Mahsun, menyatakan, dalam pembelajaran Bahasa ada dua komponen yang harus
dipelajarai, yaitu masalah makna dan bentuk. Kedua unsur tersebut harus hadir secara
stimulant dan keduanya harus ada. Namun, pengguna bahasa harus menyadari bahwa
makna adalah komponen utama dalam pembentukan bahasa, sehingga bahasa menjadi
alat untuk membentuk pemikiran manusia. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk
menyadari bahwa kemampuan berpikir yang harus dikembangkan melalui bahasa
adalah kemampuan berpikir yang sistematis, terkontrol, empiris, dan kritis.
Kemampuan berpikir tersebut secara konseptual disebut sebagai berpikir metodologis,
yang hanya dapat dicapai melalui pembelajaran teks yang didasarkan pada pendekatan
ilmiah atau saintifik. (Mahsun, 2014)
Dalam kesempatan yang lain, Mahsun menyatakan bahwa keberadaan konteks
budaya, selain konteks situasi yang menjadi latar belakang terbentuknya suatu teks,
menunjukkan adanya kesamaan antara pembelajaran berbasis teks (konsep bahasa)
dan pandangan pengembangan Kurikulum 2013. Khusus yang terkait dengan rumusan
kebutuhan kompetensi peserta didik dalam bentuk kompetensi inti (KI) atas domain
sikap, pengetahuan, dan keterampilan (sebagai penguatan dapat dilihat dalam Standar
Isi Permendikbud Tahun 2014). Kompetensi inti yang menyangkut karakter, baik
karakter spiritual (KI: 1 ) maupun karakter sosial (KI: 2) terkait dengan konsep
kebahasaan dalam aspek nilai dan norma kultural, serta konteks sosial yang menjadi
dasar terbentuknya register (bahasa sebagai teks); kompetensi inti yang menyangkut
pengetahuan (KI: 3) dan keterampilan (KI: 4) terkait langsung dengan konsep
kebahasaan yang berhubungan dengan proses sosial (genre) dan register (bahasa
sebagai teks). Selain itu, kompetensi dasar (KD) yang dikelompokkan berdasarkan KI
tersebut saling terkait secara fundamental. Pencapaian KD dalam kelompok KI 1 dan
2 bergantung pada pencapaian KD dalam kelompok KI 3 dan 4. KD dalam kelompok
KI 1 dan 2 bukanlah materi yang diajarkan secara langsung, melainkan merupakan
implikasi dari pencapaian KD dalam kelompok KI 3 dan 4.
Bahasa yang digunakan dalam karya sastra untuk menyampaikan ajaran adalah bahasa
yang telah diseleksi, dipilih dan tersusun secara indah. Sastra memberi ajaran-ajaran
kebajikan sekaligus hiburan. Sastra memiliki kemampuan untuk memberikan
keindahan dan manfaat kepada para pembacanya. (Nuryatin, 2010: 4). Inilah salah
satu fungsi sastra yang oleh Horatius disebut dulce et utile, yakni memberi kegunaan
dan kesenangan. Pernyataan ini sejalan dengan ungkapan dulce et utile yang dikutip
oleh Rene Wellek & Austin Warren dari Edgar Allan Poe, seorang penyair dan
penulis cerita pendek Amerika, bahwa sastra memiliki fungsi untuk menghibur
sekaligus mengajarkan sesuatu. (Wellek & Warren: 24)
Pengertian sastra, jika ditelusuri secara etimologis, berasal dari bahasa Sanskerta.
Kata tersebut memiliki akar kata "sas-" yang berarti mengarahkan, mengajar,
memberi petunjuk, atau instruksi, dan akhiran "-tra" yang menunjukkan alat atau
sarana. Oleh karena itu, sastra dapat diartikan sebagai alat untuk mengajar, buku
petunjuk, buku instruksi, atau pengajaran.
Sastra sebagai cerminan keadaan sosial budaya bangsa haruslah diwariskan kepada
generasi mudanya. Sastra memiliki potensi yang sangat besar dalam mengarahkan
perubahan dalam masyarakat, termasuk perubahan karakter. Sebagai bentuk ekspresi
seni bahasa yang bersifat reflektif dan interaktif, sastra dapat menjadi semangat bagi
munculnya gerakan perubahan dalam masyarakat, bahkan mendorong bangsa untuk
menuju perbaikan yang lebih baik. Karya sastra juga memiliki peran penting dalam
memperkuat rasa cinta terhadap tanah air, serta menjadi sumber inspirasi dan motivasi
moral dalam mengubah keadaan sosial budaya yang terpuruk. (Herfanda,2008)
Fakta ini menunjukkan bahwa sastra memiliki keterkaitan yang kuat dengan
pendidikan karakter. Karya sastra penuh dengan nilai-nilai moral yang sesuai dengan
pendidikan karakter yang diinginkan. Cerita rakyat seperti dongeng "Malin Kundang"
dan "Legenda Batu Menangis" mengandung nilai-nilai pendidikan tentang
kemanusiaan, mengajarkan pentingnya sikap terhadap orang tua yang telah
melahirkan dan membesarkan kita. Cerita binatang seperti "Pelanduk Jenaka" memuat
pelajaran tentang pentingnya memiliki harga diri, sikap kritis, dan keberanian dalam
menyampaikan protes sosial. Selain itu, bentuk puisi seperti pepatah, pantun, dan
bidal juga sarat dengan nilai-nilai pendidikan. Demikian pula dengan novel-novel
seperti "Ayat-Ayat Cinta" karya Habiburrahman El Shirazi yang memberikan
pelajaran hidup, mengajarkan tentang saling tolong-menolong dan saling peduli
terhadap sesama manusia.
Terkait peran sastra dalam pembelajaran bagi peserta didik, diungkapkan oleh Tarigan
(1995: 10) bahwa sastra sangat berperan dalam pendidikan anak, yaitu dalam (1)
perkembangan bahasa, (2) perkembangan kognitif, (3) perkembangan kepribadian,
dan (4) perkembangan sosial. Dalam perkembangan bahasa, anak-anak secara
langsung maupun tidak langsung setelah membaca atau menyimak karya sastra,
kosakata mereka bertambah.
Berbagai jenis karya sastra seperti puisi, cerpen, drama, dan novel mengangkat
berbagai tema yang terkait dengan kehidupan manusia. Tema-tema ini dapat
dikategorikan dan digunakan sebagai media dalam pendidikan karakter. Pendekatan
yang dapat dilakukan adalah pendekatan reseptif, di mana peserta didik dapat
membaca dan mengamati karya sastra tersebut. Selain itu, simulasi juga dapat
dilakukan sebagai metode latihan yang menghadirkan situasi yang mirip dengan
kehidupan nyata, baik di dalam maupun di luar kelas seperti di halaman kelas,
auditorium, atau ruang pertemuan. Pendekatan ini akan menjadi menarik bagi peserta
didik dalam proses penanaman nilai-nilai karakter.
Melalui karya sastra yang mengangkat berbagai tema, peserta didik dapat diajak untuk
mengenali dan memahami kualitas serta tingkatan karakter mereka sendiri.Setelah
peserta didik mengenali dan memahami kualitas tingkatan karakternya, maka guru
harus membimbing atau mengarahkan kualitas tingkatan karakter ke yang lebih baik.
Yakni mengajak peserta didik untuk “berdialog dengan tokoh-tokoh dalam karya
sastra yang memiliki kualitas tingkatan karakter pada tataran “watak tingkatan tiga”.
Dengan demikian, keempat jenis model pendidikan karakter terinternalisasi dalam diri
peserta didik dan diaktualisasikan dalam perilaku sehari-hari.