Anda di halaman 1dari 8

BAB V

IMPLIKASI PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

A. Pembelajaran Bahasa Indonesia


Pembelajaran bahasa Indonesia pada hakikatnya bertujuan agar peserta didik memiliki
keterampilan berkomunikasi yang efektif dan efisien, sesuai dengan etika yang
berlaku, baik secara lisan maupun tulis. Selain itu, tujuan tersebut juga mencakup
memupuk rasa bangga menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan
bahasa negara. Selanjutnya, mata pelajaran Bahasa Indonesia bertujuan untuk
memanfaatkan bahasa Indonesia guna meningkatkan kemampuan intelektual,
kematangan emosional, dan kematangan sosial. Peserta didik juga diharapkan mampu
menggunakan karya sastra sebagai sarana untuk memperluas pengetahuan dan
meningkatkan nilai-nilai moral dalam interaksi sosialnya. (Atmazaki, 2013)

Untuk melaksanakan tujuan mata pelajaran Bahasa Indonesia tersebut, maka


pembelajaran bahasa Indonesia disajikan dalam pendekatan berbasis teks. Teks dapat
berwujud teks tertulis maupun teks lisan. Teks adalah ekspresi lengkap dari pemikiran
manusia yang mencakup situasi dan konteksnya. Dalam konteks ini, pembelajaran
Bahasa Indonesia tidak hanya sebatas menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat
komunikasi, tetapi juga memerlukan pemahaman akan makna serta pemilihan kata
yang tepat sesuai dengan tatanan budaya dan masyarakat yang menggunakannya.

Mahsun, menyatakan, dalam pembelajaran Bahasa ada dua komponen yang harus
dipelajarai, yaitu masalah makna dan bentuk. Kedua unsur tersebut harus hadir secara
stimulant dan keduanya harus ada. Namun, pengguna bahasa harus menyadari bahwa
makna adalah komponen utama dalam pembentukan bahasa, sehingga bahasa menjadi
alat untuk membentuk pemikiran manusia. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk
menyadari bahwa kemampuan berpikir yang harus dikembangkan melalui bahasa
adalah kemampuan berpikir yang sistematis, terkontrol, empiris, dan kritis.
Kemampuan berpikir tersebut secara konseptual disebut sebagai berpikir metodologis,
yang hanya dapat dicapai melalui pembelajaran teks yang didasarkan pada pendekatan
ilmiah atau saintifik. (Mahsun, 2014)
Dalam kesempatan yang lain, Mahsun menyatakan bahwa keberadaan konteks
budaya, selain konteks situasi yang menjadi latar belakang terbentuknya suatu teks,
menunjukkan adanya kesamaan antara pembelajaran berbasis teks (konsep bahasa)
dan pandangan pengembangan Kurikulum 2013. Khusus yang terkait dengan rumusan
kebutuhan kompetensi peserta didik dalam bentuk kompetensi inti (KI) atas domain
sikap, pengetahuan, dan keterampilan (sebagai penguatan dapat dilihat dalam Standar
Isi Permendikbud Tahun 2014). Kompetensi inti yang menyangkut karakter, baik
karakter spiritual (KI: 1 ) maupun karakter sosial (KI: 2) terkait dengan konsep
kebahasaan dalam aspek nilai dan norma kultural, serta konteks sosial yang menjadi
dasar terbentuknya register (bahasa sebagai teks); kompetensi inti yang menyangkut
pengetahuan (KI: 3) dan keterampilan (KI: 4) terkait langsung dengan konsep
kebahasaan yang berhubungan dengan proses sosial (genre) dan register (bahasa
sebagai teks). Selain itu, kompetensi dasar (KD) yang dikelompokkan berdasarkan KI
tersebut saling terkait secara fundamental. Pencapaian KD dalam kelompok KI 1 dan
2 bergantung pada pencapaian KD dalam kelompok KI 3 dan 4. KD dalam kelompok
KI 1 dan 2 bukanlah materi yang diajarkan secara langsung, melainkan merupakan
implikasi dari pencapaian KD dalam kelompok KI 3 dan 4.

Pencapaian kompetensi tersebut berkaitan erat dengan proses pembelajaran yang


dilaksanakan. Oleh karena itu, guru perlu merencanakan pembelajaran sesuai dengan
persyaratan kurikulum dengan mengadopsi pendekatan saintifik dan model
pembelajaran yang mendorong peserta didik untuk melakukan eksplorasi dan
penelitian, serta menghasilkan karya kontekstual baik secara individu maupun dalam
kelompok.

Dengan pemahaman akan keterkaitan antar kompetensi, terutama dalam pembelajaran


bahasa Indonesia yang berbasis teks, dapat mengembangkan kemampuan berpikir
kreatif dan kritis peserta didik. Selain itu, pembelajaran Bahasa Indonesia juga
memiliki peran sebagai penghubung dan pengintegrasian dengan disiplin ilmu
lainnya.
B. Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013
Pembelajaran Bahasa Indonesia yang terdapat dalam kurikulum 2013, dengan
pendekatan berbasis teks, bertujuan untuk mengembangkan peserta didik sesuai
dengan perkembangan mental mereka, serta membantu memecahkan masalah
kehidupan nyata siswa melalui pemikiran kritis. Dalam implementasinya,
pembelajaran Bahasa Indonesia didasarkan pada prinsip-prinsip berikut:
a. Bahasa hendaknya dipandang sebagai teks secara penuh, tidak hanya semata
kumpulan kata atau kaidah kebahasaan.
b. Penggunaan bahasa merupakan proses memilih bentuk-bentuk kaidah bahasa
untuk mengungkapkan makna yang diinginkan.
c. Bahasa bersifat fungsional, artinya penggunaan bahasa tidak dapat dipisahkan dari
konteks yang ada di sekelilingnya, karena kaidah bahasa yang digunakan
mencerminkan ide, sikap, nilai, dan ideologi penggunanya.
d. Bahasa merupakan sarana pembentukan berpikir manusia.

Melalui prinsip-prinsip di atas, pembelajaran bahasa berbasis teks memiliki implikasi


metodologis yang memerlukan proses pembelajaran yang berjenjang. Proses ini
dimulai dengan kegiatan guru dalam membangun konteks, dilanjutkan dengan
kegiatan pemodelan, pembangunan teks secara kolaboratif, dan akhirnya peserta didik
mampu membangun teks secara mandiri. Kegiatan ini penting karena teks merupakan
unit bahasa yang mengandung pikiran dengan struktur yang lengkap. Guru perlu
meyakini bahwa pada akhirnya peserta didik akan mampu menyajikan teks secara
mandiri.

C. Implikasi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia


Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah dasar memiliki implikasi yang
penting bagi perkembangan kemampuan berbahasa dan literasi anak-anak. Berikut
beberapa implikasi penting dari pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah
dasar:

1. Meningkatkan kemampuan berbahasa: Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah


dasar memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk memperkaya kosakata,
mengasah keterampilan berbicara, menulis, dan mendengarkan. Hal ini akan
membantu anak-anak dalam mengkomunikasikan ide dan perasaan dengan lebih
baik.
2. Meningkatkan literasi: Sastra Indonesia merupakan salah satu bentuk sastra yang
kaya dan mempunyai banyak karya-karya yang bermutu. Pembelajaran sastra
Indonesia di sekolah dasar akan membantu meningkatkan kemampuan literasi
anak-anak, seperti memahami makna dan nilai dalam karya sastra, mengenali
karakter dan tema, serta menilai karya sastra secara kritis.
3. Meningkatkan rasa cinta terhadap bahasa dan budaya: Pembelajaran bahasa dan
sastra Indonesia di sekolah dasar juga dapat membantu anak-anak memahami dan
menghargai budaya dan warisan bahasa Indonesia. Hal ini akan membantu anak-
anak mengembangkan rasa cinta terhadap bahasa dan budaya sendiri serta
memperkaya pemahaman mereka tentang keragaman budaya di Indonesia.
4. Meningkatkan kemampuan akademik: Kemampuan berbahasa dan literasi yang
baik merupakan keterampilan dasar yang dibutuhkan dalam banyak disiplin ilmu.
Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah dasar akan membantu anak-
anak memperoleh kemampuan dasar ini, yang akan mempersiapkan mereka untuk
belajar dengan lebih baik di masa depan.
5. Membantu membangun karakter: Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di
sekolah dasar juga dapat membantu membangun karakter anak-anak, seperti
kemampuan berpikir kritis, kreativitas, empati, dan rasa percaya diri. Hal ini akan
membantu anak-anak menjadi individu yang lebih berdaya saing dan memiliki
potensi untuk menjadi pemimpin di masa depan.

Dengan demikian, pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah dasar


memiliki implikasi yang sangat penting bagi perkembangan anak-anak. Hal ini akan
membantu anak-anak dalam mengembangkan kemampuan bahasa dan literasi,
memperkaya pemahaman mereka tentang budaya dan warisan bahasa Indonesia, serta
membantu membangun karakter yang baik.
D. Relevansi Pembelajaran Sastra terhadap Pembentukan Karakter
Pembelajaran sastra dan pendidikan karakter adalah dua hal yang saling terkait dan
tidak dapat dipisahkan. Hal ini dikarenakan dalam sastra, terdapat pembahasan
mengenai nilai-nilai kehidupan manusia. Sastra menggabungkan daya imajinasi dan
kreativitas seorang pengarang, didukung oleh pengalaman dan pengamatannya
terhadap kehidupan, sehingga tercipta karya-karya yang indah dengan penekanan
pada estetika bahasa.

Bahasa yang digunakan dalam karya sastra untuk menyampaikan ajaran adalah bahasa
yang telah diseleksi, dipilih dan tersusun secara indah. Sastra memberi ajaran-ajaran
kebajikan sekaligus hiburan. Sastra memiliki kemampuan untuk memberikan
keindahan dan manfaat kepada para pembacanya. (Nuryatin, 2010: 4). Inilah salah
satu fungsi sastra yang oleh Horatius disebut dulce et utile, yakni memberi kegunaan
dan kesenangan. Pernyataan ini sejalan dengan ungkapan dulce et utile yang dikutip
oleh Rene Wellek & Austin Warren dari Edgar Allan Poe, seorang penyair dan
penulis cerita pendek Amerika, bahwa sastra memiliki fungsi untuk menghibur
sekaligus mengajarkan sesuatu. (Wellek & Warren: 24)

Pengertian sastra, jika ditelusuri secara etimologis, berasal dari bahasa Sanskerta.
Kata tersebut memiliki akar kata "sas-" yang berarti mengarahkan, mengajar,
memberi petunjuk, atau instruksi, dan akhiran "-tra" yang menunjukkan alat atau
sarana. Oleh karena itu, sastra dapat diartikan sebagai alat untuk mengajar, buku
petunjuk, buku instruksi, atau pengajaran.

Sastra sebagai cerminan keadaan sosial budaya bangsa haruslah diwariskan kepada
generasi mudanya. Sastra memiliki potensi yang sangat besar dalam mengarahkan
perubahan dalam masyarakat, termasuk perubahan karakter. Sebagai bentuk ekspresi
seni bahasa yang bersifat reflektif dan interaktif, sastra dapat menjadi semangat bagi
munculnya gerakan perubahan dalam masyarakat, bahkan mendorong bangsa untuk
menuju perbaikan yang lebih baik. Karya sastra juga memiliki peran penting dalam
memperkuat rasa cinta terhadap tanah air, serta menjadi sumber inspirasi dan motivasi
moral dalam mengubah keadaan sosial budaya yang terpuruk. (Herfanda,2008)
Fakta ini menunjukkan bahwa sastra memiliki keterkaitan yang kuat dengan
pendidikan karakter. Karya sastra penuh dengan nilai-nilai moral yang sesuai dengan
pendidikan karakter yang diinginkan. Cerita rakyat seperti dongeng "Malin Kundang"
dan "Legenda Batu Menangis" mengandung nilai-nilai pendidikan tentang
kemanusiaan, mengajarkan pentingnya sikap terhadap orang tua yang telah
melahirkan dan membesarkan kita. Cerita binatang seperti "Pelanduk Jenaka" memuat
pelajaran tentang pentingnya memiliki harga diri, sikap kritis, dan keberanian dalam
menyampaikan protes sosial. Selain itu, bentuk puisi seperti pepatah, pantun, dan
bidal juga sarat dengan nilai-nilai pendidikan. Demikian pula dengan novel-novel
seperti "Ayat-Ayat Cinta" karya Habiburrahman El Shirazi yang memberikan
pelajaran hidup, mengajarkan tentang saling tolong-menolong dan saling peduli
terhadap sesama manusia.

E. Peran Sastra Dalam Pembentukan Karakter Siswa


Banyak hal yang dapat diperoleh dari sastra. Tjokrowinoto memperkenalkan istilah
"pancaguna" untuk menggambarkan manfaat dari sastra lama, yang meliputi: (1)
meningkatkan pendidikan agama dan budi pekerti, (2) memperkuat rasa cinta
terhadap tanah air, (3) memahami pengorbanan para pahlawan bangsa, dan (4)
menambah pengetahuan sejarah.Tjokrowinoto menjelaskan sembilan manfaat yang
dapat diperoleh dari sastra lama, yaitu sebagai berikut: (1) dapat berperan sebagai
hiburan dan sarana pendidikan, (2) isi sastra dapat menumbuhkan kecintaan,
kebanggaan, dan penghormatan terhadap leluhur, (3) isi sastra dapat memperluas
wawasan tentang kepercayaan, adat istiadat, dan peradaban bangsa, (4) pertunjukan
sastra dapat membangun rasa persatuan dan kesatuan, (5) proses penciptaan sastra
dapat mengembangkan jiwa kreatif, responsif, dan dinamis, (6) sastra menjadi sumber
inspirasi bagi penciptaan bentuk seni lainnya, (7) proses penciptaan sastra menjadi
contoh tentang kerja tekun, profesional, dan rendah hati, (8) pertunjukan sastra
memberikan nilai kerja sama yang kompak dan harmonis, (9) pengaruh asing dalam
sastra memberikan gambaran tentang tata pergaulan dan pandangan hidup yang luas.
(Haryadi, 1994)

Terkait peran sastra dalam pembelajaran bagi peserta didik, diungkapkan oleh Tarigan
(1995: 10) bahwa sastra sangat berperan dalam pendidikan anak, yaitu dalam (1)
perkembangan bahasa, (2) perkembangan kognitif, (3) perkembangan kepribadian,
dan (4) perkembangan sosial. Dalam perkembangan bahasa, anak-anak secara
langsung maupun tidak langsung setelah membaca atau menyimak karya sastra,
kosakata mereka bertambah.

Hal ini dapat meningkatkan keterampilan berbahasa anak-anak secara langsung


maupun tidak langsung setelah membaca atau menyimak karya sastra, kosakata
mereka bertambah. Hal ini dapat meningkatkan keterampilan berbahasa anak.
Membaca karya sastra dapat memberikan pengalaman yang dapat memotivasi dan
mendukung perkembangan kognitif atau penalaran peserta didik, khususnya anak-
anak. Melalui pengalaman ini, kepribadian anak-anak akan terbentuk saat mereka
belajar untuk mengungkapkan emosi, mengembangkan empati terhadap orang lain,
dan memperkuat perasaan harga diri dan identitas diri mereka. Dengan demikian,
anak-anak dapat hidup dalam masyarakat dengan baik dan memiliki budi pekerti yang
baik pula.

Pembelajaran sastra, dengan demikian, ditujukan untuk berbagai kepentingan.


Beberapa kepentingan di antaranya adalah menjadikan peserta didik mahir membaca
dan menulis serta mahir mendengarkan dan melisankan. Jika kepentingan ini tercapai,
belajar bersastra akan dirasakan manfaatnya oleh peserta didik oleh karena mereka
dipermudah untuk mempelajari bidang-bidang lainnya di sekolah. Sebagai hasil dari
partisipasi dalam membaca sastra, dampak lainnya adalah berkembangnya kebiasaan
membaca yang pada akhirnya dapat meningkatkan pemahaman dan pengertian
tentang manusia dan kemanusiaan. Melalui membaca sastra, seseorang dapat
mengenal nilai-nilai, mendapatkan ide-ide baru, meningkatkan pengetahuan sosial
budaya, mengembangkan rasa dan imajinasi, serta membentuk watak dan kepribadian.
Inilah inti dari pendidikan karakter yang jelas terlihat dalam pembelajaran sastra.

Berbagai jenis karya sastra seperti puisi, cerpen, drama, dan novel mengangkat
berbagai tema yang terkait dengan kehidupan manusia. Tema-tema ini dapat
dikategorikan dan digunakan sebagai media dalam pendidikan karakter. Pendekatan
yang dapat dilakukan adalah pendekatan reseptif, di mana peserta didik dapat
membaca dan mengamati karya sastra tersebut. Selain itu, simulasi juga dapat
dilakukan sebagai metode latihan yang menghadirkan situasi yang mirip dengan
kehidupan nyata, baik di dalam maupun di luar kelas seperti di halaman kelas,
auditorium, atau ruang pertemuan. Pendekatan ini akan menjadi menarik bagi peserta
didik dalam proses penanaman nilai-nilai karakter.

Dengan model tersebut, peserta didik dilatih mengimplementasikan nilai-nilai


karakter yang diperoleh dari karya sastra. Jika simulasi ini dilakukan secara rutin,
maka nilai-nilai karakter yang terkandung dalam karya sastra akan terinternalisasi
dalam pikiran bawah sadar peserta didik. Nilai-nilai karakter yang terinternalisasi ini
dapat menjadi pegangan dalam berperilaku sehari-hari. Selain itu, peserta didik juga
dapat diajak untuk mereproduksi karya sastra yang telah mereka baca. Dalam hal ini,
guru dapat memilih karya sastra yang mengandung nilai-nilai karakter positif, seperti
puisi, cerpen, drama, atau novel, kemudian peserta didik diminta untuk membacanya.
Setelah membaca, mereka akan diminta untuk mengubah karya tersebut menjadi
bentuk sastra lain, misalnya mengubah cerpen atau novel menjadi drama, atau
mengubah puisi menjadi cerpen. Dalam konteks reproduksi karya sastra ini, guru
perlu menjelaskan bahwa penekanan utamanya adalah pada tema yang ada.

Melalui karya sastra yang mengangkat berbagai tema, peserta didik dapat diajak untuk
mengenali dan memahami kualitas serta tingkatan karakter mereka sendiri.Setelah
peserta didik mengenali dan memahami kualitas tingkatan karakternya, maka guru
harus membimbing atau mengarahkan kualitas tingkatan karakter ke yang lebih baik.
Yakni mengajak peserta didik untuk “berdialog dengan tokoh-tokoh dalam karya
sastra yang memiliki kualitas tingkatan karakter pada tataran “watak tingkatan tiga”.
Dengan demikian, keempat jenis model pendidikan karakter terinternalisasi dalam diri
peserta didik dan diaktualisasikan dalam perilaku sehari-hari.

Anda mungkin juga menyukai