Anda di halaman 1dari 114

ANALISIS TOKOH LINTANG DALAM NOVEL PULANG

KARYA LEILA S. CHUDORI DAN IMPLIKASINYA


TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh
Holida Hoirunisa
NIM. 1110013000100

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2015
ABSTRAK

Holida Hoirunisa. NIM : 1110013000100. “Analisis Tokoh Lintang dalam


Novel Pulang karya Leila S. Chudori dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran
Sastra di SMA”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dosen Pembimbing : Novi Diah Haryanti, M. Hum

Penelitian ini meneliti tokoh Lintang yang digambarkan sebagai sosok


Indo dalam novel Pulang karya Leila S.Chudori. Lintang lahir dari percampuran
dua kebudayaan Indonesia dan Prancis sebabnya dia disebut sebagai sosok Indo,
sosok yang memiliki kebudayaan terbelah. Lintang merupakan sosok yang
merasakan kegelisahan-kegelisahan mendalam mengenai ras dan identitas.
Tujuan penelitian ini untuk menganalisis tokoh Lintang dalam novel Pulang
Leilla S. Chudori dan implikasinya pada pembelajaran Sastra Indonesia.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan
metode analisis isi. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan pembacaan dan
penyimakan novel Pulang karya Leila S. Chudori secara cermat, terarah, dan
teliti. Penulis menggunakan teknik pelukisan tokoh secara tidak langsung dalam
teknik analisis data yang diuraikan menjadi delapan teknik, yaitu: teknik
cakapan, tingkahlaku, pikiran dan perasaan, arus kesadaran, reaksi tokoh, reaksi
tokoh lain, pelukisan latar dan teknik pelukisan fisik. Melalui teknik ini
ditemukan sifat Lintang mengalami krisis identitas, pintar, berani, peduli
terhadap politik, idealis dan tidak putus asa, yakni keinginan selalu menjadi yang
paling superior, sebagai perempuan Barat pada umumnya. Berdasarkan hasil
penelitian dapat disimpulkan bahwa beberapa sifat Lintang ini dapat
diimplikasikan terhadap pembelajaran Sastra di SMA. Dalam pembelajaran ini,
kompetensi yang harus dicapai peserta didik ialah menganalisis teks novel baik
secara lisan maupun tulisan, dengan menjelaskan unsur-unsur intrinsik dalam
novel serta menemukan karakter tokoh yang positif maupun negatif yang
terkandung dalam novel.

Kata kunci : tokoh dan penokohan, novel Pulang, Leila S. Chudori.

i
ABSTACK

Holida Hoirunisa. NIM : 1110013000100. “ The Analysis of Lintang Character


in Pulang Novel written by Leila S. Chudori and Its Implication towards The
Studying of Literature in Senior High School. Department of Indonesian
Language and Literature Education, Faculty of Tarbiyah and Teachers’ Training
“Syarif Hidayatullah” State Islamic University Jakarta.
Advisor: Novi Diah Haryanti, M.Hum.

This research examines of Lintang figures who is described as the figure of


indo in a Pulang novels by Leila S. Chudori. She was born of two culture between
france and indonesia it causes he called indo figure, the figure who have divided
culture. Lintang is the person who felt a deep anxiety about racially and identity.
The purpose this research is to analyzed of Lintang figure from Pulang Novels by
Leilla S. Chudori and implications in Senior high School literary learning. This
study used qualitative description methode with the subtance analyze methode.
The taking of engineering data from Pulang Novel by Leila S. Chudori was
undertaken by the reading and listening process with Carefully, directedly and
conscientiously. The author using an delineation figures technique undirectedly
in the Data analysis techniques which is describe to be eight technique, ther are:
the conversation technique, behaviour, thoughts and feelings, stream of
consciousness, figures reaction, another figures reaction, a delineation the
background and delineation physical technique. Through this technique found that
lintang figures suffered crisis of identity, smart, brave, and care about politicians,
have a big idealism and not surrender with her desirement about to be the
superrior person as western woman generally. Based on the results of this research
we can get the conclusion that some of lintang characters could we implicated to
literary in high school learning program. In this learning, the Competence which
must be achieved school tuition is to analyze the novel text either verbally or in
writing, By explaining intrinsic elements in a novel and Discovering the character
a figure which positive or negative contained in a novel

Key Words : The figure and Characterizing, novel Pulang, Leila S. Chudori

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya bagi Allah swt yang telah memberikan rahmat, karunia,
syafaat, dan kasih sayang-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Analisis Tokoh Lintang dalam novel Pulang karya Leila S.
Chudori dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
di SMA”. Selawat teriring salam tidak lupa penulis sampaikan kepada junjungan
Nabi Muhammad saw yang telah membawa kita ke zaman yang lebih baik.
Skripsi ini penulis susun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Dalam penulisan skripsi ini, penulis
dihinggapi kebimbangan, kurang percaya diri dalam menganalisis novel ini.
namun, berkat dukungan dan doa dari berbagai pihak akhirnya skripsi ini dapat
terselesaikan. Oleh karena itu, penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dra. Hindun, M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia
3. Dona Aji Karunia, M.A., Sekertaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Makyun Subuki, M.Hum., Penasihat Akademik yang selalu memberikan
bimbingan serta kemudahan kepada penulis.
5. Novi Diah Haryanti, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing skripsi yang
dengan tulus ikhlas, sabar, meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk
memberikan bimbingan serta pengarahan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
6. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Terima kasih penulis
ucapkan karena telah membekali penulis dengan berbagai ilmu yang
bermanfaat.

iii
7. Bapak tercinta, Muhammad Holis, dan Mamah tersayang, Rosyanti, yang
selalu memberikan dukungan dan doa terbaiknya. Adik-adik yang baik:
Dwi Kurnia Khoiria dan Rosy Kurniawan.
8. Fahmi Abdul Hakim yang selalu memberi semangat serta membantu
penulis mencari bahan dan juga referensi dalam penulisan skripsi.
9. Guru-guru TK Dimurti yang selalu memberikan kemudahan dan
semangat selama penulis menyelesaikan skripsi ini.
10. Desi dan Ratna yang selalu meluangkan waktu membantu penulis
menyelesaikan skripsi ini.
11. Teman-teman uyee; Upin, Ipin, Ival, Sigit, Tebe, Mbe, Bang Jek, Dede,
Aki dan teman-teman Majelis Kantiniah yang telah memberikan
semangat, serta warna dalam hidup penulis.
12. Teman-teman PBSI angkatan 2010 khususnya kelas C yang memberikan
semangat suka duka, canda tawa, dan kenangan indah selama ini.
13. Guru-guru SMP PGRI 336 Pondok Betung.

Urutan nama di atas bukanlah merupakan peringkat prioritas. Penulis


menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, karena itu penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dalam penelitian ini. Semoga
penelitian ini bermanfaat untuk penulis dan untuk yang memerlukannya.

Jakarta, 09 April 2015

Penulis

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN SIDANG MUNAQOSAH

ABSTRAK ………………………………………………....................... i

ABSTRACT ……………………………………………….................... ii

KATA PENGANTAR …………………………………………… ….... iii

DAFTAR ISI …………………………………………………………... v

BAB I PENDAHULUAN …...………………………............................. 1

A. Latar Belakang Masalah ......……..………………………….. 1


B. Identifikasi Masalah ………………………………………... 5
C. Batasan Masalah …………………..………………………... 6
D. Rumusan Masalah ………..……………………………….... 6
E. Tujuan Penelitian ………..………………………………..... 6
F. Manfaat Penelitian ………..………………………………... 7
G. Metodologi Penelitian ………..…………………………..... 7

BAB II KAJIAN TEORI …...……………………….............................

A. Hakikat Novel …...………………………............................. 10


1. Pengertian Novel …...………………………................... 10
2. Jenis-jenis Novel …...………………………................... 11
3. Unsur-unsur Novel …...………………………................ 14
a. Tema…...……………………...................................... 14
b. Latar …...……………………...................................... 15
c. Tokoh dan Penokohan…...……………………............ 16

v
vi

d. Alur.………………………......................................... 18
e. Sudut Pandang …...……………………...................... 20
f. Gaya Bahasa ….……………………….......................... 22
g. Amanat …..………………………................................. 23
B. Teknik Pelukisan Tokoh …...………………………............. 24
C. Hakikat Pembelajaran Sastra …...………………………....... 27
D. Penelitian Relevan …...………………………....................... 30

BAB III BIOGRAFI PENGARANG, SINOPSIS, DAN PEMIKIRAN

A. Biografi Pengarang ………….....……………………….. 32


B. Sinopsis Novel …...………………………....................... 34
C. Pemikiran Leila S. Chudori............................................... 36

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN …..................

A. Unsur Intrinsik Novel Pulang …...……………………...


1. Tema …...………………………............................... 39
2. Tokoh dan Penokohan ..………………………......... 41
3. Alur ........…...……..............…………………........... 53
4. Latar ..........................…...……………………….... 57
5. Sudut Pandang …...………………………............... 64
6. Gaya Bahasa …...………………………................... 64
B. Analisis Tokoh Lintang dalam Novel
Pulang Karya Leila S. Chudori …................................... 67
C. Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran
Sastra di SMA ….......…...………………………........... 85

BAB V PENUTUP …...………………………....................................

A. Simpulan ………………………………………............... 88
B. Saran …...…………………….........…............................. 88
vii

DAFTAR PUSTAKA …...……………………….................................. 90


LAMPIRAN
PROFIL PENULIS
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sastra adalah sebuah tulisan yang dapat diapresiasi dan bernilai
seni. Sastra juga dapat memberikan hiburan serta memberikan manfaat
bagi pembacanya. Sebuah karya sastra yang dapat disampaikan dengan
bahasa yang unik dan indah mempunyai bentuk yang bervariasi, seperti
prosa, puisi, dan drama. Prosa rekaan (fiksi) memiliki beragam bentuk,
seperti cerpen dan novel. Cerpen dan novel dibangun oleh dua unsur, yaitu
unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik yang merupakan unsur
pembangun cerita dari dalam meliputi plot (alur), tokoh dan penokohan,
tema, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat. Unsur ekstrinsik
membangun karya sastra dari segi biografi pengarang, sosial, budaya,
agama, politik, dan ekonomi.
Pada penelitian ini, penulis akan menganalisis novel. Novel
merupakan cerita yang di dalamnya memiliki alur yang kompleks serta
suasana dan latar cerita yang beragam. Unsur yang terdapat dalam novel
salah satunya adalah tokoh dan penokohan. Melalui pemahaman tokoh-
tokoh yang ada dalam sebuah novel, pembaca dapat memahami nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya, seperti nilai agama, sosial, budaya, dan
pendidikan. Nilai-nilai seperti inilah yang terkandung dalam unsur
ekstrinsik.
Berbicara mengenai pendidikan, nilai-nilai yang terkandung dalam
novel, seperti nilai sosial, budaya, agama dan pendidikan merupakan
media penting untuk kehidupan manusia yang lebih maju dan berperan
dalam pembentukan karakter dan mental anak bangsa. Sebagai guru yang
berkualitas, pendidikan yang diberikan kepada siswa tidak hanya
bertumpu pada teori pembelajaran saja, tetapi juga harus mengajarkan
bagaimana sikap dan perilaku yang baik. Pengajaran tersebut dapat
ditempuh salah satunya dengan cara memahami sebuah teks sastra. Untuk

1
2

dapat memahami sebuah karya sastra, perlu dilakukan analisis struktur


teks. Salah satu contoh yang dapat dilakukan di kelas adalah analisis tokoh
dan penokohan. Dengan menganalisis tokoh, akan terlihat sikap, sifat,
tingkah laku, dan watak-watak tertentu. Melalui cara ini akan terlihat
bagaimana sifat dan sikap tokoh yang mengandung aspek kejiwaan, seperti
konflik, kelainan perilaku, dan kondisi psikologis akibat kejadian yang
dialami tokoh.
Pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila
cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu membantu keterampilan
berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan
rasa, serta menunjang pembentukan watak.1 Kegiatan pembelajaran sastra
dengan cara itu tentunya akan memberikan pengalaman, pengetahuan,
serta kesan yang lebih mendalam kepada peserta didik. Lebih dari itu,
dalam menganalisis tokoh tentunya dapat diambil sisi positif yang berguna
untuk diajarkan kepada siswa dan dapat dicontohkan dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan begitu, karya sastra dapat bermanfaat untuk
menunjang pembentukan watak peserta didik.
Berkaitan dengan pengajaran sastra, novel terbagi menjadi
beberapa jenis, salah satunya novel sejarah. Novel sejarah tidak hanya
menceritakan kronologis suatu cerita saja, tetapi juga memberikan
pengetahuan kepada pembaca mengenai peristiwa yang terjadi pada zaman
tersebut. Hubungan intertekstual antara sastra dan sejarah saling berkaitan
satu sama lain. Sebuah karya sastra, baik puisi maupun prosa, mempunyai
hubungan sejarah antara karya sezaman atau yang mendahuluinya.
Hubungan sejarah ini digambarkan baik berupa persamaan maupun
pertentangan. Dengan demikian, sebaiknya membicarakan karya sastra itu
dalam hubungannya dengan karya sezaman, sebelum, atau sesudahnya.2
Karya sastra merupakan pengungkapan dari apa yang disaksikan
pengarang dalam kehidupan, apa yang dialami, dan dirasakan dari segi-
1
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 16.
2
Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), h. 167.
3

segi kehidupan yang paling menarik untuk diangkat menjadi sebuah karya
sastra yang dapat bernilai estetis dan memiliki arti. Hal ini dikarenakan
setiap pengarang adalah warga masyarakat dan ia dapat dipelajari sebagai
makhluk sosial.3
Dalam kesusastraan Indonesia, dapat dijumpai hubungan
intertekstualitas antarkarya sastra dalam bentuk prosa. Pengarang
mengungkapkan suatu kejadian atau peristiwa lewat karyanya secara
tertulis. Selain itu, lewat karyanya pengarang mengungkapkan suatu
aspirasi kehidupan, seperti emansipasi wanita, kekejaman, maupun
ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa. Contohnya dalam novel
Bumi Manusia (1980) karya Pramoedya Ananta Toer, tokoh Minke
bercerita tentang masyarakat kolonial Hindia Belanda di tahun 1898 yang
penuh dengan perbedaan rasial yang kuat dan perbedaan status sosial yang
mengiringinya. Demikian pula dengan novel Salah Asoehan (1928) karya
Abdoel Moeis, juga mengisahkan perbedaan rasial antara Timur dan Barat
yang mempunyai garis pemisah yang hampir tak dapat diseberangi.
Jelaslah sejak dahulu pengarang menyuarakan aspirasinya melalui karya
sastra. Begitu pun sekarang, tidak sedikit novel yang berlatar sejarah
dibuat untuk menceritakan kebenaran yang terjadi pada suatu zaman. Akan
tetapi, minat baca terhadap novel yang berlatar sejarah masih kurang,
khususnya peserta didik yang lebih menyukai novel-novel populer yang
bertemakan kisah percintaan, seperti Marmut Merah Jambu (2010) karya
Raditya Dika. Sebaliknya, karya para sastrawan kurang diminati dan
dikenal oleh peserta didik, terlebih kurangnya minat membaca siswa
terhadap novel-novel yang berlatar sejarah.
Pembelajaran sastra di sekolah hanya sampai pada proses
mengidentifikasi saja. Keterbatasan waktu dalam proses belajar mengajar
membuat siswa sulit memahami novel secara keseluruhan, sehingga sulit
menciptakan proses belajar mengajar timbal balik antara guru dan siswa.

3
Rene Wellek & Autin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama,1993), h. 109.
4

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Novel Pulang karya


Leila S. Chudori yang banyak mengisahkan sejarah kekerasan Indonesia,
khususnya yang terjadi pada 1965. Novel ini berkisah tentang nasib dan
perjuangan hidup para tapol pada masa Gerakan 30 September 1965 dan
berlatarbelakangkan tiga peristiwa bersejarah Indonesia, yakni 30
September 1965, Prancis Mei 1968, dan Indonesia Mei 1998 dan jatuhnya
Presiden Indonesia yang sudah berkuasa selama 32 tahun.
Novel ini banyak menggunakan latar di Prancis dan Indonesia
sebagai latar novelnya. Warga Negara Indonesia yang berada di luar negri
saat peristiwa politik tahun 1965 diberi julukan sebagai eksil politik.
Mereka tidak diperbolehkan menginjak tanah air sampai batas waktu yang
tak jelas hanya karena tuduhan sepihak terlibat baik langsung sebagai
anggota dan simpatisan maupun sekedar keluarga dari anggota Partai
Komunis Indonesia (PKI). Kebanyakan dari mereka sekarang menetap di
beberapa negara Eropa, seperti Belanda, Jerman, Prancis, dan lain
sebagainya. Itulah sebabnya Leila memilih Prancis sebagai latarnya.
Pada penelitian ini, peneliti akan meneliti tokoh Lintang Utara
dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori. Dalam novel ini, Lintang
digambarkan sebagai seorang gadis Indo yang lahir dari hasil perkawinan
campur Indonesia dan Prancis. Mangunwijaya dalam Sastra Indonesia
Modern Kritik Poskolonial mengatakan, Indo adalah masyarakat yang
dalam penghayatan realita hidup dan kebudayaan terbelah, setengah asing
terhadap diri sendiri, apalagi situasi dan keadaan sekelilingnya.4 Sebagai
Indo, Lintang merupakan sosok yang merasakan kegelisahan-kegelisahan
mendalam mengenai ras dan identitas. Lintang menjadi berbeda dari
lingkungan sekitarnya lantaran status indonya. Lebih dari itu,
keambiguitasan dan kegelisahan mengenai posisinya terus menghantui
kehidupan Lintang. Novel-novel yang menampilkan tokoh Indo dalam

4
Keith Foulcher dan Tony Day, Sastra Indonesia Modern Kritik Postkolonial
Edisi Revisi “Clearing a Space”, (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta,
2008), h. 136
5

penokohannya tidak begitu banyak. Namun baru dalam Keberangkatan


Karya Nh. Dini tahun 1977, Bumi Manusia (1981) karya Pramoedya, dan
Burung-burung Manyar (1981) karya Mangunwijaya.5
Pemilihan novel Pulang sebagai objek penelitian berdasarkan
beberapa alasan. Pertama, novel ini mengambil latar belakang sejarah.
Dengan latar belakang ini, pembaca akan mengetahui keadaan Indonesia,
terutama pascakemerdekaan, ketika PKI melakukan pemberontakan pada
tahun 1965, dan Indonesia pada Mei 1998. Kedua, pengalaman-
pengalaman yang disajikan pada setiap tokohnya. Ketiga, Novel Pulang
yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia ini dari awal
penerbitan pada tahun 2012-2013 sudah mengalami empat kali cetak.
Cetakan pertama pada Desember 2012, cetakan kedua pada Januari 2013,
cetakan ketiga pada Februari 2013, dan cetakan keempat pada Desember
2013. Novel ini juga dinobatkan sebagai pemenang Khatulistiwa Literary
Award 2013. Selain itu, novel Pulang karya Leila S. Chudori ini membuat
pembaca ingin mencari tahu dan menggali pengetahuan yang tidak
diketahui sebelumnya, seperti kisah Ekalaya yang merupakan salah satu
tokoh dalam kisah pewayangan Jawa yang juga tertulis dalam kitab
Mahabarata. Dengan berbagai alasan tersebut, penulis tertarik untuk
menganalisis novel Pulang karya Leisa S. Chudori dengan judul penelitian
“Analisis Tokoh Lintang dalam Novel Pulang karya Leila S. Chudori dan
Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di SMA”.

B. Identifikasi masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat diidentifikasi
masalah yang ada yaitu:
1. Kurangnya minat membaca seseorang terhadap karya sastra berupa
novel, terlebih kurangnya minat membaca siswa terhadap novel-novel
yang berlatar sejarah.

5
Keith Foulcher dan Tony Day, op. cit., h. 136.
6

2. Tidak banyak novel-novel yang melibatkan tokoh Indo sebagai tokoh


sentral dalam novel Indonesia.
3. Siswa sulit memahami unsur intrinsik, karena proses pembelajaran
hanya sebatas mengidentifikasi.
4. Kurangnya waktu dalam pembelajaran yang dapat dipergunakan siswa
untuk membaca dan memahami novel.
5. Siswa kurang mengetahui cerita seperti Ekalaya seperti yang terdapat
dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori.

C. Batasan Masalah
Agar penulisan skripsi ini lebih terarah, maka penulis membatasi
permasalahan pada hal-hal berikut:
Objek kajian yang akan diteliti adalah analisis tokoh Lintang dalam
Novel Pulang karya Leila S. Chudori dan implikasinya terhadap
pembelajaran sastra di SMA.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi dan batasan masalah,
perumusan permasalahan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana analisis tokoh Lintang dalam novel Pulang karya Leila S.
Chudori?
2. Bagaimana implikasi penelitian tokoh Lintang terhadap pembelajaran
sastra di SMA Kelas XII?

E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan. Maka tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis tokoh Lintang dalam novel Pulang karya Leila S.
Chudori.
2. Mengetahui implikasi penelitian tokoh Lintang terhadap pembelajaran
sastra di SMA.
7

F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat secara teoretis
dan praktis.
1. Manfaat teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan tentang
Sastra Indonesia, khususnya dalam pembelajaran sastra di sekolah
mengenai tokoh dalam novel.
2. Manfaat praktis
Hasil penelitian secara praktis diharapkan bermanfaat bagi peserta
didik mengenai tokoh dalam novel. Selain itu penelitian ini
diharapkan dapat memberi masukan bagi pendidik untuk bahan
pengembangan studi sastra yang berkaitan dengan unsur intrinsik
dalam suatu karya sastra.

G. Metodologi Penelitian
1. Bentuk Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif
dengan pendekatan deskriptif. Dengan metode ini, hasil penelitian yang
akan dihasilkan akan berupa deskripsi, bukan berupa angka-angka atau
koefisian tentang variabel. Metode analisis isi digunakan untuk
menganalisis isi suatu dokumen. Dokumen yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah novel Pulang karya Leila S. Chudori.

2. Sumber Data
Bila dilihat dari sumber datanya, maka pengumpulan data dapat
menggunakan sumber data primer dan sumber data skunder.
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer yaitu sumber utama penelitian yang diproses
langsung dari sumbernya tanpa lewat perantara. Sumber data primer
dalam penelitian ini adalah novel Pulang karya Leila S. Chudori
terbitan KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Jakarta tahun 2012.
8

b. Sumber Data Sekunder


Sumber data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh secara
tidak langsung atau lewat perantara, tetapi masih berdasar pada
kategori konsep yang akan dibahas. Sumber data skunder yang
digunakan dalam penelitian ini adalah artikel-artikel dari internet serta
buku-buku yang berhubungan dengan novel.

3. Teknik Pengumpulan Data


Pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini dengan
pembacaan dan penyimakan novel Pulang karya Leila S. Chudori
secara cermat, terarah, dan teliti. Pada saat melakukan pembacaan
tersebut, penulis mencatat data-data masalah yang terkait dengan
tokoh Lintang, dan mencatat kutipan-kutipan yang menggambarkan
tentang karakter tokoh. Pembacaan dilakukan secara berulang-ulang
sehingga data yang didapat lebih maksimal.

4. Teknik Analisis Data


Adapun langkah-langkah yang digunakan untuk menganalisis data
antara lain:
a. Menganalisis novel Pulang karya Leila S. Chudori dengan
menggunakan analisis sruktural. Analisis struktural dilakukan dengan
membaca dan memahami kembali data yang sudah diperoleh.
Berikutnya mengelompokkan teks-teks yang terdapat dalam novel
Pulang karya Leila S. Chudori yang mengandung unsur intrinsik
novel berupa tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang,
gaya bahasa, dan amanat.
b. Analisis dengan menggunakan teknik pelukisan tokoh dilakukan
dengan membaca serta memahami kembali data yang diperoleh.
Selanjutnya mengelompokkan teks-teks yang mengandung bahasan
tentang tokoh Lintang yang terdapat dalam novel Pulang karya Leila
S. Chudori.
9

c. Mengimplikasikan novel Pulang karya Leila S. Chudori pada


pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA dilakukan dengan
cara menghubungkan materi sastra di sekolah.
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Hakikat Novel
1. Pengertian Novel
Novel ( Inggris: novel) sebutan novel dalam bahasa Inggris inilah
yang kemudian masuk ke Indonesia berasal dari bahasa Italia Novella (yang
dalam bahasa Jerman: novelle). Secara harfiah novella berarti sebuah barang
baru yang kecil dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk
prosa. Dewasa ini istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang
sama dengan istilah Indonesia novelet (Inggris novelette), yang berarti
sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang,
namun juga tidak terlalu pendek.1
Beberapa pandangan yang berupaya menjabarkan hakikat novel
sebagai berikut
Badudu dan Zain berpendapat, novel adalah karangan dalam bentuk
prosa tentang peristiwa yang menyangkut kehidupan manusia seperti yang
dialami orang dalam kehidupan sehari-hari, tentang suka duka, kasih dan
benci, tentang watak dan jiwanya, dan sebagainya.2
Aminuddin berpendapat, prosa rekaan (novel) adalah kisahan atau
cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu, dengan peranan, latar serta
tahapan dan rangkaiaan cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi
pengarangnya( dan kenyataannya) sehingga menjalin suatu cerita.3
Clara Reeve dalam Wellek Warren, novel adalah gambaran dari
kehidupan dan prilaku yang nyata, dari zaman pada saat novel itu ditulis.4

1
Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2010), h. 9-10.
2
Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar, (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2010), h. 9-10.
3
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakart : Grasindo, 2008), h. 127-128.
4
Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1993), h.282.

10
11

Berdasarkan tiga definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa


pengertian novel adalah sebuah cerita fiksi dalam bentuk prosa yang
panjang dengan tokoh dan pelakunya merupakan cerminan kehidupan nyata
dalam satu plot, dalam istilah novel tercakup pengertian roman; sebab
roman hanyalah istilah novel untuk zaman sebelum perang dunia kedua di
Indonesia. Digunakannya istilah roman pada waktu itu umumnya
berorientasi ke Negeri Belanda, Perancis, dan Rusia, serta sebagian negara-
negara Eropa. Istilah novel dikenal di Indonesia setelah kemerdekaan, yakni
setelah sastrawan Indonesia banyak beralih kepada bacaan-bacaan yang
berbahasa Inggris.5
Novel merupakan bentuk prosa rekaan yang lebih pendek daripada
roman. Biasanya novel menceritakan peristiwa pada masa tertentu. Bahasa
yang digunakan lebih mirip bahasa sehari-hari. Meskipun demikian,
penggarapan unsur-unsur intrinsiknya masih lengkap, seperti tema, plot,
latar, gaya bahasa, nilai, tokoh dan penokohan. 6

2. Jenis-jenis Novel
Novel dikelompokan menjadi beberapa jenis di antaranya :
a) Novel Populer
Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak
penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Ia menampilkan
masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya sampai
pada tingkat permukaan. Novel populer tidak menampilkan permasalahan
kehidupan secara lebih intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan7.
Sebab, jika demikian halnya, novel populer akan menjadi berat dan berubah
menjadi novel serius, dan boleh jadi akan ditinggal oleh pembacanya. oleh
karena itu, novel populer pada umumnya bersifat artifisial, hanya bersifat
sementara, cepat ketinggalan zaman, dan tidak memaksa orang untuk
membacanya sekali lagi. Novel semacam itu biasanya cepat dilupakan
5
Atar Semi, Anatomi Sastra, (Bandung: Angkasa Raya, 2011), h. 32.
6
Siswanto, op. cit., h. 141.
7
Nurgiantoro, op. cit., h. 21.
12

orang, apalagi dengan munculnya novel-novel yang lebih populer pada


masa sesudahnya.
Novel populer lebih mudah dibaca dan dinikmati. Masalah yang
diceritakan pun yang ringan-ringan, tetapi aktual dan menarik. Kisah
percintaan antara pria tampan dan wanita cantik secara umum menarik,
mampu membuai pembaca remaja yang memang sedang mengalami masa
peka, dan barang kali, dapat untuk sejenak melupakan kepahitan hidup yang
dialaminya secara nyata. Oleh karena novel populer lebih mengejar selera
pembaca, komersil, ia tidak akan menceritakan sesuatu yang bersifat serius
sebab hal itu dapat berarti akan berkurangnya jumlah penggemarnya. Oleh
karena itu, plot sengaja dibuat lancar dan sederhana. Perwatakan tokoh tidak
berkembang, tunduk begitu saja pada kemauan pengarang yang bertujuan
memuaskan pembaca. Sebagaimana dikatakan oleh Sapardi Djoko Damono,
tokoh-tokoh yang diciptakan adalah tokoh yang tidak berkembang
kejiwaannya dari awal hingga akhir cerita. berbagai unsur cerita seperti plot,
tema, karakter, latar, dan lai-lain biasanya bersifat stereotip, tidak
mengutamakan adanya unsur-unsur pembaharuan. Hal yang demikian,
memang, mempermudah pembaca yang semata-mata mencari cerita dan
hiburan belaka.8 Contoh novel jenis ini adalah Marmut Merah Jambu
(Raditya Dika), Laskar Pelangi (Andrea Hirata).
b) Novel Serius
Novel serius, novel yang selain memberikan hiburan, dalam novel ini
juga terimplisit tujuan memberikan pengalaman yang berharga pada
pembaca, atau paling tidak, mengajaknya untuk meresapi dan merenungkan
secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang diangkat. Novel
serius biasanya berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru. Singkatnya
unsur kebaharuan diutamakan. Oleh karena itu, dalam novel serius tidak
akan terjadi sesuatu yang bersifat stereotip, atau paling tidak pengarang
berusaha menghindarinya. Novel serius mengambil realitas kehidupan
sebagai model, kemudian menciptakan sebuah “dunia baru”, dunia dalam

8
Nurgiantoro, op. cit., h.18-20.
13

kemungkinan, lewat pengembangan cerita dan penampilan tokoh-tokoh


dalam situasi yang khusus.
Novel serius tidak bersifat mengabdi kepada selera pembaca, dan
memang, pembaca novel jenis ini tidak (mungkin) banyak. Jumlah novel
dan pembaca serius, walau tidak banyak, akan mempunyai gaung dan
bertahan dari waktu ke waktu. Misalnya, polemik Takdir Alisyahbana,
Armin Pane, Sanusi Pane, dan Tatengkeng pada dekade 30-an yang hingga
kini masih cukup relevan untuk disimak karena terasa belum juga
ketinggalan zaman.9 Contoh novel serius adalah Pada Sebuah Kapal (N.H
Dini), Burung-burung Manyar (YB. Mangunwijaya).
c) Novel Teenlit
Istilah teenlit terbentuk dari kata teenager dan literature. Kata
teenager sendiri terbentuk dari kata teens,age, dan akhiran –er, yang secara
istilah berarti menunjuk pada anak usia belasan tahun. Kelompok teenager
tampaknya dimulai dari usia remaja awal (masa adolesen) sampai akhir
belasan, yaitu sekitar usia 13-19 tahun. Kata literature berarti kesastraan,
bacaan. Jadi, istilah teenlit tampaknya menunjuk pada pengertian bacaan
cerita yang ditulis untuk konsumsi remaja usia belasan tahun.
Salah satu karakteristik novel teenlit adalah bahwa mereka selalu
berkisah tentang remaja. Tokoh utama cerita yang pada umumnya
perempuan adalah tokoh yang dapat diidolakan, tokoh yang berkarakter
khas remaja, tokoh yang dapat dijadikan ajang pencarian identitas diri dan
kelompok. Maka, tidak mengherankan jika pembaca remaja menjadi
gandrung dan hanyut secara emosional seolah-olah dirinya adalah bagian
dari cerita itu, seolah-olah sudah kenal dan bagian dari kelompok
pertemanan itu, bahkan seolah-olah dirinyalah tokoh-tokoh cerita itu.
Teenlit tidak berkisah sesuatu yang berat. Mereka lebih suka berbicara apa
yang menjadi persoalan remaja yang menurut ukuran dewasa mungkin
sebagai sesuatu yang ringan. Contoh novel teenlit adalah Dealova (Dylan
Nuraninda), Me vs High Heels! Aku vs Sepatu Hak Tinggi! (Maria

9
Nurgiantoro, op. cit., h. 23-24.
14

Ardelia).10 Dari beberapa jenis novel yang telah dipaparkan di atas Pulang
masuk ke dalam kategori novel serius.

3. Unsur-unsur Novel
Prosa rekaan bisa dibedakan atas prosa lama dan prosa modern. Prosa
lama sering berwujud cerita rakyat (folktale) bersifat anonim, seperti cerita
binatang, dongeng, legenda, mitos, dan sage.
Bentuk prosa rekaan modern dibedakan atas roman, novel, novelet,
dan cerpen, karena tidak ada penelitian yang mendukung, pembedaan atas
beberapa bentuk tersebut lebih banyak didasarkan pada panjang-pendeknya
dan luas-tidaknya masalah yang dipaparkan dalam prosa rekaan. Walaupun
tidak selalu benar, ada juga yang dasar pembedaannya ditambah dengan
bahasa dan lukisannya.11
Berdasarkan bentuk novel di atas, terdapat unsur-unsur penting yang
membangun karya sastra, unsur tersebut terbagi atas unsur intrinsik dan
unsur ekstrinsik, pembagian tersebut bertujuan dalam mengkaji novel dalam
suatu karya sastra pada umumnya.
a. Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu
sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan suatu teks hadir sebagai teks
sastra, unsur-unsur inilah yang secara faktual akan dijumpai jika orang
membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur
yang (secara langsung) turut serta membangun cerita, kepaduan
antarberbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel terwujud.
Unsur-unsur ini misalnya, tema, latar, tokoh dan penokohan, alur, sudut
pandang, dan amanat.12
1) Tema
Tema adalah gagasan sentral dalam suatu karya sastra dalam novel,
tema merupakan gagasan utama yang dikembangkan dalam plot. Hampir
10
Nurgiantoro, op. cit ., h. 26.
11
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 140.
12
Nurgiantoro, op. cit., h. 30.
15

semua gagasan yang ada dalam hidup ini bisa dijadikan tema, sekalipun
dalam praktiknya tema-tema yang sering diambil adalah beberapa aspek
atau karakter dalam kehidupan, seperti ambisi, kesetiaan, kecemburuan,
frustrasi, kemunafikan, ketabahan, dan sebagainya.13
Scharbach berpendapat, tema berasal dari bahasa Latin yang berarti
“tempat meletakan suatu perangkat”. Disebut demikian karena tema adalah
ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal
tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya.14
Aminuddin mengungkapkan, seorang pengarang memahami tema
cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif
penciptaan, sementara pembaca baru dapat memahami tema bila mereka
telah selesai memahami unsur-unsur yang menjadi media pemaparan tema
tersebut, menyimpulkan makna yang dikandungnya serta mampu
15
menghubungkan dengan tujuan penciptaan pengarangnya.
Jadi tema tidak lain adalah suatu gagasan sentral yang menjadi dasar
suatu cerita. tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan
berdampak. Pengarang adalah pencerita, tetapi agar tidak menjadi sekedar
anekdot, cerita rekaannya harus mempunyai maksud. Maksud inilah yang
dinamakan tema.16
2) Latar
Setting diterjemahkan sebagai latar cerita. Aminuddin memberi batasan
setting sebagai latar peristiwa dalam karya fiksi baik berupa tepat, waktu,
maupun peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis.
Abrams mengemukakan latar cerita adalah tempat umum (general
locale), waktu kesejarahan (historical time), dan kebiasaan masyarakat
(social circumtances) dalam setiap episode atau bagian-bagian tempat.17

13
Furqonul Aziez & Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar, (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2010), h. 75.
14
Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, ( Bandung: Sinar Baru, 1987), h.91.
15
Siswanto, op. cit., h.161.
16
Robert Stanton, Teori Fiksi Robet Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007),
h.38.
17
Siswanto, loc. cit., h.149.
16

Brooks berpendapat, secara singkat, latar adalah latar belakang fisik,


unsur tempat dan ruang, dalam suatu cerita.18Latar memberikan pijakan
cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan
realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah
sungguh-sungguh ada dan terjadi.19
Biasanya latar muncul pada semua bagian atau penggalan cerita dan
kebanyakan pembaca tidak terlalu menghiraukan latar ini; karena lebih
terpusat pada jalannya cerita; namun bila pembaca membaca untuk kedua
kalinya barulah latar ini ikut menjadi bahan simakkan, dan mulai
dipertanyakan mengapa latar ini menjadi perhatian pengarang.20
3) Tokoh dan Penokohan
Tokoh cerita (character), sebagaimana dikemukakan Abrams, adalah
orang-orang yang ditampilkan dalam sesuatu karya naratif, atau drama, yang
oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan
tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan
dalam tindakan. Tidak berbeda halnya dengan Abrams, Baldic menjelaskan
bahwa tokoh adalah orang yang menjadikan pelaku dalam cerita fiksi atau
drama, sedang penokohan (characterization) adalah penghadiran tokoh
dalam cerita dengan cara langsung atau tidak langsung dan mengundang
pembaca untuk menafsirkan kualitas dirinya lewat kata dan tindakannya.21
Aminuddin mengatakan, tokoh adalah pelaku yang mengemban
peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita,
sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan.22
Para tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memiliki peranan penting
yang berbeda-beda. Seorang tokoh yang memiliki peranan penting dalam
suatu cerita disebut tokoh inti atau tokoh utama. Sedangkan tokoh yang
memiliki peranan tidak penting karena pemunculannyahanya melengkapi,

18
Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 1984), h.
136.
19
Nurgiantoro, op. cit., h.303.
20
Atar Semi, op. cit., h. 46.
21
Nurgiantoro, loc. cit., h.247.
22
Siswanto, op. cit., h. 142.
17

melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh


pembantu,23 dalam menyajikan dan menentukan karakter (watak) para
tokoh, pada umumnya pengarang menggunakan dua cara atau metode dalam
karyanya. Pertama, metode langsung (telling) dan kedua, metode tidak
langsung (showing).24
Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah cerita fiksi dapat dibedakan ke dalam
beberapa jenis, seperti:
a. Jika dilihat dari peran tokoh-tokoh dalam perkembangan plot dapat
dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah
tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia
merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku
kejadian maupun yang dikenai kejadian. Dipihak lain, pemunculan tokoh-
tokoh tambahan biasanya diabaikan, atau paling tidak, kurang mendapat
perhatian. 25
b. Dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh
protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita
kagumi yang salah satu jenisnya secara populer disebut hero tokoh yang
merupakan pengejawantahan norma-norma nilai-nilai yang ideal bagi kita.
Sedangkan, tokoh antagonis adalah tokoh yang beroposisi dengan tokoh
protagonis, secara langsung maupun tidak langsung, bersifat fisik ataupun
batin.26
c. Dilihat dari perwatakannya dibedakan menjadi tokoh sederhana dan tokoh
bulat. Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas
pribadi tertentu, satu sifat watak tertentu saja. Ia tidak memiliki sifat dan
tingkah laku yang dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca. Dipihak
lain, tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkapkan berbagai
kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Ia dapat

23
Aminuddin, op. cit., h.79-80.
24
Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, 2011), h. 6.
25
Nurgiantoro, op. cit., h. 258-259.
26
Ibid., h.260-261.
18

saja memiliki watak tertentu yang dapat diformulasikan, namun ia pun dapat
pula menampilkan watak dan tingkah laku bermacam-macam, bahkan
mungkin tampak bertentangan dan sulit diduga. Oleh karena itu,
perwatakannya pun pada umumnya sulit dideskripsikan secara tepat.27

4) Alur
Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan
peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku
dalam suatu cerita.28
Stanton mengemukakan bahwa alur (plot) adalah cerita yang berisi
urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab
akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya
peristiwa yang lain.29
Brooks mengungkapkan alur atau plot adalah struktur gerak yang
terdapat dalam fiksi atau drama.30
Sudjiman mengartikan alur sebagai jalinan peristiwa di dalam karya
sastra untuk mencapai efek tertentu. Jalinannya dapat diwujudkan oleh
hubungan temporal (waktu) dan oleh hubungan kausal (sebab akibat).
Aminudin membedakan tahapan-tahapan peristiwa atas pengenalan, konflik,
komplikasi, klimaks, peleraiaan, dan penyelesaian.31
Berdasarkan pemaparan di atas, alur adalah rangkaiaan peristiwa yang
direka dan dijalin oleh pengarang yang menggerakan jalannya cerita.
Secara teoretis-kronologis tahap-tahap pengembangan struktur plot
dijelaskan di bawah ini.
a) Tahap Awal
Tahap awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap perkenalan.
Tahap perkenalan pada umumnya berisi sejumlah informasi penting yang

27
Nurgiantoro, op. cit., h. 265-266.
28
Aminuddin, op. cit., h.83.
29
Nurgiantoro, loc. cit., h.167.
30
Tarigan, op. cit., h.126.
31
Siswanto, op. cit., h. 159.
19

berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap


berikutnya. Misalnya, berupa penunjukan dan pengenalan latar, seperti
nama-nama tempat, suasana alam, waktu kejadian (misalnya ada kaitannya
dengan waktu sejarah), dan lain-lain yang pada garis besarnya berupa
deskripsi fisik, bahkan mungkin juga telah disinggung (walau secara
implisit) perwatakannya.32
b) Tahap Tengah
Tahap tengah cerita dapat juga disebut sebagai tahap pertikaian
menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan
pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin
menegangkan. Bagian tengah cerita merupakan bagian terpanjang dan
terpenting dari sebuah cerita. konflik berkembang semakin meruncing,
menegangkan dan mencapai klimaks, dan pada umumnya tema pokok,
makna pokok cerita diungkapkan. Pada bagian ini pembaca memperoleh
cerita, memperoleh sesuatu dari kegiatan pembacaannya.33
c) Tahap Akhir
Tahap akhir sebuah cerita atau dapat juga disebut tahap pelarian,
menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Jadi, bagian ini
misalnya (antara lain) berisi bagaimana kesudahan cerita, atau
menyarankan pada hal bagaimanakah akhir sebuah cerita. bagaimana
bentuk penyelesaian sebuah cerita, dalam banyak hal ditentukan (atau
dipengaruhi) oleh hubungan antartokoh dan konflik (termasuk klimaks)
yang dimunculkan. Dalam teori klasik yang berasal dari Aristoteles,
penyelesaian cerita dibedakan ke dalam dua macam kemungkinan :
kebahagiaan (happy end) dan kesedihan (sad end).
Namun, novel-novel seperti Belenggu, Pada Sebuah Kapal, Supernova,
dan lain-lain adalah novel-novel yang memiliki penyelesaiaan yang masih
menggantung, masih menimbulkan tanda tanya, tidak jarang
menimbulkan, atau bahkan rasa ketidakpuasan pembaca. Sebenarnya,

32
Nurgiantoro, op. cit., h. 201-202.
33
Ibid., h.204-205.
20

adanya novel-novel yang sudah selesai, tetapi tidak diselesaikan ceritanya,


boleh jadi disebabkan pengarang memberikan kesempatan pada pembaca
untuk ikut memikirkannya. Dengan melihat model-model tahap akhir
berbagai cerita fiksi yang ada sampai dewasa ini, penyelesaian cerita dapat
dikategorikan ke dalam dua golongan: penyelesaian tertutup dan
penyelesaian terbuka. Penyelesaian tertutup menunjuk pada jeadaan akhir
sebuah cerita fiksi yang memang sudah selesai, cerita sudah habis sesuai
dengan tuntunan logika cerita yang dikembangkan. Dipihak lain
penyelesaian terbuka, menunjuk pada keadaan akhir sebuah cerita yang
masih belum berakhir. Berdasarkan tuntutan logika dan cerita, masih
potensial untuk dilanjutkan secara konflik belum sepenuhnya
diselesaikan.34
Loban dkk. Menggambarkan gerak tahapan alur cerita seperti halnya
gelombang. Gelombang itu berawal dari (1) eksposisi, (2) komlikasi atau
intrik-intrik awal yang akan berkembang menjadi konflik hingga menjadi
konflik, (3) klimaks, (4) revelasi atau penyingkatan tabir suatu problema,
dan (5) denouement atau penyelesaian yang membahagiakan, yang
dibedakan dengan catastrophe, yakni penyelesaian yang menyedihkan;
dan solution, yakni penyelesaian yang masih bersifat terbuka karena
pembaca sendiri yang dipersilahkan menyelesaikan lewat daya
imajinasinya.35

5) Sudut Pandang
Sudut pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku
dalam cerita yang dipaparkannya.36
Abrams mengungkapkan, sudut pandang (Point Of View),
menunjukan cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau
pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk

34
Nurgiantoro, op. cit., h. 205-208.
35
Aminuddin, op. cit., h.84.
36
Ibid., h. 90.
21

menyajikan cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.37 Dalam


Wahyudi Siswanto, sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang
ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa,
tempat, waktu dengan gayanya sendiri.38
Pengarang menampilkan tokoh dalam cerita yang dipaparkannya
melalui sudut pandang. Dengan demikian, segala sesuatu yang
dikemukakan oleh pengarang disalurkan melalui sudut pandang tokoh.
Selain itu, dalam sudut pandang posisi pengarang juga ditentukan. Unsur
terpenting dalam karya sastra adalah pengarang sebab tanpa pengarang
tidak ada karya sastra. keberhasilan suatu karya sastra tidak tergantung
pada pentingnya suatu kejadian atau tokoh-tokoh yang diceritakan, tetapi
bagaimana sudut pandang, gaya bahasa dan plot dioprasikan. Peristiwa
besar, tokoh terkenal, bukan jaminan bahwa sebuah karya sastra akan
berhasil. Sebaliknya, kompleksitas sudut pandang, kekayaan gaya bahasa,
dan koherensi pemplotan, jelas merupakan jaminan keberhasilan suatu
karya sastra.39
Ada berbagai macam sudut pandang dalam karya sastra. dalam
penelitian ini sudut pandang yang peneliti ambil adalah berdasarkan
pemaparan Burhan Nurgiantoro. Berikut ini adalah macam-macamnya:
a) Sudut Pandang Persona Ketiga : “Dia”
Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona
ketiga, gaya “Dia”, narator adalah seseorang yang berada di luar cerita
yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata
gantinya; ia, dia, mereka. Sudut pandang “dia” dapat dibedakan ke dalam
dua golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang
terhadap bahan ceritanya. Di satu pihak pengarang, narator, dapat bebas
menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh “dia”, jadi
bersifat mahatahu, di lain pihak ia terikat, memunyai keterbatasan

37
Nurgiantoro, loc. cit., h. 338.
38
Siswanto, op. cit., h. 151.
39
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), h. 315.
22

“pengertian” terhadap tokoh “dia” yang diceritakan itu, jadi bersifat


terbatas, hanya sebatas pengamat saja.
b) Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku”
Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang ini terletak pada
seorang narator yang ikut terlibat dalam cerita. dalam sudut pandang
persona pertama “Aku” dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu “Aku”
(tokoh utama) dan “aku” (tokoh tambahan).
c) Sudut Pandang Campuran
Penggunaan sudut pandang ini lebih dari satu teknik. Pengarang dapat
berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain. Semua itu
tergantung pada kemauan pengarang untuk menciptakan sebuah kreativitas
dalam karya.40

6) Gaya Bahasa
Istilah gaya diangkat dari istilah style yang berasal dari bahasa Latin
stilus dan mengandung arti lesikal alat untuk menulis. Dalam karya sastra
istilah gaya mengandung pengertian cara seorang pengarang
menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang
indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang
dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.41
Keraf dalam Tarigan mengungkapkan secara singkat gaya bahasa
adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang
memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Sebuah
gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur berikut: kejujuran,
sopan-santun, dan menarik.42
Gaya bahasa, seperti yang diungkapkan Slamet Muljana adalah
susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup
dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati

40
Nurgiantoro, op. cit., h. 347-359.
41
Aminuddin, op. cit., h. 72.
42
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa, 2009), h.
5.
23

pembaca. Gaya bahasa disebut pula majas.43 Majas (Figure of speech)


adalah suatu bentukan pernyataan dengan cara memakai sesuatu untuk
mengatakan tentang sesuatu yang lain.44 Serta bahasa indah yang
dipergunakan untuk meninggikan serta meningkatkan efek dengan jalan
memperkenalkan serta membandingkan suatu benda atau hal tertentu
dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Pendek kata, dapat
mengubah nilai rasa dan konotasi tertentu.45
Gaya bahasa berdasarkan makna diukur dari langsung tidaknya
makna, yaitu apakah acuan yang dipakai masih mempertahankan makna
denotatifnya atau sudah ada penyimpangan. Gaya bahasa berdasarkan
ketidaklangsungan makna ini biasanya disebut sebagai trope atau figure of
speech, dibagi atas dua kelompok, yaitu gaya bahasa retoris, yang semata-
mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek
tertentu, dan gaya bahasa kiasan yang merupakan penyimpangan yang
lebih jauh, khususnya dalam bidang makna.46

7) Amanat
Nilai nilai yang ada di dalam cerita rekaan bisa dilihat dari diri
sastrawan dan pembacanya. Dari sudut sastrawan, nilai ini bisa disebut
amanat. Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang
ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. Di dalam
karya sastra modern amanat ini biasanya tersirat; di dalam karya sastra
lama pada umumnya amanat tersurat.47

43
Ernawati Waridah, EYD & Seputar Kebahasaan Indonesian, (Jakarta: Kawan
Pustaka, 2010), h. 322.
44
Agus Sri Danardana, Anomali Bahasa, (Pekanbaru: Palagan Press, 2011), h. 12.
45
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Semantik, (Bandung: Angkasa, 1993), h. 112.
46
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004),
h. 129.
47
Siswanto, op. cit., H. 162.
24

B. Teknik Pelukisan Tokoh


Secara garis besar teknik pelukisan tokoh dalm suatu karya atau
lengkapnya pelukisan sifat, sikap, watak, tingkah laku, dan berbagai hal lain
yang berhubungan dengan jati diri tokoh dapat dibedakan ke dalam dua cara
atau teknik, yaitu pelukisan secara langsung dan pelukisan secara tidak
langsung.
Kedua teknik tersebut masing-masing mempunyai kelebihan dan
kelemahan, dan penggunaannya dalam teks fiksi tergantung pada selera
pengarang dan kebthan penceritaan. Teknik langsung banyak digunakan
pengarang pada masa awal pertumbuhan dan perkembangan novel indonesia
modern, sedangkan teknik tidak langsung terlihat lebih diminati oleh
pengarang dewasa ini. Namun, perlu juga dicatat bahwa sebenarnya tidak
ada seorang pengarang pun yang secara mutlak hanya mempergunakan
salah satu teknik itu tanpa memanfaatkan teknik yang lain. Pada umumnya
pengarang memilih cara campuran, mempergunakan teknik langsung dan
tidak langsung dalam sebuah karya sastra. hal ini dirasa lebih
menguntungkan karena kelemahan masing-masing teknik dapat ditutup
dengan teknik yang lain. Berikut akan dibicarakan kedua teknik tersebut
satu per satu.
1. Teknik Ekspositori
Pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian,
atau penjelasan secara langsung. Tokoh cerita hadir dan dihadirkanoleh
pengarang kehadapan pembaca dengan cara tidak berbelit-belit, melainkan
begitu saja dan langsung disertai deskripsi kediriannya, yang mungkin
berupa sikap,sifat, watak, tingkah laku, atau bahkan juga ciri fisiknya.48
2. Teknik Dramatik
Penampilan tokoh cerita dalam teknik dramatik, mirip dengan yang
ditampilkan pada drama, dilakukan secara tidak langsung. Pengarang tidak
mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku para
tokoh. Pengarang membiarkan para tokoh cerita untuk menunjukan

48
Nurgiantoro, op. cit., h. 279-280.
25

kediriannya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara


verbal maupun nonverbal.
Penampilan tokoh secara dramatik dapat dilakukan lewat sejumlah
teknik. Biasanya pengarang menggunakan berbagai teknik itu secara
bergantian dan saling bergantian walau ada perbedaan frekuensi
penggunaan masing-masing teknik. Berbagai teknik yang dimaksud
diantaranya adalah sebagai berikut:49
a. Teknik Cakapan
Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya juga
dimaksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan.
Bentuk percakapan dalam sebuah karya fiksi, khususnya novel, umumnya
cukup banyak, baik percakapan yang pendek maupun yang (agak) panjang.
Tidak semua percakapan, memang mencerminkan kedirian tokoh, atau
paling tidak semua percakapan, memang memang mencerminkan kedirian
tokoh, atau paling tidak, tidak mudah untuk menafsirkannya sebagai
demikian.50
b. Teknik Tingkah Laku
Jika teknik cakapan dimaksudkan untuk menunjukan tingkah laku
verbal berwujud kata-kata para tokoh, teknik tingkah laku menyaran pada
tindakan yang bersifat nonverbal, fisik. Apa yang dilakukan orang dalam
wujud tindakan dan tingkah laku, dalam banyak dapat dipandang sebagai
menunjukkan reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap yang mencerminkan sifat-
sifat kediriannya.51
c. Teknik Pikiran dan Perasaan
Bagaimana keadaan dan jalan pikiran serta perasaan, apa yang melintas
di dalam pikiran dan perasaan, serta apa yang (sering) dipikir dan dirasakan
oleh tokoh, dalam banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat kediriannya
jua. Bahkan pada hakikatnya, “tingkah laku” pikiran dan perasaanlah yang
kemudian diejawantahkan menjadi tingkah laku verbal dan nonverbal itu.
49
Ibid., h. 283-285.
50
Ibid., h. 286.
51
Ibid., h. 288.
26

Perbuatan dan kata-kata merupakan perwujudan konkret tingkah laku dan


perasaan.
Teknik pikiran dan perasaan dapat ditemukan dalam teknik cakapan
dan tingkah laku. Artinya, penuturan itu sekaligus untuk menggambarkan
pikiran dan perasaan tokoh.52
d. Teknik Arus Kesadaran
Teknik arus kesadaran (stream of consciousness) berkaitan erat
dengan teknik pikiran dan perasaan. Keduanya tak dapat dibedakan secara
pilah, bahkan mungkin dianggap sama karena memang sama-sama
menggambarkan tingkah laku batin tokoh. Dewasa ini dalam fiksi modern
teknik arus kesadaran banyak dipergunakan untuk melukiskan sifat-sifat
kedirian tokoh.
Arus kesadaran sering disamakan dengan interior monologeu,
monolog batin. Monolog batin, percakapan yang hanya terjadi dalam diri
sendiri, yang pada umumnya ditampilkan dengan gaya “aku”, berusaha
menagkap kehidupan batin, urutan suasana kehidupan batin, pikiran,
perasaan, emosi, tanggapan, kenagan, nafsu, dan sebagainya.
e. Teknik Reaksi Tokoh
Teknik reaksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap suatu
kejadian, masalah, keadaan, kata. Dan sikap-tingkah-laku orang lain, dan
sebagai yang berupa “rangsangan” dari luar diri tokoh yang bersangkutan.
Bagaimana reaksi tokoh terhadap hal-hal tersebut dapat dipandang sebagai
suatu bentuk penampilan yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya.53
f. Teknik Reaksi Tokoh Lain
Reaksi tokoh lain dimaksudkan sebagai reaksi yang diberikan oleh
tokoh lain terhadap tokoh utama, atau tokoh yang dipelajari kediriannya,
yang berupa pandangan, pendapat, sikap, komentar, dan lain-lain. Pendek
kata: penilaiaan kidirian tokoh (utama) cerita oleh tokoh-tokoh cerita yang

52
Nurgiantoro, op. cit., h. 289.
53
Ibid., h. 293.
27

lain dalam sebuah karya. Reaksi tokoh juga merupakan teknik penokohan
untuk menginformasikan kedirian tokoh kepada pembaca.
g. Teknik Pelukisan Latar
Suasana latar (baca: tempat) sekitar tokoh juga sering dipakai untuk
melukiskan kediriannya. Pelukisan suasana latar dapat lebih
mengintensifkan sifat kedirian tokoh seperti yang telah diungkapkan dengan
berbagai teknik lain. Keadaan latar tertentu adakalanya dapat menimbulkan
kesan yang tertentu pula dipihak pembaca. Pelukisan keadaan latar sekitar
tokoh secara tepat akan mampu mendukung teknik penokohan secara kuat
walau latar itu sendiri sebenarnya merupakan sesuatu yang berada di luar
kedirian tokoh.54
h. Teknik Pelukisan Fisik
Keadaan fisik seseorang sering berkaitan dengan keadaan
kejiwaannya, atau paling tidak, pengarang sengaja mencari dan
memperhubungkan adanya keterkaitan itu. Misalnya, bibir tipis menyaran
pada sifat ceriwis dan bawel, rambut lurus menyaran pada sifat tidak mau
mengalah, pandangan mata tajam, hidung agak mendongak bibir yang
bagaimana, dan lain-lain yang dapat menyaran pada sifat tertentu. Tentu
saja hal itu berkaitan dengan pandangan (budaya) masyarakat yang
bersangkutan.
Pelukisan keadaan fisik tokoh, dalam kaitannya dengan penokohan,
kadang-kadang memang terasa penting. Keadaan fisik tokoh perlu
dilukiskan, terutama jika memiliki bentuk fisik khas sehingga pembaca
dapat menggambarkan secara imajinatif.55

C. Pembelajaran Sastra di Sekolah


Sastra itu mempunyai relevansi dengan masalah-masalah dunia nyata,
maka pengajaran sastra harus kita pandang sebagai sesuatu yang penting
yang patut menduduki tempat yang selayaknya. Sudah barang tentu, tidak

54
Nurgiantoro, op. cit., h. 295.
55
Ibid., h. 296.
28

semua khazanah sastra Indonesia yang luas itu akan tercakup dalam
pengajaran sastra yang waktunya terbatas. Namun, bagaimanapun akan
lebih baik mengajarkan sastra sebagai sebuah kepaduan dibanding
mengajarkannya secara centang-perenang.56 Jika pengajaran sastra
dilakukan dengan cara yang tepat, maka pengajaran sastra dapat
memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah
nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan di dalam masyarakat. Masalah
yang kita hadapi sekarang adalah menentukan bagaimana pengajaran sastra
dapat memberikan sumbangan yang maksimal untuk pendidikan secara
utuh. Pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila
cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu: 57
1) Membantu Keterampilan Berbahasa
Seperti kita ketahui ada empat keterampilan berbahasa: meyimak,
wicara, membaca, menulis. Mengikutsertakan pengajaran satra dalam
kurikulum berarti akan membantu siswa berlatih keterampilan membaca,
dan mungkin ditambah sedikit keterampilan menyimak, wicara, dan menulis
yang masing-masing erat hubungannya.
2) Meningkatkan Pengetahuan Budaya
Sastra berkaitan erat dengan semua aspek manusia dan alam dengan
keseluruhannya. Setiap karya sastra selalu menghadirkan “sesuatu” dan
kerap menyajikan banyak hal yang apabila dihayati benar-benar akan
semakin menambah pengetahuan orang yang menghayatinya. Apabila kita
dpat merangsang siswa-siswa untuk memahami fakta-fakta dalam karya
sastra, lama-kelamaan siswa itu akan sampai pada realisasi bahwa fakta-
fakta itu sendiri tidak lebih penting dibanding dengan keterkaitannya satu-
sama lain sehingga dapat saling menopang dan memperjelas apa yang ingin
disampaikan lewat karya sastra itu. Suatu bentuk pengetahuan khusus yang
harus selalu dipupuk dalam masyarakat adalah pengetahuan tentang budaya
yang dimilikinya.
56
Agus R. Sarjono, Sastra Dalam Empat Orba, (Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya, 2001), h. 227.
57
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 16.
29

Setiap sistem pendidikan kiranya perlu disertai usaha untuk


menanamkan wawasan pemahaman budaya bagi setiap anak didik.
Pemahaman budaya dapat menumbuhkan rasa bangga, rasa percaya diri dan
rasa ikut memiliki.
3) Mengembangkan Cipta dan Rasa
Setiap guru hendaknya selalu menyadari bahwa setiap siswa adalah
seorang individu dengan keperibadian yang khas, kemampuan, masalah dan
kadar perkembangannya masing-masing yang khusus. Oleh karena itu
penting sekali kiranya memandang pengajaran sebagai proses
pengembangan individu secara keseluruhan. Dalam hal pengajaran sastra,
kecakapan yang perlu dikembangkan adalah kecakapan yang bersifat indra,
yang bersifat penalaran, yang bersifat afektif dan bersifat sosial, serta dapat
ditambahkan lagi yang bersifat religius. Karya sastra, sebenarnya dapat
memberikan peluang-peluang untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan
semacam itu. Oleh karenanya, dapatlah ditegaska, pengajaran sastra yang
dilakukan dengan benar, akan dapat menyediakan kesempatan untuk
mengembangkan kecakapan-kecakapan tersebut lebih dari apa yang
disediakan oleh mata pelajaran yang lain, sehingga pengajaran sastra
tersebut dapat lebih mendekati arah dan tujuan pengajaran dalam arti yang
sesungguhnya.
4) Menunjang Pembentukan Watak
Pengajaran sastra hendaknya mampu membina perasaan yang lebih
tajam. Dibanding pelajaran-pelajaran lainnya, sastra mempunyai
kemungkinan lebih banyak untuk mengantar kita mengenal seluruh
rangkaian kemungkinan hidup manusia seperti: kebahagiaan. Kebebasan,
kesetiaan, kebanggaan diri sampai pada kelemahan, kekalahan,
keputusasaan, kebencian, perceraian dan kematian. Seseorang yang telah
banyak mendalami berbagai karya sastra biasanya mempunyai perasaan
yang lebih peka untuk menunjuk hal mana yang bernilai dan mana yang tak
bernilai.
30

Sehubungan dengan pembinaan watak, pengajaran sastra hendaknya


dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai
kualitas kepribadian siswa yang antara lain meliputi, ketekunan,
kepandaian, pengimajian, dan penciptaan. Sastra, seperti yang kita ketahui,
sanggup memuat berbagai medan pengalaman yang sangat luas.58

D. Penelitian Relevan
Penelitian mengenai novel Pulang pernah dilakukan oleh Uky
Mareta Yudistyanto (2013) dalam tesisnya yang berjudul Pendekatan
Sosiologi Sastra, Resepsi Sastra Dan Nilai Pendidikan Dalam Novel Pulang
Karya Leila S. Chudori. Merupakan tesis di Universitas Sebelas Maret.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh beberapa kesimpulan. Pertama,
analisis kajian tentang latar sosiologis karya sastra novel Pulang, yaitu: a)
ketidak adilan sosial yang meliputi stereotipe sosial dan pelanggaran HAM;
b) penyimpangan norma dalam masyarakat yang meliputi seks bebas,
perselingkuhan, pengonsumsian minuman keras, tindak anarki dalam
demonstrasi, pelecehan sesksual; c) birokrasi yang meliputi pemerintah
yang otoriter dan marginalisasi masyarakat; 2) analisis kajian tentang
resepsi pembaca yang terdiri dari para pembaca ahli dan pembaca umum
(biasa); 3) analisis kajian tentang nilai pendidikan, yaitu: a) nilai pendidikan
akademis; b) nilai pendidikan politik; c) nilai pendidikan sosial yang
meliputi rasa cinta tanah air dan rasa solidaritas yang tinggi, yaitu rasa
empati, rasa saling menjaga, dan rasa senasib sepenanggungan.59
Penelitian novel Pulang juga pernah dilakukan oleh Eko Sulistyo
dalam penelitiannya yang berjudul Novel Pulang Karya Leila S. Chudori:
Ananlisis Struktur Plot Robert Stanton. Merupakan skripsi di Universitas
Gajah Mada. Dari hasil analisis dapat disimpulkan plot pulang bersifat rekat
dan plausible. Rekat dan plausible berfungsi untuk membuat pulang seperti

58
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988) h. 24.
59
Uky Mareta Yudistyanto, Pendekatan Sosiologi Sastra, Resepsi Sastra Dan Nilai
Pendidikan Dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori,
http://eprints.uns.ac.id/id/eprint/12182 , diakses pada tanggal 12 Januari 2015 pukul 09:30.
31

kenyataan, untuk menguatkan temanya, Pulang menggunakan ironi dramatis


(ironi plot).60
Penelitian novel Pulang juga pernah dikaji oleh Aditya Doni
Pradipta (2014) dalam skripsinya yang berjudul Konflik Politik Dalam Vovel
Pulang Karya Leila Salikha Chudori: Tinjauan Sosiologi Sastra dan
Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA. Merupakan skripsi di
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Berdasarkan hasil penelitian
diperoleh beberapa kesimpulan. Berdasarkan tinjauan sosiologi sastra,
konflik politik dalam novel Pulang dibagi menjadi dua, yaitu senjata-senjata
pertempuran dan strategi politik. Senjata-senjata pertempuran yang terdapat
dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori ada empat bentuk, yaitu a)
kekerasan fisik, b) kekayaan, c) organisasi, d) media informasi. Srategi
politik yang terdapat dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori ada lima
bentuk, yaitu a) perjuangan terbuka, b) perjuangan tersembunyi, c)
pergolakan di dalam renzim, d) perjuangan untuk mengontrol renzim, e)
kamuflase.61

60
Eko Sulistyo, Novel Pulang Karya Leila S. Chudori: Ananlisis Strukture Plot
Robert
Stanton,http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=
view&typ=html&buku_id=72485&obyek_id=4, diakses pada tanggal 12 Januari 2015
pukul 09.00.
61
Aditya Doni Pradipta, Konflik Politik Dalam Novel Pulang Karya Leila Salikha
Chudori: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di
SMA, http://eprints.ums.ac.id/29964/, diakses pada tanggal 28 Maret 2015 pukul 14:08.
BAB III
BIOGRAFI PENGARANG, SINOPSIS DAN PEMIKIRAN
A. Biografi Pengarang
Leila Salikha Chudori lahir di Jakarta, 12 Desember 1962. Leila
bisa dibilang pengarang yang jempolan. Usia merambah, kreativitas
bertambah. Masa kanak-kanak, Leila menjadi pengarang cerita anak-anak,
di tingkat akhir SMPnya, Leila telah berhasil menulis cerpen sekitar 50-an
serta 11 novelette. Tersebar di majalah-majalah Kuncung, Gadis, Hai,
Dewi dan yang lain. Tema yang dipilih Leila kecuali cerita anak-anak,
juga kisah-kisah remaja. Berdasar imajinasi. Tetapi dalam setiap cerpen
pasti terselip pengalaman yang pernah dihayatinya, dan ini menurut Leila,
mampu menghidupkan isi cerpennya. Cerpen yang pernah ditulisnya, yang
jadi favoritnya adalah Musik Dan Aku yang dimuat dalam Hai. 1
Bakatnya dalam menulis memang sudah ada sejak masih kecil.
Kumpulan cerpennya Malam Terakhir yang juga diterjemahkan ke dalam
bahasa Jerman Die Letzie Nacht (Horlemman Verlag). Sejak kecil leila
sudah biasa berkumpul dengan pengarang terkenal seperti, Yudistira
Marssadi, Arswendo Atmowiloto atau Danarto. Leila memang bukan
pengarang yang pantang mundur, terutama untuk bidang tulis menulis
yang diyakininya sebagai pilihan hidup dan karir, karena itu dia memilih
menjadi wartawan. Kerja sebagai wartawan memang sangat menyita
waktu dan meletihkan, sehingga ia tidak sempat lagi menulis cerita fiksi.
Leila sempat mewawancarai tokoh-tokoh terkenal yang tidak mungkin ia
jumpai saat dia hanya sekerdar menjadi penulis fiksi. Meski diakui
karirnya sebagai pengarang cukup cemerlang.
Jauh sebelum Leila berkecimpung di bidang jurnalistik, Leila
sudah sering mempublikasi karangannya di berbagai media cetak
bergengsi di Indonesia seperti Horison, Mantra, dan media berbahasa
Inggris Solidarity (Filipina), Managerie (Indonesia), dan Tenggara

1
Anonim, Leila S. Chudori Ingin Menggenggam Dunia, Majalah Dewi, Senin,
15 Mei 1979, h. 38.

32
33

(Malaysia). Cerpennya pernah dibahas oleh kritikus sastra Tinneke


Hellwig dalam “Leila S. Chudori and Women in Contemporary Fiction
Writing” yang dimuat di Tenggara terbiran Malaysia. Namanya juga
tercantum dalam salah satu sastrawan Indonesia dalam kamus sastra
Dictionnaire des Creatrices yang diterbitkan Editions des Femmes,
Prancis yang disusun oleh Jacqueline Camus, sebuah kamus sastra yang
berisikan data dan profil perempuan yang berkecimpung didunia seni.2
Perempuan kutu buku ini juga sudah menerbitkan sejumlah buku.
Semuanya fiksi, Leila memang jarang menulis artikel. Semasa kuliah ia
mengaku cukup serius dalam belajar, giat membaca buku-buku teks,
sehingga tidak punya waktu untuk menulis, jika sedang pulang ke
Indonesia Leila baru bisa mengarang. Leila sangat tidak percaya pada
bakat, bagi dia kata bakat mengandung misteri. “Manusia ditentuksn oleh
faktor eksternal dan internal. Kita harus menguji diri kita, punya jiwa seni
atau tidak.” Katanya. Bagi Leila seorang pegarang memiliki kepekaan
menangkap fenomena dalam dirinya yang kemudian diekspresikan lewat
kertas.
Kekaguman Leila pada ayahnya Mohammad Chudori yang
merupakan seorang wartawan Kantor Berita Antara, tidak mampu
disembunyikannya. Nama Leila S. Chudori tercantum dalam daftar
keanggotaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Periode 1993-1996, ia
menegaskan bahwa sudah sejak lama ia menolak untuk duduk dalam
keanggotaan itu.
Selain bekerja sehari-hari sebagai wartawan senior Tempo,
bersama dengan Bambang Bujono, Leila juga menjadi editor buku
Bahasa! Kumpulan tulisan majalah Tempo (Pusat Data Analisa Tempo,
2008). Leila juga aktif menulis skenario drama televisi. Drama TV
berjudul Dunia Tanpa Koma (Produksi SinemArt, sutradara Maruli Ara)
yang menampilkan Dian Sastrowardoyo dan Tora Sudiro ditayangkan di

2
Anonim, Seniman Sastra,
http://www.tamanismailmarzuki.co.id/tokoh/leila.html, diakses pada 05 September 2014.
34

RCTI tahun 2006. Terakhir Leila menulis skenario film pendek Dripadi
(produksi SinemArt dan Miles Films, sutradara Riri Riza), yang
merupakan kisah tafsir Mahabarata.3

B. Sinopsis Novel
Pulang dimulai dengan kisah empat wartawan Indonesia Dimas
Suryo, Nugroho, Risjaf dan Tjai, yang dilarang kembali ke tanah air
mereka setelah pembersihan komunis Indonesia pada tahun 1965.
Sementara teman-teman Dimas dan anggota keluarga dibantai atau disiksa
di Indonesia, empat teman-teman berpindah dari satu negara ke negara lain
yang mencari suaka politik, akhirnya mendarat di Prancis dan
menyambung hidup dengan membuka Restoran Tanah Air.
Tokoh penting lainnya adalah Hananto Prawiro, kawan seangkatan
Nugroho yang menjadi pimpinan baik semasa mereka masih sama-sama
berkuliah maupun setelah bekerja di Kantor Berita Nusantara. Tokoh ini
yang paling memiliki ikatan emosional dengan Dimas, ia kerap berperan
sebagai sahabat, pimpinan, sekaligus lawan diskusi yang cukup tengil.
Hananto adalah redaktur berita luar negri yang aktif membangun
komunikasi dengan berbagai elemen gerakan revolusioner kiri di dunia
terutama Amerika Latin, selain itu ia juga aktif di ormas LEKRA dan
menjadi tangan kanan pemimpin redaksi yang bertendensi mendukung
PKI. Sayangnya, dia harus tertangkap di negerinya sendiri pada 1968
setelah melakukan pelarian panjang dan dieksekusi mati oleh militer pata
tahun 1970.
Dimas hanyalah seorang jurnalis profesional yang menganut
ideologi politik tertentu, juga tidak terlibat gerakan organisasi politik
tertentu. Ia harus menelan pil pahit yang terkadang disesalkannya sendiri,
sebab harus hidup tersiksa tanpa alasan. Meski selalu ditolak, selama
menjadi eksil, setiap tahun Dimas selalu mendatangi KBRI mengajukan

3
Anonim, Seniman Sastra,
http://www.tamanismailmarzuki.co.id/tokoh/leila.html, diakses pada 05 September 2014.
35

visa masuk ke Indonesia. Ia juga harus bercerai dengan Vivienne dan


bertengkar dengan Lintang karena Dimas selalu berkorespondensi dengan
Surti dan anak-anaknya padahal itulah akses yang ia miliki untuk
mengetahui gambaram situasi di tanah airnya, dia juga selalu menyimpan
stoples kunyit dan cengkih segar yang diletakan di ruang tamu
apartemennya supaya setiap hari bisa menghirup aroma khas tanah airnya.
Yang paling mengagumkan adalah Restoran Tanah Air yang dirintisnya
bersama kelompok eksil politiknya dan sempat dilabeli sarang komunis.
Satu setengah dari buku ini bercerita tentang Dimas dan puterinya.
Lintang Utara, yang memutuskan berkunjung ke Indonesia pada tahun
1998 untuk membuat film dokumenter tentang kehidupan eksil politik di
Indonesia sebagai bagian dari proyek terakhirnya sebagai mahasiswa di
Universitas Sorbonne. Lintang bertemu Segara Alam, putra Hananto
Prawiro, yang membantu dia untuk mewawancarai keluarga aktivis politik
Indonesia yang menderita di bawah pimpinan Soeharto.
Dalam novel ini, tidak lain Dimas Suryo adalah Sang Ekalaya.
Seperti Ekalaya, Dimas adalah manusia yang memandang lurus
kehidupan. Dia tidak sadar bahwa sejatinya manusia adalah makhluk yang
suka bertarung dan saling memakan sesamanya demi memenuhi
kepentingan masing-masing. Meski tidak diakui lagi status warga
negaranya dan selalu ditolak pulang oleh pemerintah di negaranya, Dimas
tetap bertahan dengan langkah penuh jejak darah luka, sebab ia tahu persis
tanah air Indonesia tidak pernah menolak dirinya. Pada akhirnya, setelah
Orde Baru Soeharto ditumbangkan oleh gerakan mahasiswa dan rakyat
pada 21 Mei 1998, dan sebagai upaya terakhirnya untuk menegaskan
bahwa dirinya adalah putra Indonesia yang punya hak mewarisi tanah
airnya, Dimas Suryopun berhasil pulang untuk selamanya ke TPU Karet
Bivak Jakarta Pusat, tanah yang aromanya ia kenal dan mengenali dirinya.
36

C. Pemikiran Leila S. Chudori


Leila merupakan pengarang yang hampir selalu memilih cerita
pendek sebagai format ketika berkarya. Baginya, cerita pendek dalam
beberapa hal memiliki peraturan yang lebih ketat, lebih keras, dan lebih
galak, sebab cerita pendek harus memuat ledakan dalam ruang yang
sempit.
Leila sangat tidak percaya dengan bakat, baginya kata bakat itu
mengandung misteri. “Manusia itu ditentukan oleh faktor internal dan
eksternal. Kita harus menguji diri kita, punya jiwa seni atau tidak.”
Katanya. Bagi Leila, seorang pengarang memiliki kepekaan menagkap
fenomena dalam dirinya, kemudian diekspresikan lewat kertas. “Kita harus
mengadakan pendekatan pada kepekaan itu. Sesudah mengenal kepekaan
itu, barulah dilanjutkan dengan proses edukasi, ya membaca, belajar dari
pengalaman, menghayati kehidupan,” Baginya, seni itu tidak diperoleh
dalam pendidikan dalam pendidikan akademis, kecuali masalah politik dan
ekonomi. Seorang pengarang berbakat tidak ditentukan oleh kuantitas
karyanya, tapi bobot karya itu sendiri. Pengarang yang terlalu produktif itu
diragukan kualitas karya-karyanya. “Kapan sih kesempatannya untuk
mengendapkan karyanya dan kemudian merenung. Lain halnya dengan
Putu Wijaya yang benar-benar produktif, tapi terasa ada pengulangan-
pengulangan tanpa disadarinya,”4 Leila beranggapan menulis haruslah dari
hati dan menikmati prosesnya. Tidak hanya sekadar ingin terkenal, apalagi
memdapatkan penghargaan. Bila suatu karya diapresiasi baik, maka itu
menjadi nilai tambah, tapi bukan sesuatu yang diharapkan dari awal
pembuatan. Hasil karya Leila banyak terinspirasi dari kisah-kisah
perwayangan. Beberapa karyanya banyak memiliki dasar kisah drama
keluarga tidak biasa seperti kisah perwayangan. Baginya, kisah keluarga
yang baik-baik saja tidak menarik untuk diceritidakan. Berbeda hal bila
cerita menggambarkan drama keluarga yang menjadi korban dari peristiwa

4
Leila Salikah Chudori, ”Saya Tak Percaya Pada Bakat”, Jakarta: Suara
Pembaruan, Senin, 31 Oktober 1988, h. 8.
37

30 September 1965 akan sangat menarik jika diceritidakan dalam sebuah


karya.
Leila pergi kuliah ke Kanada tahun 1982, negri multikultural yang
damai dengan standar hidup yang jauh lebih “menjanjikan”. Enam tahun
hidup di negeri yang “tertib” tidak membuat Leila kehilangan selera atas
tanah airnya. Ia memilih pulang: kembali ke tempat yang chaos, sumpek
dan penuh persoalan.Leila ingat pesan ayahnya, “ada alasan mengapa kita
dilahirkan sebagai orang Indonesia. Alasan itu harus kita cari sepanjang
hidup kita.”
“Karena tanah air ini sungguh remuk luka, penuh persoalan...
Manusia Indonesia? Manusia yang gemar duit dan malas bekerja, yang
gemar bergunjing hanya untuk kesenangan sehari-hari, yang main tembak,
yang mempermainkan hukum...,” tulisan Leila dalam peringatan 40 hari
kepergian ayahnya.
Tetapi, seperti kata Ayah pula, Indonesia juga memiliki matahari
yang hangat. Ada banyak orang yang baik, yang perduli, yang bekerja
tanpa mengeluh, banyak yang terus berpeluh tanpa pamrih agar sekadar
sejengkal-dua-jengkal tanah air ini membaik. Kekaguman Leila pada
Ayahnya Mohammad Chudori wartawan kantor Berita Antara dan The
Jakarta Post itu, tidak mampu disembunyikannya.5
Pada akhir tahun 2012, Leila akhirnya menerbitkan novel
pertamanya, Pulang, yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer
Gramedia, dan Diluncurkan di Institute Goethe di Jakarta. Leila
menghabiskan enam tahun melakukan riset untuk pekerjaan dan dibayar
dua kunjungan ke Paris untuk wawancara antara lain, buangan politik
Oemar Said dan Sobron Aidit (yang baik untuk sementara meninggal), dan
banyak bekas tahanan politik di Jakarta, termasuk wartawan Amarzan

5
Anonim, Leila Selalu Ingin Pulang, www.dw.de/leila-yang-selalu-pulang/a-
16821309, diakses pada 09 Februari 2015 pukul 19:18.
38

Loebis dan aktivis Djoko sri Moeljono, yang telah dipenjarakan di Pulau
Buruh di bawah renzim militer Soeharto.6
Pulang memenangkan Khatulistiwa Literary Award, mengalahkan
novel karya penulis berbakat lainnya, seperti Dewi Kharisma Miceillia,
Laksmi Pamuntjak, Okky Madasari, dan AS Laksana. Leila mengatakan ia
merasa terhormat dan bersyukur pada penghargaan tersebut namun, ia
teringat ungkapan ayahnya, yang terpenting dalam kreativitas adalah
proses: penelitian dan penulisan. Ini adalah proses yang akan mengajarkan
kita untuk menjadi rendah hati. Proses kreatif Leila selalu menggunakan
latar jurnalistik untuk karya fiksinya. Dalam menulis Pulang Leila
menghabiskan enam tahun untuk meneliti, membaca dan mewawancarai
orang-orang buangan politik yang tinggal di Paris, seperti Oemar Said dan
Sobron Aidit, pemilik Restoran Tanah Air.7

6
Leila S. Chudori, Tentang Leila, http://www.leilaschudori.com/about-me/,
diakses pada 23 Oktober 2014.
7
Meghan Downes, Leila S. Chudori: Khatulistiwa Award Winner’s
Commitment To The Writing Process,
http://www.thejakartapost.com/news/2014/01/20/leila-s-chudori-khatulistiwa-award-
winner-s-commitment-writing-process.html, diakses pada 23 Oktober 2014.
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN NOVEL PULANG
KARYA LEILA S. CHUDORI
A. Unsur Intrinsik Novel Pulang Karya Leila S. Chudori
1. Tema
Tema dalam suatu karya merupakan pokok penting karena menjadi
dasar suatu cerita. Selain itu tema sering menjadi acuan untuk menentukan
konflik dalam rangkaian peristiwa.
Tema yang diangkat dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori
secara keseluruhan adalah perjuangan hidup para eksil politik.
Sudah sejak awal tahun semua yang dianggap terlibat Partai
Komunis Indonesia atau keluarga PKI atau rekan-rekan anggota PKI
atau bahkan tetangga atau sahabat yang dianggap dekat dengan PKI
diburu-buru, dan diintrogasi. Dik Aji menceritakan begitu banyak
kisah suram. Banyak yang menghilang. Lebih banyak lagi yang
mati.1

Kutipan di atas menggambarkan konflik berdarah peristiwa 30


September 1965 dan setelah peristiwa itu berlangsung. Orang-orang yang
terlibat langsung dengan PKI ataupun tidak menjadi korban pada peristiwa
berdarah itu. Tokoh-tokoh penting dalam Pulang seperti Dimas dan
kawan-kawan lainnya terasingkan di luar negeri karena pekerjaan mereka
di Kantor Berita Nusantara dekat dengan segala yang berbau kiri. Mereka
tidak bisa pulang selama Orde Baru masih memegang tongkat kuasa di
Indonesia.
Kutipan lain yang memberi gambaran keadaan eksil politik serta
keluarga di Indonesia ataupun yang berada di luar negeri.
Sembari mencerna koleganya mencerca kekacauan di negeri
ini, dari soal keputusan-keputusan Presiden yang di buat tanpa
perhitungan saat nilai rupiah terjun bebas hingga pengumuman
Presiden memasukkan kerabat dan anak sendiri ke dalam Kabinet,

1
Leila S. Chudori, Pulang, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012), h. 10-
11.

39
40

Aji berpikir dengan apatis. Seburuk apa pun, dia merasa negara ini
tak akan berubah. 2

Kutipan di atas adalah sikap apatis Aji Suryo (adik Dimas). Sikap
apatis Aji bukan tanpa sebab, semua iu terjadi karena pengalaman
hidupnya, Aji dan keluarga Dimas selalu menjadi bahan pergunjingan
karena Dimas merupakan orang yang paling dianggap sebagai simpatisan
komunis. Setelah peristiwa 30 September banyak para eksil politik yang
hidup mengelana dari satu negeri ke negeri yang lain tanpa identitas
karena ditolak oleh negerinya sendiri Indonesia karena tuduhan sebagai
simpatisan komunis, mereka disebut sebagai eksil politik.
Kutipan lain yang menunjukan penolakan pemerintahan Indonesia
terhadap eksil politik dan keluarganya adalah sebagai berikut
Aku masih terdiam. Memikirkan istilah Bersih Lingkungan.
Memikirkan wajah dan oandangan Tante Sur, berbagai diplomat dan
tamu pada pesta di KBRI.3

Kutipan di atas adalah kutipan yang menggambarkan keadaan yang


dialami Lintang sebagai anak dari seorang eksil politik Dimas Suryo pada
saat menghadiri perayaan Hari Kartini di KBRI. Pada tahun 1980-an ada
kebijakan yang dikenakan kepada seorang yang dianggap terlibat dalam
Gerakan 30 September, anggota PKI, atau anggota sejenis lainnya.
Kebijakan ini dikenal dengan istilah Bersih Diri dan Bersih Lingkungan.
Bersih Lingkungan adalah istilah yang dikenakan kepada anggota keluarga
seorang yang dicap komunis. Istilah Bersih Diri mengakibatkan para
mantan tahana politik tragedi 1965 dan anak cucu mereka menjadi anggota
TNI/POLRI, guru, pendeta, atau profesi yang dianggapa mampu
mempengaruhi masyarakat.
Berdasarkan paparan tersebut maka, tema yang diangkat penulis
adalah perjuangan hidup para eksil politik.

2
Ibid., h. 328.
3
Ibid., h. 164.
41

2. Tokoh dan Penokohan


Salah satu unsur intrinsik yang membangun sebuah kisah adalah
tokoh dan penokohan. Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa
dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita sedangkan
cara pengarang menampilkan tokoh tersebut disebut penokohan.
Novel Pulang karya Leila S. Chudori ini memiliki tokoh yang cukup
banyak, terlebih tokoh yang berasal dari sisi korban peristiwa tahun 1965.
Satu sisi inilah yang membuat novel ini hampir memiliki keseragaman
pemikiran pada setiap tokohnya. Setiap tokoh tentunya memiliki karakter
yang kuat dan dibekali proporsi yang seimbang dalam cerita, tetapi tokoh
yang akan dianalisis dalam penelitian ini hanya tokoh-tokoh yang
memiliki pengaruh cukup besar dan mendapatkan sorotan lebih dalam
cerita.
a. Dimas Suryo
Dimas Suryo seorang redaktur Kantor Berita Nusantara. Suami dari
Vivinne Devereaux ini harus rela terpisah jauh dari keluarga, ibu, dan
adiknya, Aji Suryo, karena situasi politik yang sedang memanas di
Indonesia. Ayah dari Lintang Utara ini dianaktirikan oleh tanah airnya
sendiri karena tuduhan sepihak telah terlibat langsung atau hanya sebagai
simpatisan PKI. Dimas yang harus menahan rindu kepada tanah airnya
sampai waktu yang tidak ditentukan sama s ekali tidak bisa melupakan
Surti beserta anak-anaknya dengan Hananto, yakni Kenanga, Bulan, dan
Alam.
Dimas adalah tokoh utama dalam novel Pulang karya Leila S.
Chudori yang bila dilihat dari segi perwatakan digambarkan sebagai tokoh
berkembang. Dia menjadi tokoh sentral karena semua cerita terfokus dan
tertuju kepadanya. Dalam novel ini diceritakan bahwa Dimas menjadi
tokoh paling dominan karena tahapan kehidupannya dikisahkan dengan
lengkap, dimulai dari sejak dia mengalami pengasingan sebagai eksil
politik sejak tragedi politik September 1965 yang membuat hidupnya
42

berubah. Selain karena kehidupannya yang diceritakan secara lengkap,


Dimas juga menjadi tokoh utama dilihat dari penyampaian tema cerita
yang tergambar dalam setiap tahapan yang dilaluinya.
Dimas berbeda dengan ketiga sahabatnya. Walaupun sama-sama dari
Indonesia, terasingkan jauh dari negerinya, namun dia tetap setia pada
tanah kelahirannya. Meskipun dia berkelana ke benua lain, beradaptasi
kemudian membangun keluarga di sana, tetapi ruhnya tetap pada tanah
tempat dia lahir dan dibesarkan, Indonesia. Dia selalu ingin kembali ke
tanah air, bukan kepada keluarga yang dibentuknya di benua yang dia
tempati sekarang.
Dimas adalah burung camar yang senantiasa ingin kembali ke
tanah kelahirannya; bukan kepada keluarga yang dibentuknya di
benua sekarang.4

Dari kutipan di atas terlihat bahwa Dimas begitu mencintai tanah


airnya. Dimas seperti burung camar yang terbang berkelana dari satu
negeri ke negeri yang lain untuk tetap bertahan hidup jauh dari tempat
tinggalnya, namun tempat yang dia kunjungi hanya sebagai tempat
persinggahan sementara bukan untuk menetap, baik dimas ataupun burung
camar selalu punya keinginan untuk kembali ke tempat mereka berasal.
Menurut Dimas, Indonesia adalah rumahnya, tempat di mana dia ingin
pulang dan bisa menghabiskan hari tua serta menutup mana walaupun
setiap tahunnya dia selalu merasakan kecewa karena permohonan visanya
agar bisa masuk ke Indonesia selalu ditolak. Selama sang Jendral masih
berkuasa di tanah airnya, orang-orang seperti Dimas dan ketiga sahabatnya
harus rela menelan pil pahit karena tetap tidak bisa pulang ke negerinya
sendiri.
Tapi puluhan tahun berlalu dan Sang Jendral semakin kuat dan
semakin ditakuti. Mungkin gaya pemerintahan Indonesia tidak sama
dengan gaya para jendral di negara-negara Amerika Latin. Tapi Sang
Jendral masih mencengkeram takhtanya dengan kuat.5

4
Ibid., h. 205.
5
Ibid., h. 204.
43

Dari kutipan di halaman sebelumnya terlihat bahwa Dimas masih


harus bersabar menanti saatnya pulang ke tanah air sampai pemerintahan
yang dipimpin sang Jendral berakhir. Walaupun seperti itu, Dimas
merupakan salah satu tokoh yang tetap pada pemikirannya, yakni ia akan
kembali ke Indonesia, tempat yang sangat ia kenali baunya. Seperti
kutipan di bawah ini,
“Ayah tahu, dia ditolak oleh pemerintah Indonesia, tetapi dia
tidak ditolak oleh negerinya. Dia tidak ditolak oleh tanah airnya.
Itulah sebabnya dia meletakan sekilo cengkih ke dalam stoples
besar pertama dan beberapa genggam bubuk kunyit di stoples
kedua di ruang tamu hanya untuk merasakan aroma Indonesia.”6

Kutipan di atas merupakan pemahaman Lintang Utara tentang


sikap Dimas yang akhirnya mengetahui mengapa ayahnya selalu
menyimpan hal-hal yang berhubungan dengan Indonesia seperti; stoples
kunyit dan cengkih serta wayang kulit Bima dan Ekalaya. Dimas
melakukan itu hanya untuk merasakan aroma Indonesia.
Selain kutipan tersebut, ada kutipan lain yang menggambarkan
keteguhan Dimas yang tetap percaya bahwa suatu saat nanti dia bisa
pulang ke Indonesia.
“Lintang sayang,
Memang ada ironi bahwa setelah Orde Baru jatuh, saat ada
kemungkinan besar bagi kami untuk pulang ke Indonesia, Ayah
tampaknya akan pulang dalam keranda (atau peti mati? Entahnlah).
Tapi tidak mengapa. Bukankah sudah kukatidakan, aku ingin
pulang ke rumahku di Karet? Jangan pilih pemakaman mewah Pere
Lachaise di Paris, jangan pula memilih pemakaman Tanah Kusir
atau Jeruk Purut. Pilihlah tanah Karet. Itu tanah yang Ayah kenal
baunya, teksturnya, yang nanti akan mudah menjadi satu dengan
tubuhku.”7

6
Ibid., h. 196.
7
Ibid., h. 444.
44

Dari kutipan di atas Dimas konsisten pada pemikirannya bahwa dia


akan tetap bisa pulang. Bila dia meninggal pun, dia tetap meminta untuk
dikuburkan di tanah airnya, tanah yang tidak pernah menolaknya.
b. Nugroho Dewantoro
Nugraha Dewantoro merupakan seorang pria kelahiran Yogyakarta
yang memiliki kumis seperti artis Clark Gable dan bersuara sumbang. Ia
pernah mempelajari tentang sinologi8, namun tidak lulus dan memilih
bekerja di kantor Berita Nusantara.
Di antara kami berlima hanya Mas Nug yang gemar menyanyi
dan bersiul, tapi justru suara dia yang paling sember dan tak
beraturan.9
Mas Nug sempat belajar sinologi seusai menyelesaikan sekolah
menengah tinggi. Tapi pendidikan ini tak diselesaikannya.10

Ia memiliki keahlian memasak seperti Dimas. Berbeda dengan Dimas


yang menyembah ritual dalam memasak, ia lebih mementingkan
efektivitas dan rasa puas sehingga ia dapat menggantikan bumbu sate atau
gado-gado dengan selai kacang,
Ada perbedaan antara masakan Om Nug dan Ayah. Om Nug
adalah seorang koki modern yang baru mempelajari kehebatan bumbu
Indonesia setelah semua memutuskan untuk mendirikan koperasi
restoran Indonesia. Dia mementingkan efektivitas dan rasa puas.11

Perihal masalah efektivitas dan rasa puas, Nugroho menerapkannya


pula dalam kehidupan percintaan. Setelah tertahan di Peking, ia
memutuskan singgah ke Swiss dan memiliki hubungan dengan seorang
wanita bersuami hanya karena nama wanita tersebut memiliki kesamaan
simbol dengan istrinya di Indonesia.
Nugroho Dewanto, lelaki Yogyakarta yang selalu menekankan
untuk berbahasa Indonesia daripada bahasa Jawa, sebetulnya sangat
sentimentil. Bahkan aku curiga, meski dia sering berlaga seperti

8
Ilmu pengetahuan yang mempelajari seputar bahasa dan kebudayaan Tiongkok.
9
Leila S. Chudori, op. cit., h. 92.
10
Ibid., h. 60.
11
Ibid., h. 139.
45

pemain perempuan, Mas Nug sangat menginginkan kehangatan


keluarga.12

Nugroho menjadi pemimpin secara tidak langsung di Restoran Tanah


Air setelah berpisahnya mereka dengan Hananto Prawiro. Ia menjadi
penopang karena memiliki sifat riang dan penuh dengan rasa optimis
dalam memandang kehidupan.

c. Risjaf
Risjaf merupakan anggota yang dianggap paling muda dan peka. Ia
digambarkan begitu tampan dengan rambut berombak, bertubuh tinggi
besar, berhati lurus dan tulus, namun tidak menyadari ketampanannya.
Lelaki Riau yang begitu tampan, berambut ombak, dan
bertubung tinggi besar itu sibuk, mengorek-ngorek rak bukuku untuk
mencari buku puisi, padahal dia sendiri sebetulnya adalah perwakilan
dari segala kejantanan.13

Tokoh yang pandai memainkan harmonika dan seruling ini


menemukan pendamping hidupnya ketika sudah menjadi eksil di Prancis
dan membangun keluarga yang bahagia. Ia menikahi seorang adik dari
salah satu eksil di Belanda serta dikaruniai seorang putri. Risjaf
merupakan satu-satunya eksil Prancis yang dapat singgah ke Indonesia di
masa Orde Baru berlangsung.

d. Tjai Sin Soe (Thahjadi Sukarna)


Tjai adalah seseorang yang rasional. Segala hal dalam hidupnya
sudah ia perhitungkan, termasuk tertahannya ia di Prancis bersama ketiga
temannya di Restoran tanah Air. Hal ini dikarenakan ia berasal dari etnis
Tionghoa, salah satu etnis yang akan pertama kali ditindak oleh
pemerintah akibat kejadian 30 September 1965 karena memiliki hubungan
dengan Tiongkok atau diidentikan dengan paham komunis.

12
Ibid., h. 105.
13
Ibid., h. 55-56.
46

Tjai Sin Soe (yang terkadang dikenal dengan nama Thahjadi


Sukarna) yang lekat dengan kalkulator di tangan kirinya jauh
melebihi nyawanya sendiri, lebih banyak berbuat, berpikir cepat
daripada coa-coa.14
Diskusi langsung mati akibat algojo Tjai yang rasional. Apa
boleh buat, memang dialah kalkulator kami.15

Suami dari Theresa yang selalu membawa kalkulator ini menjadi


bagian keuangan dalam pengelolaan koperasi restoran. Hidupnya serba
lurus, baik, dan di jalan yang benar. Tjai adalah perekat bagi pilar
Restoran Tanah Air yang memiliki keanehan dalam bertingkah laku.

e. Hananto Prawiro
Tokoh ini merupakan benang merah segala hubungan yang terjadi di
masa lalu Dimas dan ketiga eksil lainnya. Hananto yang berprofesi sebagai
redaktur Luar Negeri Kantor Berita Nusantara merupakan tokoh yang
berpendirian teguh dengan pendapatnya. Ia berusaha agar orang-orang di
sekitarnya sependapat dengannya melalui cara memaklumi dan
mengarahkan.
“Mas Hananto tahu, cara untuk mendekatiku bukan dengan
memerangi dan membantah seleraku.”16

Hanantolah yang menularkan gagasan tentang sosialisme adalah


seorang anggota PKI. Identitasnya inilah yang membuat orang-orang
terdekatnya menjadi korban pembersihan oleh pemerintahan Orde Baru.
Dalam novel ini, Hananto diceritakan sebagai tokoh yang cerdik
mengambil kesempatan dalam suatu kondisi sehingga pihak militer
membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menangkapnya.
Hubungan Hananto dengan Surti-lah yang membuat Dimas tidak
dapat jauh dari keluarga Prawiro. Oleh karena itu, setelah penangkapan
Hananto, Dimas-lah yang menjadi penunjang kehidupan keluarga Prawiro.

14
Ibid., h. 50.
15
Ibid., h. 99.
16
Ibid., h. 31.
47

Dimas yang tidak menyukai sikap Hananto karena tidak setia kepada Surti
inilah yang membuat gambaran bahwa Dimas sangat tertambat pesona istri
Hananto.

f. Vivienne Deveraux
Vivienne Deveraux yang lahir dari keluarga Laurence Deveraux
merupakan istri Dimas Suryo. Mereka bertemu dan jatuh cinta pada
pandangan pertama saat peristiwa gerakan mahasiswa di Prancis Mei
1968. Vivienne memiliki paras yang cantik, rambut berwarna brunette,
tebal berombak, dan bermata hijau.
Di antara ribuan mahasiswa Sorbonne yang baru saja
mengadakan pertemuan, aku melihat dia berdiri di bawah patung
Victor Hugo. Rambut berwarna brunette, tebal, berombak,
melawan arah tiupan angin. Hanya ada beberapa helai rambut yang
dengan bandel melambai-lambai menutupi wajahnya. Tapi, di
tengah gangguan rambut yang menebar-nebar ke sana kemari, aku
melihat sepasang mata hijaunya yang mampu menembus hatiku
yang tengah berkabut.17

Dari kutipan di atas terlihat penjelasan Dimas tentang Vivienne.


Vivienne bukan hanya cantik, tetapi juga sosok perempuan yang pintar.
Dia dibesarkan dalam keluarga intelektual. Tidak hanya itu, dia juga
perempuan yang cukup peka. Kepekaannya ituah yang membuat Dimas
terhenti dan tertahan di Eropa.
Vivienne jelas seorang perempuan cerdas yang kepandaiannya
dipupuk oleh kehidupan keluarga intelektual kelas menengah
Prancis yang mementingkan pencapaian akademik. Tetapi
kecerdasan di Prancis, atau bahkan di seluruh Eropa, mudah
ditemukan di mana-mana. Yang membedakan Vivienne dari kedua
sepupunya adalah kepekaannya.18

Vivinne cukup pintar menangkap setiap peristiwa yang diceritakan


Dimas kepadanya, termasuk tentang seseorang dari masa lalu Dimas,
Surti Anandari.

17
Ibid., h. 9.
18
Ibid., h. 16.
48

Kamu marah karena kau pernah mencintai Surti!19

Dari kutipan pada halaman sebelumnya terlihat Vivienne cepat


menangkap kesimpulan ketika Dimas bercerita tentang kisah hidupnya
mengapa dia bisa sampai di Paris. Setiap cerita tentang Jakarta selalu
disimaknya tanpa suara, tetapi ketika cerita sampai pada Dimas memukul
Hananto karena dia begitu benci dia mengkhianati Surti dengan bermain
dengan perempuan lain. Ia paham betul mengapa Dimas begitu marah saat
itu. Itu karena pernah terjadi sesuatu antara Dimas dengan Surti. Dia
mencoba mengorek-ngorek apakah masih ada cinta di hati Dimas untuk
Surti.
Vivienne merupakan sosok perempuan yang mempunyai pengertian
yang amat dalam bagi pasangannya. Dalam berbagai hal, dia bisa
menolerir semua hal. Dia juga perempuan yang mempunyai aturan yang
cukup jelas dalam perkawinan, tetapi untuk masalah perempuan lain dalam
perkawinannya, dia cukup tegas menyikapi.
Vivienne adalah isteri yang paling pengertian di seluruh jagad
raya. Berbeda dengan beberapa perempuan Prancis yang kukenal,
yang membebaskan suaminya berkelana dari satu ranjang ke ranjang
lain, Vivienne mempunyai aturan main yang jelas dalam soal
perkawinan kami. Dia akan mentolerir semua hal, semua, kecuali
satu: perempuan. Dan aku setuju.20

Vivienne merupakan tokoh yang tidak banyak mengalami perubahan


karakter dari awal hingga akhir penceritaan. Dia juga berperan sebagai
pencerita pada beberapa bab. Bukti dia sebagai pencerita pada beberapa
bab adalah kutipan di bawah ini,
Aku lahir dari keluarga Laurence Deveraux yang memilih untuk
mengikuti nalar; yang percaya bahwa hidup akan selesai setelah
selang pernafasan penyanggah hidup dicabut.21

Di balik kekuataan dan kemandiriannya terhadap hidup dan


pemikiran-pemikirannya, ia sangat lemah dengan rasa cintanya terhadap
19
Ibid., h. 40.
20
Ibid., h. 87.
21
Ibid., h. 199.
49

Dimas. Ia tidak dapat mengajukan segala pertanyaan tentang rasa kasih


yang Dimas berikan kepadanya dengan rasa kasih yang ia tidak tunjukan
secara langsung kepada Surti karena ia mengetahui jawabannya.
g. Lintang Utara
Lintang Utara adalah anak dari hasil perkawinan campur antara
Dimas Suryo dengan Vivienne Deveraux. Dalam novel ini, Lintang
digambarkan sebagai tokoh berkembang. Dia juga menjadi tokoh penting
karena pada beberapa bab cerita berfokus kepadanya. Dalam novel ini,
Lintang merupakan tokoh yang cukup dominan. Sejak kecil hingga
dewasa, dia mengalami perubahan perwatakan dari setiap peristiwa yang
dialami dan dikisahkan.
Lintang Utara itulah nama puteri yang lahir setelah pernikahan
kami berusia lima tahun. Semua yang ada pada Lintang adalah
perwujudan ibunya, kecuali rambutnya yang hitam dan ikal adalah
rambut keluarga Suryo.22

Kutipan tersebut menjelaskan bahwa Lintang Utara merupakan


perpaduan antara kecantikan khas Prancis yang dimiliki ibunya dengan
warna khas pribumi yang dimiliki oleh ayahnya. Sampai dia beranjak
dewasa kecantikannya semakin terlihat.
Lintang dewasa bukan hanya cantik tetapi juga pintar. Hal ini
terlihat dari kutipan berikut,
“Maman,” dia menghela nafas, “aku merasa tidak cukup hanya
mendengar cerita dari Ayah, Om Nug, Om Tjai, dan Om Risjaf.
Tidak cukup juga mewawancarai orang-orang Kedutaan...ada
konteks kesejarahan yang harus kupahami, bagaimana absurditas
sejarah di Indonesia ini dimulai.”
Inilah celakanya membesarkan anak dengan buku dan pendidikan
Sorbonne.23

Lintang mempunyai kehidupan yang berbeda dari anak-anak hasil


perkawinan campur lainnya. Perbedaan tersebut tergambar pada kutipan
berikut ini,

22
Ibid., h. 85.
23
Ibid., h. 210-211.
50

Aku mulai merasa ada sebuah kehidupan lain di bawah


kehidupan „normal‟ kami sebagai keluarga sejak aku masih kanak-
kanak: keluarga kami berbeda dari keluarga Prancis umumnya.24

Perbedaan yang dialaminya adalah karena dia anak dari eksil politik.
Sejak kecil dia hanya mengenal sebagian tanah airnya yang lain dari
cerita-cerita orangtuanya, cerita bagaimana ayahnya bisa sampai di Paris
dan mengapa tidak bisa kembali lagi ke Indonesia. Sampai pada saat dia
ingin menyelesaikan tugas akhirnya di Universitas Sorbone dia disarankan
untuk mengangkat film dokumenter tentang Indonesia.
“Negara kelahiran ayahmu sedang bergejolak. Ekonomi jadi
pemicu. Tetapi situasi politik semakin memanas karena Indonesia
sudah dipimpin oleh presiden yang sama.”25

Negara lain juga mengalami situasi sosial dan politik yang tidak
stabil seperti Indonesia, namun tidak seperti situasi politik yang dialami
Indonesia. Sejak pemerintahan Soeharto atau rezim Orde Baru dan selama
pemeritahan itu masih berkuasa, orang-orang seperti keluarga Lintang
tidak akan bisa menginjakkan kaki di Indonesia. Celakanya, selama 32
tahun Indonesia dipimpin oleh presiden yang sama.
Lintang memang tidak pernah datang ke Indonesia, tetapi dia cukup
mengenal makanan dan cerita-cerita Indonesia, seperti cerita perwayangan.
Tokoh yang paling disukai Lintang pada saat itu adalah Srikandi dan Panji
Semirang.
“Kenapa Srikandi?”
“Aku merasa dia bergerak mencari raga yang tepat.”
“Kenapa Panji Semirang?”
“Dia memburu identitas.”26

Berdasarkan kutipan di atas terlihat alasan mengapa Lintang


memilih tokoh-tokoh yang memburu identitas adalah karena sama dengan
dirinya yang juga memburu identitas. Sebenarnya dia juga mempunyai hak

24
Ibid., h. 143.
25
Ibid., h. 134.
26
Ibid., h. 184.
51

untuk datang ke Indonesia, sebagian tanah airnya, tetapi tidak pernah


sekalipun dia benar-benar bisa mengenal sebagian tanah air yang mengalir
dalam darahnya.

h. Segara Alam
Sama seperti tokoh Lintang, tokoh Alam dalam novel Pulang
memiliki peranan yang penting. Leila menampilkan Alam sebagai tokoh
yang mengungkapkan sejarah.
Alam adalah anak ketiga dari Hananto dan Surti serta adik dari
Kenanga dan Bulan. Dia tidak banyak bicara dan hanya berkawan dengan
Bimo. Alam memiliki kemampuan mengingat segala sesuatunya dengan
rinci atau disebut Photographic Memor. Kelebihannya inilah yang
membuat Alam selama SD, SMP hingga SMA selalu meraih prestasi di
sekolah. Selama bersekolah, dia bertemperamen tinggi. Sejarah tentang 30
September 1965 dan eksekusi ayahnya pada saat peristiwa berdarah itu
meletus, membentuk Alam menjadi seorang anak muda yang penuh
pertanyaan dan kemarahan. Setelah eksekusi ayahnya, Om Aji yang selalu
membantu perekonomian keluarganya. Baru setelah dewasa, dia
mengetahui bahwa Om Aji adalah adik dari Dimas, sahabat Ayahnya.
Alam pun melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum Universitas
Indonesia. Setelah mendapat gelar sarjana hukum, Alam mendirikan
lembaga swadaya masyarakat yang bertujuan untuk mengadvokasi
kelompok minoritas yang diperlakukan tidak adil.
Sejarah telah membuatnya hidup penuh dengan kemarahan dan
pertanyaan seperti yang dibuktikan oleh kutipan d bawah ini,
“Yu, sejarah telah membuat dan membentuk aku menjadi
seperti ini. Sejarah juga yang menentukan perbuatan dan tindakanku
di masa yang akan datang.”27

Alam bukan lelaki yang betah berlama-lama menjalin hubungan


dengan wanita. Hal itu dikarenakan dia terlalu sibuk dengan

27
Ibid., h. 295.
52

kemarahaannya tentang masa lalu. Hal ini dibuktikan oleh kutipan kutipan
berikut ini,
Menurut Yu Kenanga, aku harus bisa membereskan kemarahan
di dalam diriku sebelum bisa berhubungan serius dengan seorang
wanita. Mungkin dia benar.28

Bukti kuutipan lain yang menjelaskan bahwa Alam bukanlah tipe


pria yang betah berlama-lama dengan wanita adalah dialog yang
diucapkan oleh Bimo. Bimo berkomentar bahwa Alam cukup berubah
ketika bertemu Lintang saat anak dari Dimas itu sedang membuat tugas
akhirnya di Jakarta. Alamlah yang membantunya bertemu dengan para
narasumber untuk film dokumenter Lintang. Berikut kutipannya,
“Jadi bersih licin kaya dolfin!” aku menyindir karena dia biasa
malas mencukur jenggot dan kumisnya yang cepat sekali tumbuh.
Alam tersenyum gembira. Gawat! Ini gawat! Alam punya kebiasaan
hanya betah bersama seorang perempuan sekitar dua minggu.
Sebulan saja sudah prestasi.29

Alam dan Lintang mempunyai ketertarikan terhadap satu sama lain.


Benih cinta itu muncul selama Lintang berada di Jakarta. Pada saat itu
situasi politik dan ekonomi semakin parah di tahun 1998.

i. Surti Anandari
Surti Anandari adalah seorang wanita berlatarbelakangkan keluarga
dokter terpandang, tetapi memilih belajar di fakultas sastra dan filsafat. Ia
memiliki sifat keibuan dengan paras cantik sehingga diidamkan oleh para
pria. Surti merupakan kekasih Dimas pad masa awal kuliah, namun karena
sikap Dimas yang menunjukkan keraguan, Surti akhirnya memilih
Hananto menjadi suaminya. Ia menjadi seorang ibu dan istri dengan
karakter orang Indonesia pada umumnya, penurut dan pasrah.
Vivienne nampak tak yakin. Aku sendiri merasa tak yakin.
Aku tahu, setiap kali aku menyebut nama Surti hatiku masih terasa

28
Ibid., h. 290.
29
Ibid., 314.
53

bergetar dan teriris. Mendengar nama Kenanga, Bulan, dan bahkan


Alam, si bungsu yang tak pernah kukenal itu, tetap membuat
jantungku berlompatan. Itu adalah nama-nama pemberianku. Aku
tak pernah tahu apakah Mas Hananto menyadarinya.30

Satu-satunya cinta yang selalu disimpan oleh Dimas adalah cintanya


kepada Surti. Surti memiliki tempat tersendiri di hati Dimas. Walaupun
sudah menikah, Dimas tetap menjadikan Surti seseorang yang memiliki
tempat yang spesial di hatinya. Surtilah yang menjadi salah satu alasan
bagi Dimas untuk terus kembali pulang ke Indonesia. Bila dilihat pada
penggalan dialog sebelumnya, dapat dilihat bahwa Surti masih menyimpan
hati pada Dimas walaupun ia telah menikah dengan Hananto. Hal itu
dibuktikan oleh pemberian nama pada anak-anak Surti dan Hananto
merupakan nama-nama yang diajukan oleh Dimas ketika Surti dan Dimas
masih berpacaran. Hingga usia Dimas dan Surti beranjak tua, keduanya
tetap memiliki kenangan indah tentang kisah meraka.

3. Alur
Alur yang digunakan dalam novel Pulang adalah alur sorot-balik
karena cerita diawali dengan penangkapan Hananto Prawiro, kemudian
dilanjutkan dengan terdamparnya Dimas Suryo di Paris pada tahun 1968,
setelah itu barulah kronologis waktu bercampur dari masa kisah itu
diceritakan, kembali ke masa lalu, sampai pada akhir cerita pemakaman
Dimas di Karet, Jakarta tahun 1998. Tahap alur yang dikemukakan Tasrif
(dalam Nurgiantoro) dapat diterapkan ke dalam novel Pulang dengan
klasifikasi sebagai berikut ini:
1) Tahap situation
Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi
awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk melandastumpui cerita
yang dikisahkan pada tahap berikutnya. Novel Pulang karya Leila S.
Chudori ini mengawali cerita dengan ditangkapnya Hananto Prawiro.

30
Ibid., h. 41.
54

Cerita tersebut digambarkan dengan menggunakan sudut pandang Hananto


sendiri dalam bagian “Prolog: Jalan Sabang, Jakarta, April 1968”.
Aku membayangkan suasana sepanjang jalan Sabang, suara
bemo yang cerewet, opelet yang bergerak dengan malas, derit becak
dan kelenengan sepeda yang simpang-siur menyebrang, serta penjual
roti yang menyerukan dagangannya.31

Kemudian “Paris, Mei 1968” merupakan pengenalan tokoh sentral


dari Pulang, Dimas Suryo yang tertahan di Paris dan bertemu dengan
seorang mahasiswa Sorbone, Vivienne Deveraux. Kemudian keduanya
pun menjalin hubungan.
Pengenalan berikutnya digambarkan pada bagian “Hananto
Prawiro”. Pada bagian ini dijelaskan asal usul terdamparnya Dimas dan
ketiga temannya di Paris. Cerita diliputi oleh kegiatan ruang redaksi
Kantor Berita Nusantara dan perselisihan ideologi yang saling
berseberangan antara kubu “kiri” dan kubu M. Natsir.
2) Tahap generating circumstances
Tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik. Konflik itu
sendiri akan berkembang dan dikembangkan menjadi konflik-konflik pada
tahap berikutnya. Tahap awal munculnya konflik dapat dilihat pada bagian
“Surti Anandari”, “Paris, April 1998”, “Narayana Lafebvre”,
“L‟irreparable”, “Sebuah Diorama”, “Bimo Nugroho”, “Keluarga Aji
Suryo”. Pada bagian itu dijelaskan perjalanan hidup Dimas dan Risjaf
dalam menjalani rasa cinta yang masing-masing kepada Surti dan Rukmini
pada saat menjadi mahasiswa. Namun, kisah cinta mereka tidak berjalan
mulus karena terhalang oleh Hananto dan Nugroho.
Bagian “Paris, April 1998” merupakan awal perjalanan Lintang
untuk menggarap tugas akhirnya di Indonesia sebagai mahasiswa yang
membuat film dokumenter tentang kisah para korban yang terlibat
langsung atau tidak pasca kejadian 30 September 1965.

31
Ibid., h. 2.
55

“Narayana Lafebvre” merupakan bagian yang mengisahkan


kerinduan Lintang akan masa kecil yang memiliki keluarga pernuh
kehangatan. Pada bagian ini diceritakan pula awal jalan masuk Lintang
mengenal Indonesia selain dari cerita Ayah dan ketiga teman eksilnya.
Bagian selanjutnya merupakan “L‟irreparable”. Pada bagian ini
dikisahkan Lintang mengenalkan Narayana kepada Dimas. Dimas
memandang sebelah mata pada Nara karena dia termasuk kalangan orang
berada. Hal itu merupakan pemicu renggangnya hubungan antara Dimas
dan Lintang.
Pertemuan pertama kali antara Lintang dan Segara Alam, anak dari
Hananto Prawiro dan Surti Anandari, adalah langkah awal Lintang
menggarap tugas akhirnya yang diceritakan pada bagian “Sebuah
Diorama”. Kisah hidup keluarga yang ditinggalkan eksil diceritakan pada
bagian “Bimo Nugroho” dan “keluarga Aji Suryo”. Kisah kehidupan
keluarga yang selalu ditekan dan dianggap ikut berdosa untuk
menanggung dosa turunan karena pilihan ideologi salah satu anggota
keluarga mereka.
3) Tahap rising action
Pada tahap peningkatan konflik ini, konflik yang telah dimunculkan
pada tahap sebelumnya semakin berkembang. Tahap peningkatan konflik
pada novel ini terdapat pada bagian “Terre D‟ Asile”, “Ekalaya”, “Surat-
surat Berdarah” dan “Potret yang Muram”.
“Terre D‟ Asile”
Di Santiago, di tengah konfrensi itu, kami mendengar dari ketua
panitia Jose Ximenez tentang meletusnya peristiwa 30 September.32

Kutipan di atas menceritakan kepanikan Dimas dan kawan-kawan


yang sedang ditugaskan ke luar negeri dan tidak bisa kembali ke
Indonesia. Suasana Indonesia memanas karena beredar kabar pembunuhan

32
Ibid., h. 69.
56

para jenderal yang dituduh PKI. Dikisahkan pula tentang perjalanan


mereka sebelum menetap dan berjuang hidup di Paris, Prancis.
“Ekalaya”
Ayah adalah seorang Ekalaya. Dia ditolak tapi dia akan
bertahan meski setiap langkahnya penuh jejak darah dan luka.33

“Ekalaya” adalah bagian yang menceritakan tentang tokoh kisah


wayang kegemaran Dimas karena memiliki kesamaan nasib, yaitu
penolakan dari yang diharapkan dapat menerima.
“Surat-surat Berdarah” mengisahkan ketegangan di Indonesia
melalui surat-surat yang dikirim oleh Aji, Surti, Kenanga, dan Amir untuk
Dimas. Pada bagian “Potret yang Muram” menjelaskan bahwa Lintang
menambatkan hatinya pada Alam, serta kisah Surti bertahan hidup setelah
pemburuan Hananto oleh pemerintah yang tak kunjung menuai hasil.
4) Tahap climax
Pada tahap klimaks, konflik dan pertentangan yang terjadi
mencapai titik intensitas puncak. Tahap klimaks yang terdapat pada
Pulang terdapat pada bagian “Vivienne Deveraux” dan “Mei 1998”.
Pada saat itulah aku tahu: aku tak pernah dan tak akan bisa
memiliki Dimas sepenuhnya. Saat itu pula aku tahu mengapa dia
selalu ingin pulang ke tempat yang begitu cintai.34

Pada kutipan di atas menjelaskan penyebab perceraian pernikahan


Dimas dan Vivienne yang didasari oleh rasa cinta Dimas terhadap Surti
yang tak kunjung hilang. Hal itulah yang mengakibatkan Dimas selalu
mengikat diri dengan segala simbol yang tertuju pada Surti dan memaksa
Dimas untuk terus mengingat wanita itu dan segala yang ada di Indonesia.
“Mei 1998”
Kami tiba di Kampus Trisakti sekitar pukul 10 lewat beberapa
menit.35

33
Ibid., h. 197.
34
Ibid., h. 216.
35
Ibid., h. 414
57

Kutipan di halaman sebelumya menggambarkan Lintang yang


terlibat dalam keriuhan demo dan peristiwa Mei 1998.
5) Tahap denouement
Pada tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai klimaks
diberi jalan keluar, cerita diakhiri. Tahap penyelesaian pada Pulang
terdapat pada bagian “Epilog: Jakarta, 10 Juni 1998”
Akhirnya Ayah pulang ke Karet
Akhirnya dia bersatu dengan tanah yang menurut dia “memiliki
aroma yang berbeda” dengan tanah Cimetiere du Pere Lachaise.
Tanah Karet. Tanah tujuan dia untuk pulang.36

Kutipan di atas mengisahkan kembalinya Dimas ke Indonesia, ke


Karet. Akhir pengembaraanmya ditutup dengan pemakaman yang
dilakukan di Karet, Jakarta.

4. Latar
a. Latar Tempat
Latar tempat merupakan lokasi kejadian yang ada dalam novel.
Melalui latar ini, pembaca dapat membayangkan kondisi tempat dalam
cerita. Novel Pulang karya Leila S. Chudori menggunakan Jakarta dan
Paris sebagai latar tempat.

1. Paris
Paris merupakan tempat persinggahan Dimas dan kawan-kawannya
dari penolakan keberadaan mereka di Tanah Air karena dianggap terlibat
PKI. Di Paris, dia memulai hidup kembali dengan membangun sebuah
restoran bersama teman-temannya, membangun keluarga bersama
Vivienne, hingga mempunyai seorang anak perempuan bernama Lintang
Utara.
Aku mendarat di Paris pada awal tahun, ketika dingin
menusuk tulang.37

36
Ibid., h.447.
37
Ibid., h. 77.
58

Paris adalah tempat persinggahan para eksil politik. Banyak eksil


politik yang tinggal dan hidup di Paris memiliki keluarga di sana. Hal ini
dikarenakan Paris merupakan tempat yang paling ramah bagi para eksil
politik seperti Dimas dan kawan-kawannya.
Sampai di suatu malam bulai Mei 1968 yang riuh oleh
tuntutan mahasiswa kepada pemerintah Prancis; aku bertemu
dengan Vivienne Deveraux di kampus Universitas Sorbonne.
Begitu saja ia masuk ke dalam keseharianku, ke dalam tubuhku,
dan akhirnya perlahan-lahan merayap memasuki rongga sejarah
hidupku.38

Kutipan, di atas menjelaskan pertemuan Dimas dengan Vivienne.


Pertemuan tersebut terjadi saat Paris bergejolak, namun keadaan di sana
tetap santun, tidak seperti keriuhan yang terjadi di Jakarta. Pada 18 Mei
1968, sedang terjadi serangkaian gerakan mahasiswa dari berbagai
universitas di Paris, di antaranya adalah Universitas Sorbonne.

2. Jakarta, Tjahaja Foto, Jalan Sabang


Tjahaja Foto adalah tempat di mana Hananto Prawiro bekerja
setelah Kantor Berita Nusantaranya diberedel oleh pemerintah karena
dianggap partisipan PKI. Tjahaja Foto juga tempat Hananto ditangkap oleh
tentara.
Ketika mesin mobil dinyalakan, aku menebarkan pandangan
ke seluruh malam di Jalan Sabang: gerobak kue putu Soehardi, sate
Pak Heri, warung bakmi godog, dan terakhir lampu neon Tjahaja
Foto yang berkelap-kelip. Untuk terakhir kalinya.39

Hananto Prawiro adalah teman seperjuangan Dimas dan termasuk


orang yang paling diburu oleh pemerintah karena keaktifannya terhadap
hal-hal yang berbau „kiri‟.

38
Ibid., h. 79.
39
Ibid., h. 5.
59

3. Rumah Surti Anandari, Jakarta


Rumah Surti adalah tempat Lintang bertemu dengan Surti. Dia
bertemu Surti untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada para
korban kekejaman politik di Jakarta dan apa yang terjadi setelah Hananto
Parawiro tertangkap.
Kami menikmati kopi di ruang depan menghadap teras. Kali ini
tante Surti siap menghadap kamera. Aku mengingatkan, jika dia
merasa tidak nyaman, dia harus mengutarakan agar aku menyetop
rekaman. Hanya dengan pancingan satu pertanyaan, Tante Surti
bercerita kepada kamera, seolah itu adalah seorang yang dikenalnya.
Seorang yang ditunggu-tunggunya bertahun-tahun.40

Di rumah Surti, Lintang memperoleh sendiri apa yang dia baca lewat
surat-surat Surti yang dia temukan di apartemen Ayahnya. Lintang
mendengar langsung cerita bagaimana Surti dan anak-anaknya ditahan di
Guntur lalu kemudian di tahan di Budi Kemuliaan dari Mulut Surti, sebuah
kisah yang sama dengan isi surat yang dikirim wanita itu untuk ayahnya.
Berikut kutipannya:
Selanjutnya kisah Tante Surti tentang pengalaman mereka di
Guntur persis seperti surat-surat Kenanga dan Tante Surti yang
kutemukan di apartemen Ayah. Dia bercerita hingga mereka
dipulangkan, lantas ditahan lagi di Budi Kemuliaan.41

4. Kantor Satu Bangsa, Jakarta


Kantor Satu Bangsa adalah kantor Alam. Di sana Lintang banyak
menyimpan Dokumen hasil rekaman tugas akhirnya selama di Jakarta.
Kantor tersebut digeledah karena para intel sudah mengetahui keberadaan
Lintang dan apa yang sedang dilakukan Lintang di Jakarta.
Tiba di Kantor Satu Bangsa sudah ada beberapa teman di sana
barulah aku mengalami apa yang disebut teror mental. Alam dan aku
menyapu seluruh ruangan dengan sekali pandang.42

40
Ibid., h. 378.
41
Ibid., h. 383.
42
Ibid., h. 400.
60

Seluruh yang ada di kantor tersebut habis porak-poranda. Rekaman-


rekaman Lintang, videocam, dan laptop pun ikut menjadi korban. Lintang
mengalami teror mental yang dilakukan pemerintah pada saat itu. Kantor
Satu Bangsa adalah lembaga swadaya masyarakat yang bertujuan untuk
mengadvokasi kelompok minoritas yang diperlakukan tidak adil.
Tumpukan rekaman kasetku hilang. Catatanku hilang. Laptopku
hilang. Pojok itu kosong. Aku jadi blingsatan dan mengorek-ngorek
meja Mita dan membuka laci berulang-ulang.43

Dari kutipan di atas terlihat Lintang mulai panik teringat tugas


akhirnya yang menjadi kacau akibat penggeledahan itu.

5. Kampus Trisakti, Jakarta


Kampus Trisakti adalah tempat Lintang merekam aksi berkabung
yang terjadi di sana setelah kejadian penembakan mahasiswa Trisakti, 12
Mei 1998.
Kali ini kampus Trisakti bukan hanya penuh oleh mahasiswa
dan alumni, tetapi terlihat banyak tokoh yang datang menghadiri aksi
berkabung ini.44

b. Latar Waktu
Latar waktu menggambarkan kapan peristiwa itu terjadi. Novel
Pulang karya Leila S. Chudori adalah sebuah novel sejarah. Oleh karena
itu, waktu dalam kisahan ini menjadi begitu penting.

1) Jakarta, 1952-1998
Jakarta, Januari-Oktober 195245

Tahun 1952 adalah tahun kehidupan Dimas, Tjai, dan Risjaf,


Nugroho, dan Hananto. Saat itu Hananto dan Nugroho sudah bekerja di

43
Ibid., h. 401.
44
Ibid., h. 414.
45
Ibid., h. 51.
61

Kantor Berita Nusantara. Pada tahun itu juga mereka bertemu dengan
Surti, Ningsih, dan Rukmini.

Jakarta, Desember 196446

Pada 1964 keadaan Indonesia mulai memanas oleh organisasi-


organisasi yang berbau kiri, seperti Lekra dan PKI, dengan mereka yang
anti dengan hal-hal yang berbau kiri.
Gejolak politik tahun 1965 membuat Dimas terpisah dengan
keluarga karena harus menggantikan Hananto menghadiri konferensi
wartawan di Santiago, Cile. Pada saat itu Jakarta sudah mulai memanas
oleh pertikaian antarkalangan elite militer. Saat menghadiri konferensi di
Santiago, meletuslah peristiwa 30 September 1965 di Jakarta. Sejak saat
itu Dimas tidak bisa kembali ke Indonesia.
Bulan September 1965, Mas Nugroho dan aku adalah dua dari
banyak wartawan yang dundang menghadiri konfrensi International
Organization of Journalists di Santiago, Cile.47

Saat G30S meletus, keadaan negara kacau. Banyak pemberontakan


terjadi dan keadaan menjadi tidak aman. Banyak di antara mereka yang
ditangkap dan dibunuh karena terlibat atau dianggap sebagai simpatisan
PKI.
Hari ini tanggal 6 April 196848

6 April 1968 adalah hari di mana Hananto Prawiro tertangkap oleh


tentara. Dia tertangkap di Tjahaja Foto di pojok Jalan Sabang. Hananto
masuk ke dalam daftar orang yang paling diburu karena keaktifannya di
dalam organisasi yang berbau kiri. Penangkapan itu membuat Dimas
semakin sulit kembali ke Indonesia karena tentu dia juga masuk ke dalam
daftar orang-orang seperti Hanato.

46
Ibid., h. 28.
47
Ibid., h. 67.
48
Ibid., h. 4.
62

Jakarta, 18 Juni 197049

Dimas mendapat surat dari Kenanga Prawiro, yang mengabarkan


bahwa Ayahnya telah dieksekusi mati.
Pada subbab novel Pulang terakhir tertulis Mei 1998. Bagian ini
merupakan reformasi besar-besaran mahasiswa yang menuntut Presiden
Soeharto turun. Tahun itu bisa disebut sebagai detik-detik runtuhnya Orde
Baru. Bila Orde Baru runtuh artinya Dimas dan eksil politik lainnya bisa
kembali pulang ke Indonesia.

2) Paris 1968
Revolusi Mei 1968 tiba-tiba seperti tidak lagi tersisa. Prancis
kembali menjadi negara yang flamboyan meski tetap santun dan
teratur.50

Saat revolusi Mei 1968 di Paris, Dimas bertemu dengan Vivienne,


mahasiswa yang ikut demonstrasi melawan pemerintah Prancis. Di Prancis
pada tahun 1968 sedang terjadi Gerakan Mei 1968, yaitu serangkaian
gerakan mahasiswa dari berbagai Universitas di Paris, seperti Universitas
Sorbone dan University of Paris di Naterre. Pada saat yang sama, Dimas
mendapat kabar dari Jakarta bahwa Hananto Prawiro ditangkap tentara.
Jakarta, Agustus 1968
Mas Dimas,
Mas Hananto terjaring oleh empat orang intel bulan April lalu.51

Demonstrasi yang dilakukan tidak hanya oleh mahasiswa, tetapi juga


oleh sekelompok penyair dan musisi ini mengadakan pertemuan di
University of Paris di Naterre. Mereka mendiskusikan diskriminasi kelas
di Prancis dan juga mempersoalkan anggaran universitas. Manajemen
universitas memanggil polisi dan mengepung kampus. Pada peristiwa yang
kemudian disebut dengan gerakan 22 Maret ini, kampus ditutup sementara

49
Ibid., h. 246.
50
Ibid., h. 15.
51
Ibid., h. 19.
63

dan para pemimpin mahasiswa dipanggil untuk dikenakan sanksi oleh


universitas dan diancam dikeluarkan.
Atas nama solidaritas dan keadilan, mahasiswa Universitas
Sorbonne memprotes penutupan kampus dan ancaman terhadap para
mahasiswa tersebut. Polisi juga mengepung Universitas Sorbonne. Situasi
pun memanas. Sekitar 20 ribu mahasiswa dan dosen, serta para pendukung
ikut berdemonstrasi berjalan menuju Universitas Sorbonne.

c. Latar Sosial
Latar sosial mencakup hal-hal yang berhubungan dengan kondisi
tokoh atau masyarakat yang diceritakan dalam sebuah cerita. Latar sosial
mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok sosial dan sikap,
adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan lain-lain. Dalam novel Pulang
karya Leila S. Chudori, latar sosial ditemukan pada kehidupan eksil politik
dari tahun 1965-1998.
Mbak Surti yang sejak peristiwa 65 terus-menerus diinterogasi
di Guntur, kini juga dibawa, Mas.52

Kutipan di atas adalah kutipan surat Aji Suryo untuk Dimas. Sejak
G30S meletus, kehidupan para eksil politik dan keluarganya tidak habis-
habisnya mengalami teror mental, interogasi berulang-ulang,
penangkapan, penolakan, dan pembantaian yang terjadi saat itu.
Ada sesuatu tentang Ayah dan Indonesia yang selalu ingin
kupahami. Bukan cuma soal sejarah yang penuh darah dan
persoalan nasib para eksil politik yang harus berkelana mencari
negara yang bersedia menerima mereka.53

Orang-orang yang dianggap terlibat langsung atau tidak dengan


PKI dilarang untuk menginjakkan kaki ke Indonesia karena G30S. Sejak
ada istilah Bersih Diri dan Bersih Lingkungan tahun 1980-an, para mantan
tapol diberi cap ET (Eks Tapol) pada Kartu Tanda Penduduk mereka.

52
Ibid., h. 19
53
Ibid., h.184.
64

Peraturan ini tidak hanya berlaku untuk para esil politik tetapi juga untuk
keluarganya.
5. Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan dalam novel Pulang karya Leila S.
Chudori ini adalah sudut pandang orang pertama dan orang ketiga
mahatahu, walaupun sudut pandang orang pertama digunakan bergantian
antar tokoh. Sudut pandang orang pertama didominasi oleh Dimas Suryo
dan Lintang Utara.
1. Sudut pandang Dimas Suryo
“Ada Perjanjian yang tak terucap di antara Tai, Risjaf, dan aku.
Sejak mas Nug ditinggal sang bunga anggrek Rukmini54

Kutipan di atas menjelaskan pandangan Dimas tentang keadaan


Nugroho setelah diceraikan Rukmini. Bahwa perceraian yang dialami
Nugroho merupakan sebuah pukulan yang keras dan ia membutuhkan
sebuah pengakuan bahwa Nugroho merupakan pemimpin yang baik bagi
teman-temannya, walau ia tidak diakui sebagai pemimpin di keluarganya.
2. Sudut pandang Lintang Utara
“Tetapi saat yang paling penting untukku adalah berkhayal bersama
Ayah dan Maman.”55

Lintang memiliki hubungan yang cukup dekat dengan ayahnya, ia


mengetahui masa lalu ayahnya dari surat-surat Dimas yang sempat ia
baca.

6. Gaya Bahasa
Banyak ditemukan gaya bahasa dalam novel Pulang karya Leila S.
Chudori. Dalam novel ini penggunaan gaya bahasa didominasi oleh
perumpamaan dalam mengungkapkan sebuah keadaan dan kehidupan.
Perumpamaan yang digunakan dapat berupa perbandingan manusia
dengan sesuatu hal, penggambaran benda yang memiliki sifat seperti

54
Ibid., h. 105.
55
Ibid., h. 184.
65

manusia. Gaya bahasa yang digunakan antara lain menggunakan majas


hiperbola, simile, dan personifikasi.
a) Majas Hiperbola
Majas hiperbola ditemukan dalam beberapa kutipan di novel ini.
Hiperbola diartikan sebagai gaya bahasa yang berlebihan dengan
membesar-besarkan suatu hal.
Ayah adalah seorang Ekalaya. Dia ditolak tapi dia akan
bertahan meski setiap langkahnya penuh jejak darah dan luka.56

Kutipan di atas diartikan bahwa Lintang memahami keteguhan


Ayahnya yang akan tetap bertahan meski ditolak oleh pemerintah
Indonesia. Ayahnya akan tetap bertahan walaupun semuanya sulit bahkan
seakan-akan berjalan penuh dengan jejak darah dan luka. Padahal tidaklah
seperti itu.
Saya merasa langit Jakarta sudah retak. Lempengan besi
hitam itu menghujani kami.57

Kutipan di atas menggambarkan keadaan yang dialami keluarga


Hananto Parawiro. Penderitaan yang mereka alami tidak berkesudahan
bahkan setelah sang kepala keluarga dieksekusi mati. Seperti dihujani
lempengan besi hitam, penggunaan kata dihujani oleh Leila adalah
pengungkapan penderitaan yang tidak berkesudahan.

b) Majas Simile
Majas simile atau persamaan adalah perbandingan yang bersifat
eksplisit, yaitu majas yang langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal
yang lain. Majas simile yang terdapat pada novel pulang yaitu
perbandingan manusia seperti payung yang memberi keteduhan dan
perlindungan.
Om Aji Suryo dan Tante Retno adalah payung besar tempat
kami berteduh di saat hujan, badai, dan terik matahari.58
56
Ibid., h. 197.
57
Ibid., h. 246.
58
Ibid., h. 291.
66

Kutipan tersebut menjelaskan peran Aji Suryo dan Retno dalam


membantu keluarga Hananto pasca Hananto dieksekusi mati.
Om Aji segera terbang ke samping kami seperti seekor induk
burung elang yang memeluk anak-anaknya dengan sepasang sayap
yang luas.59

Pada kutipan kedua, tergambarkan kesigapan dan peran Aji dalam


membantu keluarga Hananto disamakan seperti induk burung elang yang
melindungi anaknya.
“Wajahmu seperti kepiting rebus”60
Kutipan di atas menjelaskan wajah lintang yang memerah karena
panas.

c) Majas Personifikasi
Personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang
menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak
bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Dalam novel
Pulang juga ditemukan beberapa majas personifikasi.
Tetapi bunyi dan aroma kue putu itu selalu berhasil mengetuk
pintu dan jendela.61

Leila mengumpamakan bunyi dan aroma kue putu mendobrak pintu


dan jendela, padahal bunyi dan aroma kue putu adalah benda mati. Sedang
mendobrak adalah kegiatan makhluk hidup seperti yang sering dilakukan
manusia. Makna yang hendak disampaikan lewat majas tersebut adalah
kondisi di malam hari dengan segala aktivitas yang ada.
Malam sudah turun tanpa gerutu dan tanpa siasat.62

59
Ibid., h. 292.
60
Ibid., h. 368.
61
Ibid., h. 2.
62
Ibid., h. 1.
67

Pada kutipan di atas, Leila mengumpamakan malam turun seperti


makhluk hidup. Gerutu dan siasat adalah sifat yang dimiliki makhluk
hidup seperti manusia. Maksud dari penggunaan majas ini dalam kalimat
tersebut adalah kondisi di malam hari. Berdasarkan paparan gaya bahasa di
atas penulis menyimpulkan novel ini menggunaan gaya bahasa didominasi
oleh perumpamaan dalam mengungkapkan sebuah keadaan dan kehidupan.
Perumpamaan yang digunakan dapat berupa perbandingan manusia
dengan sesuatu hal, penggambaran benda yang memiliki sifat seperti
manusia.

B. Analisis Tokoh Lintang dalam Novel Pulang karya Leila S. Chudori


Penelitian tokoh Lintang dalam novel Pulang berdasarkan dua
alasan. Pertama, Lintang menjadi sosok yang juga amat penting dalam
novel Pulang karena penceritaan mengenai kehidupan eksil politik pada
beberapa bab63 terutama di Jakarta diteruskan oleh Lintang. Kedua,
Lintang adalah Tokoh Indo. Indo adalah satu sosok “Orang Lain” yang di
sekitarnya dapat dibentuk identitas-identitas Indonesia, dan sekaligus satu
sosok ambiguitas dan kegelisahan-kegelisahan yang terus menghantui.
Dalam Sastra Indonesia Modern Kritik Postkolonial Thomas M. Hunter
dalam penelitiannya mengatakan; sejak semula orang Eurasia atau Indo
merupakan sosok yang dikaitkan dengan kegelisahan-kegelisahan
mendalam. Contohnya dalam Keberangkatan karya Nh. Dini tahun 1977.
Dini bercerita tentang Elisabeth Frissart seorang wanita indo yang
mencintai seorang pribumi yang berakhir dengan penghianatan. Keputusan
Elisa untuk kemudian meninggalkan Indonesia untuk selamanya bisa
dibaca di satu pihak mencerminkan keterasingan politik para orang Indo
sesudah berdirinya republik. Ketegangan-ketegangan serupa tercermin
dalam Annelies dalam Bumi Manusia (1981) karya Pramoedya tentang
tragedi yang diakibatkan oleh kondisi historis kebijakan-kebijakan

63
Paris, April 1998, Narayana Lafebvre, L‟irreparable, Ekalaya, Surat-Surat
Berdarah, Flaneur, Potret yang Muram, dan Mei 1998.
68

kolonial tentang ras dan perkawinan.64 Tokoh Lintang dalam novel Pulang
juga Indo. Sebagai Indo, Lintang merupakan sosok yang merasakan
kegelisahan-kegelisahan mendalam mengenai ras dan identitas. Lintang
menjadi berbeda dari lingkungan sekitarnya lantaran status indonya. Lebih
dari itu, ambiguitas dan kegelisahan mengenai posisinya terus menghantui
kehidupan Lintang.
Analisis tokoh Lintang dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori
ini menggunakan teknik pelukisan tokoh. Seperti yang sudah dijelaskan
dalam kajian teori, penulis menggunakan teknik pelukisan tokoh menurut
Burhan Nurgiantoro. Hal ini dimaksudkan untuk menjabarkan secara jelas
mengenai tokoh Lintang dalam novel Pulang. Leila menggambarkan
tokoh Lintang dengan menggunakan teknik dramatik. Artinya, pengarang
tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat, sikap, serta tingkah laku
tokoh. Teknik dramatik terbagi menjadi delapan bagian. Hal tersebut akan
dijelaskan satu-persatu seperti berikut ini.

1. Teknik Cakapan
Teknik cakapan atau dialog dilakukan antara tokoh utama dengan
tokoh lain dalam cerita. Pada novel Pulang, teknik cakapan ini terjadi
antara tokoh Lintang dengan tokoh-tokoh lainnya. Hal ini dimaksudkan
untuk menggambarkan sifatnya dalam sebuah novel. Dari teknik ini dapat
diketahui bahwa Lintang memiliki sifat keras kepala, berkemauan tinggi,
dan pantang menyerah.
Sifat-sifat tersebut dapat terlihat dalam kutipan sebagai berikut:
“Nara menggundang ayah makan malam untuk saling
mengenal. Bukan untuk dihina.”
“Menghina? Siapa yang menghina?”
“Setiap ucapan dia selalu saja ada salahnya. Pilihan restorannya,
pilihan filmnya, pilihan puisinya..”65

64
Keith Foulcher dan Tony Day, Sastra Indonesia Modern Kritik Postkolonial
Edisi Revisi “Clearing a Space”, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta,
2008), h. 136
65
Ibid., h. 177.
69

Kutipan di atas menggambarkan sifat Lintang yang didominasi oleh


pemikiran budaya Barat yang berani menyuarakan pendapat kepada
ayahnya. Hal ini terlihat pada percakapannya dengan Dimas mengenai
kelakuan ayahnya terhadap Nara.
Dari kutipan tersebut, Lintang berpendapat bahwa ayahnya selalu
mengkritisi apa saja yang dilihat matanya dan itulah yang membuat
Lintang tidak bebas. Hal ini terlihat pada kutipan tersebut, saat ayahnya
tahu bahwa Nara lahir dari keluarga kaya, ayahnya langsung mencap
bahwa Nara adalah laki-laki yang mudah memperoleh apa saja dari
kekayaan orangtuanya. Lintang jengkel dengan hal itu. Menurutnya,
ayahnya mempunyai pandangan yang begitu sempit. Dalam budaya Timur,
orangtua adalah yang paling benar. Anggapan yang dianut oleh perempuan
Timur kebanyakan, yakni ucapan orangtua, apapun itu, tidak boleh
dibantah, tidak bisa begitu saja diterima oleh Lintang karena meskipun ia
memiliki sifat indo, tetapi dia dibesarkan dengan tradisi barat yang kental.
Lintang besar dalam lingkungan keluarga yang memiliki keragaman
pendidikan dan sejarah. Keinginannya untuk terbang langsung ke
Indonesia adalah keinginannya sendiri setelah mendapat saran dari
Monsieur Dupont untuk membuat tugas akhir mengenai sejarah Indonesia.
Hal ini tergambar tergambar dalam kutipan berikut ini:
“Maman,” dia menghela nafas, “aku merasa tidak cukup hanya
mendengar cerita dari Ayah, Om Nug, Om Tjai, dan Om Risjaf.
Tidak cukup juga mewawancarai orang-orang Kedutaan. Ada
konteks kesejarahan yang harus kupahami, bagaimana absurditas
sejarah di Indonesia ini dimulai.”66

Kutipan tersebut menggambarkan bagaimana Lintang mempunyai


kemauan yang keras dan bertindak sesuai apa yang dia inginkan. Dia
bersikeras pergi ke Indonesia untuk membuat tugas akhirnya mengenai
sejarah Indonesia padahal situasi pada saat itu sedang bergejolak. Keadaan

66
Ibid., h. 211.
70

tersebut diperparah dengan predikatnya sebagai anak dari seorang eksil


politik yang membuat segala sesuatunya tidak mudah.
Kutipan lain yang menunjukkan sifat keras dan kemauan yang tinggi
adalah saat Lintang berbicara dengan Alam. Saat itu dia menunjukan
daftar nama-nama yang akan dia wawancarai untuk tugas akhirnya.
“Lintang, Kamu tahu semua orang dalam daftarmu ini adalah
nama-nama yang sangat disorot pemerintah?”
Lintang mengangguk, “Ya, saya tahu. Topiknya sendiri pasti
sudah kontroversial. Tapi...saya sudah memperhitungkan, untuk
mewawancarai sekitar delapan atau sembilan eks tahanan politik
dengan keluarganya paling tidak memakan waktu tiga pekan atau
paling lama sebulan.”67

Dari kutipan di atas terlihat bagaimana sikap Lintang menghadapi


berbagai kemungkinan kendala yang akan terjadi. Lintang memang sudah
terbiasa dengan demonstrasi politik di Paris. Dia menganggap demonstrasi
di Indonesia sama dengan di Paris. Namun, nyatanya demonstrasi politik
di Paris dengan di Indonesia tentunya sangat berbeda.
Kutipan-kutipan di atas jelas menggambarkan kemandiriannya
sebagai perempuan yang berkemauan keras. Lintang tidak perduli dengan
keadaan yang menakutkan sekalipun. Dia tidak ingin sumber untuk
mengerjakan tugas akhirnya yang mengangkat tema tentang sejarah
Indonesia hanya berasal dari para eksil politik yang ada di Eropa. Dia
ingin menginjakkan kakinya langsung di Indonesia untuk mencari tahu apa
yang sebenarnya terjadi hingga membawa ayah beserta kawan-kawan
ayahnya terdampar di Paris.
Berdasarkan beberapa kutipan percakapan yang dipaparkan, dapat
disimpulkan bahwa tokoh Lintang memiliki sifat berkemauan keras dan
bertindak sesuai apa yang diinginkannya. Sebagai Indo sifat yang begitu
tampak, yakni keinginan selalu menjadi yang paling superior, sebagaimana
(perempuan) Barat pada umumnya.

67
Ibid., h. 303.
71

2. Teknik Tingkah Laku


Selain melalui percakapan, sifat Lintang juga diperlihatkan oleh
tingkah lakunya. Ada beberapa kutipan yang menggambarkan beberapa
sifat Lintang yang tercermin dari tingkah lakunya.
Sudah lama sekali aku melupakan bagian asing di dalam diriku itu.68

Di dalam dirinya memang mengalir darah Indonesia, tetapi setiap


mengenang atau mencari tahu hal yang berhubungan dengan Indonesia,
selalu saja tersisa rasa sakit dan ketegangan antara dia dan ayahnya.
Bahkan, upayanya untuk mencari tahu tentang sebagian tanah airnya itu
berujung pada pertengkaran hingga perceraian orang tuanya. Lintang
memang dibesarkan dengan budaya Indonesia dan Prancis, tetapi budaya
Indonesia hanya bisa dia dengar dari cerita ayahnya tanpa bisa merasakan
langsung bagian dari dalam dirinya, itu sebabnya mengapa dia melupakan
dan merasa asing dengan sebagian budaya dalam dirinya itu.
Pertengkaran demi pertengkaranku dengan Ayah; serangkaiaan
konflik Maman dengan Ayah yang diakhiri dengan perceraiaan itu
tidak memudahkan hubungan kami. Beberapa bulan yang lalu
pertengkaran kami mencapai titik tertinggi. Hingga hari ini kami
tidak saling bersapa.69

Lintang tetap berpendapat bahwa menabuh gendang permusuhan


dengan orangtuanya bukan sesuatu yang baik dan ideal. Di sinilah dapat
dilihat bahwa Lintang juga mempunyai sifat ketimuran. Berikut
kutipannya yang mendukung hal tersebut:
“Permusuhan” dengan orangtua sendiri bukan situasi yang Ideal.70

Lintang memang mencoba mengubur sebagian identitas yang tidak


dikenalnya, namun dia begitu paham dan mencintai hal-hal yang berbau
Indonesia.

68
Ibid., h.137.
69
Ibid., h. 167.
70
Ibid.
72

Aku jatuh cinta pada kebaya karena bentuknya yang luar


biasa, yang mampu menyusuri tubuh perempuan dengan elok.71

Segala yang berhubungan dengan Indonesia memang sudah


melekat dalam tubuhnya. Ketegangan, keindahan, dan kenangan sudah
melebur jadi satu dalam dirinya. Dia memang mencoba menutup dan
mengubur sebagian identitas dalam dirinya, namun sedikit banyak
sebagian darah yang mengalir di dalam dirinya ikut membentuk
pribadinya pula, seperti sikap bahwa bertengkar dengan orangtua bukanlah
hal yang baik, sikap yang begitu tampak sebagai (perempuan) Timur pada
umumnya.

3. Teknik Pikiran dan Perasaan


Teknik pikiran dan perasaan dapat juga ditemukan di dalam kutipan
berupa sesuatu yang tidak pernah dilakukan secara konkret dalam bentuk
tindakan dan kata-kata. Berikut adalah kutipan yang melukiskan pikiran
dan perasaan tokoh yang mencerminkan sifat-sifat Lintang di dalam novel.
Aku terdiam. Kini aku paham arah pembicaraan Monsieur
Dupont. Terlalu paham. Suatu pertanyaan yang di masa lalu
mengganggu tidurku. Tetapi pertanyaan itu sudah lama kusimpan
dan kukubur dalam-dalam di pemakaman hati. Aku tidak mau
mengorek-ngorek sesuatu yang sudah aman, di lapisan terbawah
hatiku.72

Kutipan tersebut merupakan kegelisahan yang sudah lama ada pada


diri Lintang. Ia juga sudah lama berusaha mengubur kegelisahan tentang
identitas yang melekat pada dirinya itu dalam-dalam. Arah pembicaraan
Monsieur Dupont yang menginginkan aku untuk membuat tugas akhir
mengenai Indonesia, sebagian dari tanah airku.
Kutipan di bawah ini juga merupakan bukti yang menggambarkan
kegelisahan akan identitas Lintang sebagai seorang Indo.

71
Ibid., h. 156.
72
Ibid., h. 134.
73

Tentu saja aku tahu bahwa kedatangan Ayah dan kawan-


kawannya bukan dengan sekoper perencanaan; segalanya serba
gelap, di bawah tanah, dan menyerempet bahaya. Sejak masih terlalu
muda untuk memahami politik, aku sudah tahu bahwa Indonesia,
tepatnya pemerintah Orde Baru yang tidak kunjung runtuh itu, tidak
akan pernah memudahkan Ayah pulang ke Indonesia. Ini cerita yang
selalu diulang-ulang Maman. Dan itu sebuah cerita yang selalu
kuhindari karena setiap kali mengenang Indonesia, Ayah akan
mengakhirinya dengan kucuran air mata dan rasa pahit.73

Kutipan lain adalah tentang perasaan Lintang yang begitu paham


bahwa kedatangan ayahnya ke Paris tentu bukan tanpa alasan. Ada sesuatu
yang sedang terjadi di negerinya yang membuatnya harus terdampar di
negeri yang sama sekali berbeda dengan negara asalnya. Pembahasan
tentang latar belakangnya, Indonesia, selalu ia hindari karena selalu
berakhir dengan kucuran air mata ayahnya. Walaupun Lintang tidak
pernah terlibat atas apa yang sedang terjadi di Indonesia, dia juga harus
bernasib sama dengan ayahnya, tidak pernah mengenal Indonesia secara
langsung selain dari cerita-cerita ayahnya.
Aku lahir di sebuah tanah asing. Sebuah negeri bertubuh cantik
dan harum bernama Prancis. Tetapi menurut Ayah darahku berasal
dari seberang benua Eropa, sebuah tanah yang mengirim aroma
cengkih dan kesedihan yang sia-sia. Sebuah tanah yang subur oleh
begitu banyak tumbuh-tumbuhan, yang melahirkan aneka warna,
bentuk, dan keimanan, tetapi malah warganya hanya karena
perbedaan pemikiran.74

Berikut kutipan lain yang menjelaskan tentang identitas Lintang:


Di dalam tubuhku ini mengalir sebersit darah yang tidak
kukenal, bernama Indonesia, yang ikut bergabung dengan percikan
darah lain bernama Prancis.75

Dari kutipan di atas, dia menyadari bahwa dia mempunyai darah dari
dua latar belakang yang berbeda, namun dia tidak pernah mengetahui salah
satu latar belakangnya tersebut. Ia lebih memilih mengubur salah satu

73
Ibid., h.135.
74
Ibid., h. 137.
75
Ibid.
74

identitasnya yang terasa asing, yakni Indonesia. Karena tidak mengenal


secara langsung sebagian dari dirinya (budaya Indonesia), Indonesia hanya
dia ketahui dari cerita ayahnya, selain itu alasan lain Lintang melupakan
bagian asing dalam dirinya adalah karena setiap mengingat Indonesia akan
menimbulkan banyak rasa sakit tentang ayahnya yang ditolak oleh
pemerintah Indonesia, tentang perceraian ibu dan ayahnya karena sebuah
kenangan yang tidak bisa di lupakan ayahnya di Indonesia. Surti. Berikut
kutipan lintang melupakan bagian asing dalam dirinya.
Sudah lama sekali aku melupakan bagian asing di dalam diriku itu.76

Berdasarkan kutipan-kutipan tersebut jelaslah bahwa sejak kecil


Lintang tidak pernah mengenal secara langsung salah satu latar
belakangnya. Dia mencoba mengubur salah satu identitasnya dalam-
dalam. Menurutnya, Indonesia adalah salah satu bagian asing dalam
dirinya yang tidak pernah ia kenal.
Berikut kutipan yang juga membahas persoalan identitas Lintang:
Ayah mengatakan pilihanku mungkin menunjukkan siapa
diriku, aku mendengar Ayah berbicara dengan Maman, saat aku tidur
di malam hari, bahwa dia merasa bersalah. Pasti Lintang memilih
tokoh-tokoh yang berburu identitas karena dia juga merasa krisis
identitas. Pasti dia tengah bertanya-tanya, siapakah dirinya, orang
Indonesia yang tak pernah ke Indonesia? Atau orang Parancis
setengah Indonesia?77

Dapat disimpulkan bahwa pemikiran dan perasaan yang dialami


Lintang mengukuhkan kediriannya sebagai tokoh Indo. Lintang dilanda
kegelisahan atas pertanyaan tentang identitas dalam dirinya. Walaupun
identitas Indonesianya telah dikubur dalam-dalam, dia tidak pernah bisa
menyangkal bahwa itu ada pada dirinya. Pilihan untuk menyimpan dalam-
dalam keingintahuannya terhadap salah satu identitasnya bukan hanya
karena dia tidak pernah diijinkan mengenal Indonesia secara langsung,
tetapi juga karena dia adalah anak dari Dimas Suryo, seorang eksil politik.

76
Ibid., h. 137.
77
Ibid., h. 185.
75

4. Teknik Arus Kesadaran


Arus kesadaran sering disamakan dengan monolog batin.
Percakapan yang hanya terjadi pada diri sendiri pada umumnya
ditampilkan dengan gaya “aku”. Dalam hal ini, tokoh Lintang juga
melakukan kegiatan monolog batin. Berikut ini adalah kutipan monolog
yang dilakukan Lintang.
Aku mulai merasa ada sebuah kehidupan lain di bawah
kehidupan “normal” kami sebagai keluarga sejak aku masih kanak-
kanak: keluarga kami berbeda dari keluarga Prancis umumnya.
Bukan hanya karena aku anak hasil perkawinan campur Indonesia
dan Prancis. Di kelasku, ada beberapa kawan keturunan perkawinan
campur Prancis dan Maroko, Prancis dan Cina, atau Prancis dan
Inggris, misalnya. Tetapi mereka selalu saja menceritakan tentang
tanah air orangtuanya di Rabat atau Beijing atau London. 78

Pada kutipan tersebut, arus kesadaran pada Lintang terjadi saat


kehidupan keluarganya terasa berbeda dengan kehidupan keluarga
perkawinan campur lainnya. Dia merasa teman-temannya selalu
menceritakan tanah air keluarganya selain Paris. Dia menyadari bahwa
perbedaan keluarganya bukan hanya sekedar perkawinan campur saja.
Latar belakang ayahnya yang penuh dengan drama politiklah yang
membuatnya berbeda dengan keluarga perkawinan campur lainnya.
Perbedaan tersebut terlihat pada kutipan berikutnya, yaitu saat
Lintang lebih merasa nyaman di keluarga Nara.
Aku lebih suka membantu Tante Jayanti merajang bawang putih,
meracik bumbu, atau memanggang daging, dari pada memasak di
apartemen Ayah di Le Marais atau apartemen Maman. Bahkan
perbincangan tentang tokoh-tokoh wayang yang biasa terjadi antara
Ayah, Maman, dan aku di masa kecilku kini berpindah ke ruang
tamu atau teras apartemen keluarga Lafebvre. Mungkin karena aku
senang melihat betapa mesra dan rukun pasangan itu. Atau mungkin
aku mencoba mengisi sesuatu yang hilang. Aku tidak tahu.79

Kutipan di atas menggambarkan keadaan Lintang yang mendapatkan


kenyamanan dari keluarga Nara. Bukan karena mereka sama-sama lahir

78
Ibid., h. 143-144.
79
Ibid., h. 148.
76

dari keluarga perkawinan campur Indonesia-Prancis, tetapi karena ada


sesuatu yang berbeda yang dia dapatkan dari keluarga Nara. Kehangatan,
kerukunan, dan kebersamaanlah yang ia rasakan saat berada di tengah
kelurga Nara.
Kutipan lain di bawah ini menggambarkan kesadaran Lintang
tentang perasaannya kepada Nara dan Alam.
Aku pernah yakin tidak akan bernasib sama seperti Maman
yang langsung tergeletak tidak berdaya saat diserang halilintar itu.
Aku sudah memiliki Narayana, yang sama sekali bukan halilintar
atau petir dalam hidupku. Nara adalah sebuah payung besar yang
melindungi hidupku dari hujan dan badai.
Jadi, apa perduliku dengan halilintar atau petir.
Ternyata le coup de foundre80 itu menghantamku dalam
bentuk seorang Alam. Segara Alam.81

Pada kutipan di atas terlihat bahwa Lintang bimbang atas


perasaannya sendiri. Dia selalu menyakini bahwa Nara adalah cintanya,
namun setelah bertemu dengan Alam di Jakarta, dia memiliki perasaan lain
yang tidak dia miliki saat bersama Nara. Dia telah terserang halilintar
seperti yang dirasakan ibunya saat bertemu dengan ayahnya dulu.
“Sekarang aku paham mengapa Alam mengatakan tidak cukup
untuk mengerjakan ini semua dalam jangka waktu tiga minggu,”
Lintang menyenderkan punggungnya ke kursi. “Tidak semua
keluarga tapol bersedia begitu saja membuka luka lama. Apalagi
pada orang tidak dikenal seperti aku,”82

Kutipan di atas adalah gambaran kegelisahan Lintang dalam


menyelesaikan tugas akhirnya. Tidak mudah mewawancarai narasumber
yang dia butuhkan untuk tugas akhirnya. Risiko yang akan ditanggung
Lintang cukup besar dan tidak mudah membuka luka lama yang sudah
dikubur dalam-dalam oleh para narasumbernya.
Tiba-tiba saja, setelah semua tugas wawancara, aku merasa
lega. Untuk pertama kali, aku ingin sekali pulang ke Paris untuk
menyunting dan menyelesaikan tugas ini, lalu menyerahkannya
80
Cinta pada pandangan pertama
81
Ibid., h.365.
82
Ibid., h. 323.
77

kepada Monsieur Dupont. Lebih penting lagi, aku ingin pulang


menemui Ayah dan Maman. Sebentar. Barusan aku menyebut Paris
sebagai tempat aku „pulang‟. Benarkah Paris rumahku?83

Lintang mulai merindukan rumah di mana dia dilahirkan, Paris.


Tanpa dia sadari bahwa hatinya memilih kenyamanan untuk pulang ke
Paris. Jakarta hanyalah tempat persinggahan sementara untuknya, namun
apakah benar Paris adalah rumahnya? Dalam kutipan di atas, Lintang
merasa ingin pulang apakah karena benar rumahnya di sana atau karena
ingin cepat menyerahkan tugasnya dan bertemu orangtuanya. Jika
orangtuanya di Jakarta tentunya dia tidak akan merasa seperti itu.
Berdasarkan kutipan monolog-monolog yang dilakukan Lintang,
dapat disimpulkan bahwa Lintang menguatkan sifatnya yang mengalami
kegelisahan dan kebimbangan dalam hidupnya, yang paling
menggelisahkan adalah mengenai identitas.

5. Teknik Reaksi Tokoh


Teknik reaksi tokoh menggambarkan reaksi Lintang terhadap tokoh
lainnya. Hal ini bertujuan untuk menggambarkan reaksi Lintang terhadap
sesuatu kejadian, masalah, serta sikap maupun tingkah laku dari luar diri
tokoh yang bersangkutan.
Berikut adalah kutipan yang menggambarkan rasa simpatinya
terhadap Surti saat merekam apa yang diceritakan oleh istri Hananto itu
tentang peristiwa yang dialaminya.
Kini aku yang menekan tombol jeda. Aku tidak berani merekam
pengalaman buruk ini. Aku teringat surat Tante Surti di apartemen
Ayah. Hanya dua baris kalimat, tetapi cukup membuat aku traumatik
dan melotot sepanjang malam sambil mengutuk-ngutuk
kemanjaanku. Biarlah aku dikatakan sineas dokumenter yang dungu.
Tapi aku tidak tahan menghadapi hati yang gerundukan.84

83
Ibid., h. 436.
84
Ibid., h. 384-385.
78

Selain itu juga ada reaksi Lintang yang merasa bersalah saat
menyerahkan surat Surti untuk Dimas kepada ibunya. Dia merasa bahwa
apa yang dia lakukan itu merupakan hal yang membuat ayah dan ibunya
bercerai.
“Ayah masuk ke dalam kamarku dan memelukku dengan erat
begitu lama. Lalu dia meninggalkan kami hanya dengan
menyandang ransel di pundaknya. Untuk waktu yang lama, aku
sibuk menyalahkan diriku bahwa perceraian Ayah dan Maman
adalah karena aku menemukan surat itu.”85

Kutipan lain di bawah ini mencritakan tentang reaksi Lintang saat


Nara meneleponnya justru ketika dia sedang bersama Alam.
Ah.... ini membingungkan. Bagaimana cara menjawab
pertanyaan aneh ini. Berbincang dengan kekasih melalui telepon
sementara tangan digenggam lelaki lain? Apakah itu etis? Tapi
bukanlah aku sudah melalui batas etika itu sejak....le coup de
foundre mendadak jadi terminologi penting dalam benakku?86

Pada kutipan di atas terlihat bahwa Lintang bingung atas apa yang
sedang dia rasakan. Nara adalah kekasihnya, namun dia lebih merasakan
sesuatu yang lain dengan Alam. Kutipan di atas menjelaskan bahwa
Lintang masih memikirkan konsep etika. Konsep pantas dan tidak pantas
untuk seorang perempuan ini biasanya dimiliki oleh perempuan-
perempuan Timur. Dia tidak meninggalkan Nara dan masih
mempertahankan hubungannya dengan kekasihnya itu. Dia masih terikat
dengan konsep perempuan baik-baik seperti perempuanTimur biasanya.
Pada kutipan lain juga terlihat reaksi Lintang terhadap keluarga
Priasmoro. Saat itu, keluarga priasmono bercerita menggunjungi Restoran
Tanah Air. Kemudian Priasmono menyebutnya sebagai sarang para PKI
dan komunis yang hanya menjual nasi goreng dan telur ceplok.
“Bukan hanya nasi goreng!” tiba-tiba Lintang menyela dengan
mata menyala.87

85
Ibid., h. 180.
86
Ibid., h. 391.
87
Ibid., h. 358.
79

Lintang begitu marah ketika restoran ayahnya dihina karena ada


Indonesia mengalir pada sebagian dirinya. Dia merupakan bagian dari
Indonesia juga. Begitu mendengar penghinaan dari mulut orang Indonesia
sendiri, dia begitu sakit karena teringat perjuangan ayahnya.

6. Teknik Reaksi Tokoh Lain


Reaksi tokoh-tokoh lain dalam novel ini ditampilkan dengan cara
memberikan penilaian pada tokoh Lintang. Selain itu, menginformasikan
kedirian tokoh Lintang dalam novel Pulang juga termasuk ke dalam teknik
reaksi tokoh lain. Berikut ini adalah kutipan Lintang sebagai wanita yang
menjengkelkan di mata Alam.
Pantas saja! Tidak mungkin Tuhan menciptakan seseorang
begitu sempurna. Ternyata dia cantik sekaligus menjengkelkan.88

Selain menilai Lintang sebagai wanita yang menjengkelkan, Alam


juga meniilai Lintang sebaga wanita yang cerdas, tidak seperti perempuan
Barat lainnya yang klise, rasional, dan mudah terpesona, artinya
menjengkelkan bukan karena sifatnya yang membuat orang jengkel tetapi
karena dia pintar, sehingga dia tidak bisa menurut atau mengikuti begitu
saja apa yang disarankan Alam kepadanya ini yang membuat Alam begitu
jengkel dengan Lintang. Hal tersebut dibuktikan oleh kutipan di bawah ini:
“Sangat cerdas. Semula aku kira dia bakalan khas Barat yang
klise: rasional, cepat terpesona dengan yang eksotis, dan seterusnya.
Ternyata tidak. Pertanyaannya bagus, menukik, dan tajam.”89

Kitipan dialog Alam di halaman sebelumnya sedikit menyinggung


tentang kita (Timur) dan mereka (Barat) pembagian-pembagian semacam
ini menekankan perbedaan antara kelompok manusia yang satu dengan
kelompok manusia yang lain. Dialog Alam pada halaman sebelumnya
adalah anggapan tentang sikap yang biasanya dimiliki perempuan Barat
pada umumnya yaitu rasional, cepat terpesona dengan yang eksotis. Sir

88
Ibid., h 301.
89
Ibid., h. 315.
80

Alfred Lyall dalam Edward W. Said memaparkan tentang perbedaan watak


utama dari pemikiran orang Timur dan Barat. Orang Barat adalah penalar
yang cermat, semua pernyataannya mengenai fakta, bebas dari semua
bentuk kekaburan. Mereka adalah logikawan alami dan skeptis selalu
menuntut bukti sebelum menerima suatu kebenaran proporsi. Sebaliknya
Timur sebaliknya, Alfred mengatakan penalaran Timur paling tidak
sistematis.90 Pernyataan Alfred ini menguatkan sifat yang dimiliki Lintang,
sifat yang dimiliki perempuan Barat pada umumnya yaitu cerdas, selalu
mempunyai pertanyaan-pertanyaan bagus dan menukik serta, tidak mudah
menerima begitu saja apa yang didengarnya.
Berikut kutipan percakapan Monsieur Dupont yang mengganggap
bahwa di dalam tubuh dan kehidupan Lintang mempunyai dua tanah air
yang cukup menarik untuk dijadikan tugas akhir.
“kamu juga mempunyai dua tanah Air: Indonesia dan
Prancis. Dan kamu lahir di Paris, tumbuh dan besar di Paris.
Tidaklah kamu ingin mengetahui identitasmu, Tanah
kelahiranmu?”91

Monsieur Dupont melihat bahwa kehidupan ayahnya sebagai eksil


politik cukup menarik untuk dijadikan tugas akhirnya daripada dia harus
membuat film dokumenter tentang Imigran Aljazair. Dupont juga bereaksi
dengan mengatakan bahwa Lintang merupakan korban dari kekejaman
politik saat itu karena ia tidak mempunyai kesempatan untuk mengenal
sebagian dari dirinya. Hal tersebut dibuktikan oleh kutipan di bawah ini:
“Saya paham. Tapi di mata penonton yang menyaksikan, di
mata orang luar, kau tetap korban. Karena kamu belum pernah
mempunyai kesempatan untuk mengenal sebagian dirimu. Tanah air
ayahmu.”92

Selain kutipan di atas, kutipan berikut ini juga menjelaskan sifat


Lintang yang digambarkan oleh ayahnya, Dimas Suryo.

90
Edward W. Said, Orientalisme, (Bandung: Pustaka, 1985), h.48.
91
Ibid., h. 133.
92
Ibid., h. 256.
81

Dimas menatap anaknya dengan heran campur takjub. Lima


bulan berpuasa bicara dengan ayahnya nampaknya telah membuat
Lintang lebih banyak berpikir. Atau itu memang didikan Universitas
Sorbonne.93

Dari kutipan di atas Dimas takjub terhadap puterinya yang


mempunyai keinginan pergi ke Indonesia untuk menyelesaikan tugas
akhirnya.
“Nara, begini,” Tante Sur memajukan kepala seperti akan
merancang sebuah perampokan bank,” Om Marto tadi bilang, itu
pacarmu anaknya.... anaknya Dimas Suryo.”94

Kutipan di atas adalah reaksi Tante Sur ketika Lintang menghadiri


perayaan hari Kartini di KBRI. Terlihat reaksi penolakan karena Lintang
adalah Anak dari seorang eksil politik. Dimas Suryo.

7. Teknik Pelukisan Latar


Teknik pelukisan latar dapat mengintensifkan sifat kedirian tokoh
seperti dalam teknik-teknik sebelumnya. Hal tersebut dapat digambarkan
seperti dalam kutipan berikut yang menggambarkan suasana Paris, tempat
tinggal sekaligus tempat kelahiran Lintang.
Aku lahir di sebuah tanah asing. Sebuah negeri bertubuh cantik
dan harum bernama Prancis. Tetapi menurut Ayah darahku berasal
dari seberang benua Eropa, sebuah tanah yang mengirim aroma
cengkih dan kesedihan yang sia-sia. Sebuah tanah yang subur oleh
begitu banyak tumbuh-tumbuhan, yang melahirkan aneka warna,
bentuk, dan keimanan, tetapi malah warganya hanya karena
perbedaan pemikiran.95

Dari kutipan tersebut Lintang menyebutkan Paris sebagai negeri


yang cantik. Lintang memang tumbuh dan besar di Paris. Keindahan Paris
berubah seketika pada saat musim semi di Bulan april ketika mahasiswa
dihadapkan tugas makalah dan ujian.

93
Ibid., h. 230.
94
Ibid., h. 163.
95
Ibid., h. 137.
82

Ini bukan salah Paris, karena kota ini bukan sebuah tanah mati
yang melahirkan bunga beraroma bacin. Ini juga bukan salah musim
semi yang seharusnya menyajikan warna. Bulan April adalah bulan
terkutuk bagi mahasiswa Universitas Sorbonne, karena memaksa
mereka untuk hidup tanpa tombol jeda.96

Apartemen keluarga Nara pun menjadi tempat yang nyaman dan


hangat. Ada kemesraan yang sudah jarang dan tidak pernah dia temui
semenjak Dimas memutuskan pergi dari apartemen meninggalkan dia
dan Vivienne.
Ada sesuatu yang lebih penting, yang lebih magnetis dan
menentramkan dari keluarga Lafebvre. Entah apa namanya.
Mungkin mereka yang hangat; di sana-sini kulihat taplak batik dan
wayang kulit, tetapi secukupnya saja, tidak sampai menyaingi biro
turisme. Mungkin karena makan malam yang selalu penuh dengan
percakapan ringan, yang membangun kemesraan, sesuatu yang
jarang atau tidak pernah lagi kutemui sejak Ayah meninggalkan
kami.97

Pesta perayaan hari Kartini di KBRI juga menjadi tempat di mana


Lintang mengenal sekelumit Indonesia yang dia kenal dari restoran
Ayahnya. Di KBRI, Lintang juga bertemu dengan para diplomat junior
yang nanti akan membantunya mendapatkan visa masuk ke Indonesia
untuk tugas akhirnya.
Aku masih terdiam. Memikirkan istilah Bersih Lingkungan.
Memikirkan wajah dan pandangan Tante Sur, berbagai diplomat
dan tamu pada pesta di KBRI. Memikirkan kata-kata Dupont
tentang ayahku. Tentang sejarah. Malam ini adalah malam
perkenalanku pada sekelumit Indonesia yang sangat berbeda dari
Indonesia yang kukenal melalui Restoran Tanah Air.98

KBRI adalah salah satu tempat yang tidak bisa dikunjungi eksil
politik dan keluarganya. Istilah Bersih Diri dan Bersih Lingkungan
adalah kebijakan pada tahun 1980-an yang dikenakan kepada seseorang
yang dianggap terlibat dalam Gerakan 30 September, anggota PKI, atau

96
Ibid., h. 131.
97
Ibid., h. 147-148.
98
Ibid., h. 164.
83

anggota organisasi sejenisnya. Istilah kedua, Bersih Lingkungan. Istilah


ini dikenakan kepada anggota keluarga seorang yang telah dicap
komunis. Peraturan ini dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri yang
melarang orang-orang yang tidak Bersih Diri atau Bersih Lingkungan
menjadi anggota TNI/POLRI, guru, pendeta, atau profesi yang dianggap
mampu mempengaruhi masyarakat. Karena peraturan ini, diskriminasi ini
tidak hanya tertuju pada mantan tahanan politik tragedi 1965, tetapi juga
anak cucu mereka dan Lintang termasuk di dalamnya . Dia dan ayahnya
sama-sama menjadi korban dari „Perzinahan Politik‟ tersebut.
Lintang tidak hanya merekam orang-orang yang menjadi korban
kekerasan politik 30 September. Selama di Jakarta, dia merekam apa
orasi besar-besaran yang sedang terjadi di Jakarta. Hal tersebut
digambarkan pada kutipan berikut:
Kami tiba di kampus Trisakti sekitar pukul 10 lewat beberapa
menit.99

Kampus Trisakti juga menjadi sejarah reformasi Indonesia. Pada


12 Mei 1998, keadaan Jakarta menegang sejak peristiwa beberapa
mahasiswa Trisakti tewas karena penembakan. Bukan hanya para
mahasiswa dan alumni saja yang menyuarakan kekecewaaan kepada
Orde Baru, tetapi juga para tokoh seperti Amien Rais, Megawati
Soekarnoputri, Ali Sadikin dan lain-lain. Reformasi makin giat terdengar
dari orasi-orasi saat itu. Mereka menuntut Presiden Soeharto lengser.

8. Teknik Pelukisan Fisik


Keadaan fisik tokoh perlu dilukiskan, terutama jika ia memiliki
bentuk fisik khas, sehingga pembaca dapat menggambarkan secara
imajinatif. Seperti yang tergambar dalam kutipan berikut ini.
LINTANG UTARA
Itulah nama puteri yang lahir setelah pernikahan kami berusia
lima tahun. Semua yang ada pada Lintang adalah perwujudan

99
Ibid., h. 414.
84

ibunya, kecuali rambutnya yang hitam dan ikal adalah rambut


keluarga Suryo.100

Kutipan di atas adalah penggambaran fisik Lintang saat dia kecil.


Dia memiliki perpaduan indo yang cukup sempurna dari perkawinan
campur Indonesia dan Prancis. Paras cantik keturunan Indo dan rambut
ikal dan hitam perwujudan ayahnya yang keturunan Indonesia. Kutipan
berikut juga menggambarkan fisiknya.
Dimas memperhatikan wajah puterinya. Wajah yang begitu
Indonesia sekaligus begitu Prancis. Hidungnya yang mancung
lancip tidak terlalu mendominasi wajahnya yang mungil. Kulit
yang putih, tapi bukan putih ras kaukasian yang sering
mengundang bintik cokelat. Kulit Lintang putih seperti susu. Putih,
segar, tapi sekaligus menghangatkan. Mungkin itu hasil
percampuran kulit Dimas yang berwarna cokelat berkilat dan
Vivienne yang putih, yang lantas menghasilkan warna susu.101

Kutipan tersebut menggambarkan fisik Lintang saat dewasa yang


dideskripsikan oleh Dimas. Dia tumbuh menjadi perempuan Indo yang
memesona. Paras cantik dan tubuh sempurna dengan warna rambut hitam
serta mata coklat.
Lintang duduk di hadapanku.
Seorang gadis yang hampir setinggi tubuhku, berkulit putih
susu, bermata coklat tajam, dan berkuliah di Universitas Sorbonne.
Puteri Dimas Suryo, seorang eksil politik yang paling dicari yang
sebetulnya tidak jelas afiliansi politiknya, yang menikah
dengan...aku lupa nama ibunya. Orang Prancislah pokoknya.102

Kutipan di atas adalah penilaian Alam tentang Lintang.


Berdasarkan penjabaran teknik-teknik tersebut dapat disimpulkan,
ada delapan aspek yang menjadi bagian dalam teknik dramatik, yaitu
teknik cakapan, tingkah laku, pikiran dan perasaan, reaksi tokoh, reaksi
tokoh lain, pelukisan latar, dan teknik pelukisan fisik tokoh. Dengan
menggunakan kedelapan teknik tersebut, sifat Lintang tergambar jelas

100
Ibid., h. 85.
101
Ibid., h. 231-232.
102
Ibid., h. 300-301.
85

dalam novel bahwa lintang mengalami krisis identitas, sifat yang dimiliki
perempuan indo pada umumnya. Dari beberapa kutipan tersebut,
tergambar pula fisik Lintang sebagai perempuan Indo yang cantik
memesona sejak kecil. Ia selalu memesona setiap orang yang ditemuinya.
Selain itu, Lintang juga memiliki sifat yang berkemauan keras, berani,
peduli terhadap situasi politik, dan tidak mudah putus asa. Sifat yang
dimiliki perempuan Indo pada umumnya.

C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA


Seperti yang sudah dibahas pada bab sebelumnya, kehadiran materi
sastra dalam pelajaran dapat membantu pengajaran kebahasaan karena
sastra dapat meningkatkan keterampilan dalam berbahasa. Pada saat
mempelajari sastra tentunya akan dipelajari pula aspek kebahasaan
lainnya, seperti menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Dengan
demikian, sastra dapat meningkatkan pengetahuan budaya, memperluas
wawasan hidup, pengetahuan-pengetahuan lain, serta mengembangkan
kepribadian. Dalam hal pengajaran sastra, khususnya mengenai novel,
sastra dapat meningkatkan kemampuan membaca peserta didik.
Khususnya dalam novel sastra, peserta didik dapat memperkaya
pengetahuan dan wawasannya melalui kegiatan membaca karena bacaan
sastra membahas permasalahan kemanusiaan serta kehidupan.
Pembelajaran sastra tentang analisis novel dapat diterapkan oleh
guru untuk membangun kreativitas siswa dalam mengapresiasi karya
sastra. Salah satu kelebihan novel sebagai bahan pembelajaran sastra
adalah karya tersebut cukup mudah dipahami siswa sesuai dengan tingkat
kemampuannya masing-masing. Namun karena tingkat kemampuan
setiap individu berbeda, guru dituntut luwes dan menggunakan strategi
kerja kelompok dengan baik seperti yang tertuang dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen dalam Pasal 1, bahwa guru adalah pendidik profesional dengan
86

tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,


menilai, dan mengevaluasi peserta didik.
Analisis tokoh Lintang yang menjadi kajian ini dapat
diimplikasikan dalam pembelajaran sastra di sekolah. Novel ini
berintikan aspek sosial, pengetahuan, serta sejarah yang berfungsi untuk
memahami struktur dan kaidah dalam novel, baik lisan maupun tulisan.
Kaitannya dengan novel Pulang karya Leila S. Chudori ini, pendidik
dapat memberikan rujukan kepada peserta didik untuk membaca dan
memahami tokoh Lintang di dalam novel. Kepribadian tokoh Lintang
dapat direfleksikan dalam kehidupan peserta didik. Hal ini dikarenakan
dalam analisis tersebut digambarkan bahwa Lintang adalah perempuan
indo yang mempunyai dua tanah air, dalam dirinya dia memburu
identitas, mempunyai keingintahuan yang cukup besar akan tanah airnya
walaupun situasinya sangat sulit karena statusnya sebagai anak eksil
politik dan situasi politik saat itu. Namun, guru dituntut kejeliannya
untuk menjelaskan kepada peserta didik bahwa ada beberapa sifat yang
dimiliki Lintang yang tak pantas ditiru, yaitu bertengkar dengan ayahnya
hingga beberapa waktu tidak berbicara dan bertemu dengan ayahnya.
Selain itu, dalam menganalisis novel peserta didik diharapkan mampu
menganalisis dan menjelaskan bagaimana tokoh Lintang pada novel yang
telah dibaca, yaitu dengan cara berpartisipasi langsung dalam
menganalisis. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik memperoleh
pengetahuan dan pemahaman yang lebih mendalam mengenai perbedaan
antara tokoh maupun teknik pelukisan tokoh dalam cerita. Dari hal ini
peserta didik tidak hanya mengerti tentang kognitif saja yang berupa
pengertian ataupun definisinya, tetapi juga mengerti bagaimana
mempraktekkannya.
Terdapat keterkaitan interdisipliner hubungan sastra dengan
sejarah. Seperti dalam novel Pulang yang erat kaitannya dengan sejarah
bangsa Indonesia khususnya yang terjadi di tahun 1965-1998. Hal ini
tentunya berkaitan erat dalam pembelajaran sastra di SMA. Kaitannya
87

dalam hal ini, guru Bahasa Indonesia harus sering bertukar pendapat
dengan guru Sejarah agar tidak terjadi kerancuan atau perbedaan
mengenai pengetahuan sejarah yang diajarkan kepada peserta didik
sehingga mereka mendapatkan informasi sejarah yang dapat
dipertanggungjawabkan. Selain itu, konfirmasi yang dilakukan oleh guru
Bahasa Indonesia kepada guru Sejarah adalah sebuah langkah antisipasi
untuk menanggulangi banyaknya buku bacaan, seperti versi mengenai
G30S dan Reformasi Indonesia, dikhawatirkan dapat membuat peserta
didik kebingungan.
Namun dalam pengajaran, guru Bahasa Indonesia harus tahu
mengenai batasan yang dijelaskan. Materi yang berbau sejarah tersebut
tentunya akan lebih dipaparkan dengan jelas oleh guru Sejarah. Dalam
menganalisis novel, guru juga dapat mengarahkan siswa untuk
menggunakan teknik membaca intensif. Dengan membaca secara
intensif, dapat diketahui secara detail analisis unsur intrinsik yang
dianalisis oleh peserta didik. Selain itu, peserta didik juga berlatih
berpikir kritis mengenai novel yang dibacanya dan tentunya mereka
dapat berargumen.
Seperti dalam novel Pulang, novel ini adalah novel sejarah.
Tentunya diperlukan teknik membaca intensif agar lebih memahami
novel ini karena banyak dipaparkan mengenai konflik yang terjadi pada
tokohnya serta peristiwa yang berkaitan dengan sejarah Indonesia.
Dengan demikian pengetahuan peserta didik dan pengajar akan semakin
bertambah.
BAB V
PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap novel Pulang
karya Leila S. Chudori, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Novel Pulang Karya Leila S. Chudori penulis analisis dengan
menggunakan teknik pelukisan tokoh dramatik dalam buku
Burhan Nurgiantoro. Ada delapan aspek yang menjadi bagian
dalam teknik dramatik, yaitu teknik cakapan, tingkah laku,
pikiran dan perasaan, reaksi tokoh, reaksi tokoh lain, pelukisan
latar dan terakhir teknik pelukisan fisik tokoh. Analisis tokoh
menggunakan delapan teknik tersebut dapat ditemukan kedirian
sifat Lintang yang tergambar dalam novel seperti: Lintang
memiliki sifat berkemauan keras, Lintang perempuan yang cerdas
sehingga dianggap menjengkelkan kerena sulit menerima begitu
saja apa yang didengarnya, berani, perduli dan tidak putus asa,
krisis identitas, keadaan yang dialami oleh perempuan indo pada
umumnya.
2. Penelitian ini dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia di sekolah, dalam aspek membaca. Dalam
pembelajaran sastra ini, kompetensi yang harus dicapai peserta
didik ialah mengenalisis teks novel baik secara lisan maupun
tulisan, dengan menjelaskan unsur-unsur intrinsik dalam novel
serta menemukan nilai positif ataupun negatif yang terkandung
dalam novel melalui tokoh Lintang.

B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian serta implikasinya terhadap
pembelajaran sastra, maka penulis menyarankan:
1. Melalui tokoh Lintang, peserta didik dapat belajar jika memiliki
kemauan harus dicapai dengan kerja keras dan usaha. Selain itu,

88
89

semangatnya yang tidak putus asa dalam menjalani hidup dapat


dijadikan contoh yang baik. Tentunya dalam membaca karya
sastra harus mengetahui pula sifat yang baik dan tidak baiknya.
Sehingga hal yang baik dapat ditiru dan yang tidak baik
ditinggalkan.
2. Melalui tokoh Lintang (Indo), peserta didik dapat belajar dan
mengetahui bagaimana Indonesia dari pandangan seorang Indo
khususnya keadaan indonesia di tahun 1965-1998. Tentunya ada
sejarah yang dapat dipahami oleh siswa melalui novel Pulang.
90
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Seniman Sastra. Artikel diakses pada 05 September 2014 dari


http://www.tamanismailmarzuki.co.id/tokoh/leila.html.
Anonim. Leila S. Chudori: Ingin Mengenggam Dunia. Dewi. Senin, 15 Mei 1979.
Anonim. Leila Selalu ingin Pulang. Artikel diakses pada 09 Februari 2015 dari
www.dw.de/leila-yang-selalu-pulang/a-16821309.
Aminuddin. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru. 1987.
Aziez, Furqonul dan Hasim, Abdul. Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar.
Bogor: Ghalia Indonesia. 2010.
Chudori, Leila S. Pulang. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2012.
______,Saya Tak Percaya Pada Bakat. Suara Pembaharuan. Senin, 31 oktober
1988.
______,Tentang Leila. Artikel diakses pada 23 Oktober 2014 dari
http://www.leilaschudori.com/about-me/.
Danardana, Agus Sri. Anomali Bahasa. Pekanbaru: Palagan Press. 2011.
Downes, Meghan. Leila S. Chudori: Khatulistiwa Award Winner’s Commitment
To The Writing Process. Artikel diakses pada 23 Oktober 2014
darihttp://www.thejakartapost.com/news/2014/01/20/leila-s-chudori-
khatulistiwa-award-winner-s-commitment-writing-process.html.
Foulcher, Keith and Tony Day. Sastra Indonesia Modern Kritik Postkolonial:
edisi revisi “Clearing a Space”. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan
KITLV Jakarta. 2008.
Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia. 2010.
Minderop, Albertine. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor. 2011.
Nurgiantoro, Burhan. Teori Pengkaian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University
press. 2010.
Pradipta, Doni Aditya. Konflik Politik Dalam Novel Pulang Karya Leila Salikha
Chudori: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan

90
91

Ajar Sastra Di SMA. http://eprints.ums.ac.id/29964/.Diakses pada tanggal


28 Maret 2015 pukul 14:08.
Pradopo, Rachmat Djoko. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya, Cet-IV. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.
Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. 1988.
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, cet-3.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.
R. Sarjono, Agus. Sastra dalam Empat Orba. Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya. 2001.
Said, Edward W. Orientalisme. Bandung: Pustaka. 1985.
Semi, Atar. Anatomi Sastra. Bandung: Angkasa Raya. 2011.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo. 2008.
Sulistyo, Eko. Novel Pulang Karya Leila S. Chudori: Ananlisis Strukture Plot
Robert Stanton. Diakses pada tanggal 12 Januari 2015 dari
http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail
&act=view&typ=html&buku_id=72485&obyek_id=4.
Stanton, Robert. Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.
Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa. 2009.
______,Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. 1984.
______,Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa. 1993.
Waridah, Ernawati. EYD dan Seputar Kebahasaan Indonesiaan. Jakarta: Kawan
Pustaka. 2010.
Wellek, Rene dan Austin Warren. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama. 1993.
Yudistyanto, Uky Mareta. Pendekatan Sosiologi Sastra, Resepsi Sastra Dan Nilai
Pendidikan Dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori. Diakses pada
tanggal 12 Januari 2015 dari http://eprints.uns.ac.id/id/eprint/12182.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN BERKARAKTER MATA
PELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

MATA PELAJARAN Bahasa dan Sastra Indonesia


KELAS/SEMESTER XII SMA
PROGRAM Umum
ALOKASI WAKTU 4X45 Menit

KOMPETENSI DASAR  Menganalisis teks novel baik


melalui lisan maupun tulisan
 Menjelaskan unsur-unsur
intrinsik dalam novel
 Menemukan sifat Lintang dalam
senuah novel melalui teknik
dramatik
ASPEK PEMBELAJARAN Membaca
INDIKATOR PENCAPAIAN  Mampu mengidentifikasi unsur-
KOMPETENSI unsur intrinsik yang terkandung
dalam novel
 Mampu menganalisis unsur-
unsur intrinsik novel, meliputi
tema, latar, tokoh, alur, sudut
pandang, dan gaya bahasa.
 Mampu menemukan sifat
Lintang melalui teknik dramatik
yang mencakup delapan teknik
dalam novel Pulang
 Menuliskan laporan kerja
kelompok tentang analisis
kepribadian tokoh dalam novel
 Membacakan hasil kerja
kelompok di depan kelas, dan
siswa lain memberikan
tanggapan
MATERI POKOK  Analisis teks novel
PEMBELAJARAN  Unsur intrinsik dan sifat tokoh
Lintang
 Hasil menyunting penggalan
teks novel berupa unsur
intrinsik dan analisis sifat tokoh
Lintang.

STRATEGI PEMBELAJARAN
TATAP MUKA TERSTRUKTUR MANDIRI
Menganalisis teks novel Mencermati teks novel Peserta didik diminta
baik secara lisan maupun yang berkaitan dengan berdiskusi untuk
tulisan analisis tokoh Lintang memahami unsur
dengan menggunakan intrinsik novel, serta
teknik dramatik menemukan sifat tokoh
(penggambaran tokoh Lintang dalam novel
secara tidak langsung)
melalui novel Pulang

KEGIATAN PEMBELAJARAN
TAHAP KEGIATAN PEMBELAJARAN NILAI BUDAYA
PEMBUKA Apersepsi  Dapat dipercaya
 Guru mengucapkan salam  Rasa hormat dan
dilanjutkan dengan doa perhatian
pembuka  Tekun
 Guru mengondisikan kelas  Tanggung jawab
 Guru memulai pelajaran dengan  Berani
bertanya jawab tentang sebuah
novel
Motivasi
 Guru menanyakan pada peserta
didik mengenai hobi dalam
membaca karya sastra
khususnya novel dan pengertian
novel
 Guru menjelaskan secara
singkat materi pokok yang akan
disampaikan
 Guru menjelaskan secara
singkat tujuan pembelajaran
INTI Mengamati
 Peserta didik membaca teks di
dalam novel
 Peserta didik mencermati teks
novel yang berkaitan dengan
unsur intrinsik novel
 Peserta didik menemukan
kepribadian tokoh yang
terkandung dalam novel
Mempertanyakan
 Guru dan peserta didik bertanya
jawab tentang hal-hal yang
berhubungan dengan isi bacaan
Mengeksplorasi
 Guru membantu peserta didik
dalam mencari berbagai sumber
informasi tentang unsur
intrinsik, dan kedirian tokoh,
dengan menggunakan teknik
pelukisan tokoh yang
terkandung dalam novel
Mengasosiasikan
 Peserta didik saling
mendiskusikan tentang unsur-
unsur yang mengemukakan
wujud kedirian tokoh dalam
teks novel
 Peserta didik dapat
menyimpulkan hal-hal
terpenting dalam kedirian tokoh
Mengomunikasikan
 Peserta didik menuliskan
laporan kerja kelompok tentang
analisis tokoh dalam novel
 Peserta didik membacakan hasil
kerja kelompok di depan kelas,
siswa lain memberikan
tanggapan.
PENUTUP Internalisasi
 Peserta didik diminta
menjelaskan manfaat dari
pembelajaran analisis tokoh
Lintang melalui teknik dramatik
tokoh dalam sebuah novel
Persepsi
 Siswa diminta mengungkapkan
pengalaman kehidupan sebagai
pembelajaran yang terkandung
dalam senuah novel

METODE DAN SUMBER BELAJAR


Sumber Pustaka Rujukan  Buku Panduan Belajar Bahasa
Belajar dan Sastra Indonesia untuk SMA
dan MA kelas XII
 Buku referensi lain yang
menunjang materi menganalisis
dan menyunting teks novel
 Buku referensi lain yang
mengenai analisis tokoh melalui
teknik dramatik
Media cetak dan Siaran mengenai bedah buku
elektronik pembahasan analisis tokoh dalam
senuah novel
Website dan internet Artikel pembahasan analisis
kedirian tokoh dalam sebuah novel
Presentasi
Diskusi Kelompok

PENILAIAN
TEKNIK DAN Tugas
BENTUK  Peserta didik diminta berdiskusi untuk
memahami unsur intrinsik serta menemukan
sifat tokoh Lintang di dalam novel
 Secara individual peserta didik diminta
menganalisis teks sesuai dengan unsur
intrinsik novel
 Secara kelompok peserta didik diminta
menemukan sifat tokoh Lintang yang
terkandung di dalam novel
Observasi
 Mengamati kegiatan peserta didik dalam
proses mengumpulkan data, analisis data, dan
pembuatan laporan
Portofolio
 Menilai laporan peserta didik tentang analisis
tokoh Lintang dalam novel
Tes Tertulis
 Menilai kemampuan peserta didik dalam
memahami, menerapkan, dan menyunting teks
novel sesuai dengan unsur intrinsik serta
penggambaran sifat tokoh yang terkandung di
dalam novel

Mengetahui, Jakarta, 07 April 2015


Kepala Sekolah Guru Mata Pelajaran

( ) (Holida Hoirunisa)
NIP.08000123 NIM. 1110013000100
RIWAYAT PENULIS

HOLIDA HOIRUNISA, lahir di Tangerang, 3 Oktober


1992. Menuntaskan pendidikan dasar di SDN Sudimara 5.
Kemudian, menuntut ilmu di SMP Yuppentek 3 Ciledug,
melanjutkan ke jenjang sekolah menengah di SMA
Yuppentek 2 Ciledug. Tahun 2010 meneruskan pendidikanya
di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Anak dari Muhammad Holis dan Rosyanti ini sejak kecil tinggal bersama
orang tuanya di Jln. Tanah 100, Ciledug Tangerang. Dia anak pertama dari tiga
bersaudara, adik perempuannya bernama Dwi Kurnia Khoiria, dan adik laki-
lakinya bernama Rosy Kurniawan. Sejak kuliah, dia menambah pengalamannya
dengan mengajar les privat dan bimbel. Pernah mengajar bidang studi Bahasa
Indonesia di sekolah SMP PGRI 336 Pondok Betung selama 4 bulan di tahun
2014. Selain itu menambah pengalamannya sebagai interviewer di Litbang
Harian Kompas selama 2 bulan tahun 2014.

Anda mungkin juga menyukai