Anda di halaman 1dari 107

KONDISI SOSIAL DAN POLITIK EKSIL DI PRANCIS

DALAM NOVEL PULANG KARYA LEILA S. CHUDORI


DAN IMPLIKASI PADA PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Dwina Agustin
1110013000011

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
ABSTRAK

Dwina Agustin, 1110013000011, “Kondisi Sosial dan Politik Eksil di Prancis


dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori dan Implikasinya pada Pembelajaran
Sastra di SMA.” Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Doesn
Pembimbing: Ahmad Bachtiar, M. Hum.

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kondisi sosial dan politik eksil di


Prancis dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori dan implikasi pada pembelajaran
sastra di SMA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
kualitatif dengan menggunakan pendekatan disipliin ilmu sastra dan sosiologi.
Analisis novel Pulang dapat memenuhi standar kopetensi dan kopetensi dasar pada
pembelajaran sastra melalui memahami pembacaan penggalan novel dengan
menjelaskan unsur intrinsik dan ekstrinsik. Melalui pembelajaran ini, siswa
diharapkan dapat saling toleransi, mengahargai, dan bertangung jawab serta kepekaan
terhadap lingkungan sosial. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, hasil
penelitian ini menunjukan bahwa kondisi sosial dan politik eksil politik
mempengaruhi interaksi mereka kepada individu dan kelompok lain di luar kelompok
eksil. Kondisi sosial yang tergambarkan adalah perekonomian, disorganisasi
keluarga, dan nilai-nilai sosial, sedangkan kondisi politik yang digambarkan adalah
kekuasaan dan nasionalisme.

Kata kunci: sosial, politik, eksil, novel Pulang

i
ABSTRACT

Dwina Agustin, 1110013000011, “The Social dan Polilitical exile in France in


Novel Pulang by Leila S. Chudori and its Implications on Learning Literature in
Hight School” Majors Language Education and Indonesian Literature, Science
Faculty Tarbiyah and Teacher Training, Jakarta Islamic State University. Advisor
Ahmad Bahtiar, M.Hum.

This study aims to describe the social dan polilitical exile in France in the
novel Pulang by Leila S. Chudori and its implications in the lessons literature in high
school. The method used in this research is descriptive qualitative approach between
disciplines, which is Literature and Sociology. Analysis of novel Pulang this can
meet standard competence and basic competence in learning literature that is to
reding a piece novel with a describe intrinsic dan extrinsic substance. Through this
learning students are expected to tolerance, appreciative, responsibility, and
sensitivnes to social in environment. Based on analysis has been done, these result
showed the social dan polilitical exile can influence they interaction to individual and
groups. Social condition witch is show economic, family disorganization, and sosial
values. In the another, political conditionas witch is showen is power and
nasionalism.

Keywords: Social, political, exile, novel Pulang

ii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi robbil ‘alamin segala puji bagi Allah atas segala yang ada di
semesta jagad raya dan telah memberi limpahan rahmat dan nikmat-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurah
limpahkan untuk Nabi besar Muhammad saw, keluarga, para sahabat, dan umatnya.

Penulis menyusun penelitian ini guna memenuhi salah satu syarat


mendapatkan gelar sarjana pendidikan program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Dalam penulisan penelitian ini
penulis banyak mendapat masukan, bimbingan, saran, dorongan, dan semangat dari
berbagai pihak. Semua itu tak lain untuk menjadikan penulis menjadi pribadi yang
lebih baik dan kaya informasi, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Nurlena Rifa’i, M.A.,Ph.D., dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif Hidayatullah.
2. Hindun, M.Pd., ketua jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN
Syarif Hidayatullah.
3. Dona Aji Karunia, MA., sekertaris jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia UIN Syarif Hidayatullah.
4. Ahmad Bahtiar, M.Hum., dosen pembimbing skripsi yang dengan sabar
membimbing dan membantu penulis untuk segera merampungkan penelitian
ini.
5. Dosen-dosen jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah
membagi ilmunya selama masa perkuliahan.
6. H. Setiawan dan Hj. Sulasmi, kedua orang tua yang sangat luar biasa karena
selalu memberikan kebebasan kepada penulis untuk melakukan apapun.
Kalian mengajarkan tanggung jawab yang akan selalu penulis genggam.

iii
Kakak satu-satunya, Jayadi Setiawan, S. Kom, yang selalu menjadi
penyeimbang keberadaan penulis dalam keluarga.
7. Leila S. Chudori yang telah berkenan meluangkan waktu untuk di wawancarai
penulis, untuk memberikan informasi sebagai data penunjang penelitian ini.
8. Nurul Fatihah, S.Pd., (saudara, sahabat, serta pesaing) yang dari jauh selalu
menemani penulis merampungkan masa studi dengan nyaman dan damai.
9. Teman-teman PBSI angkatan 2010, khususnya kelas B yang senantiasa
menemani tidak hanya selama perkuliahan tapi diwaktu-waktu senggang
lainnya.
10. Anak-anak PKK (Penggiat Kumpul Kosan), Ade Fauziah, Tazka Adiati,
Nurul Inayah, Mawaddah, Humairoh, Aulia Herdiana P, Fitri Khoiriani, Ade
Ruafaida, Yunia Ria Rahayu, Mabruroh, Aisyatul Fitriah, dan anggota lain
yang ikut meramaikan. Kalian semua hebat.
11. Guru-guru TK Tunas Karya, SD Purwawinaya, MTs. AI Mertapada, MAAI
Mertapada, serta guru-guru kehidupan. Tanpa kalian, penulis tidak akan
pernah sampai di tahap ini.
Terima kasih pula untuk seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam
proses penyelesaian penelitian ini. Semoga Allah membalas kalian semua.
Penulis mengharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk
menjadikan penelitian ini lebih baik lagi. Besar harapan penulis agar penelitian
ini dapat bermanfaat, baik untuk penulis pribadi maupun pembaca.

Jakarta, Desember 2014

Penulis

iv
DAFTAR ISI

ABSTRAK………………………………………………………..…………………...i

KATA PENGATAR .. ……………………………………………..………………...iii

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………v

BAB I PENDAHULUAN………………………………….………………………...1

A. Latar Belakang Masalah………………………………………………………1


B. Identifikasi Masalah……………………………………………………….. .... 5
C. Batasan Masalah………………………………………………………............ 6
D. Rumusan Masalah……………………………………………………….. ....... 6
E. Tujuan Penelitian……………………………………………………….. ........ 6
F. Manfaat Penelitian……………………………………………………….. ...... 7
G. Metode Penelitian……………………………………………………….......... 7
1. Teknik Penelitian……………………………………………………….. .. 8
2. Teknik Pengumpulan Data……………………………………………….. 9

BAB II KAJIAN TEORI……………………………………………………….. .... 10

A. Sosiologi Sastra……………………………………………………….. ......... 10


B. Sosial dan Politik……………………………………………………….. ...... 11
1. Kondisi Sosial……………………………………………………….. ..... 11
2. Kondisi Politik……………………………………………………….. .... 14
C. Eksil……………………………………………………….. .......................... 15
D. Pengertian Novel……………………………………………………….. ....... 16
E. Jenis-jenis Novel……………………………………………………….. ....... 17
F. Unsur Pembangun Karya Sastra……………………………………………..19
1. Intrinsik……………………………………………………….. ............... 19
a. Tema………………………………………………………................ 19

v
b. Alur……………………………………………………….. ............... 20
c. Tokoh……………………………………………………….. ............ 22
d. Latar……………………………………………………….. .............. 24
e. Sudut Pandang……………………………………………………….25
f. Gaya Bahasa……………………………………………………….. .. 26
2. Ekstrinsik……………………………………………………….. ............ 27
G. Pembelajaran Sastra di Sekolah……………………………………………...28
H. Penelitian Relevan……………………………………………………….. ..... 30

BAB III PROFIL LEILA S. CHUDORI……………………………………….…33

A. Biografi Leila S. Chudori……………………………………………..…….. 33


B. Karya-karya Leila S. Chudori……………………………………………… . 34
C. Pemikiran Leila S. Chudori……………………………………………….. ... 38

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN NOVEL PULANG


KARYA LEILA S. CHUDORI……………………………….........................……42

A. Deskripsi Data……………………………………………………….. ........... 42


1. Tema……………………………………………………….. ................... 42
2. Tokoh……………………………………………………….. ................. 42
3. Latar……………………………………………………….. ................... 51
4. Sudut Pandang……………………………………………………….. .... 57
5. Gaya Bahasa……………………………………………………….. ....... 59
6. Alur………………………………………………………....................... 61
B. Kondisi Sosial Eksil……………………………………………………….. .. 64
1. Perekonomian………………………………………………………........ 65
2. Disorganisasi Keluarga…………………………………………………..68
3. Nilai-nilai Sosial……………………………………………………..….. 73
C. Kondisi Politik Eksil………………………………………………………… 78
1. Kekuasaan………………………………………………………………..78

vi
2. Nasionalisme………………………………………………………..……80
D. Implikasi di Sekolah…………………………………………………..…….. 82

BAB V PENUTUP…………………………………………………………….……89

A. Simpulan……………………………………………………………………..89
B. Saran…………………………………………………………………………90

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………….91

vii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Novel merupakan hasil karya sastra yang mewakili gagasan-gagasan
penulis tentang sesuatu yang ingin diwakili oleh karya yang diciptakan. Di
Indonesia, novel dari masa ke masa memliki karakteristik masing-masing.
Bila diamati lebih jeli, perkembangan novel melikupi banyak hal. Tidak hanya
dari segi bahasa dan ide, namun kebutuhan dan keadaan kondisi pada
zamannya banyak mempengaruhi setiap novel yang diciptakan. Novel dapat
dilatarbelakangi oleh gagasanan yang ingin ditanamkan pengarang pada
pembaca.
Sesuai dengan ungkapan Plato yang menganggap sastra sebagai tiruan
dari kenyataan. Karya sastra tidak akan terlepas dari konsep yang sudah ada
dalam kehidupan, pijakan gambaran yang terdapat dalam karya tersebut sudah
memiliki konsep yang telah dipahami oleh manusia termasuk penggunaan
latar, tokoh, ataupun ide yang disampaikan. Pengarang membaurkan
kenyataan dan realitas kehidupan dengan imajinasi. Terjadilah pengembangan
cerita dan sisipan-sisipan yang menarik untuk pembaca dalam memahami
karya sastra, walupun karya tersebut sedang memaparkan sebuah teori,
ideologi, atau bukti sejarah.
Peristiwa yang terjadi pada sebuah negara dapat memberkan inspirasi
pengarang dalam mengangkat cerita dari sudut pandangnya. Keruntuhan Orde
Lama dan tibanya Orde Baru di Indonesia adalah salah satu peristiwa yang
diceritakan dalam beberapa karya sastra. Runtuhnya Orde Lama menimbulkan
lahirnya beberapa peristiwa yang cukup sering dibahas, baik dari segi
keamaanan, politik, bahkan dunia sastra. Kejadian runtuhnya Orde Lama
salah satunya dipicu oleh terjadinya pembunuhan enam orang jenderal dan
beberapa perwira. Pembunuhan terhadap enam orang jenderal dan beberapa

1
2

perwira dituduhkan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI). Tuduhan itu


1
menimbulkan kekerasan sepanjang tahun 1965-1966. Buku Dalih
Pembunuhan Massal yang ditulis oleh John Roosa memaparkan bahwa
pembantaian dan pengasingan terhadap PKI tidak hanya berlaku untuk
anggota partai tersebut. Tapi merambat pula kepada anggota-anggota sealiran,
seperti Lekra.
Penangkapan terhadap anggota PKI dan orang-orang yang dianggap
melindungi, mendukung, atau ikut berpartisipasi dalam kegiatan yang
menyangkut PKI dilakukan secara besar-besaran. Namun, ada pula orang-
orang yang sedang berada di luar negeri, karena sedang menempuh
pendidikan, menjalani tugas sebagai diplomat, atau yang sedang menjadi
wakil di organisasi regional/internasional, ada juga rombongan yang diundang
oleh pemerintahan Tiongkok untuk menghadiri perayaan ulang tahun mereka
pada akhir 1965. Mereka umumnya diutus oleh pemerintahan Sukarno dan
sedang berada di negara-negara sosialis-komunis. 2 Mereka tertahan di luar
negeri karena beberapa alasan, salah satunya takut ditanggap saat kembali ke
Indonesia karena tuduhan anggota atau simpatisan PKI, atau mereka yang
menolak pulang karena tidak mau mengakui kesetian kepada kepemimpinan
Orde Baru. Mereka terlunta-lunta tanpa ada kepastian, paspor dicabut, para
pelajar pun dicabut beasiswanya. Bertahan hidup dengan melakukan
pekerjaan serabutan, demi bertahan hidup di luar negeri. Dalam
perkembangnanya, para eksil tersebar ke berbagai negara Eropa, termasuk
Prancis. Para eksil mendapat suaka dan kewarganegaraan di tempat mereka
tinggal. Namun, jiwa mereka masih menganggap memiliki Indonesia. Mereka
membuat komunitas, kegiatan, dan acara yang berhubungan dengan Indonesia.

1
Amin Mudzakir, “Eksil Indonesia dan Nasionalisme Kita” makalah disampaikan dalam
seminar PSDR-LIPI pada Selasa, 3 Desember 2013 di LIPI, Jakarta, h.2
2
Ibid, h.3
3

Bahkan eksil di Prancis membuka usaha rumah makan Indonesia yang sudah
terkenal di kalangan pejabat Prancis waktu itu.
Kisah eksil yang merantau di Prancis menjadi bahan yang diambil
Leila S. Chudori untuk mengembangkan kisah yang ia tulis dalam Pulang,
diterbitkan pada tahun 2012. Secara singkat Pulang digambarkan dalam
sampul belakangnya adalah sebuah drama keluarga, persahabatan, cinta, dan
pengkhianatan berlatar tiga peristiwa sejarah: Indonesia 30 September 1965,
Prancis Mei 1968, dan Indonesia Mei 1998. Latar Prancis yang disampaikan
mulai dari tahun 1965 melalui sudut pandang seorang perantau yang terbuang
dari negaranya dan memberikan gambaran perjuangan hidup untuk bertahan
serta berjuang.
Cerita ini bermula dengan penangkapan Hananto Prawiro oleh
“sepupu dari Jawa Tengah” atau aparat di Jakarta April 1968 yang sudah lama
menjadi buronan karena meletusnya Gerakan 30 September 1966. Kemudian
cerita meloncat ke Paris pada Mei 1968 yang mengisahkan tentang peristiwa
kerusuhan mahasiswa dan buruh Prancis melawan pemerintahan De Gaulle
yang membuat Dimas Suryo bertemu dengan Vivienne Deveraux seorang
mahasiswa Sorbonne. Cerita terus berputar antara masa lalu yang terjadi tahun
antara 1966 di Indonesia dan kisah yang berjalan pada masa waktu cerita
berjalan di Prancis dan Indonesia. Dalam cerita akan bermunculan tokoh-
tokoh yang menguatkan untuk menjadi saksi mata dalam kejadian-kejadian di
Indonesia dan Prancis. Seperti surat-surat dari Surti Anandari seorang kekasih
Dimas Suryo di masa lalu, surat dari Kenanga Prawiro, anak sulung Surti
yang ikut diboyong Surti untuk memenuhi panggilan intrograsi aparat di Jalan
Budi Kemuliaan, dan surat-surat dari Aji Suryo yaitu adik dari Dimas Suryo.
Surat-surat yang dicantumkan seperti bukti sejarah yang kuat dalam novel
Pulang. Cerita mengalir pada tahun 1998 di Indonesia oleh putri Dimas Suryo,
yaitu Lintang Utara. Lintang Utara yang mendapatkan tugas dari dosen
pembimbingnya untuk meliput peristiwa tahun 1966 dari berbagai pihak
4

saksi-saksi hal itu mengharuskan Lintang berangkat ke Indonesia pada tahun


1998, saat itu terjadi pergolakan politik di Indonesia. Kunjungan Lintang ke
Indonesia membuatnya bertemu Segara Alam, anak bungsu dari Surti dan
Hananto. Di Indonesia Lintang menemukan Indonesia yang baru dikenalnya
secara dekat, sebab sebelumnya ia hanya mendengar tentang Indonesia dari
Ayah dan kawan-kawan ayahnya hanya sampai tahun 1966. Akhir cerita
ditutup dengan Dimas Suryo yang meninggal dan dapat dimakamkan di
tempat yang ia inginkan dan rindukan, Karet.
Leila S. Chudori bukan penulis pertama yang mengangkat cerita
berlatarkan peritiwa sejarah di Indonesia. Sebelumnya sudah banyak
pengarang Indonesia yang mengakat keterkaitan sejarah Indonesia dengan
karya sastra, seperti Ayu Utami dengan karyanya Saman dan Larung yang
membahas kejadian sebelum masa reformasi Indonesia, atau Tetralogi Pulau
Buru karya Pramoedya Anantra Toer yang mengkisahkan keadaan Hindia
(Indonesia) sebelum masa kemerdekaan. Para pengarang membuat
perlawanan dengan karya sastra, memaparkan sejarah yang tidak diceritakan
oleh buku-buku sejarah di sekolah. Pulang merupakan sebagian kecil dari
karya sastra Indonesia yang berlatarkan sebuah realita sosial pada suatu
zaman, kenyataan dalam interaksi masyarakat dan manusia tidak banyak
diungkapkan oleh pemerintah. Hal tersebut mengidentifikasikan bahwa sastra
tidak terlepas dari sosiologi sebuah bangsa, sehingga dalam perkembangan
sastra muncul kajian sastra melalui pendekatan sosiologi. Menurut Sapardi
Djoko Damono, sosiologi melakukan telaah objektif dan ilmiah tentang
manusia dan masyarakat, telaah tentang lembaga dan proses sosial, mencari
tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan
bagaimana ia tetap ada; maka sastra menyusup, menembus permukaan
5

kehidupan sosial dan menunjukan cara-cara menusia menghayati masyarakat


dengan perasaannya, melakukan telaah secara subjektif dan personal.3
Pada ranah pendidikan, terutama pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia di sekolah, pembelajaran sastra persentase pengajarannya masih
sangat kurang dibanding materi lainnya. Padahal, pengajaran sastra dapat
membangkitkan keindahan, kepekaan, interaksi, bahkan sampai cara pandang
hidup. Namun, ada materi yang sering dibahas dalam sekolah, yaitu kajian
terhadap unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam novel ataupun cerita pendek,
baik itu jenjang sekolah menengah pertama atau tingkat menengah atas.
Karena dengan mempelajari sastra siswa dituntut memahami realitas
kehidupan yang dapat tercermin oleh karya sastra. Sehingga penting bagi
penelitian dapat mengaitkan bahan kajian yang dibahas dengan penerapan
karya sastra di sekolah.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dijelaskan rincian dasar penilaian
sebagai berikut: Dari segi penceritaan, novel Pulang karya Leila S. Chudori
begitu pas dikaji menggunakan telaah sosiologi sastra. Novel Pulang yang
menggambarkan kehidupan eksil yang berada di Prancis. Hampir separuh
kisah menggambarkan perjuangan hidup dan kekuatan bertahan akibat
keputusan-keputusan pemerintah Indonesia pada masa Orde Baru. Serta
impikasi kajian novel Pulang karya Leila S. Chudori terhadap pembelajaran
sastra di SMA.
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah yang memungkinkan setelah pemaparan latar
belakang yang melikupi:
1. Sudah banyak penjabaran peristiwa yang terjadi di Indonesia sekitar tahun
1965 sampai 1998
2. Kurangnya pembahasan seputar eksil di Prancis.

3
Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas, (Jakarta: editum, 2013) h. 8
6

3. Kondisi sosial dan politik eksil di Prancis dalam novel Pulang karya Leila
S. Chudori belum adanya implikasi terhadap kajian pada pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.
C. Batasan Masalah
Penelitian sastra tidak harus mengkaji segala aspek yang terdapat pada
karya sastra. Kajian sastra bisa dibatasi dari segi struktur, diksi, atau
pendekatan ilmu indisipliner yang berkaitan dengan kajian karya sastra. Agar
permasalahan yang diteliti tidak meluas pada aspek lainnya, penelitian ini
hanya membahas kondisi sosial dan politik eksil di Prancis dalam novel
Pulang karya Leila S. Chudori dan implikasi pembelajaran sastra di SMA.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dipaparkan
sebelumnya, permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi sosial dan politik eksil di Prancis pada novel Pulang
karya Leila S. Chudori?
2. Bagaimana implikasi kondisi sosial dan politik eksil di Prancis pada novel
Pulang karya Leila S. Chudori terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia di SMA?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini, diharapkan:
1. Mendeskripsikan kondisi sosial dan politik eksil di Prancis pada novel
Pulang karya Leila S. Chudori dengan tinjauan sosiologi sastra.
2. Mendeskripsikan penerapan kajian kondisi sosial dan politik eksil di
Prancis pada novel Pulang karya Leila S. Chudori terhadap implikasi
pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.
7

F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan dan memperkaya
khazanah ilmu pengetahuan menganai studi Sastra Indonesia khususnya
dalam memahami sejarah dari sisi yang berbeda. Penelitian ini juga
diharapkan mampu memberikan sumbangan dalam teori sosiologi sastra
dalam mengungkapkan novel Pulang Karya Leila S. Chudori.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis dengan penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca
untuk memahami isi cerita novel Pulang karya Leila S. Chudori terutama
mengguraikan cara pandanng pengarang yang direpresentasikan dalam
karyanya, dengan pemanfaatan lintas disiplin ilmu sosisologi dan sastra.
G. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif. Ada beberapa istilah yang digunakan untuk penelitian kualitatif,
yaitu penelitian atau inkuiri naturalistik atau alamiah, etnogarfi, interaksionis
simbolik, prespektif ke dalam, etnometodologi, the Chicago School,
fenomenologis, studi kasus, interpretatif, ekologis, dan deskriptif. 4 Menurut
Strauss dan Corbin, penelitian kualitatif merupakan penelitian yang temuan-
temuannya tidak diperoleh prosedur statistik atau bentuk hitung lainnya. Para
peneliti yang menggunakan pendekatan ini harus mampu menginterpretasikan
segala fenomena dan tujuan melalui sebuah penjelasan. Pendekatan kualitatif
adalah pendekatan yang penting untuk memahami suatu fenomena sosial dan
prespektif individual yang diteliti. Tujuan pokoknya adalah menggambarkan,
mempelajari, dan menjelaskan fenomena itu. Penelitian kualitatif menjadikan
peneliti sendiri menjadi instrumen penelitian, sehingga penelitian kualitatif
diolah secara fleksibel.

4
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosada Karya,
1999) h. 2
8

Penelitian kualitatif yang menuntut peneliti sendiri yang terjun


mencari informasi dan menggumpulkan data secara nyata dari yang peneliti
dapatkan. Data tersebut kemudian diolah peneliti untuk memperoleh jawaban
atas masalah yang diangkat oleh penelitian. Sumber data dalam penelitian
kualitatif adalah objek dari penelitian, yaitu novel Pulang karya Leila S.
Chudori dan data-data yang menunjang penelitian seperti buku, esai, makalah
dan jurnal.
Penelitian kulitatif yang menjadikan objek berupa novel dapat
menggunakan model pendekatan sosiologi sastra.
1. Teknik Penelitian
Penelitian ini berbasis content analysis yang berarti dokumen merupakan
objek dalam penelitian ini. Dokumen yang diteliti adalah novel Pulang
karya Leila S. Chudori. Penelitian ini dijelasakan secara deskriptif ketika
penggolahan data. Sebab penjelasaan deskriptif merupakan ciri khas
penelitian berbasis data kualitatif. Penelitian ini dilakukan beberapa
tahapan, yaitu:
a. Mengumpulkan data-data prosa karya Leila S. Chudori sebagai objek
dalam penelitian ini.
b. Memilih novel Pulang sebagai objek penelitian.
c. Melakukan pembacaan secara intensif terhadap objek penelitian.
d. Mengumpulkan data-data tambahan yang menunjang dalam
penelitian, seperti buku, esai, makalah, jurnal, maupun pencarian
secara online.
e. Menganalisis data-data yang dijadikan objek penelitian dengan
menggunakan pendekatan sosiologi sastra.
f. Menentukan hasil kesimpulan dari hasil penelitian yang telah
dilakukan terhadap objek.
9

2. Teknik Pengumpulan Data


Penelitian ini mengunakan teknik dokumentasi, yaitu teknik
pengumpulan data melalui pengumpulan dokumen untuk memperkuat
informasi. Teknik dokumentasi dapat dikatakan sebagai strategi yang
digunakan dengan mengumpulkan data dari buku, majalah, esai, jurnal,
online, dan dokumen lain yang menunjang dalam penelitian ini. Penulis
melakukan seleksi dalam pemilihan data yang menunjang dengan melihat
keterkaitan data penunjang dengan objek yang dikaji.
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Sosiologi Sastra
Swingewood mendefinisikan sosiologi merupakan studi yang ilmiah
dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-
lembaga dan proses-proses sosial. 1 Dilihat dari pernyataan Swingewood
tersebut ada perbedaan mendasar sosiologi dengan dunia sastra, sebab
sosiologi bersifat objektif dan ilmiah, sedangkan sastra lebih berdasar pada
perasaan. Walau memiliki perbedaan yang mendasar, ranah kajian sosiologi
memiliki kesamaan pula dengan dunia sastra, karena karya sastra tidak
tercipta dengan sendirinya, namun ada sastrawan yang merupakan anggota
dari suatu masyarakat, juga karya sastrawan yang terpengaruh oleh
lingkungan sosial sekitar. Seperti yang diungkapkan Wolff, bahwa sosiologi
kesenian dan kesuasastraan merupakan suatu disiplin tanpa bentuk, tidak
terdefinisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi empiris dan berbagai
percobaan pada teori yang lebih general, yang masing-masing hanya
mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan
hubungan antara seni/kesuasastraan dan masyarakat. 2 Sosiologi dan sastra
dapat dilihat dari hubunga antar manusia dan masyarakat, baik dari segi
interaksi, hubungan, komunikasi, dan komponen-komponen sosial yang
lainnya. Sehingga sastra tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat, karena
pengaruh dari masyarakat menjadi poin penting penciptaan karya sastra.
Dilihat dari penjabaran sebelumnya, bahwa sastra dan sosiologi saling
melangkapi, walau kenyataannya selama ini cenderung untuk dipisahkan.
Maka dapat diambil simpulan bahwa sosiologi sastra merupakan pendekatan

1
Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013) h. 1
2
Ibid., h. 4

10
11

sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakat. 3 Lepas dari sastra itu


cerminan dari realitas masyarakat, atau sebuah hasil yang baru dan otentik
dari buah pemikiran seorang pengarang.
Klasifikasi sosiologi sastra menurut Wellek dan Werren dibagi
menjadi tiga bagian. 4 Pertama, sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan
institusi sastra. Permasalahan sosiologi pengarang berkaitan dengan ideologi,
status sosial, dan hal lain yang berkaitan dengan pengarang dalam
menghasilkan karya sastra. Kedua, sosiologi karya sastra. Ranah sosiologi
karya sastra mencangkup isi, tujuan, serta hal-hal yang tersirat dalam karya
sastra. Ketiga, sosiologi sastra yang berhubungan dengan pembaca dan
dampak sosial karya sastra.
B. Sosial dan Politik
Masyarakat dan individu tidak bisa dilepaskan dengan gambaran-
gambaran masalah yang ada di sekitarnya, kondisi sosial yang digambarkan
akan menjelaskan permasalan yang ditemui. Keadaan sosial mempengaruhi
cara bersikap masyarakat dalam menentukan sikap, begitu juga dunia politik
ikut menyumbang gambaran kondisi sosial yang tercipta. Kondisi sosial dapat
tergambarkan dari perekonomian, hubungan dengan keluarga, hingga nilai-
nilai sosial yang muncul dalam masyarakat. Dalam ranah politik akan muncul
permasalahan kekuasaan dan nasonalisme. Kondisi sosial dan politik tersebut
akan memperjelas sebuah gambaran yang dapat menjabarkan perjalanan hidup
suatu masyarakat.
1. Kondisi Sosial
Kondisi sosial novel dapat dikaji dari beberapa aspek yang terlihat dari
cerita, baik terlihat secara langsung atau tidak langsung. Sesuai dengan
pengkategorian Mundar Soelaeman pada buku Ilmu Sosial Dasar, aspek sosial

3
Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas , (Jakarta: editum, 2013) h. 2
4
Rene Wellek dan Austin Warren, Op.cit., h. 111
12

yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kajian perekonomian,


disorganisasi keluarga, dan nilai-nilai sosial.
a. Perekonomian
Ekonomi mencoba memahami kehidupan individu dan
masyarakat dalam usahanya memproduksi, mendistribusi dan
mengkonsumsi barang dan jasa yang terbatas dalam masyarakat. 5
Kebutuhan individu dan masyarakat itu bisa dipenuhi dengan adanya
institusi yang mengelola dalam memahami kebutuhan yang berbeda-
beda. Individu dan kelompok yang memenuhi kebutuhannya dengan
barang dan jasa bisa dikatakan sebagai fenomena ekonomi.6 Ekonomi
juga dapat memperbesar jarak antar kelas sosial, rasial, dan
7
ketidaksamaan gender. Dalam mekanisme penerimaan dan
penawaran, sosiologi dapat memberikan resep untuk mencegah konflik
sosial. Dalam memenuhi kebutuhan manusia, selain merupakan
kebutuhan ekonomi, dapat pula diklasifikasikan sebagai kebutuhan
sosial, contoh ternak, selain fungsi ekonomi, dapat diklasifikasikan
sebagai kebutuhan sosial. 8Sebab ekonomi saat ini menjadi salah satu
penilaian kehidupan masyarakat.
b. Disorganisasi Keluarga
Disorganisasi sosial dapat diakibatkan oleh laju perubahan
kondisi sosial. Perubahan kondisi sosial dapat berupa pengambilan
tempat, pembaruan norma, peraturan baru, konflik yang terjadi, dan
institusi yang mengambil bentuk dan fungsi yang baru. 9 Disorganisasi

5
Ng. Philipus dan Nuril Aini, Sosiologi dan Politik, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2009) h. 2
6
Ibid., h.65
7
Kenneth J. Neubeck and Davita Silfen Glasberg, Sosiology: Diversity, Conflict, and Change,
(New York: McGraw-Hill, 2005) h. 67
8
M. Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar: Teori dan Konsep Ilmu Sosial, (Bandung: PT
ERESCO, 1995) h. 186
9
Judson R. Landis, Sociology: Concepts and Characteristics, (California: Wadworth
Publishing Company, 1971) h. 192
13

keluarga merupakan salah satu bentuk dari disorganisasi sosial yang


disebabkan oleh perpecahan keluarga yang unit anggota keluarganya
tidak dapat menunaikan kewajiban yang sesuai dengan peranan sosial.
Disorganisasi kelurga menurut Soelaeman terdiri dari lima
definisi:
1) Ketidaksaahan. Merupakan unit keluarga yang tidak
lengkap. Kegagalan anggota keluarga menjalankan
kewajiban peranannya.
2) Pembatalan, perpisahan, perceraian, dan meninggal.
3) Keluarga selaput kosong. Keluarga yang tinggal bersama,
namun tiap anggota keluarga tidak ada interaksi.
4) Ketidak hadiran seseorang dari pasangan karena hal yang
tidak diinginkan, baik karena meninggal, dipenjara,
peperangan, depresi, dan malapetaka lainnya.
5) Kegagalan peranan penting yang tak diinginkan. Seperti
penyakit mental, emosional, atau badaniah.
c. Nilai-nilai Sosial
Nilai merupakan patokan perilaku sosial yang melambangkan
baik-buruk, benar-salah suatu objek hidup masyarakat. Nilai biasanya
diukur berdasarkan kesadaran terhadapa apa yang pernah dialami
seseorang, terutama pada waktu merasakan kejadian yang dianggap
baik atau buruk, benar atau salah, baik oleh dirinya sendiri maupun
anggapan masyarakat. 10 Konsep keyakinan menjadi faktor utama
munculanya nilai-nilai sosial, baik merupakan sebuah fakta yang pasti
atau justru bukan, karena konsep tersebut tidak perlu dibuktikan.
Nilai-nilai sosial juga mempengaruhi individu atau kelompok untuk
berprilaku, baik secara keseluruhan ataupun hanya sebagian.

10
Abdul Syani, Sosiologi: Skematika, Teori, dan Penerapan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012) h. 31
14

Nilai-nilai sosial dapat juga timbula kerena adanya prasangka,


sehingga timbullah diskriminasi. Sikap yang ditunjukan dari sebuah
prasangka mempunyai komponen-komponen, yaitu:
1) Kognitif: Memiliki pengetahuan mengenai objek sikapnya,
terlepas pengetahuan itu benar atau salah.
2) Afektif: Selalu mempunyai evaluasi emosional (setuju-
tidak setuju) mengenai objek sikapnya.
3) Konatif: Kecenderungan bertingkah laku bila bertemu
dengan objek sikapnya, mulai dari bentuk yang positif
(tindakan sosialisasi) sampai pada yang sangat aktif
(tindakan agresif).
2. Kondisi Politik

Kondisi politik yang tergambarkan dalam sebuah novel dapat bermacam


jenisnya, seperti partisipasi politik, sistem politik, kekuasaan dan wewenang,
mobilisasi politik, hingga nasionalisme atau yang berhubungan dengan
11
kewarganegaraan. Aspek politik yang digunakan untuk penelitian ini
terdapat pada kekuasaan dan nasionalisme.

a. Kekuasaan
Pengertian Kekuasaan yang paling umum menurut Roderick
Martin mengacu pada suatu jenis pengaruh yang dimafaatkan oleh si
objek, individu, atau kelompok terhadap yang lainnya. 12 Kekuasaan
bergaris besar dengan pengaruh, pemaksaan, dan otoritas. Pengaruh
yang dimiliki individu atau kelompok dalam suatu tempat dapat
digunakan untuk membujuk yang lain untuk melakukan atau
mempercayai sesuatu, bila dengan membujuk tidak bisa dilakukan,

11
M. Munandar Soelaeman, Op. cit, h. 207
12
Ibid., h. 135
15

maka sifat pemaksaan yang akan dikeluarkan sebegai otoritas yang


dimiliki oleh si penguasa.
Soerjono Soekanto menyebutkan empat macam usaha untuk
mempertahankan kekuasan13, yaitu:
1) Menghilangkan segenap peraturan-peraturan lama,
terutama dalam bidang politik yang merugikan kedudukan
penguasa.
2) Mengadakan sistem-sistem kepercayaan (bilief-system)
yang akan dapat mengkokoh kedudukan penguasa atau
golongannya, sistem-sistem kepercayaan tersebut meliputi
agama, ideologi, dan seterusnya.
3) Pelaksanaan administrasi dan birokrasi yang baik.
4) Mengadakan konsolidasi secara horizontal dan vertikal.
b. Nasionalisme
Menurut Kleiden bahwa nasionalisme merupakan semangat
dari suatu kelompok bangsa tertentu dengan segala cita-cita dan
harapan ideal yang akan dikejarnya merupakan roh yang tumbuh dan
berkembang dari zaman ke zaman. Nasionalisme tidak terhalang oleh
jarak suatu bangsa dengan tempat asalnya. Nasionalisme tidak
mengenal jarak tersebut dikenal dengan nasionalisme jarak jauh.
Nasionalisme jarak jauh lebih menekankan kepada komitmen politisi
dengan melakukan aksi-aksi tertentu yang merupakan tanggapan
terhadap situasi bangsanya.14
C. Eksil
Bahasa Inggris istilah exile, yang diindonesiakan menjadi eksil,
memiliki tiga pengertian. Pertama, sebuah ketakhadiran, sebuah absensi yang

13
Abdulsyani, Op. cit., h. 141
14
Amir Mudzakkir, “Eksil Indonesia dan Nasionalisme Kita”, makalah disampaikan dalam
seminar PSDR-LIPI pada Selasa, 3 Desember 2013 di LIPI, Jakarta, h. 4
16

panjang dan biasanya karena terpaksa dari tempat tinggal ataupun negeri
sendiri. Kedua, pembuangan secara resmi (oleh negara) dari negeri sendiri,
dan pengertian ketiga adalah seseorang yang dibuang ataupun hidup di luar
tempat tinggal ataupun negerinya sendiri (perantau, ekspatriat). Istilah exile
itu sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu exsilium (pembuangan) dan exsul
(seseorang yang dibuang). Dari ketiga pengertian istilah eksil di atas kita bisa
melihat bahwa faktor dislokasi geografis dari tempat kelahiran ke
sebuah tempat asing merupakan faktor utama yang menciptakan kondisi
yang disebut sebagai eksil itu. Dislokasi geografis itu sendiri bisa
terjadi karena disebabkan oleh negara secara resmi ataupun karena pilihan
pribadi. Pada kasus pertama, para pelarian politik segera muncul dalam
pikiran kita sebagai representasi dari mereka yang diusir dari negeri kelahiran
sendiri oleh pemerintahan yang sedang berkuasa, sementara pada kasus kedua
kita segera teringat pada para pengungsi, para transmigran, dan para perantau
yang mencari hidup baru di luar tempat kelahiran mereka.15 Pada peristiwa di
Indonesia tahun 1965, munculan istilah eksil untuk para warga negara
Indonesia yang tertahan karena memiliki hubungan atau sebagai tertuduh
peristiwa Gerakaan 30 September (G30S), dan dari pengertian eksil
sebelumnya, konsep eksil yang disuguhkan untuk mewakili para eksil yang
tersangkut peristiwa G30S adalah konsep geografis dari tempat kelahiran ke
tempat baru baik karena keinginan pribadi atau perintah resmi pemerintahan
atau istilah lainnya yaitu pembuangan.
D. Pengertian Novel
Menurut Abrams novel berasal dari bahasa Italia novella yang
memiliki arti “sebuah barang baru yang kecil”, kemudian diartikan
sebagai ”cerita pendek dalam bentuk prosa”. Namun, pada masa sekarang
penggunaan istilah novel di Indonesia sama dengan penggunaan istilah

15
Saut Situmorang, “Sastra Eksil Sastra Rantau”, diunduh tanggal 28 Oktober 2014,
http://sastra-pembebasan.10929.n7.nabble.com/
17

novelet yang merujuk pada sebuah karya prosa yang cukup panjang dan tidak
terlalu pendek. 16 Pembauran istilah novel dan novelet masih dipertanyakan.
Namun, dilihat tidak adanya batasan pasti untuk sebuah karya disebut novel,
maka istilah tersebut novelet dan novel bisa dikatakan sama saja.
Novel dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai
karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan
seseorang dengan orang-orang di sekitarnya dengan menonjolkan watak dan
sifat setiap pelaku. Biasanya novel menceritakan peristiwa pada masa tertentu.
Bahasa yang digunakan lebih mirip bahasa sehari-hari. Penggunaan unsur-
unsur instrinsik masih lengkap, seperti tema, plot, latar, gaya bahsa, nilai,
tokoh dan penokohan. Dengan catatan, yang ditekankan aspek tertentu dari
unsur instrinsik tersebut. 17 Karena unsur intrinsik merupakan unsur yang
membangun novel dari dalam karya tersebut, tidak ada perbedaan antara novel
maupun roman.
Pengertian novel dari berbagai tokoh sebelumnya menitikberatkan
bahwa novel adalah sebuah karya sastra yang memiliki unsur-unsur dalam
mendukung jalan cerita sehingga terjadi alur yang berawal dari awalan hingga
leraian atau penyelesaian dan tidak terlepas dari unsur-unsur luar yang
mendukung terciptanya karya tersebut. Seperti unsur sosial, politik, ekonomi,
dan unsur-unsur yang berkaitan dengan realita kehidupan. Istilah tersebut
dikenal dengan unsur ekstrinsik.
E. Jenis-jenis Novel
Penggolongan novel dalam dunia penerbitan buku sulit dilakukan,
karena beberapa hal yang bersifat subjektif sehingga pemisahan jenis novel
menjadi kabur, seperti kebiasaan penerbitan dalam mengelurkan buku, atau
kebiasaan seorang penulis dalam mengeluarkan karyanya. Berdasarkan teori

16
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Perss,
2013) h. 11
17
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008) h.141
18

Lukas, Girard, Goldmann mendefinisikan novel sebagai cerita tentang suatu


pencarian yang terdegradasi akan nilai yang otentik yang dilakukan oleh
seorang hero yang problematika dalam sebuah dunia yang juga terdegradasi.
Goldmann membedakan jenis novel menjadi tiga jenis, yaitu: novel idealisme
abstrak, novel psikologi, dan novel pendidikan.18 Novel idealis diwakili oleh
Don Quixote yang menceritakan bahwa sang hero penuh optimisme dalam
petualangan tanpa menyadari kompleksitas. Novel psikologi diwakili oleh L.
‘Education Sentrimentale, Goethe yang menceritakan bahwa sang hero
cenderung pasif karena kekuasaan kesadarannya tidak tertampung oleh dunia
konvensi. Novel pendidikan diwakili oleh Wilhelm Meister yang
menceritakan bahawa sang hero telah melepaskan pencariannya akan nilai-
nilai yang otentik, tetapi tetap menolak dunia.
Nurgiyantoro lebih spesifik dalam mengkasifikasikan jenis novel
berdasarkan keadaan sastra di Indonesia. Jenis novel Indonesia dapat
dijeniskan menjadi dua bagian, novel serius dan novel populer. Novel serius
dikenal pula dengan novel sastra. Menurut Stanton, fiksi populer memerlukan
pembacaan dan „pembacaan kembali‟. Maksud pernyatan tersebut bahwa
pembacaan novel serius tidak mudah, sehingga pembaca tidak hanya
menikmati saja, namun dituntut untuk memahami dengan cara diserap sedikit
demi sedikit. Jarang sekali ada orang yang dapat langsung memahami novel
serius hanya dengan sekali membaca.
Tujuan utama novel serius adalah memungkinkan pembaca
membayangkan sekaligus memahami satu pengalaman manusia. Untuk
menjawab pertanyaan mengapa maksud tersebut harus dicerna melalui
berbagai hal rumit dan sulit, harus diingat bahwa pengalaman manusia
bukanlah sekadar rangkaian kejadian-kejadian yang sinambung. Rangkaian
tersebut hendaknya dirasakan sedalam mungkin seolah sedang benar-benar

18
Faruk, Op. cit., h. 90
19

dialami. 19 Bila sebuah novel hanya menjadi bahan bacaan yang menghibur
dan memuasakan kesamaan realita yang terjadi, tanpa membangkitkan
imajinasi, bisa diaktakan novel tersebut adalah novel populer.
Pembatasan novel serius dan novel populer masih memiliki kekaburan
dan pembantasan yang tipis, salah satu penyebabnya adalah steriotip pembaca
terhadap pengarang. Bila ada pengarang yang dikenal melahirkan karya yang
selalu serius, maka pembaca akan langsung menilai karya yang dilahirkan
akan serius, padahal belum tentu semua karya yang dibuat memiliki karakter
novel serius, begitu pula sebaliknya dengan novel populer. Bila pembaca atau
masyarakat mengenal suatu penerbit sering mencetak novel-novel populer,
walau novel itu memiliki karakter novel serius, pembaca akan tetap
mengkatagorikan sebagai novel populer.
F. Unsur Pembangun Karya Sastra
Karya sastra merupakan sebuah hasil karya pengarang yang diwakili
dalam bentuk kata-kata dan rangkaian cerita yang saling membangun. Unsur
pembangun karya sastra, khususnya novel terdiri dari unsur intrinsik dan
unsur ekstrinsik.
1. Intrinsik
Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang
membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang
menyebabkan suatu teks hadir sebagai teks sastra, unsur-unsur yang
secara faktual akan dijumpai orang membaca karya sastra. Unsur yang
terkandung dalam instrinsik menjadi bahan kajian kritik sastra seperti
tema, alur, tokoh, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa.
a. Tema
Tema merupakan aspek yang sejajar dengan „makna‟ dalam
pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman

19
Robert Stanton, Teori Fiksi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) h. 6
20

20
begitu diingat. Ada banyak kisah berhubungan dengan
pengalaman yang dirasakan manusia, mulai dari cinta hingga
penderitaan. Aminuddin berpendapat tema adalah ide yang
mendasari suatu cerita. Tema berperan sebagai pangkal tolak
pengarang saat memaparkan karya rekaan yang diciptakannya.
Tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan
21
pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya. Hartoko &
Rahmanto mengemukakan bahwa tema merupakan gagasan dasar
umum yang menopang sebuah karya sastra dan terkandung di
dalam teks sebagai struktur sistematis dan menyangkut persamaan
juga perbedaan.22 Di pihak lain, Nurgiyantoro menyimpulkan tema
sebagai gagasan (makna) dasar umum yang menompang sebuah
karya sastra sebagai struktur sematis dan bersifat abstrak secara
berulang-ulang dimunculkan lewat motif-motif dan biasanya
dilakukan secara implisit.23 Dari beberapa pendapat ahli, diketahui
bahwa tema merupakan makna pokok pembicaraan sebuah cerita,
kemunculannya akan lebih sering terlihat karena masalah-masalah
yang ada pada cerita akan menuju kepada makna tersebut.
b. Alur
Stanton menjelaskan bahwa alur atau plot (istilah yang
digunakan Nurgiyantoro) merupakan cerita yang berisi urutan
kejadian, namun kejadian dihubungkan secara sebab akibat,
peristiwa satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa
yang lain. 24 Pendapat Stanton sebelumnya sudah dikemukakan
oleh Forster yang mengartikan alur sebagai peristiwa-peristiwa

20
Robert Stanton, Op.cit., h. 36
21
Wahyudi Siswanto, Op.cit, h. 161
22
Burhan Nurgiyantoro, Op.cit, h.115
23
Ibid.
24
Ibid., h. 167
21

cerita yang mempunyai pendekatan pada adanya hubungan


kausalitas. Penggambaran peristiwa berdasarkan pada urutan cerita
saja tidak dapat menggambarkan pengertian alur. Alur haruslah
menjadi sebuah jalinan cerita yang memiliki keterkaitan cerita satu
dengan yang lain. Peristiwa terjadi pasti ada penyebabnya, atau
peristiwa itu terjadi karena penyebab peristiwa lain. Hal seperti itu
merupakan jalinan cerita saling berkaitan, maka akan terjadilah
jalinan cerita tidak hanya berdasarkan urutan cerita, tapi lebih
kepada kaitan antar cerita yang memiliki ikatan satu sama lain.
Abrams mengungkapkan, bahwa alur haruslah berupa
rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa
sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku
25
dalam suatu cerita. Sedangkan Sudjiman mengartikan alur
sebagai jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai
efek tertentu. Siswanto mengartikan alur adalah rangkaian
peristiwa rekaan dan dijalani dengan saksama, menggerakan jalan
cerita melalui rumitan ke arak klimaks dan selesaian. Menurut
pendapat Abrams dan Siswanto menggambarkan alur dengan
tahapan-tahapan tertentu sehingga cerita dapat bergerak
menghadirkan peristiwa. Bila dilihat kembali dari pendapat
beberapa ahli seputar alur atau plot, cerita fiksi pada umumnya
harus memiliki jalinan peristiwa yang memiliki keterkaitan
sehingga akan menimbulkan tahapan-tahapan pembangun cerita
yang akan mengesankan pembaca.
Tahapan alur menurut Aminuddin diawali dengan pengenalan,
konflik, komplikasi, klimaks, peleraian, dan penyelesaian.
Pengenalan adalah tahapan peristiwa suatu cerita rekaan atau

25
Wahyudi Siswanto, Op.cit., h. 161
22

drama yang memperkenalkan tokoh-tokoh atau latar cerita.


Konflik atau tikaian adalah ketegangan atau pertentangan antara
dua kepentingan atau kekuatan di dalam cerita rekaan atau drama.
Komplikasi atau rumitan adalah bagian tengah alur cerita rekaan
atau drama yang mengembangkan tikaian. Klimaks merupakan
bagian alur cerita rekaan atau drama yang melukiskan puncak
ketegangan, terutama dipandang dari segi tanggapan emosional
pembaca. Krisis atau titik balik berupa bagian alur yang
mengawali penyelesaian. Leraian adalah bagian struktur alur
sesudah tercapainya klimaks. Selesaian merupakan tahap akhir
26
suatu cerita rekaan atau drama. Sedangkan Nurgiyantoro
membedakan alur berdasarkan kriteria urutan waktu, yaitu alur
lurus (progresif), alur sorot-balik (flash back), dan alur campuran.
Alur lurus menekankan kepada urutan kronologis yang tertata dari
awal hingga akhir cerita. Alur sorot-balik lebih kepada
pengambilan tengah cerita sebagai pembuka cerita, kemudian
barulah cerita dilanjutkan secara berurutan. Alur campuran
merupakan penggambungan antara alur lurus dan alur sorot-balik.
c. Tokoh
Aminudin mengungkapkan bahwa tokoh merupakan pelaku
yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa
itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan
tokoh disebut penokohan. Tokoh menurut Sudjiman merupakan
individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam
berbagai peristiwa dalam cerita. Di samping tokoh utama
(protagonis), ada jenis-jenis tokoh lain, yang terpenting adalah
tokoh lawan (antagonis), yakni tokoh yang diciptakan untuk

26
Ibid., h. 159-160
23

mengimbangi tokoh utama. Konflik di antara mereka itulah yang


menjadi inti dan menggerakan cerita. 27 Bukan perkara tokoh
protagonis adalah tokoh baik, atau tokoh antagonis adalah tokoh
jahat. Tapi, lebih menyoroti kedudukan tokoh dalam cerita.
Boulton mengungkapkan bahwa cara sastrawan
menggambarkan atau memunculkan tokoh dapat menempuh
berbagai cara. 28 Jadi, dapat dikatakan tokoh merupakan tokoh
rekaan yang menjalani peristiwa sehingga membangun cerita.
Setiap tokoh memiliki karakterisasi atau pemeranaan, pelukisan
watak. Metode karakterisasi dalam telaah karya sastra adalah
metode melukiskan watak para tokoh yang terdapat dalam suatu
29
karya fiksi. Sehingga pengambaran tokoh ditunjukan oleh
pengarang dapat dilihat melalui metode langsung (telling) dan
metode tidak langsung (showing). Menurut Minderpop, metode
langsung dapat disimak bahwa pengarang tidak sekadar
menyampaikan watak para tokoh berdasarkan apa yang tampak
melalui lakuan tokoh tetapi ia mampu menembus pikiran, perasaan,
gejolak serta konflik batin dan bahkan motivasi yang melandasi
tingkah laku para tokoh. Sedangkan metode tidak langsung dapat
dijelaskan ketika seorang tokoh membicarakan tingkah laku tokoh
lainnya ternyata pembicaraan justru dapat menunjukan tidak
sekadar watak tokoh yang dibicarakan, bahkan watak si penutur
sendiri tampak jelas.

27
Melani Budianta dkk, Membaca Sastra: Pengentar Memahami Sastra untuk Perguruan
Tinggi, (Indonesia Tera: Magelang, 2006) h. 86
28
Wahyudi Siswanto, Op.cit, h. 104
29
Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2005) h. 2
24

d. Latar
Latar adalah segala keterangan mengenai waktu, ruang dan
susana terjadinya lakuan pada karya sastra. Deskripsi latar dapat
bersifat fisik, realistis, dokumenter, dapat pula berupa deskipsi
perasaan.30 Wellek & Warren mengemukakan bahwa latar adalah
lingkungan yang dapat berfungsi sebagai metonimia, metafora,
atau ekspresi tokohnya. Abrams mengemukakan latar cerita adalah
tempat umum (general locale), waktu kesejarahan (historical time),
dan kebiasaan masyarakat (social circumatances) pada setiap
episode atau bagian-bagian tempat.31 Latar merupakan lingkungan
yang menjelaskan segala keterangan, mencakup tempat, waktu,
dan suasana.
Leo Hamalida dan Frederick R. Karell menjelaskan bahwa
latar cerita karya fiksi bukan hanya berupa tempat, waktu,
peristiwa, suasana serta benda-benda di lingkungan tertentu, tetapi
juga dapat berupa suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan
pikiran, prasangka, maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam
menanggapi suatu problem tertentu. Pendapat Leo & Frederick
sepaham dengan pendapat Abrams yang menyebutkan bahwa latar
sebagai landasan tumpu, menunjuk pada pengertian tempat,
hubungan sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya
32
peristiwa-peristiwa diceritakan. Latar berhubungan dengan
keadaan tertentu dikenal melalui penggambaran latar suasana,
gambaran terjadi lebih membangun nuansa yang terasa oleh
pembaca.

30
Melani Budianta dkk, Op.cit., h.
31
Wahyudi Siswanto, Op.cit., h.149
32
Burhan Nurgiyantoro, Op.cit., h. 302
25

e. Sudut Pandang
Sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang cerita,
dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa,
33
tempat, waktu dengan gayanya sendiri. Hal itu biasanya
dikemukakan oleh narator. Berbicara tentang narator, berarti
berbicara tentang sudut pandang, yaitu suatu metode narasi yang
menentukan posisi atau sudut pandang darimana cerita
34
disampaikan. Sedangkan menurut Aminuddin, titik pandang
diartikan sebagai cara pengarang menampilkan pelaku dalam cerita
yang dipaparkannya. Titik pandang meliputi (1) narrator
omniscient, (2) narrator observer, (3) narrator observer
omniscient, dan (4) narrator the thrid person omnisceant.
Harry Shaw menyatakan titik pandang terdiri atas (1) sudut
pandang fisik, yaitu posisi dalam waktu dan ruang yang digunakan
pengarang dalam pendekatan materi cerita, (2) sudut pandang
nentral, yaitu perasaan dan sikap pengarang terhadap masalah
dalam cerita, dan (3) sudut pandang pribadi, yaitu hubungan yang
dipilih pengarang dalam membawa cerita; sebagai orang pertama,
kedua, atau ketiga. Sudut pandang pribadi dibagi atas (a)
pengarang menguatkan sudut pandang tokoh, (b) pengarang
menggunakan sudut pandang tokoh bawahan, dan (c) pengarang
menggunakan sudut pandang yang impersonal: ia sama sekali
berdiri di luar cerita. 35 Pengarang sudah tidak punya kedudukan
ketika cerita sudah dipaparkan. Tidak ada pengarang dalam cerita,
melainkan tokoh yang diciptakan pengarang untuk memandu cerita.

33
Wahyudi Siswanto, Op.cit., h. 151
34
Albertine Minderop, Op.cit., h. 44
35
Wahyudi Siswanto, Op.cit., h. 90
26

Baik tokoh yang terlibat langsung, atau tokoh di luar cerita


berlangsung.
Sudut pandang orang pertama atau “akuan” adalah tokoh yang
terdapat dalam cerita, walau kehadirannya belum tentu sebagai
tokoh utama. Sedangkan sudut pandang orang ketiga atau “diaan”
mengacu kepada kata ganti orang ketiga, dia, atau ia. Sudut
pandang “diaan” berada di luar cerita, ia bertugas menyampaikan
suatu cerita tanpa ikut terlibat di dalamnya.36 Selain itu, ada pula
sebutan sudut pandangan gabungan dapat mengamati bagaimana
pengarang menyampaikan ceritanya. Menggunakan sudut pandang
gabungan dapat melihat sebuah masalah ditinjau lebih dari satu
tokoh yang terlibat dalam peristiwa tersebut.37 Menurut Miderop,
sudut pandang berfungsi sebagai penentu tokoh mayor (utama) dan
minor (bawahan), memahami perwatakan para tokoh yang
dianalisi, memperlihatkan motivasi, menentukan alur dan latar bila
dianggap perlu untuk mendukung perwatakn atau tema, dan
menentukan tema karya sastra tersebut.
f. Gaya Bahasa
Aminuddin mengungkapkan bahwa gaya bahasa adalah cara
seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan
menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta
mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh
daya intelektual dan emosi pembaca. 38 Gorys Keraf membedakan
gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna ke dalam dua
kelompok, yaitu gaya bahasa retoris dan kisan. Gaya retoris adalah
gaya bahasa yang harus diartikan menurut nilai lahirnya atau

36
Melani Budianta, dkk, Op.cit., h. 90
37
Albertine Minderop, Op.cit., h. 91
38
Wahyudi Siswanto, Op.cit., h. 158-159
27

memiliki unsur kelangsungan makna. Sebaliknya, gaya bahasa


kiasan adalah gaya bahasa yang maknanya tidak dapat ditafsirkan
sesuai dengan makna kata-kata yang membentuknya. 39 Gaya
bahasa kiasan umumnya dikenal dengan sebutan majas.
Umumnya gaya bahasa adalah semacam bahasa yang bermula
dari bahasa biasa digunakan dalam gaya tradisional dan literal
untuk menjelaskan orang atau objek. Gaya bahasa mencangkup:
arti kata, citra, perumpamaan, serta simbol dan alegori. Arti kata
mencangkup, antara lain: arti denotatif dan konotatif, alusi, parodi,
dan sebagainya; sedangkan perumpamaan mencangkup, antara
lain: simile (merupakan perbandinngan langsung antara benda-
benda yang tidak selalu mirip secara ensesial), matafor (suatu gaya
bahasa yang membandingkan suatu benda dangan benda lain
secara langsung, dalam bahasa Inggris menggunakan to be dan
bisa digunakan secara langsung) dan personifikasi (suatu proses
penggunaan karakteristik manusia untuk benda-benda non-
manusia, termasuk abstrak dan gagasan).40 Ada beberapa macam
gaya bahas kiasan selain perumpamaan. Ada kaya bahasa yang
berupa perbandingan, sindiran, pertentangan, dan penegasan.
2. Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik (extrinsic) adalah unsur-unsur yang berada di
luar teks sastra itu, tetapi tidak langsung memengaruhi bangun atau
sistem organisme teks sastra, atau secara khusus dapat dikatakan
sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangunan cerita sebagai
karya sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya.41

39
Burhan Nurgiyantoro, Op.cit., h. 399
40
Albertine Minderop, Op. cit., h. 42
41
Burhan Nurgiyantoro, Op.cit, h.30
28

Faktor lingkungan dan sejarah menjadi salah satu pembentuk unsur


ekstrinsik sebuah karya.
Seperti ungkapan Wellek dan Warren yang meyakinkan bahwa
metode terbaik dalam ekstrinsik adalah mengaitkan karya sastra
dengan latar belakang keseluruhan.42 Baik dari segi biografi, psikologi,
sosiologi, maupun pemikiran pengarang. Segala aspek kehidupan yang
berada di lingkungan kehidupan pengarang dapat menjadi wahana
pembangun sebuah karya sastra secara tidak langsung, baik itu
disadari ataupun tidak oleh pengarang.
G. Pembelajaran Sastra di Sekolah
Pengajaran ranah formal atau dikenal dengan pembelajaran di sekolah
atau perguruan tinggi merupkan salah satu cara mengenalkan sastra pada
peserta didik. Pengajaran sastra dapat dikaitkan kedalam bidang disiplin ilmu
lainnya, termasuk dalam bidang pendidikan. Walaupun sastra bersifat karya
rekaan, namun keterkaitan karya sastra erat dengan kejadian-kejadian yang
terjadi di kehidupan sehari-hari. Keluwesan sastra dapat membantu pengajar
mengajarkan masalah-masalah yang akan dihadapi di dunia nyata.
Sayangnya, murid di sekolah tidak dibiasakan untuk membaca novel
secara keseluruhan. Mereka hanya terbiasa membaca ringkasannya saja.
Sedangkan ringkasan tidak dapat menggambarkan keindahan dan isi novel
secara keseluruhan, tidak mengungkapkan gaya penulisan dan diksi pengarang
yang bersangkutan dengan gaya kepenulisan pengarang lain, serta tidak dapat
mengguah rasa dan menimbulkan kesan untuk merangsang perenungan.43 Hal
seperti itu tidak dapat dibiarkan begitu saja oleh pengajar, sebab akan
menimbulkan ketidaktertarikan siswa untuk mengkaji sebuah novel. Bila
keadaan murid yang suka membaca novel secara ringkasannya saja terus
42
Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesuasastraan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 1993) h. 80
43
Melani Budianta, dkk, Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan
Tinggi, (Magelang: Indonesia Tera, 2006) h. 145
29

dilanjutkan, maka hanya akan lahir pengetahuan-pengetahuan sebatas teoretis


saja. Murid akan menghafal unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang
bersangkutan dengan novel yang dibahas. Mereka tidak akan terbiasa untuk
mengkaji sastra dengan memberi apresiasi, kritik, atau proses kreatif pada
sebuah novel. Hanya saja, kurikulum saat ini di sekolah hanya sebatas
membahas unsur intrinsik dan ekstrinsik, serta struktur lain yang bersifat
teoretis tanpa melibatkan kajian yang lebih dalam pada karya sastra, tidak
terkecuali novel.
Pembelajaran di sekolah, kajian terhadap novel dapat diterapkan
kepada siswa kelas XII semester satu kurikulum KTSP yang membahas
tentang kajian unsur ektrinsik dan instrinsik dari penggalan novel yang
dibacakan.

SILABUS
Sekolah : SMA/MA
Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia
Kelas : XII
Semester : 1 (Satu)
Standar Kopetensi : Memahami pembacaan novel
Kopetensi Dasar : Menjelaskan unsur instrinsik dan ekstrinsik dari
penggalan novel.

Indikator Materi Kegiatan Metode Penilaian Alokasi Sumber/


Pembelajaran Pembelajaran Waktu Bahan Alat
 Menjelaskan Penggalan  Menjelaskan Diskusi Jenis 3 X 45  Buku novel
unsur-unsur novel unsur-unsur dan Tagihan: menit  Media
Instrinsik pembangun Present  tugas setempat
dalam sastra (tema, asi individu  Buku-buku
30

penggalan latar,  tugas penunjang


novel yang penokohan, kelomp
dibacakan. alur, pesan ok
atau sudut  ulangan
pandang,  praktik
dan konflik)
dalam Bentuk
penggalan Instrumen:
novel yang  uraian
dibacakan bebas
teman .  pilihan
 Menjelaskan ganda
unsur-unsur jawaban
ektrinsik singkat
yang
terdapat
dalam
penggalan
novel.
 Mendiskusik
an unsur-
unsur
intrinsik dan
ekstrinsik
penggalan
novel.
31

H. Penelitian Relevan
Penelitian dilakukan terhadap novel Pulang karya Leila S. Chudori
pernah dilakukan oleh Bagus Takwin (2013) yang berjudul “Mencermati
Naratif Novel Pulang”. Makalah tersebut disajikan dalam musyawarah buku
Pulang karya Leila S. Chudori di Serambi Salihara pada tanggal 29 Januari
2013, membahas tentang kekuatan naratif yang terdapat pada novel Pulang
sehingga membuat kekuatan dan daya tarik yang menghasilkan daya pikat dan
daya gugah. Kekuatan yang dijabarkan Takwin tentang kekuatan narasi
Pulang terletak pada empat poin. Pertama, penetapan kejadian dalam alur
waktu membantuk jejaring. Kedua, Penetapan waktu yang piawai sehingga
menghasilkan dinamika cerita yang menggerakan. Ketiga, deskripsi lokasi
tempat kejadian berlagsung juga menghasilkan karakteristik khas. Keempat,
Penataan adegan dengan kesan visual yang kuat. Pulang dikatakan dapat
membantu pembaca memaknai kembali menjadi orang Indonesia sehingga
Pulang menjalankan fungsi dari naratif itu sendiri.
Kajian terhadap keberadaaan eksil pernah disampaikan dalam seminar
dengan makalah berjudul “Eksil Indonesia dan Nasionalisme Kita” oleh Amin
Mudzakkir (PSDR-LIPI) disampikan dalam seminar PSDR-LIPI “Eksil
Indonesia dan Nasionalisme Kita” pada Selasa, 3 Desember 2013 d LIPI,
Jakarta. Kajian makalah tersebut menjelaskan tentang kaum eksil yang
tertahan di luar negeri karena dicabutnya paspor serta kewarganegaraa. Walau
kaum eksil sudah tidak dianggap sebagai warga Indonesia dan telah memiliki
kewarganegaraan sesuai negara tempat mereka tertahan, dan dipisahkan oleh
ruang dan waktu dari tanah kelahairannya. Kaum eksil politik tersebut merasa
masih memiliki identitas sebagai bangsa Indonesia. Istilah yang digunakan
untuk menggambarkan keadaan tersebut adalah nasionalisme jarak jauh. Para
nasionalis jarak jauh boleh saja tinggal bahkan menjadi warga negara lain,
tetapi mereka tetap berjuang dan berpartisipasi untuk bangsa.
32

Makalah Amin Mudzakir menjelaskan bahwa nasionalisme kaum eksil


menggugat konsep kewarganegaraan formal yang mengacu pada aspek legal.
Mereka mematahkan nasionalisme terhadap satu negara saja, karena mereka
telah menjadi warga negara lain, namun ideologi kaum eksil tetap
mempertahankan Indonesia sebagai komitmen politik. Melalui argumen
tersebut munculah konsep “warga negara lintas-batas” oleh Schiller dan
Fouron.
Penelitian terhadap novel Pulang pernah dilakukan oleh Eko Sulistyo
dengan judul “Novel Pulang karya Leila S. Chudori: Analisis Struktur Plot
Robert Stanton” pada tahun 2014. Penelitian itu diajukan untuk tugas akhir
Strata 1 (S1) jurusan Sastra Indonesia di UGM. Penelitian tersebut
mendeskripsikan penggunaan struktur plot novel Pulang dengan hasil bahwa
novel Pulang memiliki 840 peristiwa kausal yang disusun dalam 48 episode
dan 5 bab (terbagi dalam 17 subbab). Dari keseluruhan cerita dapat dibagi
menjadi tiga tahapan, yaitu tahapan awal, tengah, dan akhir. Tahapan awal
menjelaskan pengenalan tokoh, latar, serta konflik-konnflik yang mulai
bermunculan. Tahapan tengah menampilkan konflik yang semakin meningkat
dan memunculkan konflik baru. Tahapan akhir menampilkan klimaks dan
penyelesaian dari kisah perjalanan Dimas serta keragu-raguan Lintang untuk
menetap di Indonesia. Dari hasil penelitian tersebut mengemukakakn bahwa
novel Pulang memiliki sifat rekat dan plausibel atau tiap peristiwa
keseluruhan dalam novel tersebut memiliki hubungan kausal.
BAB III

PROFIL LEILA S. CHUDORI

A. Biografi Leila S. Chudori

Leila Salikha Chudori lahir di Jakarta, 12 Desember 1962. Leila


tinggal di Jakarta bersama putri tunggalnya, Rain Chudori-Soerjoatmodjo. Ia
terpilih mewakili Indonesia mendapat beasiswa menempuh pendidikan di
Lester B. Pearson College of the Pacific (United World Colleges) di Victoria,
Kanada. Lulus sarjana Political Science dan Comparative Development
Studies dari Universitas Trent, Kanada.1 Pendidikan pertamanya tahun 1969-
1975 SD Batahari Jakarta, dilanjutkan SMP Negeri 8 Jakarta tahun 1976-1979,
kemudian SMA 3 Jakarta tahun 1979-1984.2
Leila selalu pergi dan pasti kembali. Setelah beberapa tahun
“menghilang“, Leila yang ditulis Kompas sebagai anak emas sastra Indonesia
yang telah kembali.3 Terbukti setelah menghilang dari dunia kepengarangan
selama 20 tahun, ia muncul dengan melahirkan kumpulan cerita pendek 9 dari
Nadira.
Ia seorang gemar membaca, bila gizi manusia terpenuhi dengan empat
sehat lima sempurna, bagi Leila, nomor lima itu adalah membaca buku.
Membaca buku bukan lagi sebuah hobi, tapi sebuah kebutuhan seperti
manusia membutuhkan udara untuk bernafas. Ia pun seorang yang detail
dalam segala hal, termasuk dalam menentukan detail ilustrasi setiap karya-
karyanya. Namun, tanpa dipungkiri Leila merupakan orang yang mudah bosan.
Termasuk dalam menggarap karya-karyanya. Ia bukan pengarang yang setiap

1
Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, Leila S. Chudori, diunduh 23 Juni 2013,
(http://www.penerbitkpg.com/),
2
Taman Ismail Marzuki, Leila S. Chudori, diunduh 26 Juni 2013,
(http://www.tamanismailmarzuki.com/)
3
Anonim, Leila Selalu Pulang, diunduh 29 Juni 2013, ( http://www.dw.de/)

33
34

tahun menlahirkan karya, dan tidak akan langsung melahirkan karya lanjutan
dalam waktu yang kronologis.4
Nama Leila S. Chudori pernah tercantum dalam daftar keanggotaan
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode 1993-1996. Ia menegaskan bahwa
sudah sejak lama menolak untuk duduk dalam keanggotaan itu. Sebuah jurnal
sastra Asia Tenggara mencantumkan Leila S. Chudori sebagai salah satu
sastrawan Indonesia dalam kamus sastra Dictionnaire des
Creatrices diterbitkan oleh EDITIONS DES FEMMES, Prancis, disusun oleh
Jacqueline Camus. Kamus sastra ini berisi data dan profil perempuan yang
berkecimpung di dunia seni.
B. Karya-karya Leila S. Chudori
Karya-karya awal Leila dimuat saat berusia 12 tahun di majalah Si
Kuncung, Kawanku, dan Hai. Pada usia dini ia menghasilkan buku kumpulan
cerpen berjudul Sebuah Kejutan, Empat Pemuda Kecil, dan Seputih Hati
Andra. Pada usia dewasa cerita pendeknya dimuat di majalah Zaman, majalah
sastra Horison, Matra, jurnal sastra Solidarity (Filipina),
Menagerie (Indonesia), dan Tenggara (Malaysia). Cerpen Leila dibahas oleh
kritikus sastra Tinneke Hellwig “Leila S. Chudori and Women in
Contemporary Fiction Writing dalam Tenggara”.
Selain sehari-hari bekerja sebagai wartawan majalah berita Tempo,
Leila (bersama Bambang Bujono) juga menjadi editor buku Bahasa!
Kumpulan Tulisan di Majalah Tempo (Pusat Data Analisa Tempo, 2008).
Leila juga aktif menulis skenario drama televisi.
Masa kanak-kanak, Leila mengarang semenjak anak-anak hingga
dewasa. Semasa kanak-kanak, Leila memulai kariernya dengan membuat
cerpen yang berjudul “Sebatang Pohon Pisang”, dimuat di majalah Kawanku

4
Hasil wawancara pribadi dengan Leila S. Chudori tanggal 28 Oktober 2014 pukul 13:00-
15:00, bertempat di Thai Alley Gandaria City.
35

tahun 1974. Setelah itu karyanya rajin muncul di majalah tersebut dan majalah
lainya seperti Kuncung.
Bakatnya dalam menulis memang sudah menonjol sejak kecil. Dia
terpikirkan untuk membuat animasi benda mati, menghidupkan botol, kursi,
dan lain-lainnya sehingga bisa bicara, punya perasaan atau berkeluh kesah.
Kemampuan Leila untuk menangkap sesuatu terus berlanjut seiring dengan
umurnya, wawasan yang didapat memiliki hubungan dengan karya-karyanya.
Ketika beranjak remaja dengan wawasan remaja dia membuat cerita remaja.
Tetapi mulanya sempat tak yakin, permasalahannya merasa tidak bisa
membuat cerpen yang bertemakan cinta, ungkap Leila yang menurutnya lebih
senang membuat cerita fiksi ketimbang artikel. Meski begitu, pada
kenyataannya Leila dikenal sebagai pengarang cerita remaja.5
Karyanya manis, menggemaskan, tapi tidak cengeng. “Saya tidak bisa
membuat karya yang dibikin-bikin. Pokoknya apa yang saya pikirkan, saya
tuangkan,” cetusnya. Untungnya dipikirkan Leila bukan cinta saja meski usia
remaja lumrah berisi dengan warna-warna cinta. Ini tercermin dari keragaman
tema cerita yang diproduksinya. Salah satu karya yang diingatnya,
persahabatan seorang remaja dengan tukang koran. Itu tidak lazim dibuat
pengarang remaja masa itu, yang umumnya senang membuat cinta-cintaan si
tampan dan si cantik.
Sejak kecil Leila sudah biasa berkumpul dengan pengarang terkenal
seperti Yudhistira Massardi, Arswendo Atmowiloto, dan Danarto. Tapi dia
memang bukan perempuan yang pantang mundur, terutama untuk bidang tulis
menulis yang diyakininya sebagai pilihan hidup dan karier. Karena itu, dia
memilih karier sebagai wartawan. Kerjanya memang sungguh menyita waktu
dan meletihkan, sehingga ia tak sempat lagi menulis cerita fiksi. Sempat
mewawancarai tokoh-tokoh terkenal, yang kemungkinan tak bisa dijumpai

5
Taman Ismail Marzuki, loc.cit
36

kalau ia cuma sekadar penulis fiksi. Meski diakui kariernya sebagai pengarang
cukup cemerlang, diminta ceramah, sampai diundang ke pertemuan pengarang
Asia di Filipina. Tapi dia juga tak bisa menyembunyikan kegembiraannya
sempat bertemu dengan Paul Wolfowitz, Bill Morison, HB Jassin, Corry
Aquino dan menjadi satu dari 11 wanita Indonesia yang bisa makan siang
bersama Lady Diana.
Berikut ini beberapa karyanya yang sudah dipublikasikan, baik berupa
novel, kumpulan cerrita pendek, maupun naskah film:
1. Dunia Tanpa Koma
Drama TV berjudul Dunia Tanpa Koma, produksi SinemArt, sutradara
Maruli Ara. Menampilkan Dian Sastrowardoyo dan Tora Sudiro
ditayangkan di RCTI tahun 2006. Mendapatkan penghargaan sebagai
acara TV terbaik tahun 2007 pada penghargaan Bandung Film Festival.
Leila S. Chudori mendapatkan penghargaan sebagai penulis drama dan
televisi pada acara dan tahun yang sama.
2. Drupadi
Menulis skenario film pendek Drupadi pada tahun 2008, produksi
SinemArt dan Miles Films, sutradara Riri Riza. Merupakan tafsir
kisah Mahabharata. Diperankan oleh Dian Sastrowardoyo sebagai
Drupadi dan Nicholas Saputra sebagai Arjuna.
3. Malam Terakhir
Kumpulan cerpen Malam Terakhir pertama kali terbit tahun 1989 oleh
Pustaka Utama Grafiti beberapa bulan sebelum pengarang bergabung
dengan majalah Tempo, 6 kemudian pada tahun 2009 dicetak ulang oleh
Kepustakaan Populer Gramedia. Terdiri dari sembilan judul cerpen, “Paris,
Juni 1988’, “Adila”, “Air Suci Sita”, “Sehelai Pakaian Hitam”, “Untuk
Bapak”, “Keats”, “Ilona”, “Sepasang Mata Menatap Rain”, dan “Malam

6
Leila S. Chudori, Malam Terakhir, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012) h. xiii
37

Terakhir”. Kumpulan cerpen Malam Terakhir diterjemahkan ke dalam


bahasa Jerman Die Letzie Nacht (Horlemman Verlag).7
4. 9 dari Nadira
Kumpulan cerpen 9 dari Nadira terbit pertama kali tahun 2009
bersamaan dengan terbit ulang Malam Terakhir oleh penerbit Kepustakaan
Populer Gramedia. Terdiri dari sembilan judul, “Mencari Seikat Seruni”,
“Nina dan Nadira”, “Melukis Langit”, “Tasbih”, “Ciuman Terpanjang”,
“Kirana”, “Sembilan Pisau”, “Utara Bayu”, dan “At Pedder Bay”.
Beberapa judul cerpen dalam 9 dari Nadira pernah dipublikasikan di
beberapa media, “Melukis Langit” dimuat di majalah Mantra Maret 1991
dan direvisi ketika masuk menjadi kumpulan 9 dari Nadira, “Nina dan
Nadira” di majalah Mantra Mei 1992 direvisi ketika masuk menjadi
kumpulan 9 dari Nadira, “Mencari Seikat Seruni” di majalah Horison
April 2009, dan “Tasbih” di majalah Horison September 2009. 8 Tahun
2011, 9 dari Nadira mendapat apresiasi dari Penghargaan Sastra Badan
Bahasa Indonesia. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Lontar
Foundation dengan judul The Longest Kiss.9
5. Pulang
Akhir tahun 2012, lahirlah Pulang sebagai novel pertama Leila S.
Chudori. Diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia, dan
diluncurkan pertama kali di Goethe Institut Jakarta. Riset yang dilakukan
penulis selama enam tahun untuk pergi ke Pernacis dan mewawancari
Oemar Said dan Sobron Aidit sebagai eksil tahanan politik. 10 Pulang
menceritakan tentang perjalanan hidup eksil politik di Prancis, khususnya
perjalanan hidup Dimas Suryo yang berusaha untuk “Pulang” kembali ke

7
Taman Ismail Marzuki, loc.cit
8
Leila S. Chudori, 9 dari Nadira, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012)
9
Leila S. Chudori, “Tentang Leila”, 28 Oktober 2014, ( http://www.leilaschudori.com/)
10
Ibid,
38

pelukan Tanah Air. Tahun 2013, Pulang memenangkan Katulistiwa


Literary Award.11
C. Pemikiran Leila S. Chudori
Leila S. Chudori merupakan pengarangan yang hampir selalu memilih
cerita pendek sebagai format ketika berkarya. Baginya, cerita pendek dalam
beberapa hal memiliki peraturan yang lebih ketat, lebih keras, dan lebih galak
dari pada jenis format lainnya. Sebab cerita pendek harus memuat ledakan
dalam ruang yang sempit, tidak ada tempat untuk ngalor-ngidul seenaknya
menghabiskan kata-kata untuk memperlihatkan keindahan kosa kata.
Keputusan itu tidak hanya berurusan dengan masalah fisik dari cerita pendek,
tapi berhubungan dengan perasaan yang disampaikan.12
Ia sangat tidak percaya dengan bakat, baginya kata bakat itu
mengandung misteri. “Manusia itu ditentukan oleh faktor internal dan
eksternal. Kita harus menguji diri kita, punya jiwa seni atau tidak.” katanya.
Bagi Leila, seorang pengarang memiliki kepekaan menangkap fenomena
dalam dirinya, kemudian diekspresikan lewat kertas. “Kita harus mengadakan
pendekatan pada kepekaan itu. Sesudah mengenal kepekaan itu, barulah
dilanjutkan dengan proses edukasi, ya membaca, belajar dari pengalaman,
menghayati kehidupan,” Bagi Leila, seni itu tidak diperoleh dalam pendidikan
akademis, kecuali masalah politik dan ekonomi. Seorang pengarang berbakat
itu tak ditentukan oleh kuantitas karyanya, tapi bobot karya itu sendiri.
Pengarang yang terlalu produktif itu diragukan kualitas karya-karyanya.
“Kapan sih kesempatannya untuk mengendapkan karyanya dan kemudian
merenung. Lain halnya dengan Putu Wijaya yang benar-benar produktif, tapi
terasa ada pengulangan-pengulangan tanpa disadarinya,”13 Leila beranggapan,

11
The Jakarta Post, Leila s. Chudori: Khatulistiwa Award winner’s commitment to the writing
process, 28 Oktober 2014, http://www.thejakartapost.com/
12
Hasil wawancara pribadi dengan Leila S. Chudori tanggal 28 Oktober 2014 pukul 13:00-
15:00, bertempat di Thai Alley Gandaria City.
13
Ibid
39

menulis haruslah dari hati dan menikmati prosesnya. Tidak hanya sekadar
ingin terkenal, apalagi mendampatkan penghargaan. Bila suatu karya
diapresiasi baik, maka itu menjadi nilai tambah, tapi bukan sesuatu yang
diharapkan dari awal pembuatan.14
Leila tumbuh dengan cerita-cerita pewayangan yang memiliki cerita
yang mendalam dan kerumitan tidak biasa. Kisah pewayangan seperti kisah
yang agung semacam dengan kisah-kisah para dewa di Yunani. Karyanya pun
banyak terinspirasi dengan kisah-kisah pewayangan. Beberapa karyanya
memiliki dasar kisah drama keluarga tidak biasa seperti kisah pewayangan.
Baginya, kisah keluarga yang baik-baik saja tidak menarik untuk diceritakan.
Berbeda hal bila cerita menggambarkan drama keluarga yang rumit karena
anggota keluarganya meninggal karena bunuh diri 15 atau keluarga yang
menjadi korban dari peristiwa 30 September 196516 akan sangat menarik bila
diceritakan dalam sebuah karya.17
Leila tidak mematok karya menjadi karya yang harus mendidik, justru
menurut pandangannya bila karya sudah dilahirkan dan dinikmati oleh
pembaca, pengarang haruslah membuat jarak dengan karya. Tidak ada lagi
keharusan menjawab dan membahas masalah-masalah yang tidak dipahami
dari karya tersebut. Biarkan pembaca menafsirkan sendiri maksud dari karya-
karyanya. Termasuk memberikan kebebasan pengamat dan pembaca
mengkatagorikan karya dalam bentuk novel sastra, novel populer, novel
sejarah, atau katagori lainya.18

14
Hasil wawancara pribadi dengan Leila S. Chudori tanggal 28 Oktober 2014 pukul 13:00-
15:00, bertempat di Thai Alley Gandaria City.
15
Kisah yang mendasari kumpulan cerita pendek 9 dari Nadira, keluarga yang ditinggal mati
oleh Ibunya dengan cara bunuh diri, tanpa sebab dan tidak ada kejelasan kenapa sang ibu bisa
memutuskan bunuh diri, sehingga menimbulkan pertanyaa-pertanyaan serta kejutan bagi anggota
keluarga lainnya.
16
Kisah ini merupakan formula dari novel Pulang.
17
Hasil wawancara pribadi dengan Leila S. Chudori tanggal 28 Oktober 2014 pukul 13:00-
15:00, bertempat di Thai Alley Gandaria City.
18
Ibid.
40

Tahun 1982, Leila pergi kuliah ke Kanada, negeri multikultural yang


damai dengan standar hidup yang jauh lebih “menjanjikan“. Enam tahun
hidup di negeri yang “tertib“ tak membuat Leila kehilangan selera atas tanah
airnya. Ia memilih pulang: kembali ke tempat yang chaos, sumpek dan penuh
persoalan. Leila ingat pesan ayahnya, “Ada alasan mengapa kita dilahirkan
sebagai orang Indonesia. Alasan itu harus kita cari sepanjang hidup kita.”
“Karena tanah air ini sungguh remuk luka, penuh persoalan…
Manusia Indonesia? Manusia yang gemar duit dan malas bekerja, yang gemar
bergunjing hanya untuk kesenangan sehari-hari, yang main tembak, yang
mempermainkan hukum…” tulis Leila dalam peringatan 40 hari kepergian
ayahnya.
Tetapi, seperti kata Ayah pula, Indonesia juga memiliki matahari yang
hangat. Ada banyak orang yang baik, yang peduli, yang bekerja tanpa
mengeluh, banyak yang terus menerus berpeluh tanpa pamrih agar sekadar
sejengkal-dua-jengkal tanah air ini membaik. Kekaguman Leila pada ayahnya
Mohammad Chudori wartawan kantor Berita Antara dan The Jakarta Post itu, tak
mampu disembunyikannya.19
Saat Leila merampungkan studinya dan akan kembali ke Indonesia, ia
dan teman-temannya mampir ke Eropa terlebih dahulu. Ia mengajak teman-
temannya untuk mencicipi masakan Indonesia di Prancis, restoran masakan
Indonesia yang berada di Prancis bernama Restoran Indonesia. Pemilik
restoran tersebut adalah eksil politik dari peristiwa tahun 1965, Sobron Aidit
dan Oemar Said. Cerita perjalan Sobron dan Oemar merupakan langkah awal
Leila melahirkan Pulang.20 Kisah perlawanan eksil di Prancis dapat dikatahui
dengan lebih jelas dalam buku Melawan dengan Restoran karya Sobron Aidit.

19
Anonim, Leila Selalu Pulang, 2013,( http://www.dw.de/)
20
Hasil wawancara pribadi dengan Leila S. Chudori tanggal 28 Oktober 2014 pukul 13:00-
15:00, bertempat di Thai Alley Gandaria City.
41

Buku yang menceritakan perjuangan hidup para eksil di Prancis dalam


menjalani kesehariansetelah penahanan mereka di Paris.
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN NOVEL PULANG
KARYA LEILA S. CHUDORI

A. Deskripsi Data
1. Tema
Tema merupakan ide yang mendasari sebuah cerita berjalan merangkai
peristiwa. Rangkaian peristiwa yang terjadi dalam Pulang didasari pada
keberadaan segala keputusan Dimas Suryo yang tidak ingin memiliki
ikatan dengan apapun atau siapa pun. Baik dari segi ideologi, percintaan,
hingga keputusan-keputusan yang diambil dalam hidupnya. Kebimbangan
Dimas dalam keputusannya yang tidak ingin terikat, menyeretnya dalam
pusaran peristiwa sejarah.
“ … Lebih mudah untuk tidak memilih, seolah tak ada
konsekuensi. Tetapi seperti katamu, memilih adalah jalan
hidup yang berani.” 1

Keinginan bebas tanpa ikatan menimbulkan drama di kehidupannya,


kehidupan keluarganya, dan sekelilingnya. Masalah-masalah yang timbul
setelah memilih untuk tidak menentukan pilihan merupakan persoalan
yang memicu permasalahan ia ditinggal menikah oleh Surti, kekasihnya,
menjadi eksil di Paris, kemudian menikah dengan Vivienne dan akhirnya
bercerai.
2. Tokoh
Novel Pulang memiliki kehadiran yang cukup banyak, terlebih dari
sudut korban dari peristiwa tahun 1965. Satu sudut inilah yang membuat
Pulang hampir memiliki keseragaman pemikiran pada tiap tokohnya.
Namun, tiap tokoh memiliki karakter yang kuat dan dibekali proporsi
cerita sesuai, sehingga tokoh yang akan ditampilkan pada penelitian ini

1
Leila S. Chudori, Pulang, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012) h. 448

42
43

hanya tokoh yang memiliki pengaruh cukup besar dan mendapatkan


sorotan lebih.
a. Dimas Suryo
Pulang dapat dikatakan cerita yang mengkisahkan perjalanan hidup
Dimas Suryo. Di awal cerita, ia diceritakan terdampar di Paris pada tahun
1968 dengan sudut pandang dirinya sendiri dalam membandingkan
demonstrasi yang terjadi di Paris dengan demonstrasi yang berkecamuk di
Indonesia.
Aku iri. Aku cemburu. Pertarungan di Paris saat ini sungguh
jelas keinginannya. … Di Indonesia, kami akrab dengan
kekisruhan dan kekacauan tetapi tak tahu siapa kawan dan
siapa lawan.2
Penggambaran dialog tersebut mengawali cerita tentang latar belakang
terdamparnya Dimas Suryo di Paris, dan bertemu Vivienne Devereaux
mahasiswa Sorbonne yang ikut revolusi Prancis Mei 1968. Kedekatannya
dengan Vivienne membuat cerita-cerita masa lalu Dimas terungkap,
sehingga membuat pembaca penasaran apa yang terjadi sesungguhnya
pada kehidupan Dimas sebelumnya, kehidupannya di Indonesia dan
kerinduannya terhadap Indonesia. Ia menguak cerita dibalik
kedatangannya ke Prancis, hubungannya dengan keluarga Hananto
Prawiro dan kedekatannya dengan Surti Anandari sebelum menikah
dengan Hananto. Cerita itu mengalir melalui ingatan yang dipancing oleh
sesuatu yang mengikangatkan pada masa lalu. Ingatan di masa lalu
menjelaskan bahwa Dimas adalah seorang yang masih terikat dengan
segala masa lalunya, entah dengan simbol benda ataupun perwakilan
tokoh wayang yang ia kagumi.

Di ruang tengah apartemen kami, ada Indonesia yang


ditanamkan Dimas Suryo, dua sosok wayang kulit yang

2
Ibid., h. 10
44

digantung di dinding: Ekalaya dan Bima. … Isi stoples


pertama adalah berliter-liter cengkih. Isi stoples kedua adalah
bubuk kunyit kuning.3
Dimas merupakan pribadi yang tidak dapat menentukan pilihan, ia
ingin bersikap netral pada segala hal. Ia ingin mengetahui segala
pemikiran tanpa berpihak pada satu pemikiran, namun sikap itu yang
menjebak Dimas dalam kondisi yang menyulitkannya karena ikut terkena
arus pembersihan orang-orang yang bersentuhan dengan pihak “kiri”.

“Kau menolak masuk ormas. Apalagi masuk partai. Kau


menolak memihak. Kau mengkritik Lekra tapi kau juga
mengkritik para penandatangan Manifes Kebudayaan.”
“Ya, lalu?” Aku menatap Hananto, menantikan dia
melanjutkan gerutunya.
“Apa maumu, Dimas? Lihat kehidupan pribadimu. Kau juga
tak punya keinginan jelas. Apa karena hatimu masih tertambat
pada masa lalu, atau kau terlalu menyukai masa bujangmu?”4
Secara fisik, Dimas memiliki perawakan pria ideal. Memiliki kulit
tubuh yang kecoklatan, rambutnya ikal tebal dan dagunya lacip dan
mancung. Dimas adalah seorang wartawan di kantor Berita Nusantara
sebelum tertahan karena peristiwa 30 September. Ia memiliki ketertarikan
kepada dunia kuliner dan memiliki keahlian memasak di atas rata-rata
eksil yang terdampar di Prancis, oleh karena itu didaulat sebagai juru
masak di Restoran Tanah Air.

Menjadi wartawan, bagiku adalah jalan yang tak bisa ditolak.


Wartawan adalah profesi yang memperlakukan kekuatan kata
sama seperti koki menggunakan bumbu masakan.5
Dimas menjadikan dunia jurnalis dan memasak adalah hidupnya. Bahkan
ketika di Prancis ia tetap aktif menulis dan berkontribusi dalm suratkabar

3
Ibid., h. 214
4
Ibid., h. 42
5
Ibid., h. 65
45

yang disebarkan di eropa untuk orang-orang yang tertarik perihal


Indonesia.

b. Nugroho Dewantoro
Seorang pria kelahiran Yogyakarta yang memiliki kumis seperti artis
Clark Gable dan bersuara sumbang. Ia pernah mempelajari tentang
sinologi 6 , namun tidak lulus dan memilih bekerja di kantor Berita
Nusantara.
Di antar kami berlima hanya Mas Nug yang gemar menyanyi
dan bersiul, tapi justru suara dia yang paling sember dan tak
beraturan.7
Mas Nug sempat belajar sinologi seusai menyelesaikan
sekolah menengah tinggi. Tapi pendidikan ini tak
diselesaikannya.8
Ia memiliki keahlian memasak seperti Dimas, namun ia lebih
mementingkan efektivitas dan rasa puas. Sehingga ia dapat menggantikan
bumbu sate atau gado-gado dengan selai kacang, berbeda dengan Dimas
yang menyembah ritual dalam memasak.

Ada perbedaan antara masakan Om Nug dan Ayah. Om Nug


adalah seorang koki modern yang baru mempelajari
kehebatan bumbu Indonesia setelah semua memutuskan untuk
mendirikan koperasi restoran Indonesia. Dia mementingkan
efektivitas dan rasa puas.9
Perihal masalah efektivitas dan rasa pusa, Nugroho menerapkannya
pula dalam kehidupan percintaan. Setelah tertahan di Peking, ia
memutuskan singgah ke Swiss dan memiliki hubungan dengan seorang
wanita bersuami hanya karena nama wanita tersebut memiliki kesamaan
simbol dengan istrinya di Indonesia.

6
Ilmu pengetahuan yang mempelajari seputar bahasa dan kebudayaan Tiongkok.
7
Leila S. Chudori, Op.cit., h. 92
8
Ibid., h. 60
9
Ibid., h. 139
46

Nugroho merupakan ayah dari Bimo Nugroho dan suami dari Rukmini.
Walau semenjak Nugroho menjadi eksil dan menetap di Prancis, ia
menyanggupi perceraian yang diminta isterinya. Padahal, ia begitu
mencintai Rukmini dan anaknya.

Nugroho Dewanto, lelaki Yogyakarta yang selalu


menekankan untuk berbahas Indonesia daripada bahasa Jawa,
sebetulnya sangat sentimentil. Bahkan aku curiga, meski dia
sering berlaga seperti pemain perempuan, Mas Nug sangat
menginginkan kehangatan keluarga.10
Nugroho menjadi pemimpin secara tidak langsung dalam pilar
Restoran Tanah Air setelah berpisahnya mereka dengan Hananto Prawiro.
Ia menjadi penompang karena memiliki sifat riang dan penuh dengan rasa
optimis dalam memandang kehidupan.

c. Risjaf
Risjaf merupakan anggota yang dianggap paling muda dan peka. Ia
digambarkan begitu tampan dengan rambut berombak, bertubuh tinggi
besar, berhati lurus dan tulus, namun tidak menyadari ketampannanya.
Lelaki Riau yang begitu tampan, berambut ombak, dan
bertubung tinggi besar itu sibuk, mengorek-ngorek rak
bukuku untuk mencari buku puisi, padahal dia sendiri
sebetulnya adalah perwakilan dari segala kejantanan.11
Ia pandai memainkan harmonika dan seruling. Seorang yang
menemukan pendamping hidup ketika sudah menjadi eksil di Prancis dan
membangun keluarga yang bahagia. Ia menikahi seorang adik dari salah
satu eksil di Belanda, serta dikaruniai seorang putri. Risjaf adalah satu-
satunya eksil Perancis yang dapat singgah ke Indonesia di masa Orde Baru
berlangsung.

10
Ibid., h. 105
11
Ibid., h. 55-56
47

d. Tjai Sin Soe (Thahjadi Sukarna)


Tjai adalah seorang yang rasional, segala hal dalam hidupnya sudah
ada dalam perhitungannya, termasuk tertahannya ia di Prancis bersama
ketiga temannya di Restoran tanah Air, karena ia termasuk dari etnis
Tionghoa. Salah satu etnis yang akan pertama kali diciduk akibat kejadian
30 September karena memiliki hubungan dengan Tiongkok atau
diidentikan dengan paham komunis.
Tjai Sin Soe (yang terkadang dikenal dengan nama Thahjadi
Sukarna) yang lekat dengan kakulator di tangan kirinya jauh
melebihi nyawanya sendiri, lebih banyak berbuat, berpikir
cepat daripada coa-coa.12
Diskusi langsung mati akibat algojo Tjai yang rasional. Apa
boleh buat, memang dialah kalkulator kami.13
Suami dari Theresa ini digambarkan selalu membawa kakulator dan
menjadi bagian keuangan dalam pengelolaan koperasi restoran. Hidupnya
serba lurus, baik, dan di jalan yang benar. Tjai adalah perekat bagi pilar
Restoran Tanah Air yang memiliki keanehan dalam bertingkah laku.
e. Hananto Prawiro
Tokoh ini merupakan benang merah segala hubungan yang terjadi di
masa lalu Dimas dan ketiga eksil lainnya. Hananto seorang yang
berpendirian teguh dengan yang dipercayainya, dan berusaha orang-orang
di sekitarnya sependapat dengannya melalui cara memaklumi dan
mengarahkan. “Mas Hananto tahu, cara untuk mendekatiku bukan dengan
memerangi dan membantah seleraku.”14
Hananto yang mendekatkan pemikiran-pemikiran tetang sosialisme. Ia
adalah redaktur Luar Negeri kantor Berita Nusantara yang merupakan
anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) sehingga melibatkan orang-orang

12
Ibid., h. 50
13
Ibid., h. 99
14
Ibid., h. 31
48

terdekatnya menjadi korban pembersihan oleh pemerintahan Orde Baru.


Hananto seorang yang cerdik mengambil kesempatan suatu kondisi,
sehingga dalam penangkapannya oleh pihak militer memerlukan waktu
yang cukup lama.
Hubungan Hananto dengan Surti yang membuat Dimas tidak dapat
jauh dari kelurga Prawiro. Hingga setelah penangkapan Hananto, Dimas
lah yang menunjang kehidupan dari keluarga Prawiro. Dimas tidak
menyukai sikap Hananto yang tidak setia terhadap Surti, sehingga
membuat gambaran yang jelas bahwa Dimas sangat tertambat terhadap
pesona istri Hananto.
f. Vivienne Deveraux
Seorang wanita dengan rambut berwarna coklat, tebal, berombak
dengan bola mata berwarna hijau dan memiliki tubuh yang sintal.
Pemikirannya tentang pengembaraan ideologi tanpa harus singgah
merasakan keagungan berlama-lama memiliki kesamaan dengan Dimas. Ia
seorang yang berani, tegas, dan juga cerdas. Dirinya memiliki kepekaan
dalam memahami kepribadian orang lain. Vivienne memiliki kemakluman
lebih untuk setiap sikap yang Dimas tunjukan, ia menjadi istri yang
mengerti kebutuhan keluarga dan mempersiapkan segala kemungkinan
yang terjadi pada keluarganya.
Surti adalah lambang aroma kunyit dan cengkih. Itu semua
menjadi satu di dalam Indonesia. Malam itu, aku mengatakan
kepada Dimas, aku ingin berpisah darinya.15
Penyataan tersebut terlontar oleh Vivienne setelah membaca surat-
surat Surti kepada Dimas, sehingga membuat Vivienne sadar bahwa
selamanya Dimas tidak dapat melepaskan Surti, sedangkan Vivienne
tidak dapat menerima orang ketiga di kehidupan percintaannya.
Walaupun Vivienne bercerai dengan Dimas, ia tetap menjalin komunikasi

15
Ibid., h. 216
49

dengan Dimas, hal itu karena ia masih memiliki rasa peduli terhadap
Dimas, dan ia memiliki Lintang Utara sebagai anaknya.
Mas Nug tertawa seperti monyet. Dia tahu Vivienne akan
cerewet sekali menyuruhku berobat. Meski kami sudah
bercerai, Viviene dan aku tetap berkawan baik.16
Dibalik dari segi kekuataan dan kemandiriannya terhadap hidup dan
pemikiran-pemikirannya, ia sangatlah lemah dengan rasa cintanya
terhadap Dimas. Ia tidak dapat mengatakan segala pertanyaan-
pertanyaannya tentang rasa kasih yang Dimas berikan kepadanya dengan
rasa kasih yang ia tidak tunjukan secara langsung kepada Surti.

g. Lintang Utara
Anak tunggal dari pasangan Dimas dan Vivienne memilik fisik yang
menarik sebab Lintang mewarisi perawakan ibunya. Sifatnya mirip
dengan Dimas, sehingga pada beberapa hal, ia dan Lintang sering
mengalami perselisihan. Ia memiliki kemauan kuat dan seorang
mahasiswa sinematografi Sorbonne yang menyukai karya sastra. Ia
mendapatkan tantangan dari dosen pembimbing tugas akhirnya untuk
membuat film dokumenter tentang latar belakang keluarga peristiwa tahun
1965 di Indonesia sebagai tugas akhirnya.

“Lintang, kamu lupa ada sesuatu yang menarik dari dirimu,


dari latar belakangmu.”
Jantungku yang sejak tadi berhenti berfungsi kini terasa
mendapat segelintir oksigen. “Kamu juga mempunyai dua
tanah air: Indonesia dan Prancis. Dan kamu lahir di Paris,
tumbuh dan besar di Paris. Tidakkah kamu ingin mengetahui
identitasmu, tanah kelahiranmu?”17
Dialog tersebut langkah awal Lintang memikirkan tentang dirinya dan
Indonesia. Tanah kelahiran ayahnya yang sering ia dengar ceritanya

16
Ibid., h. 128
17
Ibid., h. 133
50

namun ia tidak mengenalnya secara langsung. Kejadian itu mengguncang


identitasnya dan membuatnya berinteraksi dengan orang-orang yang
menghindari keluarganya karena cap mantan Tapol (Tahanan Politik).
Tugas akhir membuatnya mendatangi Indonesia bertepatan dengan
reformasi pada tahun 1998, sehingga ia mengawali perkenalan dengan
Indonesia pada suasana yang tidak aman. Tapi suasana seperti itu justru
membuat Lintang jatuh terpesona kepada Indonesia.

h. Surti Anandari
Seorang wanita berlatar belakang keluarga dokter terpandang namun
memilih belajar di fakultas sastra dan filsafat. Ia memiliki sifat keibuan
dengan paras cantik sehingga diidamkan oleh para pria. Surti merupakan
kekasih Dimas masa awal kuliah, namun karena sikap Dimas yang
menunjukan keraguan dan Surti akhirnya memilih Hananto menjadi
suaminya. Ia menjadi seorang ibu dan istri yang memiliki karakter orang
Indonesia pada umumnya, penurut dan pasrah.
Vivienne nampak tak yakin. Aku sendiri merasa tak yakin.
Aku tahu, setiap kali aku menyebut nama Surti hatiku masih
terasa bergetar dan teriris. Mendengar nama Kenanga, bulan,
dan bahkan Alam, si bungsu yang tak pernah kukenal itu,
tetap membaut jantungku berlompatan. Itu adalah nama-nama
pemberianku. Aku tak pernah tahu apakah Mas Hananto
menyadarinya.18
Satu-satunya cinta yang selalu disimpan oleh Dimas adalah cinta
kepada Surti. Surti memiliki tempat tersendiri di hati Dimas, walaupun
sudah menikah Dimas tetap menjadikan Surti seseorang yang memiliki
tempat yang spesial dan merupakan salah satu alasan Dimas untuk terus
kembali pulang ke Indonesia. Bila dilihat penggalan dialog sebelumnya
dapat terlihat bahwa Surti terlihat masih menyimpan hati pada Dimas,
walaupun ia menikah dengan Hananto. Karena nama-nama anak Surti dan

18
Ibid., h. 41
51

Hananto merupakan nama-nama yang diajukan oleh Dimas ketika Surti


dan Dimas masih berpacaran. Hingga usia Dimas dan Surti menua,
keduanya tetap memiliki kenangan indah tetang kisah meraka.

i. Segara Alam
Anak bungsu dari pernikahan Hananto dan Surti adalah seorang
aktivis tahun 1998 yang memmiliki karakter keras, tegas, dan mudah
terpancing emosi. Ia termasuk tipe pria tidak mau dianggap lemah, namun
Alam merupakan pria sensitif dan suka memainkan perasaan wanita yang
menyukainya. Alam menaruh hati pada Lintang, mereka menjalin
hubungan dengan keadaan yang cukup menegangkan sebab saat itu sedang
terjadi reformasi di Indonesia.
Tetapi dikejauhan itu aku malah melihat Alam yang duduk
sendirian di bawah pohon kamboja. Dia menatapku terus-
menerus, terpusat padaku dan mengikat aku. Sedangkan di
belakangku ada Narayana. Ayah, kau benar. Lebih mudah
untuk tidak memilih, seolah tak ada konsekuensi. Tetapi
seperti katamu, memilih adalah jalan hidup yang berani.”19
Dialog tersebut mengambarkan bahwa Alam akhirnya memilih
menaruh hatinya kepada Lintang, namun Lintang memilih kekasihnya,
Narayana. Pilihan Lintang tidak disematkan kepada Alam, karena Lintang
tahu bagaimanapun ia telah memiliki Narayana yang menerima Lintang
serta keluarganya tanpa mempeduliakan cap yang disematkan pemerintah.
Padahal, Narayana merupakan seorang anak dari keluarga yang memiliki
hubungan dekat dengan pemerintahan.

3. Latar
a. Latar Waktu
Kejelasan latar waktu dalam Pulang terjadi pada beberapa waktu
terutama pada kilas balik masa lalu, dan pada bagain surat. Terlepas

19
Ibid., h. 448
52

dari keadan pagi, siang, sore atau malam, penggunaan waktu dapat
menegasakan bahwa waktu yang digunakan merupakan sebuah
penunjuk yang menguatkan kejadian nyata dan kesesuai dengan fakta
yang ada.
1) Tahun 1952
Januari sampai Oktober: Merupakan kilas balik masa lalu Dimas
ketika masih menjadi mahasiswa, kemudian bertemu Surti dan
menjalin hubungan dengannya dan akhirnya Surti jatuh ketangan
Hananto.20
2) Desember 1964
Kilas balik cerita masa lalu tentang Dimas Suryo ketika ia berada
di tengah-tengah kubu pengikut PKI dan kubu non-pengikut. 21
3) Tahun 1965
5 September: Kilas balik cerita masa lalu Dimas yang mengetahui
bahwa Hananto Prawiro berselingkuh dari Surti, istrinya. 22
12 September: Kisah masa lalu Dimas ketika ia ditunjuk untuk
mengikuti kegiatan wartawan tingkat Internasional di Santiago
mewakili Kantor Berita Nusantara dan menjadi pertemuan terakhir
antara Dimas dan Hananto. 23
4) Tahun 1968
Surat dari Aji Suryo yang menceritakan kisahnya ketika di Solo. Ia
diintrogasi bersama ibunya seputar Dimas yang dituduh terlibat
kegiatan PKI. 24
April: Menjelaskan tentang kronologis penangkapan Hananto
Prawiro dari sudut pandang Hananto sendiri. 25

20
Ibid., h. 51
21
Ibid., h. 28
22
Ibid., h. 38
23
Ibid., h. 44
24
Ibid., h. 239
53

Mei: Kisah Dimas terdampar di Paris ketika ada revolusi Prancis


1968 dan kisah perkenalannya dengan Vivienne. 26
Agustus: Surat dari Aji Suryo dan Kenanga Prawiro. 27
Desember: Surat dari Surti yang menceritakan tentang
pengintrograsi tentang Hananto dan penyiksaan-penyiksaan yang
ia dapatkan ketika introgasi itu dilakukan. 28
5) Tahun 1969
Surat dari Amir Jayadi yang menjawab pertanyaan Dimas akan
kekosongan ruang dalam hatinya. 29
6) 18 Juni 1970
Surat dari Kenanga yang menceritkan pertemuan dengan Hananto
sebelum Hananto dieksekusi. 30
7) Tahun 1975
Kilas balik tetang cerita Nugroho yang ditinggalkan oleh Rukmini,
istrinya. 31
8) Tahun 1982
Kisah Vivienne bertemu Sumarno yang ingin mengusik kehidupan
keluarga Dimas. 32
Agustus: Cerita awal pemikiran pembentukan restoran Tanah Air.
Dipelopori oleh empat pilar, yaitu Dimas, Nugroho, Tjai, dan
Rijaf.33

25
Ibid., h. 1
26
Ibid., h. 9
27
Ibid., h. 19 dan h. 21
28
Ibid., h. 234
29
Ibid., h. 248
30
Ibid., h. 246
31
Ibid., h. 105
32
Ibid., h. 217
33
Ibid., h. 97
54

Oktober: Kisah pencarian dan rintisan awal berdirinya restoran


Tanah Air di Prancis dan empat pilar Tanah Air diganggu oleh
lawan mereka ketika di Indonesia. 34
9) Tahun 1985
Cerita di mana hambatan-hambatan didapatkan restoran Tanah Air
dengan tuduhan rapat untuk melaksanakan unjuk rasa. 35
10) Tahun 1988
Vivienne mengetahui bahwa Dimas sesungguhnya masih
mengharapkan Surti dengan simbol-simbol yang bertebaran dalam
kehidupan Dimas. Vivienne akhirnya meminta bercerai dari
Dimas.36
11) Tahun 1993
Masa lalu Segara Alam dan Bimo Nugroho yang dipojokan karena
mereka merupaka keturunan dari tapol. 37
12) Tahun 1994
Juni: Surat Aji Suryo yang mengabarkan bahwa ada membredelan
terhadap tiga media di Indonesia sehingga menyebabkan
masyarkat pers dan mahasiswa berdemonstrasi. 38
Oktober: Pertemuan antara Dimas dan Narayana untuk pertama
kali, pertemuan ini menyebabkan hubungan Lintang dan Dimas
menjadi berjarak. 39
13) Mei 1997
Cerita antara Lintang dan Narayana melihat video pertama dibuat
oleh Lintang kecil ketika ia pertama kali dibeikan kamera oleh
Dimas. 40
34
Ibid., h. 109
35
Ibid., h. 139
36
Ibid., h. 213
37
Ibid., h. 285
38
Ibid., h. 240
39
Ibid., h. 169
55

14) Tahun 1998


April: Kegiatan di restoran Tanah Air dan gambaran kondisi
Dimas yang sudah menurun karena sakit. 41
Kisah Lintang yang dianjurkan untuk meliput tentang kejadian
tahun 1965 di Indonesia untuk tugas akhir kuliahnya.42
Surat Aji Suryo yang menceritakan kekuatan Orde Baru yang
semakin kokoh dan memberedel tiga media masa. Ia menceritakan
pula cerita tentang kehidupan keluarganya.
Mei: Lintang dan Dimas berkunjung ke pekuburan di Paris. Dimas
mengakui kisahnya dengan Surti di masa lalu. 43
2 Mei 1998: Kedatangan Lintang pertama kali ke Indonesia dan
berkenalan dengan Alam juga kehidupannya. 44
6 Mei: Surat Lintang untuk Dimas berisikan cerita Lintang tentang
keadaannya di Indonesia dan keadaan Indonesia. 45
13 Mei: Surat Lintang untuk Dimas dan Vivienne perihal
keadaannya di Indonesia dan suasana Indonesia yang semakin
memanas karena mahasiswa menuntut reformasi. 46
16 Mei: Suasana Indonesia ketika menuntut turunnya Presiden
Soeharto. 47
18 Mei: Demonstrasi yang diadakan mahasiswa di MPR untuk
menurunkan Presiden Soeharto. Dan cerita romansa Lintang dan
Alam yang membaik. 48

40
Ibid., h. 167
41
Ibid., h. 91 dan h. 126
42
Ibid., h. 131
43
Ibid., h. 271
44
Ibid., h. 298
45
Ibid., h. 292
46
Ibid., h. 409
47
Ibid., h. 431
48
Ibid., h. 436
56

10 Juni: Surat Dimas untuk Lintang yang menceritakan gejolak


batin Dimas tentang keputusan dan keinginannya untuk
dimakamkan di Karet. 49
b. Latar Tempat
Latar tempat dalam Pulang secara keseluruhan terdapat di
Jakarta dan Paris. Namun, para eksil sempat singgah di Santiago,
Kuba, dan Peking. Kedua latar tempat yang mendominasi menegaskan
bahwa Pulang terfokus terhadap kejadian-kejadian di Jakarta dan Paris.
Latar tempat dijelasakan dengan pemaparan visual yang jelas dan
membuat pembaca dapat membayangkan secara terang tempat
kejadian yang diceritakan.
“Di antara ribuan mahasiswa Sorbonne yang baru saja
mengadakan pertemuan, aku melihat dia berdiri di bawah
patung Victor Hugo.” 50
Teks tersebut menjelaskan tidak secara langsung bahwa
kejadian itu terjadi di Paris, namun Sorbonne merupakan universitas
yang berada di Prancis, dan Victor Hugo merupakan sastrawan yang
berasal dari Prancis. Keterangan tersebut sudah menjadi bukti yang
cukup jelas untuk menunjukan latar waktu di Paris, Prancis.

Penjelasan latar tempat lainnya dijelaskan melalui


penggambaran tempat yang dapat ditelusuri melalui fakta, tanpa perlu
menyebutkan secara langsung letak termpat tesebut.

“Tanggal 30 Sepetemeber 1975. Kami dihalau naik ke atas bis


warna kuning kunyit untuk mengunjungi Monumen Pancasila
Sakti.” 51

49
Ibid., h. 442
50
Ibid., h. 9
51
Ibid., h. 289
57

Keterangan tersebut memberi petunjuk bahwa kejadian yang


terjadi ada di Indonesia, sebab pancasila adalah ideologi di Indonesia,
dan bila merujuk pada faktanya bahwa Monumen Pancasila Sakti
berada di Jakarta.

c. Latar Suasana
Suasana yang tergambarkan dalam Pulang membangun
peristiwa yang menunjukan identitas setiap tokoh ketika menyuarakan
keadaan dan kekuatan cerita. Suasan yang digambarkan sepanjang
cerita menampilkan kesenduan sekaligus kekuatan untuk bertahan.
“Vivienne menatapku dengan mata yang basah. Untuk waktu
yang lama kami berpelukan tanpa kata-kata.” 52
“Tetapi, ajaib. Kami tak mendengar apa-apa tentang Mas
Hananto. Dia menghilang. Raib tanpa bekas.”
“Jangan-jangan dia menyamar,” kata Risjaf dengan suara
dibuat berat dan misterius.
“Menyamar jadi apa, jadi gembel?” Aku terkekeh-kekeh.
“Mas Hananto itu lihai. Dia bisa menyusup ke mana-mana
tanpa diketahui jejaknya,” kata Mas Nug dengan yakin dan
optimis.” 53
Dialog ditunjukan membuat kejelasan suasana yang terjadi,
seperti kutipan di atas menjelaskan kesedihan yang terjadi merupakan
langkah untuk saling menguatkan satu sama lain. Suasana dibangun
tidak hanya melalui pemaparan pencerita. Namun dialog-dialog
menjadi pendukung penggambaran suasana yang terjadi.

4. Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan Pulang adalah sudut pandang orang
pertama dan orang ketiga mahatahu, walaupun sudut pandang orang pertama
digunakan bergantian antar tokoh. Pergantian sudut pandang orang pertama
terjadi secara sebab akibat. Sudut pandang orang pertama Pulang hampir
52
Ibid., h. 23
53
Ibid., h. 75
58

didominasi oleh Dimas Suryo, Lintang Utara, dan Segara Alam. Namun, ada
tiga tokoh yang mendapatkan peran untuk menceritakan peristiwa dan
mengemukakan pendapat melalui sudut pandang tokoh tersebut, seperti
Hananto, Vivienne, dan Bimo.
a. Sudut pandang Dimas Suryo lebih menyoroti latar belakangnya
menjadi eksil dan kehidupan setelah menjadi eksil bersama teman-
temannya. Keinginan Dimas pulang ke Indonesia dan gambaraan
kehidupan eksil di Paris.
“Ada perjanjian yang tak terucapkan di antara Tjai, Risjaf,
dan aku. Sejak Mas Nug ditinggal sang bunga anggrek
Rukmini –yang memutuskan menikah dengan Letkol Prakosa-
kami memberi keleluasaan padanya untuk bertindak seperti
“pemimpin”.54
Dialog tersebut menjelaskan pandangan Dimas tentang keadaan
Nugroho setelah diceraikan oleh Rukmini. Bahwa perceraian yang
dialami Nugroho merupakan sebuah pukulan yang keras dan ia
membutuhkan sebuah pengakuan bahwa Nugroho merupakan
pemimpin yang baik bagi teman-temannya, walau ia tidak diakui
sebagia pemimpin di keluarganya.
b. Sudut pandang Lintang Utara lebih menceritakan tentang hubungan
keluarga di masa kecil, saat kerenggangan dengan Dimas, dan
perjuanggannya mengenal tanah air ayahnya, Indonesia.
“Tetapi saat yang paling penting untukku adalah berkhayal
bersama Ayah dan Maman.”55
Lintang memiliki hubungan yang cukup dekat dengan ayahnya, ia
mengetahui masa lalu Dimas dari surat-surat Dimas yang sempat ia
baca dan dari cerita-cerita Vivienne tentang keadaan ayah dan teman-
teman ayahnya di masa lalu.

54
Ibid., h. 105
55
Ibid., h. 184
59

c. Sudut pandang Segara Alam lebih menceritakan tentang kejadian pada


reformasi Indonesia tahun 1998 dan nasib keturunan tapol di Indonesia.

“Aku takut, Bimo jeri. Entah mengapa kami gentar. Apa


karena cerita yang terdengar begitu mengerikan. Atau kami
takut karena Ibu pemandu akan tahu siapa Bapak kami.” 56
Kisah perjuangan kelaurga tapol digambarkan melalui sudut pandang
Alam sebagai seorang aktivis di masa Orde Baru. Peranan sudut pandang
Alam dalam bercerita memberikan gambaran dari sudut keturunan tapol yang
terlibat dan ada di Indonesia.

Sudut pandang orang ketiga digunakan saat menjelaskan keadaan masa


kecil Lintang (Pulang, h. 178-181), keluarga Aji Suryo pada bab “Keluarga
Aji Suryo” (Pulang, h. 327-361), kejadian bertemunya Dimas dan Vivienne
pertama kali (Pulang, h. 201-208), tentang kembalinya hubungan baik antara
Lintang dan Dimas, serta surat-surat Surti yang dikirimkan untuk Dimas
(Pulang, h. 223-249), pada bab flaneur (Pulang, h. 251-282).

5. Gaya Bahasa
Penggunaan gaya bahasa dalam Pulang didominasi oleh perumpamaan
dalam mengungkapkan sebuah keadaan dan kehidupan. Perumpaman yang
digunakan dapat berupa perbandingan manusia dengan sesuatu hal
(dipersonifikasi), penggambaran benda yang memiliki sifat seperti manusia
(personifikasi), atau mengungkapkan sesuatu dengan cara berlebihan
(hiperbola).
a. Contoh dari penggunaan majas dipersonifikasi dalam Pulang:
Atau menggunakan bahasa Maman, aku terbang seperti
burung camar tanpa ingin hinggap. 57

56
Ibid., h. 287
57
Ibid., h. 446
60

Ketiga dara cantik itu adalah bunga yang membuat Jakarta


menjadi bercahaya. 58
Pengibaratan manusia dengan benda atau makhluk di luar manusia
menjadi pilihan yang mengibarkan gambaran lebih tepat untuk
menunjukansebuah keadaan atau peristiwa terjadi.
b. Contoh dari penggunaan majas personifikasi:
Malam telah turun. Tanpa gerutu dan tanpa siasat.59

Tapi angin bulan Mei kembali mengoyak-ngoyak


rambutnya.60

Majas personifikasi digunakan dengan cukup sering untuk memasukan


unsur hidup pada benda-benda atau suasana keadaan yang tidak
memiliki unsur tersebut karena keterbatasan sifat asli dari benda atau
keadan yang sedang digambarkan.
c. Contoh dari penggunaan majas hiperbola:
Aku melihat sepasang mata hijaunya mampu menembus
hatiku yang tengah berkabut.61

Badan dan mataku seolah sudah berangkat menghampirinya,


tetapi kakiku seperti kaki para narapidana yang akan
dieksekusi mati. Terikat rantai besi.62

Penggunaan majas hiperbola untuk menunjukan suatu keadaan dapat


digambarkan dengan cara berlebihan dari keadaan sesungguhnya.
Hiperbola digunakan membantu cerita menjadi lebih teatrikal melalui
penggunaan media kata-kata.

58
Ibid., h. 51
59
Ibid., h. 5
60
Ibid., h. 9
61
Ibid
62
Ibid., h. 12
61

6. Alur
Pulang memiliki tahapan yang membuat efek saling menguatkan antar
cerita, seperti menyusun kepingan yang belum rapi namun memiliki hubungan
yang jelas. Beberapa bagian terlihat seperti meloncat-loncat, memainkan
ingatan si tokoh untuk menceritakan segala sebab yang mengakibatkan
kejadian demi kejadian terjadi. Secara urutan waktu, Pulang menggunakan
alur sorot-balik, karena cerita diawali dengan penangakapan Hananto Prawiro,
kemudian dilanjutkan dengan terdamparnya tokoh Dimas Suryo di Paris pada
tahun 1968, barulah kronologis waktu bercampur dari masa kisah itu
diceritakan, kembali ke masa lalu, sampai pada penutup cerita melalui
pemakaman Dimas Suryo di Karet, Jakarta tahun 1998. Pulang memiliki
jalinan cerita sebab akibat, berkali-kali mengalami naik-turun intensitas
ketegangan cerita. Dari keseluruhan cerita, ada dua hal yang menjadi sorotan
penting dalam Pulang. Sorotan pertama cerita tentang kehidupan eksil di
Prancis, khususnya Dimas Suryo. Sorotan kedua lebih di arahkan kepada anak
Dimas Suryo, Lintang Utara, yang memandang kehidupan ayahnya, serta
keterlibatan Lintang dalam peristiwa Mei 1998 di Indonesia. Tahapan alur
yang di kemukakan oleh Aminuddin dapat diterapkan ke dalam novel Pulang
dengan klasifikasi:
a. Orientasi
Tahapan ini merupakan perkenalan cerita yang menggambarkan awal
cerita dimulai. Pulang mengawali cerita dengan ditangkapnya Hananto
Prawiro setelah bertahun-tahun menjadi buronan pemerintah. Cerita
tersebut digambarkan oleh sudut pandang Hananto sendiri dalam
bagian “Prolog: Jalan Sabang, Jakarta, April 1968”. Bagian “Paris,
Mei 1968” merupakan pengenalan terhadap tokoh sentral dari Pulang,
Dimas Suryo, yang tertahan di Paris dan menjalin hubungan dengan
seorang mahasiswa Sorbone, Vivienne Deveraux, yang sedang
berunjuk rasa bersama mahasiswa lainnya. Pengenalan berikutnya
62

digambarkan pada bagian “Hananto Prawiro”. Pada bagian ini


dijelaskan asal usul terdamparnya Dimas dan ketiga teman lainnya di
Paris. Cerita diliputi dengan kegiatan ruang redaksi kantor Berita
Nusantara dan perselisihan ideologi yang saling bersebrangan antara
kubu “kiri” dan kubu pendukung M. Natsir.
b. Konflik
Tahapan konflik merupakan bagian permasalahan yang akan diangkat
pada sebuah cerita. Masalah yang timbul dan akan diangkat dapat
dilihat pada bagian “Surti Anandari”, “Paris, April 1998”, “Naryana
Lafebvre”, “L’irreparable”, “Sebuah Diorama”, “Bimo Nugroho”,
“Keluarga Aji Suryo”. Pada bagian itu dijelaskan perjalanan hidup
Dimas dan Risjaf dalam menjalani rasa cinta kepada Surti dan
Rukmini pada saat mahasiswa. Namun, kisah cinta mereka tidak
berjalan baik karena terhalang oleh kemapanaan dari Hananto dan
Nugroho, tetangga kosan mereka. Pada bagian “Paris, April 1998”
merupakan cerita lain yang mengkisahkan awal perjalanan Lintang
untuk menggarap tugas akhirnya di Indonesia sebagai mahasiswa yang
membuat film dokumenter tentang kisah para korban langsung atau
tidak langsung pasca kejadian 30 September 1965, bukan sebagai anak
dari korban kejadian tahun 1965 di Indonesia. “Naryana Lafebvre”
merupakan bagian yang mengkisahkan kerinduan Lintang akan masa
kecil yang memiliki keluarga penuh kehangatan. Pada bagian itu
diceritakan pula awal jalan masuk Lintang untuk mengenal Indonesia
selain dari versi Ayah dan ketiga teman eksilnya. Ketegangan antara
Lintang dan Dimas diceritakan pada bagian “L’irreparable”,
dikisahkna bahwa Lintang mengenalkan Naryana dan Dimas. Dimas
memandang sebelah mata pada Naryana karena dia termasuk kalangan
“tinggi”, hal itu merupakan awal pemicu renggangnya hubungan
antara Dimas dan Lintang. Pertemuan pertama kali antar Lintang dan
63

Segara Alam, anak dari Hananto Prawiro dan Surti Anandari adalah
langkah awal Lintang menggarap tugas akhirnya diceritakan dalam
bagian “Sebuah Diorama”. Kisah hidup keluarga yang ditinggalkan
eksil diceritakan pada bagian “Bimo Nugroho” dan “Keluarga Aji
Suryo”. Kisah kehidupan keluarga yang selalu ditekan dan dianggap
ikut berdosa untuk menanggung dosa tururan karena pilihan ideologi
salah satu anggota keluarga.
c. Komplikasi
Tahapan komplikasi merupakan tahapan mengidentifikasikan naiknya
sebuah permasalahan dalam cerita. Seperti yang terjadi pada Pulang,
tahapan komplikasi terdapat pada bagian “Terre D’ Asile”, “Ekalaya”,
“Surat-surat Berdarah” dan “Potret yang Muram”. “Terre D’ Asile”
menceritakan kepanikan Dimas dan kawan-kawan yang sedang
ditugaskan ke luar negeri untuk pendelegasian dan tertahan tidak bisa
kembali ke Indonesia. Suasana Indonesia telah memanas karena
beredar kabar pembunuhan para jenderal yang dituduhkan kepada
Partai Komunis Indonesia. Dikisahkan pula perjalanan mereka
sebelum menetap dan berjuang hidup di Paris, Prancis. Pada bagian
“Ekalaya” berkisah tentang kisah tokoh wayang kegemaran Dimas
karena mereka memiliki kesamaan nasib, yaitu penolakan dari yang
diharapkan dapat menerima. “Surat-surat Berdarah” mengkisahkan
ketegangan di Indonesia melalui surat-surat yang dikirim oleh Aji,
Surti, Kenanga, dan Amir untuk Dimas. Kisah “Potret yang Muram”
menjelaskan bahwa Lintang menambatkan hatinya pada Alam, serta
kisah Surti bertahan hidup setelah pemburuan Hananto yang tak
kunjung ditemukan oleh pemerintah.
d. Klimaks
Klimaks merupakan tempat puncak masalah pada cerita. Pada tahapan
ini terlihat masalah-masalah pendukung sebelumnya menemukan titik
64

temu pada bagian klimaks. Tahapan klimaks yang terdapat Pulang ada
di bagian “Vivienne Deveraux” dan “Mei 1998”. Pada bagian
“Vivienne Deveraux” menjelaskan penyebab perceraian pernikahan
Dimas dan Vivienne yang didasari oleh rasa cinta Dimas terhadap
Surti tidak kunjung padam, sehingga selalu mengikat Dimas dengan
segal simbol yang tertuju pada Surti, memaksa Dimas untuk terus
meningat Surti dan berusaha kembali ke Indonesia. “Mei 1998”
merupakan cerita Lintang yang terlibat ke dalam keriuhan demo dan
peristiwa Mei 1998, padahal Lintang baru saja merasa menemukan
tanah kelahiran yang sempat tidak dikenalinya.
e. Peleraian
Turunnya intensitas permasalahan akan ditemui pada sebuah cerita
merupakan tahapan peleraian. Peleraian dalam Pulang ditemuai pada
bagian “Empat Pilar Tanah Air” dan “Flaneur”. Tercetusnya
pembukaan restoran Indonesia yang diberi nama Restoran Tanah Air
sebagai penopang kehidupan ekonomi dan apresiasi eksil terhadap
Indonesia diceritakan pada bagian “Empat Pilar Tanah Air”.
Kemudian mulai membaiknya hubungan antar Dimas dan Lintang
serta ikut andilnya Dimas menanamkan kekuatan Lintang mengenal
Indonesia terdapat pada “Flaneur”.
f. Penyelesaian
Tahapan terakhir untuk menutup sebuah cerita terdapat pada bagian
“Epilog: Jakarta, 10 Juni 1998” yang mengkisahkan kembalinya
Dimas ke Indonesia, ke Karet. Akhirnya pengembaraan Dimas ditutup
dengan pemakaman yang dilakukan di Karet, Jakarta.
B. Kondisi Sosial Eksil
Pulang merupakan satu dari sekian novel yang mengambil sepintas
sejarah dalam pengembangan cerita. Gambaran-gambaran sosial yang
ditampilkan menjadi hal yang lumrah terjadi pada novel yang mengambil latar
65

cerita berdasarkan peristiwa di dunia nyata. Kondisi sosial yang ditampilkan


Pulang menggambarkan kondisi eksil di Prancis akan dibahas dalam tiga
bagian, yaitu: perekonomian, disorganisasi keluarga, dan nilai-nilai sosial.
1. Perekonomian
Perekonomian merupakan salah satu peranan penting bagi kehidupan
manusia, baik secara individu maupun kelompok. Hal tersebut
tergambarkan bagi kaum eksil yang tertahan di luar negeri pasca kejadian
30 September 1965. Saat terjadinya peristiwa itu, Dimas dan Nugroho
mendapat tugas untuk mengikuti konferensi International Organization of
Journalistis di Santiago mewakil kantor Berita Nusantara, dan Risjaf
dikirim ke Havana untuk ikut membantu mempersiapkan konferensi
Organisasi Setiakawan Rakyat Asia-Afrika untuk tahun 1966. Mereka
bertiga berkumpul di Havana setelah terjadinya peristiwa 30 September,
dan memutuskan pindah ke Peking setelah terjadi pencabutan paspor
Indonesia.
Awal keberadaan tiga eksil di Peking disambut dengan baik, mereka
dibantu dalam segala hal. Selama di Peking, Nugroho yang pernah belajar
sinologi diminta untuk bekerja sebagai penerjemah majalah Peking
Review. Sedangkan Dimas dan Risjaf hanya membantu pekerjaan
seadaanya karena tidak bisa berbahasa Tiongkok.
Dalam waktu sebulan, Mas Nug yang sempat belajar sinologi
di jakarta diminta bekerja sebagai penerjemah majalah Peking
Review. Risjaf dan aku yang sama sekali tidak bisa bahasa
Cina membantu pekerjaan klerek di kantor yang sama.63

Mereka bekerja seadaanya karena yang terpenting adalah mencari


nafkah sebagai bekal perjalanan berikutnya. Akhir 1966 sampai 1968,
ketiga eksil diminta untuk pindah ke pinggiran Peking, Desa Merah,
mendukung Ketua Mao dalam revolusi Kebudayaan.
63
Ibid., h. 73
66

Awal tahun 1968, Dimas memilih pergi ke Paris, Prancis, untuk


bertemu dan bersama Tjai yang sudah ada di Paris semenjak Natal.
Nugroho menjadikan Swiss sebagai tempat persinggahannya, dan Risjaf
memilih Belanda. Tidak beberapa lama keempat eksil Indonesia
berkumpul di Paris. Awal mula hidup di Paris, para eksil berkerja
serabutan, Nugroho yang memiliki keahlian akupuntur yang dipelajari di
Peking mulai mendapatkan pelanggan di Paris. Tjai yang seorang sarjana
ekonomi mendapatkan pekerjaan di beberapa toko kecil sebagai akuntan,
serta Dimas dan Risjaf yang seorang lulusan sastra mendapat pekerjaan
yang berubah-ubah, dimulai dari buruh di restoran, klerek(juru tulis) di
bank, dan asisten kurator di galaeri-galeri kecil. Mereka tinggal di
apartemen kecil dan kumuh di Tere d’ Asile.
Mulailah kami mencari kerja serabutan. Mas Nug yang
mendapat keahlian akupuntur di peking mulai mendapat
pelanggan. Aku baru paham mengapa ia betah betul di Swiss:
karena rata-rata pelanggan yang menggemari akupuntur di
Eropa adalah perempuan. Tjai yang seorang sarjana ekonomi
lebih mudah mendapat pekerjaan di beberapa toko kecil di
pinggir kota Paris sebagai akuntan. Sedangkan Risjaf dan aku
adalah dua pengelana yang paling sial. Kami belajar sastra
karena merasa diri sebagai bagian dari kumpulan intelektual.
Sedangkan Prancis adalah negeri tempat lahirnya para
sastrawan dan intelektual besar yang buku-bukunya menjadi
pedoman dan panutan kami. Tak heran jika Risjaf dan aku
setiap tiga atau empat bulan berubah profesi. Dari pekerja
buruh di restoran, klerek bank, hingga asisten kurator di
galeri-galeri kecil yang hanya dikunjungi tiga atau empat
orang yang sok merasa dirinya seniman.64
Keadaan para eksil di tahun-tahun awal cukup memprihatinkan. Bekerja
serabutan, tanpa peduli pada tanggapan kebutuhan sosial mereka.
Setelah menikah dengan Vivienne dan memiliki anak, Lintang, Dimas
yang awalnya memiliki pekerjaan tidak tetap, diwajibkan untuk mencari
pekerjaan untuk menunjang kontribusinya kepada keluarga. Kebutuhan
64
Ibid., h. 78-79
67

sosial Dimas sebagai kepala keluarga dipertaruhkan karena kebutuhan


ekonomi penunjang kehidupan keluarga tidak dapat ditunaikan secara baik
oleh Dimas. Dimas memutusakan bekerja di Kementerian Pertanian
karena gajinya cukup untuk menghidupi kebutuhan keluarga. Namun,
Dimas akhirnya keluar dan memutuskan membangun sebuah restoran
bersama ketiga teman eksilnya. Restoran tersebut diberi nama Restoran
Tanah Air. Restoran yang bergerak dalam bentuk usaha koperasi bersama,
termasuk pembagian tips yang dikumpulkan dan dibagikan merata kepada
tiap anggota. Restoran tanah Air memberikan pekerjaan yang tetap dan
menyenangkan bagi tiap eksil, Dimas yang lihai dalam mengolah bumbu
masakan mendapat tugas sebagai juru masak, Tjai yang lihai dalam
hitungan memegang keuangan, Risjag sebagai pengelola acara-acara yang
akan berlangsung di Restoran Tanah Air, dan Nugroho berperan sebagai
pemimpin, membantu pekerjaan ketiga eksil. Berkat berdirinya dan
ketenarannya Restoran Tanah Air di Paris, kehidupan keuangan para eksil
semakin membaik, walau tidak dapat dikatakan berlebihan.
“Sebelum mengepak,” Nug mengeluarkan sebuah amplop
cokelat yang agak gemuk,”ini dari kami semua. Masih dalam
franc, kamu nanti tukar sendiri di Jakarta ya.”
“Iki opo to?” Dimas mengngerutkan kening.
“Jumlah tak terlalu banyak, Lintang,” kata Risjaf, “tapi
lumayan buat jajan. Bagi kami semua, kamu adalah anak.”
Lintang memandang ketiga wajah om bergantian. Tjai
mengangguk membenarkan ucapan Risjaf. Ini gila. Lintang
tahu, mereka bukan orang kaya raya.65
Ekonomi tidak menjadi masalah biaya kehidupan saja, namun menjadi
konflik sosial. Kebutuhan ekonomi sudah memiliki sinergi dengan
kebutuhan sosial, hal itu dapat dilihat dari besarnya pengaruh pekerjaan
eksil bagi kehidupan mereka. Seperti kasus Dimas yang ditekan oleh
Vivienne karena kontribusinya dalam pembiayaan hidup keluarga yang

65
Ibid., h. 269
68

kurang bahkan tidak mencukupi. Kedudukan Dimas sebagai kepala


keluarga tergoyahkan karena kontribusi keuangan keluarga. Gambaran
lain hubungan ekonomi dan kebutuhan sosial terlihat saat para eksil
pertama kali hidup di Paris, mereka mencari pekerjaan apapun demi
mendapatkan bayaran untuk memenuhi kebutuhan hidup, walaupun
pekerjaan tersebut tidak menentu bahkan harus berganti-ganti. Para eksil
mengambil pekerjaan apapun agar kehidupan mereka terus berlanjut, tidak
mempedulikan pekerjaan tersebut patas atau tidak, yang terpenting
kebutuhan sosial terpenuhi.
Kebutuhan sosial terpenuhi dengan baik saat perekonomian para eksil
mulai stabil, mereka bisa bekerja dengan layak sesuai kemampuan dan
keinginan dari masing-masing eksil. Para eksil tidak lagi bekerja serabutan
dan memiliki pemasukan yang tetap karena mengelola Restoran Tanah Air.
Restoran Tanah Air sudah menjadi kebutuhan sosial karena memiliki
mekanisme penerimaan dan penawaran. Para eksil membutuhkan
pekerjaan tetap yang dapat menunjang kehidupan mereka, dan Restoran
Tanah Air merupakan tawaran penyelesaian dari masalah yang terjadi
karena para eksil ingin memiliki pekerjaan yang sesuai dengan kebutuhan
mereka.
Gambaran perekonomian eksil di Prancis pada novel Pulang
mengalami perubahan yang membaik. Semula para eksil hidup terlunta-
lunta melakoni pekerjaan apapun demi mencari nafkah, namun semenjak
berdirinya Restoran Tanah Air semua keadaan ekonomi yang
memprihantinkan dapat dilalui dengan baik. Restoran tanah air merupakan
penawaran yang diterima para eksil atas harapan mereka dari pekerjaan
yang lebih baik, agar kebutuhan ekonomi dan sosial terpenuhi.
2. Disorganisasi Keluarga
Disorganisasi keluarga merupakan salah satu bentuk kondisi sosial
yang terjadi di masyarakat, terutama pada keluarga yang mengalami
69

peristiwa tertentu, salah satunya keluarga Nugroho Dewantoro dan


keluarga Dimas Suryo yang memiliki latar peristiwa 30 September.
Nugroho Dewantoro menikahi Rukmini sebelum tertahannya di
Prancis karena ia merupakan salah satu anggota partai terlarang pada masa
itu. Ia dan Rukmini dikaruniai seorang putra bernama Bimo Nugroho.
Sebelum kejadian 30 September, Nugroho bersama Dimas diminta untuk
mewakili kantor Berita Nusantra sebagai delegasi konferensi IOJ di
Santiago. Setelah itu ia tertahan di luar negeri, tidak bisa pulang ke
Indonesia. Nugroho kehilangan kontak dengan istri dan anaknya yang
baru berumur satu tahun. Setelah itu singgah di Peking dan baru mendapat
kabar tentang keluarganya dari sang ibu, bahwa istri dan anaknya
bersembunyi di Yogyakarta. Beberapa tahun di Pinggiran Peking, ia
memutuskan untuk singgah ke Swiss sebelum berkumpul dengan teman-
teman eksil di Prancis. Selama di Swiss, Nugroho berselingkuh dengan
seorang istri polisi, Agnes Baumgartner. Alasan Nugroho berselingkuh
dengan Agnes karena nama keluarganya, Baumgartner mempunyai arti
seorang yang memiliki sebidang kebun. Selain itu karena semenjak di
Zurich Rukmini sudah menolak untuk menyusul Nugroho Ke Eropa tanpa
ada alasan yang jelas. Bagi Nugroho, Rukmini adalah anggrek, ia bisa
mengibaratkan seoarang Agnes dengan Rukmini karena kesamaan simbol
dari kedua perempuan tersebut. Keduanya memiliki kesamaan simbol
melalui tumbuhan.
“Kau tahu, Mas, Agnes bukanlah sekedar pasienku.”
“Ya Mas Nug, kau sudah cerita soal jarum, soal paha …”
“Bukan, bukan,” Suara Mas Nug semakin parau dan dia
menggeleng-geleng dengan keras.
Aku memandang matanya yang merah didera kepedihan.
“Agnes Baumgartner adalah nama kelaurganya. Dia tidak
menggunakan nama si polisi. Baumgartner itu berarti seorang
yang memiliki sebidang kebun …”
Lalu?
“Setiap kali aku bercinta dengannya, aku milihat setangkai
70

anggrekku.”66
Prancis merupakan saksi bagi Nugroho kehilangan Anggreknya,
Rukmini menggugat cerai Nugroho karena ingin menikah dengan Letkol
Prakosa, tentara adalah teman ayahnya yang selalu mendampingi Rukmini
selama perburuan tahun 1966-1967.
Bila perceraian Nugroho dan Rukmini disebabkan oleh tidak
berfungsinya peranan seorang suami dalam keluarga karena tertanhannya
Nugroho di Paris, lain hal dengan perceraian yang terjadi pada Dimas dan
Vivienne.
Dimas merupakan pria yang tidak ingin memiliki ikatan dengan
apapun atau siapa pun. Termasuk dengan orang yang dicintainya, baik itu
Surti, mantan kekasihnya, ataupun Vivienne Deveraux, istrinya. Tahun
1968 merupakan awal hari-hari Dimas di Paris, ia berkenalan dengan
Vivienne, seorang mahasiswa Sorbonne yang berdemo. Mereka menjalin
hubungan hingga memasuki jenjang pernikahan dan dikaruniai seorang
anak perempuan, Lintang Utara. Satu prinsip Vivienne dalam pernikahan
adalah tidak adanya perempuan lain di dalam kehidupan Dimas, namun
Dimas selalu menyimpan Surti di hatinya.
Aku lebih tidak tahu lagi mengapa sampai detik ini, setelah
bertemu dengan Vivienne yang jelita dan menikahinya, hatiku
masih bergetar setiap kali mengenang Surti. Barangkali aku
sudah terlanjur memberikan hatiku padanya. Untuk selama-
lamanya.67

Sebelum perceraian Dimas dan Vivienne, keluarga mereka hidup


dengan bahagia. Lintang memiliki struktur dengan fungsi keluarga yang
lengkap, walau memiliki orang tua yang berbeda kebangsaan. Pada ulang
tahun Lintang yang ke sepuluh, masa kritis bagi pernikahan Dimas dan

66
Ibid., h. 107
67
Ibid, h. 65
71

Vivienne karena pertengkaran-pertengkaran tidak bisa dihindari.


Permasalahan ekonomi salah satu pemicu awal ketegangan hubungan
Dimas dan Vivienne, puncak pertengkaran terjadi ketika Lintang
menemukan surat-surat untuk ayahnya dari seseorang di Indonesia, orang
tersebut adalah Surti. Setelah kejadian itu, fungsi Dimas sebagai suami
terputus karena Vivienne meminta perceraian.
Surti adalah lambang aroma kunyit dan cengkih, itu semua
menjadi satu di dalam Indonesia. Malam itu, aku mengatakan
pada Dimas, aku ingin bepisah dengannya.68
Setelah perceraian, hubungan Vivienne dan Dimas membaik, mereka tetap
menjalin komunikasi. Tidak ada yang memutuskan untuk menikah
kembali, menghabiskan sisa hidup dengan sendiri.
Awal perpisahan antara kedua orang tuanya membuat Lintang tidak
bisa menerima keadaan. Ia menunjukannya dengan cara tetap menyiapkan
perlengkapan makan secara sempurna, untuk ibunya, dia, dan untuk
ayahnya, walaupun ayahnya sudah tidak tinggal bersama Lintang dan
Vivienne. Setelah dewasa, Lintang mendambakan keluarga yang hangat
seperti masa kecil sebelum ayah dan ibunya bercerai. Ia lebih senang
menghabiskan akhir pekannya dengan keluarga kekasihnya, keluarga
Lefebvre. Keluarga penuh dengan kehangatan dan kenyamanan sehingga
Lintang merasa tentram di lingkungan keluarga Lefebvre.
Aku lebih suka membantu Tante Jayanti merajang bawang
putih, meracik bumbu, atau memanggang daging, daripada
memasak di apartemen Ayah di Le Marais atau apartemen
Maman.69

Perceraian antara Dimas dan Vivienne memiliki dampak terhadap


psikologi Lintang. Ia rindu kehangatan keluarga dan ketentraman rumah.
Lintang mencari cara menghilangkan kerinduannya dengan bergaul

68
Ibid, h. 216
69
Ibid, h. 148
72

bersama keluarga Lefebvre yang secara kebetulan keluarga campuran


Prancis dan Indonesia seperti keluarganya.
Diorganisasi terjadi pada keluarga Dimas dipicu oleh ketidaksahan
Dimas menjalani peranannya sebagi suami dari Vivienne dan ayah bagi
Lintang. Dimas masih menyimpan hati pada wanita lain selain istrinya,
sedangkan pernikahan di negara manapun menjunjung kesetiaan.
Meskipun Dimas tidak berselingkuh secara lengsung dengan Surti di
Indonesia, namun Dimas terus mendukung Surti melalui surat-surat yang
dikirimkannya. Surat-surat tersebut menjadi bukti nyata bahwa Dimas
selalu menghadirkan dirinya baik dari segi emosi hingga keuangan untuk
membantu kehidupan Surti dan anak-anaknya di Indonesia. Padahal saat
itu keuangan keluarga Dimas pas-pasan bahkan dapat dikatakan sulit.
Dimas mengakui perasaannya melalui pernyataan-pernyataannya
dalam cerita bahwa ia selalu menyimpan hatinya untuk Surti, walau
dahulu ia mundur ketika diminta melangkah lebih serius untuk
berhubungan dengan Surti. Pengakuan tersebut menambah bukti bahwa ia
tidak bisa menjalankan peranannya sebagai suami yang dapat menjaga
hati hanya untuk istrinya seorang.
Bila keluarga Dimas mengalami disorganisasi karena ketidaksahan
peranan Dimas sebagai suami, lain hal dengan keluarga Nugroho.
Disorganisasi yang dialami oleh Nugroho dan Rukmini penyebabnya
adalah ketidakhadiran Nugroho karena tertahan di Paris dan tidak bisa
pulang ke Indonesia, atau bisa dikatakan bahwa Nugroho secara tidak
langsung sedang di penjara. Ketidakhadiran Nugroho sebagai suami dari
Rukmini merupakan pemicu hilangnya peranan ia sebagai suami. Seorang
suami harus dapat menafkahi istri secara lahir dan batin. Namun
tertahannya Nugroho di Paris dengan cap eksil membuatnya tidak bisa
memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami. Rukmini lebih memilih
73

lelaki lain yang bisa mendampinginya daripada menunggu Nugroho yang


entah kapan bisa kembali ke Indonesia.
Disorganisis dialami keluarga Dimas dan Nugroho berujung pada
perceraian. Pernikahan Dimas dan Vivienne mengalami kegagalan karena
dipicunya kegagalan Dimas menjaga perasaan Vivienne, sedangkan
kegagalan pernikahan Nugroho dan Rukmini dipicu oleh ketidakhadiran
Nugroho untuk memberikan kewajibannya sebagai pelindung keluarga.
3. Nilai-nilai Sosial
Nilai tercipta karena adanya pengalaman individu atau kelompok
dalam menemui sesuatu. Nilai tersebut akan mempengaruhi individu atau
kelompok ketika menentukan sikap. Seperti para eksil ketika menilai
sesuatu hal di luar lingkungan mereka. Menilai tingkah laku dan gaya
hidup individu atau kelompok yang tidak termasuk lingkungan para eksil
menjadi langkah hati-hati saat hidup dipembuangan. Individu dan
kelompok di luar eksil pun memiliki penilaian terhadap hidup kaum yang
dicekal oleh pemerintah Indonesia. Nilai-nilai yang timbul dari para eksil
dipengaruhi dari sebuh prasangka. Prasangka tersebut menjadi penentu
eksil menilai individu atau kelompok di luar kelompok mereka, begitu
juga sebaliknya.
a. Penilaian eksil terhadap Sumarno si Telunjuk
Penilaian eksil terhadap lingkungan di luar mereka banyak
dipengaruhi oleh pengalaman-pengalam dalam menghadapi
ancaman serta tantangan yang disuguhkan setelah tertahannya di
luar negeri. Penilaian eksil terhadap orang lain itu dapat dikatakan
sebuah prasangka, karena eksil tidak mengalami langsung kejadian
peristiwa pasca 30 September di Indonesia. Pada tahapan
pengethuan para eksil kepada objek, sudah termasuk tahapan
kognitif. Seperti saat Sumarno Biantoro, atau “Si Telunjuk” datang
membawa teror untuk anggota Restoran Tanah Air. Dimas dan
74

anggota Restoran Tanah Air sudah menilai negatif kedatangan


Sumarno karena rekam jejak dia terdengar sampai kepada para
eksil. Sumarno seorang seniman yang terkena “sapuan” pasca
peristiwa 30 September, setelah penangkapan dan penyiksaan dia
dibebasakan dan justru membongkar tempat-tempat
persembunyian teman-teman lain yang belum tertangkap, termasuk
Hananto Prawiro, sahabat dekat dari para eksil di Restoran Tanah
Air.
Ketika tikus itu akhirnya menggelinding pergi, Yazir dan
Bahrum buru-buru mengelap meja, kursi, dan gerendel pintu –
semua yang kena sentuhan Sumarno- dengan disinfektan,
seolah-olah tubuhnya mengandung kuman yang menular. Aku
rasa kedua anak itu hanya ikut berpartisipasi saja.70

Sikap yang ditunjukan oleh para eksil terhadap Sumarno


menunjukan ketidaksukaan mereka akan kehadiran individu lain
di luar kelompok mereka merupakan satu bentuk dari tahapan
konatif, hal tersebut dipengaruhi oleh pengaruh kognitif dan
afektif yang sudah ditunjukan sebelumnya oleh para eksil.
b. Penilaian Dimas kepada Naryana Lefebvre
Penilaian Dimas terhadap individu lain yang memiliki nasib
berbeda menjadikannya seorang berkepribadian sinis.
Permasalahan terjadi ketika Dimas bertemu Naryana, kekasih
Lintang yang memiliki kelas sosial berbeda dengan Dimas dan
lingkungannya. Naryana Lefebvre merupakan anak Gabriel
Lefebvre dan Jayatmi Ranti. Ayahnya merupakan pengusaha
berkebangsaan Prancis, dan ibunya merupakan penari asal
Indonesia. Naryana hidup serba berkecukupan, tanpa perlu susah
payah mencari tambahan uang untuk memenuhi kebutuhannya

70
Ibid., h. 126
75

sehari-hari. Dimas menilai Naryana sebagai orang yang pretensius


karena merupakan anak orang kaya sehingga dapat mendapatkan
sesuatu tanpa perlu banyak usaha. Penilaian kognitif Dimas kepada
Naryana didasari oleh lingkungan Naryana yang serba mewah dan
megah, sehingga pengalaman Dimas terhadap orang-orang yang
satu lingkungan dengan Naryana mengatakan bahwa Naryana tidak
akan ada bedanya dengan orang-orang di lingkungannya. Orang
kaya yang suka menghamburkan uangnya untuk hal-hal yang
kurang penting.
“Dia pretensius!” Ayah menyelaku seperti tidak sabar.
Tenyata dia tengah menahan diri untuk tidak memuncratkan
kata-kata yang disampaikannya sejak kali pertama bertemu
dengan Nara. “Dia anak orang kaya, borjuasi yang mudah
mendapatkan apa saja tanpa perjuangan. Mengendarai mobil,
makan di restoran atau bistro termahal di Eropa. Bayangkan,
bertemu dengan Ayah saja kita harus jauh-jauh ke Brussel.
Apa itu tidak prestensius?”71

Penilaian kognitif Dimas terhadap Naryana yang membuatnya


selalu mengevaluasi setiap pilihan dan jawaban yang diberikan
Naryana. Dimas selalu menilai bahwa pilihan Naryana merupakan
pilihan biasa dan mencari jalan aman, sikap ketidaksukaan Dimas
karena prasangka membuatnya selalu tidak setuju atas pilihan-
pilihan yang Naryana berikan. Sikap afektif Dimas itu
menimbulkan kecenderungan untuk menolak pembelaan Lintang
kepada Naryana. Dimas bersikap kaku dan tidak nyaman saat
makan bersama Naryana juga Lintang.
c. Penilaian diplomat muda kepada para eksil
Penilaian yang berbeda dari mayoritas orang-orang dan
lingkungan tempat berada ditunjukan oleh para diplomat muda

71
Ibid, h. 177
76

KBRI di Prancis. Para diplomat muda berteman akrab dengan


Naryana dan Lintang, bahkan mereka membantu Lintang
mengurusi berkas-berkas yang diperlukan untuk mengunjungi
Indonesia. Padahal pada masa itu ada keputusan “Bersih
Lingkungan” dari pemerintah di Indonesia bagi pekerja
pemerintahan. Namun, para diplomat muda tidak mempedulikan
keputusan itu. Mereka beranggapan bahawa tidak ada hubungan
masalah ideologi politik dengan interaksi yang akan dibina.
Penilaian diplomat muda bertolak belakang dengan mayoritas
orang-orang di lingkungan mereka, KBRI atau pemerintah
Indonesia.
“Sorry,” Lintang menggeleng kepala, “mereka agak protektif.
Maklum belum pernah ada orang KBRI yang mengunjungi
restoran ini.”72
Sikap para diplomat muda mengunjungi Restoran Tanah Air
merupakan upaya pemberontakan dari keputusan tidak masuk akal
bagi generasi masa itu. Mereka siap atas konsekuensi yang
didapat atas keputusan tersebut. Termasuk dipandang aneh oleh
pihak KBRI, bahkan oleh para eksil.
Dimas kini paham mengapa para diplomat junior itu berani
datang ke Restoran Tanah Air dan tidak peduli larangan resmi
dari Jakarta. Bukan hanya persoalan lezatnya lezatnya
rendang dan gulai ayam buatannya. Tetapi ini adalah generasi
baru yang merasa tidak bisa didikte oleh sesuatu yang mereka
anggap tidak rasional. Mereka adalah generasi baru yang
cerdas, yang mulai bernai berpikir mandiri. 73

Bagi pemerintah Indonesia, yang dilakukan para diplomat muda


merupakan sebuah kesalahan, tapi bagi penilaian eksil keputusan
mereka merupakan keputusan yang dewasa dan berpikir maju.

72
Ibid., h. 261
73
Ibid., h. 265
77

Tiga penilaian yang dilakukan dari golongan yang berbeda menjadikan


gambaran yang berbeda dari masing-masing sudut. Sikap yang ditujukan
eksil terhadap sumarno si telunjuk di dasari oleh prasangka dengan ciri-
ciri sikap:
a. Kognitif: Mereka mendapatkan kabar bahwa Sumarno merupakan
seorang penunjuk teman-teman seperjuangnnya dalam organisasi
kepada pemerintah agar teman-temannya itu bisa diciduk dan
dihukum.
b. Afektif: Para eksil sangat tidak setuju dengan sikap yang diambil
Sumarno terhadap penunjukan teman-temannya.
c. Konatif: Para eksil menujukan sikap tidak suka kepada Sumarno
dengan cara beragam, seperti Dimas terus-menerus membawa pisau
dapurnya saat Sumarano mengunjungi Restoran Tanah Air atau
anggota lain yang mengikuti setiap gerak-gerik Sumarno selama di
Restoran Tanah Air.

Sikap Dimas terhadap Naryana dapat dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut:

a. Kognitif: Pengalaman dan prasangka Dimas menyatakan bahwa


mayoritas orang bergaya hidup seperti Naryana merupakan orang-
orang manja dan borjuis, tidak mengenal kesusahan hidup.
b. Afektif: Dimas selalu menilai setiap hal yang disukai dan ditunjukan
Naryanya merupakan kesalahan dan Dimas tidak setuju dengan setiap
sikap dan pilihan Naryana.
c. Konatif: Dimas selalu memandang sinis dan menutup diri saat
bersama Naryana walaupun ada Lintang menemani pertemua mereka.

Sikap diplomat muda terhada eksil dapat dilihat dari ciri-ciri sebagai
berikut:
78

a. Kognitif: Penilaian diplomat muda terhadap eksil berbeda dengan


pendapat mayoritas anggota KBRI yang menganggap bahwa eksil
harus dihidari.
b. Afektif: Diplomat muda bergaul dengan Lintang, anak Dimas,
bahkan membantu Lintang mengurus dokumen-dokumen keperlukan
untuk mengunjungi Indonesia, dan mereka mendatangi Restoran
Tanah Air untuk bergaul serta menikmati hidangan di Restoran itu.
c. Konatif: Diplomat muda dengan akrab berbicara dan terbuka
terhadap eksil, walaupun mereka tahu keputusan mendekakan diri
kepada eksil akan mendapat pandangan sinis oleh anggota KBRI lain,
bahkan hukuman dari pemerintah pusat di Indonesia.
C. Kondisi Politik Eksil
1. Kekuasaan
Kekuasaan identik dengan pengaruh, pemaksaan, dan otoritas yang
dilakukan individu atau kelompok tertentu terhadap individu atau
kelompok lain. Kekuasaan yang ditunjukan novel Pulang adalah kekuatan
dari pemeritahan Orde Baru, dimulai dari jatuhnya pemerintahan Soekarno
dan diambil alih oleh Soeharto. Selama pemerintahan Orde Baru, semua
hal berbaru “kiri” harus diasingkan. Termasuk orang-orang tertuduh
memihak kepada PKI akan dianggap ancaman dan harus dihilangkan.
Nasib keluarga dan sanak saudara yang ditinggalkan bahkan dilahirkan
setelah kejadian 30 September mendapat “dosa turunan” yang didapatkan
dari anggota keluarga yang memiliki hubungan PKI.
Dimas meninggalkan ibu dan adiknya, Nugroho meninggalkan istri
dan anaknya, sedangkan Tjai justru membawa istrinya keluar dari
Indonesia karena dia yakin keluarga Tionghoa salah satu orang-orang
yang akan ditangkap dan diasingkan. Dimas, Nugroho, dan Risjaf
merupakan anggota dari tim Berita Nusantara yang sedang mendapat tugas
di luar negeri saat kejadian 30 September, setelah kejadian itu berlangsung
79

beberapa hari dan terjadi pembantaian serta pencidukan bagi orang-orang


yang memiliki hubungan dengan PKI, dan untuk yang berada di luar
Indonesia hukumannya adalah pencabutan paspor.
Setelah pencabutan paspor, para eksil mendapat pencekalan dengan
tidak diberikannya izin atau visa untuk sekadar mengunjungi Indonesia.
Tahun demi tahun berlalu. Namun, selama masih masa Orde Baru
berlangsung, visa untuk para eksil tidak pernah turun. Untuk Dimas, Tjai,
dan Nugroho, visa mengunjungi Indonesia tidak pernah didapatkan walau
mereka sudah menggunakan paspor Prancis. Namun, setelah beberapa
tahun, Risjaf akhirnya mendapat visa untuk berkunjung ke Indonesia,
walau dengan pengawalan ketat dari Intel Indonesia.

Aku baru menyadari bahwa setiap tahun Ayah rutin mencoba


mengajukan permohonan visa untuk masuk ke Indonesia.
Tentu saja sebagai seorang yang mendapat suaka politik Ayah
–seperti juga kawan-kawannya- seduah menggunakan paspor
Prancis. Namun, berbeda dengan Om Risjaf yang entah
bagaiman bisa mendapat visa, permohonan Ayah, Om Nug,
dan Om Tjai selalu ditolak.74
Pemerintah Indonesia masa Orde baru tidak hanya cukup dengan
pencabutan paspor dan penolakan visa, pemerintahan mengeluarkan
peraturan bahwa orang-orang KBRI di Prancis melarang anggota untuk
berinteraksi dan mengunjungi restoran milik para eksil. Bagi pemerintah
di Indonesia hal tersebut merupakan salah satu cara untuk menunjukan
sikap Bersih Lingkungan. Sikap yang melarang anggota instansinya
memiliki hubungan dengan anggota atau keluarga yang memiliki anggota
PKI.

“Nara,” katanya dengan nada seorang ibu menegur anak


berusia lima tahun, “Om Marto menyebut-nyebut soal Bersih
Lingkungan.”

74
Ibid, h. 195-196
80

Nara tertawa terkekeh-kekeh. Aku mengenali tawa itu.


Ekspresi kejengkelan. “Tante, Om Marto dan om lain tak
akan ditegur Pusat hanya karena Lintang datang ke acara
fashion show kebaya Kartini. Tenang, tante.”75
Kekuasaan pemerintahan Soeharto terus menjegal kepulangan para
eksil Restoran Tanah Air. Pemerintahan mempertahankan kekuasaann
dengan mengadakan sistem-sistem kepercayaan seperti penyeabaran
peraturan Bersih Lingkunagn di kalangan pegawai pemerintahan. Sistem
kepercayaan tersebut mengkokohkan kedudukan rezin Orde Baru untuk
terus bertahan dan menyingkirkan peraturan-peraturan yang sebelumnya
telah berlaku. Pemerintah membuat dukungan untuk melanjutkan
kekuasaan dengan beberapa cara, tidak hanya sekadar menanamkan
kepercayaan Bersih Lingkungan di kalangan pegawai, tapi mengadakan
kosolidasi di bidang-bidang pemerintahan dengan menaruh keluarga-
keluarga memimpin di ranah yang strategi.
2. Nasionalisme
Mencintai dan berkontribusi untuk negara sendiri tidak hanya bisa
dilakukan saat individu atau kelompok berada di negaranya. Nasionalisme
yang tertanam dapat diterapkan ketika individu atau kelompok berada di
mana pun, termasuk kasus yang terjadi pada eksil politik tahun 1965 di
Prancis. Para eksil tertahan di Prancis karena pencabutan paspor dan
penolakan visa. Namun, mereka selalu berusaha kembali ke tanah
kelahiran. Para eksil juga selalu memantau keadaan Indonesia melalui
siaran-siaran berita yang sering mereka tonton. Walaupun ditolak oleh
pemerintahan Indonesia, mereka tidak merasa ditolak oleh Indonesia.
Sikap nasionalisme ditunjukan para eksil dengan menerapkan sistem
koperasi pada bidang mata pencarian meraka, yaitu membuka restoran
masakan Indonesia. Serta membuat pergelaran budaya, seperti bedah buku,

75
Ibid., h. 163
81

pagelaran seni dan hal lainnya. Sikap nasionalisme pun ditunjukan warga
Indonesia non eksil yang berada di sekitar Eropa. Mereka ikut membantu
menyumbang berdirinya Restoran Tanah Air. Kontribusi eksil ditunjukan
dengan kesedian Dimas mengisi dan menulis kolom Tahanan Politik
walau saat itu ia menjadi eksil di Prancis.

“Tjai juga akan membuat riset bentuk usaha apa yang ingin
kita bangun, apakah PT atau ko…”“Koperasi. Sudah pasti
koperasi!” kata Tjai tegas.
“Oke, koperasi,” kata Mas Nug dengan patuh hingga aku
bertanya-tanya, siapa sesungguhnya yang lebih ditakuti dalam
kelompok ini.76
Rasa nasionalisme juga terarah kepada keinginan kembali ke
Indonesia walau para eksil tertahan bertahun-tahun dan telah menetap di
Paris. Namun, tanggapan untuk kepulangan meraka berbeda-beda.
Nugroho sudah merasa nyaman dan merasa tenang untuk menghabiskan
masa hidupnya di Paris. Tjai masih ingin terus mencoba kembali ke
Indonesia meski tidak untuk menetap. Sedangkan Risjaf yang berhasil
mendapatkan visa Indonesia, tidak cukup tertarik karena dia sudah
memiliki Istri dan anak di tempat pembuangnnya. Dimas adalah satu-
satunya orang yang tetap memiliki harapan kembali ke Indonesia
walaupun kekuatan pemerintahan Orde Baru tetap kokoh dan belum bisa
digantikan. Dimas menginginkan jasadnya dikembumikan di Karet,
Jakarta, meski belum diketahui saat itu pemerintahan Orde Baru akan
runtuh. Indonesia adalah tempat dia merasa pulang, tempat yang ia kenal
harum tanahnya.
Sikap nasionalisme tidak hanya bisa ditunjukan dengan berada di
Indonesia, sikap yang ditunjukan para eksil dapat dikategorikan menjadi
nasionalisme jarak jauh. Mereka menunjukan rasa nasionalisme dengan

76
Ibid., h. 103
82

membuka rumah makan masakan Indonesia di Paris, menggunakan sistem


koperasi sebagai wadah bagi Restoran Tanah Air, hingga menggelar acar-
acara budaya Indonesia di restoran tersebut. Sebuah sikap mencintai tanah
air yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Mereka tetap mencintai dan
menghargai Indonesia dengan memberikan kontribusinya di luar
Indonesia.
D. Implikasi di Sekolah
Pembelajaran sastra di sekolah sudah seharusnya membangun kondisi
siswa menjadi manusia yang memiliki kecakapan hidup dalam memperluas
pengatahuan di bidang sosial, karena karya sastra banyak dipengaruhi oleh
realitas yang terjadi pada dunia nyata. Kecakapan hidup dikelompokan
menjadi lima bagian: kecakapan mengenali diri atau personal, kecakapan
berpikir, kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan kejuruan.
Lima kecakapan tersebut masuk dalam ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah
psikomotorik. Ranah kognitif berhubungan dengan tingkat keceradaan peserta
didik yang telah dicapai. Ranah afektif berhubungan dengan sikap atau
tingkah laku yang ditunjukan peserta didik dalam pembelajaran. Ranah
psikomotorik berhubungan dengan perkembangan peserta didik dalam
menerapkan nilai-nilai yang didapat dalam kebiasaannya di kehidupan sehari-
hari.
Berdasarkan kajian terhadap novel Pulang karya Leila S. Chudori,
kompetensi dasar yang dapat digunakan pembelajaran di sekolah adalah
menjelaskan unsur-unsur intrinsik dan ektrinsik dari pembacaan penggalan
novel pada tingkat SMS/MA kelas XII semester satu dalam aspek
mendengarkan. Pembelajaran unsur instrinsik dan ektrinsik pada novel
Pulang dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk memahami perasaan,
imajinasi, kepekaan serta pemahaman terhadap lingkungan sekitar.
Ranah kognitif dapat dilihat dari kemampuan peserta didik memahami
dan menafsirkan unsur-unsur intrinsik dan ektrinsik yang terkandung dalam
83

pembacaan penglaman novel. Setelah diketahui kemampuan pengatahuna


peserta didik dalam memahami, guru mengamati sikap dan tingkah laku
peserta didik selam pembelajaran berlangsung. Bagaimana keterlibatan
peserta didik selama pembelajaran, apakah peserta didik aktif, atau justru
peserta didik tidak tertarik dengan pembahasan yang dipelajari. Pengetahuan
dan sikap dapat ditunjukan dalam pembelajaran berlangsung kemudian
dilanjutkan dengan pengamatan guru terhadap nilai-nilai yang dapat peserta
didik terapkan untuk membangun kebiasaan sehari-hari. Peranan guru dalam
mengawasi peseta didik tidak hanya terjadi saat pembelajaran di kelas saja.
Namun, dilakukan pula kontrol lapangan untuk membuat kebiasaan baru agar
membangun peserta didik menjadi individu yang lebih baik setelah
pembelajaran usai.
Bila dikaitkan antara pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di
sekolah dengan kajian novel Pulang karya Leila S. Chudori, peserta didik
dapat menjadikan novel Pulang sebagai objek kajian untuk membahas unsur
intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik dalam novel Pulang memiliki
keragamanan untuk dipahami, mulai dari tema, alur, tokoh dan penokohan,
sudut pandang, serta gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang. Untuk
kajian ekstrinsik, peserta didik dapat mengambil kajian sosial, baik latar sosial,
kondisi, atau peristiwa sosial yang terjadi. Pembahasan intrinsik dan ektrinsik
yang dilakukan peserta didik dapat menumbuhkan kepekaan terhadap
lingkungan sosial, sikap kepekaan tersebut dapat berupa sikap toleransi,
mengahargai, dan tangung jawab. Guru berperan penting dalam mengarahkan
peserta didik untuk menafsirkan data-data temuan dalam penerapan di
kehidupan sehari-hari. Terkadang pembelajaran hanya berakhir dalam
memahami saja, tanpa tahu bagaimana pesan yang dapat diterapkan di
kehidupan sehari-hari yang dialami peserta didik.
Novel Pulang memiliki kaitan latar sejarah Indonesia pada peristiwa
1965 dan 1998. Guru Bahasa dan Sastra Indoesia harus memiliki wawasan
84

seputar sejarah tentang peristiwa yang terjadi pada latar novel tersebut.
Pembelajaran peristiwa tersebut berhubungan dengan pembelajaran sejarah di
sekolah, kaitannya dengan peristiwa G30S dan Mei 1998. Tugas guru Bahasa
dan Sastra Indonesia adalah berkoordinasi dengan guru sejarah untuk
menyatukan pemahaman seputar kejadian peristiwa tersebut, agar tidak terjadi
perbedaan pendapat dalam menanggapi peristiwa tersebut sehingga
menimbulkan kebingungan peserta didik dalam memahami peristiwa sejarah
Indonesia. Metode yang digunakan dalam pembelajaran memahami unsur
ektrinsik dapat digunakan metode tematik, yaitu menyatukan tema
pembelajaran antara pelajaran Bahasa dan Sastra Indoensia dengan
pembelajaran sejarah melalui pembahasan latar sejarah peristiwa G30S atau
Mei 1998. Kolaborasi pembelajaran juga membuka peluang untuk peserta
didik melebarkan wawasan baru dengan membaca literatur yang berkaitan
dengan peristiwa tersebut. Dengan demikian kolaborasi antara pelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia dengan sejarah menjadi pembelajaran menarik
dan memudahkan siswa untuk memahami kedua mata pelajaran sekaligus.
85

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

NAMA SEKOLAH SMA/MA .......................


MATA PELAJARAN Bahasa dan Sastra Indonesia
KELAS /SEMESTER XII (dua belas) / 1 (satu)
PROGRAM
ASPEK Mendengarkan
PEMBELAJARAN
STANDAR Memahami pembacaan novel
KOMPETENSI
KOMPETENSI DASAR Menjelaskan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik dari
pembacaan penggalan novel

Nilai Budaya
Kewirausahaan/
Indikator Pencapaian Kompetensi Dan Karakter
Ekonomi Kreatif
Bangsa
 Menjelaskan unsur-unsur –unsur intrinsik dan  Kreatif  Keorisinilan
ekstrinsik dalam penggalan novel yang  Bersahabat/  Kepemimpinan
dibacakan. komunikatif
 Gemar
membaca
ALOKASI WAKTU 3 x 45 enit

TUJUAN PEMBELAJARAN

TUJUAN Siswa mampu menjelaskan unsur-unsur intrinsik dan


ekstrinsik dari pembacaan penggalan novel
MATERI POKOK Pembacaan penggalan novel
PEMBELAJARAN Unsur-unsur intrinsik novel
Unsur-unsur ektrinsik novel

METODE PEMBELAJARAN
1. Diksusi
2. Presentasi

KEGIATAN PEMBELAJARAN
TAHAP KEGIATAN PEMBELAJARAN Nilai Budaya Dan
86

Karakter Bangsa
PEMBUKA  Siswa diajak untuk mengingat kembali cerita  Bersahabat/
(Apersepsi) penggalan novel yang telah dibacanya pada komunikatif
pertemuan sebelumnya. Guru membantu
mengingatnya dengan melontarkan beberapa
pertanyaan.
 Guru menyatakan bahwa dalam cerita novel
tersebut terdapat unsur-unsur cerita yang
menarik untuk dibahas

Pertemuan ke-1
 Eksplorasi  Kreatif
INTI  Guru meminta siswa menyebutkan dan
menjelaskan unsur-unsur intrinsik dan ektrinsik
yang membangun cerita novel
 Guru menjelaskan secara lebih mendetail
beberapa unsur intrinsik yaitu karakter tokoh dan
latar cerita yang akan menjadi fokus pembahasan
 Guru menjelaskan secara lebih detail beberapa
unsur ekstrinsik yaitu keadaan sosial masyarakat.
 Seorang siswa yang ditunjuk Guru membacakan
sebuah penggalan novel sementara siswa yang
lain menyimaknya.
 Elaborasi
 Siswa berdiskusi kelompok untuk
mengidentifikasi dan menjelaskan unsur-unsur
intrinsik dan ekstrinsik novel yang telah
didengarkannya.
 Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, Siswa:
 Menyimpulkan tentang hal-hal yang belum
diketahui
 Menjelaskan tentang hal-hal yang belum
diketahui.
Pertemuan ke-2
 Elaborasi  Kreatif
 Secara bergantian, setiap kelompok ke depan
kelas mempresentasikan hasil diskusinya.
Kelompok lain diberi kesempatan untuk
memberikan tanggapan.
 Guru memberikan ulasan dan tanggapan atas
setiap hasil presentasi kelompok.
 Guru menyimpulkan unsur-unsur intrinsik dan
87

ektrinsik novel yang dibahas.


 Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, Siswa:
 Menyimpulkan tentang hal-hal yang belum
diketahui
 Menjelaskan tentang hal-hal yang belum
diketahui.
PENUTUP  Siswa menjawab soal-soal Kuis Uji Teori untuk  Gemar membaca
(Internalisasi dan mereview konsep-konsep penting tentang unsur-
refleksi) unsur intrinsik dan ektrinsik novel yang telah
dipelajari
 Siswa merefleksikan nilai-nilai serta
kecakapan hidup (live skill) yang bisa dipetik
dari pembelajaran

SUMBER BELAJAR
Pustaka rujukan  Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia untuk
SMA kelas XII karya Alex Suryanto dan Agus
Haryanto terbitan ESIS 2007
 Pulang karya Leila S. Chudori
 Biografi Leila S. Chudori
 Teori Pengkajian Fiksi karya Burhan Nurgiyantoro

Material: VCD,
kaset, poster
Mediacetak dan
elektronik
Website internet https://www.leilaschudori.com
Narasumber
Model peraga
Lingkungan Lingkungan masyarakat sekitar siswa
PENILAIAN
Tes Lisan
V Tes Tertulis
V Observasi Kinerja/Demontrasi
TEKNIK DAN BENTUK V Tagihan Hasil Karya/Produk: tugas, projek, portofolio
V Pengukuran Sikap
88

Penilaian diri
 Tugas untuk menganalisis dan mengidentifikasi unsur-
INSTRUMEN /SOAL unsur intrinsik penggalan novel melalui berdiskusi.
 Tugas mempresentasikan hasil diskusi kelompok
 Daftar pertanyaan Kuis uji teori untuk mengukur
pemahaman siswa atau konsep-konsep yang telah dipelajari
1. Apa yang dimaksud dengan unsur intinsik dan
ekstrinsik?
2. Sebutkan dan jelaskan unsur intrinsik novel Pulang
karya Leila S. Chudori?
3. Sebutkan dan jelaskan unsur ektrinsik novel Pulang
karya Leila S. Chudori?
RUBRIK/KRITERIA
PENILAIAN/BLANGKO
OBSERVASI

...............,...................
Mengetahui,
Kepala SMA/MA Guru Mata Pelajaran

........................... ...................................
NIP./NIK. NIP./NIK.
BAB V

PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan penelitian terhadap novel Pulang karya Leila S. Chudori
dapat disimpulkan beberahap hal sebagai berikut:
1. Kondisi sosial dan politik eksil yang digambarkan pada novel Pulang
terdiri sebagai berikut:
a. Kondisi sosial terdiri dari perekonomian, diorganisasi keluarga dan
nilai-nilai sosial. Perekonomian yang dibangun para eksil diawali
dengan permintaan mereka memiliki perkerjaan yang tidak hanya
mampu menopang kehidupan. Namun, pekerjaan yang sesuai dengan
kemampuan. Dari tahap permintaan itu timbul penawaran pembuatan
restoran yang mampu memberikan pekerjaan tetap serta sesuai dengan
keinginan para eksil. Disorganisasi keluarga yang terjadi pada eksil
dialami oleh Dimas dan Nugroho. Dimas mengalami ketidaksahan
peranan sebagai seorang suami menjaga perasaannya hanya untuk istri,
sedangkan disorganisasi yang dialmi Nugroho karena
ketidakhadirannya sebagai sosok suami dan ayah karena tertahan di
Prancis. Keduanya mengalami diorganisasi keluarga berujung pada
perceraian. Nilai-nilai sosial tergambarkan pada penilaian para eksil
terhadap Sumarno “si Telunjuk”, Dimas terhadap kehidupan Naryana,
dan para diplomat muda KBRI Prancis terhadap para eksil. Penilaian
terhadap tiga hal tersebut dipengaruhi oleh tiga sikap prasangka yang
terdiri dari sikap kognitif, afektif, dan konatif.
b. Kondisi politik terdiri dari kekuasaan dan nasionalisme. Kekuasaan
yang ditunjukan pemerintahan Orde Baru, pertama melalui cara
menanamkan kepercayaan atau ideologi kepada pegawai pemerintahan
dengan membuat peraturan Bersih Lingkungan. Kedua melalui cara

89
90

mengubah peraturan lama dengan peraturan baru, seperti pencabutan


paspor dan menolakan visa terhadap eksil. Nasionalisme jarak jauh
yang ditunjukan oleh para eksil dengan membangun restoran masakan
Indonesia yang diberi nama Restoran Tanah Air dengan menggunakan
sistem Koperasi. Para eksil tetap berkontribusi dalam pengembangan
kebudayaan dengan ikut menulis yang berhubungan dengan Indonesia
dan membuat acara-acara budaya di restoran. Keinginan pulang para
eksil pun terus tertanam di hati, walaupun kekuasaan Orde Baru masih
kokoh bertahan.
2. Implikasi yang dapat diterapkan dari novel Pulang di sekolah merupakan
kecakapan hidup yang ikut membangun perasaan, imajinasi, kepekaan
serta pemahaman terhadap lingkungan sekitar dengan menerapkan ranah
kognitif, afektif, dan psikomotorik.
B. Saran
Berdasarkan hasil dan implikasi penelitian, maka ada beberapa saran yang
bisa menjadi masukan untuk kedepannya.
1. Pendidik harus dituntut dapat memperluas pengetahuan, tidak hanya
seputar pendidikan dan kebahasaan. Namun, pengetahuan-pengetahuan
umum yang berkaitan dengan pembelajaran.
2. Pendidik dapat lebih kreatif dalam menyampaikan materi agar peserta
didik lebih antusias dan memahami dalam menerima materi yang didapat.
3. Pendidik sebaiknya dapat membimbing peserta didik untuk memahami
nilai-nilai yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dari karya
sastra yang telah dibahas.
4. Pendidik dan orang tua seharusnya dapat memberikan contoh kepada
peserta didik untuk dapat bertoleransi terhadap perbedaan.
5. Pendidik dan orang tua seharusnya ikut membantu peserta didik
menumbuhkan minat baca karya sastra dengan memfasilitasi bacaan dan
keragaman bahan bacaan.
DAFTAR PUSTAKA

Bahtiar, Ahmad, “Kondisi Sosial dan Politik di Indonesia pada Zaman Pendudukan
Jepang dalam Empat Novel Indonesia: Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra”,
Tesis pada Pascasarjana Universitas Indonesia: 2006. Tidak dipublikasilaan.
Budianta, Melani dkk.. Membaca Sastra: Pengentar Memahami Sastra untuk
Perguruan Tinggi. Indonesia Tera: Magelang. 2006
Chudori, Leila S.. 9 dari Nadira. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2012

-------------------. Malam Terakhir. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2012

-------------------. Pulang. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2012

Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas. Jakarta: editum. 2013

Dw. De.. “Leila Selalu Pulang”. 2013. ( http://www.dw.de/)

Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2013

Hasil wawancara pribadi dengan Leila S. Chudori tanggal 28 Oktober 2014.

Landis, Judson R.. Sociology: Concepts and Characteristics. California: Wadworth


Publishing Company. 1971
Leila S. Chudori. “Tentang Leila”. 2014. http://www.leilaschudori.com/

Minderop, Albertine. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Pustaka


Obor Indonesia. 2005
Moleong, Lexy J..Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosada
Karya. 1999
Mudzakkir, Amir. “Eksil Indonesia dan Nasionalisme Kita”. Makalah disampaikan
dalam seminar PSDR-LIPI pada Selasa, 3 Desember 2013 di LIPI, Jakarta
Neubeck, Kenneth J. and Davita Silfen Glasberg. Sosiology: Diversity, Conflict, and
Change. New York: McGraw-Hill. 2005
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University
Perss. 2013

91
92

Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia. Leila S. Chudori. 2013.


(http://www.penerbitkpg.com/)
Philipus, Ng. dan Nuril Aini. Sosiologi dan Politik. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada. 2009
Robert, Robertus. “Pulang, Nostalgia, Harapan, dan Kebebasan”. Makalah
disampaikan dalam acara musyawarah buku Pulang, karya Leila S. Chudori, di
Serambi Salihara,29 Januari 2013
Roosa, John. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta
Soeharto. Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra. 2008
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo. 2008

Soelaeman, M. Munandar. Ilmu Sosial Dasar: Teori dan Konsep Ilmu Sosial.
Bandung: PT ERESCO. 1995
Stanton, Robert. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007

Syani, Abdul. Sosiologi: Sematika, Teori, dan Penerapan. Jakarta: PT Bumi Aksara.
2012
Takwin, Bagus. “Mencermati Naratif Novel Pulang”. Makalah disampaikan dalam
acara musyawarah buku Pulang, karya Leila S. Chudori, di Serambi Salihara,
29 Januari 2013
Taman Ismail Marzuki. Leila S. Chudori. 2013.
(http://www.tamanismailmarzuki.com/)
The Jakarta Post. Leila s. Chudori: Khatulistiwa Award winner’s commitment to the
writing process. 2014. http://www.thejakartapost.com/
Wellek, Rene dan Austin Warren. Teori Kesuasastraan. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama. 1993
Worsley, Peter (ed.). Pengantar Sosilogi: Sebuah Pembanding (Jilid I). Yogyakarta:
PT. Tiara Wacana Yogya. 1991

Anda mungkin juga menyukai