Anda di halaman 1dari 138

REPRESENTASI LAKI-LAKI DALAM NOVEL SALAH PILIH KARYA

NUR SUTAN ISKANDAR DAN IMPLIKASINYA TERHADAP


PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh:
Afny Irfani
1112013000040

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA

2017
ABSTRAK

Afny Irfani, NIM: 1112013000040. “Representasi Laki-Laki dalam Novel Salah


Pilih karya Nur Sutan Iskandar dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di
SMA”, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen
Pembimbing: Novi Diah Haryanti, M. Hum.

Tujuan penelitian ini adalah: 1) untuk mengetahui representasi laki-laki dalam


novel Salah Pilih Karya Nur Sutan Iskandar, dan 2) implikasi novel Salah Pilih
Karya Nur Sutan Iskandar terhadap pembelajaran sastra di SMA. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif untuk
mendeskripsikan data berupa representasi laki-laki dalam novel Salah Pilih Karya
Nur Sutan Iskandar. Teknik analisis data dengan menggunakan metode membaca
heuristik dan hermeneutik. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bentuk
pendobrakan dan kepatuhan yang digambarkan lewat tokoh laki-laki dalam novel
ini, yaitu : 1) cara memilih pasangan untuk pernikahan, 2) anjuran memiliki istri
lebih dari satu, 3) cara mendidik anak, 4) pembagian harta warisan. Berdasarkan
bentuk-bentuk pendobrakan dan kepatuhan terhadap adat tersebut, dapat
disimpulkan bahwa tokoh yang mendobrak adat digambarkan memiliki akhir yang
bahagia, sementara tokoh yang patuh terhadap adat digambarkan memiliki akhir
yang tidak bahagia. Hal ini memperlihatkan sikap pengarang yang samar-samar
sehingga menjadikan tokoh yang mendobrak adat sebagai tokoh yang memiliki
keinginan untuk memajukan bangsanya dengan meninggalkan adat istiadat yang
tidak baik dan mengambil pelajaran yang baik walaupun hal baik tersebut berasal
dari Barat (penjajah), dan memberikan gambaran nasib yang baik sebagai dampak
dari manusia yang beradab.

Kata kunci: Salah Pilih, Nur Sutan Iskandar, Representasi, Laki-laki

i
ABSTRACT

Afny Irfani, NIM: 1112013000040. “The Representation of Male in the Novel


Salah Pilih by Nur Sutan Iskandar and it Implication Toward Indonesian Literary
Learning in High School,” Indonesian Language and Literature Department,
Faculty of Tarbiyah and Teacher Training, Syarif Hidayatullah State Islamic
University, Jakarta. Advisor: Novi Diah Haryanti, M. Hum.

The purpose of this research is: 1) to know and understand the male
representation in the novel Salah Pilih by Nur Sutan Iskandar. 2) The
Implications of Salah Pilih by Nur Sutan Iskandar towards the research of
literature in high school. The method that used was the descriptive qualitative
method to describe the data which represent the male in the novel Salah Pilih by
Nur Sutan Iskandar. It also used the heuristic and hermeneutic method as a
tehnique to analyze the data. Based on the results of research, it is found the form
of breaking and obedience which was described through the male characters in
this novel, namely: 1) how to choose a partner for marriage, 2) The suggestion to
have more than one wife, 3) how to educate children, 4) The division of
inheritance.Based on the forms of breaking and adherence to the tradition, it can
be concluded that the figure who broke the tradition was portrayed as having a
happy ending, while the adherent figure who followed the tradition was portrayed
as having an unhappy ending. This seems to be a vague authorship that makes a
person who breaks the tradition as a character who has the desire to make his
people business by abandoning bad customs and take a good lesson either from
the West (colonizers), and good dis as the impact of a civilized human being.

Keywords: Salah Pilih, Nur Sutan Iskandar, Representation , Male

ii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Segala puji dan syukur hanya bagi Allah, yang tiada henti
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Representasi Laki-Laki dalam Novel Salah Pilih Karya
Nur Sutan Iskandar dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA”.
Salawat dan salam tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, para
keluarga, dan pengikutnya hingga akhir zaman. Skripsi ini, penulis susun untuk
memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana pendidikan pada Program
Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi, penulis


membutuhkan bimbingan, dukungan, dan doa dari berbagai pihak. Sebagai
ungkapan rasa hormat, penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.Pd., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang dengan
semangatnya telah mendorong penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
3. Toto Edidarmo, MA., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah
memberikan saran dan semangat;
4. Novi Diah Haryanti, M.Hum., sebagai dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu, memberikan perhatian dan motivasi yang begitu besar,
mengarahkan dengan tabah, bahkan meminjamkan koleksi buku-buku
pribadinya sebagai penunjang bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini
dengan baik.
5. Rosida Erowati, M.Hum., selaku dosen pembimbing akademik yang
banyak membantu memberikan saran dan arahan selama proses
perkuliahan dan penulisan skripsi ini.

iii
6. Seluruh dosen jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, atas semua ilmu, motivasi, dan inspirasi
yang begitu berguna dalam kehidupan saya;
7. Teristimewa untuk keluarga penulis, orangtua, yaitu Alm. H. Muzakkir
S.Pd.I yang selalu memberikan petuah dan inspirasi kebaikan yang tidak
pernah putus, bahkan di saat raganya sudah tak lagi ada. Skripsi ini penulis
persembahkan untuk ayahanda tercinta sebagai bentuk cinta dan sayang
penulis yang tidak bisa digambarkan dengan kata apapun. Tidak lupa
untuk Ibu tercinta, Araini, yang selalu memberikan kekuatan untuk
berjuang lebih keras dan doa yang tidak pernah putus. Kakak dan Adik
tercinta, Syarah Irfani dan Ibnu Yazdad Al-Muzakkir, yang selalu
memberikan dukungan dan doa yang tak kenal lelah.
8. Keluarga besar H. Yahya dan keluarga besar H. Lamri atas dukungan dan
doa yang selalu tercurah untuk penulis.
9. Keluarga besar Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
khususnya angkatan 2012 yang selalu menjadi tempat diskusi yang hangat
dan menarik saat perkuliahan;
10. Sahabat-sahabat yang selalu ada dan setia: Tiara Nur Pratiwi, Rumiyati,
Desianti Sri Lestari, Tera Gustia, Wulandari, Nengsih dan Siti Asiyah
yang tidak pernah lelah memotivasi penulis dan selalu menjadi tempat
ternyaman untuk berbagi suka dan duka. ;
11. Sahabat-sahabat seperjuangan selama menempuh perkuliahan, seluruh
anggota “Lambe Turah” (Mei Lannihari, Annisa Mutmainnah, Wirda
Makiyah, Indri Zikria Oktaviani dan Citra Nur Imaniar) yang membuat
perkuliahan begitu berkesan dan menjadikan kampus sebagai tempat
manis yang merekam persahabatan kita. Terima kasih untuk motivasi,
tawa, tangis, bahagia, sedih, waktu, dan segala hal yang telah kalian
berikan kepada penulis dengan begitu tulus dan berkesan.
12. Ade Nurhadi, sebagai sosok yang tak pernah lelah memberikan dukungan
yang begitu luar biasa bagi penulis. Terima kasih untuk waktu, tenaga,

iv
materi, pikiran, perhatian dan segalanya yang telah diberikan untuk
penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
13. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam pembuatan skripsi ini
yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis berharap semoga semua pihak yang telah membantu dalam


penyusunan skripsi ini mendapat balasan yang lebih baik dari Allah SWT.
Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, penulis memohon maaf atas
kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini. Kritik dan saran sangat
penulis harapkan dari semua pihak. Semoga kehadiran skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Jakarta, November 2017

v
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING


SURAT PERNYATAAN KARYA ILMIAH
ABSTRAK ....................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................... iii
DAFTAR ISI ...................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................... 5
C. Batasan Masalah ........................................................... 6
D. Rumusan Masalah ........................................................... 6
E. Tujuan Penelitian ........................................................... 6
F. Manfaat Penelitian ........................................................... 6
G. Metode Penelitian ........................................................... 7
1. Sumber Data ........................................................... 7
2. Teknik Pengumpulan Data.............................................. 8
3. Teknik Analisis Data....................................................... 8

BAB II KAJIAN TEORETIS ....................................................... 9


A. Pengertian Novel .......................................................... 9
B. Unsur Intrinsik Novel ........................................................... 10
1. Tema ........................................................... 11
2. Tokoh dan Penokohan..................................................... 12
3. Latar ........................................................... 13
4. Alur ........................................................... 14
5. Sudut Pandang ........................................................... 15
6. Gaya Bahasa ........................................................... 16
7. Amanat ........................................................... 17
C. Representasi ........................................................... 17
D. Pengertian Laki-Laki ........................................................... 20
E. Pengertian Poskolonial........................................................... 20
F. Pembelajaran Sastra Indonesia.............................................. 22
G. Penelitian Relevan ........................................................... 23

BAB III PENGARANG DAN KARYANYA ............................. 28


A. Biografi Nur Sutan Iskandar ................................................ 28
B. Pemikiran Nur Sutan Iskandar.............................................. 30

vi
C. Sinopsis Novel Salah Pilih .............................................. 32

BAB IV HASIL ANALISIS .......................................................... 35


A. Struktur Novel Salah Pilih .............................................. 35
1. Tema ............................................... 35
2. Tokoh, Penokohan dan Sudut Pandang ....................... 36
3. Alur ............................................... 53
4. Latar ............................................... 63
5. Gaya Bahasa ............................................... 71
6. Amanat ............................................... 72
B. Representasi Laki-Laki ............................................... 73
1. Bentuk-Bentuk Pendobrakan dan Kepatuhan Terhadap Adat 73
a. Cara Memilih Pasangan Untuk Pernikahan ............. 73
b. Anjuran Memiliki Istri Lebih dari Satu ................... 76
c. Cara Mendidik Anak ............................................... 77
d. Pembagian Harta Warisan ....................................... 79
2. Visi Pengarang Terhadap Representasi Laki-Laki……. 81
C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA………… 96

BAB V PENUTUP ........................................................... 101


A. Simpulan ........................................................... 101
B. Saran ........................................................... 102

DAFTAR PUSTAKA
UJI REFERENSI
LAMPIRAN LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Uji Referensi


Lampiran 2 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

viii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Nur Sutan Iskandar1 adalah salah seorang pengarang yang sangat produktif
dari Angkatan Balai Pustaka. Selain dikenal sebagai pengarang, ia juga dikenal
sebagai pejuang kemerdekaan. Karya-karya yang menunjukkan kecintaannya
kepada tanah air dapat kita baca dalam buku Cobaan, Jangir Bali, Mutiara, dan
Cinta Tanah Air. Dalam bukunya yang berjudul Cinta Tanah Air misalnya, ia
telah berhasil membangkitkan semangat nasionalisme di kalangan pembacanya
yaitu sebagai pamflet politik.2
Apa yang dicita-citakan Iskandar mengenai nasionalisme, selain
diperjuangkan lewat politik praktis, juga lewat karya sastra. Jika kita teliti dengan
seksama karya-karya Iskandar tahun 20-an hingga 40-an (sesudah Perang Dunia),
terlihat ada proses perkembangan dalam memperjuangkan nasionalisme itu.
Dalam dekade 20-an misalnya, nasionalisme yang disuarakan masih bersifat
primordial, yakni hanya berkisar pada gugatan dan kritikan terhadap adat
sukunya, Minangkabau. Ini bisa dilihat, antara lain dalam Apa Dayaku karena Aku
Perempuan (1922) dan Salah Pilih (1928).3
Lewat novelnya yang berjudul Salah Pilih, Iskandar menceritakan tentang
seorang laki-laki bernama Asri yang menikahi perempuan bernama Saniah yang
berasal dari suku terpandang dan memiliki keturunan bangsawan, namun setelah
menikah, Asri merasa salah memilih pasangan hidup karena hanya melihat harta,
pangkat dan suku, dikarenakan ia merasa harus menghargai adat istiadat yang
berlaku. Sampai pada akhirnya, Asri bertekad untuk menikahi Asnah yang
merupakan saudara perempuan angkatnya setelah kecelakaan yang
menghilangkan nyawa istrinya, Saniah. Walaupun dianggap melawan adat, Asri
bersikukuh untuk menikahi Asnah karena merasa bahwa Asnah-lah cinta

1
Selanjutnya disingkat Iskandar
2
Oyon Sofyan, Mengenang Nur Sutan Iskandar (3-11-1893 – 28-11-1975) Pengarang dan Perintis
Kemerdekaan RI
3
Anonim, Tragedi Nasionalisme Nur Sutan Iskandar, (Media Indonesia: Jakarta, 1991) h. 4

1
2

sejatinya. Karena novel ini ditulis pada tahun 1928, yaitu sebelum Indonesia
merdeka, dan diterbitkan oleh Balai Pustaka yang merupakan penerbit pemerintah
Belanda, maka tokoh Asri penulis anggap memiliki tujuan politis, yaitu
memengaruhi kaum terpelajar Indonesia mengikuti garis politik Belanda. Hal ini
tergambar melalui sifat Asri yang ke barat-baratan walaupun tidak secara vulgar
ditampilkan dalam novel tersebut. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk
mengetahui jejak kolonialisme dalam teks tersebut, yang direpresentasikan
khususnya melalui tokoh Asri sebagai tokoh laki-laki utama dalam novel tersebut.
Laki-laki dianggap sebagai sosok yang kuat dan pemberani, sehingga di balik
itu banyak pengarang yang menggambarkan laki-laki sebagai sosok yang egois,
arogan dan dianggap menguasai perempuan dalam hal apapun. Novel-novel yang
mengangkat perempuan sebagai tokoh utama tentunya selalu didampingi tokoh
laki-laki yang kebanyakan bersifat antagonis, seperti Siti Nurbaya (1922) karya
Marah Rusli, Ronggeng Dukuh Paruk (2003) karya Ahmad Tohari, Salah Asuhan
(1928) karya Abdoel Moeis, Perempuan Berkalung Sorban (2001) karya Abidah
El Khalieqy dan novel yang akan penulis bahas Salah Pilih (1928) karya Nur
Sutan Iskandar. Karya-karya yang penulis sebutkan di atas, menggambarkan
sosok laki-laki yang pemarah, kasar, menindas kaum perempuan, hanya
mementingkan persoalan seks, dan melecehkan kaum perempuan. Sementara
dalam novel Salah Pilih karya Nur Sutan Iskandar terdapat tokoh laki-laki yang
penulis anggap berbeda dengan kebanyakan laki-laki yang digambarkan dan
mendapatkan pengaruh dari masa penjajahan di Indonesia.
Hubungan laki-laki dan perempuan merupakan salah satu permasalahan yang
banyak diangkat oleh pengarang. Masih banyak pengarang yang menganggap
perempuan belum mendapatkan hak yang setara dengan laki-laki, sehingga
banyak penelitian yang mengangkat perempuan sebagai tema pembahasannya.
Namun saat ini laki-laki lebih direpresentasikan sebagai laki-laki penyayang yang
mau bekerja sama dan mendukung perempuan. Hal inilah yang ingin penulis
perlihatkan dalam novel Salah Pilih. Selain perempuan, tokoh laki-laki pun
banyak dihadirkan dengan berbagai perangai dan watak oleh pengarang dalam
berbagai karya, namun sementara ini masih sedikit yang membahas laki-laki
3

dalam penelitiannya. Dengan demikian, penulis tertarik mengambil laki-laki


sebagai subjek dalam penelitian ini dan melihat representasinya dalam novel
Salah pilih karya Nur Sutan Iskandar dengan menggunakan teori poskolonial.
Manneke Budiman mengatakan bahwa Poskolonialisme secara longgar
dipahami sebagai suatu kajian tentang bagaimana sastra mengungkapkan “jejak-
jejak” kolonialisme dalam konfrontasi “ras-ras, bangsa-bangsa, dan kebudayaan-
kebudayaan” yang terjadi dalam lingkup “hubungan kekuasaan yang tak setara”
sebagai dampak dari kolonisasi Eropa atas bangsa-bangsa di „dunia ketiga‟.4
Oleh karena itu, sastra dianggap sebagai rekam jejak atas segala sesuatu yang
terjadi pada sebuah negara, dalam penelitian ini khususnya sebagai rekam jejak
kolonialisme di Indonesia, sehingga memberikan banyak inspirasi kepada
pengarang. Peristiwa-peristiwa yang hadir dalam masyarakat banyak memberikan
ide atau gagasan kepada para penulis untuk merepresentasikannya dalam sebuah
karya. Karya-karya fiksi yang merupakan sebuah hasil imajinasi sastrawan
tentang komunitas sosial tentu saja bukan semata-mata hasil dari dunia penciptaan
yang bersifat khayalan semata, melainkan sebuah karya fiksi lebih dari itu.
Hal itu terjadi karena setiap fenomena sosial yang terjadi di masyarakat
merupakan indikator dan menjadi objek penciptaan karya sastra. Realitas sosial
dalam hal ini merupakan bahan dasar yang kemudian diolah sedemikian rupa
dengan kombinasi imajinasi dan intelektualitas pengarang sehingga menjadi
sebuah karya. Karya yang dihasilkan tidak hanya bersifat menghibur, tetapi juga
sekaligus mendidik. Ini menunjukkan bahwa seorang pengarang membutuhkan
data yang akurat mengenai fakta-fakta sosial yang diangkat dalam karyanya.
Untuk itu, pengarang memerlukan penelitian atau paling tidak observasi, baik
langsung di lapangan maupun melalui penelitian pustaka. Hasil dari proses
tersebut merupakan sebuah produk yang tidak hanya sebagai sebuah karya sastra,
tetapi juga representasi fakta-fakta sosial. Ini berarti bahwa ketika seseorang
menikmati karya sastra maka secara tidak langsung mereka menikmati refleksi
kehidupannya dalam organisasi sosial. Oleh karenanya, karya sastra secara tidak

4
Keith Foulcher dan Tony Dey, Sastra Indonesia Modern Kritik Postkolonial (Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 2008) h. ix
4

langsung menggambarkan kembali peristiwa yang dialami oleh pengarang – baik


secara langsung maupun tidak – lewat karya-karyanya.
Karya sastra dan nama-nama sastrawan di Indonesia seiring perkembangan
zaman, mulai pudar dan makin tidak diketahui oleh para peserta didik saat ini.
Pengaruh media sosial ternyata mendorong minat membaca para remaja
khususnya untuk membaca novel-novel popular yang umumnya bertemakan
petualangan cinta para remaja yang banyak menggunakan kata-kata puitis dan
mewakili perasaan pembaca. Lemahnya minat membaca siswa dan kurangnya
edukasi mengenai hal-hal tentang kesusastraan inilah yang menjadi salah satu
faktor kurangnya pengetahuan siswa tentang sastrawan dan dunia kesusastraan.
Terlebih, kegiatan membaca di kalangan siswa saat ini, bukanlah membaca buku.
Mereka lebih antusias saat membaca pesan-pesan di media sosial. Rendahnya
minat para peserta didik inilah yang akhirnya membuat penulis memilih Nur
Sutan Iskandar sebagai sosok yang wajib dikenalkan kepada para peserta didik
sebagai salah satu sastrawan di Indonesia.
Kurangnya pemahaman siswa tentang cara menganalisis unsur intrinsik
maupun ekstrinsik dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia juga menjadi
salah satu alasan mengapa penulis tertarik untuk membahas karya ini. Dalam
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, biasanya pendidik hanya
memerintahkan siswa untuk membaca penggalan novel yang tersedia di buku
latihan atau lembar kerja siswa. Hal itu tentu membuat siswa merasa kesulitan
dalam menganalisis unsur intrinsik maupun ekstrinsik dari novel tersebut, dan
informasi yang diterima siswa hanya berupa penggalan saja, sehingga saat
menganalisis akan terjadi kesalahan penafsiran. Padahal, di dalam novel antara
satu paragraf dengan paragraf yang lain memiliki hubungan yang tidak dapat
dipisahkan. Oleh karena itu, pendidik harus mampu memberikan metode-metode
yang kreatif dan inovatif sehingga mampu meningkatkan minat siswa dalam
membaca dan menganalisis sebuah karya sastra.
Novel Salah Pilih ini juga dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran
bahasa dan sastra Indonesia di sekolah, dan salah satu pokok bahasannya adalah
menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel. Hasil penelitian ini dapat
5

menjadi acuan dalam mengajarkan cara menganalisis unsur-unsur intrinsik dan


ekstrinsik novel kepada siswa. Khususnya mengajak siswa memahami
perwujudan representasi laki-laki pada masa penjajahan dan dapat memberikan
pengetahuan budaya yang terdapat dalam novel tersebut. Pembelajaran sastra
bertujuan memberikan wawasan sosial budaya dan pembentukan karakter siswa.
Novel Salah Pilih karya Nur Sutan Iskandar ini dinilai dapat menunjang
pencapaian tujuan pembelajaran sastra tersebut. Terlebih bagi siswa laki-laki
diharapkan dapat meneladani sifat positif yang digambarkan pengarang lewat
tokoh yang dihadirkan. Siswa akan memahami bagaimana kehidupan masyarakat
di Sumatera Barat serta adat istiadat di daerah tersebut pada masa silam, yang
dapat menambah wawasan siswa terhadap sosial budaya.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk menganalisis “Representasi
laki-laki dalam novel Salah Pilih Karya Nur Sutan Iskandar dan Implikasinya
terhadap Pembelajaran Sastra di SMA”.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, identifikasi masalah dapat
diuraikan sebagai berikut.
1. Kurangnya minat siswa dalam kegiatan membaca dan belajar sastra
khususnya pembelajaran novel, karena biasanya metode atau media yang
digunakan oleh pendidik terasa monoton.
2. Kurangnya pengetahuan siswa tentang sastrawan di Indonesia khususnya
Nur Sutan Iskandar.
3. Kurangnya pemahaman siswa mengenai unsur intrinsik dan ekstrinsik
karya sastra khususnya novel.
4. Kurangnya minat siswa untuk membaca secara detail, sehingga tidak
dapat memahami teks novel secara mendalam.
5. Kurangnya minat siswa dalam mempelajari sejarah, adat istiadat, serta
kekayaan budaya di Indonesia.
6

C. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan, maka peneliti
membatasi dan memfokuskan kajian dalam penelitian ini pada analisis unsur
intrinsik novel Salah Pilih, serta representasi laki-laki yang ditampilkan melalui
tokoh laki-laki dalam novel tersebut dan implikasinya terhadap pembelajaran
sastra di sekolah.

D. Rumusan Masalah
Agar penelitian ini lebih terfokus dan terarah, maka penulis merumuskan
masalah dalam penelitian ini sebagai berikut.
1. Bagaimanakah representasi laki-laki yang digambarkan melalui tokoh laki-
laki dalam novel Salah Pilih?
2. Bagaimanakah implikasi hasil penelitian terhadap pembelajaran sastra di
sekolah?

E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui representasi laki-laki yang digambarkan melalui tokoh laki-
laki dalam novel Salah Pilih.
2. Mengetahui implikasi representasi laki-laki dalam novel Salah Pilih karya
Nur Sutan Iskandar dalam pembelajaran sastra di sekolah.

F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoretis
maupun praktis. Manfaat teoretis dari penelitian yang dilakukan penulis
diharapkan dapat mengembangkan ilmu kesusastraan di tanah air, khususnya
dalam aspek unsur intrinsik dalam novel, serta representasi laki-laki pada karya
sastra dalam bentuk novel. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan
sumbangan pada pembelajaran sastra di sekolah.
Adapun secara praktis, penelitian ini bermanfaat untuk melihat gambaran
kehidupan laki-laki dalam novel Salah Pilih karya Nur Sutan Iskandar. Selain itu,
7

dapat membantu pembaca untuk lebih memahami novel Salah Pilih karya Nur
Sutan Iskandar.

G. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu
metode yang secara keseluruhan memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan
menyajikannya dalam bentuk deskripsi. Penelitian ini berupaya memaparkan
secara rinci, sistematis, cermat, dan faktual mengenai representasi laki-laki dalam
novel Salah Pilih karya Nur Sutan Iskandar.
Metode kualitatif dianggap persis sama dengan metode pemahaman. Sesuai
dengan namanya metode penelitian kualitatif memperlihatkan hakikat nilai-nilai,
dan sumber datanya merupakan karya, naskah, dan penelitiannya sebagai data
formal adalah kata, kalimat, wacana.5
Dengan demikian, laporan penelitian berisi kutipan-kutipan data untuk
memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Dalam penelitian ini, data yang
dikumpulkan berupa kutipan kata, kalimat, dan wacana dalam novel Salah Pilih
karya Nur Sutan Iskandar.
Hal-hal yang perlu dipaparkan dalam penelitian ini meliputi objek penelitian,
data dan sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.
1. Sumber Data/Objek Penelitian
Data penelitian ini bersumber pada novel Salah Pilih karya Nur Sutan
Iskandar diterbitkan oleh Balai Pustaka pertama kali pada tahun 1928,
sementara yang penulis gunakan adalah cetakan ke-33 yang diterbitkan
tahun 2013 dengan jumlah 266 halaman dan. Selain itu, data penelitian ini
juga bersumber pada kajian kepustakaan mengenai representasi laki-laki
yang terdapat dalam novel Salah Pilih karya Nur Sutan Iskandar.

5
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010) h. 47
8

2. Teknik Pengumpulan Data


Langkah-langkah pengumpulan data dalam novel Salah Pilih karya Nur
Sutan Iskandar, yaitu:
a. Membaca secara cermat novel Salah Pilih karya Nur Sutan Iskandar
untuk mencari kata, kalimat, dan wacana yang mengandung unsur
representasi laki-laki.
b. Mencatat hal-hal yang berkaitan dengan representasi laki-laki dalam
novel Salah Pilih karya Nur Sutan Iskandar.
c. Mengklasifikasikan data representasi laki-laki dalam novel Salah
Pilih karya Nur Sutan Iskandar.
d. Menganalisis data dan melakukan pembahasan dengan interpretasi
data dalam novel Salah Pilih karya Nur Sutan Iskandar.
e. Hasil dari analisis digunakan untuk mengimplikasi refleksi
representasi laki-laki dalam novel Salah Pilih karya Nur Sutan
Iskandar.

3. Teknik Analisis Data


Langkah-langkah yang digunakan untuk menganalisis data yaitu:
a. Mengalisis novel Salah Pilih karya Nur Sutan Iskandar dengan
menggunakan analisis struktural. Analisis dilakukan dengan
membaca serta memahami data kembali.
b. Mengklasifikasikan teks-teks yang berkaitan dengan representasi
laki-laki yang terdapat dalam novel Salah Pilih karya Nur Sutan
Iskandar.
c. Melakukan pembahasan terhadap hasil analisis dengan interpretasi
data dalam novel Salah Pilih karya Nur Sutan Iskandar.
d. Mengimplikasikan novel Salah Pilih karya Nur Sutan Iskandar pada
pembelajaran sastra di sekolah yang dilakukan dengan cara
menghubungkan materi pelajaran di sekolah.
e. Menyimpulkan hasil penelitian.
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pengertian Novel
Berbicara tentang fiksi, biasanya kita mengacu pada cerita pendek atau novel;
padahal fiksi berarti segala narasi dalam bentuk prosa atau sajak dan merupakan
karya imajinatif. Baik drama maupun puisi naratif (mengisahkan cerita) dapat
diklasifikasikan sebagai fiksi, seperti juga cerita rakyat, parable, fable, legenda,
satir dan roman. Semua mengandung elemen-elemen fiktif.1
Sebagai sebuah karya imajinatif, fiksi menawarkan berbagai permasalahan
manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai
permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang kemudian
diungkapkannya kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya.2
Sebutan novel dalam bahasa Inggris – dan inilah yang kemudian masuk ke
Indonesia – berasal dari bahasa Itali novella (yang dalam bahasa Jerman: novelle).
Secara harfiah novella berarti ―sebuah barang baru yang kecil‖, dan kemudian
diartikan sebagai ‗cerita pendek dalam bentuk prosa‘. Dewasa ini istilah novella
dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelet,
yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu
panjang, namun juga tidak terlalu pendek. Sebelum novel telah muncul roman
yang keberadaannya sudah sejak lama. Novel bersifat realistis dan roman bersifat
puitik dan epik.3
Novel merupakan karya fiksi, yaitu karya dalam bentuk kisah atau cerita yang
melukiskan tokoh-tokoh dan peristiwa rekaan. Atau menurut pengertian yang
diberikan oleh Yelland (1983) bahwa fiksi berarti “…that which is invented, as
distinguished from that which is true.” Sebuah novel bisa saja memuat tokoh-

1
Albertine Minderop, Metode Karakteristik Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
20011), h. 1
2
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: PT Gadjah Mada University, Cet.
Kesepuluh 2013), h. 2
3
Ibid., h. 9-10

9
10

tokoh dan peristiwa-peristiwa nyata, tetapi pemuatan tersebut biasanya hanya


berfungsi sebagai bumbu belaka dan mereka dimasukkan dalam rangkaian cerita
yang bersifat rekaan atau dengan detail rekaan. Walaupun peristiwa dan tokoh-
tokohnya bersifat rekaan, mereka memiliki kemiripan dengan kehidupan
sebenarnya. Mereka merupakan ―cerminan kehidupan nyata‖. Apa yang dimaksud
dengan kemiripan ini telah lama menjadi bahan perdebatan di kalangan pemerhati
sastra, dan ia memang pantas diperdebatkan karena masalah kemiripan ini sangat
bervariasi antara satu novel dengan novel yang lain. Terlepas dari silang pendapat
tersebut, kemiripan dengan kehidupan nyata ini sudah menjadi ciri pembeda
(distinctive feature) novel dari karya-karya sastra lainnya, seperti dari roman atau
hakikat.4
Wellek dan Warren menjelaskan bahwa novel merupakan dokumen atau
kasus sejarah, yang berisi tentang kehidupan manusia pada zamannya. Begitu pula
dengan Esten, ia beranggapan bahwa latar belakang sejarah dan zaman serta latar
belakang kemasyarakatan punya pengaruh besar dalam proses penciptaan, juga
dalam penulisan novel.5
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa novel
adalah karya fiksi yang memuat tokoh dan sebuah peristiwa rekaan dan memiliki
kemiripan dengan kehidupan sebenarnya, sehingga novel sering disebut sebagai
cerminan kehidupan nyata, karena berisi tentang kehidupan manusia pada
zamannya yang proses penciptaan dan penulisannya terpengaruh oleh latar
belakang masyarakat, sejarah dan zaman.

B. Unsur Intrinsik Novel

Unsur intrinsik ialah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri
yang secara langsung turut serta membangun cerita. Pada umumnya, para ahli
membagi unsur intrinsik prosa rekaan atas alur (plot), tokoh, penokohan, latar

4
Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2010), h. 2-3
5
Mursal Esten, Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah, (Bandung: Penerbit Angkasa, 2013)
h.50
11

cerita (setting), titik pandang (sudut pandang), gaya bahasa, amanat dan tema.6
Menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M. unsur intrinsik prosa fiksi meliputi:
tema, tokoh dan penokohan, latar (setting), alur, sudut pandang, gaya bahasa, dan
amanat.

1. Tema
Siswanto menyatakan tema adalah ide yang mendasari sebuah cerita. Tema
berperanan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan
yang diciptakannya.7 Sementara Brooks, Puser dan Waren mengatakan bahwa
tema adalah pandangan hidup tertentu atau perasaan tertentu mengenai
kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau
membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya sastra.8
Robert Stanton mengatakan bahwa tema memberi kekuatan dan
menegaskan kebersatuan kejadian-kejadian yang sedang diceritakan sekaligus
mengisahkan kehidupan dalam konteksnya yang paling umum. Apapun nilai
yang terkandung di dalamnya, keberadaan tema diperlukan karena menjadi
salah satu bagian penting yang tidak terpisahkan dengan kenyataan cerita.
Tema bukanlah sesuatu yang diungkapkan pengarang secara langsung melalui
fakta-fakta seperti ‗moralitas‘. Oleh karena itu, tema sangat jarang berwujud
pesan-pesan moral atau nasihat-nasihat. Tema bisa mengambil bentuk yang
paling umum dari kehidupan, bisa berwujud satu fakta dari pengalaman
kemanusiaan yang digambarkan atau dieksplorasi oleh cerita seperti
keberanian, ilusi, dan masa tua. Bahkan, tema juga dapat berupa gambaran
kepribadian salah satu tokoh. Satu-satunya generalisasi yang paling
memungkinkan darinya adalah bahwa tema membentuk kebersatuan pada
cerita dan memberi makna pada setiap peristiwa.9
Maka, dapat disimpulkan bahwa tema adalah ide yang mendasari sebuah
cerita atau pandangan hidup ternetu mengenai kehidupan yang membentuk
gagasan utama dari suatu karya sastra.

6
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008) h. 142
7
Ibid., h.161
8
Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Penerbit Angkasa,1993) h. 125
9
Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) h. 7-8
12

2. Tokoh dan Penokohan


Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita sehingga
peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan
tokoh disebut penokohan.10 Tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai
sifat, sikap, tingkah laku, atau watak-watak tertentu. Tokoh cerita yang dalam
bahasa Inggris dikenal character, menurut Abrams adalah orang-orang yang
ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca
ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.11
Tokoh sendiri menurut Nurgiyantoro dapat dibedakan menjadi tokoh
utama atau tambahan berdasarkan pada peran dan pentingnya seorang tokoh
dalam cerita fiksi secara keseluruhan. Tokoh utama (central character)
adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang
bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan. Baik
sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Sementara tokoh
tambahan (periferal character) kemunculannya kurang diabaikan, atau paling
tidak, kurang mendapat perhatian, karena kemunculannya yang hanya
beberapa kali. 12
Sementara, jika dilihat dari bersahaja-kompleksnya seorang tokoh, tokoh-
tokoh dalam novel dapat dibagi menjadi tokoh bersahaja (flat character) dan
tokoh kompleks (round character). Tokoh-bersahaja biasanya hanya
mempunyai satu sifat (watak) pokok. Dan semua tindakan, pikiran, pendapat,
dan sikap-sikapnya dapat dikembalikan pada sifat pokok itu. Berbeda dengan
tokoh-bersahaja, tokoh-kompleks mempunyai lebih dari satu sifat (watak),
sehingga sukar menduga tindakan atau perbuatannya.13
Selain itu, jika dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke
dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis menampilkan
sesuatu yang sesuai dengan pandangan kita, harapan-harapan kita, harapan-

10
Wahyudi Siswanto, Op.Cit., h.142
11
Burhan Nurgiyantoro, Op.cit., h. 247
12
Ibid, h. 258-259
13
Pamusuk Eneste, Novel dan Film, (Flores: Nusa Indah, 1991) h. 28
13

harapan pembaca. Sementara tokoh antagonis adalah tokoh yang menjadi


penyebab terjadinya konfllik. Tokoh antagonis adalah tokoh yang beroposisi
dengan tokoh protagonis, secara langsung ataupun tidak langsung, bersifat
fisik ataupun batin. 14

3. Latar (Setting)
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada
pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan.15 Abrams mengemukakan latar cerita
adalah tempat umum (general locale), waktu kesejarahan (historical time),
dan kebiasaan masyarakat (social circumstances) dalam setiap episode atau
bagian-bagian tempat.16

a. Latar Tempat
Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan
mungkin berupa tempat-tempat dengan naa tertentu, inisial tertentu
mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Tempat-tempat yang bernama
adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata, misalnya Magelang,
Yogyakarta, dan sebagainya. Latar tempat tanpa nama jelas biasanya
hanya berupa penyebutan jenis dan sifat umum tempat-tempat tertentu,
misalnya desa, sungai, jalan, hutan, dan sebaginya.17

b. Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah ―kapan‖ terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah
―kapan‖ tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu factual, waktu yang
ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Pengetahuan

14
Burhan Nurgiyantoro, Op.Cit., h.260-261
15
Ibid., h. 302
16
Wahyudi Siswanto, Op.cit., hlm. 148
17
Burhan Nurgiyantoro, Op.cit., hlm. 314-315
14

dan persepsi pembaca terhadap waktu sejarah itu kemudian dipergunakan


untuk mencoba masuk ke dalam suasana cerita.18

c. Latar Sosial
Latar sosial menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya
fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah
dalam lingkup yang cukup kompleks. Itu dapat berupa kebiasaan hidup,
adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan
bersikap, dan lain-lain. Di samping itu, latar sosial juga berhubungan
dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah,
menengah, atau atas.19

4. Alur
Alur ialah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa
sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam
suatu cerita. Alur merupakan bagian dari struktur sebuah cerita rekaan. Alur
adalah sebuah cerita, sebuah penyeleksian dari peristiwa-peristiwa yang
disusun dalam waktu, dan satu penjelasan kenapa sebuah novel terus dibaca
adalah untuk melihat apa yang terjadi selanjutnya.20

Hal terpenting dalam alur adalah unsur sebab-akibat, dengan


demikian alur adalah pengisahan kejadian dengan tekanan pada sebab-
musabab, yang penting bukan kejadian itu sendiri, melainkan alasan
(motif) kejadian itu.21 Alur sendiri memiliki tahapan-tahapan, sehingga
terbentuklah sebuah cerita. Pada dasarnya alur bergerak dari permulaan,
pertengahan, dan akhir. Ada berbagai pendapat mengenai tahapan-tahapan
peristiwa dalam cerita.

18
Ibid, h.318
19
Ibid., h. 322
20
Mursal Esten, Kritik Sastra Indonesia, (Padang: Angkasa Raya, 1984), h. 39
21
Pamusuk Eneste, Op.Cit., h. 19
15

Aminuddin membedakan tahapan-tahapan peristiwa sebagai berikut:22


1) Pengenalan adalah tahap peristiwa dalam suatu cerita rekaan atau
drama yang memperkenalkan tokoh-tokoh atau latar cerita.
2) Konflik atau tikaian adalah ketegangan atau pertentangan antara dua
kepentingan atau kekuatan di dalam cerita rekaan atau drama.
3) Komplikasi atau rumitan adalah bagian tengah alur cerita rekaan atau
drama yang mengembangkan tikaian.
4) Klimaks adalah bagian alur cerita rekaan atau drama yang melukiskan
puncak ketegangan, terutama dipandang dari segi tanggapan
emosional pembaca.
5) Krisis adalah bagian alur yang mengawali penyelesaian
6) Leraian adalah bagian struktur alur sesudah tercapainya klimaks.
7) Selesaian adalah tahapan akhir suatu cerita rekaan atau drama.

5. Sudut Pandang
Istilah sudut pandang yang dalam bahasa Inggris point of view atau
viewpoint mengandung arti: suatu posisi dimana si pencerita berdiri, dalam
hubungan dengan ceritanya, yakni suatu sudut pandang dimana peristiwa
diceritakan. Dalam sudut pandanag terdapat beragam variasi dan kombinasi,
namun ada tiga varian mendasar yang berbeda, sudut pandang impersonal,
orang ketiga dan orang pertama, serta sudut pandang dramatik. Sudut
pandang impersonal adalah bila si pencerita berdiri di luar cerita dan bergerak
secara bebas dari satu tokoh ke tokoh lainya, suatu tempat ke tempat lainnya,
satu episode ke episode lainnya yang dapat memberikan akses terhadap
pikiran dan perasaan tokoh dengan bebasnya. Sudut pandang orang ketiga, si
pengarang memilih seorang tokoh dan cerita, dengan demikian si tokoh
menyampaikan visinya sendiri; sedangkan sudut pandang dengan pencerita
orang pertama, cerita disampaikan oleh orang pertama sebagai salah satu
tokoh dalam cerita. Sudut pandang dramatik adalah bila cerita tidak
disampaikan oleh siapa pun melainkan melalui dialog dan lakuan.
Ketidakhadiran pencerita digantikan oleh percakapan, ucapan dan tingkah
laku para tokoh.23

22
Siswanto, op. cit., h. 159-160
23
Albertine Minderop, Op.Cit., h. 89-90
16

Ada banyak jenis sudut pandang dalam karya sastra salah satunya
berdasarkan pemaparan dari Albertine Minderop sebagai berikut:24

1) Sudut pandang persona ketiga ―Diaan‖


Sudut pandang persona ketiga ―Dia‖ digunakan dalam pengisahan
cerita dengan gaya ―Dia‖. Narator atau pencerita adalah seorang yang
menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut namanya. Pada
sudut pandang persona ketiga ―Diaan‖ terbagi menjadi dua macam,
pertama sudut pandang orang ketiga ―Dia‖ mahatahu yaitu pencerita
berada diluar diluar cerita dan melaporkan peristiwa-peristiwa
menyangkut para semua tokoh. Kedua ―Dia‖ terbatas sebagai pengamat
yaitu pencerita yang berada diluar cerita yang mengetahui segala
sesuatu tentang diri seorang tokoh saja baik tindakan maupun batin
tokoh tersebut.

2) Sudut pandang pesona pertama ―Akuan‖


Sudut pandang ―aku‖ hanya menceritakan pengalamannya sendiri.
Sudut pandang persona pertama ―Aku‖ terbagi menjadi dua, pertama
―Aku‖ tokoh utama yaitu pencerita yang ikut berperan sebagai tokoh
utama melaporkan cerita dari sudut pandang ―Aku‖ atau ―I‖ dan
menjadi foks atau pusat cerita. Kedua, ―Aku‖ tokoh tambahan yaitu
pencerita yang tidak ikut serta berperan dalam cerita, hadir sebagai
tokoh tambahan yang aktif sebagai pendengar atau penonton dan hanya
utnuk melaporkan cerita kepada pembaca dari sudut pandang ―Aku‖
atau ―I‖.

3) Sudut pandang campuran


Sudut pandang ini menggunakan lebih dari satu teknik pencerita.
Pengarang berganti-ganti dari satu teknik ke teknik yang lainnya.

6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa mencakup berbagai figur bahasa antara lain metafor, simile,
antithesis, hiperbola dan paradoks. Pada umumnya gaya bahasa adalah
semacam bahasa yang bermula dari bahasa yang biasa digunakan dalam gaya
tradisional dan literal untuk menjelaskan orang atau objek. Dengan
menggunakan gaya bahasa, pemaparan imajinatif menjadi lebih segar dan
berkesan. Gaya bahasa mencakup arti kata, citra, perumpamaan, serta simbol
dan alegori. Arti kata mencakup antara lain arti denotatif dan konotatif, alusi,

24
Ibid, h. 96-113
17

parodi dan sebagainya. Sedangkan perumpamaan mencakup simile, metafor


dan personifikasi.25

7. Amanat
Nilai-nilai yang ada di dalam cerita fiksi bisa dilihat dari diri sastrawan
dan pembacanya. Dari sudut sastrawan, nilai ini biasa disebut amanat.
Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin
disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. Di dalam karya
sastra modern amanat ini biasanya tersirat, di dalam karya sastra lama pada
umumnya amanat tersurat.26

C. Representasi
Pengertian representasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti
perbuatan mewakili; keadaan diwakili; apa yang mewakili.27 Sedangkan menurut
Ratna representasi berarti merekonstruksi serta menampilkan berbagai fakta
sebuah objek sehingga eksplorasi makna dapat dilakukan dengan maksimal.28
Dengan kata lain, menurut Ratna representasi berarti memberikan penggambaran
kembali dengan menampilkan berbagai fakta dari sebuah objek yang akan
dibahas, sehingga mampu menjelajahi makna yang ada dengan maksimal. Jika
dikaitkan dengan bidang sastra, maka representasi dalam karya sastra merupakan
penggambaran karya sastra atas suatu hal atau fenomena yang terjadi di
masyarakat, dengan pengarang sebagai penciptanya. Dalam konteks ini menurut
Teeuw karya sastra dipandang sebagai penggambaran yang melambangkan
kenyataan (mimesis).29

25
Ibid., h. 51-52
26
Wahyudi, Op.cit., hlm. 162
27
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, (PT.
Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2008) h.1167
28
Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Culture Studies: Representasi Fiksi dan Fakta (Pustaka
Pelajar: Yogyakarta, 2010) h. 601
29
A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra, (PT Dunia Pustaka Jaya: Jakarta,
1984) h. 220
18

Hakikat masyarakat dan kebudayaan pada umumnya adalah kenyataan,


sedangkan hakikat karya sastra adalah rekaan, dengan sebutan yang lebih populer,
yaitu imajinasi. Berbeda dengan kenyataan dalam ilmu kealaman, kenyataan
dalam ilmu sosial adalah kenyataan yang sudah ditafsirkan, kenyataan sebagai
fakta sosial. Berbeda dengan imajinasi dalam kehidupan sehari-hari, yang
dianggap sebagai semata-mata khayalan, imajinasi dalam karya sastra adalah
imajinasi yang didasarkan atas kenyataan. Dalam karya seni, ciri-ciri imajinasi
lebih khas, lebih dominan dibandingkan dengan kreativitas. 30 Dengan demikian,
setiap karya sastra dapat dikatakan sebagai imajinasi yang bersandar pada
kenyataan yang ada dalam sebuah masyarakat, yang kemudian direpresentasikan
dalam sebuah karya dengan bahasa sebagai medianya.
Bahasa adalah media istimewa yang kita gunakan untuk ‗memahami‘
sesuatu, dimana makna dihasilkan dan ditukar. Makna hanya dapat dibagikan
melalui akses umum kita untuk bahasa. Jadi bahasa adalah pusat untuk makna dan
budaya dan selalu dianggap sebagai gudang nilai dan makna budaya. Dalam
bahasa, kita menggunakan tanda dan simbol—baik itu bunyi, kata-kata tertulis,
gambar yang dihasilkan secara elektronik, catatan musik, bahkan benda—untuk
merepresentasikan/menggambarkan konsep, gagasan, dan perasaan kita kepada
orang lain. Bahasa adalah salah satu ‗media‘ untuk merepresentasikan pemikiran,
gagasan dan perasaan dalam budaya. Representasi melalui bahasa oleh karenanya
merupakan pusat untuk proses-proses dimana makna dihasilkan.31
Representasi menurut Hall adalah penciptaan makna dari konsep yang ada
di dalam pikiran kita melalui bahasa. Ini adalah hubungan diantara konsep dan
bahasa yang memungkinkan kita untuk mengacu baik pada ‗dunia‘ sebenarnya
dari sebuah benda, orang atau peristiwa, ataupun pada dunia khayal benda, orang
dan peristiwa fiksi. Dengan demikian, dalam menjalankan fungsinya, representasi
melibatkan dua proses (disebut juga dua sistem representasi).32

30
Nyoman Kutha ratna, Op.Cit., h.307
31
Stuart Hall, Representation, Cultural Representation and Signifying Practices, (London: Sage
Publications, 1997) h.1
32
Ibid., h.17
19

Proses yang pertama melibatkan apa yang disebut dengan ‗sistem‘, yang
dengannya berbagai objek, manusia, dan peristiwa dikorelasikan dengan
seperangkat konsep atau representasi mental yang ada dalam ‗kepala‘ kita. Tanpa
sistem tersebut, kita tidak mungkin dapat memaknai dunia. Dalam proses ini,
makna bergantung pada sistem konsep dan imaji-imaji yang terbentuk yang dapat
mewakili atau merepresentasikan dunia, mungkinkah kita untuk mengacu pada
benda-benda yang ada di dalam maupun luar ‘kepala‘ kita. Dengannya kita dapat
membentuk konsep atas objek material yang dapat dipersepsikan semisal kursi,
meja, orang dan lain sebagainya. Akan tetapi, kita juga mampu membentuk
konsep-konsep untuk hal-hal yang bersifat abstrak seperti peperangan, kematian,
pertemanan, atau cinta. Kita juga dapat dengan jelas membentuk konsep-konsep
untuk hal-hal yang tidak pernah kita lihat – mungkin tidak akan pernah – seperti
malaikat, setan, tuhan, neraka dan surga. Berdasarkan hal inilah Hall menjelaskan
proses representasi yang berikutnya.
Hall menyebut proses yang kedua sebagai ‗sistem representasi‘. Disebut
demikian karena tidak hanya melibatkan konsep-konsep individual, tapi juga cara-
cara berbeda dalam mengorganisasikan, mengelompokkan, mengatur dan
mengklasifikasikan konsep-konsep, dan memperlihatkan relasi yang kompleks
diantaranya. Misalnya, kita menggunakan prinsip kemiripan (similarity) dan
perbedaan (difference) untuk memperlihatkan hubungan antara konsep-konsep
atau untuk membedakan satu dengan yang lainnya.
Hall mencontohkan tentang seseorang yang memiliki gagasan bahwa
burung sama dengan pesawat karena keduanya dapat terbang. Di waktu
bersamaan, orang tersebut juga memiliki gagasan bahwa burung dan pesawat
adalah dua hal berbeda berdasarkan dasar penciptaannya. Percampuran dan
pencocokan relasi antara konsep-konsep untuk membentuk sebuah gagasan dan
pemikiran yang kompleks dimungkinkan karena konsep-konsep kita diatur dalam
sistem klasifikasi berbeda.
Dari contoh di atas, sistem klasifikasi yang pertama berdasarkan
pembedaan antara terbang/tidak terbang. Klasifikasi yang kedua berdasarkan
pembedaan antara ciptaan tuhan/ciptaan manusia. Menurut Hall terdapat prinsip-
20

prinsip pengorganisasian lain yang bekerja dalam semua sistem konseptual seperti
pengklasifikasian berdasarkan urutan - konsep tertentu mengikuti yang lain – atau
hubungan kausalitas – apa yang menyebabkan apa – dan lain sebagainya. Namun
demikian, dasar dari semuanya adalah bahwa makna bergantung pada hubungan
antara hal-hal (things) di dunia dengan sistem konseptualnya yang beroperasi
sebagai representasi mental (mental representation).33

D. Pengertian Laki-laki
Pengertian laki-laki menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
orang (manusia) yang mempunyai zakar, kalau dewasa mempunyai jakun dan
adakalanya berkumis, serta dianggap sebagai orang yang mempunyai keberanian;
pemberani.
Berdasarkan pengertian di atas, ciri-ciri yang dimiliki dapat dibedakan
menjadi ciri-ciri fisik dan ciri-ciri sifat. Ciri-ciri fisik yang disebutkan dalam
KBBI tersebut hanyalah zakar, jakun, dan kumis. Sementara ciri-ciri sifat yang
dihadirkan adalah keberanian, sehingga orang (manusia) yang memiliki
keberanian atau biasa disebut pemberani dapat dikategorikan sebagai laki-laki.
Laki-laki dianggap memiliki ―kewajiban‖ yang harus dijalani jika ingin
dianggap laki-laki seutuhnya. Kewajiban tersebut tercermin dalam suatu manhood
(dogma kejantanan atau norma kelelakian) yang harus diikuti oleh kaum laki-laki
pada umumnya, karena dianggap sebagai faktor bawaan dari lahir. Contoh yang
umum kita kenal, misalnya, adalah konstruksi normatif seperti: anak laki-laki
pantang untuk menangis; laki-laki harus tampak garang dan berotot; laki-laki
hebat adalah yang mampu ―menaklukkan‖ hati banyak perempuan; laki-laki akan
sangat ―laki-laki‖ apabila identik dengan rokok, alkohol, dan kekerasan.34
Oleh karena itu, banyak laki-laki yang digambarkan sebagai tokoh antagonis
dalam berbagai karya sastra, khususnya penggambaran hubungan laki-laki dan
perempuan, dimana anggapan laki-laki seutuhnya bertolak belakang dengan laki-
laki yang didambakan oleh setiap perempuan.
33
Ibid., h. 18
34
Aditya Putra Kurniawan, Dinamika Maskulinitas Laki-laki dalam Jurnal Perempuan Volume 64
h.38
21

E. Pengertian Poskolonial
Seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, Poskolonialisme secara
longgar dipahami sebagai suatu kajian tentang bagaimana sastra mengungkapkan
―jejak-jejak‖ kolonialisme dalam konfrontasi ―ras-ras, bangsa-bangsa, dan
kebudayaan-kebudayaan‖ yang terjadi dalam lingkup ―hubungan kekuasaan yang
tak setara‖ sebagai dampak dari kolonisasi Eropa atas bangsa-bangsa di ‗dunia
ketiga‘.35 Kolonialisme sendiri berasal dari kata colonia (Latin/Romawi), yang
berarti kumpulan, perkampungan, masyarakat di perantauan. Jadi, secara
etimologis kolonial tidak mengandung arti penjajahan, melainkan hanya semacam
wilayah atau perkampungan, seperti: koloni semut, koloni para artis, para
olahragawan, dan sebagainya.36 Dalam konsep ini, arti kata pos tidak dimaknai
sesudah atau setelah dalam pengertian waktu, melainkan terkait dengan kondisi
dan situasi sebagai dampak dari hubungan penguasa kolonial dengan negara yang
dijajahnya, tidak hanya saat kolonialisme itu berlangsung, bahkan bertahun-tahun
setelah wilayah memproklamasikan kemerdekaannya dan terbebas dari belenggu
penjajahan.
Literatur menjadi mediator antara yang riil dengan yang imajiner. 37 Ini berarti
bahwa karya sastra sebagai sesuatu yang bersifat fiktif atau imajiner menjadi
mediator untuk penggambaran sesuatu yang nyata dalam masyarakat, dalam
konteks ini berarti menggambarkan kaum terjajah lewat karya sastra. Ini karena
bahasa dan ―tanda‖ adalah tempat dimana perbedaan-perbedaan ideologi bertemu
dan berkonflik satu sama lain, maka naskah-naskah literer bisa diidentifikasi
sebagai tempat yang sangat subur untuk interaksi-interaksi ideologis.38 Dalam
kajian poskolonial, objek penelitiannya tidak hanya terbatas pada tulisan-tulisan
yang dihasilkan oleh masyarakat dari negara terjajah. Karya sastra yang ditulis
oleh masyarakat dari negara penjajah pun masih relevan untuk dikaji guna
menelaah dampak-dampak dari kolonialisme. Setiap karya sastra yang

35
Keith Foulcher dan Tony Dey, Sastra Indonesia Modern Kritik Postkolonial (Yayasan Obor
Indonesia: Jakarta, 2008) h. ix
36
Nyoman Kutha Ratna, Postkolonialisme Indonesia Relevansi Sastra (Pustaka Pelajar:
Yogyakarta, 2008) h.20
37
Ania Loomba, Kolonialisme/Pascakolonialisme, (Jogjakarta: Bentang Budaya, 2003) h.92
38
Ibid.
22

menghadirkan fenomena poskolonial dapat dimasukkan sebagai karya sastra


poskolonial, selama ia mampu menghadirkan ulang fakta-fakta kolonialisme.
Melalui ideologi kolonial, pihak kolonial menciptakan wacana tentang
masyarakat terjajah dengan stereotipe-stereotipe bahwa masyarakat
terkolonialisasi, atau terjajah adalah masyarakat yang terbelakang, primitif,
pemalas, dll. Hal itu dilakukan untuk membenarkan dan mencari alasan
penaklukan dan penguasaan Eropa atas wilayah tersebut.39 Sehingga dalam hal
ini, masyarakat pribumi akhirnya berhasil dijadikan liyan di tanahnya sendiri, dan
menimbulkan anggapan bahwa ketika pihak terjajah mampu mengikuti pola pikir
pihak penjajah, maka sifat-sifat pemalas, primitif dan sebagainya akan hilang dan
terganti dengan kehidupan dan pola pikir yang lebih baik.
Kata liyan sendiri dalam KBBI berarti lain. Akan tetapi, dalam perspektif
kolonial, kata ini digunakan untuk menerangkan pembedaan biner antara ‗diri
penjajah‘ dan ‗diri yang dijajah‘. Literatur yang ditulis baik oleh penjajah maupun
oleh yang dijajah itu dalam prosesnya sering menyerap, mengambil, dan menulis
aspek-aspek dari budaya ―lain‖, menciptakan genre, gagasan-gagasan, dan
identitas-identitas baru. Oleh karena itu, literatur merupakan sarana penting untuk
mengambil, membalikkan atau menantang saranan-sarana dominan penggambaran
dan ideologi-ideologi kolonial.40
Maka dapat disimpulkan, bahwa poskolonial adalah sebuah pendekatan yang
digunakan untuk melihat dampak yang dihadirkan oleh penjajah terhadap sebuah
masyarakat yang dijajah, dalam hal ini dapat dilihat lewat karya sastra yang
menuliskan kejadian-kejadian selama masa kolonialisme yang dihidupkan lewat
tokoh-tokohnya.

F. Pembelajaran Sastra di SMA


Pendidikan dapat diterapkan pula melalui sebuah karya sastra. Secara umum
tujuan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bidang sastra dalam kurikulum
2013 yang pertama adalah, peserta didik mampu menikmati dan memanfaatkan

39
S.H. Alatas, Mitos Pribumi Pemalas. (LP3ES: Jakarta, 1988) h. 2-3
40
Ania Loomba, Op.Cit., h.92
23

karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan


kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Tujuan
yang kedua adalah, peserta didik menghargai dan membanggakan sastra Indonesia
sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Tujuan itu pula
dijabarkan ke dalam kompetensi mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis
sastra. Sebetulnya, kompetensi yang akan dikembangkan sudah cukup baik.
Terkadang, yang terjadi di lapangan tidak selalu sesuai dengan tujuan yang
diinginkan. Kompetensi ini dijabarkan di dalam buku pembelajaran, isinya masih
berkisar pada pembahasan tema, tokoh, watak, alur, sudut pandang, latar, gaya
bahasa, nilai-nilai, dan amanat pada pembelajaran prosa. Pembelajaran sastra
sebenarnya dapat ditingkatkan lagi dengan pendidikan melalui sastra. Melalui
sastra kita dapat mengembangkan kemampuan peserta didik dalam hal
keseimbangan antara spiritual, emosional, etika, logika, estetika, dan kinestika.
Pengembangan kecakapan hidup, belajar sepanjang hayat, serta pendidikan
menyeluruh dan kemitraan.41

Pembelajaran sastra hendaknya dirancang dan diatur sedemikian rupa


sehingga siswa dapat memahami setiap kompetensi yang akan mereka capai.
Seperti kompetensi membaca, dalam mengembangkan kompetensi membaca
siswa banyak hal yang dapat diterapkan. Seperti membaca intensif melalui metode
membaca kritis. Membaca kritis berusaha memahami makna tersirat sebuah
bacaan. Hal ini dapat membantu siswa untuk berlatih membaca dengan teliti serta
mengembangkan kemampuan analisis siswa. Dengan begitu, tujuan pokok dalam
membaca tidak hanya memahami maksud isi dari sebuah novel maupun karya
sastra, tetapi siswa mampu menganalisis dan memahami lebih dalam sebuah karya
sastra.

G. Penelitian Relevan
Penelitian relevan digunakan sebagai bahan acuan oleh peneliti dalam
melakukan penelitian yang bertujuan menghindari terjadinya plagiarisme.
Penelitian relevan digunakan untuk melihat apakah judul penelitian yang penulis

41
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008) h. 171
24

pilih pernah diteliti oleh peneliti lain atau tidak. Penelitian relevan ini diambil dari
berbagai macam penelitian seperti skripsi, tesis, jurnal dan sebagainya.
Penelitian yang pertama dilakukan oleh Firmansyah dari MAN Kraton
Pasuruan dengan judul Aplikasi Pembelajaran Sastra Berkarakter dengan
Pendekatan Saintifik: Pergeseran Budaya dalam Novel Salah Pilih Karya Nur
Sutan Iskandar (Kajian Interkulturalisme) dalam Jurnal Review Pendidikan Islam
Volume 01, Nomor 01, Juni 2014. Penelitian ini meneliti tentang pergeseran
budaya lokal melalui kajian interkulturalisme dengan cara melihat dan
menempatkan kebudayaan lain dalam kebudayaan sendiri yang bisa terjadi karena
adanya proses asimilasi dan akulturasi dalam konteks relasi budaya dengan
menggunakan pendekatan ilmiah (saintifik). Langkah-langkah pendekatan ilmiah
(scientific appoach) dalam proses pembelajaran meliputi menggali informasi
melalui pengamatan, bertanya, percobaan, kemudian mengolah data atau
informasi, menyajikan data atau informasi, dilanjutkan dengan menganalisis,
menalar, kemudian menyimpulkan, dan mencipta. Pada roman Salah Pilih (SP)
karya Nur St. Iskandar dihasilkan proses akulturasi yang mempertemukan budaya
barat (Eropa) dengan budaya timur (Minangkabau). Dari hasil analisis dapat
disimpulkan sebagai berikut (1) budaya Timur memiliki kecenderungan mentaati
aturan-turan tertentu dengan mengikuti adat Minangkabau, sedangkan budaya
Barat memiliki kecenderungan kebebasan dalam berekspresi dan bertingkah laku,
(2) pergeseran pemikiran dan budaya pada masyarakat Minangkabau tampak pada
perubahan pola kehidupan masyarakat tradisional menjadi masyarakat yang
modern. Budaya lokal menerima pemikiran budaya Barat, dan (3) budaya Barat
mampu menghegemoni budaya timur yang tercermin pada diterimanya kembali
Asri menjadi kepala tanah air (kepala desa) dan diterimanya kawin sesuku antara
Asri dengan Asnah.42

42
Firmansyah, Aplikasi Pembelajaran Sastra Berkarakter dengan Pendekatan Saintifik:
Pergeseran Budaya dalam Novel Salah Pilih Karya Nur Sutan Iskandar (Kajian
Interkulturalisme), diunduh pada tanggal 5 April pukul 21.00 WIB, melalui website:
www.jrpi.mdcjatim.org/index.php/jrpi/artcle/view/8
25

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Frieska Maryova Rachmasiska


mahasiswi asal STKIP PGRI Bandar Lampung dengan judul Analisis Nilai-nilai
Budaya dalam Novel Salah Pilih Karya Nur Sutan Iskandar dalam Jurnal Lentera
STKIP PGRI Bandar Lampung Volume 2, 2015. Penelitian ini menggunakan
metode deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode yang bertujuan untuk
memecahkan masalah sekarang, mengklasifikasikan hasil penelitian serta
mendeskripsikan data penelitian secara objektif pada novel ―Salah Pilih‖ karya
Nur Sutan Iskandar. Berdasarkan kajian teori dan hasil analisis yang dilakukan
terhadap novel Salah Pilih Karya Nur Sutan Iskandar dapat ditarik kesimpulan
antara lain : (1) nilai budaya dengan wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks
dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dijelaskan dalam novel
ini bahwa dalam adat Suku Minangkabau ketika perempuan dan laki-laki sesuku
maka tidak diizinkan untuk menikah dengan keadaan apapun. (2) nilai budaya
dengan wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari
manusia dalam masyarakat pada novel dijelaskan bahwa dalam adat budaya
Minangkabau jika seorang laki-laki hendak naik ke rumah saudaranya atau
kemenakannya yang perempuan, sebelum naik tangga ia harus batuk-batuk
dahulu, atau ia berdiri di halaman sebentar, sambil berkata kuat-kuat, sekadar
terdengar ke atas rumah. (3) nilai budaya dengan wujud kebudayaan sebagai
benda-benda hasil karya manusia pada novel ini pada adat Minangkabau terdapat
beberapa budaya berupa benda seperti bakul sirih. Bakul sirih adalah benda yang
terbuat dari anyaman bambu yang digunakan untuk tempat sirih berbentuk seperti
kotak.43
Penelitian ketiga berupa skripsi yang ditulis oleh Reni Sepmawati, mahasiswi
Universitas Lancang Kuning, Pekanbaru pada tahun 2014 dengan judul Nilai

43
Frieska Maryova Rachmasiska, Analisis Nilai-nilai Budaya dalam Novel Salah Pilih Karya Nur
Sutan Iskandar, diunduh pada tanggal 5 April 2017 pukul 19.00 WIB melalui website:
www.stkippgribl.ac.id/lentera/LENTERA%20NEW/2015%20Vol%202/15.%20YOVA.Pdf
26

Moralitas pada Novel Salah Pilih Karya Nur Sutan Iskandar. Abstrak penelitian
tidak ditemukan.44
Penelitian keempat yaitu skripsi yang ditulis oleh Dian Indah P.S. pada tahun
2014 dari Universitas Muhammadiyah Malang dengan judul Analisis Konflik
Batin Tokoh Utama Novel Salah Pilih Karya Nur Sutan Iskandar. Penelitian ini
merupakan hasil analisis yang berupa konflik batin pada tokoh utama dalam novel
Salah Pilih karya Nur S.t Iskandar. Tujuan penelitian dilakukan untuk
memperoleh deskripsi mengenai (1) konflik batin berkaitan dengan adat
pernikahan yang dilukiskan Nur S.t Iskandar, (2) konflik batin berkaitan dengan
penghulu adat yang dilukiskan Nur S.t Iskandar. Penelitian ini menggunakan
metode penelitian deskripsi kualitatif dalam teori konflik batin. Sumber data dan
data yang diperoleh dalam penelitian berupa satuan cerita pada teks novel Salah
Pilih karya Nur Sutan Iskandar. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik
dokumentasi melalui identifikasi, klasifikasi dan analisis data. Teknik analisis
data dilakukan oleh peneliti sebagai pembaca. Data yang diperoleh berupa data
kualitatif dengan cara membaca, mengidentifikasi, menafsirkan dan terakhir
menyimpulkan. Berdasarkan hasil analisis peneliti dapat disimpulkan bahwa: (1)
konflik batin tokoh utama berkaitan adat pernikahan berupa; (a) kebutuhan
keamanan untuk merasakan kebebasan dari perasaan takut dan tertekan, (b)
kebutuhan cinta dan dimiliki sebagai seorang pasangan, (c) adat istiadat larangan
menikah sesuku; (2) konflik batin berkaitan penghulu berupa; (a) kewenangan
atau tugas, (b) hukum adat, (c) nilai, norma, dan moral.45
Terakhir, penelitian berupa tesis yang ditulis oleh Aimifrina, mahasisiwi dari
Universitas Gajah Mada dengan judul Salah Pilih Karya Nur Sutan Iskandar:
Tinjauan Strukturalisme – Semiotik pada tahun 1999. Penelitian ini bertujuan
untuk menemukan hubungan makna struktural, tanda makna, arti kata kunci atau

44
Reni Sepmawati, Nilai Moralitas pada Novel Salah Pilih Karya Nur Sutan Iskandar, diunduh
pada tanggal 5 April pukul 19.15 WIB melalui website:
https://lib.unilak.ac.id/index.php?p=show_detail&id=6296
45
Dian Indah P.S., Analisis Konflik Batin Tokoh Utama Novel Salah Pilih Karya Nur Sutan
Iskandar, diunduh pada tanggal 5 April 2017 pukul 19.20 WIB melalui website:
https://core.ac.uk/download/pdf/33338851.pdf
27

matriks, dan optimalisasi makna dari novel Salah Pilih. Teori struktural dan
semiotik digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini. Analisis
struktur dalam tesis ini terdiri dari analisis tema, plot, karakterisasi, latar
belakang, dan gaya penulisan. Analisis yang dilakukan adalah untuk mengetahui
waktu dan pergerakan para pemain, sehingga para pemain bisa melakukan
aktivitas yang sesuai dengan tempat dan waktu dalam berkarya. Gerakan pemain
berdasarkan pada tempat, tradisi, dan budaya masyarakat, sedangkan waktu
kejadian dibagi dua, (1) periode pemerintahan Belanda berdasarkan waktu sejarah
dan (2) hari pembuatan proposal dan hari pernikahan. Antara Asri dan Saniah
yang didasarkan pada urutan waktu yang terjadi. Hari pernikahan diputuskan
diadakan pada hari dan bulan yang baik.46

46
Aimifrina, Salah Pilih Karya Nur Sutan Iskandar: Tinjauan Strukturalisme – Semiotik, diunduh
pada tanggal 5 April 19.25 WIB melalui website:
etd.repositry.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&tgp=h
tml&buku_id=4062
BAB III

PENGARANG DAN KARYANYA

A. Biografi Nur Sutan Iskandar


Nur Sutan Iskandar lahir pada tanggal 3 November 1893 di Sungaibatang,
Maninjau, Sumatera Barat.1 Asal usul namanya menjadi Nur Sutan Iskandar
bermula ketika ia menikahi Aminah. Oleh keluarga Aminah, ia diberi gelar Sutan
Iskandar. Sejak itu, ia memakai gelar itu yang dipadukan dengan nama aslinya
menjadi Nur Sutan Iskandar. Dari perkawinannya dengan Aminah itu, Nur Sutan
memperoleh lima anak: (1) Nursinah Supardo, lahir 5 Januari 1918, (2) Nursjiwan
Iskandar, lahir 6 November 1921, (3) Nurma Zainal Abidin, lahir 24 Mei 1925,
(4) Nurtinah Sudjarno lahir 7 Agustus 1928, dan (5) Nurbaity Iskandar, lahir 22
Maret 1933. Dua dari lima anaknya, yaitu Nursinah Supardo dan Nursjiwan
Iskandar, menuruni bakatnya, gemar dengan dunia karang-mengarang.2
Nur Sutan Iskandar menamatkan pendidikan sekolah rakyatnya pada tahun
1909. Setahun berikutnya, ia diangkat menjadi guru bantu di sekolah yang sama.
Setelah itu, ia pindah ke kota Padang. Selanjutnya, tahun 1919, ia meninggalkan
kota Padang dan hijrah ke Jakarta. Di Jakarta, ia bekerja di Balai Pustaka sebagai
pengoreksi naskah karangan yang masuk ke redaksi. Ia mendapat tugas itu dari
Sutan Muhammad Zein, Pemimpin Balai Pustaka saat itu. Di Balai Pustaka itu ia
banyak memperoleh pengalaman dan pengetahuan mengenai dunia karang-
mengarang dan juga mulai terasah bakatnya ke arah itu.3
Sebagai korektor di Balai Pustaka, Iskandar banyak bertemu dengan para
penyumbang karangan, salah satunya adalah Dr. Soetomo. Sebuah buku tentang
ilmu kesehatan berjudul Sesalan Kawin berhasil mereka selesaikan bersama, dan
setelah karangan tersebut selesai, hubungannya dengan Dr. Soetomo semakin
baik, dan membawanya untuk ikut pada Kongres Budi Utomo tahun 1930-an di
Surabaya. Oleh Dr. Soetomo, ia diajak berkeliling kota Surabaya dan ternyata Dr.
1
Berdasarkan Keterangan Riwajat Hidup Pengarang yang ditulis oleh Nur Sutan Iskandar.
2
Anonim, Nur Sutan Iskandar dalam
badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/tokoh/282/Nur%20Sutan%20Iskandar diakses pada
tanggal 4 April 2017 pukul 17.08 WIB
3
Ibid.

28
29

Soetomo mengajaknya ke sebuah tempat pelacuran. Dr. Soetomo mengatakan


padanya bahwa sebagai seorang pengarang harus mengenal daerah semecam itu.
Dari perjalanannya ke tempat itu, Iskandar mampu membuat roman yang berjudul
Neraka Dunia.4
Meskipun hanya berijazah sekolah dasar, Nur Sutan Iskandar dikenal sebagai
orang yang haus ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, sambil bekerja ia terus
berusaha untuk menambah pengetahuannya, baik secara formal maupun
nonformal. Pada tahun 1921, ia dinyatakan lulus dari kleinambtenaar „pegawai
kecil‟ di Jakarta dan tahun 1924 ia juga mendapat ijazah dari Gemeentelijkburen
Cursus „Kursus Pegawai Pamongpraja‟ di Jakarta. Sementara itu, ia juga terus
memperdalam kemampuan berbahasa Belanda. Berkat ketekunannya, ia diangkat
sebagai Pemimpin Redaksi Balai Pustaka (1925—1942) dan Kepala Pengarang
Balai Pustaka (1942—1945). Pada saat itulah, kreativitasnya sebagai penulis
sangat berkembang. Nur Sutan Iskandar termasuk penulis yang produktif. Selain
menulis karya asli, ia juga menulis karya saduran dan terjemahan. Hal itu
dimungkinkan karena penguasaan bahasa asingnya cukup baik. Pada usia 82
tahun, tepatnya tanggal 28 November 1975, Nur Sutan Iskandar meninggal
dunia.5
Nur Sutan Iskandar memiliki berbagai macam karya, baik karya asli, saduran,
dan terjemahan. Karya-karya asli Nur Sutan Iskandar yaitu, Apa Dayaku karena
Aku Perempuan (1923), Cinta yang Membawa Maut (1926), Salah Pilih (1928),
Abu Nawas (1929), Karena Mentua (1932), Tuba Dibalas dengan Susu (1933),
Dewi Rimba (1935), Hulubalang Raja (1934), Katak Hendak Jadi Lembu (1935),
Neraka Dunia (1937), Cinta dan Kewajiban (1941), Jangir Bali (1943), Cinta
Tanah Air (1944), Cobaan (Turun ke Desa) (1946), Mutiara (1946), Pengalaman
Masa Kecil (1949), Ujian Masa (1952), Megah Cerah: Bacaan untuk Murid
Sekolah Rakyat Kelas II (1951), Megah Cerah: Bacaan untuk Murid Sekolah
Rakyat Kelas III (1951), Peribahasa karya bersama dengan K. Sutan Pamuncak

4
Rachmat Ali, Suatu Sore Bersama Sutan Iskandar
5
Anonim, Nur Sutan Iskandar dalam
badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/tokoh/282/Nur%20Sutan%20Iskandar diakses pada
tanggal 4 April 2017 pukul 17.08 WIB.
30

dan Aman Datuk Majoindo (1946). Karya sadurannya yaitu, Si Bakhil (1926),
Pelik-pelik Pendidikan I (1949), Pelik-pelik Pendidikan II (1949), Pelik-pelik
Pendidikan III (1951), Pelik-pelik Pendidikan IV (1952), Pelik-pelik Pendidikan V
(1952), Pelik-pelik Pendidikan VI (1952), dan terdapat juga karya-karya yang
diterjemahkan oleh Nur Sutan Iskandar, yaitu Tiga Orang Panglima Perang
(Alexander Dumas) (1922), Dua Puluh Tahun Kemudian (Alexander Dumas)
(1925), Graaf de Monte Cristo I--IV (Alexander Dumas) (1925), Belut Kena
Ranjau I--Il (Banonesse Orczy) (1928), Anjing Setan (A. Conan Doyle) (1928),
Anak Perawan di Jalan Sunyi (A. Conan Doyle) (1929), Gudang Intan Nabi
Sulaeman (H. Rider Haggard) (1929), Kasih Beramuk dalam Hati (Beatrice
Harraden) (1931), Bandit Besar (Dari cerita Inggris) (1932), Memperebutkan
Pusaka Lama (Edouard Kijzer) (1932), Iman dan Pengasihan I--IV (H.
Sienkiewicz) (1933), Permainan Kasti (F.H.A. Claesen) (1940), Perjalanan
Ahmad ke Eropa (N.K. Bieger) (1940), Sayur-Sayuran Negeri Kita (J.J. Ochse)
(1942), Pablo (Lidow) (1948), Asal Binatang (Giane Anguissola) (1 948), Si
Buyung (S. Franke) (1949), Bersiap (C. Wilkeshuis) (1949), Pengajaran di
Sweden (Jan Lighthart) (1950), Sepanjang Garis Kehidupan (R. Kasimier) (1951),
Medan Perdagangan (K. Gritter) (1951), Edison Sripustaka (K. Gritter) (t.t.),
Mata (Tagore) (t.t.)6

B. Pemikiran Nur Sutan Iskandar


Sebagai pengarang yang mendapat pengakuan dan penghargaan sebagai
“Perintis Kemerdekaan” dan telah dianugerahi Piagam Kehormatan Satya
Lencana Kebudayaan pada 8 Mei 19617, Iskandar memang seorang sastrawan
yang mengarahkan pandangan pembacanya ke arah cita-cita kemerdekaan. Dalam
Acara Sastra pada 23 Juni 1971 di Teater Arena Taman Ismail Marzuki, Iskandar
menyampaikan bahwa,

6
Berdasarkan arsip dengan judul Buku-buku Buah Tangan N. St. Iskandar yang ditulis oleh Nur
Sutan Iskandar.
7
Wartawan MIR, Nur Sutan Iskandar Tetap “Bergumul” Dengan Buku, (Minggu Indonesia Kaya,
1973) h. II
31

“seni bukan saja dipakai untuk seni, dia bisa dimanfaatkan asalkan sesuai
dengan kepribadian bangsa dan kejayaan bangsa walaupun saya tidak bisa
melukiskan perjuangan itu. Tetapi dalam buku “Pendjalinan Hidup” membuktikan
bahwa sayapun mampu menghasut Irian Barat memberontak melawan pemerintah
Belanda”8
Pernyataannya tersebut menegaskan bahwa Iskandar memanfaatkan karya-
karyanya sebagai karya sastra yang menjelaskan kepribadian dan kejayaan bangsa
Indonesia, serta melukiskan perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih
kemerdekaan dan melawan adat yang dianggap kuno dan tidak bermanfaat.
Nur Sutan Iskandar merupakan salah seorang wakil zamannya, yang
mengambil kedudukan istimewa dalam golongannya yaitu di antara pengarang-
pengarang tua. Selama 30 tahun beliau bekerja di Balai Pustaka, di samping
tugasnya sebagai penyunting, banyak pula karya-karyanya sendiri yang
diusahakan. Beliau pada umumnya mempunyai pengaruh yang besar atas seluruh
hasil kesusastraan Balai Pustaka. Dalam karya-karyanya, ternyata beliau seorang
yang kuat fantasinya. Menurut sastrawan Asis Safiuddin (Himpunan Seni Sastra
Indonesia), bahasa dalam karya-karya Iskandar adalah menuju kemajuan Bahasa
Indonesia. Di dalam karya-karyanya terdapat juga pengaruh Minangkabau, Jawa,
dan Melayu Jakarta.9
Karya-karya Iskandar memiliki perbedaan dengan pengarang-pengarang di
zamannya, Iskandar dalam novelnya yang dianggap penting sebelum perang yaitu
Salah Pilih dan Karena Mentua dinilai lebih berani membuat kecaman terhadap
adat perkawinan masyarakat Minangkabau. Karya-karyanya yang sering
dibicarakan oleh pengkritik sastra adalah novelnya yang berjudul Hulubalang
Raja, sebuah novel sejarah yang berdasarkan bahan-bahan tentang Sumatera Barat
dan Minangkabau dalam tahun-tahun 1665-1668, juga novelnya Katak Hendak
Jadi Lembu. Kedua karyanya ini menurut pandangan Prof. A. Teeuw adalah
karangan yang terbaik. Hulubalang Raja adalah sebuah cerita yang lancar dan
baik susunannya, bukan saja bagus dalam segi bahasa Indonesia yang digunakan
dari jenis novel sejarah, tetapi nilainya pun tidak kalah dengan kebanyakan hasil
8
Paul L. Tobing, Nur Sutan Iskandar Mengetjewakan Lebih Banjak Membela Diri, (Sinar Harapan,
1971)
9
Wan Shamsuddin M. Yusoff, Sejarah Sastera Melayu Moden, Sesudah Tahun 1800, (Pustaka
Antara: Kuala Lumpur, Cet. Ke IV, 1896) h. 152-153
32

jenis sastra di luar negeri. Sementara novelnya Katak Hendak Menjadi Lembu
juga mengandung nilai-nilai kebaikan tentang penyusunannya dan juga di segi
psikologi. Novel masyarakat ini mendapat perhatian dari orang Indonesia yang
berasal dari tanah Pasundan sendiri yang menjadi latar-belakang cerita novel ini,
karena Iskandar menggambarkan tokohnya dalam kehidupan masyarakat Sunda
waktu itu dengan sangat sederhana, namun terkesan hidup.10
Jika dilihat berdasarkan periode kepengarangannya, pada tahun 20-an,
kebencian Iskandar terhadap pemerintah Belanda atau sesuatu yang berbau Barat
secara eksplisit belum nampak. Hal ini bisa dimaklumi, karena Balai Pustaka
adalah penerbit pemerintah, yang punya tujuan politis, yaitu memengaruhi kaum
terpelajar Indonesia untuk mengikuti garis politik Belanda. Masa 30-an, kritik
Iskandar terhadap Belanda dalam karya sastra secara tersamar mulai terlihat.
Misalnya dalam karyanya yang bejudul Hulubalang Raja (1934) yaitu sebuah
novel sejarah yang ditulis berdasarkan disertasi sejarawan Belanda H. Kroeskamp
berjudul De Westkust en Minang kabau (1665-1668) „Pantai Barat Minangkabau‟
ia mengkritik perlakuan pemerintah Belanda terhadap penduduk setempat. Akan
tetapi, memasuki tahun 40-an (mulai tahun 1942, ketika kondisi sosial politik
Indonesia berubah cepat dengan datangnya Jepang) kebencian Iskandar terhadap
Belanda (Barat) terlihat jelas dalam karya-karyanya. Iskandar secara terang-
terangan mengakui, karya-karyanya ditulis untuk membangkitkan semangat
nasionalisme (terutama pada masa Jepang dan Revolusi Kemerdekaan).11

C. Sinopsis Novel Salah Pilih


Novel Salah Pilih bercerita tentang kisah cinta seorang pemuda kaya dengan
seorang gadis yatim piatu yang diangkat anak oleh orangtua si pemuda. Cerita
dimulai dari seorang Ibu bernama Mariati yang tinggal di rumah gedang di
Sumatera Barat. Ibu Mariati ditemani oleh Maliah, serta seorang anak angkat yang
lembut dan penuh kasih sayang bernama Asnah. Cerita menjadi menarik ketika
anak kandung bu Mariati yang bernama Asri, yang sedang sekolah di Batavia

10
Ibid., h.153
11
Anonim, Tragedi Nasionalisme Nur Sutan Iskandar, (Media Indonesia: Jakarta, 1991) h.4
33

akan pulang ke kampung halamannya. Kepulangan Asri membawa kebahagiaan


bagi Ibunya dan Asnah. Asri tidak akan melanjutkan sekolah di negeri seberang
karena mengikuti nasihat ibunya agar tinggal di kampung dan menyuruhnya agar
segera menikah. Tapi, kepulangan Asri justru membawa kegelisahan bagi Asnah,
yang diam-diam mencintai Asri. Salahkah bila kemudian cinta Asnah kepada sang
kakak berubah menjadi cinta kepada seorang kekasih? Perasaan rendah diri
sebagai anak angkat sekaligus orang yang berutang budi kepada keluarga Asri
mendorongnya untuk menyimpan isi hatinya rapat-rapat bahkan mendukung Asri
memenuhi harapan ibunya untuk segera menikah. Lagipula, pernikahan sesuku
tidak diperbolehkan oleh adat mereka. Dalam proses mencari calon istri, Asri
meminta pendapat Asnah. Sebagai seorang adik, Asnah berusaha memberikan
pendapat yang membuat kakaknya bahagia. Namun, kegalauan malah melanda
Asnah. Apalagi saat Asri memilih Saniah, puteri bangsawan, sebagai istrinya.
Saniah sebagai gadis ningrat mempunyai sifat yang angkuh dan tidak suka bergaul
dengan orang yang tidak sederajat dengan dirinya. Hal ini tidak lepas dari sifat
ibundanya, Rangkayo Saleah yang sangat memegang teguh adat kebangsawanan
mereka. Berbeda dengan Saniah dan Ibundanya, saudara kandung Saniah, Rusiah
dan Kaharuddin justru membuang jauh-jauh adat yang mengajarkan keangkuhan
tersebut, begitupun dengan Datuk Indomo yang dalam lubuk hatinya sangat
menantang sfat angkuh istrinya dan Saniah. Namun tabiat Saniah tidak
menyurutkan niat Asri untuk menikahinya. Pernikahan pun dilangsungkan dengan
sangat meriah.

Setelah mereka menikah, Saniah tinggal di rumah Asri bersama Asnah dan
ibu Asri. Karena tidak didasari oleh rasa cinta, maka pernikahan antara Asri dan
Saniah tidak mendapatkan kebahagiaan. Karena Saniah selalu ingin berkuasa
dalam rumah tangga, mengakibatkan Asri tidak suka dengan perangai istrinya
tersebut. Kehidupan rumah tangganya tidak berbahagia, mereka sering bertengkar.
Melihat kehidupan anaknya yang tidak harmonis tersebut Ibu Asri menjadi sedih.
Karena kesedihannya tersebut Ibu Asri akhirnya jatuh sakit dan kemudian
meninggal dunia. Sebelum meninggal, ibunya sempat berpesan kepada Asri dan
Asnah. Dihadapan mereka ibu Asri menyatakan penyesalannya, mengapa dahulu
34

mereka tidak menikahkan Asri dan Asnah saja. Wafatnya bu Mariati membuat
Saniah merasa bebas di rumah gedang. Apalagi ibunya mendukung langkah
Saniah untuk mengusir Asnah. Puncaknya adalah saat Hasan Basri menyatakan
perasaannya untuk Asnah selepas kepergian Ibu Mariati. Saniah yang melihat
cinta di mata Asri dan Asnah sangat marah dan mencaci maki Asnah dengan kata-
katanya yang yang menyakitkan. Akhirnya Asnah pergi dan tinggal jauh dari
rumah gedang. Kepergian Asnah tidak membuat perilaku Saniah berubah. Dia
semakin curiga dan marah pada Asri yang beberapa kali terlambat pulang dan
terkadang tidak pulang. Karena amarahnya yang memuncak, Saniah pergi tanpa
pamit pada suaminya ke rumah ibunya. Tiba di rumah ibunya, Saniah dan ibunya
pergi keluar kota untuk menemui saudaranya. Di perjalanan, mobil mereka
mengalami kecelakaan yang menyebabkan Saniah dan ibunya meninggal dunia.
Tak lama setelah Saniah meninggal, Asnah dan Asri pun menikah. Namun,
pernikahan mereka mendapat ejekan dari orang-orang di kampung, karena Asnah
dan Asri dianggap satu suku. Untuk menghindari cemoohan dan fitnah, mereka
pindah ke Jakarta. Dan pada akhir cerita, Asri mendapat surat dari negerinya dan
diperintahkan untuk kembali dan diangkat menjadi kepala negeri, semua tokoh
masyarakatpun berjanji untuk memperbaiki dan mengharumkan nama Asri dan
Asnah sebagai pasangan ideal suami istri, tentu saja hal itu disambut dengan suka
cita, lebih-lebih mereka dapat melanjutkan cita-citanya yang terbengkalai.
BAB IV

HASIL ANALISIS

A. Struktur Novel Salah Pilih


1. Tema
Tema adalah ide yang mendasari sebuah cerita atau pandangan hidup
tertentu mengenai kehidupan yang membentuk gagasan utama dari suatu
karya sastra. Tema dalam novel ini adalah kesalahan seorang pemuda yang
salah memilih pendamping dalam hidupnya. Kesalahan tersebut dikarenakan
kekangan adat istiadat setempat yang mewajibkan setiap pemuda untuk
menikah dengan perempuan yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh
adat tersebut.

..Ah, tertawakanlah aku dengan sejadi-jadinya, Asnah, tapi janganlah


kaukabarkan kepada orang lain, bahwa aku sangat menyesal akan
perkawinanku ini. Seharusnya aku bersukacita sekali, karena jadi
mempelai, jadi suami anak orang kaya lagi bangsawan! Akan tetapi
kebalikannya.”1
...Akan tetapi sekarang ia harus mengaku, bahwa ia salah sekali memilih
istri itu. Ia sudah terpedaya oleh senyum yang manis dan paras yang elok,
- lebih-lebih oleh gaya, “sekolah” dan “bangsa” gadis itu. Setelah itu,
masuk lukah, barulah diketahuinya, bahwa “batin” Saniah berlain sekali
dengan “lahir”nya, - ia tak patut jadi istrinya”2

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Asri merasa tertipu dengan paras


cantik Saniah, gaya hidup, status pendidikan dan juga sukunya. Sementara
Batin Saniah ternyata tak secantik wujud fisik dan status sosial yang
dimilikinya. Kutipan tersebut juga sebagai jembatan pemikiran Nur Sutan
Iskandar yang mengecam adat istiadat di Minangkabau yang hanya melihat
status sosial sebagai acuan untuk memilih pasangan hidup.

1
Nur Sutan Iskandar, Salah Pilih, (Jakarta: Balai Pustaka, 2010) h. 121
2
Ibid, h. 150

35
36

2. Tokoh, Penokohan dan Sudut Pandang


Tokoh utama memegang peranan paling penting dalam sebuah cerita dan
ditampilkan secara terus menerus. Dalam novel ini tokoh Asri merupakan
tokoh utama yang paling banyak diceritakan dari awal hingga akhir cerita.
Asri digambarkan sebagai sosok laki-laki yang berwajah tampan, pandai,
berbudi pekerti baik dan memiliki sopan santun, baik dalam bertutur dan
bertindak. Kata Asri sendiri dalam bahasa Minang berarti emas 80%, hal ini
menunjukkan bahwa tokoh Asri 80% bersifat baik. Asri bersekolah di Jakarta
dan lulusan Mulo, cita-citanya adalah meneruskan sekolahnya ke Sekolah
Dokter Jawa, namun karena ibunya yang sedang sakit, akhirnya ia kembali ke
kampung halamannya.

Orang muda itu keluar dari dalam kamar itu serta diturutkan oleh ibunya
dengan matanya yang jernih bersinar-sinar. Alangkah tampan rupanya. Ia
memakai baju jas buka daripada kain kulit kayu.”3
Walaupun Asri baru beberapa bulan saja bekerja, tetapi karena ia amat
pandai, maka pekerjaan klerk itu lekas diketahui...”4
...Dan pelajarannya di Mulo tamat sudah”5
...Tetapi katanya, ia hendak meneruskan pelajarannya ke H.B.S. atau
Stovia”6
betul, betul, niatku mula-mula ia harus jadi dokter. Akan tetapi semenjak
aku sakit ini, pikiranku sudah berubah...”7

Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa keinginan Asri untuk menjadi
dokter justru ditentang oleh ibunya karena keadaannya yang sedang sakit, dan
menginginkan Asri untuk tetap berada di sampingnya saja. Asri memiliki
kehidupan yang baik dengan keluarganya. Hubungan dengan Asnah yang
merupakan adik angkatnya juga sangat rukun, Asri sangat menyanyangi
Asnah seperti terlihat dalam kutipan berikut:
...Karena sangat kasih sayang kepada Asnah dan karena sangat suka akan
perempuan itu, hampir dipeluk dan diciumnya pula adiknya itu.8

3
Ibid, h.24
4
Ibid, h.111
5
Ibid, h.20
6
Ibid.
7
Ibid.
8
Ibid., h.27
37

Perilakunya tersebut menunjukkan bahwa Asri tidak benar-benar


memegang adat istiadat yang berlaku di masyarakatnya. Hal itu disebabkan
karena Asri telah mendapatkan pelajaran Barat dan sudah biasa berteman
dengan bangsa Eropa. Asri menganggap tidak boleh berpelukan dan
bermesraan dengan saudara sendiri sebagai adat yang kuno.
Asri pernah hampir bertunangan dengan seorang gadis saat ia sekolah di
Jakarta. Akan tetapi, ia memutuskan kekasihnya karena gadis tersebut
bersikap kasar kepada anak kecil yang tengah berlari kearahnya. Seperti
tergambar dalam kutipan berikut:

Pada suatu hari aku pergi mendapatkan anak gadis itu. Dari jauh sudah
tampak olehku dia keluar dari rumahnya. Baru ia sampai ke halaman,
datanglah seorang anak kecil berlari-lari kegirangan. Anak itu bergantung
kepadanya. Entah karena ia memakai pakaian yang mahal harganya, takut
akan kotor, entah, tapi dengan tidak menaruh belas kasihan anak kecil itu
ditolakkannya dari badannya. Ia jatuh dan menangis ... dan tidak
dipedulikan oleh kekasihku itu!”
...Kebetulan aku sudah sampai ke situ, aku angkat anak itu dan kucium
pipinya beberapa kali.”
Aku tak dapat bercampur dengan seorang perempuan, yang bersifat seperti
itu, - tak berhati rahim kepada anak-anak. Dan istimewa pula aku tak ingin
akan makhluk yang hanya mementingkan dirinya sendiri saja.”9

Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa Asri adalah sosok yang
menyayangi anak kecil. Ia tidak menyukai perempuan yang tidak menyayangi
anak-anak dan perempuan egois. Baginya, memilih istri bukanlah perihal
harta dan pangkat seseorang, tapi perihal budi pekertinya. Karena itu, Asri
selalu membandingkan perempuan lain dengan Asnah. Baginya, Asnah
merupakan sosok perempuan baik budi pekertinya. Itulah yang membuat
pikirannya selalu tertuju pada Asnah. Seperti yang dibuktikan dalam kutipan
berikut:
Benar, ingatanku hanya kepada kamu seorang! Kalau aku melakukan salah
suatu pekerjaan, ya, apa juapun kerja itu selalu aku bertanya dalam hatiku
lebih dahulu: dapatkah hal itu kuterangkapn kepadamu? Dan kalau aku
harus berkata kepada diriku sendiri: tidak, maka aku tahu sudah, bahwa
pekerjaanku itu salah! Dan kalau dapat, aku tinggalkan! Adakalanya tidak

9
Ibid., h.31
38

dapat aku meninggalkan kerja itu, tetapi biasanya kemudian dapat jua. Jadi
nyata kepadamu, bahwa aku berdiri di bawah kuasamu, meskipun aku
tidak dekatmu.”10

Asri juga senang bergaul dengan orang-orang di kampungnya. Mulai dari


ikut berburu, menolong orang di sawah, mengikuti latihan silat, dan ke surau
untuk mengaji. Saat ada kenduri Asri pun selalu ikut, karena ia amat suka
pada kesenian puput dan sulung serta tambur. “Ia suka benar akan kesenian
puput dan sulung serta tambur”.11 Dan semenjak kepulangannya, Asri cukup
sering bertandang ke “rumah berukir” yang penuh dengan adat.
Asri juga digambarkan sebagai sosok laki-laki yang tidak ingin memiliki
istri lebih dari satu. Hal itu juga disebabkan karena pelajaran yang didapatnya
selama ini. Ia beranggapan bahwa beristri lebih dari satu akan menyakiti hati
ibu dan adiknya. Seperti tergambar dalam kutipan berikut:
Aku amat benci kepada adat berbini banyak itu! Apa gunanya aku
menuntut pelajaran selama ini, jika aku akan memakai adat yang bengis itu
juga? Aku akan menyakiti hati dan diri bangsa ibu, bangsa adikku?12

Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa sosok Asri dapat dikatakan
sebagai laki-laki idaman setiap wanita karena budi pekertinya yang baik dan
tutur katanya yang lemah lembut. Asri juga tidak kekurangan teman dalam
pergaulannya. “Akan Asri, - teman-temannya tidak kurang.”.13 Hal tersebut
dapat dilihat pada saat proses pertunangan Asri dengan Saniah. Semua orang
yang dikunjungi oleh Asri memuji Asri sebagai laki-laki yang baik.
Namun sifat baik dan sabar dalam diri Asri berubah saat Asri menikahi
Saniah. Perbedaan keduanya dalam memegang adat istiadat menjadi peimcu
pertengkaran yang tak kunjung usai. Kepribadian Saniah yang buruk
menjadikan Asri pribadi yang cepat marah atas kelakuan istrinya, namun
perubahan sifatnya tersebut hanya terjadi pada istrinya, dan tidak berdampak
pada tokoh lain. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut:

10
Ibid., h.33
11
Ibid., h.36
12
Ibid., h.55
13
Ibid., h.98
39

Asri telah berusaha sedapat-dapatnya, supaya Saniah dapat dan suka


menurut peri pergaulan hidup di rumah gedang itu. Akan tetapi, terlalu
susah! Tabuat Saniah hampir tak dapat diubah lagi. Oleh karena itu kerap
kali terjadi perselisihan diantara kedua laki istri itu. Asri lekas marah dan
berang, jika Saniah mulai pula mencela ini dan itu.14

Berdasarkan analisis yang telah penulis paparkan dapat diambil


kesimpulan bahwa Asri adalah tokoh yang digambarkan sebagai tokoh utama
yang bersifat protagonis karena berhasil menjadi tokoh yang sesuai dengan
pandangan kita, harapan-harapan kita, harapan-harapan pembaca. Selain Asri
tokoh utama lainnya yang terdapat dalam novel ini adalah Saniah dan Asnah.
Asnah digambarkan sebagai tokoh yang memiliki fisik yang sempurna dan
wajah yang cantik, seperti terlihat dalam kutipan berikut:

Sebentar itu juga kelihatanlah seorang gadis remaja naik tangga. Mukanya
yang bulat penuh kemerah-merahan warnanya, sebab sudah berjalan jauh.
Matanya yang riang bersinar-sinar di bawah alisnya yang tebal lagi hitam.
Rambutnya yang panjang berjalin dan terjuntai ke belakang, sampai ke
bawah pinggangnya, tersembul ujungnya yang berikat dengan kain taf di
bawah selendang sutra, yang menutupi kepalanya dan kedua belah
telinganya. Sebelah ujung selendang yang bewarna merah dan
bersulamkan benang sutra biru laut pinggirnya itu, terjuntai di sisinya.
Warna selendang itu membayang ke mukanya, sehingga – semakin
berseri-seri parasnya. Ia berpayung sutra Jepun, berbaju kurung daripada
kain satin, berkain Pekalongan dan berselop beledu yang bersulamkan
manik-manik dan benang emas. Di dadanya tergantung sebuah medaliun
yang berantai emas dan bertatahkan permata intan yang kilau-kilauan dan
gilang-gemilang cahayanya. Sungguh bentuk badannya yang memang elok
itu semakin bertambah molek cantik oleh pakaiannya yang sederhana
itu.15

Iskandar menggambarkan pakaian dan ciri fisik Asnah dengan sangat rinci,
dan menambahkan pendapat pribadinya sebagai narator, yaitu lewat
pendapatnya yang mengatakan bahwa Asnah bertambah molek cantik dengan
pakaiannya yang dikatakannya sederhana, namun nyatanya tidak. Lewat
kutipan di atas, dapat kita lihat bagaimana Asnah mampu menggunakan
medaliun yang berantai emas, hal ini tentu bertolak belakang dengan

14
Ibid., h.143
15
Ibid, h. 3-4
40

pernyataan di akhir kutipan tersebut yang mengatakan bahwa pakaian yang


digunakan Asnah adalah „sederhana‟. Selain fisik dan wajah yang cantik, ia
juga digambarkan memiliki kepribadian yang baik. Asnah yang merupakan
anak angkat dari Ibu Mariati ini hampir tidak pernah mengeluh dengan segala
pekerjaan yang ia kerjakan di rumah gedang. Ia juga lemah lembut dan
berbudi bahasa halus. Seperti terlihat dalam kutipan berikut:
Tidak! Belum pernah Asnah mengeluh atau “mengatakan payah” jika ia
dapat berbuat baik kepada orang lain.”16
...Kaujaga dan kaupeliharakan daku dengan tanganmu yang lunak lembut
itu, dengan budi bahasamu yang halus itu”17

Asnah juga digambarkan sebagai tokoh pekerja keras dan tahu diri, ia
paham betul akan kedudukannya sebagai anak angkat di rumah gedang
tersebut, sehingga ia merasa harus bekerja keras sebagai balas budi atas
kebaikan setiap orang di rumah gedang. Hal ini terlihat pada kutipan berikut:
Asri amat heran melihat pekerti Asnah itu. Hanya apabila ia ada dekat
ibunya atau apabila kerja anak gadis itu digantikan sebentar oleh Ibu Liah,
ketika itulah Asnah pergi tidur sekadar akan mengembalikan
kekuatannya.18

Asnah juga memendam perasaan hatinya pada Asri, karena tahu diri akan
keadaannya yang hanya „anak pembantu‟ di rumah tersebut. Hal inilah yang
membuat Asnah sangat menjaga agar perasaannya tidak diketahui oleh Asri.
Bahkan sampai Asri menikah pun Asnah hanya bisa menerima dengan ikhlas
dan tetap berlaku baik dengan kakak iparnya, yaitu Saniah.
Berbeda dengan Asnah, Saniah digambarkan memiliki kepribadian yang
sangat buruk. Ia digambarkan sebagai gadis bangsawan yang cantik dan
menempuh pendidikan di HIS (Hollandsch-Inlandsche School). Kepribadian
Saniah dapat dilihat pada kutipan berikut:
Saniah mengangkat kepalanya serta memandang kepada saudaranya
dengan tidak peduli. Pada ketika itu muka yang elok itu berubah sudah:

16
Ibid, h.2
17
Ibid, h.18
18
Ibid, h.160
41

bukan sebagai wajah seorang gadis yang manja lagi, melainkan telah menjadi
muka makhluk yang bengis dan masam.
Bebas atau lepas unggas, Rus. Anak-anakmu lepas unggas benar-benar,
sehingga bunda dan aku jadi heran dan terkejut. Mengapa kaubiarkan saja
mereka itu hidup seliar itu? Didikan kita bukantah demikian?19
Rusiah memandang tenang-tenang kepada adiknya, yang tengah panas
darahnya itu. Pada air mukanya tampaklah oleh Rusiah kebengisan dan
kesombongannya.20
Selama bersekolah di Bukittinggi payah aku membimbing dia, supaya
tetap berkepribadian sendiri – kepribadian bangsa jua – tetapi usahaku
tidak berhasil. Lebih-lebih setelah ia kembali dalam asuhan bunda pula ...
Ah, Saniah semakin manja, semakin tinggi hati, sombong, ya, semakin
mementingkan diri sendiri saja. Ia tidak mau bersusah payah, enggan ke
dapur, hanya mengerahkan tenaga babu dan koki untuk keperluan rumah
tangga dan memandang rendah adat istiadat orang kampung biasa dan hina
orang kebanyakan.21

Dari kutipan di atas, dapat dikatakan bahwa Saniah sangat teguh dalam
memegang adat bangsawannya, hal ini terlihat saat Saniah mempertanyakan
anak-anak Rusiah yang dididik secara bebas dan tidak sesuai dengan adat
yang berlaku di rumah berukir, keteguhan Saniah dalam memegang adat
menyebabkan Saniah berlaku sombong dan hanya mementingkan diri sendiri
saja. Pada kutipan di atas, bahkan Saniah sama sekali tidak mau ke dapur dan
hanya mengandalkan pembantu. Ia juga kerap memandang rendah orang lain
yang tidak sederajat dengannya.
Hal inilah yang membuat Saniah dan Asri selalu bertengkar setelah
menikah, karena perbedaan pandangan diantara mereka. Saniah menganggap
bahwa Asri tidak tahu adat, sementara Asri menganggap Saniah terlalu kaku
terhadap adat. Namun, di akhir cerita Saniah menyadari bahwa ajaran
bundanya salah, dan ia merasa sangat bersalah terhadap seluruh penghuni
rumah gedang. Seperti terlihat pada kutipan berikut:
Memang hatinya terharu sangat. Sedih, sayu dan rindu ... Di ruang
matanya terbayang segala kejadian dan bujur malangnya selama bersuami,
terbayang wajah almarhumah mentuanya yang tak pernah dihormatinya,
sekalipun perempuan itu kasih dan sayang kepadanya. Ya, tampak pula
19
Ibid, h.61
20
Ibid, h.70
21
Ibid, h.71
42

rupa Ibu Liah dan Asnah sejelas-jelasnya. Bukan keburukannya,


melainkan segala kebaikan, ketulusan dan kesabarannya semata-mata,
walaupun mereka itu senantiasa disakitinya. Dan suaminya, ah ... Air
matanya berlinang-linang, demi sosok tubuh Asri tiba-tiba ... terdiri di
hadapannya, seelok-eloknya. Tidak marah, tidak bermuka masam,
melainkan ia tersenyum simpul sedih dan belas kasihan akan dia. Sekujur
badan Saniah gemetar, sebab bersamaan dengan pemandangan gaib itu
Nur Ilahi pun seakan-akan menyinarkan ke dalam ruhnya berapa besar
dosa seorang istri, yang mendurhaka kepada suaminya.22

Selain tokoh utama terdapat tokoh tambahan dalam novel ini. Tokoh
tambahan yang utama dalam novel ini yaitu Ibu Mariati, Ibu Maliah, Ibu
Mariah, Rangkayo Saleah, Datuk Indomo, Rusiah, Sutan Sinaro, Kaharuddin
dan Hasan Basri.
Ibu Mariati merupakan ibu kandung Asri yang memiliki sifat penyayang
dan baik hati, akan tetapi kadang ia menjadi pemarah pada beberapa waktu,
seperti terlihat pada kutipan berikut:

Ah, pergi dari sini , Liah! Ayuh, keluar! Takkan memberi faedah obatmu
itu kepadaku.”23
Ha, datang engkau, Anakku! Baru senang hatiku rasanya.”24
Dari kutipan di atas dapat dilihat sifat pemarah yang ada pada Ibu Mariati
karena diberikan obat oleh Sitti Maliah yang merupakan adik Ibu Mariati,
namun sifat penyayang dan cerianya tergambar saat ia bertemu dengan Asnah
yang merupakan anak angkatnya. Hal ini memperlihatkan bagaimana
penyayangnya Ibu Mariati yang bahkan berlaku sangat ramah terhadap anak
angkatnya, Asnah. Ibu Mariati memang digambarkan sebagai sosok yang
penyayang dan baik hati terhadap sesama. Terlebih kepada anak-anaknya,
Asri dan Asnah. Walaupun Asnah adalah anak angkatnya, tapi kasih
sayangnya tak berkurang sedikitpun untuk Asnah. Ibu Mariati bahkan sudah
menulis wasiat untuk Asnah yang isinya adalah memberikan sebidang sawah
dan ladang kopi supaya ia merasa benar-benar anggota keluarga dari rumah
gedang. Hal ini tergambar dalam kutipan berikut:

22
Ibid, h.210-211
23
Ibid., h.1
24
Ibid., h.4
43

Dan kini karena kita tengah memperkatakan Asnah – belum lama ini telah
kuperbuat sehelai surat wasiat untuknya. Sawah di Sungailigin dan ladang
kopi di Lagan sudah kuhibahkan kepadanya.25
Dari kutipan tersebut dapat dikatakan bahwa Ibu Mariati merupakan sosok
yang dermawan, hal ini dapat dilihat dari kemurahan hatinya kepada Asnah
yang bahkan bukan anak kandungnya. Ibu Mariati juga digambarkan sebagai
sosok yang bijaksana. Hal ini dibuktikan saat Ibu Mariati mengizinkan Asri
untuk memilih pasangannya sendiri. “Mungkin karena ibunya yang arif
bijaksana itu sangat tahu akan perhatian anaknya?”.26 Kebijaksanaan Ibu
Mariati digambarkan lewat pikiran tokoh lain, yaitu Asri. Perangai Ibu
Mariati yang periang berubah sejak Asri menikah dengan Saniah.
Kekecewaan terhadap perilaku menantunya digambarkan sangat jelas lewat
beberapa kutipan tersebut:
Rupanya lain sekali perangainya! Aku tidak suka sekali-kali demikian.”
Pikir Ibu Mariati dengan amarah. “Aku sendiri tak dihargainya. Bahkan
ajakanku pun tak diacuhkannya.27

Kekecewaan tersebut terus berlanjut karena pertengkaran Asri dengan


Saniah yang berlangsung terus-menerus, hatinya amat kecewa dengan
perangai Saniah yang penuh dengan kesombongan itu. Ia pun menjadi sakit-
sakitan. Jika saat sakit dulu, Ibu Mariati selalu marah dengan obat yang
dibawakan Ibu Maliah, kini Ibu Mariati justru tidak lagi bersifat pemarah. Hal
ini justru membuat Ibu Maliah sangat khawatir. Karena jika Ibu Mariati
masih benci melihat obat darinya, maka hal itu menjadi penanda bahwa
sakitnya belum parah.
Selagi Kak Mariati masih benci melihat obatku, Asnah, alamat
penyakitnya tidak keras benar,” kata Ibu Liah dengan dukacita. “Akan
tetapi hari ini ia amat sabar dan patuh saja rupanya. Hatiku sangat
khawatir. Aku suka, ia marah kepadaku.28

Prasangka Ibu Maliah akan penyakit Ibu Mariati benar adanya, Ibu Mariati
meninggal setelah mengutarakan isi hatinya pada Asri dan juga Asnah,
25
Ibid., h.43
26
Ibid., h.39
27
Ibid., h.136
28
Ibid., h.161
44

tentang betapa kecewa dan menyesalnya Ibu Mariati terhadap kelakuan


menantunya dan menyampaikan pesan terakhirnya bahwa seharusnya Asri
lebih baik menikah dengan Asnah karena Asnah dianggap sangat layak
mendampingi Asri, dan memiliki budi pekerti yang amat baik.
Dari kutipan kita juga dapat melihat sifat perhatian yang ada pada diri Ibu
Maliah, sejak kakaknya sakit-sakitan Ibu Maliah selalu cekatan dan sabar saat
mengurus kakaknya tersebut. Ibu Maliah juga digambarkan sebagai tokoh
yang jujur, hal ini digambarkan lewat tokoh Asri, seperti yang terlihat pada
kutipan “Ia kenal akan tabiat Makciknya itu, - seorang-orang tua yang tak
pernah berdusta dan berbuat petenah.”29
Selain Sitti Maliah, ada juga Ibu Mariah yang merupakan saudara sebapak
dari Ibu Mariati. Ibu Mariah digambarkan sebagai tokoh yang pengasih dan
penyayang, ia tinggal di Bayur dan tidak memiliki anak. Hal tersebut
tergambar lewat kutipan berikut:
O, ya, Ibu Mariah yang pengasih itu! Kemarin aku pun dipeluk diciumnya.
Barangkali sangkanya, aku masih kanak-kanak jua. Dan tentu saja ia amat
kasih kepada Asnah, - siapa takkan kasih kepada anak yang rajin itu!
Apalagi Ibu Mariah tiada beranak.30

Ibu Mariah memang telah menganggap Asnah dan Asri seperti anaknya
sendiri, Ibu Mariah juga bersikap bijaksana saat menghadapi suatu masalah,
misalnya saat acara adat Mengantar Sirih, Rangkayo Saleah mempermalukan
Asnah di depan umun, namun Ibu Mariah tetap bersikap tenang dan tidak
memberitahukan kepada Asri ataupun Ibu Mariati agar tidak terjadi
permasalahan yang lebih banyak. Ibu Mariah juga menjadi orang yang
menolong pernikahan Asri dan Asnah setelah kematian Saniah.
Tokoh selanjutnya adalah Rangkayo Saleah yang merupakan ibu dari
Saniah. Rangkayo Saleah digambarkan oleh pengarang sebagai tokoh yang
angkuh dan tamak akan harta, tidak terlalu berbeda dengan Saniah, Rangkayo
Saleah juga sangat memegang teguh adat kebangsawanannya. Seperti
tergambar pada kutipan berikut:

29
Ibid, h.190
30
Ibid, h..78
45

Rangkayo Saleah, adik Tuanku Laras itu ialah ibu ketiga anak yang
tersebut itu. Semenjak kecil ia biasa disembah dan dimuliakan orang.
Istimewa pula semenjak ia jadi istri Datuk Indomo, seorang penghulu yang
kenamaan dan kaya, – maka semakin rendahlah pandangnya kepada
sesama manusia. Hati belas kasihan tidak ada padanya.31
...Tunggu dahulu, Bunda, – supaya berkurang “gunjing-gujirak”orang
terhadap kita, terutama kepada Bunda – ampun – yang dikatakan tamak
akan uang dan harta”32

Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita lihat bagaimana Rangkayo Saleah


memperlakukan orang lain, ia hanya memandang rendah orang lain yang
tidak sederajat dengannya dan tidak memiliki belas kasihan terhadap kaum
yang lebih lemah. Bukannya menolong, ia justru menghina dan menjatuhkan
kaum non-bangsawan. Jika Saniah dan Rangkayo Saleah tetap teguh dengan
adat kebangsawanannya yang menjadikan mereka berdua bersikap angkuh,
maka berbeda dengan Rusiah dan Kaharuddin. Kedua anak Rangkayo Saleah
dan Datuk Indomo lebih memilih untuk hidup secara bebas dan mulai
meninggalkan adat kebangsawanan tersebut. Perangai Rusiah dan Saniah
sangatlah berbeda. Rusiah memiliki budi pekerti yang baik dan budi bahasa
yang halus. Hal ini terlihat pada saat Rusiah menengahi adu mulut antara
Rangkayo Saleah dan Ibu Mariah pada kutipan berikut:
“Ah,” kata Rusiah mengetengahi percakapan itu dengan lekas. Ia
memberanikan dirinya akan memutuskan perkataan bundanya, supaya
jangan terjadi cedera yang lebih hebat kelak. “Sudah, Bunda .... Wahai,
Ibu Mariah, Adikku Asnah, tak usah dipedulikan perkataan bunda itu.
Pandanglah saya, ibu, adikku, dan minumlah, ya, sanak saudara sekalian.33

Rusiah juga menerapkan pola didik yang berbeda pada anak-anaknya. Ia


tidak mendidik anak-anaknya dengan menggunakan adat yang kaku.
Perbedaan perangai dan pola pikir pada Rusiah salah satunya adalah karena ia
bersuamikan Sutan Sinaro yang berprofesi sebagai guru. Sutan Sinaro tidak
banyak digambarkan secara langsung oleh pengarang, melainkan lewat
percakapan Rusiah dengan tokoh lain. Pola pikir Sutan Sinarolah yang

31
Ibid, h.37
32
Ibid, h.147
33
Ibid, h.85
46

mengubah cara pandang Rusiah terhadap kehidupan dan adat istiadat di


kampungnya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
Tuanmu, lakiku yang mengajar aku, Niah! Ia sudah terpelajar dan beradat
sopan, ketika aku kawin dengan dia; jadi sekali-kali tidak kucoba hendak
berlaku kepadanya menurut didikan bunda. Tambahan pula ia takkan
berkenan akan hal serupa itu!34

Dari percakapan di atas, dapat dikatakan bahwa Sutan Sinaro merupakan


orang yang berpendidikan dan memiliki sopan santun. Rusiah menjunjung
tinggi suaminya dengan tidak menuruti perkataan bundanya bahwa
perempuan harus berbuat sesukanya pada suaminya. Jika menurut Saleah dan
Saniah, perempuan berkuasa atas suami, namun berbeda dengan Rusiah,
menurutnya justru sebaliknya, bahwa suami adalah teladan istrinya, maka
segala tingkah laku dan tutur kata istri harus mengikuti suaminya, dan hal
itulah yang diaplikasikan oleh Rusiah.
Kaharuddin juga salah satu anak dalam rumah berukir yang tidak
mengikuti adat bangsawan bundanya. Ia memilih jalan hidupnya sendiri.
Kaharuddin adalah salah satu sahabat Asri. Ia memiliki kepribadian yang baik
dan teguh pada pendiriannya. Hal ini dapat dibuktikan saat Kaharuddin
mempertahankan keputusannya untuk menikah dengan seorang gadis
pilihannya walaupun mendapatkan tentangan dari bundanya Rangkayo Saleah
pada kutipan berikut:
Memang Kaharuddin sudah menyangka juga, bahwa ia takkan mendapat
izin dari bundanya. “Apa boleh buat,” pikirnya, “izin ayah dan mamak-
mamak serta saudara-saudaraku itu cukup sudah bagiku; jadi pekerjaan itu
dapatlah aku langsungkan.” Dan kebetulan setelah tiba waktunya yang
ditentukan, ia pun kawin dengan Asnawiah dengan selamat dan
sempurna.35

Selain Kaharuddin, orang yang tinggal di rumah berukir adalah Datuk


Indomo yang tidak lain adalah suami dari Rangkayo Saleah. Datuk Indomo
merupakan penghulu yang terkenal dan kaya raya “Istimewa pula semenjak ia

34
Ibid, h.62
35
Ibid, h.201
47

jadi istri Datuk Indomo, seorang penghulu yang kenamaan dan kaya”36 Datuk
Indomo digambarkan sebagai tokoh yang sangat patuh terhadap istrinya, ia
tidak berani menentang perkataan istrinya, walaupun hatinya kadang tidak
setuju dengan sikap dan perkataan istrinya, seperti terlihat pada kutipan:
...Akan tetapi ia tidak berani mengabarkan pendiriannya itu kepada
istrinya, - akan mengelakkan kata-kata pedih yang mungkin keluar lebih
hebat dan tidak pada tempatnya.37

Pandangan hidupnya sejatinya sama dengan Rusiah dan Kaharuddin, ia


tidak terlalu setuju dengan adat bangsawan yang diterapkan oleh istrinya. Jika
Rusiah dan Kaharuddin memperlihatkan ketidaksetujuan terhadap adat
“bangsawan” itu, maka berbeda dengan Datuk Indomo yang
menyembunyikan ketidaksetujuannya karena sikap istrinya.
Tokoh selanjutnya yang merupakan tokoh utama tambahan adalah Hasan
Basri. Hasan Basri adalah salah satu sahabat Asri dan Kaharuddin yang
ternyata disukai oleh Saniah. Ia tidak berasal dari kaum bangsawan dan tidak
bergelimang harta. Ia adalah saudagar Aceh yang tampan dan memiliki sopan
santun yang baik. Seperti tergambar pada kutipan berikut:
Saniah menggigit bibirnya. Sesungguhnya ia sudah jatuh cinta kapada
Hasan Basri, saudagar muda di Kutaraja38, yaitu kemenakan seorang-orang
kaya. Ia elok dan beradab, – belum pernah Saniah bertemu dengan orang
yang setampan itu. Ia berharap-harap, supaya anak muda itu datang
meminang dia. Tetapi jangankan meminang, dipinang pun Hasan Basri
tidak suka. Oleh sebab itu Saniah jadi panas hatinya, lebih-lebih panas dan
geram lagi, karena Rusiah mengetahui rahasianya itu.39
Engkau ulang juga lagi perkataan “menaruh hati” itu! Aku tidak pernah
manruh hati kepada laki-laki, tahu? Hasan Basri itu miskin; modal yang
diperniagakannya itu kepunyaan saudaranya yang amat kikir.40

Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa Hasan Basri adalah pemuda yang
miskin, dan tidak punya modal sendiri untuk barang dagangannya, namun di
akhir cerita kemiskinannya berubah karena Hasan basri mendapat harta

36
Ibid, h.37
37
Ibid, h.200
38
Sekarang bernama: Banda Aceh
39
Nur Sutan Iskandar. Op.Cit., h.63
40
Ibid, h.65
48

pusaka dari saudaranya yang tewas karena terkena peluru sesat. Harta yang
didapatnya tersebut membuat keberaniannya muncul untuk melamar Asnah,
namun lamarannya ditolak oleh Asnah, karena hatinya hanya tertaut pada
saudara tirinya, Asri. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
Saya hendak menerangkan kepada Engku, bahwa peri keadaan saya sangat
berubah oleh kematian saudara saya itu. Dengan tidak disangka-sangka
saya sudah beroleh pusaka yang amat banyak, - toko di Kutaraja itu sudah
jadi hak milik saya sendiri.41
Benar – tidak ada yang adinda mesti perbuat – lain daripada menolak
permintaannya itu, Kanda”42
Ketetapan hati Adinda itu sangat suci bagi Kakanda, Asnah,”katanya.
Meskipun kehendak Kakanda tidak berhasil, tapi percayalah Adinda,
sekali-kali Kakanda tidak menaruh sakit hati kepada Adinda. Hanya
izinkanlah Kakanda bermohonkan pengharapan sebuah lagi. Jikalau
sekiranya Adinda beroleh kesusahan apa-apa kelak serta berhajatkan
seorang yang akan menolong Adinda, nah, ingatlah dan beritahulah
Kakanda ini! Niscaya Adinda akan Kakanda tolong dengan sedapat-
dapatnya.43

Berdasarkan penggalan di atas, terlihat bagaimana ketulusan Hasan Basri


terhadap Asnah, walaupun perasaannya telah ditolak oleh Asnah, namun
Hasan Basri tetap menunjukkan kebaikan hatinya yang bersedia menolong
Asnah apabila menemukan kesulitan di lain waktu. Maka dapat dikatakan
bahwa Hasan Basri tergolong tokoh yang protagonis.
Selain tokoh tambahan yang utama, terdapat juga tokoh tambahan yang
memang tambahan sebagai pendukung cerita, yaitu diantaranya Kakak Upik
Hitam, Sitti Hawa, Sabariah, Sutan Penghulu, Datuk Raja Penghulu, Ibu
Sutan Penghulu, Sitti Kalasum, Datuk Maulana, Baginda Sati, Sidi Sutan,
Dewi, Saodah, Atun, Mak Sarinah dan Khadijah. Kakak Upik Hitam
merupakan tokoh yang dijumpai Asnah ketika ia singgah di rumahnya untuk
menjenguk Kakak Upik Hitam yang sedang melahirkan. Kakak Upik Hitam
digambarkan sebagai tokoh yang kesakitan akibat kurangnya pengetahuan
tentang medis dan proses melahirkan yang sesuai dengan ilmu kedokteran.
Hal ini dapat dilihat pada kutipan “Ibunya pingsan, kadang-kadang menjerit
41
Ibid, h.170
42
Ibid, h.182
43
Ibid, h.180-181
49

kesakitan, bila tembuni itu menyesak ke dadanya.”44 Tokoh ini tidak


diceritakan bagaimana sifat dan karakternya, pengarang hanya
menggambarkan kesakitan yang dialami karena proses melahirkan yang tidak
sesuai dengan ilmu kedokteran.
Selanjutnya tokoh Sitti Hawa yang merupakan keluarga sesuku Ibu Mariati
dan ibu dari Sabariah – ibu kandung Asnah – ia merupakan tokoh yang
memiliki simpati terhadap penderitaan orang lain, hal ini dapat dilihat saat
Hawa memerintahkan Sabariah untuk tinggal dengan Ibu Mariati yang saat
itu baru kehilangan anak perempuannya. Seperti terlihat pada kutipan
“Untung kakak Sitti Hawa – keluarga sesuku dengan daku, jadi belahan
gedang rumah ini juga – ada menaruh belas kasihan kepadaku. Sabariah
disuruhnya tinggal diam dengan daku di sini.”45
Sabariah adalah seorang perempuan yang dinikahi oleh Sutan Penghulu –
kemenakan Datuk Raja Penghulu – Sutan Penghulu digambarkan sebagai
tokoh yang rendah hati, darmawan, rajin, sopan, dan tampan, namun ia
memiliki kekurangan dalam harta. Sama seperti Hasan Basri, Sutan Penghulu
juga berprofesi sebagai pedagang, yang modalnya berasal dari pamannya
yang tinggi hati. Seperti terlihat pada kutipan berikut:
Orang muda itu bergelar Sutan Penghulu, rendah hati, dermawan, rajin,
berbudi, sehat, dan rupawan. Segala orang kampung kita ini suka
kepadanya, dan berniat hendak mengambil dia jadi menantu. Salahnya
sedikit ia tidak kaya. Betul ketika itu ia sudah berniaga di Painan, tetapi
modalnya yang dipakainya itu uang mamaknya, yang tinggi hati dan
sombong itu.46

Mamak (paman) dan Ibu Sutan Penghulu merupakan tokoh yang berwatak
antagonis, hal ini terlihat saat mereka memaksa Sutan Penghulu untuk beristri
lebih dari satu, dan saat Sutan Penghulu menolak keinginan mereka, mereka
mengambil modal yang digunakan Sutan Penghulu berniaga di Painan. Hal
tersebut tergambar pada kutipan di bawah ini:

44
Ibid, h.9
45
Ibid, h.13
46
Ibid, h.14
50

Akhirnya St. Penghulu diancam mamaknya dan ibunya itu: Kalau ia tidak
mau menurut perintahnya, maka pokoknya atau modalnya berniaga di
Painan itu akan diambilnya.47

Selanjutnya, tokoh yang bernama Sitti Kalasum yang merupakan ipar


besan rumah berukir. Ia bersifat penyayang dan memiliki budi pekerti yang
baik. Seperti tergambar pada kutipan berikut:
Ia memberi salam dengan takzim kepada Rangkayo Saleah dan
suaminya.48
Ia sangat kasih kepada kedua anak itu dan anak-anak itu pun amat suka
kepadanya.49

Selanjutnya, tokoh yang bernama Datuk Maulana dan Baginda Sati. Kedua
tokoh ini dimunculkan saat kematian Ibu Mariati. Kedua tokoh ini dapat
dikatakan memiliki simpati yang tinggi terhadap tetangganya yang terkena
musibah, karena mereka membatalkan rencananya dan segera datang ke
rumah duka cita tersebut. Hal ini digambarkan melalui kutipan berikut:
Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun,” kata Datuk Maulana dan Baginda Sati
sekaligus. “Sekarang bagaimana, Engku,” kata Baginda Sati Pula, “akan
kita teruskan juga maksud kita tadi itu?”
Tidak,” jawab Datuk Maulana dengan cepat, “Kita mesti balik pulang,
akan mengantarkan burung ini; sudah itu kita pergi ke Kubu melawat.”
Dengan bergesa-gesa kedua orang laki-laki itu pun pulang ke rumahnya.50

Tokoh selanjutnya adalah Sidi Sutan, yaitu pembantu yang sudah lama
bekerja dan tinggal di rumah berukir. Sidi Sutan adalah seorang yang cekatan
dan pekerja keras dan berterus terang. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan
di bawah ini:
Sekalian “perintah” itu dilakukan oleh Sidi Sutan dengan secepat-
cepatnya. Akan tetapi baharu ia berjalan ke tempat yang harus ditujunya
lagi, sehabis menjemput Dt. Indomo dari masjid, turunlah hujan lebat
sebagai dicurahkan dari langit.51
Akan tetapi, Cik Muda,” katanya, “saya tidak sempat makan di Negeri
tadi. Maksud saya....”52

47
Ibid, h.15
48
Ibid, h.72-73
49
Ibid, h.73
50
Ibid, h.166
51
Ibid, h.201
52
Ibid, h.202
51

Dari kutipan di atas, dapat dilihat bagaimana cekatannya Sidi Sutan, yang
langsung menjalankan perintah Rangkayo Saleah dan terlihat bagaimana
hujan tak menghalangi Sidi Sutan untuk menjemput Asri dan Saniah, hal
tersebut menunjukkan Sidi Sutan yang pekerja keras, dan sifat terus
terangnya saat Sidi Sutan mengatakan maksudnya untuk diizinkan makan
terlebih dahulu sebelum beristirahat, karena ia tidak sempat makan saat
berada di rumah berukir.
Selanjutnya tokoh Dewi, Saodah, Atun dan Mak Sarinah. Tokoh ini
muncul setelah meninggalnya Saniah dan Rangkayo Saleah. Mereka
membicarakan tentang harta bersama Asri dan Saniah yang dihadiahkan pada
Rusiah. Tokoh Dewi merupakan tokoh yang emosional karena terlihat mudah
terpancing oleh suasana pembicaraan, sementara Saodah merupakan tokoh
yang bijaksana dalam menilai sesuatu. Seperti terlihat pada kutipan berikut:
Kepada iparnya ... Orang kaya jua yang diperkayanya. Padahal kalau
ditilik dan diperhatikan perangai Saniah dahulu, sudah patut benar Sutan
Bendahara menceraikan dia dengan bertelanjang bulat.” Ujar Dewi
Sutan Bendahara terpelajar, keturunan orang baik-baik dan berbudi halus.
Tak mau menceraikan istri, yang telah dipilihnya. Sekalipun pilihannya itu
salah! Akan tetapi, Tuhan sudah berbuat sekehendak-Nya, telah
memperlihatkan kebenaran ... Dan bagaimana tirkahnya, katamu?
Dibagikannya kepada Rusiah semuanya?53

Jika Dewi dan Saodah wataknya digambarkan melalui dialog yang mereka
ucapkan, berbeda dengan Atun. Tokoh Atun digambarkan melalui dialog
tokoh lain, seperti pada kutipan “Tentang perkara paras dan kepandaian, saya
rasa, si Atun takkan kalah kalau dibandingkan dengan mendiang Saniah yang
congkak itu.”54 Kutipan tersebut menyebutkan bahwa Atun memiliki wajah
yang cantik dan juga memiliki beberapa keterampilan yang tidak kalah
dengan Saniah.
Mak Sarinah adalah tokoh yang muncul saat Dewi dan Saodah sedang
terlibat percakapan. Mak Sarinah digambarkan sebagai tokoh perempuan tua
yang masih memiliki pemikiran kolot, hal ini dapat terlihat pada kutipan

53
Ibid, h.226
54
Ibid, h.227
52

“Tapi, ya, orang terpelajar berlain dengan orang kampung biasa, sekalipun
kadang-kadang adat istiadatnya sudah kebelanda-belandaan”55. Berdasarkan
kutipan tersebut dapat dilihat bagaimana Mak Sarinah berpikiran sempit
tentang orang-orang yang terpelajar, tanpa memikirkan dampak positif dan
negatif dari kaum terpelajar.
Tokoh terakhir adalah Khadijah, pengarang tidak menggambarkan dengan
detail, karena Khadijah hanya tokoh yang mengantarkan barang titipan yang
dikirimkan Ibu Maliah dan Asri. Namun, dapat dilihat berdasarkan kutipan
berikut:
Maaf, Asnah! Saya tak dapat masuk. Dari sini saja saya ucapkan: selamat
hari raya kepadamu dan kepada Ibu Mariah jua, sebab saya hendak segera
pergi ke Kotabaru, perlu membeli beras ....”56

Berdasarkan kutipan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Khadijah adalah


tokoh yang memiliki budi pekerti yang baik dalam bertamu dan ramah dalam
bertutur kata.
Sudut pandang yang digunakan dalam novel Salah Pilih karya Nur Sutan
Iskandar adalah sudut pandang persona ketiga “Dia”. Narator atau pencerita
adalah seorang yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut
namanya. Seperti terlihat pada kutipan berikut:
Belum habis lagi perkataan Sitti Maliah itu, perempuan tua itu sudah
berkata dengan rentaknya...”57

Sudut pandang dia dalam novel ini bersifat „mahatahu‟ yaitu pencerita
berada di luar cerita dan melaporkan peristiwa-peristiwa menyangkut semua
tokoh. Dari kutipan di atas dapat dilihat bagaimana pengarang mengetahui
seorang tokoh yang sudah tua dan memotong perkataan seseorang yang
bernama Sitti Maliah dengan marah. Hal ini memperlihatkan bagaimana
pencerita mengetahui tentang apa yang dilakukan oleh tokoh dan dipikirkan
oleh tokoh, sehingga ia disebut sebagai „mahatahu‟.

55
Ibid, h.228
56
Ibid, h.242
57
Ibid, h.1
53

3. Alur
Alur ialah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa
sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam
suatu cerita. Alur yang digunakan dalam novel Salah Pilih karya Nur Sutan
Iskandar adalah alur maju, karena tidak terdapat kilas balik di dalamnya.
Aminuddin membagi alur menjadi 7 tahapan peristiwa yang saling berkaitan,
adapun tahapan alur tersebut, yakni:
a) Tahapan Pengenalan
Tahap ini merupakan tahapan pengenalan tokoh-tokoh atau latar cerita.
Novel ini dimulai dengan menceritakan tokoh Sitti Maliah yang sedang
merawat seorang perempuan tua bernama Ibu Mariati yang sedang sakit. Ibu
Mariati tampak tidak senang diurusi oleh Sitti Maliah, dan mencari Asnah
yang merupakan anak angkat dari Ibu Mariati. Asnah adalah seorang gadis
yang penuh dengan kelembutan. Pada bab ini diceritakan bagaimana watak
Asnah, Ibu Mariati, Sitti Maliah dan masyarakat di sekitar rumah Gedang
yang masih sangat kesulitan menemukan dokter, khususnya bagi kaum ibu
yang akan melahirkan. Terlebih masyarakat disana masih sangat
mempercayai berbagai mitos yang ada.

... Akan tetapi anak itu semenjak pukul lima tadi masih terletak di lantai
juga, masih berlumur darah, sebab tembuni58 belum keluar lagi. Ibunya
pingsan, kadang-kadang menjerit-jerit kesakitan, bila tembuni itu
menyesak ke dadanya.”
Mengapa tidak lekas dikerat tali pusat anak itu, supaya ia dapat
dimandikan dengan segera?”
Dilarang keras oleh bidan. Katanya, kalau tali pusat itu dipotong ,
tembuni lari ke dalam kembali, tak dapat diharap akan keluar. Dengan
demikian niscaya berbahaya nyawa ibunya., Kakak Upik Hitam itu.”
Wahai,” keluh Ibu Mariati dengan belas kasihan. “Kerap kali betul terjadi
seperti itu di negeri kita ini! Kalau ada dokter... Dan sekarang bagaimana
halnya?59
Selanjutnya, Ibu Mariati menjelaskan tentang asal-usul orang tua Asnah,
sampai akhirnya Asnah diangkat sebagai anak perempuan oleh Ibu Mariati

58
Atau lebih dikenal dengan ari-ari
59
Nur Sutan Iskandar, Op.Cit., h. 9
54

dan menjadi bagian dari keluarga rumah Gedang juga perasaan sayang Ibu
Mariati dan juga Asri pada Asnah. Di akhir bab ini, datanglah kabar bahwa
anak laki-laki Ibu Mariati yang bernama Asri sudah berada di Padang akan
pulang menemui ibunya, Ibu Mariati sangat senang dengan kepulangan
anaknya dan memberitahu pada Asnah bahwa Asri harus segera menikah,
dan perasaan Asnah yang sesungguhnya kepada Asri menjadi penutup pada
bab Ibu dan Anak Angkat ini. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:

...Hanya saya mohon sangat kepada ibu, supaya ibu ceritakan dengan
panjang lebar kepada saya, bagaimana jalannya saya dibawa pak tua ke
rumah gedang ini serta dibuat orang disini sebagai anak kandung
sendiri...”60
Ibu,” katanya dengan terengah-engah tetapi riang, “ada oto datang dari
Padang.”
Bagaimana, Ali? Oto...?” kata Ibu Mariati dan Asnah dengan sekaligus
menoleh kepada anak yang bernama Ali itu, yakni anak orang sebelah
rumah.
Di dalam oto itu ada Engku Sutan Semain serta istrinya, baru pulang dari
Bengkahulu. Katanya, ia bertemu di kapal dengan...”
Asri?” kata Ibu Mariati dengan suka cita. “Sekarang dimana dia, Anakku,
Asriku itu! Dimana dia?”
Di Padang ditinggalkan Engku Sutan Semain. Ia menumpang dengan oto
lain. Barangkali ia datang sebentar lagi.”61
...Dan – ia harus lekas kawin”62
Ia berjalan ke ruang tengah dengan perlahan-lahan – daripada maju, urut
yang lebih. Pikirannya sangat kusut serta bercampur dukacita. Sebab Asri
akan dikawinkan, Asri akan beristri...63

b) Tahapan Konflik
Tahapan konflik merupakan tahapan yang didalamnya berisi tentang
ketegangan atau pertentangan antara dua kepentingan atau kekuatan di
dalam sebuah cerita. Konflik dalam novel Salah Pilih dimulai ketika Ibu
Mariati meminta Asri untuk segera menikah, keputusan tersebut diambil
oleh Ibu Mariati karena ia menganggap dirinya sudah menua dan ingin
melihat anaknya menikah. Hal ini menjadi semakin rumit karena ternyata

60
Ibid., h.13
61
Ibid., h.19
62
Ibid., h.20
63
Ibid., h.21
55

Asnah memiliki perasaan cinta terhadap Asri lebih dari seorang adik kepada
kakak. Asnah menyukai Asri sebagai seorang laki-laki, dan keputusan Ibu
Mariati untuk segera menikahkan Asri juga membuat kesedihan tersendiri
terhadap Asri karena harus menghentikan cita-citanya menjadi seorang
dokter.

Aku sudah tua, Asri,” katanya dengan lemah lembut. “Aku berharap
hendak hidup beserta engkau, dalam lingkunganmu beberapa tahun lagi...
... Sekarang sudah datang waktu yang baik bagimu akan berumah tangga.
Sudah adakah terpikir olehmu hendak kawin?64
Asri hendak kawin?” pikirnya.
Pikiran tentang hal itu sangat memusingkan dan menyakitkan kepalanya.
Maka ditekankannya kedua belah tangannya ke jantungnya dan
diperkatupkannya kedua rahangnya, akan menahan jerit sedih dan pilu,
yang menyesak-nyesak hendak keluar dari dadanya. Bukankah ia tidak
boleh menampakkan perasaannya, ketika ia mendengar kabar itu? Dan
seorang pun tidak boleh menyangka bahwa ia bercintakan Asri dengan
cinta yang tak berhingga serta dengan sepenuh-penuh hatinya.65
Benar, Asnah, - hatiku sangat sedih akan bercerai dengan pelajaranku.
Tapi ibu tidak tahu ...66

c) Tahapan Komplikasi
Tahapan komplikasi terdapat pada bagian tengah alur cerita yang
merupakan pengembangan dari konflik, sehingga alur ceritanya menjadi
menegangkan dan mencekam. Pada tahap ini konflik yang telah
dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan
dikembangkan kadar intensitasnya. Komplikasi dalam cerita ini diawali
dengan pemilihan calon istri untuk Asri, dari beberapa perempuan yang
dipilihkan oleh ibunya, Saniah menjadi salah satu perempuan yang dinilai
paling cocok untuk Asri menurut adat. Saniah dianggap sebagai perempuan
yang terpelajar, dari keluarga bangsawan dan kaya raya. Kesimpulannya
Saniah tidak memiliki cacat untuk menjadi istri Asri dari segi adat istiadat.
Kalau begitu, akan senang kiranya aku bermantukan Saniah itu. Orang
rumah berukir itu memang terpelajar semuanya. Apalagi bangsawan dan
kaya. Engkau tak usah memandang kekayaannya, tetapi tak ada salahnya

64
Ibid., h.38
65
Ibid., h.49
66
Ibid., h.54
56

kalau istrimu banyak hartanya. Nah, - diri Saniah tak ada cacatnya. Dan
sepanjang pengetahuanku, ia belum bertunangan lagi.67

Keputusan untuk menikahi Saniah ternyata berdampak buruk bagi Asri.


Saniah yang bergelar bangsawan menuruni sifat ibunya, Rangkayo Saleah
yang tinggi hati, tamak dan tidak berbelas kasih pada sesama. Ibu dan anak
itu hanya melihat orang lain dari harta dan pangkatnya. Terlebih Rangkayo
Saleah dan Saniah sangat membenci Asnah. Hal ini terlihat ketika acara
“mengantar sirih”, Rangkayo Saleah mempermasalahkan pakaian Asnah
yang mirip cara berpakaian orang Eropa dengan statusnya sebagai anak
angkat dan anak seorang budak.
He, yang mana kaupanggilkan Asnah, Rus? Noni muda ini?” Rangkayo
Saleah memandang kepada Asnah, yang telah pucat warna mukanya
dengan sekonyong-konyong.68
O, bgitu! Patut bunda sesat, jadi jangan salah terima kepadaku! Sebab
sangkaku, Kak Mariati tidak beranak perempuan. Anaknya hanya
seorang laki-laki saja.”69
Kalau begitu, ada juga kiranya ... ipar saniah. Ya, baru sekarang aku
ingat. Ibunya Sabariah yang jadi bud70 ... maaf, di rumah gedang itu,
bukan?71

Kejadian pada acara “mengantar sirih” tersebut dirahasiakan rapat-rapat


oleh orang-orang yang terlibat dalam acara adat tersebut. Asri dan Ibu
Mariati hanya mengetahui bahwa acara perjamuan itu berlangsung dengan
baik tanpa ada insiden apapun. Hingga akhirnya berlangsunglah
pertunangan antara Saniah dengan Asri. Tabiat Saniah makin diketahui oleh
Asri saat dirinya dan Asnah sedang berbincang-bincang dan terlihat oleh
Saniah. Saniah yang tidak suka dengan keadaan tersebut, menyebut bahwa
Asnah adalah “mainan” Asri, dan ia tidak sudi berperilaku baik kepada
Asnah, karena menganggap Asnah bukanlah adik kandung Asri. Hal ini
terdapat dalam kutipan:

67
Ibid., h.45
68
Ibid., h.84
69
Ibid.
70
Maksudnya adalah budak
71
Nur Sutan Iskandar. Op.Cit., h.85
57

Itu bukan adik kanda.” Jawab anak gadis itu dengan tiba-tiba, seraya
memandang dengan masam kepada Asnah.72
Walau demikian sekalipun, tapi tidak baik berlaku terlalu bebas sebagai
... sebagai dengan “mainan” kakanda itu,” katanya dengan suara tertahan-
tahan, tapi tajam.73

Konflik yang terjadi dalam kehidupan Asri terus meningkat, setelah


berlangsungnya pernikahan antara Asri dan Saniah, Asri menyadari bahwa
ia menyesali pernikahannya dengan Saniah yang berwatak pongah tersebut.
Keputusan Asri untuk tinggal di rumah gedang dengan Saniah, Asnah dan
ibunya ternyata ditentang oleh Saniah, Saniah hanya ingin pindah ke rumah
gedang dan menempati kepala rumah sebelah atas, dan hanya menengok ibu
mertuanya sesekali saja, hal itu tentu sangat bertentangan dengan keinginan
Asri yang ingin terus berdekatan dan bersatu dengan ibu dan juga adiknya.
Kepindahan Saniah ke rumah gedang pun menorehkan kekecewaan di hati
Ibu Mariati karena sikapnya yang tiba-tiba meninggalkan perjamuan tanpa
sepatah katapun.
...bahwa aku sangat menyesal akan perkawinanku ini”74
Tentu kita harus tinggal berdua saja dirumah gedang itu, Kanda. Hanya
sekali-kali kita mendapatkan ibu ke kepala rumah sebelah hilir”.75
Dengan tidak berkata sepatah kata jua, tidak mohon diri, ia pun bangkit
berdiri, lalu melangkah ke kamar yang telah dilengkapi dengan perkakas
itu.76

Pernikahan Asri dengan Saniah makin lama malah semakin memburuk,


terlebih Rangkayo Saleah terlalu ikut campur terhadap rumah tangga
putrinya tersebut. Saniah pun tetap teguh memegang ajaran bundanya untuk
tetap menjalankan adat kakunya tersebut. Dan membelanjakan harta Asri
sebanyak mungkin untuk membeli pakaian, emas, dan barang-barang
mewah lainnya. Hal ini berimbas pada kehidupan Asnah yang semakin
menderita di rumah gedang tersebut, dan juga kesehatan Ibu Mariati yang
semakin menurun karena memikirkan nasib anaknya yang justru tidak
72
Ibid., h.108
73
Ibid., h.109
74
Ibid., h.121
75
Ibid., h.122
76
Ibid., h.126
58

mendapatkan kebahagiaan dari pernikahannya dengan Saniah. Ibu Mariati


bahkan juga menyesali keputusannya menikahkan Asri dengan Saniah, dan
menganggap jika selama ini mereka dibutakan oleh adat dalam hal memilih
pasangan, menurutnya Asnah sangat layak menjadi istri Asri berdasarkan
pada sifat dan budi pekerti dalam diri Asnah. Setelah mengutarakan isi hati
dan petuahnya, Ibu Mariati pergi meninggalkan Asri dan Asnah untuk
selama-lamanya. Seperti dibuktikan dalam kutipan:
Demikian ucapannya yang akhir sekali. Ia rebah ke bantalnya pula,
sedang matanya terbelalak menatap muka Asnah tenang-tenang.
Lidahnya tak dapat lagi digerakkannya, - dan tidak lama sesudah itu
napasnya pun hilang dengan selesai.77

d) Tahapan Klimaks
Tahap ini merupakan bagian alur cerita yang melukiskan puncak
ketegangan, terutama dipandang dari segi tanggapan emosional pembaca.
Tahap klimaks dalam novel ini adalah ketika Hasan Basri menyatakan
perasaannya pada Asnah dan ingin menjadikan Asnah sebagai istrinya,
setelah didengar oleh Asri perkataan itu, barulah ia menyadari perasaannya
terhadap Asnah adalah lebih dari seorang kakak kepada adiknya, ia tidak
sanggup berpisah dari Asnah dan berharap Asnah menolak dengan tegas
permintaan Hasan Basri tersebut.
Dan di dalam waktu yang sulit itu baharulah diketahuinya benar-benar,
bahwa ia teramat cinta kepada Asnah. Bukan sebagai cinta kakak laki-
laki kepada perempuan. Tambahan lagi cinta itu disertai pula oleh
perasaan persatuan yang tak terhingga, yang tela termateri di dalam
hatinya semenjak kecil terhadap kepada gadis itu.78
Ia berharap sungguh-sungguh, supaya permintaan itu ditolak oleh Asnah.
Mudah-mudahan ditolaknya dengan tegas, supaya ia dapat tingga selalu
di rumah gedang itu. – supaya ia jangan jauh dari matanya. 79

Setelah terungkap perasaan Asri kepada Asnah, Saniah makin berang.


Terlebih yang melamar sekaligus ditolak oleh Asnah adalah Hasan Basri,
laki-laki yang dulu sangat ia sukai dan ia harapkan untuk menjadi pasangan

77
Ibid., h.164
78
Ibid., h.172
79
Ibid., 173-174
59

hidupnya. Ia merasa sangat iri dan benci pada Asnah, yang membuat Saniah
mencaci maki Asnah dengan ucapan yang sangat melukai hatinya. Seperti
tergambar dalam kutipan berikut:
Engkau tolak permintaan Hasan Basri itu, hanya karena engkau cinta
kepada Kanda Asri, karena pengharapanmu belum putus lagi hendak
mengambil lakiku itu! Ha, kini baru terbayang malu di mukamu!
Ingatanmu jahat sekali! Tidakkah engkau berasa malu tinggal jua di
dalam rumah ini dan teranja-anja dengan lakiku? Apa sebabnya ia tidak
kawin dengan engkau, - aku tidak tahu. Hanya yang kuketahui dia cinta
kepadamu. Barangkali pikirnya lebih baik engkau dijadikannya kekasih
saja, akan tetapi bukan istrinya! Jangan kausangkakan aku buta! Setiap
hari kepecermin kelakuan kamu keduanya, biasa bermain mata, yang tak
pernah dilakukan kakak dengan adiknya. Aku sudah jemu dan bosan
melihat hal itu, - jijik sudah! Kerap kali telah kukatakan kepadamu,
supaya engkau enyah dari rumah gedang ini. Bundaku sendiri pun sudah
berikhtiar sedapat-dapatnya, supaya engkau kawin dengan orang yang
suka membawa engkau ke rantau orang, tetapi lakiku tidak suka memberi
izin. Apa artinya itu? Kalau engkau ada menaruh malu, niscaya engkau
sudah pergi, sudah lenyap dari sini.”80

Kata-kata Saniah terhap Asnah tersebut menjadikan rumah tangganya


dengan Asri semakin banyak pertengkaran. Asnah pun akhirnya pergi ke
Bayur dan tinggal dengan Ibu Mariah. Kepergian Asnah bukannya membuat
Saniah lemah lembut terhadap suaminya, justru malah mendatangkan lebih
banyak pertengkaran antara dirinya dengan Asri.

e) Tahapan krisis
Tahap ini merupakan tahapan yang mengawali penyelesaian dalam alur
cerita. Tahap krisis yang terjadi dalam novel Salah Pilih yakni ketika
keadaan rumah berukir sedang diliputi emosi, karena keputusan Kaharudin
untuk menikah dengan seorang gadis dari Padang bernama Asnawiah.
Rangkayo Saleah murka dan memutuskan untuk pergi ke Padang hendak
menyuruh anaknya untuk segera menalak istrinya. Rangkayo Saleah segera
memerintahkan Sidi Sutan untuk menjemput Saniah dan Asri untuk ikut ke
Padang, namun Asri tidak turut serta karena pertengkaran hebatnya dengan

80
Ibid., h.188
60

Saniah. Saat di perjalanan, Saniah sempat menyesali sikapnya selama ini


pada Asri dan seluruh penghuni rumah gedang seperti tergambar dalam
kutipan berikut.
...Di ruang matanya terbayang segala kejadian dan bujur malangnya
selama bersuami, terbayang wajah almarhumah mentuanya yang tak
pernah dihormatinya, sekalipun perempuan itu kasih dan sayang
kepadanya. Ya, tampak pula rupa Ibu Liah dan Asnah sejelas-jelasnya.
Bukan keburukannya, melainkan segala kebaikan, ketulusan, dan
kesabarannya semata-mata, walaupun mereka itu senantiasa disakitinya.
Dan suaminya, ah... Air matanya berlinang-linang, demi sosok tubuh
Asri tiba-tiba ... terdiri di hadapannya, seelok-eloknya. Tidak marah,
tidak bermuka masam, melainkan ia tersenyum simpul sedih dan belas
kasihan akan dia. Sekujur badan Saniah gemetar, sebab bersamaan
dengan pemandangan gaib itu Nur Ilahi pun seakan-akan menyinarkan ke
dalam ruhnya berapa besar dosa seorang istri yang mendurhaka kepada
suaminya.81

Penyesalan tersebut sangat membuat Saniah rindu akan suaminya, namun


ketakutannya pada bundanya membuatnya mengurungkan niat untuk
menyuruh supir kembali memutar haluan mobilnya. Perjalanan tetap
dilanjutkan, dan ternyata kepergian mereka ke Padang berujung maut.
Rangkayo Saleah tewas di tempat akibat supir yang mengemudikan mobil
terlalu kencang, sementara Saniah dalam keadaan kritis, dan meninggal
setelah bertemu dengan Asri di rumah sakit. Hal tersebut dapat dilihat dalam
kutipan berikut.
Ketika itu Rangkayo Saleah sudah dibujur di kamar mati82
Wahai, Saniah meninggal sudah, - sedang tangannya dipegang jua oleh
suaminya.83

Pada kutipan di atas, terlihat jelas perubahan situasi yang awalnya tegang
akibat pertengkaran antara Saniah, Asri dan Asnah mulai mengendur karena
kematian Rangkayo Saleah dan Saniah yang merupakan tahap awal
penyelesaian cerita.

81
Ibid., h.211
82
Ibid., h.216
83
Ibid., h.217
61

f) Tahapan Leraian
Tahapan ini menunjukkan peristiwa yang membawa pada arah
penyelesaian. Tahap leraian dalam novel ini adalah setelah kepergian Saniah
dan Rangkayo Saleah. Ketika Asri mulai menata hidupnya kembali, dan
mengembalikan seluruh pusaka milik Saniah pada Dt. Indomo yang
merupakan ayah dari Saniah. Tujuan dari pengembalian harta tersebut
adalah untuk menjaga hubungan keluarga antara Asri dengan orang-orang di
rumah berukir. Seperti tergambar dalam kutipan berikut, “Jadi terimalah
barang-barang itu, Ayah dan Kakak, tirkah dari istri saya kepada Kakak dan
orang dalam rumah ini, akan jadi tanda bahwa pertalian kita tidak putus.”84
Setelah kehilangan Saniah, Asri beberapa kali mendapat pinangan dari
berbagai pihak. Namun ditolaknya pinangan tersebut. Ia tidak ingin lagi
salah memilih istri, ia sudah mengetahui bahwa cintanya adalah Asnah, dan
ia hanya ingin menikah dengan Asnah, walaupun ditentang oleh adat dan
masyarakat setempat. Asri tetap bertekad menikahi Asnah. Ia pun segera
menyusul Asnah ke rumah Ibu Mariah di Bayur dan menyampaikan maksud
untuk menikah dengan Asnah. Ibu Mariah sangat memahami hati mereka
berdua dan menyetujui pernikahan mereka. Akhirnya, pernikahan mereka
dilangsungkan di Bayur secara diam-diam dengan dua orang saksi, dan
setelah beberapa hari mereka menghilang dari kampung halamannya dan
pindah menempuh hidup baru ke Jakarta.
Dengan diam-diam, dirahasiakan benar-benar, maka pada suatu malam
dilangsungkannyalah nikah Asri dengan Asnah di rumah itu yang berhati
rahim di hadapan dua orang saksi.
Jadi cita-cita mereka itu tercapai sudah. Asnah telah menjadi istri Asri
dengan sah!
Dan dua tiga hari sesudah itu keduanya pun menghilang dari daerah
danau yang dicintainya itu dengan cita-cita dan semangat baru, yang
telah dimilikinya. 85

84
Ibid., h.225
85
Ibid., h.250
62

g) Tahapan Selesaian
Tahapan ini merupakan akhir cerita dan akhir dari sebuah konflik dalam
novel yang menemukan jalan keluar dari setiap konfliknya. Tahap
penyelesaian dalam novel ini diakhiri dengan kepergian Asri dan Asnah dari
kampung halamannya dan menjalani kehidupannya di Jakarta. Asri dan
Asnah dijauhi dan dikucilkan oleh orang sekampungnya yang banyak
berdagang di Jakarta. Namun Asri tetap berjuang, dan di Jakarta ia
mendapat pekerjaan baru sebagai amtenar di kantor pemerintah. Hal
tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini:
Sekalian buah mulut orang kampung itu sampai jua ke telingan kedua
suami istri itu, meskipun mereka sudah jauh dari negerinya, sudah ada di
kota Jakarta yang besar itu. Malah disana pun mula-mula lebih hebat lagi
penderitaannya. Mereka itu dijauhi dan disisih oleh orang
sekampungnya, yang banyak berniaga disana, seperti anjing berpenyakit
kurap.86

Oleh karena itu Asri tetap berjuang ... Surat berhenti dengan hormat dari
pekerjaan klerk, yang diterima Asri dari residen Sumatera Barat dan surat
pujian dari kemendur Maninjau memungkinkan perjuangan tidak terlalu
berat, akan mendapat jabatan baru. Benar, - Asri telah diangkat jadi
amtenar pada sebuah kantor pemerintah.87

Seiring berjalannya waktu, Asri dan Asnah mulai diterima dengan baik
oleh para tetangganya dan orang kampung yang dulu menjauhinya, itu
semua karena sopan santun mereka dalam bergaul. Seperti dalam kutipan
berikut:
Sementara itu segala orang kampunya yang menjauh-jauh dahulu,
akhirnya pun boleh dikatakan telah mendekati mereka itu dengan
akrabnya. Salah paham telah bertukar dengan kepercayaan dan
persahabatan. Lain tidak, karena sopan santun mereka itu dalam bergaul
dan beramahtamahan.88

Suatu hari datanglah surat yang mengabarkan kematian kepala negeri dan
sekaligus permohonan agar Asri dan Asnah kembali ke kampung
halamannya. Asri diminta kembali untuk menggantikan kepala negeri yang
86
Ibid., h.252
87
Ibid.
88
Ibid., h.253
63

telah meninggal dan memimpin kampung halamannya. Maka, kembalilah


Asri dan Asnah ke kampung halamannya di Sungaibatang yang disambut
dengan sukacita dan hiduplah mereka dengan bahagia. Hal tersebut
tergambar dalam kutipan di bawah ini:
...Kanda diminta orang dengan keras pulang ke kampung, Kanda akan
diangkat jadi kepala negeri ... Kita mesti pulang, Asnah, ke rumah
gedang.89
Di dalam surat itu tersebut bahwa “sekalian penghulu negeri
Sungaibatang telah semufakat belaka akan memperbaiki nama Asri dan
Asnah,” sebab mereka telah melanggar adat perkawinan yang lazim itu.90
Dan ketika mereka itu tiba di jembatan Tumayo – batas negeri Maninjau
dengan Sungaibatang, tersiraplah daranya. Kendaraan mereka itu ditahan
oleh banyak orang, laki-laki dan perempuan serta murid-murid sekolah
dengan tempik sorak riuh rendah, “Selamat datang, Engku Sutan
Bendahara dan Rangkayo Asnah!”91

4. Latar
Latar merupakan penggambaran tempat, waktu serta suasana yang ada
dalam cerita. Tempat, waktu dan suasananya tersebut saling berkaitan
menghidupkan peristiwa-peristiwa tersebut seolah benar-benar terjadi.
Penggambaran latar dalam novel Salah Pilih sebagai berikut:
a. Latar Tempat
Latar tempat merujuk pada sebuah lokasi peristiwa dalam karya fiksi,
misalnya di perkotaan, pedesaan dan sebagainya. Latar tempat dalam novel
ini terdiri dari pedesaan dan kota di Padang, Aceh, dan Jakarta.
1) Rumah Gedang
Dalam novel ini digambarkan bahwa Asri, Asnah, Ibu Mariati dan Ibu
Maliah tinggal di sebuah rumah bernama rumah gedang. Rumah gedang
sendiri digambarkan terletak di kampung Kubu dekat sungai Maninjau yang
terletak di daerah Sungai Batang. Seperti terlihat dalam kutipan di bawah
ini:

89
Ibid., h.254
90
Ibid.
91
Ibid., h.261
64

Alangkah indahnya dan permainya pemandangan dari sini. Awan berarak


di atas air, melindungi biduk-biduk yang bersimpang siur itu. Wah, lihat,
Bunda, kampung Kubu, masjid dan nun... rumah gedang92

Sungai Batang adalah sebuah daerah yang berada di kecamatan Tanjung


Raya kabupaten Agam provinsi Sumatera Barat dekat Tepi Danau
Maninjau93 yang berada sekitar 40 km dari Bukittinggi. Penulis
menggunakan latar yang memang benar-benar ada sebagai lokasi di
Indonesia.
Masyarakat sekitar percaya bahwa Danau Maninjau terbentuk ratusan
tahun silam akibat letusan sebuah gunung berapi yang bernama Gunung
Sitinjau. Menurut mereka bukit-bukit yang mengelilingi danau seluas 100
meter persegi itu membuat Danau Maninjau bagaikan sebuah cekungan di
puncak sebuah gunung. Menurut orang-orang tua setempat, sebelum Danau
Maninjau terbentuk ada sepuluh orang bersaudara yang sudah ditinggal
karena meninggal oleh orangtuanya yang menetap di kawasan itu. Si sulung
bernama Kukuban, sedangkan si bungsu adalah seorang perempuan cantik
bernama Sani. Kukuban dan adik-adik laki-lakinya dijuluki Bujang
Sembilan oleh masyarakat setempat.
Bujang Sembilan memiliki seorang paman yang baik hati bernama Datuk
Limbatang dan ia punya seorang anak laki-laki yang tampan bernama Giran.
Karena sering bertemu, Sani dan Giran akhirnya jatuh hati. Datuk

92
Ibid., h.210
93
Danau maninjau merupakan sumber air untuk sungai bernama Batang Sri Antokan, atau lebih
dikenal dengan nama Sungai Batang. Di salah satu bagian danau yang merupakan hulu dari Sungai
Batang terdapat PLTA Maninjau. Puncak tertinggi diperbukitan sekitar Danau Maninjau dikenal
dengan nama Puncak Lawang. Untuk bisa mencapai Danau Maninjau jika dari arah Bukittinggi
maka akan melewati jalan berkelok-kelok yang dikenal dengan Kelok 44 sepanjang kurang lebih
10 km mulai dari Ambun Pagi sampai ke Maninjau. Danau ini tercatat sebagai danau terluas
kesebelas di Indonesia. Sedangkan di Sumatera Barat, Maninjau merupakan danau terluas kedua
setelah Danau Singkarak yang memiliki luas 129,69 km2 yang berada di dua kabupaten yaitu
Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Solok.
65

Limbatang juga tak keberatan dengan hubungan mereka dan berniat


menikahkan kedua sejoli ini. Namun, si sulung tidak menyetujui hal tersebut
karena ia pernah dikalahkan Giran dalam pertandingan pencak silat dan
merasa benci kepadanya. Suatu hari Garin dan Sani bertemu secara diam-
diam karena Sani tak ingin membuat kakaknya terseinggung. Namun
Kukuban menguntit Sani dari belakang dan menuduh mereka telah
melakukan perbuatan tak senonoh. Para warga pun percaya akan hasutan
Kukuban dan mereka mengarak Giran dan Sani untuk dilemparkan ke
kawah panas Gunung Sitinjau sebagai hukuman.
Sebelum dilemparkan ke kawah, Giran mengucap sumpah, “Ya Allah,
biarkan tubuh kami hancur jika kami bersalah. Tapi jika kami tidak
bersalah, ubahlah Bujang Sembilan menjadi ikan!”. Akhirnya, setelah
pasangan ini melompat ke dalam kawah, Gunung Sitinjau pun meletus
dengan hebatnya dan laharnya menghancurkan apapun yang dilewatinya.
Bekas letusan Gunung Sitinjau berubah menjadi Danau Maninjau dan di
sanalah Bujang Sembilan hidup sebagai sembilan ekor ikan.
Asri tinggal di rumah gedang sejak kecil sampai ia dewasa.
Kehidupannya selama dirumah gedang membentuk karakter Asri sebagai
orang yang berbudi bahasa halus dan menghargai orang lain juga saling
menyayangi kepada sesama manusia. Karakter tersebut didapatkannya tak
lain atas ajaran yang diberikan oleh Ibu Mariati dan Ibu Maliah yang
mencontohkan bagaimana cara menghargai orang lain dan melihat orang
lain tidak berdasarkan hartanya.
...jika saya hendak memakai kata “bangsawan” itu juga, - ia pun
bangsawan pula! Bukankah pangkat laras itu sudah dua kali turun di
rumah gedang itu? Almarhum neneknya dan mamaknya berpangkat laras
belaka. Jadi ia sudah lebih dahulu berderajat daripada kita! Dan
almarhum bapaknya pun berpangkat juga, yaitu penghulu kepala dalam
negeri ini, ketika mamak kita masih jadi laras. Ia sangat dikasihi orang,
karena amat halus budi bahasanya. Jadi apakah kekurangannya? Tidak
ada sedikit jua pun! Akan tetapi ia tak pernah bermegahkan barang
“pusaka” itu, dan ia pun masih dimuliakan orang juga. Tidak lain
sebabnya karena hatinya tulus dan ikhlas kepada sesama manusia. Sekali-
66

kali bukan karena “bangsawannya”, bukan karena “laras”nya, sebab hal


itu tiada kekal.”94

Kutipan tersebut memperlihatkan bagaimana Asri memperlakukan


sesama dengan baik dan tidak mempedulikan latar belakang atau pangkat
yang dimiliki.

2) Rumah Berukir
Rumah berukir adalah kediaman yang ditinggali oleh Saniah dan orang
tuanya, yaitu Rangkayo Saleah dan Datuk Indomo. Nur Sutan Iskandar tidak
menjelaskan secara detail mengenai tempat tinggal Saniah bersama
orangtuanya namun pembaca dapat menilai bahwa mereka masih tinggal di
Sumatera Barat tidak jauh dari rumah gedang. Seperti dalam kutipan
“Barang ke mana Asri pergi, kadang-kadang ia bersama-sama dengan
Asnah dan ibunya.”95 Perangai orang-orang yang tinggal di rumah berukir
amat berlainan dengan di rumah gedang. Orang-orang di rumah berukir
sangat memegang adat bangsawan, yaitu terlalu membangga-banggakan
pangkat dan kekayaannya.

3) Rumah Ibu Mariah


Rumah Ibu Mariah digambarkan terletak di sebuah daerah bernama
Bayur. Bayur merupakan salah satu negeri yang terdapat dalam kecamatan
Tanjung Raya, kabupaten Agam, provinsi Sumatera Barat, Indonesia.
Terletak sekitar 4 KM dari Maninjau ke arah Lubuk Basung. Di Bayur
terdapat salah satu Masjid yang sangat megah sekali yaitu Masjid Ŗαya
Bayur yang peresmiannya langsung diresmikan oleh Mantan Menteri Sosial
RI Bachtiar Camsyah yang dulu masih menjabat sebagai Menteri Sosial RI.
Makanan khas nya yaitu Rinuak, ada palai rinuak, rakik rinuak,dan macam2
olahan lain dari rinuak. Rinuak adalah ikan khas danau maninjau, seperti
ikan teri nasi. Selain itu masih ada lagi ikan bada masiak, bada masiak

94
Ibid, h.68
95
Ibid, h.36
67

adalah ikan yang sudah diasapi dan masih banyak lagi kuliner dan tempat-
tempat eksotis di bayur. Rumah Ibu Mariah menjadi tempat yang ditinggali
Asnah setelah pertengkarannya dengan Saniah, di tempat ini pula akhirnya
dilangsungkan pernikahan antara Asnah dengan Saniah.

4) Rumah Sutan Sinaro dan Rusiah


Rumah kakak kandung dari Saniah ini terletak di daerah Bukittinggi.
Lokasi tempat tinggalnya tidak digambarkan dengan detail. Hanya
disebutkan bahwa Saniah sering berkunjung ke rumah Rusiah di
Bukittinggi. Hal ini terlihat dari kutipan di bawah ini:
Kadang-kadang diajaknya Asri pergi ke Bukittinggi. Katanya, ia hendak
membeli apa-apa yang diingininya, atau hendak berkunjung ke rumah
Rusiah atau hendak melihat-lihat semasa di negeri yang ramai dan indah
itu.”96

5) Rumah kontrakkan Asri dan Asnah


Setelah menikahi Asnah, keduanya pindah ke Jakarta dan tinggal
dirumah sewaan yang kecil. Tidak dijelaskan dengan detail lokasi tempat
tinggal mereka, Iskandar hanya menyebutkan Jakarta sebagai tempat tinggal
mereka setelah menikah. Seperti terlihat dalam kutipan “...walaupun baru
dapat diam di rumah sewaan kecil”97 Jakarta yang pada saat itu masih
bernama Batavia memberikan pengaruh yang cukup besar untuk mereka.
Selama setahun mereka tinggal di Jakarta, Asnah banyak belajar tentang
pergaulan hidup dan masalah pendidikan. Hal tersebut membuat
pengetahuannya bertambah luas, dan membuatnya memiliki pemikiran yang
tajam. Asri dan Asnah pun melakukan kunjungan ke sekolah Kartini di
berbagai kota. Hal tersebut membuat mereka menyadari bahwa perbaikan
budi pekerti dan nasib kaum ibu serta anak-anak terletak pada usaha dan
perjuangan bangsa perempuan atau wanita sendiri dalam dunia pendidikan.
Seperti terlihat dalam kutipan di bawah ini:

96
Ibid, h. 204
97
Ibid, h. 252
68

Kedua suami istri yang berbahagia itu sudah setahun lebih tinggal di kota
yang besar lagi ramai itu. Senang, gembira, dan tetap berkasih-kasihan.
Bukan antara mereka berdua saja, - bahkan terutama pula dengan orang
setangga dan penduduk kampung tempat kediamannya. Daripada mereka
itu banyak Asnah belajar dan mendapat contoh teladan yang baik serta
bermanfaat tentang pergaulan hidup dalam masyarakat umum bangsa
Indonesia dan bangsa lain-lain di kota yang berisi segala macam suku
dan bangsa itu. Pemandangannya bertambah luas dan pikirannya
bertambah tajam. Barang di mana ada kesempatan ia pun tak khali
daripada menambah ilmu pengetahuannya, istimewa tentang masalah
pendidikan dengan banyak membaca dan bertekun. Seluk beluk
pergerakan wanita berdasarkan cita-cita R.A. Kartini sangat menarik
perhatiannya. Beberapa buah sekolah Kartini di kota yang besar-besar di
– Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya – sudah pernah
dikunjunginya dan diselidikinya mata pelajarannya bersama-sama
dengan suaminya. Penyelidikan itu semakin menginsafkan dan
meyakinkan hatinya, bahwa perbaikan akhlak, budi pekerti dan nasib
kaum ibu serta anak-anak terutama sekali adalah terletak pada usaha dan
perjuangan bangsa perempuan/wanita sendiri dalam dunia pendidikan.”98

Tinggal di kota besar seperti Jakarta membuat mereka lebih mengerti


tentang kehidupan, dan membuat mereka lebih bisa mengembangkan diri
dikarenakan pola pikir mereka yang juga sudah digambarkan memiliki
pemikiran yang modern.

b. Latar Waktu
Latar waktu dalam novel ini tidak disebutkan secara jelas oleh
pengarang. Namun terdapat beberapa peristiwa yang dapat dijadikan acuan
waktu dalam novel Salah Pilih karya Nur Sutan Iskandar, yaitu lewat tokoh
Hasan Basri yang mengatakan bahwa saudaranya tewas terkena peluru
„nyasar‟ akibat peristiwa tembak-menembak di Aceh antara serdadu dengan
pejuang kemerdekaan. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan di bawah ini:
Ia meninggal di Kutaraja dalam bulan yang baru lalu ini, sebab kena
peluru ... sesat. Engku tahu, bahwa perkara tembak-menembak di Aceh
antara serdadu dengan ... pejuang kemerdekaan – perusuh, kata Belanda
– masih jadi kebiasaan, bukan?”99

98
Ibid, h. 253
99
Ibid, h. 170
69

Kutipan tersebut menggambarkan bahwa masih terjadi perang antara


Aceh dan Belanda yaitu antara tahun 1873-1904. Kutipan tersebut
dihadirkan di tengah-tengah cerita, yaitu saat pernikahan Asri dan Saniah
sudah berlangsung cukup lama. Sementara, novel Salah Pilih sendiri
diterbitkan pertama kali pada 1928.

c. Latar Sosial
Penggambaran keadaan sosial dalam novel Salah Pilih karya Nur Sutan
Iskandar dapat dilihat dalam kutipan berikut:
... Tadi ketika Ibu tidur nyenyak, saya pergi ke Balai dan ketika saya
singgah sebentar ke rumah Kakak Upik Hitam, saya dapati anaknya
sudah lahir. Ya, anak itu laki-laki; molek, bagus dan gemuk. Akan tetapi
...”
... Akan tetapi anak itu semenjak pukul lima tadi masih terletak di lantai
juga, masih berlumur darah, sebab tembuni belum keluar lagi. Ibunya
pingsan, kadang-kadang menjerit-jerit kesakitan, bila tembuni itu
menyesak ke dadanya”
Mengapa tidak lekas dikerat tali pusat anak itu, supaya ia dapat
dimandikan dengan segera?”
Dilarang keras oleh bidan. Katanya, kalau tali pusat itu dipotong,
tembuni lari ke dalam kembali, tak dapat diharap akan keluar. Dengan
demikian niscaya berbahaya nyawa ibunya, Kakak Upik Hitam itu.”
Wahai,” keluh Ibu Mariati dengan belas kasihan. “kerap kali betul terjadi
seperti itu di negeri kita ini! Kalau ada dokter ... Dan sekarang bagaimana
halnya?”100

Berdasarkan kutipan di atas, digambarkan mengenai seorang perempuan


yang sedang melahirkan dan gambaran masyarakatnya yang masih sangat
mempercayai mitos, yaitu larangan untuk memotong tali pusat apabila ari-
ari belum keluar. Hal ini disebabkan tidak adanya dokter yang mengerti
sepenuhnya tentang persalinan, mereka hanya mengandalkan bidan
setempat yang minim akan pengetahuan. Hal tersebut jelas memperlihatkan
bahwa pendidikan masih menjadi hal yang sulit untuk di dapatkan, terlebih
jika dihubungkan dengan latar waktu dalam novel ini, pendidikan memang

100
Ibid, h. 8-9
70

masih menjadi hal yang sangat mahal, dan hanya bisa didapatkan oleh kaum
bangsawan.
...ia selalu bermegahkan kebangsawanannya, dan istrinya tidak pernah
kurang daripada empat orang. Bercerai dengan seorang, digantinya
dengan perempuan yang lain pula, sehingga istrinya itu tetap empat juga
bilangannya.”101

Kutipan di atas memperlihatkan bagaimana masyarakat Minangkabau


yang masih sangat mengikuti adat istiadatnya, salah satunya adalah kaum
bangsawan yang harus memiliki istri lebih dari satu. Bahkan orang tuanya
akan sangat malu apabila anaknya hanya memiliki satu orang istri.
Gambaran masyarakat yang masih sangat terkungkung oleh adat juga
terlihat saat dilangsungkannya pertunangan antara Asri dengan Saniah.
Mereka masing-masing harus mengikuti berbagai macam tradisi dan
kebiasaan sesuai dengan adat istiadat setempat. Seperti terlihat pada kutipan
berikut:
Semenjak itu Asri sudah kerap kali dijamu oleh kaum keluarga orang di
rumah berukir itu. Baik belahan yang dekat, baik pun belahan yang jauh
menjamu Asri belaka. Perjamuan itu baik sekali ujud dan maksudnya,
yakni akan memberi kesempatan kepada Asri untuk berkenal-kenalan
dengan karib baid tunangannya, supaya ia tahu rumah tangga mereka itu.
Kebalikannya, dalam perjamuan itulah pula mereka itu dapat mengamat-
amati tingkah laku, fiil perangai bakal “menantu” atau bakal “ipar”nya.
Dan ketika itu jua mereka dapat mengetahui, adakah dia disukai orang
atau tidak? Sebab sesungguhnya datang ke perjamuan semacam itu tidak
dilazimkan seorang saja, melainkan harus berteman tiga empat orang
sekurang-kurangnya. Dan teman-teman itu harus orang baik-baik. Jadi
kalau ia datang seorang saja, alamat ia kekurangan kawan atau tidak
disukai orang!”102

Latar sosial-budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan


perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan
dalam karya fiksi. Masyarakat Minangkabau dalam novel ini digambarkan
sebagai masyarakat yang masih sulit menerima perubahan dan juga hal-hal
yang dianggap bertentangan dengan adat istiadat masyarakat setempat.

101
Ibid, h. 14
102
Ibid, h. 98
71

Misalnya saat Asri menyatakan keinginannya untuk menikahi Asnah yang


merupakan saudara sesuku. Seperti terlihat pada kutipan berikut:
...di dalam beberapa bulan ini perkara itu sudah kupikirkan dan
kubicarakan dengan beberapa penghulu dalam negeri Sungaibatang.
Mereka itu berpendapat, bahwa aku tidak boleh kawin dengan Asnah,
pertama-tama – kecuali karena masalah sesuku itu – sebab kami sudah
dianggap bersaudara sejak kecil. Kami setepian tempat mandi, kami
sepenjemuran dan sepintu gapura, - kata adat pula. Hanya bekas
mentuaku dan seorang lagi penghulu daripada suku lain – cuma kedua
beliau itulah yang mengerti akan hasrat hatiku. Beliau-beliau itu
menerangkan, bahwasanya masih ada jalan untuk melampaui larangan
adat itu, masih ada syarat untuk melangsungkan perkawinan orang
sesuku itu, yakni lebih dahulu “buatan diungkai dan buhul dibuka.” Akan
tetapi untuk mengungkai buatan dan membuka buhul itu aku harus
mengisi adat: memotong kerbau seekor, mengadakan beras seratus
gantang, dan menjamu segala penghulu dalam negeri Sungaibatang
makanminum. Jika tidak kulakukan sedemikian dan aku kawin juga
dengan Asnah, kami mesti dikeluarkan dari adat – dan tak diakui sebagai
orang Minangkabau lagi.”103

5. Gaya Bahasa
Novel Salah Pilih menggunakan bahasa Melayu baik dalam penceritaan
ataupun dialog antartokoh. Hal ini wajar karena novel ini adalah novel
terbitan Balai Pustaka yang mewajibkan novel-novel terbitannya ditulis
menggunakan bahasa Melayu, terlebih latar dalam novel ini juga
menggunakan latar Sumatera, dan masyarakat Minangkabau yang memang
masih menggunakan bahasa Melayu. Ada beberapa kata yang sulit untuk
dipahami karena tidak diberikan pengertian oleh penulisnya. Sehingga
membuat pembaca harus meluangkan sedikit waktu untuk mencari arti kata-
kata sulit tersebut. Penggunaan majas dalam novel ini tidak terlalu banyak,
diantaranya ada majas personifikasi, hiperbola, dan ironi.
Personifikasi adalah majas yang menjadikan benda mati seolah-olah hidup.
Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini “Akan tetapi pikirannya
melayang-layang jua kemana-mana”104. Kata melayang-layang merupakan

103
Ibid, h. 248
104
Ibid, h.44
72

kata sifat yang biasa disandingkan dengan hewan. Pada kutipan tersebut
menjadi majas personifikasi karena kata melayang-layang disandingkan
dengan kata pikiran, sehingga seolah-olah hidup.
Hiperbola adalah majas yang menggunakan kata-kata yang dianggap
berlebihan. Kata-kata berlebihan tersebut dapat dilihat pada kutipan “Supaya
berhak atas sesuatunya, haruslah saya bekerja membanting tulang.”105 Kata
membanting tulang tersebut dianggap berlebihan yang berarti bekerja dengan
keras, bukan bekerja sampai membanting-banting tulang yang ada di
tubuhnya.
Selanjutnya, majas ironi adalah majas yang digunakan untuk menyindir
sesuatu yang sifatnya bertentangan dengan maksud mengolok-olok. Seperti
pada kalimat “He, yang mana kaupanggilkan Asnah Rus? Noni muda ini?”
kalimat tersebut ditujukan pada Asnah yang berpakaian seperti wanita muda
Belanda, padahal ia hanya anak seorang pembantu yang dulu bekerja di
rumah Gedang.

6. Amanat
Amanat atau pesan yang ingin disampaikan pengarang dalam novel Salah
Pilih adalah agar kita lebih bijak dalam memilih pasangan dan
memperlakukan orang lain. Sikap Saniah dan Rangkayo Saleah yang tamak,
sombong dan tidak menghargai orang lain, nyatanya hanya akan membawa
pada kehidupan yang tragis dan penyesalan tiada akhir. Sementara Asnah dan
Asri memperlihatkan bagaimana memilih pasangan, hendaknya lebih melihat
pada hati dan budi pekertinya, bukan karena status sosial, harta, fisik dan
sebagainya. Nur Sutan Iskandar ingin menyampaikan bahwa adat istiadat
yang berlaku di masyarakat tidak selamanya memiliki dampak yang baik bagi
kehidupan. Hendaknya setiap masyarakat juga mengkaji ulang tentang hukum
adat yang berlaku. Apakah baik atau tidak untuk kehidupannya.

105
Ibid, h.11
73

B. Representasi Laki-laki dalam Novel Salah Pilih karya Nur Sutan


Iskandar
Kritik terhadap adat dan pemikiran kolot adalah tema yang menonjol dalam
novel Salah Pilih. Novel ini berusaha menunjukkan bahwa ada beberapa adat
istiadat di masyarakat – khususnya masyarakat Minangkabau – yang perlu
diubah dan tidak wajib dijalani dengan cara yang kaku. Nur Sutan Iskandar
berusaha mendobrak adat istiadat yang dianggap kaku dan tidak sesuai dengan
ajaran agama. Dalam novel Salah Pilih karya Nur Sutan Iskandar penulis
mengambil lima tokoh laki-laki yang penulis anggap mewakili pandangan Nur
Sutan Iskandar lewat tokoh laki-laki. Kelima tokoh tersebut adalah Asri, Dt.
Indomo, St. Sinaro, Kaharuddin, dan Hasan Basri. Dari kelima tokoh tersebut,
penulis membagi lagi menjadi dua kategori, yaitu laki-laki yang mendobrak
adat, dan laki-laki yang patuh dan takluk pada adat. Asri, St. Sinaro dan
Kaharuddin adalah representasi laki-laki yang mampu mendobrak adat yang ada
dalam masyarakatnya, sementara Dt. Indomo dan Hasan Basri adalah
kebalikannya. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana cara Nur Sutan Iskandar
menghidupkan tokoh tersebut dalam novel ini.

1. Bentuk-bentuk Pendobrakan dan Kepatuhan terhadap Adat


a. Cara Memilih Pasangan untuk Pernikahan

Asri direpresentasikan sebagai laki-laki yang ingin memilih sendiri


pasangan hidupnya dan ingin mendapatkan istri yang sesuai dengan
hatinya berdasarkan pada tutur kata dan perilakunya. Namun, dalam
masyarakatnya terdapat larangan untuk menikah dengan orang sesuku, dan
karena Asri tergolong sebagai orang yang berkecukupan, maka ia pun
mulai memikirkan perempuan-perempuan yang juga termasuk dalam
golongan berada. Hal ini karena tidak memungkinkan baginya untuk
memilih calon istri dengan cara Eropa, yaitu dengan cara saling mengenal
dan meninjau budi pekerti dan isi hati masing-masing sebelum menikah.
Seperti tergambar dalam kutipan di bawah ini:
74

Seluas-luasnya, menurut cara adat Eropah, tentu tidak dapat!” jawab


Ibu Mariati dengan tajam dan ingat-ingat. “Melainkan secara adat kita
juga, dan akan kaulihat dan rasai kelak, jika engkau sudah
bertunangan.106
Berdasarkan kutipan di atas, dapat dilihat bahwa keputusan Asri
dalam memilih pasangannya dipengaruhi oleh sikap ibunya yang
mengatakan bahwa sangat tidak mungkin memilih istri dengan cara Eropa
sepenuhnya, walaupun ibunya membebaskan Asri untuk memilih calon
istrinya sendiri. Maka dapat dikatakan bahwa Ibu Mariati adalah
representasi Timur itu sendiri atas sikap ambivalennya, karena
ketidakmampuannya untuk menjalankan keinginan hatinya, yaitu menuruti
kehendak Asri untuk memilih istri dengan cara Eropa. Ketidakmampuan
Ibu Mariati ini merepresentasikan bagaimana kedudukan Timur yang
selalu berada di bawah penguasaan Barat, dan memperjelas pengaruh yang
ditimbulkan oleh penjajah kepada kaum jajahannya bukan hanya dari segi
fisik, namun juga dari segi mental, pemikiran dan tindakan. Selain Asri,
tokoh lain yang juga tidak mengikuti adat dalam memilih calon pasangan
adalah Kaharuddin. Kaharuddin juga direpresentasikan sebagai tokoh yang
mendobrak adat dalam hal memilih pasangan. Ia memilih Asnawiah,
seorang gadis yang dikenalnya selama setahun, berumur 18 tahun dan
lulusan HIS yang tinggal di Padang. Ia memilih Asnawiah karena jatuh
cinta pada hati dan pikirannya juga karena kepandaian dan sifat-sifat
keperempuanan yang ada pada dirinya. Kaharuddin menganggap ia akan
berbahagia jika berumah tangga dengan Asnawiah. Seperti yang terlihat
dari kutipan di bawah ini:

Ayah dan bunda! Adapun Engku Sutan Suleman itu beristri di


Padang. Dengan istrinya itu adalah beliau beranak dua orang:
seorang laki-laki dan bekerja bersama-sama dengan Anakanda, dan
seorang lagi perempuan, berumur 18 tahun dan berijazah tamat
belajar di sekolah HIS “Adabiah”. Tapi perkara itu tak usah
Anakanda ceritakan panjang lebar, melainkan cukup sudah jika
anakanda terangkan, bahwa dalam setahun ini Anakanda sudah
berkenalan dengan Asnawiah, anak Engku Sutan Suleman itu.
106
Ibid, h.47
75

Perkenalan kami itu sangat suci, Ayah dan Bunda, dijaga dan
diperhatikan oleh ibu bapa dan saudaranya. Di dalam waktu itu
dapatlah rasanya kami mengetahui hati dan pikiran kami masing-
masing, lahir dan batin, sehingga jika kami - dan jika bersuka ruas
dengan buku serta dapat izin daripada Ayah dan Bunda – tinggal
serumah tangga kelak, niscaya kami akan dapat hidup dengan rukun
dan damai. Segala kepandaian dan sifat-sifat yang perlu bagi
perempuan, cukup belaka padanya...107
Permintaan izin dari Kaharuddin untuk menikah, langsung
mendapatkan kecaman keras dari Rangkayo Saleah, ibundanya.
Keteguhannya dalam memegang adat bangsawan, jelas tidak
memungkinkan Kaharuddin mendapat restu darinya, terlebih adat
Minangkabau mengharuskan “perempuan” yang menjemput laki-laki
bangsawan. Namun hal tersebut tidak membuat Kaharuddin
mengurungkan niatnya, sikap Kaharuddin yang sepenuhnya mendobrak
adat ini, jelas bertentangan dengan sikap ambivalen dalam diri Asri. Jika
Kaharuddin akhirnya tetap menikahi Asnawiah yang dipilihnya dengan
tidak mempedulikan adat, Asri justru melakukan hal yang bertentangan
dengan hatinya, yaitu tetap memilih istri sesuai dengan adatnya, salah
satunya tetap memilih istri dari kaum bangsawan, yaitu Saniah.
Tokoh Datuk Indomo sebenarnya juga tidak setuju dengan cara
memilih adat bangsawan yang ada pada kaumnya, menurutnya memilih
calon istri tidak ditentukan pada miskin, kaya, status bangsawan, berbeda
wilayah dan sebagainya. Ia mengizinkan anaknya menikah dengan
siapapun asalkan terpelajar, sehat, orang baik-baik dan memiliki sopan
santun. Akan tetapi, ketakutannya pada istrinya menjadikannya tokoh yang
ambivalen, karena nyatanya Datuk Indomo tidak kuasa menentang apapun
keputusan istrinya. Seperti terlihat pada kutipan di bawah ini:
Bermula Dt. Indomo berdiam diri saja! Ia tidak setuju dengan
pendapat istrinya itu, sebab pikirannya dan pemandangannya sendiri
amat luas dalam hal nikah kawin. Dengan siapa saja anaknya hendak
kawin, diizinkannya, asal perempuan yang disukainya sebanding
umurnya dengan umur anaknya itu; terpelajar, sehat, orang baik-baik
dan betertib sopan. Kaya, miskin, bangsawan, berlain negeri dan
107
Ibid, h.198
76

sebagainya, - sekaliannya itu tidak dipandang penting jadi alasan.


Akan tetapi ia tidak berani mengabarkan pendiriannya itu kepada
istrinya, - akan mengelakkan kata-kata pedih yang mungkin keluar
lebih hebat dan tidak pada tempatnya.” 108

Hal tersebut memrepresentasikan sikap ambivalen yang terdapat pada


diri Datuk Indomo, yaitu ketika hatinya tidak menyetujui sikap istrinya,
namun sikapnya justru hanya bisa menuruti keinginan istrinya.
Tokoh selanjutnya adalah Hasan Basri, ia tidak direpresentasikan
secara tersurat apakah menolak dengan keras hukum adat setempat, ia juga
tidak diceritakan secara detail keadaan keluarganya, hanya saja ia
menyatakan perasaan cintanya pada Asnah secara terbuka kepada Asri dan
juga Asnah, tidak melalui serangkaian adat yang rumit, namun jika ditilik
lebih jauh, Asnah adalah saudara angkat Asri, maka dapat disimpulkan
Asnah bukan berasal dari keluarga bangsawan, pada bagian Mengantar
Sirih bahkan Rangkayo Saleah menyebut Asnah sebagai anak seorang
pembantu, seperti pada kutipan “Ya, baru sekarang aku ingat. Ibunya
Sabariah yang jadi bud109 ... maaf, di rumah gedang itu, bukan?”110 Maka
dapat disimpulkan, bahwa Hasan Basri mempertimbangkan kelas sosial
perempuan yang akan dipilihnya, karena Hasan Basri sendiri awalnya
merupakan tokoh yang sangat miskin akan harta, dan bukan berasal dari
kalangan bangsawan. Jadi, keputusan Hasan Basri menjatuhkan pilihan
pada Asnah dapat dikatakan berada di bawah pengaruh adat, dan Hasan
Basri patuh dan menjalankan cara memilih pasangan berdasarkan adat
istiadat setempat.

b. Anjuran Memiliki Istri Lebih Dari Satu

Adat istiadat ini mengharuskan laki-laki beristri lebih dari satu,


apalagi laki-laki yang dianggap mapan dan memiliki status sosial yang
tinggi, kaum kerabatnya akan sangat malu apabila ada saudara laki-lakinya

108
Ibid, h.200
109
Maksudnya adalah budak
110
Nur Sutan Iskandar. Op.Cit., h.85
77

yang hanya beristri satu. Asri lagi-lagi menolak adat tersebut dengan
sangat tegas. Ia sangat benci terhadap adat beristri banyak tersebut.
Baginya, ia hanya ingin memiliki satu orang istri saja selama hidupnya.
Seperti pada kutipan berikut:

Aku amat benci kepada adat berbini banyak itu! Apa gunanya aku
menuntut pelajaran selama ini, jika aku akan memakai adat yang
bengis itu juga? Aku akan menyakiti hati dan diri bangsa ibu, bangsa
adikku? Ah, maksudku kalau dapat, seumur hidupku hanya aku
hendak beristri seorang saja. Karena itu sebelum aku kawin, lebih
dahulu harus kutimbang baik-baik siapakah yang dapat mengikat
diriku dengan tali cinta dan budi bahasa kelak.”111
Jika dilihat lewat dialognya, hanya Asri yang menolak dengan tegas
dan tidak mengikuti adat beristri banyak tersebut. Namun, dari
keseluruhan cerita. Kelima tokoh yang penulis sebutkan di atas, tidak
melakukan adat beristri banyak tersebut.

c. Cara Mendidik Anak

Masyarakat Minangkabau memang terkenal dengan berbagai macam


adat istiadatnya, dan juga keteguhan masyarakatnya dalam menjalankan
adat istiadat tersebut. Tentu hal ini juga berdampak dengan cara mendidik
keturunannya dengan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakatnya.
Seperti yang dilakukan oleh Rangkayo Saleah pada keturunannya, yaitu
Rusiah, Kaharuddin dan Saniah. Jika Saniah direpresentasikan sebagai
anak yang sangat patuh pada ajaran bundanya, maka lain dengan
Kaharuddin dan juga Rusiah. Ajaran yang sangat keras dari bundanya,
tidak lagi dipakai. Terlebih oleh Rusiah yang telah menikah dengan
seorang guru bernama Sutan Sinaro. Pemikiran dan tingkah laku Sutan
Sinaro dalam novel ini tidak direpresentasikan secara langsung, melainkan
lewat tokoh Rusiah. Rusiah mengatakan bahwa ia harus memberikan
sedikit kebebasan kepada anak-anaknya, supaya mereka tahu bagaimana

111
Ibid, h.55
78

kehidupan nantinya, dan Rusiah mengatakan bahwa Sutan Sinarolah yang


membuatnya berpikiran seperti itu. Seperti terlihat dalam kutipan berikut:

Jadi kaucela ajaran itu?” tanya Saniah dengan tajam.


Tidak, melainkan aku menetapkan suatu kejadian. Tentu saja maksud
bunda sesuai betul dengan maksudku sekarang terhadap kepada anak-
anak itu; menjadikan dia tangkas! Akan tetapi agak berlainan jalan;
dalam hatiku telah terbit suatu pikiran, bahwa kita harus memberi
kebebasan sedikit kepada anak-anak, supaya mereka itu tahu hidup
sendiri kelak.”
Wahai, siapa yang menimbulkan pikiran serupa itu di dalam hatimu?”
Tuanmu112,” kata Rusiah dengan air muka yang jernih. “Siapa lagi?113

Berdasarkan kutipan di atas, dapat dikatakan bahwa Sutan Sinaro juga


termasuk dalam tokoh yang mendobrak adat lewat caranya menerapkan
pola pikir dan perilaku Barat pada istri dan anak-anaknya, dan salah satu
faktornya adalah pendidikan. Dalam novel ini, Sutan Sinaro dikatakan
berprofesi sebagai guru, maka kemungkinan besar Sutan Sinaro
bersekolah di Kweekschool (salah satu jenjang pendidikan resmi untuk
menjadi guru pada zaman Hindia Belanda). Lagi-lagi Iskandar
menggambarkan bagaimana tokoh-tokoh yang mendapat pendidikan
(Belanda) khususnya, akan mampu menata hidupnya, dan juga hidup
orang-orang yang disayanginya menjadi lebih baik dan bahagia. Dikatakan
lebih baik dan bahagia, karena Rusiah direpresentasikan sebagai tokoh
yang baik, dan juga disenangi oleh masyarakat di sekitarnya, karena
kepribadiannya yang tidak mengikuti adat bangsawan bundanya. Seperti
terlihat dalam kutipan berikut:
Perkataan dan permintaan Rusiah yang budiman itu adalah menjadi
“sitawar-sidingin” kepada segala jamu itu. Hati mereka itu menjadi
agak sabar dan tenang. Dengan tidak berkata-kata sepatah jua, mereka
itu pun mulai memegang cangkir kopinya masing-masing, lalu minum
sereguk...”114

112
Tuan yaitu panggilan istri kepada suami atau adik kepada suami kakaknya
113
Nur Sutan Iskandar, Op.Cit. h.61
114
Ibid, h. 85
79

Datuk Indomo juga direpresentasikan sebagai tokoh yang sejatinya


senang dengan cara mendidik Rusiah dan Sutan Sinaro terhadap cucu-
cucunya. Ia senang melihat kelakuan cucunya yang riang dan bebas,
seperti dalam kutipan “Hanya ayah dan Kaharuddin yang suka akan
kelakuannya yang riang dan bebas itu”115 namun lagi-lagi ia tidak dapat
menunjukkan rasa cinta dan kasih sayang pada cucunya tersebut. Sebab
Rangkayo Saleah tidak menyukai cucunya tersebut, ia menganggap
mereka sebagai anak-anak yang liar. Seperti terlihat pada kutipan berikut:
Bukan buatan besar hati Dt. Indomo melihat kedua cucunya yang
sehat dan riang itu. Ia hendak memeluk kanak-kanak itu, tetapi
sebentar itu jua Rangkayo Saleah berseru dengan kasar kepada
Rusiah, sambil mengerling suaminya dengan sudut matanya yang
tajam, “Rus, engkau lepaskan juga kedua anakmu yang nakal itu?
Ayuh, ambil, kurung keduanya dalam bilik!” Rusiah terkejut. Dan
tangan Dt. Indomo yang sudah terulur ke muka hendak memegang
cucunya itu, tersurut kembali dan jatuh keharibaannya”116

d. Pembagian Harta Warisan


Hanya ada dua tokoh yang terkait dengan hal warisan, yaitu Asri dan
Hasan Basri. Di awal, penulis telah membagi tokoh menjadi dua kategori,
yaitu tokoh yang mendobrak adat, dan tokoh yang patuh terhadap adat.
Hasan Basri penulis masukkan dalam tokoh yang patuh pada adat, karena
berkaitan dengan penggambaran pengarang tentang warisan yang
diterimanya. Hasan Basri awalnya direpresentasikan sebagai tokoh yang
sangat miskin, namun kemudian nasibnya berubah ketika saudaranya
meninggal di Kutaraja, dan ia memperoleh harta pusaka yang sangat
banyak, salah satunya adalah toko saudaranya yang berada di Kutaraja.
Seperti terlihat pada kutipan di bawah ini:

Saya hendak menerangkan kepada Engku, bahwa peri keadaan saya


sangat berubah oleh kematian saudara saya itu. Dengan tidak
disangka-sangka saya sudah beroleh pusaka yang amat banyak, - toko
di Kutaraja itu sudah jadi hak milik saya sendiri. 117

115
Ibid, h. 61
116
Ibid, h. 73
117
Ibid, h.170
80

Jika Hasan Basri direpresentasikan menerima harta pusaka tersebut


dan menerima adat istiadat dalam hal pembagian harta warisan dengan
sangat patuh – padahal seharusnya harta tersebut jatuh ke tangan istri, anak
atau orang tua dari saudaranya tersebut – berbeda dengan Asri yang justru
menolak harta pusaka yang ditinggalkan oleh Saniah, walaupun secara
agama dan adat, harta itu memang berhak jatuh kepadanya, namun lagi-
lagi Asri menolak adat semacam itu, dan memberikan seluruh harta
bersama Saniah kepada kakak iparnya, Rusiah. Sikap Asri tersebut jelas
menimbulkan pro kontra di masyarakatnya, ada yang memuji sikapnya,
dan juga mencelanya, karena Asri dianggap melanggar adat kebiasaan
setempat. Seperti terlihat pada kutipan di bawah ini:

Baik sungguh hatinya. Berlain dengan kebanyakan laki-laki. Siapa


gerangan yang kematian istri di Bandarnunang baru-baru ini? O,ya,
Sidi Tangkas, - ia baru kawin dengan gadis pula! Masih merah tanah
pekuburan istrinya, ... dan penibanya, yaitu barang-barang
pembawaannya kepada istrinya yang baru itu, terjadi daripada pusaka
mendiang Sitti Rahmah belaka. Kasihan, ibu Sitti Rahmah menggigit
bibir saja.”118
Kutipan di atas menunjukkan masyarakat yang memuji sikap Asri
terhadap barang-barang peninggalan Saniah, dan membandingkannya
dengan kelakuan masyarakat pada umumnya, yang merugikan keluarga
perempuan, karena harus menanggung cucu hasil pernikahan anak-anak
mereka, sementara sang suami bebas menikah lagi dan membawa seluruh
harta bersama mereka. Seperti yang terlihat pada kutipan di bawah ini:

Harta itu bukan pusaka turun-temurun dari nenek-moyang engku


Hasan Basri itu, melainkan harta pencaharian saudaranya dengan
istrinya, yaitu Kakak Darama serta keempat anaknya. Jadi mereka
itulah yang berhak menerima pusaka itu. Tapi kini, setelah suaminya
berpulang, tiba-tiba harta itu dirampas orang dari tangannya, sehingga
ia serta anak-anaknya itu terpaksa pulang ke kampungnya dengan kain
sepinggang saja. Ya, Tuhan, alangkah malangnya, – laki mati, harta
pun hilang ...”119

118
Ibid, h.226
119
Ibid, h.186-187
81

Kutipan di atas memperlihatkan bagaimana penderitaan istri yang


ditinggal oleh suaminya namun tidak mendapatkan harta pusaka apapun,
karena adat setempat yang tidak memperkenankan istri mendapatkan harta
warisan.

2. Visi Pengarang Terhadap Representasi Laki-Laki


Nur Sutan Iskandar merupakan pengarang yang mendapat pengakuan dan
penghargaan sebagai “Perintis Kemerdekaan” dan telah dianugerahi Piagam
Kehormatan Satya Lencana Kebudayaan dikarenakan karya-karyanya yang
mengarahkan pandangan pembacanya ke arah cita-cita kemerdekaan. Hal
inilah yang terlihat lewat representasi kelima tokoh laki-laki yang telah
penulis paparkan pada penjelasan di atas. Berdasarkan bentuk-bentuk
pendobrakan dan kepatuhan terhadap adat dapat dilihat bagaimana sikap
samar-samar Iskandar sebagai pengarang.
Mengutip pernyataan Bhabha dalam esai yang ditulis oleh Keith Foulcher
bahwa pilihannya bukanlah „berubah menjadi orang putih atau
menghilang‟.120 Kutipan ini agaknya pantas ditujukan kepada Iskandar
sebagai pengarang. Hal ini terlihat dari bagaimana pengarang
merepresentasikan tokoh-tokoh – laki-laki khususnya – dalam novel Salah
Pilih. Pesan yang ingin disampaikan penulis dalam novel ini adalah agar
pembacanya – dalam hal ini khususnya masyarakat Minangkabau – dapat
bersikap fleksibel dan tidak kaku dalam menjalankan adatnya. Hal ini sesuai
dengan pernyataan yang penulis kutip pada bab sebelumnya bahwa dalam
Salah Pilih Iskandar dinilai lebih berani membuat kecaman terhadap adat
perkawinan masyarakat Minangkabau.121 Hal tersebut dapat dilihat dari
bentuk-bentuk pendobrakan dan kepatuhan terhadap adat yang telah penulis
paparkan.
Iskandar sebagai pengarang memberikan akhir yang bahagia pada tokoh-
tokoh yang mampu mendobrak adat. Pada tokoh Asri misalnya, ia
120
Keith Foulcher, Larut di Tempat yang Belum Terbentuk Mimikri dan Ambivalensi dalam ‘Sitti
Noerbaja’ Marah Roesli, (Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 2008) h. 128
121
Wan Shamsuddin M. Yusoff, Sejarah Sastera Melayu Moden, Sesudah Tahun 1800, (Pustaka
Antara: Kuala Lumpur, cet. Ke IV, 1896) h.153
82

direpresentasikan sebagai seorang pemuda pribumi berwajah tampan dan


berwatak baik. Ia sangat lembut dalam bertutur kata dan sangat santun,
sehingga banyak orang yang sayang kepadanya. Hal tersebut dapat dilihat
dari kutipan di bawah ini:
Orang muda itu kaya, Saniah! Rumah gedang dan segala sawah ladang
ibunya tentu akan jatuh ke tangannya sendiri, sebab ia tak bersanak
saudara yang damping lagi. Tambahan pula ia terpelajar, rendah hati, lurus
benar, riang, dan ramah tamah. Segala orang sayang padanya. Kabarnya
konon ia pun tak lama lagi akan diangkat jadi klerk di kantor tuan
kemendur Maninjau. Niscaya ia lekas mencapai pangkat yang tinggi
kelak.”122

Berdasarkan kutipan tersebut dapat dilihat bahwa Asri merupakan orang


yang berkecukupan karena ia merupakan anak tunggal dari Ibu Mariati yang
tidak memiliki saudara kandung, dan jelas akan mewarisi harta keluarganya.
Ia juga dikatakan sebagai seorang yang terpelajar, karena Asri sendiri
merupakan pemuda lulusan MULO123 (sekolah jaman Belanda yang saat ini
setara dengan SMP) dan bercita-cita melanjutkan sekolahnya di Stovia untuk
menjadi dokter. Salah satu faktor yang mengubah pola pikir Asri terhadap
adat istiadat di kampungnya adalah pendidikan yang di perolehnya, karena
bersekolah MULO dan telah memperoleh pendidikan Barat. Salah satu media
yang digunakan oleh kolonial untuk mengubah pola pikir pribumi adalah
sekolah. Hal ini jelas direpresentasikan lewat tokoh Asri yang berpikiran
maju dan sangat berbeda apabila dibandingkan dengan masyarakatnya yang
terkungkung dengan adat istiadat. Perilaku ini terlihat saat kepulangannya ke
rumah gedang dan perlakuannya terhadap Asnah yang tidak lagi berlaku
sesuai dengan adat istiadat di kampungnya. Seperti terlihat dalam kutipan di
bawah ini:
Asri sudah mendapat pelajaran Barat dan sudah biasa bercampur gaul
dengan bangsa Eropah. Baik dengan laki-laki, baik pun dengan
perempuan. Rupanya adat mereka itu sudah banyak yang diketahuinya,
bahkan banyak pula yang sudah ditiru dan dipakainya. Oleh sebab itu, ia
pun hampir lupa akan adat istiadat nenek moyangnya sendiri. Karena

122
Ibid, h.65-66
123
Meer Litgebreid Lager Onderwijs
83

sangat kasih sayang kepada Asnah dan karena sangat suka akan
perempuan itu, hampir dipeluk dan diciumnya pula adiknya itu.”124

Kutipan di atas memperlihatkan bagaimana Asri telah mengaplikasikan


pelajaran Barat yang telah di dapatnya lewat perilakunya yang ingin memeluk
dan mencium Asnah. Perilaku „bebas‟ tersebut memang sesuai dengan ajaran
Barat yang sarat dengan kebebasan, baik itu kebebasan berpikir, berpendapat,
bertindak dan sebagainya. Hal tersebut jelas bertentangan dengan adat yang
terdapat dalam masyarakat mereka.
Representasi Asri yang begitu sempurna, nyatanya harus hancur ketika ia
tak kuasa mendobrak adat secara utuh, yaitu ketika ia memilih untuk menikah
dengan perempuan bangsawan yang bernama Saniah. Segala cita-cita Asri
untuk memiliki istri yang halus tutur kata dan baik perilakunya tidak tercapai
karena ia tidak kuasa menentang adat secara keseluruhan. Ia terpedaya
dengan kecantikan dan status kebangsawanan Saniah. Gadis belia yang
tinggal di rumah berukir tersebut dipilihnya sebagai calon istrinya. Keteguhan
Saniah dalam memegang adat kebangsawanannya menjadikannya perempuan
yang sombong, angkuh, dan selalu memandang rendah orang lain, terlebih
kaum yang tidak berpangkat dan miskin harta, namun hal tersebut tidak
membuat Asri berpindah ke lain hati. Ia percaya bahwa ia akan mampu
mengubah adat tersebut ketika memperistri Saniah dan membawanya ke
rumah gedang. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan di bawah ini:

Ya, maksud ibu, bahwa saya takut akan adatnya yang kaku dan keras itu?
Mudah-mudahan Allah akan memeliharakan saya, hal itu takkan menjadi
alangan kepada saya. Adat itu akan tinggal di rumah berukir itu. Di sana
perempuan “bangsawan” itu akan dapat merasai kehormatannya, seberapa
suka hatinya. Kalau Saniah sudah pindah ke rumah gedang ini, niscaya ia
akan bersukacita, sebab disini tak usah lagi ia memakai adat kepongahan
itu.125
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, cita-cita Asri, yaitu
melanjutkan sekolah ke Stovia, mendapatkan istri yang memiliki visi dan
misi yang sama dengannya untuk membangun kampungnya, mendirikan

124
Nur Sutan Iskandar. Op.Cit., h.27
125
Ibid, h.45
84

rumah bersalin sebagai cita-cita bersama, hancur saat menetapkan pilihannya


pada Saniah, rumah tangganya dengan Saniah selalu diwarnai dengan
pertengkaran, bahkan Asri mengakui bahwa ia menyesal memilih Saniah
sebagai istrinya. Ia telah keliru memilih istri sesuai dengan adat istiadat nenek
moyangnya, perempuan yang dipilih karena pangkat, status sosial, asal
sekolah dan hartanya tersebut nyatanya hanya membawanya pada
kesengsaraan. Hal ini juga dibenarkan oleh ibunya, Ibu Mariati. Ia sangat
menyesal telah menikahkan Asri dengan Saniah, gadis bangsawan dari rumah
berukir. Pikirnya, kebahagiaannya di rumah gedang akan bertambah setelah
Asri menikah, namun nyatanya justru kesedihan dan kesengsaraan yang
hinggap di kediaman mereka. Seperti terlihat pada kutipan di bawah ini:

Akan tetapi, Asri, kini kubukakan isi hatiku kepadamu: Aku sungguh
kecewa akan tingkah laku istrimu. Sangkaku dahulu, keturunan dan
kekayaan, pelajaran dan kecantikan yang ada padanya, akan bermanfaat
bagi kita, akan dapat menyemarakkan namamu dalam masyarakat. Dan ia
pun akan dapat jadi kawan hidup yang berbakti kepadamu. Tapi
kebalikannya .... Malang engkau kuperistrikan!.”126
Dari kutipan di atas, Nur Sutan Iskandar ingin menyampaikan
pandangannya tentang adat istiadat di kampungnya yang menurutnya tidak
bisa lagi diaplikasikan pada zaman tersebut. Novel Salah Pilih benar-benar
memperlihatkan bagaimana Iskandar menolak adat istiadat di kampungnya,
salah satunya adalah tentang cara memilih calon istri lewat tokoh Asri dan
Kaharuddin dengan mengenalkan masyarakat pada sebuah ajaran baru dalam
memilih pasangan, yaitu agar lebih memperhatikan adab daripada adatnya.
Asri memilih Asnah pada akhirnya untuk menjadi istrinya, dikarenakan sifat
baik yang terdapat dalam diri Asnah. Sementara saat memilih Saniah Asri
dihadapkan pada sebuah kehancuran dalam hidupnya, karena Asri memilih
Saniah karena adatnya yang mengharuskannya untuk melihat pada
perempuan bangsawan.

Tokoh ibu Mariati pun akhirnya direpresentasikan meninggal dengan


membawa penyesalan atas nasib anaknya. Mengutip pernyataan Armijn Pane
126
Ibid, h.163
85

dalam esai yang ditulis oleh Keith Foulcher, maut merupakan nasib yang tak
terhindarkan bagi tokoh-tokoh novel Balai Pustaka sebelum perang, karena
tidak ada hasil yang bisa diharapkan ketika batas-batas kenyataan dilangkahi
oleh mimpi-mimpi tentang perubahan.127 Pernyataan tersebut
direpresentasikan lewat tokoh ibu Mariati yang memimpikan anaknya akan
hidup bahagia apabila mengikuti keinginannya untuk menikah dengan tidak
melampaui adat. Ia ingin membuat perubahan dengan memberikan sikap
„bijaksana‟ lewat caranya yang mempersilakan Asri untuk memilih
pasangannya sendiri, namun nyatanya ibu Mariati tidak kuasa menentang
„Adat‟ seutuhnya, karena label keturunan bangsawan dan kelas sosial yang
tinggi. Kematian juga menghampiri tokoh Saniah saat ia sudah „dianggap‟
tidak mampu mengubah Asri untuk mengikutinya memegang teguh adat
bangsawan, karena pemikiran progresif Asri dan sikap ke barat-baratannya.
Kenyataan itulah yang tidak bisa Saniah langkahi dengan mimpi-mimpinya
tentang perubahan.

Keadaan pada tokoh Asri sangat berbeda saat ia memutuskan untuk


mendobrak adat secara keseluruhan. Saat ia masih direpresentasikan sebagai
tokoh yang ambivalen, hidupnya berantakan, segala cita-citanya hancur dan
orang-orang yang disayanginya pergi meninggalkannya. Namun saat Asri
memutuskan untuk mendobrak adat secara keseluruhan, yaitu dengan berniat
menikahi Asnah – padahal mereka saudara sesuku – dan rela pergi untuk
pindah ke Jakarta, kehidupannya berubah total. Jika pada saat memilih
Saniah, Asri terpengaruh oleh ibunya, yang membuatnya belum bisa
mendobrak adat secara keseluruhan. Namun berbeda saat Asri menyadari
perasaannya untuk Asnah. Setelah meninggalnya Saniah, Asri benar-benar
bertekad untuk menikah dengan Asnah. Walaupun ia tahu keputusannya
tersebut tidak akan bisa dijalani dengan mudah. Setelah menikah dengan
Asnah, hidup Asri digambarkan sangat bahagia, walaupun ia harus pindah ke
Jakarta, dan dijauhi oleh orang sekampungnya yang banyak berniaga disana.

127
Keith Foulcher, Op.Cit., h. 123
86

Seperti terlihat pada kutipan “Mereka itu diajuhi dan disisih oleh orang
sekampungnya, yang banyak berniaga disana, seperti anjing berpenyakit
kurap”.128 Namun, Iskandar membuat akhir yang bahagia untuk Asri dan
Asnah, yakni dengan dipanggilnya kembali Asri ke kampung halamannya
untuk dijadikan pemimpin disana.

Pemilihan kota Jakarta – yang merupakan ibu kota kolonial – sebagai


tempat tinggal Asri dan Asnah juga memperlihatkan bagaimana Belanda
selalu memberikan tempat untuk setiap orang yang „terbuang‟ karena
mencoba meniru dan menerapkan pola hidup Belanda. Hal ini
merepresentasikan bagaimana kedudukan penjajah yang memiliki kekuatan
untuk membuat kehidupan seseorang menjadi „bahagia‟ ataupun „tragis‟.

Akhir yang bahagia tidak hanya milik Asri dan Asnah, Kaharuddin dan
Sutan Sinaro pun digambarkan tidak memiliki masalah apapun setelah
menerapkan pola hidup „bebas‟ sesuai dengan ajaran Barat. Terlebih Sutan
Sinaro malah mendapatkan tambahan harta yang dihadiahkan Asri lewat
Rusiah, dan Kaharuddin menikah dengan perempuan yang dicintainya.
Sementara tokoh yang patuh terhadap adat, memiliki akhir yang tidak
bahagia, seperti yang terjadi pada Hasan Basri yang ditolak cintanya oleh
Asnah dan Datuk Indomo yang kehilangan anak, istri dan menantu
tercintanya Asri.

Hal ini merepresentasikan bahwa tokoh yang terang-terangan memiliki


sifat kebelanda-belandaan dan menerapkan pelajaran Barat akan memiliki
hidup yang bahagia. Hal tersebut tidak lepas dari latar belakang pengarang
yang bekerja di Balai Pustaka. Balai Pustaka sendiri merupakan badan
penerbitan yang didirikan oleh Belanda, yang salah satu tujuannya adalah
hendak memasukkan faham penjajahan ke dalam jiwa bangsa Indonesia
dengan cara menerjemahkan buku-buku yang melukiskan kegagahan
pahlawan-pahlawan Belanda, yang menurut Zuber Usman boleh jadi inilah

128
Ibid, h. 252
87

tujuan yang utamanya.129 Maka setiap karya yang diterbitkan oleh Balai
Pustaka, umumnya adalah karya-karya yang bertujuan menaikkan citra
Belanda dan meredam pergolakan bangsa Indonesia yang ingin bergerak ke
arah kemerdekaan lewat tulisan. Hal tersebut dapat dikatakan
direpresentasikan dengan jelas dalam novel ini lewat tokoh Asri dan Saniah.
Asri dan Saniah sama-sama bergelar bangsawan dan mendapat pendidikan
Barat. Asri yang direpresentasikan telah lulus dari MULO sementara Saniah
bersekolah HIS (Hollandsch-Inlandsche School), walaupun keduanya sama-
sama pernah belajar di sekolah Belanda, namun direpresentasikan oleh
pengarang dengan sangat berbeda. Asri secara terang-terangan mengakui
bahwa ia telah mendapat pelajaran Barat dan mengaplikasikannya, sementara
Saniah tetap teguh memegang adat kebangsawanannya, dan tidak pernah
berpakaian cara Belanda karena harus patuh pada ajaran bundanya, walaupun
sebenarnya ia sangat ingin berpakaian seperti itu, seperti terlihat pada kutipan
berikut:

awak anak budak belian, ... hendak berpakaian cara Belanda pula! Pongah,
gaduk, sombong! Sedangkan aku yang berijazah HIS130, tidak ... Cis!131
Perbedaan watak dan representasi antara Asri dan Saniah, bertujuan untuk
memberikan gambaran pada pembaca, bahwa untuk disenangi oleh orang lain
dan mendapatkan kehidupan yang bahagia, haruslah mengedepankan adab.
Jika Asri digambarkan memiliki kehidupan yang bahagia dengan Asnah,
bahkan diminta untuk memimpin kampung halaman yang sudah menjauhinya
setelah mampu mendobrak adat secara keseluruhan, maka berbeda dengan
Saniah yang malah menjemput maut sebagai akhir hidupnya karena
keteguhannya dalam memegang adat kebangsawanannya dan tidak adanya
adab yang baik dalam diri Saniah, walaupun ia telah mengenyam pendidikan
Belanda. Namun hal itu tidak mengubah keangkuhan Saniah dan
kebanggaannya terhadap label bangsawan yang dimilikinya. Sehingga Saniah

129
Yusoff, Op.Cit., h.4
130
Karena ancaman ibunya memang Saniah sejak keluar dari sekolah tak pernah memakai rok
lagi, walaupun ia masih ingin sekali ....
131
Iskandar, Op.Cit., h.84
88

digambarkan memiliki nasib yang tragis. Tokoh lainnya yang bisa penulis
jadikan pembanding adalah Asnah. Tokoh Asnah adalah tokoh yang tidak
mendapat pendidikan Barat, namun ia direpresentasikan sebagai tokoh yang
memiliki adab yang baik, peduli terhadap masyarakat di sekitarnya, dan
bahkan bercita-cita untuk mendirikan „rumah bersalin‟. Keinginannya
mendirikan „rumah bersalin‟ tersebut dipicu saat Asnah melihat proses
tetangganya yang sedang melahirkan dan melontarkan pendapatnya mengenai
„dukun beranak‟ yang dianggapnya justru malah membahayakan nyawa sang
ibu saat proses melahirkan, karena masih terlalu banyak percaya pada mitos
yang ada. Seperti terlihat pada kutipan di bawah ini:

Saya naik ke atas rumah itu, ketika orang sekalian sudah mulai hilang akal.
Bidan, - tak tentu yang akan dibuatnya lagi. Yang tak patut dirabanya,
sudah dirabanya; yang tidak patut diurutnya, sudah diurutnya, sehingga si
sakit itu jadi letih lesu...132
Sikap Asnah yang beradab tersebut memperkuat pandangan pengarang
bahwa status kebangsawanan bukanlah faktor yang menjadikan seseorang
disenangi ataupun ditiru oleh masyarakatnya. Namun Iskandar
memperlihatkan hal lain, yaitu adab. Asri dicintai masyarakatnya karena
pikiran progresifnya dan adab baiknya, begitupun dengan Asnah. Novel ini
memperlihatkan bagaimana Asri yang merupakan representasi Barat
dipandang baik oleh hampir seluruh masyarakat di kampungnya, bahkan di
akhir cerita diminta untuk memimpin kampungnya tersebut. Seperti saat
situasi pertunangannya dengan Saniah, seluruh sanak keluarga Saniah memuji
kepribadian Asri. Seperti terlihat pada kutipan di bawah ini:

Adat dan tertibnya dalam helat itu pun amat baik. Sekalian orang yang
dikunjunginya memuji dia belaka. Mereka itu berkata, amat beruntung
Saniah beroleh tunangan yang elok, betertib dan mulia itu. Tak membeda-
bedakan bangsa! Ia pandai berkata-kata dengan siapa jua pun; pandai
memilih kata-kata yang halus, yang sedap didengar telinga orang dalam
perjamuan “adat basa-basi” itu. Dan terkadang-kadang tak lupa ia

132
Ibid, h.9
89

mencampur percakapannya dengan senda-gurau yang sopan, yang tak


kurang menjadikan orang tertawa gelak-gelak.133
Tidak berbeda dengan Asri, Asnah pun direpresentasikan sebagai sosok
yang disenangi oleh banyak orang dalam masyarakatnya, tetangga di sekitar
rumah gedang sangat menyukai tingkah laku dan tutur katanya yang santun.
Seperti terlihat dalam kutipan “Akan tetapi kepada Asnah mesti Adinda
menaruh kasih, baik Adinda mau atau pun tidak. Ia baik sekali. Belum pernah
Kakanda bertemu dengan seseorang, yang tak suka kepadanya."134 Di akhir
cerita pun Asnah digambarkan hidup bahagia dengan Asri. Hal ini
menunjukkan bahwa kaum rendahan atau kaum non-bangsawan dapat hidup
bahagia apabila mengikuti ajaran Barat. Selain pemikiran Asnah, gaya
berpakaian Asnah juga menyerupai Belanda, yang menegaskan bahwa Asnah
adalah representasi Barat, seperti terlihat pada kutipan berikut:

He, yang mana kaupanggilkan Asnah, Rus? Noni mudah ini?” Rangkayo
Saleah memandang kepada Asnah, yang telah pucat warna mukanya
sekonyong-konyong. – “Sangkaku, ini noni anak tuan kementar Maninjau.
Ia serupa betul, lebih-lebih pakaiannya...135
Penjelasan di atas sesuai dengan pernyataan yang penulis kutip dari sebuah
artikel yang menyatakan bahwa jika dilihat berdasarkan periode
kepengarangannya, pada tahun 20-an, kebencian Iskandar terhadap
pemerintah Belanda atau sesuatu yang berbau Barat secara eksplisit belum
nampak. Hal ini bisa dimaklumi, karena Balai Pustaka adalah penerbit
pemerintah, yang punya tujuan politis, yaitu memengaruhi kaum terpelajar
Indonesia untuk mengikuti garis politik Belanda.136 Terlebih, novel Salah
Pilih sendiri pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1928
yang berarti Indonesia masih dalam masa penjajahan oleh Belanda. Hal inilah
yang kemudian direpresentasikan lewat tokoh Asri dan tokoh lain yang
mampu mendobrak adat dan menerapkan pola hidup Barat.

133
Ibid, h.99
134
Ibid, h.108
135
Ibid, h. 84
136
Anonim, Tragedi Nasionalisme Nur Sutan Iskandar, (Media Indonesia: Jakarta, 1991) h.4
90

Cara menyelesaikan sebuah masalah antara tokoh Asri dan Saniah juga
dibuat sangat bertentangan. Saat pertengkarannya dengan Saniah, Asri justru
menjalani kegiatan positif sebagai pelariannya, yaitu dengan menolong
petani dan para pedagang kecil dengan memperbaiki cara mereka
menjalankan usahanya, yaitu dengan mendirikan koperasi. Ia pun dipercaya
untuk memimpin koperasi tersebut. Setelah koperasi tersebut mendatangkan
hasil, banyak masyarakat yang meminta Asri untuk mendirikan “rumah
bersalin” supaya kaum ibu yang mengandung dan melahirkan mendapat
perawatan yang layak sesuai dengan ilmu pengetahuan. Hal tersebut dapat
dilihat pada kutipan di bawah ini:

...Mula-mula keramaian pasar Sungaibatang tentang perdagangan barang-


barang hutan telah menimbulkan cita-cita lama di dalam hatinya, yaitu ia
hendak menolong kaum tani dan hendak memperbaiki cara pedagang
kecil-kecil menjalankan usahanya. Baik kaum tani baik pun saudagar
kecil-kecil itu banyak yang kurang cukup pengetahuan dan modalnya
.....137
Hal ini memperlihatkan pemikiran Iskandar yang lain, yaitu tentang
pemikiran untuk memajukan masyarakatnya. Lewat Asri, Iskandar
memperlihatkan bahwa masih ada hal baik yang bisa diambil dari penjajah
sekalipun, yaitu lewat pikiran progresif dalam diri Asri. Jika Asri
direpresentasikan sebagai tokoh yang menyelesaikan masalah dengan positif,
maka berbeda dengan Saniah. Saniah justru lebih banyak mengadukan setiap
permasalahan yang ada pada ibundanya, Rangkayo Saleah. Seperti terlihat
pada kutipan di bawah:

...Sementara Asri ke kantor, kerap kali Saniah pergi ke Negeri dengan


tidak setahu Ibu Mariati dan Asnah. Di situ diadukannyalah segala halnya
kepada bundanya. Sekalian pengaduan itu pun diterima oleh Rangkayo
Saleah dan sepakat menyalahkan Asnah saja!138
Sikap Saniah jelas merepresentasikan Timur yang dianggap masih sangat
bergantung pada orang tua, sikap „manja‟ dan tidak mampu menyelesaikan
masalah sendiri merupakan sikap yang masih sangat melekat pada pribumi,

137
Nur Sutan Iskandar, Op.Cit., h.204
138
Ibid, h.144
91

sementara Asri dengan sikapnya yang mampu mengatasi masalah dengan


„pelarian‟ yang baik dan terkesan mandiri serta bermanfaat bagi
masyarakatnya merupakan stereotipe yang dibentuk oleh kolonial sebagai
representasi Barat. Penggambaran tersebut bertujuan untuk memperlihatkan
pada masyarakat, bagaimana pemuda yang bersekolah dan menerapkan ajaran
Barat akan mampu mengubah kehidupan masyarakatnya menjadi lebih baik,
dan secara tidak langsung membuat pembaca untuk mempercayai „kolonial‟
sebagai tokoh yang protagonis untuk masyarakat pribumi.

Iskandar menggunakan efek patos dalam novel ini yang membangkitkan


rasa simpati pembaca atas ketidakadilan yang dialami oleh para tokoh.
Dengan demikian, kebaikan Asri dan Asnah tidak hanya tampak dalam
kecantikan fisik mereka, tetapi juga dalam nilai-nilai moral yang
membimbing interaksi mereka satu sama lain dan dengan dunia pada
umumnya. Hal ini yang perlu kita ingat, bahwa dunia moral batin mereka
adalah dunia sekolah Belanda yang progresif sebagai representasi yang
positif, seperti pada tampilan luar mereka.

Novel ini juga memperlihatkan sikap ambivalen yang ada pada


pengarangnya. Beberapa dialog dalam novel ini merepresentasikan
bagaimana Iskandar menggunakan pribumi „kolot‟ sebagai alat untuk
menyindir sikap Asri yang ke barat-baratan, namun segera menghadirkan
sosok pribumi yang membantah pernyataan, bahwa perilaku ke barat-baratan
merupakan hal yang buruk. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:

Tapi, ya, orang terpelajar berlain dengan orang kampung biasa, sekalipun
kadang-kadang adat istiadatnya sudah kebelanda-belandaan.”
Saya kira, Sutan Bendahara tidak bersifat demikian,”kata si Dewi.”Hanya
agak bebas...”
Kan baik bebas, terutama bagi kita kaum perempuan, yang diperlakukan
laki-laki selama ini sebagai ... bunga kembang saja?” kata Saodah dengan
senyumnya.
Tapi hasilnya?” tukas Mak Sarinah. “Perempuan, gadis-gadis didikan
sekarang ini sudah teranja-anja ... Diberi sejengkal hendak sehasta, dan
diberi sehasta hendak sedepa. Lihat contohnya, bagaimana pergaulan Asri
dengan Saniah, yang diberi kebebasan itu?”
92

Karena salah memakai kebebasan itu!” ujar Saodah pula. “Dan jelas bukan
kesalahan Sutan Bendahara, melainkan karena kecongkakan Saniah
semata-mata. Mentang-mentang kemenakan Tuanku Laras, ya, karena ia
pandai berkeleseh-peseh139 ia tidak mau tahu akan orang miskin sebagai
kita ini. Malah suaminya yang baik itu pun hendak dikutak-katikkannya
...140

Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita lihat bagaimana Iskandar


menggambarkan tokoh Asri yang seolah-olah „salah‟ atas sikap kebelanda-
belandaannya, namun di sisi lain Iskandar juga langsung membenarkan sikap
Asri dan melimpahkan kesalahan pada Saniah. Percakapan di atas
menghadirkan dua sisi yang bertentangan dengan maksud agar pembaca tidak
merasa ragu mengenai mana sudut pandangan yang „benar‟; kata-kata yang
bernalar jelas kata-kata yang disetujui oleh pengarangnya. Jadi, nalar dan
kebenaran lahir dari tokoh-tokoh yang memiliki ciri-ciri sifat yang positif
dalam lingkungan pribadi dan tanggung jawab di masyarakat. Hal ini jelas
merepresentasikan bagaimana sikap samar-samar pengarang yang
berpengaruh pada watak masing-masing tokoh dengan menghadirkan tokoh-
tokoh yang bersifat Barat namun memiliki tujuan sebagai salah satu cara
mengarahkan pandangan masyarakat ke arah kemerdekaan, dengan pikiran-
pikiran yang progresif.

Mengutip pernyataan Labrousse dalam essai yang ditulis oleh Keith


Foulcher yang menyatakan bahwa cerita yang menghadirkan tokoh
antikolonial adalah mustahil bahwa ini merupakan usaha pengarang untuk
memasukkan keberpihakan anti-Belanda dalam ceritanya, mengelabui sensor
Balai Poestaka.141 Sudah menjadi rahasia umum bahwa Balai Pustaka
memiliki sensor tersendiri ketika menerbitkan sebuah karya, salah satu
persyaratannya yaitu tidak adanya tokoh yang menimbulkan citra negatif pada
pemerintahan Belanda. Hal tersebut berkaitan dengan bagaimana pengarang
membuat narasi yang selalu bertentangan seperti yang penulis paparkan pada

139
Berbahasa Belanda
140
Nur Sutan Iskandar, Op.Cit., h.228
141
Keith Foulcher, Op.Cit., h. 121
93

paragraf di atas. Jadi, dapat disimpulkan apabila pengarang menghadirkan


tokoh anti-Belanda maka tokoh tersebut untuk mempertegas bahwa tokoh
negatif memiliki sudut pandang yang „keliru‟ dan sebaliknya, tokoh yang pro-
Belanda bagaimanapun mereka dianggap salah oleh masyarakatnya,
pengarang selalu menegaskan bahwa tokoh tersebut „benar‟.

Hal lainnya yang diperlihatkan sebagai “jejak kolonial” dalam novel ini
adalah penggambaran tentang nasib tokoh berdasarkan kelas sosialnya. Tokoh
bangsawan yang dihadirkan dalam novel ini yaitu Asri dan seluruh penghuni
rumah berukir digambarkan mendapat pendidikan dan dianggap sebagai
orang „terpelajar‟. Hal tersebut memperlihatkan bagaimana Belanda hanya
menerima kaum bangsawan untuk masuk dalam lingkungan pendidikan
Barat. Tokoh yang mendapat pendidikan Barat diantaranya adalah Asri,
Saniah, Kaharuddin dan Sutan Sinaro. Tokoh yang tidak disebutkan jenjang
pendidikannya adalah Kaharuddin, ia hanya disebutkan sebagai kaum
terpelajar. Jika Asri, Sutan Sinaro dan Kaharuddin mendapatkan akhir yang
bahagia, maka hal tersebut berbeda dengan Saniah. Asri, Sutan Sinaro dan
Kaharuddin dalam mengaplikasikan berbagai pelajaran yang mereka peroleh
dari sekolah Belanda dan membuang adat istiadat yang selama ini mengekang
mereka. Sementara Saniah kukuh dengan adat kebangsawanannya, sehingga
ia „diberikan‟ sebuah nasib yang tragis dan terkubur bersama
kesombongannya.

Hasan Basri merupakan tokoh yang tergolong sebagai kaum non-


bangsawan, dan Iskandar membuat perbedaan kaum bangsawan dan non-
bangsawan dalam novel ini dengan sangat jelas. Saniah memiliki nasib tragis
di bagian akhir cerita, namun sebelum ajal menjemputnya, hidupnya bak tuan
putri. Ia hampir memiliki segalanya, kecantikan, kekayaan, status sosial, dan
hidup yang serba dilayani. Setidaknya, Saniah masih merasakan
„kebahagiaan‟ hidup dengan waktu yang cukup lama. Berbeda dengan Hasan
Basri yang sejak awal digambarkan sangat miskin hingga akhirnya ia
mendapat harta pusaka yang tak terduga karena kematian saudaranya, namun
94

Iskandar segera membuat nasibnya terpuruk kembali karena penolakan Asnah


akan dirinya. Ia juga tidak mendapat pendidikan Barat sama sekali, dan tidak
berperilaku kebarat-baratan. Hal ini memperlihatkan kecenderungan Iskandar
untuk mengistimewakan tokoh yang memiliki keterkaitan dengan citra
Belanda.

Melalui ideologi kolonial, pihak kolonial menciptakan wacana tentang


masyarakat terjajah dengan stereotipe-stereotipe bahwa masyarakat
terkolonialisasi, atau terjajah adalah masyarakat yang terbelakang, primitif,
pemalas, dll. Hal itu dilakukan untuk membenarkan dan mencari alasan
penaklukan dan penguasaan Eropa atas wilayah tersebut.142 Sehingga dalam
hal ini, masyarakat pribumi akhirnya berhasil dijadikan liyan di tanahnya
sendiri, dan menimbulkan anggapan bahwa ketika pihak terjajah mampu
mengikuti pola pikir pihak penjajah, maka sifat-sifat pemalas, primitif dan
sebagainya akan hilang dan terganti dengan kehidupan dan pola pikir yang
lebih baik.

Pernyataan di atas dibuktikan dengan penggambaran masyarakat


Minangkabau yang „malas‟ untuk memperbaiki diri dan dianggap sudah
sangat terbiasa dengan hal-hal primitif, salah satu contohnya ialah mengikuti
seluruh adat istiadat yang ada, contoh lain yang memperlihatkan gambaran
masyarakat terbelakang adalah kurangnya pengetahuan masyarakat tentang
cara menjalankan sebuah usaha. Seperti yang terlihat pada kutipan berikut.

Mula-mula keramaian pasar Sungaibatang tentang perdagangan barang-


barang barang-barang hutan telah menimbulkan cita-cita lama di dalam
hatinya, yaitu ia hendak menolong kaum tani dan hendak memperbaiki
cara pedagang kecil-kecil menjalankan usahanya. Baik kamu tani baik pun
saudagar kecil-kecil itu banyak yang kurang cukup pengetahuan dan
modalnya143

142
S.H. Alatas, Mitos Pribumi Pemalas. (LP3ES: Jakarta, 1988) h. 2-3
143
Nur Sutan Iskandar, Op.Cit., h.204
95

Sifat primitif yang pada masyarakat terjajah juga menjadi salah satu hal
yang digambarkan dalam novel ini. Hal ini dibuktikan melalui kutipan
berikut.
Akan tetapi anak itu semenjak pukul lima tadi masih terletak di lantai juga,
masih berlumur darah, sebab tembuni belum keluar lagi. Ibunya pimgsan,
kadang-kadang menjerit-jerit kesakitan, bila tembuni itu menyesak ke
dadanya.”
Mengapa tidak lekas dikerat tali pusat anak itu, supaya ia dapat
dimandikan dengan segera?”
Dilarang keras oleh bidan. Katanya, kalau tali pusat itu dipotong, tembuni
lari ke dalam kembali, tak dapat diharap akan keluar. Dengan demikian
nscaya berbahaya nyawa ibunya”144
Kepercayaan pada mitos yang ada pada kutipan tersebut memperlihatkan
sifat primitif yang ada pada masyarakat terjajah, sehingga membenarkan
stereotipe-stereotipe yang dibentuk oleh penjajah. Hal inilah yang memicu
lahirnya tokoh Asri yang dinyatakan lolos sensor oleh Balai Pustaka karena
berdasarkan sifat-sifat yang sudah penulis paparkan. Asri dianggap mampu
mengubah masyarakatnya menjadi masyarakat yang lebih baik dan berpikiran
modern, serta membawa perspektif pembaca terpelajar pada zamannya untuk
mempercayai penjajah – yang diwakili lewat tokoh Asri – akan
menghilangkan sifat primitif, pemalas dan terbelakang tersebut, serta
mengubah kehidupan masyarakat tersebut ke arah yang lebih baik.
Akhir cerita dalam novel ini memperlihatkan Asri yang diminta untuk
pulang dan memimpin kampung halamannya. Hal ini merepresentasikan
sikap pengarang yang tidak sepenuhnya mendukung Belanda. Kepulangan
Asri ke kampung halamannya memperlihatkan bagaimana sesungguhnya jati
diri Asri yang menyatakan sikap, bahwa bagaimanapun keadaannya, harga
diri bangsanya adalah harga mati. Bahwa bagaimanapun sikap Belanda
melekat dalam dirinya, ia akan tetap kembali pada tanah airnya, bukan
mengabdi lewat pekerjaan di lembaga pemerintahan Belanda, namun Asri
memilih untuk kembali pada kampung halamannya.

144
Ibid, h. 9
96

Kembali mengutip pernyataan Bhabha dalam esai yang ditulis oleh Keith
Foulcher bahwa pilihannya bukanlah „berubah menjadi orang putih atau
menghilang‟.145 Menjadi orang putih (Barat) bukanlah pilihan yang diambil
oleh Iskandar, karena pada kenyataannya, Iskandar pun mengidamkan
kemerdekaan untuk bangsanya. Menghilang berarti memperlihatkan
keputusasaan pengarang, dan bukan hal tersebut yang menjadi tujuan
Iskandar. Ia hanya bisa memperlihatkan sikap ambivalen yang ada pada
dirinya untuk mencapai tujuan utamanya, yaitu menggapai kemerdekaan
untuk bangsanya dan kembali pada tanah airnya untuk memajukan kehidupan
masyarakatnya, dan hal itulah yang ia representasikan dalam diri Asri yang
tidak memilih untuk berubah sepenuhnya menjadi orang putih ataupun
menghilang dari bangsanya karena sikapnya yang ke barat-baratan. Ia hanya
mencoba konsisten pada ambivalensinya demi mencapai tujuan dalam
hidupnya yaitu memajukan kehidupan masyarakatnya.

C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA


Secara umum tujuan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bidang sastra
yang pertama adalah, peserta didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya
sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan,
serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Tujuan yang kedua
adalah, peserta didik menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai
khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Sastra memang berangkat dari sebuah kehidupan masyarakat yang ada di
sekitar pengarang. Oleh karena itu, sastra kerap kali dijadikan bahan bacaan
dengan tujuan menularkan nilai-nilai positif yang ada dalam karya tersebut, agar
pembaca dapat mengaplikasikan nilai-nilai positif tersebut dalam kehidupannya.
Hal inilah yang membuat sastra menjadi penting untuk diajarkan di sekolah.
Minimnya pengetahuan siswa tentang karya sastra dan pengarang-pengarang
yang berpengaruh pada dunia kesusastraan menjadi salah satu faktor yang
penulis jadikan alasan untuk memilih novel Salah Pilih karya Nur Sutan

145
Keith Foulcher, Op.Cit., h. 128
97

Iskandar. Salah satu hal yang menjadi kendala dalam pembelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia adalah kurangnya minat baca siswa terhadap karya-karya lama,
terlebih yang masih menggunakan bahasa melayu. Siswa lebih tertarik membaca
novel-novel populer yang banyak membicarakan permasalahan remaja dengan
bahasa yang lebih ringan.
Jika dikaitkan dengan tujuan pembelajaran sastra di atas, dapat terlihat bahwa
peserta didik harus mampu membaca dan memanfaatkan karya sastra serta
mengambil nilai-nilai yang berdampak positif dengan tujuan mengembangkan
kepribadian dan memperluas wawasan yang dimilikinya. Hal ini sejalan dengan
program pemerintah tentang pembentukan karakter siswa melalui literasi,
khususnya pengembangan pada karakter yang berkaitan dengan sikap, sosial,
dan spiritual. Dengan demikian peran seorang pendidik sangat diperlukan untuk
mencapai tujuan tersebut. Pendidik diharapkan mampu mendidik, membimbing,
memberikan contoh dan mendukung peserta didik agar memiliki kepribadian
dalam beretika dan beragama.

Proses pembentukan kepribadian ini dapat dilakukan dengan berbagai cara,


salah satunya adalah dengan memberikan pelajaran lewat karya sastra oleh
pendidik. Pendidik harus mampu memberikan pembelajaran dan materi yang
dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari kepada peserta didik. Selain itu,
pendidik juga dapat mengenalkan sastra kepada peserta didik untuk proses
pembentukan karakternya, dan mengenalkan bagaimana cara mengambil nilai-
nilai positif yang ada dalam sebuah karya sastra. Setiap bacaan yang dibaca oleh
peserta didik akan mempengaruhi perkembangan individu tersebut. Hal inilah
yang membuat pemilihan karya sastra yang diajarkan menjadi penting untuk
diperhatikan oleh pendidik.

Manfaat pembelajaran sastra bagi peserta didik yaitu 1) untuk membantu


keterampilan berbahasa, 2) meningkatkan pengetahuan budaya, 3)
mengembangkan cipta dan rasa, dan 4) menunjang pembentukan watak.146 Pada

146
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Penerbit KANISIUS, cet. Ke-8 2000),
h. 16
98

pembelajaran sastra di sekolah ada dalam mata pelajaran bahasa. Untuk materi
novel sesuai dengan silabus Kurikulum 2013, diajarkan di kelas XII sementer I
yaitu mengenai menganalisis teks novel baik secara lisan maupun tulisan. Dalam
kurikulum 2013 bukan sekadar pendidikan yang mengacu pada pengetahuan
siswa saja, melainkan pada sikap atau karakter siswa juga.

Novel Salah Pilih cocok diajarkan ditingkat SMA karena mengangkat tema
mengenai permasalahan yang ada pada sebuah masyarakat – khususnya pada
masyarakat Minang – yang masih sangat terkekang oleh adat. Novel ini banyak
mengajarkan tentang nilai budaya yang masih banyak tidak diketahui oleh
peserta didik. Pesatnya arus globalisasi membuat peserta didik terkadang lupa
oleh adat istiadat dan nilai budaya yang ada di Indonesia. Maka pemilihan novel
ini dapat membantu peserta didik untuk mengenal lebih jauh tentang budaya
yang ada di Indonesia khususnya pada masyarakat Minangkabau. Novel ini juga
banyak memberikan gambaran tentang laki-laki yang mempunyai cita-cita tinggi
dan contoh laki-laki yang dapat berguna bagi masyarakat. Hal ini sangat baik
untuk dijadikan contoh bagaimana seharusnya menjadi manusia yang dapat
bermanfaat untuk masyarakatnya. Hal ini berkaitan dengan pengembangan sikap
yang harus dimiliki oleh peserta didik.

Jika dilihat dari segi sosial, novel ini memberikan banyak contoh tentang
bagaimana menghargai sesama manusia, misalnya untuk membantu sesama,
tidak memandang orang lain berdasarkan hartanya dan saling menghormati
dalam berbagai perbedaan. Hal ini tentu berkaitan jika dilihat dari segi
spiritualnya, karena dalam agama apapun diajarkan untuk saling menghormati
dan berperilaku baik kepada sesama, serta tidak bersikap sombong walaupun
kita tergolong sebagai orang yang berada.

Pada pembelajaran ini, standar kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta
didik adalah dapat mengidentifikasi unsur intrinsik novel seperti tema, alur,
tokoh dan penokohan, sudut pandang, latar dan gaya bahasa, juga unsur
ekstrinsik yang terdapat pada karya tersebut. Dalam novel Salah Pilih, pendidik
dapat memberikan rujukan kepada peserta didik untuk membacanya, kemudian
99

menemukan unsur intrinsik dan ekstrinsik yang terkandung di dalamnya.


Dengan demikian, peserta didik dapat mengambil manfaat dan contoh yang baik
dari berbagai peristiwa dan karakter yang ada pada novel tersebut.

Pada novel Salah Pilih juga banyak nilai positif ataupun negatif yang dapat
ditelaah lebih jauh. Nilai-nilai positif yang terdapat pada tokoh utama Asri
digambarkan dengan karakter anak yang patuh pada ibunya, sopan dan memiliki
cita-cita tinggi dan memiliki etika. Nilai positif juga dapat dilihat melalui tokoh
lain yaitu dari Ibu, Asnah, dll. Sosok Ibu digambarkan sebagai seorang yang
bertanggung jawab, mencintai anak-anaknya, penyayang dan juga penyabar.
Selain itu melalui Asnah juga terdapat nilai positif yaitu ia memiliki karakter
yang selalu bersikap baik pada siapapun dan menjunjung tinggi nilai kesopanan.
Dengan mengetahui sikap-sikap tokoh dalam novel diharapkan peserta didik
dapat mengembangkan karakternya, dapat menyerap dan mengaplikasikan nilai-
nilai positif dalam kehidupan sehari-hari. Jika pembelajaran sastra di sekolah
diterapkan secara baik dan serius maka bukan mustahil pembelajaran sastra
menjadi jembatan utama untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas
suatu bangsa.

Melalui pembelajaran sastra juga dapat mengembangkan kompetensi siswa


untuk memahami setiap unsur dalam karya sastra. Dalam menganalisis teks yang
terdapat dalam sebuah novel, siswa akan mempelajari bagaimana menganalisis
struktur novel secara menyeluruh. Struktur novel terdiri dari unsur intrinsik dan
ekstrinsik, hasil analisis novel Salah Pilih, bisa dijadikan acuan bagi siswa
dalam menganalisis novel.

Kemudian, jika dikaitkan dengan kompetensi inti dan kompetensi dasar,


representasi laki-laki dalam novel Salah Pilih dapat dijadikan bahan untuk
mengetahui bagaimana karakter laki-laki, dan dapat mempelajari karakter laki-
laki yang digambarkan dalam novel tersebut. Hal tersebut membuat siswa
menjadi belajar untuk berpikir kritis dalam melihat suatu permasalahan yang
ada, dan menganalisis sebuah karya dengan lebih teliti dan mengajarkan siswa
untuk melihat hal yang melatarbelakangi terciptanya sebuah karya. Berbagai
100

permasalahan yang digambarkan pada novel Salah Pilih akan membantu siswa
dalam memahami, menerapkan, menganalisis dan mengevaluasi pengetahuan
faktual, konseptual, prosedual, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya.
Dengan demikian, Representasi Laki-Laki dalam novel Salah Pilih dapat
diimplikasikan terhadap pembelajaran siswa di sekolah.
BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Novel Salah Pilih adalah karya Nur Sutan Iskandar. Penelitian ini lebih
memfokuskan pada representasi laki-laki. Berdasarkan hasil analisis dan
pembahasan yang telah dilakukan dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1. Dari analisis yang telah dilakukan maka kita dapat mengetahui bagaimana
representasi laki-laki dalam novel Salah Pilih karya Nur Sutan Iskandar.
Terdapat lima tokoh yang dijadikan fokus penelitian dalam novel ini, dan
kelima tokoh tersebut seluruhnya laki-laki. Dari kelima tokoh tersebut,
dibagi lagi ke dalam dua kategori, yaitu tokoh yang mendobrak adat dan
tokoh yang patuh terhadap adat. Bentuk pendobrakan dan kepatuhan yang
ditemukan dalam novel ini, yaitu : 1) cara memilih pasangan untuk
pernikahan, 2) anjuran memiliki istri lebih dari satu, 3) cara mendidik
anak, 4) pembagian harta warisan. Berdasarkan bentuk-bentuk
pendobrakan dan kepatuhan terhadap adat tersebut, dapat disimpulkan
bahwa tokoh Asri, Kaharuddin, dan Sutan Sinaro adalah tokoh yang
mendobrak adat, sementara Datuk Indomo dan Hasan Basri adalah tokoh
yang patuh terhadap adat. Tokoh yang mendobrak adat digambarkan
memiliki akhir yang bahagia, sementara tokoh yang patuh terhadap adat
digambarkan memiliki akhir yang tidak bahagia. Hal ini memperlihatkan
sikap pengarang yang samar-samar sehingga menjadikan tokoh yang
mendobrak adat sebagai tokoh yang memiliki keinginan untuk memajukan
bangsanya dengan meninggalkan adat istiadat yang tidak baik dan
mengambil pelajaran yang baik walaupun hal baik tersebut berasal dari
Barat (penjajah), dan memberikan gambaran nasib yang baik sebagai
dampak dari manusia yang beradab.
2. Pembahasan mengenai representasi laki-laki dalam novel Salah Pilih
karya Nur Sutan Iskandar dapat diimplikasikan pada pembelajaran sastra
di SMA kelas XII semester I dalam aspek pembelajaran mendengarkan.

101
102

Standar kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta didik yaitu dapat
memahami isi novel dengan kriteria dasar mampu menjelaskan unsur-
unsur intrinsik novel dari pembacaan pemenggalan novel. Novel Salah
Pilih dapat dijadikan bahan pembelajaran sastra di kelas tetapi tetap dalam
bimbingan guru. Peserta didik dapat mengambil nilai-nilai kemanusiaan
dengan memahami tema, tokoh dan penokohan yang terdapat dalam novel,
memahami setidap tindakan orang lain sebelum menghakiminya. Hal
tersebut akan menumbuhkan kepekaan terhadap lingkungan di sekitarnya
sehingga akan membentuk sikap toleran, menghargai, serta tolong-
menolong antarsesama.

B. Saran
Berdasarkan simpulan yang telah diuraikan ada beberapa saran yang diajukan
oleh penulis:
1. Sebaiknya dalam menganalisis teks novel harus secara detail dan
mendalam, karena analisis unsur intrisik merupakan dasar pijakan dalam
kegiatan apresiasi karya sastra.
2. Pendidik harus mampu mengembangkan kreativitasnya dalam kegiatan
belajar mengajar agar peserta didik dapat antusisas mengikuti KBM dan
memahami materi sastra.
3. Pendidik seharusnya mengajarkan kepada peserta didik agar selalu
mengaplikasikan nilai-nilai positif yang terkandung dalam karya sastra
sehingga dapat membantu pembentukan karakter peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA

Alatas, S.H. Mitos Pribumi Malas. Jakarta: LP3ES, 1988


Ali, Rachmat. Suatu Sore Bersama Iskandar.
Anonim. Nur Sutan Iskandar dalam
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/tokoh/282/Nur%20Sut
an%20Iskandar diakses pada tanggal 4 April 2017 pukul 17.08 WIB.
______. Tragedi Nasionalisme Nur Sutan Iskandar. Jakarta: Media Indonesia,
Edisi Minggu 19 Mei 1991.
Aziez, Furqonul & Abdul Hasim. Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar. Bogor:
Ghalia Indonesia. 2010.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Keempat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008
Eneste, Pamusuk. Novel dan Film. Flores: Nusa Indah, 1991
Esten, Mursal. Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Penerbit
Angkasa. 2013.
___________. Kritik Sastra Indonesia. Padang: Angkasa Raya, 1984
Foulcher, Keith dan Tony Day. Sastra Indonesia Modern Kritik Postkolonial.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.
Guntur Tarigan, Henry. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Penerbit
Angkasa. 1993.
Hall, Stuart. Representation, Cutural Representation and Signifying Practices.
London: Sage Publications, 1997
Iskandar, Nur Sutan. Buku-buku Buah Tangan Nur Sutan Iskandar. Jakarta: Pusat
Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
________________. Riwajat Hidoep Pengarang. Jakarta: Pusat Dokumentasi
Sastra H.B. Jassin.
________________. Salah Pilih. Jakarta: Balai Pustaka, 2010
Kurniawan, Aditya Putra. Dinamika Maskulinitas Laki-Laki. Jurnal Perempuan.
Volume 64
Kutha Ratna, Nyoman. Postkolonialisme Indonesia Relevansi Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008
__________________. Sastra dan Culture Studies: Representasi Fiksi dan Fakta.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Loomba, Ania. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Yogyakarta: Bentang Budaya,
2003
Minderop, Albertine. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia. 2011.
__________________. Teori Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2007.
MIR, Wartawan. Nur Sutan Iskandar Tetap “Bergumul” dengan Buku. Minggu
Indonesia Kaya, Edisi Minggu, 28 Januari 1973
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press. 2005.
Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Penerbit KANISIUS,
1988.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo. 2008.
Sofyan, Oyon. Mengenang Nur Sutan Iskandar (3-11-1893 – 28-11-1975)
Pengarang dan Perintis Kemerdekaan RI.
Stanton, Robert. Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Teuuw, A. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Dunia
Pustaka Jaya, 1984
Tobing, Paul L. Nur Sutan Iskandar Mengetjewakan Lebih Banjak Membela Diri.
Sinar Harapan, Edisi 3 Juli 1971
Yusoff, Wan Shamsuddin M. Sejarah Sastera Melayu Moden, Sesudah Tahun
1800. Kuala Lumpur: Pustaka Antara, cet. Ke IV, 1896
Lampiran I
RPP

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

(RPP)

Sekolah : SMA

Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia

Kelas/Semester : XII (dua belas) / 1 (satu)

Materi Pokok :

Alokasi waktu : 2 x 45 menit

A. Kompetensi Inti
KI 1 : Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya dengan
mematuhi norma-norma bahasa Indonesia serta mensyukuri dan
mengapresiasi keberadaan bahasa dan sastra Indonesia sebagai
anugerah Tuhan Yang Maha Esa.

KI 2 : Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin,


tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai),
santun, responsif dan menunjukkan sikap pro- aktif sebagai bagian
dari solusi atas berbagai permasalahan dalam kehidupan sosial secara
efektif dengan memiliki sikap positif terhadap bahasa dan sastra
Indonesia serta mempromosikan penggunaan bahasa Indonesia dan
mengapresiasi sastra Indonesia.

KI 3 : Memahami , menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual,


konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingin tahu tentang bahasa
dan sastra Indonesia serta menerapkan pengetahuan prosedural pada
bidang kajian bahasa dan sastra yang spesifik sesuai dengan bakat dan
minatnya untuk memecahkan masalah ilmu pengetahuan, teknologi,
dan seni (ipteks).

KI 4 : Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah


abstrak untuk mengembangkan ilmu bahasa dan sastra Indonesia
secara mandiri dengan menggunakan metode ilmiah sesuai kaidah
keilmuan terkait.

B. Kompetensi Dasar dan Indikator


3.1 Mengetahui dan memahami definisi dan karakteristik sastra, jenis-jenis
dan struktur sastra, serta memahami sastra sebagai karya seni dan bidang
ilmu yang dekat dengan kita.
3.2 Mengembangkan sikap apresiatif dalam menghayati karya sastra.
3.3 Memahami struktur dan kaidah teks novel baik melalui lisan maupun
tulisan.
3.4 Menganalisis teks novel baik melalui lisan maupun tulisan

C. Indikator
1. Menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah dan konteks untuk
mempersatukan bangsa.
2. Memiliki sikap tanggung jawab, peduli, responsif, dan santun dalam
menggunakan bahasa Indonesia untuk menganalisis teks novel, baik
melalui lisan maupun tulisan dengan kreatif.
3. Menganalisis struktur dan kaidah teks novel baik secara lisan maupun
tulisan.
4. Menyusun hasil analisis struktur novel baik secara lisan maupun tulisan
dengan tepat.

D. Tujuan Pembelajaran
Setelah proses menggali informasi melalui berbagai fakta, menanya konsep,
berdiskusi atas fakta dan konsep, menginterprestasi mengasosiasi dan
mengomunikasikan, siswa dapat :

1
1. Mengetahui dan memahami definisi dan karakteristik sastra, jenis-jenis
dan struktur sastra, serta memahami sastra sebagai karya seni dan
bidang ilmu yang dekat dengan kita.
2. Mengembangkan sikap apresiatif dalam menghayati karya sastra.
3. Memiliki sikap tanggung jawab, peduli, responsif, dan santun dalam
menggunakan bahasa Indonesia untuk menganalisis teks novel, baik
melalui lisan maupun tulisan dengan kreatif.
4. Menganalisis struktur dan kaidah teks novel baik secara lisan maupun
tulisan.
5. Menyusun hasil analisis struktur novel baik secara lisan maupun
tulisan dengan tepat.

E. Materi Pembelajaran
1. Penjelasan mengenai struktur novel (unsur intrinsik)
a. Tema
b. Tokoh dan Penokohan
c. Alur
d. Latar (tempat, waktu, dan sosial)
e. Sudut pandang
f. Gaya bahasa
2. Menganalisis teks novel
a. Membaca teks novel
b. Menjelaskan tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang,
dan gaya bahasa dengan menyertakan kutipannya
c. Menulis hasil teks novel
d. Menyampaikan hasil analisis teks novel secara lisan

F. Metode Pembelajaran (Rincian dari kegiatan Pembelajaran)


 Model pembelajaran inquiry,
 Diskusi
 Kerja kelompok dan Kaji Pustaka
2
G. Media, Alat dan Sumber Pembelajaran
1. Media :
 Internet
 Lab bahasa
2. Alat/bahan
 LCD, Tape recorder,laptop
 Naskah cerita prosa lama
 Buku-buku karya sastra prosa baru
 Koran, majalah, kliping tentang cerpen, dll
3. Sumber Belajar
 Bahasa Indonesi: Ekspresi Diri dan Akademik . 2013. Jakarta:
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

 Pradopo, Joko Rachmat. 2002. Kritik Sastra Indonesia


Modern.Yogyakarta:Gama Media.

 Lubis,Mochtar.1997. Sastra dan tekniknya .Jakarta: Yayasan Obor


Indonesia.

H. Kegiatan Pembelajaran

Kegiatan Deskripsi Alokasi


waktu

Pendahuluan  Siswa merespon salam dan pertanyaan dari 15 menit


guru berhubungan dengan kondisi dan
pembelajaran sebelumnya
 Siswa menerima informasi tentang
keterkaitan pembelajaran sebelumnya
dengan pembelajaran yang akan
dilaksanakan.
 Siswa menerima informasi kompetensi,
3
materi, tujuan, manfaat, dan langkah
pembelajaran yang akan dilaksanakan
 Apersepsi dan Motivasi.
 Contoh: Siswa diajak untuk mengingat
kembali cerita penggalan novel yang telah
dibacanya pada pertemuan sebelumnya.
Guru membantu mengingatnya dengan
melontarkan beberapa pertanyaan,
 Guru menyatakan bahwa dalam cerita novel
tersebut terdapat unsur-unsur cerita yang
menarik untuk dibahas.

Isi (kegiatan Mengamati 60 menit


Inti)
 Membaca teks tentang struktur dan kaidah
teks novel.
 Mencermati uraian yang berkaitan dengan
struktur dan kaidah tersebut.
 Kelas dibagi menjadi 5 kelompok
Menanya
 Bertanya jawab mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan isi bacaan.

Mencoba
 Mencari dari berbagai sumber informasi
tentang struktur dan kaidah teks novel.

Mengasosiasi
 Siswa berdiskusi kelompok untuk
mengidentifikasi dan menjelaskan unsur-
unsur intrinsik novel yang telah
didengarkannya atau dibaca.

4
 Menyimpulkan hal-hal terpenting dalam
struktur dan kaidah teks novel.

Mengomunikasikan
 Menuliskan laporan kerja kelompok
tentang struktur dan kaidah teks novel.
 Perwakilan masing-masing kelompok
(bisa dipilih dan ditunjuk guru)
menyampaikan/menayangkan hasil
kesimpulannya.
Penutup 15 menit

 Bersama siswa menyimpulkan hasil


pembelajaran.

 Memberikan tugas mencari contoh karya lain


yang tergolong pada prosa lama.

 Siswa menjawab soal-soal untuk mereview


konsep-konsep penting tentang unsur-unsur
intrinsik novel yang telah dipelajari.

 Siswa melakukan refleksikan nilai-nilai serta


kecakapan hidup yang bisa dipetik dari
pembelajaran.

I. Penilaian

1. Jenis/teknik penilaian
a. Kompetensi Sikap:
 Observasi
 Penilaian diri
b. Kompetensi Proses dan Hasil Belajar:

5
 Tes tertulis
 Tes lisan
c. Kompetensi Keterampilan:
 Tes praktik,
 Portofolio.
2. Bentuk instrumen dan instrumen
3. Pedoman penskoran

Mengetahui, Jakarta, Agustus 2013

Kepala SMA/MA Guru Mata Pelajaran

................................... ...................................

NIP/NIK. NIP/NIK.

6
Rubrik Instrumen

a. Penilaian Sikap

Lembar Pengamatan Sikap Peserta Didik

Sikap

Ramah dengan teman


Ketekunan belajar

Tanggung jawab
Tenggang rasa

Menepati janji
Hormat pada
Kedisiplinan
Keterbukaan

Kepedulian
Kerjasama

Kejujuran
Kerajinan

orang tua
No.

Nama
1
2
3
4
5
6
7
8

Keterangan:

Skala penilaian sikap dibuat dengan rentang antara 1 s.d 5.


1 = sangat kurang;
2 = kurang konsisten;
3 = mulai konsisten;
4 = konsisten; dan
5 = selalu konsisten.

7
Lembar Observasi

LEMBAR PENGAMATAN OBSERVASI

Mata Pelajaran : ..............................................


Kelas/Program : X / Ilmu Bahasa dan Budaya
Kompetensi : ..............................................
Materi : ..............................................

Sikap Pribadi Sikap Ilmiah


N Nama Jml Nilai
Jujur Displ Tgjwb Kritis Objek Tolr
o Siswa Skor
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1. 1 Juminah 4 4 3 4 3 3 21

2. 2 Zulaekah

3.

4.

5.

6.

Keterangan pengisian skor

5. Sangat baik
4. Baik
3. Cukup
2. Kurang Baik
1. Kurang

8
b. Penilaian Proses dan Hasil Belajar

Indikator Pencapaian Teknik


Bentuk Instrumen
Kompetensi Penilaian
1. Menggunakan Penilaian Lembar penilaian sikap
Bahasa Indonesia Observasi
sesuai dengan
kaidah dan
konteks untuk
mempersatukan
bangsa.

Penilaian Tes Tertulis dan rubrik penilaian


2. Memiliki sikap Observasi kinerja
tanggung jawab, kinerja
peduli, responsif, penulis
dan satuan dalam
menggunakan
bahasa Indonesia
untuk
menganalisis teks
novel, baik
melalui lisan
maupun tulisan
dengan kreatif
3. Menganalisis
struktur dan
kaidah teks novel
baik secara lisan
maupun tulisan.

9
4. Menyusun hasil Latihan 1. Lembaran tugas latihan
analisis struktur menyusun 2. Rubrik penilaian latihan
novel baik secara hasil analisis
lisan maupun novel
tulisan dengan
tepat.

Pedoman Penskoran penilaian pengetahuan


1. Jelaskan tema dalam teks novel dengan menyertakan kutipannya!
No Nama Kelompok Aspek Skor

1 Tepat dan disertai kutipan 5

2 Tepat dan tidak disertai kutipan 4

3 Kurang tepat dan disertai kutipan 3

4 Kurang tepat dan tidak disertai kutipan 2

2. Jelaskan Tokoh dan Penokohan dalam teks novel dengan menyertakan


kutipannya!
No Nama Kelompok Aspek Skor

1 Tepat dan disertai kutipan 5

2 Tepat dan tidak disertai kutipan 4

3 Kurang tepat dan disertai kutipan 3

4 Kurang tepat dan tidak disertai kutipan 2

3. Jelaskan bagaimana alur dalam teks novel dengan menyertakan kutipannya!


No Nama Kelompok Aspek Skor

1 Tepat dan disertai kutipan 5

10
2 Tepat dan tidak disertai kutipan 4

3 Kurang tepat dan disertai kutipan 3

4 Kurang tepat dan tidak disertai kutipan 2

4. Jelaskan latar dalam teks novel dengan menyertakan kutipannya!


No Nama Kelompok Aspek Skor

1 Tepat dan disertai kutipan 5

2 Tepat dan tidak disertai kutipan 4

3 Kurang tepat dan disertai kutipan 3

4 Kurang tepat dan tidak disertai kutipan 2

5. Jelaskan sudut pandang dalam teks novel dengan menyertakan kutipannya!


No Nama Kelompok Aspek Skor

1 Tepat dan disertai kutipan 5

2 Tepat dan tidak disertai kutipan 4

3 Kurang tepat dan disertai kutipan 3

4 Kurang tepat dan tidak disertai kutipan 2

11
6. Jelaskan bagaimana gaya bahasa dalam teks novel dengan menyertakan
kutipannya!
No Nama Kelompok Aspek Skor

1 Tepat dan disertai kutipan 5

2 Tepat dan tidak disertai kutipan 4

3 Kurang tepat dan disertai kutipan 3

4 Kurang tepat dan tidak disertai kutipan 2

Perhitungan akhir:
Nilai Akhir : Perolehan Skor
X Skor Ideal (100) =
Skor Maksimum

12
Lembar Kinerja Presentasi

LEMBAR KINERJA PRESENTASI

Mata Pelajaran : ...............................................


Kelas/Program : XII/ Bahasa Indonesia
Kompetensi : ...............................................

Kinerja Presentasi
Juml
Nama Presentasi Isi Laporan Nilai
No ah
Siswa kelanc Kebaha Keleng keses kelogis sistema
Skor
aran saan kapan uaian an tis
1. 1

2. 2

3.

4.

5.

Keterangan pengisian skor


4. Sangat tinggi
3. Tinggi
2. Cukup tinggi
1. Kurang

13
Lembar Penilaian Portofolio

LEMBAR PENILAIAN PORTOFOLIO

Mata Pelajaran : ................................


Kelas/Peminatan : XII/ Bahasa Indonesia
Materi Pokok : .................................

Aspek Penilaian
Skor
Kelengkapan

Kerapihann
Penyajian
Tampilan

No Nama Siswa rata- Nilai


Data rata

1. 3 4 4 3

2.

3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.

14
BIODATA PENULIS

Afny Irfani, lahir di Jakarta pada 28 Desember 1994. Anak kedua dari tiga
bersaudara ini lahir dari pasangan (alm.) H.Muzakkir, S.Pd.I dan Araini.
Sejak kecil memiliki hobi menulis dan membaca. Kesehariannya diisi
dengan menulis buku diary dan membaca berbagai novel yang ia koleksi.
Cita-citanya menjadi seorang guru sekaligus pendiri sekolah Islam
menuntunnya untuk dapat masuk ke jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi
langkah awalnya untuk mewujudkan cita-citanya.

Keluarga, sahabat, dan teman terdekatnya menjadi motivasinya untuk mewujudkan cita-
cita menjadi seorang guru, sekaligus pendiri sekolah Islam dan anak yang dapat membanggakan
bagi kedua orang tuanya. Jalur pendidikan ditempuh dari TK Islam Salafiyah kenudian
melanjutkan di MI Al-Wathoniyah 12, beranjak renaja penulis melanjutkan pendidikan tingkat
menengah di MTs. Tsaqofah Addarain, selanjutnya menghabiskan masa putih abu-abunya di MA
Al-Wathoniyah 05.

Penulis juga berkecimpung dalam berbagai organisasi diantaranya, Ketua OSIS MTs.
Tsaqofah Addarain pada tahun 2008, Bendahara OSIS MA Al-Wathoniyah 05 di tahun 2010,
Relawan Dompet Sosial Al-kautsar (DSAK) pada tahun 2009-sekarang dan Anggota Himpunan
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia bidang kemahasiwaan pada 2013.

Anda mungkin juga menyukai