PROPOSAL
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
pada Jurusan/Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
OLEH
MARWANTI
A1M116031
PROPOSAL
Oleh
MARWANTI
A1M116031
Telah diperiksa secara teliti dan disetujui oleh dosen pembimbing untuk diajukan
kehadapan panitia seminar proposal pada Jurusan/Prodi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo.
Mengetahui,
a.n. Dekan FKIP
Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………………………………………………………...
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………….
1.3 Tujuan Penelitia……………………………………………………….
1.4 Manfaat Penelitian…………………………………………………….
1.5 Batasan Operasional…………………………………………………..
PENDAHULUAN
2.2.1.4.2 Penokohan
Penokohan dan karakterisasi-karakterisasi sering juga di samakan
artinya dengan karakter dan perwatakan menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh
tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Jones (Nurgiantoro,
2009: 165) menjelaskan penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang
seseorang yang di tampilkan dalam sebuah cerita.
Istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya daripada ‘tokoh” dan
perwatakan sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana
perwatakan dan bagaimana penempatan dan pelukisan dalam sebuah cerita
sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan
sekaligus menyarankan pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam
sebuah cerita. Jadi, dalam istilah penokohan itu sekaligus terkandung dua aspek:
isi dan bentuk. Sebenarnya, apa dan siapa tokoh cerita itu tak penting benar
selama pembaca dapat mengidentifikasi diri pada tokoh-tokoh tersebut. Jones
(Nurgiatoro, 2009: 166), atau pembaca dapat memahami dan menafsirkan tokoh-
tokoh itu sesuai dengan logika cerita dan persepsinya.
2.2.1.5 Sudut Pandang (Point of View)
Sudut pandang, point of view, view point, merupakan salah satu unsur
fiksi yang digolongkan sebagai sarana cerita, literary device. Walau demikian, hal
itu tidak berarti bahwa perannya dalam fiksi tidak penting. Sudut pandang
haruslah diperhitungkan kehadirannya, bentuknya, sebab pemilihan sudut
pandang akan berpengaruh terhadap penyajian cerita. Reaksi efektif pembaca
terhadap sebuah cerita fiksi pun dalam banyak hal akan dipengaruhi oleh bentuk
sudut pandang. (Nurgiyantoro, 2009: 246).
Sudut pandang (point of view) adalah cara pengarang memandang siapa
yang bercerita di dalam cerita itu. Ada empat macam sudut pandang (point of
view), yaitu (1) sudut pandang first-person-central atau akuan sertaan, (2) sudut
pandang first-person-peripheral atau akuan-taksertaan, (3) sudut pandang third-
person omniscient atau diaan-mahatahu, dan (4) sudut pandang third-person-
limited atau diaan-terbatas.
Menurut Abrams (Nurgiantoro, 2009: 248), sudut pandang, point of
view menunjuk pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau
pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan cerita
dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.
Sudut pandang atau titik tinjau adalah tempat atau posisi pencerita
terhadap kisahan yang dikarangnya. Apakah ia ada di dalam cerita, atau ia ada di
luar cerita. Menurut Hendy (1991: 34) sudut pandang dalam kesustraan
mencakup:
1) Sudut pandang fisik, yaitu sudut pandang yang berhubungan dengan waktu dan
ruang yang digunakan pengarang dalam pendekatan materi ceritanya.
2) Sudut pandang mental, yaitu sudut pandang yang berhubungan dengan persaan
dan sikap pengarang terhadap masalah atau peristiwa yang diceritakannya.
3) Sudut pandang pribadi, yaitu sudut pandang yang menyangkut hubungan
pribadi pengarang dalam masalah pokok yang diceritakan.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa sudut pandang
merupakan cara pengarang menempatkan dirinya dalam cerita.
2.2.1.5 Gaya Bahasa
Nurgiyantoro (2009: 272) juga berpendapat bahwa bahasa dalam seni
sastra dapat disamakan dengan cat dalam seni lukis. Keduanya merupakan unsur
bahan, alat, dan sarana yang diolah untuk dijadikan sebuah karya yang
mengandung “nilai lebih” daripada sekadar bahannya itu sendiri. Bahasa
merupakan sarana pengungkapan sastra.
Unsur Ekstrinsik menurut Nurgiyantoro (2013: 30) adalah unsur-
unsur yang berada di luar teks sastra itu, tetapi secara tidak langsung
memengaruhi bangun atau sistem organisme teks sastra. Atau, secara lebih khusus
ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang memengaruhi bangun cerita sebuah
karya sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya.
Wellek dan Warren (Nurgiyantoro, 2013: 30-31) juga berpendapat
bahwa unsur ektrinsik terdiri atas sejumlah unsur. Unsur-unsur yang dimaksud
antara lain adalah keadaan subjektivitas individu pengarang yang meniliki sikap,
keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan memengaruhi karya
yang ditulisnya. Pendek kata, unsur biografi pengarang akan turut
menentukancorak karya yang dihasilkan. Unsur ekstrinsik beikutnya adalah
psikologi pengarang (yang mencakup proses kreatifnya), psikologi pembaca,
maupun penerapan prinsip psikologi dalam karya. Keadaan di lingkungan
pengarang seperti ekonomi, politik, dan sosial juga akan berpengaruh terhadap
karya sastra, dan hal itu merupakan unsur ekstrinsik pula. Unsur ekstrinsik yang
lain misalnya pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya seni yang lain, dan
sebagainya.
2.3 Pengertian Nilai Moral
2.3.1 Pengertian Nilai
Istilah nilai atau dalam bahasa Inggris “value”, bahasa latin “valere” atau
bahasa Prancis Kuno “valoir” yang secara umum disebut keberhargaan atau
kebaikan pendapat Mulyana (Endraswara, 2016: 66). Ketika dipersepsi dalam
konteks tertentu, nilai menjadi sesuatu yang fenomenal dan sangat khas dalam
kehidupan manusia. Nilai dikatakan fenomenal karena tidak semua orang sepakat
untuk mendefinisikan nilai secara seragam dan dikatakan sangat khas karena
belum tentu semua orang memberikan penilaian yang sama terhadap suatu objek
yang diamati.
Nilai tidak hanya terdapat pada sesuatu yang berwujud (dalam aspek
material semata), tetapi sesuatu yang tidak berwujud pun memiliki nilai. Bahkan,
tidak jarang nilainya lebih tinggi daripada benda yang berwujud, seperti nilai
religious, nilai filosofis, dan nilai etis. Dengan perspektif demikian dapat
dipahami bahwa aspek nilai dan penilaian baru akan dapat dilakukan secara
maksimal apabila telah diwujudkan dalam symbol-simbol tertentu pendapat
Wiranata (Endraswara, 2016: 67).
Selain itu, Puteh (Edraswara, 2016: 67) menyatakan bahwa nilai
merupakan suatu unsur yang terdapat dalam semua ajaran moral yang popular dan
ia berdasarkan pengiktirafan bahwa individu dalam sesuatu kelompok social itu
saling membutuhkan satu sama lain.
Menurut Gabriel (Endraswara, 2016: 67), nilai adalah suatu ideal, suatu
paradigm yang menyatakan realitas social yang diingini dan dihormati. Pada
hakikatnya, nilai adalah kepercayaan-kepercayaan bahwa cara hidup yang
diidealisasi adalah cara yang terbaik bagi masyarakat.
Soelaeman (Endraswara, 2016: 67), mengatakan bahwa sikap pribadi
manusia terhadap apa yang ditemui di dunianya tidak terlepas dari perangkat nilai
yang diakui dan telah menjadi bagian pribadinya atau dipersonisasinya dan
manifestasinya dalam pola perilaku. Bila ditelusuri secara mendalam, perangkat
nilai itu akan merujuk kepada Sang Pencipta yang merupakan sumber asasidari
pribadi manusia dan dari-Nya memancar system nilai yang transparan dalam
perilaku manusia di dunia sehari-hari.
Sementara itu, Ambroise (Endraswara, 2016: 68) menyatakan bahwa nilai
itu dapat dilacak dari tiga realitas, yaitu pola tingkah laku, pola berpikir, dan pola
sikap. Ali ibn Abi Thalib (Endraswara, 2016: 68) mengatakan bahwa nilai
manusia terdapat dalam perbuatan baik yang dilakukan. Maknanya, ilmu
pengetahuan manusia, adab kesopanannya, ibadah, kedermawanan, serta akhlak
dan moralitasnya adalah nilaidiri yang sebenarnya dan bukan wajah, gaya, dan
kedudukannya.
Sehubungan dengan isi karya sastra, Amir (Endraswara, 2016: 68)
mengungkapkan bahwa karya sastra yang baik harus memenuhi keutuhan dan
keterpaduan, yakni memiliki nilai religius, nilai filosofis, nilai etis, dan nilai
estetis.
Sehubungan dengan hierarki nilai, Max Scheller (Adisusilo, 2013: 65),
membagi nilai membagi nilai menjadi empat tingkatan sebagai berikut :
1. Nilai-nilai kenikmatan: dalam tingkat ini,terdapat deretan nilai-niai
mengenakkan, yang menyebabkan orang senang atau menderita tidak enak.
Mialnya : kenikmatan,kesukaan,kesakitan, dan lain-lain.
2. Nilai-nilai kehidupan: dalam tingkat ini, terdapat nilai-nilai yang penting bagi
kehidupan. Misalnya: kesehatan, ketertiban, kedisiplinan, kesejahteraan umum,
dan lain-lain.
3. Nilai-nilai kejiwaan: dalam tingkatini, terdapat nilai-nilai kejiwaan yang sama
sekali tidak tergantung pada keadaan jasmani maupun lingkungannya.
Misalnya: kejujuran, kebenaran, keadilan, kehidupan, dan lain-lain.
4. Nilai-nilai kerohanian: dalam tingkat ini, terdapat modalitas nilai dari yang suci
dan tidak suci. Nilai-nilai pribadi, terutama Allah sebagai Pribadi Tertinggi
seperti kesucian, ketakwaan, dan lain-lain.
Secara garis besar nilai dibagi dalam dua kelompok yaitu nilai-nilai
nurani (values of being) dan nilai-nilai member (values of giving). Nilai-nilai
nurani adalah nilai yang ada dalam diri manusia kemudian berkembang menjadi
perilaku serta cara kita memperlakukan orang lain. Yang termasuk nilai-nilai
nurani adalah kejujuran, keberanian, cinta damai, keandalan diri, potensi, disiplin,
tahu batas, kemurnian, dan kesesuaian. Sedangkan nilai-nilai memberi adalah nilai
yang perlu dipraktikkan atau diberikan yang kemudian akan diterima sebanyak
yang diberikan. Yang termasuk dalam nilai-nilai member adalah setia, dapat
dipercaya, hormat, cinta, kasih sayang, peka, tidak egois, baik hati, ramah, adil,
dan murah hati. Linda (Elmubarok, 2009: 7).
Menurut Bertens (Subur, 2015:51) mengatakan sebenarnya nilai adalah
sesuatu yang berlaku, sesuatu yang memikat atau menghimbau kita. Secara
spesifik, nilai (value), berarti harga, makna, isi, dan pesan, semangat, atau jiwa
yang tersurat dan tersirat dalam fakata, konsep, dan teori, sehingga bermakna
secara fungsional.
Menurut H.M. Rasjidi (Najib, 2014: 6), penilaian seseorang
dipeangaruhi oleh fakta-fakta. Artinya, jika fakta-fakta atau keadaan berubah,
penilaian juga biasanya berubah. Hal ini berarti juga bahwa pertimbangan nilai
seseorang bergantung pada fakta.
Mulyana (Najib, 2014: 7) menyatakan bahwa nilai adalah keyakinan
dalam menentukan pilihan.
Menurut Najib (2014: 7) nilai adalah segala hal yang berhubungan
dengan tingkah laku manusia mengenai baik atau buruk yang diukur oleh agama,
tradisi, etika, moral, dan kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat.
Dari beberapa pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa
nilai adalah sesuatu yang tinggi, berharga, berkualitas dan bermutu, penting dan
sangat perlu bagi kehidupan manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Salfia. Nining. 2015. Nilai Moral dalam Novel 5 cm karya Donny Dhirgayantoro.
Jurnal Humanika. Vol. 3 No. 15. Dilihat pada tanggal 19 Oktober 2019.
https://www.semanticscholar.org.pdf.
Sumardjo, Jakob. 1999. Konteks Sosial Novel Indonesia 1920 – 1977. Bandung:
Alumni.
Ratna, Kutha Nyoman. 2008. Teori, Metode, dn Teknik Penelitian Sastra. Celeban
Timur Yogyakarta: Pustaka Pelajar.