Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh:
Afny Irfani
1112013000040
2017
ABSTRAK
i
ABSTRACT
The purpose of this research is: 1) to know and understand the male
representation in the novel Salah Pilih by Nur Sutan Iskandar. 2) The
Implications of Salah Pilih by Nur Sutan Iskandar towards the research of
literature in high school. The method that used was the descriptive qualitative
method to describe the data which represent the male in the novel Salah Pilih by
Nur Sutan Iskandar. It also used the heuristic and hermeneutic method as a
tehnique to analyze the data. Based on the results of research, it is found the form
of breaking and obedience which was described through the male characters in
this novel, namely: 1) how to choose a partner for marriage, 2) The suggestion to
have more than one wife, 3) how to educate children, 4) The division of
inheritance.Based on the forms of breaking and adherence to the tradition, it can
be concluded that the figure who broke the tradition was portrayed as having a
happy ending, while the adherent figure who followed the tradition was portrayed
as having an unhappy ending. This seems to be a vague authorship that makes a
person who breaks the tradition as a character who has the desire to make his
people business by abandoning bad customs and take a good lesson either from
the West (colonizers), and good dis as the impact of a civilized human being.
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Segala puji dan syukur hanya bagi Allah, yang tiada henti
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Representasi Laki-Laki dalam Novel Salah Pilih Karya
Nur Sutan Iskandar dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA”.
Salawat dan salam tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, para
keluarga, dan pengikutnya hingga akhir zaman. Skripsi ini, penulis susun untuk
memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana pendidikan pada Program
Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.Pd., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang dengan
semangatnya telah mendorong penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
3. Toto Edidarmo, MA., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah
memberikan saran dan semangat;
4. Novi Diah Haryanti, M.Hum., sebagai dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu, memberikan perhatian dan motivasi yang begitu besar,
mengarahkan dengan tabah, bahkan meminjamkan koleksi buku-buku
pribadinya sebagai penunjang bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini
dengan baik.
5. Rosida Erowati, M.Hum., selaku dosen pembimbing akademik yang
banyak membantu memberikan saran dan arahan selama proses
perkuliahan dan penulisan skripsi ini.
iii
6. Seluruh dosen jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, atas semua ilmu, motivasi, dan inspirasi
yang begitu berguna dalam kehidupan saya;
7. Teristimewa untuk keluarga penulis, orangtua, yaitu Alm. H. Muzakkir
S.Pd.I yang selalu memberikan petuah dan inspirasi kebaikan yang tidak
pernah putus, bahkan di saat raganya sudah tak lagi ada. Skripsi ini penulis
persembahkan untuk ayahanda tercinta sebagai bentuk cinta dan sayang
penulis yang tidak bisa digambarkan dengan kata apapun. Tidak lupa
untuk Ibu tercinta, Araini, yang selalu memberikan kekuatan untuk
berjuang lebih keras dan doa yang tidak pernah putus. Kakak dan Adik
tercinta, Syarah Irfani dan Ibnu Yazdad Al-Muzakkir, yang selalu
memberikan dukungan dan doa yang tak kenal lelah.
8. Keluarga besar H. Yahya dan keluarga besar H. Lamri atas dukungan dan
doa yang selalu tercurah untuk penulis.
9. Keluarga besar Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
khususnya angkatan 2012 yang selalu menjadi tempat diskusi yang hangat
dan menarik saat perkuliahan;
10. Sahabat-sahabat yang selalu ada dan setia: Tiara Nur Pratiwi, Rumiyati,
Desianti Sri Lestari, Tera Gustia, Wulandari, Nengsih dan Siti Asiyah
yang tidak pernah lelah memotivasi penulis dan selalu menjadi tempat
ternyaman untuk berbagi suka dan duka. ;
11. Sahabat-sahabat seperjuangan selama menempuh perkuliahan, seluruh
anggota “Lambe Turah” (Mei Lannihari, Annisa Mutmainnah, Wirda
Makiyah, Indri Zikria Oktaviani dan Citra Nur Imaniar) yang membuat
perkuliahan begitu berkesan dan menjadikan kampus sebagai tempat
manis yang merekam persahabatan kita. Terima kasih untuk motivasi,
tawa, tangis, bahagia, sedih, waktu, dan segala hal yang telah kalian
berikan kepada penulis dengan begitu tulus dan berkesan.
12. Ade Nurhadi, sebagai sosok yang tak pernah lelah memberikan dukungan
yang begitu luar biasa bagi penulis. Terima kasih untuk waktu, tenaga,
iv
materi, pikiran, perhatian dan segalanya yang telah diberikan untuk
penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
13. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam pembuatan skripsi ini
yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
v
DAFTAR ISI
vi
C. Sinopsis Novel Salah Pilih .............................................. 32
DAFTAR PUSTAKA
UJI REFERENSI
LAMPIRAN LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
vii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Selanjutnya disingkat Iskandar
2
Oyon Sofyan, Mengenang Nur Sutan Iskandar (3-11-1893 – 28-11-1975) Pengarang dan Perintis
Kemerdekaan RI
3
Anonim, Tragedi Nasionalisme Nur Sutan Iskandar, (Media Indonesia: Jakarta, 1991) h. 4
1
2
sejatinya. Karena novel ini ditulis pada tahun 1928, yaitu sebelum Indonesia
merdeka, dan diterbitkan oleh Balai Pustaka yang merupakan penerbit pemerintah
Belanda, maka tokoh Asri penulis anggap memiliki tujuan politis, yaitu
memengaruhi kaum terpelajar Indonesia mengikuti garis politik Belanda. Hal ini
tergambar melalui sifat Asri yang ke barat-baratan walaupun tidak secara vulgar
ditampilkan dalam novel tersebut. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk
mengetahui jejak kolonialisme dalam teks tersebut, yang direpresentasikan
khususnya melalui tokoh Asri sebagai tokoh laki-laki utama dalam novel tersebut.
Laki-laki dianggap sebagai sosok yang kuat dan pemberani, sehingga di balik
itu banyak pengarang yang menggambarkan laki-laki sebagai sosok yang egois,
arogan dan dianggap menguasai perempuan dalam hal apapun. Novel-novel yang
mengangkat perempuan sebagai tokoh utama tentunya selalu didampingi tokoh
laki-laki yang kebanyakan bersifat antagonis, seperti Siti Nurbaya (1922) karya
Marah Rusli, Ronggeng Dukuh Paruk (2003) karya Ahmad Tohari, Salah Asuhan
(1928) karya Abdoel Moeis, Perempuan Berkalung Sorban (2001) karya Abidah
El Khalieqy dan novel yang akan penulis bahas Salah Pilih (1928) karya Nur
Sutan Iskandar. Karya-karya yang penulis sebutkan di atas, menggambarkan
sosok laki-laki yang pemarah, kasar, menindas kaum perempuan, hanya
mementingkan persoalan seks, dan melecehkan kaum perempuan. Sementara
dalam novel Salah Pilih karya Nur Sutan Iskandar terdapat tokoh laki-laki yang
penulis anggap berbeda dengan kebanyakan laki-laki yang digambarkan dan
mendapatkan pengaruh dari masa penjajahan di Indonesia.
Hubungan laki-laki dan perempuan merupakan salah satu permasalahan yang
banyak diangkat oleh pengarang. Masih banyak pengarang yang menganggap
perempuan belum mendapatkan hak yang setara dengan laki-laki, sehingga
banyak penelitian yang mengangkat perempuan sebagai tema pembahasannya.
Namun saat ini laki-laki lebih direpresentasikan sebagai laki-laki penyayang yang
mau bekerja sama dan mendukung perempuan. Hal inilah yang ingin penulis
perlihatkan dalam novel Salah Pilih. Selain perempuan, tokoh laki-laki pun
banyak dihadirkan dengan berbagai perangai dan watak oleh pengarang dalam
berbagai karya, namun sementara ini masih sedikit yang membahas laki-laki
3
4
Keith Foulcher dan Tony Dey, Sastra Indonesia Modern Kritik Postkolonial (Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 2008) h. ix
4
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, identifikasi masalah dapat
diuraikan sebagai berikut.
1. Kurangnya minat siswa dalam kegiatan membaca dan belajar sastra
khususnya pembelajaran novel, karena biasanya metode atau media yang
digunakan oleh pendidik terasa monoton.
2. Kurangnya pengetahuan siswa tentang sastrawan di Indonesia khususnya
Nur Sutan Iskandar.
3. Kurangnya pemahaman siswa mengenai unsur intrinsik dan ekstrinsik
karya sastra khususnya novel.
4. Kurangnya minat siswa untuk membaca secara detail, sehingga tidak
dapat memahami teks novel secara mendalam.
5. Kurangnya minat siswa dalam mempelajari sejarah, adat istiadat, serta
kekayaan budaya di Indonesia.
6
C. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan, maka peneliti
membatasi dan memfokuskan kajian dalam penelitian ini pada analisis unsur
intrinsik novel Salah Pilih, serta representasi laki-laki yang ditampilkan melalui
tokoh laki-laki dalam novel tersebut dan implikasinya terhadap pembelajaran
sastra di sekolah.
D. Rumusan Masalah
Agar penelitian ini lebih terfokus dan terarah, maka penulis merumuskan
masalah dalam penelitian ini sebagai berikut.
1. Bagaimanakah representasi laki-laki yang digambarkan melalui tokoh laki-
laki dalam novel Salah Pilih?
2. Bagaimanakah implikasi hasil penelitian terhadap pembelajaran sastra di
sekolah?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui representasi laki-laki yang digambarkan melalui tokoh laki-
laki dalam novel Salah Pilih.
2. Mengetahui implikasi representasi laki-laki dalam novel Salah Pilih karya
Nur Sutan Iskandar dalam pembelajaran sastra di sekolah.
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoretis
maupun praktis. Manfaat teoretis dari penelitian yang dilakukan penulis
diharapkan dapat mengembangkan ilmu kesusastraan di tanah air, khususnya
dalam aspek unsur intrinsik dalam novel, serta representasi laki-laki pada karya
sastra dalam bentuk novel. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan
sumbangan pada pembelajaran sastra di sekolah.
Adapun secara praktis, penelitian ini bermanfaat untuk melihat gambaran
kehidupan laki-laki dalam novel Salah Pilih karya Nur Sutan Iskandar. Selain itu,
7
dapat membantu pembaca untuk lebih memahami novel Salah Pilih karya Nur
Sutan Iskandar.
G. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu
metode yang secara keseluruhan memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan
menyajikannya dalam bentuk deskripsi. Penelitian ini berupaya memaparkan
secara rinci, sistematis, cermat, dan faktual mengenai representasi laki-laki dalam
novel Salah Pilih karya Nur Sutan Iskandar.
Metode kualitatif dianggap persis sama dengan metode pemahaman. Sesuai
dengan namanya metode penelitian kualitatif memperlihatkan hakikat nilai-nilai,
dan sumber datanya merupakan karya, naskah, dan penelitiannya sebagai data
formal adalah kata, kalimat, wacana.5
Dengan demikian, laporan penelitian berisi kutipan-kutipan data untuk
memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Dalam penelitian ini, data yang
dikumpulkan berupa kutipan kata, kalimat, dan wacana dalam novel Salah Pilih
karya Nur Sutan Iskandar.
Hal-hal yang perlu dipaparkan dalam penelitian ini meliputi objek penelitian,
data dan sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.
1. Sumber Data/Objek Penelitian
Data penelitian ini bersumber pada novel Salah Pilih karya Nur Sutan
Iskandar diterbitkan oleh Balai Pustaka pertama kali pada tahun 1928,
sementara yang penulis gunakan adalah cetakan ke-33 yang diterbitkan
tahun 2013 dengan jumlah 266 halaman dan. Selain itu, data penelitian ini
juga bersumber pada kajian kepustakaan mengenai representasi laki-laki
yang terdapat dalam novel Salah Pilih karya Nur Sutan Iskandar.
5
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010) h. 47
8
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Novel
Berbicara tentang fiksi, biasanya kita mengacu pada cerita pendek atau novel;
padahal fiksi berarti segala narasi dalam bentuk prosa atau sajak dan merupakan
karya imajinatif. Baik drama maupun puisi naratif (mengisahkan cerita) dapat
diklasifikasikan sebagai fiksi, seperti juga cerita rakyat, parable, fable, legenda,
satir dan roman. Semua mengandung elemen-elemen fiktif.1
Sebagai sebuah karya imajinatif, fiksi menawarkan berbagai permasalahan
manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai
permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang kemudian
diungkapkannya kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya.2
Sebutan novel dalam bahasa Inggris – dan inilah yang kemudian masuk ke
Indonesia – berasal dari bahasa Itali novella (yang dalam bahasa Jerman: novelle).
Secara harfiah novella berarti ―sebuah barang baru yang kecil‖, dan kemudian
diartikan sebagai ‗cerita pendek dalam bentuk prosa‘. Dewasa ini istilah novella
dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelet,
yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu
panjang, namun juga tidak terlalu pendek. Sebelum novel telah muncul roman
yang keberadaannya sudah sejak lama. Novel bersifat realistis dan roman bersifat
puitik dan epik.3
Novel merupakan karya fiksi, yaitu karya dalam bentuk kisah atau cerita yang
melukiskan tokoh-tokoh dan peristiwa rekaan. Atau menurut pengertian yang
diberikan oleh Yelland (1983) bahwa fiksi berarti “…that which is invented, as
distinguished from that which is true.” Sebuah novel bisa saja memuat tokoh-
1
Albertine Minderop, Metode Karakteristik Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
20011), h. 1
2
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: PT Gadjah Mada University, Cet.
Kesepuluh 2013), h. 2
3
Ibid., h. 9-10
9
10
Unsur intrinsik ialah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri
yang secara langsung turut serta membangun cerita. Pada umumnya, para ahli
membagi unsur intrinsik prosa rekaan atas alur (plot), tokoh, penokohan, latar
4
Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2010), h. 2-3
5
Mursal Esten, Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah, (Bandung: Penerbit Angkasa, 2013)
h.50
11
cerita (setting), titik pandang (sudut pandang), gaya bahasa, amanat dan tema.6
Menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M. unsur intrinsik prosa fiksi meliputi:
tema, tokoh dan penokohan, latar (setting), alur, sudut pandang, gaya bahasa, dan
amanat.
1. Tema
Siswanto menyatakan tema adalah ide yang mendasari sebuah cerita. Tema
berperanan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan
yang diciptakannya.7 Sementara Brooks, Puser dan Waren mengatakan bahwa
tema adalah pandangan hidup tertentu atau perasaan tertentu mengenai
kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau
membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya sastra.8
Robert Stanton mengatakan bahwa tema memberi kekuatan dan
menegaskan kebersatuan kejadian-kejadian yang sedang diceritakan sekaligus
mengisahkan kehidupan dalam konteksnya yang paling umum. Apapun nilai
yang terkandung di dalamnya, keberadaan tema diperlukan karena menjadi
salah satu bagian penting yang tidak terpisahkan dengan kenyataan cerita.
Tema bukanlah sesuatu yang diungkapkan pengarang secara langsung melalui
fakta-fakta seperti ‗moralitas‘. Oleh karena itu, tema sangat jarang berwujud
pesan-pesan moral atau nasihat-nasihat. Tema bisa mengambil bentuk yang
paling umum dari kehidupan, bisa berwujud satu fakta dari pengalaman
kemanusiaan yang digambarkan atau dieksplorasi oleh cerita seperti
keberanian, ilusi, dan masa tua. Bahkan, tema juga dapat berupa gambaran
kepribadian salah satu tokoh. Satu-satunya generalisasi yang paling
memungkinkan darinya adalah bahwa tema membentuk kebersatuan pada
cerita dan memberi makna pada setiap peristiwa.9
Maka, dapat disimpulkan bahwa tema adalah ide yang mendasari sebuah
cerita atau pandangan hidup ternetu mengenai kehidupan yang membentuk
gagasan utama dari suatu karya sastra.
6
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008) h. 142
7
Ibid., h.161
8
Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Penerbit Angkasa,1993) h. 125
9
Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) h. 7-8
12
10
Wahyudi Siswanto, Op.Cit., h.142
11
Burhan Nurgiyantoro, Op.cit., h. 247
12
Ibid, h. 258-259
13
Pamusuk Eneste, Novel dan Film, (Flores: Nusa Indah, 1991) h. 28
13
3. Latar (Setting)
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada
pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan.15 Abrams mengemukakan latar cerita
adalah tempat umum (general locale), waktu kesejarahan (historical time),
dan kebiasaan masyarakat (social circumstances) dalam setiap episode atau
bagian-bagian tempat.16
a. Latar Tempat
Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan
mungkin berupa tempat-tempat dengan naa tertentu, inisial tertentu
mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Tempat-tempat yang bernama
adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata, misalnya Magelang,
Yogyakarta, dan sebagainya. Latar tempat tanpa nama jelas biasanya
hanya berupa penyebutan jenis dan sifat umum tempat-tempat tertentu,
misalnya desa, sungai, jalan, hutan, dan sebaginya.17
b. Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah ―kapan‖ terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah
―kapan‖ tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu factual, waktu yang
ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Pengetahuan
14
Burhan Nurgiyantoro, Op.Cit., h.260-261
15
Ibid., h. 302
16
Wahyudi Siswanto, Op.cit., hlm. 148
17
Burhan Nurgiyantoro, Op.cit., hlm. 314-315
14
c. Latar Sosial
Latar sosial menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya
fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah
dalam lingkup yang cukup kompleks. Itu dapat berupa kebiasaan hidup,
adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan
bersikap, dan lain-lain. Di samping itu, latar sosial juga berhubungan
dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah,
menengah, atau atas.19
4. Alur
Alur ialah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa
sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam
suatu cerita. Alur merupakan bagian dari struktur sebuah cerita rekaan. Alur
adalah sebuah cerita, sebuah penyeleksian dari peristiwa-peristiwa yang
disusun dalam waktu, dan satu penjelasan kenapa sebuah novel terus dibaca
adalah untuk melihat apa yang terjadi selanjutnya.20
18
Ibid, h.318
19
Ibid., h. 322
20
Mursal Esten, Kritik Sastra Indonesia, (Padang: Angkasa Raya, 1984), h. 39
21
Pamusuk Eneste, Op.Cit., h. 19
15
5. Sudut Pandang
Istilah sudut pandang yang dalam bahasa Inggris point of view atau
viewpoint mengandung arti: suatu posisi dimana si pencerita berdiri, dalam
hubungan dengan ceritanya, yakni suatu sudut pandang dimana peristiwa
diceritakan. Dalam sudut pandanag terdapat beragam variasi dan kombinasi,
namun ada tiga varian mendasar yang berbeda, sudut pandang impersonal,
orang ketiga dan orang pertama, serta sudut pandang dramatik. Sudut
pandang impersonal adalah bila si pencerita berdiri di luar cerita dan bergerak
secara bebas dari satu tokoh ke tokoh lainya, suatu tempat ke tempat lainnya,
satu episode ke episode lainnya yang dapat memberikan akses terhadap
pikiran dan perasaan tokoh dengan bebasnya. Sudut pandang orang ketiga, si
pengarang memilih seorang tokoh dan cerita, dengan demikian si tokoh
menyampaikan visinya sendiri; sedangkan sudut pandang dengan pencerita
orang pertama, cerita disampaikan oleh orang pertama sebagai salah satu
tokoh dalam cerita. Sudut pandang dramatik adalah bila cerita tidak
disampaikan oleh siapa pun melainkan melalui dialog dan lakuan.
Ketidakhadiran pencerita digantikan oleh percakapan, ucapan dan tingkah
laku para tokoh.23
22
Siswanto, op. cit., h. 159-160
23
Albertine Minderop, Op.Cit., h. 89-90
16
Ada banyak jenis sudut pandang dalam karya sastra salah satunya
berdasarkan pemaparan dari Albertine Minderop sebagai berikut:24
6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa mencakup berbagai figur bahasa antara lain metafor, simile,
antithesis, hiperbola dan paradoks. Pada umumnya gaya bahasa adalah
semacam bahasa yang bermula dari bahasa yang biasa digunakan dalam gaya
tradisional dan literal untuk menjelaskan orang atau objek. Dengan
menggunakan gaya bahasa, pemaparan imajinatif menjadi lebih segar dan
berkesan. Gaya bahasa mencakup arti kata, citra, perumpamaan, serta simbol
dan alegori. Arti kata mencakup antara lain arti denotatif dan konotatif, alusi,
24
Ibid, h. 96-113
17
7. Amanat
Nilai-nilai yang ada di dalam cerita fiksi bisa dilihat dari diri sastrawan
dan pembacanya. Dari sudut sastrawan, nilai ini biasa disebut amanat.
Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin
disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. Di dalam karya
sastra modern amanat ini biasanya tersirat, di dalam karya sastra lama pada
umumnya amanat tersurat.26
C. Representasi
Pengertian representasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti
perbuatan mewakili; keadaan diwakili; apa yang mewakili.27 Sedangkan menurut
Ratna representasi berarti merekonstruksi serta menampilkan berbagai fakta
sebuah objek sehingga eksplorasi makna dapat dilakukan dengan maksimal.28
Dengan kata lain, menurut Ratna representasi berarti memberikan penggambaran
kembali dengan menampilkan berbagai fakta dari sebuah objek yang akan
dibahas, sehingga mampu menjelajahi makna yang ada dengan maksimal. Jika
dikaitkan dengan bidang sastra, maka representasi dalam karya sastra merupakan
penggambaran karya sastra atas suatu hal atau fenomena yang terjadi di
masyarakat, dengan pengarang sebagai penciptanya. Dalam konteks ini menurut
Teeuw karya sastra dipandang sebagai penggambaran yang melambangkan
kenyataan (mimesis).29
25
Ibid., h. 51-52
26
Wahyudi, Op.cit., hlm. 162
27
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, (PT.
Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2008) h.1167
28
Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Culture Studies: Representasi Fiksi dan Fakta (Pustaka
Pelajar: Yogyakarta, 2010) h. 601
29
A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra, (PT Dunia Pustaka Jaya: Jakarta,
1984) h. 220
18
30
Nyoman Kutha ratna, Op.Cit., h.307
31
Stuart Hall, Representation, Cultural Representation and Signifying Practices, (London: Sage
Publications, 1997) h.1
32
Ibid., h.17
19
Proses yang pertama melibatkan apa yang disebut dengan ‗sistem‘, yang
dengannya berbagai objek, manusia, dan peristiwa dikorelasikan dengan
seperangkat konsep atau representasi mental yang ada dalam ‗kepala‘ kita. Tanpa
sistem tersebut, kita tidak mungkin dapat memaknai dunia. Dalam proses ini,
makna bergantung pada sistem konsep dan imaji-imaji yang terbentuk yang dapat
mewakili atau merepresentasikan dunia, mungkinkah kita untuk mengacu pada
benda-benda yang ada di dalam maupun luar ‘kepala‘ kita. Dengannya kita dapat
membentuk konsep atas objek material yang dapat dipersepsikan semisal kursi,
meja, orang dan lain sebagainya. Akan tetapi, kita juga mampu membentuk
konsep-konsep untuk hal-hal yang bersifat abstrak seperti peperangan, kematian,
pertemanan, atau cinta. Kita juga dapat dengan jelas membentuk konsep-konsep
untuk hal-hal yang tidak pernah kita lihat – mungkin tidak akan pernah – seperti
malaikat, setan, tuhan, neraka dan surga. Berdasarkan hal inilah Hall menjelaskan
proses representasi yang berikutnya.
Hall menyebut proses yang kedua sebagai ‗sistem representasi‘. Disebut
demikian karena tidak hanya melibatkan konsep-konsep individual, tapi juga cara-
cara berbeda dalam mengorganisasikan, mengelompokkan, mengatur dan
mengklasifikasikan konsep-konsep, dan memperlihatkan relasi yang kompleks
diantaranya. Misalnya, kita menggunakan prinsip kemiripan (similarity) dan
perbedaan (difference) untuk memperlihatkan hubungan antara konsep-konsep
atau untuk membedakan satu dengan yang lainnya.
Hall mencontohkan tentang seseorang yang memiliki gagasan bahwa
burung sama dengan pesawat karena keduanya dapat terbang. Di waktu
bersamaan, orang tersebut juga memiliki gagasan bahwa burung dan pesawat
adalah dua hal berbeda berdasarkan dasar penciptaannya. Percampuran dan
pencocokan relasi antara konsep-konsep untuk membentuk sebuah gagasan dan
pemikiran yang kompleks dimungkinkan karena konsep-konsep kita diatur dalam
sistem klasifikasi berbeda.
Dari contoh di atas, sistem klasifikasi yang pertama berdasarkan
pembedaan antara terbang/tidak terbang. Klasifikasi yang kedua berdasarkan
pembedaan antara ciptaan tuhan/ciptaan manusia. Menurut Hall terdapat prinsip-
20
prinsip pengorganisasian lain yang bekerja dalam semua sistem konseptual seperti
pengklasifikasian berdasarkan urutan - konsep tertentu mengikuti yang lain – atau
hubungan kausalitas – apa yang menyebabkan apa – dan lain sebagainya. Namun
demikian, dasar dari semuanya adalah bahwa makna bergantung pada hubungan
antara hal-hal (things) di dunia dengan sistem konseptualnya yang beroperasi
sebagai representasi mental (mental representation).33
D. Pengertian Laki-laki
Pengertian laki-laki menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
orang (manusia) yang mempunyai zakar, kalau dewasa mempunyai jakun dan
adakalanya berkumis, serta dianggap sebagai orang yang mempunyai keberanian;
pemberani.
Berdasarkan pengertian di atas, ciri-ciri yang dimiliki dapat dibedakan
menjadi ciri-ciri fisik dan ciri-ciri sifat. Ciri-ciri fisik yang disebutkan dalam
KBBI tersebut hanyalah zakar, jakun, dan kumis. Sementara ciri-ciri sifat yang
dihadirkan adalah keberanian, sehingga orang (manusia) yang memiliki
keberanian atau biasa disebut pemberani dapat dikategorikan sebagai laki-laki.
Laki-laki dianggap memiliki ―kewajiban‖ yang harus dijalani jika ingin
dianggap laki-laki seutuhnya. Kewajiban tersebut tercermin dalam suatu manhood
(dogma kejantanan atau norma kelelakian) yang harus diikuti oleh kaum laki-laki
pada umumnya, karena dianggap sebagai faktor bawaan dari lahir. Contoh yang
umum kita kenal, misalnya, adalah konstruksi normatif seperti: anak laki-laki
pantang untuk menangis; laki-laki harus tampak garang dan berotot; laki-laki
hebat adalah yang mampu ―menaklukkan‖ hati banyak perempuan; laki-laki akan
sangat ―laki-laki‖ apabila identik dengan rokok, alkohol, dan kekerasan.34
Oleh karena itu, banyak laki-laki yang digambarkan sebagai tokoh antagonis
dalam berbagai karya sastra, khususnya penggambaran hubungan laki-laki dan
perempuan, dimana anggapan laki-laki seutuhnya bertolak belakang dengan laki-
laki yang didambakan oleh setiap perempuan.
33
Ibid., h. 18
34
Aditya Putra Kurniawan, Dinamika Maskulinitas Laki-laki dalam Jurnal Perempuan Volume 64
h.38
21
E. Pengertian Poskolonial
Seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, Poskolonialisme secara
longgar dipahami sebagai suatu kajian tentang bagaimana sastra mengungkapkan
―jejak-jejak‖ kolonialisme dalam konfrontasi ―ras-ras, bangsa-bangsa, dan
kebudayaan-kebudayaan‖ yang terjadi dalam lingkup ―hubungan kekuasaan yang
tak setara‖ sebagai dampak dari kolonisasi Eropa atas bangsa-bangsa di ‗dunia
ketiga‘.35 Kolonialisme sendiri berasal dari kata colonia (Latin/Romawi), yang
berarti kumpulan, perkampungan, masyarakat di perantauan. Jadi, secara
etimologis kolonial tidak mengandung arti penjajahan, melainkan hanya semacam
wilayah atau perkampungan, seperti: koloni semut, koloni para artis, para
olahragawan, dan sebagainya.36 Dalam konsep ini, arti kata pos tidak dimaknai
sesudah atau setelah dalam pengertian waktu, melainkan terkait dengan kondisi
dan situasi sebagai dampak dari hubungan penguasa kolonial dengan negara yang
dijajahnya, tidak hanya saat kolonialisme itu berlangsung, bahkan bertahun-tahun
setelah wilayah memproklamasikan kemerdekaannya dan terbebas dari belenggu
penjajahan.
Literatur menjadi mediator antara yang riil dengan yang imajiner. 37 Ini berarti
bahwa karya sastra sebagai sesuatu yang bersifat fiktif atau imajiner menjadi
mediator untuk penggambaran sesuatu yang nyata dalam masyarakat, dalam
konteks ini berarti menggambarkan kaum terjajah lewat karya sastra. Ini karena
bahasa dan ―tanda‖ adalah tempat dimana perbedaan-perbedaan ideologi bertemu
dan berkonflik satu sama lain, maka naskah-naskah literer bisa diidentifikasi
sebagai tempat yang sangat subur untuk interaksi-interaksi ideologis.38 Dalam
kajian poskolonial, objek penelitiannya tidak hanya terbatas pada tulisan-tulisan
yang dihasilkan oleh masyarakat dari negara terjajah. Karya sastra yang ditulis
oleh masyarakat dari negara penjajah pun masih relevan untuk dikaji guna
menelaah dampak-dampak dari kolonialisme. Setiap karya sastra yang
35
Keith Foulcher dan Tony Dey, Sastra Indonesia Modern Kritik Postkolonial (Yayasan Obor
Indonesia: Jakarta, 2008) h. ix
36
Nyoman Kutha Ratna, Postkolonialisme Indonesia Relevansi Sastra (Pustaka Pelajar:
Yogyakarta, 2008) h.20
37
Ania Loomba, Kolonialisme/Pascakolonialisme, (Jogjakarta: Bentang Budaya, 2003) h.92
38
Ibid.
22
39
S.H. Alatas, Mitos Pribumi Pemalas. (LP3ES: Jakarta, 1988) h. 2-3
40
Ania Loomba, Op.Cit., h.92
23
G. Penelitian Relevan
Penelitian relevan digunakan sebagai bahan acuan oleh peneliti dalam
melakukan penelitian yang bertujuan menghindari terjadinya plagiarisme.
Penelitian relevan digunakan untuk melihat apakah judul penelitian yang penulis
41
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008) h. 171
24
pilih pernah diteliti oleh peneliti lain atau tidak. Penelitian relevan ini diambil dari
berbagai macam penelitian seperti skripsi, tesis, jurnal dan sebagainya.
Penelitian yang pertama dilakukan oleh Firmansyah dari MAN Kraton
Pasuruan dengan judul Aplikasi Pembelajaran Sastra Berkarakter dengan
Pendekatan Saintifik: Pergeseran Budaya dalam Novel Salah Pilih Karya Nur
Sutan Iskandar (Kajian Interkulturalisme) dalam Jurnal Review Pendidikan Islam
Volume 01, Nomor 01, Juni 2014. Penelitian ini meneliti tentang pergeseran
budaya lokal melalui kajian interkulturalisme dengan cara melihat dan
menempatkan kebudayaan lain dalam kebudayaan sendiri yang bisa terjadi karena
adanya proses asimilasi dan akulturasi dalam konteks relasi budaya dengan
menggunakan pendekatan ilmiah (saintifik). Langkah-langkah pendekatan ilmiah
(scientific appoach) dalam proses pembelajaran meliputi menggali informasi
melalui pengamatan, bertanya, percobaan, kemudian mengolah data atau
informasi, menyajikan data atau informasi, dilanjutkan dengan menganalisis,
menalar, kemudian menyimpulkan, dan mencipta. Pada roman Salah Pilih (SP)
karya Nur St. Iskandar dihasilkan proses akulturasi yang mempertemukan budaya
barat (Eropa) dengan budaya timur (Minangkabau). Dari hasil analisis dapat
disimpulkan sebagai berikut (1) budaya Timur memiliki kecenderungan mentaati
aturan-turan tertentu dengan mengikuti adat Minangkabau, sedangkan budaya
Barat memiliki kecenderungan kebebasan dalam berekspresi dan bertingkah laku,
(2) pergeseran pemikiran dan budaya pada masyarakat Minangkabau tampak pada
perubahan pola kehidupan masyarakat tradisional menjadi masyarakat yang
modern. Budaya lokal menerima pemikiran budaya Barat, dan (3) budaya Barat
mampu menghegemoni budaya timur yang tercermin pada diterimanya kembali
Asri menjadi kepala tanah air (kepala desa) dan diterimanya kawin sesuku antara
Asri dengan Asnah.42
42
Firmansyah, Aplikasi Pembelajaran Sastra Berkarakter dengan Pendekatan Saintifik:
Pergeseran Budaya dalam Novel Salah Pilih Karya Nur Sutan Iskandar (Kajian
Interkulturalisme), diunduh pada tanggal 5 April pukul 21.00 WIB, melalui website:
www.jrpi.mdcjatim.org/index.php/jrpi/artcle/view/8
25
43
Frieska Maryova Rachmasiska, Analisis Nilai-nilai Budaya dalam Novel Salah Pilih Karya Nur
Sutan Iskandar, diunduh pada tanggal 5 April 2017 pukul 19.00 WIB melalui website:
www.stkippgribl.ac.id/lentera/LENTERA%20NEW/2015%20Vol%202/15.%20YOVA.Pdf
26
Moralitas pada Novel Salah Pilih Karya Nur Sutan Iskandar. Abstrak penelitian
tidak ditemukan.44
Penelitian keempat yaitu skripsi yang ditulis oleh Dian Indah P.S. pada tahun
2014 dari Universitas Muhammadiyah Malang dengan judul Analisis Konflik
Batin Tokoh Utama Novel Salah Pilih Karya Nur Sutan Iskandar. Penelitian ini
merupakan hasil analisis yang berupa konflik batin pada tokoh utama dalam novel
Salah Pilih karya Nur S.t Iskandar. Tujuan penelitian dilakukan untuk
memperoleh deskripsi mengenai (1) konflik batin berkaitan dengan adat
pernikahan yang dilukiskan Nur S.t Iskandar, (2) konflik batin berkaitan dengan
penghulu adat yang dilukiskan Nur S.t Iskandar. Penelitian ini menggunakan
metode penelitian deskripsi kualitatif dalam teori konflik batin. Sumber data dan
data yang diperoleh dalam penelitian berupa satuan cerita pada teks novel Salah
Pilih karya Nur Sutan Iskandar. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik
dokumentasi melalui identifikasi, klasifikasi dan analisis data. Teknik analisis
data dilakukan oleh peneliti sebagai pembaca. Data yang diperoleh berupa data
kualitatif dengan cara membaca, mengidentifikasi, menafsirkan dan terakhir
menyimpulkan. Berdasarkan hasil analisis peneliti dapat disimpulkan bahwa: (1)
konflik batin tokoh utama berkaitan adat pernikahan berupa; (a) kebutuhan
keamanan untuk merasakan kebebasan dari perasaan takut dan tertekan, (b)
kebutuhan cinta dan dimiliki sebagai seorang pasangan, (c) adat istiadat larangan
menikah sesuku; (2) konflik batin berkaitan penghulu berupa; (a) kewenangan
atau tugas, (b) hukum adat, (c) nilai, norma, dan moral.45
Terakhir, penelitian berupa tesis yang ditulis oleh Aimifrina, mahasisiwi dari
Universitas Gajah Mada dengan judul Salah Pilih Karya Nur Sutan Iskandar:
Tinjauan Strukturalisme – Semiotik pada tahun 1999. Penelitian ini bertujuan
untuk menemukan hubungan makna struktural, tanda makna, arti kata kunci atau
44
Reni Sepmawati, Nilai Moralitas pada Novel Salah Pilih Karya Nur Sutan Iskandar, diunduh
pada tanggal 5 April pukul 19.15 WIB melalui website:
https://lib.unilak.ac.id/index.php?p=show_detail&id=6296
45
Dian Indah P.S., Analisis Konflik Batin Tokoh Utama Novel Salah Pilih Karya Nur Sutan
Iskandar, diunduh pada tanggal 5 April 2017 pukul 19.20 WIB melalui website:
https://core.ac.uk/download/pdf/33338851.pdf
27
matriks, dan optimalisasi makna dari novel Salah Pilih. Teori struktural dan
semiotik digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini. Analisis
struktur dalam tesis ini terdiri dari analisis tema, plot, karakterisasi, latar
belakang, dan gaya penulisan. Analisis yang dilakukan adalah untuk mengetahui
waktu dan pergerakan para pemain, sehingga para pemain bisa melakukan
aktivitas yang sesuai dengan tempat dan waktu dalam berkarya. Gerakan pemain
berdasarkan pada tempat, tradisi, dan budaya masyarakat, sedangkan waktu
kejadian dibagi dua, (1) periode pemerintahan Belanda berdasarkan waktu sejarah
dan (2) hari pembuatan proposal dan hari pernikahan. Antara Asri dan Saniah
yang didasarkan pada urutan waktu yang terjadi. Hari pernikahan diputuskan
diadakan pada hari dan bulan yang baik.46
46
Aimifrina, Salah Pilih Karya Nur Sutan Iskandar: Tinjauan Strukturalisme – Semiotik, diunduh
pada tanggal 5 April 19.25 WIB melalui website:
etd.repositry.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&tgp=h
tml&buku_id=4062
BAB III
28
29
4
Rachmat Ali, Suatu Sore Bersama Sutan Iskandar
5
Anonim, Nur Sutan Iskandar dalam
badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/tokoh/282/Nur%20Sutan%20Iskandar diakses pada
tanggal 4 April 2017 pukul 17.08 WIB.
30
dan Aman Datuk Majoindo (1946). Karya sadurannya yaitu, Si Bakhil (1926),
Pelik-pelik Pendidikan I (1949), Pelik-pelik Pendidikan II (1949), Pelik-pelik
Pendidikan III (1951), Pelik-pelik Pendidikan IV (1952), Pelik-pelik Pendidikan V
(1952), Pelik-pelik Pendidikan VI (1952), dan terdapat juga karya-karya yang
diterjemahkan oleh Nur Sutan Iskandar, yaitu Tiga Orang Panglima Perang
(Alexander Dumas) (1922), Dua Puluh Tahun Kemudian (Alexander Dumas)
(1925), Graaf de Monte Cristo I--IV (Alexander Dumas) (1925), Belut Kena
Ranjau I--Il (Banonesse Orczy) (1928), Anjing Setan (A. Conan Doyle) (1928),
Anak Perawan di Jalan Sunyi (A. Conan Doyle) (1929), Gudang Intan Nabi
Sulaeman (H. Rider Haggard) (1929), Kasih Beramuk dalam Hati (Beatrice
Harraden) (1931), Bandit Besar (Dari cerita Inggris) (1932), Memperebutkan
Pusaka Lama (Edouard Kijzer) (1932), Iman dan Pengasihan I--IV (H.
Sienkiewicz) (1933), Permainan Kasti (F.H.A. Claesen) (1940), Perjalanan
Ahmad ke Eropa (N.K. Bieger) (1940), Sayur-Sayuran Negeri Kita (J.J. Ochse)
(1942), Pablo (Lidow) (1948), Asal Binatang (Giane Anguissola) (1 948), Si
Buyung (S. Franke) (1949), Bersiap (C. Wilkeshuis) (1949), Pengajaran di
Sweden (Jan Lighthart) (1950), Sepanjang Garis Kehidupan (R. Kasimier) (1951),
Medan Perdagangan (K. Gritter) (1951), Edison Sripustaka (K. Gritter) (t.t.),
Mata (Tagore) (t.t.)6
6
Berdasarkan arsip dengan judul Buku-buku Buah Tangan N. St. Iskandar yang ditulis oleh Nur
Sutan Iskandar.
7
Wartawan MIR, Nur Sutan Iskandar Tetap “Bergumul” Dengan Buku, (Minggu Indonesia Kaya,
1973) h. II
31
“seni bukan saja dipakai untuk seni, dia bisa dimanfaatkan asalkan sesuai
dengan kepribadian bangsa dan kejayaan bangsa walaupun saya tidak bisa
melukiskan perjuangan itu. Tetapi dalam buku “Pendjalinan Hidup” membuktikan
bahwa sayapun mampu menghasut Irian Barat memberontak melawan pemerintah
Belanda”8
Pernyataannya tersebut menegaskan bahwa Iskandar memanfaatkan karya-
karyanya sebagai karya sastra yang menjelaskan kepribadian dan kejayaan bangsa
Indonesia, serta melukiskan perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih
kemerdekaan dan melawan adat yang dianggap kuno dan tidak bermanfaat.
Nur Sutan Iskandar merupakan salah seorang wakil zamannya, yang
mengambil kedudukan istimewa dalam golongannya yaitu di antara pengarang-
pengarang tua. Selama 30 tahun beliau bekerja di Balai Pustaka, di samping
tugasnya sebagai penyunting, banyak pula karya-karyanya sendiri yang
diusahakan. Beliau pada umumnya mempunyai pengaruh yang besar atas seluruh
hasil kesusastraan Balai Pustaka. Dalam karya-karyanya, ternyata beliau seorang
yang kuat fantasinya. Menurut sastrawan Asis Safiuddin (Himpunan Seni Sastra
Indonesia), bahasa dalam karya-karya Iskandar adalah menuju kemajuan Bahasa
Indonesia. Di dalam karya-karyanya terdapat juga pengaruh Minangkabau, Jawa,
dan Melayu Jakarta.9
Karya-karya Iskandar memiliki perbedaan dengan pengarang-pengarang di
zamannya, Iskandar dalam novelnya yang dianggap penting sebelum perang yaitu
Salah Pilih dan Karena Mentua dinilai lebih berani membuat kecaman terhadap
adat perkawinan masyarakat Minangkabau. Karya-karyanya yang sering
dibicarakan oleh pengkritik sastra adalah novelnya yang berjudul Hulubalang
Raja, sebuah novel sejarah yang berdasarkan bahan-bahan tentang Sumatera Barat
dan Minangkabau dalam tahun-tahun 1665-1668, juga novelnya Katak Hendak
Jadi Lembu. Kedua karyanya ini menurut pandangan Prof. A. Teeuw adalah
karangan yang terbaik. Hulubalang Raja adalah sebuah cerita yang lancar dan
baik susunannya, bukan saja bagus dalam segi bahasa Indonesia yang digunakan
dari jenis novel sejarah, tetapi nilainya pun tidak kalah dengan kebanyakan hasil
8
Paul L. Tobing, Nur Sutan Iskandar Mengetjewakan Lebih Banjak Membela Diri, (Sinar Harapan,
1971)
9
Wan Shamsuddin M. Yusoff, Sejarah Sastera Melayu Moden, Sesudah Tahun 1800, (Pustaka
Antara: Kuala Lumpur, Cet. Ke IV, 1896) h. 152-153
32
jenis sastra di luar negeri. Sementara novelnya Katak Hendak Menjadi Lembu
juga mengandung nilai-nilai kebaikan tentang penyusunannya dan juga di segi
psikologi. Novel masyarakat ini mendapat perhatian dari orang Indonesia yang
berasal dari tanah Pasundan sendiri yang menjadi latar-belakang cerita novel ini,
karena Iskandar menggambarkan tokohnya dalam kehidupan masyarakat Sunda
waktu itu dengan sangat sederhana, namun terkesan hidup.10
Jika dilihat berdasarkan periode kepengarangannya, pada tahun 20-an,
kebencian Iskandar terhadap pemerintah Belanda atau sesuatu yang berbau Barat
secara eksplisit belum nampak. Hal ini bisa dimaklumi, karena Balai Pustaka
adalah penerbit pemerintah, yang punya tujuan politis, yaitu memengaruhi kaum
terpelajar Indonesia untuk mengikuti garis politik Belanda. Masa 30-an, kritik
Iskandar terhadap Belanda dalam karya sastra secara tersamar mulai terlihat.
Misalnya dalam karyanya yang bejudul Hulubalang Raja (1934) yaitu sebuah
novel sejarah yang ditulis berdasarkan disertasi sejarawan Belanda H. Kroeskamp
berjudul De Westkust en Minang kabau (1665-1668) „Pantai Barat Minangkabau‟
ia mengkritik perlakuan pemerintah Belanda terhadap penduduk setempat. Akan
tetapi, memasuki tahun 40-an (mulai tahun 1942, ketika kondisi sosial politik
Indonesia berubah cepat dengan datangnya Jepang) kebencian Iskandar terhadap
Belanda (Barat) terlihat jelas dalam karya-karyanya. Iskandar secara terang-
terangan mengakui, karya-karyanya ditulis untuk membangkitkan semangat
nasionalisme (terutama pada masa Jepang dan Revolusi Kemerdekaan).11
10
Ibid., h.153
11
Anonim, Tragedi Nasionalisme Nur Sutan Iskandar, (Media Indonesia: Jakarta, 1991) h.4
33
Setelah mereka menikah, Saniah tinggal di rumah Asri bersama Asnah dan
ibu Asri. Karena tidak didasari oleh rasa cinta, maka pernikahan antara Asri dan
Saniah tidak mendapatkan kebahagiaan. Karena Saniah selalu ingin berkuasa
dalam rumah tangga, mengakibatkan Asri tidak suka dengan perangai istrinya
tersebut. Kehidupan rumah tangganya tidak berbahagia, mereka sering bertengkar.
Melihat kehidupan anaknya yang tidak harmonis tersebut Ibu Asri menjadi sedih.
Karena kesedihannya tersebut Ibu Asri akhirnya jatuh sakit dan kemudian
meninggal dunia. Sebelum meninggal, ibunya sempat berpesan kepada Asri dan
Asnah. Dihadapan mereka ibu Asri menyatakan penyesalannya, mengapa dahulu
34
mereka tidak menikahkan Asri dan Asnah saja. Wafatnya bu Mariati membuat
Saniah merasa bebas di rumah gedang. Apalagi ibunya mendukung langkah
Saniah untuk mengusir Asnah. Puncaknya adalah saat Hasan Basri menyatakan
perasaannya untuk Asnah selepas kepergian Ibu Mariati. Saniah yang melihat
cinta di mata Asri dan Asnah sangat marah dan mencaci maki Asnah dengan kata-
katanya yang yang menyakitkan. Akhirnya Asnah pergi dan tinggal jauh dari
rumah gedang. Kepergian Asnah tidak membuat perilaku Saniah berubah. Dia
semakin curiga dan marah pada Asri yang beberapa kali terlambat pulang dan
terkadang tidak pulang. Karena amarahnya yang memuncak, Saniah pergi tanpa
pamit pada suaminya ke rumah ibunya. Tiba di rumah ibunya, Saniah dan ibunya
pergi keluar kota untuk menemui saudaranya. Di perjalanan, mobil mereka
mengalami kecelakaan yang menyebabkan Saniah dan ibunya meninggal dunia.
Tak lama setelah Saniah meninggal, Asnah dan Asri pun menikah. Namun,
pernikahan mereka mendapat ejekan dari orang-orang di kampung, karena Asnah
dan Asri dianggap satu suku. Untuk menghindari cemoohan dan fitnah, mereka
pindah ke Jakarta. Dan pada akhir cerita, Asri mendapat surat dari negerinya dan
diperintahkan untuk kembali dan diangkat menjadi kepala negeri, semua tokoh
masyarakatpun berjanji untuk memperbaiki dan mengharumkan nama Asri dan
Asnah sebagai pasangan ideal suami istri, tentu saja hal itu disambut dengan suka
cita, lebih-lebih mereka dapat melanjutkan cita-citanya yang terbengkalai.
BAB IV
HASIL ANALISIS
1
Nur Sutan Iskandar, Salah Pilih, (Jakarta: Balai Pustaka, 2010) h. 121
2
Ibid, h. 150
35
36
Orang muda itu keluar dari dalam kamar itu serta diturutkan oleh ibunya
dengan matanya yang jernih bersinar-sinar. Alangkah tampan rupanya. Ia
memakai baju jas buka daripada kain kulit kayu.”3
Walaupun Asri baru beberapa bulan saja bekerja, tetapi karena ia amat
pandai, maka pekerjaan klerk itu lekas diketahui...”4
...Dan pelajarannya di Mulo tamat sudah”5
...Tetapi katanya, ia hendak meneruskan pelajarannya ke H.B.S. atau
Stovia”6
betul, betul, niatku mula-mula ia harus jadi dokter. Akan tetapi semenjak
aku sakit ini, pikiranku sudah berubah...”7
Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa keinginan Asri untuk menjadi
dokter justru ditentang oleh ibunya karena keadaannya yang sedang sakit, dan
menginginkan Asri untuk tetap berada di sampingnya saja. Asri memiliki
kehidupan yang baik dengan keluarganya. Hubungan dengan Asnah yang
merupakan adik angkatnya juga sangat rukun, Asri sangat menyanyangi
Asnah seperti terlihat dalam kutipan berikut:
...Karena sangat kasih sayang kepada Asnah dan karena sangat suka akan
perempuan itu, hampir dipeluk dan diciumnya pula adiknya itu.8
3
Ibid, h.24
4
Ibid, h.111
5
Ibid, h.20
6
Ibid.
7
Ibid.
8
Ibid., h.27
37
Pada suatu hari aku pergi mendapatkan anak gadis itu. Dari jauh sudah
tampak olehku dia keluar dari rumahnya. Baru ia sampai ke halaman,
datanglah seorang anak kecil berlari-lari kegirangan. Anak itu bergantung
kepadanya. Entah karena ia memakai pakaian yang mahal harganya, takut
akan kotor, entah, tapi dengan tidak menaruh belas kasihan anak kecil itu
ditolakkannya dari badannya. Ia jatuh dan menangis ... dan tidak
dipedulikan oleh kekasihku itu!”
...Kebetulan aku sudah sampai ke situ, aku angkat anak itu dan kucium
pipinya beberapa kali.”
Aku tak dapat bercampur dengan seorang perempuan, yang bersifat seperti
itu, - tak berhati rahim kepada anak-anak. Dan istimewa pula aku tak ingin
akan makhluk yang hanya mementingkan dirinya sendiri saja.”9
Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa Asri adalah sosok yang
menyayangi anak kecil. Ia tidak menyukai perempuan yang tidak menyayangi
anak-anak dan perempuan egois. Baginya, memilih istri bukanlah perihal
harta dan pangkat seseorang, tapi perihal budi pekertinya. Karena itu, Asri
selalu membandingkan perempuan lain dengan Asnah. Baginya, Asnah
merupakan sosok perempuan baik budi pekertinya. Itulah yang membuat
pikirannya selalu tertuju pada Asnah. Seperti yang dibuktikan dalam kutipan
berikut:
Benar, ingatanku hanya kepada kamu seorang! Kalau aku melakukan salah
suatu pekerjaan, ya, apa juapun kerja itu selalu aku bertanya dalam hatiku
lebih dahulu: dapatkah hal itu kuterangkapn kepadamu? Dan kalau aku
harus berkata kepada diriku sendiri: tidak, maka aku tahu sudah, bahwa
pekerjaanku itu salah! Dan kalau dapat, aku tinggalkan! Adakalanya tidak
9
Ibid., h.31
38
dapat aku meninggalkan kerja itu, tetapi biasanya kemudian dapat jua. Jadi
nyata kepadamu, bahwa aku berdiri di bawah kuasamu, meskipun aku
tidak dekatmu.”10
Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa sosok Asri dapat dikatakan
sebagai laki-laki idaman setiap wanita karena budi pekertinya yang baik dan
tutur katanya yang lemah lembut. Asri juga tidak kekurangan teman dalam
pergaulannya. “Akan Asri, - teman-temannya tidak kurang.”.13 Hal tersebut
dapat dilihat pada saat proses pertunangan Asri dengan Saniah. Semua orang
yang dikunjungi oleh Asri memuji Asri sebagai laki-laki yang baik.
Namun sifat baik dan sabar dalam diri Asri berubah saat Asri menikahi
Saniah. Perbedaan keduanya dalam memegang adat istiadat menjadi peimcu
pertengkaran yang tak kunjung usai. Kepribadian Saniah yang buruk
menjadikan Asri pribadi yang cepat marah atas kelakuan istrinya, namun
perubahan sifatnya tersebut hanya terjadi pada istrinya, dan tidak berdampak
pada tokoh lain. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut:
10
Ibid., h.33
11
Ibid., h.36
12
Ibid., h.55
13
Ibid., h.98
39
Sebentar itu juga kelihatanlah seorang gadis remaja naik tangga. Mukanya
yang bulat penuh kemerah-merahan warnanya, sebab sudah berjalan jauh.
Matanya yang riang bersinar-sinar di bawah alisnya yang tebal lagi hitam.
Rambutnya yang panjang berjalin dan terjuntai ke belakang, sampai ke
bawah pinggangnya, tersembul ujungnya yang berikat dengan kain taf di
bawah selendang sutra, yang menutupi kepalanya dan kedua belah
telinganya. Sebelah ujung selendang yang bewarna merah dan
bersulamkan benang sutra biru laut pinggirnya itu, terjuntai di sisinya.
Warna selendang itu membayang ke mukanya, sehingga – semakin
berseri-seri parasnya. Ia berpayung sutra Jepun, berbaju kurung daripada
kain satin, berkain Pekalongan dan berselop beledu yang bersulamkan
manik-manik dan benang emas. Di dadanya tergantung sebuah medaliun
yang berantai emas dan bertatahkan permata intan yang kilau-kilauan dan
gilang-gemilang cahayanya. Sungguh bentuk badannya yang memang elok
itu semakin bertambah molek cantik oleh pakaiannya yang sederhana
itu.15
Iskandar menggambarkan pakaian dan ciri fisik Asnah dengan sangat rinci,
dan menambahkan pendapat pribadinya sebagai narator, yaitu lewat
pendapatnya yang mengatakan bahwa Asnah bertambah molek cantik dengan
pakaiannya yang dikatakannya sederhana, namun nyatanya tidak. Lewat
kutipan di atas, dapat kita lihat bagaimana Asnah mampu menggunakan
medaliun yang berantai emas, hal ini tentu bertolak belakang dengan
14
Ibid., h.143
15
Ibid, h. 3-4
40
Asnah juga digambarkan sebagai tokoh pekerja keras dan tahu diri, ia
paham betul akan kedudukannya sebagai anak angkat di rumah gedang
tersebut, sehingga ia merasa harus bekerja keras sebagai balas budi atas
kebaikan setiap orang di rumah gedang. Hal ini terlihat pada kutipan berikut:
Asri amat heran melihat pekerti Asnah itu. Hanya apabila ia ada dekat
ibunya atau apabila kerja anak gadis itu digantikan sebentar oleh Ibu Liah,
ketika itulah Asnah pergi tidur sekadar akan mengembalikan
kekuatannya.18
Asnah juga memendam perasaan hatinya pada Asri, karena tahu diri akan
keadaannya yang hanya „anak pembantu‟ di rumah tersebut. Hal inilah yang
membuat Asnah sangat menjaga agar perasaannya tidak diketahui oleh Asri.
Bahkan sampai Asri menikah pun Asnah hanya bisa menerima dengan ikhlas
dan tetap berlaku baik dengan kakak iparnya, yaitu Saniah.
Berbeda dengan Asnah, Saniah digambarkan memiliki kepribadian yang
sangat buruk. Ia digambarkan sebagai gadis bangsawan yang cantik dan
menempuh pendidikan di HIS (Hollandsch-Inlandsche School). Kepribadian
Saniah dapat dilihat pada kutipan berikut:
Saniah mengangkat kepalanya serta memandang kepada saudaranya
dengan tidak peduli. Pada ketika itu muka yang elok itu berubah sudah:
16
Ibid, h.2
17
Ibid, h.18
18
Ibid, h.160
41
bukan sebagai wajah seorang gadis yang manja lagi, melainkan telah menjadi
muka makhluk yang bengis dan masam.
Bebas atau lepas unggas, Rus. Anak-anakmu lepas unggas benar-benar,
sehingga bunda dan aku jadi heran dan terkejut. Mengapa kaubiarkan saja
mereka itu hidup seliar itu? Didikan kita bukantah demikian?19
Rusiah memandang tenang-tenang kepada adiknya, yang tengah panas
darahnya itu. Pada air mukanya tampaklah oleh Rusiah kebengisan dan
kesombongannya.20
Selama bersekolah di Bukittinggi payah aku membimbing dia, supaya
tetap berkepribadian sendiri – kepribadian bangsa jua – tetapi usahaku
tidak berhasil. Lebih-lebih setelah ia kembali dalam asuhan bunda pula ...
Ah, Saniah semakin manja, semakin tinggi hati, sombong, ya, semakin
mementingkan diri sendiri saja. Ia tidak mau bersusah payah, enggan ke
dapur, hanya mengerahkan tenaga babu dan koki untuk keperluan rumah
tangga dan memandang rendah adat istiadat orang kampung biasa dan hina
orang kebanyakan.21
Dari kutipan di atas, dapat dikatakan bahwa Saniah sangat teguh dalam
memegang adat bangsawannya, hal ini terlihat saat Saniah mempertanyakan
anak-anak Rusiah yang dididik secara bebas dan tidak sesuai dengan adat
yang berlaku di rumah berukir, keteguhan Saniah dalam memegang adat
menyebabkan Saniah berlaku sombong dan hanya mementingkan diri sendiri
saja. Pada kutipan di atas, bahkan Saniah sama sekali tidak mau ke dapur dan
hanya mengandalkan pembantu. Ia juga kerap memandang rendah orang lain
yang tidak sederajat dengannya.
Hal inilah yang membuat Saniah dan Asri selalu bertengkar setelah
menikah, karena perbedaan pandangan diantara mereka. Saniah menganggap
bahwa Asri tidak tahu adat, sementara Asri menganggap Saniah terlalu kaku
terhadap adat. Namun, di akhir cerita Saniah menyadari bahwa ajaran
bundanya salah, dan ia merasa sangat bersalah terhadap seluruh penghuni
rumah gedang. Seperti terlihat pada kutipan berikut:
Memang hatinya terharu sangat. Sedih, sayu dan rindu ... Di ruang
matanya terbayang segala kejadian dan bujur malangnya selama bersuami,
terbayang wajah almarhumah mentuanya yang tak pernah dihormatinya,
sekalipun perempuan itu kasih dan sayang kepadanya. Ya, tampak pula
19
Ibid, h.61
20
Ibid, h.70
21
Ibid, h.71
42
Selain tokoh utama terdapat tokoh tambahan dalam novel ini. Tokoh
tambahan yang utama dalam novel ini yaitu Ibu Mariati, Ibu Maliah, Ibu
Mariah, Rangkayo Saleah, Datuk Indomo, Rusiah, Sutan Sinaro, Kaharuddin
dan Hasan Basri.
Ibu Mariati merupakan ibu kandung Asri yang memiliki sifat penyayang
dan baik hati, akan tetapi kadang ia menjadi pemarah pada beberapa waktu,
seperti terlihat pada kutipan berikut:
Ah, pergi dari sini , Liah! Ayuh, keluar! Takkan memberi faedah obatmu
itu kepadaku.”23
Ha, datang engkau, Anakku! Baru senang hatiku rasanya.”24
Dari kutipan di atas dapat dilihat sifat pemarah yang ada pada Ibu Mariati
karena diberikan obat oleh Sitti Maliah yang merupakan adik Ibu Mariati,
namun sifat penyayang dan cerianya tergambar saat ia bertemu dengan Asnah
yang merupakan anak angkatnya. Hal ini memperlihatkan bagaimana
penyayangnya Ibu Mariati yang bahkan berlaku sangat ramah terhadap anak
angkatnya, Asnah. Ibu Mariati memang digambarkan sebagai sosok yang
penyayang dan baik hati terhadap sesama. Terlebih kepada anak-anaknya,
Asri dan Asnah. Walaupun Asnah adalah anak angkatnya, tapi kasih
sayangnya tak berkurang sedikitpun untuk Asnah. Ibu Mariati bahkan sudah
menulis wasiat untuk Asnah yang isinya adalah memberikan sebidang sawah
dan ladang kopi supaya ia merasa benar-benar anggota keluarga dari rumah
gedang. Hal ini tergambar dalam kutipan berikut:
22
Ibid, h.210-211
23
Ibid., h.1
24
Ibid., h.4
43
Dan kini karena kita tengah memperkatakan Asnah – belum lama ini telah
kuperbuat sehelai surat wasiat untuknya. Sawah di Sungailigin dan ladang
kopi di Lagan sudah kuhibahkan kepadanya.25
Dari kutipan tersebut dapat dikatakan bahwa Ibu Mariati merupakan sosok
yang dermawan, hal ini dapat dilihat dari kemurahan hatinya kepada Asnah
yang bahkan bukan anak kandungnya. Ibu Mariati juga digambarkan sebagai
sosok yang bijaksana. Hal ini dibuktikan saat Ibu Mariati mengizinkan Asri
untuk memilih pasangannya sendiri. “Mungkin karena ibunya yang arif
bijaksana itu sangat tahu akan perhatian anaknya?”.26 Kebijaksanaan Ibu
Mariati digambarkan lewat pikiran tokoh lain, yaitu Asri. Perangai Ibu
Mariati yang periang berubah sejak Asri menikah dengan Saniah.
Kekecewaan terhadap perilaku menantunya digambarkan sangat jelas lewat
beberapa kutipan tersebut:
Rupanya lain sekali perangainya! Aku tidak suka sekali-kali demikian.”
Pikir Ibu Mariati dengan amarah. “Aku sendiri tak dihargainya. Bahkan
ajakanku pun tak diacuhkannya.27
Prasangka Ibu Maliah akan penyakit Ibu Mariati benar adanya, Ibu Mariati
meninggal setelah mengutarakan isi hatinya pada Asri dan juga Asnah,
25
Ibid., h.43
26
Ibid., h.39
27
Ibid., h.136
28
Ibid., h.161
44
Ibu Mariah memang telah menganggap Asnah dan Asri seperti anaknya
sendiri, Ibu Mariah juga bersikap bijaksana saat menghadapi suatu masalah,
misalnya saat acara adat Mengantar Sirih, Rangkayo Saleah mempermalukan
Asnah di depan umun, namun Ibu Mariah tetap bersikap tenang dan tidak
memberitahukan kepada Asri ataupun Ibu Mariati agar tidak terjadi
permasalahan yang lebih banyak. Ibu Mariah juga menjadi orang yang
menolong pernikahan Asri dan Asnah setelah kematian Saniah.
Tokoh selanjutnya adalah Rangkayo Saleah yang merupakan ibu dari
Saniah. Rangkayo Saleah digambarkan oleh pengarang sebagai tokoh yang
angkuh dan tamak akan harta, tidak terlalu berbeda dengan Saniah, Rangkayo
Saleah juga sangat memegang teguh adat kebangsawanannya. Seperti
tergambar pada kutipan berikut:
29
Ibid, h.190
30
Ibid, h..78
45
Rangkayo Saleah, adik Tuanku Laras itu ialah ibu ketiga anak yang
tersebut itu. Semenjak kecil ia biasa disembah dan dimuliakan orang.
Istimewa pula semenjak ia jadi istri Datuk Indomo, seorang penghulu yang
kenamaan dan kaya, – maka semakin rendahlah pandangnya kepada
sesama manusia. Hati belas kasihan tidak ada padanya.31
...Tunggu dahulu, Bunda, – supaya berkurang “gunjing-gujirak”orang
terhadap kita, terutama kepada Bunda – ampun – yang dikatakan tamak
akan uang dan harta”32
31
Ibid, h.37
32
Ibid, h.147
33
Ibid, h.85
46
34
Ibid, h.62
35
Ibid, h.201
47
jadi istri Datuk Indomo, seorang penghulu yang kenamaan dan kaya”36 Datuk
Indomo digambarkan sebagai tokoh yang sangat patuh terhadap istrinya, ia
tidak berani menentang perkataan istrinya, walaupun hatinya kadang tidak
setuju dengan sikap dan perkataan istrinya, seperti terlihat pada kutipan:
...Akan tetapi ia tidak berani mengabarkan pendiriannya itu kepada
istrinya, - akan mengelakkan kata-kata pedih yang mungkin keluar lebih
hebat dan tidak pada tempatnya.37
Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa Hasan Basri adalah pemuda yang
miskin, dan tidak punya modal sendiri untuk barang dagangannya, namun di
akhir cerita kemiskinannya berubah karena Hasan basri mendapat harta
36
Ibid, h.37
37
Ibid, h.200
38
Sekarang bernama: Banda Aceh
39
Nur Sutan Iskandar. Op.Cit., h.63
40
Ibid, h.65
48
pusaka dari saudaranya yang tewas karena terkena peluru sesat. Harta yang
didapatnya tersebut membuat keberaniannya muncul untuk melamar Asnah,
namun lamarannya ditolak oleh Asnah, karena hatinya hanya tertaut pada
saudara tirinya, Asri. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
Saya hendak menerangkan kepada Engku, bahwa peri keadaan saya sangat
berubah oleh kematian saudara saya itu. Dengan tidak disangka-sangka
saya sudah beroleh pusaka yang amat banyak, - toko di Kutaraja itu sudah
jadi hak milik saya sendiri.41
Benar – tidak ada yang adinda mesti perbuat – lain daripada menolak
permintaannya itu, Kanda”42
Ketetapan hati Adinda itu sangat suci bagi Kakanda, Asnah,”katanya.
Meskipun kehendak Kakanda tidak berhasil, tapi percayalah Adinda,
sekali-kali Kakanda tidak menaruh sakit hati kepada Adinda. Hanya
izinkanlah Kakanda bermohonkan pengharapan sebuah lagi. Jikalau
sekiranya Adinda beroleh kesusahan apa-apa kelak serta berhajatkan
seorang yang akan menolong Adinda, nah, ingatlah dan beritahulah
Kakanda ini! Niscaya Adinda akan Kakanda tolong dengan sedapat-
dapatnya.43
Mamak (paman) dan Ibu Sutan Penghulu merupakan tokoh yang berwatak
antagonis, hal ini terlihat saat mereka memaksa Sutan Penghulu untuk beristri
lebih dari satu, dan saat Sutan Penghulu menolak keinginan mereka, mereka
mengambil modal yang digunakan Sutan Penghulu berniaga di Painan. Hal
tersebut tergambar pada kutipan di bawah ini:
44
Ibid, h.9
45
Ibid, h.13
46
Ibid, h.14
50
Akhirnya St. Penghulu diancam mamaknya dan ibunya itu: Kalau ia tidak
mau menurut perintahnya, maka pokoknya atau modalnya berniaga di
Painan itu akan diambilnya.47
Selanjutnya, tokoh yang bernama Datuk Maulana dan Baginda Sati. Kedua
tokoh ini dimunculkan saat kematian Ibu Mariati. Kedua tokoh ini dapat
dikatakan memiliki simpati yang tinggi terhadap tetangganya yang terkena
musibah, karena mereka membatalkan rencananya dan segera datang ke
rumah duka cita tersebut. Hal ini digambarkan melalui kutipan berikut:
Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun,” kata Datuk Maulana dan Baginda Sati
sekaligus. “Sekarang bagaimana, Engku,” kata Baginda Sati Pula, “akan
kita teruskan juga maksud kita tadi itu?”
Tidak,” jawab Datuk Maulana dengan cepat, “Kita mesti balik pulang,
akan mengantarkan burung ini; sudah itu kita pergi ke Kubu melawat.”
Dengan bergesa-gesa kedua orang laki-laki itu pun pulang ke rumahnya.50
Tokoh selanjutnya adalah Sidi Sutan, yaitu pembantu yang sudah lama
bekerja dan tinggal di rumah berukir. Sidi Sutan adalah seorang yang cekatan
dan pekerja keras dan berterus terang. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan
di bawah ini:
Sekalian “perintah” itu dilakukan oleh Sidi Sutan dengan secepat-
cepatnya. Akan tetapi baharu ia berjalan ke tempat yang harus ditujunya
lagi, sehabis menjemput Dt. Indomo dari masjid, turunlah hujan lebat
sebagai dicurahkan dari langit.51
Akan tetapi, Cik Muda,” katanya, “saya tidak sempat makan di Negeri
tadi. Maksud saya....”52
47
Ibid, h.15
48
Ibid, h.72-73
49
Ibid, h.73
50
Ibid, h.166
51
Ibid, h.201
52
Ibid, h.202
51
Dari kutipan di atas, dapat dilihat bagaimana cekatannya Sidi Sutan, yang
langsung menjalankan perintah Rangkayo Saleah dan terlihat bagaimana
hujan tak menghalangi Sidi Sutan untuk menjemput Asri dan Saniah, hal
tersebut menunjukkan Sidi Sutan yang pekerja keras, dan sifat terus
terangnya saat Sidi Sutan mengatakan maksudnya untuk diizinkan makan
terlebih dahulu sebelum beristirahat, karena ia tidak sempat makan saat
berada di rumah berukir.
Selanjutnya tokoh Dewi, Saodah, Atun dan Mak Sarinah. Tokoh ini
muncul setelah meninggalnya Saniah dan Rangkayo Saleah. Mereka
membicarakan tentang harta bersama Asri dan Saniah yang dihadiahkan pada
Rusiah. Tokoh Dewi merupakan tokoh yang emosional karena terlihat mudah
terpancing oleh suasana pembicaraan, sementara Saodah merupakan tokoh
yang bijaksana dalam menilai sesuatu. Seperti terlihat pada kutipan berikut:
Kepada iparnya ... Orang kaya jua yang diperkayanya. Padahal kalau
ditilik dan diperhatikan perangai Saniah dahulu, sudah patut benar Sutan
Bendahara menceraikan dia dengan bertelanjang bulat.” Ujar Dewi
Sutan Bendahara terpelajar, keturunan orang baik-baik dan berbudi halus.
Tak mau menceraikan istri, yang telah dipilihnya. Sekalipun pilihannya itu
salah! Akan tetapi, Tuhan sudah berbuat sekehendak-Nya, telah
memperlihatkan kebenaran ... Dan bagaimana tirkahnya, katamu?
Dibagikannya kepada Rusiah semuanya?53
Jika Dewi dan Saodah wataknya digambarkan melalui dialog yang mereka
ucapkan, berbeda dengan Atun. Tokoh Atun digambarkan melalui dialog
tokoh lain, seperti pada kutipan “Tentang perkara paras dan kepandaian, saya
rasa, si Atun takkan kalah kalau dibandingkan dengan mendiang Saniah yang
congkak itu.”54 Kutipan tersebut menyebutkan bahwa Atun memiliki wajah
yang cantik dan juga memiliki beberapa keterampilan yang tidak kalah
dengan Saniah.
Mak Sarinah adalah tokoh yang muncul saat Dewi dan Saodah sedang
terlibat percakapan. Mak Sarinah digambarkan sebagai tokoh perempuan tua
yang masih memiliki pemikiran kolot, hal ini dapat terlihat pada kutipan
53
Ibid, h.226
54
Ibid, h.227
52
“Tapi, ya, orang terpelajar berlain dengan orang kampung biasa, sekalipun
kadang-kadang adat istiadatnya sudah kebelanda-belandaan”55. Berdasarkan
kutipan tersebut dapat dilihat bagaimana Mak Sarinah berpikiran sempit
tentang orang-orang yang terpelajar, tanpa memikirkan dampak positif dan
negatif dari kaum terpelajar.
Tokoh terakhir adalah Khadijah, pengarang tidak menggambarkan dengan
detail, karena Khadijah hanya tokoh yang mengantarkan barang titipan yang
dikirimkan Ibu Maliah dan Asri. Namun, dapat dilihat berdasarkan kutipan
berikut:
Maaf, Asnah! Saya tak dapat masuk. Dari sini saja saya ucapkan: selamat
hari raya kepadamu dan kepada Ibu Mariah jua, sebab saya hendak segera
pergi ke Kotabaru, perlu membeli beras ....”56
Sudut pandang dia dalam novel ini bersifat „mahatahu‟ yaitu pencerita
berada di luar cerita dan melaporkan peristiwa-peristiwa menyangkut semua
tokoh. Dari kutipan di atas dapat dilihat bagaimana pengarang mengetahui
seorang tokoh yang sudah tua dan memotong perkataan seseorang yang
bernama Sitti Maliah dengan marah. Hal ini memperlihatkan bagaimana
pencerita mengetahui tentang apa yang dilakukan oleh tokoh dan dipikirkan
oleh tokoh, sehingga ia disebut sebagai „mahatahu‟.
55
Ibid, h.228
56
Ibid, h.242
57
Ibid, h.1
53
3. Alur
Alur ialah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa
sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam
suatu cerita. Alur yang digunakan dalam novel Salah Pilih karya Nur Sutan
Iskandar adalah alur maju, karena tidak terdapat kilas balik di dalamnya.
Aminuddin membagi alur menjadi 7 tahapan peristiwa yang saling berkaitan,
adapun tahapan alur tersebut, yakni:
a) Tahapan Pengenalan
Tahap ini merupakan tahapan pengenalan tokoh-tokoh atau latar cerita.
Novel ini dimulai dengan menceritakan tokoh Sitti Maliah yang sedang
merawat seorang perempuan tua bernama Ibu Mariati yang sedang sakit. Ibu
Mariati tampak tidak senang diurusi oleh Sitti Maliah, dan mencari Asnah
yang merupakan anak angkat dari Ibu Mariati. Asnah adalah seorang gadis
yang penuh dengan kelembutan. Pada bab ini diceritakan bagaimana watak
Asnah, Ibu Mariati, Sitti Maliah dan masyarakat di sekitar rumah Gedang
yang masih sangat kesulitan menemukan dokter, khususnya bagi kaum ibu
yang akan melahirkan. Terlebih masyarakat disana masih sangat
mempercayai berbagai mitos yang ada.
... Akan tetapi anak itu semenjak pukul lima tadi masih terletak di lantai
juga, masih berlumur darah, sebab tembuni58 belum keluar lagi. Ibunya
pingsan, kadang-kadang menjerit-jerit kesakitan, bila tembuni itu
menyesak ke dadanya.”
Mengapa tidak lekas dikerat tali pusat anak itu, supaya ia dapat
dimandikan dengan segera?”
Dilarang keras oleh bidan. Katanya, kalau tali pusat itu dipotong ,
tembuni lari ke dalam kembali, tak dapat diharap akan keluar. Dengan
demikian niscaya berbahaya nyawa ibunya., Kakak Upik Hitam itu.”
Wahai,” keluh Ibu Mariati dengan belas kasihan. “Kerap kali betul terjadi
seperti itu di negeri kita ini! Kalau ada dokter... Dan sekarang bagaimana
halnya?59
Selanjutnya, Ibu Mariati menjelaskan tentang asal-usul orang tua Asnah,
sampai akhirnya Asnah diangkat sebagai anak perempuan oleh Ibu Mariati
58
Atau lebih dikenal dengan ari-ari
59
Nur Sutan Iskandar, Op.Cit., h. 9
54
dan menjadi bagian dari keluarga rumah Gedang juga perasaan sayang Ibu
Mariati dan juga Asri pada Asnah. Di akhir bab ini, datanglah kabar bahwa
anak laki-laki Ibu Mariati yang bernama Asri sudah berada di Padang akan
pulang menemui ibunya, Ibu Mariati sangat senang dengan kepulangan
anaknya dan memberitahu pada Asnah bahwa Asri harus segera menikah,
dan perasaan Asnah yang sesungguhnya kepada Asri menjadi penutup pada
bab Ibu dan Anak Angkat ini. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
...Hanya saya mohon sangat kepada ibu, supaya ibu ceritakan dengan
panjang lebar kepada saya, bagaimana jalannya saya dibawa pak tua ke
rumah gedang ini serta dibuat orang disini sebagai anak kandung
sendiri...”60
Ibu,” katanya dengan terengah-engah tetapi riang, “ada oto datang dari
Padang.”
Bagaimana, Ali? Oto...?” kata Ibu Mariati dan Asnah dengan sekaligus
menoleh kepada anak yang bernama Ali itu, yakni anak orang sebelah
rumah.
Di dalam oto itu ada Engku Sutan Semain serta istrinya, baru pulang dari
Bengkahulu. Katanya, ia bertemu di kapal dengan...”
Asri?” kata Ibu Mariati dengan suka cita. “Sekarang dimana dia, Anakku,
Asriku itu! Dimana dia?”
Di Padang ditinggalkan Engku Sutan Semain. Ia menumpang dengan oto
lain. Barangkali ia datang sebentar lagi.”61
...Dan – ia harus lekas kawin”62
Ia berjalan ke ruang tengah dengan perlahan-lahan – daripada maju, urut
yang lebih. Pikirannya sangat kusut serta bercampur dukacita. Sebab Asri
akan dikawinkan, Asri akan beristri...63
b) Tahapan Konflik
Tahapan konflik merupakan tahapan yang didalamnya berisi tentang
ketegangan atau pertentangan antara dua kepentingan atau kekuatan di
dalam sebuah cerita. Konflik dalam novel Salah Pilih dimulai ketika Ibu
Mariati meminta Asri untuk segera menikah, keputusan tersebut diambil
oleh Ibu Mariati karena ia menganggap dirinya sudah menua dan ingin
melihat anaknya menikah. Hal ini menjadi semakin rumit karena ternyata
60
Ibid., h.13
61
Ibid., h.19
62
Ibid., h.20
63
Ibid., h.21
55
Asnah memiliki perasaan cinta terhadap Asri lebih dari seorang adik kepada
kakak. Asnah menyukai Asri sebagai seorang laki-laki, dan keputusan Ibu
Mariati untuk segera menikahkan Asri juga membuat kesedihan tersendiri
terhadap Asri karena harus menghentikan cita-citanya menjadi seorang
dokter.
Aku sudah tua, Asri,” katanya dengan lemah lembut. “Aku berharap
hendak hidup beserta engkau, dalam lingkunganmu beberapa tahun lagi...
... Sekarang sudah datang waktu yang baik bagimu akan berumah tangga.
Sudah adakah terpikir olehmu hendak kawin?64
Asri hendak kawin?” pikirnya.
Pikiran tentang hal itu sangat memusingkan dan menyakitkan kepalanya.
Maka ditekankannya kedua belah tangannya ke jantungnya dan
diperkatupkannya kedua rahangnya, akan menahan jerit sedih dan pilu,
yang menyesak-nyesak hendak keluar dari dadanya. Bukankah ia tidak
boleh menampakkan perasaannya, ketika ia mendengar kabar itu? Dan
seorang pun tidak boleh menyangka bahwa ia bercintakan Asri dengan
cinta yang tak berhingga serta dengan sepenuh-penuh hatinya.65
Benar, Asnah, - hatiku sangat sedih akan bercerai dengan pelajaranku.
Tapi ibu tidak tahu ...66
c) Tahapan Komplikasi
Tahapan komplikasi terdapat pada bagian tengah alur cerita yang
merupakan pengembangan dari konflik, sehingga alur ceritanya menjadi
menegangkan dan mencekam. Pada tahap ini konflik yang telah
dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan
dikembangkan kadar intensitasnya. Komplikasi dalam cerita ini diawali
dengan pemilihan calon istri untuk Asri, dari beberapa perempuan yang
dipilihkan oleh ibunya, Saniah menjadi salah satu perempuan yang dinilai
paling cocok untuk Asri menurut adat. Saniah dianggap sebagai perempuan
yang terpelajar, dari keluarga bangsawan dan kaya raya. Kesimpulannya
Saniah tidak memiliki cacat untuk menjadi istri Asri dari segi adat istiadat.
Kalau begitu, akan senang kiranya aku bermantukan Saniah itu. Orang
rumah berukir itu memang terpelajar semuanya. Apalagi bangsawan dan
kaya. Engkau tak usah memandang kekayaannya, tetapi tak ada salahnya
64
Ibid., h.38
65
Ibid., h.49
66
Ibid., h.54
56
kalau istrimu banyak hartanya. Nah, - diri Saniah tak ada cacatnya. Dan
sepanjang pengetahuanku, ia belum bertunangan lagi.67
67
Ibid., h.45
68
Ibid., h.84
69
Ibid.
70
Maksudnya adalah budak
71
Nur Sutan Iskandar. Op.Cit., h.85
57
Itu bukan adik kanda.” Jawab anak gadis itu dengan tiba-tiba, seraya
memandang dengan masam kepada Asnah.72
Walau demikian sekalipun, tapi tidak baik berlaku terlalu bebas sebagai
... sebagai dengan “mainan” kakanda itu,” katanya dengan suara tertahan-
tahan, tapi tajam.73
d) Tahapan Klimaks
Tahap ini merupakan bagian alur cerita yang melukiskan puncak
ketegangan, terutama dipandang dari segi tanggapan emosional pembaca.
Tahap klimaks dalam novel ini adalah ketika Hasan Basri menyatakan
perasaannya pada Asnah dan ingin menjadikan Asnah sebagai istrinya,
setelah didengar oleh Asri perkataan itu, barulah ia menyadari perasaannya
terhadap Asnah adalah lebih dari seorang kakak kepada adiknya, ia tidak
sanggup berpisah dari Asnah dan berharap Asnah menolak dengan tegas
permintaan Hasan Basri tersebut.
Dan di dalam waktu yang sulit itu baharulah diketahuinya benar-benar,
bahwa ia teramat cinta kepada Asnah. Bukan sebagai cinta kakak laki-
laki kepada perempuan. Tambahan lagi cinta itu disertai pula oleh
perasaan persatuan yang tak terhingga, yang tela termateri di dalam
hatinya semenjak kecil terhadap kepada gadis itu.78
Ia berharap sungguh-sungguh, supaya permintaan itu ditolak oleh Asnah.
Mudah-mudahan ditolaknya dengan tegas, supaya ia dapat tingga selalu
di rumah gedang itu. – supaya ia jangan jauh dari matanya. 79
77
Ibid., h.164
78
Ibid., h.172
79
Ibid., 173-174
59
hidupnya. Ia merasa sangat iri dan benci pada Asnah, yang membuat Saniah
mencaci maki Asnah dengan ucapan yang sangat melukai hatinya. Seperti
tergambar dalam kutipan berikut:
Engkau tolak permintaan Hasan Basri itu, hanya karena engkau cinta
kepada Kanda Asri, karena pengharapanmu belum putus lagi hendak
mengambil lakiku itu! Ha, kini baru terbayang malu di mukamu!
Ingatanmu jahat sekali! Tidakkah engkau berasa malu tinggal jua di
dalam rumah ini dan teranja-anja dengan lakiku? Apa sebabnya ia tidak
kawin dengan engkau, - aku tidak tahu. Hanya yang kuketahui dia cinta
kepadamu. Barangkali pikirnya lebih baik engkau dijadikannya kekasih
saja, akan tetapi bukan istrinya! Jangan kausangkakan aku buta! Setiap
hari kepecermin kelakuan kamu keduanya, biasa bermain mata, yang tak
pernah dilakukan kakak dengan adiknya. Aku sudah jemu dan bosan
melihat hal itu, - jijik sudah! Kerap kali telah kukatakan kepadamu,
supaya engkau enyah dari rumah gedang ini. Bundaku sendiri pun sudah
berikhtiar sedapat-dapatnya, supaya engkau kawin dengan orang yang
suka membawa engkau ke rantau orang, tetapi lakiku tidak suka memberi
izin. Apa artinya itu? Kalau engkau ada menaruh malu, niscaya engkau
sudah pergi, sudah lenyap dari sini.”80
e) Tahapan krisis
Tahap ini merupakan tahapan yang mengawali penyelesaian dalam alur
cerita. Tahap krisis yang terjadi dalam novel Salah Pilih yakni ketika
keadaan rumah berukir sedang diliputi emosi, karena keputusan Kaharudin
untuk menikah dengan seorang gadis dari Padang bernama Asnawiah.
Rangkayo Saleah murka dan memutuskan untuk pergi ke Padang hendak
menyuruh anaknya untuk segera menalak istrinya. Rangkayo Saleah segera
memerintahkan Sidi Sutan untuk menjemput Saniah dan Asri untuk ikut ke
Padang, namun Asri tidak turut serta karena pertengkaran hebatnya dengan
80
Ibid., h.188
60
Pada kutipan di atas, terlihat jelas perubahan situasi yang awalnya tegang
akibat pertengkaran antara Saniah, Asri dan Asnah mulai mengendur karena
kematian Rangkayo Saleah dan Saniah yang merupakan tahap awal
penyelesaian cerita.
81
Ibid., h.211
82
Ibid., h.216
83
Ibid., h.217
61
f) Tahapan Leraian
Tahapan ini menunjukkan peristiwa yang membawa pada arah
penyelesaian. Tahap leraian dalam novel ini adalah setelah kepergian Saniah
dan Rangkayo Saleah. Ketika Asri mulai menata hidupnya kembali, dan
mengembalikan seluruh pusaka milik Saniah pada Dt. Indomo yang
merupakan ayah dari Saniah. Tujuan dari pengembalian harta tersebut
adalah untuk menjaga hubungan keluarga antara Asri dengan orang-orang di
rumah berukir. Seperti tergambar dalam kutipan berikut, “Jadi terimalah
barang-barang itu, Ayah dan Kakak, tirkah dari istri saya kepada Kakak dan
orang dalam rumah ini, akan jadi tanda bahwa pertalian kita tidak putus.”84
Setelah kehilangan Saniah, Asri beberapa kali mendapat pinangan dari
berbagai pihak. Namun ditolaknya pinangan tersebut. Ia tidak ingin lagi
salah memilih istri, ia sudah mengetahui bahwa cintanya adalah Asnah, dan
ia hanya ingin menikah dengan Asnah, walaupun ditentang oleh adat dan
masyarakat setempat. Asri tetap bertekad menikahi Asnah. Ia pun segera
menyusul Asnah ke rumah Ibu Mariah di Bayur dan menyampaikan maksud
untuk menikah dengan Asnah. Ibu Mariah sangat memahami hati mereka
berdua dan menyetujui pernikahan mereka. Akhirnya, pernikahan mereka
dilangsungkan di Bayur secara diam-diam dengan dua orang saksi, dan
setelah beberapa hari mereka menghilang dari kampung halamannya dan
pindah menempuh hidup baru ke Jakarta.
Dengan diam-diam, dirahasiakan benar-benar, maka pada suatu malam
dilangsungkannyalah nikah Asri dengan Asnah di rumah itu yang berhati
rahim di hadapan dua orang saksi.
Jadi cita-cita mereka itu tercapai sudah. Asnah telah menjadi istri Asri
dengan sah!
Dan dua tiga hari sesudah itu keduanya pun menghilang dari daerah
danau yang dicintainya itu dengan cita-cita dan semangat baru, yang
telah dimilikinya. 85
84
Ibid., h.225
85
Ibid., h.250
62
g) Tahapan Selesaian
Tahapan ini merupakan akhir cerita dan akhir dari sebuah konflik dalam
novel yang menemukan jalan keluar dari setiap konfliknya. Tahap
penyelesaian dalam novel ini diakhiri dengan kepergian Asri dan Asnah dari
kampung halamannya dan menjalani kehidupannya di Jakarta. Asri dan
Asnah dijauhi dan dikucilkan oleh orang sekampungnya yang banyak
berdagang di Jakarta. Namun Asri tetap berjuang, dan di Jakarta ia
mendapat pekerjaan baru sebagai amtenar di kantor pemerintah. Hal
tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini:
Sekalian buah mulut orang kampung itu sampai jua ke telingan kedua
suami istri itu, meskipun mereka sudah jauh dari negerinya, sudah ada di
kota Jakarta yang besar itu. Malah disana pun mula-mula lebih hebat lagi
penderitaannya. Mereka itu dijauhi dan disisih oleh orang
sekampungnya, yang banyak berniaga disana, seperti anjing berpenyakit
kurap.86
Oleh karena itu Asri tetap berjuang ... Surat berhenti dengan hormat dari
pekerjaan klerk, yang diterima Asri dari residen Sumatera Barat dan surat
pujian dari kemendur Maninjau memungkinkan perjuangan tidak terlalu
berat, akan mendapat jabatan baru. Benar, - Asri telah diangkat jadi
amtenar pada sebuah kantor pemerintah.87
Seiring berjalannya waktu, Asri dan Asnah mulai diterima dengan baik
oleh para tetangganya dan orang kampung yang dulu menjauhinya, itu
semua karena sopan santun mereka dalam bergaul. Seperti dalam kutipan
berikut:
Sementara itu segala orang kampunya yang menjauh-jauh dahulu,
akhirnya pun boleh dikatakan telah mendekati mereka itu dengan
akrabnya. Salah paham telah bertukar dengan kepercayaan dan
persahabatan. Lain tidak, karena sopan santun mereka itu dalam bergaul
dan beramahtamahan.88
Suatu hari datanglah surat yang mengabarkan kematian kepala negeri dan
sekaligus permohonan agar Asri dan Asnah kembali ke kampung
halamannya. Asri diminta kembali untuk menggantikan kepala negeri yang
86
Ibid., h.252
87
Ibid.
88
Ibid., h.253
63
4. Latar
Latar merupakan penggambaran tempat, waktu serta suasana yang ada
dalam cerita. Tempat, waktu dan suasananya tersebut saling berkaitan
menghidupkan peristiwa-peristiwa tersebut seolah benar-benar terjadi.
Penggambaran latar dalam novel Salah Pilih sebagai berikut:
a. Latar Tempat
Latar tempat merujuk pada sebuah lokasi peristiwa dalam karya fiksi,
misalnya di perkotaan, pedesaan dan sebagainya. Latar tempat dalam novel
ini terdiri dari pedesaan dan kota di Padang, Aceh, dan Jakarta.
1) Rumah Gedang
Dalam novel ini digambarkan bahwa Asri, Asnah, Ibu Mariati dan Ibu
Maliah tinggal di sebuah rumah bernama rumah gedang. Rumah gedang
sendiri digambarkan terletak di kampung Kubu dekat sungai Maninjau yang
terletak di daerah Sungai Batang. Seperti terlihat dalam kutipan di bawah
ini:
89
Ibid., h.254
90
Ibid.
91
Ibid., h.261
64
92
Ibid., h.210
93
Danau maninjau merupakan sumber air untuk sungai bernama Batang Sri Antokan, atau lebih
dikenal dengan nama Sungai Batang. Di salah satu bagian danau yang merupakan hulu dari Sungai
Batang terdapat PLTA Maninjau. Puncak tertinggi diperbukitan sekitar Danau Maninjau dikenal
dengan nama Puncak Lawang. Untuk bisa mencapai Danau Maninjau jika dari arah Bukittinggi
maka akan melewati jalan berkelok-kelok yang dikenal dengan Kelok 44 sepanjang kurang lebih
10 km mulai dari Ambun Pagi sampai ke Maninjau. Danau ini tercatat sebagai danau terluas
kesebelas di Indonesia. Sedangkan di Sumatera Barat, Maninjau merupakan danau terluas kedua
setelah Danau Singkarak yang memiliki luas 129,69 km2 yang berada di dua kabupaten yaitu
Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Solok.
65
2) Rumah Berukir
Rumah berukir adalah kediaman yang ditinggali oleh Saniah dan orang
tuanya, yaitu Rangkayo Saleah dan Datuk Indomo. Nur Sutan Iskandar tidak
menjelaskan secara detail mengenai tempat tinggal Saniah bersama
orangtuanya namun pembaca dapat menilai bahwa mereka masih tinggal di
Sumatera Barat tidak jauh dari rumah gedang. Seperti dalam kutipan
“Barang ke mana Asri pergi, kadang-kadang ia bersama-sama dengan
Asnah dan ibunya.”95 Perangai orang-orang yang tinggal di rumah berukir
amat berlainan dengan di rumah gedang. Orang-orang di rumah berukir
sangat memegang adat bangsawan, yaitu terlalu membangga-banggakan
pangkat dan kekayaannya.
94
Ibid, h.68
95
Ibid, h.36
67
adalah ikan yang sudah diasapi dan masih banyak lagi kuliner dan tempat-
tempat eksotis di bayur. Rumah Ibu Mariah menjadi tempat yang ditinggali
Asnah setelah pertengkarannya dengan Saniah, di tempat ini pula akhirnya
dilangsungkan pernikahan antara Asnah dengan Saniah.
96
Ibid, h. 204
97
Ibid, h. 252
68
Kedua suami istri yang berbahagia itu sudah setahun lebih tinggal di kota
yang besar lagi ramai itu. Senang, gembira, dan tetap berkasih-kasihan.
Bukan antara mereka berdua saja, - bahkan terutama pula dengan orang
setangga dan penduduk kampung tempat kediamannya. Daripada mereka
itu banyak Asnah belajar dan mendapat contoh teladan yang baik serta
bermanfaat tentang pergaulan hidup dalam masyarakat umum bangsa
Indonesia dan bangsa lain-lain di kota yang berisi segala macam suku
dan bangsa itu. Pemandangannya bertambah luas dan pikirannya
bertambah tajam. Barang di mana ada kesempatan ia pun tak khali
daripada menambah ilmu pengetahuannya, istimewa tentang masalah
pendidikan dengan banyak membaca dan bertekun. Seluk beluk
pergerakan wanita berdasarkan cita-cita R.A. Kartini sangat menarik
perhatiannya. Beberapa buah sekolah Kartini di kota yang besar-besar di
– Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya – sudah pernah
dikunjunginya dan diselidikinya mata pelajarannya bersama-sama
dengan suaminya. Penyelidikan itu semakin menginsafkan dan
meyakinkan hatinya, bahwa perbaikan akhlak, budi pekerti dan nasib
kaum ibu serta anak-anak terutama sekali adalah terletak pada usaha dan
perjuangan bangsa perempuan/wanita sendiri dalam dunia pendidikan.”98
b. Latar Waktu
Latar waktu dalam novel ini tidak disebutkan secara jelas oleh
pengarang. Namun terdapat beberapa peristiwa yang dapat dijadikan acuan
waktu dalam novel Salah Pilih karya Nur Sutan Iskandar, yaitu lewat tokoh
Hasan Basri yang mengatakan bahwa saudaranya tewas terkena peluru
„nyasar‟ akibat peristiwa tembak-menembak di Aceh antara serdadu dengan
pejuang kemerdekaan. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan di bawah ini:
Ia meninggal di Kutaraja dalam bulan yang baru lalu ini, sebab kena
peluru ... sesat. Engku tahu, bahwa perkara tembak-menembak di Aceh
antara serdadu dengan ... pejuang kemerdekaan – perusuh, kata Belanda
– masih jadi kebiasaan, bukan?”99
98
Ibid, h. 253
99
Ibid, h. 170
69
c. Latar Sosial
Penggambaran keadaan sosial dalam novel Salah Pilih karya Nur Sutan
Iskandar dapat dilihat dalam kutipan berikut:
... Tadi ketika Ibu tidur nyenyak, saya pergi ke Balai dan ketika saya
singgah sebentar ke rumah Kakak Upik Hitam, saya dapati anaknya
sudah lahir. Ya, anak itu laki-laki; molek, bagus dan gemuk. Akan tetapi
...”
... Akan tetapi anak itu semenjak pukul lima tadi masih terletak di lantai
juga, masih berlumur darah, sebab tembuni belum keluar lagi. Ibunya
pingsan, kadang-kadang menjerit-jerit kesakitan, bila tembuni itu
menyesak ke dadanya”
Mengapa tidak lekas dikerat tali pusat anak itu, supaya ia dapat
dimandikan dengan segera?”
Dilarang keras oleh bidan. Katanya, kalau tali pusat itu dipotong,
tembuni lari ke dalam kembali, tak dapat diharap akan keluar. Dengan
demikian niscaya berbahaya nyawa ibunya, Kakak Upik Hitam itu.”
Wahai,” keluh Ibu Mariati dengan belas kasihan. “kerap kali betul terjadi
seperti itu di negeri kita ini! Kalau ada dokter ... Dan sekarang bagaimana
halnya?”100
100
Ibid, h. 8-9
70
masih menjadi hal yang sangat mahal, dan hanya bisa didapatkan oleh kaum
bangsawan.
...ia selalu bermegahkan kebangsawanannya, dan istrinya tidak pernah
kurang daripada empat orang. Bercerai dengan seorang, digantinya
dengan perempuan yang lain pula, sehingga istrinya itu tetap empat juga
bilangannya.”101
101
Ibid, h. 14
102
Ibid, h. 98
71
5. Gaya Bahasa
Novel Salah Pilih menggunakan bahasa Melayu baik dalam penceritaan
ataupun dialog antartokoh. Hal ini wajar karena novel ini adalah novel
terbitan Balai Pustaka yang mewajibkan novel-novel terbitannya ditulis
menggunakan bahasa Melayu, terlebih latar dalam novel ini juga
menggunakan latar Sumatera, dan masyarakat Minangkabau yang memang
masih menggunakan bahasa Melayu. Ada beberapa kata yang sulit untuk
dipahami karena tidak diberikan pengertian oleh penulisnya. Sehingga
membuat pembaca harus meluangkan sedikit waktu untuk mencari arti kata-
kata sulit tersebut. Penggunaan majas dalam novel ini tidak terlalu banyak,
diantaranya ada majas personifikasi, hiperbola, dan ironi.
Personifikasi adalah majas yang menjadikan benda mati seolah-olah hidup.
Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini “Akan tetapi pikirannya
melayang-layang jua kemana-mana”104. Kata melayang-layang merupakan
103
Ibid, h. 248
104
Ibid, h.44
72
kata sifat yang biasa disandingkan dengan hewan. Pada kutipan tersebut
menjadi majas personifikasi karena kata melayang-layang disandingkan
dengan kata pikiran, sehingga seolah-olah hidup.
Hiperbola adalah majas yang menggunakan kata-kata yang dianggap
berlebihan. Kata-kata berlebihan tersebut dapat dilihat pada kutipan “Supaya
berhak atas sesuatunya, haruslah saya bekerja membanting tulang.”105 Kata
membanting tulang tersebut dianggap berlebihan yang berarti bekerja dengan
keras, bukan bekerja sampai membanting-banting tulang yang ada di
tubuhnya.
Selanjutnya, majas ironi adalah majas yang digunakan untuk menyindir
sesuatu yang sifatnya bertentangan dengan maksud mengolok-olok. Seperti
pada kalimat “He, yang mana kaupanggilkan Asnah Rus? Noni muda ini?”
kalimat tersebut ditujukan pada Asnah yang berpakaian seperti wanita muda
Belanda, padahal ia hanya anak seorang pembantu yang dulu bekerja di
rumah Gedang.
6. Amanat
Amanat atau pesan yang ingin disampaikan pengarang dalam novel Salah
Pilih adalah agar kita lebih bijak dalam memilih pasangan dan
memperlakukan orang lain. Sikap Saniah dan Rangkayo Saleah yang tamak,
sombong dan tidak menghargai orang lain, nyatanya hanya akan membawa
pada kehidupan yang tragis dan penyesalan tiada akhir. Sementara Asnah dan
Asri memperlihatkan bagaimana memilih pasangan, hendaknya lebih melihat
pada hati dan budi pekertinya, bukan karena status sosial, harta, fisik dan
sebagainya. Nur Sutan Iskandar ingin menyampaikan bahwa adat istiadat
yang berlaku di masyarakat tidak selamanya memiliki dampak yang baik bagi
kehidupan. Hendaknya setiap masyarakat juga mengkaji ulang tentang hukum
adat yang berlaku. Apakah baik atau tidak untuk kehidupannya.
105
Ibid, h.11
73
Perkenalan kami itu sangat suci, Ayah dan Bunda, dijaga dan
diperhatikan oleh ibu bapa dan saudaranya. Di dalam waktu itu
dapatlah rasanya kami mengetahui hati dan pikiran kami masing-
masing, lahir dan batin, sehingga jika kami - dan jika bersuka ruas
dengan buku serta dapat izin daripada Ayah dan Bunda – tinggal
serumah tangga kelak, niscaya kami akan dapat hidup dengan rukun
dan damai. Segala kepandaian dan sifat-sifat yang perlu bagi
perempuan, cukup belaka padanya...107
Permintaan izin dari Kaharuddin untuk menikah, langsung
mendapatkan kecaman keras dari Rangkayo Saleah, ibundanya.
Keteguhannya dalam memegang adat bangsawan, jelas tidak
memungkinkan Kaharuddin mendapat restu darinya, terlebih adat
Minangkabau mengharuskan “perempuan” yang menjemput laki-laki
bangsawan. Namun hal tersebut tidak membuat Kaharuddin
mengurungkan niatnya, sikap Kaharuddin yang sepenuhnya mendobrak
adat ini, jelas bertentangan dengan sikap ambivalen dalam diri Asri. Jika
Kaharuddin akhirnya tetap menikahi Asnawiah yang dipilihnya dengan
tidak mempedulikan adat, Asri justru melakukan hal yang bertentangan
dengan hatinya, yaitu tetap memilih istri sesuai dengan adatnya, salah
satunya tetap memilih istri dari kaum bangsawan, yaitu Saniah.
Tokoh Datuk Indomo sebenarnya juga tidak setuju dengan cara
memilih adat bangsawan yang ada pada kaumnya, menurutnya memilih
calon istri tidak ditentukan pada miskin, kaya, status bangsawan, berbeda
wilayah dan sebagainya. Ia mengizinkan anaknya menikah dengan
siapapun asalkan terpelajar, sehat, orang baik-baik dan memiliki sopan
santun. Akan tetapi, ketakutannya pada istrinya menjadikannya tokoh yang
ambivalen, karena nyatanya Datuk Indomo tidak kuasa menentang apapun
keputusan istrinya. Seperti terlihat pada kutipan di bawah ini:
Bermula Dt. Indomo berdiam diri saja! Ia tidak setuju dengan
pendapat istrinya itu, sebab pikirannya dan pemandangannya sendiri
amat luas dalam hal nikah kawin. Dengan siapa saja anaknya hendak
kawin, diizinkannya, asal perempuan yang disukainya sebanding
umurnya dengan umur anaknya itu; terpelajar, sehat, orang baik-baik
dan betertib sopan. Kaya, miskin, bangsawan, berlain negeri dan
107
Ibid, h.198
76
108
Ibid, h.200
109
Maksudnya adalah budak
110
Nur Sutan Iskandar. Op.Cit., h.85
77
yang hanya beristri satu. Asri lagi-lagi menolak adat tersebut dengan
sangat tegas. Ia sangat benci terhadap adat beristri banyak tersebut.
Baginya, ia hanya ingin memiliki satu orang istri saja selama hidupnya.
Seperti pada kutipan berikut:
Aku amat benci kepada adat berbini banyak itu! Apa gunanya aku
menuntut pelajaran selama ini, jika aku akan memakai adat yang
bengis itu juga? Aku akan menyakiti hati dan diri bangsa ibu, bangsa
adikku? Ah, maksudku kalau dapat, seumur hidupku hanya aku
hendak beristri seorang saja. Karena itu sebelum aku kawin, lebih
dahulu harus kutimbang baik-baik siapakah yang dapat mengikat
diriku dengan tali cinta dan budi bahasa kelak.”111
Jika dilihat lewat dialognya, hanya Asri yang menolak dengan tegas
dan tidak mengikuti adat beristri banyak tersebut. Namun, dari
keseluruhan cerita. Kelima tokoh yang penulis sebutkan di atas, tidak
melakukan adat beristri banyak tersebut.
111
Ibid, h.55
78
112
Tuan yaitu panggilan istri kepada suami atau adik kepada suami kakaknya
113
Nur Sutan Iskandar, Op.Cit. h.61
114
Ibid, h. 85
79
115
Ibid, h. 61
116
Ibid, h. 73
117
Ibid, h.170
80
118
Ibid, h.226
119
Ibid, h.186-187
81
122
Ibid, h.65-66
123
Meer Litgebreid Lager Onderwijs
83
sangat kasih sayang kepada Asnah dan karena sangat suka akan
perempuan itu, hampir dipeluk dan diciumnya pula adiknya itu.”124
Ya, maksud ibu, bahwa saya takut akan adatnya yang kaku dan keras itu?
Mudah-mudahan Allah akan memeliharakan saya, hal itu takkan menjadi
alangan kepada saya. Adat itu akan tinggal di rumah berukir itu. Di sana
perempuan “bangsawan” itu akan dapat merasai kehormatannya, seberapa
suka hatinya. Kalau Saniah sudah pindah ke rumah gedang ini, niscaya ia
akan bersukacita, sebab disini tak usah lagi ia memakai adat kepongahan
itu.125
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, cita-cita Asri, yaitu
melanjutkan sekolah ke Stovia, mendapatkan istri yang memiliki visi dan
misi yang sama dengannya untuk membangun kampungnya, mendirikan
124
Nur Sutan Iskandar. Op.Cit., h.27
125
Ibid, h.45
84
Akan tetapi, Asri, kini kubukakan isi hatiku kepadamu: Aku sungguh
kecewa akan tingkah laku istrimu. Sangkaku dahulu, keturunan dan
kekayaan, pelajaran dan kecantikan yang ada padanya, akan bermanfaat
bagi kita, akan dapat menyemarakkan namamu dalam masyarakat. Dan ia
pun akan dapat jadi kawan hidup yang berbakti kepadamu. Tapi
kebalikannya .... Malang engkau kuperistrikan!.”126
Dari kutipan di atas, Nur Sutan Iskandar ingin menyampaikan
pandangannya tentang adat istiadat di kampungnya yang menurutnya tidak
bisa lagi diaplikasikan pada zaman tersebut. Novel Salah Pilih benar-benar
memperlihatkan bagaimana Iskandar menolak adat istiadat di kampungnya,
salah satunya adalah tentang cara memilih calon istri lewat tokoh Asri dan
Kaharuddin dengan mengenalkan masyarakat pada sebuah ajaran baru dalam
memilih pasangan, yaitu agar lebih memperhatikan adab daripada adatnya.
Asri memilih Asnah pada akhirnya untuk menjadi istrinya, dikarenakan sifat
baik yang terdapat dalam diri Asnah. Sementara saat memilih Saniah Asri
dihadapkan pada sebuah kehancuran dalam hidupnya, karena Asri memilih
Saniah karena adatnya yang mengharuskannya untuk melihat pada
perempuan bangsawan.
dalam esai yang ditulis oleh Keith Foulcher, maut merupakan nasib yang tak
terhindarkan bagi tokoh-tokoh novel Balai Pustaka sebelum perang, karena
tidak ada hasil yang bisa diharapkan ketika batas-batas kenyataan dilangkahi
oleh mimpi-mimpi tentang perubahan.127 Pernyataan tersebut
direpresentasikan lewat tokoh ibu Mariati yang memimpikan anaknya akan
hidup bahagia apabila mengikuti keinginannya untuk menikah dengan tidak
melampaui adat. Ia ingin membuat perubahan dengan memberikan sikap
„bijaksana‟ lewat caranya yang mempersilakan Asri untuk memilih
pasangannya sendiri, namun nyatanya ibu Mariati tidak kuasa menentang
„Adat‟ seutuhnya, karena label keturunan bangsawan dan kelas sosial yang
tinggi. Kematian juga menghampiri tokoh Saniah saat ia sudah „dianggap‟
tidak mampu mengubah Asri untuk mengikutinya memegang teguh adat
bangsawan, karena pemikiran progresif Asri dan sikap ke barat-baratannya.
Kenyataan itulah yang tidak bisa Saniah langkahi dengan mimpi-mimpinya
tentang perubahan.
127
Keith Foulcher, Op.Cit., h. 123
86
Seperti terlihat pada kutipan “Mereka itu diajuhi dan disisih oleh orang
sekampungnya, yang banyak berniaga disana, seperti anjing berpenyakit
kurap”.128 Namun, Iskandar membuat akhir yang bahagia untuk Asri dan
Asnah, yakni dengan dipanggilnya kembali Asri ke kampung halamannya
untuk dijadikan pemimpin disana.
Akhir yang bahagia tidak hanya milik Asri dan Asnah, Kaharuddin dan
Sutan Sinaro pun digambarkan tidak memiliki masalah apapun setelah
menerapkan pola hidup „bebas‟ sesuai dengan ajaran Barat. Terlebih Sutan
Sinaro malah mendapatkan tambahan harta yang dihadiahkan Asri lewat
Rusiah, dan Kaharuddin menikah dengan perempuan yang dicintainya.
Sementara tokoh yang patuh terhadap adat, memiliki akhir yang tidak
bahagia, seperti yang terjadi pada Hasan Basri yang ditolak cintanya oleh
Asnah dan Datuk Indomo yang kehilangan anak, istri dan menantu
tercintanya Asri.
128
Ibid, h. 252
87
tujuan yang utamanya.129 Maka setiap karya yang diterbitkan oleh Balai
Pustaka, umumnya adalah karya-karya yang bertujuan menaikkan citra
Belanda dan meredam pergolakan bangsa Indonesia yang ingin bergerak ke
arah kemerdekaan lewat tulisan. Hal tersebut dapat dikatakan
direpresentasikan dengan jelas dalam novel ini lewat tokoh Asri dan Saniah.
Asri dan Saniah sama-sama bergelar bangsawan dan mendapat pendidikan
Barat. Asri yang direpresentasikan telah lulus dari MULO sementara Saniah
bersekolah HIS (Hollandsch-Inlandsche School), walaupun keduanya sama-
sama pernah belajar di sekolah Belanda, namun direpresentasikan oleh
pengarang dengan sangat berbeda. Asri secara terang-terangan mengakui
bahwa ia telah mendapat pelajaran Barat dan mengaplikasikannya, sementara
Saniah tetap teguh memegang adat kebangsawanannya, dan tidak pernah
berpakaian cara Belanda karena harus patuh pada ajaran bundanya, walaupun
sebenarnya ia sangat ingin berpakaian seperti itu, seperti terlihat pada kutipan
berikut:
awak anak budak belian, ... hendak berpakaian cara Belanda pula! Pongah,
gaduk, sombong! Sedangkan aku yang berijazah HIS130, tidak ... Cis!131
Perbedaan watak dan representasi antara Asri dan Saniah, bertujuan untuk
memberikan gambaran pada pembaca, bahwa untuk disenangi oleh orang lain
dan mendapatkan kehidupan yang bahagia, haruslah mengedepankan adab.
Jika Asri digambarkan memiliki kehidupan yang bahagia dengan Asnah,
bahkan diminta untuk memimpin kampung halaman yang sudah menjauhinya
setelah mampu mendobrak adat secara keseluruhan, maka berbeda dengan
Saniah yang malah menjemput maut sebagai akhir hidupnya karena
keteguhannya dalam memegang adat kebangsawanannya dan tidak adanya
adab yang baik dalam diri Saniah, walaupun ia telah mengenyam pendidikan
Belanda. Namun hal itu tidak mengubah keangkuhan Saniah dan
kebanggaannya terhadap label bangsawan yang dimilikinya. Sehingga Saniah
129
Yusoff, Op.Cit., h.4
130
Karena ancaman ibunya memang Saniah sejak keluar dari sekolah tak pernah memakai rok
lagi, walaupun ia masih ingin sekali ....
131
Iskandar, Op.Cit., h.84
88
digambarkan memiliki nasib yang tragis. Tokoh lainnya yang bisa penulis
jadikan pembanding adalah Asnah. Tokoh Asnah adalah tokoh yang tidak
mendapat pendidikan Barat, namun ia direpresentasikan sebagai tokoh yang
memiliki adab yang baik, peduli terhadap masyarakat di sekitarnya, dan
bahkan bercita-cita untuk mendirikan „rumah bersalin‟. Keinginannya
mendirikan „rumah bersalin‟ tersebut dipicu saat Asnah melihat proses
tetangganya yang sedang melahirkan dan melontarkan pendapatnya mengenai
„dukun beranak‟ yang dianggapnya justru malah membahayakan nyawa sang
ibu saat proses melahirkan, karena masih terlalu banyak percaya pada mitos
yang ada. Seperti terlihat pada kutipan di bawah ini:
Saya naik ke atas rumah itu, ketika orang sekalian sudah mulai hilang akal.
Bidan, - tak tentu yang akan dibuatnya lagi. Yang tak patut dirabanya,
sudah dirabanya; yang tidak patut diurutnya, sudah diurutnya, sehingga si
sakit itu jadi letih lesu...132
Sikap Asnah yang beradab tersebut memperkuat pandangan pengarang
bahwa status kebangsawanan bukanlah faktor yang menjadikan seseorang
disenangi ataupun ditiru oleh masyarakatnya. Namun Iskandar
memperlihatkan hal lain, yaitu adab. Asri dicintai masyarakatnya karena
pikiran progresifnya dan adab baiknya, begitupun dengan Asnah. Novel ini
memperlihatkan bagaimana Asri yang merupakan representasi Barat
dipandang baik oleh hampir seluruh masyarakat di kampungnya, bahkan di
akhir cerita diminta untuk memimpin kampungnya tersebut. Seperti saat
situasi pertunangannya dengan Saniah, seluruh sanak keluarga Saniah memuji
kepribadian Asri. Seperti terlihat pada kutipan di bawah ini:
Adat dan tertibnya dalam helat itu pun amat baik. Sekalian orang yang
dikunjunginya memuji dia belaka. Mereka itu berkata, amat beruntung
Saniah beroleh tunangan yang elok, betertib dan mulia itu. Tak membeda-
bedakan bangsa! Ia pandai berkata-kata dengan siapa jua pun; pandai
memilih kata-kata yang halus, yang sedap didengar telinga orang dalam
perjamuan “adat basa-basi” itu. Dan terkadang-kadang tak lupa ia
132
Ibid, h.9
89
He, yang mana kaupanggilkan Asnah, Rus? Noni mudah ini?” Rangkayo
Saleah memandang kepada Asnah, yang telah pucat warna mukanya
sekonyong-konyong. – “Sangkaku, ini noni anak tuan kementar Maninjau.
Ia serupa betul, lebih-lebih pakaiannya...135
Penjelasan di atas sesuai dengan pernyataan yang penulis kutip dari sebuah
artikel yang menyatakan bahwa jika dilihat berdasarkan periode
kepengarangannya, pada tahun 20-an, kebencian Iskandar terhadap
pemerintah Belanda atau sesuatu yang berbau Barat secara eksplisit belum
nampak. Hal ini bisa dimaklumi, karena Balai Pustaka adalah penerbit
pemerintah, yang punya tujuan politis, yaitu memengaruhi kaum terpelajar
Indonesia untuk mengikuti garis politik Belanda.136 Terlebih, novel Salah
Pilih sendiri pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1928
yang berarti Indonesia masih dalam masa penjajahan oleh Belanda. Hal inilah
yang kemudian direpresentasikan lewat tokoh Asri dan tokoh lain yang
mampu mendobrak adat dan menerapkan pola hidup Barat.
133
Ibid, h.99
134
Ibid, h.108
135
Ibid, h. 84
136
Anonim, Tragedi Nasionalisme Nur Sutan Iskandar, (Media Indonesia: Jakarta, 1991) h.4
90
Cara menyelesaikan sebuah masalah antara tokoh Asri dan Saniah juga
dibuat sangat bertentangan. Saat pertengkarannya dengan Saniah, Asri justru
menjalani kegiatan positif sebagai pelariannya, yaitu dengan menolong
petani dan para pedagang kecil dengan memperbaiki cara mereka
menjalankan usahanya, yaitu dengan mendirikan koperasi. Ia pun dipercaya
untuk memimpin koperasi tersebut. Setelah koperasi tersebut mendatangkan
hasil, banyak masyarakat yang meminta Asri untuk mendirikan “rumah
bersalin” supaya kaum ibu yang mengandung dan melahirkan mendapat
perawatan yang layak sesuai dengan ilmu pengetahuan. Hal tersebut dapat
dilihat pada kutipan di bawah ini:
137
Nur Sutan Iskandar, Op.Cit., h.204
138
Ibid, h.144
91
Tapi, ya, orang terpelajar berlain dengan orang kampung biasa, sekalipun
kadang-kadang adat istiadatnya sudah kebelanda-belandaan.”
Saya kira, Sutan Bendahara tidak bersifat demikian,”kata si Dewi.”Hanya
agak bebas...”
Kan baik bebas, terutama bagi kita kaum perempuan, yang diperlakukan
laki-laki selama ini sebagai ... bunga kembang saja?” kata Saodah dengan
senyumnya.
Tapi hasilnya?” tukas Mak Sarinah. “Perempuan, gadis-gadis didikan
sekarang ini sudah teranja-anja ... Diberi sejengkal hendak sehasta, dan
diberi sehasta hendak sedepa. Lihat contohnya, bagaimana pergaulan Asri
dengan Saniah, yang diberi kebebasan itu?”
92
Karena salah memakai kebebasan itu!” ujar Saodah pula. “Dan jelas bukan
kesalahan Sutan Bendahara, melainkan karena kecongkakan Saniah
semata-mata. Mentang-mentang kemenakan Tuanku Laras, ya, karena ia
pandai berkeleseh-peseh139 ia tidak mau tahu akan orang miskin sebagai
kita ini. Malah suaminya yang baik itu pun hendak dikutak-katikkannya
...140
139
Berbahasa Belanda
140
Nur Sutan Iskandar, Op.Cit., h.228
141
Keith Foulcher, Op.Cit., h. 121
93
Hal lainnya yang diperlihatkan sebagai “jejak kolonial” dalam novel ini
adalah penggambaran tentang nasib tokoh berdasarkan kelas sosialnya. Tokoh
bangsawan yang dihadirkan dalam novel ini yaitu Asri dan seluruh penghuni
rumah berukir digambarkan mendapat pendidikan dan dianggap sebagai
orang „terpelajar‟. Hal tersebut memperlihatkan bagaimana Belanda hanya
menerima kaum bangsawan untuk masuk dalam lingkungan pendidikan
Barat. Tokoh yang mendapat pendidikan Barat diantaranya adalah Asri,
Saniah, Kaharuddin dan Sutan Sinaro. Tokoh yang tidak disebutkan jenjang
pendidikannya adalah Kaharuddin, ia hanya disebutkan sebagai kaum
terpelajar. Jika Asri, Sutan Sinaro dan Kaharuddin mendapatkan akhir yang
bahagia, maka hal tersebut berbeda dengan Saniah. Asri, Sutan Sinaro dan
Kaharuddin dalam mengaplikasikan berbagai pelajaran yang mereka peroleh
dari sekolah Belanda dan membuang adat istiadat yang selama ini mengekang
mereka. Sementara Saniah kukuh dengan adat kebangsawanannya, sehingga
ia „diberikan‟ sebuah nasib yang tragis dan terkubur bersama
kesombongannya.
142
S.H. Alatas, Mitos Pribumi Pemalas. (LP3ES: Jakarta, 1988) h. 2-3
143
Nur Sutan Iskandar, Op.Cit., h.204
95
Sifat primitif yang pada masyarakat terjajah juga menjadi salah satu hal
yang digambarkan dalam novel ini. Hal ini dibuktikan melalui kutipan
berikut.
Akan tetapi anak itu semenjak pukul lima tadi masih terletak di lantai juga,
masih berlumur darah, sebab tembuni belum keluar lagi. Ibunya pimgsan,
kadang-kadang menjerit-jerit kesakitan, bila tembuni itu menyesak ke
dadanya.”
Mengapa tidak lekas dikerat tali pusat anak itu, supaya ia dapat
dimandikan dengan segera?”
Dilarang keras oleh bidan. Katanya, kalau tali pusat itu dipotong, tembuni
lari ke dalam kembali, tak dapat diharap akan keluar. Dengan demikian
nscaya berbahaya nyawa ibunya”144
Kepercayaan pada mitos yang ada pada kutipan tersebut memperlihatkan
sifat primitif yang ada pada masyarakat terjajah, sehingga membenarkan
stereotipe-stereotipe yang dibentuk oleh penjajah. Hal inilah yang memicu
lahirnya tokoh Asri yang dinyatakan lolos sensor oleh Balai Pustaka karena
berdasarkan sifat-sifat yang sudah penulis paparkan. Asri dianggap mampu
mengubah masyarakatnya menjadi masyarakat yang lebih baik dan berpikiran
modern, serta membawa perspektif pembaca terpelajar pada zamannya untuk
mempercayai penjajah – yang diwakili lewat tokoh Asri – akan
menghilangkan sifat primitif, pemalas dan terbelakang tersebut, serta
mengubah kehidupan masyarakat tersebut ke arah yang lebih baik.
Akhir cerita dalam novel ini memperlihatkan Asri yang diminta untuk
pulang dan memimpin kampung halamannya. Hal ini merepresentasikan
sikap pengarang yang tidak sepenuhnya mendukung Belanda. Kepulangan
Asri ke kampung halamannya memperlihatkan bagaimana sesungguhnya jati
diri Asri yang menyatakan sikap, bahwa bagaimanapun keadaannya, harga
diri bangsanya adalah harga mati. Bahwa bagaimanapun sikap Belanda
melekat dalam dirinya, ia akan tetap kembali pada tanah airnya, bukan
mengabdi lewat pekerjaan di lembaga pemerintahan Belanda, namun Asri
memilih untuk kembali pada kampung halamannya.
144
Ibid, h. 9
96
Kembali mengutip pernyataan Bhabha dalam esai yang ditulis oleh Keith
Foulcher bahwa pilihannya bukanlah „berubah menjadi orang putih atau
menghilang‟.145 Menjadi orang putih (Barat) bukanlah pilihan yang diambil
oleh Iskandar, karena pada kenyataannya, Iskandar pun mengidamkan
kemerdekaan untuk bangsanya. Menghilang berarti memperlihatkan
keputusasaan pengarang, dan bukan hal tersebut yang menjadi tujuan
Iskandar. Ia hanya bisa memperlihatkan sikap ambivalen yang ada pada
dirinya untuk mencapai tujuan utamanya, yaitu menggapai kemerdekaan
untuk bangsanya dan kembali pada tanah airnya untuk memajukan kehidupan
masyarakatnya, dan hal itulah yang ia representasikan dalam diri Asri yang
tidak memilih untuk berubah sepenuhnya menjadi orang putih ataupun
menghilang dari bangsanya karena sikapnya yang ke barat-baratan. Ia hanya
mencoba konsisten pada ambivalensinya demi mencapai tujuan dalam
hidupnya yaitu memajukan kehidupan masyarakatnya.
145
Keith Foulcher, Op.Cit., h. 128
97
Iskandar. Salah satu hal yang menjadi kendala dalam pembelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia adalah kurangnya minat baca siswa terhadap karya-karya lama,
terlebih yang masih menggunakan bahasa melayu. Siswa lebih tertarik membaca
novel-novel populer yang banyak membicarakan permasalahan remaja dengan
bahasa yang lebih ringan.
Jika dikaitkan dengan tujuan pembelajaran sastra di atas, dapat terlihat bahwa
peserta didik harus mampu membaca dan memanfaatkan karya sastra serta
mengambil nilai-nilai yang berdampak positif dengan tujuan mengembangkan
kepribadian dan memperluas wawasan yang dimilikinya. Hal ini sejalan dengan
program pemerintah tentang pembentukan karakter siswa melalui literasi,
khususnya pengembangan pada karakter yang berkaitan dengan sikap, sosial,
dan spiritual. Dengan demikian peran seorang pendidik sangat diperlukan untuk
mencapai tujuan tersebut. Pendidik diharapkan mampu mendidik, membimbing,
memberikan contoh dan mendukung peserta didik agar memiliki kepribadian
dalam beretika dan beragama.
146
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Penerbit KANISIUS, cet. Ke-8 2000),
h. 16
98
pembelajaran sastra di sekolah ada dalam mata pelajaran bahasa. Untuk materi
novel sesuai dengan silabus Kurikulum 2013, diajarkan di kelas XII sementer I
yaitu mengenai menganalisis teks novel baik secara lisan maupun tulisan. Dalam
kurikulum 2013 bukan sekadar pendidikan yang mengacu pada pengetahuan
siswa saja, melainkan pada sikap atau karakter siswa juga.
Novel Salah Pilih cocok diajarkan ditingkat SMA karena mengangkat tema
mengenai permasalahan yang ada pada sebuah masyarakat – khususnya pada
masyarakat Minang – yang masih sangat terkekang oleh adat. Novel ini banyak
mengajarkan tentang nilai budaya yang masih banyak tidak diketahui oleh
peserta didik. Pesatnya arus globalisasi membuat peserta didik terkadang lupa
oleh adat istiadat dan nilai budaya yang ada di Indonesia. Maka pemilihan novel
ini dapat membantu peserta didik untuk mengenal lebih jauh tentang budaya
yang ada di Indonesia khususnya pada masyarakat Minangkabau. Novel ini juga
banyak memberikan gambaran tentang laki-laki yang mempunyai cita-cita tinggi
dan contoh laki-laki yang dapat berguna bagi masyarakat. Hal ini sangat baik
untuk dijadikan contoh bagaimana seharusnya menjadi manusia yang dapat
bermanfaat untuk masyarakatnya. Hal ini berkaitan dengan pengembangan sikap
yang harus dimiliki oleh peserta didik.
Jika dilihat dari segi sosial, novel ini memberikan banyak contoh tentang
bagaimana menghargai sesama manusia, misalnya untuk membantu sesama,
tidak memandang orang lain berdasarkan hartanya dan saling menghormati
dalam berbagai perbedaan. Hal ini tentu berkaitan jika dilihat dari segi
spiritualnya, karena dalam agama apapun diajarkan untuk saling menghormati
dan berperilaku baik kepada sesama, serta tidak bersikap sombong walaupun
kita tergolong sebagai orang yang berada.
Pada pembelajaran ini, standar kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta
didik adalah dapat mengidentifikasi unsur intrinsik novel seperti tema, alur,
tokoh dan penokohan, sudut pandang, latar dan gaya bahasa, juga unsur
ekstrinsik yang terdapat pada karya tersebut. Dalam novel Salah Pilih, pendidik
dapat memberikan rujukan kepada peserta didik untuk membacanya, kemudian
99
Pada novel Salah Pilih juga banyak nilai positif ataupun negatif yang dapat
ditelaah lebih jauh. Nilai-nilai positif yang terdapat pada tokoh utama Asri
digambarkan dengan karakter anak yang patuh pada ibunya, sopan dan memiliki
cita-cita tinggi dan memiliki etika. Nilai positif juga dapat dilihat melalui tokoh
lain yaitu dari Ibu, Asnah, dll. Sosok Ibu digambarkan sebagai seorang yang
bertanggung jawab, mencintai anak-anaknya, penyayang dan juga penyabar.
Selain itu melalui Asnah juga terdapat nilai positif yaitu ia memiliki karakter
yang selalu bersikap baik pada siapapun dan menjunjung tinggi nilai kesopanan.
Dengan mengetahui sikap-sikap tokoh dalam novel diharapkan peserta didik
dapat mengembangkan karakternya, dapat menyerap dan mengaplikasikan nilai-
nilai positif dalam kehidupan sehari-hari. Jika pembelajaran sastra di sekolah
diterapkan secara baik dan serius maka bukan mustahil pembelajaran sastra
menjadi jembatan utama untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas
suatu bangsa.
permasalahan yang digambarkan pada novel Salah Pilih akan membantu siswa
dalam memahami, menerapkan, menganalisis dan mengevaluasi pengetahuan
faktual, konseptual, prosedual, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya.
Dengan demikian, Representasi Laki-Laki dalam novel Salah Pilih dapat
diimplikasikan terhadap pembelajaran siswa di sekolah.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Novel Salah Pilih adalah karya Nur Sutan Iskandar. Penelitian ini lebih
memfokuskan pada representasi laki-laki. Berdasarkan hasil analisis dan
pembahasan yang telah dilakukan dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1. Dari analisis yang telah dilakukan maka kita dapat mengetahui bagaimana
representasi laki-laki dalam novel Salah Pilih karya Nur Sutan Iskandar.
Terdapat lima tokoh yang dijadikan fokus penelitian dalam novel ini, dan
kelima tokoh tersebut seluruhnya laki-laki. Dari kelima tokoh tersebut,
dibagi lagi ke dalam dua kategori, yaitu tokoh yang mendobrak adat dan
tokoh yang patuh terhadap adat. Bentuk pendobrakan dan kepatuhan yang
ditemukan dalam novel ini, yaitu : 1) cara memilih pasangan untuk
pernikahan, 2) anjuran memiliki istri lebih dari satu, 3) cara mendidik
anak, 4) pembagian harta warisan. Berdasarkan bentuk-bentuk
pendobrakan dan kepatuhan terhadap adat tersebut, dapat disimpulkan
bahwa tokoh Asri, Kaharuddin, dan Sutan Sinaro adalah tokoh yang
mendobrak adat, sementara Datuk Indomo dan Hasan Basri adalah tokoh
yang patuh terhadap adat. Tokoh yang mendobrak adat digambarkan
memiliki akhir yang bahagia, sementara tokoh yang patuh terhadap adat
digambarkan memiliki akhir yang tidak bahagia. Hal ini memperlihatkan
sikap pengarang yang samar-samar sehingga menjadikan tokoh yang
mendobrak adat sebagai tokoh yang memiliki keinginan untuk memajukan
bangsanya dengan meninggalkan adat istiadat yang tidak baik dan
mengambil pelajaran yang baik walaupun hal baik tersebut berasal dari
Barat (penjajah), dan memberikan gambaran nasib yang baik sebagai
dampak dari manusia yang beradab.
2. Pembahasan mengenai representasi laki-laki dalam novel Salah Pilih
karya Nur Sutan Iskandar dapat diimplikasikan pada pembelajaran sastra
di SMA kelas XII semester I dalam aspek pembelajaran mendengarkan.
101
102
Standar kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta didik yaitu dapat
memahami isi novel dengan kriteria dasar mampu menjelaskan unsur-
unsur intrinsik novel dari pembacaan pemenggalan novel. Novel Salah
Pilih dapat dijadikan bahan pembelajaran sastra di kelas tetapi tetap dalam
bimbingan guru. Peserta didik dapat mengambil nilai-nilai kemanusiaan
dengan memahami tema, tokoh dan penokohan yang terdapat dalam novel,
memahami setidap tindakan orang lain sebelum menghakiminya. Hal
tersebut akan menumbuhkan kepekaan terhadap lingkungan di sekitarnya
sehingga akan membentuk sikap toleran, menghargai, serta tolong-
menolong antarsesama.
B. Saran
Berdasarkan simpulan yang telah diuraikan ada beberapa saran yang diajukan
oleh penulis:
1. Sebaiknya dalam menganalisis teks novel harus secara detail dan
mendalam, karena analisis unsur intrisik merupakan dasar pijakan dalam
kegiatan apresiasi karya sastra.
2. Pendidik harus mampu mengembangkan kreativitasnya dalam kegiatan
belajar mengajar agar peserta didik dapat antusisas mengikuti KBM dan
memahami materi sastra.
3. Pendidik seharusnya mengajarkan kepada peserta didik agar selalu
mengaplikasikan nilai-nilai positif yang terkandung dalam karya sastra
sehingga dapat membantu pembentukan karakter peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
(RPP)
Sekolah : SMA
Materi Pokok :
A. Kompetensi Inti
KI 1 : Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya dengan
mematuhi norma-norma bahasa Indonesia serta mensyukuri dan
mengapresiasi keberadaan bahasa dan sastra Indonesia sebagai
anugerah Tuhan Yang Maha Esa.
C. Indikator
1. Menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah dan konteks untuk
mempersatukan bangsa.
2. Memiliki sikap tanggung jawab, peduli, responsif, dan santun dalam
menggunakan bahasa Indonesia untuk menganalisis teks novel, baik
melalui lisan maupun tulisan dengan kreatif.
3. Menganalisis struktur dan kaidah teks novel baik secara lisan maupun
tulisan.
4. Menyusun hasil analisis struktur novel baik secara lisan maupun tulisan
dengan tepat.
D. Tujuan Pembelajaran
Setelah proses menggali informasi melalui berbagai fakta, menanya konsep,
berdiskusi atas fakta dan konsep, menginterprestasi mengasosiasi dan
mengomunikasikan, siswa dapat :
1
1. Mengetahui dan memahami definisi dan karakteristik sastra, jenis-jenis
dan struktur sastra, serta memahami sastra sebagai karya seni dan
bidang ilmu yang dekat dengan kita.
2. Mengembangkan sikap apresiatif dalam menghayati karya sastra.
3. Memiliki sikap tanggung jawab, peduli, responsif, dan santun dalam
menggunakan bahasa Indonesia untuk menganalisis teks novel, baik
melalui lisan maupun tulisan dengan kreatif.
4. Menganalisis struktur dan kaidah teks novel baik secara lisan maupun
tulisan.
5. Menyusun hasil analisis struktur novel baik secara lisan maupun
tulisan dengan tepat.
E. Materi Pembelajaran
1. Penjelasan mengenai struktur novel (unsur intrinsik)
a. Tema
b. Tokoh dan Penokohan
c. Alur
d. Latar (tempat, waktu, dan sosial)
e. Sudut pandang
f. Gaya bahasa
2. Menganalisis teks novel
a. Membaca teks novel
b. Menjelaskan tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang,
dan gaya bahasa dengan menyertakan kutipannya
c. Menulis hasil teks novel
d. Menyampaikan hasil analisis teks novel secara lisan
H. Kegiatan Pembelajaran
Mencoba
Mencari dari berbagai sumber informasi
tentang struktur dan kaidah teks novel.
Mengasosiasi
Siswa berdiskusi kelompok untuk
mengidentifikasi dan menjelaskan unsur-
unsur intrinsik novel yang telah
didengarkannya atau dibaca.
4
Menyimpulkan hal-hal terpenting dalam
struktur dan kaidah teks novel.
Mengomunikasikan
Menuliskan laporan kerja kelompok
tentang struktur dan kaidah teks novel.
Perwakilan masing-masing kelompok
(bisa dipilih dan ditunjuk guru)
menyampaikan/menayangkan hasil
kesimpulannya.
Penutup 15 menit
I. Penilaian
1. Jenis/teknik penilaian
a. Kompetensi Sikap:
Observasi
Penilaian diri
b. Kompetensi Proses dan Hasil Belajar:
5
Tes tertulis
Tes lisan
c. Kompetensi Keterampilan:
Tes praktik,
Portofolio.
2. Bentuk instrumen dan instrumen
3. Pedoman penskoran
................................... ...................................
NIP/NIK. NIP/NIK.
6
Rubrik Instrumen
a. Penilaian Sikap
Sikap
Tanggung jawab
Tenggang rasa
Menepati janji
Hormat pada
Kedisiplinan
Keterbukaan
Kepedulian
Kerjasama
Kejujuran
Kerajinan
orang tua
No.
Nama
1
2
3
4
5
6
7
8
Keterangan:
7
Lembar Observasi
2. 2 Zulaekah
3.
4.
5.
6.
5. Sangat baik
4. Baik
3. Cukup
2. Kurang Baik
1. Kurang
8
b. Penilaian Proses dan Hasil Belajar
9
4. Menyusun hasil Latihan 1. Lembaran tugas latihan
analisis struktur menyusun 2. Rubrik penilaian latihan
novel baik secara hasil analisis
lisan maupun novel
tulisan dengan
tepat.
10
2 Tepat dan tidak disertai kutipan 4
11
6. Jelaskan bagaimana gaya bahasa dalam teks novel dengan menyertakan
kutipannya!
No Nama Kelompok Aspek Skor
Perhitungan akhir:
Nilai Akhir : Perolehan Skor
X Skor Ideal (100) =
Skor Maksimum
12
Lembar Kinerja Presentasi
Kinerja Presentasi
Juml
Nama Presentasi Isi Laporan Nilai
No ah
Siswa kelanc Kebaha Keleng keses kelogis sistema
Skor
aran saan kapan uaian an tis
1. 1
2. 2
3.
4.
5.
13
Lembar Penilaian Portofolio
Aspek Penilaian
Skor
Kelengkapan
Kerapihann
Penyajian
Tampilan
1. 3 4 4 3
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14
BIODATA PENULIS
Afny Irfani, lahir di Jakarta pada 28 Desember 1994. Anak kedua dari tiga
bersaudara ini lahir dari pasangan (alm.) H.Muzakkir, S.Pd.I dan Araini.
Sejak kecil memiliki hobi menulis dan membaca. Kesehariannya diisi
dengan menulis buku diary dan membaca berbagai novel yang ia koleksi.
Cita-citanya menjadi seorang guru sekaligus pendiri sekolah Islam
menuntunnya untuk dapat masuk ke jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi
langkah awalnya untuk mewujudkan cita-citanya.
Keluarga, sahabat, dan teman terdekatnya menjadi motivasinya untuk mewujudkan cita-
cita menjadi seorang guru, sekaligus pendiri sekolah Islam dan anak yang dapat membanggakan
bagi kedua orang tuanya. Jalur pendidikan ditempuh dari TK Islam Salafiyah kenudian
melanjutkan di MI Al-Wathoniyah 12, beranjak renaja penulis melanjutkan pendidikan tingkat
menengah di MTs. Tsaqofah Addarain, selanjutnya menghabiskan masa putih abu-abunya di MA
Al-Wathoniyah 05.
Penulis juga berkecimpung dalam berbagai organisasi diantaranya, Ketua OSIS MTs.
Tsaqofah Addarain pada tahun 2008, Bendahara OSIS MA Al-Wathoniyah 05 di tahun 2010,
Relawan Dompet Sosial Al-kautsar (DSAK) pada tahun 2009-sekarang dan Anggota Himpunan
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia bidang kemahasiwaan pada 2013.