Adimulyana
Anggawarsita
Ardiwila
Aryawangsa
Atmayadarma
Atmadibrata
Bahuwirya
Brahmawijaya
Brajawisesa
Bratadikara
Cakrabirawa
Cakrawijaksa
Danawikara
Danipuspa/Darapuspa
Danureja
Danusubrata
Daratista
Darmadilaga
Darmaraksa
Darmeswara
Darpita
Darwanta/Darwanti
Dewantara/Dewintari
Dinarga
Dwipanegara
Ganawirya
Ganendra
Gilangharja
Girinata
Hanjaya
Harisdharma
Hariwangsa
Haryayudanta/Haryayudanti
Hutama/Hutami
Indrawara/Indrawari, Indriwari
Jatinusa/Jatiningsih
Jayadharma
Jayagiri
Jayawisnuwardhana/Jayawisnuwardhani
Kartadikrama
Kartasasmita
Kartasudira
Kartawijaya
Kartawiharja
Kartawiwaha
Kasawilaga
Kasawirya
Kawilarang
Kramawijaya
Kumala/Kumalasari
Limawan/Limantika
Linandar
Mahasatya/Satyarini
Mahawirya
Mangunkusuma
Martanagara
Martawijaya
Mawardhana/Mawardhani
Murtapa
Nagarawardhana/Nagarawardhani
Nilakendra
Nurmantya
Parawangsa
Pramana/Pramanita
Pramataraharja
Pramatya
Prahastha/Prahasthi
Prakarsa
Pramujita/Pujita
Prana
Prajapustaka
Pramayogawardana
Primadewa/Primadewi
Prasetya
Prayudata/Prayudati
Puramarta
Purwaka
Puradireja
Puspawardaya
Puspawisesa/Puspa Astuti
Ranggawarsita
Reksapraja
Reksasamudra
Sasradiharja
Sastraamijaya
Sastraguna
Sastrasentana
Sastrawardaya
Sentana/Sengani
Soedira
Sudwikatmana
Sukartayasa
Sumadireja
Suragharana/Suragharani
Sureswara/Sureswari
Sutawijaya
Sutisna/ Adriansa Sutisna
Suthyana
Soewitomo
Swardhana
Tanubaya
Tanudisastra
Tanusaputra
Tanusibya
Tanusudibya
Tanutama
Tanuwijaya
Tanwirasatya/Sulisthya
Tribhuana
Tumenggung
Tunggadewa/Tunggadewi
Wardhani
Wibisana
Wijaksana
Wisnushantika
Werasnawira
Yasudharsa
Yudhayana
Nama Marga Baru:
Besari
Banoetedja
Bratadikara
Boeniadjie
Cagur
Damardjatisa
Darmaadjie
Hadjoe
Halilintar
Hanarta, Harta/Harti
Harjakrama
Harjasoewigija
Marta
Marten
Moeloek
Soekarnoputra/Soekarnoputri
Sumarga
Kasta Raja:
Ajo (Bahasa Sanskerta: Radhya): Raja Marapi, Raja Diraja.
Marga ditaruh di belakang nama. Pengindonesiaan: Girya,
Maharaja, Raja, Maraja, Narapati, Prabu, Gusti.
Sutan (Bahasa Arab: Sultan): Sultan Kesultanan Pagaruyung,
Kata Sutan dulunya tidak dipakai, dan orang dulu lebih suka
memakai Tuah. Marga ditaruh di depan nama. Pengindonesiaan:
Sultan/Sutan, Syah, Imam, Malik.
Datuk (Bahasa Melayu: Dato’): Pemimpin atau Ketua suatu
desa. Marga ditaruh di depan nama. Pengindonesiaan:
Adiwanua, Datuk, Rakai, Rakyan, Keyan, Adipati, Penghulu.
Kasta Bangsawan:
Piliang (Bahasa Sanskerta: Pilihyang): Bangsawan kaya raya
beradat. Marga ditaruh di belakang. Pengindonesiaan: Wangsa,
Manungga, Winidi.
Pujanggo (Bahasa Sanskerta: Bhujamga): Penulis, Penyair
terpandang, Pandai sastra. Marga ditaruh dibelakang.
Pengindonesiaan: Sastra, Bhujangga, Sardhyana, Sarjana.
Kasta Brahmana:
Bodi (Bahasa Sanskerta: Bodhi): Orang-orang biksu atau
pendeta agama Buddha. Marga ditaruh di belakang.
Pengindonesiaan: Bodhi, Buddhi, Mandira, Agraudha, Wandira.
Pandito (Bahasa Sanskerta: Pandhita): Para pendeta agama
Hindu. Marga ditaruh di belakang. Pengindonesiaan: Pandhita.
Tuanku/Puanku (Bahasa Melayu: Tuan Aku, Puan Aku): untuk
pemimpin agama, yang digunakan untuk ulama-ulama Minang,
dahulu bernama Sidi sedangkan perempuan diberi gelar Siti.
Marga ditaruh di depan. Pengindonesiaan: Tuanku/Puanku,
Laras, Kar’i, Sidi/Sidya, Gus. Penyingkatan: Tnk.
Buya (Bahasa Arab: Abun Ya): Para Alim Ulama. Marga
ditaruh didepan. Pengindonesiaan: Buya, Pita, Rama.
Kasta Ksatria:
Koto (Bahasa Sanskerta: Karta): Artinya adalah para satria,
tentara. Marga ditaruh di belakang. Pengindonesiaan: Satria,
Tantra, Wira, Bala, Yodha, Sena.
Huto (Bahasa Sanskerta: Karta): Artinya penertib peraturan dan
penjaga warga di suatu kampung, polisi. Pengindonesiaan:
Karta, Pura, Nagara, Kuta.
Kasta Waisya:
Caniago (Bahasa Sanskerta: Saniyaga): Artinya para pedagang
yang tinggal dan berdagang di daratan. Marga ditaruh di
belakang. Pengindonesiaan: Saniaga, Wiasa, Wata.
Tanjuang (Bahasa Melayu: Tanjung): Merupakan pedagang
yang berdagang dipantai semenanjung. Marga ditaruh di
belakang nama. Pengindonesiaan: Melaka, Malaka, Prayadwipa,
Tanjung.
Kasta Sudra:
Mara (Bahasa Melayu: Merah): Pekerja kasar yaitu tukang
pembangunan, petani, peternak. Marga ditaruh di belakang.
Pengindonesiaan: Caraka, Thani, Srama, Pramu, Sudra.
Malayu (Bahasa Melayu: Melayu): Pekerja kasar yang bekerja
di pesisir pantai, terutama nelayan, nakhoda, dan penghasil
garam. Marga ditaruh di belakang nama. Pengindonesiaan:
Dasa, Matsya, Bandyaga, Senawa.
Nama-nama marga tadi lazim jika dikombinasikan dengan Asma-,
Tanu-, Purwa-
-atmaja/i/barya, -wangsa, -nagara, -atma,
-putra/i, -wisesa, -rajasa, -jaya, -dijaya, -wijaya
-nata, -dinata, winata, -laga, dilaga, wilaga.
Adinata
Aditya/Adisty.
Anggakusuma
Astungkara
Atmaja
Diasnata/Diasnita
Dinata
Handayana/Handayani
Hariadikusuma
Haryakusuma
Herjuna (Herjunot)
Haryanja
Jatikusuma
Jatmika
Jayahadikusuma
Junanda
Kartalegawa
Kartawinata
Krisdayanta/Krisdayanti
Kosasih
Kusuma
Kusumadinata
Kusumawardhana
Lesmana/Lismitha
Legawa
Mantana
Martadinata
Natalegawa
Natamiharja
Natanagara
Natasastra
Natairnawa
Natamiharja
Padmasusasthra
Paramudya
Pradanata/ Pradawati
Prawiranegara
Prawirawiharja
Purwadinata
Puspitasari
Sasana
Sasmita
Sartika
Sind (Sindangkasih)
Sugyapranata
Sujatmaka/Sujiatmi
Suryakencana
Suryalegawa
Suranata
Tan
Tansil/Intan
Triatmaja
Tubagus
Winata
Wiradana
Wirapatra
Wirapustaka
Wiradiputra
Wiraatmaja/Wiraanggun
Wirahadikusuma
Wirajuda
Wiranagara
Wiranatakusuma
Wiratama
Wikayaatmaja
Wijayakumara
Wisnulegawa
Wisnutama
Wiwahadinata
Wulansari
Yudharthapita/Pitaloka
Bhre Kertabumi
Bhre Pakuan
Brawijaya
Dewa Agung/Dewa Ayu
Dewamanggis
Dyah
Hamengkubuwana
Hamengkurat
Hanglurah
Hanyakrakusuma
Hanyakrawati
I Gusti Agung/I Gusti Ayu
Isyana
Kryan
Mangkunegara
Paku Alam
Pakubuwana
Prabu
Rajasanagara
Rakai
Rakeyan
Sanjaya
Sri
Sri Maharaja/Sri Maharani
Sultan Imam/Sultana Imama
Sunan Imam/Sunan Imama
Syailendra
Tuanku/Puanku
Warmadewa/Warmadewi
Warman
Wisesa
Pada dasarnya ada dua jenis bangsawan dalam tradisi Jawa, yaitu
bangsawan keluarga raja dan bangsawan pejabat pemerintah. Konsep
bahwa bangsawan adalah keluarga raja tercermin dari istilah dalam
Bahasa Jawa untuk menyebut bangsawan yaitu priyayi yang berasal
dari kata ‘para yayi’ yang berarti ‘para adik’ dimana adik yang
dimaksud adalah adik raja, sehingga kata priyayi berarti para adik
raja. Konsep ini meliputi pula kata Kyai yang berasal dari kata ‘kaki
yayi’ yang berarti ‘adik laki-laki’ yaitu adik laki-laki raja dan kata
Nyai yang berasal dari kata ‘nini yayi’ yang berarti ‘adik perempuan’
yaitu adik perempuan raja. Sementara itu para pejabat pemerintah
yang bekerja untuk kepentingan raja dan kerajaan juga diberi status
sama dengan keluarga raja, dengan konsep bahwa melayani raja
sebuah kerajaan adalah melayani kepala keluarga sebuah keluarga
besar. Di kemudian hari ada juga orang yang bukan keluarga raja dan
bukan pejabat pemerintah tetapi karena dianggap berjasa besar kepada
raja atau negara atau masyarakat, maka diberi status bangsawan yang
juga disamakan dengan keluarga raja.
Kerajaan Surakarta:
Kerajaan Yogyakarta:
Kadipaten Mangkunagaran:
Kadipaten Pakualaman:
Istri Penguasa:
Raja perempuan atau rani terakhir di Pulau Jawa adalah Suhita,
Maharani Majapahit (1429 – 1447) yang mewarisi takhta Majapahit
dari ayahnya yaitu Wikramawarddhana dan dia pun memerintah
bersama dengan suaminya yaitu Bhra Hyang Parameswara
Ratnapangkaja. Sejak kematian Suhita tidak ada lagi perempuan di
Pulau Jawa yang mewarisi takhta kerajaan dari orangtuanya.
Keturunan:
Tradisi Jawa mengenal istilah-istilah untuk menyebut keturunan
hingga beberapa generasi ke bawah. Dalam praktiknya istilah ini juga
diterapkan untuk menyebut nenek moyang hingga beberapa generasi
ke atas dengan hitungan yang sama. Dalam dokumen resmi maupun
tidak resmi, kata “grad” yang adalah serapan dari Bahasa Belanda
juga digunakan dalam Bahasa Jawa untuk menyebut keturunan.
Konsep keturunan ini perlu dipahami dalam kaitan dengan gelar
keturunan.
Gelar Lama:
Gelar lama untuk raja: Prabu.
Gelar lama untuk laki-laki: Bagus, Harya, Jaka, Kenthol, Panji, dan
Raden.
Gelar lama untuk perempuan: Dewi, Rara, dan Ratna.
Gelar Baru:
Gelar baru untuk raja: Panembahan, Sultan, dan Sunan.
Gelar baru untuk laki-laki: Ki, Kyai, Mas, dan Pangeran.
Gelar baru untuk perempuan: Ajeng, Ayu, Bok, Nyi, Nyai, Nganten,
Putri, dan Ratu.
Gelar Lain:
Gelar untuk bangsawan tinggi: Bendara, Gusti, dan Kangjeng.
Gelar untuk pejabat: Adipati, Demang, Ngabehi, Riya, Rongga,
Tumenggung, dan Wadana.
Persamaan Gelar:
Susuhanan sinonim Sunan.
Ejaan Gelar:
Perbedaan cara menulis dan cara membaca antara Bahasa Jawa dalam
Aksara Jawa dengan Bahasa Jawa dalam Aksara Latin mengakibatkan
variasi cara menulis gelar atau jabatan :
Ajeng ditulis sebagai Hajeng.
Ayu ditulis sebagai Hayu.
Bok dibaca sebagai mBok.
Bandara dibaca sebagai Bendara atau Bendoro.
Harya dibaca sebagai Haryo atau Arya atau Aryo.
Kaliwon dibaca sebagai Keliwon atau Kliwon.
Kangjeng dibaca sebagai Kanjeng.
Kyai ditulis sebagai Kyahi.
Nyai ditulis sebagai Nyahi.
Rara dibaca sebagai Roro.
Riya dibaca sebagai Riyo.
Rongga dibaca sebagai Rangga atau Ronggo.
Wadana dibaca sebagai Wedana atau Wedono.
Singkatan Gelar:
Akibat semakin panjangnya gelar maka dalam Aksara Jawa dan
Aksara Latin muncul singkatan untuk setiap kata gelar, tetapi tidak
semua gelar mempunyai singkatan. Karena pendeknya maka kata
gelar Ki dan Nyi tidak pernah disingkat. Artikel ini menggunakan
singkatan gelar yang umum digunakan (e.g. B. Singkatan dari kata
Bandara) kecuali jika menimbulkan lebih dari satu makna (e.g. P.
Singkatan dari kata Panji atau Pangeran atau Panembahan atau Putri).
Penulisan singkatan dalam artikel ini mengikuti tradisi Ejaan van
Ophuijsen dan Ejaan Soewandi yang memperlakukan gelar sama
dengan nama dimana singkatan adalah huruf besar huruf pertama
diikuti tanda baca titik atau huruf besar huruf pertama diikuti huruf
kecil sebagai pembeda diikuti tanda baca titik.
Kata gelar dan singkatannya yaitu :
Pangeran miji, yaitu status pangeran berdaulat yang dalam banyak hal
penting masih tunduk kepada kerajaan induknya (e.g. tidak bisa
menjatuhkan hukuman mati dan tidak bisa melantik pangeran
berdaulat tanpa sepengetahuan kerajaan induk). Pangeran Adipati
Mangkunagara adalah pangeran miji dalam Kerajaan Surakarta sejak
disepakatinya perdamaian antara Nicolaas Hartingh sebagai Gubernur
Pantai Timur Laut Jawa, K.R.Ad. Danureja I sebagai perdana menteri
Kerajaan Yogyakarta, dan Mangkunagara I sebagai pemimpin
pemberontakan pada tanggal 17 Maret 1757 sampai
ditandatanganinya kontrak politik antara Mangkunagara VI sebagai
Adipati Mangkunagaran dan Louis Thomas Hora Siccama sebagai
Residen Surakarta pada tanggal 4 November 1896.
Pangeran mardika, yaitu status pangeran berdaulat yang dalam banyak
hal penting sudah bebas dari kerajaan induknya (e.g. bisa
menjatuhkan hukuman mati dan bisa melantik pangeran berdaulat
tanpa sepengetahuan kerajaan induk). Pangeran Adipati
Mangkunagara adalah pangeran mardika dari Kerajaan Surakarta
sejak ditandatanganinya kontrak politik antara Mangkunagara VI
sebagai Adipati Mangkunagaran dan Louis Thomas Hora Siccama
sebagai Residen Surakarta pada tanggal 4 November 1896 yang
kemudian diteguhkan oleh Carel Herman Aart van der Wijck sebagai
Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tanggal 13 November 1896.
Perubahan gelar akibat usia atau status pernikahan juga berlaku untuk
keturunan jauh raja. Gelar Raden Bagus (R.Bg.) seorang laki-laki
akan berubah menjadi Raden (R.) jika dia dianggap sudah mencapai
usia dewasa yaitu sekira usia 15 tahun atau sudah menikah. Gelar
Raden Rara (R.Rr.) seorang perempuan akan berubah menjadi Raden
Nganten (R.Ngt.) jika dia sudah menikah. Di beberapa daerah gelar
Raden Nganten (R.Ngt.) hanya diperuntukkan bagi seorang Raden
Rara (R.Rr.) yang baru menikah, sedangkan jika pernikahannya sudah
lama berlalu atau sudah melahirkan anak maka gelarnya berubah
menjadi Raden (R.). Tetapi hal seperti ini hanya pengecualian lokal
karena secara umum tradisi Jawa membedakan gelar atau sebutan
antara laki-laki dengan perempuan.
Secara teknis perubahan gelar ini terjadi dengan sendirinya pada saat
peraturan terbaru ditetapkan. Tetapi secara administrasi perubahan
gelar harus dimohonkan kepada pejabat yang berwenang. Maka
kepatihan Kerajaan Surakarta menetapkan peraturan nomor 3 C/3/II
tanggal 19 Februari 1938 yang menentukan bahwa proses
permohonan gelar Raden Mas (R.M.) atau Raden Ajeng (R.A.)
mengikuti peraturan nomor 35C/1/I tanggal 12 Agustus 1931 yang
dimuat dalam Lembaran Kerajaan nomor 16 tanggal 15 Agustus 1931
yang berlaku untuk proses permohonan gelar Raden (R.) atau Raden
Rara (R.Rr.).
Raden (R.) adalah gelar untuk anggas dan udeg-udeg Raja Surakarta
atau Raja Yogyakarta atau Adipati Mangkunagaran atau Adipati
Pakualaman melalui garis keturunan laki-laki atau perempuan; atau
debog bosok dan keturunan selanjutnya dari Raja Surakarta atau Raja
Yogyakarta atau Adipati Mangkunagaran atau Adipati Pakualaman
hanya melalui garis keturunan laki-laki; atau keturunan para raja di
Pulau Jawa dan Pulau Madura selain dari Surakarta atau Yogyakarta
atau Mangkunagaran atau Pakualaman, keturunan para Raja Banten,
keturunan para wali yang disebut sunan, keturunan para bupati di luar
vorstenlanden, dan keturunan orang yang karena jasanya diberi gelar
Raden (R.) oleh pemerintah, hanya melalui garis keturunan laki-laki;
atau anak dan cucu para bupati di Jawa Tengah dan Jawa Timur di
luar vorstenlanden melalui garis keturunan laki-laki atau melalui garis
keturunan perempuan jika tradisi setempat membolehkan pewarisan
gelar melalui garis keturunan perempuan; atau cicit dan keturunan
selanjutnya dari para bupati di Jawa Tengah dan Jawa Timur di luar
vorstenlanden hanya melalui garis keturunan laki-laki; atau keturunan
Kyai Tumenggung Puspanagara dari Gresik atau Kyai Kramajaya dari
Kanoman di Surabaya yang menurut tradisi sebelumnya sudah
memakai gelar Ngabehi (Ng.) atau Kyai Ngabehi (Ky.Ng.) atau Mas
Ngabehi (M.Ng.) hanya melalui garis keturunan laki-laki.
Raden Harya (R.H.) adalah gelar untuk anak, cucu, dan cicit penguasa
di Pulau Madura yang bergelar sultan hanya melalui garis keturunan
laki-laki; atau anak dan cucu penguasa di Pulau Madura yang bergelar
panembahan atau pangeran adipati hanya melalui garis keturunan
laki-laki; atau anak bupati di Pulau Madura.
Raden Panji (R.Pj.) adalah gelar untuk piut dan anggas penguasa di
Pulau Madura yang bergelar sultan hanya melalui garis keturunan
laki-laki; atau cicit dan piut penguasa di Pulau Madura yang bergelar
panembahan atau pangeran adipati hanya melalui garis keturunan
laki-laki; atau cucu dan cicit bupati di Pulau Madura hanya melalui
garis keturunan laki-laki; atau keturunan Kyai Tumenggung
Candranagara dari Kasepuhan di Surabaya yang menjabat sebagai
bupati dan anak bupati tersebut hanya melalui garis keturunan laki-
laki.
Gelar Jabatan:
Secara umum hierarki pegawai istana atau pejabat negara di Kerajaan
Mataram Islam berurutan dari yang terendah sampai yang tertinggi
yaitu : jajar, bekel, lurah, mantri, panewu, kaliwon, wadana, bupati,
bupati nayaka, dan perdana menteri atau patih kerajaan. Jabatan jajar,
bekel, lurah, dan demang tidak mempunyai gelar khusus sehingga
seorang yang menjabat pada posisi tersebut disapa dengan gelar
keturunan diikuti nama jabatan (e.g. Mas Jajar, Raden Jajar, Mas
Bekel, Raden Bekel, Mas Lurah, Raden Lurah, Mas Demang, Raden
Demang). Sedangkan jabatan yang lebih tinggi seperti mantri,
panewu, kaliwon, atau wadana mempunyai gelar khusus sehingga
seorang yang menjabat pada posisi tersebut disapa dengan gelar
keturunan diikuti gelar jabatan (e.g. Mas Ngabehi, Raden Ngabehi).
Sebagaimana gelar keturunan, istilah jabatan dan posisi jabatan juga
mengalami beberapa kali perubahan. Contoh : Sunan Pakubuwana X
mengganti istilah kaliwon menjadi bupati anom dengan gelar yang
dinaikkan dari Ngabehi (Ng.) menjadi Tumenggung (T.). Pada
Kerajaan Surakarta dan Kerajaan Yogyakarta posisi perdana menteri
atau patih kerajaan membawahi semua jenis bupati, karena itu dia
bergelar Adipati (Ad.). Sedangkan pada Kadipaten Mangkunagaran
dan Kadipaten Pakualaman penguasanya adalah seorang adipati dan
karena itu hanya penguasa seorang yang bisa bergelar Adipati (Ad.),
maka posisi perdana menteri atau patih kadipaten hanya bergelar
Tumenggung (T.) dan disebut sebagai bupati patih. Gelar patih pada
Kerajaan Surakarta dan Kerajaan Yogyakarta adalah Kangjeng Raden
Adipati (K.R.Ad.) tanpa memandang apakah dia masih cucu, cicit,
piut, dan anggas raja yang berhak memakai gelar Raden Mas (R.M.)
atau keturunan rakyat biasa yang hanya berhak memakai gelar Mas
(M.).
Gelar Ratu (Rt.) yang hanya untuk perempuan tidak bisa dirangkap
dengan gelar Raden Ajeng (R.A.) atau Raden Ayu (R.Ay.) atau Raden
Rara (R.Rr.) atau Raden Nganten (R.Ngt.) atau Mas Ajeng (M.A.)
atau Mas Ayu (M.Ay.) atau Mas Rara (M.Rr.) atau Mas Nganten
(M.Ngt.) karena gelar Ratu (Rt.) menggantikan gelar keturunan.
Contoh : gelar seorang Kangjeng Raden Ayu (K.R.Ay.) yang diberi
gelar Ratu (Rt.) berubah menjadi Kangjeng Ratu (K.Rt.) atau Gusti
Kangjeng Ratu (G.K.Rt.). Pemberian gelar Ratu (Rt.) kepada putri
raja biasanya dilakukan pada saat dia akan menikah dengan seorang
raja atau pangeran. Walaupun demikian, jika raja berkenan maka
seorang perempuan dari keturunan jauh raja atau keturunan rakyat
biasa bisa diberi gelar Ratu (Rt.) asalkan dia menikah dengan raja atau
pangeran. Karena hanya Raja Surakarta dan Raja Yogyakarta yang
berwenang memberi gelar Ratu (Rt.), maka Adipati Mangkunagaran
membuat gelar Putri (Pt.) sebagai varian gelar Ratu (Rt.) untuk istri
permaisuri adipati.
Gelar Kehormatan:
Sebagaimana diuraikan dalam pendahuluan, gelar kehormatan bisa
jadi beririsan dengan gelar keturunan dan gelar jabatan. Karena itu
maka ada gelar kehormatan yang bisa diberikan raja atau adipati
kepada orang yang dipandang berjasa tanpa memperhatikan latar
belakang orang itu dari keturunan bangsawan atau keturunan rakyat
biasa dan ada pula gelar kehormatan yang hanya bisa diberikan raja
atau adipati kepada orang yang berjasa dengan memperhatikan latar
belakang orang itu dari keturunan bangsawan atau keturunan rakyat
biasa.
Lain-lain:
Kerajaan Surakarta, Kerajaan Yogyakarta, Kadipaten
Mangkunagaran, dan Kadipaten Pakualaman masing-masing
berwenang dan memiliki instansi khusus untuk menerbitkan surat
keterangan mengenai silsilah seseorang dari raja atau adipati dan
karena itu juga meneguhkan gelar keturunan yang sesuai. Instansi
tersebut di Kerajaan Surakarta disebut Kusumawandawa, di Kerajaan
Yogyakarta disebut Tepas Dharah Dalem, di Kadipaten
Mangkunagaran disebut Kawadanan Satriya, dan di Kadipaten
Pakualaman disebut Kawadanan Hageng Kasantanan. Sedangkan
surat keterangannya di Kerajaan Surakarta disebut Layang Pikukuh
Dharah Dalem, di Kerajaan Yogyakarta disebut Layang Kakancingan
Dharah Dalem, di Kadipaten Mangkunagaran disebut Piyagam
Santana, dan di Kadipaten Pakualaman disebut Nawala Kakancingan.
Gelar Kebangsawanan Suku Sunda:
Sementara dalam Suku Sunda, gelar kebangsawanan adalah Raden,
dengan Nama Keluarga pada akhir namanya.