Anda di halaman 1dari 139

NILAI MORAL KEWARGANEGARAAN DALAM

DONGENG MBAH JIWO; SENI MEMBUAL PARA BINATANG

KARYA SUJIWO TEJO SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP

PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi


Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd.)

Oleh:

FAHMI AIS ALZUHDI


11160130000067

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2023
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
i
ii
ABSTRAK
FAHMI AIS ALZUHDI, NIM: 11160130000067, Skripsi “Nilai Moral
Kewarganegaraan dalam Dongeng Mbah Jiwo; Seni Membual Para Binatang
Karya Sujiwo Tejo” Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen
Pembimbing: Rosida Erowati, M.Hum.

Fabel karya Sujiwo Tejo banyak menceritakan berbagai aspek kehidupan,


mulai dari kehidupan sosial, politik hingga kenegaraan. Dari sekian banyak nilai
moral yang terkandung di dalamnya, nilai moral kewarganegaraan menjadi titik
fokus utama dalam penelitian ini. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk
mengungkap nilai moral kewarganegaraan dan implikasinya terhadap pembelajaran
sastra di sekolah. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan
pendekatan pragmatik sastra. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian
yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada
kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pragmatik sastra, teori nilai
moral, teori kewarganegaraan, teori fabel dan unsur pembangunan karya sastra.
Dalam fabel Dongeng Mbah Jiwo; Seni Membual Para Binatang, ditemukan
beberapa nilai moral kewarganegaraan melalui dialog para tokoh maupun narator
cerita. Beberapa nilai moral kewarganegaraan tersebut adalah nilai nasionalisme
memiliki 5 data kutipan, nilai toleransi 2 data kutipan, nilai tanggung jawab warga
negara 3 data kutipan, dan nilai keadilan sosial 2 data kutipan. Berdasarkan hasil
analisis tersebut, nilai moral kewarganegaraan dalam karya sastra dapat digunakan
sebagai materi pembelajaran Bahasa Indonesia untuk kelas XII.
Kata Kunci: Fabel, Nilai Moral Kewarganegaraan, Sujiwo Tejo

iii
ABSTRACT
FAHMI AIS ALZUHDI, NIM: 11160130000067, Thesis "The Moral Value of
Citizenship in Dongeng Mbah Jiwo; Seni Membual para Binatang by Sujiwo
Tejo" Indonesian Language and Literature Education Study Program, Faculty of
Tarbiyah and Teacher Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University
Jakarta. Supervising Lecturer: Rosida Erowati, M.Hum.
Sujiwo Tejo's fables tell many aspects of life, ranging from social, political to state
life. Of the many moral values contained in it, the moral value of citizenship is the
main focal point in this study. Therefore, this study aims to uncover the moral value
of citizenship and its implications for literature learning in schools. This research
uses qualitative descriptive methods with a literary pragmatic approach.
Qualitative research methods are research methods based on the philosophy of
postpositivism, used to examine the condition of natural objects, where the
researcher is the key instrument. The theories used in this study are literary
pragmatic theory, moral value theory, citizenship theory, fable theory and elements
of the construction of literary works. In the fables of Mbah Jiwo's Fairy Tale; The
Art of Bragging the Animals, discovered some of the moral values of citizenship
through the dialogue of the characters as well as the narrators of the story. Some
of the moral values of citizenship are the value of nationalism having 5 citation
data, tolerance value 2 citation data, citizen responsibility value 3 citation data,
and social justice value 2 citation data. Based on the results of the analysis, the
moral value of citizenship in literary works can be used as Indonesian learning
material for class XII.
Keywords: Fables, Moral Values of Citizenship, Sujiwo Tejo

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Swt. yang telah melimpahkan segala rahmat serta
hidayah kepada seluruh makhluk-Nya, tak terkecuali kepada penulis. Atas izin
semesta dan kehendak Sang Kuasa, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul: “Nilai Moral Kewarganegaraan dalam Dongeng Mbah Jiwo; Seni
Membual Para Binatang Karya Sujiwo Tejo Serta Implikasinya Terhadap
Pembelajaran Sastra di Sekolah”. Skripsi ini membahas mengenai unsur-unsur nilai
moral kewarganegaraan yang terkandung di dalam karya sastra yang berjudul
Dongeng Mbah Jiwo; Seni Membual Para Binatang Karya Sujiwo Tejo, dan hasil
pembahasan tersebut diimplikasikan ke dalam pembelajaran sastra di sekolah.

Salawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad saw.
yang telah membimbing umatnya dari zaman jahiliah menuju zaman keislaman dan
yang akan dinantikan syafaatnya di akhirat kelak. Skripsi ini disusun untuk
memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana pendidikan (S.Pd.) pada
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis
sampaikan ungkapan rasa hormat dan terima kasih ini kepada:

1. Dr. Sururin, M.Ag., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum., Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
3. Novi Diah Haryanti, M.Hum., Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
4. Rosida Erowati, M.Hum., sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan
arahan, bimbingan, motivasi, dan saran kepada penulis dalam menyusun
sekaligus menyelesaikan skripsi ini;

v
5. Seluruh dosen dan tenaga pendidik di Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia yang telah mentransfer ilmu serta pengetahuan kepada penulis
selama menempuh studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta;
6. Mukhlisoh S.Pd., dan Irfan Rifqi Aiman sebagai pelengkap hidup yang tiada
henti memberikan motivasi serta semangat kepada penulis sehingga penulis
bisa menyelesaikan skripsi ini.
7. Teman-teman indekos Bu Leni yang selalu mengisi hari-hari penulis selama
masa kuliah.
8. Teman-teman masa SMA yang sampai saat ini masih membersamai dan selalu
menguatkan dalam segala hal, terkhusus untuk Dias Nur Fadila, Irfan Maulana,
Rizki Maulana, dan Figur Afiat Pilambang.
9. Teman-teman kelas A dan seluruh teman-teman angkatan 2016 Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah berjuang bersama dalam menempuh
studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis berharap semoga seluruh pihak yang telah disebut di atas, maupun
pihak-pihak yang belum dapat penulis sebutkan satu-persatu dan telah membantu
dalam penyusunan skripsi ini agar selalu dilimpahkan rezeki, kesehatan,
kebahagiaan, dan keberkahan dari Allah Swt. Kritik dan saran dari seluruh pihak
sangat diharapkan oleh penulis demi menjadikan skripsi ini lebih baik lagi. Semoga
dengan hadirnya skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis, pembaca, dan semesta.

Ciputat, 24 Desember 2022

Penulis

vi
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI ................................................. ii


LEMBAR PENGESAHAN . ........................................................................................... iv
SURAT PERNYATAAN KARYA ILMIAH ………………………………………...ii

ABSTRAK ........................................................................................................................ iii


ABSTRACT ....................................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... v
DAFTAR ISI.................................................................................................................... vii
BAB I .................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah.......................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................................................ 5
C. Batasan Masalah ..................................................................................................... 6
D. Rumusan Masalah ................................................................................................... 6
E. Tujuan Penelitian .................................................................................................... 6
F. Manfaat Penelitian .................................................................................................. 7
G. Metodologi Penelitian ............................................................................................. 7
BAB II .............................................................................................................................. 10
KAJIAN TEORI ............................................................................................................. 10
A. Teori Pragmatik Sastra .......................................................................................... 10
1. Pengertian Pragmatik ........................................................................................ 10
2. Ciri-ciri Pendekatan Pragmatik Sastra .............................................................. 12
B. Teori Nilai Moral .................................................................................................. 13
1. Pengertian Nilai ................................................................................................ 13
2. Pengertian Moral ............................................................................................... 15
3. Moral dalam Karya Sastra................................................................................. 17
4. Jenis Nilai Moral dalam Karya Sastra............................................................... 19
5. Bentuk Penyampaian Nilai Moral dalam Karya Sastra..................................... 21
C. Teori Kewarganegaraan ........................................................................................ 22
1. Pengertian ......................................................................................................... 22

vii
2. Hak dan Kewajiban Warga Negara................................................................... 24
3. Niai-nilai Kewarganegaraan ............................................................................. 25
D. Teori Fabel ............................................................................................................ 28
1. Pengertian ......................................................................................................... 28
2. Struktur Fabel.................................................................................................... 29
3. Kaidah Kebahasaan Fabel ................................................................................. 30
E. Unsur Pembangunan Karya Sastra........................................................................ 31
1. Unsur Intrinsik .................................................................................................. 32
2. Unsur Ekstrinsik................................................................................................ 39
F. Penelitian yang Relevan ........................................................................................ 39
BAB III............................................................................................................................. 41
BIOGRAFI PENGARANG DAN SINOPSIS DONGENG MBAH JIWO; SENI
MEMBUAL PARA BINATANG................................................................................... 41
A. Biografi Pengarang ............................................................................................... 41
B. Sinopsis Dongeng Mbah Jiwo; Seni Membual Para Binatang.............................. 44
BAB IV ............................................................................................................................. 48
HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN ................................................................... 48
A. Analisis Unsur Intrinsik ........................................................................................ 48
1. Tema ..................................................................................................................... 48
2. Tokoh dan Penokohan........................................................................................... 56
3. Alur ....................................................................................................................... 64
4. Sudut Pandang ...................................................................................................... 73
5. Latar ...................................................................................................................... 76
6. Gaya Bahasa.......................................................................................................... 82
7. Amanat .................................................................................................................. 88
B. Analisis Nilai Moral Kewarganegaraan ................................................................ 89
1. Nilai Nasionalisme ............................................................................................ 90
2. Nilai Toleransi .................................................................................................. 94
3. Nilai Tanggung Jawab ...................................................................................... 96
4. Nilai Keadilan Sosial ........................................................................................ 99
C. Implikasi Hasil Penelitian pada Pembelajaran Sastra di Sekolah ....................... 101
BAB V ............................................................................................................................ 106
PENUTUP...................................................................................................................... 106

viii
A. Kesimpulan ......................................................................................................... 106
B. Saran ................................................................................................................... 107
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 108
LAMPIRAN-LAMPIRAN ........................................................................................... 112
LEMBAR UJI REFERENSI ........................................................................................ 113
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAAN ................................................ 121
PROFIL PENULIS ....................................................................................................... 128

ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap karya yang dilahirkan, baik berbentuk lisan maupun tulisan, pastinya
memiliki pesan moral yang hendak disampaikan oleh penulisnya. Setiap karya
sastra yang dilahirkan tidak hanya bertujuan untuk memberikan kenikmatan
kepada para pembacanya, lebih dari itu karya sastra sarat akan makna yang
harus diresapi dan dipahami oleh para pembacanya. Dengan demikian seorang
sastrawan dalam membuat karya sastra harus memiliki kekuatan pikiran,
imajinasi, dan tata bahasa yang elegan untuk menyampaikan pesan yang ada di
dalam karyanya.
Hadirnya karya sastra di tengah kehidupan masyarakat telah memberikan
bukti konkret bahwa karya sastra menjadi bagian kehidupan yang dapat
dinikmati, selain itu karya sastra juga dapat dikatakan sebagai ungkapan yang
penuh dengan keindahan bahasa dan kedalaman makna, bahkan terdapat juga
nilai moral di dalamnya. Menurut Zainul, nilai moral yang terdapat pada sebuah
karya sastra merupakan unsur ekstrinsik yang secara umum dibangun dalam
sebuah karya pada waktu tertentu atau bahkan berkaitan dengan latar belakang
si penulis.1
Sebagai sebuah kehidupan yang dikarang, karya sastra memiliki banyak
nilai yang dapat dipetik khususnya pada aspek moralitasnya. Selain itu, karya
sastra juga menjadi sarana komunikasi antara pengarang dengan pembacanya.
Nilai yang memiliki aspek moralitas tersebut dapat diambil melalui tokoh-tokoh
dan beragam alur cerita. Pembaca juga diharapkan dapat mengambil hikmah
dari pesan-pesan yang disampaikan atau diamanatkan. Menurut Wahyuni,
pengarang selalu berusaha agar pembaca mampu memperoleh nilai-nilai
tersebut dan bisa merefleksikannya dalam kehidupan. 2

1
Muh. Zainul Arifin, “Nilai Moral Karya Sastra sebagai Alternatif Pendidikan Karakter
(Novel Amuk Wisanggeni Karya Suwito Sarjono)”, Jurnal Literasi, Vol. 3, No. 1, April 2019, h. 33
2
Sri Wahyuni, “Aspek Moral dalam Novel Petruk Dadi Ratu Karya Suwardi Endraswara:
Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar do SD”, Jurnal Statistika, Vol.
3, No. 1, 2017, h. 102.

1
Nilai moral digunakan dalam sebuah kajian sastra merupakan upaya untuk
memahami substansi dari sebuah karya sastra yang mengandung pelajaran bagi
kehidupan manusia. Oleh sebab itu, nilai moral sangat penting untuk diajarkan
pada setiap generasi supaya tidak menjadi manusia yang tidak beretika atau
tidak memiliki nilai moral dalam kehidupannya.
Kehidupan manusia dalam berbangsa dan bernegara baik secara pribadi
maupun kelompok erat kaitannya dengan nilai, norma dan moral. Di mana pun
manusia berkembang dalam interaksi nilai, norma dan moral akan memberi
motivasi dalam bersikap dan bertindak dalam masyarakat. Oleh sebab itu,
keberadaan nilai adalah suatu yang sangat berharga dan indah karena mampu
menyadarkan manusia akan harkat dan martabat. Nilai itu sendiri bersumber
pada budi pekerti yang memiliki fungsi untuk mendorong dan mengarahkan
sikap dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem tentu saja merupakan
salah satu wujud kebudayaan, serta sistem sosial dan karya.3
Sementara moral merupakan ajaran tentang baik dan buruk yang diterima
oleh umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya yang
meliputi akhlak, budi pekerti, dan susila.4 Jenis moral dalam karya sastra
memiliki banyak persoalan hidup maupun persoalan yang menyangkut harkat
dan martabat manusia yang dapat diangkat sebagai suatu ajaran nilai moral
dalam sebuah karya sastra. Persoalan hidup manusia itu dapat dibedakan
menjadi banyak persoalan yang tentunya banyak terjadi pada diri manusia
seperti hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia,
dan hubungan manusia dengan lingkungan hidup sosial, yang termasuk
lingkungan alam.5
Setiap masyarakat dalam suatu negara sudah tentu memiliki berbagai
problematika yang melingkupi warganegaranya. Indonesia sebagai negara yang
multikultural; terdiri dari berbagai etnis, suku, bangsa, dan bahasa, akhir-akhir

3
Hamid Darmadi, Apa Mengapa Bagaimana: Pembelajaran Pendidikan Moral Pancasila
dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) Konsep Dasar Strategi Memahami
Ideologi Pancasila dan Karakter Bangsa, (Jakarta: An1mage, 2020), h. 55.
4
Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2013), h. 429.
5
Ibid, h.441-442.

2
ini secara sosial selalu menghadapi masalah intoleransi, sedangkan secara
politik negara Indonesia selalu dihadapkan dengan masalah perbedaan
pandangan atau pilihan politik, saling adu domba bahkan persoalan kebijakan
pemerintah yang seolah-olah tidak berpihak pada kepentingan masyarakat.
Persoalan kewarganegaraan tersebut tentu saja tidak boleh dibiarkan begitu
saja, supaya negara dan masyarakat tidak terjerumus pada pertikaian yang
berpotensi menghancurkan negara itu sendiri. Oleh sebab itu, dibutuhkan
sebuah pembelajaran kewarganegaraan yang begitu masif sehingga serumit
apapun persoalan yang terjadi dalam suatu negara, masayarakat tetap meyakini
bahwa negara yang sedang didiami harus tetap dipertahankan keutuhannya.
Pendidikan kewarganegaraan tidak hanya didapat di dalam ruang-ruang
formal, melainkan dapat dipelajari melalui karya sastra yang dapat dibaca dan
dinikmati oleh seluruh masyarakat, baik yang masih duduk di bangku sekolah
maupun yang sudah tamat sekolah. Salah satu karya sastra yang akan diteliti
menggunakan tinjauan nilai moral kewarganegaraan adalah Dongeng Mbah
Jiwo; Seni Membual Para Binatang karya Sujiwo Tejo.
Karya sastra milik Sujiwo Tejo ini sangat menarik untuk dikaji karena di
dalamnya mengandung berbagai macam persoalan. Memang tidak ada masalah
utama yang dibahas dalam buku karangan Sujiwo Tejo ini, hanya saja secara
keseluruhan buku ini merupakan potret kehidupan masyarakat Indonesia
dengan segenap persoalannya, mulai dari persoalan sosial, hukum, politik,
kenegaraan, bahkan korupsi. Oleh sebab itu, dalam karya sastra ini hanya akan
diteliti cerita-cerita yang berkaitan erat dengan sisi moral kewarganegaraan.
Teori pragmatik sastra ini merupakan suatu pendekatan yang digunakan
untuk melihat sejauh mana kebermanfaatan suatu karya sastra terhadap
pembacanya. Pendekatan pragmatik sastra merupakan sebuah pendekatan yang
melihat karya sastra sebagai sebuah sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu
pada para pembacanya. Tujuan tersebut dapat berupa politik, pendidikan, moral,
agama maupun tujuan lainnya. Zainudin Fananie sebagaimana mengutip Teeuw
berpendapat bahwa pendekatan prakmatik merupakan suatu pendekatan yang
didasarkan pada para pembacanya.

3
Nilai moral kewarganegaraan digunakan dengan tujuan menangkap nilai-
nilai yang tersimpan dalam Dongeng Mbah Jiwo, yang secara umum membahas
tentang suatu negara dengan segenap persolannya. Misalnya dalam salah satu
cerita yang berjudul “Sepasang Rusa Dilanda Asmara” yang menceritakan
tentang perdebatan seekor rusa mengenai rusa pribumi dan non-pribumi.
Terdapat pula cerita tentang “Gajah Laut Menagih Janji”, yang dapat
disimpulkan menceritakan tentang seekor Gajah Laut menagih janji kepada
pemimpinnya yang merupakan Raja Singa, sementara si Raja Singa enggan
menepati janjinya, dan masih ada beberapa cerita lainnya yang mengisahkan
tentang kehidupan kewarganegaraan.
Sujiwo Tejo sendiri merupakan seniman multitalenta asal Indonesia yang
akhir-akhir ini selalu menarik perhatian publik. Seniman yang satu ini dikenal
memiliki karya-karya yang unik, mulai dari buku sastra, esai, lagu, lukisan
bahkan film. Keunikan karya sastra yang dimiliki oleh Sujiwo Tejo dapat dilihat
dari judulnya yang cukup nyentrik seperti; Tuhan Maha Asyik, Lupa Endonesia,
Tembang Tali Jiwo, Republik J#ncukers, Ngawur Karena Benar dan lain
sebagainya. Ketertarikan penulis terhadap karya Sujiwo Tejo sebagai bahan
penelitian, karena Sujiwo Tejo mampu menciptakan karya sastra yang
mengandung pesan tersirat khususnya yang berhubungan dengan kehidupan
sosial dan politik, sehingga karya sastranya mampu berkontribusi memberikan
pengetahuan dalam hal kehidupan sosial dan politik.
Sebagaimana yang telah disampaikan pada paragraf sebelumnya, bahwa
pembelajaran kewarganegaraan tidak hanya didapat dari pembelajaran
melainkan juga bisa didapat dari membaca karya sastra melalui bahasa yang
disampaikan oleh pengarangnya. Pembelajaran bahasa berperan sangat sentral
dalam perkembangan intelektual, sosial dan emosional peserta didik.
Pembelajaran bahasa diharapkan dapat membantu peserta didik mengenal
dirinya, budayanya, dan budaya orang lain. Belajar bahasa dapat dilakukan
dengan membaca karya sastra, di samping menunjukkan sifat yang kreatif sastra
juga berperan untuk menjadi penerang bagi manusia untuk mencari nilai-nilai

4
yang dapat menolong manusia menemui hakikat kemanusiaan yang
berkepribadian.6 Membaca karya sastra yang bernuansa kewarganegaraan
sangat penting bagi peserta didik hari ini, sebab karya sastra yang akan diteliti
ini sangat kaya akan makna dalam kehidupan, khususnya dalam hal
kewarganegaraan. Peserta didik akan mampu menangkap nilai
kewarganegaraan dengan cara yang menyenangkan atau dengan kata lain dapat
memahami nilai kewarganegaraan dengan cara membaca literatur yang tidak
terlalu kaku. Pada akhirnya, pembelajaraan sastra akan menjadi salah satu
alternatif untuk belajar kewarganegaraan dengan cara yang tidak rumit dan
kaku sebagaimana belajar kewarganegaraan dengan kurikulum resmi di
sekolah.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka akan diteliti aspek nilai moral
kewarnegaraan dalam Dongeng Mbah Jiwo karya Sujiwo Tejo, karena
berdasarkan penelusuruan terhadap buku tersebut banyak cerita-cerita yang
sarat akan makna kehidupan di sekitar kita. Dengan demikian diangkat judul
penelitian: “Nilai Moral Kewarganegaraan dalam Dongeng Mbah Jiwo; Seni
Membual Para Binatang Karya Sujiwo Tejo”. Alasan pemilihan buku tersebut
sebagai bahan penelitian adalah, karena cerita ini banyak menampilkan
persoalan kewarganegaraan yang akhir-akhir ini terjadi di negara kita, serta
banyak nilai moral yang sangat bermanfaat bagi pembaca. Pemilihan buku ini
sangat tepat untuk memahami berbagai informasi dan pesan moral penulis
kepada pembacanya.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, identifikasi masalah yang dapat
diajukan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Rendahnya nilai moral kewarganegaraan yang dimiliki oleh pemimpin
atau masyarakat terkait dalam Dongeng Mbah Jiwo; Seni Membual
Para Binatang.

6
Riana, “Pembelajaran Sastra Bahasa Indonesia di Sekolah”, Jurnal Warta
Dharmawangsa, Vol. 14, No. 3, 2020, h. 419

5
2. Terbatasnya wawasan dalam menelaah cerita fabel kritik sosial yang
bermuatan kewarganegaraan.
3. Minimnya pemahaman siswa dalam membaca fabel yang bernuansa
kewarganegaraan.
4. Kurangnya pemahaman masyarakat dalam mencerna cerita fabel yang
bernuansa masalah-masalah kekinian yang terjadi di sekitar kita.

C. Batasan Masalah
Penelitian ini tidak membahas seluruh permasalahan yang ditentukan di
atas, tetapi hanya berfokus pada nilai moral yang terdapat dalam Dongeng
Mbah Jiwo; Seni Membual Para Binatang, khususnya pada sub judul cerita
“Sepasang Rusa Dilanda Asmara”, “Korupsi Ala Kadal dan Buaya”, “Gajah
Laut Menagih Janji”, “Bangau Putih, Penumpang Terang”, dan “Pak Babi yang
Kagetan”.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah dan batasan masalah di atas, maka dapat
membuat rumusan masalah penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana nilai moral kewarganegaraan yang terdapat dalam Dongeng
Mbah Jiwo; Seni Membual Para Binatang?
2. Bagaimana implikasi nilai moral kewarganegaraan dalam Dongeng
Mbah Jiwo; Seni Membual Para Binatang terhadap pembelajaran sastra
di sekolah?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui nilai moral kewarganegaraan yang terdapat dalam
Dongeng Mbah Jiwo; Seni Membual Para Binatang.
2. Untuk mengetahui implikasi nilai moral kewarganegaraan dalam
Dongeng Mbah Jiwo; Seni Membual Para Binatang terhadap
pembelajaran sastra di sekolah.

6
F. Manfaat Penelitian
Setiap penelitian pastinya memiliki harapan positif, salah satunya adalah
bagaimana penelitian yang dilakukan dapat bermanfaat bagi semua kalangan.
Adapun manfaat yang diharapkan dengan dilakukannya penelitian ini sebagai
berikut:
1. Manfaat Teoretis
Peneltian ini secara umum diharapkan dapat memberikan
sumbangsih atas pengembangan ilmu pengetahuan sastra Indonesia,
serta secara khusus dalam mendalami dan memahami nilai moral yang
terdapat dalam karya Sujiwo Tejo yang berjudul Dongeng Mbah Jiwo;
Seni Membual Para Binatang. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan
menjadi acuan bagi peneliti selanjutnya yang akan meneliti topik yang
sama.
2. Manfaat Praktis
Selain diharapkan bermanfaat secara teoretis, penelitian ini juga
diharapkan bermanfaat bagi para pembaca, peneliti selanjutnya, dan
para guru khususnya di bidang pendidikan bahasa dan sastra.

G. Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) yang
dilakukan terhadap karya sastra yang berjudul Dongeng Mbah Jiwo; Seni
Membual Para Binatang. Pendekatan yang digunakan dalam penelian ini
adalah pendekatan pragmatik sastra. Pendekatan pragmatik sastra menurut
Zainuddin Fananie yaitu pendekatan yang didasarkan pada pembaca.
Keberhasilan suatu karya sastra diukur dari pembacanya. Karya sastra yang
berhasil adalah karya sastra yang dianggap mampu memberikan kesenangan
dan nilai.7 Selain itu, pendekatan pragmatik sastra juga akan mengkaji karya
sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan dan menyampaikan tujuan
tertentu seperti pendidikan, moral, agama dan lain sebagainya.

7
Zainuddin Fananie,Telaah Sastra, (Surakarta: Muhammadiyah University, 2000), h. 113

7
Penelitian ini juga bersifat deskriptif-analitis, yaitu suatu penelitian yang
berfungsi mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap objek yang diteliti
melalui data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa melakukan
analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum. Metode penelitian
kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat
postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah,
dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci. 8 Artinya, penelitian deskriptif-
analitis hanya memusatkan perhatian pada masalah yang telah ditentukan lalu
kemudian hasilnya diolah untuk diambil kesimpulannya.
1. Sumber Data
Sumber data utama dalam penelitian ini adalah karya sastra milik
Sujiwo Tejo yang berjudul Dongeng Mbah Jiwo; Seni Membual Para
Binatang yang selanjutnya akan disingkat (DMJ) diterbitkan oleh Diva
Press cetakan pertama pada November 2021. Buku ini terdiri dari 5 bagian
dan 50 judul cerita, dengan tebal keseluruhan 238 lembar. Karena penelitian
ini berfokus pada nilai moral kewarganegaraan, maka akan diambil
beberapa judul cerita yang berkaitan dengan nilai moral kewarganegaraan.
Adapun judul-judul cerita tersebut sebagai berikut:
a. Sepasang Rusa Dilanda Asmara (SRDA)
b. Korupsi Ala Kadal dan Buaya (KAKB)
c. Gajah Laut Menagih Janji (GLMJ)
d. Bangau Putih, Penumpang Terang (BPPT)
e. Pak Babi yang Kagetan (PBK)
Selain sumber data di atas, digunakan juga data-data pendukung untuk
menunjang penelitian ini. Data pendukung tersebut dapat berupa buku,
jurnal, artikel, dan sebagainya yang berkaitan dengan penelitian ini.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan Langkah yang paling utama
dalam penelitian, karena tujuan utama dari peneltian adalah mendapatkan

8
Sugiono, Metodologi Penelitian Pendidikan, ( Bandung: Alfabeta, 2008) h. 15

8
data. Tanpa mengetahui Teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan
mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan. 9 Karena
penelitian ini dilakukan terhadap teks karya sastra, maka cara yang
dilakukan dalam mengumpulkan data penelitian adalah membaca,
mencatat, dan menganalisis seluruh kalimat yang berkaitan dengan nilai
moral kewarganegaraan.
3. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dilakukan terhadap karya sastra milik Sujiwo
Tejo yang berjudul Dongeng Mbah Jiwo; Seni Membual Para Binatang.
Analisis data dilakukan dengan cara deskriptif analitis. Hal ini dikarenakan
data yang ada memerlukan penjelasan secara deskriptif, sedangkan logika
(silogisme) yang digunakan adalah deduktif dan induktif. Deduktif adalah
mengumpulkan data umum untuk memperoleh kesimpulan khusus,
sedangkan induktif adalah mengumpulkan data khusus untuk menuju
kesimpulan yang bersifat umum. Secara sistematis langkah analisis yang
akan ditempuh adalah:
a. Menganalisis unsur-unsur intrinsik pada bagian cerita fabel
dalam karya sastra DMJ di antaranya: “SRDA”, “KAKB”,
“GLMJ”, “BPPT”, dan “PBK”.
b. Menganalisis diksi maupun kalimat yang bersinggungan dengan
kewarganegaraan dalam fabel tersebut. Proses analisis tersebut
dilakukan dengan cara mencatat, membaca, dan
menginterpretasikan.
c. Mengimplikasikan fabel yang bernilai kewarganegaraan pada
pembelajaran sastra di sekolah, dan memberikan kesimpulan
berdasarkan analisis yang telah dilakukan.

9
Ibid, hlm. 308

9
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Teori Pragmatik Sastra
1. Pengertian Pragmatik
Pendekatan pragmatik sastra merupakan suatu pendekatan yang
digunakan untuk melihat sejauh mana kebermanfaatan suatu karya sastra
terhadap pembacanya. Pendekatan pragmatik sastra merupakan sebuah
pendekatan yang melihat karya sastra sebagai sebuah sarana untuk
menyampaikan tujuan tertentu pada para pembacanya. Tujuan tersebut
dapat berupa politik, pendidikan, moral, agama maupun tujuan lainnya.
Zainudin Fananie sebagaimana mengutip Teeuw berpendapat bahwa
pendekatan prakmatik merupakan suatu pendekatan yang didasarkan pada
para pembacanya.
Di sisi lain, Tarigan berpendapat bahwa pendekatan pragmatik sastra
merupakan kajian mengenai relasi antara bahasa dan konteks yang
merupakan dasar bagi suatu catatan atau laporan pemahaman bahasa.
Artinya, kajian mengenai kemampuan penggunaan bahasa menghubungkan
serta menyerasikan kalimat dan konteks secara tepat. 10 Selain itu, teori
pragmatik sastra berupaya untuk menjelaskan pemikiran pembicara dan
para penyimak dalam menyusun hubungan suatu konteks atau realitas
dengan tanda kalimat dalam suatu proposisi, maka dari itu pragmatik sastra
merupakan bagian dari performansi.11
Selaras dengan pengertian di atas, Ramadhan Saleh mendefinisikan
bahwa pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya
sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan. Tujuan tersebut dapat
berupa tujuan pendidikan, moral, politik, agama atau tujuan lain. Bahkan
pendekatan pragmatik merupakan sesuatu yang dibuat atau diciptakan untuk

10
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Pragmatik, (Bandung: Penerbit Angkasa, 1986), h.
31
11
Ibid,

10
mencapai atau menyampaikan efek tertentu pada penikmat karya sastra,
baik berupa efek kesenangan, estetika atau efek pengajaran moral. 12
Selain berorientasi pada tujuan tertentu, pendekatan pragmatik juga
berorientasi pada pembaca. Suatu karya sastra dapat dikatakan berhasil
manakala mampu memberikan kesenangan dan nilai di dalam suatu karya
sastra. Pendekatan pragmatik akan lebih berhasil apabila pembaca karya
sastra memiliki ketertarikan dan pemahaman di bidang sastra, sehingga
karya sastra yang dibacanya melahirkan efek tersendiri bagi pembacanya.13
Hingga saat ini, pengertian pragmatik telah mengalami berbagai
perkembangan, setidaknya terdapat empat ruang lingkup yang tercakup
dalam pragmatik yaitu: 1) Pragmatics is the study of speaker meaning, 2)
Pragmatics is the study of contextual meaning, 3) pragmatics is the study of
how more gets communicated than is said, 4) Pragmatics is the study of the
expression of relative distance.14 Empat ruang lingkup tersebut memiliki
penjelasan pertama, pragmatik merupakan studi tentang maksud penutur,
sehingga dalam hal ini diperlukan penafsiran tentang apa yang dimaksud
orang terhadap suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu
berpengaruh terhadap apa yang dikatakan, serta diperlukan pertimbangan
tentang bagaimana cara penutur mengatur apa yang ingin mereka katakan
yang disesuaikan dengan orang yang diajak bicara, di mana, kapan, dan
dalam keadaan bagaimana. Kedua, pragmatik adalah studi tentang makna
kontekstual, bagaimana cara pendengar atau pembaca dapat menyimpulkan
tentang apa yang dituturkan agar tersampaikan melalui suatu interpretasi
makna yang dimaksudkan oleh penutur. Ketiga, pragmatik adalah studi
tentang bagaimana makna yang lebih banyak dikomukasikan daripada apa
yang sebenarnya dututurkan. Keempat, pragmatik adalah studi tentang
ungkapan jarak hubungan, artinya jawaban atau interpretasi mitra tutur

12
Ramadhan Saleh Lubis, dkk, “Analisis Kritik Sastra Menggunakan Pendekatan
Pragmatik Pada Antologi Cerpen Karya Hasan Al Banna”, Jurnal Bahasa KODE, Vol. 9, No. 4,
2020, h. 125.
13
Andri Wicaksono, dkk, Tentang Sastra; Orkestrasi Teori dan Pembelajarannya,
(Yogyakarta: Penerbit Garudhawaca, 2018), h. 81.
14
George Yule, Pragmatics, (Inggris: Oxford University Press, 1996), h. 3

11
didasarkan oleh jarak keakraban yang meliputi: keakraban fisik, sosial,
konseptual dan menyiratkan adanya pengalaman yang sama.
Levinson memberikan dua pengertian pragmatik yaitu: 1) pragmatics is
the study of the relations between language and context that are basic to an
account of language understanding (pragmatik adalah studi tentang
hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasar bagi akun pemahaman
bahasa) 2) pragmatics is the study of the ability of language users to pair
sentences with contexts in which they would be appropriate (pragmatik
adalah studi tentang kemampuan pengguna bahasa untuk memasangkan
kalimat dengan konteks di mana mereka akan sesuai).15
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat ditarik benang
merah mengenai pengertian pragmatik sastra adalah sebuah pendekatan
yang memandang suatu karya sastra sebagai sarana atau medium untuk
menyampaikan suatu tujuan kepada para pembacanya. Adapun tujuan
tersebut dapat berupa tujuan politik, budaya, sosial, pendidikan, moral, dan
lain sebagainya. Maka dari itu, pendekatan ini lebih cenderung menilai
karya sastra menurut keberhasilannya dalam mencapai tujuan yang hendak
disampaikan pada pembacanya.
2. Ciri-ciri Pendekatan Pragmatik Sastra
Pendekatan pragmatik sastra memiliki ciri-ciri tersendiri dalam
pengimplementasiannya. Atmazaki membagi ciri-ciri pendekatan
pragmatik sastra ke dalam beberapa bagian, sebagai berikut:
a. Karya sastra dapat memberikan manfaat
Keberadaan teks pada karya sastra yang dibaca oleh seseorang
mampu memberikan kesan tersendiri, sehingga seorang pembaca
dapat mengambil manfaat pada karya sastra yang dibacanya.
b. Pembaca sebagai subjek pendekatan pragmatik sastra
Pada tahap tertentu pendekatan pragmatik sastra memiliki
hubungan yang cukup kuat di dalam masyarakat, sehingga

15
Stephen C. Levinson, Pragmatics, (Inggris: Cambridge University Press, 1983), h. 21-
24

12
pendekatan ini memiliki manfaat terhadap perkembangan dan
penyebarluasan manfaat dalam karya sastra.
c. Bertujuan memberikan manfaat kepada pembaca
Berbagai persoalan yang dapat dipecahkan melalui pendekatan
pragmatik sastra salah satunya adalah anggapan masyarakat
terhadap sebuah karya sastra, baik sebagai pembaca eksplisit
maupun pembaca implisit. Oleh sebab itu, pembaca perlu
memberikan arti kepada karya sastra itu sendiri, karena jika karya
sastra dibiarkan begitu saja maka tidak akan berguna dan tidak dapat
dipahami.
B. Teori Nilai Moral
1. Pengertian Nilai
Ketika membahas mengenai nilai ada banyak pengertian yang
dikemukakan oleh berbagai ahli, artinya pengertian nilai sangatlah
kompleks dan beragam. Adanya sebuah nilai bagi manusia sangat berguna
karena menjadi ukuran dalam menentukan kebenaran dan mana yang salah.
Nilai berangkat dari sumber asalnya yaitu norma atau ajaran mulia yang
berlaku dalam masyarakat.
Nilai secara konseptual merupakan suatu yang sangat berharga dan
berkualitas bagi kehidupan manusia. Suatu hal dapat dikatakan bernilai
manakala sesuatu tersebut berharga dan dapat berguna bagi kehidupan
manusia. Selain itu, nilai juga sama dengan sesuatu yang dapat membuat
seseorang merasa senang, apalagi nilai tersebut sangat identik dengan apa
yang diinginkannya.16
Sejatinya nilai merupakan suatu hal yang terkandung dalam diri manusia
dan lebih memberi dasar pada prinsip akhlak yang merupakan dasar dari
keindahan dan efisiensi atau keutuhan hati. Nilai dapat diterima secara
universal jika menghasilkan suatu perilaku dan berdampak positif bagi
kehidupan diri sendiri maupun orang lain. Selain itu, nilai juga menjadi

16
Syarifuddin dan Ernita, Nilai dalam Wacana Filosofis, (Banda Aceh: Ushuluddin
Publishing, 2013), h. 1.

13
rujukan untuk bertindak, karena nilai merupakan standar dasar untuk
mempertimbangkan perilaku baik dan tidak baik untuk dilakukan.17
Nilai secara definitif adalah standar atau norma yang digunakan untuk
mengukur segala sesuatu. Nilai dapat didefinisikan ke dalam dua kerangka
yaitu kerangka psikologis dan sosiologis. Menurut Gordon Allport
sebagaimana dikutip oleh Abd. Haris, nilai berada dalam wilayah psikologis
yang disebut dengan keyakinan. Keyakinan berada di tempat yang paling
tinggi dibanding dengan wilayah lainnya, seperti hasrat, motif, sikap,
keinginan dan kebutuhan.18 Sedangkan secara sosiologis, nilai merupakan
patokan alternatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihan
diantara tindakan-tindakan yang bersifat alternatif. 19
Nilai secara global dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar
yaitu:20
a. Nilai yang berkenaan dengan kebenaran atau yang terkait dengan
nilai benar dan salah yang dibahas oleh logika.
b. Nilai yang berkenaan dengan kebaikan atau yang terkait dengan nilai
baik dan buruk yang dibahas oleh etika atau filsafat moral.
c. Nilai yang berkaitan dengan keindahan dan berkenaan dengan nilai
indah atau tidak yang dibahas oleh estetika.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nilai
merupakan sesuatu yang bersifat abstrak dan substansial mengenai perilaku
seseorang baik atau tidak, serta memiliki manfaat bagi manusia. Selain itu,
nilai juga merupakan sebuah keyakinan seseorang yang menjadi
pertimbangan sebelum menentukan pilihan yang menghasilkan perilaku
positif.

17
Heri Gunawan, Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi, (Bandung: Alfabeta,
2012), h. 31.
18
Abd. Haris, Etika Hamka: Konstruksi Etik Berbasis Rasional-Religius, (Yogyakarta:
LkiS, 2010), h. 30.
19
Ibid.
20
Ibid, h. 31.

14
2. Pengertian Moral
Secara etimologi, moral berasal dari bahasa latin yakni mos yang
berarti kebiasaan atau adat. Kata mos dalam bahasa latin sama dengan etos
dalam bahasa Yunani. Secara umum, pengertian moral adalah suatu hukum
perilaku yang diterapkan kepada setiap individu dalam bersosialisasi
dengan sesama manusia sehingga terjalin rasa hormat dan menghormati
antar sesama.21
Moral secara definitif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
ajaran tentang baik dan buruk yang diterima secara umum mengenai
perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya. Secara bahasa, moral berasal
dari bahasa latin mores yang berarti tata cara dalam kehidupan atau adat
istiadat. Secara bahasa, moral berasal dari bahasa Yunani yaitu moralis yang
berarti adat, kebiasaan, cara, dan tingkah laku.22
Menurut Franz Magnis Suseno sebagaimana dikutip oleh Sukarno,
moral selalu mengacu pada baik dan buruk manusia sebagai manusia.
Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi
kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolak ukur untuk
menentukan benar atau salahnya tindakan manusia jika dilihat dari segi
buruk dan baiknya sebagai manusia, bukan sebagai pelaku tertentu dan
terbatas.23
Menurut Imam Sukardi moral adalah karakter yang dicirikan sebagai
suatu yang baik dalam masyarakat melalui nilai-nilai yang diterapkan
bersama. Selain itu menurut Sonny Keraf, moral adalah sesuatu yang dapat
digunakan sebagai dasar untuk menentukan tindakan seseorang yang
dianggap buruk dan baik di dalam suatu masyarakat. Sementara Russel
Swamburg mendefinisikan bahwa moral adalah suatu pernyataan dari
pemikiran yang berhubungan dengan keantusiasan seseorang dalam bekerja

21
Andi Widhia Putra, dkk, Membangun Moral dan Etika Siswa Sekolah Dasar, (Madiun:
Bayfa Cendikia Putra, 2020), h. 1.
22
Sukarno Aburaera, Filsafat Hukum Teori & Praktik, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 162.
23
Ibid.

15
dimana hal itu dapat merangsang perilaku orang tersebut. 24 Sedangkan
menurut pendapat Bertens, moral dan etika adalah suatu hal yang sama
karena sama-sama bersumber dari kata adat dan kebiasaan dalam bahasa
Yunani.25 Oleh sebab itu, secara umum moral dapat diartikan sebagai suatu
aturan dan tingkah laku yang harus dilakukan dengan baik, sebab peraturan
tersebut sudah menjadi kebiasaan atau budaya di dalam masyarakat.
Moral secara konseptual dapat dibagi ke dalam beberapa jenis antara
lain sebagai berikut:26
a. Moral Ketuhanan
Moral ketuhanan merupakan segala sesuatu yang berhubungan
dengan tingkat religiusitas atau keagamaan seseorang yang
berdasarkan pada diri seseorang. Moral ketuhanan diwujudkan
dalam menghargai sesama manusia, hidup rukun dengan orang lain
yang memiliki agama berbeda serta caranya dalam menghargai
agama lain.
b. Moral Ideologi dan Filsafat
Moral ideologi dan filsafat merupakan segala hal yang
berhubungan dengan loyalitas pada cita-cita bangsa dan negara serta
semangat kebangsaan yang dimiliki. Perwujudan moral ideologi dan
filsafat adalah menjungjung tinggi dasar negara Pancasila serta
menolak ideologi asing yang ingin merubah negara Indonesia.
c. Moral Etika dan Kesusilaan
Moral etika dan kesusilaan adalah segala hal yang berkaitan
dengan kesusilaan dan etika yang dijungjung suatu bangsa,
masyarakat, serta negara baik secara tradisi maupun budaya. Moral
etika dan kesusilaan diwujudkan ketika seseorang menghargai orang
lain yang memiliki perbedaan pendapat.

24
Erlina Dewi K, dkk, Moral yang Mulai Hilang, (Madiun: Bayfa Cendikia Indonesia,
2020), h. 2.
25
K. Bertens, Etika, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 5
26
Andi Widhia Putra, dkk, Membangun Moral dan Etika…………………., h. 6.

16
d. Moral disiplin dan Hukum
Moral disiplin dan hukum adalah segala hal yang berkaitan dengan
kode etik dan profesionalitas serta hukum yang berlaku di tengah suatu
masyarakat atau negara. Perwujudan jenis moral ini adalah dengan
melakukan aktifitas sesuai aturan yang berlaku seperti menggunakan
perlengkapan sesuai dengan hukum.
Moral sebagai suatu perilaku yang ada dalam masyarakat dapat
berkembang mengikuti zaman yang terjadi. Perkembangan moral (moral
development) dapat meliputi perkembangan pikiran, perasaan, dan perilaku
menurut aturan atau kebiasaan mengenai hal-hal yang seharusnya dilakukan
seseorang ketika berinteraksi dengan orang lain. Menurut Lawrence
Kohlberg sebagaimana dikutip oleh Andi Widhia berpendapat bahwa
perkembangan moral meliputi penilaian dan perbuatan moral yang pada
intinya bersifat rasional. Keputusan dari moral ini bukanlah soal perasaan
atau nilai, akan tetapi selalu mengandung suatu tafsiran kognitif terhadap
keadaan dilema moral dan bersifat konstruksi kognitif yang bersifat aktif
terhadap titik pandang masing-masing individu.27
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa moral erat kaitannya dengan perilaku yang dilarang atau tidak, moral
sendiri berasal dari adat atau kebiasaan yang berlaku di dalam masayarakat.
Moral juga sangat dipengaruhi oleh cara berpikir sesorang yang kemudian
juga dapat berpengaruh terhadap tindakan baik atau buruk seseorang. Selain
itu, moral juga dapat berkembang berdasarkan cara pandang perilaku, dan
cara berpikir manusia di dalam masyarakat.
3. Moral dalam Karya Sastra
Karya sastra tidak hanya mengandung kesenangan dan keindahan
semata, melainkan memiliki pesan moral yang ingin disampaikan pada para
pembacanya. Suatu moral dalam karya sastra merupakan makna yang

27
Ibid, h. 8.

17
terkandung dalam sebuah karya sastra, kandungan moral tersebut
disampaikan melalui cerita yang ditulis oleh pengarang.
Moral dalam sebuah karya sastra seringkali diidentikkan dengan tema
yang digunakan dalam sebuah karya, meskipun pada dasarnya keduanya
tidak melulu memiliki maksud yang sama. Sisi kemiripan atau kesamaan
dari keduanya adalah sama-sama sesuatu yang terkandung di dalam suatu
karya, dapat ditafsirkan dan diambil dari cerita yang ada di dalam karya
sastra. Menurut Nurgiyantoro, tema lebih bersifat komplek ketimbang
moral, karena tema tidak memiliki nilai langsung sebagai saran yang
ditunjukkan kepada pembaca, sementara moral dapat dipandang sebagai
salah satu wujud tema dalam bentuk yang sederhana akan tetapi tidak semua
tema merupakan moral. 28
Moral dalam karya sastra seringkali dimaksudkan sebagai sarana
penyampaian ajaran moral tertentu yang bersifat praktis dan dapat
ditafsirkan melalui cerita yang dibaca. Hal tersebut merupakan petunjuk
yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang
berhubungan dengan masalah kehidupan seperti sikap, tindakan, bahkan
sopan santun. Ajaran moral bersifat praktis karena merupakan petunjuk
nyata, sebagaimana model yang ditampilkan dalam cerita itu lewat sikap
dan tingkah laku tokoh-tokohnya.29
Menurut Mangunjiwa dalam Nurgiyantoro, kehadiran moral yang
berunsur religius dan keagamaan dalam sastra adalah setua keberadaan
sastra itu sendiri, bahkan sastra sejatinya tumbuh dari sesuatu yang bersifat
religius.30 Dalam mengkaji moral dalam karya sastra menurut Poespoprodjo
sebagaimana dikutip oleh Lanny Rizky memiliki beberapa faktor sebagai
berikut:31

28
Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2013), h. 429
29
Ibid, h. 430.
30
Ibid, 446
31
Lanny Rizky Arthanti, “Moralitas Tokoh dalam Cerita Anak Eine Woche Voller
Samstage Karya Paul Maar”, Jurnal Identitaet, Vol. 5, No. 1, 2016, h. 2-3.

18
a. Perbuatan Sendiri
Moralitas terletak dalam kehendak pada apa yang disodorkan
kepada kehendak sebagai moral baik atau buruk, tetapi kita tidak
dapat sekadar menghendaki, melainkan harus mengerjakan sesuatu
atau tidak sama sekali.
b. Motif
Suatu perbuatan memperoleh moralitas dari motif yang mendasari
perbuatan tersebut dilaksanakan. Motif dapat memberi kualitas
moral pertama pada suatu perbuatan yang indeferen, baik kualitas
baik maupun buruk.
c. Keadaan
Beberapa keadaan dapat mempengaruhi suatu perbuatan sehingga
menyebabkan perbuatan tersebut memiliki jenis moral yang
berbeda.
Dengan demikian, kajian moral dalam karya sastra adalah sebuah upaya
untuk mengungkap suatu pesan moral yang ingin disampaikan pengarang
kepada para pembacanya. Penyampaian pesan moral yang disampaikan
tersebut melalui cerita, perilaku tokoh-tokohnya, dan latar belakang seperti
apa yang menyebabkan sebuah tindakan itu dilakukan.
4. Jenis Nilai Moral dalam Karya Sastra
Sebagaimana telah dibahas pada sub bab sebelumnya, bahwa nilai moral
dalam karya sastra memiliki pengertian untuk mengetahui atau memahami
pesan moral yang terdapat dalam karya sastra. Pesan moral yang ingin
disampaikan tentunya mengandung ajaran mengenai perbuatan, sikap,
kewajiban, perbuatan baik dan seterusnya. Karya sastra yang ditulis oleh
pengarang selalu memiliki penawaran kehidupan yang ideal, dengan
demikian karya sastra selalu mengandung nilai moral dengan menampilkan
perilaku tokoh, situasi, dan alur yang dibentuk. Oleh sebab itu, karya sastra
yang disajikan oleh pengarang diharapkan memberikan manfaat yang dapat
dipetik oleh pembacanya, tentu saja pesan moral yang selalu ditampilkan
dalam karya sastra bersifat luhur dan universal.

19
Nilai moral yang ditampilkan dalam sebuah karya sastra menurut
Nurgiyantoro memiliki jenis ajaran yang mencakup masalah, yang boleh
dikatakan dan bersifat tidak terbatas. Nilai moral yang ditampilkan bisa saja
pesan yang disampaikan melalui permasalahan hidup yang dapat dibedakan
antara lain; hubungan manusia dengan diri sendiri, hubungan manusia
dengan manusia lain (lingkup sosial), hubungan manusia dengan alam
(termasuk lingkungan), dan hubungan manusia dengan Tuhan
(spiritualitas), seluruh jenis nilai moral tersebut dapat diwujudkan dan
diperinci berdasarkan kasus yang ada di dalam sebuah karya sastra. 32
Karena pesan moral yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada
pembaca sangat multitafsir, maka pembaca bebas mengambil pelajaran
tersebut sesuai dengan kondisinya. Pesan moral yang berkaitan dengan
hubungan manusia dengan dirinya sendiri bisa saja meliputi harga diri, rasa
takut, percaya diri, kematian, rindu, dendam, kesepian dan seterusnya,
dimana hal ini lebih bersifat individualistik dan kejiwaan seseorang. Pesan
moral yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan manusia bisa saja
berbentuk masalah persahabatan, keluarga, kesetiaan, penghianatan, politik,
tradisi, kebudayaan dan seterusnya, hal ini lebih besifat hubungan antara
individu atau kelompok dengan sosial di sekitarnya. Pesan moral yang
berkaitan dengan hubungan manusia dengan alam bisa saja berbentuk
menjaga keseimbangan alam dengan tidak menebang pohon sembarangan,
tidak mencemari lingkungan, dan seterusnya, hal ini lebih bersifat hubungan
manusia dengan alam sekitarnya. Sedangkan pesan moral yang berkaitan
dengan hubungan manusia dengan Tuhan bisa berbentuk tidak berbuat dosa,
mengamalkan anjuran agama, dan seterusnya. Hal ini lebih bersifat
spiritualitas hubungan manusia dengan Sang Penciptanya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jenis nilai moral dalam
karya sastra terdiri ke dalam beberapa jenis yaitu:

32
Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi……., h. 441-442

20
a. Hubungan manusia dengan pribadinya (individu dan kejiwaan);
b. Hubungan manusia dengan manusia lainnya (lingkup sosial);
c. Hubungan manusia dengan alam (lingkungan); dan
d. Hubungan manusia dengan Tuhan (spiritualitas).
5. Bentuk Penyampaian Nilai Moral dalam Karya Sastra
Bentuk penyampaian moral dalam sebuah karya sastra dapat dibedakan
ke dalam beberapa cara, diantaranya bisa disampaikan secara langsung
maupun tidak langsung. Secara teknis, penyampaian bentuk pesan moral,
baik yang tidak langsung maupun langsung, bisa saja disampaikan melalui
tokoh atau karakter yang terdapat dalam sebuah cerita. Hal ini sejalan
dengan Nurgiyantoro, bahwa bentuk penyampaian pesan moral bisa saja
melalui teknik penyampaian karakter tokoh yang dapat dilakukan secara
langsung, telling, tidak langsung, showing, atau keduanya sekaligus.33
Penyampaian pesan moral secara langsung atau tidak langsung, dapat
dilihat secara detail pada penjelasan di bawah ini, sebagaimana pendapat
Nurgiyantoro:34
a. Penyampaian Langsung
Penyampaian pesan moral secara langsung identik dengan cara
penggambaran watak tooh yang bersifat naratif, telling, atau
penjelasan, dan expository. Jika dilihat dari segi kebutuhan
pengarang, pesan yang disampaikan kepada pembaca menggunakan
teknik yang cukup komunikatif, sehingga pembaca dengan mudah
dapat memahami pesan moral yang dimaksud oleh pengarang dalam
sebuah karya sastranya.
b. Penyampaian Tidak Langsung
Berbanding terbalik dengan penyampaian pesan moral
sebelumnya, penyampaian pesan moral secara tidak langsung
dilakukan dengan cara menyiratkan dalam sebuah cerita yang ditulis
oleh pengarang, dan terpaut secara komprehensif dengan unsur

33
Ibid, h. 460
34
Ibid, h. 461

21
cerita-cerita lainnya. Hal ini dilakukan oleh pengarang supaya pesan
moral yang disampaikan tidak secara vulgar karena alur cerita yang
tidak memungkinkan untuk melakukan hal tersebut. Jika dilihat dari
kebutuhan pengarang, pesan moral yang ingin disampaian tidak
komunikatif, sehingga para pembaca belum tentu bisa memahami
atau menangkap pesan moral apa yang ingin disampaikan oleh
pengarang.35
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bentuk penyampaian nilai
moral yang terdapat dalam karya sastra dapat dikategorikan ke dalam dua
bentuk yaitu; langsung dan tidak langsung. Penyampaian langsung
dilakukan oleh pengarang dengan cara membentuk karakter dan narasi yang
tidak multitafsir sehingga pembaca mudah memahami, sedangkan
penyampaian tidak langsung dilakukan dengan cara menyiratkan ke dalam
narasi cerita sehingga pembaca butuh waktu untuk memahami pesan moral
yang ingin disampaikan oleh pengarang, atau bahkan pembaca tidak sama
sekali bisa memahami pesan moral apa yang terdapat dalam sebuah cerita
tersebut.
C. Teori Kewarganegaraan
1. Pengertian
Unsur paling penting dalam suatu negara adalah rakyat atau penduduk
(ingezetenen).36 Rakyat atau penduduk suatu negara adalah semua orang
yang mendiami suatu wilayah dalam suatu negara. Mereka (rakyat atau
penduduk) dipersatukan oleh suatu rasa persamaan dan yang bersama-sama
mendiami suatu wilayah.
Sebagai suatu entitas, negara merupakan sesuatu yang abstrak, hanya
saja yang tampak adalah rakyat, wilayah, dan pemerintah. Rakyat yang
mendiami suatu negara disebut dengan warga negara, berkedudukan untuk
menciptakan peranan, hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik.37

35
Ibid, h. 467
36
Pasal 1 Montevideo Convention on the Right and Duties of States 1933.
37
Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, Civic Education Antara Realitas Politik dan
Implementasi Hukumnya, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2010), h. 96.

22
Setiap rakyat atau penduduk yang mendiami suatu negara dapat
diidentifikasi menjadi dua golongan yaitu, orang asing dan warga negara.
Berikut penjelasannya:
a. Warga Negara
Warga negara merupakan rakyat atau penduduk yang
menjadi unsur negara. Istilah warga negara lebih sesuai dengan
kedudukannya sebagai orang yang merdeka, karena warga
negara mengandung arti peserta, anggota atau warga dari suatu
negara, yaitu peserta dari suatu persekutuan yang didirikan
dengan kekuatan bersama, atas dasar tanggung jawab bersama
dan untuk kepentingan bersama. Menurut Koerniatmanto dalam
Dede Rosyada mendefinisikan bahwa warga negara merupakan
anggota negara yang memiliki kedudukan khusus terhadap
negaranya, ia mempunyai hubungan hak dan kwajiban yang
bersifat timbal balik terhadap negaranya.38
Secara yuridis berdasarkan Pasal 26 ayat (1) UUD 1945
warga negara diategorikan menjadi dua golongan yaitu:
pertama, warga negara asli (pribumi) yaitu penduduk asli negara
tersebut, misalnya suku Jawa, Madura, Dayak, dan etnis
keturunan yang sejak lahirnya menjadi WNI. Kedua, warga
negara asing, yaitu bangsa Tionghoa, Timur Tengah, India, USA
dan sebagainya, yang telah disahkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan menjadi warga negara Indonesia.
b. Warga Negara Asing
Warga negara asing merupakan seseorang yang tinggal
dalam suatu negara tetapi ia bukan warga negara asli negara
tersebut. Pada dasarnya, warga negara asing tetap diperlakukan
sama dengan warga negara asli, tetapi terdapat perbedaan pada
hak dan kewajibannya yaitu: tidak memiliki hak politik, memilih

38
Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan (Civil Education): Demokrasi, Hak
Asasi dan Masyarakat Madani, (Ciputat: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), h. 74.

23
atau dipilih, dan tidak memiliki hak diangkat menjadi pejabat
negara.
Menurut Robet, prinsip dan konsep dasar kewarganegaraan dapat
diterangkan dalam tiga arena yang luas, yaitu: pertama, kewarganegaraan
sebagai prinsip berdemokrasi (citizen ship as political principle of
democracy). Kedua, kewarganegaraan sebagai status yuridis individu
sebagai subjek hukum berikut sebagai privilese hak-hak serta kewajiban di
dalamnya. Ketiga, kewarganegaraan sebagai bentuk keberanggotaan dalam
suatu komunitas yang eksklusif dengan basis ikatan yang khas.39
kewarganegaraan sebagai prinsip berdemokrasi dikonstruksi sebagai
aktivitas atau tindakan untuk terlibat dalam proses diperintah dan
memerintah secara setara. Masyarakat aktif dalam kehidupan publik,
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan serta yang utama,
memperjuangkan keutamaan (common good) sebagai kerangka bersama.
Pandangan kewarganegaraan sebagai prinsip berdemokrasi menekankan
kesetaraan politik dan partisipasi sebagai pysat dan karakter dasar
kewarganegaraan.40
2. Hak dan Kewajiban Warga Negara
Hak warga negara di Indonesia diatur dalam UUD 1945 dan berbegai
peraturan perundang-undangan lainnya. Hak dan kewajiban warga negara
paling dasar diatur dalam Pasal 27 UUD 1945 yaitu:
a. Hak Warga Negara Indonesia
1) Kesamaan hukum dan pemerintahan
2) Hak atas pekerjaan dan penghidupan
3) Ikut serta dalam upaya pembelaan negara
4) Hak mendapat pendidikan
5) Kesejahteraan sosial

39
Robertus Robet dan Hendrik Boli Tobi, Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan: Dari
Marx Sampai Agamben, cet. kedua, (Tangerang: Marjin Kiri, 2017), h. 4
40
Ibid.

24
b. Kewajiban Warga Negara Indonesia
1) Menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan.
2) Kewajiban untuk ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
3) Setia membayar pajak negara.
4) Kewajiban untuk ikut serta dalam usaha pertahanan dan
keamanan negara.
3. Niai-nilai Kewarganegaraan
Nilai merupakan sesuatu yang sangat berharga, berguna, indah, dan
memperkaya batin. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong,
mengarahkan sikap dan prilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem
merupakan salah satu wujud kebudayaan, di samping sistem sosial dan
karya. Nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa perlu
diimplementasikan untuk membangkitkan karakter bangsa yang semakin
menurun.
Sebagai dasar negara, nilai-nilai karakter bangsa tersebut melandasi
segala kegiatan permintaan negara, baik dalam pengelolaan pemerintahan
negara maupun dalam membangun hubungan dengan negara-negara lain.
Nilai-nilai tersebut dalam hal ini juga dapat menjadi etika bagi
penyelenggara negara. Nilai-nilai yang dapat dikembangkan dalam
pendidikan karakter kewarganegaraan dapat diidentifikasi dengan beberapa
nilai di bawah ini:41
a. Religius
Sikap dan perilau yang patuh dalam melaksanakan ajaran
agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksana ibadah agama
lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
b. Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya
sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan,
tindakan, dan pekerjaan.

41
Ayu Astuti, “Pengembangan Nilai-nilai Kewarganegaraan dalam egiatan Ekstrakulikuler
Pramuka di SMA Negeri 1 Kahu Kabupaten Bone”, Jurnal Tomalebbi, Vol. 1, No. 3, 2014, h. 22

25
c. Toleransi
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama,
suku, etinis, sikap, pendapat, dan tindakan orang lain yang
berbeda darinya.
d. Disiplin
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada
berbagai ketentuan dan peraturan,
e. Kerja Keras
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam
mengatasi berbagai hambatan nelajar dan tugas, serta
menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
f. Kreatif
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara
atau hasil baru dari sesuatu yang dimiliki.
g. Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang
lain dalam menyelesaikan tugas.
h. Demokrasi
Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama
hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
i. Rasa Ingin Tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui
lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajari, dilihat,
dan didengar.
j. Semangat Kebangsaan
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa, diatas kepentingan
kelompok taupun individu.

26
k. Cinta Tanah Air atau Nasionalisme
Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan
kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan tinggi terhadap bahasa,
lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
l. Menghargai Prestasi
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan
mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
m. Bersahabat
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara,
bergaul, dan bekerjasama dengan orang lain.
n. Cinta Damai
Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang
lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
o. Gemar Membaca
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai
bacaan yang memberikan kebijakan bagi dirinya.
p. Peduli Lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah
kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan
mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakana
alam yang sudah terjadi.
q. Peduli Sosial.
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memeberi bantuan pada
orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
r. Tanggung Jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan
kewajibannya, yang seharusnyya dia lakukan, terhadap diri
sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya),
negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

27
s. Nilai Keadilan Sosial
Nilai keadilan sosial menurut Darmodihardjo sebagaimana
dikutip oleh Christian Siregar adalah keadilan yang berlaku
dalam masyarakat di bidang kehidupan, baik secara materiil
maupun secara spiritual. Keadilan sosial memiliki tiga prinsip
dasar yaitu, keadilan atas dasar hak, keadilan atas dasar jasa, dan
keadilan atas dasar kebutuhan. Keadilan atas dasar hak adalah
keadilan yang diperhitungkan berdasarkan hak untuk diterima
oleh seseorang. Keadilan atas dasar jasa adalah keadilan yang
diperhitungkan berdasarkan seberapa besar jasa yang telah
seseorang berikan, dan keadilan atas dasar kebutuhan adalah
keadilan yang diperhitungkan berdasarkan yang seseorang
butuhkan.42
D. Teori Fabel
1. Pengertian
Fabel merupakan cerita binatang yang dimaksudkan sebagai sebuah
personifikasi karakter manusia. Binatang yang dijadikan tokoh dalam cerita
dalam bertindak dan bersikap seperti manusia, misalnya berbicara, berpikir
dan berperilaku layaknya manusia. Pada umumnya fabel tidak panjang dan
secara jelas mengandung ajaran moral yang secara nyata biasanya
ditempatkan pada bagian akhir cerita. Tujuan penyampaian dan atau ajaran
moral inilah yang menjadi fokus penceritaan dan sekaligus yang
menyebabkan hadirnya fabel di tengah masyarakat.43
Secara etimologi, fabel bersumber dari bahasa latin fabulat yang berarti
cerita, kata tersebut turunan dari kata fari yang berarti berbicara. Fabel
merupakan suatu cerita yang berisi dunia binatang yang mana tingkah
lakunya seperti manusia.44 Fabel juga disebut dengan cerita moral karena

42
Christian Siregar, “Pancasila, Keadilan Sosial, dan Persatuan Indonesia”, Jurnal
Humaniora, Vol. 5, No. 1, 2014, h. 109.
43
Burhan Nurgiyantoro, Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2013), h. 23.
44
Putri Megawati, dkk, Fabel dan Legenda, (Jawa Barat: Guepedia, 2020), h. 7.

28
memiliki pesan yang ada di dalam cerita tersebut berkaitan dengan moral.
Binatang-binatang yang ada pada cerita fabel memiliki karakter seperti
manusia ada yang baik dan ada pula yang jahat. 45 Menurut Zaidan dalam
Ajeng Cahya menyatakan bahwa fabel merupakan cerita singkat yang
mengandung ajaran moral yang diperankan oleh binatang yang bersifat dan
berprilaku seperti manusia.46
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa fabel
merupakan cerita fiksi yang mengandung pesan moral yang dapat diambil
hikmahnya bagi kehidupan. Tokoh dalam cerita fabel merupakan para
binatang atau tumbuhan yang dapat berbicara dan berperilaku layaknya
manusia pada umumnya.

2. Struktur Fabel
Fabel sebagai sebuah karya sastra sejatinya memiliki unsur intrinsik
sebagaimana karya sastra lainnya, selain itu fabel juga memilii struktur
tersendiri. Menurut Suprihatin fabel memiliki stuktur yang tidak jauh
berbeda dengan teks cerita pendek yang disusun dengan struktur orientasi,
komplikasi, dan resolusi. Sedangkan fabel juga demikian, hanya saja
ditambah dengan struktur koda di bagian akhir sehingga terbentuk struktur
yang berupa orientasi, komplikasi, resolusi, dan koda.47 Menurut Megawati
struktur fabel terdiri dari:48
a. Orientasi
Pendahuluan cerita dengan memperkenalkan tokoh-tokoh dan di
mana terjadinya cerita;

45
Ibid.
46
Ajeng Cahya Nurani,”Membaca Cerita Fabel Sebagai Penanaman Karakter Jujur Pada
Siswa SMP.” Jurnal Bahasa, Seni, dan Pengajaran, Vol. 1, No. 1, 2016, h. 3.
47
Suprihatin, “PengembanganBahan Ajar Teks Fabel yang Bermuatan Kisah Teladan
Upaya Menumbuhkan Karakter dengan Pendekatan Saintifik Bagi Peserta Didik Kelas VII
SMP/MTs”, Skripsi Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang, 2015, h. 47-48.
48
Putri Megawati, dkk, Fabel……………..h. 14-15.

29
b. Komplikasi
Permulaan munculnya permasalahan diantara tokoh-tokoh
dalam cerita fabel yang meliputi: situasi, kejadian atau peristiwa
yang mengantarkan cerita menuju klimaks;
c. Klimaks
Puncak inti permasalahan diantara tokoh-tokoh dalam cerita
fabel.
d. Resolusi
Pemecahan permasalahan yang dihadapi para tokoh dan
merupakan akhir dari cerita.
e. Koda
Koda adalah bagian akhir dari cerita teks fabel yang berisikan
pesan-pesan atau amanat yang terdapat di dalam cerita fabel.

Berdasarkan penjelasan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa


struktur fabel sebuah karya sastra hampir mirip dengan struktur cerita
pendek, hanya saja di dalam karya fabel terdapat tambahan kota atau
pengubahahan tokoh/amanat.
3. Kaidah Kebahasaan Fabel
Kaidah atau pedoman perlu ditaati dalam sebuah teks, namun konteks
kaidah teks fabel ini lebih mengarah pada ciri-ciri keabsahannya. Karena
fabel merupakan jenis dongeng yang menggunakan hewan sebagai tokoh
cerita, oleh sebab itu bahasa dalam fabel dimanfaatkan untuk
menggambarkan sifat-sifat hewan yang memiliki kemiripan atau kesamaan
dengan manusia. Adapun kaidah dalam teks fabel sebagai berikut:
a. Mengklasifikasi Kata Kerja
Kata kerja atau verba menurut Prihantini menunujukkan
perbuatan atau perilaku yang kemudian diikuti dengan frasa lain
dalam kalimat. Kata kerja atau verba memiliki dua jenis utama yaitu,
kata kerja struktural dan kata kerja semantis. Kata kerja struktural
dibagi menjadi dua bagian yaitu, kata kerja dasar (yang belum diberi

30
imbuhan) dan kata kerja berimbuhan (kata kerja yang terbentuk dari
kata dasar yang berupa kata benda, kata kerja, kata sifat dan
sebagainya). Sedangkan kata kerja semantis memiliki empat bagian
yaitu, 1) kata kerja yang menyatakan tindakan atau perbuatan. 2)
kata kerja yang menunjukkan pengalaman batin, sikap, emosi, dan
perasaan. 3) kata kerja yang menunjukkan proses atau perubahan
dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. 4) kata kerja yang
menyatakan keadaan lahiriah.49
b. Penggunaan Keterangan Waktu
Fabel biasanya menyematkan keterangan tempat dan waktu
dalam menampilkan atau menghidupkan suasana cerita. Menurut
Samsuri sebagaimana dikutip oleh Marfu’ah bahwa keterangan
tempat dalam sebuah cerita menunjukkan lokasi, sedangkan
keterangan waktu menunjukkan kegiatan, proses atau keadaan
sesuatu, seperti detik, menit, jam dan seterusnya.50
c. Penggunaan Kata Hubung
Kata hubung digunakan untuk menunjukkan tahapan urutan
waktu sehingga dalam sebuah cerita ada yang namanya permulaan,
lanjutan dan akhiran. Urutan tersebut tentu saja disusun melalui
bahasa sehingga pembaca dapat memahami urutan-urutan yang
dibuat oleh si penulis.51
E. Unsur Pembangunan Karya Sastra
Membuat atau menciptakan karya sastra dibutuhkan beberapa unsur
pembangun seperti bangunan bahasa yang estetik, ide, dan imajinasi. Selain itu,
unsur pembangunan karya sastra atau fiksi dapat dikelompokkan ke dalam dua
hal yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Kedua unsur inilah yang sering

49
Ainia Prihantini, Master Bahasa Indonesia, (Yogyakarta: Bentang Psutaka, 2015), h. 39-
40
50
Siti Marfu’ah, “Peningkatan Keterampilan Menulis Fabel dengan Menggunakan Media
Gambar pada Siswa Kelas VII H SMP Negeri 1 Kunduran Blora Tahun Pelajaran 2018/2019”,
Skripsi Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Persatuan Guru
Republik Indonesia Bojonegoro, 2019, h. 28.
51
Ibid.

31
digunakan oleh para kritikus sastra dalam mengkaji karya sastra pada
umumnya.52 Adapun penjelasan kedua unsur tersebut sebagai berikut:
1. Unsur Intrinsik
Unsur ini merupakan unsur untuk membangun teks dari kandungan
karya sastra dan dapat mempengaruhi karya sastra tersebut. Unsur
intrinsik meruapakan unsur pembangunan karya sastra yang berasal dari
dalam karya sastra itu sendiri, biasanya dalam karya sastra yang
berbentuk cerita memiliki unsur seperti tema, alur, penokohan, latar,
sudut pandang, dan gaya bahasa. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
a. Tema
Tema dalam suatu cerita merupakan sebuah gagasan umum,
tema juga memiliki makna yang terkandung dalam sebuah karya
sastra. Tema menurut Nurgiyantoro, dapat digolongkan menjadi
dua yaitu; tema tradisional dan nontradisional. Tema tradisional
adalah tema yang sudah lama dipergunakan dalam berbagai
cerita termasuk cerita lama. Sedangkan tema nontradisonal
adalah sebaliknya, artinya tema yang tidak sesuai dengan
harapan pembaca atau melawan arus. 53
Tema merupakan rumusan intisari cerita sebagai landasan
idiil dalam menentukan tujuan cerita. Dengan demikian, tema
dapat dikatakan sebagai ide atau gagasan seorang pengarang
dalam membangun cerita dalam karya sastra.
b. Alur
Alur atau plot dalam sebuah cerita merupakan urutan
kejadian, peristiwa yang dihubungkan dengan sebab akibat
sehingga membentuk cerita yang menarik. Selain itu, alur
merupakan sebuah peristiwa yang ditampilkan dalam cerita dan
bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-

52
Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi……., h. 29
53
Ibid, h. 125

32
peristiwa tersebut berdasarkan hubungan sebab akibat.54
Biasanya pengembangan alur cerita didasarkan pada peristiwa,
konflik, dan klimaks.
Peristiwa yang dibangun dalam sebuah cerita menurut
Nurgiyantoro, dapat dabagi menjadi tiga yaitu; peristiwa
fungsional, kaitan, dan acuan. Peristiwa fungsional adalah
peristiwa yang menentukan atau mempengaruhi alur. Peristiwa
kaitan adalah peritiwa yang berfungsi sebagai pengait peristiwa-
peristiwa penting, misalnya peristiwa sosial politik. Sedangkan
peristiwa acuan adalah peristiwa yang berhubungan dengan
kejelasan perwatakan atau suasana yang terjadi di batin seorang
tokoh dalam cerita.
Setelah unsur peristiwa, unsur berikutnya adalah unsur
konflik dalam alur cerita. Konflik dalam sebuah cerita
merupakan perseteruan antara satu pihak dengan pihak lainnya
yang terjadi secara dramatik. Konflik dapat dikategorikan ke
dalam dua hal yaitu; konflik eksternal dan internal. Konflik
eksternal adalah onflik yang terjadi kepada tokoh cerita dengan
sesuatu yang berada di luar dirinya. Konflik ini dibagi menjadi
dua, konflik fisik dan konflik sosial. Sedangkan konflik internal
adalah konflik yang muncul pada diri seseorang tanpa
melibatkan orang lain.
Ujung dari unsur peristiwa dan konflik adalah klimaks.
Konflik dan klimaks adalah unsur yang paling penting dalam
struktur alur pada teks fiksi. Konflik yang terjadi, baik secara
internal maupun eksternal, jika telah mencapai puncak
menyebabkan terjadinya klimaks dan pembaca pun akan puas.55
Demikian dapat disimpulkan bahwa alur cerita pada sebuah
karya sastra merupaan sebuah rangkaian peristiwa yang

54
Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi……., h. 167
55
Ibid, h. 184

33
berkesinambungan antara peristiwa satu dengan peristiwa
lainnya, yang mengakibatkan muncul konflik dan berakhir
dengan klimaks pada sebuah cerita.
c. Tokoh dan Penokohan
Penokohan dalam setiap karya sastra sama pentingnya
dengan unsur-unsur yang lain. Menurut Siwandarti, penokohan
merupakan teknik pengarang dalam menampilkan tokoh
sehingga dapat diketahui karakter atau sifat tokoh tersebut.
Karya fiksi yang ditulis oleh pengarang, tokoh-tokoh yng
ditampilkan pastinya memiliki karakter dan watak yang berbeda.
Perbedaan tersebut sengaja ditampilkan agar tokoh dalam cerita
membawa kepribadian yang nantinya akan mengisi alur
peristiwa yang menarik. Berdasarkan penjelasan Lubis, terdapat
beberapa cara yang dapat digunakan dalam menggambarkan
rupa, watak atau pribadi para tokoh, antara lain sebagai berikut:
1) Melukiskan bentuk lahir dari tokoh.
2) Melukiskan jalan pikiran tokoh terhadap sebuah
peristiwa.
3) Melukiskan reaksi tokoh terhadap peristiwa.
4) Pengarang secara langsung menganalisis watak tokoh.
5) Pelukisan melalui keadaan sekitar tokoh.
6) Pengarang melukiskan pandangan tokoh lain dalam
suatu cerita terhadap tokoh utamanya.
7) Tokoh-tokoh lainnya membicarakan tokoh utama,
sehingga pembaca secara tidak langsung dapat
memahami segala sesuatu mengenai tokoh utama.
Dengan demikian penokohan dapat disimpulkan sebagai
gambaran tokoh yang digambarkan melalui bentuk lahir
danbatin. Penokohan ini dapat dilihat melalui dialog antar tokoh,
tanggapan tokoh lain terhadap tokoh utama, atau pikiran-pikiran

34
tokoh. Tokoh berdasarkan fungsinya dapat dibagi menjadi dua
yaitu:
1) Tokoh Utama
Tokoh utama merupkan tokoh yang diutamakan
penceritaannya dalam proses yang bersangkutan. Ia
merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan
sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai
kejadian.56 Adapun syarat untuk menjadi tokoh utama
adalah sebagai berikut:57
a) Menjadi pusat penceritaan.
b) Paling terlibat dalam konflik dan klimaks.
c) Paling banyak berkaitan dengan tokoh-tokoh
lain.
d) Membawakan moral dan tema cerita.
e) Dalam konflik dan klimaks menjadi sang
pemenang.
f) Didukung oleh frekuensi kemunculan.
Tokoh utama memiliki dua jenis yaitu protagonis dan
antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang
memegang peran sebagai pemimpin cerita, tokoh ini
menampilkan sesuatu sesuai dengan pandangan kita,
harapan-harapan kita, dan merupakan perwujudan
norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita. Sedangan
tokoh antagonis adalah tokoh penentang dari tokoh
protagonis sehingga menyebankan konflik dan
pertentangan. Konflik antara tokoh protagonis dn tokoh
antagonis ini akan berkembang terus menerus hingga
mencapai puncaknya yaitu klimks cerita.

56
Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi.................,h. 259.
57
Ibid

35
2) Tokoh Pembantu
Tokoh pembantu merupakan tokoh yang
kedudukannya tidak sentral dalam cerita, tetapi
kehadirannya sangat diperlukan untuk mendukung tokoh
utama.
Kemudian penokohan merujuk pada pelukisan gambaran
yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah
cerita.58 Penokohan tokoh cerita mempunyai watak atau karakter
yang mewarnai cerita tersebut. Ada yang berwatak jujur,
pembohong, penolong, humoris, pemarah, rajin, pemalas dan
seterusnya.
Penggambaran tokoh cerita membantu kita memahami jalan
cerita serta tema yang tersirat dalam cerita yang disampaikan
oleh si penulis. Teknik penggambaran tokoh dapat dilihat
sebagai berikut:59
1) Secara Analitis
Pelukisan tokoh cerita yang dilakukan dengan
memberikan deskripsi, uraian, dan penjelasan secara
langsung.
2) Secara Dramatik
Pengarang tidak langsung mendeskripsikan sikap,
sifat, dan tingkah laku tokoh melainkan membiarkan
karakternya muncul sendiri lewat gambaran ucapan,
perbutan dan komentar atau penilaian tokoh maupun
pelaku lain. Watak tokoh disimpulkan pembaca dari
pikiran, cakapan dan tindakan tokoh, bahkan dari
penampilan fisik dan gambaran lingkungan tokoh.

58
Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi.................,h. 247.
59
Ibid, h. 279-283

36
d. Latar
Latar menurut Abrams sebagaimana dikutip oleh
Nurgyantoro disebut juga sebgai landas tumpu, merujuk pada
pengertian tempat, waktu, dan lingkungan sosial tempat
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.60 Selain itu,
latar juga memberikan pijakan pada cerita secara konkret dan
jelas, hal ini begitu penting karena dapat memberikan kesan
realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang
seolah-olah ada dan terjadi.61
Selain soal tempat peristiwa, latar juga menggambarkan
tempat, waktu dan situasi dalam cerita sehingga memberikan
efek logis pada cerita, hal ini diarenakan latar memiliki fungsi
sebagai pembangun dalam penciptaan kesan suasana tertentu
yang bisa menggugah perasaan dan emosi. Latar juga berperan
untuk melukiskan aspek sosialnya, seperti tingkah laku, tata
krama, pandangan hidup dan karakter tokoh dalam cerita yang
disajikan.
Berdsarkan uraian singkat di atas, latar dapat disimpulkan
bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan waktu, ruang
dan suasana tempat terjadinya sebuah cerita. Oleh sebab itu, latar
sangat berpengaruh terhadap suasana dalam jalannya sebuah
cerita.
e. Sudut Pandang
Sudut pandang merupaan salah satu unsur yang berfungsi
sebagai sarana dalam sebuah cerita. Sudut pandang sebagai salah
satu unsur dalam karya sastra harus diperhitungkan kehadiran
dan sudut pandangnya, karena pemmilihan sudut pandang akan
berpengaruh terhadap penyajian cerita. Reaksi pembaca

60
Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi……., h. 302
61
Ibid, h. 303

37
terhadap sebuah cerita yang dibaca dapat dipengaruhi oleh sudut
pandang yang dibangun oleh pengarang.
Sudut pandang akuan-sertaan adalah pengarang cerita yang
terlibat dalam tokoh utama. Sudut pandang akuan-taksertaan
adalah tokoh “aku” berperan sebagai figuran atau pembantu
tokoh lain yang lebih penting. Sudut pandang diaan-maha tahu,
pengarang berperan sebagai pengamat saja yangberada di luar
cerita. Sedangkan sudut pandang diaan-terbatas adalah
pengarang memakai orang ketiga sebagai pencerita yang
terbatas dalam sebuah karyanya.
Bedasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sudut
pandang merupakan cara pengarang menempatkan dirinya
dalam cerita. Sudut pandang juga merupakan sebagai sebuah
cara bagaimana cerita dikisahkan dan bagaimana pengarang
memandang sebuah cerita.
f. Gaya Bahasa
Gaya bahasa merupakan hal penting dalam membangun
sebuah cerita. Gaya bahasa yang digunakan dalam cerita dapat
dianalogikan sebuah cat dalam seni lukis. Keduanya merupakan
unsur alat, bahan, dan sarana yang diolah untuk dijadikan sebuah
karya yang mengandung nilai lebih daripada sekadar bahannya
itu sendiri, dengan demikian bahasa merupakan sarana
pengungkapan sastra.62
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa
merupakan penggunaan bahasa dalam menyampaikan suatu
makna. Gaya bahasa digunakan untuk membantu
menyampaikan kesan dan maksud kepada pembaca melalui
piliha kata yang mudah dicerna dan estetik.

62
Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi……., h. 365

38
2. Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik merupakan unsur yang berada di luar teks sastra,
tetapi memiliki pengaruh secara tidak langsung terhadap sistem
organisme teks sastra. Secara lebih khusus dapat dikatakan unsur-unsur
yang mempengaruhi bangunan cerita sebuha karya sastra, tetapi tidak
ikut menjadi bagian di dalamya.63
Selain itu, unsur ekstrinsik terdiri dari sejumlah unsur diantaranya,
keadaan subjektivitas individu pengarang yang memilii sikap,
keyakinan, dan pandangan hidup yang secara keseluruhan akan
mempengaruhi karya sastra yang ditulis, misalnya unsur biografi
pengarang akan turut menentukan corak karya yang dihasilkan. Unsur
ekstrinsik berikutnya adalah psikologi pembaca, maupun penerapan
prinsip psikologi dalam karya, selain itu lingkungan pengrang seperti
politik, ekonomi, dan sosial juga akan berpengaruh terhadap karya yang
dilahirkan.64
F. Penelitian yang Relevan
Setelah melakukan penelusuran terhadap beberapa literatur khususnya yang
membahas tentang nilai moral dalam karya sastra, belum ditemukan penelitian
yang secara spesifik dan sama persis dengan penelitian yang terkait dengan
Analisis Nilai Moral dalam Dongeng Mbah Jiwo; Seni Membual Para Binatang
Karya Sujiwo Tejo (Sebuah Pendekatan Pragmatik Sastra). Oleh karena itu,
untuk menghindari segala bentuk plagiasi dan adanya kemungkinan kesamaan
penelitian, maka akan disajikan beberapa penelitian terdahulu yang relevan
dengan penelitian ini, sebagai berikut:
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Tuti Lestari yang berjudul
“Analisis Nilai-nilai Pendidikan Profetik dalam Buku Tuhan Maha Asyik 2
Karya Sujiwo Tejo dan MN. Kamba”.65 Persamaan penelitian ini dengan

63
Ibid, h. 30
64
Ibid, h. 31
65
Tuti Lestari, “Analisis Nilai-nilai Pendidikan Profetik dalam Buku Tuhan Maha Asyik 2
Karya Sujiwo Tejo dan MN. Kamba”. Skripsi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN
Purwokerto, 2021.

39
penelitian yang akan dilakukan adalah sama-sama meneliti karya Sujiwo Tejo,
sedangkan perbedaannya terletak pada objek penelitian dan perspektif yang
digunakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai profetik dalam buku
Tuhan Maha Asyik 2 mengacu pada tiga dimensi yaitu; humanisasi, liberasi,
dan transendensi.
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Lia Afiska yang berjudul “Analisis
Kesantunan Berbahasa dalam Novel Rahvayana Karya Sujiwo Tejo”.66
Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah sama-
sama meneliti karya Sujiwo Tejo, sedangkan perbedaannya terletak pada objek
penelitian yang digunakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 30
tuturan yang mengandung unsur kesantunan berbahasa. Nilai kesantuan
menurut masyarakat Jawa Tengah dalam novel Rahvayana memiliki 3 nilai
kesantuan yaitu moral bahasa, nilai sosial bahasa dan nilai bidaya bahasa.
Ketiga, penelitian yang dilaukan oleh Try Cahya Christy yang berjudul
“Analisis Nilai Moral dalam Novel Rahvayana Aku Lala Padamu karya Sujiwo
Tejo”67. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah
sama-sama meneliti karya Sujiwo Tejo dengan tinjauan nilai moral, sedangkan
perbedaannya terletak pada objek penelitian yang digunakan. Hasil penelitian
menunjukan bahwa wujud nilai pada novel Rahvayana Aku Lala Padamu terdiri
aas dua bentuk yaitu: wujud nilai moral antara manusia dengan Tuhannya dan
wujud nilai moral antara manusia dengan manusia.
Dari Ketika penelitian ini di atas dalam persamaan dalam penelitian yang
saya lakukan sama-sama meneliti karya Sujiwo Tejo. Sedangkan perbedaan dari
ketiga penelitian terletak pada objek penelitian yang digunakan. Dalam
pembaharuan penelitian lebih umum dibandingkan dari ketiga penelitian di atas.

66
Lia Afiska, “Analisis Kesantunan Berbahasa dalam Novel Rahvayana Karya Sujiwo
Tejo”. Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta,
2019.
67
Try Cahya Christy, “Analisis Nilai Moral dalam Novel Rahvayana Aku Lala Padamu
karya Sujiwo Tejo”. Jurnal Sasindo, Vol. 9, No. 1, Januari 2021.

40
BAB III
BIOGRAFI PENGARANG DAN SINOPSIS DONGENG MBAH
JIWO; SENI MEMBUAL PARA BINATANG
A. Biografi Pengarang
Sujiwo Tejo atau yang bernama asli Agus Hadi Sudjiwo merupakan sosok
seniman multitalenta yang lahir di Jember pada 31 Agustus 1962. Sujiwo Tejo
memulai karir pendidikannya di jurusan Matematika Institut Teknologi
Bandung (ITB) dan belajar teknik di jurusan Teknik Sipil di kampus yang sama,
pada tahun 1980 hingga 1988.68 Sejak kecil Sujiwo Tejo gemar membaca
majalah, hal ini dikarenakan ibunya yang bernama Sulastri selalu berlangganan
majalah Jawa dari situ ia (Sujiwo Tejo) mulai berkenalan dengan tradisi-tradisi
Jawa. Sujiwo Tejo memiliki kebiasaan unik setiap mau pergi merantau, yaitu
bersujud di depan pintu lalu kemudian dilangkahi tiga kali oleh ibunya, hal ini
ia lakukan untuk meminta restu kepada Ibunya. Kebiasaan tersebut dilakukan
oleh Sujiwo Tejo setiap kali pergi dari rumah, dan kebiasaan tersebut
sebenarnya terinspirasi dari wayang ketika Arjuna Kepada Dewi Kunti
melakukan hal yang sama.69
Sujiwo Tejo mengawali pendidikannya di SDN Kecamatan Mangaran pada
tahun 1974, setelah lulus ia melanjutkan Sekolah Menengah Pertama atau SMP
di Kecamatan Asem Bagus pada tahun 1977, kemudian melanjutkan ke Sekolah
Menengah Atas di Sitibondi pada tahun 1980. Setelah tamat SMA, ia
melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun
1981 dengan mengambil jurusan Matematika dan jurusan Teknik Sipil.
Pada saat Sujiwo Tejo meninggalkan kampusnya (ITB) dan memilih untuk
bergelut di bidang kesenian, ibu Sujiwo Tejo sempat pingsan seolah tidak
sepakat atas pilihan yang diambil Sujiwo Tejo. Pada awal karirnya, Sujiwo Tejo
sempat bergelut di dunia jurnalistik hampir 8 tahun, namun pada akhirnya ia
keluar karena dia tidak ingin hanya fokus pada satu bidang seni saja, ia justru

68
Sujiwo Tejo, Dongeng Mbah Jiwo…….., h. 234.
69
Hasil wawancara dengan Sujiwo Tejo, dilansir dari Youtube Official Net News, diakses
pada 06 Juli 2022 Pukul 09:29 WIB

41
ingin fokus pada beberapa kesenian seperti menulis, melukis, mendalang, dan
bermusik. Maka tidak heran jika sampai saat ini Sujiwo Tejo tetap konsisten
pada pilihan-pilihan tersebut.70
Saat ini Sujiwo Tejo dikenal sebagai seniman dalang yang kondang di tanah
air, tidak hanya itu beliau juga dikenal sebagai penulis, aktor pemain film,
sutradara, pelukis, dan pemusik. Perjalanan karir Sujiwo Tejo dalam bidang
kesenian, khususnya dalang, dimulai sejak duduk di bangku kuliah. Beliau
memulai karir di dunia perdalangan dan pewayangan dengan menjadi penyiar
radio di ITB, pemain teater, dan mendirikan Ludruk ITB bersama budayawan
terkenal bernama Nirwan Dewanto. Atas kiprahnya tersebut, Sujiwo Tejo
pernah menjabat sebagai Kepala Bidang Pendalangan pada Persatuan Seni Tari
dan Karawitan Jawa di ITB pada 1981-1983.
Penjelasan di atas menggambarkan bahwa Sujiwo Tejo memiliki minat seni
yang begitu besar, bahkan sewaktu kecil dirinya pernah menciptakan peran
lakon dalam pewayangan. Minat seni yang dimiliki sejatinya terlahir dari
seorang ayah yang merupakan seorang dalang kondang di Jawa Timur. Pada
tahun 1994 Sujiwo Tejo memulai karirnya di bidang pewayangan dengan lakon
Semar Mesem, waya acapella yang berjudul Sinta Obong dan lakon Bisma
Gugur.
Pada tahun 1999, Sujiwo Tejo memprakarsai berdirinya organisasi jaringan
dalang dengan tujuan memberikan nafas baru bagi tubuh kembangnya nilai-
nilai wayang dalam kehidupan masyarakat. Kemudian di tahun 2004, Sujiwo
Tejo memiliki kesempatan keliling Yunani untuk pentas wayang. Dalam
pementasan wayang, Sujiwo Tjo selalu memiliki keunikan tersendiri, misalnya
ia membuat Rahwana yang jahat dibuat baik, Pandawa yang baik dibuat jahat.
Aksinya tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pola hitam dan
putih dalam lakon pewanyangan.
Aksi Sujiwo Tejo dalam mendalang dan mengubah pola lakon tokohnya
tentu saja berbeda dengan cara ayahnya mendalang. Dengan pola yang

70
Ibid.

42
demikian, Sujiwo Tejo semakin yakin dan optimis bahwa wayang bisa
disenangi anak muda karena tidak selalu bercorak hitam dan putih. Dalam dunia
wayang inilah Sujiwo Tejo kerap disebut dengan dalang edan karena caranya
mendalang yang cukup unik.
Selain dalam bidang pewayangan, dunia musik juga menjadi salah satu
dasar kehidupan Sujiwo Tejo. Terbukti pada suatu ketika Sujiwo Tejo pernah
menciptakan musik untuk dipertunjukkan yang berjudul Battle of Love Turns
Sour, tepatnya di Gedung Kesenian Jakarta. Oleh sebab itu, pada tahun 1998
masyarakat juga mengenal sosok Sujiwo Tejo sebagai seorang penyanyi.
Sujiwo Tejo pernah meraih penghargaan vidoe klip terbaik pada ajang Grand
Final Video Musik Indonesia tahun 1999, saat video klip yang berjudul “Pada
Suatu Ketika” berhasil ia putar. Kemudian diikuti album berikutnya yaitu, Pada
Sebuah Ranjang (1999), Syair Dunia Maya (2005) dan Yaiyo (2007). Tidak
hanya dalam dunia musik, Sujiwo Tejo juga bergelut di bidang akting dan
menjadi sutradara di beberapa film Indonesia, salah satu film yang pernah ia
garap adalah Telegram di tahun 2001 arahan Slamet Rahardjo.
Pemikiran Sujiwo Tejo terkait karya dengan judul Seni Membaul Para
Binatang penuturan kisahnya adalah bagaimana penokohan dan alur cerita itu
disampaikan sebagai sebuah konsepsi berfikir yang berdasarkan pada kekayaan
pengalaman rasa dari seorang budayawan, yaitu tentang bagaimana ia
memahami kemerdekaan yang diartikan sebagai rintik hujan dan selanya. Saat
bagi sebagian orang hujan dimaknai sebagai sebuah fenomena alam biasa,
namun tidak bagi Sujiwo Tejo. Baginya, berapapun deras hujan yang turun dan
sederas apapun air tercurah, ternyata itu hanyalah bagian kecil bila
dibandingkan dengan sela atau ruang yang tercipta di antara rintik hujan. Hal
ini menandai bahwa makna kemerdekaan yang sesungguhya jauh lebih luas dari
apa yang bisa diberikan atau dilakukan seseorang untuk mengisi kemerdekaan.
Oleh karenanya, setiap manusia memiliki keharusan untuk mengeksplorasi,
menemukan, dan mengenali ruang-ruang kemerdekaan yang ada dalam dirinya

43
B. Sinopsis Dongeng Mbah Jiwo; Seni Membual Para Binatang
Dongeng Mbah Jiwo; Seni Membual Para Binatang merupakan sebuah
buku cerita yang terdiri dari 5 bagian, dan masing-masing bagian terdiri dari 10
judul cerita. Pada bagian pertama yang berjudul “Hukum Rimba, Politik Rimba”
yang secara umum menceritakan tentang situasi dan kondisi politik kenagaraan
masa kini. Hal ini dapat dilihat pada cerita “Raja Singa, Kancil, dan Ratunya”,
yang membahas tentang sampah menumpuk dan hutan terbakar karena ulah
manusia yang dikejar-kejar oleh bunga hutang.
Tidak hanya soal hutang, dalam salah satu cerita yang berjudul “Kura-kura
dalam Perahu dan Pengaliha Isu” juga membicaraan megenai kenaikan BPJS
yang sarat akan pengalihan isu. Hal ini dapat dilihat pada percakapan Kancil
dan Musang, dalam percakapannya mereka berkata:
“Jadi, meski sudah ada pengalihan isu, kamu tetap ingat telur mereka?”
Musang mengangguk, “Bahkan di tengah pengalihan isu apapun saat ini,
kami masih ingat, iuran BPJS bakal terus akan dinaikkan. Iya, kan?” 71

Pada cerita lain, masih pada bagian pertama, yang berjudul “KPK dan Ujung
Tanduk Banteng” mengisahkan tentang nasib lembaga antirasuah atau KPK
yang berada di ujung tanduk banteng. Artinya, nasib KPK dalam cerita ini justru
ada pada oknum lain, sehingga KPK tidak lagi bisa mengatur nasibnya sendiri
dalam melaukan pemberantasan korupsi. Hal ini dapat dibaca dalam lanjutan
ceritanya yang berjudul “Korupsi Ala Kadal dan Buaya” yang mengisahkan
tentang dibolak-baliknya aturan tentang pemberantasan korupsi, hal ini
dinyatakan secara gamblang oleh pengarang, sebagai berikut:
“Sekarang mari kita balik. Kita terlebih dahulu membahas bilah kedua.
Nanti di penghujung baru kita bahas bilah pertama. Ini melanggar aturan
dan urutan? Yidak. Ini malah seseuai dengan aturan dan perundang-
undangan zaman sekarang yang serba kebolak-balik”.72

Pada bagian pertama ini secara umum menceritakan tentang situasi dan
peristiwa kekinian yang terjadi di Indonesia, seputar BPJS, Korupsi, KPK, janji
pejabat, dan seterusnya. Pada bagian pertama seluruh tokoh yang ditampilkan

71
Ibid, h. 34.
72
Ibid, h. 39.

44
oleh pengarang adalah para binatang yang berlatar hutan rimba, hal ini terjadi
pada bagain-bagian lainnya.
Keseluruhan isi cerita yang terdapat dalam buku dongeng ini berlatar hutan
rimba, dan memiliki tokoh-tokoh hewan seperti kancil, singa, kerbau, banteng
gjah laut, kelelawar, kampret, kobra, menjangan, dan seterusnya. Isi cerita
sangat nyentrik dan unik karena disajikan dengan gaya bahasa yang ringan
namun sarat akan makna dan tak mudah untuk memahaminya, serta percakapan
para tokohnya yang cenderung kritis terhadap persoalan kehidupan saat ini.
Untuk lebih jelasnya akan disajikan bagian-bagian tersebut beserta judul yang
tertera di dalamnya, sebagai berikut:
Bagian 1: Hukum Rimba, Politik Rimba
1. Raja Singa, Kancil, dan Ratunya
2. Sepasang Rusa Dilanda Asmara
3. Monyet, Salib, dan Citah
4. Kura-kura dalam Perahu dan Pengalihan Isu
5. KPK dan Ujung Tanduk Banteng
6. Korupsi Ala Kadal dan Buaya
7. Gertak Sambal, Gertak Merpati
8. Kupu-kupu Malam dan Pahlawan Tak Kesiangan
9. Black Panther dan Penumpang Gelap Lainnya
10. Gajah Laut Menagih Janji
Bagian 2: Kabar Rimba Air Mata
1. Macan Itu Dulu Kritis
2. Bangau Putih, Penumpang Terang
3. Siamang Radikal vs Siamang Ambyar
4. Senandung Anjing-Kucing
5. Pak Babi yang Kagetan
6. Selaput Dara Hutan Perawan
7. Tuyul Itu Bernama Moge
8. Diplomasi Tingkat Kobra
9. Di Atas Langit Muka Budak

45
10. Jiwa Sraya, Jiwa Dekade
Bagian 3: Jalan Terjal Raja Singa
1. Banjir Kuntul, Banjir Macan
2. Kupu-kupu dan Riak Telaga
3. Sprilindik, Eh, Kepindik
4. Wawancara dengan Lion King
5. Carnibus Law, Herbibus Law, Omnibus Law
6. Semut Ireng Anak-anak Singa
7. Persatuan Kentut Hewan-hewan
8. Jebakan Cinta Lalat Mata-mata
9. Kura-kura dalam Harimau
10. Semut Cap Gajah Terbang
Bagian 4: Tamasya Hutan
1. Mengintip Sapi dan Tupainya
2. Al-Hayawan-I Distancing
3. Empon-empon Berbisik ke Nyambik
4. Macan Ompong dan Kambing Hitam
5. Gunung Gugah dan Moyang Macan
6. Dadu Kancil, Dadu Dadidu
7. Kura-kura yang Mungkin Bahagia
8. Startup Hewan-hewan
9. Monyet, Kisah, dan Datanya
10. Lebah Tentara, Lembah Harapan
Bagian 5: Akhir Sekuncup Dongeng
1. New Normal Jangan Me-New-Sahkan Telur Pe-New
2. Kerbau Bertanya
3. Gajah Berdendang
4. Tak Sengaja di Mata Hukum Rimba
5. Patung Banteng, Banteng Tidur, dan Banteng Presto
6. Cacing Saja Tahu Makud Cerita Ini
7. Cat Calling

46
8. Tokek, No! Tokek, Yes!
9. Bingung Judulnya Apa
10. Habis Fabel Terbitlah Silat

47
BAB IV
HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Unsur Intrinsik
Analisis unsur intrinsik ini akan dilakukan pada beberpa judul cerita yang
ada dalam Dongeng Mbah Jiwo; Seni Membual Para Binatang (selanjutnya
disingkat DMJ) karya Sujiwo Tejo. Adapun judul cerita tersebut adalah:
“Sepasang Rusa Dilanda Asmara” (disingkat SRDA), “Korupsi Ala Kadal dan
Buaya” (disingkat KAKB), “Gajah Laut Menagih Janji (disingkat GLMJ)”,
“Bangau Putih, Penumpang Terang” (disingkat BPPT), “Pak Babi yang
Kagetan” (disingkat PBK). Beberapa hal yang akan dijabarkan terkait unsur
intrinsik pada beberapa fabel tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tema
Tema merupakan unsur penting dalam sebuah karya sastra,
karena adanya tema inilah cerita yang disampaikan seolah hidup dan
nyata. Tema dalam sebuah karya sastra menjadi ide pokok dari
seorang pengarang yang disampaikan melalui karyanya. Dalam
DMJ secara umum memiliki tema yang berbeda-beda, akan tetapi
memiliki konteks cerita yang sama, yaitu tentang kewarganegaraan.
Fabel SRDA memiliki tema mayor tentang perbedaan antara
rusa pribumi dan nonpribumi. Tema tersebut dimunculkan pertama
kali oleh tokoh utama yaitu Rusa si Cerdas dan Rusa si Goblok
melalui perbincangannya di dalam Rimba Raya. Perbincangan
tersebut tergambarkan dalam fakta teks sebagai berikut:
“Mereka kini lagi sibuk menyisir mana rusa pribumi dan
nonpribumi. Angin kemarau mengembus-embuskan kabar
yang tak bisa dikacangin. Kuat bertiup desas-desus bahwa di
Rimba Raya menyusup sudah sepasang rusa nonpribumi
cowok-cewek. Maksudnya rusa palsu? Debat milenial rusa
yang cerdas. Usah ngomong soal pri dan nonpri. Sensi dan
bikin pusing. Menurut si cerdas, sejarah punya bukti bahwa

48
secara menyeluruh tidak ada pribumi di muka bumi. Semua
makhluk sejatinya pendatang”.73

Teks di atas memberikan gambaran bahwa Rusa si Cerdas


dan Rusa si Goblok berbincang mengenai menyusupnya rusa
nonpribumi ke dalam Rimba Raya. Bagi Rusa si Cerdas, kabar
mengenai rusa nonpribumi yang menyusup ke dalam Rimba Raya
bukanlah suatu persoalan yang signifikan, sebab pada dasarnya
semua makhluk di bumi merupakan pendatang dan hasil perkawinan
dari luar kawasan. Pernyataan Rusa si Cerdas yang tidak mau
mempersoalkan rusa pribumi dan nonpribumi diperkuat oleh si
narator sebagaimana kutipan teks di bawah ini:
“Semua makhluk sejatinya pendatang. Cuma, ada yang
datangnaya kepagian. Para hadirin pendahulu ini pun banyak
yang jebul Cuma hasil kawin campur nenek moyang mereka
dengan makhluk-makhluk dari luar kawasan ia datang”.74

Teks di atas mendukung tema mayor dalam cerita ini, si


narator memperkuat pendapat Rusa si Cerdas yang tidak mau
mempersoalkan perbedaan antara rusa pribumi dan nonpribumi,
sebab sejatinya semua mahluk hidup tidak ada yang pribumi,
semuanya adalah pendatang dan hasil perkawinan antar kawasan
atau wilayah. Perbincangan Rusa si Cerdas dan si Goblok tentang
perbedaan rusa pribumi dan nonpribumi semakin menjadi hingga ke
persoalan kecintaan terhadap bendera Rimba Raya. Persoalan
kecintaan terhadap bendera Rimba Raya dapat dilihat pada teks di
bawah ini:
“Bagi rusa kurang pinter itu, banyak rusa pribumi yang
malah kurang mencintai bendera Rimba. Sebaliknya, tidak
sedikit nonpribumi yang hormatnya pada bendera tandas ke
tulang. Ini lebih pas disebut rusa asli. Rusa beginianlah yang
dagingnya sebisa mungkin jangan didendeng”.75

73
Sujiwo Tejo, Dongeng Mbah Jiwo: Seni Membual Para Binatang, (Yogyakarta: Diva
Press, 2021), h. 21.
74
Ibid, h. 21.
75
Ibid, h. 22.

49
Teks di atas merupakan penjelasan sekaligus penekanan dari
narator dalam membela pendapat Rusa si Cerdas yang tidak peduli
tentang rusa pribumi dan nonpribumi, bahwa untuk mencintai
bendera negaranya tidak perlu berstatus pribumi ataupun
nonpribumi selama menduduki wilayah yang telah disepakati
sebagai suatu negara, pada prinsipnya di mana ia hidup disitulah
langit harus dijunjung.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat dipetik
kesimpulan bahwa tema cerita pada fabel pertama adalah perbedaan
rusa pribumi dan nonpribumi. Tema cerita pada mulanya diangkat
oleh tokoh utama yang sedang berbincang di dalam Rimba Raya,
tokoh utama tersebut adalah Rusa si Cerdas dan Rusa si Goblok.
Fabel KAKB memiliki tema mayor tentang definisi korupsi
yang terjadi di alam rimba. Tema korupsi dalam fabel ini diangkat
langsung oleh si narator dengan kutipan teks di bawah ini:
“Berkat ketegasan Raja Singa Sastro beserta Ratu Singa-nya
Jendro, korupsi Rimba Raya terdefinisikan seara pasti.
Penggarongan berdasi itu terpilah menjadi dua bilahan. Bilah
pertama memangsa yang bukan haknya”. 76

Kutipan teks di atas menegaskan bahwa cerita fabel tersebut


menceritakan tentang kebiasaan korupsi yang terjadi di alam rimba.
Korupsi dalam fabel ini diibaratkan sebuah pemangsaan hewan yang
tidak sesuai kebutuhannya atau berlebihan. Hal ini terlihat pada
kutipan teks di bawah ini:
“Apa yang tak berhak dimangsa? Seluruh flora dan fauna nan
lagi duaan memadu kasih. Bilah kedua, memangsa melebihi
kebutuhan pada saat pemangsaan berlangsung. Mangsa
harus pas banderol dengan kebutuhan. Sisanya disimpan di
kulkas seperti manusia? Ini tak terlalu disarankan.”77

76
Ibid, h. 39.
77
Ibid.

50
Kutipan teks di atas seolah menjelaskan definisi korupsi
yang sebenarnya, bahwa korupsi merupakan kebiasaan memangsa
kebutuhan secara berlebihan tanpa memperhatikan hak orang lain.
Tema cerita tentang korupsi kemudian dipertegas oleh
hadirnya tokoh utama bernama Kadal dan Kancil yang berprofesi
sebagai Menteri Informasi Alam Rimba. Pertanyaan yang diajukan
Kadal adalah definisi tentang korupsi di Rimba Raya, hal ini
sebagaimana kutipan teks di bawah ini:
“O ya, bagaimana dengan beruang? Tanya seorang Kadal
kepada Kancil, Menteri Informasi Alam Rimba”.78

“Hmmm ... ya ... ya ... Beruang juga diizinkan melahap biji-


bijian melampaui kebutuhannya saat ia memakannya. Raja
Singa bersabda bahwa di musim gugur beruang bisa
menyimpan kelebihan kacang pinus sebagai gajih. Ini demi
energi bagi tidur panjangnya di musim berikutnya, musim
dingin”.79

Kutipan teks di atas memperkuat tema cerita tentang definisi


korupsi yang diangkat oleh si narator dalam cerita. Kadal sebagai
tokoh utama memiliki rasa iri kepada hewan-hewan lain yang
dizinkan oleh Raja Singa mengkonsumsi makanan secara
berlebihan, tetapi rasa iri tersebut tidak bisa ia (Kadal) tampakkan di
hadapan Kancil sebagai Menteri Informasi Alam Rimba, karena
Kancil buru-buru memberikan penjelasan mengenai aturan yang
dibuat oleh Raja Singa. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan teks
di bawah ini:
“Sebelum Kadal menampang wajah irihatinya, Kancil cepat-
cepat mengimbuhkan bahwa Raja Singa menetapkan syarat
ekstra. Beruang boleh berlebih-lebihan ngemil asal jangan
mentang-mentang punya uang. Umpamanya si empunya
uang, beruang itu, main suap manusia agar mendapat surplus
biji-bijian. Ini sudah masuk ranah korupsi!”.

78
Ibid, h. 41.
79
Ibid.

51
Teks di atas merupakan penjelasan si narator terhadap kedua
tokoh utama yang sedang berbincang mengenai definisi korupsi
yang diterapkan oleh Raja Singa melalui aturan-aturan kepada
masyarakatnya di Rimba Raya. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa, tema mayor dalam cerita ini adalah definisi korupsi. Untuk
memperkuat tema, dihadirkan dua tokoh utama yaitu Kadal dan
Kancil. Cerita ini secara keseluruhan berlatar di dalam Rimba Raya.
Fabel GLMJ mengangkat tema mayor tentang ingkar janji
seorang pemimpin, tema tersebut pertama kali dimunculkan oleh si
narator dengan kutipan teks di bawah ini:
“Tak ingin mengulur-ulur suasana kikuk, Gajah Laut
langsung ke pokok masalah mengapa dia datang menghadap
Raja Singa. Dia menagih janji agar populasinya diatur
dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
aliar Perppu. Selama ini, perkembangbiakan gajah laut
terlalu liberal, terlalu bebas, terlalu diserahan kepada
alam”.80

Kutipan teks di atas menjelaskan bahwa datang seekor Gajah


Laut selaku tokoh utama menghadap Raja Singa ke dalam Rimba
Raya. Gajah laut ingin menagih janji yang tak kunjung ditepati oleh
Raja Singa, janji tersebut adalah penerbitan Perppu yang mengatur
tentang populasi dan perkembangan kelompok gajah laut yang
semakin liberal dan bebas. Hal ini dapat dilihat pada kutipan teks di
bawah ini:
“Hingga menjelang malam. Gajah Laut mengangguk.
Tolong keluarkan Perppu, please. Tolong aturlah agar kalau
kami punya makanan, kaum ibu membaginya dengan adil,
ya ke anak laki-laki, ya ke anak cewek. Jangan sampai gadis-
gadis kamu kurang nutrisi, lalu mati.”

Kutipan teks di atas mempertegas permasalahan utama


dalam tema cerita, bahwa hingga malam tiba Raja Singa belum juga

80
Ibid, h. 60.

52
menunaikan janjinya meskipun Gajah Laut telah panjang lebar
menjelaskan pemasalahan yang terjadi pada kelompoknya. Meski
demikian Perppu yang dijanjikan oleh Raja Singa tidak kunjung
diterbitkan juga, bahkan Gajah Laut mengira Raja Singa takut untuk
menerbitkan Perppu tersebut tanpa tahu alasannya. Hal ini dapat
dilihat pada kutipan teks di bawah ini:
“Hingga menjelang senja, Perppu yang dijanjikan tak
kunjung dikeluarkan Raja Singa. Gajah Laut menyangka
Raja Singa takut. Takutnya nanti hukum alam akan marah
bila dia intervensi dengan aturan-aturan bikinan manusia”. 81

Kutipan teks di atas menjelaskan bahwa, Raja Singa sebagai


pimpinan enggan menepati janjinya kepada Gajah Laut karena takut
hukum alam akan marah karena diintervensi oleh manusia. Hal
tersebut semakin mempertegas tema dalam fabel ini.
Berdasarkan pemaparan tema di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa tema mayor dalam cerita di atas adalah ingkar
janji seorang pemimpin kepada warganya di Rimba Raya. Tema
cerita tersebut memiliki dua tokoh utama yaitu, Gajah Laut dan Raja
Singa, juga memiliki tokoh pembantu yaitu Ratu Singa. Keseluruhan
cerita berlatar di Rimba Raya dari pagi hingga menjelang malam.
Fabel BPPT memiliki tema mayor tentang pentingnya tolong
menolong antar sesama atau gotong royong. Tema cerita pertama
kali diangkat oleh si narator dengan adanya kutipan teks di bawah
ini:
“Seorang Wildebeest terseok-seok di bantaran sungai.
Makhluk berkaki empat yang masih kerabat kambing itu tak
kunjung mampu menyusul kawanannya yang sudah pada
mentas. Ujung kaki belakangnya dicaplok buaya. Heran.
Kawanan makhluk berambut mirip kuda itu tidak ada yang
balik kanan menolongnya”.82

81
Ibid, h. 61.
82
Ibid, h. 69.

53
Kutipan teks di atas menandakan bahwa tema dalam fabel ini
adalah pentingnya menolong dan memperhatikan sesama.
Dikisahkan dalam cerita tersebut jurtru yang menolong Widebeest
selaku tokoh utama bukanlah kawanannya sendiri melainkan
kawanan Monyet. Hal ini dapat dilihat pada kutipan teks di bawah
ini:
“Monyet yang bukan sanak bukan famili mereka malah
mendingan. Sejak para Wildebeset itu berderet sepanjang
tepi sungai dengan mencelupkan moncongnya untuk turun
minum, para monyet berlompatan depan mereka. Seakan
membatasi para Wildebeest agar tak lebih menjorokkan lagi
moncong dan badannya ke arah sungai yang banyak
buayanya itu”.83

Kutipan di atas memperkuat tema tentang tindakan tolong


menolong tanpa memandang kelompok. Hal ini dibuktikan dengan
tindakan kelompok monyet yang berusaha menolong kalangan
Wildebeest meskipun bukan kelompoknya sendiri.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa tema pada cerita tersebut adalah gotong royong tanpa
pandang bulu. Tokoh utama dalam cerita adalah Wildebeest dan
Raja Singa, keseluruhan cerita terjadi di pinggir sungai Rimba Raya.
Fabel PBK memiliki tema mayor tentang pembalasan para
tikus. Tema ini pertama kali dimunculkan oleh kawanan tikus
sebagaimana kutipan teks di bawah ini:
“Tunggu. Adilkah ini?”
“Adil, Bro!!!”
“Raja dan Ratu Singa Sastro-Jendro mengizinkan kita
mengganyang sawah-sawah manusia rakus.”84

Kutipan teks di atas memperkuat tema mayor yang diangkat


dalam cerita ini, diketahui bahwa para tikus sedang merencanakan
balas dendam kepada petani yang memaki-maki tikus karena

83
Ibid, h. 69-70.
84
Ibid, h. 81.

54
sebagian sawahnya digerogoti oleh kawanan tikus. Hal ini
sebagaimana kutipan teks di bawah ini:
“Paman petani memaki-maki tikus. Masyarakat tikus
tersinggung. Rupanya bukan mitos belaka bahwa hewan
pengerat itu tak boleh dihina-hina. Etika si paman
mengumpat-umpat mereka gegara sawahnya sebagian
digerogoti laskar tikus”.85

Akibat dari makian para petani itulah kemudian para tikus


tersinggung. Untuk melampiaskan ketersingungannya tersebut
kemudian para tikus merencanakan pembalasan kepada paman
petani. Hal ini sebagaimana kutipan teks di bawah ini:
“Diingatkan oleh info tersebut, tikus bijak itu semakin
tambah bijak. Maksudnya? Dia setuju untuk menyikat habis
sawah milik petani egois, yang menganggap alam semesta
ini cuma milik manusia, yang hama-hama tak boleh ikut
senang”.86

Tidak selesai pada perencanaan tikus-tikus untuk


menghabisi sawah miliki petani, tetapi merambat pada penghasutan
para tikus terhadap babi untuk membantu merusak sawah petani,
lantaran para tikus merasa dinistakan oleh petani itu sendiri. Hal ini
dapat diidentifikasi pada kutipan teks di bawah ini:
“Tapi, sebaiknya jangan kita sendiri yang turun tangan,”
tambah si bijak. Ndak level menurutnya bila tikus-tikus yang
terhormat berhadapan langsung dengan manusia yang
mutunya serendah paman petani itu. Usulnya, nabok nyilih
tangan saja. Manfaatkan pihak lain untuk mengobrak-abrik
sawah si petani. Dalam hal ini, pihak lain itu yang memang
kepakarannya mengacak-acak tanaman setanah-tanahnya:
babi hutan!”87

Kutipan teks di atas menjelaskan bahwa, para tikus dalam


menyerang sawah petani ingin memanfatkan kekuatan babi hutan

85
Ibid.
86
Ibid, h. 82.
87
Ibid, h. 82.

55
supaya pak tani yang egois tersebut tidak lagi menyalahkan para
tikus.
Berdasarkan penjelasan dari masing-masing fabel di atas,
maka dapat ditemukan beberapa tema utama dalam kelima fabel
dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Fabel Tema
Fabel SRDA Perbedaan Pribumi dan nonpribumi
Fabel KAKB Definisi Korupsi
Fabel GLMJ Ingkar janji pemimpin
Fabel BPPT Gotong-royong
Fabel PBK Pembalasan para tikus

2. Tokoh dan Penokohan


Tokoh merupakan karakter atau pelaku yang diceritakan
dalam sebuah karya sastra termasuk fabel. Tokoh berkaitan erat
dengan penokohan, di mana penokohan merupakan watak, sifat,
tingkah laku dari tokoh yang ada dalam sebuah cerita. Oleh sebab
itu, tokoh dan penokohan memiliki keterkaitan yang sangat erat dan
tidak dapat dipisahkan dari unsur cerita. Pada bagian ini hanya akan
dijelaskan tokoh utama dalam Dongeng Mbah Jiwo: Seni Membual
Para Binatang, adapun penjelasannya sebagai berikut:
Fabel SRDA memiliki beberapa tokoh seperti rusa “si
Cerdas” dan rusa “si Goblok”, Kancil, dan rusa cowok-cewek. Rusa
“si Cerdas” merupakan tokoh utama yang secara fisiologis
merupakan hewan rusa sebagaimana pada umumnya yang memiliki
watak tidak mudah percaya serta ketus terhadap persoalan yang
belum tentu benar. Rusa “si Goblok” merupakan tokoh pembantu,
secara fisiologis, ia juga rusa sebagaimana mestinya yang memiliki
watak serba terbalik dengan rusa sebelumnya; ia tidak terlalu pintar
dan mudah percaya atas isu-isu yang beredar di hutan rimba. Kancil
adalah Menteri Informsi Alam Rimba yang berperan sebagai tokoh

56
pembantu, memiliki watak yang sama dengan Rusa “si Goblok”.
Sedangkan rusa cowok-cewek secara ketokohan tidak digambarkan
begitu jelas oleh si penulis, mereka hanya menjadi objek pembicaran
antara Rusa “si Cerdas” dan “si Goblok”. Ketokohan mereka
didukung dengan kutipan-kutipan teks di bawah ini:
“Maksudnya rusa palsu? Debat milenial rusa yang cerdas.
Usah ngomong soal pri dan nonpri. Sensi dan bikin pusing”.
88

Teks di atas menjelaskan bahwa si Cerdas sebagai tokoh


utama sedari awal sudah tidak mau membahas mengenai rusa
nonpribumi yang dianggap penyusup di Rimba Raya. Secara
karakter atau perwatakannya, rusa tersebut ketus dan cenderung
tidak mau tahu. Tetapi keketusannya tersebut memiliki alasan yang
cukup kuat. Hal ini dapat dilihat pada teks di bawah ini:
“Menurut si Cerdas, sejarah punya bukti bahwa secara
menyeluruh tidak ada pribumi di muka bumi. Semua
makhluk sejatinya pendatang. Cuma, ada yang datangnaya
kepagian. Para hadirin pendahulu ini pun banya yang jebul
Cuma hasil kawin campur nenek moyang mereka dengan
makhluk-makhluk dari luar kawasan ia datang”.89

Tokoh selanjutnya adalah Kancil selaku Menteri Informasi


Rimba Raya tokoh ini masuk dalam tokoh dengan watak protagonis.
Ia sangat protektif terhadap rusa nonpribumi yang menyelinap
masuk ke dalam Rimba Raya, bahkan sedemikian protektifnya ia
meminta kepada rusa “si Goblok” sebagai tokoh pembantu. Sikap
protektif Kancil dapat dilihat pada teks di bawah ini:
“Ia usul, sweeping rusa palsu yang diduga malihan insan
mayapada itu tak perlu repot-repot. Suruh aja rusa ayah anak
berakting mesra-mesraan. Di antara kerumunan rusa, rusa-
rusa yang keberatan memandang inses dan melerainya,
itulah rusa palsu”.90

88
Ibid, h. 21
89
Ibid, h. 21.
90
Ibid, h. 24.

57
Cerita ini ditutup dengan usulan rusa “si Goblok” mengenai
pengambilan foto atas rusa-rusa yang melakukan hubungan kelamin
antar kerabat. Hal ini dapat dilihat pada teks di bawah ini:
“kita potret kolosal saja, Pak Kancil. Yang begitu dipotret
langsung bergaya bebas, itu rusa asli. Yang gaya bebasnya
masih nunggu dulu aba-aba tukang foto, itu rusa palsu.
Hanya manusia yang untuk bebas atau merdeka saja masih
bebas atau merdeja saja masih disuruh-suruh”. 91

Berdasarkan kutipan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa


rusa “si Cerdas” merupakan tokoh utama yang memiliki sifat baik,
hal ini terbukti dengan kebijaksanaannya dalam merespon kabar
mengenai rusa nonpribumi. Sedangkan Kancil merupakan tokoh
antagonis yang sensitif atas persoalan pribumi dan nonpribumi,
sementara rusa “si Goblok” merupakan tokoh pembantu
melancarkan jalan cerita.
Tokoh pada fabel KAKB sangatlah kompleks, tetapi tokoh
utama pada cerita fabel ini adalah Kadal dan Kancil, hal ini terlihat
pada kutipan teks di bawah ini:
“O iya bagaimana dengan beruang? Tanya seorang Kadal
kepada Kancil, menteri informasi alam rimba”.

Berdasarkan kutipan teks di atas, Kadal memiliki karakter


yang suka bertanya tetapi memiliki rasa iri kepada siapapun yang
melampauinya. Hal ini dibuktikan dengan kutipan teks di bawah ini:
“Sebelum Kadal menampang wajah iri hatinya, Kancil
cepat-cepat mengimbuhkan bahwa Raja Singa menetapkan
syarat-syarat ekstra. Beruang boleh berlebih-lebihan ngemil
asal jangan mentang-mentang punya uang”.92

Sementara Kancil sebagai menteri informasi alam rimba


memiliki karakter yang sangat mudah mengelak untuk menghindar

91
Ibid.
92
Ibid, h. 41-42.

58
dari jawaban sesungguhnya atas pertanyaan-pertanyaan Kadal. Hal
ini dapat dilihat pada kutipan teks di bawah ini:
“Hmmm … ya … ya … Beruang juga diizinkan melahap
biji-bijian melampauai kebutuhannya saat ia memakannya.
Raja Siang bersabda bahwa di musim gugur, beruang bisa
meyimpan kelebihan kacang pinus sebagai gajih. Ini bagi
energi tidur panjangnya di musim berikutnya, musim
dingin”.93

Kutipan teks di atas mengidentifikasi bahwa Kancil selaku


menteri informasi alam rimba selalu memiliki kekuatan untuk
mengelak dari pertanyaan-pertanyaan sensitif perihal korupsi yang
ditanyakan oleh Kadal, bahkan Kancil selalu membawa nama Raja
Singa sebagai pimpinan alam rimba untuk melegitimasi pernyataan-
pernyataannya.
Tokoh selanjutnya adalah para tupai yang berperan sebagai
pewarta sekaligus tokoh pembantu dalam cerita. Hal ini dapat
diidentifikasi pada kutipan teks di bawah ini:
“Di tengah-ditengah sidang kabinet terbatas itu, berlompatan
masuk tupai-tupai pembawa warta. Dari pucuk pohon-
pohon-pohon kelapa raksasa yang setinggi menara pemancar
televisi analog, mereka menyaksikan non jauh di luar rimba,
dunia manusia mengibarkan bendera setengah tiang.”94

Berdasarkan kutipan teks di atas, tokoh tupai adalah tokoh


pembantu yang berfungsi untuk membantu jalannya cerita tentang
korupsi di alam rimba. Sosoknya hanya tampil pada akhir cerita
dalam febel ini.
Fabel GLMJ memiliki beberapa tokoh yaitu, Gajah Laut
berperan sebagai rakyat biasa merupakan tokoh utama. Secara
fisiologis, Gajah Laut merupakan hewan sebagaimana mestinya
yang memiliki watak peduli pada sesama, hal itu ia butikan dengan
perjalanannya ke dalam hutan demi membicarakan kondisi

93
Ibid, h. 41.
94
Ibid, h. 43.

59
sekawanannya di dalam air, ia rela berjalan terseok-seok meskipun
tidak terbiasa berjalan di atas tanah dengan jarak tempuh yang cukup
jauh. Raja Singa berperan sebagai pemimpin juga sebagai tokoh
utama dalam cerita, ia memiliki watak yang jumawa dan tidak
mudah percaya terhadap rakyat yang dipimpinpinnya termasuk
Laut, secara fisiologis ia merupakan hewan terkuat di alam rimba.
Sedangkan Ratu Singa berperan sebagai istri sang raja sebagai tokoh
pembantu yang memiliki watak suka bercanda, secara fisiologis ia
merupakan singa betina yang suka berdandan di depan rakyatnya
yang sedang menghadap ke Raja Singa. Ketokohan Gajah laut
sebagai tokoh utama dapat dilihat pada teks di bawah ini:
“Berkurangnya sampah plastik menuai buah. Hewan-hewan
hepi-hepi. Saking hepinya, jarang-jarang Gajah Laut tertatih-
tatih hingga ke pelosok belantara. Biasanya hewan yang
berbelalai yang jalannya tertatih-tatih dengan siripnya itu
cuma thunak-thunuk seputar pesisir”.95

Teks di atas merupakan narasi pembuka dari fabel, hal ini


sudah dapat dipastikan bahwa tokoh utamanya adalah Gajah Laut
yang datang ke alam rimba untuk menemui pemimpinnya.
Kemudian tokoh selanjutnya adalah Raja Singa sebagai pemimpina
Rimba Raya. Penokohan Raja Singa sebagai pemimpin bukan hanya
karena namanya, melainkan dalam jalan ceritanya pun ia ditokohkan
sebagai pemimpin seluruh hewan yang ada di Rimba Raya. Hal ini
dapat dilihat pada kutipan teks di bawah ini:
“Gajah Laut langsung ke pokok masalah mengapa dia datang
menghadap Raja Singa. Dia menagih janji agar populasinya
diatur dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang aliar Perppu.”96

Melalui kutipan di atas, ketokohan Raja Singa sebagai


pimpinan tidak hanya sebatas nama, melainkan terletak pada

95
Ibid, h. 57.
96
Ibid, h. 60.

60
kekuasannya yang bisa membuat atau mengubah kebijakan. Tokoh
selanjutnya adalah Ratu Singa, tokoh ini sebenarnya hanya tokoh
pembantu yang memuluskan jalannya cerita. Ratu Singa hanya
berfungsi untuk bercanda dan menimpali percakapan antara Gajah
Laut dan Raja Singa. Ratu Singa sebagai tokoh pembantu dapat
dilihat pada kutipan teks di bawah ini:
“Ratu pun cekikikan. Gantian Gajah Laut yang kebingungan.
Adakah yang lucu dari laporannya barusan?”. 97

Sepanjang jalannya cerita, Ratu Singa hanya bercanda juga


sesekali melengkapi candaan Raja Singa. Hal ini menunjukkan
bahwa Ratu Singa hanyalah tokoh pembantu dalam fabel ini.
Fabel BPPT memiliki banyak sekali tokoh di sepanjang
ceritanya, akan tetapi hanya ada beberapa tokoh penting yang
memperkuat isi cerita yaitu Wildebeest sebagai tokoh utama, Raja
Singa sebagai tokoh utama, Ratu Singa, Buaya, dan Kancil sebagai
tokoh pembantu. Wildebeest selaku tokoh utama dapat dilihat pada
kutipan teks di bawah ini:
“Seorang Wildebeest terseok-seok di bantaran sungai.
Makhluk berkaki empat yang masih kerabat kambing itu tak
kunjung mampu menyusul kawanannya yang sudah pada
mentas.98

Wildebest selaku tokoh utama memiliki watak yang lugu


serta fisik yang ringkih, ia selalu menjadi perbincangan di dalam
keseluruhan cerita lantaran kakinya dicaplok buaya dan tidak ada
kawanannya yang menolong. Tokoh selanjutnya adalah Buaya,
tokoh ini tidak banyak berperan, perannya hanya satu yaitu
mencaplok kaki Wildebeest, buaya digambarkan sebagai hewan
yang suka memangsa hewan lainnya. Kemudian Raja Singa selaku

97
Ibid, h. 58
98
Ibid, h. 69.

61
pimpinan alam rimba yang berwatak sinis dan selalu menyalahkan,
hal ini dapat diidentifikasi dalam kutipan teks di bawah ini:
“Dalam sidang etika, Raja Singa Sastro mempersalahkan
Wildebeest nahas itu. Salahnya selalu berharap pertolongan
pada kelompoknya sendiri, yaitu kawanan wildebeest.
Padahal pertolongan kerap datang dari bukan kelompok atau
partainya sendiri”.99

Tokoh selanjutnya adalah Ratu Singa Jendro yang memiliki


watak judes, hal ini dapat dilihat pada kutipan teks di bawah ini:
“Ratu Singa Jendro judes luar biasa, menilai wildebeest
malang ini tak tahu berterima kasih kepada partai di luar
partainya, yaitu Partai Monyet dan Partai Bangau”.100

Selain tokoh-tokoh di atas juga terdapat tokoh-tokoh


pembantu seperti Kancil dan Kuda Nil. Tokoh tersebut hanya
berfungsi untuk melancarkan jalannya cerita saja.
Fabel PBK memiliki beberapa tokoh yaitu tikus, petani, dan
babi hutan. Para tikus merupakan tokoh utama dalam cerita.
Kawanan tikus digambarkan sebagai tokoh yang memiliki watak
yang begitu cerdas serta tokoh yag dianggap rakus. Hal ini dapat
diidentifikasi pada kutipan teks di bawah ini:
“Tunggu. Adilkah ini? Seorang tikus yang tampaknya cukup
bijak memastikan rencana”.101

Tokoh selanjutnya adalah Petani, tokoh ini dapat


diidentifikasi sebagai tokoh antagonis sekaligus tokoh pembantu
dalam cerita. Petani secara fisiologis merupakan seseorang yang
memiliki sawah, yang setiap tahun sawahnya selalu digerogoti oleh
kawanan tikus, ia memiliki watak yang tamak, pemarah, dan mudah
menyalahkan makhluk lain tanpa introspeksi diri. Hal ini dapat
dilihat pada kutipan teks di bawah ini:

99
Ibid, hlm. 71.
100
Ibid, 71.
101
Ibid, h. 81.

62
“Paman petani memaki-maki tikus. Masyarakat tikus
tersinggung. Rupanya bukan mitos belaka bahwa hewan
pengerat itu tidak boleh dihina-hina. Ketika si paman
mengumpat-umpat mereka gegara sawahnya sebagian
digerogoti oleh laskar tikus, laskar tersebut membuktikan
mitos”.102

Kutipan teks di atas memperkuat karakter paman petani yang


keras dan suka mengumpat. Tokoh selanjutnya adalah babi hutan,
posisinya sebagai tokoh pembantu dalam cerita yang memiliki
karakter kagetan. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan teks di
bawah ini:
“Benar. Sampailah info pada makhluk yang paling gampang
kagetan, babi hutan”.103

Kutipan teks di atas memperkuat karakter babi hutan yang


kagetan, dan posisinya sebagai tokoh pembantu karena tokoh babi
hutan hanya muncul di akhir cerita.
Berdasarkan penjelasan pada tokoh-tokoh dalam kelima
fabel di atas, maka tokoh-tokoh tersebut dapat dilihat pada tabel di
bawah ini:
Fabel Tokoh Penokohan
Fabel SRDA Rusa “si Cerdas” Tokoh Utama
Rusa “si Goblok”, Tokoh Utama
Kancil Tokoh Pembantu
Rusa cowok-cewek Tokoh Pembantu
Fabel KAKB Kadal Tokoh Utama
Kancil Tokoh Utama
Tupai Tokoh Pembantu
Fabel GLMJ Gajah Laut Tokoh Utama
Raja Singa Tokoh Utama

102
Ibid, h. 81.
103
Ibid, h. 85.

63
Ratu Singa Tokoh Pembantu

Fabel BPPT Wildebeest Tokoh Utama


Raja Singa Tokoh Utama
Buaya Tokoh Pembantu
Ratu Singa Tokoh Pembantu
Kancil Tokoh Pembantu

Fabel PBK Tikus Tokoh Utama


Petani Tokoh Pembantu
Babi hutan Tokoh Pembantu

3. Alur
Alur atau plot merupakan rangkaian peristiwa dalam sebuah
karya sastra. Alur berfungsi untuk menjalankan cerita, mengarahkan
pembaca untuk mengikuti proses yang dibuat oleh pencipta karya.
Menurut Nurgiyantoro alur merupakan sebuah peristiwa yang
ditampilkan dalam cerita dan bersifat sederhana, karena pengarang
menyusun peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan hubungan sebab
akibat. Alur tersebut dapat ditemukan pada beberapa fabel dalam
DMJ karya Sujiwo Tejo.
Fabel SRDA dimulai dengan narasi si penulis tentang
hajatan rusa-rusa di Rimba Raya. Situasi juga dibuka dengan
tanggapan rusa “si Cerdas” yang tidak mau membahas kabar tentang
menyusupnya sepasang rusa pribumi dan nonpribumi. Situasi yang
dipenuhi dengan kabar telah menyusupnya sepasang rusa non
pribumi tersebut dapat dilihat pada teksi di bawah ini:
“Angin kemarau mengembus-embuskan kabar yang tak bisa
dikacangin. Kuat bertiup desas-desus bahwa di Rimba Raya
menyusup sudah sepasang rusa nonpribumi cowok-
cewek”.104

104
Ibid, h. 21.

64
Berdasarkan kutipan teks di atas, si penulis ingin
mengantarkan pembaca pada titik peristiwa dalam fabel yang
mengarah kepada satu konflik yaitu masalah pribumi dan
nonpribumi. Pemunculan konflik dalam fabel ini ditandai dengan
adanya kutipan teks di bawah ini:
“Maksudnya rusa palsu? Debat milenial rusa yang cerdas.
Usah ngomong soal pri dan nonpri. Sensi dan bikin
pusing”.105

Teks di atas dapat diasumsikan sebagai tahap pemunculan


konflik dalam cerita. Kemudian pada tahap konflik selanjutnya,
masalah pribumi dan nonpribumi merembet pada hal-hal yang
bersifat nasionalisme seperti pada kutipan di bawah ini:
“Banyak rusa pribumi yang malah kurang mencintai bendera
rimba. Sebaliknya, tak sedikit nonpribumi yang hormatnya
pada bendera tandas ke tulang. Ini lebih pas disebut rusa asli.
Rusa beginianlah yang dagingnya sebisa mungkin jangan
didendeng”.106

Kutipan teks di atas mengidentifikasikan bahwa terjadi


perdebatan mengenai siapa yang lebih mencintai bendera Rimba.
Bahkan rasa kecintaan terhadap bendera lebih tinggi rusa
nonpribumi ketimbang rusa nonpribumi. Kemudian alur cerita
dibawa lagi ke pembahasan masalah penyusupan rusa pribumi dan
non pribumi, permasalahan ini sekaligus menjadi titik klimakas
dalam sebuah cerita. Akhir dari cerita ini dapat dilihat pada teks di
bawah ini:
“Usul si Goblok, kita potret kolosal aja, Pak Kancil. Yang
begitu dipotret langsung bergaya bebas, itu rusa asli. Yang
bergaya bebasnya masih nunggu dulu aba-aba tuang foto, itu
rusa palsu. Hanya manusia yang untuk bebas atau merdeka
saja masih harus disuruh-suruh”. 107

105
Ibid.
106
Ibid, h. 22.
107
Ibid, h. 24

65
Kutipan teks di atas menjadi akhir dari cerita, bahwa rusa si
Goblok dan Pak Kancil tengah berupaya untuk mengidentifikasi
mana rusa yang asli dan mana rusa yang palsu. Pada fabel ini juga
dapat diidentifikasi bahwa alur yang dibuat oleh si penulis dalam
cerita adalah alur campuran.
Fabel KAKB mengawali tahap penyituasian yang dapat
dilihat pada teks di bawah ini:
“Berkat ketegasan Raja Singa Sastro beserta Ratu Singa-nya
Jendro, korupsi Rimba Raya terdefinisikan seara pasti.
Penggarongan berdasi itu terpilah menjadi dua bilahan. Bilah
pertama memangsa yang bukan haknya”. 108

Berdasarkan teks di atas, bahwa tahap penyituasian dimulai


dengan hasil dari ketegasan pimpinan alam rimba yaitu Raja Singa
Sastro yang telah mendefinisikan secara pasti apa itu korupsi. Pada
tahap ini sekaligus memunculkan sebuah perdebatan atau konflik
yang terjadi di tengah-tengah masyarakat rimba. Pendefinisian
korupsi yang semula diniatkan untuk memberikan arti atas tindakan
korupsi justru melahirkan tafsiran yang harus dijawab oleh para anak
buah Raja Singa Sastro. Pemunculan konflik pada mulanya diawali
dengan munculnya kebijakan dari Raja Singa Sastra tentang definisi
korupsi, hal ini dapat dilihat pada kutipan teks di bawah ini:
“Raja dan Ratu Singa tegas menandaskan, hanya yang secara
natural dibekali kemampuan untuk menyimpan makananlah
yang diperkenankan memangsa melebihi kebutuhan saat
pemangsaan langsung. Kebutuhan, lho, ya, bukan keinginan.
Buaya dan unta contohnya”.109

Kutipan teks di atas dapat diidentifikasi sebagai awal dari


pemunculan konflik pada cerita korupsi di alam rimba. Konflik
tersebut jelas terdapat pada kebijakan mengenai definisi korupsi
yang tidak selaras dengan kenyataan dan undang-undang korupsi

108
Ibid, h. 39.
109
Ibid, h. 41

66
yang selalu dilonggarkan. Hal ini dapat dilihat pada teksi di bawah
ini yang juga bagian dari konflik cerita:
“Buaya bebas mencaplok badogan apa saja secara jor-joran.
Mereka tak akan dikenai pasal korupsi yang sudah direvisi,
yang tujuan revisinya baik walau rakyat menganggapnya
malah sebagai pelonggaran korupsi”.110

Pada tahap selanjutnya adalah tahap klimaks dalam fabel ini.


Tahap klimaks pada fabel ini dapat dilihat pada kutipan teks di
bawah ini:
“Kami melihat di kejauhan sana manusia sedang berkabung
karena korupsi merajalela, sang Raja. Para pemimpin
memakan hati rakyat yang sedang jatuh cinta. Bukankan ini
korupsi bilah pertama?”

“Raja Singa sungkan menyakiti tupai-tupai. Tak beliau


koreksi laporan itu walau ia tahu dari investigasi kadal-kadal
bahwa pengibaran setengah tiang selama tiga hari kemarin
bukanlah perkabungan merah putih terhadap korupsi, tapi
karena ada koruptor besar yang meninggal”.

Kutipan teks tersebut berfungsi sebagai tahap penyelesaian


dari cerita ini. Kutipan tersebut juga memberkan penekanan bahwa
korupsi merajalela tidak hanya di alam rimba, tetapi juga dunia
manusia, bahkan pengibaran bendera setengah tiang yang dilakukan
bukanlah perkabungan merah putih kepada hilangnya korupsi di
bumi pertiwi melainkan ditujukan pada seorang koruptor besar yang
meninggal dunia.
Berdasarkan keseluruhan alur yang dibuat oleh si penulis,
maka fabel kedua ini dapati diidentifikasi sebagai alur maju.
Fabel GLMJ mengawali tahap penyituasian yang dapat
dilihat pada teks di bawah ini:
“Berkurangnya sampah plastik menuai buah. Hewan-hewan
hepi-hepi. Saking hepinya, jarang-jarang Gajah Laut tertatih-
tatih hingga ke pelosok belantara. Biasanya hewan yang

110
Ibid.

67
berbelalai yang jalannya tertatih-tatih dengan siripnya itu
cuma thunak-thunuk seputar pesisir”.111

Berdasarkan teks di atas, bahwa tahap penyituasian dimulai


dengan datangnya Gajah Laut ke pelosok belantara untuk menagih
janji kepada Raja Singa. Pokok dari tahap penyituasian ini adalah
pengenalan terhadap tokoh dalam cerita sekaligus tahap awal dari
konflik yang akan terjadi. Selanjutnya tahap pemunculan konflik
pada cerita ini ditandai dengan pengutaraan niat Gajah Laut
menghadap kepada Raja Singa. Hal ini dapat dilihat pada kutipan
teks di bawah ini:
“Tak ingin mengulur-ulur suasana kikuk, Gajah Laut
langsung ke pokok masalah mengapa dia datang menghadap
Raja Singa. Dia menagih janji agar populasinya diatur
dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
aliar Perppu. Selama ini, perkembangbiakan gajah laut
terlalu liberal, terlalu bebas, terlalu diserahan kepada
alam”.112

Kutipan teks di atas dapat diidentifikasi sebagai tahap


pemunculan konflik yang terjadi antara Gajah Laut dan Raja Singa,
lantaran janji Raja Singa untuk Gajah Laut belum juga ditunaikan.
Tahapan konflik meningkat tatkala hingga menjelan malam Gajah
Laut tidak mendapatkan apa yang dia inginkan, yaitu peraturan yang
mengatur mengenai populasi gajah laut yang semakin timpang, hal
ini dapat diidentifikasi pada kutipan teks di bawah ini:
“Hari menjelang malam. Gajah Laut mengangguk. Tolong
keluarkan Perppu, please. Tolong aturlah agar kalau kami
punya makanan, kaum ibu membaginya adil, ya ke anak laki-
laki, ya ke anak cewek. Jangan sampai gadis-gadis kami
kurang nutrisi, lalu mati”.113

Kemudian konflik memuncak, pada saat Raja Singa tak


kunjung menepati janjinya kepada Gajah Laut karena takut pada

111
Ibid, h. 57.
112
Ibid, h. 60.
113
Ibid, h. 61.

68
hukum alam. Hal ini dapat diidentifikasi pada kutipan teks di bawah
ini:
“Hingga menjelang senja, Perppu yang dijanjikan tak
kunjung dikeluarkan Sang Raja. Gajah Laut menyangka Raja
Singa taut. Takutnya nanti hukum alam akan marah bila dia
intervensi dengan aturan-aturan bikinan manusia”.114

Setalah konflik memuncak, cerita ini kemudian ditutup


dengan apa yang sejatinya dipikirkan oleh Raja Singa, hal ini dapat
dilihat pada kutipan teks di bawah ini:
“Gajah Laut tak tahu bahwa sejatinya Raja Singa tak takut.
Raja hanya masih menimbang-nimbang keras bagaimana
menjaga jarak fisik dirinya dengan rakyat yang berwujud
gajah laut, bagaimana meningkatkan pengamanan dirinya
dan para pejabat negara lainnya yang akhir-akhir ini
terancam, tanpa mengurangi keakraban dengan
rakyatnya”.115

Berdasarkan kutipan teks di atas, maka dapat disimpulkan


bahwa sejatinya Raja Singa benar-benar tidak mau menepati
janjinya kepada Gajah Laut, yang ia (Raja Singa) lakukan dari awal
cerita merupakan sebuah kamuflase agar tidak kelihatan
menghindari dari rakyatnya yaitu kalangan gajah laut.
Berdasarkan keseluruhan alur yang dibuat oleh si penulis,
maka fabel kedua ini dapati diidentifikasi sebagai alur maju.
Fabel BPPT dimulai dengan tahap penyituasian langsung
pada pokok persoalan cerita yaitu kaki wildebeest yang dicaplok
buaya dan tidak ditolong oleh kawanannya, justru kawanan monyet
yang menolongnya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan teks di bawah
ini:
“Seorang Wildebeest terseok-seok di bantaran sungai.
Makhluk berkaki empat yang masih kerabat kambing itu tak
kunjung mampu menyusul kawanannya yang sudah pada
mentas. Ujung kaki belakangnya dicaplok buaya. Heran.

114
Ibid, h. 61.
115
Ibid, h. 62.

69
Kawanan makhluk berambut mirip kuda itu tda ada yang
balik kanan menolongnya”.116

Tahap penyituasian di atas kemudian mengantarkan


pembaca pada pemunculan konflik yang terjadi atas kasus
wildebeest tersebut. Tahap pemunculan konflik dimulai pada
kutipan teks di bawah ini:
“Dalam sidang etika, Raja Singa Sastro mempersalahkan
Wildebeest nahas itu. Salahnya selalu berharap pertolongan
pada kelompoknya sendiri, yaitu kawanan wildebeest.
Padahal pertolongan kerap datang dari bukan kelompok atau
partainya sendiri”.117

Berdasarkan teks di atas, sudah jelas bahwa konflik mulai


terlihat dengan disalahkannya wildebeest karena terlalu berharap
kepada kawanannya sendiri, padahal pertolongan tidak selalu datang
dari kelompoknya. Kemudian konflik mulai memuncak saat Ratu
Singa Jendro marah karena wildebeest sejatinya tidak ahu diuntung.
Hal ini dapat dilihat pada kutipan teks di bawah ini:
“Aku tidak peduli dia masih sakit atau tidak! Dan
omonganku ini berlaku bagi seluruh wildebeest. Kalian
bahkan tak tahu diuntung. Bangau putih datang untuk
mengingatkan kalian”.118

Kutipan teks di atas merupakan puncak dari konflik yang


terjadi dalam cerita. Wildebeest dianggap tidak tahu diuntung karena
selalu curiga kepada siapapun yang akan menolongnya, bahkan
kepada bangau putih dan kuda nil. Kemudian cerita diakhiri dengan
kecurigaan Wildebeest pada Kuda Nil yang akan memangsanya
namun dibantah oleh Raja Singa bahwa Kuda Nil tidak makan
daging melainkan tumbuh-tumbuhan. Tetapi Wildebeest membatin
bahwa Kuda Nil kadang doyan daging.

116
Ibid, h. 69.
117
Ibid, hlm. 71.
118
Ibid, h. 72.

70
Berdasarkan keseluruhan alur sebagaimana dijelaskan di
atas, maka dapat diidentifikasi bahwa fabel di atas menggunakan
alur campuran.
Fabel PBK dimulai dengan tahap penyituasian langsung
pada pokok persoalan yaitu marahnya paman petani kepada para
tikus yang merusak tanamannya di sawah, hal tersebut dapat dilihat
pada kutipan teks di bawah ini:
“Paman petani memaki-maki tikus. Masyarakat
tersinggung.”119

Karena tidak terima akan kemarahan paman petani, para


tikus kemudian bersekongkol untul merencanakan hal yang lebih
besar lagi. Perencanaan ini didasarkan pada pernyataan Raja Singa
Sastro Jendro yang menginzinkan para tikus untuk mengganyang
sawah-sawah manusia yang rakus. Hal ini diperkuat dengan kutipan
teks di bawah ini:
“Tunggu. Adilkah ini? Seorang tikus yang tampaknya cukup
bijak memastikan rencana”.120

“Adil, Bro!!! Cicit yang lain-lain. Cicitan mereka merdu.


Raja dan Ratu Singa Jendro mengizinkan kita mengganyang
sawah-sawah manusia rakus”.121

Berdasarkan kutipan teks di atas muncullah sebuah konflik


dalam cerita tersebut. Tahap awal konflik bermula saat paman petani
memai-maki tikus kemudian para tikus tersinggung sehingga
merencanakan sesuatu yang besar. Perencanaan besar tersebut dapat
dilihat pada teks di bawah ini:
“Tapi, sebaiknya jangan kita sendiri yang turun tangan,
tambah si bijak. Ndak level menurutnya bila tikus-tikus yang
terhormat verhadapan langsung dengan manusia yang
mutunya serendah paman petani itu. Usulnya, nabok nyilih
tangan saja. Manfaatkan pihak lain untuk mengobrak-abrik
sawah si petani. Dalam hal ini, pihak lain itu yang memang

119
Ibid, h. 81.
120
Ibid.
121
Ibid.

71
kepakarannya mengacak-acak tanaman setanah-tanahnya:
babi hutan!”122

Berdasarkan kutipan teks di atas, diketahui para tikus


membuat rencana yang lebih besar yaitu membuat kerusakan yang
besar dengan memanfaatkan babi hutan, hal ini dilakukan lantaran
paman petani yang rakus dan selalu menyalahkan tikus. Para tikus
yang cerdik ini kemudian ingin menjebak babi hutan yang kagetan
untuk merusak sawah dengan alasan sesuatu yang lebih besar, bukan
karena penistaan terhadap kaum tikus. Hal ini dapat dilihat pada teks
di bawah ini:
“Kita jebak mereka agar berpikir bahwa perusakan sawah ini
demi sesuatu yang lebih besar. Bukan cuma gegara penistaan
pada tikus-tikus”.123

Konflik kemudian memuncak karena babi hutan mau


menuruti jebakan para tikus. Diketahui bahwa babi hutan
terpengaruh oleh hasutan para tikus, hasutan tersebut berisi bahwa
manusia ingin memonopoli kekayakinan terhadap Dewi Sri. Hal ini
dapat dilihat pada teks di bawah ini:
“Benar. Sampailah info pada makhluk yang paling gampang
kagetan, babi hutan. Bahwa manusia ingin memonopoli
keyakinan terhadap Dewi Sri”.124

Babi hutan yang merasa paling memiliki terhadap Dewi Sri


kemudian bergegas untuk merusak sawah paman petani. Hal ini
dapat diidentifikasi pada kutipan teks di bawah ini:
“Tak boleh ada tafsir tunggal dan monopoli terhadap
keyakinan di Nusantara, tandas pemimpin babi hutan”. 125

“Berangkaaat!!!”.126

122
Ibid, h. 82.
123
Ibid, h. 85.
124
Ibid.
125
Ibid.
126
Ibid.

72
Keberangkatan babi hutan merusak sawah paman petani
dengan alasan yang dibuat-buat oleh para tikus menjadi akhir dari
sebuah fabel ini. Dari keseluruhan alur sebagaimana dijelaskan,
maka dapat diidentifikasi bahwa fabel di atas menggunakan alur
maju.
Berdasarkan kelima fabel di atas, maka alur pada setiap
cerita dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Fabel Alur
Fabel SRDA Campuran
Fabel KAKB Maju
Fabel GLMJ Maju
Fabel BPPT Campuran
Fabel PBK Maju

4. Sudut Pandang
Sudut pandang merupakan salah satu unsur yang berfungsi
sebagai sarana dalam sebuah cerita. Sudut pandang sebagai salah
satu unsur dalam karya sastra, harus diperhitungkan kehadiran dan
sudut pandangnya, karena pemilihan sudut pandang akan
berpengaruh terhadap penyajian cerita. Reaksi pembaca terhadap
sebuah cerita yang dibaca dapat dipengaruhi oleh sudut pandang
yang dibangun oleh pengarang. Fabel SRDA menggunakan sudut
pandang orang ketiga, artinya penulis memposisikan dirinya seolah
tahu segala hal yang terjadi di keseluruhan cerita. Hal ini dapat diihat
pada narasi pembuka fabel di bawah ini:
“Angin kemarau mengembus-embuskan kabar yang tidak
bisa dikacangin. Kuat bertiup desas-desusu bahwa di Rimba
Raya menyusup sudah sepasang rusa nonpribumi cowok-
cewek. Maksudnya rusa palsu? Debat milenial rusa yang
cerdas. Usah ngomong soal pri dan nonpri. Sensi dan bikin
pusing.”.127

127
Sujiwo Tejo, Dongeng Mbah Jiwo: Seni Membual Para Binatang...., h. 21.

73
Kutipan teks di atas menunjukkan bahwa penulis fabel
menggunakan sudut pandang rusa cerdas sebagai pembuka cerita
atau dengan kata lain penulis cerita menggunakan sudut pandang
ketiga. Hal ini akan terjadi sepanjang cerita yang disajikan oleh
penulis. Hal ini dibuktikan dengan kutipan teks di bawah ini:
“Rusa yang agak goblok tadi memprotes. Ia ngasih info
Kancil sebagai menteri informasi....”128

Kutipan teks di atas, jelas menunjukkan bahwa si penulis


serba tahu dalam cerita yang dikarangnya, hal ini sekaligus
menguatkan bahwa cerita fabel ini menggunakan sudut pandang
orang ketiga.
Fabel KAKB menggunakan sudut pandang ketiga, hal ini
dapat dilihat pada kutipan teks di bawah ini:
“Berkat ketegasan Raja Singa Sastro beserta Ratu Singa-nya
Jendro, korupsi Rimba Raya terdefinisikan secara pasti”.

Kutipan di atas menggambarkan penulis fabel serba tahu


dalam menceritakan sebuah peristiwa yang akan terjadi dalam
perjalanan ceritanya. Dapat dilihat dengan jelas bahwa pengarang
menggunakan sudut pandang ketiga dengan menyebutkan “Raja
Singa Sastro” di awal ceritanya.
Fabel GLMJ menggunakan sudut pandang orang ketiga. Hal
ini dapat dilihat pada teks di bawah ini:
“Berkurangnya sampah plastik menuai buah. Hewan-hewan
hepi-hepi. Saking hepinya, jarang-jarang Gajah Laut tertatih-
tatih hingga ke pelosok belantara. Biasanya hewan yang
berbelalai yang jalannya tertatih-tatih dengan siripnya itu
cuma thunak-thunuk seputar pesisir”.129

Berdasarkan teks di atas, tidak ada sudut pandang orang


pertama atau kedua, keseluruhan cerita dalam fabel ini

128
Ibid, h. 24
129
Ibid, h. 57.

74
menggunakan sudut pandang orang ketiga atau penulis fabel
langsung yang menceritakan seluruh peristiwa yang ada dengan
menggunakan medium tokoh-tokoh yang telah dirancang
sedemikian rupa, seperti Gajah Laut, Raja Singa, dan Ratu Singa.
Fabel BPPT menggunakan sudut pandang orang ketiga, hal
ini ditandai dengan kutipan teks di bawah ini:
“Seorang Wildebeest terseok-seok di bantaran sungai.
Makhluk berkaki empat yang masih kerabat kambing itu tak
kunjung mampu menyusul kawanannya yang sudah pada
mentas. Ujung kaki belakangnya dicaplok buaya. Heran.
Kawanan makhluk berambut mirip kuda itu tda ada yang
balik kanan menolongnya”.130

Kutipan teks di atas mempertegas bahwa sudut padang pada


febel ini adalah penulisnya sendiri, hal ini dibuktikan bahwa penulis
fabel mengetahui secara pasti seluruh rangkaian peristiwa yang akan
terjadi.
Fabel PBK menggunakan sudut pandang orang ketiga. Hal
ini dapat diidentifikasi pada kutipan teks di bawah ini:
“Paman petani memaki-mai tikus. Masyaraat tikus
tersinggung. Rupanya bukan mitos belaka bahwa hewan
pengerat itu tidak boleh dihina-hina. Ketika si paman
mengumpat-umpat mereka gegara sawahnya sebagian
digerogoti oleh laskar tikus, laskar tersebut membuktikan
mitos”.131

Pada kutipan di atas dan sepanjang jalan cerita tidak


ditemukan sudut pandang pertama maupun orang ketiga. Dalam
fabel ini penulis fabel berperan penuh dalam mengatur ceritan dan
peristiwa.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka keseluruhan sudut
pandang dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

130
Ibid, h. 69.
131
Ibid, h. 81.

75
Fabel Sudut Pandang
Fabel SRDA Sudut pandang orang ketiga
Fabel KAKB Sudut pandang orang ketiga
Fabel GLMJ Sudut pandang orang ketiga
Fabel BPPT Sudut pandang orang ketiga
Fabel PBK Sudut pandang orang ketiga

5. Latar
Latar menurut Abrams sebagaimana dikutip oleh
Nurgyantoro disebut juga sebagai landas tumpu, merujuk pada
pengertian tempat, waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan.132 Latar merupakan pelukisan
tempat, waktu, dan situasi atau suasana terjadinya suatu peristiwa.
Adapun penjelasan latar dalam DMJ sebagai berikut:
a. Tempat
Latar tempat merujuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang
dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama
tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu berupa nama
jelas.133
Fabel SRDA diketahui memiliki latar tempat di alam rimba
atau hutan, hal ini dapat dilihat pada kutipan teks di bawah ini:
“Pagi itu semburat mentari menyelinap di antara dedaunan,
dahan-dahan dan ranting rimba”.134

Berdasarkan kutipan teks di atas, kata “rimba” menunjukkan


kata tempat di mana keseluruhan cerita berlangsung.
Fabel KAKB juga menggunakan latar tempat di alam rimba
atau hutan, hal ini dapat dilihat pada kutipan teks dibawah ini:

132
Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi……., h. 302
133
Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi……., h. 314.
134
Sujiwo Tejo, Dongeng Mbah Jiwo............. h. 24.

76
“Dari pucuk pohon-pohon kelapa raksasa yang setinggi
menara pemacar televisi analog, mereka menyasikan nun
jauh di luar rimba, dunia manusia mengibarkan bendera
setengah tiang”.135

Berdasarkan kutipan teks di atas, jelas menunjukkan bahwa


latar tempat yang terdapat dalam cerita tersebut adalah rimba
atau huta. Hal ini dipertegas dengan adanya kalimat “nun jauh di
luar rimba”, artinya cerita ini terjadi di dalam rimba atau hutan.
Fabel GLMJ menggunakan latar tempat di hutan belantara,
hal ini dapat diidentifikasi dalam kutipan teks di bawah ini:
“Saking hepinya, jarang-jarang gajah laut tertatih-tatih
hingga ke pelosok belantara”.136

Kutipan teks di atas mempertegas posisi latar cerita yang


terjadi di dalam hutan, hal ini ditandai dengan adanya kalimat
“pelosok belantara”.
Fabel BPPT, memiliki latar tempat di dalam hutan di
pinggiran sungai. Hal ini dapat diidentifikasi melalui kutipan
teks di bawah ini:
“Seorang Wildebeest terseok-seok di bantaran sungai”.137

“Sejak para wildebeest itu berderet sepanjang tepi sungai


dengan mencelupkan moncongnya untuk turun minum”.138

Fabel yang berjudul PBK memiliki latar sebagaimana pada


kutipan teks di bawah ini:
“Tak boleh ada tafsir tunggal dan monopoli terhadap
keyakinan di Nusantara”.139

135
Ibid, h. 43.
136
Ibid, h. 57.
137
Ibid, h. 69.
138
Ibid.
139
Ibid, h. 85.

77
Kata “Nusantara” merupakan kata lain dari Indonesia, maka
dapat dipastikan bahwa latar tempat dalam fabel tersebut adalah
Indonesia.
b. Waktu
Latar waktu merujuk pada kapan terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya sastra. Dalam sejumlah karya
fiksi, latar waktu mungkin justru tampak samar, tidak
ditunjukkan secara jelas. Hal ini tidak ditunjukkan secara jelas
mungkin karena memang tidak penting untuk ditonjolkan
dengan kaitan ceritanya.140
Latar waktu dapat dijumpai pada fabel SRDA. Latar waktu
ditandai dengan adanya kutipan teks di bawah ini:
“Pagi itu semburat mentari menyelinap di antara dedaunan,
dahan-dahan dan ranting rimba”.141

Latar waktu juga dapat ditemukan pada fabel GLMJ hal


tersebut dapat dilihat pada kutipan teks di bawah ini:
“Hari menjelang malam. Gajah Laut Mengangguk”.142

“Hingga menjelang senja, Perppu yang dijanjikan tak


kunjung dikeluarkan Raja Singa”.143

Kutipan teks di atas, menunjukkan bahwa cerita dalam fabel


tersebut terjadi pada satu waktu yang meliputi siang dan malam.
Hal ini ditandai dengan adanya kalimat “hari menjelang malam”
dan “menjelang senja”.
c. Suasana
Latar suasana adalah situasi apa saja yang terjadi ketika saat
si tokoh atau si pelaku melakukan sesuatu, misalnya saat galau,
gembira, lelah, dan lain sebagainya.

140
Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi……., h. 318.
141
Ibid.h 24.
142
Ibid, h. 61.
143
Ibid.

78
Latar suasana dapat ditemukan pada fabel berjudul SRDA,
suasana muncul pada diri tokoh utama yakni Rusa si Cerdas
sebagaimana kutipan teks di bawah ini:
“Maksudnya rusa palsu?” debat milenial rusa yang cerdas.144

Berdasarkan kutipan teks di atas, Rusa si Cerdas merasa


kaget menanggapi kabar rusa nonpribumi yang menyusup ke
dalam Rimba Raya, maka dapat dipastikan suasana si tokoh
utama adalah suasana kaget.
Latar suasana juga terdapat pada fabel berjudul KAKB. Latar
suasana yang ditampilkan dalam fabel tersebut adalah serba
kebingungan, hal ini ditunjukkan oleh tokoh utama Kadal yang
diselimuti kebingungan mengenai definisi korupsi, hal tersebut
dapat dilihat pada kutipan teks di bawah ini:
“O ya, bagaimana dengan beruang?” tanya seorang kadal
kepada kancil.145

“Giliran macan, pigimane? Macan kan butuhnya jeroan?


Tapi, yang dia bunuh kerbau utuh. Aku belum pernah
melihat ada kerbau hidup tanpa jeroan. Sisa tangkapan
macan ini, waduh, melimpah sekali. Padahal mama selalu
berwanti-wanti, awas, makan jangan tak dihabiskan, nanti
ayamnya mati...,”146

Berdasarkan kutipan teks di atas, bahwa latar suasana yang


dihadirkan oleh si penulis adalah suasana kebingungan, hal itu
ditampilkan melalui tokoh utamanya yang kebingungan dalam
mendefinisikan korupsi yang telah diterapkan oleh Raja Singan
Rimba Raya.
Pada fabel GLMJ ditemukan latar suasana sebagai berikut:
“Tak inging mengulur-ulur suasana kikuk, Gajah Laut
langsung ke pokok masalah mengapa dia datang menghadap
Raja Singa. Dia menagih janji agar populasinya diatur

144
Sujiwo Tejo, Dongeng Mbah Jiwo............. h. 21
145
Ibid, h. 41.
146
Ibid, h. 42.

79
dengan semacam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang alias Perppu”.147

Berdasarkan kutipan teks di atas, suasana yang ditampilkan


melalui adalah suasana tegang, tatkala Gajah Laut menagih janji
Raja Singa yang yang tak kunjung ditepatinya. Selain itu
terdapat suasana bercanda yang ditampilkan tokoh utama
lainnya yaitu Raja Singa, hal tersebut dapat dilihat pada kutipan
teks di bawah ini:
“Kalian menghendaki perkembangan yang tidak alami?
Kalian menghendaki semacam operasi plastik dalam
berkembang biak?” Raja sedang membuat racikan gado-
gado antara bertanya dan bergurau.148

Berdasarkan kutipan teks di atas, suasana bercanda atau


bergurau ditunjukkan oleh Raja Singa tatkala menanggapi
permintaan Gajah Laut untuk membuat Perppu.
Pada fabel BPPT ditemukan latar suasana sebagai berikut:
“Seorang Wildebeest terseok-seok di bantaran sungai.
Makhluk berkaki empat yang masih kerabat kambing itu tak
kunjung mampu menyusul kawanannya yang sudah pada
mentas. Ujung kaki belakangnya dicaplok buaya”.149

Berdasarkan kutipan teks di atas, menunjukkan bahwa


suasana yang dibangun oleh si narator adalah suasana yang
memprihatinkan. Tokoh utama bernama Wildebeest yang sangat
memprihatinkan itu tidak ditolong oleh kawanannya meskipun
nyawanya sudah diujung tanduk. Selain itu juga terdapat suasana
tegang yang dibangun oleh si penulis sebagaimana kutipan teks
di bawah ini:
“Buaya bergulung-gulung. Wildebeest yang dicaploknya
dan masih meronta-ronta terbanting ke kiri dan ke kanan.
Terhempas hempaskan ia dalam lintasan angka delapan

147
Ibid, h. 60.
148
Ibid.
149
Ibid, h. 69.

80
seperti pembuatan martabak. Akhirnya pasrah saja.
Perlahan-lahan buaya menyeretnya masuk ke kali. Seluruh
badannya hampir tenggelam. Mulutnya masih melenguh-
lenguh seakan minta pertolongan konco-konco
separtainya”.150

Suasana tegang digambarkan oleh si penulis melalui tokoh


utama Wildebeest yang sedang diseret oleh oleh buaya ke dalam
sungai, kejadian tersebut justru dibiarkan oleh kawanan
Wildebeest lainnya.
Pada fabel PBK, ditemukan latar suasana sebagai berikut:
“Paman petani memaki-maki tikus”.151

Berdasarkan kutipan teks di atas, dapat diketahui bahwa si


narator menunjukkan kemarahan paman petani kepada para
tikus karena sebagian sawahnya digerogoti. Suasana kemarahan
juga terjadi pada kawanan tikus sebagaimana kutipan teks di
bawah ini:
“Tapi, sebaiknya jangan kita sendiri yang turun tangan,”
tambah si bijak. Ndak level menurutnya bila tikus-tikus yang
terhormat verhadapan langsung dengan manusia yang
mutunya serendah paman petani itu. Usulnya, nabok nyilih
tangan saja. Manfaatkan pihak lain untuk mengobrak-abrik
sawah si petani. Dalam hal ini, pihak lain itu yang memang
kepakarannya mengacak-acak tanaman setanah-tanahnya:
babi hutan!”.152

Kutipan teks di atas menunjukkan betapa marahnya kawanan


tius karena dihina dan dimaki oleh paman petani, sehingga
mereka akan balas dendam untuk menyalurkan kemarahannya
dengan cara mengobrak-abrik sawah menggunakan kekuatan
para babi hutan.

150
Ibid, h. 70.
151
Ibid, h. 81.
152
Ibid, h. 82.

81
Berdasarkan penjelasan di atas, maka keseluruhan
penjelasan latar di atas dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Fabel Latar
Tempat Waktu Suasana
Fabel SRDA Hutan Rimba Pagi Kaget
Fabel KAKB Hutan Rimba - Bingung
Fabel GLMJ Hutan Siang dan Tegang
Belantara Malam dan
bercanda
Fabel BPPT Hutan - Prihatin
Fabel PBK Nusantara - Marah

6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa merupakan penggunaan bahasa dalam
menyampaikan suatu makna. Gaya bahasa digunakan untuk
membantu menyampaikan kesan dan maksud kepada pembaca
melalui pilihan kata yang mudah dicerna dan estetik. Adapun gaya
bahasa yang terdapat dalam DMJ sebagai berikut:
a. Simile
Gaya bahasa Simile dapat ditemukan pada fabel SRDA. Hal
ini sebagaimana ditemukan pada kutipan teks di bawah ini:
“Mereka kini lagi sibuk menyisir mana rusa pribumi dan
mana rusa nonpribumi”.153

Berdasarkan kutipan teks di atas, si penulis menyandigkan


suatu aktivitas dengan suatu ungkapan seperti dalam kalimat:
“mereka kini lagi sibuk menyisir mana rusa pribumi dan
nonpribumi”. Gaya bahasa tersebut sekaligus memperkuat tema
pada cerita, bahwa para penghuni hutan rimba tengah sibuk

153
Ibid, h. 21

82
membicarakan penyusup, yaitu rusa cowok-cewek yang
dianggap rusa nonpribumi.
b. Alegori
Gaya bahasa Alegori dapat ditemukan pada fabel SRDA. Hal
ini sebagaimana ditemukan pada kutipan teks di bawah ini:

“Angin kemarau mengembus-embuskan kabar yang tak bisa


dikacangin”.154

Berdasarkan kutipan teks di atas, si penulis menyandingkan


suatu objek dengan kata kiasan. Hal ini dapat dilihat pada
kalimat: “angin kemarau mengembus-embuskan kabar yang tak
bisa dikacangin”. Gaya bahasa tersebut juga memperkuat situasi
dan alur, bahwa di dalam hutan rimba tengah beredar informasi
seputar menyusupnya sepasang rusa cowok-cewek nonpribumi,
dengan adanya kabar tersebut jalannya cerita semakin kuat pada
tema cerita yang disajikan si penulis.
c. Hiperbola
Gaya bahasa Hiperbola dapat ditemukan pada fabel SRDA.
Hal ini sebagaimana ditemukan pada kutipan teks di bawah ini:

“Kembali ke sepasang rusa yang ditengarai menyusup sudah


sampai ke sendi-sendi kemasyarakatan rimba”.155

Berdasarkan kutipan teks di atas, si penulis mengungkapkan


sesuatu dengan cara yang berlebihan. Hal ini dapat dilihat pada
kalimat: “menyusup sudah sampai ke sendi-sendi
kemasyarakatan rimba”. Gaya bahasa ini ingin menunjukkan
sekaligus menguatkan alur cerita bahwa kabar mengenai rusa
nonpribumi benar-benar telah beredar ke tengah-tengah

154
Ibid.
155
Ibid, h. 22.

83
penghuni hutan. Dengan adanya gaya bahasa tersebut, tema
cerita dan alur yang dibuat oleh si penulis berbanding dengan
apa yang hendak dicapai dalam cerita tersebut.
d. Sarkasme
Gaya bahasa Sarkasme dapat ditemukan pada fabel yang
berjudul KAKB. Hal ini sebagaimana ditemukan pada kutipan
teks di bawah ini:
“Jangan misalnya jaksa yang harus dihukum 10 tahun malah
didiskon besar-besaran jadi cuma 4 tahun penjara. Diskon
urusan mal, bukan urusan pengadilan”. 156

“Para pemimpin memakan hati rakyat yang sedang jatuh


cinta. Bukankah ini korupsi bilah pertama?”. 157

Gaya bahasa di atas merupakan merupakan sindiran kepada


penguasa di negeri ini. Hal tersebut dapat dilihat pada kalimat:
“Jangan misalnya jaksa yang harus dihukum 10 tahun malah
didiskon besar-besaran jadi cuma 4 tahun penjara. Diskon
urusan mal, bukan urusan pengadilan”. Gaya bahasa ini
merupakan langakah si penulis untuk memperkuat tema cerita
tentang korupsi, bahwa korupsi bukan hanya soal mencuri uang
negara, melainkan pemangkasan terhadap masa hukuman juga
termasuk korupsi dalam ranah pengadilan.
e. Kontradiksi
Gaya bahasa Kontradiksi dapat ditemukan pada fabel
KAKB. Hal ini sebagaimana ditemukan pada kutipan teks di
bawah ini:
“Untuk fraksi harimau, santapan boleh tersisa. Tapi untuk
fraksiku sendiri, singa, makan bersisa adalah tindak pidana
korupsi”.158

156
Ibid, h. 43.
157
Ibid.
158
Ibid.

84
Gaya bahasa di atas memperkuat situasi dan alur cerita
tentang pemakanaan terhadap korupsi, selain itu juga
memperkuat tema cerita.
f. Repetisi
Gaya bahasa Repetisi dapat ditemukan pada fabel GLMJ.
Hal ini sebagaimana ditemukan pada kutipan teks di bawah ini:
“Tolong keluarkanlah Perppu, please. Tolong aturlah agar
kalau kami punya makanan kaum ibu membaginya adil”.159

Kutipan teks di atas dapat diidentifikasi sebagai gaya bahasa


atau majas repetisi atau gaya bahasa yang mengulang kata-kata
dalam suatu kalimat. Gaya bahasa tersebut memperuat
ketokohan si Gajah Laut sebagai rakyat yang memohon kepada
si pemimpin. Selain itu, gaya bahasa di atas juga memperkuat
tema cerita yaitu penagihan janji Gajah Laut kepada
pemimpinnya, Raja Singa.
Gaya bahasa Repetisi juga dapat ditemukan pada fabel
BPPT. Hal ini sebagaimana ditemukan pada kutipan teks di
bawah ini:
“Suara itu sangat pecah. Membuncah dan menggelegar”.160
Kutipan teks di atas mengandung pengulangan kata dalam
satu kalimat, hal ini yang kemudian disebut dengan repetisi.
Gaya bahasa tersebut juga memperkuat situasi yang terjadi di
dalam cerita, bahwa cerita tersebut terjadi di sekitar sungai di
dalam hutan.
g. Personifikasi
Gaya bahasa Personifikasi dapat ditemukan pada fabel
GLMJ. Hal ini sebagaimana ditemukan pada kutipan teks di
bawah ini:

159
Ibid, h. 61.
160
Ibid, h. 70.

85
“Takutnya nanti hukum alam akan marah bila dia
diintervensi dengan aturan-aturan bikinan manusia”.161

Kutipan teks di atas dapat diidentifikasi sebagai gaya bahasa


atau majas personifikasi. Kita ketahui bersama bahwa hukum
alam merupakan hal yang tidak bersifat seperti manusia. Gaya
bahasa di atas memperkuat tema dan alur cerita, bahwa gajah
laut menagih janji untuk dibuatkan kebijakan mengani
populasinya.
h. Sinisme
Gaya bahasa Sinisme dapat ditemukan pada fabel BPPT. Hal
ini sebagaimana ditemukan pada kutipan teks di bawah ini:
“Dan omonganku ini berlaku bagi seluruh wildebeest. Kalian
bahkan tak tahu diuntung”.162

Gaya bahasa sinisme ditunjukkan dengan sindiran yang


diberikan oleh Ratu Singa langsung kepada kepada wildebeest
yang berada di depannya. Gaya bahasa di atas, merupakan gaya
bahasa untuk memperkuat ketokohan Ratu Singa sebagai tokoh
pembantu yang sekaligus memperkuat tokoh utama dalam cerita,
karena adanya gaya bahasa tersebut maka ketokohan Wildebeest
sebagai tokoh utama semakin nampak dan kuat
i. Simbolik
Gaya bahasa Simbolik dapat ditemukan pada fabel PBK. Hal
ini sebagaimana ditemukan pada kutipan teks di bawah ini:
“Usulnya, nabok nyilih tangan saja”.163

Kutipan di atas ingin menyampaikan maksud tertentu secara


simbolik, yaitu tidak perlu menggunakan tangan sendiri untuk
menyakiti orang lain. Gaya bahasa di atas memperkuat

161
Ibid. Hlm 61
162
Ibid, hlm. 72.
163
Ibid, h. 82.

86
ketokohan tikus sebagai tokoh utama yang penuh dengan siasat
dalam melawan petani yang suka memaki dan memfitnah
kawanan tikus.
j. Metafora
Gaya bahasa Simbolik dapat ditemukan pada fabel PBK. Hal
ini sebagaimana ditemukan pada kutipan teks di bawah ini:
“Apalagi kalau orang-orangan sawahnya pun turut
diganyang oleh babi-babi hutan seperti supporter bola di sini
pernah dulu ingin mengganyang supporter Malaysia”.164

Kutipan teks di atas mengandung kiasan yang secara


eksplisit mewakili suatu maksud lain berdasarkan persamaan
atau perbandingan. Pada kutipan di atas, penulis fabel
menyamakan tindakan babi hutan dalam mengganyang orang-
orangan sawah seperti supporter bola yang mengganyang
supporter lainnya. Gaya bahasa di atas memperkuat ketokohan
babi sebagai tokoh pembantu yang memiliki watak kagetan atau
mudah terpancing tanpa memverifikasi dulu ihwal kabar yang
disampaikan oleh kawanan tikus.
Berdasarkan keseluruhan penjelasan pada lima fabel di atas,
maka gaya bahasa dapat disimpulkan pada tabel di bawah ini:
Fabel Gaya Bahasa
Fabel SRDA Majas simile
Majas alegori
Majas hiperbola
Fabel KAKB Majas sarkasme
Fabel GLMJ Majas repetisi
Majas personifikasi
Fabel BPPT Majas repetisi
Majas sinisme

164
Ibid. 84.

87
Fabel PBK Majas simbolik
Majas metafora

7. Amanat
Amanat merupakan suatu ajaran yang bersifat baik maupun
buruk dalam karya sastra. Setiap karya sastra pasti memiliki ajaran
tertentu di dalamnya, baik secara implisit maupun eksplisit. Fabel
SRDA mengamanatkan perihal rasa kecintaan terhadap sesama,
toleransi, dan nasionalisme. Para pembaca dituntut untuk
memahami tentang pentingnya menghargai perbedaan, dan
kecintaan terhadap tanah air yang tidak perlu mensyaratkan pribumi
maupun nonpribumi. Semuanya bisa mencintai tanah air tanpa
alasan apapun selama tanah air tersebut dapat memberikan
kehidupan dan keamanan kepada para penghuninya.
Fabel KAKB mengandung amanat buruk tentang korupsi.
Korupsi yang terjadi bisa menyengsarakan masyarakat secara luas,
karena korupsi dapat dilakukan oleh siapa saja dan dengan dalih apa
saja. Seperti pada fabel ini, saking maraknya korupsi bahkan telah
menjadi tradisi, aturan tentang tindak pidana korupsi dilonggarkan
bahkan hukuman bagi koruptor pun dipangkas.
Fabel GLMJ memiliki amanat bahwa janji harus ditepati
supaya tidak menimbulkan kesengsaraan bagi yang dijanjikan.
Selain itu, seorang pemimpin juga harus mendengar segala keluh
kesah dari rakyat untuk kemudian dapat diakomodir menjadi suatu
kebijakan yang mengarah pada tingkatan yang lebih baik bagi
rakyatnya.
Fabel BPPT setidaknya memiliki dua amanat sekaligus.
Pertama, pentingnya memberikan pertolongan kepada siapapun
tanpa memperlihatkan kelompok atau identitas, dan tidak terlalu
berharap kepada kelompok atau golongannya sendiri. Kedua, tidak

88
saling curiga satu sama lain sehingga tidak menimbulkan hilangnya
rasa persaudaraan dan sikap gotong royong.
Fabel PBK memiliki amanat bahwa menjadi pribadi yang
tidak kagetan itu penting, supaya tidak mudah terpengaruh oleh
pihak lain yang berusaha menjebak kita. Atas dasar apapun, sebagai
warga negara harus dengan cermat melihat sesuatu, apalagi yang
berhubungan dengan prinsip kenegaraan, supaya tidak salah
bertindak yang berujung fatal.
Berdasarkan penjelasan di atas, dari keseluruhan fabel
memiliki amanat sebagaimana dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Fabel Amanat
Fabel SRDA Rasa kecintaan terhadap sesama,
toleransi, dan nasionalisme
Fabel KAKB Amanat buruk tentang korupsi
Fabel GLMJ Janji harus ditepati supaya tidak
menimbulkan kesengsaraan
bagi yang dijanjikan
Fabel BPPT Pentingnya tolong menolong
dan tidak saling curiga.
Fabel PBK Menjadi pribadi yang tidak
kagetan itu penting, supaya
tidak mudah terpengaruh oleh
pihak lain yang berusaha
menjebak kita

B. Analisis Nilai Moral Kewarganegaraan


Fabel berjudul DMJ karya Sujiwo Tejo merupakan cerita yang
mengisahkan kehidupan hewan berperilaku menyerupai manusia. Dalam kisah-
kisah yang disajikan terdapat banyak pelajaran yang dapat diambil, sebab fabel
tersebut memiliki segudang kritik tentang kehidupan kita dalam bernegara.
Selain mengandung kritik yang menukik, fabel-fabel ini juga memiliki nilai-

89
nilai kewarganegaraan yang dapat diambil hikmahnya. Fabel tersebut terdiri
dari 50 judul cerita, tetapi hanya diambil 5 judul yang berkaitan dengan nilai
kewarganegaraan, adapun judul-judul fabel tersebut adalah: SRDA, KAKB,
GLMJ, BPPT, dan PBK. Beberapa judul tersebut akan dianalisis dengan
mengungkap nilai-nilai kewarganeraan di dalamnya.
1. Nilai Nasionalisme
Konsep nasionalisme merupakan suatu paham yang menganggap
kesetiaan tertinggi atas pribadi harus disertakan pada negara kebangsaan
(nation state) atau sebagai sikap mental atau tingkah laku individu ataupun
masyarakat yang menunjukkan adanya loyalitas atau pengabdian yang
tinggi terhadap bangsa dan negaranya. Nasionalisme kebangsaan mengikat
warga negara dalam beberapa hal yaitu, memiliki kesadaran sebagai suatu
bangsa, memiliki semangat tinggi dan nilai patriotik, memiliki nilai kreatif
dan inovatif, serta memiliki kepribadian yang luhur.165
Nilai nasionalisme atau kebangsaan tersebut dapat diidentifikasi
dalam fabel SRDA sebagaimana kutipan teks di bawah ini:
“Bagi rusa kurang pinter itu, banyak rusa pribumi yang malah
kurang mencintai bendera rimba. Sebaliknya, tak sedikit nonpribumi
yang hormatnya pada bendera tandas ke tulang”. 166

Berdasarkan kutipan teks di atas, nilai nasionalisme merujuk pada


kalimat “mencintai bendera”. Mencintai bendera merupakan salah satu
bentuk cinta kepada tanah air, sebab bendera merupakan sebuah simbol dari
negara. Bendera rimba dalam teks di atas dapat diartikan sebagai bendera
dari suatu negara yang bernama Rimba Raya. Rimba Raya yang dimaksud
dalam fabel tersebut adalah Indonesia, konotasi tersebut dapat dibuktikan
dengan istilah-istilah yang lahir dalam fabel seperti, Menteri Informasi,
KPI, Ibu Pertiwi, dan Nusantara. Bendera di Indonesia merupakan sebuah
simbol pemersatu, identitas dan wujud dari eksistensi bangsa yang menjadi
simbol kedaulatan dan kehormatan sebagaimana diamanatkan dalam UUD

165
Suyahman, dkk, Nilai-nilai Kejuangan, (Klaten: Lakeisha, 2020), h. 58-59
166
Sujiwo Tejo, Dongeng Mbah Jiwo..... h. 22.

90
1945. Selain itu, bendera juga sebagai manifestasi kebudayaan yang berakar
pada sejarah perjuangan bangsa, kesatuan dalam keragaman, dan kesamaan
dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan negara.167
Di Indonesia, untuk memiliki bendera kebangsaan, para pejuang
kemerdekaan harus bersusah payah untuk melawan para penjajah. Hal ini
menandai bahwa bendera kebangsaan yang sesungguhnya jauh lebih luas
dari apa yang bisa diberikan atau dilakukan seseorang untuk mengisi
kemerdekaan. Oleh karenanya mencintai bendera merupakan sebuah wujud
dari rasa kecintaan kepada negara dan menghargai jasa para pejuang
terdahulu. Hal tersebut juga tampak pada kutipan teks di bawah ini:
“Mereka bisa saja merdeka dari perbudakan. Mereka bisa saja
merdeka dari penjajahan Belanda dan Jepang, tapi susah sekali
merdeka dari kenangan”.168

Menurut Sujiwo Tejo, nasionalisme merupakan suatu konsep yang


harus dirawat, bahkan nasionalisme lebih hebat dari rasa persaudaraan.
Sebab rasa nasionalisme yang tertanam dalam diri setiap manusia telah
mampu menyatukan manusia lain yang berbeda suku dan bangsa, itulah
semangat nasionalisme di Indonesia yang harus dirawat.169 Selain itu,
nasionalisme juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mencintai
bangsa dan negara. Nasionalisme bukan sekadar instrumen yang berfungsi
sebagai perekat kemajemukan secara eksternal, namun juga merupakan
wadah yang menegaskan identitas Indonesia yang bersifat plural dalam
berbagai dimensi kulturalnya. Nasionalisme menuntut adanya perwujudan
nilai-nilai dasar yang berorientasi kepada kepentingan bersama dan
menghindarkan segala legalisasi kepentingan pribadi yang merusak tatanan
kehidupan bersama.170

167
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lembaga Negara,
serta Lagu Kebangsaan.
168
Ibid, h. 23.
169
https://www.youtube.com/watch?v=y_KY17Jlmkw, diakses pada 15 November 2022,
Pukul 1:40 WIB.
170
Anggraeni Kusumawardani dan Faturochman, “Nasionalisme” Buletin Psikologi, Tahun
XII, No. 2, Desember 2004, h. 66.

91
Nilai nasionalisme juga dapat ditemukan pada fabel KAKB. Nilai
nasionalisme yang ditampilkan adalah penegakan hukum tanpa pandang
bulu, tanpa mengenal ras dan golongan, hal tersebut dapat diidentifikasi
pada teks di bawah ini:
“Masukan dari kupu-kupu Merah-Putih yang dibisikkan oleh Kancil
membuat Raja dan Ratu Singa berpikir ulang. Keduanya teringat
ajaran bahwa bagi pembuat maupun penegak hukum, hukum harus
lebih keras dibanding bagi pihak lain. Jangan misalnya jaksa yang
harusnya dihukum 10 tahun malah didiskon besar-besaran jadi
cuma 4 tahun penjara. Diskon urusan mal bukan urusan
pengadilan”.171

Berdasarkan kutipan teks di atas, penegakan hukum dalam sebuah


negara merupakan sebuah ujung tombak dari sebuah terciptanya keadilan
bagi mayarakat. Sikap tanpa pandang golongan, ras, dan keyakinan dalam
menegakkan hukum adalah perwujudan dari nilai nasionalisme yang selama
ini dianut oleh masyarakat Indonesia, mengingat negara Indonesia
merupakan negara hukum, artinya segala tindak tanduk masyarakat diatur
oleh hukum yang berlaku di Indonesia.

Pelaksanaan hukum di masyarakat selain tergantung pada kesadaran


hukum juga sangat ditentukan oleh aparat penegak hukum. Oleh karena
sering terjadi beberapa peraturan hukum tidak dapat terlaksana dengan baik
karena adanya penegak hukum yang tidak melaksanakan ketentuan hukum
sebagaimana mestinya. Hal tersebut disebabkan oleh ketidaksesuaian
penegak hukum dalam melaksanakannya. Selain baik, integritas dan
moralitas penegak hukum mutlak harus baik karena mereka sangat rentan
dan berpeluang untuk melakukan suap dan penyalahgunaan wewenang. 172
Nilai nasionalisme juga dapat ditemukan dalam fabel PBK. Nilai
nasionalisme yang ditampilkan adalah upaya para hewan untuk mencegah

171
Ibid, h. 43.
172
Sanyoto, “Penegakan Hukum di Indonesia”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 8, No. 3,
September 2008, h. 200.

92
monopoli yang dilakukan oleh manusia di tanah Nusantara. Hal tersebut
dapat diidentifikasi pada teks di bawah ini:
“Padahal, Dewi Sri, yaitu Ibu Pertiwi, milik semua golongan
termasuk babi hutan yang karnivora, yang nge-fans daging tapi
mbadog padi juga”.173

“Tak boleh ada tafsir tunggal dan monopoli terhadap keyakinan di


Nusantara, tandas pemimpin babi hutan”.174

Kalimat “tidak boleh ada tafsir tunggal dan monopoli terhadap


keyakinan di Nusantara” berkonotasi pada falsafah hidup bangsa Indonesia
yaitu Pancasila. Pancasila sebagai kesepakatan para pendiri bangsa
merupakan sebuah kompromi paling realistis untuk mengakomodasi
keragaman aliran politik dan keyakinan di Indonesia. Kesepakatan serupa
rasanya sukar untuk dicapai oleh para politikus zaman sekarang yang pada
umumnya menempatkan urusan bangsa pada nomor sekian, jauh di bawah
hasrat pribadi dan kepentingan elektoral. Partai dan pemerintah saat ini jelas
tidak memiliki mandat yang sah untuk memonopoli penafsiran atas
kesepakatan para pendiri bangsa tersebut, apalagi di balik monopoli tersebut
ada ambisi untuk menyingkirkan lawan politik demi melanggengkan
kekuasaan.175
Kutipan teks di atas menjelaskan bahwa nilai nasionalisme yang
ingin disampaikan adalah bumi pertiwi tidak boleh dirusak dengan dalih
apapun, dan tidak ada satu individu yang boleh memonopoli bumi pertiwi
sebab bumi pertiwi milik semua golongan, baik yang miskin maupun yang
kaya. Artinya, nilai nasionalisme yang dapat diambil dalam fabel tersebut
adalah, jaga keutuhan bumi pertiwi jangan sampai dimonopoli oleh
golongan-golongan yang tidak bertanggungjawab.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nilai
nasionalisme muncul pada fabel SRDA dan KAKB melalui narator,

173
Ibid, h. 85.
174
Ibid.
175
https://kolom.tempo.co/read/1354803/monopoli-tafsir-pancasila, diakses pada 15
November 2022, Pukul 2:54 WIB.

93
sedangkan pada fabel PBK nilai nasionalisme muncul melalui tokoh Babi
Hutan.
2. Nilai Toleransi
Toleransi merupakan kemampuan untuk menahankan hal-hal yang
tidak kita setujui atau tidak kita sukai, dalam rangka membangun hubungan
sosial yang lebih baik. Toleransi mensyaratkan adanya penerimaan dan
penghargaan terhadap pandangan, keyakinan, nilai, serta praktik orang atau
kelompok lain yang berbeda dengan kita. Artinya toleransi merupakan sikap
saling menghormati, menghargai dengan memberi kebebasan, membiarkan
seseorang melakukan apa yang ia kehendaki dengan tidak
mengenyampingkan prinsip atau aturan yang berlaku.
Pada hakikatnya, toleransi adalah manifestasi hidup berdampingan
secara damai dan saling menghargai di antara keragaman yang ada. Dalam
konteks Indonesia, pelaksanaan toleransi seringkali mengalami dinamika
pasang surut, naik turun, yang seringkali diwarnai oleh pemahaman
distingtif.176 Dalam kategori yang sama persis, menurut Yewenggoe
sebagaimana dikutip oleh Safei, toleransi terdiri dari dua jenis yaitu, formal
dan material. Adapun penjelasannya sebagai berikut:177
a. Toleransi Formal
Toleransi formal merupakan sikap membiarkan saja
pandangan-pandangan dan praktik politik atau agama yang tidak
sesuai dengan pandangan kita sejauh itu tidak menggangu
sesama.
b. Toleransi Material
Toleransi material meruapakan suatu pengakuan terhadap
nilai-nilai positif yang mungkin terkandung dalam pemahaman
yang berbeda.

176
Agus Ahmad Safei, Sosiologi Toleransi: Kontestasi, Akomodasi, Harmoni, (Yogyakarta:
Deepublish, 2020), h. 22.
177
Ibid.

94
Menurut Siregar toleransi tidak hanya tentang agama, tetapi
toleransi juga melibatkan sikap, yang merupakan fondasi utama seseorang
dalam membangun kehidupan yang damai dalam masyarakat yang plural.
Jadi kesimpulannya toleransi adalah konsep modern untuk menggambarkan
sikap saling menghargai dan kerja sama antarkelompok masyarakat yang
berbeda baik etnis, bahasa, budaya, politik maupun agama. 178
Seseorang dapat dikatakan memiliki sikap toleransi apabila
menerapkan unsur-unsur sebagai berikut:179
a. Memberikan kebebasan dan kemerdekaan
Memberikan kemerdekaan dan kebebasan kepada
seseorang merupakan sebuah fitrah manusia sejak lahir sampai
meninggal. Kebebasan dan kemerdekaan yang dimiliki oleh
manusia tidak dapat digantikan atau direbut oleh manusia
lainnya dengan cara apapun, sebab kebebasan datangnya dari
Tuhan yang Maha Esa.
b. Mengakui hak setiap orang
Mengakui hak setiap orang lain dalam menentukan sikap
perilaku dan nasibnya masing-masing. Tentu saja sikap atau
perilaku tersebut tidak melanggar hak orang lain.
c. Saling mengerti
Saling mengerti satu sama lain sangat penting untuk
diberlakukan di dalam masyarakat, karena dengan tidak adanya
saling mengerti mustahil akan terjadi sikap saling menghormati
satu sama lain.
Nilai toleransi tercermin dalam fabel berjudul SRDA, cerminan nilai
toleransi tersebut dapat diidentifikasi pada kutipan teks di bawah ini:
“Menurut si Cerdas, sejarah punya bukti bahwa secara menyeluruh
tak ada pribumi di muka bumi. Semua makhluk sejatinya pendatang.
Cuma ada yang datangnya kepagian. Para hadirin pendahulu ini pun

178
Muhammad Japar, dkk, Pendidikan Toleransi Berbasis Kearifan Lokal, (Surabaya:
Jakad Media Publishing, 2020), h. 15-18
179
Ibid,

95
banyak yang jebul cuma hasil kawin campur nenek moyang mereka
dengan makhluk-makhluk dari luar kawasan ia datang”.180

Kutipan teks di atas merupakan respon si Cerdas selaku tokoh dalam


fabel terhadap persoalan rusa pribumi dan nonpribumi yang masuk ke dalam
kawasan Rimba Raya. Kutipan teks tersebut mengandung nilai toleransi
terhadap sesama, bagi si Cerdas semua rusa sama saja bahkan pada nilai
kecintaan terhadap wilayah yang ia tempati. Artinya, si Cerdas tidak mau
menanggapi persoalan pribumi dan nonpribumi selama tidak membuat
kerusakan di kawasannya, dan hal ini merupakan sikap toleransi.
Nilai toleransi juga dapat dilihat pada fabel yang KAKB, nilai
toleransi tersebut dapat diidentifikasi pada teks di bawahini:
“Hmmm ... ya ... ya ... Beruang juga diizinkan melahap biji-bijian
melampaui kebutuhannya saat ia memakannya. Raja singa bersabda
bahwa di musim gugur, beruang bisa menyimpan kelebihan kacang
pinus sebagai gajih. Ini demi energi bagi tidur panjangnya pada
musim berikutnya”.181

Nilai toleransi pada kutipan teks di atas tercermin begitu lekat,


karena terkandung sikap saling menghormati meskipun berbeda kebiasaan.
Selain itu, juga mengandung sikap membiarkan seseorang melakukan apa
yang ia kehendaki sesuai kodratnya. Seekor beruang yang memang
memiliki kodrat tidur panjang selama musim tertentu diberi izin oleh raja
untuk menyimpan makanan untuk dijadikan energi selama tidurnya nanti.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nilai
toleransi muncul pada fabel SRDA melalui narator, sedangkan pada fabel
KAKB nilai toleransi muncul melalui tokoh utama yaitu Kancil.
3. Nilai Tanggung Jawab
Nilai tanggung jawab merupakan kesadaran atas seseorang terhadap
tugas-tugas yang sedang diembannya, tentunya kesadaran tersebut
dilakukan sesuai dengan norma yang berlaku secara umum. Nilai tanggung

180
Sujiwo Tejo, Dongeng Mbah Jiwo…………….. h. 21.
181
Ibid, h. 41

96
jawab tidak hanya berlaku pada diri sendiri, melainkan juga berlaku dalam
konteks bermasyarakat dan bernegara. Semisal tangung jawab sebagai
masyarakat terhadap negara, begitupun sebaliknya tanggung jawab negara
terhadap masyarakatnya.
Pada fabel yang berjudul KAKB nilai tanggung jawab dapat
diidentifikasi sebagaimana tercermin dalam kutipan teks di bawah ini:
“Berkat ketegasan Raja Singa Sastro beserta Ratu Singa-nya Jendro,
Korupsi Rimba Raya terdefinisi secara pasti. Penggarongan
berdasari terpilah menjadi dua bilahan. Bilahan pertama memangsa
yang bukan haknya”.182

Kutipan teks di atas menunjukkan sebuah tanggung jawab pemimpin


dalam mengentaskan korupsi di wilayahnya, artinya kutipan teks di atas
merupakan bentuk tanggung jawab pemimpin terhadap negara dan
masyarakatnya agar terbebas dari korupisi, sebab kita ketahui bersama
bahwa korupsi merupakan penyakit yang dapat menimpa seluruh
masyarakat yang ada di dalam suatu negara, sebab tindakan korupsi dapat
menimbulkan kesengsaraan bagi masyarakat. Ketegasan Singa Sastro
beserta Ratu Singa-nya Jendro dalam mendefinisikan korupsi adalah sebuah
nilai tanggung jawab seorang pemimpin terhadap negara dan
masyarakatnya.
Nilai tanggung jawab juga dapat dilihat pada fabel GLMJ,
sebagaimana kutipan teks di bawah ini:
“Tak ingin mengulur-ulur suasana kikuk, Gajah Laut langsung ke
pokok masalah mengapa dia datang menghadap Raja Singa. Dia
menagih janji agar populasinya diatur dengan semacam Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang alias Perppu. Selama ini
perkembangbiakan gajah laut terlalu liberal, terlalu bebas, terlalu
diserahkan kepada kuasa alam”.183

Berdasarkan kutipan teks di atas, tindakan Gajah Laut mendatangi


Raja Singa merupakan sebuah tanggung jawab dirinya terhadap kawanan
gajah laut yang lain. Diketahui bahwa dalam fabel tersebut Gajah Laut

182
Ibid, 39.
183
Ibid, h. 60.

97
meminta kepada Raja Singa untuk segera mengeluarkan Perppu yang
mengatur populasi gajah laut yang selama ini terlalu bebas dan selalu
mengutamakan gajah laut laki-laki, sehingga gajah laut perempuan tidak
banyak memiliki kesempatan hidup karena kekurangan nutrisi. Kedatangan
Gajah Laut ke hadapan Raja Singa merupakan bentuk tanggung jawab
terhadap kawanannya.
Dalam konteks bermasyarakat dan bernegara, tindakan gajah laut
dalam menagih janji merupakan suatu bentuk kepedulian dalam konteks
bermasyarakat, artinya bukan demi kepentingan pribadi. Sementara Raja
Singa sebagai pemimpin harus memberikan kepastian akan keluhan yang
disampaikan oleh gajah laut selaku masyarakatnya, oleh sebab itu tindakan
Raja Singa dalam mengakomodir kepentingan kawanan gajah laut
merupakan bentuk tanggung jawab negara terhadap masyarakatnya.
Fabel PBK memiliki nilai tanggung jawab sebagaimana kutipan teks
di bawah ini:
“Iya, Bro. Nah, pada sawah-sawah yang padinya ditanam dengan
doa merdu begitu, kita dilarang oleh Raja Singa untuk bikin perkara.
Tanpa manusia memakai pestisida, tikus-tikus leluhur kita tak akan
mengganggu terlalu jauh. Paling kami cuma ngemil secukupnya.
Tanah-tanah juga awet dan sehat, tanah tidak menjadi bantat karena
terus-menerus dikasih micin pestisida. Sekarang?”.184

Kutipan teks di atas menjelaskan bahwa, para tikus bersepakat untuk


tidak memakan padi yang sudah dibacakan doa-doa sebagaimana ajaran
leluhur Nusantara. Bentuk kesepakatan tersebut merupakan nilai tanggung
jawab dalam bermasyarakat yang harus terus dijaga. Oleh sebab itu, para
tikus tidak mau memakan banyak padi yang ditanam petani jika sudah
dibacakan doa sebelum menanam.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nilai
tanggung jawab muncul pada fabel KAKB melalui narator. Pada fabel
GLMJ melalu tokoh utama, dan fabel PBK melalui tokoh utama yaitu Tikus.

184
Ibid, h. 82.

98
4. Nilai Keadilan Sosial
Keadilan sosial merupakan suatu norma yang hidup di dalam
masyarakat sekaligus menjadi tujuan hidup bersama. Pada hakikatnya
keadilan didasari oleh hakikat keadilan kemanusiaan yaitu hubungannya
manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lainnya, manusia
dengan masyarakat, bangsa dan negara, serta hubungan manusia dengan
Tuhannya. Nilai keadilan tersebut harus diwujudkan dalam hidup berama,
baik dalam konteks berbangsa maupun bernegara, guna mencapai tujuan
kesejahteraan bersama. Selain itu, nilai keadilan juga dijadikan dasar dalam
pergaulan antar sesama bangsa dan prinsip-prinsip menciptakan ketertiban
hidup bersama dalam suatu pergaulan antar bangsa.
Kesejahteraan rakyat lahir dan batin yaitu terjaminnya rasa keamanan,
keadilan serta kebebasan dalam menentukan sikap, baik sikap politik,
agama dan sebagainya. Nilai keadilan di negara Indonesia tercantum dalam
butir Pancasila tepatnya pada sila kelima yang berbunyi: Keadilan Sosial
Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Menurut Aminullah, keadilan sosial
merupakan kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat, seluruh kekayaan
negara dipergunakan untuk kebahagiaan bersama dan melindungi
masyarakat.185
Nilai keadilan sosial dapat ditemukan dalam beberapa fabel karya
Sujiwo Tejo yang berjudul sebagai berikut:
Pada fabel SRDA dapat ditemukan nilai keadailan pada kutipan teks di
bawah ini:
“Rusa ini kurang cerdas. Kemampuannya cuma setuju-setuju aja. Pantas
tereliminasi sebagai pasukan pengibar bendera rimba. Ia tak terseleksi
bukan karena badannya gembrot. Pasukan pengibar bendera rimba tidak
memandang fisik”.

Kutipan teks di atas menunjukkan bahwa terdapat narasi keadilan yang


ditunjukkan oleh si penulis. Hal itu dibuktikan dengan adanya narasi tanpa

185
Aminullah, “Implementasi Nilai-nilai Pancasila dalam Kehidupan Bermasyarakat,
Jurnal Ilmiah IKIP Mataram, Vol. 3, No. 1, 2016, h. 621.

99
pandang bulu, ciri fisik bagi seseorang untuk melakukan sesuatu. Selain itu
juga terdapat kutipan teks di bawah ini:
“Menurut si Cerdas, sejarah punya bukti bahwa secara menyeluruh tak
ada pribumi di muka bumi. Semua makhluk sejatinya pendatang”.

Kutipan teks di atas menunjukkan sikap dan pemikiran rusa si Cerdas


mengandung nilai keadilan bagi sesama, hal itu dibuktikan dengan
pendapatnya bahwa sejatinya tidak ada makhluk yang benar-benar pribumi,
sebab semua makhluk adalah pendatang. Sikap dan pemikiran seperti ini
merupakan upaya untuk memperlakukan semua makhluk memiliki status
sama di depan makhluk lainnya tanpa memandang suatu identitas yang
disandangnya, dan hal tersebut merupakan nilai keadilan di dalam
bermasyarakat.
Nilai keadilan sosial juga tampak pada fabel KAKB, hal itu tercermin
dalam kutipan teks di bawah ini:
“Jangan misalnya jaksa yang harusnya dihukum 10 tahun malah
didiskon besar-besaran jadi cuma 4 tahun penjara. Diskuon urusn mal,
bukan urusan pengdilan”.

Kutipan teks di atas mengandung ajaran sekaligus amanat tentang


keadilan di mata hukum, artinya di muka hukum setiap orang harus
diperlakukan sama (equality before the law) tanpa memandang status dan
kedudukannya.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nilai
keadilan sosial muncul pada fabel SRDA melalui narator, selain itu juga
muncul pada fabel KAKB melalui narator.

100
C. Implikasi Hasil Penelitian pada Pembelajaran Sastra di Sekolah
Sastra merupakan unsur paling penting dalam pembelajaran bahasa dan
budaya Indonesia di sekolah. Sastra yang dipelajari di sekolah memiliki tujuan
agar siswa mampu memahami, menikmati dan memanfaatkan karya sastra guna
mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, meningkatkan
pengetahuan, dan kemampuan berbahasa. Selain itu, mempelajari sastra juga
berperan untuk menemukan pengalaman hidup yang dituangkan pengarang
dalam karya sastranya. Hal tersebut menjadikan pembelajaran sastra di sekolah
tidak selalu tentang menghafal judul karya, penulis bahkan tahun terbit karya
sastra, tetapi yang lebih penting adalah memberikan kesadaran kepada siswa
bahwa sastra memiliki peran lebih dalam menjalani kehidupan.
Pengajaran sastra sangat penting dalam perkembangan manusia, bukan
hanya penting sebagai sesuatu yang terbaca melainkan dapat dijadikan motivasi
bagi seseorang. Materi kesusastraan yang dimasukkan dalam pembelajaran di
sekolah pada dasarnya dapat membantu menghubungkan antara realitas dan
fiksi, dengan demikian membaca karya sastra dapat belajar pengalaman orang
lain untuk kemudian direfleksikan dalam menghadapi masalah dalam
kehidupan.
Secara mekanisme, pembelajaran sastra di sekolah akan mencapai tiga
pokok kemampuan belajar yaitu, kemampuan afektif, kemampuan kognitif, dan
kemampuan psikomotorik. Kemampuan afektif adalah kemampuan dasar
manusia yang berkaitan dengan emosional seseorang. Kemampuan kognitif
adalah kemampuan yang dimiliki oleh manusia berdasarkan pikiran.
Kemampuan psikomotorik adalah kemampuan mengatur sisi kejiwaan untuk
bertahan terhadap berbagai persoalan. Ketiga kemampuan tersebut secara
bersama-sama dapat ditemukan dalam pembelajaran sastra.186
Pembelajaran sastra di sekolah juga telah dirancang dalam Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun
2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

186
Arif Hidayat, “Pembelajaran Satra di Sekolah”, Jurnal INSANIA, Vol. 14, No. 2, 2009,
h. 1.

101
Nomor 24 Tahun 2016 tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar
Pembelajaran Pada Kurikulum 2013 pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan
Menengah. Dalam peraturan tersebut, sastra dapat dijadikan sebagai
kompetensi dasar bagi siswa untuk menguraikan pendapat pribadi tentang isi
buku sastra. Pembelajaran mengenai telaah terhadap suatu karya dapat
diterapkan pada siswa kelas XII selama satu jam. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan cara membaca, menganalisis, dan menyusun laporan mengenai hasil
analisis terhadap karya sastra yang dibaca oleh siswa. Hasil laporan berisi antara
lain, telaah terhadap nilai moral suatu karya sastra, riwayat tokoh, dan analisis
unsur intrinsik pada karya sastra.
Pembelajaran mengenai telaah suatu karya ini terdapat di salah satu mata
pelajaran kelas XII Semester ganjil (satu) dalam silabus Kurikulum 2013 (revisi
2020) yang berisi: kompetensi Dasar (KD) 3.7. Menilai isi dua buku fiksi
(kumpulan cerita pendek atau kumpulan puisi) dan satu buku pengayaan (non
fiksi) yang dibaca dan KD 4.7. Menyusun laporan hasil diskusi buku tentang
satu topik baik secara lisan maupun tertulis.
Untuk mengimplikasikan nilai-nilai etika keluarga dalam karya sastra ke
dalam pembelajaran Bahasa dan sastra di sekolah ini tentu diperlukan
penyusunan RPP yang sesuai. Di tengah situasi ini, seorang guru harus dapat
menyesuaikan proses pembelajaran yang sebelumnya dapat dilaksanakan
secara lansgung (offline) dan kini harus dilaksanakan secara daring (online).
Hasil penelitian atas analisis nilai moral kewarganegaraan terhadap karya
sastra berjudul Dongeng Mbah Jiwo; Seni Membual Para Binatang karya
Sujiwo Tejo, jika dikaitkan dengan pembelajaran sastra di sekolah sangat
relevan karena berkaitan dengan isu terkini mengenai kewarganegaraan. Kita
ketahui bersama bahwa nilai-nilai kewarganegaraan wajib untuk ditanamkan
kepada generasi muda mengingat di zaman modern ini sudah banyak faktor
yang menyebabkan tergerusnya nilai kewarganegaraan. Nilai nasionalisme
misalnya generasi muda saat ini wajib ditanamkan nilai tersebut supaya tidak
tergerus oleh budaya asing yang mulai diminati oleh generasi muda. Selain itu,
generasi muda juga harus ditanamkan nilai toleransi yang tinggi, mengingat

102
negara Indonesia adalah negara yang memiliki beragam budaya, agama, dan
bahasa jangan sampai terjadi pertikaian akibat perbedaan-perbedaan tersebut.
Salah satu cara untuk menghindari pertikaian akibat perbedaan tersebut, setiap
generasi harus memiliki jiwa toleransi yang tinggi.
Untuk menanamkan nilai-nilai kewarganeraan tersebut, dibutuhkan sistem
pembelajaran yang efektif serta mudah dipahami. Salah satu metode yang
efektif dan mudah dipahami dalam belajar mengajar adalah dengan
menggunakan medium karya sastra. Selain memberikan pemahaman dan
keterlibatan langsung siswa dalam belajar dan membaca, karya sastra juga
memiliki nilai moralitas yang tinggi melalui cerita-cerita yang disampaikan oleh
pengarang. Oleh sebab itu, para guru dan sekolah pada umumnya selayaknya
menghadirkan buku-buku cerita yang memiliki makna dalam kehidupan sehari-
hari khususnya fabel yang memiliki nilai moral kewarganegaraan. Secara teknis
pembelajaran kewarganegaraan dengan menggunakan medium sastra dapat
dilakukan dengan beberapa tahapan di bawah ini:
1. Menyediakan buku sastra bagi siswa
Kegiatan membaca buku merupakan tahapan paling awal dalam
proses pembelajaran. Oleh sebab itu, sebelum proses kegiatan membaca
buku, khususnya buku sastra, para guru terlebih dahulu menyediakan buku
sastra dan materi yang akan digunakan oleh siswa. Selanjutnya setelah
proses membaca dilakukan, siswa diberikan panduan untuk melihat,
mengamati dan mencatat nilai-nilai yang terdapat dalam buku sastra
tersebut.
2. Meningkatkan daya kritis siswa
Setelah proses membaca dan menganalisis buku sastra, proses
selanjutnya adalah meningkatkan daya kritis siswa. Proses berpikir kritis
ini dimulai dengan cara melakukan tanya jawab seputar buku sastra yang
dibaca oleh siswa. Dengan demikian guru harus memberikan keempatan
kepada siswa untuk mempresentasikan hasil pengamatan dan pencatatan
atas buku yang dibacanya. Pada proses ini, tidak hanya guru yang

103
diberikan kesempatan bertanya melainkan siswa yang lain juga harus aktif
dalam melakukan pertanyaan.
3. Meningkatkan dialog dengan siswa
Setelah proses berpikir kritis dilakukan, tahap selanjutnya adalah
melaksanakan kegiatan dialog atau disikusi antara guru dan siswa. Pada
proses ini guru dan siswa betukar pendapat mengenai isi buku sastra yang
dibaca oleh siswa.
4. Meningkatkan kreativitas siswa
Tahap terakhir adalah proses meningkatkan daya kreativitas sswa.
Pada tahap ini siswa diberi kesempatan untuk menyampaikan hasil
pembacaan, pengamatan, dan diskusi tentang buku sastra yang dibacanya
dengan kreativitasnya masing-masing baik secara lisan maupun tulisan.
Pembelajaran sastra di sekolah, khususnya sastra yang bertemakan
kewarganegaraan dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan salah satunya
adalah pendekatan pembelajaran kontekstual. Pembelajaran kontekstual atau
contextual teaching and learning memiliki tujuan membekali siswa dengan
pengetahuan yang secara fleksibel dapat diterapkan dari satu permasalahan ke
permasalahan lain, dari satu konteks personal, sosial, budaya ke konteks
lainnya. Pembelajaran sastra sangat relevan jika menggunakan pendekatan
kontekstual, karena mempelajari karya sastra berhubungan erat dengan nilai-
nilai kehidupan yang dapat dipetik hikmah atau pengetahuannya oleh siswa
yang membacanya.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hasil penelitian ini diharapkan
menjadi model baru dalam mempelajari nilai-nilai kewarganegaraan
menggunakan karya sastra. Harapannya, para guru yang mengajar bahasa
Indonesia tidak hanya mengedepankan unsur intrinsik dan ekstrinsik saja,
melainkan mempelajari nilai moral yang terkandung dalam karya sastra
terkhusus fabel. Implikasi pembahasan fabel Dongeng Mbah Jiwo: Seni
Membual Para Binatang terhadap pembelajaran sastra, secara lebih jelas dapat
dilihat dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sebagaimana terdapat
dalam lampiran.

104
105
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis unsur intrinsik dan nilai moral pada beberapa fabel di
atas, maka penelitian ini dapat disimpulkan ke dalam beberapa poin sebagai
berikut:
1. Nilai nasionalisme dalam DMJ muncul pada fabel SRDA dan KAKB
melalui narator, sedangkan pada fabel PBK nilai nasionalisme muncul
memalui tokoh Babi Hutan. Secara keseluruhan, nilai nasionalisme
memiliki 5 data kutipan. Nilai toleransi muncul pada fabel SRDA melaui
narator, sedangkan pada fabel KAKB nilai toleransi muncul melalui tokoh
utama yaitu Kancil. Secara keseluruhan, nilai toleransi memiliki 2 data
kutipan. Nilai tanggung jawab muncul pada fabel KAKB melalui narator,
pada fabel GLMJ melalu tokoh utama, dan fabel PBK melalui tokoh utama
yaitu Tikus. Secara keseluruhan, nilai tanggung jawab memiliki 3 data
kutipan. Nilai keadilan sosial muncul pada fabel SRDA melalui narator,
selain itu juga muncul pada fabel KAKB melalui narator. Secara
keseluruhan, nilai keadilian sosial memiliki 2 data kutipan.
2. Implikasi yang dapat diaplikasikan dari penelitian tentang nilai moral
kewarganegaraan dalam karya sastra adalah meneladani sikap nasionalisme
baik secara individu maupun kelompok, meneladani rasa toleransi terhadap
sesama mengingat bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat beragam
baik secara bahasa, agama, dan budaya. Selain itu juga dapat meneladani
rasa tanggung jawab atas apa yang sedang diamanatkan dan tanggung jawab
atas apa yang diperbuatnya. Pendekatan pembelajaran yang dapat
digunakan adalah pendekatan kontekstual atau contextual teaching and
learning. Pendekatan tersebut memiliki tujuan membekali siswa dengan
pengetahuan yang secara fleksibel dapat diterapkan dari satu permasalahan
ke permasalahan lain, dari satu konteks personal, sosial, budaya ke konteks
lainnya. Pembelajaran sastra sangat relevan jika menggunakan pendekatan

106
kontekstual, karena mempelajari karya sastra berhubungan erat dengan
nilai-nilai kehidupan yang dapat dipetik himah atau pengetahuannya oleh
siswa yang membacanya.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, peneliti memberikan saran atau
rekomendasi kepada beberapa pihak sebagai berikut:
1. Guru mata pelajaran bahasa Indonesia, sudah saatnya menjadikan karya
sastra sebagai asupan gizi pengetahuan siswa terkhusus karya-karya sastra
yang bernuansa kewarganegaraan.
2. Nilai kewarganegaraan dalam karya sastra khususnya fabel diharapkan
menjadi bahan pembelajaran nilai kewarganegaraan yang efektif sekaligus
menyenangkan.

107
DAFTAR PUSTAKA

Aburaera, Sukarno. Filsafat Hukum Teori & Praktik, Jakarta: Kencana, 2013.
Afiska, Lia. “Analisis Kesantunan Berbahasa dalam Novel Rahvayana Karya
Sujiwo Tejo”. Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Muhammadiyah Surakarta, 2019.
Aminullah, “Implementasi Nilai-nilai Pancasila dalam Kehidupan Bermasyarakat,
Jurnal Ilmiah IKIP Mataram, Vol. 3, No. 1, 2016.
Arifin, Muh. Zainul. “Nilai Moral Karya Sastra sebagai Alternatif Pendidikan
Karakter (Novel Amuk Wisanggeni Karya Suwito Sarjono)”. Jurnal
Literasi, Vol. 3, No. 1, April 2019.
Arthanti, Lanny Rizky. “Moralitas Tokoh dalam Cerita Anak Eine Woche Voller
Samstage Karya Paul Maar”, Jurnal Identitaet, Vol. 5, No. 1, 2016.
Astuti, Ayu. “Pengembangan Nilai-nilai Kewarganegaraan dalam egiatan
Ekstrakulikuler Pramuka di SMA Negeri 1 Kahu Kabupaten Bone”. Jurnal
Tomalebbi, Vol. 1, No. 3, 2014.
Bertens, K. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007.
Christy, Try Cahya, “Analisis Nilai Moral dalam Novel Rahvayana Aku Lala
Padamu arya Sujiwo Tejo”. Jurnal Sasindo, Vol. 9, No. 1.
Darmadi, Hamid. Apa Mengapa Bagaimana: Pembelajaran Pendidikan Moral
Pancasila dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn)
Konsep Dasar Strategi Memahami Ideologi Pancasila dan Karakter
Bangsa, Jakarta: An1mage, 2020.
Dewi, Erlina K, dkk, Moral yang Mulai Hilang, Madiun: Bayfa Cendikia Indonesia,
2020.
Fananie Zainuddin, Telaah Sastra, Surakarta: Muhammadiyah University, 2000.
Gunawan, Heri Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi, Bandung:
Alfabeta, 2012.
Hamidi, Jazim, dan Mustafa Lutfi. Civic Education Antara Realitas Politik dan
Implementasi Hukumnya, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2010.

108
Haris, Abd. Etika Hamka: Konstruksi Etik Berbasis Rasional-Religius, Yogyakarta:
LkiS, 2010.
Hidayat, Arif. “Pembelajaran Satra di Sekolah”. Jurnal INSANIA, Vol. 14, No. 2,
2009.
https://kolom.tempo.co/read/1354803/monopoli-tafsir-pancasila, diakses pada 15
November 2022, Pukul 2:54 WIB.
https://www.youtube.com/watch?v=y_KY17Jlmkw, diakses pada 15 November
2022, Pukul 1:40 WIB.
Japar, Muhammad, dkk, Pendidikan Toleransi Berbasis Kearifan Lokal, Surabaya:
Jakad Media Publishing, 2020.
Kusumawardani, Anggraeni dan Faturochman. “Nasionalisme” Buletin Psikologi,
Tahun XII, No. 2, Desember 2004.
Lestari, Tuti. “Analisis Nilai-nilai Pendidikan Profetik dalam Buku Tuhan Maha
Asyik 2 Karya Sujiwo Tejo dan MN. Kamba”. Skripsi Fakultas Tarbiyah
dan Ilmu Keguruan IAIN Purwokerto, 2021.
Levinson, Stephen C. Pragmatics. Inggris: Cambridge University Press, 1983.
Lubis, Ramadhan Saleh, dkk. “Analisis Kritik Sastra Menggunakan Pendekatan
Prakmatik Pada Antologi Cerpen Karya Hasan Al Banna”. Jurnal Bahasa
KODE, Vol. 9, No. 4, 2020.
Marfu’ah, Siti, “Peningkatan Keterampilan Menulis Fabel dengan Menggunakan
Media Gambar pada Siswa Kelas VII H SMP Negeri 1 Kunduran Blora
Tahun Pelajaran 2018/2019”, Skripsi Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni
Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Persatuan Guru Republik Indonesia
Bojonegoro, 2019.
Megawati, Putri dkk, Fabel dan Legenda, Jawa Barat: Guepedia, 2020.
Nurani, Ajeng Cahya. “Membaca Cerita Fabel Sebagai Penanaman Karakter Jujur
Pada Siswa SMP”. Jurnal Bahasa, Seni, dan Pengajaran, Vol. 1, No. 1,
2016.
Nurgiyantoro, Burhan. Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2013.

109
____, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2013.
Putra, Andi Widhia dkk. Membangun Moral dan Etika Siswa Sekolah Dasar,
Madiun: Bayfa Cendikia Putra, 2020.
Riana. “Pembelajaran Sastra Bahasa Indonesia di Sekolah”. Jurnal Warta
Dharmawangsa, Vol. 14, No. 3, 2020.
Robert, Robertus, dan Hendrik Boli Tobi. Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan:
Dari Marx Sampai Agamben, cet. Kedua. Tangerang: Marjin Kiri, 2017.
Rosyada, Dede, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan (Civil Education): Demokrasi,
Hak Asasi dan Masyarakat Madani. Ciputat: ICCE UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2003.
Safei, Agus Ahmad, Sosiologi Toleransi: Kontestasi, Akomodasi, Harmoni,
Yogyakarta: Deepublish, 2020.
Santoso, Agus. Hukum, Moral dan Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum.
Jakarta: Kencana, 2014.
Sanyoto, “Penegakan Hukum di Indonesia”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 8, No.
3, September 2008.
Siregar, Christian. “Pancasila, Keadilan Sosial, dan Persatuan Indonesia”, Jurnal
Humaniora, Vol. 5, No. 1, 2014.
Sugiono, Metodologi Penelitian Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2008
Suprihatin. “PengembanganBahan Ajar Teks Fabel yang Bermuatan Kisah Teladan
Upaya Menumbuhkan Karakter dengan Pendekatan Saintifik Bagi Peserta
Didik Kelas VII SMP/MTs”. Skripsi Fakultas Bahasa dan Seni Universitas
Negeri Semarang, 2015.
Suyahman, dkk, Nilai-nilai Kejuangan, Klaten: Lakeisha, 2020.
Syarifuddin dan Ernita. Nilai dalam Wacana Filosofis, Banda Aceh: Ushuluddin
Publishing, 2013.
Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Penerbit Angkasa, 1986.
Tejo, Sujiwo. Dongeng Mbah Jiwo: Seni Membual Para Binatang. Yogyakarta:
Diva Press, 2021.

110
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lembaga
Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Wahyuni, Sri. “Aspek Moral dalam Novel Petruk Dadi Ratu Karya Suwardi
Endraswara: Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implementasinya Sebagai
Bahan Ajar do SD”. Jurnal Statistika, Vol. 3, No. 1, 2017.
Wicaksono, Andri, dkk. Tentang Sastra; Orkestrasi Teori dan Pembelajarannya.
Yogyakarta: Penerbit Garudhawaca, 2018.
Yule, Geoge. Pragmatics. Inggris: Oxford University Press, 1996.

111
LAMPIRAN-LAMPIRAN

112
LEMBAR UJI REFERENSI

Nama : Fahmi Ais Alzuhdi


NIM : 11160130000067
Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas : Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Judul Skripsi : Nilai Moral Kewarganegaraan dalam Dongeng Mbah
Jiwo; Seni Membual Para Binatang Karya Sujiwo Tejo
serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di
Sekolah
Dosen Pembimbing : Rosida Erowati M, Hum.

113
114
115
116
117
Lampiran I
KARYA-KARYA SUJIWO TEJO
a. Buku
Kelakar Madura buat Gus Dur (2001)
Dalang Edan (2002)
The Sax (Novel, 2003)
Ngawur Karena Benar (2012)
Jiwo J#ncuk (2012)
Lupa Endonesa (2012)
Republik #Jancukers (2012)
Dalang Galau Ngetwit (2013)
Kang Mbok (2013)
Lupa Endonesa Deui (2013)
Rahvayana: Aku Lala Padamu (Novel, 2014)
Rahvayana: Adayang Tiada (Novel, 2015)
Serat Tripama: Gugur Cinta di Maespati (Komik, 2016)
Balada Gathak Gathuk: Lorong waktu Centhini (2016)
Lupa 3ndonesa (2016)
Tuhan Maha Asyik (2016)
Serat Tripama 2: Seruling Jiwa (Komik, 2017).
Kelakar Madura buat Gus Dur, Edisi Republished (2018)
Talijiwo (2018)
Dr Upadi (2018)
Sabdo Cinta Angon Kasih (2018)
Senandung Talijiwo (2019)
Tuhan Maha Asyik 2 (2019)
Tembang Tali Jiwo (2020)
Dongen Mbah Jiwo; Seni Membual Para Binatang (2021).
b. Musik
1) Pada Suatu Ketika (1998)
2) Pada Sebuah Ranjang (1999)

118
3) Syair Dunia Maya (2005)
4) Presiden Yaiyo (2007)
5) Jancuk (Single, 2012)
6) Mirah Ingsun (2012)
7) Rahvayana 1: Aku Lala Padamu (Musikal, 2014)
8) Rahvayana 2: Ada yang Tiada (Musikal, 2015)
9) Serat Tripama 1: Gugur Cinta di Maespati (Musikal, 2016)
10) Serat Tripama 2: Seruling Jiwa (Musikal, 2017)
11) 99 Asmaul Husna (Single, 2014)
12) Asmaul Natal (Single, 2014)
13) Sugih Tanpo Bondo (Single, 2016)
14) Semacam Riang (Single, 2017)
15) Dr Upadi (2018)
16) Ceuk Aing (Single, 2020)
17) Catur Piwulang (Single, 2021).
c. Film
1) Telegram (2000)
2) Kafir Tak Diterima Bumi (2002)
3) 100% Sari (2003)
4) Kanibal Sumanto (2004)
5) Detik Terakhir (2005)
6) Janji Joni (2005)
7) Kala (2007)
8) Hantu Aborsi (2008)
9) Babi3 (2008)
10) Capres (2009)
11) Kawin Laris (2009)
12) Maling Kutang (2009)
13) Bahwa Cinta Itu Ada (2010)
14) Sang Pencerah (2010)
15) Semesta Mendukung (2011)

119
16) Tendangan dari Langit (2011)
17) Sampai Ujung Dunia (2012)
18) Gading-Gading Ganesha (2013)
19) Soekarno (2013)
20) Guru Bangsa: Tjokroaminoto (2015)
21) Kafir Bersekutu dengan Setan (2018)
22) Kucumbu Tubuh Indahku (2018)
23) Gundala (2019)
24) Mangkujiwo (2020)

120
Lampiran II

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAAN (RPP)


Mata Sekolah Kelas/Semester Materi Pokok Alokasi
Pelajaran Waktu
Bahasa SMA/Sederajat XII/Ganjil Buku Pengayaan 2x45
Indonesia KD 3.7 & KD menit
4.7

A. Tujuan Pembelajaran
Materi ini bertujuan agar siswa dapat menilai karya sastra berupa fabel atau
cerita yang diperankan oleh binatang. Selain itu diharapkan dapat KD 3.7.
Menilai isi buku fiksi (kumpulan cerita pendek atau kumpulan puasi) dan buku
pengayaan (nonfiksi) yang dibaca KD 4.7. Menyusun laporan hasil diskusi buku
tentang satu topik baik secara lisan maupun secara tulisan dengan rasa ingin tahu,
tanggungjawab, dn komunikatif selama proses pembelajaran berlangsunh
B. Media Pembelajaran dan Sumber belajar
1. Media: ceramah, diskusi, penugasan, dan presentasi
2. Sumber belajaran: buku paket Bahasa Indonesia dan Dongeng Mbah Jiwo:
Seni Membual Para Binatang
C. Langkah-langkah Pembelajaran
Kegiatan Pendahuluan (15 Menit)
1. Guru mengucap salam dan bertanya kabar siswa.
2. Guru mulai mengabsen siswa.
3. Guru mengecek penugasan kompetensi yang sudah dipelajari sebelumnya.
4. Guru menyampaikan garis besar cakupan materi dan kegiatan yang akan
dilakukan.
5. Guru menyampaikan lingkup penilaian, yaitu pengetahuan dan
keterampilan.
6. Guru memberikan tugas kepada siswa untuk mencari unsur intrinsik dan
nilai moral kewarganegaraan dalam fabel.
Kegiatan Inti (60 Menit)
1. Guru menceritakan isi fabel “Dongeng Mbah Jiwo: Seni Membual Para
Binatang” menggunakan metode ceramah.
2. Guru menjelaskan bagian-bagian fabel dan mengidentifikasi struktur fabel.
3. Guru mengidentifikasi nilai moral yang terdapat dalam fabel.
4. Guru memberikan kesempatan bertanya kepada siswa mengenai unsur
intrinsik dan nilai moral yang terdapat dalam fabel.

121
Kegiatan Penutup (15 Menit)
1. Guru dan siswa secara bersama-sama menyimpulkan hasil pembelajaran
unsur intrinsik dan nilai moral dalam fabel.
2. Guru memberikan tugas mengidentifikasi unsur intrinsik dan nilai moral
dalam fabel untuk dikerjakan di rumah.
3. Guru menyampaikan gambaran materi pada pertemuan selanjutnya.
4. Guru menutup pembelajaran dengan do’a dan salam

D. Penilaian Hasil Pembelajaran


1. Penilaian Pengetahuan: soal tes tulis, soal pilihan ganda dan uraian tertulis
sesuai dengan materi yang dipelajari
2. Penilaian keterampilan: tugas individu maupun tugas kelompok
3. Penilaian Sikap: menggunakan bahasa indonesia yang baik, tanggung
jawab, responsif, peduli, proaktif dan disiplin

SMA Negeri ..…………………


Mengetahui, Guru Mata Pelajaran
Kepala Sekolah

Fulan bin Fulan FAHMI AIS ALZUHDI


NIP. NIP.

122
Lampiran III

MATERI PEMBELAJARAN: MENILAI KARYA SASTRA

123
124
125
126
127
PROFIL PENULIS

Fahmi Ais Alzuhdi, seorang lelaki kelahiran Kabupaten Tegal, 16 Mei 1998.
Riwayat pendidikan: TK Ikhsaniyah Bangun Galih (2003 – 2004); SDN Bangun
Galih 01 (2004 – 2010); MTs Jatibogor (2010
– 2013); MAN Babakan Lebaksiu Tegal
(2013 – 2016). Melanjutkan pendidikan S1 di
Universitas Islam Syarif Hidayatullah
Jakarta, Program Studi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia.

Hobi bermusik semenjak usia belia, hingga


akhirnya penulis berhasil menciptakan
beberapa karya lagu, selain itu semasa berkuliah penulis kerap kali mengikuti
perlombaan musikalisasi serta event music di beberapa acara, salah satunya adalah
Tarbiyah Expo 2018 dan mendapatkan gelar juara untuk kategori lomba
musikalisasi puisi.

Selama berkuliah penulis sempat aktif di dunia pergerakan, yaitu ketua bidang
organisasi IMM PK.ITK periode 2017-2018 dan sempat menjabat sebagai ketua
umum IMM PK.ITK periode 2018-2019.

Motto hidup yang selalu dipegang erat adalah Khoirunnas Anfauhum Linnas, yaitu
sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain, hingga
saat ini pula tugas itu masih dipegang erat dalam menjalankan kehidupan, guna
mewujudkan kehidupan yang harmonis.

128

Anda mungkin juga menyukai