 317–29.
Pradopo, Rahmat Djoko. 2002. Kritk Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta:
Gama Media.
Ramadhani, Alfi Yusrina. 2013. “Relasi Antara Manusia Dan Lingkungan Hidup
Dalam Novel Partikel Karya Dewi Lestari : Sebuah Kajian Ekokritisisme.”
Sirok Sastra 1(2): 221–29.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Penelitian Sastra: Teori, Metode, Dan Teknik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
———. 2009. Teor, Metode, Dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Sayuti, Sumito Ahmad. 2000. Berkenalan Dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta:
Gama Media.
Setyowati. 2018. “Problematika Lingkungan Hidup Dalam Syair Lagu Populer
Indonesia (Studi Ekologi Sastra).” Jurnal Ilmiah FONEMA : Jurnal Edukasi
Bahasa dan Sastra Indonesia 1(1): 45–63.
Soejono. 2005. Metode Penelitian: Suatu Pemikiran Dan Penerapan. Jakarta:
Rineka Cipta.
Sudaryanto. 2002. Metode Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Sugiarti. 2009. “Analisis Kritis New Histiricism Terhadap Novel Indonesia
Modern Dalam Kerangka Sejarah Sastra.” Jurnal litera 8(2): 165–78.
———. 2017. “Ekologi Budaya Dalam Sastra Sebagai Pembentuk Karakter
Peserta Didik.” In Prosiding SSENASBASASENASBASA, , 397–402.
Sukada, Made. 2013. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia: Masalah Sistematika
Unsur Fiksi. Bandung: Angkasa.
Sukmawan, Sony, and Aji Setyanto. 2016. “Kearifan Ekologi Dalam Sastra Lisan
Tengger Dan Pemanfaatannya Sebagai Sarana Mitigasi Bencana.” Jurnal
Ilmiah Edukasi & Sosial 8(2): 149–59.
Supardi, Imam. 2003. Lingkungan Hidup Dan Kelestariannya. Bandung: Alumni.
Susilo, Ragil. 2017. “Kajian Ekologi Sastra Cinta Semanis Racun 99 Cerita Dari 9
Penjuru Dunia Terjemahan Anton Kurnia.” Nosi 5(5): 1–10.
Widianti, Ande Wina. 2017. “Kajian Ekologi Sastra Dalam Kumpulan Cerpen
Pilihan Kompas 2014 Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon.” Jurnal
Diksatrasia 1(2): 1–9.
Wiyatmi. 2009. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Book Publishe.
Yani, Ahmad, and Bagja Waluya. 2010. Pendidikan Lingkungan Hidup Untuk
Kelas X SMA/MA. Bandung: CV. Mughni Sejahtera.
Zulkifli, Arif. 2014. Dasar-Dasar Ilmu LIngkungan. Jakarta: Salemba Teknika.

47
Lampiran

48

Anda mungkin juga menyukai