Anda di halaman 1dari 108

KAJIAN STRUKTURAL MODEL A. J.

GREIMAS PADA NOVEL


RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI DAN RENCANA
PELAKSANAAN PEMBELAJARANNYA DI KELAS XI SMA

SKRIPSI
diajukan untuk memenuhi salah satu syarat
menempuh ujian sarjana pendidikan

oleh
SITI BAGJA MUAWANAH
NIM 2222100145

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2014

i
ii
iii

LEMBAR PERNYATAAN

KEASLIAN SKRIPSI

Yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : Siti Bagja Muawanah

Nim : 2222100145

Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Menyatakan

Dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya buat adalah benar hasil karya
sendiri/bukan jiplakan dari skripsi/penelitian orang lain. Jika suatu hari terbukti saya
berbohong atas pernyataan yang telah dibuat ini, saya bersedia kesarjanaan saya
dicabut dan atau diproses secara hukum.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan penuh kesadaran, tanggung jawab
dan penghormatan setinggi-tinginya terhadap asas-asas intelektual dan akademis.
iii
Motto
Kecerdasan bukanlah satu-satunya keberhasilan, akan tetapi kesungguhan,
keuletan, dan kesabaran adalah kunci yang dapat digunakan untuk membuka pintu
gerbang kesuksesan.

(Nunuk Wulandari)

Mungkin kita pernah takut atau benci terhadap sesuatu. Padahal mungkin saja
sesuatu itu adalah hal terbaik untuk kita. Maka terimalah segala ketetapan Allah
SWT karena Dia selalu memberikan semua hal terbaik untuk hambaNya.

(Siti Bagja Muawanah)

Penulis mempersembahkan skripsi ini untuk kedua orang tua tercinta dan
adik-adik tersayang, sebagai kado kecil atas semua perngorbanan yang
telah mereka lakukan.

iv
ABSTRAK

Siti Bagja Muawanah. 2014. Kajian Struktural Model A. J. Greimas pada Novel
Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari dan Rencana Pelaksanaan
Pembelajarannya di Kelas XI SMA.
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kesimpang-siuran informasi mengenai siapa tokoh
utama dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Tujuan penelitian ini yaitu: (1) mencari
tahu siapa tokoh utama pada novel Ronggeng Dukuh Paruk. (2) mencari tahu dapat
atau tidak hasil penelitian ini digunakah untuk bahan apresiasi sastra di SMA.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kulitatif deskriptif. Teknik
pengumpulan data menggunakan metode babat, deskripsi, dan riset kepustakaan.
Teknik analisis data menggunakan teori struktural model A. J. Greimas. Data dalam
penelitian ini adalah keseluruhan elemen yang berasal dari hasil pencatatan mengenai
objek, gejala, serta kejadian-kejadian atau peristiwa yang terdapat dalam novel RDP.
Sumber data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu sumber data utama dan
sumber data tambahan. Sumber data utama dalam penelitian ini adalah novel RDP
sedangkan data tambahannya yaitu buku-buku yang berkaitan dengan teori sastra,
serta pustaka lain yang menunjang penelitian ini. Simpulan penelitian ini yakni: (1)
skema aktan dapat digunakan untuk melihat tokoh utama pada novel Ronggeng
Dukuh Paruk. (2) tokoh utama pada novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah Rasus. Hal
tersebut, terlihat pada kuantitas kebermaknaan yang dimiliki tokoh Rasus. Rasus
banyak beraksi dalam cerita, sebagaimana yang tergambar dalam skema aktan. (3)
jumlah aktan yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk sebanyak 18 buah
aktan. Kedelapan belas aktan tersebut, lima aktan mengalami zeroisasi, dan 13 aktan
mempunyai fungsi peran yang utuh. Selain itu, ada aktan-aktan yang satu fungsi
dapat menempati beberapa peran. Ada pula aktan-aktan yang satu peran memerankan
satu fungsi. (4) novel Ronggeng Dukuh Paruk dapat dijadikan sebagai bahan apresiasi
sastra di SMA. Hal ini mengacu pada kriteria pemilihan bahan ajar menurut
Rahmanto (1988:27) yang mencangkup aspek bahasa, psikologi, dan latar belakang
budaya.

Kata Kunci: Novel, kajian struktural model A. J. Greimas, dan bahan apresiasi sastra
di SMA.

v
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbilalamin. Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat

Allah SWT yang selalu memberikan kasih sayang dan segala hal terbaik dalam hidup

penulis, sehingga penulis dapat meyelesaikan tugas akhir ini sesuai dengan target

yang telah ditentukan, walaupun berbagai rintangan silih berganti datang

menghampiri. Salawat beserta salam penulis curah limpahkan kepada suri tauladan

yang sangat cerdas yakni nabi Muhammad SAW. Beliau adalah suri tauladan terbaik

di setiap waktu, termasuk saat penulis berjuang sekuat tenaga menyelesaikan skripsi

yang berjudul Kajian Struktural Model A. J. Greimas pada Novel Ronggeng Dukuh

Paruk Karya Ahmad Tohari dan Rencana Pelaksanaan Pembelajarannya di Kelas XI

SMA ini.

Selain itu, pada kesempatan kali ini izinkanlah penulis dengan segala

kerendahan hati untuk menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya serta

penghargaan setinggi-tinginya kepada semua pihak yang telah membantu penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih ini penulis tujukan kepada:

1. Kedua orang tua yang senantiasa memberikan do’a, pengorbanan, kasih sayang

dan dukungan penuh terhadap apapun yang penulis lakukan.

2. Bapak Arip Senjaya, S.Pd., M.Phil., selaku pembimbing I dalam penulisan dan

penyusunan skripsi ini yang telah memberikan arahan dan bimbingannya kepada

penulis dengan penuh ketelitian, kesabaran, dan keikhlasan.

vi
3. Bapak Ahmad Supena, S.Pd., M.A., selaku pembimbing II yang telah

memberikan motivasi, kritik, dan sarannya dengan tulus kepada penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

4. Ibu Ade Husnul Mawaddah, M.Hum., selaku dosen di Program Studi Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah menginspirasi penulis untuk lulus tepat

waktu.

5. Bapak Firman Hadiansyah, S.Pd., M.Hum., selaku dosen di Program Studi

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang selalu baik dan memberikan

bantuan dengan tulus kepada semua mahasiswanya, termasuk kepada penulis.

6. Seluruh dosen dan staf Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang telah mendidik, memberikan ilmu, dan

memberikan pelayanan terbaiknya kepada penulis.

7. Adik-adik tersayang —Almarhumah Nina Fitri Yanti, Ade Suryana, Anton

Suarja, Andi Sutrisna, Adi Sutiawan, dan Alwanudin— yang telah memberikan

do’a, semangat, celoteh hangat, dan kasih sayangnya kepada penulis.

8. Nenek, bibi, dan mamang penulis yang telah bersedia mengurus dan

membesarkan adik bungsu penulis.

9. Keluarga besar penulis di Lembaga Dakwah Kampus, terutama angkatan 2010

yang selalu menjadi inspirasi penulis untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi.

vii
10. Sahabat-sahabat penulis, Lusiana Syarifah, Mulya Tiara Fauziah, dan Widya

Gusvita yang selalu menerima kekurangan dan kelebihan penulis, serta telah

memberikan banyak bantuan saat penulis membutuhkan.

11. Teman-teman seperjuangan penulis di kelas A Diksatrasia angkatan 2010,

terutama Ela Srikandi, Anisatul farihah, Nani Wahyuni, Saduri Dagul, Desma

Yuliadi Saputra, Arif Rahman Hakim, Fajar Timur, Tb. Rahmat, Mutiara

Ramdani, dan Agustia Afriyani yang telah ikut mewarnai hidup penulis dengan

caranya masing-masing.

12. Teman-teman Diksatrasia angkatan 2010 dan angkatan lainnya yang sama-sama

berjuang menyelesaikan skripsi masing-masing. Mereka adalah tempat penulis

bercermin diri saat sedang mengerjakan skripsi ini.

13. Kak Niduparas Erlang dan Kak Wahyu Arya yang telah mengizinkan penulis

untuk membaca bab satu skripsinya.

14. UKM Cafe Ide yang berkenan mengizinkan penulis berada di saungnya selama

penulis bimbingan.

15. Bapak Dodi Firmansyah, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa

dan Sastra Indonesia.

16. Bapak Drs. H. Suherman, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan.

17. Bapak Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M.Pd., selaku Rektor Universitas Sultan

Ageng Tirtayasa.

viii
Semoga amal baik dan seluruh dukungan yang telah mereka berikan kepada

penulis mendapatkan imbalan yang setimpal dari Allah SWT (Aamiin).

Penulis menyadari bahwa keawaman penulis di bidang sastra, kebahasaan, dan

pendidikan memengaruhi kualitas skripsi ini. Namun, setidaknya inilah hasil kerja

keras dan kesungguhan penulis dalam beberapa bulan terakhir. Penulis hanya dapat

menghibur diri dengan sebuah pribahasa yang berbunyi “Tak ada gading yang tak

retak”. Seperti pepatah tersebut, penelitian yang telah penulis lakukan ini pun tak

sempurna, bahkan kesalahan dan kekeliruan sangat mungkin terjadi. Jadi, kritik dan

saran sangat penulis harapkan guna melakukan perbaikan. Akhirnya, semoga

penelitian kecil ini dapat berguna, khususnya bagi penulis umumnya bagi pembaca.

Serang, Juni 2014

Penulis

ix
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL .................................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................ ii

LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................................... iii

LEMBAR PERSEMBAHAN .................................................................................... iv

ABSTRAK ................................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ................................................................................................ vi

DAFTAR ISI................................................................................................................ x

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah.............................................................................. 1

1.2 Fokus Penelitian .......................................................................................... 9

1.3 Pertanyaan Penelitian .................................................................................. 9

1.4 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 10

1.5 Manfaat Penelitian .................................................................................... 10

1.6 Kajian Relevan .......................................................................................... 11

x
BAB 2 KAJIAN PUSTAKA

2.1 Novel ......................................................................................................... 14

2.2 Kajian Struktural ....................................................................................... 15

2.3 Struktural Model A. J. Greimas ................................................................ 17

2.4 Kriteria Pemilihan Bahan Ajar Apresiasi Sastra ....................................... 21

2.5 Kedudukan Novel dalam Kurikulum 2013 ............................................... 23

2.6 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ......................................................... 24

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian ................................................................................... 26

3.2 Teknik Penelitian .................................................................................... 27

3.2.1 Teknik Pengumpulan Data ......................................................... 27

3.2.2 Teknik Analisis Data .................................................................. 28

3.3 Data dan Sumber Data ............................................................................. 29

3.3.1 Data ............................................................................................... 29

3.3.2 Sumber Data .................................................................................. 30

xi
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Aktan ........................................................................................... 31

4.2 Kuantitas Aktan ........................................................................................ 55

4.3 Hubungan Aktan-Aktan dalam Membentuk Struktur Cerita Utama ........ 63

4.4 Keabsahan Data ........................................................................................ 66

4.5 Kelayakan Ronggeng Dukuh Paruk Menjadi Bahan Ajar SMA............... 67

4.6 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ......................................................... 68

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan ................................................................................................... 79

5.2 Saran ........................................................................................................ 80

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP PENULIS

xii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Seluruh teks umumnya memiliki substansi untuk memberikan informasi, baik

tentang suatu peristiwa, tentang seseorang, tentang sesuatu, maupun tentang si

pengirim/penerima. Informasi itu dapat benar, dapat pula tidak benar; dapat berupa

fakta, dapat pula berupa imajinasi. Kedua teks yang demikian biasanya dikelompokan

menjadi karya nonfiksi dan karya fiksi.

Karya fiksi merujuk pada suatu karya yang menceritakan sesuatu yang

bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh

sehingga ia tidak perlu dicari kebenarannya dalam dunia nyata (Nurgiyantoro,

2010:2). Pendapat tersebut, mengindikasikan bahwa karya fiksi identik dengan karya

sastra.

Karya sastra yang berbentuk tulisan tercipta untuk menjadi objek bacaan bagi

pembaca. Salah satu karya sastra berbentuk tulisan yaitu novel. Novel banyak dibaca

oleh masyarakat, sehingga beberapa novel diangkat menjadi sebuah film, misalnya

novel Ketika Cinta Bertasbih, Ayat-Ayat Cinta, Negeri Lima Menara, Laskar

Pelangi, Sang Pemimpi, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan Ronggeng Dukuh Paruk

(Selanjutnya RDP).

1
2

Novel yang disebut terakhir kiprahnya tidak bisa diragukan lagi. Saat diangkat

ke layar lebar dengan judul Sang Penari, film ini meraih tiga penghargaan sekaligus.

Selain itu, ketika novel ini belum diangkat ke layar lebar, RDP sudah mengundang

perhatian para pencinta sastra Indonesia, baik pembaca, kritikus, maupun peneliti

sastra atau kalangan akademisi. Bahkan, RDP sering mendapat pujian dari mereka.

Damono (dalam Tohari, 2003:ii) menyatakan bahwa, RDP menunjukkan

Ahmad Tohari bisa sangat lancar mendongeng. Latar, peristiwa, dan tokoh-tokoh

yang terdiri atas orang-orang desa yang sederhana digambarkannya dengan menarik,

bahkan tidak jarang sangat menarik.

Pendapat lain diungkapkan oleh Meier (dalam Tohari, 2003:ii) RDP berhasil

mengungkapkan suatu kisah yang disajikan dengan cara yang menggugah perasaan

ingin tahu, suatu masalah yang bagi kita pun sangat lazim. Namun, yang paling

mengasyikkan dari RDP adalah gambaran tandas yang berhasil dibangkitkan Ahmad

Tohari, yang mengikis khayalan indah kita tentang kehidupan pedesaan di Jawa.

Pendapat berbeda dikemukakan oleh Yamane (dalam Tohari, 2003:ii) RDP

sangat menarik ceritanya sehingga ia menerjemahkan ketiga novel RDP yang dibiayai

oleh Japan Fondation. Selain itu, menurut Damhauser (dalam Tohari, 2003:ii) RDP

menjadi bacaan wajib bagi mahasiswa jurusan sastra Asia Timur. Bahkan, lebih dari

50 skripsi dan tesis di Universitas Leiden Belanda dan Lund University Swedia, telah

lahir melalui pengkajian novel RDP ini. RDP pun hingga kini telah diterjemahkan ke
3

dalam empat bahasa asing yakni Jepang, Jerman, Belanda, dan Inggris, serta bahasa

Jawa (Tohari, 2003:ii).

Novel RDP yang terdiri atas Catatan Buat Emak (CBE), Lintang Kemukus

Dini Hari (LKDH), dan Jentera Bianglala (JB) ini, tetap eksis selama berpuluh-puluh

tahun. Hal tersebut terlihat dari kenyataan bahwa RDP sudah mengalami beberapa

kali cetak ulang yakni pada tahun 1984, 1986, 1999, 2003, 2007, 2009 dan 2011.

Fakta ini memunculkan keingintahuan penulis tentang RDP, selain yang telah

dikemukakan oleh ahli-ahli di atas. Oleh karena itu, penulis kemudian mencari tahu

tentang RDP melalui tulisan orang-orang.

Saat melakukan proses membaca tulisan-tulisan tentang RDP, penulis

menemukan tulisan Imron yang berjudul Eksistensi Ahmad Tohari dan Ronggeng

Dukuh Pauk (RDP) dalam Jagat Sastra Indonesia. Pada halaman 19 Imron

mengemukakan bahwa “Melalui pengkajian kritis, RDP dapat dikatakan merupakan

salah satu novel Indonesia mutakhir yang memiliki idiosyncrasy/keistimewaan…”.

Salah satu keistimewaan yang penulis temukan pada novel RDP setelah

melakukan pembacaan berulang kali yang disertai dengan pengamatan, adalah

adanya nilai-nilai keislaman dan pendidikan yang dapat ditelusuri melalui tokoh

Rasus. Nilai-nilai ini terbungkus rapi oleh nilai-nilai lain yang sejak lama sudah

terlanjur melekat pada novel ini yakni nilai seks, pesundalan, kebodohan,

kemiskinan, dan kebebasan yang tercermin pada tokoh Srintil.


4

Keistimewaan novel RDP yang lain juga mewujud pada penokohannya. Hal

ini terlihat pada artikel Endarmoko (dalam Horison, 1984:12), menurutnya Porsi

Srintil terlalu kecil dibanding dengan Rasus. Terlalu kecil mengingat nama Srintil

identik dengan judul buku: Ronggeng Dukuh Paruk. Ketidakseimbangan itu

ditunjukkan oleh frekuensi keterlibatan kedua tokoh tersebut dalam cerita yang sama

sekali tidak seimbang. Pengarang lebih banyak memaparkan hal-hal yang

memungkinkan perkembangan watak Rasus daripada Srintil. Segala sesuatu terpusat

pada “Aku”. Sementara itu, Srintil lebih bertindak sebagai tokoh bawahan yang

dimanfaatkan sebagai latar. Pada dasarnya Ronggeng Dukuh Paruk menceritakan

seorang lelaki muda yang memperoleh kesadaran dari luar lingkungannya untuk

menilai secara kritis lingkungannya sendiri. Jadi, Srintil jelas mewakili bentuk

kehidupan lelaki muda itu, yang kelak dianggapnya kurang sesuai dengan nuraninya.

Lebih lanjut Endarmoko (dalam Horison, 1984:16) mengemukakan bahwa, Ronggeng

Dukuh Paruk baru menampilkan seorang pemuda…. Bagaimanapun halnya, Rasus di

sana baru menyadari eksistensinya. Novel ini baru menampilkan proses eksist-nya

seorang tokoh.

Pendapat yang sama dikemukakan oleh Yudiono (2003:25-26) Rasus yang

bertindak sebagai pencerita (sudut pandang orang pertama) tampil dengan segala

pikiran dan sikapnya sehingga wajarlah jika Rasus adalah tokoh utama dalam RDP.

Sebagai tokoh utama, pikiran dan tindakan Rasus sangat menentukan kelanjutan alur

novel tersebut.
5

Pendapat berbeda dikemukakan oleh Haryati (2010) dalam skripsinya yang

berjudul Watak Tokoh Utama dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad

Tohari dan Implikasi Pembelajarannya di SMA. Hasil yang diperoleh Haryati dari

penelitiannya itu yakni: Srintil merupakan seorang perempuan yang masih muda yang

memiliki tubuh indah dengan didukung wajahnya yang sangat cantik, seksi, ramah,

baik, dan juga bersifat keibuan. Simpulan yang seperti itu secara tidak langsung

berarti bahwa Haryati menganggap Srintil adalah tokoh utama novel Ronggeng

Dukuh Paruk.

Perbedaan pendapat ini menimbulkan masalah karena menurut hemat penulis

pengetahuan tentang siapa tokoh utama dalam novel akan memudahkan kita

memahami cerita yang disampaikan. Menurut Nurgiyantoro (2010:176) “Ada tokoh

yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi

sebagian besar cerita dan ada yang tokoh-tokoh yang dimunculkan sekali atau

beberapa kali dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif

pendek. Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama cerita (central character,

main character), sedangkan yang disebut kedua adalah tokoh tambahan.”

Berdasarkan pendapat Nurgiyantoro di atas, dapat dipahami mengapa

pendapat Endarmoko dan Haryati tentang tokoh utama RDP berbeda. Hal itu, karena

buku yang mereka acu berbeda, sehingga kedominanan tokohnya pun berbeda.

Endarmoko menggunakan buku RDP yang masih berdiri sendiri, sehingga jelas pada

buku tersebut hanya Rasus yang dominan, sedangkan Haryati menggunakan buku
6

RDP yang merupakan penyatuan dari RDP/CBE, LKDH, dan JB, sehingga tokoh

Srintil yang dominan. Namun, tetap saja ada masalah yakni perbedaan pendapat

antara Yudiono dan Haryati karena buku yang digunakan sama.

Perbedaan pendapat yang telah dipaparkan di atas, mungkin disebabkan oleh

perbedaan cara pandang dalam menentukan kedominanan tokoh yang mereka anggap

sebagai tokoh utama. Hal tersebut membuat pembaca semakin bertanya-tanya saat

membaca pendapat Nurgiyantoro (2010:177), “Dalam novel-novel yang lain, tokoh

utama tidak muncul dalam setiap kejadian atau tidak langsung ditunjuk dalam setiap

bab, namun ternyata dalam kejadian atau bab tersebut tetap erat berkaitan, atau dapat

dikaitkan, dengan tokoh utama.”

Pada novel RDP, ada kalanya Rasus yang dominan dan Srintil masih ada

kaitannya dengan cerita—pada buku pertama—, dan ada kalanya Srintil yang

dominan, akan tetapi Rasus tetap hadir lewat pembicaaan tokoh-tokoh lain. Hal

tersebut menimbulkan pertanyaan: Siapa sebenarnya tokoh utama dalam novel RDP,

Rasus, Srintil, atau Rasus dan Srintil? Teori apakah yang dapat digunakan untuk

melihat siapa tokoh utama dalam novel RDP? Bagian novel yang manakah yang

harus diteliti, struktur, pengarang, pembaca, atau yang lainnya?

Berdasarkan pertanyaan tentang RDP tersebut, penulis pun sampai pada

pemikiran bahwa strukturalisme model A. J. Greimas mungkin dapat digunakan

sebagai pendekatan dalam mengkaji novel RDP. Adapun cara penggunaan struktural
7

model A. J. Greimas pada penelitian ini mengikuti cara yang digunakan oleh

Jabrohim dalam bukunya yang berjudul Pasar dalam Perspektif Greimas.

Pengkajian ini diharapkan mampu menjawab pertanyaan yang telah dituliskan di

atas. Mengapa? Karena strukturalisme baik dengan menolak maupun menerimanya

merupakan analisis yang sangat bermanfaat sebab unsur-unsur karya sastra dibahas

secara mendalam (Ratna, 2009:119). Sementara itu, struktur naratif model A. J.

Greimas sendiri memiliki kelebihan dalam menyajikan secara terperinci kehidupan

tokoh-tokoh dalam cerita dari awal sampai akhir, dan cara penggunaan struktural A.

J. Greimas oleh Jabrohim bertahap, sehingga mungkin cocok digunakan untuk

mencari tahu siapa tokoh utama dalam RDP.

Berkaitan dengan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah,

Kurikulum 2013 tidak menyebutkan secara jelas tentang tujuan pembelajaran untuk

mata pelajaran Bahasa Indonesia. Menurut Mahsun pelajaran bahasa Indonesia pada

Kurikulum 2013 dalam implementasinya menggunakan pendekatan berbasis teks.

Lebih lanjut, Mahsun menjelaskan bahwa teks dalam Kurikulum 2013 tidak diartikan

hanya sebagai teks tertulis, melainkan juga dapat berwujud teks lisan, bahkan

multimodal seperti gambar.

Ini perbedaan yang sangat mendasar dari kurikulum 2013. Bahasa Indonesia
benar-benar dijadikan sarana pengembangan kemampuan berpikir siswa dari SD
sampai SMA, kurikulum Bahasa Indonesia diajarkan dengan berbasis teks.
(http://edukasi.kompas, diunduh pada 30 April 2014, pukul 12:56 WIB).
8

Penekanan pada pembelajaran berbasis teks, dan mencermati Kompetensi

Dasar pada satuan pendidikan SMA, pembelajaran sastra, khususnya novel, cukup

memadai untuk mengembangkan keempat Kompetensi —berkenaan dengan sikap

keagamaan (Kompetensi Inti 1), sikap sosial (Kompetensi Inti 2), pengetahuan

(Kompetensi Inti 3), dan penerapan pengetahuan (Kompetensi Inti 4) (Kemendikbud,

2013: 10)—. Terutama terkait dengan Kompetensi Inti ketiga yaitu pengetahuan yang

meliputi pemahaman, penerapan, analisis, dan evaluasi, serta Kompetensi Inti

keempat yaitu penerapan pengetahuan yang meliputi pengolahan, penalaran,

penyajian, dan penciptaan.

Namun, saat akan melaksanakan penggajaran sastra menggunakan sebuah

novel, apalagi yang berbau unsur seks guru perlu menyeleksi novel tersebut

berdasarkan kriteria pemilihan bahan ajar apresiasi sastra yang ada. Adapun hal yang

paling penting adalah aspek psikologi. Psikologi siswa SMA berada pada masa penuh

keigintahuan. Jadi, guru harus berhati-hati. Usahakan mereka hanya menerima

pengaruh positifnya saja.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penelitian ini akan mengkaji

lebih lanjut mengenai skema aktan A. J. Greimas pada novel Ronggeng Dukuh Paruk

karya Ahmad Tohari. Adapun judul penelitian ini yakni “Kajian Struktural Model A.

J. Greimas pada Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari dan Rencana

Pelaksanaan Pembelajarannya di Kelas XI SMA”.


9

1.2 Fokus Penelitian

Fokus penelitian merupakan upaya untuk membatasi masalah agar penelitian

sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, sehingga penelitian tidak meluas dari

objek yang sudah ditentukan sebelumnya. Selain itu, fokus penelitian juga berfungsi

agar memudahkan cara kerja dalam melakukan analisis. Pembatasan juga dilakukan

untuk memperjelas objek penelitian karena pada kenyataannya masalah yang

berhubungan dengan novel sangat luas.

Maka fokus penelitian ini yaitu penggunaan skema aktan untuk melihat tokoh

utama pada novel Ronggeng Dukuh Paruk dan bahan apresiasi sastra di SMA.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan fokus penelitian tersebut, dapat dikatakan bahwa penelitian ini

berupaya menjawab pertanyaan penelitian sebagai berikut.

1. Dapatkah skema aktan digunakan untuk melihat tokoh utama pada novel

Ronggeng Dukuh Paruk?

2. Dapatkah hasil penelitian ini digunakan untuk bahan apresiasi sastra di SMA?
10

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan penelitian di atas, dapat disusun tujuan penelitian

sebagai berikut.

1. Mencari tahu siapa tokoh utama pada novel Ronggeng Dukuh Paruk.

2. Mencari tahu dapat atau tidak hasil penelitian ini digunakah untuk bahan apresiasi

sastra di SMA.

1.5 Manfaat Penelitian

Segala sesuatu pasti memiliki manfaat, begitu pula sebuah penelitian. Manfaat

penelitian ini yaitu:

1. Manfaat Teoretis

a. Penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembaca

tentang analisis struktural model A. J. Greimas, skema aktan pada novel

Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.

b. Menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam studi sastra dengan

tinjauan struktural.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan informasi kepada pembaca (skripsi) mengenai skema aktan pada

novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.

b. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan andil bagi

pembaca (skripsi).
11

1.6 Kajian Relevan

Penelitian yang penulis lakukan bukan penelitian satu-satunya yang

menjadikan RDP sebagai objek penelitian. Hal ini terlihat dari beberapa penelitian

yang penulis temui. Penulis sengaja menuliskan penelitian-penelitian tersebut dengan

tujuan untuk menghindari praktik plagiatisme. Penelitian yang penulis maksud di

antaranya adalah sebagai berikut.

Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Ela Solehatul Kamila (2013) dalam

skripsinya yang berjudul Analisis Struktural Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya

Ahmad Tohari dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Membaca di SMA. Simpulan

dari penelitian alumnus Universitas Sultan Ageng Tirtayasa tersebut, menyebutkan

bahwa novel Ronggeng Dukuh Paruk mengandung hubungan antarunsur intrinsik.

Hubungan antarunsur intrinsik ini merupakan analisis yang menelaah antarhubungan

unsur karya sastra dalam hal ini adalah novel dengan unsur-unsur pembangun karya

sastra seperti tema, alur, sudut pandang, tokoh, latar dan gaya bahasa, sehingga

membentuk kemaknaan yang menyeluruh. Setelah dilakukan analisis dari unsur-

unsur tersebut memeroleh suatu kesatuan dan semua unsur tersebut saling

berhubungan. Hasil penelitian dimanfaatkan untuk menyusun RPP membaca di kelas

XI yakni berhubungan dengan SK dan KD.

Pada penelitian tersebut yang dibahas secara mendalam hanya mengenai

unsur-unsur intrinsik novel saja. Penulis menyebutkan tokoh, tema, alur, latar, sudut

pandang, gaya bahasa, pandangan tokoh Srintil terhadap tradisi ronggeng, dan
12

keterkaitan antarunsur, sedangkan hubungan antarunsur intrinsik hanya dibahas

secara sekilas.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Haryati (2010) dalam skripsinya yang

berjudul Watak Tokoh Utama dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad

Tohari dan Implikasi Pembelajarannya di SMA. Simpulan dari penelitian alumnus

Universitas Pancasakti Tegal ini menyebutkan bahwa tokoh utama Srintil dalam

novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari merupakan seorang perempuan

yang masih muda yang memiliki tubuh indah dengan didukung wajahnya yang sangat

cantik, seksi, ramah, baik, dan juga bersifat keibuan.

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Andi Dwi Handoko (2010) dalam

skripsinya yang berjudul Novel Orang-orang Proyek dan Kaitannya dengan Trilogi

Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari (Analisis Strukturalisme

Genetik). Simpulan dari penelitian alumnus Universitas Sebelas Maret Surakarta ini

menyebutkan bahwa: (1) ada keterjalinan antarunsur intrinsik dalam novel Orang-

orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk; (2) pandangan dunia Ahmad

Tohari dalam novel Orang-orang Proyek dan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk adalah

pandangan humanisme universal yang terdiri dari pandangan religius, kesenian,

sosial, budaya, politik, ekonomi, dan nilai moral; dan (3) struktur sosial dalam novel

Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk dibagi menjadi dua,

yakni institusi pemerintahan dan religi serta ada homologi antara struktur teks dan
13

struktur sosial dalam novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh

Paruk.

Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa ketiga penelitian sama-sama

membahas novel RDP. Namun, fokus penelitian mereka berbeda-beda. Kamila fokus

pada unsur intrinsik pada karya sastra yang berdiri sendiri dan hubungan antarunsur

karya sastra, Haryati fokus pada watak tokoh utama yang menurutnya adalah Srintil,

dan Handoko fokus pada keterkaitan antara novel RDP dengan novel Orang-orang

Proyek. Jadi, dapat dikatakan bahwa orisinilitas penelitian yang berjudul “Kajian

Struktural Model A. J. Greimas pada Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad

Tohari dan Rencana Pelaksanaan Pembelajarannya di Kelas XI SMA” ini dapat

dipertanggungjawabkan.
BAB 2

KAJIAN TEORI

2.1 Novel

Novel diartikan sebagai suatu karangan atau karya sastra yang lebih pendek

daripada roman, tetapi jauh lebih panjang daripada cerita pendek, yang isinya hanya

mengungkapkan suatu kejadian yang penting, menarik dari kehidupan seseorang (dari

suatu episode kehidupan seseorang) secara singkat dan yang pokok-pokok saja.

Perwatakan pelaku-pelakunya digambarkan secara garis besar saja, tidak sampai pada

masalah yang sekecil-kecilnya. Kejadian yang digambarkan itu mengandung suatu

konflik jiwa yang mengakibatkan adanya perubahan nasib (Santoso dan

Wahyuningtyas, 2010:46).

Sebutan novel dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Itali novella (yang

dalam bahasa Jerman: novelle). Secara harfiah novella berarti “sebuah barang baru

yang kecil”, dan kemudian diartikan sebagai “cerita yang pendek dalam bentuk

prosa” (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2010:9).

Menurut The American College Dictionary (dalam Tarigan, 2011:167)

“Novel” diartikan sebagai “Suatu cerita prosa yang fiktif dengan panjangnya tertentu,

yang melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan nyata yang refresentatif

dalam suatu alur atau keadaan yang agak kacau atau kusut”.

14
15

Pada uraian di atas terlihat persamaan dan perbedaannya. Persamaan terlihat

dari pengertian novel menurut Abrams dan The American College Dictionary. Kedua

sumber ini menyatakan bahwa novel adalah cerita yang berbentuk prosa, sedangkan

perbedaannya terlihat pada pendapat Santoso dan Wahyuningtyas dan Abrams. Jika

Santoso dan Wahyuningtyas mengungkapkan bahwa novel lebih panjang dari cerita

pendek maka Abrams menyatakan bahwa novel adalah cerita pendek berbentuk

prosa.

Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa novel adalah cerita

berbentuk prosa yang lebih panjang dari cerpen. Masalah panjang novel penulis

belum menemukan ketentuan yang baku.

2.7 Kajian Struktural

Strukturalisme dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan

(baca:penelitian) kesastraan yang menekankan pada kajian hubungan antarunsur

pembangun karya sastra yang bersangkutan. Jadi, strukturalisme (disamakan dengan

pendekatan objektif) dapat dipertentangkan dengan pendekatan lain seperti

pendekatan mimetik, ekspresif, dan pragmatik (Abrams dalam Nurgiyantoro,

2010:36).

Strukturalisme adalah sebuah paham atau kepercayaan bahwa segala sesuatu

yang ada dalam dunia ini mempunyai struktur. Sesuatu dikatakan mempunyai
16

struktur apabila ia membentuk suatu kesatuan yang utuh, bukan merupakan jumlah

dari bagian-bagian semata (Faruk, 2012:155).

Strukturalisme adalah cara berpikir tentang dunia yang terutama berkaitan

dengan persepsi dan deskripsi struktur. Dunia ini pada hakikatnya lebih mmerupakan

susunan keseluruhan, tersusun atas hubungan-hubungan daripada benda-benda itu

sendiri (Hawkes dalam Jabrohim, 1996:9).

Ketiga pendapat ahli di atas, memiliki persamaan dan perbedaan. Intinya

mereka sama-sama menekankan bahwa strukturalisme adalah paham yang

menganggap bahwa segala sesuatu, termasuk karya sastra memiliki struktur.

Perbedannya hanya terletak pada redaksinya. Menurut Nurgiyantoro, strukturalisme

adalah kajian hubungan antarunsur pembangun karya sastra yang bersangkutan.

Sementara menurut Faruk strukturalisme adalah sebuah paham atau kepercayaan

bahwa segala sesuatu yang ada dalam dunia ini mempunyai struktur, sedangkan

menurut Hawkes dalam Jabrohim strukturalisme adalah cara berpikir tentang dunia

yang terutama berkaitan dengan persepsi dan deskripsi struktur.

Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa strukturalisme

adalah pendekatan (baca:penelitian) kesastraan yang menganggap bahwa karya sastra

memiliki struktur. Srtuktur ini saling berkaitan antara struktur yang satu dengan

struktur yang lain.


17

2.8 Struktural Model A. J. Greimas

Greimas adalah peneliti sastra dari Prancis penganut teori struktural (Teeuw

dalam Jabrohim, 1996:11). Ia mengembangkan teori strukturalisme menjadi

strukturalisme naratif. Teori ini dikembangkan atas dasar analogi-analogi struktural

dalam linguistik yang berasal dari Ferdiand de Saussure (Hawkes dalam jabrohim,

1996:11). Pencarian analogi struktural dalam linguistik, menurut Suwondo (dalam

Jabrohim, 1996:11), Greimas menerapkan teorinya dalam dongeng atau cerita rakyat

Rusia (Jabrohim, 1996:11).

Teori A. J. Greimas ditawarkan melalui tulisannya Semantique Structurale

atau semantik struktural pada 1966 (Selden, 1996:61). Sebenarnya teori ini

merupakan penghalusan atas teori Vladimir Propp (Jabrohim, 1996:11). Sementara

Propp memusatkan pada sebuah jenis tunggal, Greimas berusaha sampai pada “tata

bahasa” naratif yang universal dengan menerapkan padanya analisis semantik atas

struktur kalimat (Selden, 1996:61). Tiga puluh satu fungsi dasar analisis Propp

disederhanakan menjadi dua puluh fungsi, yang kemudian dikelompokkan menjadi

tiga struktur, yaitu struktur berdasarkan perjanjian, struktur yang bersifat

penyelenggaraan, dan struktur yang bersifat pemutusan (Ratna, 2009:13). Selain itu,

sebagai ganti tujuh “lingkaran tindakan” ia mengemukakan tiga pasangan oposisi

biner yang meliputi enam actants (Selden, 1996:61). Greimas pada gilirannya lebih

mementingkan aksi dibandingkan dengan pelaku. Menurut Greimas tidak ada subjek
18

di balik wacana yang ada hanyalah subjek, manusia semu yang dibentuk oleh

tindakan, yang disebut actants (selanjutnya aktan).

Adanya kekuatan untuk melakukan tindakan (aktan) menjadi inti teori

Greimas. Aktan adalah pelaku tindakan, aktan merupakan peran yang hadir dalam

tindakan, yang dapat ditempati oleh segala macam entitas. Aktan berbeda dengan

tokoh. Ia berada dalam struktur batin suatu teks. Sementara itu, tokoh adalah tampilan

suatu makhluk hidup (orang atau sesuatu yang dipersonifikasikan), sedangkan pelaku

tindakan bukan hanya manusia, melainkan segala macam entitas dapat dapat juga

menjadi pelaku tindakan: benda, binatang (baik yang merupakan personifikasi atau

bukan), institusi, perasaan, dan nilai-nilai. Jadi, yang disebut kekuatan untuk

mengambil tindakan adalah segala sesuatu yang turut mengambil bagian dalam

tindakan (Zaimar, 2014:39).

Menurut Zaimar (2014:39) seorang tokoh, dapat hadir sebagai latar belakang,

“untuk menampakkan cerita seperti sesuatu yang nyata”, tetapi ia dapat pula

mempunyai berbagai kekuatan untuk melakukan tindakan. Greimas mengemukakan

adanya enam peran aktan dalam cerita yaitu pengirim, penerima, subjek, objek,

penolong, dan penentang. Berbeda dari tokoh yang biasanya diteliti sebagai manusia,

mulai dari identitasnya, wajahnya, tubuhnya, sifatnya, gagasan-gagasannya; maupun

lingkungannya, maka aktan hanya diteliti dalam hubungannya dengan tindakan yang

dilakukannya (Zaimar, 2014:39). Hubungan keenam peran aktan digambarkan

dengan skema sebagai berikut (Jabrohim, 1996:13).


19

pengirim → objek → penerima

penolong → subjek ← penentang

Penjelasan mengenai keenam peran aktan di atas yaitu: Pengirim adalah

sesuatu atau seseorang yang menjadi motor penggerak cerita. Dia yang menentukan

objek yang diinginkannya dia juga memanggil sang pahlawan (le héros) untuk

mencari dan mendapatkan objek tersebut. Objek adalah Sesuatu yang diinginkan. Dia

merupakan objek yang dicari. Subjek adalah yang dipanggil oleh pengirim untuk

mencari dan mendapatkan objek yang diinginkan. Penentang adalah sesuatu atau

seseorang yang menghalangi usaha pahlawan/subjek untuk mencapai objek yang

dicarinya. Penolong adalah sesuatu atau seseorang yang mempermudah tercapainya

objek. Penerima adalah sesuatu atau seseorang yang menerima objek yang didapat

dari pencarian (Zaimar, 2014:40).

Tanda panah dalam skema menjadi unsur penting yang menghubungkan

fungsi sintaksis naratif masing-masing aktan. Tanda panah dari pengirim mengarah

ke objek artinya bahwa dari pengirim ada keinginan untuk

mendapatkan/menemukan/menginginkan objek. Tanda panah dari objek ke penerima

artinya bahwa sesuatu yang menjadi objek yang dicari oleh subjek yang diinginkan

oleh pengirim diberikan kepada penerima. Tanda panah dari penolong ke subjek

artinya bahwa penolong memberikan bantuan kepada subjek dalam rangka


20

menunaikan tugas yang dibebankan pengirim. Penolong membantu memudahkan

tugas subjek. Tanda panah dari penentang ke subjek artinya bahwa penentang

mempunyai kedudukan sebagai penentang dari kerja subjek. Penentang mengganggu,

menghalangi, menentang, menolak dan merusak usaha subjek (Jabrohim, 1996:14).

Menurut Suwondo (dalam Jabrohim, 1996:14), berkaitan dengan hal itu di antara

pengirim dan penerima terdapat suatu komunikasi, di antara pengirim dan objek

terdapat tujuan, di antara pengirim dan subjek terdapat perjanjian, di antara subjek

dan objek terdapat usaha, dan di antara penolong dan penentang terdapat bantuan atau

tanggapan.

Dalam pembuatan skema (bagan) aktan ini Zaimar (2014:40-41) menyatakan

empat hal yang perlu diingat, yaitu:

1. Aktan dapat menempati beberapa peran. Misalnya seseorang dapat menempati

sekaligus peran pengirim dan penerima

2. Beberapa aktor dapat bersama-sama menempati salah satu peran aktan. Misalnya

peran penentang, dapat ditempati sekaligus oleh beberapa aktor.

3. Peran aktan dapat ditempati, bukan saja oleh manusia, akan tetapi dapat juga

ditempai oleh binatang, bahkan kadang-kadang oleh benda atau sesuatu yang

abstrak, seperti nilai-nilai, sifat tokoh dan lain-lain.

4. Suatu cerita yang kompleks memiliki banyak cerita yang saling berkaitan.

Berkaitan dengan hal ini, aktor dapat menempati peran yang berbeda dalam alur

yang berbeda. Misalnya, aktor yang menempati peran pahlawan dalam alur
21

pertama, dapat menempati peran pengirim di dalam alur yang berikutnya (Fossion

A dan Laurent dalam Zaimar, 2014:41).

2.9 Kriteria Pemilihan Bahan Ajar Apresiasi Sastra

Semua orang yang akan menjadi guru sastra, sebaiknya memiliki pengetahuan

mengenai syarat-syarat dalam mengapresiasi sastra. Selain itu, guru juga perlu

memahami pedoman dalam memilih bahan pemelajaran, misalnya kriteria tingkat

keterbacaan dan kesesuaian.

Berdasarkan uraian di atas, berikut ini dituliskan kriteria pemilihan bahan ajar

menurut Rahmanto (1988:27).

1. Aspek Bahasa

Aspek kebahasaan dalam sastra tidak hanya ditentukan oleh masalah-masalah

yang dibahas, tetapi juga faktor-faktor lain, seperti cara penulisan yang dicapai si

pengarang, ciri-ciri karya sastra pada waktu penulisan itu, dan kelompok pembaca

yang ingin dicapai pengarang. Artinya, bahan pemelajaran yang akan diberikan

kepada siswa harus mengikuti pertumbuhan dan perkembangan melalui tahap-tahap

yang nampak jelas pada setiap individu.


22

2. Aspek Psikologi

Perkembangan psikologi anak menuju kedewasaan akan melewati tahap-tahap

tertentu yang cukup jelas untuk dipelajari. Ketika memilih bahan pemelajaran,

seorang guru yang telah mempelajari psikologi perkembangan akan lebih mudah

memilih bahan pemelajaran sastra karena guru mengetahui minat dan keengganan

siswa dalam mempelajari suatu bahan pemelajaran sastra. Jika bahan pemelajaran

tersebut sesuai dengan kematangan siswa, maka siswa akan lebih mudah menguasai

dan memahami pelajaran tersebut. Sebaliknya jika tidak sesuai dengan kematangan

jiwanya, maka dapat diprediksi siswa akan kesulitan untuk mempelajarinya.

Lebih lanjut, Rahmanto (1988:30) menyebutkan tahap perkembangan

psikologi, antara lain.

1) Tahap Penghayal (8 sampai 9 tahun)

Pada tahap ini imajinasi anak belum banyak diisi hal-hal nyata tetapi masih

penuh dengan berbagai macam fantasi kekanakan.

2) Tahap Romantis (10 sampai 12 tahun)

Pada tahap ini anak mulai meninggalkan fantasi-fantasi dan mengarah ke

realitas. Meski pandangannya tentang dunia anak telah menyenangi cerita-cerita

kepahlawanan, petualangan, dan bahkan kejahatan.


23

3) Tahap Realistik (13 sampai 16 tahun)

Tahap ini anak-anak sudah benar-benar terlepas dari dunia fantasi, dan sangat

berminat pada realitas atau apa yang benar-benar terjadi.

4) Tahap Generalisasi (umur 16 sampai selajutnya)

Pada tahap ini anak sudah tidak lagi hanya berminat pada hal-hal praktis saja

tetapi juga berminat untuk menemukan konsep-konsep abtrak dengan

menganalisis suatu fenomena, mereka berusaha menemukan dan merumuskan

penyebab utama fenomena itu yang kadang-kadang ke pemikiran filsafat untuk

menentukan keputusan-keputusan moral.

3. Aspek Latar Belakang Budaya

Biasanya siswa akan lebih tertarik pada karya-karya sastra yang erat

hubungannya dengan latar belakang kehidupan mereka, terutama bila karya sastra itu

menghadirkan tokoh yang mempunyai kesamaan dengan mereka atau orang-orang

sekitar. Jadi, seorang guru hendaknya memilih bahan pemelajaran sastra dengan

mempergunakan prinsip mengutamakan karya sastra yang ceritanya dikenal siswa.

2.10 Kedudukan Novel dalam Kurikulum 2013

Novel dalam silabus SMA yang sesuai kurikulum 2013 hanya dipelajari di

dua kelas, salah satunya yakni di kelas XI. Adapun novel di kelas tersebut diajarkan

di semester satu dan dua. Berikut ini tabelnya.


24

Pembelajaran tentang novel di kelas XI SMA

Semester Satu Semester Dua

Kompetensi Dasar Kompetensi Dasar

3.4 Memahami cara dan langkah- 3.3 Memahami dan membandingkan

langkah membuat sinopsis novel, perbedaan dan persamaan

drama/teater, atau film. sinopsis dan resensi novel, drama,

4.4 Menyusun sinopsis novel, atau film.

drama/teater, atau film. 4.3 Menyusun resensi novel, drama,

atau film.

2.11 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

Menurut Muslich (2009:45) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah

rancangan pembelajaran mata pelajaran per unit yang akan diterapkan guru dalam

pembelajaran di kelas. Berdasarkan RPP yang dibuat, seorang guru diharapkan dapat

menerapkan pembelajaran secara terprogram.

Sementara itu, Mulyasa (2008:212) mengemukakan bahwa, Rencana

Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah rencana yang menggambarkan prosedur dan

manajemen pembelajaran untuk mencapai satu atau lebih kompetensi dasar yang

ditetapkan dalam standar isi dan dijabarkan dalam silabus. Rencana pelaksanaan

pembelajaran merupakan komponen terpenting dalam kegiatan pembelajaran yang


25

dikembangkan dan dijabarkan oleh guru dalam silabus. Ketika melakukan

penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran, guru mempunyai kebebasan untuk

mengubah, memodifikasi, dan menyesuaikan silabus dengan kondisi sekolah atau

daerah serta peserta didik.

Pendapat kedua ahli di atas memiliki persamaan dan perbedaan.

Persamaannya terletak pada inti dari rencana pelaksanaan pembelajaran, yaitu

sesuatu yang disusun sebelum melaksanakan pembelajaran, sedangkan perpedaannya

terletak pada penekanannya. Muslich mengemukakan bahwa rencana pelaksanaan

pembelajaran adalah rancangan pembelajaran mata pelajaran per unit yang akan

diterapkan guru dalam pembelajaran di kelas. Sementara Mulyasa mengemukakan

bahwa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah rencana yang

menggambarkan prosedur dan manajemen pembelajaran untuk mencapai satu atau

lebih kompetensi dasar yang ditetapkan dalam standar isi dan dijabarkan dalam

silabus.

Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa rencana

pelaksanaan pembelajaran merupakan sebuah pikiran guru mengenai seluruh kegiatan

yang akan dilakukan oleh guru dan peserta didik/siswa selama proses belajar

mengajar berlangsung yang bertujuan agar kompetensi dapat dicapai dengan

maksimal.
BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian adalah jalan atau cara yang digunakan dalam kegiatan

penelitian yang dilakukan secara sistematis dan terstruktur sesuai dengan objek

penelitian serta jenis penelitian. Ketika mengidentifikasi metode penelitian terlebih

dahulu, maka seorang peneliti akan menemukan jalan yang mudah dalam melakukan

penelitian karena dalam suatu metode penelitian akan terpapar secara jelas tentang

cara yang tepat dalam melakukan penelitian (Moleong, 2006:17).

Pada penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kulitatif

deskriptif. Menurut Sutopo (2002:111) penelitian kualitatif deskriptif adalah

penelitian yang memusatkan pada deskripsi yang lengkap dan mendalam atas

bagaimana dan mengapa sesuatu itu terjadi. Penyediaan data dilakukan untuk

kepentingan analisis. Kemudian, analisis data dimulai tepat pada saat penyediaan data

tertentu yang relevan selesai dilakukan dan analisis yang sama diakhiri manakala

kaidah yang berkenaan dengan objek yang menjadi masalah itu telah ditemukan

(Sudaryanto, 1988:6).

26
27

3.2 Teknik Penelitian

3.2.1 Teknik Pengumpulan Data

Hal penting dalam melakukan penelitian adalah mengumpulkan data, karena

tanpa data penelitian tidak akan dapat dilakukan. Menurut Komariah dan Santomi

(2010:103) pengumpulan data tidak lain dari suatu proses pengadaan data untuk

keperluan penelitian. Seperti pembelajaran yang memerlukan teknik maka dalam

mengumpulkan data pun memerlukan teknik.

Teknik pengumpulan data merupakan langkah paling strategis dalam

penelitian, karena tujuan utama dalam penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa

mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data

yang memenuhi standar data yang ditetapkan (Sugiono, 2009:62).

Pada penelitian ini untuk memperoleh data digunakan metode babat,

deskripsi, dan riset kepustakaan. Metode babat, adalah metode yang dipergunakan

untuk memperoleh data dengan cara membaca keseluruhan teks atau literatur yang

menjadi objek penelitian lalu mencatat data yang ditemukan ke dalam kartu data yang

telah disediakan terlebih dahulu (Jabrohim, 1996:23). Metode ini digunakan untuk

memperoleh kutipan-kutipan atau hal-hal penting yang ada dalam novel RDP.

Catatan yang diperoleh ini kemudian dikembangkan secara lebih jauh dalam

pembahasan dan pengolahan data. Metode deskripsi, adalah metode yang digunakan

untuk mencari data dengan jalan mendeskripsikan data yang telah diperoleh
28

(Jabrohim, 1996:23). Pada penelitian ini, metode tersebut dipergunakan untuk

mendeskripsikan data yang telah diperoleh. Metode riset kepustakaan, adalah metode

yang digunakan untuk mencari dan menelaah berbagai buku sebagai bahan pustaka

yang dipergunakan untuk sumber tertulis (Jabrohim, 1996:23).

3.2.2 Teknik Analisis Data

Analisis data adalah suatu fase penelitian kualitatif yang sangat penting

karena melalui analisis data ini peneliti dapat memperoleh wujud dari penelitian yang

dilakukannya. Analisis adalah suatu upaya mengurai menjadi bagian-bagian

(decomposition), sehingga susunan/tatanan bentuk sesuatu yang diurai itu tampak

jelas dan karenanya bisa secara lebih terang ditangkap maknanya atau dengan lebih

jernih dimengerti duduk perkaranya (Komariah dan Santomi, 2010:97).

Analisis data pada penelitian ini menggunakan teori struktural model A. J.

Greimas, yang terkenal dengan nama teori struktural naratif. Teori tersebut,

menganalisis karya prosa fiksi berdasar pada struktur cerita. Adapun analisis struktur

aktan merupakan konsep dasar langkah kerja teori ini. Analisis struktur aktan pada

penelitian ini memiliki langkah kerja sebagai berikut.

Langkah pertama adalah mencari satuan-satuan cerita kecil yang terdapat

dalam novel RDP. Setiap satuan cerita kecil yang memenuhi kriteria sebuah aktan

kemudian membentuk sebuah skema aktan. Peran tokoh dimasukkan ke dalam fungsi

aktan. Fungsi-fungsi tersebut kemudian membentuk satuan cerita kecil. Satuan cerita
29

kecil (aktan) diuraikan berdasarkan karakter peran dalam aktan. Siapakah subjek,

objek, pengirim, penerima, penolong, dan penentangnya. Karsa apa yang dikirimkan

oleh pengirim, bagaimana subjek menyelesaikan tugas, mengapa pengirim

menginginkan objek, dan mengapa penentang tidak suka dengan usaha subjek dan

seterusnya. Fungsi-fungsi aktan dijelaskan berdasarkan karakter peran, setiap satuan

cerita kecil dapat menjadi sebuah aktan.

Langkah kedua adalah membahas atau memberikan jawaban atas pertanyaan-

pertanyaan seperti: aktan-aktan mana sajakah yang mempunyai hubungan struktur,

subjek apakah yang sering muncul, dan bagaimanakah kesinambungannya.

3.3 Data dan Sumber Data

3.3.1 Data

Sudaryanto (1988:9) menyatakan bahwa data adalah bahan penelitian, dan

bahan yang dimaksud bukan bahan mentah, melainkan bahan jadi. Bahan itu

diharapkan menjadi dasar sehingga objek penelitian dapat dijelaskan, karena di dalam

bahan itu terdapat objek penelitian yang dimaksud. Diolahnya bahan itu diharapkan

dapat diketahui hakikat objek penelitian. Jadi, dengan rumusan lain, data pada

hakikatnya merupakan objek sasaran penelitian beserta dengan konteksnya.

Data dalam penelitian ini adalah keseluruhan elemen yang berasal dari hasil

pencatatan mengenai objek, gejala, serta kejadian-kejadian atau peristiwa yang

terdapat dalam novel RDP. Keterkaitan antara satu hal dengan hal yang lain; antara
30

objek, gejala, kejadian dan/atau peristiwa yang diselidiki, tidak memungkinkan

adanya satu bagian dari objek yang dapat dipandang mewakili objek penelitian.

3.3.2 Sumber Data

Pada umumnya untuk memperoleh data penelitian diperlukan sumber data

penelitian. Menurut Arikunto (2010:172) sumber data penelitian adalah subjek dari

mana data diperoleh. Batasan lain dikemukakan Lofland dalam Moleong (2006:157),

sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan

selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Sumber data utama

dalam penelitian ini adalah novel RDP sedangkan data tambahannya yaitu buku-buku

yang berkaitan dengan teori sastra, serta pustaka lain yang menunjang penelitian ini.

Sesuai dengan hal yang dikemukakan di atas, sumber data yang akan

dianalisis akan penulis uraikan identitasnya sebagai berikut.

1) Jenis Karya Sastra : Novel

2) Judul Novel : RDP atau Ronggeng Dukuh Paruk

3) Pengarang : Ahmad Tohari

4) Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

5) Cetakan : Tahun 2011


BAB 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Aktan

1. Aktan I

Rasus, Rasus,
Warta, dan Singkong Warta, dan
Darsun Darsun

Tanah yang
Air kencing Rasus, Warta, keras dan
dan Darsun membatu

Rasus, Warta dan Darsun (pengirim) ingin mencabut singkong (objek). Oleh

karena itu, Rasus, Warta dan Darsun (subjek) mendorong diri mereka untuk berusaha

melakukannya. Namun, usaha mereka dipersulit oleh kondisi tanah yang keras dan

membatu (penentang). Mereka hampir saja menyerah sebelum akhirnya Rasus

menemukan ide untuk mengencingi tanah yang keras dan membantu itu. Air kencing

(penolong) membuat tanah menjadi basah sehingga mereka dapat mencabut singkong

tersebut. Singkong yang didapat kemudian segera dimakan oleh Rasus, Warta, dan

Darsun (penerima). Ide yang dikemukakan Rasus dapat dilihat pada kutipan berikut.

31
32

“Sudah, sudah kalian tolol,” ujar Rasus tak sabar.” Kita kencingi beramai-
ramai pangkal batang singkong ini. Kalau gagal juga, sungguh bajingan.” (Tohari,
2011:11).
Ide yang dikemukakan Rasus kepada Warta dan Darsun itu menjadi awal

keberhasilan mereka mencabut singkong. Mereka sepakat untuk melakukannya

secara bersama sehingga tanah yang keras itu menjadi basah dan singkong dapat

dicabut.

2. Aktan II

Keinginan
Daun Bacang Srintil
Srintil

Rasus
Ø Ø

Keinginan Srintil (pengirim) untuk mendapatkan daun bacang (objek)

dikemukakannya kepada Rasus (subjek). Rasus kemudian memanjat sebuah pohon

bacang dan memetik beberapa lembar daunnya. Daun yang sudah diterima Srintil

(penerima), kemudian digunakan olehnya untuk membuat badongan atau mahkota

yang lebih baik daripada badongan dari daun nangka. Hal tersebut terlihat pada

kutipan berikut ini.


33

Rasus tersenyum. Baginya memenuhi permintaan Srintil selalu


menyenangkan. Maka dia berbalik, menoleh kiri-kanan mencari sebatang
pohon bacang. Setelah didapat, rasus memanjat. Cepat seperti seekor monyet.
Dipetiknya beberapa lembar daun bacang yang lebar. Pikir Rasus, dengan
daun itu mahkota di kepala Srintil akan bertambah manis. (Tohari, 2011:12).

Rasus diminta oleh Srintil untuk memetik daun bacang sebagai bahan untuk

membuat badongan yang lebih bagus daripada badongan dari daun nangka. Rasus

tersenyum karena baginya memenuhi permintaan Srintil selalu menyenangkan. Ia

mencari daun itu dan setelah didapat ia segera memetiknya. Rasus berpikir dengan

daun itu mahkota Srintil akan menjadi lebih baik.

3. Aktan III

Musik tiruan
Keinginan
untuk iringan Srintil
Srintil
menari

Upah Rasus, Warta,


dan Darsun Rasa pegal
berupa Rasus,
ciuman Warta, dan
Darsun
34

Srintil (pengirim) menginginkan musik tiruan untuk iringan menari (objek). Ia

meminta Rasus, Warta, dan Darsun (subjek) mengiringinya. Mereka pun

melakukannya. Setelah beberapa saat lamanya mengiringi Srintil menari, ketiga anak

lelaki itu merasakan mulutnya pegal (penentang). Mereka akan berhenti kalau Srintil

tidak mendahuluinya dengan upah berupa ciuman (penolong). Upah yang telah

diterima oleh Rasus, Warta, dan Darsun membuat mereka patuh untuk kembali

mengiringi Srintil (penerima) menari. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut ini.

“Baik, aku akan menari. Kalian harus mengiringi tarianku. Bagaimana?”


tantang Srintil. (Tohari, 2011:12).
“Nah. Kalian telah menerima upah. Sekarang aku menari. Kalian harus
mengiringi lagi.” (Tohari, 2011:14).

Setelah bicara sesuai kutipan pertama srintil menari dan terus menari tanpa

lelah. Sementara ketiga anak lelaki yang mengiringinya sudah kelelahan. Rasa pegal

di mulut mereka menyebabkan mereka ingin berhenti. Namun, Srintil meminta

mereka untuk membuat tiruan musik lagi. Rasus, Warta, dan Darsun bersedia asalkan

Srintil memberi upah. Srintil pun dengan sigap berinisiatif memberikan upah berupa

ciuman kepada mereka bertiga. Upah itu yang kemudian menggerakan ketiga anak

laki-laki itu kembali membuat musik tiruan.


35

4. Aktan IV

Rasus Perhatian Rasus


Srintil

Rasus
Keris Kyai Ketidakperdulian
Jaran Srintil
Guyang

Rasus (pengirim) merasa kehilangan perhatian Srintil (objek), saat Srintil

mulai menjadi ronggeng. Rasus (subjek) berusaha mendapatkannya kembali. Namun,

ketidakpedulian Srintil (penentang) membuat Rasus kesusahan. Rasus kemudian

menemukan ide untuk memberikan Keris Kyai Jaran Guyang (penolong) kepada

Srintil. Setelah melakukannya Rasus (penerima) kembali mendapatkan perhatian

Srintil. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut ini.

Boleh jadi karena aku merasa begitu tersiksa maka kutemukan jalan untuk
memperoleh kembali perhatian Srintil. Acap kali kudengar orang berceloteh bila
Srintil habis menarikan tari Baladewa. Kata mereka, tubuh Srintil masih
terlampau kecil bagi kerisnya yang terselip di punggung. Celoteh semacam ini
membuka jalan karena di rumahku ada sebuah keris kecil tinggalan Ayah.
(Tohari, 2011:39).
36

Rasus sangat merasa tersiksa karena Srintil yang telah menjadi ronggeng tidak

lagi memberikan perhatian kepadanya. Ia berusaha untuk menarik kembali perhatian

Srintil. Berbagai upaya sudah ia lakukan, akan tetapi belum berhasil. Rasus baru

mendapat ide setelah mendengar celoteh orang-orang tentang keris yang digunakan

Srintil saat menari Baladewa. Keris itu terlalu besar untuk tubuh Srintil yang masih

kecil. Rasus kemudian terpikir untuk memberikan keris kecil peninggalan ayahnya

kepada Srintil. Keris itu yang kemudian membuat Srintil kembali memberikan

perhatian kepada Rasus.

5. Aktan V

Menjadi
Keinginan Srintil Srintil
ronggeng

Adat, Kartareja, Nyai Upacara


Kartareja, Sakarya, Srintil pemandian
Nyai Sakarya, dan dan bukak-
masyarakat klambu

Keinginan Srintil (pengirim) untuk menjadi ronggeng (objek) diwujudkan

oleh Srintil (subjek) meski harus menjalani upacara pemandian dan bukak-klambu

(penentang). Namun, adat, Kartareja, Nyai Kartareja, Sakarya, Nyai Sakarya, dan
37

masyarakat (penolong) sangat mendukung, sehingga Srintil (penerima) akhirnya

menjadi ronggeng. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut ini.

“Dan engkau tahu bahwa aku senang menjadi ronggeng, bukan?” (Tohari,
2011:54).
“Aku tak mengerti, Rasus. Yang jelas aku seorang ronggeng. Siapa pun yang
akan menjadi ronggeng harus mengalami malam bukak-klambu. Kau sudah tahu
itu, bukan?” (Tohari, 2011:55).

Srintil yang senang menjadi ronggeng bersedia menjalani malam bukak-

klambu, walaupun sebenarnya ia sendiri tidak mengerti apa itu bukak-klambu. Ia

hanya tahu bahwa siapa pun yang akan menjadi ronggeng harus menjalani malam

bukak-klambu. Hal itulah yang ia utarakan kepada Rasus.

6. Aktan VI

Keutuhan citra
seorang
Rasus perempuan Rasus
sebagai
kecintaan atau
emak

Penyerahan Rasus Kemestian


virginitas Srintil Srintil
kepada Rasus menjalani
bukak klambu
dan menjadi
ronggeng
38

Rasus (pengirim) mendambakan keutuhan citra seorang perempuan sebagai

emak atau kecintaan (objek). Namun, hal itu akan segera hilang karena Srintil

memang mesti menjalani bukak-klambu dan menjadi ronggeng (penentang). Rasus

(subjek) pernah menunjukkan isyarat kepada Srintil tentang keberatannya walaupun

tidak berhasil. Kegagalan ini membuat hati Rasus getir. Kegetirannya ini terobati

dengan penyerahan virginitas Srintil kepadanya (penolong). Hal tersebut terlihat pada

kutipan berikut ini.

Sesudah berlangsung malam bukak-klambu, Srintil tidak suci lagi. Soal dia
kehilangan keperawanannya tidak begitu berat kurasakan. Tetapi Srintil sebagai
cermin tempat aku mencari bayangan Emak menjadi baur dan bahkan hancur
berkeping. (Tohari, 2011:53).
Aku percaya, suasana gelap dapat mengubah nilai yang berlaku pada pribadi-
pribadi. Orang berpikir lebih primitif dalam suasana tanpa cahaya. Dan sebuah
prilaku primitif memang terjadi kemudian antara aku dan Srintil. (Tohari,
2011:76).

Rasus yang sudah lama membangun citra emaknya pada diri Srintil harus

mengalami kegetiran, karena setelah menjalani malam bukak-klambu Srintil tidak

akan pantas lagi dijadikan sebagai cermin tempat Rasus mencari bayangan Emaknya.

Bagaimana mungkin seorang perempuan yang diwisuda oleh laki-laki yang mampu

memenangkan sayembara dijadikan sebagai bayangan emaknya.

Rasus memantau proses sayembara itu dari awal hingga akhir. Ia tahu bahwa

pemenangnya mungkin adalah Dower atau Sulam yang sedang bertengkar di dalam

rumah Kartareja. Saat mengintip itu Rasus melihat ada seoseorang yang keluar dari
39

rumah itu. Ia tahu itu Srintil, maka ia mengendap-ngendap mengikuti orang itu.

Srintil yang menyadari ada seseorang yang mengikutinya terkejut, akan tetapi

akhirnya ia memeluk Rasus dan berkata bahwa ia takut pada dua orang pemuda yang

ada di dalam dan ia merasa lebih baik menyerahkan keperawannnya kepada Rasus.

Proses penyerahan itu pun berlangsung dalam gelap.

7. Aktan VII

Kiriman bahan
makanan yang Rasus, Sersan
belum juga tiba, Slamet, dan
persediaan yang Berburu kijang dua orang
sudah menipis, atau babi hutan tentara
dan jatah untuk
membeli daging
segar yang
sudah habis.

Kegagalan
Rasus, Sersan
Sersan Slamet
Ular Sanca Slamet, dan
dalam
dua orang
mengeksekusi
tentara
kijang

Kiriman bahan makanan yang belum juga tiba, persediaan yang sudah

menipis, dan jatah untuk membeli daging segar yang sudah habis (pengirim)

membuat Sersan Slamet memutuskan untuk berburu kijang atau babi hutan (objek).

Ketika melakukan perburuan ini Sersan Slamet ditemani oleh Rasus dan dua orang

tentara (Subjek). Namun, kegagalan Sersan Slamet dalam mengeksekusi kijang


40

(penentang) menjadikan perburuan tersebut tidak menghasilkan apa-apa. Beruntung

seekor ular sanca (penolong) dapat ditaklukan, sehingga Sersan Slamet, Rasus, dan

dua orang tentara (penerima) berhasil mendapatkan daging segar. Hal tersebut

terdapat pada kutipan berikut ini.

Sampai di hutan, perburuan langsung dimulai. Dalam hal ini aku


kecewa karena tiga tentara yang kuiringkan sama sekali tak berpengalaman
dalam hal berburu. Celeng sama sekali tak terlihat barang seekor. Kijang
memang terlihat, tetapi Sersan Slamet yang menjadi algojo gagal menembak
sasarannya. Sampai sore hari ketika perburuan dihentikan, para pemburu
hanya kehilangan dua perluru. Satu untuk menembak kijang yang ternyata tak
mengena. Satu lagi untuk menembak seekor ular sanca sebesar paha yang
bergelung di atas pohon. (Tohari, 2011:95).

Saat sampai di hutan perburuan memang langsung dimulai, akan tetapi Rasus

merasa kecewa karena tiga tentara yang berburu bersamanya ternyata tidak

berpengalaman dalam hal berburu. Bahkan sampai perburuan dihentikan mereka

berempat hanya mampu mendapat seeor ular sanca sebesar paha yang sedang

bergulung di atas pohon. Buruan utama mereka yakni kijang dan babi hutan tidak

didapat. Babi hutan memang sempat terlihat, akan tetapi Sersan Slamet yang menjadi

algojo gagal mengeksekusi buruannya, sedangkan kijang memang sama sekali tidak

terlihat.
41

8. Aktan VIII

Meledakan Rasus
Rasus kepala mantri

Batu cadas,
Sersan Slamet
tonggak kayu, Rasus
dan tentara
belati, dan bedil

Rasus (pengirim) ingin meledakan kepala mantri (objek). Namun, karena

mantri yang ia maksud hanya ada dalam angan-angan, ia mencari sebongkah batu

cadas, kemudian batu itu ia letakan di atas tonggak kayu, lalu dengan pisau batu itu

diukir, dan dengan bedil (penolong) batu itu diledakan. Ketika melaksanakan

keinginan itu Rasus (Subjek) merasa takut kepada Sersan Slamet dan dua orang

tentara (penentang). Rasa takutnya itu kalah oleh tekad yang ada, sehingga ia tetap

melaksanakan keinginannya dan akhirnya Rasus (penerima) mendapatkan kepuasan

karena telah meledakan batu cadas yang dianggapnya sebagai kepala mantri. Hal

tersebut terlihat pada kutipan berikut ini.

Aku mempunyai musuh bebuyutan yang meski hanya merajalela dalam angan-
angan, namun sudah sekian lama aku ingin menghancurkan kepalanya hingga
berkeping-keping. (Tohari, 2011:96).
42

Rasus memiliki musuh bebuyutan yang merajalela dalam angan-angan, yakni

seorang mantri yang telah membawa emaknya setelah emaknya selamat dari racun

tempe bokek. Rasus sudah lama ingin menghancurkan kepala mantra itu agar

emaknya dapat bebas. Keinginan itu terealisasi di hutan. Ia membuat tiruan kepala

mantri dari batu cadas yang diletakan di atas kayu. Lalu ia menembak batu cadas

yang dianggapnnya sebagai kepala mantri itu hingga hancur berkeping-keping.

9. Aktan IX

Rasus, Kopral
Pujo, Sersan
Sersan Slamet Mencegah Slamet, dua
perampokan teman Kopral
Pujo, dan
masyarakat
Dukuh Paruk

Kekurangan
Sersan Slamet Rasus dan
senjata dan
dan dua orang Kopral Pujo
kekurangan
tentara
pasukan

Sersan Slamet (pengirim) menugasi anggotanya yang dipecah menjadi dua

sampai tiga orang untuk mengawasi rumah-rumah penduduk yang diduga menyimpan

emas. Salah satu daerah yang diawasi yakni Dukuh Paruk. Namun, karena

kekurangan personil maka Rasus ditugaskan menemani Kopral Pujo (subjek) untuk

mencegah perampokan (objek) di daerah tersebut. Pada saat perampok datang, usaha
43

Rasus dan Kopral Pujo dihambat oleh kekurangan senjata dan kekurangan pasukan

(penentang). Beruntung pada saat terakhir, datang Sersan Slamet dan dua orang

tentara (penolong), sehingga perampok dapat dilumpuhkan. Kejadian ini membuat

Rasus, Kopral Pujo, Sersan Slamet, dua orang tentara, dan masyarakat Dukuh Paruk

terbebas dari perampok tersebut. Hal ini terlihat pada kutipan berikut ini

Bersama Kopral Pujo aku mendapat bagian mengawasi Dukuh Paruk. Karena aku
sangat mengenal pedukuhan itu, kata Sersan Slamet member alasan. Di Dukuh
Paruk ada tersimpan emas. Di mana lagi kalau bukan di rumah Srintil. (Tohari,
2011:99).

Perampokan yang terjadi di Kecamatan Dawuan makin genting sementara

jumlah tentara terbatas, maka Sersan Slamet memerintahkan Rasus untuk menemani

Kopral Pujo mencegah perampokan di Dukuh Paruk. Di sana memang tersimpan

emas yakni di rumah Srintil.

10. Aktan X

Bayi dan
Srintil
perkawinan
Srintil
dari Rasus

Srintil Pengetahuan
Harta Srintil
Rasus tentang
dunia luar
44

Srintil (pengirim) menginginkan bayi dan perkawinan dari Rasus (objek).

Srintil (subjek) menyampaikan keinginannya kepada Rasus dengan bujukan harta

yang dimilikinya (penolong). Namun, pengetahuan Rasus tentang dunia luar

(penentang) membuat Rasus memiliki seribu alasan untuk dipertimbangkan, termasuk

menolak keinginan srintil, sehingga Srintil (penerima) harus rela menerima

kekecewaan. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut ini.

Dengar, Rasus, aku akan berhenti menjadi ronggeng karena aku ingin menjadi
istri seorang tentara; engkaulah orangnya. (Tohari, 2011:105).
Tetapi sebagai anak Dukuh Paruk yang telah tahu banyak akan dunia luar, aku
mempuanyai seribu alasan untuk dipertimbangkan, bahkan untuk menolak
permintaan Srintil. Srintil boleh mendapatkan apa-apa dariku selain bayi dan
perkawinan. (Tohari, 2011:105-106).

Srintil mengutarakan keingiannya untuk berhenti menjadi ronggeng dan

menjadi seorang istri kepada Rasus. Namun, Rasus yang sudah tahu banyak akan

dunia luar Rasus mempunyai banyak hal untuk dipertimbangkan, termasuk menolak

keinginan Srintil. Bagi Rasus kini, Srintil boleh mendapatkan apapun darinya selain

bayi dan perkawinan.

11. Aktan XI

Memiliki bayi Srintil


Srintil

Tampi, Goder, Srintil Nyai


45

dan air susu Kartareja


yang keluar telah
mematikan
indung telur
dalam
perutnya

Srintil (pengirim) ingin memiliki bayi (objek). Srintil (subjek) berusaha agar

keinginannya tercapai. Namun, kemungkinan bahwa Nyai Kartareja telah mematikan

indung telur dalam perutnya (penentang) membuat Srintil tersiksa. Beruntung saat

Srintil merana secara jiwa dan raga, si kecil Goder anak Tampi (penolong) hadir

membawa keajaiban, sehingga air susu Srintil keluar. Keadaan yang demikian,

membuat Srintil (penerima) kembali bersemangat menjalani hidup. Hal tersebut

terlihat pada kutipan berikut ini.

Srintil tersenyum. Kali ini senyumnya disertai oleh kontraksi kelenjar teteknya
sendiri serta rangsangan aneh pada urat-urat rahim. Tiba-tiba hasrat hendak
memeluk seorang bayi mendesaknya demikian kuat. Hampir pada saat yang sama
rasa cemas karena mungkin Nyai Kartareja dengan caranya sendiri telah
mematikan indung telur dalam perutnya membuat ronggeng itu sesak napas.
(Tohari, 2011:118).
Ketika kali pertama Srintil sadar teteknya mengeluarkan air susu maka dia berurai
air mata. Namun semangat hidupnya bangkit segera. (Tohari, 2011:139).

Srintil tersenyum disertai kontraksi pada kelenjar teteknya sendiri serta

rangsangan aneh pada urat-urat rahim. Keinginannya untuk memiliki seorang bayi

kian menggebu. Namun, rasa cemas seketika muncul bersamaan saat ia memikirkan

bahwa Nyai Kartareja dengan caranya sendiri mungkin telah mematikan indung telur
46

dalam perutnya. Hal itu membuat Srintil sesak nafas dan bersedih. Kesedihan ini baru

berakhir saat Goder hadir dan puting susunya mengeluarkan susu. Semangat hidup

Srintil pun segera bangkit.

12. Aktan XII

Berhenti Rasus, Warta,


Srintil meronggeng dan Darsun
dan melayani
nafsu lelaki

Marsusi, Nyai
Kartareja,
Kartareja,
Sakum,
Ø Srintil
Tampi,
Sakarya, Nyai
Sakarya, pak
Ranu, Indang
ronggeng

Srintil (pengirim) ingin berhenti meronggeng dan melayani nafsu lelaki

(objek). Srintil (subjek) berusaha mewujudkan keinginannya dengan cara menolak

ajakan untuk meronggeng atau melayani nafsu lelaki. Namun, Marsusi, Kartareja,

Nyai Kartareja, Sakarya, Nyai Sakarya, Tampi, Sakum, Pak ranu, dan indang

ronggeng yang masih bersemayam dalam tubuhnya (penentang) meruntuhkan segala

usaha Srintil, sehingga Srintil (penerima) terpaksa meronggeng kembali. Hal tersebut

dapat dilihat pada kutipan berikut ini.


47

Perubahan yang terjadi atas diri Srintil, cucunya, sangat mengganggu pikirannya.
Perihal Srintil menampik seorang laki-laki yang ingin memakainya tidak begitu
memusingkannya. Masalahnya bagaimana jadinya bila Srintil tetap menghindar
dari panggung pentas. (Tohari, 2011:158).
“Bocah bagus, aku mau menari lagi. Boleh, kan? Ah, kau tak usah khawatir.
Aku tetap emakmu. Kau tetap anakku yang paling bagus!” (Tohari, 2011:168).

Perubahan pikiran Sritil untuk berhenti meronggeng dan berhenti menjadi

wanita lawan kelelakian membuat beban pikiran pada kakeknya, Sakarya. Perihal

Srintil menampik seorang laki-laki yang ingin memakainya tidak begitu

memusingkan kakeknya. Namun, bila Srintil tetap menghindar dari panggung pentas

itu akan menjadi masalah. Bagi Sakarya dan masyarakat, Dukuh Paruk tanpa seorang

ronggeng adalah Dukuh paruk yang kehilangan pamornya; Dukuh Paruk akan mati.

Oleh karena itu, berbabagai upaya dilakukan agar Srintil bersedia kembali

meronggeng, akhirnya Srintil terpaksa kembali meronggeng.

13. Aktan XIII

Sentika, Nyai
Sentika, dan
Gowok bagi
Sentika anak-anaknya
Waras
yang lain

Perginya
Sentika beserta Kelelakian
keluarga dari Srintil Waras yang
rumahnya hilang
48

Sentika (pengirim) datang ke Dukuh Paruk untuk meminta Srintil (subjek)

menjadi gowok bagi waras (objek). Saat Srintil memulai pekerjaannya, Sentika, Nyai

Sentika, dan seluruh keluarganya (penolong) pergi dari rumahnya untuk memberi

keleluasaan kepada Srintil dan Waras dalam melakukan penjajakan. Keadaan yang

demikian, ternyata tidak mebuat usaha Srintil berjalan mulus. Kelelakian Waras yang

hilang (penentang) menghancurkan segala upaya yang telah dilakukan Srintil,

sehingga Sentika, Nyai Sentika, dan anak-anaknya (penerima) harus menerima

kebohongan Srintil berupa keberhasilan yang sebenarnya adalah kekagalan. Hal

tersebut terlihat pada kutipan berikut ini.

“Dan, aku akan mengundang baginya seorang gowok yang cantik.” (Tohari,
2011:201).
Srintil harus menelan ludah berkali-kali karena harus meyakini keadaan Waras;
dia benar-benar hilang dari dunia kelelakian dan Srintil pasti tak sanggup lagi
menemukannya kembali. (Tohari, 2011:224).

Sentika mempunyai kaul bahwa kalau Waras anaknya waras hingga dewasa,

ia akan mementaskan ronggeng terbaik untuknya dan mengundang baginya seorang

gowok yang cantik. Demi memenuhi kaulnya itu ia datang ke Dukuh paruk untuk

mengundang Srintil meronggeng dan menjadi gowok. Pementasan ronggeng berjalan

lancer, akan tetapi saat menjadi gowok Srintil harus menerima kekecewaan

menghadapi kelelakian Waras yang hilang. Srintil tidak mampu menemukannya

walau sudah melakukan upaya sampai batas maksimal.


49

14. Aktan XIV

Sakit hati orang


Dukuh Paruk Seluruh warga
Melampiaskan
karea cungkup Dukuh Paruk
murka
Ki Secamengala
dirusak

Ø Srintil Ø

Rasa sakit hati karena cungkup makan Ki Secamenggala dirusak orang

(pengirim) membuat orang Dukuh Paruk mengikuti ajakan Bakar untuk kembali

meramaikan rapat-rapat propaganda. Srintil (subjek) kembali menari dengan

semangat yang luar biasa. Perbuatannya itu ditujukan untuk melampiaskan murka.

Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut ini.

Akhirnya orang Dukuh Paruk menemukan jalan buat melampiaskan murka…


menerima ajakan Bakar untuk meramaikan rapat-rapat propaganda. Srintil
kembali menari dengan semangat luar biasa…. Dengan tarian yang lebih berani
dan menantang Srintil merasa sedang membalas serangan orang-orang bercaping
hijau atas nama Dukuh Paruk, atas nama arwah Ki Secamenggala yang
makamnya baru saja dirusak orang. (Tohari, 2011:236).

Setelah Bakar menemui mereka, orang Dukuh Paruk menemukan cara untuk

melampiaskan murka kepada orang-orang yang telah merusak cungkup makan Ki

Secamenggala. Caranya yaitu dengan menerima ajakan Bakar untuk meramaikan

rapat-rapat propaganda. Srintil pun kembali menari dengan semangat luar biasa….
50

Dengan tarian yang lebih berani dan menantang Srintil merasa sedang membalas

serangan orang-orang bercaping hijau atas nama Dukuh Paruk, atas nama arwah Ki

Secamenggala.

15. Aktan XV

Pulang ke Rasus
Rasus
Dukuh Paruk

Tekad yang
Rasus Komandan
kuat

Rasus (pengirim) ingin pulang ke Dukuh Paruk (objek) untuk menengok

neneknya dan melihat keadaan kampungnya yang terbawa arus geger politik

September 1965. Rasus (subjek) beberapa kali minta izin untuk pulang, akan tetapi

komandan (penentang) tidak mengizinkannya pergi. Hal itu karena situasi sedang

limbung, sehingga tentara diharuskan siaga penuh. Namun, berkat tekadnya yang

kuat (penolong) akhirnya Rasus (penerima) memperoleh izin pulang walaupun

sebagai gantinya bibir Rasus pecah dipukul komandan. Berikut ini kutipannya.

Aku harus pulang melihat Nenek, melihat bagaimana Dukuh Paruk sekarang.
Itulah pikiran Rasus selama berhari-hari. Sekian kali Rasus minta izin komandan
hendak menengok Dukuh Paruk, namun sekian kali pula keinginannya ditolak.
Situasi yang demikian limbung tak menentu, keadaan darurat perang yang
diberlakukan diseluruh negeri, menjadikan tentara harus dalam keadaan siaga
penuh. Hak cuti dihapuskan untuk sementara waktu. (Tohari, 2011:249).
“Dipukul komandan. Aku baru diizinkannya menengok Nenek bila bibirku
sudah pecah.” (Tohari, 2011:252).
51

Rasus ingin pulang untuk menengok nenek dan kampung halamannya, akan

tetapi komandan tidak mengizinkannya. Hal tersebut disebabkan oleh keadaan yang

waktu itu sedang limbung atau darurat perang. Hak cuti yang biasanya dimiliki oleh

para tentara pun untuk sementara waktu dihapuskan. Namun, keinginan Rasus tidak

bisa dibendung. Ia kembali menghadap komandan untuk meminta izin. Komandan

yang geram memukul bibir Rasus hingga pecah dan sebagai gantinya rasus mendapat

izin untuk pulang ke Dukuh Paruk. Kisahnya ini ia ceritakan kepada Sersan Pujo.

16. Aktan XVI

Sakarya dan Menolong/men Rasus


Sakum emukan Srintil

Ø Rasus Sersan Pujo

Sakarya dan Sakum (pengirim) meminta Rasus (subjek) untuk menolong atau

setidaknya menemukan Srintil (objek). Namun, Sersan Pujo (penentang) dengan

saran yang dikemukakannya hampir membuat Rasus mengurungkan niatnya untuk

melakukan permintaan Sakarya dan Sakum karena bimbang. Kebimbangannya

selesai setelah ia teringat wajah orang Dukuh Paruk, akhirnya Rasus (penerima) dapat

bertemu dengan Srintil. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut ini.

Wajah orang Dukuh Paruk muncul satu demi satu di mata Rasus. Sakum,
seniman calung yang keropos kedua matanya, hadir paling lama. Sakum, dan
hanya dia yang bisa berterus terang agar Rasus mengembalikan Srintil ke
52

Dukuh Paruk dan mengawininya. Aku tak lupa siapa kalian dan bagaimana
kalian berdua dulu. Itu kata-kata Sakum yang kembali berdenging di telinga
Rasus. Kemudian muncul Sakarya. Kamitua Dukuh Paruk itu sudah lama
menginjak usia renta. Apabila semua orang Dukuh Paruk menjadikan Srintil
sebagai cendera hidup mereka, maka lebih-lebih Sakarya. Dia adalah kakek
Srintil yang memelihara Srintil sejak bayi, sejak kedua orang tua ronggeng itu
mati termakan racun tempe bongkek. Bagi Sakarya, Srintil adalah tali
panyambung keberadaannya. Lalu Sersan Pujo kelihatan dalam angannya.
Pikirkanlah sekali lagi bila Saudara hendak meneruskan niat ini! (Tohari,
2011:266).

Rasus bingung sekali setelah menerima saran dari Sersan Pujo. Ia bingung

memikirkan hal yang harus ia lakukan. Di satu sisi ia ingin memenuhi permintaan

orang-orang Dukuh Paruk untuk mencari Srintil, sementara di sisilain ia juga takut

apa yang dikatakan Sersan Pujo menimpa dirinya.

17. Aktan XVII

Menjadi
Srintil
Srintil wanita
somahan

Marsusi, Nyai
Kartareja,
Ø Srintil
Tamir, dan
Bajus

Srintil (pengirim) ingin menjadi wanita somahan (objek). Namun, Marsusi,

Nyai Kartareja, Tamir dan Bajus (penentang) mempengaruhi Srintil untuk kembali ke

dunia yang ingin ditinggalkannya—dunia sundal—. Pada saat menghadapi Marsusi,


53

Nyai Kartareja, dan Tamir Srintil dengan mudah berpegang teguh pada keinginannya,

akan tetapi semua menjadi sulit saat Srintil menghadapi Bajus. Pergolakan batin

Srintil kian menggebu saat Bajus seolah akan membantu mewujudkan keinginannya

walaupun pada akhirnya justru Bajuslah yang meninggalkan luka teramat dalam,

sehingga akhirnya Srintil (penerima) menjadi gila. Hal tersebut terlihat pada kutipan

berikut ini.

Seorang perempuan somahan adalah perempuan yang mengerti dan mau


mengurusi keperluan dapur. Srintil akan melakukannya dengan segala senang
hati. (Tohari, 2011:337).
Ketika terbang bersama burung branjangan itu pula Srintil mendapati dirinya
berada pada inti kelembagaan perempuan; bukan perempuan lawan timbangan
laki-laki dalam makna primitif, perempuan milik umum. Dia merasa ada lelaki
tertentu di sampingnya, laki-laki yang akan membuatnya disebut sebagai
perempuan somahan, perempuan rumah tangga. (Tohari, 2011:369).
Ketika berkata bahwa Srintil kini kelihatan sedang berusaha keras menjadi
seorang ibu rumah tangga, Bajus mengubah nada kata-katanya dengan tekanan
yang khas. (Tohari, 2011:379).

Kegilaan Srintil disebabkan oleh keinginannya untuk menjadi perempuan

somahan yang tidak tercapai. Bahkan kegagalan ini terjadi dengan cara yang

menyakitkan. Bagaimana tidak saat ia berusaha keras untuk menjadi seorang ibu

rumah tangga dan keinginannya itu seolah hampir tercapai karena ada lelaki istimewa

di sampingnya. Lelaki itu malah menyuruh Srintil untuk melayani nafsu seorang

lelaki yang tidak dikenalnya.


54

18. Aktan XVIII

Kartareja, Nyai
Menikahi Rasus
Sakarya, dan
Srintil
Sakum

Profesi Rasus
sebagai
Rasus
Rasa Cinta tentara dan
Srintil yang
bekas tahanan

Kartareja, Nyai Sakarya, dan Sakum (pengirim) meminta Rasus (subjek)

untuk menikasi Srintil (objek). Rasus yang sebenarnya masih memili rasa cinta

(penolong) terhadap Srintil ada keinginan yang sama. Namun, profesi Rasus sebagai

tentara dan Srintil yang bekas tahanan (penentang) membuat Rasus (penerima)

bimbang. Kebimbangan ini baru berakhir saat Rasus dengan jujur menjawab

pertanyaan pegawai rumah sakit jiwa yang akan menangani Srintil. Rasus mengakui

bahwa Srintil adalah calon istrinya. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut ini.

“Bagaimana? Dulu sekali aku sudah bilang pada sampean. Ambillah


dia menjadi istri sampean.” (Tohari, 2011:341).
“Bukan begitu wong bagus. Kamu hanya tidak nrimo pandum. Sejak
kanak-kanak kamu sudah dipertemukan dengan jodohmu. Dukuh Paruk sudah
memberikan pertanda Srintil adalah jodohmu. Dan kamu tidak menyukai
pepesthen ini?” (Tohari, 2011:349).
“Cucuku, sesungguhnya aku ingin bertanya, bagaimana hubungan sampean
dengan Srintil.” (Tohari, 2011:360).
55

Pengakuan Rasus tersebut mungkin terlambat karena Srintil sudah mengalami

gangguan kejiwaan. Padahal sudah jauh-jauh hari Sakum, Nyai Sakarya, dan

Kartareja meminta Rasus untuk menikahi Srintil.

4.2 Kuantitas Aktan

Aktan-aktan yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk berjumlah 18

buah. Semua aktan ini mewakili cerita dari awal sampai akhir. Adapun kedelapan

belas aktan tersebut, dalam bentuk skema adalah sebagai berikut.

1. Aktan I

Rasus, Rasus,
Warta, dan Singkong Warta, dan
Darsun Darsun

Air kencing Tanah yang


Rasus, Warta,
keras dan
dan Darsun
membatu

2. Aktan II

Keinginan Daun Bacang Srintil


Srintil
56

Rasus
Ø Ø

3. Aktan III

Musik tiruan
Keinginan
untuk iringan Srintil
Srintil
menari

Upah Rasus, Warta,


dan Darsun Rasa pegal
berupa Rasus,
ciuman Warta, dan
Darsun

4. Aktan IV

Perhatian
Rasus Rasus
Srintil
57

Rasus
Keris Kyai
Ketidakpedulian
Jaran
Srintil
Guyang

5. Aktan V

Menjadi
Keinginan Srintil Srintil
ronggeng

Adat, Kartareja, Nyai Srintil Upacara


Kartareja, Sakarya, pemandian
Nyai Sakarya, dan dan bukak-
masyarakat klambu

6. Aktan VI

Keutuhan citra
seorang
Rasus perempuan Rasus
sebagai
kecintaan atau
emak
58

Penyerahan Rasus Kemestian


virginitas Srintil Srintil
kepada Rasus menjalani
bukak-klambu
dan menjadi
ronggeng

7. Aktan VII

Kiriman bahan
makanan yang Rasus, Sersan
belum juga tiba, Slamet, dan
persediaan yang Berburu kijang dua orang
sudah menipis, atau babi hutan tentara
dan jatah untuk
membeli daging
segar yang
sudah habis.

Kegagalan
Rasus, Sersan
Sersan Slamet
Ular Sanca Slamet, dan
dalam
dua orang
mengeksekusi
tentara
kijang

8. Aktan VIII

Meledakan Rasus
Rasus kepala mantri
59

Batu cadas,
Sersan Slamet
tonggak kayu, Rasus
dan tentara
belati, dan bedil

9. Aktan IX

Rasus, Kopral
Pujo, Sersan
Sersan Slamet Mencegah Slamet, dua
perampokan teman Kopral
Pujo, dan
masyarakat
Dukuh Paruk

Kekurangan
Sersan Slamet Rasus dan
senjata dan
dan dua orang Kopral Pujo
kekurangan
tentara
pasukan

10. Aktan X

Bayi dan
Srintil
perkawinan
Srintil
dari Rasus

Srintil Pengetahuan
Harta Srintil
Rasus tentang
dunia luar
60

11. Aktan XI

Memiliki bayi Srintil


Srintil

Nyai
Kartareja
Tampi, Goder, Srintil telah
dan air susu mematikan
yang keluar indung telur
dalam
perutnya

12. Aktan XII

Berhenti Rasus, Warta,


Srintil meronggeng dan Darsun
dan melayani
nafsu lelaki

Marsusi, Nyai
Kartareja,
Kartareja,
Sakum,
Ø Srintil
Tampi,
Sakarya, Nyai
Sakarya, pak
Ranu, Indang
ronggeng
61

13. Aktan XIII

Sentika, Nyai
Sentika, dan
Gowok bagi
Sentika anak-anaknya
Waras
yang lain

Perginya
Sentika beserta Kelelakian
keluarga dari Srintil Waras yang
rumahnya hilang

14. Aktan XIV

Sakit hati orang


Dukuh Paruk Seluruh warga
Melampiaskan
karea cungkup Dukuh Paruk
murka
Ki Secamengala
dirusak

Ø Srintil Ø

15. Aktan XV

Pulang ke Rasus
Rasus
Dukuh Paruk
62

Tekat yang kuat Rasus Komandan

16. Aktan XVI

Sakarya dan Menolong/men Rasus


Sakum emukan Srintil

Ø Rasus Sersan Pujo

17. Aktan XVII

Menjadi
Srintil
Srintil wanita
somahan

Marsusi, Nyai
Kartareja,
Ø Srintil
Tamir, dan
Bajus

18. Aktan XVIII

Kartareja, Nyai
Menikahi Rasus
Sakarya, dan
Srintil
Sakum
63

Profesi Rasus
sebagai
Rasus
Rasa Cinta tentara dan
Srintil yang
bekas tahanan

Secara keseluruhan aktan-aktan yang mengalami zeroisasi fungsi adalah

sebanyak lima aktan. Aktan yang mempunyai fungsi zero tersebut adalah aktan II

pada fungsi penolong dan penentang, aktan XII pada fungsi penolong, aktan XIV

pada fungsi penolong dan penentang, aktan XVI pada fungsi penolong, dan aktan

XVII pada fungsi penolong. Fungsi zero pada fungsi penolong berjumlah lima fungsi

dan pada fungsi penentang berjumlah dua fungsi. Jadi, aktan yang tidak mengalami

zeroisasi fungsi sebanyak 13 aktan dan jumlah keseluruhan fungsi yang tidak zero

sebanyak 101 fungsi.

Adapun jumlah masing-masing fungsi secara keseluruhan adalah sebagai

berikut: fungsi pengirim sebanyak 18 buah, fungsi objek sebanyak 18 buah, fungsi

penerima sebanyak 18 buah, fungsi penolong sebanyak 13 buah, fungsi subjek

sebanyak 18 buah, dan fungsi penentang sebanyak 16 buah.

4.3 Hubungan Aktan-Aktan dalam Membentuk Struktur Cerita utama

Korelasi aktan-aktan membentuk aktan utama dimulai dari aktan VI. Aktan

VI ini mempunyai objek keutuhan citra seorang perempuan sebagai emak atau

kecintaan. Terhadap objek tersebut ada keinginan dari Rasus yakni agar Srintil tidak
64

menjalani upacara bukak-klambu sebab jika Srintil melakukannya maka gambaran

emak yang dibangun rasus pada diri Srintil akan musnah.

Objek pada aktan VI mempunyai hubungan dengan penentang pada aktan X.

Penentang pada aktan X adalah pengetahuan Rasus tentang dunia luar. Jika dalam

aktan VI dinyatakan bahwa Rasus menginginkan keutuhan citra seorang perempuan

sebagai emak atau kecintaan, dalam aktan X diceritakan bahwa Rasus memiliki

pengetahuan tentang dunia luar. Ini berarti Rasus meninggalkan Dukuh Paruk, karena

kegagalannya memperoleh keinginannya pada aktan VI. Rasus pergi dari Dukuh

Paruk karena ia kecewa dengan pedukuhan itu yang telah menghancurkan cermin

tempat ia mencari bayangan emak, yakni dengan menjadikan Srintil sebagai

ronggeng.

Kepergian Rasus dari Dukuh Paruk mengubah jalan hidup dan

pengetahuannya. Ia menjadi seorang tentara dan menjadi cerdas. Saat menjadi tentara

Rasus memperoleh kemapanan, akan tetapi neneknya, Srintil, dan orang-orang dukuh

paruk tetap ada di hatinya. Ini terlihat pada objek di aktan XV. Objek di aktan XV

yaitu pulang ke dukuh Paruk. Artinya Rasus ingin pulang ke Dukuh Paruk untuk

melihat neneknya dan keadaan kampungnya yang terbawa arus geger politik

September 1965. Geger politik ini menyebabkan Srintil ditahan dan orang-orang

Dukuh Paruk meminta Rasus untuk menolong atau menemukan Srintil. Permintaan

mereka terlihat pada objek di aktan XVI. Objeknya yaitu menolong dan menemukan

Srintil. Rasus bingung.


65

Kebingungannya itu tidak menggoyahkan tekad Rasus sehingga ia kembali

bertugas menjadi tentara. Tekad itu sedemikian kuat hingga pernikahan dengan

Srintil yang sebenarnya ia inginkan terus ditundanya sebagaimana yang terlihat pada

aktan XVIII. Rangkuman cerita dari keseluruhan aktan itu jika dibuat skema aktan

utama sebagai berikut.

Gambaran diri
emak pada diri Meninggalkan
Srintil yang Dukuh Paruk
Rasus
dibangun Rasus dan
dan Srintil yang pengetahuan
menjadi akan dunia luar
ronggeng

Nenek Rasus,
Rasus Srintil dan
Ø orang-orang
Dukuh Paruk

Gambaran diri emak pada diri Srintil yang dibangun Rasus dan Srintil yang

menjadi ronggeng (pengirim) membuat Rasus (subjek) meninggalkan Dukuh Paruk

dan memperoleh pengetahuan akan dunia luar (objek). Namun, nenek Rasus, Srintil,

dan orang-orang Dukuh Paruk (penentang) menyuruh Rasus untuk menikahi Srintil

dan kembali tinggal di Dukuh Paruk. Rasus tidak terpengaruh sampai akhirnya Rasus

(penerima) menerima kesediahan luar biasa saat ia melihat Srintil gila. Pada saat itu

ia baru sadar bahwa ia mencintai Srintil. Ia juga tidak cocok menjadi tentara dan akan
66

berada di Dukuh Paruk untuk membimbing orang-orang di dusun itu pada nilai baru

yang lebih baik.

4.4 Keabsahan Data

Dari hasil analisis di atas, penulis menyimpulkan bahwa tokoh utama dalam

novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah Rasus. Terlihat pada kuantitas kebermaknaan

yang dimiliki tokoh Rasus. Rasus banyak beraksi dalam cerita, sebagaimana yang

tergambar dalam skema aktan. Seperti yang dikatakan Endarmoko (dalam Horison,

1984:12) bahwa pengarang lebih banyak memaparkan hal-hal yang memungkinkan

perkembangan watak Rasus daripada Srintil. Segala sesuatu terpusat pada “Aku”.

Sementara itu, Srintil lebih bertindak sebagai tokoh bawahan yang dimanfaatkan

sebagai latar. Pada dasarnya Ronggeng Dukuh Paruk menceritakan seorang lelaki

muda yang memperoleh kesadaran dari luar lingkungannya untuk menilai secara

kritis lingkungannya sendiri. Jadi, Srintil jelas mewakili bentuk kehidupan lelaki

muda itu, yang kelak dianggapnya kurang sesuai dengan nuraninya. Lebih lanjut

Endarmoko (dalam Horison, 1984:16) mengemukakan bahwa Ronggeng Dukuh

Paruk baru menampilkan seorang pemuda…. Bagaimanapun halnya, Rasus di sana

baru menyadari eksistensinya. Novel ini baru menampilkan proses eksist-nya seorang

tokoh. Sesuai pendapat Yudiono (2003:25-26) bahwa Rasus yang bertindak sebagai

pencerita (sudut pandang orang pertama) tampil dengan segala pikiran dan sikapnya

sehingga wajarlah jika rasus adalah tokoh utama dalam RDP. Sebagai tokoh utama,

pikiran dan tindakan Rasus sangat menentukan kelanjutan alur novel tersebut.
67

4.4 Kelayakan Ronggeng Dukuh Paruk Menjadi Bahan Ajar SMA

Mengacu pada kriteria pemilihan bahan ajar menurut Rahmanto (1988:27)

yang mencangkup aspek bahasa, psikologi, dan latar belakang budaya, novel

Ronggeng Dukuh Paruk ini layak dijadikan sebagai bahan ajar SMA.

Pada aspek bahasa, novel Ronggeng Dukuh Paruk memiliki cara penyampaian

yang lugas dan mudah dipahami. Jadi, siswa SMA akan mudah membaca dan

memahami apa yang ada pada novel tersebut.

Pada aspek psikologi, novel Ronggeng Dukuh Paruk sesuai dengan

kematangan siswa. Siswa SMA termasuk pada tahap psikologi tahap realistik (13

sampai 16 tahun) yang sangat berminat pada realitas atau apa yang benar-benar

terjadi dan tahap generalisasi (umur 16 sampai selajutnya) yang sudah tidak lagi

hanya berminat pada hal-hal praktis saja tetapi juga berminat untuk menemukan

konsep-konsep abstrak dengan menganalisis suatu fenomena, mereka berusaha

menemukan dan merumuskan penyebab utama fenomena itu yang kadang-kadang ke

pemikiran filsafat untuk menentukan keputusan-keputusan moral. Semua yang yang

menjadi minat mereka terdapat dalam novel tersebut.

Pada tahap latar belakang budaya, memang kurang sesuai bila digunakan

untuk siswa SMA yang tidak berbudaya jawa. Budaya jawa yang ada pada novel

Ronggeng Dukuh Paruk sangat kental, sehingga bagi siswa SMA yang belum
68

mengerti budaya jawa akan terasa sulit. Para siswa biasanya akan lebih tertarik pada

karya-karya sastra yang erat hubungannya dengan latar belakang kehidupan mereka.

4.5 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

(RPP)

Satuan Pendidikan : SMA

Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia

Kelas/Semester : XI/2 (dua)

Materi Pokok : Resensi

Alokasi Waktu : 2 x 45’

A. Kompetensi Inti

1. Mematuhi norma-norma bahasa Indonesia serta mensyukuri dan

mengapresiasi keberadaan bahasa dan sastra Indonesia sebagai anugerah

Tuhan Yang Maha Esa. Memiliki sikap positif terhadap bahasa dan sastra

Indonesia dengan cara mempromosikan penggunaan bahasa Indonesia dan

mengapresiasi sastra Indonesia sebagai sebagai cerminan bangsa dalam

pergaulan dunia.

2. Memiliki sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia dengan cara
69

mempromosikan penggunaan bahasa Indonesia dan mengapresiasi sastra

Indonesia sebagai sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.

3. Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual,

prosedural berdasarkan rasa ingin tahunya tentang bahasa dan sastra

Indonesia serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian

bahasa dan sastra yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk

memecahkan masalah.

4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak

terkait dengan pengembangan pengetahuan bahasa dan sastra Indonesia

secara mandiri, dan mampu menggunakan metode sesuai kaidah keilmuan.

B. Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaian Kompetensi

1.1 Mematuhi norma-norma bahasa Indonesia sebagai anugerah Tuhan Yang

Maha Esa yang memiliki kemantapan kedudukan, fungsi, dan kaidah

bahasa untuk mempersatukan bangsa Indonesia di tengah percaturan dan

peradaban dunia.

Indikator:

1. Menggunakan norma-norma bahasa Indonesia sebagai anugerah Tuhan

Yang Maha Esa yang memiliki kemantapan kedudukan untuk

mempersatukan bangsa Indonesia di tengah percaturan dan peradaban

dunia.
70

2. Menggunakan norma-norma bahasa Indonesia sebagai anugerah Tuhan

Yang Maha Esa yang memiliki kemantapan fungsi untuk

mempersatukan bangsa Indonesia di tengah percaturan dan peradaban

dunia.

3. Menggunakan norma-norma bahasa Indonesia sebagai anugerah Tuhan

Yang Maha Esa yang memiliki kemantapan kaidah bahasa untuk

mempersatukan bangsa Indonesia di tengah percaturan dan peradaban

dunia.

2.4 Mengembangkan sikap apresiatif dalam menghayati karya sastra

Indikator:

1. Menunjukan sikap apresiatif dalam mengahayati karya sastra.

3.3 Memahami dan membandingkan perbedaan dan persamaan sinopsis dan

resensi novel, drama, atau film.

Indikator:

1. Menyebutkan pengertian sinopsis dan resensi novel, drama, atau film.

2. Menjelaskan perbedaan dan persamaan sinopsis dan resensi novel, drama,

atau film.

4.3 Menyusun resensi novel, drama, atau film.

Indikator:
71

1. Menyebutkan unsur-unsur resensi novel, drama, atau film.

2. Menyusun langkah-langkah membuat resensi novel, drama, atau film.

3. Membuat resensi novel, drama, atau film

C. Tujuan Pembelajaran

1. Setelah mengikuti kegiatan pembelajaran peserta didik dapat menggunakan

norma-norma bahasa Indonesia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang

memiliki kemantapan kedudukan untuk mempersatukan bangsa Indonesia di

tengah percaturan dan peradaban dunia.

2. Setelah mengikuti kegiatan pembelajaran peserta didik dapat menggunakan

norma-norma bahasa Indonesia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang

memiliki kemantapan fungsi untuk mempersatukan bangsa Indonesia di

tengah percaturan dan peradaban dunia.

3. Setelah mengikuti kegiatan pembelajaran peserta didik dapat menggunakan

norma-norma bahasa Indonesia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang

memiliki kemantapan kaidah bahasa untuk mempersatukan bangsa Indonesia

di tengah percaturan dan peradaban dunia.

4. Selama mengikuti kegiatan pembelajaran, peserta didik menunjukan

menunjukan sikap apresiatif dalam mengahayati karya sastra.

5. Setelah proses pembelajaran peserta didik dapat menyebutkan pengertian

sinopsis dan resensi novel, drama, atau film.


72

6. Setelah proses pembelajaran peserta didik dapat menjelaskan perbedaan dan

persamaan sinopsis dan resensi novel, drama, atau film.

7. Setelah bertanya jawab peserta didik dapat menyebutkan unsur-unsur

membuat resensi novel, drama, atau film.

8. Setelah bertanya jawab peserta didik dapat menyusun langkah-langkah

membuat resensi novel, drama, atau film.

9. Setelah menyusun langkah-langkah siswa dapat membuat resensi novel,

drama, atau film.

D. Materi Pembelajaran

1. Pengertian Resensi

2. Unsur-unsur Resensi

3. Langkah-langkah membuat resensi novel.

E. Pendekatan, Metode, dan Model Pembelajaran

1. Pendekatan : Saintifik

2. Metode : Tanya jawab, diskusi, dan penugasan

3. Model : Explicit Instruction

F. Media dan Sumber Belajar

Media :

1. Teks resensi

Sumber Belajar :

1. Buku siswa bahasa Indonesia SMA/SMK/MA kelas XI (peminatan)


73

2. Buku referensi terkait cara membuat resensi

G. Kegiatan Pembelajaran:

1. Pembukaan

a. Membuka pelajaran dengan mengucapkan salam dan berdoa bersama

(menghayati ajaran agama),

b. Menginformasikan tujuan yang akan dicapai selama pembelajaran (rasa

ingin tahu).

c. Menyampaikan secara singkat garis besar materi yang akan disajikan

selama pembelajaran dan mengaitkannya dengan materi pertemuan

sebelumnya

d. Memberi motivasi siswa untuk aktif dalam proses pembelajaran dengan

memberitahukan manfaat yang akan diperoleh saat mampu menguasai

materi pelajaran kali ini, dilanjutkan dengan tanya jawab tentang novel.

2. Inti

a. Mengamati:

1) membaca teks tentang resensi novel

b. Menanya:

1) menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan isi bacaan

c. Mengeksplorasi:

1) mencari dari berbagai sumber informasi tentang prinsip teknik

memahami cara meresensi novel


74

2) mendiskusikan dan menganalisis hasil teknik memahami cara resensi

novel

d. Mengasosiasikan:

1) saling menilai kebenaran/ketepatan jawaban kelompok lain.

2) mencatat dan merevisi hasil masukan dari kelompok lain

3) menyimpulkan hal-hal terpenting dalam memahami dan

membandingkan perbedaan dan persamaan sinopsis dan resensi novel

e. Mengomunikasikan:

1) menuliskan laporan kerja kelompok resensi novel bebas

2) membacakan hasil kerja kelompok di depan kelas, siswa lain

memberikan tanggapan

3. Penutup

a. Membuat simpulan tentang materi ajar yang telah disajikan selama

pembelajaran yang dilakukan peserta didik bersama guru

b. Memberi penguatan dan motivasi tentang pelaksanaan tugas mandiri tidak

terstruktur (TMTT).

c. Melaksanakan test secara lisan (kejujuran)

d. Mengakhiri pembelajaran dengan mengajak peserta didik berdoa sesuai

dengan agama dan keyakinan masing-masing (religius)


75

H. Penilaian

Penilaian proses dan hasil belajar.

a. Teknik penilaian dan instrument proses

No. Aspek yang dinilai Teknik Waktu penilaian Instrument

penilaian penilaian

1. Religius Pengamatan Proses Lembar

pembelajaran pengamatan

2. Jujur Pengamatan Proses Lembar

pembelajaran pengamatan

3. Kreatif Pengamatan Proses Lembar

pembelajaran pengamatan

4. Santun Pengamatan Proses Lembar

pembelajaran pengamatan

b. Instrumen penilaian

1. Pengamatan sikap

Lembar pengamatan sikap

No. Nama Religius Kejujuran Kreatif Santun

siswa 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1.

2.

3.
76

c. Rubrik penilaian sikap

No. Rubrik Skor

1. Sama sekali tidak menunjukan usaha sungguh-sungguh dalam 1

melakukan kegiatan

2. Menunjukan sudah ada usaha sungguh-sungguh dalam 2

melakukan kegiatan tetapi masih sedikit dan belum

ajeg/konsisten

3. Menunjukan ada usaha sungguh-sungguh dalam melakukan 3

kegiatan yang sering dan mulai ajeg/konsisten.

4. Menunjukan adanya usaha sungguh-sungguh dalam melakukan 4

kegiatan secara terus menerus

2. Tes tertulis

- Tes uraian

Indikator pencapaian Teknik Bentuk


Instrumen
kompetensi penilaian penilaian

Menyusun langkah-langkah Tes tertulis Tes uraian 1) Bacalah

meresensi novel dengan

seksama teks

resensi!
77

2) Susunlah

langkah-

langkah

merensi

novel!

Menyebutkan unsur-unsur Tes tulis Tes uraian 1) Sebutkan

resensi unsur-unsur

drama!

3. Tes produk

1) Buatlah resensi novel Rongeng Dukuh Paruk berdasarkan langkah-

langkah meresensi novel!

Pedoman penskoran:

Aspek Skor

Siswa menulis resensi novel Ronggeng Dukuh

Paruk:

a) resensi lengkap 5

b) resensi kurang lengkap 4

c) resensi tidak lengkap 2

Skor Maksimal 5
78

Rumus penilaian → Nilai: skor yang diperoleh siswa X Skor standar

Skor Maksimal

Serang,... Juni 2014

Mengetahui, Guru mata pelajaran

Kepala Sekolah Bahasa Indoensia


BAB 5

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Setelah semua tahap dalam penelitian ini dilakukan, dari mulai mencari latar

belakang masalah, menentukan fokus penelitian, menyajikan teori, mencari metode

penelitian sampai melakukan analisis data, penulis memperoleh simpulan sebagai

berikut.

1. Skema aktan dapat digunakan untuk melihat tokoh utama pada novel Ronggeng

Dukuh Paruk.

2. Tokoh utama dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah Rasus. Hal tersebut,

terlihat pada kuantitas kebermaknaan yang dimiliki tokoh Rasus. Rasus banyak

beraksi dalam cerita, sebagaimana yang tergambar dalam skema aktan.

3. Jumlah aktan yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk sebanyak 18

buah aktan. Kedelapan belas aktan tersebut, lima aktan mengalami zeroisasi, dan

13 aktan mempunyai fungsi peran yang utuh. Selain itu, ada aktan-aktan yang

satu fungsi dapat menempati beberapa peran. Ada pula aktan-aktan yang satu

peran memerankan satu fungsi.

4. Novel Ronggeng Dukuh Paruk dapat dijadikan sebagai bahan apresiasi sastra di

SMA. Hal ini mengacu pada kriteria pemilihan bahan ajar menurut Rahmanto

(1988:27) yang mencangkup aspek bahasa, psikologi, dan latar belakang budaya.

79
80

Pada aspek bahan ajar ini, perlu diperhatikan lebih dalam mengenai aspek

psikologi, karena psikologi siswa SMA adalah psikologi yang sedang ingin tahu

dan ingin mencoba. Jadi, penggunaan novel RDP sebagai bahan ajar atau novel-

novel yang mengandung unsur seks yang lainnya harap disertai dengan

pendampingan khusus agar apa yang ditangap dan diikuti oleh siswa adalah hal

yang positifnya bukan hal yang negatifnya.

5.2 Saran

Setelah penulis melaksanakan penelitian terhadap novel Ronggeng Dukuh

Paruk karya Ahmad Tohari dengan menggunakan teori yang dikemukakan A. J.

Greimas, skema aktan dan memperoleh simpulan seperti tersebut di atas, penulis

menyampaikan saran-saran sebagai berikut.

1. Bagi peneliti RDP, dapat melengkapi penelitian ini dengan melanjutkannya pada

analisis skema fungsional dan segi empat semiotik A. J. Greimas, sebab penelitian

sastra yang menggunakan pendekatan strukturalisme model A. J. Greimas untuk

menganalisis karya sastra umumnya menggunakan keseluruhan teori Greimas

yaitu skema aktan, skema fungsional dan segi empat semiotik.

2. Bagi peneliti selanjutnya, perlu kiranya mengujicobakan pendekatan struktural

model A. J. Greimas pada penelitian cerpen, drama, dan puisi naratif. Penelitian

pada novel seperti yang penulis lakukan mungkin terasa sulit saat menentukan

sebuah peristiwa yang akan dituliskan dalam skema aktan.


81

3. Penelitian dengan menggunakan teori Greimas dapat membantu mempermudah

para pembaca dalam memahami novel, sehingga penelitian ini perlu dilakukan

oleh mahasiswa yang berada di lingkungan Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan.

4. Bagi guru, gunakanlah hasil penelitian yang ada sebagai bahan apresiasi sastra

agar contoh-contoh karya sastra yang diberikan kepada siswa lebih bervariasi.

5. Bagi pengelola pendidikan, lengkapi sarana dan prasarana pembelajaran, seperti

buku-buku dan sumber referensi lainnya, agar saat peserta didik sedang

mengerjakan tugas dapat mendapatkan berbagai sumber yang dibutuhkan.


82

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ma'ruf, Ali Imron. Ahmad Tohari dan Ronggeng Dukuh Paruk: Eksistensinya
dalam Jagat Sastra Indonesia. Artikel.

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (edisi


revisi VII). Jakarta: Rineka Cipta.

Endarmoko, Eko. (1984, Januari, 01). Ronggeng Dukuh Paruk Dilihat dari
Penokohan. Horison, vol XVIII, 16.

Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra Sebuah Penjelajahan Awal. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

Handoko, Andi Dwi. 2010. Novel Orang-orang Proyek dan Kaitannya dengan
Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari (Analisis
Strukturalisme Genetik). (Skripsi). Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni.
FKIP. Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tidak diterbitkan.
http://digilib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=showview&id=14225 (diunduh
pada Kamis 18 Maret 2014, pukul 10:30 WIB).

Haryati. 2010. Watak Tokoh Utama dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya
Ahmad Tohari dan Implikasi Pembelajarannya di SMA. (Skripsi).
Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah. Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan. Universitas Pancasakti Tegal. Tidak diterbitkan.
http://digilib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=showview&id=14225 (diunduh
Kamis 18 Maret 2014, pukul 11:00 WIB)

Http://edukasi.kompas.com/read/2013/02/16/03203676/Pelajaran.Bahasa.Beruba
h.Arah, (diunduh pada 30 April 2014, pukul 12:56 WIB).
Jabrohim. 1996. Pasar dalam Perspektif Greimas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kemendikbud. 2013. Kurikulum 2013 Kompetensi Dasar SMP/MTs. Jakarta:


Kemendikbud.
Khamilah, Ela Solehatul. 2013. Analisis Struktural Novel Ronggeng Paruk Karya
Ahmad Tohari dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran membaca di SMA
(Skripsi). Serang: FKIP Untirta. Tidak diterbitkan.
Komariah, Aan dan Djaman Santomi. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung: Alfabeta.
Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi revisi). Bandung:
Remaja Rosdakarya.
83

Mulyasa, E. 2008. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.
Muslich, Mansur. 2007. KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) Dasar
Pemahaman dan Pengembangan. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan
Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Santoso, Wijaya Heru dan Sri Wahyuningtyas. 2010. Pengantar Apresiasi Prosa.
Surakarta: Yuma Pustaka.
Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik. Metode dan Aneka Teknik Pengumpulan
Data. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sugiyono. 2009. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret


University Press.
Selden, Raman (terjemahan Rachmat Djoko Pradopo). 1996. Panduan Pembaca
Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarya: Gadjah Mada University Press.
Tarigan, Henry Guntur. 2011. Prinsip-Prisip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

Tohari, Ahmad. 2003. Rongeng Dukuh Paruk. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Tohari, Ahmad. 2011. Rongeng Dukuh Paruk. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Yudiono, K.S. 2003. Ahmad Tohari Karya dan Dunianya. Jakarta: Grasindo.

Zaimar, Okke Kusuma Sumantri. 2014. Semiotika dalam Analisis Karya Sastra.
Depok: Komodo Books.
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Siti Bagja Muawanah dilahirkan pada tanggal 17

Agustus 1992 di Kp. Kuluk Leugeut, Des. Siketug, Kec.

Ciomas, Kab. Serang-Banten. Siti, begitu ia biasa

dipanggil adalah anak pertama dari tujuh bersaudara

yang merupakan buah hati dari pasangan Bapak Jamsuni

dan almarhumah Ibu Askamah. Penulis dibesarkan di

lingkungan keluarga yang sangat mengutamakan pendidikan.

Siti memulai pendidikannya di SDN Kuluk Leugeut pada tahun 1998 dan

lulus pada tahun 2004. Kemudian melanjutkan pendidikan ke SMPN 2 Ciomas,

lulus pada tahun 2007. Setelah lulus, ia melanjutkan pendidikannya ke SMAN 1

Ciomas, lulus di tahun 2010. Pada tahun yang sama, Siti melanjutkan

pendidikannya ke Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dan akhirnya lulus pada

tahun 2014.

Kelulusan di universitas adalah prestasi di mata Siti. Saat hal ini terjadi

Siti sangat bersyukur karena dengan segala pengorbanan dan perjuangan, akhirnya

ia sampai pada titik puncak harapan ibunya. Ibu penulis tidak tamat SD, akan

tetapi beliau menyuruh anaknya untuk sekolah yang tinggi, bahkan beliau rela

melakukan dan kehilangan apapun demi pendidikan anak-anaknya. Kini beliau

sudah menghadap Allah SWT. Namun, semangat beliau melekat di dada penulis,

sehingga penulis bertekad untuk melakukan hal yang sama, yakni memberikan

pendidikan yang terbaik kepada kelima adiknya yang kini masih ada.

Anda mungkin juga menyukai