Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PEMBELAJARAN SASTRA BERBASIS KARAKTER


(Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan Pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia SD)

Dosen Pengampu :
Yasinta Mahendra, M.Pd.

Kelompok 9
Nabila Salsabila 20862060
Nur Az Zahra 2086206077
Urfania Diah Ramadani 2086206065

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KOTABUMI
LAMPUNG UTARA
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan kasih dan sayangnya
sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “Pembelajaran Sastra Berbasis
Karakter“. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepadanya baginda Nabi
besar kita Muhammad SAW, yang telah membawa kita dalam alam yang gelap gulita
menuju alam yang terang-benderang.
Makalah ini disusun guna memenuhi salah satu syarat penyelesaian tugas mata kuliah
Pengembangan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SD.
Pada dasarnya kami sebagai manusia tidak luput segala kesalahan yang dilakukan,
kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran
dan kritik dari semua pihak sangat kami harapkan guna kesempurnaan makalah ini
nantinya. Akhirnya hanya kepada Allah SWT kita kembalikan semua urusan dan semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penyusun dan para
pembaca pada umumnya. Semoga Allah SWT meridhoi dan dicatat sebagai ibadah
disisinya, aamiinyaarobbal alamin.

Kotabumi, 1 November 2022

Penulis.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah.................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................2

BAB II. PEMBAHASAN


2.1 Pendahuluan....................................................................................3
2.2 Definisi Pembelajaran Sastra..........................................................10
2.3 Pembelajaran Sastra Berbasis Karakter..........................................12

BAB III. PENUTUP


3.1 Kesimpulan.....................................................................................17
3.2 Saran...............................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pembelajaran sastra menjadi sarana dalam pembentukan karakter siswa. Hal ini sesuai
dengan harapan kurikulum 2013 yang lebih mengedepankan aspek sikap dalam
pembentukan karakter siswa.Pembelajaran sastra harus lebih mengutamakan pada
pembentukan karakter dengan memilih karya sastra yang mengandung nilai-nilai positif
yang dapat diinternalisasi dalam kepribadian siswa. Pemanfaatan karya sastra secara
reseptif sebagai media pendidikan karakter dapat dilakukan dengan dua langkah yaitu: (1)
pemilihan bahan ajar, dan (2) pengelolaan proses pembelajaran. Selain itu, dalam
pembelajaran sastra berbasis karakter, guru harus memilih pilar-pilar karakter dengan
memadukan topik-topik yang akan dibahas dalam karya sastra, misalnya, dalam
pembahasan sastra akan dibicarakan tentang tema atau amanat, maka guru bisa memilih
pilar, ketuhanan, tanggung jawab, kejujuran, dan sebagainya kemudian guru memadukan
tema-tema karya sastra yang bernuansa pilar-pilar karakter tersebut. Demikian pula jika
akan membahas unsur intrinsik yang lain atau ekstrinsik guru sudah mempunyai ancangan
pilar karakter apa yang hendak ditanamkan. Dengan demikian, harapan pemerintah dalam
membentuk karakter anak bangsa dapat terealisasi melalui pembelajaran sastra berbasis
karakter.
Pembelajaran sastra selalu memiliki berbagai macam metode yang dapat digunakan
dalam proses kegiatan belajarnya. Melalui pembelajaran sastra, pendidik dituntut untuk
lebih kreatif sekaligus peka dalam memilih materi yang menarik untuk disampaikan. Para
pendidik saat ini kurang memperhatikan hal tersebut. Para pendidik hanya terpaku pada
target-target yang akan disampaikan sesuai materi dan RPP yang sudah ada sebelumnya,
tanpa berpikir lebih jauh mengenai hal-hal lain yang dapat dijadikan sumber pembelajaran.
Padahal di era seperti sekarang ini, banyak hal yang bisa dimanfaatkan melalui kegiatan
pembelajaran sastra untuk membentuk karakter bangsa. Pembentukan karakter dapat
dilakukan dengan cara memilih buku-buku sastra yang kaitannya dengan masalah
kekinian, misalnya saat ini sedang banyak terjadi kebakaran hutan, sungai yang dipenuhi
sampah, dan lain-lain. Problematika tersebut tentunya dapat dikaitkan dengan materi ajar
yang akan disampaikan. Dengan mengedepankan kepekaan terhadap hal-hal yang sedang
terjadi, tentunya proses pembelajaran sastra akan berjalan dengan baik. Salah satunya
mangaitkan pembelajaran sastra berbasis ekologis dengan kumpulan cerita rakyat. Selama

1
ini para pendidik saat mengajarkan materi cerita rakyat hanya sebatas pada isi cerita dan
tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya sehingga metode seperti ini sudah seharusnya
dicermati kembali agar pembelajaran sastra kedepannya akan lebih menarik dan
menyenangkan. Dengan adanya pembelajaran sastra berbasis ekologis peserta didik
dituntut untuk menemukan pesan yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dan
lingkungannya dalam cerita tersebut. Hal ini tentunya sangat bermanfaat bagi peserta didik
agar mereka tahu tentang pentingnya menjaga lingkungan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa Definisi Pembelajaran Sastra?
2. Bagaimana Pembelajaran Sastra Berbasis Karakter?

1.3 Tujuan Pembuatan Makalah


1. Untuk Mengetahui Definisi Pembelajaran Sastra.
2. Untuk Mengetahui Pembelajaran Sastra Berbasis Karakter.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pendahuluan
Pengajaran sastra memiliki pertautan erat dengan pendidikan karakter,
karena pengajaran sastra dan sastra pada umumnya, secara hakiki membicarakan
nilai hidup dan kehidupan yang mau tidak mau berkaitan langsung dengan
pembentukan karakter manusia. Sastra dalam pendidikan karakter bisa berperan
mengembangkan aspek kognitif. afektif. psikomotorik. mengembangkan
kepribadian dan mengembangkan pribadi sosial Wibowo (19:2013). Sastra dalam
pendidikan karakter sesuai dengan harapan kurikulum 2013 yang lebih
mengedepankan aspek sikap dalam pembentukan karakter siswa. Pembelajaran
pula lebih ke arah pendekatan saintifik yang membutuhkan keaktifan siswa dalam
berpikir dan menemukan hal-hal yang baru serta menumbuhkan kreatifitas siswa.

Sejak tahun pelajaran 2011/2012 Depdiknas telah berketetapan bahwa


materi pendidikan karakter akan diberikan mulai jenjang PAUD hingga perguruan
tinggi. Implementasi pendidikan karakter dalam kurikulum dapat melalui
tiga jalur, yakni 1) integrasi dalam mata pelajaran. 2) integrasi dalam muatan lokal,
dan 3) kegiatan pengembangan diri. Dalam hal ini, pendidikan karakter dapat
diintegrasikan dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia, khususnya materi
kesastraan yang bersumber dari teks sastra berbasis karakter.

2.2 Definisi Pembelajaran Sastra


Sastra secara etimologis berasal dari bahasa Sansekerta, berakar kata sas
yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi: dan akhiran
tra yang menunjukkan alat, sarana; sehingga sastra dapat berarti alat untuk
mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Menurut Saryono (2009:
16-17) sastra bukan sastra, sekadar artefak (barang mati). tetapi sastra merupakan
sosok yang hidup. Sebagai sosok yang hidup, sastra berkembang dengan dinamis
menyertai sosok- sosok lainnya. seperti politik, ekonomi, kesenian, dan
kebudayaan. Sastra dianggap mampu menjadi pemandu menuju jalan kebenaran

3
karena sastra yang baik adalah sastra yang ditulis dengan penuh kejujuran,
kebeningan, kesungguhan. kearifan, dan keluhuran nurani manusia.

Sastra yang baik tersebut mampu mengingatkan, menyadarkan, dan


mengembalikan manusia ke jalan yang semestinya, yaitu jalan kebenaran dalam
usaha menunaikan tugas-tugas kehidupannya Saryono (20:2009). Sastra dapat
memberikan kepada penikmatnya keindahan dan kegunaan. Inilah salah satu fungsi
sastra yang oleh Horatius disebut dulce et utile, yakni memberi kegunaan dan
kesenangan. Senada dengan ungkapan dulce et utile-nya Horatius, dinyatakan
sastra berfungsi menghibur sekaligus mengajarkan sesuatu Nuryatin (4-2010).

Beberapa definisi tersebut menggambarkan bahwa sastra merupakan karya yang


mengandung pesan moral sebagai sarana dalam pembentukan karakter siswa.
Berbagai kehidupan tokoh yang baik dan buruk digambarkan dalam karya sastra
agar pembaca terutama anak-anak dapat berkontemplasi terhadap nilai-nilai positif
yang tercermin melalui karya sastra. Secara terminologis karakter diartikan sebagai
sifat manusia pada umumnya yang bergantung pada faktor kehidupannya sendiri.

Hidayatullah (29-2010) menjelaskan bahwa secara harfiah karakter adalah kualitas


atau kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi pekerti individu yang
merupakan kepribadian.khusus yang membedakan dengan individu lain. Sunarti
(21-2015) berpendapat bahwa karakter merupakan istilah yang menunjuk kepada
aplikasi nilai-nilai kehaikan dalam bentuk tingkah laku. Walaupun istilah karakter
dapat menunjuk kepada karakter haik atau karakter buruk, namun dalam
aplikasinya orang dikatakan berkarakter jika mengaplikasikan nilai-nilai kebaikan
dalam perilakunya. Menurut Novak (23:2011) karakter merupakan campuran
kompatibel dari seluruh kebaikan yang diidentifikasi oleh tradisi religius, cerita
sastra, kaum bijaksana. dan kumpulan orang berakal sehat yang ada dalam sejarah.

Wamaungo (81:2012) berpendapat bahwa karakter dapat dimaknai sebagai


nilai dasar yang membangun pribadi seseorang, terbentuk baik karena pengaruh
hereditas maupun pengaruh lingkungan, yang membedakannya dengan orang lain,
serta diwujudkan dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari
(2011:43).

4
Dewantara (25:2011) memandang karakter itu sebagai watak atau budi
pekerti. Budi pekerti adalah bersatunya antara gerak pikiran, perasaan, dan
kehendak atau kemauan, yang kemudian menimbulkan tenaga. Secara ringkas,
sebagai sifatnya jiwa.
manusia, mulai dari angan-angan hingga terjelma sebagai tenaga. Dengan adanya
budi pekerti, manusia akan menjadi pribadi yang merdeka sekaligus
berkepribadian, dan dapat mengendalikan diri sendiri Wibowo (13:2013). Sastra
dan karakter memiliki keterkaitan dalam membangun karakter positif karena
sastra bersifat instruksi moral dan karakter memuat nilai moral schingga melalui
sastra, karakter siswa dapat dibentuk.

2.3 Pembelajaran Satra Berbasis Karakter


Pembelajaran sastra harus secara aktif melibatkan peserta didik pada karya
sastra secara langsung. Pembelajaran harus menggali potensi yang ada dalam diri
peserta didik, membantu menemukan dan memecahkan masalah, membantu siswa
berpikir lebih baik sebagai penghasil ilmu daripada sekadar penerima pasif fakta
dan informasi. Jadi, pada prinsipnya pembelajaran yang bersifat menantang
mereka untuk melangkah lebih jauh daripada sekadar apa yang dapat diberi nilai
Bellanca (6:2011).

Pembelajaran sastra harus lebih mengutamakan pada pembentukan karakter


dengan memilih karya sastra yang mengandung nilai-nilai positif yang dapat
diinternalisasi dalam kepribadian peserta didik. Menurut Wibowo pemanfaatan
karya sastra secara reseptif sebagai media pendidikan karakter dapat dilakukan
dengan dua langkah yaitu 1) pemilihan bahan ajar, dan 2) pengelolaan proses
pembelajaran Wibowo (131:2013). Karya sastra yang dipilih sebagai bahan ajar
adalah karya sastra wama lokal, religius, dan multikulturalisme sehingga nilai-
nilai karakter terinternalisasi pada diri siswa atau mahasiswa. Pembelajaran sastra
dalam mata kuliah sastra harus bersifat local-based dan character-based.

Hal ini menjadi penting sebab pembelajaran bahasa adalah pembelajaran


karakter dan budaya sekaligus. Elangovan (34:2009) menemukan bahwa sastra
lokal telah memberikan latar belakang budaya yang memiliki kedekatan dengan
mahasiswa. Sastra lokal memberikan nuansa karakter yang lebih dekat dengan
mahasiswa sebab nilai-nilai yang terdapat di dalamnya adalah karakter yang

5
mereka kenal sehari-hari atau dekat dengan budaya mereka Piscayanti (80:2012).
Langkah berikutnya adalah pengelolaan proses pembelajaran. Dalam pengelolaan
proses pembelajaran, guru harus mengarahkan siswa dalam proses membaca karya
sastra untuk dapat menemukan nilai-nilai positif dari karya sastra yang mereka
baca. Dalam memilih karya sastra, tentu atas dasar bimbingan guru terutama
bacaan sastra yang mengandung nilai-nilai karakter bagi usia sekolah dasar.
Pembelajaran sastra secara ekspresif dapat dilakukan dengan mengarahkan
kemampuan siswa mengungkap makna karya sastra, dalam hal ini melalui
pendekatan sastra dengan memilih karya sastra yang bersifat mendidik.

Menurut Waryanti (34:2014) bahwa cara yang paling tepat dengan


menggunakan sistem pembelajaran sastra berbasis karakter yakni guru memilih
pilar-pilar karakter dengan memadukan topik-topik yang akan dibahas. Misalnya,
dalam pembahasan sastra akan dibicarakan tentang tema atau amanat, #maka guru
bisa memilih pilar, ketuhanan, tanggung jawab. kejujuran, dan sebagainya
kemudian guru memadukan tema- tema karya sastra yang bernuansa pilar-pilar
karakter tersebut. Demikian pula jika akan membahas unsur intrinsik yang lain
atau ekstrinsik guru sudah mempunyai ancangan pilar karakter apa yang
hendak ditanamkan.

Dalam menyampaikan materi guru dapat menggunakan teori DAP


(Developmentally Appropriate Praktice), teori multiple elegences (kecerdasan
majemuk), metode pembelajaran inquiry-based learning (pendekatan yang
merangsang daya minat anak dan cooperative learning (pendekatan belajar
kerjasama dalam kelompok). Dengan begitu, suasana belajar akan menyenangkan,
terutama penekanannya pada sentra sentra tema pilar pembentukan karakter.
Suasana belajar yang menyenangkan dapat mengurangi stress pada anak,
menambah motivasi, meningkatkan kompetensi anak, dan belajar lebih ada
bekasaya. Semua ini akan sangat mendukung pembentukan karakter anak (162-
2015).

Karya sastra dapat digunakan untuk membangun karakter melalui kegiatan


apresiasi, yaitu kegiatan mendalami cipta sastra dengan sungguh-sungguh sampai
menimbulkan pengertian, pengharapan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan
perasaan yang baik terhadap cipta sastra Effendi (82: 2019). Dalam kegiatan

6
apresiasi, siswa dituntut mengakrabi karya sastra. Siswa dituntut membaca karya
sastra sebanyak- hanyaknya baik prosa maupun puisi, sehingga akan
menumbuhkan berbagai nilai yang akan membentuk kebulatan pribadi yang utuh
Sarwadi (64-2019). Melalui pembelajaran sastra yang apresiatif, diharapkan akan
terbangun karakter yang kuat, sehingga siswa tidak mudah terpengaruh budaya
dari luar dan tindakan negatif. Agar usaha apresiasi terwujud dengan baik,
sebaiknya guru memberikan treatment kepada siswa sperti 1) peserta didik diberi
kebebasan untuk merespon: 2) peserta didik diberi kesempatan untuk
mempribadikan dan mengkristalkan pribadinya terhadap cipta sastra yang dibaca
dan dipelajarinya 3) guru berusaha menemukan butir-butir kontak di antara
peserta didik dan 4) peranan dan pengaruh guru harus merupakan daya dorong
terhadap penjelajahan yang inheren dalam sastra. Satu hal yang juga perlu
diperhatikan dalam apresiasi adalah materi ajar sebab materi ajar mempunyai
peranan besar dalam menentukan keberhasilan pembangunan karakter. Hal itu
sesuai dengan pandangan Reeves (127:2013) yang menyebutkan bahwa daya
edukasi sastra tidak terbatas jika pemilihan materi ajar dilakukan secara tepat, baik
darisegi Eled psikologis, lingkungan sosial budaya, intelectual, dan bahasa siswa
Lebih lanjut Sayuti mengemukakan bahwa jika kegiatan apresiasi itu tercapai,
para siswa akan mengutamakan membaca karya sastra yang bermanfaat bagi
perkembangan jiwa mereka.

2.4 Nilai-Nilai Karakter dan Penerapannya


IHF (dalam Megawangi, 2004:95) telah menyusun serangkaian nilai yang
selayaknya diajarkan kepada anak-anak, yang kemudian dirangkum menjadi 9
pilar karakter, yaitu: (1) cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya (love Allah, trust,
reverence, loyalty); (2) kemandirian dan tanggung jawab (responsibility,
excellence, self reliance, discipline, orderliness); (3) kejujuran/amanah, bijaksana
(trustworthiness, reliability, honesty); (4) hormat dan santun (respect, courtesy,
obedience); (5) dermawan, suka menolong, dan gotong royong (love, compassion,
caring, empathy, generousity, moderation, cooperation); (6) percaya diri, kreatif,
dan pekerja keras (confidence, assertiveness, creativity, resourcefulness, courage,
determination, and enthusiasm); (7) kepemimpinan dan keadilan (justice, fainess,
mercy, leadhership); (8) baik dan rendahhati (kindness, friendliness, humility,

7
modesty); (9) toleransi, kedamaian, dan kesatuan (tolerance, flexibility,
peacefulness, unity).
Penerapan dalam penanaman karakter tersebut hendaknya disesuaikan
dengan tahap-tahap perkembangan moral anak. Lickona (dalam Megawangi
2004:132) memformulasikan perkembangan moral anak dengan mengadopsi teori-
teori yang dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg, William Damon, dan Robert
Selmon menjadi 6 fase perkembangan moral : (1) Fase Bayi: Fase membangun
fondasi moral. Bayi belum mengetahui moral, baik dan buruk, sehingga peran
orang tua sangat besar; (2) Fase 1: Berpikir Egosentris (Self-oriented Morality).
Fase ini berkisar antara anak berumur 1 sampai 4½ tahun. Pada masa ini anak mau
berbuat baik kalau ada insentif (hadian dan pujian), dan takut mendapatkan
hukuman kalau bersalah; (3) Fase 2: Patuh tanpa syarat (authority-oriented
morality).Fase ini anak berumuer 4½ sampai 6 tahun. Pada tahap ini anak sangat
patuh kepada orang tua dan guru. Tanda yang lain, anak mulai peduli kepada
orang lain tetapi masih dalam konteks ‚apa yang ingin diperoleh‛; (4) Fase 3:
Memenuhi harapan lingkungan (Peer-oriented Morality). Fase ini berjalan sampai
anak usia 12 (atau 14) tahun atau usia SD. Pada masa ini anak mengembangkan
keterampilan gerak dan terkoordinasi; (5) Fase 4: Fase ingin menjaga kelompok
(Collective-Oriented Morality). Pada masa ini berkisar umur 15 sampai 19 tahun
atau masa remaja. Pada tahap ini anak sudah mengetahui tanggung jawab sosial.
Fase 5: Moralitas tidak berpihak (Objectively Oriented Morality). Pada tahap ini
manusia sangat menghargai hak asasi manusia sehingga tidak mudah terprovokasi.
Tahap-tahap perkembangan kejiwaan anak di atas sangat erat dengan
pemilihan dan pengembangan bahan ajar kesusastraan dan metode yang dipilih.
Pemilihan dan pengembahan bahan ajar hendaknya disesuaikan dengan tingkat
umur atau kejiwaan anak, cerita yang dekat dengan lingkungannya, dan pesan-
pesan moral yang sesuai dengan jati dirinya. Demikian pula alternatif metode
terbaik dalam pembelajaran sastra adalah metode kontekstual, yakni metode yang
sesuai dengan tingkat umur, kegemaran, kebiasaan, dan lingkungan siswa.

2.5 Kontribusi Sastra dalam Pembentukan Karakter


Sastra merupakan karya yang sarat dengan keindahan sangat berpeluang
sebagai sumber energi yang menggerakkan dalam proses pembentukan karakter

8
siswa. Karya sastra memiliki dua formula padu yang sangat mendukung dalam
merekonstruksi karakter siswa seperti yang dikemukakan Horace atau Horatio
(Wellek, 1992: 5) yakni dulce et utile, menyenangkan dan bermanfaat.
Menyenangkan karena karya sastra memberikan kenikmatan, hiburan, sebagai
wujud pantulan dari karya seni dan bermanfaat karena karya sastra memberikan
wawasan dan pengalaman hidup. Sastra adalah bentuk lain dari kehidupan itu
sendiri.
Ketika siswa membaca karya sastra, pasti ada tokoh yang diidolakan.
Tokoh ini akan menjadi pahlawan pada dirinya dan selanjutnya mengaktualisasi
dalam diri siswa yang berkolaborasi dengan sikap dan perilakunya. Di samping itu,
dalam sastra juga ada amanat, yakni pesan pengarang yang akan disampaikan
melalui karyanya. Melalui amanat ini, siswa akan memperoleh pembelajaran,
karakter mana yang pantas dicontoh dan karakter mana yang tidak perlu diteladani.
Disinilah peran sastra untuk memberikan sumber energi dalam membentuk
karakter siswa. Sastra sebagai sumber inspirasi dan sekaligus motivasi dalam
merekonstruksi kepribadian siswa.
Berkaitan dengan hal tersebut Latif (2009:84), menjelaskan beberapa
negara memberikan contoh yang baik tentang pendidikan karakter berbasis
kesastraan ini. Di Inggris, puisi-puisi Shakespeare menjadi bacaan wajib sejak
sekolah dasar dalam rangka menanamkan tradisi etik dan kebudayaan masyarakat
tersebut. Di Swedia, aneka spanduk dibentangkan di hari raya berisi kutipan dan
karya-karya kesusastraan. Di Perancis, sastrawan-sastrawan agung menghuni
pantheon; jejak-jejak singgahnya di beberapa tempat diberi tanda khusus.
Menurut Lazar (dalam Latif, 2009:85) pengaruh kesusastraan terhadap
kehidupan tak bisa diremehkan. Tokoh-tokoh dalam karya fiksi kerapkali
mempengaruhi hidup, standar moral masyarakat, mengobarkan revolusi, dan
bahkan mengubah dunia. Kisah Rosie the Riveter, yang melukiskan sepak terjang
seorang pekerja pabrik kerah-biru menjadi pengungkit bagi Women’s Liberation
Movement. Kisah Siegfried, ksatria pahlawan legendaris dan nasionalisme
Teutonik, bertanggung jawab mengantarkan Jerman pada perang dunia kedua.
Kisah Barbie, boneka molek, yang menjadi role model bagi jutaan gadis-gadis
cilik, dengan memberikan standar gaya dan kecantikan. Belum lagi kalau kita
bicara pengaruh yang ditimbulkan oleh karya-karya Homer, Goethe hingga

9
Ranggawarsita, yang memberi dampak yang luas bagi lifeword masyarakatnya
masing-masing.
Jadi sudah tidak diragukan lagi pembelajaran sastra dapat memberikan
sumbangan terhadap pembentukan karakter siswa. Dengan membaca karya sastra
siswa akan mengidentifikasikan peristiwa yang dialami tokoh yang diidolakan dan
Jurnal Buana Bastra Tahun 2, No. 2. Agustus 2015 162 selanjutnya menjadi
pandangan hidupnya. Sebaliknya, tokoh yang berwatak buruk akan berusaha
dibencinya dan menggiring pribadi siswa untuk menjahui. Siswa membaca sastra
berarti siswa membaca kehidupannya sendiri. Peluang ini juga sangat berkaitan
dengan strategi guru dalam mengemas materi pelajaran sastra dengan cara yang
menarik.

10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam pembelajaran di sekolah pembentukan karakter dapat diselipkan dalam setiap
mata pelajaran, termasuk pembelajaran sastra. Karya sastra yang merupakan bentuk
kehidupan dalam dunia bahasa sangat berpeluang dalam membentuk karakter siswa.
Melalui tokoh-tokoh idola, karakter tokoh dalam karya sastra dapat mentransormasikan
nilai-nilai karakter pada siswa. Dalam penerapannya, guru harus melihat keterkaitan
materi sastra dengan tingkat kemampuan, umur, dan lingkungan siswa. Siswa yang
berada di kota, dalam pemilihan materi sastra tentu akan berbeda dengan siswa yang
berdomisili di desa. Karya sastra dengan corak warna lokal akan lebih baik diberikan
terlebih dahulu sebelum memperkenalkan sastra yang bernuansa nasional atau
universal. Dalam sastra warna lokal juga banyak mengumandangkan karakter yang
dapat ditransformasikan kepada siswa.

Namun, pembelajaran sastra berbasis karakter akan lebih strategis jika ada dukungan
dari sekolah, terutama kepala sekolah sehingga dapat membentuk suatu komunitas
pembelajaran setiap mata pelajaran berbasis karakter. Pembentukan karakter siswa
bukan upaya yang insidentiil tetapi merupakan usaha yang secara terus-menerus
hingga menjadi kebiasaan. Karakter adalah sebuah akumulasi kebiasaan yang
dilakukan seseorang hingga orang itu memiliki kesadaran diri. Karakter adalah hasil
dari renungan baik buruk, hasil bergaul dengan orang lain dengan penuh kesadaran,
dan perbuatan baik yang tidak semata-mata untuk kepentingannya sendiri. Manusia
yang baik adalah manusia yang berkarakter.

3.2 Saran
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi bagi para guru bahwa
keberhasilan siswa dalam belajar matematika bukan hanya bergantung dari aspek
kognitif, melainkan juga dipengaruhi oleh pola interaksi yang terjadi antara siswa
untuk membangun kepercayaan diri dan membentuk pribadi yang loyal terhadap
interaksi sosial serta menanamkan nilai-nilai saling ketergantungan positif.

11
DAFTAR PUSTAKA

Setyawan Arief dkk. 2017. Muatan Pendidikan Karakter Dalam Cetita Rakyat. Pacitan:
Jurnal Pendidikan Karakter VII
Widianti, Ande Wina. 2017. Kajian Ekologi Sastra Dalam Kumpulan Cerpen. Kompas
2014 Vol 1
Departemen Pendidikan Nasional. 2009. Kurikulum Berbasis Kompetensi Sekolah
Menengah Atas (SMA) Mata pelajaran Bahasa dan sastra Indonesia.
Jakarta.
Latif, Yudi. 2009. Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan.
Jakarta: Buku Kompas.
Lantowa, Jafar. 2020. Pembelajaran Sastra Berbasis Karakter. Gorontalo: Riksaba Hasa
Article.
Sagala, D. I. S., Akhiriani, W., & Nasution, M. A. (2022). Pembelajaran Sastra Berbasis
Karakter l. Sumatera Utara. Jurnal Multidisiplin Dehasen (MUDE)

Anda mungkin juga menyukai