Anda di halaman 1dari 45

NILAI MORAL DALAM NOVEL SI ANAK BADAI KARYA TERE LIYE

PROPOSAL

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
pada Jurusan/Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

OLEH

MARWANTI
A1M116031

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
PERSETUJUAN PEMBIMBING

PROPOSAL

NILAI MORAL DALAM NOVEL SI ANAK BADAI KARYA TERE LIYE

Oleh

MARWANTI
A1M116031

Telah diperiksa secara teliti dan disetujui oleh dosen pembimbing untuk diajukan
kehadapan panitia seminar proposal pada Jurusan/Prodi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo.

Kendari, November 2019


Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. H. Haerun Ana, M.Pd. Dr. Sumiman Udu, S.Pd.,M.Hum


NIP. 196412311990031034 NIP. 197512012001121004

Mengetahui,
a.n. Dekan FKIP
Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Dra. Sri Suryana Dinar, M. Hum.


NIP. 19671101 199303 2 001
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................ ii

DAFTAR ISI .................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………………………………………………………...
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………….
1.3 Tujuan Penelitia……………………………………………………….
1.4 Manfaat Penelitian…………………………………………………….
1.5 Batasan Operasional…………………………………………………..

BAB II KAJIAN PUSTAKA


2.1 Pengertian Sastra ........................................................................................
2.2 Pengertian Novel ........................................................................................
2.2.1 Unsur-Unsur yang Membangun Novel .............................................
2.3 Pengertian Nilai Moral.…………………………………………………..
2.3.1 Pengertian Nilai……………………………………………………
2.3.2 Pengertian Moral ...............................................................................
2.4 Jenis Nilai Moral…………………………………………………………
2.4.1 Hubungan Manusia Denngan Diri Sendiri………………………..
2.4.2 Hubungan Manusia Dengan Manusia Dalam Lingkup Sosial…….
2.4.3 Hubungan Manusia Dengan Alam Semesta
2.5 Hubungan Manusia Dengan Tuhannya ......................................................
2.6 Pendekatan Moral……………………………………………………….

BAB III METODE DAN TEKNIK PENELITIAN


3.1 Jenis dan Metode Penelitian .......................................................................
3.2 Data dan Sumber Data ...............................................................................
3.3 Teknik Pengumpulan Data………………………………………………
3.4 Teknik Analisis Data ..................................................................................

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Karya sastra merupakan hasil kreativitas manusia sebagai cerminan
kehidupan manusia. Hal tersebut terlihat dari permasalahan yang di tuangkan di
dalam karya sastra juga sering terjadi di dunia nyata atau sebaliknya. Akan tetapi
karena karya sastra merupakan hasil kreatif manusia jadi tidak semata-mata karya
sastra tersebut merupakan duplikasi dari kehidupan nyata, melainkan ada unsur
kreatif di dalamnya berlandaskan permasalahan yang ada di dunia nyata.
Karya sastra juga dapat dikatakan sebagai penciptaan kembali oleh pengarang
dari suatu permasalahan yang nyata dengan bahasa sebagai media
penyampaiannya. Sebagai seni yang lahir dari hasil kreatif manusia, karya sastra
tidak hanya sebagai media untuk menyampaikan gagasan, teori, ide atau sistem
pemikiran manusia, akan tetapi harus mampu menciptakan kreasi yang indah dan
menyenangkan. Karya sastra yang ditulis merupakan ungkapan masalah-masalah
manusia dan kemanusiaan, tentang makna hidup dan kehidupan, melukiskan
penderitaan-penderitaan manusia, perjuangannya, kasih sayang dan kebencian,
nafsu, dan segala yang dialami manusia pendapat Esten (Wicaksono, 2014 : 3).
Novel sebagai salah satu bentuk karya sastra selalu menceritakan kehidupan
manusia, menggambarkan jalinan peristiwa tentang kehidupan manusia dan
mampu memberi renungan tentang makna dan hakikat kehidupan. Novel selalu
menghadirkan nilai yang positif dan negatif yang mampu memberi pembacanya
pengetahuan dan pengalaman maupun menyegarkan kembali suatu sejarah,
budaya, atau peristiwa yang pernah terjadi di masa lampau. Karya sastra sebagai
sebuah tiruan kehidupan sosial, budaya dan politik juga menampilkan nilai-nilai
moral yang dapat dijadikan sebagai pembelajaran oleh para pembacanya.
Nilai moral yang terkandung dalam karya sastra juga bertujuan untuk
mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai etika dan budi pekerti. Nilai
pendidikan moral menunjukkan peraturan-peraturan tingkah laku dan adat istiadat
seorang individu dari suatu kelompok yang meliputi perilaku, tata karma
yang menjunjung tinggi budi pekerti dan nilai asusila (Wicaksono, 2014 : 311).
Pesan moral dalam sebuah karya sastra biasanya menceritakan pandangan
hidup pengarang yang timbul karena konflik yang terjadi disekitar lingkungan
tempat hidup si pengarang ataupun pengalaman batin yang dialaminya. Pesan
moral dalam sebuah karya sastra biasanya ditampilkan secara implisit sehingga
pembaca dapat menyimpulkan sendiri baik buruk cerita dan dampaknya di
kemudian hari. Ajaran moral dalam karya sastra seringkali tidak secara langsung
disampaikan, namun melalui hal-hal yang seringkali bersifat amoral. Misalnya
novel, banyak sastrawan yang memberikan batasan atau definisi novel.
Novel sebagai sebuah karya sastra atau karya fiksi menawarkan sebuah
dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang
dibangun melalui berbagai unsure intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh dan
penokohan, latar, sudut pandang, dan amanat yang semuanya bersifat imajinatif
pendapat Abrams (Nurgiyantoro, 2013: 5).
Novel dapat dikaji dari unsur intrinsiknya untuk mengetahui sejauh mana
karya sastra itu dinikmati oleh pembacanya. Tanggapan pembaca terhadap satu
novel yang sama tentu akan berbeda-beda sesuai dengan tingkat pemahaman dan
daya imajinasi pembaca lainnya. Novel merupakan bagian dari genre prosa fiksi.
Novel termasuk fiksi (fiction) karena novel merupakan hasil khayalan atau
sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Herman J.,( dalam Wicaksono, 2014 : 140).
Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya
dengan lingkungan dan sesama, interaksinya dengan diri sendiri, serta
interaksinya dengan Tuhan. Pada dasarnya, prosa fiksi merupakan karya
imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitas
sebagai karya seni. Oleh karena itu, fiksi merupakan sebuah cerita yang di
dalamnya terkandung tujuan untuk memberikan hiburan kepada pembaca di
samping adanya tujuan estetik (Nurgiyantoro, 2013: 3).
Di dalam karya sastra, sarana yang digunakan untuk mengungkapakan cerita
adalah unsure intrinsik. Unsur intrinsik sastra adalah unsur dalam yang
membangun keutuhan karya sastra. Unsur intrinsik karya sastra adalah tema,
penokohan, latar, sudut pandang,dan amanat. Di dalam novel Si Anak Badai karya
Tere Liye, unsur intrinsik yang digunakan untuk mengungkapkan nilai moral
adalah penokohan.
Tere Liye mempunyai nama asli Darwis yang lahir pada tanggal 21 Mei 1979
di Palembang, Sumatera Selatan.Tere Liye merupakan anak keenam dari tujuh
bersaudara dengan orang tua yang berprofesi sebagai petani. Beliau dibesarkan
dalam sebuah keluarga yang sangat sederhana. Ayahnya bernama Pasai (telah
meninggal beberapa tahun yang lalu) dan ibunya bernama Nursam. Beliau
menikah dengan Riski Amelia dan dikaruniai dua orang anak yang bernama
Abdullah Pasai dan Faizah Azkia. Riwayat pendidikan Tere Liye alias Darwis
adalah SDN 2 dan SMPN 2 Kikim Timur, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan,
SMAN 9 Bandar Lampung dan meneruskan kuliah di Universitas Indonesia
dengan mengambil Fakultas Ekonomi.
Adapun berikut beberapa karya-karya Tere Liye sampai saat ini. Cintaku
Antara Jakarta dan Kuala Lumpur (Penerbit AddPrint, 2005), Mimpi-Mimpi Si
Patah Hati (Penerbit AddPrint, 2005), Rembulan Tenggelam di Wajahmu
(Grafindo 2006 & Republika 2009), Hafalan Shalat Delisa (Penerbit Republika,
2007), Moga Bunda Disayang Allah (Penerbit Republika, 2007), Bidadari-
bidadari Surga (Penerbit Republika, 2008), Senja Bersama Rosie (Penerbit
Grafindo, 2008), Burlian Serial Anak-anak Mamak (Penerbit Republika, 2009),
Pukat Serial Anak-anak Mamak (Penerbit Republika, 2010). Daun yang Jatuh tak
Pernah Membenci Angin (Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2011). The
Gogons Series : James & Incridible Incodents (Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama, 2011), Sang Penandai (Penerbit Serambi, 2011), Ayahku (bukan)
Pembohong (Penerbit PT Gramedian Pustak Utama, 2011), Eliana Serial Anak-
Anak Mamak (Penerbit Republika, 2011), Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah
(Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2012). Negeri para Bedebah (Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama, 2012), Negeri di Ujung Tanduk (Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama, 2013), Rindu (Penerbit Republika, 2014). Si Anak Kuat (Penerbit
Republika, 2018), Si Anak Pemberani (Penerbit Republika, 2018), Si Anak Pintar
(Penerbit Republika, 2018), Si Anak Spesial (Penerbit Republika, 2018), Dia
Adalah Kakakku (Penerbit Republika, 2018), Si Anak Badai (Penerbit Republika,
2019).
Si Anak Badai merupakan novel terbaru yang ditulis Tere Liye yang
berlatarkan tentang perjuangan dan keberanian. Empat orang anak laki-laki kelas
6 SD yang terdiri atas Zaenal, Ode, Awang dan Malim yang menamai
perkumpulannya ‘Geng Si Anak Badai’, mereka yang tumbuh ditemani suara
aliran sungai, riak permukaan muara, dan deru ombak lautan. Mereka hidup di
atas air yaitu di kampung Manowa. Namun, suatu hari nanti kampung mereka
yang indah mengalami ancaman dan bahaya besar. Berkat perjuangan dan
kegigihan penduduk kampung Manowa, khususnya Geng Si Anak Badai yang
penuh tekad dan keberanian mempertahankan kampung halaman yang menjadi
milik mereka, gangguan bisa diatasi. Mereka pantang menyerah, ketika kegagalan
menyapa, mereka terus bangkit, bangkit, dan mencoba lagi, semangat mereka
begitu menggebu, hari-hari penuh keceriaan dan petualangan seru”.
Buku yang diterbitkan pada Agustus 2019 merupakan novel berdrama
keluarga, persahabatan, cinta, perjuangan dan sekaligus penghianatan dengan latar
belakang di sebuah kampung Manowa yang terletak di atas air. Di dalam novel Si
Anak Badai terdapat 25 sub judul cerita karya Tere Liye yang menyuguhkan
bacaan yang sangat memberi inspirasi pembacanya dengan gaya bahasa yang
mudah dimengerti. Dalam novel Si Anak Badai ini kita akan menjumpai nilai-nilai
moral yang ada didalamnya. Novel Si Anak Badai mengandung nilai moral dan
kelebihan yang dapat dijadikan sebagai contoh dalam menjalankan kehidupan
sehari-hari.
Di dalam novel tersebut terdapat tokoh yang memiliki sifat yang baik seperti
suka menolong, peduli nasib orang lain atau empati, solidaritas dan baik budi
pekertinya dan ada juga tokoh yang memiliki sifat yang tidak baik. Salah satu
contoh sifat suka menolong dan peduli nasib orang lain/empati yang ditunjukkan
tokoh Zaenal, dapat dilihat pada kutipan novel berikut ini:
“Aku harus berhitung cepat. Aku memang bukan anak nelayan, aku hanya
anak pegawai kecamatan. Tetapi pelaut tidak ada urusannya dengan siapa
orangtua kita. Pelaut sejati mengandalkan pengalaman dan kecakapan”. –
Zenal (halaman 246).
Kutipan ini menyadarkan kita bahwa ini bukan tentang dari mana kita berasal,
melainkan bagaimana diri kita saat ini dan bisa belajar untuk berjuang
memecahkan masalah yang kita hadapi. Meskipun Zaenal bukan anak nelayan,
dengan kecakapan yang dia miliki, buktinya ia mampu mengatasi dan
menyelamatkan sahabatnya Ode saat diterjang badai. Perbuatan tokoh Zaenal
menggambarkan nilai moral yang baik untuk dicontoh dan dijadikan landasan
dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis memilih mengkaji nilai moral dalam novel Si Anak Badai karya. Tere
Liye dalam penelitian ini karena di dalamnya sarat dengan nilai-nilai kehidupan.
Selain itu, novel ini banyak menampilkan nilai moral mengenai nilai-nilai
keberanian, peduli terhadap sesama teman, suka tolong menolong dalam
berperilaku sehingga dapat dijadikan panutan bagi pembaca. Selain karena nilai-
nilai moral yang terkandung dalam novel tersebut, alasan lain yang
melatarbelakangi penulis memilih judul “Nilai Moral dalam Novel Si Anak
Badai” karena novel ini belum pernah diteliti khususnya di Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Halu Oleo. Nilai moral yang terdapat di dalam novel Si
Anak Badai karya Tere Liye diharapkan dapat memberikan konstribusi yang
bermanfaat bagi upaya pengembangan bahan pembelajaran sastra Indonesia di
sekolah.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka masalah dalam penelitian


adalah bagaimana nilai moral yang terdapat dalam novel Si Anak Badai karya
Tere liye ?

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan dan menganalisis nilai
moral yang terdapat dalam novel Si Anak Badai karya Tere liye.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pembaca sebagai penikmat sastra akan lebih memahami nilai moral yang
terkandung dalam novel Si Anak Badai karya Tere Liye.
2. Pemberi motivasi atau masukan terhadap guru dan siswa dalam
menganalisis atau mencari makna yang terkandung dalam sebuah karya
sastra khususnya novel.
3. Sumbangsi bagi ilmu pengetahuan khususnya kesastraan sehingga dapat
di jadikan bahan bandingan dan rujukan pada penelitian lain sejalan
dengan penelitian ini.

1.5 Batasan Operasional


1. Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas dan
berguna bagi manusia. Seuatu itu bernilai, berarti sesuatu itu berharga
atau berguna bagi kehidupan manusia.
2. Moral adalah ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan mengenai
akhlak, budi pekerti, kewajiban, dan sebagainya.
3. Novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita
kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan
watak dan sifat setiap pelaku.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Sastra


Secara etimologis (makna kata berdasarkan asal usulnya), kata sastra dalam
bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta, sastra. Dalam bahasa
Sansekerta, kata sastra dibentuk dari akar kata sas- dan –tra. Akar kata sas-
(dalam kata kerja turunan) menunjukkan arti mengarahkan, mengajar, memberi
petunjuk atau instruksi, sedangkan akar kata –tra menunjukkan arti alat atau
sarana. Dengan demikian, sastra dapat berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk,
buku instruksi atau buku pengajaran (Sehandi, 2018: 2).
Secara leksikal (makna kata berdasarkan kamus), sastra diartikan sebagai
“bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa
sehari-hari), kesustraan” KBBI (Sehandi, 2018: 3).
Sastra adalah lembaga social yang menggunakan bahasa sebagai medium,
bahasa merupakan ciptaan social. Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan
kehidupan adalah suatu kenyataan social. Seluruh peristiwa yang terjadi dalam
batin seseorang yang sering menjadi bahan sastra adalah pantulan hubungan
seseorang dengan orang lain atau masyarakat (Wicaksono, 2014: 12).
Karya sastra sebagai potret kehidupan masyarakat dapat dinikmati, dipahami,
dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Sebuah karya sastra tercipta karena
adanya pengalaman batin pengarang berupa peristiwa atau problem yang menarik
sehingga muncul gagasan dan imajinasi yang dituangkan dalam bentuk tulisan.
Termasuk Damono (Wicaksono, 2014: 1-2) menyatakan bahwa karya sastra
menampilkan gambaran kehidupan itu sendiri adalah suatu social. Sastra juga
bagian dari masyarakat, kenyataan demikian melihat para pengarang uantuk
melibatkan dirinya dalam tata kehidupan masyarakat tempat mereka berada dan
mereka memperjuangkan posisi struktur social dan permasalahan yang dihadapi di
masyarakat. Social dan budaya yang berkembang di masyarakat sangat
terpengaruh dalam isi dan tema yang tertuang dalam suatu karya sastra. Maka dari
itu, materi dan tema karya sastra sangat dipengaruhi oleh social dan budaya
pengarang. Bahkan, isi karyanya dapat mencerminkan social dan budaya
masyarakat pada saat karya itu diciptakan serta keadaan social dan budaya
sastrawannya.
Sastra merupakan salah satu gejala kebudayaan yang bersifat universal,
terdapat dalam setiap masyarakat manusia, kapan dan di mana saja. Secara
potensial, setiap orang pada setiap zaman dan pada setiap temapat dapat bersastra,
apakah bersastra secara aktif atau pasif. Seni sastra merupakan sebuah bidang
kebudayaan manusia yang paling tua, yang mendahului cabang-cabang
kebudayaan manusia lainnya pendapat Taum (Sehandi, 2018: 6).
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengemukakan bahwa sastra adalah
“karya tulis yang bila dibandingkan dengan tulisan lain, cirri-ciri keunggulan,
seperti keaslian, keartistikan, dan keindahan dalam isi dan ungkapannya”. Karya
sastra berarti karangan yang mengacu pada nilai-nilai kebaikan yang ditulis
dengan bahasa yang indah. Sastra memberikan wawasan yang umum tentang
masalah manusiawi, social, maupun intelektual dengan caranya yang khas.
Pembaca sastra dimungkinkan untuk menginterprestasikan teks sastra sesuai
dengan wawasannya sendiri. Sastra juga merupakan obyek dari gejolak emosional
seorang penulis dalam mengungkapkan seperti perasaan sedih, frustasi, gembira
dan sebagainya.
Berdasarkan berbagai tinjauan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sastra
adalah ekspresi pengalaman mistis dan estetis manusia melalui media bahasa
sebagai kreativitasnya yang bersifat imajinatif. Ekspresi pengalaman mistis dan
estetis itu, membuat manusia merasa tenteram dan menggembirakannya, karena di
dalamnya manusia mengenali hubungan yang akrab dan hangat antara dirinya
dengan sumber atau asas segala sesuatu yang menarik, mengikat, memikat, dan
memanggil manusia untuk selalu dekat kepada Sang Penciptanya pendapat Taum
(Sehandi, 2018: 5).
Karya sastra lahir dari seorang sastrawan. Akan tetapi, seorang sastrawan itu
bukan pulau terpencil, ia adalah makhluk sosial. Perkembangan individu
sastrawan banyak dipengruhi oleh faktor lingkungan, termasuk masyarakatnya.
Seorang sastrawan belajar menjadi sastrawan dari lingkungan masyarakatnya.
Sastra lahir akibat dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan dirinya
menaruh minat terhadap masalah manusia dan kemanusiaan, menaruh minat
terhadap realitas yang berlangsung sepanjang zaman. Selain itu, karya sastra
muncul dari sesuatu yang menjadikan pengarang mempunyai rasa empati pada
suatu peristiwa yang ada di dunia ini. Peristiwa tersebut dapat mempengaruhi
keadaan jiwa pengarang sehingga memunculkan pertentangan batin yang
mendorong untuk memunculkan karya sastra. Sastra yang dilahirkan dari para
sastrawan diharapkan dapat member kepuasan estetik dan intelek bagi orang lain
atau pembaca. Karya yang ditulis merupakan ungkapan masalah-masalah manusia
dan kemanusiaan, tentang makna hidup dan kehidupan, melukiskan penderitaan-
penderitaan manusia, perjuangan, kasih sayang dan kebencian, nafsu, dan segala
yang dialami manusia pendapat Esten (Wicaksono, 2014: 3).
Karya sastra merupakan hasil cipta masyarakat atau sastrawan yang lahir dari
fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat, sehingga dengan membaca dan
memahami karya sastra berarti membaca dan memahami fenomena kehidupan.
Berbagai fenomena kehidupan tersebut dituangkan dalam bentuk karya sastra
sesuai dengan konsep, pandangan, kemampuan, dan kreativitas pengarang
meramu realitas kehidupan ke dalam suatu bentuk karya imajinatif yang mampu
memberi kenikmatan dan manfaat bagi kehidupan manusia.
Karya sastra adalah termasuk karya seni, seperti halnya karya-karya seni
lainnya: seni musik, seni lukis, seni tari, dan sebagainya, di dalamnya sudah
mengandung penilaian seni. Dan kata seni ini berhubungan dengan pengertian
“indah” atau “keindahan”. Kembali pada karya sastra, karya sastra sebagai karya
seni memerlukan pertimbangan, memerlukan penilaian akan seninya pendapat
Pradopo (Salfia, 2015: 1).
Wellek (Salfia, 2015: 1) mengatakan bahwa kita tidak bisa menolak untuk
menghargai karya sastra, hanya karena kita tidak percaya bahwa sastra memiliki
suatu “nilai estetis” puncak yang tidak bisa di kurangi. Berdasarkan suatu sistem
nilai yang “nyata” dan final, kita bisa membagi atau memberi karya seni tertentu,
atau seni pada umumnya, “sepotong” atau sejumput nilai. Seperti sejumlah filsuf,
kita dapat menganggap seni sebagai suatu bentuk pengetahuan yang primitive dan
lebih rendah. Atau, kita dapat mengukur sastra berdasarkan kemampuan untuk
melakukan tindakan. Bisa juga kita menilai sastra pada cakupannya yang luas,
yang meliputi apa saja.
Karya sastra yang ditulis merupakan ungkapan masalah-masalah manusia dan
kemanusian, tentang makna hidup kehidupan, melukiskan penderitaan-
penderitaan manusia, perjuangannya, kasih sayang dan kebencian, nafsu, dan
yang dialami manusia. Menurut Wicaksono (2014: 2) karya sastra adalah
imajinatif pengarang yang menggambarkan kehidupan masyarakat dan barangkali
sesuai pada waktu karya sastra itu diciptakan. Luxembung (Wicaksono, 2014: 11)
lebih jauh menilai sastra sebagai.

1. Karena sifat rekaannya, sastra secara langsung tidak mengatakan sesuatu


mengenai kenyataan dan juga tidak menggugah kita untuk langsung
bertindak. Oleh karena itu sastra memberikan kemungkinan dan
keleluasan untuk memperhatikan dunia-dunia lain, kenyatan-kenyataan
yang hanya hidup dalam angan-angan, sistem-sistem nilai yang dikenal
atau bahkan tidak dihargai.
2. Sambil membaca sebuah karya sastra kita dapat mengadakan identifikaasi
dengan seorang tokoh, dengan orang lain.
3. Bahasa sastra dan pengolahan lewat sastra dapat membuka batin kita bagi
pengalaman baru atau mengajak kita untuk mengaturpengalaman tersebut
dengan suatu cara baru.
4. Selain itu, bahasa sastra dan sama-sama sastra masih mempunyai nilai
dan tokoh-tokoh romantic selalu menekankan dan merumuskan kembali
pedari pengalaman estetik. Ini merupakan bagian dari pergaulan kita
dengan sastra dan bentuk seni lainnya.
5. Dalam lingkungan kebudayaan sastra merupakan sebuah sarana yang
sering dipergunakan untuk mencetuskan pendpat-pendapat yang hidup di
dalam masyarakat. Ini tidak berarti, pendapat itu selalu bermutu. Sastra
dapat disalahgunakan untuk mengungkapkan hal-hal yang tidak
diinginkan.
Karya sastra adalah bentuk kreativitas individu dalam bahasa yang berisi
sederetan pengalaman batin dan imajinasi yang berasal dari penghayatan atas
realitas- non-realitas sastrawannya. Karya sastra adalah suatu bentuk dan hasil
pekerjaan seni yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan
menggunakan bahasa sebagai medianya. Karya sastra merupakan ungkapan batin
seseorang melalui bahasa dengan cara penggambaran yang merupakan titian
terhadap kenyataan hidup, wawasan pengarang yang tidak berkaitan dengan
kenyataan hidup (rekaan peristiwa) atau dambaan intuisi pengarang, dan dapat
pula sebagai campuran keduanya (Wicaksono, 2014: 1).
Berdasrkan pendapat para ahli tersebut maka penulis menyimpulkan bahwa
karya sastra adalah gambaran batin atau kehidupan jiwa sastrawan yang
dituangkan melalui bahasa yang indah sehingga menjadi karya fiksi yang
imajinatif yang memberikan hiburan kapada masyarakat atau pembacanya.

2.2 Pengertian Novel


Novel adalah cerita, dan cerita yang digemari manusia sejak kecil. Dan tiap
hari manusia senang pada cerita, entah faktual, untuk gurauan, atau sekedar
ilustrasi dalam percakapan. Bahasa novel juga bahasa denotative, tingkat
kepadatan dan makna gandanya sedikit. Jadi novel mudah dibaca dan dicernakan
(Sumardjo, 1999: 11).
Novel (Inggris: novel) dan cerita pendek (disingkat: cerpen; Inggris: short
story) merupakan dua bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Bahkan,
dalam perkembangannya yang kemudian, novel dianggap bersinonim dengan
fiksi. Dengan demikian, pengertian fiksi seperti dikemukakan di atas, juga berlaku
untuk novel. Sebutan novel dalam bahasa Inggris dan inilah yang kemudian
masuk ke Indonesia berasal dari bahasa Italia novella (yang dalam bahasa Jerman:
novelle). Secara harfiah novella berarti ‘sebuah barang baru yang kecil’, dan
kemudian diartikan sebagai ‘cerita pendek dalam bentuk prosa’ pendapat Abrams
(Nurgiyantoro, 2013: 11-12).
Dari segi panjang cerita, novel jauh lebih panjang daripada cerpen. Oleh
karena itu, novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu
secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detil, dan lebih banyak melibatkan berbagai
permasalahan yang lebih kompleks. Hal itu mencakup berbagai unsur cerita yang
membangun novel itu. Namun, justru hal inilah yang menyebabkan cerpen
menjadi lebih padu, lebih memenuhi tuntutan ke-unity-an daripada novel. Karena
bentuknya yang pendek, cerpen menuntut penceritaan yang serba ringkas, tidak
sampai pada detil-detil khusus yang kurang penting yang lebih bersifat
memperpanjang cerita (Nurgiyantoro, 2009 : 11).
Pencapaian sifat kepaduan lebih sulit dibandingkan dengan cerpen. Novel
umumnya terdiri dari sejumlah bab yang masing-masing berisi cerita yang
berbeda. Hubungan antarbab, kadang-kadang, merupakan hubungan sebab akibat,
atau hubungan kronologis biasa saja, bab yang satu merupakan kelanjutan dari
bab-bab yang lain. Jika membaca satu bab novel saja secara acak, kita tidak akan
mendapatkan cerita yang utuh, hanya bagaikan membaca sebuah pragmen saja.
Keutuhan cerita sebuah novel meliputi keseluruhan bab. Hal semacam ini tidak
akan kita temui jika membaca cerpen yang telah mencapai keutuhan dalam
bentuknya yang pendek, yang barangkali, sependek satu bab novel (Nurgiyantoro,
2009 : 14).
Novel dan cerpen sebagai karya fiksi mempunyai persamaan, keduanya
dibangun oleh unsur-unsur pembangun (unsure-unsur cerita) yang sama,
keduanya dibangun dari dua unsur intrinsik dan ekstrinsik. Novel dan cerpen
sama-sama memiliki unsure peristiwa, plot, tema, tokoh, latar, sudut pandang, dan
lain-lain. Oleh karena itu, novel dan cerpen dapat dianalisis dengan pendekatan
yang kurang lebih sama. Namun demikian, terdapat perbedaan intensitas (juga
kuantitas) dalam hal “pengoperasian” unsur-unsur cerita tersebut (Nurgiyantoro,
2009: 10).
Menurut Semi, Atar (Wicaksono, 2014: 115) menyatakan bahwa novel
mengungkapkan suatu konsentrasi kehidupan pada suatu saat tegang, dan
pemusatan kehidupan yang tegas. Novel merupakan karya fiksi yang
mengungkapkan aspek kemanusiaan yang mendalam dan disajikan dengan halus.
Sebutan “novel” dalam bahasa Inggris, berasal dari Itali novella (yang dalam
bahasa Jerman novella). Secara harfiah novella berarti ‘sebuah barang baru yang
kecil, dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa’, novel
adalah cerita pendek yang diperpanjang, dan yang setengah panjang disebut
roman pendapat Abrams (Wicaksono, 2014: 114).
Novel ialah cerita yang panjang yang isinya menceritakan tokoh-tokoh
pelaku dalam rangkaian peristiwa dengan latar yang tersusun dan terartur. Istilah
lainnya ialah roman. Akhir-akhir ini kita menyamakan pengertian novel dengan
roman, karena pengaruh kesustraan yang kita terima dari Inggris. Dalam
kesustraan Inggris tidak dijumpai roman. Yang mereka gunakan ialah novel yang
tidak lain ialah roman. Dahulu istilah roman kita dari kesustraan Belanda,
sehingga kita mengenal roman dan membedakan roman dengan novel.
Disebutkanlah bahwa roman ialah karya yang mengisahkan para pelaku secara
panjang lebar, sejak kanak-kanak sampai dewasa bahkan sampai meninggal dunia
(Hendy, 1991: 57).
Istilah roman, novel, cerpen, dan fiksi memang bukan asli Indonesia
sehingga tidak ada pengerian yang khas Indonesia. Untuk mempermudah
peroslan, di samping pertimbangan bahwa pada kesastraan Inggris dan Amerika,
cenderung menyamakan istilah roman dan novel, dalam penulisan ini roman pun
dianggap sebagai novel ( Nurgiyantoro, 2013: 19).
Dari beberapa pendapat para ahli tersebut maka penulis menyimpulkan
bahwa novel adalah karya fiksi yang terbangun dari unsur intrinsik dan unsur
ekstrinsik yang menceritakan suatu peristiwa yang terjadi pada tokoh-tokohnya
yang sifatnya imajinatif.

2.2.1 Unsur-Unsur yang Membangun Novel


Sebuah novel merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang
bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur-
unsur, yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling
menggantungkan. Unsur-unsur pembangun sebuah novel yang kemudian secara
bersama membentuk sebuah totalitas itu di samping unsur formal bahasa, masih
banyak lagi macamnya. Pembagian unsur yang dimaksud adalah unsure intrinsik
dan esktrinsik. Kedua unsur inilah yang sering banyak disebut para kritikus dalam
rangka mengkaji dan atau membicarakan novel atau karya sastra pada umumnya
(Nurgiyantoro, 2013: 29).
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu
sendiri. Unsur instrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung)
turut serta membangun cerita. Unsur-unsur instrinsik tersebut menurut
Nurgiantoro yaitu tema, plot atau alur, latar, tokoh dan penokohan, serta gaya
bahasa.

2.2.1.1 Tema (Theme)


Menurut Stanton dan Kenny (Nurgiyantoro, 2009: 67) tema (theme)
adalah makna yang terkandung oleh sebuah cerita. Dilanjutkan oleh Hartoko dan
Rahmanto (Nurgiantoro, 2009: 68) tema merupakan gagasan dasar umum yang
menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur
semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan.
Selanjutnya pengertian tema yang lain dikemukakan pula oleh Stanton
(Nurgiyantoro, 2009: 70) mengartikan tema sebagai “makna sebuah cerita yang
secara khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara sederhana”.
Tema, menurutnya kurang lebih dapat bersinonim dengan ide utama (central idea)
dan tujuan utama (central purpose).
Tema sebagai makna pusat dalam sebuah cerita atau juga ide dasar atau
ide pusat.Dalam sebuah karya fiksi tema itu pada umumnya tidak diungkapkan
secara eksplisit. Tema pada hakikatnya di pandang sebagai pengalaman manusia
yang menjadi unsur dalam menjiwai keseluruhan aspek cerita fiksi. Tema juga
memberikan keterangan dan berbicara berbagai segi kehidupan manusia. Tema
mampu membuat cerita fiksi itu padu dan menyatu. Tema juga memberikan ruh
pada cerita yang mana awal cerita yang sesuai dan akhir cerita yang memuaskan.
Tema sendiri juga menghubungkan setiap peristiwa dan setiap bagian terkecil di
dalam cerita untuk saling berkaitan.
Dari beberapa pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan tema adalah
sebagai ide pokok atau gagasan dalam membangun sebuah cerita. Sebuah cerita
akan berkembang sesuai dengan tema yang telah ditentukan oleh seorang
pengarang.

2.2.1.2 Alur (Plot)


Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dan aspek
penting dalam sebuah cerita. Rangkaian peristiwa atau tahapan peristiwa yang
terjadi dalam sebuah cerita, yang dialami tokoh-tokohnya dinamakan plot atau
alur. Sebuah cerita merupakan rangkaian peristiwa dan peristiwa yang di
rangkaikan itu merupakan susunan dari kejadian-kejadian yang lebih kecil.
Peristiwa-peristiwa itu, di rangkaikan dalam suatu urutan yang logis rangkaian
tersebut haruslah mempunyai kuasal (sebab akibat). Dengan demikian rangkaian
peristiwa cerita yang disusun secara logis dan kuasalitas di namakan plot. Plot tiap
cerita berbeda-beda, namun pada dasarnya plot mengandung aspek-aspeknya
seperti situasi awal, pengembangan cerita, klimaks dan penyeselesaian (Nining,
2015: 4).
Stanton 1965:14 (Nurgiyantoro, 2009: 113) mengemukakan bahwa plot
adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya
dihubungkan secara sebab akibat, peristwa yang satu disebabkan atau
menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Kenny (Nurgiyantoro, 2009: 113)
mengemukakan plot sebagai peristiwa-perstiwa yang ditampilkan dalam cerita
yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu
berdasarkan sebab akibat. Jauh sebelumnya, seperti ditunujukkan di atas, Forster
juga telah mengemukakan hal yang senada. Plot, menurut Forster (Nurgiyantoro,
2009: 113) adalah peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada
adanya hubungan kausalitas.
Alur merupakan tulang punggung cerita. Berbeda dengan elemen-elemen
lain, alur dapat membuktikan dirinya sendiri meskipun jarang diulas panjang lebar
dalam sebuah analisis. Sebuah cerita tidak akan pernah seutuhnya dimengerti
tanpa adanya pemhaman terhadap peristiwa-peristiwa yang mempertautkan alur,
hubungan kausalitas, dan keberpengaruhannya. Sama halnya dengan elemen-
elemen lain, alur memiliki hukum-hukum sendiri; alur hendaknya memiliki
bagian awal, tengah, dan akhir yang nyata, meyakinkan dan logis, dapat
menciptakan bermacam kejutan, dan memunculkan sekaligus mengakhiri
ketegangan-ketegangan (Stanton, 2012: 28).
Plot dapat dibedakan dalam dua kategori berdasarkan kriteria urutan
waktu: kronologis dan tak kronologis. Plot yang pertama disebut sebagai plot
lurus, maju, atau dapat juga dinamakan progresif. Sedang yang kedua adalah sorot
balik, mundur, falsh back, atau dapat juga disebut regresif (Nurgiyantoro, 2009:
153).
Pertama, plot lurus, progresif. Plot sebuah novel dikatakan progresif jika
peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa-peristiwa yang
pertama diikuti oleh atau menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa yang
kemudian. Atau secara runtut cerita dimulai dari tahap awal (penyituasian,
pengenalan, pemunculan konflik), tengah (konflik meningkat, klimaks), dan akhir
(penyekesaian) (Nurgiyantoro, 2009: 154).
Kedua, plot sorot balik, flash-back. Urutan kejadian yang dikisahkan
dalam karya fiksi yang berplot regresif tidak bersifat koronologis, cerita tidak
dimulai dari tahap awal (yang benar-benar merupakan awal cerita secara logika,
melainkan mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian
tahap awal cerita dikisahkan (Nurgiyantoro, 2009: 154).
Ketiga, plot campuran. Barangkali tidak ada novel yang secra mutlak
berplot lurus-kronologis atau sebaliknya sorot-balik. Secara garis besar plot
sebuah novel mungkin progresif, tetapi di dalamnya betapapun kadar kejadiaanya,
sering terdapatadegan-adegan sorot balik. Demikian sebaliknya (Nurgiyantoro,
2009: 155-156).
Redaksi P.M (2012: 6-7) membedakan alur beberapa bagian. Bagian-
bagian tersebut adalah sebagai berikut.
a) Awal, yaitu pengarang mulai memperkenalkan tokoh-tokohnya.
b) Tikaian, yaitu terjadi konflik di antara tokoh-tokohnya.
c) Gawatan atau rumitan, yaitu konfliktokoh-tokoh semakin seru.
d) Puncak, yaitu saat puncak konflik di antara tokoh-tokohnya.
e) Leraian, yaitu saat peristiwa konflik semakin reda dan perkembangan alur
mulai terungkap.
f) Akhir, yaitu seluruh peristiwa atau konflik telah terselesaikan.
Jadi, alur adalah peristiwa-peristiwa yang saling berkaitan satu sama lain
dengan adanya hubungan saling melengkapi. Istilah alur terbatas pada peristiwa-
peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan
peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain
dan tidak dapat di abaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa alur itu merupakan perpaduan
unsur-unsur yang membangun cerita sehingga merupakan kerangka cerita utama.
2.2.1.3 Latar (Setting)
Peristiwa-peristiwa dalam cerita tentulah terjadi pada suatu waktu atau
dalam suatu rentang waktu tertentu pada dan pada suatu tempat tertentu. Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa segala keterangan, petunjuk, pengacauan, yang
berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu
karya sastra membangun latar cerita menurut Sujiman (Endraswara, 2016: 211).
Latar merupakan lingkungan sebuah peristiwa yakni dunia tempat
terjadinya sebuah peristiwa. Latar biasanya oleh pengarang di hadirkan dalam
bentuk deskripsi. Latar juga memiliki fungsi secara langsung dalam memengaruhi
para tokoh dan memperkuat satu tema dalam cerita. Dalam banyak cerita fiksi,
latar mampu membuat atau memunculkan nada emosional di sekeliling tokoh
cerita. Latar dapat juga berarti ruang fisik. Hal ini dapat di contohkan dari latar
belakang dari sebuah kafe di Paris, Gunung di Kalifornia, ataupun sebuah jalan di
daerah Dublin. Latar juga dapat berwujud bagian dari waktu seperti hari, tahun,
musim, ataupun hal yang berhubungan dengan masa lalu (Stanton, 2012: 35).
Latar menurut Abrams (Nurgiyantoro, 2009: 216) latar atau setting yang
disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan
waktu, dan lingkungan social tempat peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Stanton (Nurgiyantoro, 2009: 216) mengelompokkan latar, bersama
dengan tokoh dan plot, ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan
dihadapi dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca sebuah
cerita fiksi.
Unsur latar dibedakan ke dalam tiga unsur pokok yaitu tempat, waktu dan
sosial. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang
berbeda dan dapat di bicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan
dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang di ceritakan
dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat di pergunakan mungkin berupa tempat-
tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, atau mungkin lokasi tertentu tanpa
nama yang jelas. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah
mencerminkan, atau paling tidak tak bertentangan dengan sifat dan keadaan
geografis tempat yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2009: 227).
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-
peristiwa yang di ceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut
biasanya di hubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau
dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Pengetahuan dan persepsi pembaca
terhadap waktu sejarah itu kemudian di pergunakan untuk mencoba masuk
kedalam suasana cerita. Pembaca berusaha memahami dan menikmati cerita
berdasarkan acuan waktu yang diketahuinya yang berasal dari luar cerita yang
bersangkutan (Nurgiyantoro, 2009: 230).
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup
yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat-istiadat, tradisi,
keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang
tergolong latar spiritual seperti dikemukakan sebelumnya (Nurgiyantoro, 2009:
233).
Dengan dmikian, latar cerita adalah segala sesuatu yang berhubungan
dengan waktu, ruang, dan suasana tempat terjadinya cerita. Latar cerita
mempengaruhi suasana peristiwa dan jalannya peristiwa.

2.2.1.4 Tokoh dan Penokohan


2.2.1.4.1 Tokoh
Istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, misalnya
sebagai jawab terhadap pertanyaan: “Siapakah tokoh utama novel itu?”, atau
“Ada berapa orang jumlah pelaku novel itu?”, atau “Siapakah tokoh protagonis
dan antagonis dalam novel itu?”, dan sebagainya. Watak, perwatakan, dan
karakter, menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan
pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh (Nurgiyantoro,
2009: 165).
Tokoh yang ada dalam sebuah cerita adalah hasil rekaan pengarang.
Walaupun tokoh cerita hanya merupakan tokoh ciptaan pengarang, ia haruslah
merupakan tokoh yang hidup secara wajar, sewajar bagaimana kehidupan
manusia yang terdiri dari darah, daging, yang mempunyai pikiran dan perasaan.
Kehidupan tokoh dalam dunia fiksi, maka ia haruslah bersikap dan bertindak
sesuai dengan tuntutan cerita dengan perwatakan yang disandangnya
(Nurgiyantoro, 2009: 167).
Menurut (Nurgiyantoro, 2009: 176) tokoh-tokoh cerita dalam sebuah
fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut
mana penamaan itu dilakukan. Berdasarkan perbedaan sudut pandang dan
tinjauan itu dilakukan, seorang tokoh dapat saja dikategorikan ke dalam
beberapa jenis penamaan sekaligus, misalnya sebagai tokoh utama-protagonis-
berkembang-tipikal.
a. Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah
cerita, tokoh dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama
adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan.
Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku
kejadian maupun yang dikenai kejadian. Bahkan pada novel-novel tertentu, tokoh
utamasenantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat ditemui dalam tiap
halaman buku cerita yang bersangkutan.
Tokoh tambahan adalah tokoh yang dalam keseluruhan cerita lebih
sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya
dengan tokoh utama, secara langsung ataupun tak langsung (Nurgiyantoro, 2009:
176)
b. Tokoh Protagonis dan Antagonis
Dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan kedalam tokoh
protagonis dan tokoh antagonis. Menurut Altenbert dan Lewis (Nurgiantoro,
2009: 178), tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, yang salah satu
jenisnya secara popular disebut hero tokoh yang merupakan pengejawantahan
norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita.Tokoh antagonis adalah tokoh
yang memiliki watak yang tidak sesuai dengan kehendak pembaca. Dalam karya
sastra tradisional biasanya pertentangan antara tokoh protagonis dan antagonis
jelas sekali. Protagonis selalu mewakili yang baik dan antagonis selalu mewakili
yang jahat. Tokoh antagonis disebut juga tokoh penyebab terjadinya konflik.
c. Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat
Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh
sederhana (simple atau flat character) dan tokoh kompleks atau tokoh bulat
(complex atau round character).
Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi
tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja. Sebagai seorang tokoh manusia, ia
tak diungkapkan berbagai kemungkinan sisi kehidupannya. Ia tak memiliki sifat
dan tingkah laku yang dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca. Sifat dan
tingkah laku seorang tokoh sederhana bersifat datar, monoton, hanya
mencerminkan satu watak tertentu.
Abrams (Nurgiantoro, 2009: 183) mengemukakan tokoh bulat atau tokoh
kompleks adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi
kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Ia dapat saja memiliki watak
tertentu yang dapat di formulasikan, namun ia pun dapat pula menampilkan
watak dan tingkah laku bermacam-macam. Di bandingkan dengan tokoh
sederhana, tokoh bulat lebih menyerupai kehidupan manusia yang
sesungguhnya, karena disamping memiliki berbagai kemungkinan sikap dan
tindakan, ia juga sering memberikan kejutan. Abrams (Nurgiantoro, 2009: 183).
d. Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang
Berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh-tokoh
cerita dalam sebuah novel, tokoh dapat dibedakan kedalam tokoh statis dan
tokoh berkembang. Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak
mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat
adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi pendapat Altenbert dan Lewis
(Nurgiantoro, 2009: 188).
Tokoh berkembang adalah tokoh tokoh cerita yang mengalami perubahan
dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan (dan perubahan)
peristiwa dan plot yang di kisahkan.
e. Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral
Berdasarkan pencerminan tokoh cerita terhadap sekelompok manusia
dari kehidupan nyata, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh tipikal dan
tokoh netral.
Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan
individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau
kebangsaannya, atau sesuatu yang lain yang lebihbersifat mewakili. Altenbernd
dan Lewis (Nuriyantoro, 2009: 190).
Tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksitensi demi cerita itu
sendiri. Ia benar-benar merupakan tokoh imajiner yang hanya hidup dan
bereksitensi dalam dunia fiksi.

2.2.1.4.2 Penokohan
Penokohan dan karakterisasi-karakterisasi sering juga di samakan
artinya dengan karakter dan perwatakan menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh
tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Jones (Nurgiantoro,
2009: 165) menjelaskan penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang
seseorang yang di tampilkan dalam sebuah cerita.
Istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya daripada ‘tokoh” dan
perwatakan sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana
perwatakan dan bagaimana penempatan dan pelukisan dalam sebuah cerita
sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan
sekaligus menyarankan pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam
sebuah cerita. Jadi, dalam istilah penokohan itu sekaligus terkandung dua aspek:
isi dan bentuk. Sebenarnya, apa dan siapa tokoh cerita itu tak penting benar
selama pembaca dapat mengidentifikasi diri pada tokoh-tokoh tersebut. Jones
(Nurgiatoro, 2009: 166), atau pembaca dapat memahami dan menafsirkan tokoh-
tokoh itu sesuai dengan logika cerita dan persepsinya.
2.2.1.5 Sudut Pandang (Point of View)
Sudut pandang, point of view, view point, merupakan salah satu unsur
fiksi yang digolongkan sebagai sarana cerita, literary device. Walau demikian, hal
itu tidak berarti bahwa perannya dalam fiksi tidak penting. Sudut pandang
haruslah diperhitungkan kehadirannya, bentuknya, sebab pemilihan sudut
pandang akan berpengaruh terhadap penyajian cerita. Reaksi efektif pembaca
terhadap sebuah cerita fiksi pun dalam banyak hal akan dipengaruhi oleh bentuk
sudut pandang. (Nurgiyantoro, 2009: 246).
Sudut pandang (point of view) adalah cara pengarang memandang siapa
yang bercerita di dalam cerita itu. Ada empat macam sudut pandang (point of
view), yaitu (1) sudut pandang first-person-central atau akuan sertaan, (2) sudut
pandang first-person-peripheral atau akuan-taksertaan, (3) sudut pandang third-
person omniscient atau diaan-mahatahu, dan (4) sudut pandang third-person-
limited atau diaan-terbatas.
Menurut Abrams (Nurgiantoro, 2009: 248), sudut pandang, point of
view menunjuk pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau
pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan cerita
dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.
Sudut pandang atau titik tinjau adalah tempat atau posisi pencerita
terhadap kisahan yang dikarangnya. Apakah ia ada di dalam cerita, atau ia ada di
luar cerita. Menurut Hendy (1991: 34) sudut pandang dalam kesustraan
mencakup:
1) Sudut pandang fisik, yaitu sudut pandang yang berhubungan dengan waktu dan
ruang yang digunakan pengarang dalam pendekatan materi ceritanya.
2) Sudut pandang mental, yaitu sudut pandang yang berhubungan dengan persaan
dan sikap pengarang terhadap masalah atau peristiwa yang diceritakannya.
3) Sudut pandang pribadi, yaitu sudut pandang yang menyangkut hubungan
pribadi pengarang dalam masalah pokok yang diceritakan.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa sudut pandang
merupakan cara pengarang menempatkan dirinya dalam cerita.
2.2.1.5 Gaya Bahasa
Nurgiyantoro (2009: 272) juga berpendapat bahwa bahasa dalam seni
sastra dapat disamakan dengan cat dalam seni lukis. Keduanya merupakan unsur
bahan, alat, dan sarana yang diolah untuk dijadikan sebuah karya yang
mengandung “nilai lebih” daripada sekadar bahannya itu sendiri. Bahasa
merupakan sarana pengungkapan sastra.
Unsur Ekstrinsik menurut Nurgiyantoro (2013: 30) adalah unsur-
unsur yang berada di luar teks sastra itu, tetapi secara tidak langsung
memengaruhi bangun atau sistem organisme teks sastra. Atau, secara lebih khusus
ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang memengaruhi bangun cerita sebuah
karya sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya.
Wellek dan Warren (Nurgiyantoro, 2013: 30-31) juga berpendapat
bahwa unsur ektrinsik terdiri atas sejumlah unsur. Unsur-unsur yang dimaksud
antara lain adalah keadaan subjektivitas individu pengarang yang meniliki sikap,
keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan memengaruhi karya
yang ditulisnya. Pendek kata, unsur biografi pengarang akan turut
menentukancorak karya yang dihasilkan. Unsur ekstrinsik beikutnya adalah
psikologi pengarang (yang mencakup proses kreatifnya), psikologi pembaca,
maupun penerapan prinsip psikologi dalam karya. Keadaan di lingkungan
pengarang seperti ekonomi, politik, dan sosial juga akan berpengaruh terhadap
karya sastra, dan hal itu merupakan unsur ekstrinsik pula. Unsur ekstrinsik yang
lain misalnya pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya seni yang lain, dan
sebagainya.
2.3 Pengertian Nilai Moral
2.3.1 Pengertian Nilai
Istilah nilai atau dalam bahasa Inggris “value”, bahasa latin “valere” atau
bahasa Prancis Kuno “valoir” yang secara umum disebut keberhargaan atau
kebaikan pendapat Mulyana (Endraswara, 2016: 66). Ketika dipersepsi dalam
konteks tertentu, nilai menjadi sesuatu yang fenomenal dan sangat khas dalam
kehidupan manusia. Nilai dikatakan fenomenal karena tidak semua orang sepakat
untuk mendefinisikan nilai secara seragam dan dikatakan sangat khas karena
belum tentu semua orang memberikan penilaian yang sama terhadap suatu objek
yang diamati.
Nilai tidak hanya terdapat pada sesuatu yang berwujud (dalam aspek
material semata), tetapi sesuatu yang tidak berwujud pun memiliki nilai. Bahkan,
tidak jarang nilainya lebih tinggi daripada benda yang berwujud, seperti nilai
religious, nilai filosofis, dan nilai etis. Dengan perspektif demikian dapat
dipahami bahwa aspek nilai dan penilaian baru akan dapat dilakukan secara
maksimal apabila telah diwujudkan dalam symbol-simbol tertentu pendapat
Wiranata (Endraswara, 2016: 67).
Selain itu, Puteh (Edraswara, 2016: 67) menyatakan bahwa nilai
merupakan suatu unsur yang terdapat dalam semua ajaran moral yang popular dan
ia berdasarkan pengiktirafan bahwa individu dalam sesuatu kelompok social itu
saling membutuhkan satu sama lain.
Menurut Gabriel (Endraswara, 2016: 67), nilai adalah suatu ideal, suatu
paradigm yang menyatakan realitas social yang diingini dan dihormati. Pada
hakikatnya, nilai adalah kepercayaan-kepercayaan bahwa cara hidup yang
diidealisasi adalah cara yang terbaik bagi masyarakat.
Soelaeman (Endraswara, 2016: 67), mengatakan bahwa sikap pribadi
manusia terhadap apa yang ditemui di dunianya tidak terlepas dari perangkat nilai
yang diakui dan telah menjadi bagian pribadinya atau dipersonisasinya dan
manifestasinya dalam pola perilaku. Bila ditelusuri secara mendalam, perangkat
nilai itu akan merujuk kepada Sang Pencipta yang merupakan sumber asasidari
pribadi manusia dan dari-Nya memancar system nilai yang transparan dalam
perilaku manusia di dunia sehari-hari.
Sementara itu, Ambroise (Endraswara, 2016: 68) menyatakan bahwa nilai
itu dapat dilacak dari tiga realitas, yaitu pola tingkah laku, pola berpikir, dan pola
sikap. Ali ibn Abi Thalib (Endraswara, 2016: 68) mengatakan bahwa nilai
manusia terdapat dalam perbuatan baik yang dilakukan. Maknanya, ilmu
pengetahuan manusia, adab kesopanannya, ibadah, kedermawanan, serta akhlak
dan moralitasnya adalah nilaidiri yang sebenarnya dan bukan wajah, gaya, dan
kedudukannya.
Sehubungan dengan isi karya sastra, Amir (Endraswara, 2016: 68)
mengungkapkan bahwa karya sastra yang baik harus memenuhi keutuhan dan
keterpaduan, yakni memiliki nilai religius, nilai filosofis, nilai etis, dan nilai
estetis.
Sehubungan dengan hierarki nilai, Max Scheller (Adisusilo, 2013: 65),
membagi nilai membagi nilai menjadi empat tingkatan sebagai berikut :
1. Nilai-nilai kenikmatan: dalam tingkat ini,terdapat deretan nilai-niai
mengenakkan, yang menyebabkan orang senang atau menderita tidak enak.
Mialnya : kenikmatan,kesukaan,kesakitan, dan lain-lain.
2. Nilai-nilai kehidupan: dalam tingkat ini, terdapat nilai-nilai yang penting bagi
kehidupan. Misalnya: kesehatan, ketertiban, kedisiplinan, kesejahteraan umum,
dan lain-lain.
3. Nilai-nilai kejiwaan: dalam tingkatini, terdapat nilai-nilai kejiwaan yang sama
sekali tidak tergantung pada keadaan jasmani maupun lingkungannya.
Misalnya: kejujuran, kebenaran, keadilan, kehidupan, dan lain-lain.
4. Nilai-nilai kerohanian: dalam tingkat ini, terdapat modalitas nilai dari yang suci
dan tidak suci. Nilai-nilai pribadi, terutama Allah sebagai Pribadi Tertinggi
seperti kesucian, ketakwaan, dan lain-lain.
Secara garis besar nilai dibagi dalam dua kelompok yaitu nilai-nilai
nurani (values of being) dan nilai-nilai member (values of giving). Nilai-nilai
nurani adalah nilai yang ada dalam diri manusia kemudian berkembang menjadi
perilaku serta cara kita memperlakukan orang lain. Yang termasuk nilai-nilai
nurani adalah kejujuran, keberanian, cinta damai, keandalan diri, potensi, disiplin,
tahu batas, kemurnian, dan kesesuaian. Sedangkan nilai-nilai memberi adalah nilai
yang perlu dipraktikkan atau diberikan yang kemudian akan diterima sebanyak
yang diberikan. Yang termasuk dalam nilai-nilai member adalah setia, dapat
dipercaya, hormat, cinta, kasih sayang, peka, tidak egois, baik hati, ramah, adil,
dan murah hati. Linda (Elmubarok, 2009: 7).
Menurut Bertens (Subur, 2015:51) mengatakan sebenarnya nilai adalah
sesuatu yang berlaku, sesuatu yang memikat atau menghimbau kita. Secara
spesifik, nilai (value), berarti harga, makna, isi, dan pesan, semangat, atau jiwa
yang tersurat dan tersirat dalam fakata, konsep, dan teori, sehingga bermakna
secara fungsional.
Menurut H.M. Rasjidi (Najib, 2014: 6), penilaian seseorang
dipeangaruhi oleh fakta-fakta. Artinya, jika fakta-fakta atau keadaan berubah,
penilaian juga biasanya berubah. Hal ini berarti juga bahwa pertimbangan nilai
seseorang bergantung pada fakta.
Mulyana (Najib, 2014: 7) menyatakan bahwa nilai adalah keyakinan
dalam menentukan pilihan.
Menurut Najib (2014: 7) nilai adalah segala hal yang berhubungan
dengan tingkah laku manusia mengenai baik atau buruk yang diukur oleh agama,
tradisi, etika, moral, dan kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat.
Dari beberapa pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa
nilai adalah sesuatu yang tinggi, berharga, berkualitas dan bermutu, penting dan
sangat perlu bagi kehidupan manusia dalam kehidupan bermasyarakat.

2.3.2 Pengertian Moral


Istilah moral berasal dari kata “mos/mores” yang berarti kebiasaan,
mengacu pada sejumlah ajaran, wejangan, khotbah tentang bagaimana manusia
seharusnya hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik (Wicaksono,
2014: 309).
Moral adalah aturan kesusilaan yang meliputi semua norma untuk
kelakuan, perbuatan, dan tingkah laku yang baik. Nilai moral moral yag terdapat
dalam karya sastra dapat memberikan sumbangan yang besar terhadap
pembentukan akhlak pembaca.
Moral, seperti halnya tema, dilihat dari segi dikhotomi bentuk isi karya
sastra merupakan unsur isi. Ia merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh
pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam sebuah
karya, makna yang disarankan lewat cerita. Moral, kadang-kadang, di identikkan
pengertiannya dengan tema walaupun sebenarnya tidak selalu menyarankan pada
maksud yang sama. Moral dan tema, karena keduanya merupakan sesuatu yang
terkandung, dapat ditafsirkan, diambil dari cerita, dapat dipandang sebagai
memiliki kemiripan. Namun, tema bersifat lebih kompleks daripada moral
disamping tidak memiliki nilai langsung sebagai saran yang di tujukan kepada
pembaca. Kenny (Nurgiantoro, 2009: 320) mengemukakan moral, dengan
demikian, dapat di pandang sebagai salah satu wujud tema dalam bentuk yang
sederhana, namun tidak semua tema merupakan moral.
Kata moral secara etimologi sama dengan etika meskipun dalam bahasa
aslinya berbeda, moral dapat diartikan nilai dan norma yang dapat mengatur
tingkah laku perorangan atau sebuah kelompok dan dapat dijadikan sebuah
pegangan. Bersama dengan itu (Nurgiyantoro, 2009: 322) mengemukakan bahwa
moral dalam sastra, yaitu hikmah yang dapat didapat pembaca melalui sastra dan
dapat mendapatkan manfat yang baik. Nilai adalah sifat penting dan berguna bagi
manusia, nilai dan moral dalam berinteraksi dengan masyarakat memiliki
kepentingan bagi diri sendiri.
Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup
pencipta karya sastra yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai dan
kebenaran dan hal itu ingin disampaikan kepada pendengar (pembaca). Menurut
Kenny (Wicaksono, 2014: 310), moral dalam karya sastra biasanya dimaksudkan
sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat
praktis yang dapat diambil dan ditafsirkan lewat cerita yang bersangkutan oleh
pembaca. Hal itu merupakan petunjuk yang sengaja diberikan oleh pengarang
tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan seperti tingkah
laku dan sopan santun pergaulan.
Nilai moral manusia bukanlah nama yang dapat menimbulkan keputusan
pada kita untuk menggambarkan macam benda apa manusia itu. Dalam perkataan
lain nilai moral terkandung sifat manusia seluruhnya pikiran, badan, perasaan dan
kehendak. Moral, amanat atau pesan dapat dipahami sebagai sesuatu yang ingin
disampaikan kepada pembaca. Sesuatu itu selalu berkaitan dengan berbagai hal
yang positif, bermanfaat bagi kehidupan, dan mendidik. Moral berurusan dengan
masalah baik dan buruk, namun istilah moral itu selalu dikonotasikan dangan hal-
hal yang baik.
Menurut Sastrapratedja (Adisusilo, 2013: 54) moralitas adalah segala hal
yang terkait dengan perilaku manusia dan norma-norma yang dipegang masyrakat
yang mendasarinya. Moralitas merupakan system nilai tentang bagaimana
sesorang seharusnya hidup secara baik sebagai manusia. Moralitas itu terkandung
dalam aturan hidup bermasyarakat dalam berbagai bentuk kebiasaan, seperti
tradisi, petuah, peraturan, wejangan, perintah, larangan, dan lain-lain.
Nurgiantoro (2009: 324) mengemukakan bahwa dilihat dari sudut
persoalan hidup manusia yang terjalin atas hubungan-hubungan tertentu yang
mungkin ada dan terjadi moral dapat di kategorikan kedalam beberapa macam
hubungan. Dari sudut ini moral dapat di kelompokkan kedalam persoalan:
1. Hubungan manusia dengan diri sendiri. Ia dapat berwujud seperti eksistensi
diri, harga diri, rasa percaya diri, takut, maut, rindu, dendam, kesepian,
keterombang-ambingan antara beberapa pilihan, dan lain-lain yang lebih
bersifat melibat ke dalam diri dan kejiwaan seorang individu.
2. Hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk
hubungannya dengan lingkungan alam. Ia dapat berwujud: persahabatan, yang
kokoh ataupun yang rapuh, kesetiaan, penghianatan, kekeluargaan: hubungan
suami-istri, orang tua-anak, cinta kasih terhadap suami-istri, anak, orang tua,
sesama, maupun tanah air, hubungan buruh-majikan, atasan-bawahan, dan lain-
lain yang melibatkan interaksi antar manusia.

3. Hubungan manusia dengan Tuhan. Ia dapat berwujud takut kepada Tuhan,


pasrah dan menurut kepada Tuhan. Lebih melibatkan unsure religi dalam
sastra.
Berdasarkan keempat hubungan tersebut moral dapat dirinci kedalam jenis-
jenis tertentu, yang dapat di pandang sebagai variannya, yang secara konkret
ditemukan dalam sebuah cerita, yang jumlahnya relative banyak. Dalam hal ini
moral ditafsirkan berdasarkan sikap dan perilaku tokoh.
Moralitas meliputi nilai-nilai moral alam semesta yang dapat di rasakan
oleh pikiran manusia dalam bentuk tiga dorongan dasar atau tiga pilihan dasar
yakni : 1) dorongan tentang diri sendiri (pilihan moral), personal morality
berpengaruh pada perkembangan spiritual dari manusia itu, 2) dorongan tentang
masyarakat (pilihan etik), berubah terus sesuai perubahan kesadaran sosial, 3)
dorongan tentang Allah (Nining, 2015: 15)
Jadi, ada dua hal disini yaitu 1) moralitas sosial akan terus berubah sesuai
perubahan evolusi masyarakat dan peradaban. Contoh: adat makan dan minum
akan berubah sesuai perkembangan masyarakat, dan 2) moralitas pribadi itu
primordial dan merupakan realitas alam semesta yang melekat pada kepribadian.
Moralitas pribadi itu ada dari semula, pada semua pribadi, tidak di hasilkan dari
evolusi. Moralitas pribadi adalah salah satu ciri khas kepribadian yang tulen.
Hanya hukum moral di dalam diri manusia dapat menjadi basis untuk pilihan
moral antara baik dan buruk, pilihan yang mungkin bertentangan dengan berbagai
kebiasaan yang di anut dunia sekarang ini.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa moral adalah
nilai dasar esensial dari segala tingkah laku manusia yang merupakan sikap dan
perbuatan baik atau betul-betul tanpa pamrih.
2.4 Jenis Nilai Moral
Jika tiap karya fiksi masing-masing mengandung dan menawarkan pesan
moral, tentunya banyak sekali jenis dan wujud ajaran moral yang dipesankan.
Dalam sebuah karya fiksi pun, khususnya novel –novel yang relative panjang,
sering terdapat lebih dari satu pesan moral untuk tidak mengatakan terdapat
banyak pesan moral yang berbeda. Hal itu belum lagi berdasarkan pertimbangan
dan atau penafsiran dari pihak pembaca yang juga dapat berbeda-beda baik dari
segi jumlah maupun jenisnya. Jenis dan atau wujud pesan moral yang tedapat
dalam karya sastra akan bergantung pada keyakinan, keinginan, dan interes
pengarang yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2009: 323).
Jenis ajaran moral itu sendiri dapat mencakup masalah, yang boleh
dikatakan, bersifat tak terbatas. Ia dapat mencakup seluruh persoalan hidup dan
kehidupan, seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan martabat manusia.
Secara garis besar persoalan hidup dan kehidupan manusia itu dapat di bedakan ke
dalam persoalan hubungan manusia dengan diri sendiri, hubungan manusia
dengan manusia lain dalam lingkup sosial termaksud hubungannya dengan
lingkungan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhan (Nurgiantoro, 2009: 323).
Nurgiyantoro (Wicaksono, 2014: 314) membagi kriteria atau jenis ajaran
moral dalam karya sastra mencakup masalahyang bisa dikaitkan bersifat tak
terbatas. Secra garis besar jenis ajaran moral dapat dibedakan menjadi tiga
macam, yaitu: (1) moral yang mencakup hubungan manusia dengan diri sendiri,
(2) moral yang mencakup hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup
social termasuk hubungannya dengan lingkungan alam, dan (3) moral yang
mencakup hubungan manusia dengan Tuhannya.
Sebuah novel tentu saja dapat mengandung dan menawarkan nilai moral itu
salah satu, dua, atau ketiganya sekaligus, masing-masing dengan wujud detil
khususnya. Persoalan manusia dengan dirinya sendiri dapat bermacam-macam
jenis dan tingkat intensitasnya. Hal itu tentu saja tidak lepas dari kaitannya dengan
persoalan hubungan antar sesama dan dengan Tuhan.
2.4.1 Hubungan Manusian dengan Dirinya Sendiri
Nilai moral hubungan manusia dengan dirinya sendiri adalah nilai moral
yang menyangkut hubungan manusia dengan kehidupan pribadi atau cara manusia
memperlakukan diri sendri. Perilaku hal ini bersumber dari hati nuraninya, lepas
dari hubungan dan pengaruh orang lain.
Menurut Wicaksono 92014: 320) nilai moral yang terkandung dalam
hubungan manusia dengan dirinya sendiri meliputi eksitensi diri, harga diri, rasa
percaya diri, rasa takut, rasa rindu, rasa dendam,tanggung jawab terhadap diri
sendiri, kewajiban terhadap diri sendiri, dan sopan santun.
2.4.2 Hubungan Manusia dengan Manusia dalam Lingkup Sosial
Nilai social mengacu pada hubungan individu dengan individu yang lain
dalam sebuah masyarakat. Bagaimana seseorang bersikap, bagaiaman cara mereka
menyelesaikan masalah, dan menghadapi situasi tertentu juga termasuk dalam
nilai social ( Wicaksono, 2014: 323).
Menurut Wicaksono (2014: 323-324) nilai moral yang terkandung dalam
hubungan manusia dengan sesame manusia meliputi berpikiran postif, menolong
sesama, cinta kasih sejati, membantu yang lemah tanpa pamrih, saling
menghargai, dan saling mengenal.
2.4.3 Hubungan Manusia dengan Alam Semesta
Manusia mempunyai tugas dan kewajiban terhadap alam semesta yaitu
menjaga dan melestarikan semua sumber alam untuk menghindari semua bencana
yang disebabkan kecerobohan serta dapat mendapatkan alam semesta dalam alam
kehidupan dengan memperhatikan agar dapat berjalan menurut kodratnya.
Nurhadi (Wicaksono, 2014: 324)
Menurut Wicaksono (2014: 325) nilai moral yang terkandung dalam
hubungan manusia dengan alam meliputi menjaga dan melestarikan alam, dan
pemanfaatan sumber daya alam.
2.4.4 Hubungan Manusi dengan Tuhannya
Nilai-nilai religious yang terkandung dalam karya sastra dimaksudkan agar
penikmat karya tersebut mendapatkan renungan-renungan batin dalam kehidupan
yang bersumber pada nilai-nilai agama. Nilai-nilai religius dalam sastra bersifat
individual dan personal.
Nurgiyantoro (Wicaksono, 2014: 317) kehadiran unsur religi dalam sastra
adalah sebuah keberadaan sastra itu sendiri. Mansyur (Wicaksono, 2014: 317)
mengemukakan bahwa akhlak manusia kepada Tuhan meliputi: (1) cinta dan
ikhlas kepada Tuhan, (2) berbaik sangka kepada Tuhan, (3) rela atas qada dan
qadar Tuhan, (4) bersyukur atas nikmat Tuhan, (5) bertawakal kepada Tuhan, (6)
senantiasa mengingat Tuhan, (7) dan melaksanakan perintah Tuhan.
2.5 Pendekatan Strutural
Secara etimologis struktur berasal dari kata structura, bahasa Latin, yang
berarti bentuk atau bangunan. Secara definitive strukturalisme berarti paham
mengenai unsure-unsur, yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antar
hubungannya, di satu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan unsur lainnya,
di pihak yang lain hubungan antara unsure-unsur dengan totalitasnya, Ratna
(2008: 91).
Pendekatan struktural menyatakan bahwa untuk melihat sebuah karya sastra
sangat penting melihat antar unsur pembentuknya yang bersifat timbal balik yang
secara bersama-sama membentuk satu kesatuan yang utuh, Abrams (Nurgiantoro,
2009: 36).
Menurut Pradopo (Jabrohim, 2015: 69) satu konsep dasar yang menjadi ciri
khas structural adalah adanya anggapan bahwa di dalam dirinya karya sastra
merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu
kesatuan yang bulat dengan unsure-unsur pembangunnya yang saling berkaitan.
Pendekatan struktur menyatakan karya sastra harus dikaji berdasarkan
strukturnya sendiri, lepas dari latar belakang sejarah, lepas dari diri dan niat
penulis, dan lepas pula dari efeknya pada pembaca, Teeuw (Jabrohim, 2015: 69).
Pendekatan structural, Jean Piaget (Jabrohim, 2015: 70) menjelaskan bahwa
di dalam pengertian structural terkandung tiga gagasan pokok, yaitu:
1) Pertama, gagasan keselurahan (wholeness), dalam arti bahwa bagian-bagian
atau unsurnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah instrinsik yang
menentukan baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya.
2) Kedua, transformasi (transformation), yaitu struktur itu menyanggupi prosedur
transformasi yang terus menerus memungkinkan pembentukan bahan-bahan
baru.
3) Ketiga, gagasan mandiri, yaitu tidak memerlukan hal-hal dari luar dirinya
untuk mempertahankan prosedur transformasinya, struktur itu otono terhadap
rujukan sistem lain.
Dalam analisis struktural unsur cerita yang penting dan saling berkaitan
adalah unsur tokoh dan penokohan, alur, dan latar. Hubungan ketiga jenis ini
sering disebut sebagai fakta cerita, sehingga akan di ketahui apa temanya
(Nurgiantoro, 2009: 37).
Dengan demikian, pada dasarnya analisis structural bertujuan
memaparkan secermat mungkin funsi dan keterkaitan antarberbagai unsure karya
sastra yang secara bersama menghasilkan subuah kemenyeluruhan. Analisis
structural tak cukup dilakukan hanya sekedar mendata unsure tertentu, sebuah
karya fiksi, misalnya peristiwa, plot, tokoh, latar atau yang lain. Namun, yang
lebih penting adalah menunjukkan bagimana hubungannya antarunsur itu, dan
sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan
yang ingin dicapai, Nurgiyantoro (2009: 37).
Dari pemahaman tersebut dapat disimpulkan bahwa secara tersendiri dan
keseluruhannya bagian-bagian tersebut tidak penting bahkan tidak ada artinya.
Tiap bagian menjadi berarti dan penting setelah ada hubungannya dengan bagian-
bagian yang lain
BAB III

METODE DAN TEKNIK PENELITIAN

3.1 Jenis dan Metode Penelitian


Jenis penelitian ini dapat digolongkan ke dalam penelitian kepustakaan,
yakni penelitian ini di dukung oleh referensi baik berupa teks novel maupun buku
lainnya yang menunjang dan relevan dengan penelitian ini.
Metode yang digunakan dalam penilitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif. Dikatakan deskriptif karena dalam penelitian ini mendeskripsikan data
berdasarkan kenyataan-kenyataan secara objektif, sesuai dengan data yang
ditemukan. Dikatakan kualitatif karena menjelaskan konsep-konsep yang
berkaitan satu sama lain dilakukan menggunakan kata-kata atau kalimat, bukan
menggunakan angka-angka statistic.
3.2 Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini adalah data tertulis berupa teks novel yang
berhubungan dengan nilai moral yang terdapat dalam novel Si Anak Badai karya
Tere Liye.
Sumber data dalam pengkajian ini adalah novel Si Anak Badai karya Tere
Liye yang diterbitkan oleh Republika Penerbit cetakan pertama, Agustus tahun
2019 dan terdiri dari 322 halaman.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik baca-catat yang di laksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut.
1. Peneliti membaca novel Si Anak Badai secara berulang-ulang.
2. Peneliti menggunakan teknik pencatatan yaitu teknik yang digunakan untuk
mencatat data-data yang di peroleh dari hasil membaca.
3.4 Teknik Analisis Data
Data penelitian ini dianalisis berdasarkan pendekatan struktural.
Pendekatan ini merupakan suatu pendekatan yang penting, sebab pendekatan apa
pun yang dilakukan pada dasarnya bertumpu atas karya sastra itu sendiri.
Pendekatan struktural memusatkan perhatian semata-mata pada unsur-unsur, yang
dikenal dengan analisis instrinsik. Penelitian ini menggunakan dasar pemikiran
strukturalisme yang memandang analisis struktur sebagai salah satu cara mencari
kenyataan dari kaitan-kaitan antara unsur yang membangunnya. Setelah data-data
mengenai unsur-unsur instrinsik dan nilai moral yang terdapat dalam setiap
peristiwa di kumpulkan, peneliti kemudian mengelompokkan jenis data-data
tersebut. Kemudian menginterprestasikannya sesuai dengan kemampuan peneliti
agar hasil analisis itu mudah di pahami.
DAFTAR PUSTAKA

Wicaksono, Andri. 2014. Pengkajian Prosa Fiksi. Yogyakarta: Garudhawaca.

Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

Sehandi, Yohanes. 2018. Mengenal 25 Teori Sastra. Yogyakarta: Ombak.

Salfia. Nining. 2015. Nilai Moral dalam Novel 5 cm karya Donny Dhirgayantoro.
Jurnal Humanika. Vol. 3 No. 15. Dilihat pada tanggal 19 Oktober 2019.
https://www.semanticscholar.org.pdf.

Sumardjo, Jakob. 1999. Konteks Sosial Novel Indonesia 1920 – 1977. Bandung:
Alumni.

Nurgiyantoro, Burhan. 2009. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

Hendy, Zaidan. 1991. Pelajaran Sastra 1. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana


Indonesia.
Stanton, Robert. 2012. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Redaksi PM. 2012. Sastra Indonesia Paling Lengkap. Jawa Barat: Pustaka
Makmur.

Endraswara, Suhardi. 2016. Sastra Ekologis Teori dan Praktik Pengkajian.


Gejayan Yogyakarta: Deresan CT X.

Adisusilo, Sutarjo. 2013. Pembelajaran Nilai – Karakter. Jakarta: Rajawali Pers.

Elmubarok, Zaim. 2009. Membumikan Pendidikan Nilai. Gegerkalong Hilir


Bandung: CV ALFABETA.

Subur. 2015. Pembelajaran Nilai Moral Kisah. Depok Sleman Yogyakarta:


Kalimedia.

Ratna, Kutha Nyoman. 2008. Teori, Metode, dn Teknik Penelitian Sastra. Celeban
Timur Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Jabrohim. 2014. Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai