Anda di halaman 1dari 189

PSIKOSOSIAL PENGUNGSI ANAK DI

SCHOOL FOR REFUGEES (SFR) JAKARTA

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu


Komunikasi
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S. Sos.)

Disusun oleh :

Riska Hariyana
NIM. 1115054100001

PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL


FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU
KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H/ 2019 M
ABSTRAK

Riska Hariyana/11150541000001

Psikososial Pengungsi Anak di School for Refugees (SFR)


Jakarta

Kebijakan pembatasan jumlah penerimaan pengungsi di


negara ketiga membuat waktu tunggu pengungsi semakin lama.
Indonesia bukan negara peserta Konvensi Pengungsi 1951 dan
hanya berstatus sebagai negara transit tidak memiliki kebijakan
dalam pemberian hak kepada pengungsi anak. Masa tunggu
berdampak pada kondisi psikososial pengungsi anak. Karena,
lamanya waktu tunggu di Indonesia juga membuat pengungsi
anak harus menyesuaikan diri dengan kondisi di Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
kondisi psikososial pengungsi anak di School for Refugees (SFR)
Jakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif jenis
deskriptif dengan teknik pengumpulan data dari hasil observasi,
wawancara, dan studi dokumentasi. Teori yang digunakan dalam
penelitian ini diantaranya teori psikososial yang terdiri dari teori
penyesuaian diri, teori interaksi sosial, teori dukungan sosial,
serta beberapa teori dari masalah psikososial seperti stres,
depresi, putus asa, penerimaan, dan emosi.
Hasil penelitian yang didapatkan menunjukkan bahwa
psikososial pengungsi anak dalam kondisi baik. Hal ini dilihat
dari tingkat penyesuaian diri yang dianalisis dari unsur dan proses
penyesuaian diri, interaksi sosial yang terbuka dengan orang baru,
dukungan sosial yang diterima dari masing – masing pengungsi
anak, serta proses penerimaan yang diterima baik oleh pengungsi
anak terhadap kondisi di Indonesia dengan tahapan berbeda. SFR
sebagai program sekolah sebagai upaya pemenuhan hak
pengungsi anak dalam bidang pendidikan. Tingkat psikososial
yang baik pada pengungsi anak menunjang kebutuhan pendidikan
pengungsi anak. Penelitian ini juga menunjukan bahwa setiap
pegungsi anak memiliki hambatan dan pola masing – masing
dalam setiap proses penyesuaian diri di Indonesia.
Kata kunci: psikososial, pengungsi anak, Indonesia

i
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh
Alhamdulillahirabbil’alamin segala puji bagi Allah SWT
yang berkat rahmat dan nikmat-Nya saya bisa menyelesaikan
skripsi ini sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana
sosial di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat serta salam
tidak lupa dipanjatkan dan semoga tetap tercurah kepada
pengemban risalah dakwah Islam yaitu Rasulullah SAW beserta
keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang senantiasa berjalan
di jalan Allah sampai akhir zaman dan yang membawa ajaran
Islam sebagai rahmat semesta alam.
Adapun peneliti menyadari dalam skripsi ini masih
banyak memiliki kekurangan sekalipun peneliti telah berusaha
melakukan yang terbaik selama penyusunan skripsi ini baik dari
segi isi ataupun dari teknik penulisan. Maka dari itu, peneliti
sangat terbuka dengan saran dan kritik yang bertujuan untuk
membangun sungguh merupakan masukan bagi peneliti agar
dapat bisa memperbaiki kembali sehingga bisa menghasilkan
karya ilmiah yang lebih baik lagi serta skripsi ini bisa dijadikan
contoh untuk para mahasiswa/i dalam mengerjakan karya ilmiah.
Berkat keridhoan dari Allah SWT, akhirnya skripsi ini
dapat terselesaikan dengan baik. Serta tak lupa peneliti
menyertakan ungkapan dan rasa terimakasih kepada pihak –
pihak yang telah memberikan bantuan, dukungan, motivasi, dan
arahan – arahan kepada peneliti sehingga dapat menyelesaikan

ii
skripsi ini. Dengan segala kerendahan hati, peneliti
menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Bapak Suparto, M.Ed., Ph.D, sebagai Dekan Fakultas Ilmu
Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Dr. Siti Napsiyah Ariefuzzaman, MSW sebagai Wakil
Dekan Bidang Akademik.
3. Bapak Dr. Shihabuddin Noor, MA sebagai Wakil Dekan
Bidang Administrasi Umum. Bapak Drs. Cecep Sastrawijaya,
MA sebagai Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan.
4. Bapak Ahmad Zaky, M.Si, sebagai Ketua Program Studi
Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta
Ibu Hj. Nunung Khoiriyah, MA selaku Sekretaris Program
Studi Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Ibu Ellies Sukmawati, M.Si sebagai dosen pembimbing
akademik.
6. Seluruh Dosen Program Studi Kesejahteraan Sosial yang
telah banyak memberikan ilmu dan pengalamannya kepada
peneliti, semoga apa yang telah diberikan dapat bermanfaat di
masa yang akan datang.
7. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
dan Civitas Akademika yang telah memberikan sumbangan
wawasan dan keilmuan dan membimbing peneliti selama
menjalani perkulian di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, peneliti ucapkan terimakasih karena telah membantu

iii
dalam memberikan referensi buku, jurnal, maupun skripsi
dari penelitian-penelitian terdahulu.
9. Kepada UNHCR Perwakilan Indonesia yang telah
mengizinkan peneliti untuk melakukan penelitian dengan
beberapa pengungsi anak.
10. Kepada Dompet Dhuafa dan pihak – pihak terkait yang telah
mebuka jalan dan mengizinkan peneliti untuk melakukan
penelitian di SFR.
11. Bapak Sidik Eka Hermawan dan Ibu Fitriani Setya
Wahyuningsih selaku pengurus di School for Refugees (SFR)
Dompet Dhuafa Jakarta yang telah membantu dalam
memberikan saran.
12. Seluruh pihak di SFR lainnya yang telah memberikan
informasi yang bermanfaat bagi peneliti kedepannya.
13. Kedua orang tua tercinta yang tidak pernah berhenti
memberikan dukungan, kasih sayang, dan cinta. Tidak pernah
bosan dan menyerah untuk mengingatkan peneliti untuk terus
berusaha dalam mencapai hal yang diinginkan peneliti. Tidak
ada kata – kata yang dapat mengungkapkan perasaan cinta
dan terimakasih peneliti kepada kedua orang tua yang telah
diberikan selama ini. Terima kasih yang istimewa untuk
Mama Eti yang selalu menasihati agar menjadi pribadi yang
lebih baik setiap harinya sampai akhir hayatnya.
14. Adikku, Riski Hardana yang telah memberikan semangat
untuk berjuang dalam segala hal.
15. Sepupu tercintaku Devi Anggraini yang terus memotivasi dan
selalu ada dalam setiap peneliti membutuhkan bantuan. Serta
iv
almarhumah Herlin Mauliani yang memacu semangat peneliti
untuk menyelesaikan studinya sehingga bisa mewakilkan
almarhumah lulus di bidang Kesejahteraan Sosial.
16. Muhammad Abdul Hafizh Priyatmoko.
17. Sahabatku NOMNOM Alvin Anggara yang suka membawa
tawa ceria dalam kehidupan peneliti.
18. Teman – teman KUACI Muhammad Fathin, Alif Shoffan,
Refiandi Riansah, Sri Wahyuni, Habib Rachman, dan Galuh
Hari Setiawan yang memberi hiburan dan semangat selama
masa perkuliahan.
19. Semua teman – teman Kesejahteraan Sosial Angkatan 2015
dan semua pihak yang telah memberikan dukungan, bantuan
baik moril maupun materil sehingga skripsi ini bisa
terselesaikan.

Demikianlah skripsi ini peneliti persembahkan, penulis


berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat khususnya
bagi peneliti dan bagi semua pembaca.

Jakarta, 22 September 2019

Riska Hariyana

v
DAFTAR ISI

BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah................................................... 1
B. Pembatasan Masalah ........................................................ 6
C. Rumusan Masalah ............................................................ 6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................ 6
E. Tinjauan Pustaka .............................................................. 8
F. Metodologi Penelitian .................................................... 15
1. Pendekatan Penelitian .............................................. 15
2. Waktu dan Lokasi Penelitian ................................... 16
3. Sumber Data ............................................................. 16
4. Teknik Pengumpulan Data ....................................... 17
5. Teknik Analisis Data ................................................ 20
G. Sistematika Penulisan .................................................... 22
BAB II: KERANGKA TEORI
A. Kesejahteraan Psikososial Pengungsi Anak ................... 25
B. Asesmen Psikososial ...................................................... 26
1. Psikososial ................................................................ 26
2. Aspek – aspek Psikososial ....................................... 28
a. Penyesuaian Diri ................................................ 29
b. Interaksi Sosial ................................................... 32
c. Dukungan Sosial ................................................ 36
3. Masalah Psikososial ................................................. 39
a. Stres .................................................................... 39
b. Depresi ............................................................... 42
c. Keputusasaan ..................................................... 43
4. Emosi Anak .............................................................. 46
Bentuk – bentuk emosi ............................................. 47
5. Penerimaan ............................................................... 48
C. Pengungsi Anak ............................................................. 19
1. Definisi Pengungsi Anak ......................................... 19
2. Klasifikasi Pengungsi Anak ..................................... 21

vi
BAB III: PSIKOSOSIAL PENGUNGSI ANAK DI
INDONESIA
A. Pengungsi Anak di Indonesia ......................................... 55
B. Kondisi Psikososial Anak di Indonesia .......................... 56
C. Penanganan Indonesia dalam Pemulihan Kondisi
Psikososial
Pengungsi Anak di Indonesia ......................................... 60

BAB IV: DATA DAN TEMUAN PENELITIAN


A. School for Refugees (SFR) Jakarta................................. 68
B. Kondisi Psikososial Pengungsi Anak di School For
Refugees (SFR) Jakarta .................................................. 71
a. Penyesuaian diri .................................................... 73
b. Interaksi sosial ....................................................... 85
c. Dukungan sosial .................................................... 91
d. Masalah Psikososial .............................................. 94

BAB V: PEMBAHASAN DAN ANALISA


A. Analisis penyesuaian diri pengungsi anak ................... 104
B. Analisis interaksi sosial pengungsi anak ...................... 107
C. Analisis dukungan sosial pengungsi anak .................... 108
D. Analisis masalah psikososial pengungsi anak .............. 110
E. Analisis emosi pengungsi anak .................................... 112
F. Analisis penerimaan pengungsi anak ........................... 114

BAB VI: PENUTUP


A. Kesimpulan ................................................................. 118
B. Implikasi ..................................................................... 119
C. Saran ........................................................................... 121
DAFTAR PUSTAKA .......................................................... 122

vii
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Data Informan ......................................................... 19

Tabel 4.1 Jumlah Murid di SFR Jakarta ................................. 70

Tabel 5.1 Analisis Emosi Pengungsi Anak ........................... 113

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Bimbingan Skripsi

Lampiran 2 Surat Kelakuan Baik

Lampiran 3 Surat Izin Penelitian dari Fakultas

Lampiran 4 Surat Izin Penelitian United Nations High


Commissioner for Refugees (UNHCR)

Lampiran 5 Code of Conduct for UNHCR Indonesia Volunteers

Lampiran 6 Volunteer Guideliness for Working with Refugees

UNHCR Indonesia

Lampiran 7 Lembar Kesediaan Menjadi Informan

Lampiran 8 Lembar Observasi

Lampiran 9 Lembar Wawancara

Lampiran 10 Lembar Persetujuan Informan

Lampiran 11 Hasil Observasi

Lampiran 12 Transkip Wawancara

ix
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap kekerasan dan konflik yang terjadi di suatu


negara selalu menyebabkan kerugian paling besar bagi anak –
anak. Bukan hanya menimbulkan kerugian nyawa, tetapi juga
memunculkan gelombang manusia yang kehilangan masa
depan. Pada tahun 2019, data dari United Nations High
Commisioner for Refugees (UNHCR) tercatat sudah lebih dari
70 juta orang di dunia terpaksa keluar dari tempat tinggalnya,
dan dari jumlah tersebut, 25,9 juta diantaranya harus
mengungsi ke negara lain. Lebih dari separuh pengungsi ialah
anak – anak yang berusia di bawah 18 tahun (unhcr.org,
2019). Para pengungsi terpaksa meninggalkan tempat tinggal
mereka untuk keselamatan diri dan keluarganya, serta untuk
menghindari agar tidak menjadi korban tindak kekerasan
yang berkepanjangan. Anak – anak yang seharusnya tumbuh
dalam lingkungan yang serba kondusif dan penuh kasih
sayang ketika terpaksa harus mengungsi dan berpindah
tempat yang lebih aman akan berdampak pada kondisi
psikososial mereka (Bagong Suyanto, 2010: 310 – 312).
Dalam usianya, pengungsi anak yang seharusnya bisa
hidup aman dan mendapatkan kasih sayang justru kehilangan
budaya tempatnya tumbuh karena harus mengungsi dan
berpindah – pindah mencari tempat yang aman. Anak lebih
sering mengalami “gegar budaya” karena di tempat mereka

1
merupakan budaya tentang kekerasan sehingga bisa menjadi
bayangan ingatan dan dapat mempengaruhi masa depan
ketika anak mulai dewasa (Bagong Suyanto, 2010: 327 –
335). Dari berbagai penelitian yang dilakukan selama dan
setelah Perang Dunia Kedua (Boardman, 1994), sampai
pengalaman dari berbagai perang yang terjadi saat ini (Baker,
1991), terbukti bahwa pengalaman yang dialami ketika
perang dapat menghalangi perkembangan psikososial anak –
anak, dan harapan mereka tentang kehidupan masa depan
(Marina Ajdukovic & Dean Ajdukovic, 1998: 186).
Pengungsi yang telah mengungsi di negara lain
mengharuskan mereka menyesuaikan diri dengan budaya
setempat. Proses akulturasi diakui sebagai hal yang dapat
menyebabkan stres dan berkaitan dengan masalah sosial dan
psikologis (Berry, 1997). Lebih luas lagi, kecepatan dan jenis
perubahan budaya yang penting diikuti dapat berdampak pada
kesejahteraan psikologis individu. Terlalu banyak perubahan,
kurangnya dukungan, tekanan untuk beradaptasi terlalu cepat,
dan ketidakmampuan untuk mengikuti strategi yang
diinginkan semuanya dapat berakibat akulturasi stres, dan
ketika masalah tersebut terjadi, individu dapat menjadi rentan
mengalami penyakit mental (Jenny Phillimore, 2011: 579).
Pada pengungsi anak yang menjadi murid di sekolah
menghadapi tantangan akademis yang tak terukur dalam
penyesuaian mereka dengan lingkungan baru (Davies, 2008;
McBrien, 2005; Pinson & Arnot, 2007). Mereka sering
menghadapi marginalisasi dan diskriminasi (Portes &
2
Rumbaut, 2001a, 2001b), pengasingan sosial (Davies, 2008;
Mosselson, 2007), kurangnya dukungan orang dewasa (Sarr
& Mosselson, 2010), dan kesulitan mengakses pendidikan
(Women’s Refugee Commission, 2011) (Lesley Bartlett et. al,
2017: 3). Meskipun Indonesia bukan merupakan negara
peserta Konvensi Pengungsi 1951 Pengungsi dan Protokol
1967 (hukumonline.com, 2018), jumlah pengungsi anak yang
datang ke Indonesia dengan keluarga atau sendirian cukup
banyak. Data pada akhir tahun 2018, terdapat kurang lebih
2.383 pengungsi anak yang berada di Indonesia
(beritasatu.com, 2018). Indonesia yang hanya negara transit
masih diminati oleh para pengungsi karena mayoritas
penduduknya yang Muslim. Selain itu, Indonesia tidak bisa
begitu saja menetapkan status para imigran sebagai pengungsi
atau pencari suaka. Penentuan status tersebut harus dilakukan
oleh UNHCR yang tidak jarang memakan waktu sangat lama.
Seseorang yang sudah mendapat status pengungsi sekali pun
misalnya tetap tidak bisa bekerja di negara yang berstatus
negara transit, dan harus menunggu solusi jangka panjang
yang tidak pasti. Sehingga pengungsi dan keluarganya
mengalami ketidakjelasan akan masa depan mereka
(voaindonesia.com, 2017). Mitra sebagai Public Information
Officer UNHCR mengatakan “tidak ada batasan waktu yang
pasti. Sebab mereka harus menunggu mendapatkan suaka dari
negara yang bisa memberikan kewarganegaraan, atau kembali
ke negara asal ketika konflik usai. Mereka pengungsi, mereka
berakhir kalau menemukan solusi jangka panjang, yakni
3
penempatan di negara ketiga seperti AS, Kanada, Australia,
jumlah di seluruh dunia hanya 20 negara resettlement country
yang bisa menerima mereka. Selama disini status mereka
pengungsi, waktu yang dibutuhkan bisa sangat lama."
(gatra.com, 2019).
Karena ketidakjelasan akan negara ketiga, pemerintah
menghimbau pengungsi untuk berbaur dengan masyarakat
setempat (matapolitik.com, 2018). Namun, dalam prosesnya,
pengungsi anak mengalami banyak permasalahan selama
bermukim di Indonesia. Beberapa contoh kasus diantaranya:
Di Makassar, pengungsi anak Rohingya yang menjadi siswa
“titipan” di Sekolah Dasar (SD) mendapatkan perlakuan yang
buruk dari teman – temannya yang berasal dari Indonesia. Ia
mendapatkan kekerasan fisik hingga menimbulkan luka
memar dan lebam. Selain kekerasan fisik, mereka juga
menerima kata – kata kasar yang mengintimidasi mereka
bahwa mereka bukan berasal dari Indonesia. Di Medan, anak
– anak pengungsi Rohingya cenderung menutup diri dari
pergaulan dengan anak – anak Indonesia. Sehingga tidak
banyak interaksi yang dilakukan oleh mereka. Pada kondisi di
Makassar, anak – anak pengungsi Rohingya yang
disekolahkan di Aceh terpaksa harus dikeluarkan dari sekolah
karena mengintimidasi teman – temannya yang merupakan
anak Indonesia (Rizka Argadianti & Zico Efraindio, 2016: 51
& 54). Sejauh ini, belum ada yang membahas terkait kondisi
psikososial anak yang tinggal di Indonesia khususnya di
Jakarta sehingga belum ada gambaran mengenai kondisi
4
psikososial secara umum yang mana membuat peneliti
tertarik untuk membahasnya dalam penelitian ini. Dalam
membahas kondisi psikososial pengungsi anak, peneliti akan
mengambil fokus pengungsi anak di School for Refugees
(SFR) yang merupakan bagian dari program Dompet Dhuafa
yang pada awalnya dibuat sebagai bantuan kemanusiaan pada
pengungsi Rohingnya di Aceh yang kemudian diperluas di
Jakarta (dompetdhuafa.org, 2017). Sebagaimana yang telah
dijelaskan, Dompet Dhuafa sebagai lembaga amal di
Indonesia bertujuan untuk memberikan bantuan kemanusiaan
dan menolong terhadap orang yang membutuhkan.
Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat Al-Qur’an Surah
Al Maidah ayat 2:

ِ ‫ﺷدِﯾ ُد ا ْﻟ ِﻌ َﻘﺎ‬
‫ب‬ َ ‫ﷲ ۖ إِنﱠ ﱠ‬
َ ‫ﷲ‬ َ ‫ان ۚ َوا ﱠﺗﻘُوا ﱠ‬
ِ ‫َوا ْﻟ ُﻌدْ َو‬
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (Q.S Al –
Maidah: 2).

Pada observasi awal yang dilakukan di sekolah


tersebut, terdapat pengungsi anak dari berbagai negara di
Afrika dan Timur Tengah seperti Afghanistan, Ethiopia, dan
Eritrea. Program SFR ini dibentuk untuk memberikan
kesempatan kepada pengungsi anak untuk menempuh
pendidikan di Indonesia dengan mendaftarkan pengungsi
anak ke sekolah lokal. Fokus program SFR tersebut selain
5
untuk memberikan kesempatan dalam pendidikan, yaitu juga
sebagai upaya untuk menjaga kondisi psikis dan sosial anak
ditengah masa pengungsian dan belajar lebih banyak tentang
bagaimana menjalankan kehidupan sehari – hari di Indonesia.
Sehingga penelitian ini akan di tuliskan dalam sebuah skripsi
yang berjudul PSIKOSOSIAL PENGUNGSI ANAK DI
SCHOOL FOR REFUGEES (SFR) JAKARTA.

B. Pembatasan Masalah
Berdasarkan judul dan latar belakang masalah diatas dan
untuk mempermudah peneliti agar lebih fokus dalam
penelitian maka peneliti membatasi masalah yang dibahas
yaitu berfokus kepada kondisi psikososial pengungsi anak di
SFR dengan pengungsi anak remaja usia 15 sampai dengan
17 tahun yang sudah tinggal minimal selama dua tahun di
Indonesia yang mana dalam hal ini pengungsi remaja dalam
latar belakang yang telah dijelaskan rentan mengalami
masalah psikososial.

C. Rumusan Masalah

Bagaimana kondisi psikososial pengungsi anak di School for


Refugees (SFR) Jakarta?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui :
a. Kondisi psikososial pengungsi anak di School for
Refugees (SFR) Dompet Dhuafa.

6
b. Mengetahui sejauh kondisi psikososial pengungsi
anak yang menjadi murid di School for Refugees
(SFR) Dompet Dhuafa.

2. Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :


a. Manfaat Akademis
Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian
lebih lanjut bagi para peneliti lain, lembaga, maupun
masyarakat umum dalam bidang kesejahteraan
sosial atau bidang lainnya terkait kondisi psikososial
pengungsi anak dalam keterlibatan Indonesia pada
isu internasional.
b. Manfaat Praktis
Sebagai referensi tambahan untuk lembaga dalam
menciptakan ide – ide baru sehingga bisa
memaksimalkan program yang sudah dijalankan
atau merancang program baru dalam penanganan
psikososial pengungsi anak. Selain itu juga sebagai
bahan masukan dan sumber informasi yang berguna
bagi pembaca, khususnya bagi mahasiswa/i
Kesejahteraan Sosial dalam mengetahui peran
pekerja sosial dalam menangani isu yang berkaitan
dengan psikososial pengungsi anak di Indonesia.

7
E. Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan tinjauan


pustaka terdahulu sebagai langkah dari penyusunan skripsi
yang di tulis oleh peneliti agar terhindar dari kesamaan judul
dan lain – lain dari penelitian yang sudah ada sebelum –
sebelumnya. Setelah melakukan tinjauan pustaka, maka
peneliti menggunakan e – journal sebagai tinjauan pada
skripsi ini, diantaranya:

The wellbeing of refugee children in an early childhood


education context: connection and dilemmas. Hasil kajian
menunjukkan bahwa penelitian ini dilakukan untuk
mengidentifikasi proses dalam menjalin relasi antara
pengungsi anak, orang tua, dan staff sekolah pada program
intervensi yang dibuat untuk meningkatkan kesejahteraan
pengungsi anak usia 5 sampai 8 tahun melalui ruang lingkup
di sekolah. Orang tua serta staff di sekolah berperan untuk
memulihkan psikososial pengungsi anak. Serta penelitian ini
menjelaskan pengindentifikasian masalah yang dialami
pengungsi anak serta proses yang dilakukan dalam
memperkuat kondisi psikososial tersebut sehingga dapat
diperoleh hasil perubahan sikap sebelum dan sesudah
dilakukannya program intervensi. (Journal of Educational
Enquiry, Vol. 13, No. 1, year 2014 by Natalie Shallow and
Victoria Whitington)

8
The psychosocial needs of refugee children and youth and
best practices for filling these needs: A systematic review.
Hasil kajian ini menunjukkan bahwa bahwa terdapat 16,1 juta
pengungsi akibat konflik di seluruh dunia dengan jumlah dari
setengahnya merupakan anak dibawah 18 tahun. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang kebutuhan
anak – anak dan remaja pengungsi (usia 5 – 18 tahun). Dalam
studi ini, kebutuhan yang diidentifikasi dari anak – anak dan
remaja pengungsi terutama dalam bidang dukungan sosial,
keamanan, budaya, dan pendidikan. Beberapa strategi
diidentifikasi sebagai memfasilitasi integrasi mereka, seperti
program bimbingan. Tinjauan saat ini dapat membantu
menginformasikan program integrasi kedepannya yang
dirancang untuk anak – anak dan remaja pengungsi.
Mendukung integrasi anak – anak pengungsi dan pemuda,
dan keluarga mereka, mendukung untuk hasil yang positif dan
bermanfaat bagi para pengungsi dan anggota masyarakat di
negara tujuan pengungsi. (The University of Western Ontario
Journal, Vol. 23 No. 2, April 2018 by Cisse Nakeyar,
Victoria Esses, and Graham J Reid).

Psychosocial problems in traumatized refugee families:


overview of risks and some recommendations for support
services. Artikel ini adalah versi singkat dari laporan oleh
dewan penasihat untuk pemerintah Jerman tentang masalah
psikososial yang dihadapi keluarga pengungsi dari zona
perang yang telah menetap di Jerman. Jurnal ini mencakup

9
wawasan dan strategi yang dapat diterapkan untuk membantu
para pengungsi di negara tuan rumah lainnya juga. Fokusnya
adalah memahami risiko perkembangan yang dihadapi oleh
anak – anak pengungsi ketika mereka atau anggota keluarga
menderita gangguan psikologis terkait trauma, dan pada
mengidentifikasi tindakan yang dapat diambil untuk
mengatasi risiko ini. Rekomendasi berikut dibuat: mengenali
tingkat tinggi masalah psikososial yang ada dalam keluarga
pengungsi, menyediakan akomodasi tinggal yang ramah
keluarga, mengajarkan keterampilan pengasuhan yang positif,
memulai intervensi yang peka terhadap budaya, membuat
program pelatihan untuk mendukung mereka yang bekerja
dengan pengungsi, memperluas ketersediaan penerjemah
terlatih, memfasilitasi akses ke pendidikan dan perawatan
kesehatan, dan mengidentifikasi persyaratan intervensi
melalui penyaringan dan tindakan lain. (Child Adolesc
Psychiatry Ment Health, 2018 by J.M Fergert et.al)

Psychosocial support to foster social cohesion between


refugee and host communities in Jordan. Konflik internal di
Suriah telah menggusur sejumlah besar populasi ke negara-
negara tetangga sejak pemberontakan tahun 2011. Masuknya
besar orang-orang terlantar ke Yordania menimbulkan
tantangan besar bagi masyarakat internasional serta otoritas
lokal, dengan meningkatnya persaingan untuk sumber daya
yang sudah langka dan layanan menciptakan ketegangan yang
meningkat antara pengungsi dan masyarakat tuan rumah.

10
Dalam konteks ini, organisasi non-pemerintah, Action Contre
la Faim, mengimplementasikan sebuah program yang
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan psikososial,
menumbuhkan ketahanan dan mempromosikan interaksi
positif antara anggota kedua komunitas. Melalui partisipasi
kelompok pendukung dalam organisasi berbasis masyarakat,
dialog difasilitasi, dan interaksi terjadi di lingkungan yang
aman dan terapeutik. Peserta melaporkan peningkatan
persepsi kesejahteraan dan kepercayaan diri, serta
peningkatan saling pengertian dan komunikasi, mengurangi
isolasi dan perluasan dukungan sosial, meningkatkan empati
dan mengurangi prasangka. (Intervention, Journal of Mental
Health and Psychosocial Support in Conflict Affected
Areas. Published by Wolters Kluwer, 2018 by Paulina
Acosta & Nuria Chica)

Psychosocial and Academic Adjustment among Resettled


Refugee Youth. Mengingat latar belakang gelombang global
pengungsi dan tingginya jumlah anak di bawah usia 18 tahun
di antara jumlah orang yang dipindahkan secara paksa, bab ini
membahas literatur tentang pengalaman pendidikan di antara
para pengungsi yang bermukim kembali di negara-negara
Barat. Pengungsi muda biasanya menghadapi serangkaian
tantangan dan kesulitan unik yang kompleks termasuk
gangguan di sekolah mereka, perpindahan, paparan peristiwa
yang berpotensi traumatis, dan stresor pemukiman kembali.
Interaksi pemuda dan orang tua dengan sekolah dipengaruhi

11
oleh perbedaan linguistik dan budaya, yang dapat
membuatnya sulit untuk berkomunikasi dan mengadvokasi
kebutuhan pendidikan para pengungsi muda. Bab ini
memberikan ulasan literatur pendidikan tentang pemuda
pengungsi yang bermukim kembali. Kami menggunakan
kerangka sosioekologis dan menawarkan lensa pelindung dan
promotif, termasuk masalah psikososial, untuk
dipertimbangkan untuk program pencegahan dan intervensi
berbasis sekolah. Bab ini dibangun berdasarkan Pastoor
(2015), yang menganjurkan pendekatan holistik dengan siswa
pengungsi di lingkungan berbasis sekolah. (Annual Review of
Comparative and International Education, 2016 by Mary E.
Brenner & Maryam Kia-Keating).

Children Psychosocial Development: An Effort to Manage


the Knowledge on Child Refugees in Indonesia. Pengungsi
yang tidak memiliki kewarganegaraan di Indonesia, terutama
anak-anak, bertemu sejak lama ketidakjelasan dan kelangkaan
sumber daya sebelum ditempatkan di negara tujuan. Sebagai
upaya untuk mengelola pengetahuan pengungsi anak,
penelitian ini membahas bagaimana orang tua berkontribusi
pada perkembangan psikososial mereka. Penelitian ini
menggunakan penelitian kualitatif dengan wawancara
mendalam dan studi dokumen. Wawancara dilakukan dengan
anak-anak pengungsi yang merupakan siswa Cisarua Refugee
Learning Center (CRLC), berusia 14-16 tahun, orang tua
mereka, dan guru-guru di Jawa Barat. Studi ini menunjukkan

12
bahwa, pertama, anak-anak pengungsi sudah lanjut dalam
perkembangan psikososial untuk usia mereka, terutama dalam
pengembangan visi, cita-cita, dan pandangan masa depan.
Kedua, sosialisasi dan lingkungan orang tua perkembangan
psikososial anak-anak pengungsi yang terkena dampak.
Ketiga, lingkungan terintegrasi ke dalam organisasi berbasis
masyarakat (CRLC) berkontribusi secara efektif untuk
mereka pengembangan. Karena itu, harus ada pemberdayaan
keluarga dan pelembagaan organisasi berbasis masyarakat di
kamp-kamp pengungsian untuk dikembangkan anak-anak
tanpa kewarganegaraan tepat. (Fakultas FISIP Universitas
Indonesia, Gedung Nusantara II Kampus FISIP UI,
Indonesia, 2018 by Erika Chrisiani & Johanna Debora
Imelda)

The Psychosocial Health of Migrants and Refugees: A


Review Essay. Kesejahteraan para migran dan pengungsi
telah lama dianalisis dari sudut pandang akses kebutuhan
dasar, penyediaan material, dan kesehatan fisik. Namun,
literatur yang berkembang menekankan dampak masalah
psikososial pada perkembangan pribadi dan sosial mereka.
Dengan demikian, artikel ini bertujuan untuk memberikan
gambaran yang jelas dan terperinci tentang pengetahuan yang
ada tentang kesehatan psikososial migran dan pengungsi
berdasarkan literatur akademik dan laporan LSM. Pertama,
setelah mengidentifikasi beberapa faktor trauma spesifik yang
dapat dihadapi oleh para migran atau pengungsi, saya

13
mencirikan perkembangan beberapa masalah psikologis
tertentu yang mungkin diderita oleh pengungsi dan migran.
Saya kemudian membandingkan prevalensi penyakit mental
yang terakhir antara migran, pengungsi, pencari suaka dan
warga negara. Akhirnya, saya menekankan faktor-faktor
mitigasi yang harus diingat ketika menganalisis pengungsi
atau kesehatan psikososial migran, yaitu milik kelompok
rentan - menjadi seorang wanita, anak-anak atau orang tua -,
perbedaan etnologi, keyakinan dan keyakinan agama, dan
hosting sikap negara. (Novosibirsk State University, 2016
by Sarah Schneider-Strawczynski)

Psychological and psychosocial interventions for refugee


children resettled in high-income countries. Sejumlah besar
anak-anak pengungsi tiba di negara-negara berpenghasilan
tinggi. Bukti sampai saat ini menunjukkan bahwa mereka
memilikinya kebutuhan kesehatan mental yang lebih tinggi
dari orang – orang pada umumnya dan ini diperburuk oleh
jumlah peristiwa traumatis yang telah mereka alami dan
stresor paska migrasi yang terus mereka hadapi. Pentingnya
untuk melakukan asesmen. Perawatan yang dilakukan selam
masa stres pasca-trauma gangguan, fungsi keluarga, masalah
kesehatan mental umum dan lingkungan sekolah.
(Epidemiology and Psychiatric Sciences, page 1 of 7,
Cambridge University Press, 2017 by M. Fazel)

14
Keterkaitan antara tinjauan pustaka diatas dengan skripsi ini
yaitu pada skripsi ini akan membahas analisis kondisi
psikososial pengungsi anak di School for Refugees (SFR).
Perbedaan dari studi diatas ialah peneliti membahas
psikososial pengungsi anak ketika berada di Indonesia yang
meliputi interaksi sosial, penyesuaian diri, dan dukungan
sosial yang diterimanya dari lingkungan di sekitarnya di
Jakarta. Selain itu, pada skripsi ini, peneliti juga membahas
masalah psikososial seperti stres, depresi, dan putus asa yang
dapat dialami pengungsi anak selama berada di Indonesia.

F. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini disusun dengan menggunakan tipe
penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif menurut
Bogdan dan Taylor (1990) adalah prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata – kata
tertulis atau lisan dari orang – orang dan berperilaku
yang dapat diarahkan pada latar dan individu secara utuh.
Creswell (1995) menyatakan bahwa pendekatan kualitatif
diartikan sebagai suatu proses penelitian untuk
memahami masalah – masalah manusia atau sosial
dengan membuat gambaran menyeluruh dan kompleks
yang disajikan dengan kata – kata, melaporkan
pandangan rinci yang diperoleh dari sumber para sumber
informasi yang dilakukan dalam latar yang alamiah
(Imam Gunawan, 2013: 82 – 83). Jenis penelitian yang

15
peneliti gunakan adalah penelitian deskriptif. Tujuan dari
metode penelitian deskriptif menurut Suharsimi Arikunto
(2003) adalah untuk mendeskripsikan apa adanya suatu
variabel, gejala, atau keadaan (Andi Prastowo, 2011: 203
– 204).

2. Waktu dan Lokasi Penelitian


a. Lokasi penelitian yang diambil oleh peneliti dalam
mencari informasi dan data – data terkait dengan
objek penelitian adalah di SFR Jakarta

b. Waktu Penelitian
Waktu penelitian atau kegiatannya terhitung mulai
bulan April 2019 sampai dengan bulan September
2019.

3. Sumber Data
Dalam mencari data untuk penelitian ini, peneliti
menggunakan dua sumber data (Bambang Rustanto, 2015:
16 – 17), yaitu:
a. Sumber data primer. Bentuk dari sumber data primer
ialah verbal, gerak – gerik, atau perilaku yang
dilakukan oleh subjek yang dapat dipercaya. Adapun
yang menjadi sumber data primer dalam penelitian ini
adalah pengungsi anak yang menjadi murid di SFR
Jakarta.
b. Sumber data sekunder, yaitu data yang dikumpulkan
peneliti sebagai penunjang dari sumber pertama

16
berupa dokumen yang diambil dan dikutip dari
berbagai sumber literatur, jurnal, buku – buku,
website, foto – foto, film, rekaman video, tulisan lain
yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, seperti
brosur, arsip, pamflet, dan lain – lain.

4. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data merupakan langkah untuk
mendapatkan data. Pada pengumpulan data dilakukan
pada natural setting, sumber data primer, observasi,
wawancara mendalam, dan studi dokumentasi (Sugiyono,
2014: 222 – 225). Dibawah ini, peneliti menjelaskan
pengumpulan data yang dilakukan, diantaranya:
1. Observasi
Observasi adalah teknik pengumpulan data yang
digunakan untuk mengumpulkan data penelitian
melalui pengamatan dan pengindraan (Burhan Bungin,
2008: 115). Dalam penelitian ini, teknik observasi
yang digunakan oleh peneliti dengan mengunjungi,
meninjau lokasi penelitian, yaitu SFR Jakarta dan
mengamati pengungsi anak yang menjadi subjek dari
penelitian ini. Hasil pengamatan peneliti gunakan
sebagai sumber data. Adapun dalam hal ini, peneliti
melakukan penelitian dengan izin dari UNHCR
sehingga ketentuan – ketentuan yang berkaitan dengan
pengungsi harus peneliti taati sehingga peneliti tidak
bisa memberikan keterangan tempat atau lokasi

17
pengungsi yang menjadi informan peneliti untuk
dituliskan di dalam skripsi ini.

2. Wawancara
Wawancara adalah sebuah proses memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya
jawab sambil bertatap muka antara pewawancara
dengan orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa
menggunakan pedoman wawancara. Metode
wawancara yang digunakan dalam penelitian kualitatif
adalah wawancara mendalam (in – depth interview)
yaitu membutuhkan waktu yang lama bersama
informan di lokasi penelitian. Wawancara yang
dilakukan peneliti adalah wawancara dengan proses
yang terbuka yaitu informan mengetahui tujuan dari
wawancara yang dilakukan. Selain itu, pencatatan dan
perekaman juga dilakukan secara terbuka dan atas
persetujuan informan (Burhan Bungin, 2008: 108).
Teknik yang digunakan untuk memilih informan
dalam penelitian ini adalah dengan teknik purposive
sampling. Teknik ini merupakan teknik pengambilan
informan dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan
pengambilan informan ini adalah orang yang dianggap
paling tahu tentang hal yang berkaitan dengan
penelitian sehingga data yang di dapatkan sesuai
dengan data yang diperlukan. Jumlah informan yang
peneliti butuhkan untuk penelitian ini ialah empat

18
orang pengungsi anak yang bersekolah di SFR yang
menjadi subjek utama peneliti. Berikut tabel informan
yang telah peneliti susun:

Umur / Informasi
Metode yang
No. Nama Asal Negara Jenis yang di
digunakan
kelamin dapat
1. MNA Ethiopia 17 tahun / Kondisi 1. Observasi
Perempuan psikososial 2. Wawancara
2. NMK Ethiopia 15 tahun / Kondisi 1. Observasi
Perempuan psikososial 2. Wawancara
3. MIA Ethiopia 16 tahun / Kondisi 1. Observasi
Laki – laki psikososial 2. Wawancara
4. WA Afghanistan 15 tahun / Kondisi 1. Observasi
Perempuan psikososial 2. Wawancara
Tabel 1.1 Daftar Informan Penelitian

3. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi adalah teknik pengumpulan
data berupa informasi yang berasal dari catatan
penting, bahan – bahan tertulis atau cetak atau
rekaman peristiwa yang berkaitan dengan penelitian
(Bambang Rustanto, 2015: 60 – 61). Penggunaan
informasi dokumentasi yang digunakan sebagai data
ialah dokumen yang berkaitan dengan keempat
pengungsi seperti daftar absensi dan profil pengungsi
anak yang rahasia dan tidak bisa diakses sehingga
lampiran mengenai identitas pengungsi anak sangat
terbatas.

19
5. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan proses mencari dan
menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil
wawancara, catatan lapangan, dan studi dokumentasi
melalui cara dengan mengorganisasikan data ke dalam
kategori, menjabarkan ke dalam unit – unit, melakukan
sintesa, menyusun ke dalam pola, memilah data yang
penting, dan membuat kesimpulan dari penelitian yang
dilakukan sehingga mudah dipahami oleh peneliti dan
orang lain. Miles and Huberman (1984), menyatakan
bahwa analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif
dan berlangsung secara terus menerus sampai data yang
didapatkan sudah jenuh dan tuntas (Sugiyono, 2014: 244
– 246). Menurut Sugiyono (2010), terdapat tiga tahapan
dalam melakukan analisis data yang dikemukakan oleh
Miles dan Huberman (1984), diantaranya:
1. Reduksi Data (Data Reduction)
Reduksi data adalah proses merangkum, memilih dan
memfokuskan hal – hal yang pokok dan penting, serta
mencari suatu pola untuk menghasilkan gambaran
yang jelas dan mempermudah peneliti untuk
melakukan pengumpulan data selanjutnya dan
mencari data yang dibutuhkan lagi.
2. Penyajian Data (Data Display)
Penyajian data dapat dilakukan dengan membuat
tabel, grafik, teks, transkip, dan lainnya. Dengan men–
display–kan data, maka akan memudahkan peneliti
20
untuk memahami apa yang terjadi dan merencanakan
kerja selanjutnya berdasarkan apa yang dipahami oleh
peneliti.
3. Penarikan Kesimpulan (Conclusion)
Penarikan kesimpulan yang dilakukan berupa
deskripsi atau gambaran subjek yang sebelumnya
masih belum jelas sehingga setelah dilakukan
penelitian menjadi jelas yang dapat berupa hubungan
kausal atau interpretative, hipotesis, atau teori
(Bambang Rustanto, 2015: 73).

Peneliti akan menerapkan kriteria ekslusi – inklusi


data. Proses ini merupakan sampling – data, yakni
membuang yang tidak atau kurang relevan dan
memasukkan data yang relevan dan memasukkan data
yang relevan untuk menjawab permasalahan penelitian.
Adapun seluruh informasi dan keterangan yang ditemukan
dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan analisis
deskriptif, yaitu mendeskripsikan hasil temuan penelitian
secara sistematis, faktual dan akurat yang disertai dengan
kutipan wawacara yang telah dilakukan.

4. Teknik Keabsahan Data


Dalam analisa data digunakan uji keabsahan data
adalah dengan menggunakan teknik triangulasi. Teknik
triangulasi yaitu teknik yang dilakukan dengan cara
membandingkan dan mengecek derajat kepercayaan suatu

21
informasi yang diperoleh. Teknik triangulasi menurut
Moleong (2006: 330 & 335) yang peneliti gunakan
diantaranya:
1. Membandingkan data hasil observasi saat melakukan
wawancara dengan pengungsi anak SFR Jakarta;
2. Mengoreksi kekeliruan oleh sumber data yang telah
didapatkan (Burhan Bungin, 2008: 252 – 257).
Dalam penelitian ini, peneliti dapat membuktikan
data – data berdasarkan hasil wawancara dan observasi
terhadap subjek penelitian yaitu dengan melakukan
analisis kondisi psikososial pengungsi anak di SFR.
Dalam hal ini peneliti dapat memastikan bahwa kepastian
kondisi psikososial pengungsi anak adalah melalui hasil
wawancara dan hasil observasi terhadap subjek penelitian
serta hasil koreksi ulang yang peneliti lakukan selama
penyusunan penelitian ini dengan hasil yang telah
didapatkan.

G. Sistematika Penulisan
Agar pembahasan ini menjadi sistematis serta untuk
mempermudah analisa materi pada penulisan skripsi ini, maka
peneliti akan menjelaskan sistematika penulisan berdasarkan
Surat Keterangan (SK) Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Secara garis besar skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab
dengan beberapa sub bab. Berikut ini adalah sistematika
penulisannya secara lengkap:

22
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Batasan Masalah
C. Rumusan Masalah
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
E. Tinjauan Kajian Terdahulu
F. Metode Penelitian
G. Sistematika Penulisan
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Bab ini akan menjelaskan pemahaman teoritis serta
implementasi teori terhadap lapangan dalam melihat
permasalahan pokok dalam skripsi ini yaitu kondisi
psikososial pengungsi anak SFR Dompet Dhuafa di Jakarta
seperti interaksi sosial, penyesuaian diri, dukungan sosial,
stres, depresi, dan keputusasaan.
BAB III GAMBARAN UMUM
Bagian ini berisi tentang gambaran umum psikososial
pengungsi anak di Indonesia, penanganan Indonesia dalam
pemulihan kondisi psikososial pengungsi anak di Indonesia,
dan pemulihan kondisi psikososial pengungsi anak yang
menjadi murid di SFR Dompet Dhuafa di Jakarta.
BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
Dalam bab ini menjelaskan analisis deskriptif atau penyajian
data dan temuan penelitian tentang kondisi psikososial
pengungsi anak di Jakarta.

23
BAB V PEMBAHASAN
Bagian ini berisi uraian yang mengaitkan latar belakang, teori,
dan rumusan teori baru dari penelitian.
BAB VI KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
Bab ini berisi kesimpulan akhir dari penelitian ini serta
implikasi dan saran yang diungkapkan oleh peneliti dengan
judul penelitian terkait.

24
BAB II

KERANGKA TEORI

Pada bab kedua dalam penelitian ini, peneliti


menggunakan teori dan penjelasan mengenai psikososial yang
mencakup aspek psikososial dan masalah psikososial untuk
menganalisis kondisi psikososial pengungsi anak di Jakarta yang
menjadi murid di SFR. Sehingga pada bagian ini, peneliti
menggunakan teori tersebut untuk menjelaskan kondisi
psikososial pengungsi anak yang tinggal di Indonesia untuk
menunggu solusi jangka panjang dari UNHCR.

A. Kesejahteraan Psikososial Pengungsi Anak

Situasi konflik menyebabkan pengungsi anak


mengalami trauma psikologis. Mereka banyak mengalami
trauma dari tindakan kekerasan dan persekusi yang dilihat
atau bahkan mereka alami langsung yang dapat berdampak
pada kehidupannya di masa depan. Dalam usianya, pengungsi
anak yang seharusnya bisa hidup aman dan mendapatkan
kasih sayang justru kehilangan budaya tempatnya tumbuh
karena harus mengungsi dan berpindah – pindah mencari
tempat yang aman (Bagong Suyanto, 2010: 327 – 335).
Kesejahteraan psikososial pengungsi anak sangat
penting bagi kesehatan fisik si anak. Melindungi
kesejahteraan psikososial pada pengungsi anak mempunyai
dua tujuan yaitu, pertama sebagai pencegahan, meningkatkan
seluruh faktor – faktor yang merupakan kesejahteraan anak.
25
Kedua, sebagai pendampingan tindakan perbaikan khusus
yang diperlukan untuk memastikan bahwa anak yang telah
dirugikan atau mempunyai kebutuhan – kebutuhan tertentu
diberikan pendampingan yang menjamin pemulihan si anak.
Perkembangan seorang anak tidak dapat ditunda. Kepribadian
mereka dibentuk dan keahlian mengatasi sesuatu dipelajari
setiap harinya. Kebutuhan perkembangan tetap akan
dibutuhkan walaupun berada di masa pengungsian. Anak –
anak tidak tumbuh dalam isolasi dimana keluarga merupakan
tempat penting dalam pemberian harga diri, keamanan, dan
identitas yang diperlukan oleh seorang anak untuk dapat
belajar dari, dan menyesuaikan diri kedalam masyarakat.
Dalam hal ini, faktor yang menjadi sumber kesejahteraan
psikososial pengungsi anak dipengaruhi oleh perlakuan,
perlindungan, dan perawatan yang mereka terima dari
keluarga dan lingkungan sekitarnya (UNHCR, 1994: 41 – 42).

B. Asesmen Psikososial
1. Psikososial
Pengungsi anak secara global dalam kehidupannya
kehilangan rumah, keluarga, dan masa depan. Mereka
mengalami trauma, depresi, kehilangan harapan, dan masalah
psikologis lain yang dapat mempengaruhi kehidupan sosial
mereka (satuharapan.com, 2013). Ditambah perjalanan yang
dilakukan pada masa perpindahan melewati banyak rintangan
seperti kekerasan fisik, pelecehan seksual, terancam terbunuh,
kelaparan, dan juga masalah kesehatan. Banyak pengungsi
26
anak yang mengalami pengalaman tragis saat melarikan diri
yang biasanya tidak mereka ungkapkan. Mereka banyak
menderita trauma psikis berat pasca pengalaman buruk dalam
perjalanan yang membuat mereka kesulitan beradaptasi ketika
mereka sudah berada di tempat pengungsian dan hal tersebut
berdampak pada kesehatan mental mereka dalam menjalani
kehidupan sosialnya (dw.com, 2015). Migrasi adalah suatu
peristiwa kehidupan yang dapat melibatkan perubahan
mendalam termasuk hubungan yang sudah terjalin dengan
baik pada masa sebelum perpindahan. Anak menghadapi
sejumlah masalah saat berada di tempat yang baru. Mereka
harus belajar bahasa baru, beradaptasi ke sistem pendidikan
baru, membangun jaringan sosial baru, dan menyesuaikan diri
dengan budaya dan kebiasaan baru berupa standar perilaku
normatif dan non – normatif baru (Seyhan Çankaya et al,
2018: 3).
Kondisi pengungsi anak yang telah dijelaskan ini
berkaitan dengan psikologi sosial (psikososial). Psikososial
merupakan kondisi individu dalam aspek psikologis dan
aspek sosial yang saling berhubungan dan berpengaruh pada
individu dalam situasi – situasi sosial. Allport (1968)
mendefinisikan psikososial merupakan upaya untuk
memahami dan menjelaskan bagaimana pikiran, perasaan,
dan perilaku individu yang terpengaruh oleh kehadiran orang
lain. Pada pandangan Baron & Bryne (2006) mengemukakan
“psikologi sosial adalah bidang ilmu yang mencari
pemahaman tentang asal mula dan penyebab terjadinya
27
pikiran serta perilaku individu dalam situasi – situasi sosial.”
(Sarlito dan Eka, 2009: 11 – 12). Kata psikososial
menggarisbawahi suatu hubungan dinamis antara efek
psikologis dan sosial yang saling mempengaruhi. Kebutuhan
psikososial mencakup cara seseorang berfikir dan
kemampuan untuk mengenal dirinya dengan orang lain,
keamanan dirinya, orang – orang yang bermakna baginya,
hubungan dan interaksi dengan orang lain, dan lingkungan
sekitarnya serta pemahaman dan reaksinya terhadap kejadian
– kejadian disekitarnya (Departemen Sosial, 2004: 2 dalam
Tri Nugrahaning, 2013).
Dilihat dari pengertian diatas, dapat disimpulkan
bahwa psikososial diartikan sebagai upaya untuk memahami
dan menjelaskan bagaimana pikiran, perasan, dan penyebab
perilaku individu dalam situasi – situasi sosial seperti cara
berfikir, kemampuan mengenal diri dan orang lain, hubungan
dan interaksi dengan orang lain, serta reaksi terhadap kejadian
tertentu. Dengan begitu, psikososial pada pengungsi menjadi
pembahasan peneliti terutama dalam membahas tentang
kondisi psikososial pengungsi anak dalam berkehidupan
sosial selama masa tunggu di Indonesia.

2. Aspek – aspek psikososial

Dampak konflik dan perpindahan yang dilakukan


secara tiba – tiba akan mempengaruhi psikososial anak
terutama pada kehidupan mereka saat sampai di tempat
yang baru. Pengungsi yang berada di lingkungan berbeda
28
untuk jangka waktu yang lama akan mencoba
menyesuaikan diri dengan budaya di tempatnya tinggal.
Maka dari itu, asesmen psikososial yang berhubungan
dengan fokus penelitian ini, diantaranya:

a. Penyesuaian Diri
Pengungsi yang berpindah tempat dan
mengungsi di negara lain akan menemukan dirinya
berada di lingkungan dan budaya yang berbeda dari
negaranya berasal. Terdapat hubungan seimbang
antara kualitas hubungan teman sebaya pengungsi
remaja dan penyesuaian mereka, baik secara
bersamaan maupun dalam jangka panjang. Sebagian
besar teman sebaya yang dimiliki pengungsi remaja
adalah teman sekolah dari negara asalnya dan hal
tersebut membuat mereka dapat berpotensi mengalami
kesulitan pada penyesuaian diri dan memulai kembali
hubungan dari awal karena perbedaan bahasa dan
budaya di negara tempatnya tinggal saat ini (Lydia
Kovacev & Rosalyn Shute, 2004: 260). Pada
definisinya, penyesuaian dikenal dengan istilah
adjustment. Penyesuaian diri merupakan suatu proses
yang mencakup respon – respon mental dan
behavioral yang diperjuangkan individu agar dapat
berhasil menghadapi kebutuhan – kebutuhan internal,
mengatasi ketegangan, frustasi, konflik, serta untuk
menghasilkan kualitas keselarasan antara tuntutan dari

29
dalam individu dengan tuntutan dunia luar atau di
lingkungan tempat tinggal. Individu dapat
menyesuaikan diri yang baik ialah individu yang telah
belajar bereaksi terhadap dirinya dan lingkungannya
dengan cara – cara yang matang, efisien
(mengeluarkan tenaga dan waktu yang sesuai),
memuaskan, sehat (respon sesuai dengan hakikat dan
tuntutan lingkungan), serta dapat mengatasi kesulitan
pribadi dan sosial tanpa mengembangkan perilaku
yang dapat mengganggu tujuan – tujuan moral, sosial,
agama, dan tugas (Mohammad Ali dan Mohammad
Asrori, 2004: 175 – 178).
Proses penyesuaian diri menurut Schneiders
(1984), melibatkan 3 unsur, yaitu (1) motivasi,
merupakan dorongan seseorang bergerak melakukan
sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu; (2) sikap
terhadap realitas dalam penyesuaian diri, merupakan
sikap dan cara individu bereaksi terhadap manusia
sekitarnya. berbagai tuntutan realitas, adanya
pembatasan, aturan, dan norma menuntut individu
untuk terus belajar menghadapi suatu proses ke arah
hubungan yang harmonis antara tuntutan internal yang
di interpretasikan dalam bentuk sikap dengan tuntutan
eksternal dari realitas. Jika individu tidak tahan
terhadap tuntutan tersebut, akan muncul konflik,
tekanan, dan frustasi; (3) pola dasar penyesuaian diri,
merupakan pola dasar individu dalam menyesuaikan
30
diri sehingga pola ini akan berbeda pada setiap
individu dalam menilai keadaan dan menyesuaiakan
diri sesuai dengan dirinya (Mohammad Ali dan
Mohammad Asrori, 2004: 175 – 178).
Menjalin relasi sosial merupakan salah satu
bagian dalam penyesuaian diri. Relasi sosial atau
hubungan sosial diartikan sebagai “cara – cara
individu bereaksi terhadap orang – orang di sekitarnya
dan bagaimana pengaruh hubungan itu terhadap
dirinya”. Hubungan sosial individu berkembang
karena adanya dorongan rasa ingin tahu terhadap
segala sesuatu yang ada di lingkungan sekitarnya
(Anna Aisyahbana, dkk., 1984). Hubungan sosial
menyangkut dengan penyesuaian diri terhadap
lingkungan di sekitarnya seperti menaati peraturan,
membangun komitmen melalui interaksi dengan orang
lain. Hubungan sosial dimulai dari lingkungan rumah
yang kemudian berkembang ke lingkungan sekolah,
dan lebih luas lagi dengan teman sebaya dan
lingkungan kerja (Mohammad Ali dan Mohammad
Asrori, 2004: 85).
Ketika pengungsi berada di negara penerima
suaka, sistem kepercayaan baru, nilai, dan lainnya
merupakan tantangan dalam menyesuaikan diri.
Penyesuaian diri pada pengungsi anak tidak
memperhatikan budaya lama dan budaya baru. Dalam
pengalaman pendidikan dan penguasaan bahasa yang
31
lebih cepat, anak dapat bertindak sebagai penghubung
budaya kepada generasi yang lebih tua (Birman, 1998;
Coll and Magnuson, 1997 dalam Lustig et al, 2004:
26).

b. Interaksi Sosial

Setiap proses interaksi bagi para pencari suaka


maupun pengungsi yang tiba di tempat baru
merupakan hal yang penting. Menurut Settlement
Council of Australia ‘Inquiry into Migrant Settlement
Outcomes – SCOA Submission’, interaksi sosial
pengungsi bukan hanya sekedar kemampuan untuk
berinteraksi dan berpartisipasi dalam acara dan
kegiatan lokal tetapi juga penerimaan mereka sebagai
anggota masyarakat dan pemberdayaan mereka untuk
terlibat dengan lembaga – lembaga sipil. Dalam
sebuah studi yang dilakukan oleh Department of
Immigration and Citizenship (DIAC) yang sekarang
menjadi Departement of Immigration and Border
Protection pada tahun 2011, disebutkan bahwa
interaksi sosial aktif dilakukan oleh para pengungsi.
Tiga kegiatan interaksi yang paling banyak dilakukan
oleh para pengungsi di Australia adalah berkumpul
dengan keluarga dan kerabat, mengikuti kegiatan
kelompok keagamaan, dan kegiatan budaya dari
tempat pengungsi berasal (Rebecca Stark, 2017: 7 –
8).
32
Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial,
manusia yang secara alami selalu membutuhkan
hubungan atau komunikasi dengan manusia yang lain
(Bimo Walgito, 1990: 75). Definisi interaksi menurut
Thibaut dan Kelley (1979) adalah peristiwa yang
saling mempengaruhi satu sama lain ketika dua orang
atau lebih hadir bersama, mereka menciptakan suatu
hasil satu sama lain, atau berkomunikasi satu sama
lain. Menurut Chaplin (1979), interaksi merupakan
hubungan sosial antara beberapa individu yang
bersifat alami yang individu itu saling memengaruhi
satu sama lain secara bersamaan. Definisi lain
interaksi menurut Shaw (1976: 447) ialah interaksi
sebagai suatu pertukaran antarpribadi yang masing –
masing orang menunjukkan perilakunya satu sama
lain dalam kehadiran mereka, dan masing – masing
perilaku memengaruhi satu sama lain. Sehingga, pada
kesimpulannya, interaksi merupakan tindakan setiap
orang yang bertujuan untuk memengaruhi individu
yang lain. (Mohammad Ali dan Mohammad Asrori,
2004: 87).
Interaksi sosial sudah menjadi bagian dalam
psikologi sosial, karena dalam kehidupan sehari – hari
manusia termasuk pengungsi akan berinteraksi dengan
orang lain baik dengan pengungsi lain atau dengan
masyarakat lokal. Interaksi sosial dijelaskan sebagai
hubungan timbal balik antara individu dengan
33
individu; individu dengan kelompok; atau suatu
kelompok dengan kelompok lain di mana hubungan
dalam hubungan tersebut dapat mengubah,
menyesuaikan, mempengaruhi, memperbaiki antara
satu individu terhadap individu lainnya (Siti
Mahmudah, 2011: 43). Dalam kehidupan sehari – hari,
dibedakan menjadi tiga jenis (Shaw, 1976: 10),
diantaranya:
a) Interaksi verbal yang prosesnya terjadi dalam
bentuk saling tukar percakapan satu sama lain.
b) Interaksi fisik yang terjadi dua atau lebih
melakukan kontak dengan bahasa – bahasa
tubuh. Misalnya ekspresi wajah, posisi tubuh,
gerak – gerik tubuh, dan kontak mata.
c) Interaksi emosional yang terjadi apabila individu
melakukan kontak satu sama lain dengan
melakukan curahan perasaan seperti misalnya
mengeluarkan air mata sebagai tanda sedih,
haru, atau bahkan terlalu bahagia (Mohammad
Ali dan Mohammad Asrori, 2004: 88).

Di dalam interaksi sosial ada kemungkinan


individu dapat menyesuaikan dengan yang lain, atau
sebaliknya. Pengertian penyesuaian disini yaitu bahwa
individu dapat meleburkan diri dengan keadaan di
sekitarnya, atau sebaliknya individu dapat mengubah
lingkungan sesuai dengan keadaan dalam diri individu,

34
sesuai dengan apa yang diinginkan (Bimo Walgito,
1990: 64). Seseorang yang kesulitan dan menghindari
interaksi dengan orang lain di kondisikan sebagai orang
yang menarik diri. Menarik diri merupakan kondisi
dimana seseorang menemukan kesulitan dalam
membina hubungan dan berinteraksi secara terbuka
dengan orang lain (Townsend M.C. dalam Muhith A,
2015). Penarikan diri atau withdrawal merupakan suatu
tindakan melepaskan diri baik perhatian ataupun
minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung
yang dapat bersifat sementara atau menetap (Depkes RI,
dalam Muhith A, 2015). Menurut Al-Mighwar (2006),
menarik diri adalah bentuk tingkah laku yang
menunjukkan adanya kecenderungan putus asa dan
merasa tidak aman, sehingga menarik diri dari kegiatan
dan takut memperlihatkan usaha – usahanya. Individu
seperti ini tidak punya kekuatan untuk bertahan di
lingkungan sosialnya, dan lebih memilih untuk
menyendiri demi kenyamanan dirinya (Nelly Tridinanti,
2017: 1 – 2). Jadi, menarik diri adalah keadaan dimana
seseorang menemukan kesulitan dalam membina
hubungan dan menghindari interaksi dengan orang lain
di lingkungan sosialnya secara langsung yang dapat
bersifat sementara atau menetap dan memilih untuk
menyendiri demi kenyamanan dirinya.

35
c. Dukungan Sosial
Pengungsi yang bermukim kembali di negara
baru menghadapi banyak tantangan. Untuk remaja,
tantangan – tantangan ini mungkin sangat besar
seperti masa pubertas, perkembangan identitas diri,
dan memperbaiki kembali hubungan orang tua dengan
anak (Myers, 1999). Migrasi semakin sulit dengan
adanya perubahan budaya, kehilangan hubungan
sosial yang dimiliki, dan keharusan membentuk
kehidupan yang baru. Masa remaja adalah masa ketika
kelompok sebaya menjadi penting dalam memberikan
fungsi dukungan, persahabatan, rasa identitas diri, dan
hubungan dengan lawan jenis. Pengalaman pada masa
perpindahan di usia remaja berdampak pada relasi
yang dimilikinya. Remaja memiliki sedikit teman
dibandingkan dengan mereka yang berpindah sejak
kecil atau sudah dewasa (Myers, 1999). Sejumlah
penelitian dilakukan pada anak – anak dan remaja
menunjukkan bahwa dukungan sosial itu penting
sebagai sumber yang memiliki efek untuk mencegah
stres (Garmezy, 1983; Sandler, Miller, Short, &
Wolchik, 1989; Werner & Smith, 1982). Berdasarkan
studi Acculturation and social support in relation to
psychosocial adjustment of adolescent refugees
resettled in Australia, pengungsi remaja menilai
bagaimana orang lain menghargai mereka sebagai
pribadi, menunjukkan pengertian, peduli terhadap
36
perasaan mereka, dan siap mendengarkan masalah
mereka. Harter (1985) mendefinisikan dukungan
sosial sebagai penghargaan positif yang diterima dari
orang lain (Lydia Kovacev & Rosalyn Shute, 2004:
259 – 261). Dukungan sosial merupakan suatu
aktivitas hubungan atau relasi yang termasuk
diantaranya menenangkan masalah orang lain yang
dapat diperoleh dari sumber keluarga maupun teman.
Gottlieb mendefinisikan: “Dukungan sosial terdiri dari
informasi atau nasihat verbal maupun non verbal,
bantuan nyata, atau tindakan yang diberikan oleh
keakraban sosial atau didapat karena kehadiran
mereka dan mempunyai manfaat emosional atau efek
perilaku bagi pihak penerima.” Menurut House
terdapat empat jenis atau dimensi dukungan sosial,
yaitu:
a) Dukungan emosional (emotional support)
Dukungan emosional ialah dukungan yang
diekspresikan melalui rasa suka, cita, atau empati
yang mengungkapkan kepedulian dan perhatian
terhadap orang yang bersangkutan.
b) Dukungan penghargaan (esteem support)
Dukungan penghargaan terjadi lewat ungkapan
penghargaan atau penilaian diri yang positif untuk
individu, dorongan maju atau persetujuan dengan
gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan
positif individu dengan individu lain, seperti
37
misalnya perbandingan dengan orang – orang yang
kurang mampu atau lebih buruk keadaannya
c) Dukungan instrumental (instrumental support)
Dukungan instrumental mencakup bantuan
langsung yang dapat berupa jasa atau barang
selama masa stres yang dialami seseorang.
d) Dukungan informasi (informational support)
Dukungan informasi mencakup pemberian nasihat,
petunjuk, saran, informasi atau umpan balik
tentang situasi yang menekan (Smet, 1994: 135 –
136 dalam Riesta, 2016: 49).

Dukungan sosial membantu individu mengatasi


kesulitan hidup dengan mengintegrasikan sikap positif
ke dalam kehidupan mereka, berkontribusi untuk
mengurangi reaksi mereka terhadap stres, dan
menyesuaikan respons emosional mereka terhadap
stresor. Dalam sebuah penelitian yang mengangkat
masalah pengungsi, dukungan sosial ialah sebagai
faktor penting yang mempengaruhi kesehatan
psikologis pengungsi (Schweitzer et al., 2006;
Teodorescu et al., 2012b dalam Çankaya et. al, 2018:
9 – 10). Sebagai seseorang yang telah melakukan
perpindahan, penting bagi pengungsi untuk
mendapatkan dukungan dari orang di sekitarnya
sehingga dapat menyesuaikan diri dengan baik di
lingkungan barunya.

38
3. Masalah Psikososial
Pengungsi yang memulai kehidupan baru di tempat
yang aman akan menemui kesulitan dalam beradaptasi
yang dapat berdampak pada kondisi psikososialnya.
Semua orang melewati tiga tahap yang sama ketika
beradaptasi dengan budaya baru (yang disebut sebagai the
honeymoon (tahap bersemangat dengan hal – hal dalam
menjelajahi budaya baru), the rejection (tahap penolakan
diri terhadap budaya baru setelah mencoba menjelajahi),
and the recovery (tahap membiasakan diri). Beberapa dari
individu dapat melalui proses lebih cepat dan dengan stres
yang lebih sedikit, sementara yang lain melewati ketiga
tahap tersebut merasa sulit untuk menyesuaikan diri.
Gejala syok kultur dapat meliputi: kerinduan
(homesickness); depresi; merasa tersesat dan tidak pada
tempatnya; frustrasi; sifat mudah marah; dan kelelahan
(exchanges.state.gov, 2019). Berikut ini adalah masalah –
masalah psikososial yang menjadi fokus peneliti yang
berkaitan dengan kondisi perpindahan yang dilakukan
para pengungsi anak dengan keluarganya, diantaranya:
a. Stres
Pengungsi yang berasal dari zona perang sering
menghadapi berbagai tantangan faktor stres yang tidak
dialami oleh sekelompok orang lainnya. Di negara
asalnya, pengalaman traumatis dapat terjadi seperti
pengeboman, penjara, penyiksaan, dan pengasingan;
dan untuk anak – anak, mereka juga sering
39
menyaksikan atau menjadi target kekerasan dalam
rumah tangga. Terlepas dari peperangan yang terjadi,
perjalanan yang dilakukan pengungsi sering ditempuh
dengan bahaya; dan ketika di tempatkan di negara
pengasingan, hidup sering ditandai dengan status
tempat tinggal yang tidak aman, pengangguran,
kondisi perumahan yang buruk, dan tantangan
mempelajari bahasa baru dan berintegrasi ke dalam
budaya yang benar – benar berbeda (UNICEF dalam
Ferget et al, 2018: 2).
Pada pengertiannnya, stres merupakan gangguan
mental yang dialami seseorang karena adanya
tekanan. Menurut Lazarus (1984) dalam Lubis (2009:
17 – 18), stres merupakan bentuk interaksi antara
individu dengan lingkungan yang dinilai individu
sebagai sesuatu yang membebani atau melampaui
kemampuan yang dimilikinya serta mengancam
kesejahteraannya. Dengan kata lain, stres merupakan
fenomena individual dan menunjukkan respon
individu terhadap tuntutan lingkungan dan dapat
mempengaruhi kinerja seseorang Tuntutan yang
secara umum dapat memunculkan stres dapat
diklasifikasikan dalam beberapa bentuk, yaitu:
1. Frustasi. Frustasi muncul apabila usaha yang
dilakukan individu untuk mencapai suatu tujuan
mendapatkan hambatan atau kegagalan.

40
2. Konflik. Stres dapat muncul apabila individu
dihadapkan pada suatu keharusan untuk memilih
salah satu diantara kebutuhan dan tujuan. Pilihan
terhadap salah satunya akan menghasilkan frustasi.
3. Tekanan. Individu dapat mengalami stres apabila
mendapat tekanan atau paksaan untuk mencapai
suatu hasil tertentu atau bertingkah laku dengan
cara tertentu yang bersumber dari dalam diri
maupun dari lingkungan.
4. Ancaman. Antisipasi individu terhadap hal – hal
yang merugikan atau tidak menyenangkan bagi
dirinya, mengenai suatu situasi, merupakan
penyebab stres.

Selain pengalaman traumatis mereka, pengungsi


anak dan remaja menghadapi serangkaian stresor dan
tantangan yang unik terkait dengan proses pemukiman
kembali di negara baru. Mereka perlu belajar bahasa
baru dan budaya baru, sementara pada saat yang sama
beradaptasi dengan keadaan kehidupan baru (Lustig
et. al., 2004 dalam Serap Keles et. al, 2016: 1).
Terutama bagi pengungsi yang harus menunggu
dengan waktu tunggu yang tidak pasti untuk
penempatan ke negara ketiga. Krisis pengungsi secara
global membuat penempatan ke negara ketiga menjadi
sulit (merdeka.com, 2018).

41
b. Depresi
Pengungsi anak yang menyesuaian diri
berpotensi kesulitan dan mengalami depresi dalam
menyesuaikan diri dengan budaya dan bahasa baru
ketika bermukim di negara lain. Seseorang yang
mengalami depresi biasanya diawali dengan stres yang
tidak bisa diatasi. Menurut Lubis (2016: 13 dalam Eka
Nurwahyuliningsih, 2019: 60) “Depresi adalah
gangguan perasaan (afeksi) yang ditandai dengan afek
disforik (kehilangan kegembiraan atau gairah) disertai
dengan gejala – gejala lain, seperti gangguan tidur dan
menurunya selera makan”. Seseorang yang mengalami
depresi biasanya orang tersebut merasa tidak berdaya,
tidak memiliki semangat untuk hidup, tidak memiliki
motivasi, hilangnya rasa percaya diri, dan lain – lain.
Depresi merupakan gangguan perasaan dimana
seseorang merasa tidak bahagia, tidak bersemangat,
memandang rendah diri sendiri, dan merasa sangat
bosan. Individu yang mengalami depresi selalu merasa
kurang sehat, mudah lelah, kurang selera makan, dan
tidak memiliki motivasi. Pada anak – anak, depresi
yang terjadi menunjukkan agresi, kecemasan, prestasi
buruk di sekolah, perilaku antisosial, dan juga
hubungan yang buruk dengan teman sebaya. Penyebab
– penyebab timbulnya depresi, diantaranya:
1. Kurangnya cinta dan kasih sayang dan afeksi
dalam pengasuhan anak, kurangnya dukungan
42
emosional, atau kehilangan orang tua. Anak akan
menginterpretasikan kehilangan ini sebagai
kegagalan dalam membina hubungan positif yang
akan menimbulkan depresi.
2. Membentuk skema kognitif yang ditandai dengan
tidak percaya diri mengenai masa depan.
Pemikiran – pemikiran negatif akan meningkatkan
pengalaman negatif dari individu dan mulai
merasa depresi serta menyalahkan diri sendiri
secara berlebihan.
3. Seorang individu mengalami pengalaman negatif
dan mereka tidak memiliki kontrol mengenai hal
tersebut seperti ketika dihadapkan dengan stres
dan rasa kesakitan yang panjang dapat lebih
mudah untuk mengalami depresi. Seperti
pengalaman konflik di internal pada keluarga,
hubungan yang buruk dengan teman sebaya,
penolakan dari teman sebaya, kurang eratnya
hubungan dengan teman sebaya. Pengalaman
dengan perubahan yang terlalu sulit juga dapat
menyebabkan depresi (John W. Santrock, 2007: 20
– 28).

c. Keputusasaan
Dalam penentuan keputusan untuk
menempatkan pengungsi ke negara ketiga, UNHCR
membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Suaka

43
sebagai sebuah jaringan masyarakat sipil yang bekerja
bagi perlindungan hak – hak pencari suaka dan
pengungsi di Indonesia mengungkapkan
bertambahnya jumlah pencari suaka dan lamanya
waktu menuju negara ketiga menjadi permasalahan
tersendiri dan UHNCR tidak bisa menentukan negara
ketiga yang menjadi tujuan pengungsi. UNHCR hanya
bisa mengajukan dari nama – nama pengungsi dalam
daftar yang mereka miliki kepada negara yang telah
meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan tidak
semua pengungsi langsung diterima oleh negara
ketiga. Negara tujuan menyeleksi para pengungsi
untuk menjadi warga negara mereka. Hal ini sama
dengan pengungsi yang telah ditempatkan ke negara
penerima suaka. Proses yang membutuhkan waktu
tersebut dapat membuat pengungsi merasa putus asa
(radarcirebon.com, 2018). Keputusasaan merupakan
status emosional yang berkepanjangan dengan
keadaan subjektif seseorang individu yang melibatkan
keterbatasan atau tidak adanya alternatif atau pilihan
pribadi yang tersedia dan tidak dapat memobilisasi
energi yang dimilikinya. Keputusasaan dihubungkan
dengan stres dalam waktu yang lama, kondisi
psikologis yang mengalami penurunan, pesimis, dan
menarik diri dari lingkungan sosial. Keputusasaan
adalah kondisi umum yang dialami setiap orang dalam
hidupnya apabila ia merasa kurang mampu
44
memandang dan menjalankan kehidupannya ke arah
yang lebih baik dan berfokus pada batas
kemampuannya. Tanda dan gejala keputusasaan
individu, sebagai berikut:

1. Ungkapan individu tentang situasi kehidupan


tanpa harapan dan terasa hampa.
2. Individu tampak mengeluh dan murung (blue
mood).
3. Individu bicara seperlunya.
4. Individu menunjukkan kesedihan, efek datar atau
tumpul.
5. Individu mengisolasi diri.
6. Kontak mata individu kurang.
7. Individu mengangkat bahu sebagai tanda masa
bodoh terhadap situasi yang ada.
8. Individu menunjukkan gejala kecemasan.
9. Nafsu makan individu berkurang atau menurun.
10. Peningkatan waktu tidur individu.
11. Individu tidak mau terlibat dalam perawatan atau
bersifat pasif.
12. Individu mengalami penurunan perhatian kepada
orang lain termasuk dengan orang terdekat (Nita
Fitria, 2013: 33 dalam Riesta, 2016: 54 – 55).

45
4. Emosi Anak
Dalam membahas kondisi psikososial pengungsi
anak di SFR Jakarta, penilaian mengenai emosi yang
dirasakan dari setiap pengungsi anak perlu diteliti. Emosi
perasaan atau afeksi yang timbul ketika seseorang sedang
berada dalam suatu keadaan atau suatu interaksi yang
dianggap penting olehnya (Campos, 2004; Saarni dkk,
2006). Emosi diwakili oleh perilaku yang mewakili
(mengekspresikan) kenyamanan atau ketidaknyamanan
dari keadaan atau interaksi yang sedang dialami. Emosi
bisa berbentuk sesuatu yang spesifik seperti rasa senang,
takut, marah, dan seterusnya, tergantung dari interaksi
yang dialami. Klasifikasi atau pengelompokkan emosi
pada umumnya dilihat sebagai suatu emosi yang positif
atau negatif. Contoh emosi positif adalah antusiasme,
rasa, senang, dan cinta. Contoh emosi negatif adalah
cemas, marah, rasa bersalah, dan rasa sedih. Emosi juga
dipengaruhi oleh dasar biologis dan pengalaman masa
lalu. Sebagai contoh, seorang anak yang buta sejak lahir
dan tidak pernah melihat senyuman atau ekspresi wajah
dari emosi, memiliki dasar biologis yang kuat (John W
Santrock, 2007: 6 – 7). Emosi dapat diukur dalam
berdasarkan tiga kategori yaitu perasaan dengan kategori
kuat, perasaan di level tengah, dan perasaan di kategori
ringan (Kathryn Gerald & David Gerald, 2011: 87).

46
a. Bentuk – bentuk Emosi
Daniel Goleman (1995) dalam Yudrik Jahja
(2011: 190) mengindentifikasi sejumlah kelompok
emosi, yaitu:
1. Amarah, meliputi benci, marah besar, jengkel,
mengamuk, brutal, kesal hati, terganggu, rasa pahit,
tersinggung, bermusuhan, tindak kekerasan, dan
kebencian patologis.
2. Kesedihan, didalamnya meliputi sedih, muram,
suram, melankolis, pedih, mengasihani diri, kesepian,
ditolak, putus asa, dan depresi.
3. Rasa takut, berupa demas, takut, gugup, khawatit,
waswas, perasaan takut sekali, sedih, waspada, tidak
tenang, ngeri, kecut, panik, dan fobia.
4. Kenikmatan, meliputi kebahagiaan, gembira, ringan
puas, riang, senang, terhiburm bangga, kenikmatan
indrawi, takjib, terpesona, puas, rasa terpenuhi,
girang, senang sekali, dan mania.
5. Cinta, berupa penerimaan, persahabatan,
kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat,
kasmaran, dan kasih sayang.
6. Terkejut, meliputi takjub, terpana, dan terkesiap.
7. Jengkel, berupa hina, jijik, mual, muak, benci, tidak
suka, dan mau muntah.
8. Malu, di dalamya meliputi rasa bersalah, mau hati,
kesal hati, menyesal, hina, aib, dan hati hancur lebur.

47
5. Penerimaan
Dalam proses perpindahan ke negara aman,
pengungsi tidak lepas dari proses penerimaan dengan apa
yang ia alami bagaimana menjalani kehidupan di negara
tempatnya berada. Penerimaan diri menurut Hurlock
(1973) adalah suatu tingkat kemampuan dan keinginan
individu untuk hidup dengan segala karakteristik dirinya.
Individu yang dapat menerima dirinya diartikan sebagai
individu yang tidak bermasalah dengan dirinya sendiri,
yang tidak memiliki beban perasaan terhadap diri sendiri
sehingga individu lebih banyak memiliki kesempatan
untuk beradaptasi dengan lingkungan. Penerimaan
merupakan dasar bagi setiap orang untuk dapat menerima
kenyataan hidup, semua pengalaman baik atau buruk.
Penerimaan ditandai dengan sikap positif, adanya
pengakuan atau penghargaan terhadap nilai-nilai
individual tetapi menyertakan pengakuan terhadap
tingkah lakunya (Kubler Ross, 1969).
Kubler Ross (1969) mendefinisikan sikap
penerimaan (acceptance) terjadi bila seseorang mampu
menghadapi kenyataan daripada hanya menyerah pada
tidak adanya harapan. Menurut Kubler Ross (dalam teori
Kehilangan/Berduka), sebelum mencapai pada tahap
penerimaan individu akan melalui beberapa tahapan
yakni, tahap denial, anger, bargainning, depression, dan
acceptance.

48
1. Tahap denial (penolakan) Penolakan biasanya
hanyalah pertahanan sementara bagi individu.
Perasaan ini umumnya diganti dengan kesadaran yang
tinggi tentang saat seseorang dihadapkan dengan
beberapa hal seperti pertimbangan keuangan, urusan
yang belum selesai dan kekhawatiran mengenai
kehidupan anggota keluaraga lain nantinya.
2. Tahap anger (marah) “Mengapa aku? Ini tidak adil.
Bagaimana bisa ini terjadi padaku.” Setelah berada
ditahap kedua, individu mengakui bahwa penolakan
tidak dapat dilanjutkan. Karena rasa marah, membuat
orang sangat sulit untuk peduli. Banyak invidu yang
melambangkan kemarahan dalam kehidupan dengan
tunduk pada kebencian dan kecemburuan.
3. Tahap bargainning (tawar-menawar) Tahap ketiga ini
melibatkan harapan bahwa entah bagaimana individu
dapat menunda sesuatu. Pada tahapan ini individu
bernegoisasi untuk kehidupan yang lebih panjang
dengan mempertimbangkan informasi-informasi yang
di dapatkan. Biasanya, negosiasi ini diperpanjang
dengan kekuatan yang lebih besar dalam pertukaran
gaya hidup.
4. Tahap depression (depresi) Selama tahap keempat ini,
individu mulai memahami kepastian, karena hal inilah
individu mungkin menjadi lebih banyak diam,
menolak orang lain dan menghabiskan banyak waktu
untuk menangis dan berduka. Proses ini
49
memungkinkan orang untuk melepaskan diri dari rasa
cinta dan kasih sayang. Tidak dianjurkan untuk
mencoba menghibur individu yang berada pada tahap
ini. Ini adalah waktu yang penting dalam berduka
yang memerlukan proses.
5. Tahap acceptance (penerimaan). Pada tahapan ini,
individu mulai hadir dengan kedamaian dan rasa cinta.
Individu mulai menerima kenyataan-kenyataan yang
terjadi di dalam hidupnya.

Kubler Ross menyatakan tahapan – tahapan tidak


selalu urut, atau dilalui semuanya oleh seorang individu,
tapi paling tidak ada dua langkah yang pasti akan dilalui.
Seringkali, individu akan mengalami beberapa langkah
berulang-ulang. Seorang individu tidak seharusnya
memaksakan proses yang dilaui, Proses duka adalah hal
yang sangat personal dan sebaiknya tidak dipercepat
(atau diperpanjang). Kebanyakan orang tidak siap
menghadapi duka, karena seringkali, tragedi terjadi
begitu cepat, dan tanpa peringatan. Individu harus
bekerja keras melalui proses tersebut hingga akhirnya
sampai pada tahap penerimaan.

50
C. Pengungsi Anak
a. Pengungsi Anak
Pengungsi anak sama halnya dengan anak – anak
lainnya. Dalam Konvensi Hak – Hak Anak (KHA)
(UNICEF Indonesia, 2003: 59): “Anak di definisikan
sebagai setiap manusia yang berusia di bawah 18
(delapan belas) tahun, kecuali berdasarkan Undang –
Undang yang berlaku untuk anak – anak, kedewasaan
telah dicapai lebih cepat.” Pada Konvensi 1951 tentang
Status Pengungsi, pengungsi anak memiliki definisi yang
sama dengan pengungsi dewasa yaitu ialah “orang yang
dikarenakan oleh ketakutan yang beralasan akan
penganiayaan, yang disebabkan oleh alasan ras, agama,
kebangsaan, keanggotaan dalam kelompok sosial dan
partai politik tertentu, berada diluar Negara
kebangsaannya dan tidak menginginkan perlindungan
dari Negara tersebut.” (unhcr.org/id/pengungsi, 2019).
Pada definisi KHA dapat menyebabkan
kebingungan karena definisi tersebut menyetarakan anak
dengan “balita”. Definisi kamus mengenai “anak”, dilain
pihak adalah seseorang yang belum mencapai pubertas
atau kematangan seksual. Seseorang yang bukan lagi
anak – anak tetapi juga bukan dewasa adalah remaja atau
perempuan atau laki – laki muda (UNHCR, 1994: 25 –
26). WHO menetapkan usia 10 sampai 20 tahun sebagai
batasan usia remaja yang dibagi menjadi dua bagian
yaitu remaja awal 10 – 14 tahun dan remaja akhir 15 – 20
51
tahun. Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) sendiri
menetapkan usia 15 – 24 tahun sebagai usia pemuda
(youth) (Sanderowitz & Paxman, 1985; Hanifah, 2000
dalam Sarlito W. Sarwono, 1989: 12). Sedangkan,
Hurlock (1990), membagi masa remaja menjadi masa
remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa
remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 18 tahun) (Yudrik
Jahja, 2013: 221). Sehingga secara hukum dan merujuk
pada KHA, remaja berusia dibawah 18 tahun disebut
sebagai anak – anak namun sesuai perkembangannya
mereka juga disebut sebagai remaja.
Pengungsi anak merupakan anak dengan masalah
sosial yang berada dalam kondisi rawan. Anak dengan
kondisi rawan adalah sekelompok anak – anak yang
karena situasi, kondisi, dan tekanan menyebabkan hak –
hak mereka belum atau tidak terpenuhi, atau bisa sampai
dilanggar. Secara konseptual, anak – anak rawan disebut
dengan istilah Children in Need of Special Protection
(CNSP) atau anak – anak yang membutuhkan
perlindungan khusus (Bagong Suyanto, 2010: 4 – 5).
Sehingga, pengungsi anak merupakan anak yang
dilindungi dan harus dipenuhi hak – haknya dalam upaya
mencapai kesejahteraan anak sesuai dengan KHA.

b. Klasifikasi Pengungsi Anak


Dalam pengelompokkan dan penentuan status
pengungsi, pada Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol

52
1967, pengungsi anak memiliki status yang sama dengan
pengungsi dewasa. Adapun pernyataan tersebut,
diantaranya:
a. Seorang anak yang “memiliki ketakutan beralasan
akan dianiaya” karena salah satu alasan disebut
sebagai pengungsi.
b. Sesuai dengan prinsip non – refoulement, bahwa
seorang anak yang telah memegang status sebagai
pengungsi tidak boleh dipaksa pulang ke negara
asalnya, dan
c. Tidak ada pembedaan antara pengungsi anak dengan
pengungsi dewasa dalam kesejahteraan sosial dan
hak – hak hukum (UNHCR, 1994: 17 – 18).

UNHCR membedakan status pengungsi dan


membaginya menjadi dua, yaitu pencari suaka dan
pengungsi. Pencari suaka merupakan seseorang yang
melakukan pengajuan perlindungan namun permintaannya
belum selesai dipertimbangkan. Sedangkan status
“pengungsi” adalah seseorang yang permintaan untuk
perlindungan yang diajukan telah diterima dan dia berhak
mendapatkan bentuk – bentuk perlindungan yang
diberikan oleh negara tempat dia mengajukan permintaan
perlindungan dan penempatan tersebut
(unhcr.or/id/pencari-suaka, 2019).
Indonesia masih belum menandatangani dan
menjadi peserta Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol

53
1967, sehingga penanganan untuk pengungsi belum
dilakukan secara maksimal dan tanpa perlindungan
hukum yang memadai. Namun pada praktiknya, Indonesia
menangani pengungsi atas dasar Deklarasi Umum Hak
Asasi Manusia (HAM) yang ditangani Imigrasi dengan
bantuan dari UNHCR perwakilan Indonesia yang
memberikan penentuan status pencari suaka dan
pengungsi sesuai ketentuan Internasional untuk negara
bukan peserta Konvensi. Karena Indonesia bukan negara
peserta konvensi, hal ini menjadikan Indonesia bukanlah
negara penerima suaka dan menjadi tempat tujuan terakhir
pengungsi sehingga penanganan yang diberikan hanya
berupa pelayanan dasar dan keperluan pokok yang
dibutuhkan pengungsi melalui kerja sama dengan lembaga
internasional yang bergerak di bidang kemanusiaan
seperti International of Migration (IOM), UNICEF, Save
The Children, dan beberapa organisasi lokal lainnya
(hukumonline.com, 2018).

54
BAB III

PSIKOSOSIAL PENGUNGSI ANAK DI INDONESIA

Pada bab ketiga ini, peneliti akan secara garis besar


menjelaskan gambaran umum kondisi psikososial pengungsi
anak di Indonesia. Di bab ketiga ini, peneliti juga
menjelaskan penanganan yang dilakukan pemerintah
Indonesia dengan koordinir yang dilakukan oleh UNHCR
dalam mengatasi masalah psikososial dan meningkatkan
kesejahteraan psikososial pengungsi anak ketika selama masa
tunggu di Indonesia.

A. Pengungsi Anak di Indonesia

Jumlah pengungsi dari luar negeri yang berada di


Indonesia saat ini cukup banyak. Deputi V Bidang
Koordinasi Keamanan dan Ketertiban Masyarakat
Kemenko Polhukam Irjen Carlo Tewu memaparkan,
sampai pada Desember 2018 jumlah pengungsi dan
pencari suaka dari luar negeri yang berada di Indonesia
saat ini adalah 14.016 orang. Mereka berasal dari negara
seperti dari Palestina, Yaman, Mesir, Suriah, Vietnam,
Yordania, Kuwait, Maroko, Irak, Iran, Somalia,
Afghanistan, Ghana, Eritrea, Myanmar, Sri Lanka, Sudan,
Pakistan, Ethiopia, Bangladesh, dan anak tanpa
kewarganegaraan (stateless). Dari 14.016 orang
pengungsi yang berada di Indonesia, 2.383 orang
diantaranya adalah pengungsi anak – anak usia sekolah,
55
terdiri dari 1.266 anak laki – laki dan 1.117 anak
perempuan usia antara 0 tahun sampai dengan 17 tahun.
Setiap pengungsi yang datang ke Indonesia akan langsung
dibawa ke Rumah Detensi Imigrasi untuk dilakukan
pendataan dan penanganan oleh petugas sebelum
mengajukan permohonan status pengungsi ke UNHCR
(beritasatu.com, 2018).
Pengungsi anak yang berada di Indonesia datang
bersama dengan keluarga dan saudaranya bahkan ada juga
yang datang seorang diri. Di negara ketiga, hanya
Amerika dan Australia yang mau menerima pengungsi
anak tanpa wali. Sebagian besar pengungsi anak yang
tanpa wali harus menunggu di negara transit sampai usia
mereka telah mencapai 18 tahun untuk bisa ditempatkan
di negara ketiga. Pengungsi anak tanpa wali merupakan
anak dengan kelompok yang paling rentan di Indonesia
diantara pengungsi lainnya termasuk rentan terhadap
masalah psikososial yang dapat terjadi
(theconversation.com, 2017).

B. Kondisi Psikososial Pengungsi Anak di Indonesia

Anak – anak pengungsi yang datang dari berbagai


negara dan menjadi pengungsi di Indonesia mengalami
gangguan psikologis akibat konflik dan persekusi
berkepanjangan di negaranya (suaka.or.id, 2016).
Menghadapi bahaya di sepanjang perjalanan, termasuk
risiko tenggelam saat menyeberangi laut, kelaparan dan
56
dehidrasi, perdagangan manusia, penculikan,
pemerkosaan dan bahkan pembunuhan sehingga mereka
mengalami traumatis berat (unicef.org, 2017).
Pengungsian adalah kenyataan yang keras dan seringkali
mengakibatkan pengalaman traumatik yang lain setelah
mereka keluar dari tempat penampungan. Anak – anak
dan perempuan adalah yang paling rentan dari antara
semua pengungsi. Komisioner Komnas Perempuan
Magdalena Sitorus mengatakan pengungsi anak dan
perempuan yang mengalami kekerasan, anggota keluarga
yang meninggal, dan perkosaan membuat pengungsi
trauma ditambah dengan korban perdagangan orang yang
telah dijanjikan akan bertemu keluarganya. Keterbatasan
dukungan sosial juga membuat kondisi trauma semakin
buruk (republika.co.id, 2017).
Anak – anak yang tumbuh besar di Indonesia
dilanda ketidakjelasan untuk waktu tunggu penempatan ke
negara ketiga yang membuat kondisi mereka hancur
karena tidak banyak hal yang bisa mereka lakukan kecuali
menunggu. Mereka rentan bunuh diri karena harus
menjalani kehidupan yang tidak jelas serta keterbatasan
akses untuk melakukan pendidikan dan pelatihan sebagai
bekal untuk di negara ketiga (theconverstion.com, 2018).
Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia (HAM) tidak membantah bahwa
masih banyak warga negara asing yang telantar di Jakarta
dan tak tertampung di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim)
57
serta penanganan yang dilakukan belum maksimal
(cnnindonesia.com, 2018). Pengungsi yang terlantar
merasa putus asa dengan penempatan ke negara ketiga
yang tidak kunjung didapatkan setelah mereka
mengajukan permohonan suaka di UNHCR Jakarta.
Penyebab terlalu lama proses menunggu negara baru dan
keterbatasan fasilitas yang disediakan Indonesia,
pengungsi menyebar ke beberapa wilayah di Indonesia
dan menyewa rumah indekos. Sebagian pengungsi dan
pencari suaka yang nekat mempertaruhkan nyawa untuk
berpergian melewati laut lepas dengan melewati jasa
penyelundup dan menjalani apa yang disebut dengan
“manusia perahu”. Mereka menjalani risiko maut
tenggelam dan terlupakan. Selain itu praktik kekerasan
terjadi di rumah detensi imigrasi. (radarcirebon.com,
2018). Thomas Vargas sebagai Representatif UNHCR di
Indonesia mengatakan bahwa proses pemukiman kembali
oleh UNHCR memakan waktu lebih lama setelah banyak
negara yang telah meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951
mulai membatasi jumlah imigrasi. Sebelumnya, proses
pemukiman membutuhkan waktu sekitar tiga tahun atau
bahkan lebih singkat, tetapi sekarang prosesnya bisa
memakan waktu setidaknya sepuluh tahun atau bahkan
lebih lama. Krisis pengungsi telah diperpanjang oleh
perang dan konflik horizontal di negara – negara di Asia
Barat dan Afrika, yang telah memaksa banyak orang
meninggalkan rumah mereka untuk mencari keselamatan.
58
Direktur HAM Kementerian Luar Negeri Achsanul Habib
mengemukakan, puluhan pengungsi dan pencari suaka
yang sebagian besar dari Afghanistan dan Somalia,
berdemonstrasi di depan kantor UNHCR di Jakarta Pusat
dalam beberapa minggu terakhir. Mereka merasa frustrasi
karena beberapa dari pengungsi telah berada di sini
selama tujuh tahun atau lebih (jakartaglobe.id).
Akibat dari pembatasan jumlah pemerintah Australia
dalam menerima pengungsi, pemerintah Indonesia
meminta para pengungsi berbaur dengan masyarakat lokal
selama waktu tunggu yang tidak bisa dipastikan. Sampai
saat ini, ada semakin banyak laporan tentang masalah
kesehatan mental di antara 14.000 pengungsi yang
sekarang tinggal dalam situasi terkatung – katung di
Indonesia seorang diri atau bersama keluarganya.
Sebagian besar dari mereka berada di perumahan yang
dikendalikan badan imigrasi di mana mereka tidak bisa
bekerja atau mendapatkan pendidikan, dan memiliki
sedikit harapan untuk pemukiman kembali (resettlement)
di negara ketiga. Sebagian lainnya tinggal secara mandiri
dengan menyewa kontrakan atau apartemen dengan uang
yang tersisa. Pada tahun 2018, hanya 556 pengungsi yang
dapat meninggalkan Indonesia untuk memulai kehidupan
baru di negara ketiga (matapolitik.com, 2019).
Belum ada laporan secara detail terkait kondisi
psikososial yang dihadapi pengungsi anak selama masa
tunggu di Indonesia. Beberapa laporan dan artikel lebih
59
banyak menjelaskan bagaimana kondisi pengungsi anak di
Rudenim beberapa daerah di Indonesia dan hak – hak
yang seharusnya mereka peroleh selama berada di masa
pengungsian. Sehingga peneliti belum bisa menjelaskan
secara spesifik terkait kondisi psikososial pengungsi anak
yang mengungsi di Indonesia.

C. Penanganan Indonesia dalam Pemulihan Kondisi


Psikososial Pengungsi Anak

Jumlah pengungsi di Indonesiaa saat ini cukup


banyak dan tersebar di Indonesia. Direktur Jenderal
(Dirjen) Imigrasi Ronny Franky Sompie menyatakan
bahwa Indonesia berkomitmen untuk memberikan
penanganan kepada pengungsi dan pencari suaka atas
dasar kemanusiaan sesuai Deklarasi Umum Hak Asasi
Manusia dengan mengeluarkan Peraturan Presiden
(Perpres) No. 125 Tahun 2016. Pada praktiknya,
penanganan pengungsi tidak hanya menjadi tanggung
jawab keimigrasian, tetapi juga lembaga internasional dan
nasional yang bergerak di bidang kemanusiaan.
Pemerintah Indonesia telah bekerja sama dengan UNHCR
untuk mengkoordinir segala bentuk kegiatan dalam
memenuhi kebutuhan dan hak – hak pengungsi anak yang
ada di Indonesia (rri.co.id, 2018).
Pada Perpres No. 125 Tahun 2016 terkait
penanganan pengungsi anak dalam pasal 27 ayat 4
disebutkan bahwa pengungsi anak diberikan perawatan
60
berdasarkan pada asas kepentingan terbaik anak. Namun
pada praktiknya, penanganan pada hal psikososial anak
masih sepenuhnya di koordinir oleh UNHCR dan lembaga
– lembaga kemanusiaan lainnya. Peran dalam
perkembangan dan penanganan masalah psikososial anak
secara langsung dilakukan dengan tiga jenis pendekatan
yang telah disusun sebagai panduan untuk digunakan
secara internasional. Tiga pendekatan tersebut diantaranya
pelayanan langsung kepada si anak; membantu anak
melalui pelayanan kepada keluarga; dan mendampingi si
anak dan keluarganya melalui pelayanan kepada
komunitasnya. Kegiatan – kegiatan tersebut, yaitu
(UNHCR 1994, 43 - 51):
I. Pencegahan
Menekankan pada identifikasi faktor – faktor yang
menjadi penyebab stres dan membantu mencegahnya.
1. Mengembalikan kehidupan yang normal. Objektif
pertama haruslah mengembalikan kembali
kehidupan yang normal, yaitu membantu keluarga
berfungsi senormal mungkin.
2. Kepastian pengungsi. Anak membutuhkan
rutinitas sehari – hari yang pasti. Saat hidup stabil,
mereka bisa bergantung pada hal – hal yang biasa
mereka lakukan seperti makan, sekolah, dan
bermain yang memberikan rasa aman secara
psikologis.

61
3. Mendampingi keluarga untuk mendapat
pemecahan yang tahan lama. Memastikan bahwa
anak – anak mempunyai informasi mengenai
situasi mereka saat ini, hak – hak dan tanggung
jawab dan kemungkinan mendapatkan solusi yang
jangka panjang merupakan hal penting bagi
kesejahteraan psikososial anak.

II. Menolong anak – anak secara langsung


1. Bermain. Bermain merupakan cara beristirahat,
melepaskan ketegangan dan menerima apa yang
telah dialami oleh anak – anak. Kemampuan ini
penting untuk mengatasi dan belajar berfungsi
dalam keluarga dan komunitasnya. Bermain dapat
dilakukan bersama dengan pengungsi lainnya yang
berbeda etnis atau dengan anak – anak lokal
tempat mereka tinggal sementara.
2. Tempat bermain. Tempat yang menjadi pusat para
pengungsi berkumpul harus mempunyai arena
bermain yang bebas dari hal yang membahayakan
yang dapat mengancam keamanan anak. Lokasi
bermain diharuskan merupakan tempat yang dapat
memberikan kesempatan bagi anak untuk
berinteraksi dengan teman – temannya.
3. Stimulasi untuk balita. Dalam situasi yang sulit,
seperti kelaparan atau kesulitan hidup lainnya,
beberapa orang tua tidak dapat memberikan

62
perhatian yang cukup untuk perkembangan yang
sehat dari para balita sehingga fasilitas pemberian
ASI harus difasilitasi.
4. Intervensi. Semakin besar trauma atau stres yang
di derita orang tua atau wali akan berpotensi besar
terhadap penelantaran dan penyiksaan anak.
Walaupun anak – anak mendapatkan perhatian
dari orang lain, akan tetap beresiko
penyalahgunaan dan pelanggaran hak anak.
Intervensi berupa konseling dan dukungan perlu
dilakukan untuk mencegah terjadinya penyiksaan
dan memberikan pengertian mengenai perawatan
yang baik dalam melindungi hak – hak anak.
5. Hak untuk berpartisipasi. Dalam KHA dinyatakan
bahwa setiap anak mempunyai hak untuk
mengekspresikan pandanganya dengan bebas
dalam seluruh masalah yang mempengaruhinya.
Hubungan antara hak berpartisipasi dan
kesejahteraan psikososial adalah saat anak
mengalami depresi, cemas, atau marah karena
dampak dari pengungsian yang mana hak untuk
berpartisipasi mungkin menghilang sehingga anak
akan kesulitan dalam memproses informasi dan
membuat keputusan yang realistis yang membuat
anak kurang berfungsi dalam memenuhi
kebutuhan dirinya. Konseling untuk mengurangi

63
stres akan dibutuhkan bagi anak sehingga mereka
bisa menyampaikan aspirasinya.
6. Kelompok pendukung. Mendorong terbentuknya
kelompok pendukung dimana anak – anak
mempunyai kesempatan untuk membicarakan
masalah dan cara penyelesaiannya.

III. Anak – anak tanpa orang tua dan keluarga


Kesejahteraan psikososial pada pengungsi anak tanpa
keluarga dapat berkepanjangan. Hal ini karena anak
kehilangan ibu, atau figur ibu pengganti, terutama
pada usia sangat muda, menempatkan anak dalam
resiko psikososial yang tinggi. Mengatur keluarga
pengganti atau mengadakan penyatuan keluarga
secepatnya adalah hal yang sangat penting.

IV. Membantu anak – anak dengan membantu


keluarganya
1. Menjaga kesatuan keluarga. Konseling merupakan
salah satu upaya untuk menghindari terpecahnya
keluarga. Memberikan pemahaman dalam
perlindungan kesehatan dan fisik bagi seorang ibu
akan mencegah terpisahnya ibu dan anak.
2. Menelusuri jejak orang tua lainnya. Mencoba
mencari orang tua yang terpisah harus diusahakan
karena keluarga dengan orang tua tunggal akan
sulit untuk mengurus dan memenuhi kebutuhan
anak – anak. Selain itu, kecemasan dan kesedihan

64
karena tidak adanya salah satu orang tua akan
menambah beban dan stres pada keluarga.
3. Dukungan keluarga. Memberikan prioritas untuk
membantu orang tua dan wali anak lainnya untuk
memenuhi kebutuhan emosional dan
perkembangan anak – anak mereka. Keluarga
membutuhkan usaha dalam menjaga atau
membangun kembali.
4. Orang tua tunggal. Bantuan tambahan diberikan
kepada keluarga – keluarga dengan satu orang tua
dalam perawatan anak seperti misalnya seorang
ayah yang tidak terbiasa melakukan tugas – tugas
rumah tidak dapat memberi makan anak – anaknya
dengan benar.
5. Orang tua yang terisolasi. Memberikan bantuan
kepada keluarga yang terisolasi secara sosial untuk
memenuhi kebutuhan perkembangan anak –
anaknya. Terisolasi yang dimaksud disini ialah
tempat tinggal mereka yang jauh dari pengungsi
lain dan pelayanan masyarakat, dan kendala
bahasa.
6. Jaringan bantuan kepada orang tua. Orang tua
dapat diorganisir untuk mendampingi satu sama
lain dalam perawatan anak.
7. Mempersiapkan reuni keluarga. Konseling dapat
membantu orang tua untuk mengetahui dan
mengerti apa yang telah dilalui anak – anak,
65
menangani perilaku yang sulit, dan bagaimana
cara membantu mereka ketika mereka bertemu
setelah terpisah.

V. Membantu anak – anak dengan membantu


komunitasnya
1. Kemandirian. Membantu keluarga dan masyarakat
pengungsi untuk mandiri. Memberikan
kesempatan untuk mengatur segala hidupnya yang
berdampak pada kesehatan mentalnya, sebaliknya
perasaan tak berdaya membuat seseorang merasa
stres.
2. Partisipasi. Partisipasi bagian penting dalam
membuat perencanaan, membuat keputusan,
pelaksanaan, dan evaluasi sesuai dengan tujuan
yang dimilikinya terutama bagi anak – anak.
3. Keluarga angkat. Sebagian besar anak – anak
tanpa orang tua atau keluarga diambil secara
spontan oleh komunitasnya melalui keluarga
angkat informal. Dengan menjaga anak – anak
tersebut, kebutuhan – kebutuhan si anak dan
keluarga angkat informalnya dapat
terindentifikasi.
4. Sekolah. Sekolah merupakan tempat untuk
memberikan struktur dan kepastian yang mereka
butuhkan. Sekolah dapat memusatkan perhatian si
anak, menstimulasi kreatifitasnya, dan

66
mengembangkan keahilan sosial mereka. Guru –
guru dapat dilatih untuk mengenali tanda – tanda
masalah emosional dan membantu anak – anak
dalam membicarakannya.
5. Penerimaan masyarakat. Rekonsiliasi masyarakat
perlu dilakukan agar anak – anak dapat diterima di
lingkungan tempat tinggalnya.

67
BAB IV

DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

Dalam bab ini, peneliti akan menjelaskan data dan


temuan penelitian yang telah peneliti lakukan dengan metode
observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Bab ini secara
keseluruhan membahas hasil kutipan wawancara, hasil
pengamatan, dan studi dokumentasi mengenai kondisi
psikososial dari empat pengungsi anak dari luar negeri yang
tinggal di Jakarta.

A. School for Refugees (SFR) Jakarta

Dalam memenuhi hak pengungsi anak di Indonesia,


Dompet Dhuafa dan beberapa lembaga lain seperti
UNHCR, PKPU Human Initiative, dan Catholic Relief
Service (CRS) membuat program School for Refugees
(SFR) dengan tujuan untuk memberikan kesempatan
kepada pengungsi anak dalam memenuhi hak mereka di
bidang pendidikan. Selain untuk memberikan hak
pendidikan kepada mereka, SFR juga memberikan
kesempatan kepada anak – anak pengungsi untuk
memperbaiki dan memulihkan kondisi psikososial melalui
kegiatan bermain dan belajar selama masa tunggu yang
tidak pasti di Indonesia serta memberikan kesempatan
kepada anak – anak untuk menempuh pendidikan sesuai
dengan usia dan tingkat kemampuan mereka di sekolah.

68
Pengungsi anak diberikan pelajaran – pelajaran yang ada
di sekolah umum di Indonesia serta diajarkan bahasa
Indonesia agar anak dapat menyesuaikan diri dan
berinteraksi baik dengan masyarakat Indonesia serta untuk
mempersiapkan mereka untuk memasuki sekolah dari
jenjang SD sampai dengan SMA sehingga mereka tidak
kehilangan hak mereka untuk menempuh pendidikan dan
membuat kehidupan mereka di negara transit menjadi
lebih bermanfaat dengan menjalankan rutinitas sebagai
anak pada umumnya. Selain kegiatan belajar dan bermain
di sekolah, SFR juga rutin mengadakan kegiatan di luar
lingkungan sekolah dengan mengajak anak – anak
pengungsi mengunjungi tempat – tempat edukatif dan
rekreatif sebagai bagian dari kegiatan belajar sekaligus
berwisata. SFR juga mengadakan kegiatan yang
berkolaborasi dengan organisasi lain untuk
mempertemukan anak – anak pengungsi dan anak – anak
lokal agar mereka bisa saling membuka diri dan mengenal
satu sama lain melalui interaksi yang nantinya dapat
diterapkan di lingkungan sekitar tempat tinggal mereka
masing – masing (Ibu Fitri Setya Wahyuningsih, 2019).
Berikut ini jumlah pengungsi anak da nasal negara yang
menjadi murid di SFR Jakarta:

69
No. Asal Negara Jumlah
1. Afghanistan 12 anak
2. Eritrea 39 anak
3. Ethiopia 9 anak
Total = 60 anak
Tabel 4.1. Jumlah Murid SFR Dompet Dhuafa (Sumber: Hasil olah data
studi dokumentasi dari Kepala Sekolah SFR Dompet Dhuafa Bapak Sidik
Eka Hermawan.)

Data murid yang ada pada tabel telah disusun oleh


peneliti dari beberapa dokumen yang cukup rahasia dan
hanya boleh dituliskan asal negara dan jumlah saja. Untuk
nama tidak boleh disebutkan karena sesuai ketentuan
internasional yang berlaku, pengungsi harus dilindungi
identitasnya. Data ini telah diperbaharui dari bulan April
2019 dan dari data tersebut jumlah pengungsi yang sudah
menjadi murid di SFR juga tidak dapat dipastikan karena
banyak pengungsi anak yang baru mendaftar atau bahkan
sudah tidak pernah mengikuti kelas lagi karena beberapa
alasan seperti pindah rumah di tempat lain atau karena
sudah ditempatkan di negara ketiga sehingga jumlah
tersebut tidak pasti dan dapat berubah – ubah dalam
jangka waktu yang tidak dapat dipastikan juga (Fitriani
Setya Wahyuningsih, 2019).

70
B. Kondisi Psikososial Pengungsi Anak di School for
Refugees (SFR) Jakarta

Pada hasil observasi dan wawancara yang telah


dilakukan, peneliti memilih empat orang pengungsi anak
yang peneliti jadikan subjek pada penelitian ini untuk
mengetahui kondisi psikososial pengungsi anak di Jakarta
yang menjadi murid SFR. Berikut ini profil data informan
yang peneliti susun:
1. Informan Pertama
Nama : NMK
Usia : 16 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Asal negara : Ethiopia
Lama di Indonesia : Enam tahun

2. Informan Kedua
Nama : MNA
Usia : 17 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Asal negara : Ethiopia
Lama di Indonesia : Empat tahun

3. Informan Ketiga
Nama : MIA
Usia : 16 tahun
Jenis kelamin : Laki – laki
Asal negara : Ethiopia
Lama di Indonesia : Empat tahun
71
4. Informan Keempat
Nama : WA
Usia : 15 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Asal negara : Afghanistan
Lama di Indonesia : Dua tahun enam bulan

Adapun dalam pemilihan informan ini dipilih


berdasarkan usia dan ketertarikan pengungsi dalam
mengetahui psikososial pengungsi anak usia remaja yang
dalam jurnal penelitian terdahulu banyak penelitian yang
membahas terkait kondisi pengungsi anak remaja ketika
berada di negara baru. Disamping itu, subjek juga
merupakan murid SFR yang sudah bersekolah di sekolah
PKBM yang mana sesuai dengan latar belakang yang
peneliti susun mengenai bagaimana gambaran pengungsi
anak ketika berada di Indonesia. Maka, dalam hasil
temuan ini akan dijelaskan secara detail mengenai kondisi
psikososial pengungsi anak yang menjadi murid di SFR
Jakarta selama tinggal di Indonesia sehingga dalam
pembahasan setiap informan akan membahas tentang
penyesuaian diri, interaksi sosial yang dilakukan dengan
lingkungan sekitar, dukungan sosial yang diterima dalam
menghadapi hambatan, serta masalah psiksosial yang
dialami masing – masing pengungsi.

72
a. Penyesuaian Diri

Hasil temuan data yang pertama ialah mengenai


penyesuaian diri yang dilakukan pengungsi anak.
Keempat informan yang telah di observasi dan di
wawancarai sama – sama memiliki hambatan namun
berbeda – beda pengalaman dalam menyesuaikan diri
mulai dari pertama kali tiba di Indonesia sampai dengan
saat ini dengan waktu menetap mereka yang berbeda satu
sama lain di Indonesia.
Informan pertama yaitu NMK. Sebelum pindah ke
Jakarta, NMK sempat tinggal di Depok kurang dari satu
tahun. Ketika pertama kali sampai ke Indonesia, NMK
merasakan sedikit perbedaan kultur dari negara tempat
tinggalnya. Meskipun berbedam terdapat persamaan
bahwa Indonesia merupakan negara dengan mayoritas
Muslim membuat dirinya tidak merasakan syok kultur
karena Ethiopia yang juga mayoritas merupakan Muslim.
Namun, ia yang diketahui masyarakat sebagai seorang
pengungsi sering mendapatkan pertanyaan mengenai
dirinya kapan dirinya akan pergi dari Indonesia karena
masyarakat menganggap ia hanya menumpang di
Indonesia. Disamping itu, dia juga mendapatkan
perlakuan diskriminasi mengenai warna kulitnya yang
berbeda dari orang Indonesia. NMK mendapatkan
perlakuan diskriminasi sejak ia berada di Depok dan tetap
berlanjut ketika ia sudah pindah ke Jakarta ketika mulai

73
bersekolah di PKBM empat tahun yang lalu. NMK
menceritakan pengalaman diskriminasinya dengan
ekspresi yang sudah terbiasa dengan perilaku orang –
orang disekitarnya tersebut dan mencoba menjelaskan
kepada peneliti bahwa dirinya tidak memiliki kulit hitam
tetapi bewarna coklat sambil menunjukkan warna kulit di
lengannya. Terkadang, NMK merasakan kesedihan yang
diungkapkannya kepada peneliti ketika terlalu sering
mendapatkan perlakuan diskriminasi karena perbedaan
warna kulitnya itu. Karena perasaan sedihnya, NMK
pernah menyerah untuk tidak ingin melanjutkan sekolah.
NMK selalu menyebutkan berulang – ulang mengenai
bagaimana orang lain mendiskriminasi warna kulitnya
yang menurutnya ia tidaklah memiliki kulit berwarna
hitam (NMK, 2019).

“Mereka selalu lihat dan katain “item…item…item. Dari


dulu sampai sekarang masih dikatain. Saya dulu pernah
gamau sekolah karena sering dikatain. Saya pikir ngga
usah belajar. Saya pernah ga sekolah dan start to read
Qur’an. Saya lebih baik begitu. Saya sedih dibilang item.
Mereka kenapa bilang saya item padahal saya ga item”
(NMK, 2019).

Meskipun mendapatkan perlakuan diskriminasi dari


orang – orang Indonesia tidak membuatnya ingin pergi
dari Indonesia. Penyesuaian diri yang dilakukan NMK
dengan keadaan di Indonesia justru tidak membuatnya
ingin segera ditempatkan ke negara ketiga. NMK berharap

74
bisa menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) karena ia
merasa aman dengan kondisi Indonesia yang aman dan
tidak ada yang mengancamnya seperti yang pernah alami
di negaranya (NMK, 2019).
Disamping selama enam tahun menyesuaikan diri
dengan Indonesia dan perlakuan diskriminasi yang
diterimanya, NMK menyatakan bahwa ia hanya butuh dua
tahun untuk belajar bahasa Indonesia secara otodidak dan
juga dibantu oleh Ibu Fitri pengajar SFR Dompet Dhuafa
(NMK, 2019). Dari hasil observasi yang peneliti lakukan,
NMK sudah cukup lancar berbicara bahasa Indonesia
sehingga dapat berinteraksi dengan orang – orang di
sekitar untuk melakukan kegiatan sehari – harinya selama
di Indonesia.

“Saya belajar Indonesia ga susah. Dua tahun saya sudah


lancar bahasa Indonesia. Sudah masuk ke akal saya.
Belajar sama Ibu Pipit.” (NMK, 2019).

Berbeda dengan informan kedua, MNA yang saat ini


sudah empat tahun berada di Indonesia ketika sampai
pertama kali dan menetap di Depok sebelum akhirnya
pindah ke Jakarta satu tahun setelahnya tidak mengetahui
Indonesia baik dari negara, budaya, maupun bahasa yang
dipakai sehingga membuatnya kesulitan untuk keluar
rumah dan membeli suatu barang yang ia butuhkan
(MNA, 2019).

75
“New country, new language, new culture. Everything
was new for me. Even the language I couldn’t understand
because it was difficult for me to go out and buy
something” (MNA, 2019).

(Terjemahan: negara baru, bahasa baru, budaya baru.


Semuanya terasa baru bagi saya dulu. Bahkan bahasanya
saya tidak bisa mengerti karena sulit bagi saya untuk
berpergian keluar dan membeli sesuatu) (Terjemah oleh
Riska Hariyana).

Tidak seperti NMK yang lancar berbicara bahasa


Indonesia, selama empat tahun tinggal, MNA masih
belum lancar berbahasa Indonesia dan hanya mengerti
percakapan sehari – hari seperti menanyakan arah,
berbelanja ke pasar, perkenalan diri, dan menjawab
sedikit pertanyaan peneliti dengan kalimat bahasa
Indonesia yang ia pelajari setelah ia belajar di SFR.
Namun, sebelum bisa belajar di SFR, MNA pernah
merasa kesulitan dan menyerah ketika saat beberapa kali
mempelajari bahasa Indonesia namun masalah tersebut
dapat diatasi setelah dia memiliki kemauan untuk belajar
serta mendapat bantuan dari ibu Fitri (MNA, 2019).

“It was difficult for me. I tried to learn it but it was


difficult and then I just decide to learn, learn, and learn
about one year and half I learned it bahasa and when I
didn’t understand, and then I leave it then come back
again when I moved to Jakarta. Now it’s easy for me.
(MNA, 2019).

(Terjemahan: Sulit bagi saya awalnya. Saya harus belajar


tapi saya kesulitan namun saya tetap memutuskan untuk
76
terus belajar, belajar, dan belajar dan sekitar satu setengah
tahun saya belajar bahasa dan ketika saya tidak mengerti,
saya hanya meninggalkannya dan kemudian kembali lagi
mempelajarinya ketika pindah ke Jakarta. Sekarang,
mudah bagi saya) (Terjemah oleh Riska Hariyana).

Perbedaan lain dengan NMK mengenai orang


Indonesia ialah MNA menerima perlakuan yang berbeda
dari orang di sekitar lingkungannya seperti mendapat
tatapan yang aneh, terkejut, takut, dan menutup diri dari
MNA saat melihat dirinya di jalan karena tidak
mengetahui siapa dirinya dan bagaimana dia bisa berada
di Indonesia. Ketika ditanya oleh orang disekitarnya
tersebut, MNA mencoba menjelaskan bahwa ia adalah
pengungsi tapi setelah penjelasan tersebut orang – orang
yang sering menatapnya sudah terbiasa melihat pengungsi
seperti MNA dan alasan mereka berada disini (MNA,
2019).

“They just keep asking at first but now they already know.
I used to them and now they are not asking anymore. They
already see me everyday.”(MNA, 2019).

(Terjemah: Mereka terus bertanya – tanya pada awalnya


tapi sekarang mereka sudah tahu. Saya sudah terbiasa
dengan mereka dan sekarang mereka tidak bertanya lagi.
Mereka melihat saya setiap hari) (Terjemah oleh Riska
Hariyana).

Kemudian, persamaan dan perbedaan penyesuaian


diri juga dialami MIA (informan ketiga). Ketika sampai
ke Indonesia, MIA dan keluarganya sempat tinggal di
77
Depok selama beberapa bulan dan kemudian pindah ke
Jakarta di daerah Pasar Minggu dan Manggarai. Selama
berada di Indonesia, penyesuaian diri yang dilakukan
MIA sebagai pengungsi ketika ia baru sampai sama
dengan NMK yang dilakukan tanpa syok kultur namun
MIA memiliki hambatan yang dialami. Pertama, MIA
yang tinggal di Depok selama satu setengah bulan, ia
merasakan perbedaan dari tempat tinggalnya yang dulu
sebelum di Indonesia seperti kebiasaan yang ada disini
yang membuatnya merasa berbeda seperti bersalaman
dengan orang tua dan kebiasaan berbicara bahasa
Indonesia yang tidak baku atau bahasa gaul yang harus
dijaga. Kedua, MIA merasakan perbedaan bahasa yang
sulit ia pahami ketika ia baru tiba di Indonesia. MIA
pernah merasakan kesulitan ketika belum mengetahui
bahasa Indonesia untuk melakukan percakapan sehari –
hari dengan orang Indonesia di sekitarnya. MIA yang
tidak memiliki teman disini pernah merasa stres.
Awalnya, MIA kesulitan dalam menjalin pertemanan
karena kendala bahasa, namun ia kemudian mendaftar
kelas bahasa Indonesia di SFR. Selain belajar di SFR,
MIA yang mencoba untuk lancar bahasa Indonesia
dengan mencoba menjalin relasi dan berteman dengan
orang Indonesia seusianya. Setelah MIA memasukki
sekolah PKBM, ia jadi mendapat teman. Karena karakter
dirinya yang mudah akrab dengan orang lain, perlahan
MIA mendapatkan teman yang mau mengajarkannya
78
bahasa Indonesia sehingga dia dapat berbicara bahasa
Indonesia dengan lancar saat ini (MIA, 2019).

“Pas di Depok itu saya ngerti ngomong dikit – dikit gak


terlalu tau apa itu terus pas ke Pasar Minggu dapet temen.
Jadi main kerumah dia, saya nanya itu artinya apa dikasih
tau. Pas udah agak lumayan lancar pindah ke Manggarai.
Dulu CWS itu di Manggarai jadi dulu belajar bahasa
Indonesia disitu terus pas CWS pindah masih belajar terus
setelah udah masuk sekolah kan udah ada gaulannya,
udah ada temen – temennya, disitu saya belajar bahasa
Indonesia lebih lancar, lebih gaul, ama macam – macam
bahasa udah tau terus udah mulai bikin temen di
lingkungan Manggarai itu.” (MIA, 2019)

Selain karena bahasa, MIA pernah mendapatkan


perlakuan diskriminasi dari teman – temannya ketika
pertama kali masuk di sekolah PKBM di kelas 6. MIA
yang mendapat perlakuan tersebut tidak membiarkan
dirinya menjadi sedih melainkan sebagai masukkan untuk
merubah dirinya menjadi lebih baik lagi.

“Pas pertama kali di sekolah pas kelas 6 anak – anaknya


kan pada bandel – bandel ya gitu jadi di bully bully saya
diemin aja. Kalau mereka bully deket saya jauh. Kalau
mereka jauh saya duduk lebih jauh. Belajar sendiri.
Dibully pake kata – kata, soal fisik juga seperti kulit sama
rambut. Pas SMP udah ga dikatain lagi karena udah agak
gaul, udah saya tau bahasa, saya ambil pelajaran dari
kelas 6 itu jadi perubahin diri.”

Dari hambatan – hambatan yang dialami MIA dalam


mempelajari bahasa dan perlakuan diskriminasi yang
diterimanya, MIA dapat melewatinya dengan baik hal ini
79
karena pada hasil observasi lainnya ialah MIA yang sudah
bersekolah selama dua tahun dan sekarang sudah di kelas
1 SMP di PKBM Manggarai mampu mengikuti sekolah
dengan baik dengan nilai rapornya yang baik diatas 8
pada setiap mata pelajaranya sehingga dapat dilihat bahwa
MIA dapat menyesuaikan diri dengan Indonesia.
Pada penyesuaian diri informan keempat (WA) juga
memiliki pengalaman yang berbeda dengan ketiga
pengungsi lainnya. Berbeda dari ketiga pengungsi diatas
yang berasal dari Ethiopia, WA datang ke Indonesia
bersama orang tua dan keenam saudaranya dari
Afghanistan. WA dan keluarganya sudah tinggal selama
dua setengah tahun di Indonesia. Sebelum tinggal di
Jakarta, WA tinggal di Cisarua, Bogor selama dua tahun.
Daerah Bogor merupakan tempat yang paling banyak
dipilih para pengungsi dari Afghanistan karena biaya
sewa kontrakan yang terjangkau dan cuacanya yang sejuk
telah menjadi tempat tujuan pengungsi Afghanistan ketika
mereka sampai ke Indonesia. Namun, setelah dua tahun
berada di Bogor, WA dan keluarganya pindah ke Jakarta
untuk memudahkan dalam mengakses pelayanan untuk
pengungsi termasuk memenuhi kebutuhan selama tinggal
di Indonesia termasuk untuk memudahkan ibunya dalam
mendapatkan perawatan dari rumah sakit (WA, 2019).
Pada hasil observasi dan wawancara yang dilakukan
kepada WA ialah selama WA berada di Indonesia selama
dua setengah tahun belum bisa berbicara dengan lancar
80
dalam bahasa Indonesia. Berbeda dengan MNA yang
belum lancar karena dia sempat menyerah, hal yang
membuat WA belum lancar adalah karena WA dan
keluarganya yang tinggal selama dua tahun di Bogor dan
berada di lingkungan yang dikelilingi orang – orang
Afghanistan lainnya dan disana WA hanya mengikuti
sekolah bahasa Inggris untuk fokus mempersiapkan diri
menuju negara ketiga sehingga tidak mempelajari bahasa
Indonesia dengan serius (WA, 2019).
Karena kehidupannya yang berpindah dari Bogor
menuju Jakarta, WA merasakan perbedaan yang cukup
jauh diantara keduanya. WA mengatakan bahwa ia lebih
menyukai orang Indonesia yang tinggal di Jakarta
dibandingkan dengan orang Indonesia yang tinggal di
Bogor. Dengan bahasa Inggrisnya yang masih belum
lancar, WA menjelaskan pengalaman dirinya selama
tinggal di Bogor. WA menjelaskan bahwa orang
Indonesia di Jakarta lebih sopan karena di Bogor mereka
mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari masyarakat
Indonesia karena status dirinya sebagai pengungsi. WA
menceritakan dengan wajah yang serius ketika dia
mendapatkan pengalaman di Bogor seperti dilarang
berada di taman, diteriaki statusnya yang sebagai
pengungsi membuatnya merasa kurang dihargai sebagai
manusia, WA mengatakan meskipun ia pengungsi, ia
tetap memiliki hak untuk melakukan hal seperti itu dan

81
karena statusnya yang sebagai pengungsi, ia tidak bisa
membela dirinya dan hanya bisa diam (WA, 2019).

“We did not have the rights to go walking in the park.


They were saying ‘you are refugee’ and also when there
were children who attacked the refugee children we could
not ask why you did this one so we don’t have rights to
say. We are also human in here. We also have rights to do
these things but I think in here it is better.” (WA, 2019).

(Terjemahan: Kami tidak mempunyai hak untuk berjalan


di taman. Mereka pernah mengatakan ‘kamu adalah
pengungsi’ dan juga disana ketika anak – anak menyerang
pengungsu anak, kami tidak bisa bertanya mengapa
mereka melakukan hal seperti itu jadi kami tidak punya
hak untuk mengatakan. Kami juga manusia disini. Kami
juga memiliki hak untuk melakukan hal – hal seperti
masyarakat biasanya tetapi disini di Jakarta lebih baik)
(Terjemah oleh Riska Hariyana).

Namun, meskipun di Bogor mendapatkan perlakuan


buruk, WA tidak menganggap semua orang Indonesia
tidak suka dengan pengungsi dan selalu
memperlakukanya buruk dimanapun. Tapi menurutnya
dengan perlakuan buruk yang selalu diterimanya di
Bogor, WA mengatakan Bogor tidak ramah untuk
pengungsi. Karena selain dilarang berjalan di taman, WA
pernah mendapatkan pengalaman bahwa sekumpulan
anak Indonesia pernah menyerang pipi adiknya dengan
disundut rokok dan dilempari batu ketika mereka sedang
berjalan menuju sekolah. Sekumpulan anak tersebut juga
dengan merobek kerudungnya. Selain itu, tidak hanya

82
WA dan adiknya tetapi ibunya juga pernah dilempari batu
oleh sekumpulan orang lokal dan berteriak bahwa ini
adalah negara kami dan pengungsi seperti tidak boleh ada
di Indonesia dan menyatakan bahwa mereka bebas
melakukan apapun untuk menyakiti pengungsi.
Pengalaman lain yang dialaminya ialah ketika kaki
adiknya dilindas motor oleh anak yang lewat di depan
rumahnya yang membuat adiknya bertengkar dan
bersembunyi di kamar mandi ketika anak tersebut
mengejarnya sampai kedalam rumah (WA, 2019).

“they put their cigarettes on my brother’s cheek and also


they tear my hijab. They threw a stone until they threw a
stone to my mother. They said ‘it is our country’ every
time they said ‘it’s our country and it’s our rights to do
like this’.” (WA, 2019).

(Terjemahan: mereka menyundukan rokok ke pipi adik


saya dan juga merobek hijab saya. Mereka melempar
sebuah batu sampai mereka melempar sebuah batu ke ibu
saya. Mereka mengatakan ‘ini negara kami’ setiap waktu
mereka mengatakan ini negara kami dan hak kami untuk
melakukan ini’. (Terjemah oleh Riska Hariyana).

Meskipun WA dan keluarganya sering mendapatkan


perlakuan yang tidak baik dari orang Indonesia yang ada
disekitarnya di Bogor, ia memiliki banyak keluarga dan
teman dari Afghanistan dengan membangun relasi sebagai
sesama pengungsi dan tidak merasa sendirian dengan
keluarganya disana. Penjalinan relasi juga dilakukan oleh
WA dengan terbuka, ia yang saat ini baru tinggal selama
83
enam bulan di Jakarta bersama keluarganya mengatakan
bahwa ia menjalin hubungan baik dengan tetangganya
yang merupakan orang Indonesia, WA menjelaskan
bahwa mereka adalah orang yang ramah dan
membantunya ketika dalam keadaan sulit. Selain dengan
tetangga, WA juga menjalin relasi yang baik dengan
beberapa teman di sekolah PKBM meskipun ia baru satu
bulan bersekolah disana dan juga dengan pengungsi lain
di SFR. Tetapi, WA juga mendapat perlakuan yang tidak
baik dari teman di sekolahnya pula (WA, 2019).

“I think these days that I’m going to school some of the


girls are do not like us. They are mocking us like we don’t
know their language. They say a lot of things and their
language so I know what they are saying but I cannot
speak again.” (WA, 2019).

(Terjemah: Saya pikir akhir – akhir ini ketika saya pergi


ke sekolah,, beberapa dari teman sekolah perempuan tidak
menyukai kami. Mereka mengejek kami seperti kami
tidak mengetahui bahasa mereka. Mereka mengatakan
banyak hal dan saya tahu bahasa mereka jadi saya tahu
apa yang mereka katakana tapi saya tidak bisa berbicara)
(Terjemah oleh Riska Hariyana)

Penyesuaian diri lainnya yang dilakukan WA yang


saat ini dilakukannya adalah mencoba mempelajari bahasa
Indonesia lebih lanjut lagi ketika ia pindah ke Jakarta
untuk menyesuaikan diri dengan orang – orang di
sekitarnya terutama di sekolah PKBM. Penyesuaian diri
dalam mempelajari bahasa Indonesia yang dilakukan WA

84
cukup sulit. Selain karena perbedaan bahasa dan ia harus
mulai mempelajari bahasa Indonesia dari awal karena
sebelumnya ia tidak mempelajarinya di Bogor sehingga
ketika sampai di Jakarta ia mencoba mendaftarkan diri di
kelas bahasa di SFR untuk bisa lancar bahasa Indonesia
dan saat ini masih berusaha belajar bahasa Indonesia
dengan bantuan dari ibu Fitri dan dari teman – temannya
di PKBM (WA, 2019).

b. Interaksi Sosial

Interaksi sosial merupakan poin selanjutnya yang


peneliti teliti untuk mengetahui psikososial pengungsi anak
yang menjadi murid di SFR Jakarta dalam menjalankan
kehidupan di Indonesia. Pada hasil observasi dan
wawancara yang dilakukan peneliti pada keempat
pengungsi dalam melakukan interaksi sosial ialah terbuka
dan tidak menutup diri dengan lingkungan sekitarnya
terutama orang baru serta mampu memilih interaksi sosial
yang harus dan tidak harus dilakukan.
NMK (informan pertama) dalam melakukan interaksi
sosial di kehidupan sehari – harinya sangat terbuka dan
lebih akrab terutama dengan teman – teman yang berasal
dari Ethiopia, Eritrea, dan negara lain yang berbicara
bahasa Arab. Tapi, NMK juga tidak menutup diri dengan
orang baru yang ingin berteman atau sekedar berbicara
dengannya. NMK mengatakan bahwa orang Indonesia

85
adalah orang yang ramah dan suka diajak berbicara dengan
menggunakan bahasa Indonesia dengan orang yang baru
dikenalnya. NMK senang bisa berinteraksi dengan orang
Indonesia yang mau mengajaknya berbicara terutama
dengan orang yang baru dikenalnya (NMK, 2019). Hal ini
juga dibuktikan pada pengamatan yang peneliti lakukan,
NMK merupakan pengungsi yang terbuka dan suka
berbicara dan berbagi cerita kepada orang baru. Banyak
cerita yang diluar dari proses wawancara yang diceritakan
oleh NMK mengenai perkembangan pengungsi di luar
negeri.

“Indonesia ramah, mereka ketika berbicara bingung karena


mereka pikir saya tidak bisa bicara Bahasa terus saya
bilang “Don’t worry I know Indonesia” and they start
talking and talking. I talked with them. Ketika saya ditanya
bicara bahasa Inggris mereka bilang bahasa Inggris tapi
ketika saya bilang saya bisa bicara bahasa Indonesia, they
become happy. Orang Indonesia banyak yang baik.”
(NMK, 2019)

Hal ini juga dijelaskan oleh MNA (informan kedua)


yang mengatakan bahwa interaksi yang dilakukan oleh
MNA lebih sering dilakukan di SFR dengan pengungsi
anak lain seperti dengan NMK dan beberapa teman lainnya
yang dekat dengan MNA yang berbicara bahasa Arab
tetapi ia juga senang berinteraksi dengan dengan orang
baru. Meskipun ia tidak lancar berbicara bahasa Indonesia,
ia mencoba untuk membuat orang lain mengerti apa yang
ia bicarakan dengan pelan – pelan kepada orang yang tidak
86
mengerti bahasa Inggris. Ia senang berbicara dengan orang
baru yang menurutnya nyaman dan tidak mengganggunya
(MNA, 2019). Hal tersebut sama dengan NMK yang tidak
ingin berinteraksi dengan teman – teman sekolahnya di
PKBM karena perilaku diskriminasi yang diterimanya.

“I always try to communicate with them. I try to make


them understand what I’m saying and also they try to
make me understand what ther are saying to me. If I go to
other place and meet the people who I don’t know and ask
me questions like how are you I will answer it. But if the
people who make me uncomfortable, I will not talk to
them.”(MNA, 2019).

(Terjemahan: Saya selalu mencoba untuk berkomunikasi


dengan mereka. Saya selalu mencoba mereka mengerti
apa yang saya katakana dan mereka juga mencoba untuk
membuat sata mengerti apa yang mereka katakana kepada
saya. Ketika saya pergi ke tempat lain dan bertemu
dengan orang – orang yang saya tidak tahu dan bertanya
kepada saya seperti kabar, saya akan menjawabnya.
Tetapi ketika orang – orang yang tidak membuat saya
nyaman, saya tidak akan berbicara dengan mereka)
(Terjemahan oleh Riska Hariyana).

Interaksi sosial yang dilakukan MIA (informan


ketiga) juga terbuka dengan orang baru seperti peneliti
dan mudah akrab. Ketika wawancara dilakukan, MIA
banyak tersenyum dan melakukan gerak – gerik tubuh
seperti memainkan tangan saat menjelaskan sesuatu dan
juga MIA adalah orang yang santai ketika berbicara
dengan peneliti. Selain itu, interaksi sosial yang dilakukan
MIA di lingkungan tempat tinggalnya seperti dengan
87
bermain bersama teman – temannya di lapangan bola
(MIA, 2019).

“Deket rumah saya itu ada Masjid terus ada lapangan


bola. Kan kesitu anak – anak pada main, nah kita main
disitu. Soalnya temennya agak lumayan deket. “ (MIA,
2019).

WA (informan keempat) juga terbuka dengan


orang – orang baru. Hal ini ditunjukkan ketika peneliti
bertemu untuk pertama kali dengan WA, ia menunjukan
sikap yang ramah dan murah senyum kepada peneliti.
Ketika bertemu peneliti, ia mengajak peneliti berkenalan
ketika ibu Fitri memperkenalkan WA kepada peneliti.
Selama bersekolah di SFR, WA juga merupakan anak
yang suka berbicara dengan pengungsi lain meskipun
belum bisa bahasa Indonesia. Sama dengan NMK dan
MNA, ia lebih sering berinteraksi dengan orang yang
berasal dari Afghanistan di SFR. Selama enam bulan
tinggal di Jakarta, WA yang merasakan perbedaan antara
Bogor dan Jakarta mengatakan ia suka berinteraksi
dengan orang – orang Jakarta yang baik dan suka
menolong mereka tetapi tidak terbiasa untuk memulai
percakapan lebih dulu yang membuatnya kurang memiliki
teman di Jakarta. Saat WA masih tinggal di Bogor, ia
lebih sering bertemu pengungsi dari Afghanistan sehingga
ia lebih terbiasa berbicara dengan orang yang berasal dari
Afghanistan dan ketika di Jakarta, ia tidak banyak

88
bertemu dengan pengungsi dari Afghanistan yang tidak
seperti di Cisarua. WA lebih akrab berinteraksi dengan
pengungsi Afghanistan karema mereka saling mengerti
keadaan dengan latar belakang mereka yang sama. WA
juga masih sering melakukan kontak via telepon untuk
menanyakan kabar kerabatnya yang ada di Bogor
membicarakan perkembangan masing – masing (WA,
2019).

“In Bogor some of our Afghani neighbor we have contact


sometimes is asking how are you like, what is new, are
you resettlement, are you going to another country.”
(WA, 2019).

Interaksi sosial lain yang dilakukan oleh ketiga dari


keempat pengungsi ialah betemu dengan kerabat mereka
yang berasal dari satu negara dengan mereka. Hal ini
dijelaskan oleh NMK, MNA, dan WA.
NMK dan MNA yang berasal dari Ethiopia
mengatakan bahwa ia suka mengadakan kumpul bersama
dengan pengungsi dari Ethiopia lain yang jaraknya
berjauhan setiap lima bulan atau satu tahun sekali (MNA,
2019).

“Me and some people sometimes meet our Ethiopian


friends in different place every five months or once a year
cause they live far from here” (MNA, 2019).

(Saya dan beberapa orang terkadang bertemu dengan


teman – teman Ethiopia kami di tempat berbeda setiap

89
lima bulan atau satu tahun sekali karena mereka tinggal
jauh dari sini) (Terjemah oleh Riska Hariyana).

WA dan keluarganya yang memiliki hubungan


pertemanan dengan pengungsi dari Afghanistan lain juga
sering mengunjungi dan berkumpul di Bogor. Ketika WA
melakukan kumpul bersama dengan pengungsi lainnya, ia
merasa saling memiliki karena permasalahan yang sama
yang mereka hadapi di Indonesia sebagai pengungsi. Cara
WA menceritakan kepada peneliti tentang kehidupannya
di Indonesia disertai dengan interaksi fisik dan emosional
yang ditunjukkan dengan serius dan merasa lega bahwa
WA tidaklah sendirian dan dapat saling bertukar cerita
bagaimana para pengungsi menjalankan kehidupannya di
Indonesia. Interaksi sosial yang dilakukan WA berdampak
positif untuk mengurangi stres dan depresi yang
dialaminya (WA, 2019).

“Everyone is waiting for this when we are going from


here. I think when we have a gathering so it becomes
lower our stress and depression” (WA, 2019).

(Semua orang menunggu untuk ini kapan kami bisa pergi


dari sini. Saya pikir ketika kita berkumpul akan
mengurangi stress dan depresi kami) (Terjemah oleh
Riska Hariyana).

Dari keempat pengungsi mengenai interaksi sosial


yang dijelaskan bahwa mereka senang berinteraksi dengan
orang baru. Mereka menceritakan bagaimana mereka

90
berinteraksi dengan orang lain dengan menggunakan
ekspresi wajah dan gerak – gerik tubuh yang senang yang
mengartikan bahwa mereka tidak menutup diri dengan
orang – orang yang ingin mengajaknya berbicara.

c. Dukungan Sosial

Hasil temuan data yang selanjutnya dalam


mengetahui kondisi psikososial pengungsi anak ialah
dukungan sosial yang diterimanya selama berada di
Indonesia. Dua dari keempat subjek yang diwawancarai
mengatakan tidak mendapatkan dukungan sosial dari
manapun. NMK dan MNA mengatakan bahwa selama di
Indonesia dia tidak memiliki dukungan emosional dari
orang – orang terdekatnya seperti orang tua dan teman –
temannya. Keduanya ketika di wawancara
memberitahukan bahwa selama ini dirinya yang
memberikan semangat kepada dirinya sendiri untuk
menjalankan kehidupan di Indonesia (NMK dan MNA,
2019).

“Ga dapet dukungan dari siapa – siapa. Saya kalo lagi


banyak masalah bisa berdoa dan baca Qur’an itu aja. Saya
sendiri yang semangatin diri saya. Ga ada yang bantu.
Sendiri aja udah.” (NMK, 2019).

“No. I don’t have. I only support myself. My


mother….no, I don’t even talk at home. I just come back
from school and our phone yeah that’s all. Sometimes I

91
just watch Youtube to forget my problems here.” (MNA,
2019).

(Terjemahan: Tidak, saya tidak punya. Ibu saya…..tidak,


saya bahkan tidak berbicara dirumah. Saya hanya
mendukung diri saya sendiri. Ketika saya pulang sekolah
dan melihat ke ponsel itu saja. Terkadang, saya hanya
menonton Youtube untuk melupakan masalah – masalah
saya disini) (Terjemah oleh Riska Hariyana).

Dua informan lain yaitu MIA dan WA berbeda


dengan NMK dan MNA. Keduanya mendapatkan
dukungan dari orang – orang di sekelilingnya. MIA
mendapat dukungan dari ibunya dan sahabatnya bernama
Chandra yang sudah menjadi sahabatnya sejak MIA
sekolah di PKBM. WA mendapatkan dukungan sosial dari
ayahnya yang selalu mendukungnya untuk terus
bersekolah mencari ilmu yang banyak di Indonesia
terutama belajar bahasa Inggris lebih lancar lagi agar WA
bisa mengajarkan ayah dan adik – adiknya untuk bisa
berbicara dengan lancar untuk mempersiapkan diri
mereka ke negara ketiga (MIA dan WA, 2019).

“Yang bikin saya semangat jalanin kehidupan disini ibu


saya selalu support dan karena kemauan saya juga. Kalo
Chandra sahabat saya pasti lah selalu support kalo lagi
ada masalah” (MIA, 2019).

“My father, he is the one who support us especially in


here. Cause my father pursuit me every time to teach
92
them English. And also he is trying a lot to us get
educate.” (WA, 2019).

(Terjemahan: Ayah saya, dia yang salah satunya


mendukung kami disini. Karena ayah saya
menyemangati saya setiap waktu untuk mengajarkan
mereka Bahasa Inggris. Dan juga disini ia selalu
mencoba berusaha banyak kepada kita untuk bisa
mendapatkan pendidikan) (Terjemah oleh Riska
Hariyana).

WA yang mendapatkan dukungan sosial dari


ayahnya juga memberikan semangat kepada dirinya untuk
terus belajar bahasa Indonesia dengan kemampuannya.
Dukungan kepada dirinya sendiri yang ia berikan dengan
merasa bangga bahwa dirinya mencoba menjadi lebih
baik dari pengungsi lain yang belum bisa lancar bahasa
Indonesia (WA, 2019).

“And also in here especially more the people they don’t


know bahasa Indonesia and also sometimes I’m very
proud of myself that I know Bahasa Indonesia a little bit
but the other refugee they don’t know a little bit this much
so that’s why I say I’m improving” (WA, 2019).

(Terjemahan: Dan juga disini terutama banyak orang


(pengungsi) mereka tidak tahu bahasa Indonesia dan juga
terkadang saya sangat bangga kepada diri saya ketika saya
mengetahui Bahasa Indonesia sedikit tapi pengungsi lain
mereka tidak tau sedikitpun jadi saya bisa mengatakan
saya bertambah baik) (Terjemah oleh Riska Hariyana).

Dukungan instrumental juga diberikan kepada


keempat pengungsi anak. Dengan adanya SFR, pengungsi
93
anak memiliki kesempatan untuk menuntut ilmu yang
mana peran SFR yaitu memberikan pembelajaran di SFR
serta menyediakan alat – alat dan seragam sekolah untuk
keperluan mereka di sekolah PKBM. Tidak hanya bagi
keempat pengungsi tersebut tetapi juga untuk para murid
di SFR dan yang telah bersekolah di PKBM. Fasilitas lain
yang ada didalamnya selain kelas Dompet Dhuafa khusus
bahasa Indonesia ialah kelas PKPU, dan kelas komputer.
(Ibu Fitri Setya Wahyuningsih, 2019).

d. Masalah Psikososial
Setelah membahas aspek- aspek psikososial untuk
mengetahui kondisi psikososial pengungsi anak,
selanjutnya, peneliti membahas masalah psikososial yang
dialami. Dalam mengetahui masalah psikososial keempat
pengungsi anak, peneliti memfokuskan masalah
psikososial yang paling banyak dialami pengungsi anak
dari penelitian terdahulu yang telah dilakukan dan juga
dari hasil observasi awal peneliti ialah masalah
psikososial seperti stres, depresi, dan keputusasaan. Setiap
subjek pernah mengalami satu dari ketiga masalah
psikososial tersebut.
Pada hasil observasi dan wawancara yang
dilakukan, masalah psikososial pengungsi anak yang
dialami ialah keputusasaan. Keempat pengungsi anak
(NMK, MNA, MIA, dan WA) pernah dan sering
mengalami rasa keputusasaan karena ketidakpastian
94
kapan mereka akan dikirimkan ke negara ketiga untuk
bisa memulai kehidupan baru yang lebih layak dan
mendapatkan hak – hak untuk memiliki pendidikan dan
pekerjaan secara resmi sebagai warga negara. Mereka
merasa ia tidak memiliki masa depan di Indonesia karena
Indonesia bukan merupakan negara peserta Konvensi
1951 sehingga tidak mengizinkan pengungsi untuk
memiliki pendidikan yang layak dan pekerjaan untuk
memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka masing –
masing yang mana saat ini mereka hanya mendapatkan
uang bulanan dari CWS yang tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari. Ketiga informan
mengatakan hanya bisa bersekolah di PKBM menjadi
murid titipan. Mereka sama – sama menjelaskan dengan
penuh harapan kapan mereka akan bisa diterima di suatu
negara at dikirimkan ke negara ketiga. Ekspresi mereka
menjelaskan tentang keputusasaan yang dirasakan masing
– masing ialah beragam seperti sedih dan perasaan
berharap ingin cepat memulai kehidupan yang baru (Hasil
observasi dan wawancara dengan keempat pengungsi,
2019)
NMK dan MNA menjelaskan rasa putus asanya
dengan penuh keseriusan tentang kebijakan Indonesia
yang tidak bisa mengizinkan para pengungsi untuk
mengakses hak mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup
mereka selama tinggal di Indonesia (NMK dan MNA,
2019).
95
“If we sit in Indonesia, we don’t have a future. Kenapa
kita ga punya masa depan karena disini pengungsi ngga
bisa kerja, ngga bisa belajar, ngga bisa masuk kuliah ke
university jadi apa? Meaningless.” (NMK, 2019).

“I don’t have future. Disini ngga bisa kerja, ngga bisa


belajar. We cannot choose to live here but I would stay in
Indonesia if they give me the citizen. The money we get is
not enough. Renting a house is so expensive and also the
food, fruit, and vegetable. Everything is getting expensive.
(MNA, 2019).

(Terjemahan: Saya tidak punya masa depan. Disini ngga


bisa kerja, ngga bisa belajar. Kami tidak bisa memilih
untuk tinggal disini tapi saya mau tinggal di Indonesia
jika mereka memberikan saya kewarganegaraan. Uang
yang kami dapatkan tidak cukup. Menyewa kontrakan
sangat mahal dan juga makanan, buah, dan sayuran.
Semuanya mulai mahal) (Terjemahan oleh Riska
Hariyana).

Meskipun NMK dan NMA memiliki rasa


keputusasaan yang dimiliki WA lebih mendalam
dibandingkan dengan NMK dan MNA. WA menjelaskan
bahwa hampir setiap hari ketika malan dan ingin pergi
tidur, iya selalu membayangkan kapan ia akan
dimukimkan ke negara ketiga. WA yang selalu berdoa
kepada Allah merasa putus asa karena Allah belum
menjawab doanya. WA sering menangis membayangkan
kehidupannya disini yang merasa kekurangan dan juga
keterbatasan dirinya dan keluarganya untuk memenuhi
kebutuhan hidup bagi ibu dan adik – adiknya. Ibunya
yang sakit juga membuatnya ikut merasakan kesedihan

96
ibunya yang tidak menyukai kehidupan di Indonesia.
Ibunya yang juga memiliki masalah kesehatan karena
traumanya, harus rutin melakukan pemeriksaan oleh
dokter membuatnya ikut merasakan kesedihan yang
dialami oleh ibunya yang sering mengeluhkan ingin
kembali ke Afghanistan karena lebih baik disana dengan
keluarganya yang lain (WA, 2019). Ketika menjelaskan,
ekspresi wajah WA sedih mengingat kehidupannya di
Indonesia selama dua tahun terakhir.

“I feel hopeless. Something that every refugee feels and


also going back to Afghanistan is also more than hopeless
because we don’t have any security in there. If they allow
us for work and also have the same education, the same
rights as citizen in Indonesia we will be in here.” (WA,
2019).

(Terjemahan: Saya merasa putus asa. Sesuatu yang setiap


pengungsi rasakan dan juga kembali ke Afghanistan juga
lebih putus asa karena kami tidak aman disana. Jika
mereka (Indonesia) mengizinkan kami untuk bekerja dan
juga memiliki pendidikan yang sama seperti memiliki hak
yang sama seperti penduduk di Indonesia, kami mau
disini) (Terjemah oleh Riska Hariyana).

Menurut WA, pengungsi harus menunggu sangat


lama untuk penempatan ke negara ketiga yang membuat
WA dan keluarganya tertekan dengan ketidakpastian
kapan mereka akan bisa memulai hidup baru mereka. WA
menyatakan bahwa dia belum mendapatkan kesempatan
wawancara dengan UNHCR dan WA mengatakan berapa
tahun lagi keluarganya harus menetap disini untuk
97
mendapatkan kesempatan tersebut yang bisa memakan
waktu sampai belasan mungkin puluhan tahun untuk bisa
ditempatkan ke negara ketiga seperti yang sudah
diinformasikan oleh UNHCR karena faktor kebijakan
pengurangan kuota bagi pengungsi untuk diterima di
negara ketiga. WA selalu berulang – ulang bahwa dia
selalu merasa putus asa ketika melihat ibunya menangis
dan tidak bisa menunggu lama lagi untuk tinggal disini
(WA, 2019).

“I’m getting hopeless when I saw my mother was crying


and also when she is saying ‘I don’t have their patient, I
don’t have their tolerate to live in here’, sometimes she is
using a lot of medicine tablets so when I saw her, she is
sometimes crying ‘I want to go back if you don’t want just
leave me I want to go back.’ So we cannot leave our
mother to go to Afghanistan because that’s not safe.”
(WA, 2019).

(Terjemahan: Saya mulai merasa putus asa ketika waktu


itu melihat ibu saya menangis dan mengatakan ‘saya tidak
memiliki kesabaran mereka, saya tidak memiliki toleransi
mereka untuk tinggal disini’, terkadang dia minum banyak
obat jadi ketika saya melihat dia juga terkadang menangis
‘Saya mau kembali dan jika kalian tidak mau, tinggalkan
saya, saya mau kembali.’ Jadi, kami tidak bisa
meninggalkan ibu kami untuk pergi ke Afghanistan
karena tidak aman.) (Terjemah oleh Riska Hariyana).

Sama halnya dengan MIA, pengungsi dari


Ethiopia ini pernah mengalami perasaan putus asa karena
ketidakjelasan mengenai masa depan seperti yang dialami
ketiga pengungsi lainnya. Namun, MIA pernah
98
mengalami stres dan rasa putus asa karena ketika ia tiba di
Indonesia. MIA mengalami stres karena ia tidak memiliki
teman yang bisa dia ajak bermain dan berkumpul karena
belum lancar bicara bahasa Indonesia sehingga sulit
membangun relasi baru. Perasaan putus asa yang dialami
MIA yaitu ketika MIA belum bersekolah, ia tidak
mengetahui apa kegiatan yang harusnya ia lakukan di
Indonesia, MIA hanya bisa membaca buku yang ada
dirumahnya, tidak memiliki gambaran tentang masa
depannya. Namun, saat ini dia memiliki rutinitas sehari –
hari seperti bersekolah, belajar dirumah, berkumpul
dengan temannya dan mengikuti program Baca Tulis
Qur’an (BTQ) di masjid di dekat rumahnya. Mia menjadi
termotivasi dengan fasilitas pendidikan yang diberikan
oleh SFR kepada dirinya dan memanfaatkannya untuk
mencari ilmu mengejar cita - citanya (MIA, 2019).

“Sekarang udah bisa sekolah, udah bisa mikirin masa


depan, bisa mikirin cita – cita mau jadi apa. Cita – cita ada
dua. Pertama jadi pengusaha dulu terus abis itu Dokter.
Sekarang udah sibuk. Waktu datang gatau harus ngapain”

Selain MIA, stres juga dirasakan WA selama enam


bulan ketika ia tidak memiliki kegiatan yang bisa dia
lakukan seperti sekolah dan belajar bahasa Indonesia
dengan kegiatan yang dia lakukan sekarang, WA dapat
mengurangi rasa stres dan depresinya (WA, 2019).

99
“Yeah of course I had. I was depressed when I didn’t go
to Indonesia school. Six months I was really depressed,
now I’m a little bit good because now I’m busy and
learning Bahasa Indonesia. When we are busy with going
to school we don’t feel any depression and stress.” (WA,
2019).

(Terjemah: Ya tentu saja saya pernah. Saya pernah merasa


depresi ketika saya tidak pergi ke sekolah Indonesia.
Enam bulan saya benar – benar depresi, sekarang saya
sedikit lebih baik karena sekarang saya sibuk dan sedang
belajar bahasa Indonesia. Saat kita sibuk dengan sekolah,
kita tidak merasakan perasaan depresi dan stres apapun.)
(Terjemah oleh Riska Hariyana).

WA yang sering mengalami perasaan putus asa


dapat mengatasinya dengan menyibukkan dirinya dengan
pergi sekolah sehingga ia tidak berlarut – larut dalam
keputusasaannya dan menarik diri dari lingkungan (WA,
2019).
Sama dengan WA dan MIA, kedua pengungsi NMK
dan MNA juga dapat mengatasi rasa putus asanya dengan
melakukan aktivitasnya bersekolah dan mereka dapat
melupakan rasa keputusasaan yang terkadang
menghampiri mereka. Namun, jika rasa putus asa muncul,
mereka dapat mengatasinya dengan menyibukkan diri
dengan aktivitas lainnya dirumah (MNA dan NMK,
2019).

“I don’t have to think. Kalo sekarang udah sekolah. Saya


sibuk setiap hari. Ga stres lagi but when I go to bed, to

100
sleep, I think about my life sometimes, not every day.”
(NMK, 2019).

“I have no stress cause every day, I go to school. There’s


no time to think. But when I don’t have anything to do, I
think about my life. Sometimes I just watch Youtube to
forget. When I don’t go to school, we cannot go anywhere
like other people, sit staying at home, thinking about the
future. What will happen, what we gonna do tomorrow.
That’s our life for now. In syaa Allah in the future I will
change. (MNA, 2019).

(Terjemahan: Saya tidak stres karena setiap hati saya


pergi ke sekolah. Tidaka da waktu untuk memikirkannya.
Tapi ketika saya tidak memiliki kegiatan untuk dilakukan,
memikirkan hidup saya. Terkadang saya hanya menonton
Youtube untuk melupakan. Saat saya tidak pergi ke
sekolah, saya tidak bisa pergi kemana - mana seperti
orang lain, duduk dirumah, memikirkan tentang masa
depan. Apa yang akan terjadi, apa yang akan kita lakukan
besok. Itulah kehidupan kita sekarang. In syaa Allah di
masa depan saya akan mengubahnya.) (Terjemah oleh
Riska Hariyana).

Dalam penemuan data yang telah dilakukan kepada


beberapa pengungsi anak di SFR Jakarta, kondisi
psikososial mereka dapat dikatakan baik. Pertama, dalam
menyesuaikan diri dengan kondisi dan situasi di Indonesia
dapat dilewati dengan baik dengan cara masing – masing
dengan beberapa hambatan berbeda yang setiap pengungsi
anak rasakan. Kedua, dalam melakukan interaksi sosial,
pengungsi anak dinilai dapat melakukan interaksi sosial
dengan sangat baik yaitu terbuka dan tidak menutup diri

101
dengan siapapun meskipun dengan keterbatasan beberapa
pengungsi untuk berbicara bahasa Indonesia. Ketiga, pada
aspek dukungan sosial yang diterima oleh pengungsi anak
ialah diterima dengan cara yang berbeda – beda
bergantung dengan masalah yang mereka hadapi.
Keempat, setiap pengungsi anak juga pernah mengalami
masalah psikososialnya sendiri yang diantaranya stres
ketika pengungsi anak tidak memiliki aktivitas atau
kegiatan diluar rumah dan rasa putus asa mengenai masa
depan mereka yang tidak pasti kapan mereka akan
dikirimkan ke negara ketiga untuk mendapatkan hak – hak
mereka sebagai Warga Negara yang menjadi tujuan
mereka keluar dari negara asalnya.

102
BAB V

PEMBAHASAN DAN ANALISA

Pada bab kelima ini akan dijelaskan analisa atas


temuan-temuan yang data yang dihasilkan dari penelitian
yang telah dilakukan. Analisa ini dilakukan berdasarkan
oleh latar belakang dan bab teori yang sudah dibahas dalam
Bab II.

Setiap konflik yang terjadi di suatu negara selalu


menyebabkan kerugian paling besar bagi anak – anak.
Kekerasan dan konflik yang berkepanjangan bukan hanya
menimbulkan kerugian nyawa, tetapi juga memunculkan
gelombang manusia yang kehilangan masa depan (Bagong
Suyanto, 2010: 310 – 312). Pengungsi yang mengungsi di
negara lain mengharuskan mereka menyesuaikan diri
dengan budaya setempat. Proses akulturasi diakui sebagai
hal yang dapat menyebabkan stres dan berkaitan dengan
masalah sosial dan psikologis (Berry, 1997). Keempat
pengungsi anak yang ada di School for Refugees (SFR)
memiliki pengalaman yang berbeda – beda selama
menjalankan kehidupan di Indonesia dari pertama kali
sampai hingga saat ini dengan waktu menetap mereka
masing - masing. Indonesia yang hanya sebagai negara
transit bagi para pengungsi untuk menunggu penempatan ke
negara ketiga tidak mengetahui pasti berapa lama lagi

103
mereka harus menunggu sehingga pada permasalahan yang
dibahas dan temuan yang ada dalam penelitian ini, peneliti
membahas kondisi psikososial pengungsi anak di SFR
secara keseluruhan bagaimana mereka menjalani kehidupan
mereka tersebut. Setiap aspek psikososial yang dibahas
peneliti merupakan hal yang berkesinambungan dalam
mengetahui kondisi psikososial mereka di Indonesia.
Pengungsi anak memiliki kondisi yang berbeda – beda
ketika berada di tempat baru setelah melakukan
perpindahan. Aspek psikososial yang digunakan berasal
teori penyesuaian diri, interaksi sosial, dan dukungan sosial
serta menggunakan teori stres, depresi, dan putus asa dalam
mengetahui kondisi psikososial pengungsi anak. Berikut ini
adalah pembahasan dari hasil temuan data yang telah
peneliti susun.

A. Analisis Penyesuian Diri Pengungsi Anak

Ketika pengungsi tiba ditempat yang baru, mereka


akan melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan di
negara tempat mereka tinggal. Dari temuan data yang telah
dilakukan, pengungsi anak yang berpindah – pindah tempat
di Indonesia memiliki pengalaman yang berbeda bagaimana
mereka menyesuaikan diri dengan kondisi di tempat mereka
masing – masing sebelum pindah ke Jakarta. Mereka
memiliki cara yang berbeda untuk memahami dan
mempelajari bahasa Indonesia serta mengetahui tentang

104
kehidupan sosial di Indonesia dengan menjalin relasi
dengan masyarakat sekitar serta mengikuti program SFR
Dompet Dhuafa untuk mendapatkan pengajaran lebih
mengenai bahasa Indonesia serta budaya dan kebiasaan
orang Indonesia.
Pada kerangka teori yang telah disusun pada bab II
mengenai penyesuaian diri yang dikemukakan Mohammad
Ali dan Mohammad Asrori (2004), keempat pengungsi anak
dapat menyesuaikan diri dengan baik yang ditandai dengan
kemampuan dari keempat pengungsi anak yang dapat
mengatasi masalah penyesuaian diri seperti bahasa dan
sikap orang Indonesia terhadap pengungsi yang mana
pengungsi anak dapat mengatasi ketegangan dan konflik
antara diri dan lingkungan mereka sehingga penyesuaian
diri yang mereka lakukan dilakukan dengan cara yang
matang, mengeluarkan tenaga dan waktu yang sesuai,
memuaskan dan dapat mengatasi kesulitan pribadi seperti
bullying dan kesulitan belajar bahasa Indonesia. Sehingga,
penyesuaian diri yang dilakukan pengungsi anak juga
dilakukan tanpa mengubah perilaku yang menyimpang dari
nilai – nilai moral dan kebiasaan yang ada Indonesia.
Setiap penyesuaian diri yang dilakukan pengungsi
anak memiliki proses. Dalam mengetahui proses
penyesuaian diri tersebut, peneliti menggunakan teori yang
dikemukakan Schneiders (1984) yang melibatkan tiga
unsur, yaitu:

105
1) Motivasi; keempat pengungsi anak memiliki motivasi
selama melakukan penyesuaian diri. Mereka memiliki
keinginan untuk lancar bicara bahasa Indonesia untuk
bisa melakukan aktivitas seperti sekolah yang
mengharuskan mereka bisa mengerti dan lancar bahasa
Indonesia, serta berinteraksi dengan orang Indonesia
dalam melakukan aktivitas sehari – hari mereka.
2) Sikap terhadap realitas; penyesuaian diri yang dilakukan
keempat dilakukan karena sebuah keharusan yang mana
mereka yang sampai di Indonesia dan harus menunggu
waktu dengan jangka waktu yang tidak pasti sehingga
mengharuskan mereka untuk melakukan penyesuaian
diri sesuai dengan lingkungan dimana mereka berada.
3) Pola dasar penyesuaian diri; pada proses ini, setiap
pengungsi memiliki pola penyesuaian diri yang berbeda.
Hal tersebut berbeda karena mereka menilai keadaan
dan menyesuaikan diri sesuai dengan kemampuan dan
kapasitas dirinya, yang mana pada NMK lebih cepat
dalam memahami dan mengerti bahasa Indonesia karena
kemampuan dirinya yang cepat dalam menangkap
pelajaran bahasa Indonesia di SFR. Hal ini berbeda
dengan MNA yang memiliki cara berbeda dalam belajar
bahasa Indonesia dengan perlahan sehingga proses
penyesuaian dirinya lebih membutuhkan waktu lebih
lama dibandingkan dengan NMK. Selanjutnya MIA
yang sudah mampu berbahasa Indonesia memiliki pola
penyesuaian diri dengan mencoba menjalin relasi sosial
106
dengan orang Indonesia yang mengajarinya bahasa
Indonesia. Pengungsi anak (WA) yang baru enam bulan
berada di Jakarta memiliki pola penyesuaian diri dengan
belajar di SFR dan berteman dengan teman – teman
Indonesia di sekolah PKBM. Namun, keempat
pengungsi memiliki persamaan dalam pola penyesuaian
mereka yaitu mereka belajar bahasa Indonesia di SFR
untuk menjalin relasi sosial dengan masyarakat
Indonesia.

B. Analisis Interaksi Sosial Pengungsi Anak

Setiap proses interaksi bagi pencari suaka maupun


pengungsi yang tiba di tempat baru merupakan hal yang
paling penting. Dalam kerangka teori di bab II, Shaw (1976)
mendefinisikannya sebagai suatu pertukaran antarpribadi
yang masing – masing orang menunjukkan perilakunya satu
sama lain dalam kehadiran mereka, dan masing – masing
perilaku memengaruhi satu sama lain. Dari data temuan
menjelaskan bahwa interaksi sosial oleh keempat pengungsi
anak dilakukan dengan baik dan lancar meskipun dua dari
empat pengungsi anak belum dapat berbicara bahasa
Indonesia yang belum seperti kedua pengungsi lainnya
(NMK dan MIA) sehingga untuk melakukan interaksi
dengan masyarakat Indonesia mereka menggunakan bahasa
Inggris dan terkadang dengan bahasa Indonesia yang
mereka bisa seperti percakapan ringan. Tiga dari empat
pengungsi lebih banyak melakukan interaksi dengan teman
107
yang juga merupakan pengungsi yang berasal dari satu
negara di SFR dibandingkan dengan masyarakat Indonesia
dan satu pengungsi lain lebih sering berinteraksi dengan
masyarakat Indonesia di lingkungan rumahnya.
Adapun menurut Shaw (1976) dalam interaksi
dibedakan menjadi tiga, yaitu interaksi verbal, interaksi
fisik, dan interaksi emosional. Keempat pengungsi
melakukan interaksi sosial yang dilakukan terbuka bertukar
pendapat satu sama lain dengan lingkungannya, ekspresi
wajah dan curahan perasaan yang berkesinambungan, posisi
tubuh, gerak – gerik tubuh, dan kontak mata yang sesuai
dengan topik dan pembahasan yang dibicarakan Namun,
meskipun banyak pengungsi anak yang lebih sering
berinteraksi dengan pengungsi lainnya, keempat pengungsi
tetap terbuka dengan orang baru terutama dengan orang
yang ramah dan mengajaknya berbicara dengan sopan dan
mereka tidak menarik diri setelah mengalami pengalaman
buruk yang mereka dapatkan dari orang – orang Indonesia
karena mereka memiliki pandangan bahwa perilaku semua
orang tidaklah buruk.

C. Analisis Dukungan Sosial Pengungsi Anak


Pengungsi yang bermukim kembali di negara baru
menghadapi banyak tantangan seperti masa pubertas,
perkembangan identitas diri, dan memperbaiki kembali
hubungan orang tua dengan anak (Myers, 1999). Dalam
teori dukungan sosial yang dikemukakan House (1994)

108
pada bab II, terdapat empat jenis dukungan sosial, yaitu
dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan
instrumental, dan dukungan informasi. Pada hasil observasi
dan wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti yang
pertama mengenai dukungan emosional ialah dari keempat
pengungsi anak, hanya dua yang menjelaskan bahwa
mereka mendapatkan dukungan sosial dari orang tua
mereka. Sedangkan NMK dan MNA tidak mendapat
dukungan emosional dari lingkungan sekitarnya dan hanya
bisa menyemangati dirinya sendiri.
Selain dukungan emosional, keempat pengungsi anak
mendapatkan dukungan instrumental yang mana dukungan
instrumental yang diterima berupa penyediaan tempat
belajar untuk para pengungsi anak di SFR. Program SFR
memberikan kesempatan kepada pengungsi anak untuk
bersekolah dengan menyediakan fasilitas dan kelas yang
ingin diikuti sehingga pengungsi anak yang tidak memiliki
hak pendidikan atau tidak memiliki aktivitas harian yang
tetap dapat terbantu dengan SFR dan dapat membuat
pengungsi anak termotivasi dengan fasilitas yang diberikan
SFR sehingga mereka bisa memiliki aktivitas dengan
bersekolah. Fasilitas yang ada didalamnya terdapat kelas
Dompet Dhuafa, kelas PKPU, dan kelas komputer. SFR
Dompet Dhuafa menyediakan fasilitas penunjang kegiatan
belajar mengajar dan juga memberikan penyediaan alat –
alat dan seragam sekolah bagi pengungsi yang sudah masuk
ke sekolah PKBM. Selain itu, dengan adanya program SFR
109
Dompet Dhuafa, pengungsi anak di berikan fasilitas dalam
menyesuaikan diri dengan mempelajari bahasa Indonesia,
mengetahui kebiasaan dan kehidupan sosial di Indonesia.
Selain itu, program ini merupakan program untuk
pengungsi anak dalam bidang pendidikan yang mana dalam
hal ini mereka tidak memiliki hak untuk memiliki
pendidikan formal sehingga Dompet Dhuafa memberikan
mereka kesempatan belajar menambah pengetahuan seperti
anak – anak sekolah formal di Indonesia. Karena
ketidakpastian waktu tunggu untuk penempatan ke negara
ketiga, pengungsi anak dapat belajar dan mengurangi rasa
keputusasaannya karena mereka tidak memiliki hak untuk
menetap di Indonesia yang bukan peserta Konvensi
Pengungsi tahun 1951. Keempat pengungsi anak yang tidak
semuanya mendapatkan dukungan sosial berupa emosional
mampu mengatasinya dengan memberikan motivasi kepada
diri sendiri.

D. Analisis Masalah Psikososial Pengungsi Anak


Pembahasan mengenai psikososial tidak terlepas dari
masalah psikososial yang dialaminya. Pengungsi yang
pindah ke suatu tempat yang aman akan mengalami
kesulitan dalam menjalankan kehidupan di tempat barunya.
Sesuai dengan yang dituliskan pada bab II mengenai
kesejahteraan psikososial pengungsi anak ialah memiliki
dua tujuan yaitu, pertama sebagai pencegahan,
meningkatkan seluruh faktor – faktor yang merupakan

110
kesejahteraan anak. Kedua, sebagai pendampingan tindakan
perbaikan khusus yang diperlukan untuk memastikan bahwa
anak yang telah dirugikan atau mempunyai kebutuhan –
kebutuhan tertentu diberikan pendampingan yang menjamin
pemulihan si anak. Dari hasil temuan data yang telah
dilakukan, masalah psikososial yang dialami pengungsi dari
pertama kali tiba sampai saat ini dialami pengungsi anak
ialah rasa keputusasaan karena tidak mengetahui nasib masa
depan mereka. Menurut Fitria (2013) keputusasaan
dihubungkan merupakan status emosional yang
berkepanjangan dengan keadaan subjektif seseorang
individu yang melibatkan keterbatasan atau tidak adanya
alternatif atau pilihan pribadi yang tersedia dan tidak dapat
memobilisasi energi yang dimilikinya. Keputusasaan adalah
kondisi umum yang dialami setiap orang dalam hidupnya
apabila ia merasa kurang mampu memandang dan
menjalankan kehidupannya ke arah yang lebih baik dan
berfokus pada batas kemampuannya. Adapun tanda dan
gejala keputusasaan individu yang ditunjukkan oleh
keempat pengungsi anak ialah ungkapan individu tentang
situasi kehidupan tanpa harapan ketika mereka tidak
memiliki aktivitas dan kegiatan sehari – hari dan juga tidak
dapar mengakses hak mereka karena Indonesia bukan
peserta Konvensi Pengungsi 1951 sehingga Indonesia tidak
berada dibawah ketetapan internasional tersebut dalam
menangani pengungsi. Hasil wawancara yang sudah
dijelaskan pada bab IV menunjukkan bahwa keempat
111
pengungsi anak di Indonesia menceritakan tentang
keputusasaaannya ketika tidak memiliki aktivitas dan
ketidakpastian kapan mereka harus menunggu di Indonesia
yang membuat anak kehilangan masa depan untuk menjadi
seperti anak lainnya yang bisa bersekolah formal dan
sampai perguruan tinggi serta bisa diizinkan bekerja untuk
memenuhi kebutuhannya sehari – hari secara mandiri.
Sehingga dalam hal ini, rasa putus asa akan terus
menghampiri mereka ketika mereka sedang dalam keadaan
tidak melakukan aktivitas apapun dirumah dan mulai
memikirkan kehidupan dan masa depan mereka.

E. Analisis Emosi Anak


Emosi perasaan atau afeksi yang timbul ketika
seseorang sedang berada dalam suatu keadaan atau suatu
interaksi yang dianggap penting olehnya (Campos, 2004;
Saarni dkk, 2006). Dalam melakukan klasifikasi atau
pengelompokkan emosi pada pengungsi anak, peneliti
mengklasifikasi emosi kedalam berdasarkan tiga kategori
yaitu perasaan dengan kategori kuat, perasaan di level
tengah, dan perasaan di kategori ringan dengan klasifikasi
emosi negatif yang dirasakan dan diungkapkan ketika
pengungsi anak diwawancarai. Berikut analisis yang telah
peneliti lakukan:

112
Pengungsi Perasaan Perasaan di Perasaan
anak berkategori level tengah berkategori
kuat ringan

NMK Merasa Sedih Baik – baik saja


nyaman

MNA Optimis Kesulitan, Baik – baik saja


tidak
Merasa mengerti Senang
nyaman

MIA Merasa Kuat Baik – baik saja


nyaman

WA Sangat Kesulitan, Kecewa


cemas dan
bingung Heran

Merasa Kurang
tidak adil nyaman
Sedih

Tabel 5.1 Analisis emosi pengungsi anak

Pada hasil analisis yang ada di tabel tersebut, peneliti


dapat menilai bahwa kondisi anak didukung dengan emosi
dan perasaan yang dirasakan dan ditunjukkan sesuai pada
teor yang dikemukakan oleh John Santrock. Dalam hal ini,
keempat pengungsi anak menunjukkan emosi yang sesuai
dengan apa yang disampaikannya. Sedangkan pada masalah
psikososial yang dialami jika dilihat dari perasaan yang
telah diamati dan dicatat, pengungsi anak sudah biasa
dengan perasaan putus asa yang menghampiri mereka
113
sehingga mereka dapat dikatakan baik – baik saja ketika
mengalami perasaan tersebut berulang – ulang dan dapat
mengatasinya kecuali pada pengungsi WA yang terus
merasa khawatir dan cemas kapan ia dan keluarganya akan
ditempatkan ke negara tujuan mereka untuk bisa hidup lebih
baik.

F. Analisis Penerimaan Pengungsi Anak

Dalam analisis penerimaan pengungsi anak terhadap


kondisi dan kesulitan yang dialami oleh keempat pengungsi
anak selama penyesuaian diri dan interaksi sosial yang
dilakukan, dan dukungan sosial yang diterima serta masalah
psikososial yang dialami dan telah dijelaskan dalam bab IV,
pengungsi anak memiliki tahapan penerimaan yang berbeda
– beda. Dalam teori yang telah dijelaskan mengenai lima
tahap penerimaan yang dikemukaan oleh Kobler Ross,
bahwa penerimaan terjadi bila seseorang mampu
menghadapi kenyataan daripada hanya menyerah pada tidak
adanya harapan. Serta kelima tahap yang dikemukakan juga
tidak selalu berurut atau Dari kelima tahap menurut Kobler
Ross dari masing – masing keempat pengungsi anak adalah
sebagai berikut:

1. NMK melewati tahap anger karena pada penyesuaian


diri yang dilakukannya, NMK mengalami perlakuan
diskriminasi karena warna kulitnya selama ia tinggal di
Indonesia. Tahap lain yang di lewati NMK adalah tahap

114
acceptance yang mana selama perlakukan tersebut,
NMK sudah menerimanya meskipun terkadang merasa
sedih karena terus – menerus di diskriminasi.
2. MNA hanya melewati tahap acceptance yang mana
MNA bersyukur dengan kondisinya saat ini meskipun
dengan berbagai hambatan yang dialaminya.
3. MIA melewati tahap acceptance, depression,
bargaining dan. Menjalankan kehidupan di Indonesia
dengan hak – hak terbatas juga sudah diterima oleh MIA
yang mana dalam hal ini tahap acceptance ini sudah
mulai diterima oleh MIA ketika pertama kali tiba di
Indonesia. Pada tahap setelahnya yaitu depression, MIA
pernah merasa kesulitan dan stress karena tidak
memiliki teman dan tidak bisa berbahasa Indonesia
ketika sampai di Indonesia yang kemudian dilewatinya
dengan baik. Dalam tahap bargaining, ketika MIA
sudah lancar dalam berbahasa Indonesia dan sudah
masuk ke sekolah PKBM, MIA yang pernah
didiskriminasi karena warna kulit dan rambutnya dan
juga belum mendapatkan teman saat itu menerima
masukkan tersebut dan mempertimbangkan dirinya agar
menjadi lebih baik untuk bisa berbaur dengan
lingkungannya.
4. WA mengalami tahap anger, depression, dan
acceptance. Pada tahap anger, WA mengalami tahap ini
dimana dalam penyesuaian diri yang dilakukannya di
Indonesia sering mengalami perlakuan buruk karena
115
kebangsaan WA sebagai orang Afghanistan dan juga
statusnya sebagai pengungsi ketika tinggal di Bogor
yang membuatnya merasa tidak diperlakukan adil
sebagai manusia. Namun kemudian melewati tahap
acceptance untuk menerima perlakuan orang Indonesia
dengan dirinya. Pada tahap depression dialaminya
ketika mulai pindah ke Jakarta karena tidak bisa
berbahasa Indonesia dan tidak memiliki kegiatan
sehingga membuatnya merasa stres dan depresi selama
enam bulan yang kemudian dapat dilewati dengan
melakukan kegiatan di SFR Jakarta untuk belajar
Bahasa Indonesia dan saat ini sudah bersekolah di
PKBM.

Keempat pengungsi anak dalam penerimaan diri


dengan kondisi di Indonesia dilakukan dengan berbagai
tahap yang berbeda – beda sesuai dengan kemampuan dan
pengalaman yang dialami masing – masing dari saat
mereka sampai hingga saat ini. Namun, secara keseluruhan
pengungsi anak dapat menerima kondisi mereka dengan
kehidupan di Indonesia yang hanya berstatus sebagai negara
transit yang mana dalam hal ini akses mereka terhadap hak
– hak sangat terbatas.
Dari hasil temuan data yang telah dijelaskan mengenai
tujuan SFR sebagai program untuk pengungsi dalam bidang
pendidikan, dapat dianalisis bahwa peran SFR merupakan
sebagai upaya pencegahan dalam melindungi kesejahteraan
116
psikososial pengungsi anak dengan memberikan kegiatan –
kegiatan sesuai dengan pedoman UNHCR dalam
menangani pengungsi dengan mengembalikan kehidupan
yang normal. Objektif pertama haruslah mengembalikan
kembali kehidupan yang normal, yaitu membantu keluarga
berfungsi senormal yaitu dengan memfasilitasi kegiatan
belajar bagi pengungsi terutama Bahasa Indonesia dan
pelajaran umum di sekolah serta membiayai pengungsi anak
di sekolah PKBM. Hal tersebut juga sebagai kepastian
pengungsi karena anak membutuhkan rutinitas sehari – hari
yang pasti. Saat hidup stabil, mereka bisa bergantung pada
hal – hal yang biasa mereka lakukan seperti makan, sekolah,
dan bermain yang memberikan rasa aman secara psikologis.

117
BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan rangkaian penelitian yang telah
dilakukan oleh peneliti mengenai kondisi psikososial
pengungsi anak di SFR Jakarta melalui observasi,
wawancara, dan studi dokumentasi, maka penulis
menyimpulkan sebagai berikut:
Kondisi psikososial pengungsi anak di SFR berada
dalam kondisi baik yang dilihat dari: (1) penyesuaian diri
yang dilakukan sesuai dengan tuntutan lingkungan sosial
di Indonesia diantaranya mempelajari bahasa dan mampu
bertingkah laku meskipun dengan beberapa tekanan
perilaku yang diterima dari lingkungan Indonesia
sehingga perilaku yang ditunjukkan akan berbeda. Proses
penyesuaian diri pengungsi anak dilakukan dengan proses
yang berbeda – beda; (2) interaksi sosial yang dilakukan
secara terbuka dan tidak menarik diri dengan orang –
orang yang baru dikenal baik dengan pengungsi maupun
dengan orang Indonesia; (3) dukungan sosial yang
didapatkan bergantung pada kebutuhan dukungan yang
diperlukan dan yang diterima dalam mengatasi masalah
yang dihadapi oleh anak; dan (4) rasa putus asa yang
dialami pengungsi anak dalam menghadapi situasi tanpa
kejelasan masa depan belum dapat diatasi untuk jangka

118
panjang dan bisa kembali kapanpun bergantung pada
kondisi yang dihadapi selama tinggal di Indonesia. Dalam
penerimaan keempat pengungsi anak terhadap kehidupan
di Indonesia, proses penerimaan dilakukan dengan
tahapan yang berbeda – beda dan semuanya melewati
tahap acceptance dengan baikyaitu dengan kondisi
kehidupan dan kesulitan mereka yang berbeda - beda.
Status Indonesia yang bukan bagian dari Peserta
Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 memiliki
kaitan dengan kondisi psikososial pengungsi anak karena
keterbatasan akses terhadap hak yang berisiko pada
kesejahteraan psikososial mereka. Dalam mendukung
kesejahteraan psikososial pengungsi anak, SFR Dompet
Dhuafa telah berkontribusi melindungi kesejahteraan
psikososial anak sebagai tujuan pencegahan yang
dilakukan dengan memberikan fasilitas belajar bahasa
Indonesia dan akses pendidikan ke sekolah PKBM. SFR
sebagai program penunjang dalam pemenuhan kebutuhan
pendidikan pengungsi anak berupaya meningkatkan
kesejahteraan psikososial pengungsi anak selama masa
tunggu yang tidak pasti di Indonesia.

B. Implikasi
Setiap penelitian yang dilakukan pastinya
memiliki manfaat. Hasil dari penelitian yang telah
dilakukan oleh peneliti mengenai kondisi psikososial

119
pengungsi anak diharapkan dapat memiliki manfaat untuk
semua pihak yang bekerja di bidang yang berhubungan
dengan pengungsi anak secara langsung maupun tidak
langsung. Adapun implikasi yang dapat bermanfaat
kedepannya, yaitu:
1. Kondisi psikososial pengungsi anak di SFR dapat
menjadi panduan bagi pembaca yang bekerja di
bidang pengungsi untuk dapat mengetahui kondisi
psikososial pengungsi anak sehingga mengetahui
upaya pencegahan dan penanganan yang
berhubungan dengan psikososial pengungsi anak.
2. Pengaplikasian teori – teori yang dibahas dalam
bab II bisa di aplikasikan kedalam penelitian
selanjutnya yang membahas tentang pengungsi
terutama yang berkaitan dengan kondisi
psikososial.
3. Menambah wawasan tentang kehidupan pengungsi
anak d Indonesia
4. Menjadi acuan bagi pembaca untuk melakukan
penelitian lebih banyak tentang pengungsi anak
dalam membahas aspek – aspek terkait pengungsi
anak lainnya.
5. Menjadi acuan bagi mahasiswa/i kesejahteraan
sosial untuk meneliti lebih lanjut mengenai
penanganan kondisi psikososial pengungsi anak
yang berkesinambungan dengan penelitian ini.

120
C. Saran
Berdasarkan hasil penelitian mengenai
“Psikososial Pengungsi Anak di School for Refugees
(SFR) Jakarta, peneliti berkenaan untuk mengungapkan
sebagai berikut,
1. Saran untuk para pihak yang memiliki wewenang
dalam kebijakan tentang pengungsi hendaknya para
pemangku kebijakan agar hendaknya merumuskan
kebijakan terkait akses pengungsi anak terhadap hak –
haknya selama masa transit.
2. Saran untuk SFR Dompet Dhuafa, hendaknya
mengoptimalkan pengajaran dan pemberian fasilitas
sekolah yang sudah ada dengan melakukan follow-up
secara terus – menerus terhadap fasilitas yang
diberikan dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan
pengungsi anak.
3. Dengan adanya beberapa keterbatasan dalam
penelitian ini, maka kepada peneliti lain diharapkan
untuk mengadakan penelitian sejenis lebih lanjut
dengan mengambil cakupan penelitian yang lebih luas
maupun yang lebih dalam mengenai kondisi
psikososial dan mengambil narasumber lebih banya,
serta menggunakan rancangan penelitian yang lebih
kompleks sehingga dapat ditemukan hasil yang lebih
optimal dan maksimal dan bisa digeneralisasikan pada
cakupan yang lebih luas mengenai pengungsi anak.

121
DAFTAR PUSTAKA

A. Sumber Buku

Ali, Mohammad dan Mohammad Asrori. 2004. Psikologi


Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT Bumi
Aksara. Cet. 11, April 2016.
Argadianti, Rizka dan Zico Efraindio. 2016. Hidup yang
Terabaikan. Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum
(SUAKA). Edisi 1.
Bungin, Burhan. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Ed. 1. Cet. 2.
Departemen Sosial. 2004. Standar Rehabilitasi Psikososial
Pekerja Migran. Jakarta.
Gunawan, Imam. 2013. Metode Penelitian Kualitatif: Teori
dan Praktik. Jakarta: Bumi Aksara, 13220, Ed. 1. Cet. 1.
Hurlock, Elizabeth B. 1997. Perkembangan Anak: edisi
keenam, jilid satu. Jakarta (ID): PT. Gelora Aksara
Pratama.
Jahja, Yudrik. 2011. Psikologi Perkembangan. Jakarta:
Kencana. Cet. 3, September 2013.
Jesuit Refugee Service (JRS). 2013. Pengungsi dan Pencari
Suaka di Indonesia. Booklet Public Awareness.
Jumhur, I dan Moh. Surya. 1975. Bimbingan dan Penyuluhan
di Sekolah (Guidance and Counseling), Bandung: Ilmu.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). 2014.
Perlindungan Pengungsi (Refugee) Menurut Hukum
Internasional. Jakarta.
Lubis, Namora Lumongga. 2009. Depresi Tinjauan
Psikologis. Jakarta: Kencana. Edisi 1, Cet. 1, April 2009.
Mahmudah, Siti. 2011. Psikologi Sosial: Teori dan Model
Penelitian. Malang: UIN MALIKI PRESS (ANGGOTA
IKAPI). Cet. 2, 2012.
122
Marliani, Rosleny. 2016. Psikologi Perkembangan Anak dan
Remaja. Bandung (ID): CV Pustaka Setia. Cet. 1, April.
Mutiah, Diana. 2013. Psikologi Bermain Anak Usia Dini.
Jakarta: Kencana. Cet. 3.
Prastowo, Andi. 2011. Memahami Metode – metode
Penelitian. Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA. Cet. 1.
Roberts Albert R, dan Gilbert J. Greene. 2009. Buku Pintar
Pekerja Sosial. Juda Damanik dan Cynthia Pattiasina,
penerjemah. Jakarta (ID): PT BPK Gunung Mulia.
Rustanto, Bambang. 2015. Penelitian Kualitatif Pekerjaan
Sosial. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Cet. 1.
Santrock, John W. 2007. Perkembangan Anak: edisi
kesebelas, jilid dua. Jakarta (ID): PT. Gelora Aksara
Pratama.
Sarwono W, Sarlito dan Eko A. Meinarno. 2014. Psikologi
Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
Sarwono W, Sarlito. 2015. Psikologi Remaja. Jakarta:
Rajawali Pers.
Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC. Cet. 1.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan
R&D. Bandung: CV. Alfabeta. Cet. 20.
Suyanto, Bagong. 2010. Masalah Sosial Anak. Jakarta:
Kencana, 2010 Edisi 1 Cet. 1, Oktober.
United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR).
1994. Pengungsi Anak: Panduan bagi Perlindungan dan
Perawatan: UNHCR.
Walgito, Bimo. 2003. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar).
Yogyakarta: ANDI.
Walgito, Bimo. 2011. Teori – teori Psikologi Sosial.
Yogyakarta: ANDI.

123
Yusuf, Syamsu N dan Nani M. Sugandhi. Perkembangan
Peserta Didik Edisi Satu Jakarta: PT Grafindo Persada.
Cet. 1.

B. Sumber Jurnal

Çankaya Selcuk, et. al. 2018. Investigation of social support


perceptions and hopelessness levels of refugee women in
Turkey. Selcuk University: International Social Work.
Page 1–14.
Fegert et al. Child Adolesc Psychiatry Ment Health. 2018.
Psychosocial problems in traumatized refugee families:
overview of risks and some recommendations for support
services J. M. Fegert, C. Diehl, B. Leyendecker, K.
Hahlweg4, V. Prayon Blum and the Scientifc Advisory
Council of the Federal Ministry of Family Afairs, Senior
Citizens, Women and Youth.
International Review of Psychiatry. 1998. Impact of
displacement on the psychological well-being of refugee
children Marina Ajdukovic & Dean Ajdukovic
Department of Social Work & Department of Psychology,
University of Zagreb & Society for Psychological
Assistance, Zagreb Croatia. Vol. 10, page 186-195.
Kovacev, Lydia dan Rosalyn Shute. 2004. Acculturation and
social support in relation to psychosocial adjustment of
adolescent refugees resettled in Australia. Flinders
University, Adelaide, South Australia: International
Journal of Behavioral Development. Vol 28 (3), page 259
– 267.
Phillimore, Jenny. 2011. Refugees, Acculturation Strategies,
Stress and Integration. Institute of Applied Social Studies,
University of Birmingham. Cambridge University Press
2010. 40, 3, page 575–593.
Stark, Rebecca. Supporting Mental Health and Social
Interaction: Asylum Seekers, Refugees, Settlement. A
report for the Settlement Council of Australia. 2017.
Intern with the Australian National Internship Program.
124
Stuart L. Lustig, et. al. 2004. Review of Child and Adolescent
Refugee Mental Health Article in Journal of the American
Academy of Child & Adolescent Psychiatry.

C. Sumber Tesis

Tridinanti, Nelly. 2017. Terapi Aktivitas Kelompok


(Sosialisasi) Untuk Penurunan Perilaku Menarik Diri pada
Lansia Di panti Werdha. Naskah Publikasi Prodi Magister
Psikologi Profesi.

D. Sumber Skripsi

Ardestia, Riesta Putri. 2016. Kondisi Psikososial pada Pasien


Gagal Ginjal di Kota Cimahi. Bandung: Universitas
Pasundan.
Nugrahaning, Tri. 2013. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Nurwahyuliningsih, Eka. 2019. Kondisi Psikososial Pada
Anak Berhadapan Dengan Hukum di LPKA Kelas II Kota
Bandung. Bandung: Universitas Pasundan.

E. Sumber Website

https://www.dompetdhuafa.org/post/detail/1225/-school-for-
refugees--sarana-asah-keterampilan-pengungsi-rohingya
akses 3 Maret 11.09 WIB
https://www.unhcr.org/id/pencari-suaka akses pada 31 Maret
2019 pukul 21.25 WIB
https://www.unhcr.org/id/pengungsi akses pada 5 Mei 2019
pukul 13.28 WIB
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt597853eb3280a/
ada-masalah-regulasi-penanganan-pengungsi-di-indonesia
akses 21 Mei 2019 pukul 12.39 WIB
https://www.beritasatu.com/nasional/544256/rakorsus-
kemenko-polhukam-bahas-hak-sekolah-1894-anak-
125
pengungsi-asing-di-indonesia akses 25 Mei 2019 19.44
WIB
https://theconversation.com/lsm-dapat-membantu-
pemerintah-melindungi-pengungsi-anak-95841 akses 25
Mei 2019 19.53 WIB
https://www.hrw.org/id/news/2013/06/23/250191 akses pada
27 Mei 2019 20.03 WIB
https://www.dw.com/id/pengungsi-anak-alami-situasi-
traumatis-di-indonesia/a-39157223 akses 30 Mei 2019
12.44 WIB
https://www.unicef.org/indonesia/id/media_25747.html akses
30 Mei 18.49 WIB
https://www.matamatapolitik.com/news-keputusasaan-para-
pencari-suaka-yang-terjebak-di-indonesia/ akses 30 Mei
19.20 WIB
https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/17/09/03/o
vpkdn-komnas-perempuan-pengungsi-perempuan-dan-
anak-rohingya-alami-trauma akses 30 Mei 23.33 WIB
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180403202148-
20-288003/warga-somalia-telantar-disebut-memaksa-
tinggal-di-kalideres akses 30 Mei 2019 23.38 WIB
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/sejuta-anak-
jadi-pengungsi-akibat-konflik-suriah akses 24 Juni 2019
19.08 WIB
https://www.dw.com/id/banyak-anak-pengungsi-alami-
trauma- psikis/a-18829905 akses 24 Juni 19.37 WIB
https://www.dw.com/id/anak-anak-jadi-korban-utama-perang-
di-suriah/a-18313583 akses 28 Juni 2019 11. 29 WIB
http://rri.co.id/post/berita/505223/nasional/penanganan_pengu
ngsi_di_indonesia_terbentur_regulasi.html akses 28 Juni
16.44 WIB

126
https://www.merdeka.com/peristiwa/krisis-global-unhcr-akui-
penempatan-imigran-ke-negara-ketiga-sulit.html akses 2
Juli 2019 08.25 WIB
https://www.radarcirebon.com/potret-nasib-para-imigran-dan-
pencari-suaka-di-indonesia.html akses 2 Juli 2019 08.39
WIB
https://www.matamatapolitik.com/pasar-minggu-baru-rumah-
bagi-para-pengungsi-afrika-timur/ akses 3 Juli 2019 13.53
WIB
https://www.matamatapolitik.com/pengungsi-di-indonesia-
diminta-untuk-berbaur-tapi-tidak-untuk-tinggal-
selamanya/ akses 3 Juli 2019 14.27 WIB
https://www.voaindonesia.com/a/meski-belum-ratifikasi-
konvensi-indonesia-tetap-diminati-
pengungsi/3740633.html akses 3 Juli 16.55 WIB
https://www.gatra.com/detail/news/422727/international/unhc
r-ungkap-ada-14000-pengungsi-dari-luar-negeri-di-
indonesia akses 4 Juli 2019 15.08 WIB
https://news.detik.com/berita/d-4412648/unhcr-harap-
indonesia-izinkan-pengungsi-cari-pemasukan akses 4 Juli
2019 20.35 WIB
https://exchanges.state.gov/non-us/adjusting-new-culture
akses 4 Juli 21.19 WIB
https://jakartaglobe.id/context/refugees-go-home-or-wait-
years-for-resettlement akses 13 Juli 2019 16.50 WIB
https://jakarta.tribunnews.com/2019/07/08/prihatin-nasib-
anak-imigran-pencari-suaka-lpai-berencana-surati-
gubernur-anies akses 18 Juli 2019 11.05 WIB

F. Sumber Wawancara

Wawancara dengan Ibu Fitri Setya Wahyuningsih selaku


pengajar SFR Dompet Dhuafa, Jakarta, 29 April 2019

127
Wawancara dengan Bapak Sidik Eka Hermawan selaku
Kepala Sekolah SFR Dompet Dhuafa, Jakarta, 13 Mei
2019

Wawancara dengan NMK selaku pengungsi anak dari


Ethiopia di SFR Dompet Dhuafa, Jakarta, 22 Juli 2019

Wawancara dengan MNA selaku pengungsi anak dari


Ethiopia Jakarta, 22 Juli 2019

Wawancara dengan MIA selaku pengungsi anak dari Ethiopia


Jakarta, 25 Juli 2019

Wawancara dengan WA selaku pengungsi anak dari


Afghanistan Jakarta, 25 Juli 2019

G. Sumber Dokumentasi

Arsip Dokumen Absensi Murid SFR Dompet Dhuafa

128
LAMPIRAN – LAMPIRAN
Volunteer Guidelines for Working with Refugees
UNHCR Indonesia

Protecting refugees as a volunteer

Refugees are normal people who happen to be experiencing abnormal and unfortunate
circumstances. Many refugees share interests with volunteers, including sports, hobbies, music, and
so forth, and want to get to know people from their host community. As you volunteer with
refugees, be prepared to bring your enthusiasm, passion, and a desire to learn.

To guide you in your volunteer work with refugees in Indonesia, UNHCR encourages you to take time
to read the suggestions below to ensure that your experience working with refugees are effective
and successful.

Taking and Using Photographs and Videos


U

a. Volunteers are not allowed to take personal photographs of refugees on personal cameras
or cellphones, but may be requested to take pictures on behalf of UNHCR. Furthermore,
many refugees may not want their photos taken, as they do not know you and might not
feel comfortable with strangers photographing them. Some people might have security
reasons for why they don’t want to be photographed (a wife is afraid of her abusive
husband, a child might be avoiding bullies, etc.). Taking photos of persons who have security
concerns is a protection violation and should be avoided. Always ask permission from
refugees to take their photographs.

b. Do not take pictures of refugees if they have requested to not be photographed. Be careful
to ensure that those persons are not visible in group photos.

c. The use of photos of refugees on volunteer personal social media is prohibited, unless you
have received explicit permission from all persons in the photo that the material can be
posted online. Do not take photos of people and upload them to social media without their
permission.

d. Many refugees come from conservative cultures that require women to be covered. Avoid
taking pictures of women who traditionally wear veils if they are unveiled or wearing less
modest clothing. Also avoid taking pictures of refugee women in revealing clothing or
swimsuits.

Responding to refugee requests


U

a. Although you are a volunteer, refugees might not understand that you do not officially work
for UNHCR and may ask you to help with their case. You may be asked to help refugees
receive faster case processing or push their case forward for resettlement. As a volunteer,
you are not in a position to handle a refugee’s case and should help refugees understand
that.

b. If asked, politely remind refugees that you do not work officially for UNHCR and do not
handle case management. Encourage refugees to direct their questions about their cases to
UNHCR staff or to submit a written request/plea to the UNHCR office.

c. When working with refugees, volunteers often want to help as many refugees as possible
and might accidentally commit to helping beyond their capacity. Avoid making promises to
refugees that you cannot fulfill (“I can help you get resettled,” “I will help you find a
home/enroll in school/pay for your medical bills/etc”).
d. Refugees might ask for your personal contact information (e.g. mobile phone number, email
address, Facebook account, etc) in order to be able to communicate with you. As a
volunteer, you have the right to decide whether to share your contact information with
refugees. Should you decide to not share your contact details, politely and gently clarify to
the refugees why your information cannot be shared so there is no miscommunication.

e. Refugees, like the rest of us, can get sick and often have limited money to pay for health
care treatments. As a volunteer, you do not have the obligation to pay for the medical
expenses of sick refugees and have the right to politely decline requests from refugees for
financial support. You can encourage refugees to visit Puskesmas clinics for affordable
medical care.

Respect for others and awareness of cultural differences


U

a. Refugees have fled traumatic situations, including war, conflict, violence, and discrimination,
and may not want to talk about their experiences. If a refugee does not want to talk about
his/her situation or background, respect his/her wish and do not ask for more information.

b. Gender norms and traditions vary among different cultures. In many countries from which
refugees originate, women and men often congregate in separate spaces and do not interact
in public with persons of the opposite gender who aren’t family members. Be aware of your
presence and how it may affect those around you. For example, Somali or Afghan women
might be uncomfortable being alone with a male volunteer in a room.

c. Refugees come from a wide variety of cultures and practice diverse religions. Even if a
volunteer shares the same religion as a refugee, they might practice the religion differently
through their rituals, religious clothing, and beliefs. Be open-minded and accepting, and
allow refugees to practice their beliefs without interfering.

d. Proselytization (sharing your religion with others) is illegal in Indonesia and can result in
series legal and social repercussions for refugees. This includes the distribution of religious
materials (pamphlets, Bibles, Qur’ans, etc) to refugees. Respect religious differences and
avoid religiously-motivated activities like proselytizing.

Patience and Empathy


U

a. Many refugees come from places of conflict and violence. They may be struggling with
trauma and may react negatively at times by snapping, acting frustrated or upset, or
seeming impatient. Be patient with refugees and understand that they may be experiencing
flashbacks or struggling with depression.

b. Refugees might not speak the same language as you, and they often might not understand
what you’re saying. There may be moments of miscommunication or frustration due to lack
of understanding. Be patient and listen to refugees. Ask for clarification and look for non-
verbal communication cues.

c. Refugees might share their past experiences and traumatic stories that might include
potentially disturbing or emotionally challenging information. Should you feel
uncomfortable listening to the stories that refugees share, you have the right to request
that refugees refrain from sharing graphic details. Politely and gently explain to refugees
that you understand and regret their situation and ask them to kindly refrain from sharing
too much information. Gently remind them that they can share more details of their
situation with UNHCR staff who handle casework.
Responsible volunteering
U

a. Refugees have limited money to pay for health care treatments and cannot afford to get
sick. Do not volunteer on a day when you are sick – you don’t want to make other people
sick, too!

b. As refugees depend on the services you provide as a volunteer, be sure to give timely
warning if you cannot attend your volunteer session so UNHCR and partners can find a
suitable replacement.

Have fun!
Subject: Letter of request to be informant

To:

Parents of children

Jakarta

With respect,

I, the undersigned student of major in Social Welfare, Faculty of


Da'wah and Communication at the State Islamic University Syarif
Hidayatullah Jakarta:

Name: Riska Hariyana

Campus ID: 11150541000001

Will hold a research entitled "Psychosocial of Refugee Children


in Jakarta". This research is carried out as one of the activities in
completing the final assignment of major in Social Welfare,
Faculty of Da'wah and Communication at State Islamic
University Syarif Hidayatullah Jakarta. The purpose of this study
is to determine the psychosocial conditions of refugee children
while living in Indonesia such as adjustment, social relationship,
social interaction, social support, some things during your stay in
Indonesia. I guarantee this research doesn’t have negative
impacts on your child and the confidentiality of information
regarding the name, place of residence, or things that aren’t
related to the research would keep unpublished, and only used for
research purposes. And I also have had the permission from
UNHCR and School for Refugees at the Refugee Center to do
this research. Participation in this research depends on the
parent's agreement and willingness without any coercion. If the
children have become an informant and things happen that allow
him / her to step down, the informant has the right to step down
as an informant in this research. If the parents understand and
agree about this research, then I ask you to sign an agreement on
the attachment 2. I hope you are open to this research because it
will be my pleasure to get the chance to know each other.

Thank you for your attention.

Sincerely,

Riska Hariyana
PAPER OF APPROVAL STATEMENT TO BE INFORMANT

I, the undersigned as the parent of


_______________________, stated that I’m willingness to accept
the requested of agreement intended to my child to be an
informant and to be interviewed furthermore in the research
conducted by student of major in Social Welfare, Faculty of
Da’wah and Communication in the State Islamic University
Syarif Hidayatullah Jakarta named Riska Hariyana on title
"Psychosocial of Refugee Children in Jakarta".

I understand that this research doesn’t have negative


impacts on my child when he / she becomes an informant. The
information about name, place of residence, and things that aren’t
related to the research would keep unpublished, and only used for
research purposes. Only student who has working on this research
knows some of confidential data.

Thus this statement is made voluntarily and there's no


element of coercion from anyone. I give my permission to the
student to make my child an informant and participating in the
research. Thank you.

Jakarta, July 2019


Knowing,

(Sidik Eka Hermawan) (signature of parent)


LEMBAR OBSERVASI

Hari / Tanggal :
Waktu :
Subjek Penelitian :
Disusun Hari / Tanggal :
Waktu :

Kondisi Psikososial:

1) Interaksi sosial:
a. Verbal

b. Fisik (ekspresi wajah, posisi tubuh, gerak – gerik tubuh,


dan kontak mata)

c. Emosional (curahan perasaan)


LEMBAR WAWANCARA

Nama Informan :
Jenis Kelamin :
Usia :
Hari / Tanggal :
Waktu :
Lokasi :

Daftar Pertanyaan:

1. Bagaimana penyesuaian diri yang dilakukan pengungsi anak di


lingkungan Indonesia?
2. Bagaimana interaksi sosial yang dilakukan pengungsi anak dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungan di Indonesia?
3. Bagaimana dukungan sosial yang diterima pengungsi anak dari
orang – orang di sekitarnya dalam menghadapi masalah
psikososial?
4. Apakah pengungsi anak pernah mengalami stres, depresi, dan
putus asa selama berada di Indonesia?
LEMBAR OBSERVASI

Hari / Tanggal : Senin / 22 Juli 2019

Waktu : 14.00 – 14.40 WIB

Subjek Penelitian : NMK (Ethiopia)

Disusun Hari / Tanggal : Senin / 29 Juli 2019

Waktu : 16.54 WIB

Kondisi Psikososial:

1) Interaksi sosial:
a. Verbal
Interaksi sosial yang dilakukan sangat terbuka. NMK
menjelaskan tentang kehidupannya dengan jelas dan
dalam percakapan yang dilakukan selama wawancara,
NMK berbicara menggunakan bahasa Indonesia dan
sedikit bahasa Inggris. Dalam penguasaan bahasa
Indonesia, NMK lancar dan bisa berbicara bahasa
Indonesia yang baku dan formal maupun tidak baku
seperti percakapan yang orang Indonesia lakukan sehari –
hari ketika berinteraksi dengan orang lain. Ketika
berkumpul dengan pengungsi, ia berbicara bahasa Arab
dan Inggris seperti ketika menunggu kelas di SFR.
b. Fisik (ekspresi wajah, posisi tubuh, gerak – gerik tubuh,
dan kontak mata)
Ekspresi wajah yang digunakan NMK ketika
diwawancarai mengenai kehidupannya di Indonesia sesuai
dengan pertanyaan yang diberikan. Kontak mata yang
dilakukan juga menatap lawan bicara. Wajah sedih ketika
diwawancarai mengenai perasaan putus asa; wajah senang
ketika menjelaskan hal positif tentang Indonesia; dan
gerak – gerik tubuhnya yang menggunakan tangan untuk
menjelaskan dan mendukung apa yang ia bicarakan.

c. Emosional (curahan perasaan)


Curahan emosional yang ditunjukkan oleh NMK ialah
rasa kecewa dan sedih ketika menjelaskan perlakuan
orang disekitarnya yang mendiskriminasi dirinya karena
perbedaan warna kulit. Curahan emosional ialah perasaan
senang ketika ia menjelaskan tentang interaksinya dengan
orang baru yang mengajaknya berbicara.
LEMBAR OBSERVASI

Hari / Tanggal : Senin / 22 Juli 2019

Waktu : 14.45 – 15.30 WIB

Subjek Penelitian : MNA (Ethiopia)

Disusun Hari / Tanggal : Senin / 29 Juli 2019

Waktu : 16.59 WIB

Kondisi Psikososial:

1) Interaksi sosial:
a. Verbal
Interaksi verbal yang dilakukan MNA dengan
menggunakan bahasa Inggris karena MNA belum dapat
memahami dan berbicara bahasa Indonesia sehingga
dalam wawancara, peneliti menggunakan bahasa Inggris.
MNA hanya sedikit menggunakan kalimat dalam bahasa
Indonesia. Kalimat yang diucapkan merupakan kalimat
percakapan sehari – hari yang biasa digunakan oleh orang
Indonesia. MNA dalam berinteraksi merupakan orang
yang terbuka kepada orang lain baik dengan pengungsi
dan orang Indonesia yang baru dikenalnya.
b. Fisik (ekspresi wajah, posisi tubuh, gerak – gerik tubuh,
dan kontak mata)
Ekspresi wajah yang digunakan MNA ketika melakukan
wawancara ialah sesuai dengan apa yang dijelaskan
seperti menjelaskan tentang keputusasaannya di Indonesia
diekspresikan dengan wajah kecewa dan sabar
menjalankan kehidupan tanpa masa depan. Ekspresi
wajah lainnya ketika MNA menjelaskan tentang
bagaimana berinteraksi dengan orang lain yang ia jelaskan
dengan ekspresi lucu karena banyak orang Indonesia yang
tidak bisa Bahasa Inggris. MNA ketika diwawancara juga
menunjukkan gerak – gerik tubuh ketika berpikir untuk
menjelaskan dengan bahasa Indonesia.

c. Emosional (curahan perasaan)


Emosional yang ditunjukkan MNA ketika diwawancarai
bermacam – macam seperti sedih karena putus asa yang
sering dialaminya ketika sedang merasa tidak melakukan
aktivitas apapun. Selain itu, perasaan menyerah
ditunjukkan ketika ia menjelaskan kesulitannya
mempelajari bahasa Indonesia. MNA ketika diwawancara
lebih menunjukkan perasaan yang sudah menerima semua
keadaannya di Indonesia
LEMBAR OBSERVASI

Hari / Tanggal : Kamis / 25 Juli 2019


Waktu : 10.24 – 10.50 WIB
Subjek Penelitian : MIA (Ethiopia)
Disusun Hari / Tanggal : Senin / 29 Juli 2019
Waktu : 19.17 WIB

Kondisi Psikososial:

1) Interaksi sosial:
a. Verbal
Interaksi verbal yang dilakukan MIA menggunakan
bahasa Indonesia yang sangat lancar dan MIA dapat
berbicara bahasa percakapan orang Indonesia sehari – hari
dengan fasih. MIA yang tidak menggunakan bahasa
Inggris sama sekali ketika diwawancarai. Penjelasan MIA
dapat dimengerti oleh peneliti ketika ia bebicara
menggunakan bahasa Indonesia yang tidak formal. MIA
terbuka untuk menceritakan pengalamannya kepada
peneliti.

b. Fisik (ekspresi wajah, posisi tubuh, gerak – gerik tubuh,


dan kontak mata)
Ekspresi wajah yang ditujukan oleh MIA malu – malu
ketika menjelaskan tentang pengalaman kehidupannya di
Indonesia. Gerak – gerik tubuh yang dilakukan MIA
ketika menceritakan pengalamannya yaitu memainkan
tangan seperti melakukan presentasi. Posisi tubuh MIA
duduk santai dan tidak tegang. Kontak mata yang
dilakukan terkadang tidak menatap peneliti karena malu.

c. Emosional (curahan perasaan)


Emosional yang ditunjukkan MIA ialah perasaan senang,
sedih, dan kecewa ketika menjelaskan berbagai
pengalaman kehidupannya saat diwawancarai. Ketika
menceritakan tentang sahabatnya di Jakarta, ia sangat
bangga memiliki sahabat yang baik. Ketika menjelaskan
pengalamannya sebelum bertemu sahabatnya, ia merasa
sedih karena tidak memiliki teman dan tidak bisa lancar
bahasa Indonesia.
LEMBAR OBSERVASI

Hari / Tanggal : Kamis / 25 Juli 2019

Waktu : 11.45 – 12.35 WIB

Subjek Penelitian : WA (Afghanistan)

Disusun Hari / Tanggal : Senin / 29 Juli 2019

Waktu : 21.37 WIB

Kondisi Psikososial:

1) Interaksi sosial:
a. Verbal
Interaksi verbal yang dilakukan WA dengan
menggunakan bahasa Inggris karena WA baru enam bulan
di Jakarta dan belum lancar berbicara bahasa Indonesia.
WA hanya sedikit menggunakan kalimat dalam bahasa
Indonesia. Kalimat yang diucapkan dalam bahasa
Indonesia merupakan kalimat formal. Dalam menjelaskan
kehidupannya di Indonesia, WA menjelaskan dengan
bahasa Inggris yang lumayan lancar dan cepat sehingga
membuat peneliti benar – benar harus mengartikan ulang
maksudnya karena penyebutan kata dalam bahasa Inggris
yang masih belum benar.
b. Fisik (ekspresi wajah, posisi tubuh, gerak – gerik tubuh,
dan kontak mata)
Ekspresi wajah WA ketika menjelaskan menunjukkan
wajah yang serius dan penuh kesedihan saat bercerita
tentang kondisi keluarganya selama di Indonesia. Selain
itu, WA juga terus menunjukkan wajah penuh harap bisa
dikirim ke negara ketiga dan memulai hidup baru. Kontak
mata dan gerak – gerik tubuh yang dilakukan WA juga
menggunakan tangan seperti sedang menjelaskan kepada
peneliti untuk mengerti tentang kondisi dirinya dan
keluarganya di Indonesia.

c. Emosional (curahan perasaan)


Emosional yang ditunjukkan WA ketika diwawancarai
bermacam – macam seperti sedih karena putus asa yang
sering dialaminya karena tidak memiliki hak pendidikan
di Indonesia. WA tidak menginginkan untuk terus tinggal
di Indonesia karena mereka tidak bisa mengakses hak
pengungsinya sehingga emosi yang ditunjukkan WA
selama diwawancarai ialah putus asa meskipun begitu, ia
terlihat tidak menyerah untuk terus menempuh pendidikan
di PKBM dan SFR.
TRANSKIP WAWANCARA

Nama Informan : NMK


Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 16 tahun
Hari / Tanggal : Senin, 22 Juli 2019
Waktu : 14.00 – 14.40 WIB
Lokasi : Refugee Center, Tebet, Jakarta Selatan

No. Indikator Pertanyaan Jawaban

1. Penyesuaian Bagaimana Disini udah enam tahun. Dulu


diri penyesuaian diri sebelum pindah ke Jakarta tinggal
yang kamu lakukan di Depok belum setahun pindah ke
ketika berada di Jakarta. Saya belajar Indonesia ga
lingkungan susah. Dua tahun saya sudah lancar
Indonesia? bahasa Indonesia. Sudah masuk ke
akal saya, belajar sama Ibu Pipit.

Nobody ask me when you go back to


your country but they ask me when
you go out from Indonesia. Saya
jelasin kalau saya pengungsi. I said
to them “pengungsi”. Saya tinggal
di Depok belum setahun abis itu
pindah ke Jakarta. Rasanya pas
sampai kesini sama tapi agak ga
sama juga karena “different
culture”. I got racist. Mereka selalu
lihat dan katain “item…item…item.
Dari dulu sampai sekarang masih
dikatain.

“Saya dulu pernah gamau sekolah


karena sering dikatain. Saya pikir
ngga usah belajar. Saya pernah ga
sekolah dan start to read Qur’an.
Saya lebih baik begitu. Saya sedih
dibilang item. Mereka kenapa
bilang saya item padahal saya ga
item”

2. Interaksi Bagaimana interaksi “Ketika berinteraksi kita ngobrol


Sosial sosial yang kamu pake Inggris dengan sesama
lakukan dalam pengungsi lain karena kita gatau
menyesuaikan diri bahasa mereka, mereka gatau
dengan lingkungan bahasa kita. Kita pake bahasa yang
di Indonesia? kita tahu kita bisa communicate.
Afghani, Somali we use English.”

“Indonesia ramah, mereka ketika


berbicara bingung karena mereka
pikir saya tidak bisa bicara Bahasa.
Saya lihatin saja terus saya bilang
“Don’t worry I know Indonesia”
and they start talking and talking. I
talked with them. Mereka ga godain
atau mengancam. Misal di toko,
rumah sakit. Ketika saya ditanya
bicara bahasa Inggris mereka
bilang bahasa Inggris tapi ketika
saya bilang saya bisa bicara bahasa
Indonesia, they become happy.
Orang Indonesia banyak yang baik.
Antara di Depok dan di Jakarta
saya lebih suka Jakarta karena di
Depok lebih sering dikatain item.”

3. Masalah Apakah kamu “We don’t have future. If we sit in


Psikososial pernah mengalami Indonesia, we don’t have a future”.
stres, depresi, atau Karena pengungsi ga ada masa
putus asa selama depannya disini. Karena sekolahnya
berada di Indonesia? kan kita unformal. Disini misalnya
kita semua abis paketan ga bisa
masuk ke kuliah. Kenapa kita ga
punya masa depan karena disini
pengungsi ngga bisa kerja, ngga
bisa belajar, ngga bisa masuk
kuliah ke university jadi apa? Ya
bener – bener ga ada masa depan.
Meaningless.”

“I don’t have to think. Kalo


sekarang udah sekolah, abis pulang
sekolah cuci baju. Ga ada istirahat.
Saya sibuk setiap hari. The same
routine. Ga stres lagi but when I go
to bed, to sleep, I think about my life
sometimes, not every day.”

4. Dukungan Bagaimana “Saya belajar Indonesia ga susah.


Sosial dukungan sosial Dua tahun saya sudah lancar
yang diterima bahasa Indonesia. Sudah masuk ke
pengungsi anak dari akal saya. Belajar sama Ibu Pipit.”
orang – orang di
sekitarnya dalam “Selain belajar disini kita ga dapet
menghadapi masalah dukungan dari siapa – siapa. Saya
psikososial? kalo lagi banyak masalah bisa
berdoa dan baca Qur’an itu aja.
Saya sendiri yang semangatin diri
saya. Ga ada yang bantu. Sendiri
aja udah.”
TRANSKIP WAWANCARA

Nama Informan : MNA


Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 17 tahun
Hari / Tanggal : Senin, 22 Juli 2019
Waktu : 14.45 – 15.30 WIB
Lokasi : Refugee Center, Tebet, Jakarta Selatan

No. Indikator Pertanyaan Jawaban

1. Penyesuaian Bagaimana “New country, new language, new


diri penyesuaian diri yang culture. Everything was new for
kamu lakukan ketika me. Even the language I couldn’t
berada di lingkungan understand because it was difficult
Indonesia? for me to go out and buy
something”

“It was difficult for me. I tried to


learn it but it was difficult and then
I just decide to learn, learn, and
learn like one year and half I
learned it bahasa and when I didn’t
understand, and then I leave it then
come back again when I moved to
Jakarta. Now it’s easy for me. It
didn’t before when I first came
here and it was difficult for me but
now I can understand and talk with
people and ask the direction or to
buy something. It’s better.”

“There are people and they look at


us everytime like -they don’t know
you and they just afraid of you-,
they just look by the way. Maybe
those people don’t know that we
come from out of Indonesia so they
were just surprised I think. So
that’s why they show us a surprised
face and some of them asking
“OMG who are this people, where
are they come from?” they just
keep asking every day the same
question “why you come here, what
are you doing, when you go back to
your country, when will you go to
your country?” every time. And
when I said that I’m refugee, there
are people who didn’t understand
what “refugee” was. They just keep
asking at first but now they already
know. I used to them and now they
are not asking anymore. They
already see me every day. I never
get bullied physically but they look
me in the deep like that.”

2. Interaksi Bagaimana interaksi “I use English to talk with others.


Sosial sosial yang kamu When I talk to Afghani, Somali and
lakukan dalam Indonesia people, I use English.
menyesuaikan diri But I use Arabic when talk to
dengan lingkungan di Ethiopians and other Arab
Indonesia? countries. Me and some people
sometimes meet our Ethiopian
friends in different place every five
months or once a year cause they
live far from here”

“There are eight girls in my class


and I always try to communicate
with them. They don’t speak
English very well. I try to make
them understand what I’m saying
and also they try to make me
understand what they are saying to
me”

“There was an Indonesia friend


that I have when I first moved to
Jakarta. A girl who came to see me
every day in our area. I asked her
to teach me Indonesia and she
taught me but now we just say hi
when we meet on the street.”

“When strangers talk to me, I will


not answer them. There are people
who bothering me on the street
“hey cantik. Saya mau nomor
telfon kamu”. I will not talk to them
‘cause they are teasing me. The
same people who do that almost
every day. But if I go to other place
and meet the people who I don’t
know and ask me questions like
how are you. I saw them look
normal person and they and don’t
bother me, I will answer it. But if
the people who make me
uncomfortable, I will not talk to
them.”

3. Masalah Apakah kamu pernah “I don’t have future. Disini ngga


Psikososial mengalami stres, bisa kerja, ngga bisa belajar. There
depresi, atau putus is no future tapi saya suka disini
asa selama berada di aman. We cannot choose to live
Indonesia? here but if I have a word, I would
stay in Indonesia if they give me
the citizen, I will stay in Indonesia
but they don’t. The money we get is
not enough. Renting a house is so
expensive and also the food, fruit,
and vegetable. Everything is
getting expensive. When we came
for the first time, price of 1 kilo
tomatoes is Rp. 10.000 and now
between Rp 20.000 – Rp. 25.000.
And also onion is expensive too.”

“I have no stress cause every day,


I have to school, I wake up in the
morning, I go to school and then I
come to see the place. There’s no
time to think. But when I don’t have
anything to do, I think about my
life. Sometimes I just watch
Youtube to forget. Sometimes I
watch Youtube, and sometimes I
feel bored. When I don’t have go to
school, we cannot go anywhere like
other people, sit staying at home,
thinking about the future. What will
happen, what we gonna do
tomorrow. That’s our life for now.
In syaa Allah in the future I will
change.

4. Dukungan Bagaimana dukungan “I learn bahasa with Ibu Pipit so I


Sosial sosial yang diterima can understand now”
pengungsi anak dari
orang – orang di “No. I don’t have. I only support
sekitarnya dalam myself. My mother….no, I don’t
menghadapi masalah even talk at home. I just come back
psikososial? from school and our phone yeah
that’s all.”
TRANSKIP WAWANCARA

Nama Informan : MIA


Jenis Kelamin : Laki - laki
Usia : 16 tahun
Hari / Tanggal : Rabu, 25 Juli 2019
Waktu : 10.24 – 10.50 WIB
Lokasi : Refugee Center, Tebet, Jakarta Selatan

No. Indikator Pertanyaan Jawaban

1. Penyesuaian Bagaimana “Kerasa aneh banget. Syok sih


diri penyesuaian diri engga cuman bahasanya itu yang
yang kamu lakukan agak susah. Bahasanya kayak
ketika berada di gimana gitu. Terus ke
lingkungan thlingkungannya itu beda banget
Indonesia? ama yang dulu.”

“Pertama kali tau kebiasaan


Indonesia ngerasa beda dari
kebiasaan saya dulu. Sekarang
udah kebiasa dan ambil budaya
mereka. Kayak salim, kebiasaan
saya ga kayak gitu. Jaga bahasa,
cara mengucapkan bahasa itu di
jaga – jaga, kebiasa makan
makanannya.”

“Yang dirasain disini susah bikin


temen karena harus tau bahasanya
dulu, apalagi yaa....kalo mau
belanja harus tau dulu apa itu yang
dimau itu dibelanja harus tau
namanya itu apa dalam bahasa
Indonesia.”

“Sebelum saya kesini dulu kan dari


Depok, dari Depok ke Pasar
Minggu nah pas di Depok itu saya
ngerti ngomong dikit – dikit gak
terlalu tau apa itu terus pas ke
Pasar Minggu dapet temen, main
terus sama dia sampingan rumah
juga dulu. Jadi main kerumah dia
nonton TV juga ke rumah dia, saya
nanya itu artinya apa dikasih tau.
Kalo gatau ya di praktekin. Susah
gitu udah agak lumayan lancar
terus pindah ke Manggarai. Dulu
CWS (Church World Services) itu
di Manggarai juga jadi dulu
belajar bahasa Indonesia disitu
terus pas CWS pindah masih
belajar terus setelah udah masuk
sekolah kan udah ada gaulannya,
udah ada temen – temennya, disitu
saya belajar bahasa Indonesia
lebih lancar, lebih gaul, ama
macam – macam bahasa udah tau
terus udah mulai bikin temen di
lingkungan Manggarai itu.”

2. Interaksi Sosial Bagaimana interaksi “Deket rumah saya itu ada Masjid
sosial yang kamu sebelahnya ada lapangan. Kan
lakukan dalam kesitu anak – anak pada main
menyesuaikan diri rame, nah kita main disitu jadi kalo
dengan lingkungan ada acara main bola main bola
di Indonesia? juga. Soalnya temennya agak
lumayan deket karena dulu kan
sesama negara saya itu kan deket
sama saya dulu nah mereka itu
pada main sama orang Indonesia
nah saya keluar main sama mereka
jadi gara – gara temen saya udah
apal.”

3. Masalah Apakah kamu “Pernah stres itu pas masih tinggal


Psikososial pernah mengalami itu dulu di Depok sama Pasar
stres, depresi, atau Minggu doang sebelum punya
putus asa selama temen. Dirumah terus gatau apa –
berada di Indonesia? apa paling baca yang ada dirumah
aja. Pas pertama kali datang
kesini, putus asa ga ada mau
ngapain, ga ada pikiran ke depan,
ga ada yang bisa saya fikirin.

“Pas pertama kali di sekolah pas


kelas 6 anak – anaknya kan pada
bandel – bandel ya gitu jadi di
bully bully saya diemin aja. Kalau
mereka bully deket saya jauh.
Kalau mereka jauh saya duduk
lebih jauh. Belajar sendiri. Dibully
pake kata – kata, soal fisik juga
seperti kulit sama rambut. Pas
SMP udah ga dikatain lagi karena
udah agak gaul, udah saya tau
bahasa, saya ambil pelajaran dari
kelas 6 itu jadi perubahin diri.”

4. Dukungan Bagaimana “Yang bikin saya semangat jalanin


Sosial dukungan sosial kehidupan disini ibu saya selalu
yang diterima support dan karena kemauan saya
pengungsi anak dari juga. Kalo Chandra sahabat saya
orang – orang di pasti lah selalu support kalo lagi
sekitarnya dalam ada masalah”
menghadapi masalah
psikososial? “Sekarang udah bisa sekolah,
udah bisa mikirin masa depan, bisa
mikirin cita – cita mau jadi apa.
Cita – cita ada dua. Pertama jadi
pengusaha dulu terus abis itu
Dokter. Sekarang udah sibuk.
Waktu datang gatau harus
ngapain.”
TRANSKIP WAWANCARA

Nama Informan : WA
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 15 tahun
Hari / Tanggal : Kamis, 25 Juli 2019
Waktu : 11. 45 – 12. 35 WIB
Lokasi : Refugee Center, Tebet, Jakarta Selatan

No. Indikator Pertanyaan Jawaban

1. Penyesuaian Bagaimana “It’s very different because Bogor


diri penyesuaian diri it was a lot of Afghani people so we
yang kamu lakukan enjoyed with them and also we did
ketika berada di not try to learn the Bahasa
lingkungan Indonesia. When we came to
Indonesia? Jakarta it was very serious for us
because we don’t know the
language and also every time when
we are going for something or
someone comes to say something
we cannot understand what they
are saying. I live two years in
Bogor and I also studied English.
So yeah, I‘m new in here so I don’t
know anything. Saya tidak bisa
lancar sekarang”

“I think in Jakarta the people are


very different. They are very kind
and also very polite. But in Bogor
they were very harsh especially to
the refugee. We did not have the
rights to go walking in the park.
They were saying ‘you are refugee’
and also when there are children
who attack the refugee children we
could not ask why you did this one.
Again they came from us why you
are children doing this thing, why
you are shouting. So we don’t have
rights to say. We are also human in
here. We also have rights to do
these things but I think in here it is
better. A little bit is hot the weather
but it’s okay.”

“some good people are good and


some bad people are bad. We had
this experience in Bogor because I
said the people are not good for the
refugee. When I go to for studying
with my brothers and some friends
and the Indonesian children
attacked us and also they put their
cigarettes on my brother’s cheek
and also they tear my hijab. I think
this happened. They were bullying
a lot so they threw a stone until
they threw a stone to my mother
but you cannot say why you are
doing this things if we asking like
this they are shout a lot and collect
all the people around us and they
like hitting me. They said “it is our
country every time they said it’s
our country and it’s our rights to
do like this”. When they are
coming to our home with motorbike
one day my brother they were
passing to his foot and my brother I
think arguing with them. After that
my brother was hide in the
bathroom, in the bathroom of our
home they came and search all the
room.”

“…in CWS (Church World Service)


there is Dompet Dhuafa class for
the student who wants to learn
Bahasa Indonesia so I join here to
learn the Bahasa Indonesia.”

“The reason was my mother


because my mother is very sick. My
mother is the one person who is
taking the harsh situation in
Indonesia right now also she has
depression and also every time
talking ‘if I die I want to go to
Afghanistan if this will happen in
Afghanistan, I don’t want to stay in
Indonesia. The condition of my
mother in Bogor was very bad and
after my brother the small one he
was born after that my mother, the
condition is getting worst and we
moved in Jakarta for taking the
support from CWS see the place to
take my mother to go to Doctor
right now we went to go to the Poli
Bedah ya in Bahasa Indonesia and
we also did some MRI, X-ray, and
also the Doctor also still not
recognize they say your mother is
needed operation.”
“Our neighbors especially are very
good they are also coorporating
with us once the hujan, flood came
in our area….banjir….they are all
came and helped us to cleaning
and cleaning the home because
there is a lot of soil that came
inside of the home. So they helped
us we like our neighbor.”

“I think living in Indonesia is good


and if we have the rights of
education. I want just the
education, everyone has their
rights to have education and also
have the rights to work in here.”

2. Interaksi Sosial Bagaimana interaksi “It is very different the people in


sosial yang kamu Jakarta and Bogor. I like the
lakukan dalam Indonesia people in Jakarta a lot
menyesuaikan diri because there are different nations,
dengan lingkungan they are very kind, merciful, and
di Indonesia? they are helping us a lot. At first, I
don’t have this habit to go to
someone to say hello, every time
they are coming to me. I don’t have
any more friends in here. And also
there is smallest student in our
class the girls that I like them a lot
because when I don’t know teacher
handwriting I copy from them.”

“And also special the people we


have Afghani so we are not being
depression because every day we
meet our relative. Our relative is
not in here but our friend is like we
are relative because we are
Afghani people so we can relate
each other as the refugee but the
situation is living as refugee is very
hard.”

“In Bogor some of our Afghani


neighbor we have contact
sometimes is asking how are you
like, what is new, are you
resettlement, are you going to
another country. Everyone is
waiting for this when we are going
from here. I think when we have a
gathering so it become lower our
stress and depression”
3. Masalah Apakah kamu “Every time a lot when I go to
Psikososial pernah mengalami sleep I say when we will go the
mengalami stres, third country….When? And also
depresi, atau rasa I’m praying a lot every time why
putus asa selama Allah is not accepting my
berada di Indonesia? request…why? And also the
depression and also sometimes I
cry a lot about this why we have
like this…. life why we are living
like this and also my brother they
are at home and also they don’t
have any activities and my mother
is very sick.”

“I feel hopeless yes. Something that


every refugee feels and also going
back to Afghanistan is also more
than hopeless because we don’t
have any security in there it is
“tidak aman” disana. If they allow
us for the work and also have the
same education, the same rights as
citizen in Indonesia yeah why not?
we will be in here. Because we
leave our country because it’s
unsecure, it doesn’t have any
security for us, we weren’t safe on
there. And also we want UNHCR to
send all the refugees due to are
waiting a lot of time in here, seven
years, ten years especially the
people who are coming here.”

“We are waiting I think the time


that we came in here to now we did
not give the interview. My mother
is saying it’s two and half years
that we do not give to interview.
How much year that we should stay
in here, to give interview. After the
interview should be resettlement,
after the resettlement so we will
prepare to go to for the third
country. My mother said it will take
many years, maybe ten years,
twenty years as the UNHCR said.
So I getting hopeless when I saw
my mother was crying and also
when she is saying. I don’t have
their patient, I don’t have their
tolerate to live in here, sometimes
she is using a lot of medicine
tablets so when I saw her, she is
sometimes crying ‘I want to go
back if you don’t want just leave
me I want to go back.’ So we
cannot leave our mother to go to
Afghanistan because that’s not
safe.”

“Yeah of course I had. I was


depressed really when I was at
home and I didn’t go the
Indonesian School. I was really
depressed. Six months that I was
really, I was really depressed so
now I’m a little bit good because
now I’m busy and learning Bahasa
Indonesia. When we are busy with
going to school we cannot feel any
depression and stress.”

4. Dukungan Bagaimana “He is the one who support us


Sosial dukungan sosial especially in here we don’t have
yang diterima any course for English class but my
pengungsi anak dari father is every time saying because
orang – orang di I know English, I teach my brother
sekitarnya dalam and my father at home for one
menghadapi masalah hour. Cause my father pursuit me
psikososial? every time to teach them English.
And also he is trying a lot to us get
educate“

“And also in here especially more


the people they don’t know bahasa
Indonesia and also sometimes I’m
very proud of myself that I know
Bahasa Indonesia a little bit but the
other refugee they don’t know a
little bit this much so that’s why I
say I’m improving because before I
study English and now right now
I’m trying to learn Bahasa
Indonesia if we are still in here, if
we will be here for a long time, as
the UNCHR as said. I want to go to
kuliah and university in here”

Anda mungkin juga menyukai