Dosen Pengampu :
Yasinta Mahendra, M.Pd.
Kelompok 9
Nabila Salsabila 20862060
Nur Az Zahra 2086206077
Urfania Diah Ramadani 2086206065
Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan kasih dan sayangnya
sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “Pembelajaran Sastra Berbasis
Karakter“. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepadanya baginda Nabi
besar kita Muhammad SAW, yang telah membawa kita dalam alam yang gelap gulita
menuju alam yang terang-benderang.
Makalah ini disusun guna memenuhi salah satu syarat penyelesaian tugas mata kuliah
Pengembangan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SD.
Pada dasarnya kami sebagai manusia tidak luput segala kesalahan yang dilakukan,
kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran
dan kritik dari semua pihak sangat kami harapkan guna kesempurnaan makalah ini
nantinya. Akhirnya hanya kepada Allah SWT kita kembalikan semua urusan dan semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penyusun dan para
pembaca pada umumnya. Semoga Allah SWT meridhoi dan dicatat sebagai ibadah
disisinya, aamiinyaarobbal alamin.
Penulis.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah.................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................2
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
ini para pendidik saat mengajarkan materi cerita rakyat hanya sebatas pada isi cerita dan
tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya sehingga metode seperti ini sudah seharusnya
dicermati kembali agar pembelajaran sastra kedepannya akan lebih menarik dan
menyenangkan. Dengan adanya pembelajaran sastra berbasis ekologis peserta didik
dituntut untuk menemukan pesan yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dan
lingkungannya dalam cerita tersebut. Hal ini tentunya sangat bermanfaat bagi peserta didik
agar mereka tahu tentang pentingnya menjaga lingkungan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pendahuluan
Pengajaran sastra memiliki pertautan erat dengan pendidikan karakter,
karena pengajaran sastra dan sastra pada umumnya, secara hakiki membicarakan
nilai hidup dan kehidupan yang mau tidak mau berkaitan langsung dengan
pembentukan karakter manusia. Sastra dalam pendidikan karakter bisa berperan
mengembangkan aspek kognitif. afektif. psikomotorik. mengembangkan
kepribadian dan mengembangkan pribadi sosial Wibowo (19:2013). Sastra dalam
pendidikan karakter sesuai dengan harapan kurikulum 2013 yang lebih
mengedepankan aspek sikap dalam pembentukan karakter siswa. Pembelajaran
pula lebih ke arah pendekatan saintifik yang membutuhkan keaktifan siswa dalam
berpikir dan menemukan hal-hal yang baru serta menumbuhkan kreatifitas siswa.
3
karena sastra yang baik adalah sastra yang ditulis dengan penuh kejujuran,
kebeningan, kesungguhan. kearifan, dan keluhuran nurani manusia.
4
Dewantara (25:2011) memandang karakter itu sebagai watak atau budi
pekerti. Budi pekerti adalah bersatunya antara gerak pikiran, perasaan, dan
kehendak atau kemauan, yang kemudian menimbulkan tenaga. Secara ringkas,
sebagai sifatnya jiwa.
manusia, mulai dari angan-angan hingga terjelma sebagai tenaga. Dengan adanya
budi pekerti, manusia akan menjadi pribadi yang merdeka sekaligus
berkepribadian, dan dapat mengendalikan diri sendiri Wibowo (13:2013). Sastra
dan karakter memiliki keterkaitan dalam membangun karakter positif karena
sastra bersifat instruksi moral dan karakter memuat nilai moral schingga melalui
sastra, karakter siswa dapat dibentuk.
5
mereka kenal sehari-hari atau dekat dengan budaya mereka Piscayanti (80:2012).
Langkah berikutnya adalah pengelolaan proses pembelajaran. Dalam pengelolaan
proses pembelajaran, guru harus mengarahkan siswa dalam proses membaca karya
sastra untuk dapat menemukan nilai-nilai positif dari karya sastra yang mereka
baca. Dalam memilih karya sastra, tentu atas dasar bimbingan guru terutama
bacaan sastra yang mengandung nilai-nilai karakter bagi usia sekolah dasar.
Pembelajaran sastra secara ekspresif dapat dilakukan dengan mengarahkan
kemampuan siswa mengungkap makna karya sastra, dalam hal ini melalui
pendekatan sastra dengan memilih karya sastra yang bersifat mendidik.
6
apresiasi, siswa dituntut mengakrabi karya sastra. Siswa dituntut membaca karya
sastra sebanyak- hanyaknya baik prosa maupun puisi, sehingga akan
menumbuhkan berbagai nilai yang akan membentuk kebulatan pribadi yang utuh
Sarwadi (64-2019). Melalui pembelajaran sastra yang apresiatif, diharapkan akan
terbangun karakter yang kuat, sehingga siswa tidak mudah terpengaruh budaya
dari luar dan tindakan negatif. Agar usaha apresiasi terwujud dengan baik,
sebaiknya guru memberikan treatment kepada siswa sperti 1) peserta didik diberi
kebebasan untuk merespon: 2) peserta didik diberi kesempatan untuk
mempribadikan dan mengkristalkan pribadinya terhadap cipta sastra yang dibaca
dan dipelajarinya 3) guru berusaha menemukan butir-butir kontak di antara
peserta didik dan 4) peranan dan pengaruh guru harus merupakan daya dorong
terhadap penjelajahan yang inheren dalam sastra. Satu hal yang juga perlu
diperhatikan dalam apresiasi adalah materi ajar sebab materi ajar mempunyai
peranan besar dalam menentukan keberhasilan pembangunan karakter. Hal itu
sesuai dengan pandangan Reeves (127:2013) yang menyebutkan bahwa daya
edukasi sastra tidak terbatas jika pemilihan materi ajar dilakukan secara tepat, baik
darisegi Eled psikologis, lingkungan sosial budaya, intelectual, dan bahasa siswa
Lebih lanjut Sayuti mengemukakan bahwa jika kegiatan apresiasi itu tercapai,
para siswa akan mengutamakan membaca karya sastra yang bermanfaat bagi
perkembangan jiwa mereka.
7
modesty); (9) toleransi, kedamaian, dan kesatuan (tolerance, flexibility,
peacefulness, unity).
Penerapan dalam penanaman karakter tersebut hendaknya disesuaikan
dengan tahap-tahap perkembangan moral anak. Lickona (dalam Megawangi
2004:132) memformulasikan perkembangan moral anak dengan mengadopsi teori-
teori yang dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg, William Damon, dan Robert
Selmon menjadi 6 fase perkembangan moral : (1) Fase Bayi: Fase membangun
fondasi moral. Bayi belum mengetahui moral, baik dan buruk, sehingga peran
orang tua sangat besar; (2) Fase 1: Berpikir Egosentris (Self-oriented Morality).
Fase ini berkisar antara anak berumur 1 sampai 4½ tahun. Pada masa ini anak mau
berbuat baik kalau ada insentif (hadian dan pujian), dan takut mendapatkan
hukuman kalau bersalah; (3) Fase 2: Patuh tanpa syarat (authority-oriented
morality).Fase ini anak berumuer 4½ sampai 6 tahun. Pada tahap ini anak sangat
patuh kepada orang tua dan guru. Tanda yang lain, anak mulai peduli kepada
orang lain tetapi masih dalam konteks ‚apa yang ingin diperoleh‛; (4) Fase 3:
Memenuhi harapan lingkungan (Peer-oriented Morality). Fase ini berjalan sampai
anak usia 12 (atau 14) tahun atau usia SD. Pada masa ini anak mengembangkan
keterampilan gerak dan terkoordinasi; (5) Fase 4: Fase ingin menjaga kelompok
(Collective-Oriented Morality). Pada masa ini berkisar umur 15 sampai 19 tahun
atau masa remaja. Pada tahap ini anak sudah mengetahui tanggung jawab sosial.
Fase 5: Moralitas tidak berpihak (Objectively Oriented Morality). Pada tahap ini
manusia sangat menghargai hak asasi manusia sehingga tidak mudah terprovokasi.
Tahap-tahap perkembangan kejiwaan anak di atas sangat erat dengan
pemilihan dan pengembangan bahan ajar kesusastraan dan metode yang dipilih.
Pemilihan dan pengembahan bahan ajar hendaknya disesuaikan dengan tingkat
umur atau kejiwaan anak, cerita yang dekat dengan lingkungannya, dan pesan-
pesan moral yang sesuai dengan jati dirinya. Demikian pula alternatif metode
terbaik dalam pembelajaran sastra adalah metode kontekstual, yakni metode yang
sesuai dengan tingkat umur, kegemaran, kebiasaan, dan lingkungan siswa.
8
siswa. Karya sastra memiliki dua formula padu yang sangat mendukung dalam
merekonstruksi karakter siswa seperti yang dikemukakan Horace atau Horatio
(Wellek, 1992: 5) yakni dulce et utile, menyenangkan dan bermanfaat.
Menyenangkan karena karya sastra memberikan kenikmatan, hiburan, sebagai
wujud pantulan dari karya seni dan bermanfaat karena karya sastra memberikan
wawasan dan pengalaman hidup. Sastra adalah bentuk lain dari kehidupan itu
sendiri.
Ketika siswa membaca karya sastra, pasti ada tokoh yang diidolakan.
Tokoh ini akan menjadi pahlawan pada dirinya dan selanjutnya mengaktualisasi
dalam diri siswa yang berkolaborasi dengan sikap dan perilakunya. Di samping itu,
dalam sastra juga ada amanat, yakni pesan pengarang yang akan disampaikan
melalui karyanya. Melalui amanat ini, siswa akan memperoleh pembelajaran,
karakter mana yang pantas dicontoh dan karakter mana yang tidak perlu diteladani.
Disinilah peran sastra untuk memberikan sumber energi dalam membentuk
karakter siswa. Sastra sebagai sumber inspirasi dan sekaligus motivasi dalam
merekonstruksi kepribadian siswa.
Berkaitan dengan hal tersebut Latif (2009:84), menjelaskan beberapa
negara memberikan contoh yang baik tentang pendidikan karakter berbasis
kesastraan ini. Di Inggris, puisi-puisi Shakespeare menjadi bacaan wajib sejak
sekolah dasar dalam rangka menanamkan tradisi etik dan kebudayaan masyarakat
tersebut. Di Swedia, aneka spanduk dibentangkan di hari raya berisi kutipan dan
karya-karya kesusastraan. Di Perancis, sastrawan-sastrawan agung menghuni
pantheon; jejak-jejak singgahnya di beberapa tempat diberi tanda khusus.
Menurut Lazar (dalam Latif, 2009:85) pengaruh kesusastraan terhadap
kehidupan tak bisa diremehkan. Tokoh-tokoh dalam karya fiksi kerapkali
mempengaruhi hidup, standar moral masyarakat, mengobarkan revolusi, dan
bahkan mengubah dunia. Kisah Rosie the Riveter, yang melukiskan sepak terjang
seorang pekerja pabrik kerah-biru menjadi pengungkit bagi Women’s Liberation
Movement. Kisah Siegfried, ksatria pahlawan legendaris dan nasionalisme
Teutonik, bertanggung jawab mengantarkan Jerman pada perang dunia kedua.
Kisah Barbie, boneka molek, yang menjadi role model bagi jutaan gadis-gadis
cilik, dengan memberikan standar gaya dan kecantikan. Belum lagi kalau kita
bicara pengaruh yang ditimbulkan oleh karya-karya Homer, Goethe hingga
9
Ranggawarsita, yang memberi dampak yang luas bagi lifeword masyarakatnya
masing-masing.
Jadi sudah tidak diragukan lagi pembelajaran sastra dapat memberikan
sumbangan terhadap pembentukan karakter siswa. Dengan membaca karya sastra
siswa akan mengidentifikasikan peristiwa yang dialami tokoh yang diidolakan dan
Jurnal Buana Bastra Tahun 2, No. 2. Agustus 2015 162 selanjutnya menjadi
pandangan hidupnya. Sebaliknya, tokoh yang berwatak buruk akan berusaha
dibencinya dan menggiring pribadi siswa untuk menjahui. Siswa membaca sastra
berarti siswa membaca kehidupannya sendiri. Peluang ini juga sangat berkaitan
dengan strategi guru dalam mengemas materi pelajaran sastra dengan cara yang
menarik.
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam pembelajaran di sekolah pembentukan karakter dapat diselipkan dalam setiap
mata pelajaran, termasuk pembelajaran sastra. Karya sastra yang merupakan bentuk
kehidupan dalam dunia bahasa sangat berpeluang dalam membentuk karakter siswa.
Melalui tokoh-tokoh idola, karakter tokoh dalam karya sastra dapat mentransormasikan
nilai-nilai karakter pada siswa. Dalam penerapannya, guru harus melihat keterkaitan
materi sastra dengan tingkat kemampuan, umur, dan lingkungan siswa. Siswa yang
berada di kota, dalam pemilihan materi sastra tentu akan berbeda dengan siswa yang
berdomisili di desa. Karya sastra dengan corak warna lokal akan lebih baik diberikan
terlebih dahulu sebelum memperkenalkan sastra yang bernuansa nasional atau
universal. Dalam sastra warna lokal juga banyak mengumandangkan karakter yang
dapat ditransformasikan kepada siswa.
Namun, pembelajaran sastra berbasis karakter akan lebih strategis jika ada dukungan
dari sekolah, terutama kepala sekolah sehingga dapat membentuk suatu komunitas
pembelajaran setiap mata pelajaran berbasis karakter. Pembentukan karakter siswa
bukan upaya yang insidentiil tetapi merupakan usaha yang secara terus-menerus
hingga menjadi kebiasaan. Karakter adalah sebuah akumulasi kebiasaan yang
dilakukan seseorang hingga orang itu memiliki kesadaran diri. Karakter adalah hasil
dari renungan baik buruk, hasil bergaul dengan orang lain dengan penuh kesadaran,
dan perbuatan baik yang tidak semata-mata untuk kepentingannya sendiri. Manusia
yang baik adalah manusia yang berkarakter.
3.2 Saran
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi bagi para guru bahwa
keberhasilan siswa dalam belajar matematika bukan hanya bergantung dari aspek
kognitif, melainkan juga dipengaruhi oleh pola interaksi yang terjadi antara siswa
untuk membangun kepercayaan diri dan membentuk pribadi yang loyal terhadap
interaksi sosial serta menanamkan nilai-nilai saling ketergantungan positif.
11
DAFTAR PUSTAKA
Setyawan Arief dkk. 2017. Muatan Pendidikan Karakter Dalam Cetita Rakyat. Pacitan:
Jurnal Pendidikan Karakter VII
Widianti, Ande Wina. 2017. Kajian Ekologi Sastra Dalam Kumpulan Cerpen. Kompas
2014 Vol 1
Departemen Pendidikan Nasional. 2009. Kurikulum Berbasis Kompetensi Sekolah
Menengah Atas (SMA) Mata pelajaran Bahasa dan sastra Indonesia.
Jakarta.
Latif, Yudi. 2009. Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan.
Jakarta: Buku Kompas.
Lantowa, Jafar. 2020. Pembelajaran Sastra Berbasis Karakter. Gorontalo: Riksaba Hasa
Article.
Sagala, D. I. S., Akhiriani, W., & Nasution, M. A. (2022). Pembelajaran Sastra Berbasis
Karakter l. Sumatera Utara. Jurnal Multidisiplin Dehasen (MUDE)