Disusun oleh:
Kelompok X Kelas II A
UNIVERSITAS PASUNDAN
2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur marilah kita panjatkan kepada Allah SWT. Semoga sholawat dan salam
selalu terlimpah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Beserta keluarga, sahabatnya,
dan kita semua sebagai umat yang ta’at dan turut terhadap ajaran yang dibawanya.
Makalah ini yang diberi judul tentang “ Pendidikan konsep dasar Indonesia”. Tujuan dari
penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Arifiin Ahmad, S.Pd., M.pd. pada mata
kuliah Konsep Dasar Bahasa Indonesia. Saya harap semoga makalah ini bermanfaat dan
memenuhi harapan berbagai pihak.
Dalam pembuatan makalah ini penulis menyadari masih banyak kekurangan dan masih
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saya mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.Terlepas dari kekurangan makalah ini, saya berharap semoga
makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan menjadikan makalah ini dapat diimplamentasikan
dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
A. Latar Belakang................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................................ 1
C. Tujuan.............................................................................................................. 1
A. Kesimpulan....................................................................................................... 17
B. Saran………………………………………………………………………… 17
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................ 18
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Apresiasi bukanlah pengetahuan sastra yang harus dihafalkan, melainkan bentuk aktivitas
jiwa. Artinya, dalam mengapresiasi, siswa tidak sekedar mengambil informasi yang berkaitan
dengan isi atau mencari beberapa simpulan logis. Melalui apresiasi sastra idealnya siswa dapat
mengindra atau merasakan kehadiran pelaku, peristiwa, suasana, dan gambaran obyek secara
imajinatif. Lebih dari itu, menurut apresiasi harus mencakup tanggapan emosional pada isi cerita,
tanggapan pada pelaku atau peristiwa, dan perasaan siswa dalam merasakan/ menikmati gaya
bahasa pengarang cerita.
Dalam dunia pendidikan kajian sastra mampu memberikan sumbangsih yang cukup besar
dalam pola kebudayaan, sejarah, sosial dan dalam sastra itu sendiri, sebab Sastra mampu
menjawab terhadap apa yang pernah ada di muka bumi, karena sastra berasal dari hasil
pengamatan tentang apa yang terjadi disekelilingnya sebagai opini yang mesti di ungkapkan serta
hasil dari akibat pengalaman bathin. Sastra adalah hasil dari olah pikir rasa dan karsa manusia
sehingga sastra mengandung nilai estetika yang tinggi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Hakikat pembelajaran sastra?
2. Apa Tujuan Pembelajaran Sastra di SD?
3. Bagaiamana Pemilihan Bahan Sastra untuk siswa SD?
4. Apa Konsep Dasar dan Manfaat Sastra Dalam Pendidikan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu Hakikat pembelajaran sastra
2. Untuk mengetahui tujuan dari pembelajaran sastra di SD
3. Untuk mengetahui pemilihan bahan sastra untuk siswa SD
4. Untuk mengetahui konsep dasar dan manfaat dari sastra dalam pendidika
1
BAB II
PEMBAHASAN
Pembelajaran sastra di SD adalah Pembelajaran sastra anak. Sastra anak adalah karya
sastra yang secara khusus dapat dipahami oleh anak-anak dan berisi tentang dunia yang akrab
dengan anak-anak, yaitu anak yang berusia antara 6-13 tahun. Sifat sastra anak adalah imajinasi
semata, bukan berdasarkan pada fakta. Unsur imajinasi ini sangat menonjol dalam sastra anak.
Hakikat sastra anak harus sesuai dengan dunia dan alam kehidupan anak-anak yang khas milik
mereka dan bukan milik orang dewasa. Sastra anak bertumpu dan bermula pada penyajian nilai
dan imbauan tertentu yang dianggap sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupan.
Dan pernyataan pembelajaran sastra tersebut dapat dilihat bahwa kegiatan apresiasi
menjadi tujuan utama, sedangkan perangkat pengetahuan sastra diperlukan untuk menunjang
terwujudnya apresiasi dan pembelajaran bahasa secara umum. Dengan demikian yang harus
terjadi dalam pembelajaran sastra ialah kegiatan apresiasi sastra bukan hanya sekedar
pengetahuan teori sastra. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Huck dkk. (1987) bahwa
pembelajaran sastra di SD harus memberi pengalaman pada murid yang akan berkontribusi pada
empat tujuan sebagai berikut:
2
a. Menumbuhkan kesenangan pada buku
d. Mengembangkan apresiasi.
Fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Komunikasi yang dimaksud adalah suatu
proses menyampaikan maksud kepada orang lain dengan menggunakan saluran tertentu.
Komunikasi bisa berupa pengungkapan pikiran, gagasan, ide, pendapat, persetujuan, keinginan,
penyampaian informasi suatu peristiwa. Hal itu disampaikan dalam aspek kebahasaan berupa
kata, kalimat, paragrap atau paraton, ejaan dan tanda baca dalam bahasa tulis, serta unsur-unsur
prosodi (intonasi, nada, irama, tekanan, dan tempo) dalam bahasa lisan.
Whole Language Approach adalah suatu pendekatan terhadap pembelajaran bahas secara
utuh. Artinya, dalam pengajaran bahasa kita mengajarkannya secara kontektual, logis, kronologis
dan komunikatif serta menggunakan seting yang riil dan bermakna. Pendekatan Whole Language
Approach terdapat hubungan yang interaktif antara yang mendengarkan dan yang berbicara,
antara yang membaca dan yang menulis. Belajar bahasa harus terinteraksi ke dalam bahan
terpisah dari semua aspek kurikulum. Artinya, pembelajaran bahasa yang terpadu dengan
perkembangan motorik, sosial, emosional, dan kognitif juga pengalaman anak, media dan
lingkungan anak.
3
3. Pembelajaran aktif, kreatif, efektif, menyenangkan (PAKEM/Joyfull
Learning)
PAKEM adalah pembelajaran yang menciptakan variasi kondisi eksternal dan internal
dengan melibatkan siswa secara aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan sehingga pembelajaran
lebih bermakna.
Dalam hal ini perlu diciptakan suasana yang demokratis dan tidak ada beban baik bagi
guru maupun siswa dalam melakukan proses pembelajaran. Untuk mewujudkan proses
pembelajaran yang menyenangkan guru harus mampu merancang pembelajaran dengan baik,
memilih materi yang tepat, serta memilih dan mengembangkan strategi yang dapat melibatkan
siswa secara langsung dan optimal.
b. Prinsip Kontektual
1) Konstruktivisme
2) Bertanya
3) Inkuiri
4) Masyarakat belajar
5) Pemodelan
6) Penilaian sebenarnya.
c. Prinsip Apresiatif
4
d. Prinsip Humanisme, Rekontruksionalisme dan Progresip.
Manusia secara fitrah memiliki bekal yang sama dalam upaya memahami sesuatu. Implikasi
wawasan ini terhadap kegiatan pengajaran bahasa indonesia adalah:
2) Siswa disikapi sebagai subjek belajar yang secara kreatif mampu menemukan
pemahaman sendiri
3) Dalam proses belajar mengajar guru lebih banyak bertindak sebagai model
a. Teman
b. Pendamping
c. Pemotivasi
d. Fasilitator
Perilaku manusia dilandasi motif dan minat tertentu. Impliklasi dari wawasan terasebut
dalam kegiatan pengajaran bahasa Indonesia adalah:
2) Dalam kegiatan belajarnya siswa harus menyadari manfaat penguasaan isi pembelajaran
bagi kehidupannya
a. Perkembangan
b. Pengalaman
c. Pengetahuan pembelajaran.
Manusia selain memiliki kesamaan juga memilliki kekhasan. Implikasi wawasan dalam
kegiatan pengajaran bahasa Indonesia:
1) Layanan pembelajaran selain bersifat klasikal dan kelompok juga bersifat individual
2) Pembelajaran selain ada yang dapat menguasai materi pembelajaran secara cepat juga ada
yang lambat
5
3) Pembelajaran perlu disikapi sebagai subyek yang unik, baik menyangkut proses merasa,
berpikir dan karakteristik individual sebagai hasil bentukan
a. Lingkungan
b. Keluarga
c. Teman bermain
1. Persiapan Pembelajaran
Tahap persiapan pembelajaran apresiasi sastra anak di sekolah dasar bagi seorang guru
dapat menyangkut dengan dirinya, yaitu :
2) Persiapan mental.
Bahan ajar dapat diperoleh dari buku-buku bacaan sastra anak di perpustakaan sekolah,
perpustakaan pemerintah daerah, took buku ataupun buku pelajaran sekolah yang sudah tersedia.
Namun apabila belum tersedia dalam buku pelajaran sekolah, seorang guru harus mencarinya ke
tempat-tempat tersebut. Bahan ajar harus sesuai dengan anak didik sehingga pertimbangan usia
anak didik menjadi pilihan utama. Keberagaman tema, keberagaman pengarang, dan bobot atau
mutu karya sastra yang akan dijadikan bahan ajar juga menjadi pertimbangan yang matang.
Menentukan metode harus disesuaikan dengan kemampuan guru dan kebutuhan serta kesesuaian
dengan keadaan siswa.
6
Beberapa metode untuk pembelajaran apresiasi sastra anak di sekolah dasar yang
sekiranya cocok dapat digunakan, antara lain:
1) Metode berkisah
2) Metode pembacaan
3) Metode peragaan
5) Metode penugasan
Metode berkisah dapat diberikan oleh bapak atau ibu guru didepan kelas dengan
membawakan sebuah kisah. Secara lisan metode berkisah dapat disampaikan selama 15-25 menit
untuk menarik perhatian siswa. Metode berkisah tidak sama dengan metode berceramah. Kisah
tidak semata-mata disampaikan monoton dengan narasi, tetapi perlu selingan dialog dan humor
dengan suara yang berubah-ubah.
Metode pembacaan perlu diberikan kepada siswa untuk melatih vocal. Pembacaan puisi
dengan suara nyaring kan lebih menarik. Dalam melaksanakan metode pembacaan ini perlu
diperhatikan irama, intonasi, lagu kalimat, jeda, dan nada dngan tinggi rendahnya suara atau
panjajng pendeknya suara.
Pada awalnya metode peragaan lebih cenderung diberikan oleh guru untuk
memperagakan gerakan-gerakan yang tersirat dalam teks sastra anak. Metode peragaan ini
hampir sama dengan metode demonstrasi yang mengombinasikan teknik lisan dengan suatu
perbuatan. Gerak raut wajah dan ucapan seorang ketika sedang marah tentu berbeda dengan raut
wajah dan ucapan seseorang yang sedang dirundung kesedihan. Tutur kata, raut muka, dan
gerakan badan seorang tokoh dapat diperagakan oleh guru di depan muridnya.
Metode Tanya-jawab dapat diberikn setelah terlebih dahulu siswa ikut terlibat dalam
apresiasi sastra anak secara langsung. Artinya dapat dapat diajukan oleh seorang guru kepada
siswanya setelah siswa itu membaca, mendengar atau menonton pertunjukan pentas sastra.
2. Pelaksanaan Pembelajaran
Pelaksanaan pembelajaran apresiasi sastra anak di sekolah dasar dapat dimulai dari
kegiatan pra-KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) hingga KBM di kelas. Kegiatan pra-KBM dapat
dilakukan dengan memberi salinan atau kopi teks sastra, diberi tugas membaca, menghafalkan,
meringkas atau mencatat dan menemukan arti kata-kata sukar yang terdapat dalam teks sastra.
KBM di kelas dapat dilakukan dengan memberi tugas membaca sajak, membaca cerita,
7
berdeklamasi atau mendongeng di depan kelas, Setelah itu baru diadakan tanya jawab,
menuliskan pendapat, dan berdiskusi bersama merumuskan isi, tema, dan amanat.
3. Evaluasi Pembelajaran.
Evaluasi pembelajaran apresiasi sastra itu hendaknya mengandung tiga komponen dasar
evaluasi, yaitu :
a. Kognisi
b. Afeksi
c. Keterampilan
1) Penilaian prosedur, yang meliputi penilaian proses belajar dan penilaian hasil belajar
2) Instrumen atau alat penilaian, yang meliputi tanya jawab, penugasan, esai tes dan pilihan
ganda.
Oleh karena itu, evaluasi harus dijelaskan komponen dasar yang akan dievaluasi, artinya
harus jelas aspek-aspek yang akan dievaaluasi.
1) Tanya jawab
2) Penugasan
3) Esai Tes
4) Pilihan Ganda
8
perhatian dari para penikmat seni. Sebagai salah satu seni, sastra memiliki konsep dasar yang
menjadikan sastra berbeda dengan seni lainnya. Ada empat konsep yang akan dibahas dalam
perkuliahan ini, yaitu:
1. Kaidah sastra
2. Ciri-ciri sastra
4. Wilayah kesusastraan.
1. Kaidah Sastra
Waluyo, (1994: 56-58) mengatakan bahwa kaidah sastra atau daya tarik sastra terdapat
pada unsur-unsur karya sastra tersebut. Pada karya cerita fiksi, daya tariknya terletak pada unsur
ceritanya yakni cerita atau kisah dari tokoh-tokoh yang diceritakan sepanjang cerita yang
dimaksud. Selain itu, faktor bahasa juga memegang peranan penting dalam menciptakan daya
pikat. Kemudian gayanya dan hal-hal yang khas yang dapat menyebabkan karya itu memikat
pembaca. Khusus pada cerita fiksi, ada empat hal lagi yang membantu menciptakan daya tarik
suatu cerita rekaan, yaitu:
1) Kreativitas
2) Tegangan (suspense)
3) Konflik
4) Jarak estetika.
a. Kreativitas
Tanpa kreativitas, karya sastra yang diciptakan pengarang tidak mungkin menempati
perhatian pembaca. Kreativitas ditandai dengan adanya penemuan baru dalam proses
penceritaan. Pengarang-pengarang yang lazim disebut "avantgarde" atau pelopor, biasanya
menunjukkan daya kreativitas yang menonjol yang membedakan karya rekaannya dari karya
yang mendahului.
b. Tegangan (Suspense)
9
Di depan telah dibicarakan tentang tegangan atau suspense. Tidak mungkin ada daya
tarik tanpa menciptakan tegangan dalam sebuah cerita. Jalinan cerita yang menimbulkan rasa
ingin tahu yang besar dari pembaca merupakan tegangan cerita itu. Tegangan bermula dari
ketidakpastian cerita yang berlanjut, yang mendebarkan bagi pembaca/pendengar cerita.
Tegangan menopang keingintahuan pembaca akan kelanjutan cerita. Tegangan diakibatkan oleh
kemahiran pencerita di dalam merangkai kisah seperti yang sudah dikemukakan di depan.
Tanpa tegangan, cerita tidak memikat. penulis/pencerita yang mahir akan memelihara
tegangan itu, sehingga mampu mempermainkan hasrat ingin tahu pembaca. Bahkan kadang -
kadang segenap pikiran dan perasaan pembaca terkonsentrasikan ke dalam cerita itu, karena
kuatnya tegangan yang dirangkai oleh sang penulis. Dalam menjawab hasrat ingin tahu pembaca/
pendengar, penulis/pencerita memberikan jawaban-jawaban yang mengejutkan. Tinggi
rendahnya kadar kejutan itu bergantung dari kecakapan dan kreativitas pengarang. Pengarang-
pengarang cerita rekaan besar seperti Agata Christie, Sherlock Holmes, Pramudya Ananta Toer,
dan sebagainya mampu menciptakan jawaban-jawaban cerita yang penuh kejutan sehingga
ceritanya memiliki suspense yang memikat.
c. Konflik
Membicarakan daya tarik cerita rekaan harus menghubungkannya dengan konflik yang
dibangun. Jika konflik itu tidak wajar dan tidak kuat, maka jalan ceritanya akan datar dan tidak
menimbulkan daya tarik. Konflik yang wajar artinya konflik yang manusiawi, yang mungkin
terjadi dalam kehidupan ini dan antara kedua orang yang mengalami konflik itu mempunyai
posisi yang kurang lebih seimbang. Jika posisinya sudah nampak tidak seimbang, maka konflik
menjadi tidak wajar karena pembaca segera akan menebak kelanjutan jalan ceritanya.
Konflik itu juga harus kuat. Dalam kisah kehidupan sehari-hari, konflik yang kuat
biasanya berkaitan dengan problem manusia yang penting dan melibatkan berbagai aspek
kehidupan. Konflik itu bersifat multidimensional yang tidak mudah menyelesaikannya. Roman
Salah Asuhan dan Belenggu memiliki konflik yang cukup kuat karena problem yang
menyebabkan konflik itu adalah problem hakiki dalam kehidupan manusia. Konflik itu juga
sukar menyelesaikannya karena tidak mungkin adanya satu jawaban saja. Hal ini berbeda dengan
konflik yang dibangun melalui cerita wayang. Karena tokohnya hitam putih, maka konflik dalam
cerita wayang segera dapat ditebak jawabannya.
d. Jarak Estetika
Pengarang akan menciptakan jarak estetis yang cukup rapat sehingga tokoh dan peristiwa
benar-benar hidup. Seperti halnya dalam cerita Mushashi, pembaca akan merasa ikut terlibat
dalam peristiwa-peristiwa karena kekuatan cerita itu. Ketika pada adegan terakhir Mushashi
mengalahkan Sasaki Kojiro, pembaca mungkin akan merasa menyaksikan dua ksatria bertempur
di tepi pantai Parangtritis, di siang hari ketika matahari terik, dan tiba - tiba Mushashi melompat
menghantam kepala Koliro dengan pedang. Ini dapat terjadi karena kekuatan cerita yang
10
pengarang ciptakan dengan membuat jarak estetis yang cukup rapat sehingga tokoh dan peristiwa
benar-benar hidup.
2. Ciri-ciri sastra
Ciri sastra yang akan kita pahamkan di sini adalah ciri-ciri sastra yang pernah
dikemukakan oleh para ahli sastra atau para praktisi sastra. Wellek & Warren (1989:22)
menyebutkan ciri-ciri sastra sebagai berikut:
2) Fiksionalitas
3) Ciptaan
6) Imajinasi
7) Bermakna lebih
8) Berlabel sastra
Merupakan konvensi masyarakat sebagai ciri-ciri sastra. Selain itu, Lexemburg, (1984:9)
menambahkan beberapa ciri lagi yaitu:
1) Bukan imitas
2) Tonom
3) Koherensi
4) Sintesa
Dengan demikian sudah teridentifikasi empat belas ciri sastra. Tentu pendapat lain dapat
pula ditambahkan, seperti pendapat yang dipegang pada zaman Romantik, bahwa sastra itu
merupakan luapan emosi spontan, sedangkan menurut kaum Formalis, sastra selain menunjukkan
cirinya pada aspek sintaktik, juga pada grafiknya.
3. Manfaat sastra
11
a. Sastra menunjukan kebenaran hidup
Sastra dihargai, karena berguna bagi hidup manusia. Sebuah karya sastra tidak dapat
digolongkan sebagai karya sastra apabila karya tersebut menuturkan pengalaman uang dapat
menyesatkan kehidupan manusia. Dari sastra orang akan belajar banyak mengenai pengalaman
hiduo, persoalan, dan bagaimana menghadapinya.
Dalam membaca sastra kita hendaknya menikmati jalannya cerita, pelukisan watak,
mempertimbangkan, mencari kebenaran yang ada didalamnya dan juga ikut aktif mencari makna
yang ada. Maka pembaca memperoleh kekayaan rohani yang dapat memperkuat jiwanya. Jiwa
akan kuat jika diisi dengan kekayaan rohani yakni salahsatunya diperoleh melalui karya sastra.
Karya sastra Mahabarata dan Ramayana menceritakan kejadian beberapa ratua tahun
yang lalu. Cerita tersebut masih tetap hidup dalam sampai sekarang. Hal ini berarti melampaui
batas zaman. Cerita ini digemari manusia karena berisi pengalaman hidup yang mendasar yang
masih terjadi sampai saat ini, seperti kesetiaan dan penghianatan, perang saudara, orang tua yang
tidak mengakui anak dan lain sebagainnya.
Sastra kaya dengan kata-kata yang tersusun secara tepat dan mempesoa. Seseorang dapat
belajar tatakrama bahasa dari pengungkapan kata-kata sastrawan. Sebagai seorang pendidik dan
terpelajar sudah semestinya mampu berbicara, menulis dengan menggunakan bahasa yang baik
dan berterima. Jadi bahasa sastra dapat digunakan sebagai alat untuk menarik hati para
pendengar sesuai dengan keperluan.
Tugas guru dan orang tua dalam memilih buku sastra anak-anak adalah melakukan
penelitian lebih rinci terhadap unsur-unsur yang lazim ada dalam setiap bacaan cerita (fiksi).
Unsur-unsur itu meliputi:
12
a. Alur
b. Latar
c. Tema
d. Tokoh
e. Gaya
f. Sudut pandang
a. Alur
Unsur penting yang tidak dapat diabaikan dalam setiap karya fiksi bagi anak-anak adalah
alur. Biasanya pertanyaan pertama yang diajukan anakanak ketika membaca bacaan cerita
“Mengapa saya harus membaca buku ini, apakah buku ini menarik, mengandung cerita yang
seru? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu adalah alur, karena alur biasanya menceritakan apa
yang dilakukan oleh para tokoh cerita dan apa yang terjadi pada mereka. Alur merupakan benang
merah yang menjalin serta merangkaikan susunan cerita menjadi terpadu sate sama lain dan
membuat pembaca penasaran ingin terus membacanya hingga selesai.
Buku sastra anak-anak memerlukan alur yang tertata rapi dan apik, dan saling berkaitan.
Alur cerita seperti itu biasanya tumbuh secara logis atau alamiah yang mengacu kepada
tindakan-tindakan dan sejumlah keputusan para tokoh dalam situasi-situasi yang tersedia
berdasarkan konteks peristiwa. Alur cerita buku sastra anak-anak harus terpercaya dan
mengalirkan (bukan tergantung pada) kejadian dan penemuan sejati. Dengan kata lain, alur cerita
itu mesti diupayakan asli dan segar, dan jangan sampai hambar, basi, melelahkan, membosankan,
dan terlalu mudah ditebak.
Kebanyakan alur-alur dalam sastra anak-anak disajikan dalam metode kronologis atau
cara linear, karena biasanya murid-murid di kelas awal belum mencapai kematangan untuk
mengikuti alur sorot balik (flashback) dalam waktu dan tempat. Pengarang menampakkan plot
melalui penyajian peristiwa pertama, diikuti oleh peristiwa kedua. dan seterusnya, sehingga
cerita itu menjadi lengkap.
b. Latar Cerita
Bagaimana seorang pembaca dapat menyadari cara tokoh melihat, mendengar, merasa,
dan menyentuh? Apakah mungkin mengetahui cara tokoh bercakap-cakap, bertindak, atau
memahami nilai-nilai yang mereka anut? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak dapat dijawab jika
lokasi geografis dan waktu cerita itu terjadi tidak diperkenalkan. Dalam bacaan cerita, waktu dan
tempat ini disebut latar. Hal itu dapat dicari dengan bertanya kapan dan di mana kejadian itu
13
berlangsung? latar adalah lingkungan yang dapat dianggap berfungsi sebagai metonimia, atau
metafora, ekspresi dari tokohnya. Dalam karya fiksi, latar bukan hanya berfungsi sebagai latar
yang bersifat fisikal untuk membuat suatu cerita menjadi logis. la juga memiliki fungsi
psikologis sehingga latar mampu menuansakan makna tertentu serta mampu menciptakan
suasanasuasana tertentu yang menggerakkan aspek kejiwaan pembacanya.
Latar ada tiga macam, yaitu latar waktu, latar tempat, dan latar suasana. Seperti dalam
cerita untuk orang dewasa, cerita anak-anak dapat terjadi pada masa lalu, masa sekarang, dan
masa yang akan datang. Oleh sebab itu, plot dan penokohan sebaiknya konsisten dengan apa
yang sedang terjadi atau apa yang telah terjadi pada masa itu. Termasuk ke dalam latar waktu
adalah hari, bulan, tahun, atau periode sejarah, misalnya di zaman perang kemerdekaan, di saat
upacara kenaikan kelas. Latar tempat berkaitan dengan lokasi geografis peristiwa terjadi. Dalam
bacaan cerita anak-anak, jika lokasi geografis dapat dikenali, sebaiknya lokasi itu disajikan
secara akurat. Latar juga memiliki tujuan yang bukan hanya sekedar memberikan suatu latar
belakang, tetapi menciptakan suasana (mood). Latar suasana adalah suasana atau keadaan yang
mampu memberikan makna tertentu dan mampu menggerakkan emosi pembaca.
c. Tema Cerita
Kriteria ketiga yang penting menjadi pusat perhatian ketika mengevaluasi buku sastra
anak-anak adalah tema. Pertanyaan yang lazim dipergunakan untuk menelusuri tema adalah, apa
maksud pengarang menulis suatu cerita? Yang harus segera diperiksa dalam tema buku sastra
anak-anak adalah, sejauh mana tema cerita itu berorientasi dan dilandasi oleh nilai-nilai etik yang
terpuji secara universal. Ini penting diperhatikan, mengingat periode psikologis anak-anak yang
sedang menjalani proses pembentukan diri dan identifikasi diri.
Betapapun pentingnya tema, jangan sampai suatu buku cerita anak-anak hanya
didominasi oleh semacam khotbah, nasihat, atau petuah-petuah verbal yang membosankan.
Tema harus larut dalam alur, latar dan karakteristik tokoh. Kecen-derungan didaktisisme yang
harus segera dihilangkan, karena tidak memberi peran kepada siswa untuk menemukan sendiri
moral dan isi hasil jerih payahnya membaca. Berikan anak-anak buku sastra yang “bercerita”,
sehingga nilai-nilai semacam kejujuran, keadilan, demokrasi, keterbukaan, ketaqwaan, kasih
sayang, cinta, diam-diam menyerap kuat pada kepribadian anak-anak. Tema cerita menyentuh
aspek ini. Dan karena tema cerita itu pula maka sebuah buku sastra menjadi bermakna bagi anak-
anak.
d. Tokoh Cerita
Dalam mengevaluasi tokoh cerita dalam buku sastra anak diperlukan keje-lian dalam hal
melihat perkembangan perwatakannya. Ada pengarang yang gemar menuturkan perkembangan
watak tokoh cerita melalui gaya narasi. Artinya, perkembangan watak tokoh cerita digambarkan
secara parsial, tanpa melibatkannya dalam alur dan latar. Gaya seperti ini biasanya kurang
menarik minat anak-anak, karena mereka kurang sabar dalam menghadapi detail. Sedangkan
14
gambaran perkembangan watak tokoh cerita yang menyatu dengan perkembangan alur dan latar
kerap menjanjikan daya tarik dan memudahkan anakanak untuk memahami sosok tokoh yang
bergerak dalam rentetan cerita yang dibacanya. Dengan kata lain, bagi anak-anak, jauh lebih
mengesankan gerak yang tepat dan singkat daripada kata-kata yang panjang dan bertele-tele
(Tarigan, 1995).
Dalam karya fiksi, gaya adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan
menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan
suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca (Aminuddin, 2001: 72).
Dengan demikian gaya menulis seorang pengarang tercermin jelas dalam pilihan dan susunan
kata-kata yang diungkapkan ketika menyajikan cerita. Gaya menulis yang baik haruslah serasi
dengan alur, tema dan tokoh, baik dalam penciptaan maupun dalam perefleksian suasana hati
cerita (Huck, 1987). Layaknya sebuah gaya, senantiasa bersifat individual dan khas. Ada
memang kaidah-kaidah umum yang dijadikan acuan pokok oleh seorang pengarang, tapi pada
akhirnya yang muncul secara utuh adalah gaya perseorangannya yang khas. Ini mengisyaratkan
bahwa bila kita hendak mengevaluasi buku sastra anak-anak, hendaknya faktor gaya cerita yang
orisinal, individu, dan khas dijadikan salah satu tolok ukur.
Sudut pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang
dipaparkannya (Aminuddin, 2001: 90) atau menurut istilah Huck (1987) sudut pandang (point of
view) lazim diartikan dari arah mana atau dalam posisi apa pengarang menempatkan dirinya
dalam bercerita. Sebuah kejadian dapat diuraikan dalam istilah yang berbeda oleh beberapa
orang yang memiliki pengalaman yang sama. Detail yang mereka pilih untuk diuraikan,
perasaan-perasaan yang mereka alami, dan kepercayaan mereka tentang benar atau salah dapat
berubah disebabkan latar belakang, nilai-nilai, dan perspektif lainnya. Akibatnya, cerita yang
sama dapat berubah drastis tergantung pada sudut pandang seorang pencerita.
15
Seorang pengarang memiliki beberapa pilihan ketika memilih sudut pandang. Pertama,
cerita itu dapat diceritakan dari sudut pandang orang pertama, yang mempengaruhi
perkembangan plot, penokohan, dan tema. Kedua, cerita itu diceri-takan dan sudut pandang yang
objektif, tindakan-tindakan yang mengungkapkannya. Dalam hal ini, pengarang menguraikan
tindakan, dan pembaca menduga makna dan pikiran tokoh. Ketiga, cerita diceritakan dari sudut
pandang mahatahu. Penulis menceritakan cerita sebagai orang ketiga, karena menggunakan
tokoh “dia” dalam bertuturnya. Pengarang tidak dibatasi oleh pengetahuan, pengalaman,
perasaan satu orang. Setiap detail perasaan, dan pikiran seluruh tokoh dapat diungkapkan
(Sudjiman, 1988:59).
Ilustrasi adalah gambar-gambar yang menyertai cerita dalam buku sastra anak
(Nurgiantoro, 2005:90).Kebanyakan dan buku sastr anak-anak menggunakan ilustrasi untuk daya
tariknya. Buku-buku yang tidak ada ilustrasinya, itu kurang cocok untuk dijadikan buku bacaan
anak-anak. Kehadiran ilustrasi untuk buku anak-anak menjadi keharusan apalagi u ntuk anak-
anak prasekolah.
Adanya ilustrasi dalam sastra anak-anak baik gambar maupun foto, sengaja untuk
mengknnkretkan apa yang dikisahkan secara verbal, karena anak dalam tahap perkembangan
oparasinal konkret. Selain itu, ilustrasi dimaksudkan untuk menarik minat siswa. Oleh karena itu
ilustrasi harus jelas, berwarna, komunikatif, hidup dan ditampilkan secara variatif.
Format buku dalam sastra anak perlu mendapat perhatian khusus. Anak-anak kelas awal
dan prasekolah misalnya, pada waktu membuka-buka buku diupayakan formatnya cukup besar.
Pada waktu guru membaca nyaring untuk siswanya, sebaiknya menggunakan buku besar (big
book) supaya perhatian siswa terpusat pada gurunya. Dengan demikian, ukuran buku sastra anak
tidak harus baku seperti buku orang dewasa, bisa divariasikan agar lebih memudahkan siswa dan
lebioh komunikatif. Demikian juga ukuran huruf. Ukuran huruf untuk buku anak, bisa lebih
besar tidak ukuran standar untuk buku orang dewasa.
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Di sekolah dasar, pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa
mengapresiasi karya sastra. Kegiatan mengapresiasi sastra berkaitan dengan latihan
mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya dan
lingkungan hidup. Pengembangan kemampuan bersastra di sekolah dasar dilakukan dalam
berbagai jenis dan bentuk melalui kegiatan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
Di sekolah dasar pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia lebih diarahkan pada kompetensi
siswa untuk berbahasa dan berapresiasi sastra. Pelaksanaannya, pembelajaran sastra dan bahasa
dilaksanakan secara terintegrasi. Sedangkan pengajaran sastra, ditujukan untuk meningkatkan
kemampuan siswa dalam menikmati, menghayati, dan memahami karya sastra. Pengetahuan
tentang sastra hanyalah sebagai penunjang dalam mengapresiasi.
B. Saran
Adapun saran dalam makalah ini adalah marilah kita tingkatkan kemampuan kita dalam
bersastra, utamanya para pendidik agar peserta didik yang kita ajar dapat betul-bertul memahami
dari inti sastra itu sendiri.
17
DAFTAR PUSTAKA
Resmini, Novi, Dadan Djuanda, & Isah Cahyani. 2006. Pembinaan dan Pengembngan
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung: UPI PRESS.
http://www.gurungapak.com/2016/02/manfaat-sastra-dalam-pendidikan.html
18