Disusun oleh :
Riska Hariyana
NIM. 1115054100001
Riska Hariyana/11150541000001
i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh
Alhamdulillahirabbil’alamin segala puji bagi Allah SWT
yang berkat rahmat dan nikmat-Nya saya bisa menyelesaikan
skripsi ini sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana
sosial di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat serta salam
tidak lupa dipanjatkan dan semoga tetap tercurah kepada
pengemban risalah dakwah Islam yaitu Rasulullah SAW beserta
keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang senantiasa berjalan
di jalan Allah sampai akhir zaman dan yang membawa ajaran
Islam sebagai rahmat semesta alam.
Adapun peneliti menyadari dalam skripsi ini masih
banyak memiliki kekurangan sekalipun peneliti telah berusaha
melakukan yang terbaik selama penyusunan skripsi ini baik dari
segi isi ataupun dari teknik penulisan. Maka dari itu, peneliti
sangat terbuka dengan saran dan kritik yang bertujuan untuk
membangun sungguh merupakan masukan bagi peneliti agar
dapat bisa memperbaiki kembali sehingga bisa menghasilkan
karya ilmiah yang lebih baik lagi serta skripsi ini bisa dijadikan
contoh untuk para mahasiswa/i dalam mengerjakan karya ilmiah.
Berkat keridhoan dari Allah SWT, akhirnya skripsi ini
dapat terselesaikan dengan baik. Serta tak lupa peneliti
menyertakan ungkapan dan rasa terimakasih kepada pihak –
pihak yang telah memberikan bantuan, dukungan, motivasi, dan
arahan – arahan kepada peneliti sehingga dapat menyelesaikan
ii
skripsi ini. Dengan segala kerendahan hati, peneliti
menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Bapak Suparto, M.Ed., Ph.D, sebagai Dekan Fakultas Ilmu
Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Dr. Siti Napsiyah Ariefuzzaman, MSW sebagai Wakil
Dekan Bidang Akademik.
3. Bapak Dr. Shihabuddin Noor, MA sebagai Wakil Dekan
Bidang Administrasi Umum. Bapak Drs. Cecep Sastrawijaya,
MA sebagai Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan.
4. Bapak Ahmad Zaky, M.Si, sebagai Ketua Program Studi
Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta
Ibu Hj. Nunung Khoiriyah, MA selaku Sekretaris Program
Studi Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Ibu Ellies Sukmawati, M.Si sebagai dosen pembimbing
akademik.
6. Seluruh Dosen Program Studi Kesejahteraan Sosial yang
telah banyak memberikan ilmu dan pengalamannya kepada
peneliti, semoga apa yang telah diberikan dapat bermanfaat di
masa yang akan datang.
7. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
dan Civitas Akademika yang telah memberikan sumbangan
wawasan dan keilmuan dan membimbing peneliti selama
menjalani perkulian di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, peneliti ucapkan terimakasih karena telah membantu
iii
dalam memberikan referensi buku, jurnal, maupun skripsi
dari penelitian-penelitian terdahulu.
9. Kepada UNHCR Perwakilan Indonesia yang telah
mengizinkan peneliti untuk melakukan penelitian dengan
beberapa pengungsi anak.
10. Kepada Dompet Dhuafa dan pihak – pihak terkait yang telah
mebuka jalan dan mengizinkan peneliti untuk melakukan
penelitian di SFR.
11. Bapak Sidik Eka Hermawan dan Ibu Fitriani Setya
Wahyuningsih selaku pengurus di School for Refugees (SFR)
Dompet Dhuafa Jakarta yang telah membantu dalam
memberikan saran.
12. Seluruh pihak di SFR lainnya yang telah memberikan
informasi yang bermanfaat bagi peneliti kedepannya.
13. Kedua orang tua tercinta yang tidak pernah berhenti
memberikan dukungan, kasih sayang, dan cinta. Tidak pernah
bosan dan menyerah untuk mengingatkan peneliti untuk terus
berusaha dalam mencapai hal yang diinginkan peneliti. Tidak
ada kata – kata yang dapat mengungkapkan perasaan cinta
dan terimakasih peneliti kepada kedua orang tua yang telah
diberikan selama ini. Terima kasih yang istimewa untuk
Mama Eti yang selalu menasihati agar menjadi pribadi yang
lebih baik setiap harinya sampai akhir hayatnya.
14. Adikku, Riski Hardana yang telah memberikan semangat
untuk berjuang dalam segala hal.
15. Sepupu tercintaku Devi Anggraini yang terus memotivasi dan
selalu ada dalam setiap peneliti membutuhkan bantuan. Serta
iv
almarhumah Herlin Mauliani yang memacu semangat peneliti
untuk menyelesaikan studinya sehingga bisa mewakilkan
almarhumah lulus di bidang Kesejahteraan Sosial.
16. Muhammad Abdul Hafizh Priyatmoko.
17. Sahabatku NOMNOM Alvin Anggara yang suka membawa
tawa ceria dalam kehidupan peneliti.
18. Teman – teman KUACI Muhammad Fathin, Alif Shoffan,
Refiandi Riansah, Sri Wahyuni, Habib Rachman, dan Galuh
Hari Setiawan yang memberi hiburan dan semangat selama
masa perkuliahan.
19. Semua teman – teman Kesejahteraan Sosial Angkatan 2015
dan semua pihak yang telah memberikan dukungan, bantuan
baik moril maupun materil sehingga skripsi ini bisa
terselesaikan.
Riska Hariyana
v
DAFTAR ISI
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah................................................... 1
B. Pembatasan Masalah ........................................................ 6
C. Rumusan Masalah ............................................................ 6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................ 6
E. Tinjauan Pustaka .............................................................. 8
F. Metodologi Penelitian .................................................... 15
1. Pendekatan Penelitian .............................................. 15
2. Waktu dan Lokasi Penelitian ................................... 16
3. Sumber Data ............................................................. 16
4. Teknik Pengumpulan Data ....................................... 17
5. Teknik Analisis Data ................................................ 20
G. Sistematika Penulisan .................................................... 22
BAB II: KERANGKA TEORI
A. Kesejahteraan Psikososial Pengungsi Anak ................... 25
B. Asesmen Psikososial ...................................................... 26
1. Psikososial ................................................................ 26
2. Aspek – aspek Psikososial ....................................... 28
a. Penyesuaian Diri ................................................ 29
b. Interaksi Sosial ................................................... 32
c. Dukungan Sosial ................................................ 36
3. Masalah Psikososial ................................................. 39
a. Stres .................................................................... 39
b. Depresi ............................................................... 42
c. Keputusasaan ..................................................... 43
4. Emosi Anak .............................................................. 46
Bentuk – bentuk emosi ............................................. 47
5. Penerimaan ............................................................... 48
C. Pengungsi Anak ............................................................. 19
1. Definisi Pengungsi Anak ......................................... 19
2. Klasifikasi Pengungsi Anak ..................................... 21
vi
BAB III: PSIKOSOSIAL PENGUNGSI ANAK DI
INDONESIA
A. Pengungsi Anak di Indonesia ......................................... 55
B. Kondisi Psikososial Anak di Indonesia .......................... 56
C. Penanganan Indonesia dalam Pemulihan Kondisi
Psikososial
Pengungsi Anak di Indonesia ......................................... 60
vii
DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR LAMPIRAN
UNHCR Indonesia
ix
BAB I
PENDAHULUAN
1
merupakan budaya tentang kekerasan sehingga bisa menjadi
bayangan ingatan dan dapat mempengaruhi masa depan
ketika anak mulai dewasa (Bagong Suyanto, 2010: 327 –
335). Dari berbagai penelitian yang dilakukan selama dan
setelah Perang Dunia Kedua (Boardman, 1994), sampai
pengalaman dari berbagai perang yang terjadi saat ini (Baker,
1991), terbukti bahwa pengalaman yang dialami ketika
perang dapat menghalangi perkembangan psikososial anak –
anak, dan harapan mereka tentang kehidupan masa depan
(Marina Ajdukovic & Dean Ajdukovic, 1998: 186).
Pengungsi yang telah mengungsi di negara lain
mengharuskan mereka menyesuaikan diri dengan budaya
setempat. Proses akulturasi diakui sebagai hal yang dapat
menyebabkan stres dan berkaitan dengan masalah sosial dan
psikologis (Berry, 1997). Lebih luas lagi, kecepatan dan jenis
perubahan budaya yang penting diikuti dapat berdampak pada
kesejahteraan psikologis individu. Terlalu banyak perubahan,
kurangnya dukungan, tekanan untuk beradaptasi terlalu cepat,
dan ketidakmampuan untuk mengikuti strategi yang
diinginkan semuanya dapat berakibat akulturasi stres, dan
ketika masalah tersebut terjadi, individu dapat menjadi rentan
mengalami penyakit mental (Jenny Phillimore, 2011: 579).
Pada pengungsi anak yang menjadi murid di sekolah
menghadapi tantangan akademis yang tak terukur dalam
penyesuaian mereka dengan lingkungan baru (Davies, 2008;
McBrien, 2005; Pinson & Arnot, 2007). Mereka sering
menghadapi marginalisasi dan diskriminasi (Portes &
2
Rumbaut, 2001a, 2001b), pengasingan sosial (Davies, 2008;
Mosselson, 2007), kurangnya dukungan orang dewasa (Sarr
& Mosselson, 2010), dan kesulitan mengakses pendidikan
(Women’s Refugee Commission, 2011) (Lesley Bartlett et. al,
2017: 3). Meskipun Indonesia bukan merupakan negara
peserta Konvensi Pengungsi 1951 Pengungsi dan Protokol
1967 (hukumonline.com, 2018), jumlah pengungsi anak yang
datang ke Indonesia dengan keluarga atau sendirian cukup
banyak. Data pada akhir tahun 2018, terdapat kurang lebih
2.383 pengungsi anak yang berada di Indonesia
(beritasatu.com, 2018). Indonesia yang hanya negara transit
masih diminati oleh para pengungsi karena mayoritas
penduduknya yang Muslim. Selain itu, Indonesia tidak bisa
begitu saja menetapkan status para imigran sebagai pengungsi
atau pencari suaka. Penentuan status tersebut harus dilakukan
oleh UNHCR yang tidak jarang memakan waktu sangat lama.
Seseorang yang sudah mendapat status pengungsi sekali pun
misalnya tetap tidak bisa bekerja di negara yang berstatus
negara transit, dan harus menunggu solusi jangka panjang
yang tidak pasti. Sehingga pengungsi dan keluarganya
mengalami ketidakjelasan akan masa depan mereka
(voaindonesia.com, 2017). Mitra sebagai Public Information
Officer UNHCR mengatakan “tidak ada batasan waktu yang
pasti. Sebab mereka harus menunggu mendapatkan suaka dari
negara yang bisa memberikan kewarganegaraan, atau kembali
ke negara asal ketika konflik usai. Mereka pengungsi, mereka
berakhir kalau menemukan solusi jangka panjang, yakni
3
penempatan di negara ketiga seperti AS, Kanada, Australia,
jumlah di seluruh dunia hanya 20 negara resettlement country
yang bisa menerima mereka. Selama disini status mereka
pengungsi, waktu yang dibutuhkan bisa sangat lama."
(gatra.com, 2019).
Karena ketidakjelasan akan negara ketiga, pemerintah
menghimbau pengungsi untuk berbaur dengan masyarakat
setempat (matapolitik.com, 2018). Namun, dalam prosesnya,
pengungsi anak mengalami banyak permasalahan selama
bermukim di Indonesia. Beberapa contoh kasus diantaranya:
Di Makassar, pengungsi anak Rohingya yang menjadi siswa
“titipan” di Sekolah Dasar (SD) mendapatkan perlakuan yang
buruk dari teman – temannya yang berasal dari Indonesia. Ia
mendapatkan kekerasan fisik hingga menimbulkan luka
memar dan lebam. Selain kekerasan fisik, mereka juga
menerima kata – kata kasar yang mengintimidasi mereka
bahwa mereka bukan berasal dari Indonesia. Di Medan, anak
– anak pengungsi Rohingya cenderung menutup diri dari
pergaulan dengan anak – anak Indonesia. Sehingga tidak
banyak interaksi yang dilakukan oleh mereka. Pada kondisi di
Makassar, anak – anak pengungsi Rohingya yang
disekolahkan di Aceh terpaksa harus dikeluarkan dari sekolah
karena mengintimidasi teman – temannya yang merupakan
anak Indonesia (Rizka Argadianti & Zico Efraindio, 2016: 51
& 54). Sejauh ini, belum ada yang membahas terkait kondisi
psikososial anak yang tinggal di Indonesia khususnya di
Jakarta sehingga belum ada gambaran mengenai kondisi
4
psikososial secara umum yang mana membuat peneliti
tertarik untuk membahasnya dalam penelitian ini. Dalam
membahas kondisi psikososial pengungsi anak, peneliti akan
mengambil fokus pengungsi anak di School for Refugees
(SFR) yang merupakan bagian dari program Dompet Dhuafa
yang pada awalnya dibuat sebagai bantuan kemanusiaan pada
pengungsi Rohingnya di Aceh yang kemudian diperluas di
Jakarta (dompetdhuafa.org, 2017). Sebagaimana yang telah
dijelaskan, Dompet Dhuafa sebagai lembaga amal di
Indonesia bertujuan untuk memberikan bantuan kemanusiaan
dan menolong terhadap orang yang membutuhkan.
Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat Al-Qur’an Surah
Al Maidah ayat 2:
ِ ﺷدِﯾ ُد ا ْﻟ ِﻌ َﻘﺎ
ب َ ﷲ ۖ إِنﱠ ﱠ
َ ﷲ َ ان ۚ َوا ﱠﺗﻘُوا ﱠ
ِ َوا ْﻟ ُﻌدْ َو
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (Q.S Al –
Maidah: 2).
B. Pembatasan Masalah
Berdasarkan judul dan latar belakang masalah diatas dan
untuk mempermudah peneliti agar lebih fokus dalam
penelitian maka peneliti membatasi masalah yang dibahas
yaitu berfokus kepada kondisi psikososial pengungsi anak di
SFR dengan pengungsi anak remaja usia 15 sampai dengan
17 tahun yang sudah tinggal minimal selama dua tahun di
Indonesia yang mana dalam hal ini pengungsi remaja dalam
latar belakang yang telah dijelaskan rentan mengalami
masalah psikososial.
C. Rumusan Masalah
6
b. Mengetahui sejauh kondisi psikososial pengungsi
anak yang menjadi murid di School for Refugees
(SFR) Dompet Dhuafa.
7
E. Tinjauan Pustaka
8
The psychosocial needs of refugee children and youth and
best practices for filling these needs: A systematic review.
Hasil kajian ini menunjukkan bahwa bahwa terdapat 16,1 juta
pengungsi akibat konflik di seluruh dunia dengan jumlah dari
setengahnya merupakan anak dibawah 18 tahun. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang kebutuhan
anak – anak dan remaja pengungsi (usia 5 – 18 tahun). Dalam
studi ini, kebutuhan yang diidentifikasi dari anak – anak dan
remaja pengungsi terutama dalam bidang dukungan sosial,
keamanan, budaya, dan pendidikan. Beberapa strategi
diidentifikasi sebagai memfasilitasi integrasi mereka, seperti
program bimbingan. Tinjauan saat ini dapat membantu
menginformasikan program integrasi kedepannya yang
dirancang untuk anak – anak dan remaja pengungsi.
Mendukung integrasi anak – anak pengungsi dan pemuda,
dan keluarga mereka, mendukung untuk hasil yang positif dan
bermanfaat bagi para pengungsi dan anggota masyarakat di
negara tujuan pengungsi. (The University of Western Ontario
Journal, Vol. 23 No. 2, April 2018 by Cisse Nakeyar,
Victoria Esses, and Graham J Reid).
9
wawasan dan strategi yang dapat diterapkan untuk membantu
para pengungsi di negara tuan rumah lainnya juga. Fokusnya
adalah memahami risiko perkembangan yang dihadapi oleh
anak – anak pengungsi ketika mereka atau anggota keluarga
menderita gangguan psikologis terkait trauma, dan pada
mengidentifikasi tindakan yang dapat diambil untuk
mengatasi risiko ini. Rekomendasi berikut dibuat: mengenali
tingkat tinggi masalah psikososial yang ada dalam keluarga
pengungsi, menyediakan akomodasi tinggal yang ramah
keluarga, mengajarkan keterampilan pengasuhan yang positif,
memulai intervensi yang peka terhadap budaya, membuat
program pelatihan untuk mendukung mereka yang bekerja
dengan pengungsi, memperluas ketersediaan penerjemah
terlatih, memfasilitasi akses ke pendidikan dan perawatan
kesehatan, dan mengidentifikasi persyaratan intervensi
melalui penyaringan dan tindakan lain. (Child Adolesc
Psychiatry Ment Health, 2018 by J.M Fergert et.al)
10
Dalam konteks ini, organisasi non-pemerintah, Action Contre
la Faim, mengimplementasikan sebuah program yang
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan psikososial,
menumbuhkan ketahanan dan mempromosikan interaksi
positif antara anggota kedua komunitas. Melalui partisipasi
kelompok pendukung dalam organisasi berbasis masyarakat,
dialog difasilitasi, dan interaksi terjadi di lingkungan yang
aman dan terapeutik. Peserta melaporkan peningkatan
persepsi kesejahteraan dan kepercayaan diri, serta
peningkatan saling pengertian dan komunikasi, mengurangi
isolasi dan perluasan dukungan sosial, meningkatkan empati
dan mengurangi prasangka. (Intervention, Journal of Mental
Health and Psychosocial Support in Conflict Affected
Areas. Published by Wolters Kluwer, 2018 by Paulina
Acosta & Nuria Chica)
11
oleh perbedaan linguistik dan budaya, yang dapat
membuatnya sulit untuk berkomunikasi dan mengadvokasi
kebutuhan pendidikan para pengungsi muda. Bab ini
memberikan ulasan literatur pendidikan tentang pemuda
pengungsi yang bermukim kembali. Kami menggunakan
kerangka sosioekologis dan menawarkan lensa pelindung dan
promotif, termasuk masalah psikososial, untuk
dipertimbangkan untuk program pencegahan dan intervensi
berbasis sekolah. Bab ini dibangun berdasarkan Pastoor
(2015), yang menganjurkan pendekatan holistik dengan siswa
pengungsi di lingkungan berbasis sekolah. (Annual Review of
Comparative and International Education, 2016 by Mary E.
Brenner & Maryam Kia-Keating).
12
bahwa, pertama, anak-anak pengungsi sudah lanjut dalam
perkembangan psikososial untuk usia mereka, terutama dalam
pengembangan visi, cita-cita, dan pandangan masa depan.
Kedua, sosialisasi dan lingkungan orang tua perkembangan
psikososial anak-anak pengungsi yang terkena dampak.
Ketiga, lingkungan terintegrasi ke dalam organisasi berbasis
masyarakat (CRLC) berkontribusi secara efektif untuk
mereka pengembangan. Karena itu, harus ada pemberdayaan
keluarga dan pelembagaan organisasi berbasis masyarakat di
kamp-kamp pengungsian untuk dikembangkan anak-anak
tanpa kewarganegaraan tepat. (Fakultas FISIP Universitas
Indonesia, Gedung Nusantara II Kampus FISIP UI,
Indonesia, 2018 by Erika Chrisiani & Johanna Debora
Imelda)
13
mencirikan perkembangan beberapa masalah psikologis
tertentu yang mungkin diderita oleh pengungsi dan migran.
Saya kemudian membandingkan prevalensi penyakit mental
yang terakhir antara migran, pengungsi, pencari suaka dan
warga negara. Akhirnya, saya menekankan faktor-faktor
mitigasi yang harus diingat ketika menganalisis pengungsi
atau kesehatan psikososial migran, yaitu milik kelompok
rentan - menjadi seorang wanita, anak-anak atau orang tua -,
perbedaan etnologi, keyakinan dan keyakinan agama, dan
hosting sikap negara. (Novosibirsk State University, 2016
by Sarah Schneider-Strawczynski)
14
Keterkaitan antara tinjauan pustaka diatas dengan skripsi ini
yaitu pada skripsi ini akan membahas analisis kondisi
psikososial pengungsi anak di School for Refugees (SFR).
Perbedaan dari studi diatas ialah peneliti membahas
psikososial pengungsi anak ketika berada di Indonesia yang
meliputi interaksi sosial, penyesuaian diri, dan dukungan
sosial yang diterimanya dari lingkungan di sekitarnya di
Jakarta. Selain itu, pada skripsi ini, peneliti juga membahas
masalah psikososial seperti stres, depresi, dan putus asa yang
dapat dialami pengungsi anak selama berada di Indonesia.
F. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini disusun dengan menggunakan tipe
penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif menurut
Bogdan dan Taylor (1990) adalah prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata – kata
tertulis atau lisan dari orang – orang dan berperilaku
yang dapat diarahkan pada latar dan individu secara utuh.
Creswell (1995) menyatakan bahwa pendekatan kualitatif
diartikan sebagai suatu proses penelitian untuk
memahami masalah – masalah manusia atau sosial
dengan membuat gambaran menyeluruh dan kompleks
yang disajikan dengan kata – kata, melaporkan
pandangan rinci yang diperoleh dari sumber para sumber
informasi yang dilakukan dalam latar yang alamiah
(Imam Gunawan, 2013: 82 – 83). Jenis penelitian yang
15
peneliti gunakan adalah penelitian deskriptif. Tujuan dari
metode penelitian deskriptif menurut Suharsimi Arikunto
(2003) adalah untuk mendeskripsikan apa adanya suatu
variabel, gejala, atau keadaan (Andi Prastowo, 2011: 203
– 204).
b. Waktu Penelitian
Waktu penelitian atau kegiatannya terhitung mulai
bulan April 2019 sampai dengan bulan September
2019.
3. Sumber Data
Dalam mencari data untuk penelitian ini, peneliti
menggunakan dua sumber data (Bambang Rustanto, 2015:
16 – 17), yaitu:
a. Sumber data primer. Bentuk dari sumber data primer
ialah verbal, gerak – gerik, atau perilaku yang
dilakukan oleh subjek yang dapat dipercaya. Adapun
yang menjadi sumber data primer dalam penelitian ini
adalah pengungsi anak yang menjadi murid di SFR
Jakarta.
b. Sumber data sekunder, yaitu data yang dikumpulkan
peneliti sebagai penunjang dari sumber pertama
16
berupa dokumen yang diambil dan dikutip dari
berbagai sumber literatur, jurnal, buku – buku,
website, foto – foto, film, rekaman video, tulisan lain
yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, seperti
brosur, arsip, pamflet, dan lain – lain.
17
pengungsi yang menjadi informan peneliti untuk
dituliskan di dalam skripsi ini.
2. Wawancara
Wawancara adalah sebuah proses memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya
jawab sambil bertatap muka antara pewawancara
dengan orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa
menggunakan pedoman wawancara. Metode
wawancara yang digunakan dalam penelitian kualitatif
adalah wawancara mendalam (in – depth interview)
yaitu membutuhkan waktu yang lama bersama
informan di lokasi penelitian. Wawancara yang
dilakukan peneliti adalah wawancara dengan proses
yang terbuka yaitu informan mengetahui tujuan dari
wawancara yang dilakukan. Selain itu, pencatatan dan
perekaman juga dilakukan secara terbuka dan atas
persetujuan informan (Burhan Bungin, 2008: 108).
Teknik yang digunakan untuk memilih informan
dalam penelitian ini adalah dengan teknik purposive
sampling. Teknik ini merupakan teknik pengambilan
informan dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan
pengambilan informan ini adalah orang yang dianggap
paling tahu tentang hal yang berkaitan dengan
penelitian sehingga data yang di dapatkan sesuai
dengan data yang diperlukan. Jumlah informan yang
peneliti butuhkan untuk penelitian ini ialah empat
18
orang pengungsi anak yang bersekolah di SFR yang
menjadi subjek utama peneliti. Berikut tabel informan
yang telah peneliti susun:
Umur / Informasi
Metode yang
No. Nama Asal Negara Jenis yang di
digunakan
kelamin dapat
1. MNA Ethiopia 17 tahun / Kondisi 1. Observasi
Perempuan psikososial 2. Wawancara
2. NMK Ethiopia 15 tahun / Kondisi 1. Observasi
Perempuan psikososial 2. Wawancara
3. MIA Ethiopia 16 tahun / Kondisi 1. Observasi
Laki – laki psikososial 2. Wawancara
4. WA Afghanistan 15 tahun / Kondisi 1. Observasi
Perempuan psikososial 2. Wawancara
Tabel 1.1 Daftar Informan Penelitian
3. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi adalah teknik pengumpulan
data berupa informasi yang berasal dari catatan
penting, bahan – bahan tertulis atau cetak atau
rekaman peristiwa yang berkaitan dengan penelitian
(Bambang Rustanto, 2015: 60 – 61). Penggunaan
informasi dokumentasi yang digunakan sebagai data
ialah dokumen yang berkaitan dengan keempat
pengungsi seperti daftar absensi dan profil pengungsi
anak yang rahasia dan tidak bisa diakses sehingga
lampiran mengenai identitas pengungsi anak sangat
terbatas.
19
5. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan proses mencari dan
menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil
wawancara, catatan lapangan, dan studi dokumentasi
melalui cara dengan mengorganisasikan data ke dalam
kategori, menjabarkan ke dalam unit – unit, melakukan
sintesa, menyusun ke dalam pola, memilah data yang
penting, dan membuat kesimpulan dari penelitian yang
dilakukan sehingga mudah dipahami oleh peneliti dan
orang lain. Miles and Huberman (1984), menyatakan
bahwa analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif
dan berlangsung secara terus menerus sampai data yang
didapatkan sudah jenuh dan tuntas (Sugiyono, 2014: 244
– 246). Menurut Sugiyono (2010), terdapat tiga tahapan
dalam melakukan analisis data yang dikemukakan oleh
Miles dan Huberman (1984), diantaranya:
1. Reduksi Data (Data Reduction)
Reduksi data adalah proses merangkum, memilih dan
memfokuskan hal – hal yang pokok dan penting, serta
mencari suatu pola untuk menghasilkan gambaran
yang jelas dan mempermudah peneliti untuk
melakukan pengumpulan data selanjutnya dan
mencari data yang dibutuhkan lagi.
2. Penyajian Data (Data Display)
Penyajian data dapat dilakukan dengan membuat
tabel, grafik, teks, transkip, dan lainnya. Dengan men–
display–kan data, maka akan memudahkan peneliti
20
untuk memahami apa yang terjadi dan merencanakan
kerja selanjutnya berdasarkan apa yang dipahami oleh
peneliti.
3. Penarikan Kesimpulan (Conclusion)
Penarikan kesimpulan yang dilakukan berupa
deskripsi atau gambaran subjek yang sebelumnya
masih belum jelas sehingga setelah dilakukan
penelitian menjadi jelas yang dapat berupa hubungan
kausal atau interpretative, hipotesis, atau teori
(Bambang Rustanto, 2015: 73).
21
informasi yang diperoleh. Teknik triangulasi menurut
Moleong (2006: 330 & 335) yang peneliti gunakan
diantaranya:
1. Membandingkan data hasil observasi saat melakukan
wawancara dengan pengungsi anak SFR Jakarta;
2. Mengoreksi kekeliruan oleh sumber data yang telah
didapatkan (Burhan Bungin, 2008: 252 – 257).
Dalam penelitian ini, peneliti dapat membuktikan
data – data berdasarkan hasil wawancara dan observasi
terhadap subjek penelitian yaitu dengan melakukan
analisis kondisi psikososial pengungsi anak di SFR.
Dalam hal ini peneliti dapat memastikan bahwa kepastian
kondisi psikososial pengungsi anak adalah melalui hasil
wawancara dan hasil observasi terhadap subjek penelitian
serta hasil koreksi ulang yang peneliti lakukan selama
penyusunan penelitian ini dengan hasil yang telah
didapatkan.
G. Sistematika Penulisan
Agar pembahasan ini menjadi sistematis serta untuk
mempermudah analisa materi pada penulisan skripsi ini, maka
peneliti akan menjelaskan sistematika penulisan berdasarkan
Surat Keterangan (SK) Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Secara garis besar skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab
dengan beberapa sub bab. Berikut ini adalah sistematika
penulisannya secara lengkap:
22
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Batasan Masalah
C. Rumusan Masalah
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
E. Tinjauan Kajian Terdahulu
F. Metode Penelitian
G. Sistematika Penulisan
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Bab ini akan menjelaskan pemahaman teoritis serta
implementasi teori terhadap lapangan dalam melihat
permasalahan pokok dalam skripsi ini yaitu kondisi
psikososial pengungsi anak SFR Dompet Dhuafa di Jakarta
seperti interaksi sosial, penyesuaian diri, dukungan sosial,
stres, depresi, dan keputusasaan.
BAB III GAMBARAN UMUM
Bagian ini berisi tentang gambaran umum psikososial
pengungsi anak di Indonesia, penanganan Indonesia dalam
pemulihan kondisi psikososial pengungsi anak di Indonesia,
dan pemulihan kondisi psikososial pengungsi anak yang
menjadi murid di SFR Dompet Dhuafa di Jakarta.
BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
Dalam bab ini menjelaskan analisis deskriptif atau penyajian
data dan temuan penelitian tentang kondisi psikososial
pengungsi anak di Jakarta.
23
BAB V PEMBAHASAN
Bagian ini berisi uraian yang mengaitkan latar belakang, teori,
dan rumusan teori baru dari penelitian.
BAB VI KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
Bab ini berisi kesimpulan akhir dari penelitian ini serta
implikasi dan saran yang diungkapkan oleh peneliti dengan
judul penelitian terkait.
24
BAB II
KERANGKA TEORI
B. Asesmen Psikososial
1. Psikososial
Pengungsi anak secara global dalam kehidupannya
kehilangan rumah, keluarga, dan masa depan. Mereka
mengalami trauma, depresi, kehilangan harapan, dan masalah
psikologis lain yang dapat mempengaruhi kehidupan sosial
mereka (satuharapan.com, 2013). Ditambah perjalanan yang
dilakukan pada masa perpindahan melewati banyak rintangan
seperti kekerasan fisik, pelecehan seksual, terancam terbunuh,
kelaparan, dan juga masalah kesehatan. Banyak pengungsi
26
anak yang mengalami pengalaman tragis saat melarikan diri
yang biasanya tidak mereka ungkapkan. Mereka banyak
menderita trauma psikis berat pasca pengalaman buruk dalam
perjalanan yang membuat mereka kesulitan beradaptasi ketika
mereka sudah berada di tempat pengungsian dan hal tersebut
berdampak pada kesehatan mental mereka dalam menjalani
kehidupan sosialnya (dw.com, 2015). Migrasi adalah suatu
peristiwa kehidupan yang dapat melibatkan perubahan
mendalam termasuk hubungan yang sudah terjalin dengan
baik pada masa sebelum perpindahan. Anak menghadapi
sejumlah masalah saat berada di tempat yang baru. Mereka
harus belajar bahasa baru, beradaptasi ke sistem pendidikan
baru, membangun jaringan sosial baru, dan menyesuaikan diri
dengan budaya dan kebiasaan baru berupa standar perilaku
normatif dan non – normatif baru (Seyhan Çankaya et al,
2018: 3).
Kondisi pengungsi anak yang telah dijelaskan ini
berkaitan dengan psikologi sosial (psikososial). Psikososial
merupakan kondisi individu dalam aspek psikologis dan
aspek sosial yang saling berhubungan dan berpengaruh pada
individu dalam situasi – situasi sosial. Allport (1968)
mendefinisikan psikososial merupakan upaya untuk
memahami dan menjelaskan bagaimana pikiran, perasaan,
dan perilaku individu yang terpengaruh oleh kehadiran orang
lain. Pada pandangan Baron & Bryne (2006) mengemukakan
“psikologi sosial adalah bidang ilmu yang mencari
pemahaman tentang asal mula dan penyebab terjadinya
27
pikiran serta perilaku individu dalam situasi – situasi sosial.”
(Sarlito dan Eka, 2009: 11 – 12). Kata psikososial
menggarisbawahi suatu hubungan dinamis antara efek
psikologis dan sosial yang saling mempengaruhi. Kebutuhan
psikososial mencakup cara seseorang berfikir dan
kemampuan untuk mengenal dirinya dengan orang lain,
keamanan dirinya, orang – orang yang bermakna baginya,
hubungan dan interaksi dengan orang lain, dan lingkungan
sekitarnya serta pemahaman dan reaksinya terhadap kejadian
– kejadian disekitarnya (Departemen Sosial, 2004: 2 dalam
Tri Nugrahaning, 2013).
Dilihat dari pengertian diatas, dapat disimpulkan
bahwa psikososial diartikan sebagai upaya untuk memahami
dan menjelaskan bagaimana pikiran, perasan, dan penyebab
perilaku individu dalam situasi – situasi sosial seperti cara
berfikir, kemampuan mengenal diri dan orang lain, hubungan
dan interaksi dengan orang lain, serta reaksi terhadap kejadian
tertentu. Dengan begitu, psikososial pada pengungsi menjadi
pembahasan peneliti terutama dalam membahas tentang
kondisi psikososial pengungsi anak dalam berkehidupan
sosial selama masa tunggu di Indonesia.
a. Penyesuaian Diri
Pengungsi yang berpindah tempat dan
mengungsi di negara lain akan menemukan dirinya
berada di lingkungan dan budaya yang berbeda dari
negaranya berasal. Terdapat hubungan seimbang
antara kualitas hubungan teman sebaya pengungsi
remaja dan penyesuaian mereka, baik secara
bersamaan maupun dalam jangka panjang. Sebagian
besar teman sebaya yang dimiliki pengungsi remaja
adalah teman sekolah dari negara asalnya dan hal
tersebut membuat mereka dapat berpotensi mengalami
kesulitan pada penyesuaian diri dan memulai kembali
hubungan dari awal karena perbedaan bahasa dan
budaya di negara tempatnya tinggal saat ini (Lydia
Kovacev & Rosalyn Shute, 2004: 260). Pada
definisinya, penyesuaian dikenal dengan istilah
adjustment. Penyesuaian diri merupakan suatu proses
yang mencakup respon – respon mental dan
behavioral yang diperjuangkan individu agar dapat
berhasil menghadapi kebutuhan – kebutuhan internal,
mengatasi ketegangan, frustasi, konflik, serta untuk
menghasilkan kualitas keselarasan antara tuntutan dari
29
dalam individu dengan tuntutan dunia luar atau di
lingkungan tempat tinggal. Individu dapat
menyesuaikan diri yang baik ialah individu yang telah
belajar bereaksi terhadap dirinya dan lingkungannya
dengan cara – cara yang matang, efisien
(mengeluarkan tenaga dan waktu yang sesuai),
memuaskan, sehat (respon sesuai dengan hakikat dan
tuntutan lingkungan), serta dapat mengatasi kesulitan
pribadi dan sosial tanpa mengembangkan perilaku
yang dapat mengganggu tujuan – tujuan moral, sosial,
agama, dan tugas (Mohammad Ali dan Mohammad
Asrori, 2004: 175 – 178).
Proses penyesuaian diri menurut Schneiders
(1984), melibatkan 3 unsur, yaitu (1) motivasi,
merupakan dorongan seseorang bergerak melakukan
sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu; (2) sikap
terhadap realitas dalam penyesuaian diri, merupakan
sikap dan cara individu bereaksi terhadap manusia
sekitarnya. berbagai tuntutan realitas, adanya
pembatasan, aturan, dan norma menuntut individu
untuk terus belajar menghadapi suatu proses ke arah
hubungan yang harmonis antara tuntutan internal yang
di interpretasikan dalam bentuk sikap dengan tuntutan
eksternal dari realitas. Jika individu tidak tahan
terhadap tuntutan tersebut, akan muncul konflik,
tekanan, dan frustasi; (3) pola dasar penyesuaian diri,
merupakan pola dasar individu dalam menyesuaikan
30
diri sehingga pola ini akan berbeda pada setiap
individu dalam menilai keadaan dan menyesuaiakan
diri sesuai dengan dirinya (Mohammad Ali dan
Mohammad Asrori, 2004: 175 – 178).
Menjalin relasi sosial merupakan salah satu
bagian dalam penyesuaian diri. Relasi sosial atau
hubungan sosial diartikan sebagai “cara – cara
individu bereaksi terhadap orang – orang di sekitarnya
dan bagaimana pengaruh hubungan itu terhadap
dirinya”. Hubungan sosial individu berkembang
karena adanya dorongan rasa ingin tahu terhadap
segala sesuatu yang ada di lingkungan sekitarnya
(Anna Aisyahbana, dkk., 1984). Hubungan sosial
menyangkut dengan penyesuaian diri terhadap
lingkungan di sekitarnya seperti menaati peraturan,
membangun komitmen melalui interaksi dengan orang
lain. Hubungan sosial dimulai dari lingkungan rumah
yang kemudian berkembang ke lingkungan sekolah,
dan lebih luas lagi dengan teman sebaya dan
lingkungan kerja (Mohammad Ali dan Mohammad
Asrori, 2004: 85).
Ketika pengungsi berada di negara penerima
suaka, sistem kepercayaan baru, nilai, dan lainnya
merupakan tantangan dalam menyesuaikan diri.
Penyesuaian diri pada pengungsi anak tidak
memperhatikan budaya lama dan budaya baru. Dalam
pengalaman pendidikan dan penguasaan bahasa yang
31
lebih cepat, anak dapat bertindak sebagai penghubung
budaya kepada generasi yang lebih tua (Birman, 1998;
Coll and Magnuson, 1997 dalam Lustig et al, 2004:
26).
b. Interaksi Sosial
34
sesuai dengan apa yang diinginkan (Bimo Walgito,
1990: 64). Seseorang yang kesulitan dan menghindari
interaksi dengan orang lain di kondisikan sebagai orang
yang menarik diri. Menarik diri merupakan kondisi
dimana seseorang menemukan kesulitan dalam
membina hubungan dan berinteraksi secara terbuka
dengan orang lain (Townsend M.C. dalam Muhith A,
2015). Penarikan diri atau withdrawal merupakan suatu
tindakan melepaskan diri baik perhatian ataupun
minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung
yang dapat bersifat sementara atau menetap (Depkes RI,
dalam Muhith A, 2015). Menurut Al-Mighwar (2006),
menarik diri adalah bentuk tingkah laku yang
menunjukkan adanya kecenderungan putus asa dan
merasa tidak aman, sehingga menarik diri dari kegiatan
dan takut memperlihatkan usaha – usahanya. Individu
seperti ini tidak punya kekuatan untuk bertahan di
lingkungan sosialnya, dan lebih memilih untuk
menyendiri demi kenyamanan dirinya (Nelly Tridinanti,
2017: 1 – 2). Jadi, menarik diri adalah keadaan dimana
seseorang menemukan kesulitan dalam membina
hubungan dan menghindari interaksi dengan orang lain
di lingkungan sosialnya secara langsung yang dapat
bersifat sementara atau menetap dan memilih untuk
menyendiri demi kenyamanan dirinya.
35
c. Dukungan Sosial
Pengungsi yang bermukim kembali di negara
baru menghadapi banyak tantangan. Untuk remaja,
tantangan – tantangan ini mungkin sangat besar
seperti masa pubertas, perkembangan identitas diri,
dan memperbaiki kembali hubungan orang tua dengan
anak (Myers, 1999). Migrasi semakin sulit dengan
adanya perubahan budaya, kehilangan hubungan
sosial yang dimiliki, dan keharusan membentuk
kehidupan yang baru. Masa remaja adalah masa ketika
kelompok sebaya menjadi penting dalam memberikan
fungsi dukungan, persahabatan, rasa identitas diri, dan
hubungan dengan lawan jenis. Pengalaman pada masa
perpindahan di usia remaja berdampak pada relasi
yang dimilikinya. Remaja memiliki sedikit teman
dibandingkan dengan mereka yang berpindah sejak
kecil atau sudah dewasa (Myers, 1999). Sejumlah
penelitian dilakukan pada anak – anak dan remaja
menunjukkan bahwa dukungan sosial itu penting
sebagai sumber yang memiliki efek untuk mencegah
stres (Garmezy, 1983; Sandler, Miller, Short, &
Wolchik, 1989; Werner & Smith, 1982). Berdasarkan
studi Acculturation and social support in relation to
psychosocial adjustment of adolescent refugees
resettled in Australia, pengungsi remaja menilai
bagaimana orang lain menghargai mereka sebagai
pribadi, menunjukkan pengertian, peduli terhadap
36
perasaan mereka, dan siap mendengarkan masalah
mereka. Harter (1985) mendefinisikan dukungan
sosial sebagai penghargaan positif yang diterima dari
orang lain (Lydia Kovacev & Rosalyn Shute, 2004:
259 – 261). Dukungan sosial merupakan suatu
aktivitas hubungan atau relasi yang termasuk
diantaranya menenangkan masalah orang lain yang
dapat diperoleh dari sumber keluarga maupun teman.
Gottlieb mendefinisikan: “Dukungan sosial terdiri dari
informasi atau nasihat verbal maupun non verbal,
bantuan nyata, atau tindakan yang diberikan oleh
keakraban sosial atau didapat karena kehadiran
mereka dan mempunyai manfaat emosional atau efek
perilaku bagi pihak penerima.” Menurut House
terdapat empat jenis atau dimensi dukungan sosial,
yaitu:
a) Dukungan emosional (emotional support)
Dukungan emosional ialah dukungan yang
diekspresikan melalui rasa suka, cita, atau empati
yang mengungkapkan kepedulian dan perhatian
terhadap orang yang bersangkutan.
b) Dukungan penghargaan (esteem support)
Dukungan penghargaan terjadi lewat ungkapan
penghargaan atau penilaian diri yang positif untuk
individu, dorongan maju atau persetujuan dengan
gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan
positif individu dengan individu lain, seperti
37
misalnya perbandingan dengan orang – orang yang
kurang mampu atau lebih buruk keadaannya
c) Dukungan instrumental (instrumental support)
Dukungan instrumental mencakup bantuan
langsung yang dapat berupa jasa atau barang
selama masa stres yang dialami seseorang.
d) Dukungan informasi (informational support)
Dukungan informasi mencakup pemberian nasihat,
petunjuk, saran, informasi atau umpan balik
tentang situasi yang menekan (Smet, 1994: 135 –
136 dalam Riesta, 2016: 49).
38
3. Masalah Psikososial
Pengungsi yang memulai kehidupan baru di tempat
yang aman akan menemui kesulitan dalam beradaptasi
yang dapat berdampak pada kondisi psikososialnya.
Semua orang melewati tiga tahap yang sama ketika
beradaptasi dengan budaya baru (yang disebut sebagai the
honeymoon (tahap bersemangat dengan hal – hal dalam
menjelajahi budaya baru), the rejection (tahap penolakan
diri terhadap budaya baru setelah mencoba menjelajahi),
and the recovery (tahap membiasakan diri). Beberapa dari
individu dapat melalui proses lebih cepat dan dengan stres
yang lebih sedikit, sementara yang lain melewati ketiga
tahap tersebut merasa sulit untuk menyesuaikan diri.
Gejala syok kultur dapat meliputi: kerinduan
(homesickness); depresi; merasa tersesat dan tidak pada
tempatnya; frustrasi; sifat mudah marah; dan kelelahan
(exchanges.state.gov, 2019). Berikut ini adalah masalah –
masalah psikososial yang menjadi fokus peneliti yang
berkaitan dengan kondisi perpindahan yang dilakukan
para pengungsi anak dengan keluarganya, diantaranya:
a. Stres
Pengungsi yang berasal dari zona perang sering
menghadapi berbagai tantangan faktor stres yang tidak
dialami oleh sekelompok orang lainnya. Di negara
asalnya, pengalaman traumatis dapat terjadi seperti
pengeboman, penjara, penyiksaan, dan pengasingan;
dan untuk anak – anak, mereka juga sering
39
menyaksikan atau menjadi target kekerasan dalam
rumah tangga. Terlepas dari peperangan yang terjadi,
perjalanan yang dilakukan pengungsi sering ditempuh
dengan bahaya; dan ketika di tempatkan di negara
pengasingan, hidup sering ditandai dengan status
tempat tinggal yang tidak aman, pengangguran,
kondisi perumahan yang buruk, dan tantangan
mempelajari bahasa baru dan berintegrasi ke dalam
budaya yang benar – benar berbeda (UNICEF dalam
Ferget et al, 2018: 2).
Pada pengertiannnya, stres merupakan gangguan
mental yang dialami seseorang karena adanya
tekanan. Menurut Lazarus (1984) dalam Lubis (2009:
17 – 18), stres merupakan bentuk interaksi antara
individu dengan lingkungan yang dinilai individu
sebagai sesuatu yang membebani atau melampaui
kemampuan yang dimilikinya serta mengancam
kesejahteraannya. Dengan kata lain, stres merupakan
fenomena individual dan menunjukkan respon
individu terhadap tuntutan lingkungan dan dapat
mempengaruhi kinerja seseorang Tuntutan yang
secara umum dapat memunculkan stres dapat
diklasifikasikan dalam beberapa bentuk, yaitu:
1. Frustasi. Frustasi muncul apabila usaha yang
dilakukan individu untuk mencapai suatu tujuan
mendapatkan hambatan atau kegagalan.
40
2. Konflik. Stres dapat muncul apabila individu
dihadapkan pada suatu keharusan untuk memilih
salah satu diantara kebutuhan dan tujuan. Pilihan
terhadap salah satunya akan menghasilkan frustasi.
3. Tekanan. Individu dapat mengalami stres apabila
mendapat tekanan atau paksaan untuk mencapai
suatu hasil tertentu atau bertingkah laku dengan
cara tertentu yang bersumber dari dalam diri
maupun dari lingkungan.
4. Ancaman. Antisipasi individu terhadap hal – hal
yang merugikan atau tidak menyenangkan bagi
dirinya, mengenai suatu situasi, merupakan
penyebab stres.
41
b. Depresi
Pengungsi anak yang menyesuaian diri
berpotensi kesulitan dan mengalami depresi dalam
menyesuaikan diri dengan budaya dan bahasa baru
ketika bermukim di negara lain. Seseorang yang
mengalami depresi biasanya diawali dengan stres yang
tidak bisa diatasi. Menurut Lubis (2016: 13 dalam Eka
Nurwahyuliningsih, 2019: 60) “Depresi adalah
gangguan perasaan (afeksi) yang ditandai dengan afek
disforik (kehilangan kegembiraan atau gairah) disertai
dengan gejala – gejala lain, seperti gangguan tidur dan
menurunya selera makan”. Seseorang yang mengalami
depresi biasanya orang tersebut merasa tidak berdaya,
tidak memiliki semangat untuk hidup, tidak memiliki
motivasi, hilangnya rasa percaya diri, dan lain – lain.
Depresi merupakan gangguan perasaan dimana
seseorang merasa tidak bahagia, tidak bersemangat,
memandang rendah diri sendiri, dan merasa sangat
bosan. Individu yang mengalami depresi selalu merasa
kurang sehat, mudah lelah, kurang selera makan, dan
tidak memiliki motivasi. Pada anak – anak, depresi
yang terjadi menunjukkan agresi, kecemasan, prestasi
buruk di sekolah, perilaku antisosial, dan juga
hubungan yang buruk dengan teman sebaya. Penyebab
– penyebab timbulnya depresi, diantaranya:
1. Kurangnya cinta dan kasih sayang dan afeksi
dalam pengasuhan anak, kurangnya dukungan
42
emosional, atau kehilangan orang tua. Anak akan
menginterpretasikan kehilangan ini sebagai
kegagalan dalam membina hubungan positif yang
akan menimbulkan depresi.
2. Membentuk skema kognitif yang ditandai dengan
tidak percaya diri mengenai masa depan.
Pemikiran – pemikiran negatif akan meningkatkan
pengalaman negatif dari individu dan mulai
merasa depresi serta menyalahkan diri sendiri
secara berlebihan.
3. Seorang individu mengalami pengalaman negatif
dan mereka tidak memiliki kontrol mengenai hal
tersebut seperti ketika dihadapkan dengan stres
dan rasa kesakitan yang panjang dapat lebih
mudah untuk mengalami depresi. Seperti
pengalaman konflik di internal pada keluarga,
hubungan yang buruk dengan teman sebaya,
penolakan dari teman sebaya, kurang eratnya
hubungan dengan teman sebaya. Pengalaman
dengan perubahan yang terlalu sulit juga dapat
menyebabkan depresi (John W. Santrock, 2007: 20
– 28).
c. Keputusasaan
Dalam penentuan keputusan untuk
menempatkan pengungsi ke negara ketiga, UNHCR
membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Suaka
43
sebagai sebuah jaringan masyarakat sipil yang bekerja
bagi perlindungan hak – hak pencari suaka dan
pengungsi di Indonesia mengungkapkan
bertambahnya jumlah pencari suaka dan lamanya
waktu menuju negara ketiga menjadi permasalahan
tersendiri dan UHNCR tidak bisa menentukan negara
ketiga yang menjadi tujuan pengungsi. UNHCR hanya
bisa mengajukan dari nama – nama pengungsi dalam
daftar yang mereka miliki kepada negara yang telah
meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan tidak
semua pengungsi langsung diterima oleh negara
ketiga. Negara tujuan menyeleksi para pengungsi
untuk menjadi warga negara mereka. Hal ini sama
dengan pengungsi yang telah ditempatkan ke negara
penerima suaka. Proses yang membutuhkan waktu
tersebut dapat membuat pengungsi merasa putus asa
(radarcirebon.com, 2018). Keputusasaan merupakan
status emosional yang berkepanjangan dengan
keadaan subjektif seseorang individu yang melibatkan
keterbatasan atau tidak adanya alternatif atau pilihan
pribadi yang tersedia dan tidak dapat memobilisasi
energi yang dimilikinya. Keputusasaan dihubungkan
dengan stres dalam waktu yang lama, kondisi
psikologis yang mengalami penurunan, pesimis, dan
menarik diri dari lingkungan sosial. Keputusasaan
adalah kondisi umum yang dialami setiap orang dalam
hidupnya apabila ia merasa kurang mampu
44
memandang dan menjalankan kehidupannya ke arah
yang lebih baik dan berfokus pada batas
kemampuannya. Tanda dan gejala keputusasaan
individu, sebagai berikut:
45
4. Emosi Anak
Dalam membahas kondisi psikososial pengungsi
anak di SFR Jakarta, penilaian mengenai emosi yang
dirasakan dari setiap pengungsi anak perlu diteliti. Emosi
perasaan atau afeksi yang timbul ketika seseorang sedang
berada dalam suatu keadaan atau suatu interaksi yang
dianggap penting olehnya (Campos, 2004; Saarni dkk,
2006). Emosi diwakili oleh perilaku yang mewakili
(mengekspresikan) kenyamanan atau ketidaknyamanan
dari keadaan atau interaksi yang sedang dialami. Emosi
bisa berbentuk sesuatu yang spesifik seperti rasa senang,
takut, marah, dan seterusnya, tergantung dari interaksi
yang dialami. Klasifikasi atau pengelompokkan emosi
pada umumnya dilihat sebagai suatu emosi yang positif
atau negatif. Contoh emosi positif adalah antusiasme,
rasa, senang, dan cinta. Contoh emosi negatif adalah
cemas, marah, rasa bersalah, dan rasa sedih. Emosi juga
dipengaruhi oleh dasar biologis dan pengalaman masa
lalu. Sebagai contoh, seorang anak yang buta sejak lahir
dan tidak pernah melihat senyuman atau ekspresi wajah
dari emosi, memiliki dasar biologis yang kuat (John W
Santrock, 2007: 6 – 7). Emosi dapat diukur dalam
berdasarkan tiga kategori yaitu perasaan dengan kategori
kuat, perasaan di level tengah, dan perasaan di kategori
ringan (Kathryn Gerald & David Gerald, 2011: 87).
46
a. Bentuk – bentuk Emosi
Daniel Goleman (1995) dalam Yudrik Jahja
(2011: 190) mengindentifikasi sejumlah kelompok
emosi, yaitu:
1. Amarah, meliputi benci, marah besar, jengkel,
mengamuk, brutal, kesal hati, terganggu, rasa pahit,
tersinggung, bermusuhan, tindak kekerasan, dan
kebencian patologis.
2. Kesedihan, didalamnya meliputi sedih, muram,
suram, melankolis, pedih, mengasihani diri, kesepian,
ditolak, putus asa, dan depresi.
3. Rasa takut, berupa demas, takut, gugup, khawatit,
waswas, perasaan takut sekali, sedih, waspada, tidak
tenang, ngeri, kecut, panik, dan fobia.
4. Kenikmatan, meliputi kebahagiaan, gembira, ringan
puas, riang, senang, terhiburm bangga, kenikmatan
indrawi, takjib, terpesona, puas, rasa terpenuhi,
girang, senang sekali, dan mania.
5. Cinta, berupa penerimaan, persahabatan,
kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat,
kasmaran, dan kasih sayang.
6. Terkejut, meliputi takjub, terpana, dan terkesiap.
7. Jengkel, berupa hina, jijik, mual, muak, benci, tidak
suka, dan mau muntah.
8. Malu, di dalamya meliputi rasa bersalah, mau hati,
kesal hati, menyesal, hina, aib, dan hati hancur lebur.
47
5. Penerimaan
Dalam proses perpindahan ke negara aman,
pengungsi tidak lepas dari proses penerimaan dengan apa
yang ia alami bagaimana menjalani kehidupan di negara
tempatnya berada. Penerimaan diri menurut Hurlock
(1973) adalah suatu tingkat kemampuan dan keinginan
individu untuk hidup dengan segala karakteristik dirinya.
Individu yang dapat menerima dirinya diartikan sebagai
individu yang tidak bermasalah dengan dirinya sendiri,
yang tidak memiliki beban perasaan terhadap diri sendiri
sehingga individu lebih banyak memiliki kesempatan
untuk beradaptasi dengan lingkungan. Penerimaan
merupakan dasar bagi setiap orang untuk dapat menerima
kenyataan hidup, semua pengalaman baik atau buruk.
Penerimaan ditandai dengan sikap positif, adanya
pengakuan atau penghargaan terhadap nilai-nilai
individual tetapi menyertakan pengakuan terhadap
tingkah lakunya (Kubler Ross, 1969).
Kubler Ross (1969) mendefinisikan sikap
penerimaan (acceptance) terjadi bila seseorang mampu
menghadapi kenyataan daripada hanya menyerah pada
tidak adanya harapan. Menurut Kubler Ross (dalam teori
Kehilangan/Berduka), sebelum mencapai pada tahap
penerimaan individu akan melalui beberapa tahapan
yakni, tahap denial, anger, bargainning, depression, dan
acceptance.
48
1. Tahap denial (penolakan) Penolakan biasanya
hanyalah pertahanan sementara bagi individu.
Perasaan ini umumnya diganti dengan kesadaran yang
tinggi tentang saat seseorang dihadapkan dengan
beberapa hal seperti pertimbangan keuangan, urusan
yang belum selesai dan kekhawatiran mengenai
kehidupan anggota keluaraga lain nantinya.
2. Tahap anger (marah) “Mengapa aku? Ini tidak adil.
Bagaimana bisa ini terjadi padaku.” Setelah berada
ditahap kedua, individu mengakui bahwa penolakan
tidak dapat dilanjutkan. Karena rasa marah, membuat
orang sangat sulit untuk peduli. Banyak invidu yang
melambangkan kemarahan dalam kehidupan dengan
tunduk pada kebencian dan kecemburuan.
3. Tahap bargainning (tawar-menawar) Tahap ketiga ini
melibatkan harapan bahwa entah bagaimana individu
dapat menunda sesuatu. Pada tahapan ini individu
bernegoisasi untuk kehidupan yang lebih panjang
dengan mempertimbangkan informasi-informasi yang
di dapatkan. Biasanya, negosiasi ini diperpanjang
dengan kekuatan yang lebih besar dalam pertukaran
gaya hidup.
4. Tahap depression (depresi) Selama tahap keempat ini,
individu mulai memahami kepastian, karena hal inilah
individu mungkin menjadi lebih banyak diam,
menolak orang lain dan menghabiskan banyak waktu
untuk menangis dan berduka. Proses ini
49
memungkinkan orang untuk melepaskan diri dari rasa
cinta dan kasih sayang. Tidak dianjurkan untuk
mencoba menghibur individu yang berada pada tahap
ini. Ini adalah waktu yang penting dalam berduka
yang memerlukan proses.
5. Tahap acceptance (penerimaan). Pada tahapan ini,
individu mulai hadir dengan kedamaian dan rasa cinta.
Individu mulai menerima kenyataan-kenyataan yang
terjadi di dalam hidupnya.
50
C. Pengungsi Anak
a. Pengungsi Anak
Pengungsi anak sama halnya dengan anak – anak
lainnya. Dalam Konvensi Hak – Hak Anak (KHA)
(UNICEF Indonesia, 2003: 59): “Anak di definisikan
sebagai setiap manusia yang berusia di bawah 18
(delapan belas) tahun, kecuali berdasarkan Undang –
Undang yang berlaku untuk anak – anak, kedewasaan
telah dicapai lebih cepat.” Pada Konvensi 1951 tentang
Status Pengungsi, pengungsi anak memiliki definisi yang
sama dengan pengungsi dewasa yaitu ialah “orang yang
dikarenakan oleh ketakutan yang beralasan akan
penganiayaan, yang disebabkan oleh alasan ras, agama,
kebangsaan, keanggotaan dalam kelompok sosial dan
partai politik tertentu, berada diluar Negara
kebangsaannya dan tidak menginginkan perlindungan
dari Negara tersebut.” (unhcr.org/id/pengungsi, 2019).
Pada definisi KHA dapat menyebabkan
kebingungan karena definisi tersebut menyetarakan anak
dengan “balita”. Definisi kamus mengenai “anak”, dilain
pihak adalah seseorang yang belum mencapai pubertas
atau kematangan seksual. Seseorang yang bukan lagi
anak – anak tetapi juga bukan dewasa adalah remaja atau
perempuan atau laki – laki muda (UNHCR, 1994: 25 –
26). WHO menetapkan usia 10 sampai 20 tahun sebagai
batasan usia remaja yang dibagi menjadi dua bagian
yaitu remaja awal 10 – 14 tahun dan remaja akhir 15 – 20
51
tahun. Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) sendiri
menetapkan usia 15 – 24 tahun sebagai usia pemuda
(youth) (Sanderowitz & Paxman, 1985; Hanifah, 2000
dalam Sarlito W. Sarwono, 1989: 12). Sedangkan,
Hurlock (1990), membagi masa remaja menjadi masa
remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa
remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 18 tahun) (Yudrik
Jahja, 2013: 221). Sehingga secara hukum dan merujuk
pada KHA, remaja berusia dibawah 18 tahun disebut
sebagai anak – anak namun sesuai perkembangannya
mereka juga disebut sebagai remaja.
Pengungsi anak merupakan anak dengan masalah
sosial yang berada dalam kondisi rawan. Anak dengan
kondisi rawan adalah sekelompok anak – anak yang
karena situasi, kondisi, dan tekanan menyebabkan hak –
hak mereka belum atau tidak terpenuhi, atau bisa sampai
dilanggar. Secara konseptual, anak – anak rawan disebut
dengan istilah Children in Need of Special Protection
(CNSP) atau anak – anak yang membutuhkan
perlindungan khusus (Bagong Suyanto, 2010: 4 – 5).
Sehingga, pengungsi anak merupakan anak yang
dilindungi dan harus dipenuhi hak – haknya dalam upaya
mencapai kesejahteraan anak sesuai dengan KHA.
52
1967, pengungsi anak memiliki status yang sama dengan
pengungsi dewasa. Adapun pernyataan tersebut,
diantaranya:
a. Seorang anak yang “memiliki ketakutan beralasan
akan dianiaya” karena salah satu alasan disebut
sebagai pengungsi.
b. Sesuai dengan prinsip non – refoulement, bahwa
seorang anak yang telah memegang status sebagai
pengungsi tidak boleh dipaksa pulang ke negara
asalnya, dan
c. Tidak ada pembedaan antara pengungsi anak dengan
pengungsi dewasa dalam kesejahteraan sosial dan
hak – hak hukum (UNHCR, 1994: 17 – 18).
53
1967, sehingga penanganan untuk pengungsi belum
dilakukan secara maksimal dan tanpa perlindungan
hukum yang memadai. Namun pada praktiknya, Indonesia
menangani pengungsi atas dasar Deklarasi Umum Hak
Asasi Manusia (HAM) yang ditangani Imigrasi dengan
bantuan dari UNHCR perwakilan Indonesia yang
memberikan penentuan status pencari suaka dan
pengungsi sesuai ketentuan Internasional untuk negara
bukan peserta Konvensi. Karena Indonesia bukan negara
peserta konvensi, hal ini menjadikan Indonesia bukanlah
negara penerima suaka dan menjadi tempat tujuan terakhir
pengungsi sehingga penanganan yang diberikan hanya
berupa pelayanan dasar dan keperluan pokok yang
dibutuhkan pengungsi melalui kerja sama dengan lembaga
internasional yang bergerak di bidang kemanusiaan
seperti International of Migration (IOM), UNICEF, Save
The Children, dan beberapa organisasi lokal lainnya
(hukumonline.com, 2018).
54
BAB III
61
3. Mendampingi keluarga untuk mendapat
pemecahan yang tahan lama. Memastikan bahwa
anak – anak mempunyai informasi mengenai
situasi mereka saat ini, hak – hak dan tanggung
jawab dan kemungkinan mendapatkan solusi yang
jangka panjang merupakan hal penting bagi
kesejahteraan psikososial anak.
62
perhatian yang cukup untuk perkembangan yang
sehat dari para balita sehingga fasilitas pemberian
ASI harus difasilitasi.
4. Intervensi. Semakin besar trauma atau stres yang
di derita orang tua atau wali akan berpotensi besar
terhadap penelantaran dan penyiksaan anak.
Walaupun anak – anak mendapatkan perhatian
dari orang lain, akan tetap beresiko
penyalahgunaan dan pelanggaran hak anak.
Intervensi berupa konseling dan dukungan perlu
dilakukan untuk mencegah terjadinya penyiksaan
dan memberikan pengertian mengenai perawatan
yang baik dalam melindungi hak – hak anak.
5. Hak untuk berpartisipasi. Dalam KHA dinyatakan
bahwa setiap anak mempunyai hak untuk
mengekspresikan pandanganya dengan bebas
dalam seluruh masalah yang mempengaruhinya.
Hubungan antara hak berpartisipasi dan
kesejahteraan psikososial adalah saat anak
mengalami depresi, cemas, atau marah karena
dampak dari pengungsian yang mana hak untuk
berpartisipasi mungkin menghilang sehingga anak
akan kesulitan dalam memproses informasi dan
membuat keputusan yang realistis yang membuat
anak kurang berfungsi dalam memenuhi
kebutuhan dirinya. Konseling untuk mengurangi
63
stres akan dibutuhkan bagi anak sehingga mereka
bisa menyampaikan aspirasinya.
6. Kelompok pendukung. Mendorong terbentuknya
kelompok pendukung dimana anak – anak
mempunyai kesempatan untuk membicarakan
masalah dan cara penyelesaiannya.
64
karena tidak adanya salah satu orang tua akan
menambah beban dan stres pada keluarga.
3. Dukungan keluarga. Memberikan prioritas untuk
membantu orang tua dan wali anak lainnya untuk
memenuhi kebutuhan emosional dan
perkembangan anak – anak mereka. Keluarga
membutuhkan usaha dalam menjaga atau
membangun kembali.
4. Orang tua tunggal. Bantuan tambahan diberikan
kepada keluarga – keluarga dengan satu orang tua
dalam perawatan anak seperti misalnya seorang
ayah yang tidak terbiasa melakukan tugas – tugas
rumah tidak dapat memberi makan anak – anaknya
dengan benar.
5. Orang tua yang terisolasi. Memberikan bantuan
kepada keluarga yang terisolasi secara sosial untuk
memenuhi kebutuhan perkembangan anak –
anaknya. Terisolasi yang dimaksud disini ialah
tempat tinggal mereka yang jauh dari pengungsi
lain dan pelayanan masyarakat, dan kendala
bahasa.
6. Jaringan bantuan kepada orang tua. Orang tua
dapat diorganisir untuk mendampingi satu sama
lain dalam perawatan anak.
7. Mempersiapkan reuni keluarga. Konseling dapat
membantu orang tua untuk mengetahui dan
mengerti apa yang telah dilalui anak – anak,
65
menangani perilaku yang sulit, dan bagaimana
cara membantu mereka ketika mereka bertemu
setelah terpisah.
66
mengembangkan keahilan sosial mereka. Guru –
guru dapat dilatih untuk mengenali tanda – tanda
masalah emosional dan membantu anak – anak
dalam membicarakannya.
5. Penerimaan masyarakat. Rekonsiliasi masyarakat
perlu dilakukan agar anak – anak dapat diterima di
lingkungan tempat tinggalnya.
67
BAB IV
68
Pengungsi anak diberikan pelajaran – pelajaran yang ada
di sekolah umum di Indonesia serta diajarkan bahasa
Indonesia agar anak dapat menyesuaikan diri dan
berinteraksi baik dengan masyarakat Indonesia serta untuk
mempersiapkan mereka untuk memasuki sekolah dari
jenjang SD sampai dengan SMA sehingga mereka tidak
kehilangan hak mereka untuk menempuh pendidikan dan
membuat kehidupan mereka di negara transit menjadi
lebih bermanfaat dengan menjalankan rutinitas sebagai
anak pada umumnya. Selain kegiatan belajar dan bermain
di sekolah, SFR juga rutin mengadakan kegiatan di luar
lingkungan sekolah dengan mengajak anak – anak
pengungsi mengunjungi tempat – tempat edukatif dan
rekreatif sebagai bagian dari kegiatan belajar sekaligus
berwisata. SFR juga mengadakan kegiatan yang
berkolaborasi dengan organisasi lain untuk
mempertemukan anak – anak pengungsi dan anak – anak
lokal agar mereka bisa saling membuka diri dan mengenal
satu sama lain melalui interaksi yang nantinya dapat
diterapkan di lingkungan sekitar tempat tinggal mereka
masing – masing (Ibu Fitri Setya Wahyuningsih, 2019).
Berikut ini jumlah pengungsi anak da nasal negara yang
menjadi murid di SFR Jakarta:
69
No. Asal Negara Jumlah
1. Afghanistan 12 anak
2. Eritrea 39 anak
3. Ethiopia 9 anak
Total = 60 anak
Tabel 4.1. Jumlah Murid SFR Dompet Dhuafa (Sumber: Hasil olah data
studi dokumentasi dari Kepala Sekolah SFR Dompet Dhuafa Bapak Sidik
Eka Hermawan.)
70
B. Kondisi Psikososial Pengungsi Anak di School for
Refugees (SFR) Jakarta
2. Informan Kedua
Nama : MNA
Usia : 17 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Asal negara : Ethiopia
Lama di Indonesia : Empat tahun
3. Informan Ketiga
Nama : MIA
Usia : 16 tahun
Jenis kelamin : Laki – laki
Asal negara : Ethiopia
Lama di Indonesia : Empat tahun
71
4. Informan Keempat
Nama : WA
Usia : 15 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Asal negara : Afghanistan
Lama di Indonesia : Dua tahun enam bulan
72
a. Penyesuaian Diri
73
bersekolah di PKBM empat tahun yang lalu. NMK
menceritakan pengalaman diskriminasinya dengan
ekspresi yang sudah terbiasa dengan perilaku orang –
orang disekitarnya tersebut dan mencoba menjelaskan
kepada peneliti bahwa dirinya tidak memiliki kulit hitam
tetapi bewarna coklat sambil menunjukkan warna kulit di
lengannya. Terkadang, NMK merasakan kesedihan yang
diungkapkannya kepada peneliti ketika terlalu sering
mendapatkan perlakuan diskriminasi karena perbedaan
warna kulitnya itu. Karena perasaan sedihnya, NMK
pernah menyerah untuk tidak ingin melanjutkan sekolah.
NMK selalu menyebutkan berulang – ulang mengenai
bagaimana orang lain mendiskriminasi warna kulitnya
yang menurutnya ia tidaklah memiliki kulit berwarna
hitam (NMK, 2019).
74
bisa menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) karena ia
merasa aman dengan kondisi Indonesia yang aman dan
tidak ada yang mengancamnya seperti yang pernah alami
di negaranya (NMK, 2019).
Disamping selama enam tahun menyesuaikan diri
dengan Indonesia dan perlakuan diskriminasi yang
diterimanya, NMK menyatakan bahwa ia hanya butuh dua
tahun untuk belajar bahasa Indonesia secara otodidak dan
juga dibantu oleh Ibu Fitri pengajar SFR Dompet Dhuafa
(NMK, 2019). Dari hasil observasi yang peneliti lakukan,
NMK sudah cukup lancar berbicara bahasa Indonesia
sehingga dapat berinteraksi dengan orang – orang di
sekitar untuk melakukan kegiatan sehari – harinya selama
di Indonesia.
75
“New country, new language, new culture. Everything
was new for me. Even the language I couldn’t understand
because it was difficult for me to go out and buy
something” (MNA, 2019).
“They just keep asking at first but now they already know.
I used to them and now they are not asking anymore. They
already see me everyday.”(MNA, 2019).
81
karena statusnya yang sebagai pengungsi, ia tidak bisa
membela dirinya dan hanya bisa diam (WA, 2019).
82
WA dan adiknya tetapi ibunya juga pernah dilempari batu
oleh sekumpulan orang lokal dan berteriak bahwa ini
adalah negara kami dan pengungsi seperti tidak boleh ada
di Indonesia dan menyatakan bahwa mereka bebas
melakukan apapun untuk menyakiti pengungsi.
Pengalaman lain yang dialaminya ialah ketika kaki
adiknya dilindas motor oleh anak yang lewat di depan
rumahnya yang membuat adiknya bertengkar dan
bersembunyi di kamar mandi ketika anak tersebut
mengejarnya sampai kedalam rumah (WA, 2019).
84
cukup sulit. Selain karena perbedaan bahasa dan ia harus
mulai mempelajari bahasa Indonesia dari awal karena
sebelumnya ia tidak mempelajarinya di Bogor sehingga
ketika sampai di Jakarta ia mencoba mendaftarkan diri di
kelas bahasa di SFR untuk bisa lancar bahasa Indonesia
dan saat ini masih berusaha belajar bahasa Indonesia
dengan bantuan dari ibu Fitri dan dari teman – temannya
di PKBM (WA, 2019).
b. Interaksi Sosial
85
adalah orang yang ramah dan suka diajak berbicara dengan
menggunakan bahasa Indonesia dengan orang yang baru
dikenalnya. NMK senang bisa berinteraksi dengan orang
Indonesia yang mau mengajaknya berbicara terutama
dengan orang yang baru dikenalnya (NMK, 2019). Hal ini
juga dibuktikan pada pengamatan yang peneliti lakukan,
NMK merupakan pengungsi yang terbuka dan suka
berbicara dan berbagi cerita kepada orang baru. Banyak
cerita yang diluar dari proses wawancara yang diceritakan
oleh NMK mengenai perkembangan pengungsi di luar
negeri.
88
bertemu dengan pengungsi dari Afghanistan yang tidak
seperti di Cisarua. WA lebih akrab berinteraksi dengan
pengungsi Afghanistan karema mereka saling mengerti
keadaan dengan latar belakang mereka yang sama. WA
juga masih sering melakukan kontak via telepon untuk
menanyakan kabar kerabatnya yang ada di Bogor
membicarakan perkembangan masing – masing (WA,
2019).
89
lima bulan atau satu tahun sekali karena mereka tinggal
jauh dari sini) (Terjemah oleh Riska Hariyana).
90
berinteraksi dengan orang lain dengan menggunakan
ekspresi wajah dan gerak – gerik tubuh yang senang yang
mengartikan bahwa mereka tidak menutup diri dengan
orang – orang yang ingin mengajaknya berbicara.
c. Dukungan Sosial
91
just watch Youtube to forget my problems here.” (MNA,
2019).
d. Masalah Psikososial
Setelah membahas aspek- aspek psikososial untuk
mengetahui kondisi psikososial pengungsi anak,
selanjutnya, peneliti membahas masalah psikososial yang
dialami. Dalam mengetahui masalah psikososial keempat
pengungsi anak, peneliti memfokuskan masalah
psikososial yang paling banyak dialami pengungsi anak
dari penelitian terdahulu yang telah dilakukan dan juga
dari hasil observasi awal peneliti ialah masalah
psikososial seperti stres, depresi, dan keputusasaan. Setiap
subjek pernah mengalami satu dari ketiga masalah
psikososial tersebut.
Pada hasil observasi dan wawancara yang
dilakukan, masalah psikososial pengungsi anak yang
dialami ialah keputusasaan. Keempat pengungsi anak
(NMK, MNA, MIA, dan WA) pernah dan sering
mengalami rasa keputusasaan karena ketidakpastian
94
kapan mereka akan dikirimkan ke negara ketiga untuk
bisa memulai kehidupan baru yang lebih layak dan
mendapatkan hak – hak untuk memiliki pendidikan dan
pekerjaan secara resmi sebagai warga negara. Mereka
merasa ia tidak memiliki masa depan di Indonesia karena
Indonesia bukan merupakan negara peserta Konvensi
1951 sehingga tidak mengizinkan pengungsi untuk
memiliki pendidikan yang layak dan pekerjaan untuk
memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka masing –
masing yang mana saat ini mereka hanya mendapatkan
uang bulanan dari CWS yang tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari. Ketiga informan
mengatakan hanya bisa bersekolah di PKBM menjadi
murid titipan. Mereka sama – sama menjelaskan dengan
penuh harapan kapan mereka akan bisa diterima di suatu
negara at dikirimkan ke negara ketiga. Ekspresi mereka
menjelaskan tentang keputusasaan yang dirasakan masing
– masing ialah beragam seperti sedih dan perasaan
berharap ingin cepat memulai kehidupan yang baru (Hasil
observasi dan wawancara dengan keempat pengungsi,
2019)
NMK dan MNA menjelaskan rasa putus asanya
dengan penuh keseriusan tentang kebijakan Indonesia
yang tidak bisa mengizinkan para pengungsi untuk
mengakses hak mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup
mereka selama tinggal di Indonesia (NMK dan MNA,
2019).
95
“If we sit in Indonesia, we don’t have a future. Kenapa
kita ga punya masa depan karena disini pengungsi ngga
bisa kerja, ngga bisa belajar, ngga bisa masuk kuliah ke
university jadi apa? Meaningless.” (NMK, 2019).
96
ibunya yang tidak menyukai kehidupan di Indonesia.
Ibunya yang juga memiliki masalah kesehatan karena
traumanya, harus rutin melakukan pemeriksaan oleh
dokter membuatnya ikut merasakan kesedihan yang
dialami oleh ibunya yang sering mengeluhkan ingin
kembali ke Afghanistan karena lebih baik disana dengan
keluarganya yang lain (WA, 2019). Ketika menjelaskan,
ekspresi wajah WA sedih mengingat kehidupannya di
Indonesia selama dua tahun terakhir.
99
“Yeah of course I had. I was depressed when I didn’t go
to Indonesia school. Six months I was really depressed,
now I’m a little bit good because now I’m busy and
learning Bahasa Indonesia. When we are busy with going
to school we don’t feel any depression and stress.” (WA,
2019).
100
sleep, I think about my life sometimes, not every day.”
(NMK, 2019).
101
dengan siapapun meskipun dengan keterbatasan beberapa
pengungsi untuk berbicara bahasa Indonesia. Ketiga, pada
aspek dukungan sosial yang diterima oleh pengungsi anak
ialah diterima dengan cara yang berbeda – beda
bergantung dengan masalah yang mereka hadapi.
Keempat, setiap pengungsi anak juga pernah mengalami
masalah psikososialnya sendiri yang diantaranya stres
ketika pengungsi anak tidak memiliki aktivitas atau
kegiatan diluar rumah dan rasa putus asa mengenai masa
depan mereka yang tidak pasti kapan mereka akan
dikirimkan ke negara ketiga untuk mendapatkan hak – hak
mereka sebagai Warga Negara yang menjadi tujuan
mereka keluar dari negara asalnya.
102
BAB V
103
mereka harus menunggu sehingga pada permasalahan yang
dibahas dan temuan yang ada dalam penelitian ini, peneliti
membahas kondisi psikososial pengungsi anak di SFR
secara keseluruhan bagaimana mereka menjalani kehidupan
mereka tersebut. Setiap aspek psikososial yang dibahas
peneliti merupakan hal yang berkesinambungan dalam
mengetahui kondisi psikososial mereka di Indonesia.
Pengungsi anak memiliki kondisi yang berbeda – beda
ketika berada di tempat baru setelah melakukan
perpindahan. Aspek psikososial yang digunakan berasal
teori penyesuaian diri, interaksi sosial, dan dukungan sosial
serta menggunakan teori stres, depresi, dan putus asa dalam
mengetahui kondisi psikososial pengungsi anak. Berikut ini
adalah pembahasan dari hasil temuan data yang telah
peneliti susun.
104
kehidupan sosial di Indonesia dengan menjalin relasi
dengan masyarakat sekitar serta mengikuti program SFR
Dompet Dhuafa untuk mendapatkan pengajaran lebih
mengenai bahasa Indonesia serta budaya dan kebiasaan
orang Indonesia.
Pada kerangka teori yang telah disusun pada bab II
mengenai penyesuaian diri yang dikemukakan Mohammad
Ali dan Mohammad Asrori (2004), keempat pengungsi anak
dapat menyesuaikan diri dengan baik yang ditandai dengan
kemampuan dari keempat pengungsi anak yang dapat
mengatasi masalah penyesuaian diri seperti bahasa dan
sikap orang Indonesia terhadap pengungsi yang mana
pengungsi anak dapat mengatasi ketegangan dan konflik
antara diri dan lingkungan mereka sehingga penyesuaian
diri yang mereka lakukan dilakukan dengan cara yang
matang, mengeluarkan tenaga dan waktu yang sesuai,
memuaskan dan dapat mengatasi kesulitan pribadi seperti
bullying dan kesulitan belajar bahasa Indonesia. Sehingga,
penyesuaian diri yang dilakukan pengungsi anak juga
dilakukan tanpa mengubah perilaku yang menyimpang dari
nilai – nilai moral dan kebiasaan yang ada Indonesia.
Setiap penyesuaian diri yang dilakukan pengungsi
anak memiliki proses. Dalam mengetahui proses
penyesuaian diri tersebut, peneliti menggunakan teori yang
dikemukakan Schneiders (1984) yang melibatkan tiga
unsur, yaitu:
105
1) Motivasi; keempat pengungsi anak memiliki motivasi
selama melakukan penyesuaian diri. Mereka memiliki
keinginan untuk lancar bicara bahasa Indonesia untuk
bisa melakukan aktivitas seperti sekolah yang
mengharuskan mereka bisa mengerti dan lancar bahasa
Indonesia, serta berinteraksi dengan orang Indonesia
dalam melakukan aktivitas sehari – hari mereka.
2) Sikap terhadap realitas; penyesuaian diri yang dilakukan
keempat dilakukan karena sebuah keharusan yang mana
mereka yang sampai di Indonesia dan harus menunggu
waktu dengan jangka waktu yang tidak pasti sehingga
mengharuskan mereka untuk melakukan penyesuaian
diri sesuai dengan lingkungan dimana mereka berada.
3) Pola dasar penyesuaian diri; pada proses ini, setiap
pengungsi memiliki pola penyesuaian diri yang berbeda.
Hal tersebut berbeda karena mereka menilai keadaan
dan menyesuaikan diri sesuai dengan kemampuan dan
kapasitas dirinya, yang mana pada NMK lebih cepat
dalam memahami dan mengerti bahasa Indonesia karena
kemampuan dirinya yang cepat dalam menangkap
pelajaran bahasa Indonesia di SFR. Hal ini berbeda
dengan MNA yang memiliki cara berbeda dalam belajar
bahasa Indonesia dengan perlahan sehingga proses
penyesuaian dirinya lebih membutuhkan waktu lebih
lama dibandingkan dengan NMK. Selanjutnya MIA
yang sudah mampu berbahasa Indonesia memiliki pola
penyesuaian diri dengan mencoba menjalin relasi sosial
106
dengan orang Indonesia yang mengajarinya bahasa
Indonesia. Pengungsi anak (WA) yang baru enam bulan
berada di Jakarta memiliki pola penyesuaian diri dengan
belajar di SFR dan berteman dengan teman – teman
Indonesia di sekolah PKBM. Namun, keempat
pengungsi memiliki persamaan dalam pola penyesuaian
mereka yaitu mereka belajar bahasa Indonesia di SFR
untuk menjalin relasi sosial dengan masyarakat
Indonesia.
108
pada bab II, terdapat empat jenis dukungan sosial, yaitu
dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan
instrumental, dan dukungan informasi. Pada hasil observasi
dan wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti yang
pertama mengenai dukungan emosional ialah dari keempat
pengungsi anak, hanya dua yang menjelaskan bahwa
mereka mendapatkan dukungan sosial dari orang tua
mereka. Sedangkan NMK dan MNA tidak mendapat
dukungan emosional dari lingkungan sekitarnya dan hanya
bisa menyemangati dirinya sendiri.
Selain dukungan emosional, keempat pengungsi anak
mendapatkan dukungan instrumental yang mana dukungan
instrumental yang diterima berupa penyediaan tempat
belajar untuk para pengungsi anak di SFR. Program SFR
memberikan kesempatan kepada pengungsi anak untuk
bersekolah dengan menyediakan fasilitas dan kelas yang
ingin diikuti sehingga pengungsi anak yang tidak memiliki
hak pendidikan atau tidak memiliki aktivitas harian yang
tetap dapat terbantu dengan SFR dan dapat membuat
pengungsi anak termotivasi dengan fasilitas yang diberikan
SFR sehingga mereka bisa memiliki aktivitas dengan
bersekolah. Fasilitas yang ada didalamnya terdapat kelas
Dompet Dhuafa, kelas PKPU, dan kelas komputer. SFR
Dompet Dhuafa menyediakan fasilitas penunjang kegiatan
belajar mengajar dan juga memberikan penyediaan alat –
alat dan seragam sekolah bagi pengungsi yang sudah masuk
ke sekolah PKBM. Selain itu, dengan adanya program SFR
109
Dompet Dhuafa, pengungsi anak di berikan fasilitas dalam
menyesuaikan diri dengan mempelajari bahasa Indonesia,
mengetahui kebiasaan dan kehidupan sosial di Indonesia.
Selain itu, program ini merupakan program untuk
pengungsi anak dalam bidang pendidikan yang mana dalam
hal ini mereka tidak memiliki hak untuk memiliki
pendidikan formal sehingga Dompet Dhuafa memberikan
mereka kesempatan belajar menambah pengetahuan seperti
anak – anak sekolah formal di Indonesia. Karena
ketidakpastian waktu tunggu untuk penempatan ke negara
ketiga, pengungsi anak dapat belajar dan mengurangi rasa
keputusasaannya karena mereka tidak memiliki hak untuk
menetap di Indonesia yang bukan peserta Konvensi
Pengungsi tahun 1951. Keempat pengungsi anak yang tidak
semuanya mendapatkan dukungan sosial berupa emosional
mampu mengatasinya dengan memberikan motivasi kepada
diri sendiri.
110
kesejahteraan anak. Kedua, sebagai pendampingan tindakan
perbaikan khusus yang diperlukan untuk memastikan bahwa
anak yang telah dirugikan atau mempunyai kebutuhan –
kebutuhan tertentu diberikan pendampingan yang menjamin
pemulihan si anak. Dari hasil temuan data yang telah
dilakukan, masalah psikososial yang dialami pengungsi dari
pertama kali tiba sampai saat ini dialami pengungsi anak
ialah rasa keputusasaan karena tidak mengetahui nasib masa
depan mereka. Menurut Fitria (2013) keputusasaan
dihubungkan merupakan status emosional yang
berkepanjangan dengan keadaan subjektif seseorang
individu yang melibatkan keterbatasan atau tidak adanya
alternatif atau pilihan pribadi yang tersedia dan tidak dapat
memobilisasi energi yang dimilikinya. Keputusasaan adalah
kondisi umum yang dialami setiap orang dalam hidupnya
apabila ia merasa kurang mampu memandang dan
menjalankan kehidupannya ke arah yang lebih baik dan
berfokus pada batas kemampuannya. Adapun tanda dan
gejala keputusasaan individu yang ditunjukkan oleh
keempat pengungsi anak ialah ungkapan individu tentang
situasi kehidupan tanpa harapan ketika mereka tidak
memiliki aktivitas dan kegiatan sehari – hari dan juga tidak
dapar mengakses hak mereka karena Indonesia bukan
peserta Konvensi Pengungsi 1951 sehingga Indonesia tidak
berada dibawah ketetapan internasional tersebut dalam
menangani pengungsi. Hasil wawancara yang sudah
dijelaskan pada bab IV menunjukkan bahwa keempat
111
pengungsi anak di Indonesia menceritakan tentang
keputusasaaannya ketika tidak memiliki aktivitas dan
ketidakpastian kapan mereka harus menunggu di Indonesia
yang membuat anak kehilangan masa depan untuk menjadi
seperti anak lainnya yang bisa bersekolah formal dan
sampai perguruan tinggi serta bisa diizinkan bekerja untuk
memenuhi kebutuhannya sehari – hari secara mandiri.
Sehingga dalam hal ini, rasa putus asa akan terus
menghampiri mereka ketika mereka sedang dalam keadaan
tidak melakukan aktivitas apapun dirumah dan mulai
memikirkan kehidupan dan masa depan mereka.
112
Pengungsi Perasaan Perasaan di Perasaan
anak berkategori level tengah berkategori
kuat ringan
Merasa Kurang
tidak adil nyaman
Sedih
114
acceptance yang mana selama perlakukan tersebut,
NMK sudah menerimanya meskipun terkadang merasa
sedih karena terus – menerus di diskriminasi.
2. MNA hanya melewati tahap acceptance yang mana
MNA bersyukur dengan kondisinya saat ini meskipun
dengan berbagai hambatan yang dialaminya.
3. MIA melewati tahap acceptance, depression,
bargaining dan. Menjalankan kehidupan di Indonesia
dengan hak – hak terbatas juga sudah diterima oleh MIA
yang mana dalam hal ini tahap acceptance ini sudah
mulai diterima oleh MIA ketika pertama kali tiba di
Indonesia. Pada tahap setelahnya yaitu depression, MIA
pernah merasa kesulitan dan stress karena tidak
memiliki teman dan tidak bisa berbahasa Indonesia
ketika sampai di Indonesia yang kemudian dilewatinya
dengan baik. Dalam tahap bargaining, ketika MIA
sudah lancar dalam berbahasa Indonesia dan sudah
masuk ke sekolah PKBM, MIA yang pernah
didiskriminasi karena warna kulit dan rambutnya dan
juga belum mendapatkan teman saat itu menerima
masukkan tersebut dan mempertimbangkan dirinya agar
menjadi lebih baik untuk bisa berbaur dengan
lingkungannya.
4. WA mengalami tahap anger, depression, dan
acceptance. Pada tahap anger, WA mengalami tahap ini
dimana dalam penyesuaian diri yang dilakukannya di
Indonesia sering mengalami perlakuan buruk karena
115
kebangsaan WA sebagai orang Afghanistan dan juga
statusnya sebagai pengungsi ketika tinggal di Bogor
yang membuatnya merasa tidak diperlakukan adil
sebagai manusia. Namun kemudian melewati tahap
acceptance untuk menerima perlakuan orang Indonesia
dengan dirinya. Pada tahap depression dialaminya
ketika mulai pindah ke Jakarta karena tidak bisa
berbahasa Indonesia dan tidak memiliki kegiatan
sehingga membuatnya merasa stres dan depresi selama
enam bulan yang kemudian dapat dilewati dengan
melakukan kegiatan di SFR Jakarta untuk belajar
Bahasa Indonesia dan saat ini sudah bersekolah di
PKBM.
117
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan rangkaian penelitian yang telah
dilakukan oleh peneliti mengenai kondisi psikososial
pengungsi anak di SFR Jakarta melalui observasi,
wawancara, dan studi dokumentasi, maka penulis
menyimpulkan sebagai berikut:
Kondisi psikososial pengungsi anak di SFR berada
dalam kondisi baik yang dilihat dari: (1) penyesuaian diri
yang dilakukan sesuai dengan tuntutan lingkungan sosial
di Indonesia diantaranya mempelajari bahasa dan mampu
bertingkah laku meskipun dengan beberapa tekanan
perilaku yang diterima dari lingkungan Indonesia
sehingga perilaku yang ditunjukkan akan berbeda. Proses
penyesuaian diri pengungsi anak dilakukan dengan proses
yang berbeda – beda; (2) interaksi sosial yang dilakukan
secara terbuka dan tidak menarik diri dengan orang –
orang yang baru dikenal baik dengan pengungsi maupun
dengan orang Indonesia; (3) dukungan sosial yang
didapatkan bergantung pada kebutuhan dukungan yang
diperlukan dan yang diterima dalam mengatasi masalah
yang dihadapi oleh anak; dan (4) rasa putus asa yang
dialami pengungsi anak dalam menghadapi situasi tanpa
kejelasan masa depan belum dapat diatasi untuk jangka
118
panjang dan bisa kembali kapanpun bergantung pada
kondisi yang dihadapi selama tinggal di Indonesia. Dalam
penerimaan keempat pengungsi anak terhadap kehidupan
di Indonesia, proses penerimaan dilakukan dengan
tahapan yang berbeda – beda dan semuanya melewati
tahap acceptance dengan baikyaitu dengan kondisi
kehidupan dan kesulitan mereka yang berbeda - beda.
Status Indonesia yang bukan bagian dari Peserta
Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 memiliki
kaitan dengan kondisi psikososial pengungsi anak karena
keterbatasan akses terhadap hak yang berisiko pada
kesejahteraan psikososial mereka. Dalam mendukung
kesejahteraan psikososial pengungsi anak, SFR Dompet
Dhuafa telah berkontribusi melindungi kesejahteraan
psikososial anak sebagai tujuan pencegahan yang
dilakukan dengan memberikan fasilitas belajar bahasa
Indonesia dan akses pendidikan ke sekolah PKBM. SFR
sebagai program penunjang dalam pemenuhan kebutuhan
pendidikan pengungsi anak berupaya meningkatkan
kesejahteraan psikososial pengungsi anak selama masa
tunggu yang tidak pasti di Indonesia.
B. Implikasi
Setiap penelitian yang dilakukan pastinya
memiliki manfaat. Hasil dari penelitian yang telah
dilakukan oleh peneliti mengenai kondisi psikososial
119
pengungsi anak diharapkan dapat memiliki manfaat untuk
semua pihak yang bekerja di bidang yang berhubungan
dengan pengungsi anak secara langsung maupun tidak
langsung. Adapun implikasi yang dapat bermanfaat
kedepannya, yaitu:
1. Kondisi psikososial pengungsi anak di SFR dapat
menjadi panduan bagi pembaca yang bekerja di
bidang pengungsi untuk dapat mengetahui kondisi
psikososial pengungsi anak sehingga mengetahui
upaya pencegahan dan penanganan yang
berhubungan dengan psikososial pengungsi anak.
2. Pengaplikasian teori – teori yang dibahas dalam
bab II bisa di aplikasikan kedalam penelitian
selanjutnya yang membahas tentang pengungsi
terutama yang berkaitan dengan kondisi
psikososial.
3. Menambah wawasan tentang kehidupan pengungsi
anak d Indonesia
4. Menjadi acuan bagi pembaca untuk melakukan
penelitian lebih banyak tentang pengungsi anak
dalam membahas aspek – aspek terkait pengungsi
anak lainnya.
5. Menjadi acuan bagi mahasiswa/i kesejahteraan
sosial untuk meneliti lebih lanjut mengenai
penanganan kondisi psikososial pengungsi anak
yang berkesinambungan dengan penelitian ini.
120
C. Saran
Berdasarkan hasil penelitian mengenai
“Psikososial Pengungsi Anak di School for Refugees
(SFR) Jakarta, peneliti berkenaan untuk mengungapkan
sebagai berikut,
1. Saran untuk para pihak yang memiliki wewenang
dalam kebijakan tentang pengungsi hendaknya para
pemangku kebijakan agar hendaknya merumuskan
kebijakan terkait akses pengungsi anak terhadap hak –
haknya selama masa transit.
2. Saran untuk SFR Dompet Dhuafa, hendaknya
mengoptimalkan pengajaran dan pemberian fasilitas
sekolah yang sudah ada dengan melakukan follow-up
secara terus – menerus terhadap fasilitas yang
diberikan dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan
pengungsi anak.
3. Dengan adanya beberapa keterbatasan dalam
penelitian ini, maka kepada peneliti lain diharapkan
untuk mengadakan penelitian sejenis lebih lanjut
dengan mengambil cakupan penelitian yang lebih luas
maupun yang lebih dalam mengenai kondisi
psikososial dan mengambil narasumber lebih banya,
serta menggunakan rancangan penelitian yang lebih
kompleks sehingga dapat ditemukan hasil yang lebih
optimal dan maksimal dan bisa digeneralisasikan pada
cakupan yang lebih luas mengenai pengungsi anak.
121
DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Buku
123
Yusuf, Syamsu N dan Nani M. Sugandhi. Perkembangan
Peserta Didik Edisi Satu Jakarta: PT Grafindo Persada.
Cet. 1.
B. Sumber Jurnal
C. Sumber Tesis
D. Sumber Skripsi
E. Sumber Website
https://www.dompetdhuafa.org/post/detail/1225/-school-for-
refugees--sarana-asah-keterampilan-pengungsi-rohingya
akses 3 Maret 11.09 WIB
https://www.unhcr.org/id/pencari-suaka akses pada 31 Maret
2019 pukul 21.25 WIB
https://www.unhcr.org/id/pengungsi akses pada 5 Mei 2019
pukul 13.28 WIB
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt597853eb3280a/
ada-masalah-regulasi-penanganan-pengungsi-di-indonesia
akses 21 Mei 2019 pukul 12.39 WIB
https://www.beritasatu.com/nasional/544256/rakorsus-
kemenko-polhukam-bahas-hak-sekolah-1894-anak-
125
pengungsi-asing-di-indonesia akses 25 Mei 2019 19.44
WIB
https://theconversation.com/lsm-dapat-membantu-
pemerintah-melindungi-pengungsi-anak-95841 akses 25
Mei 2019 19.53 WIB
https://www.hrw.org/id/news/2013/06/23/250191 akses pada
27 Mei 2019 20.03 WIB
https://www.dw.com/id/pengungsi-anak-alami-situasi-
traumatis-di-indonesia/a-39157223 akses 30 Mei 2019
12.44 WIB
https://www.unicef.org/indonesia/id/media_25747.html akses
30 Mei 18.49 WIB
https://www.matamatapolitik.com/news-keputusasaan-para-
pencari-suaka-yang-terjebak-di-indonesia/ akses 30 Mei
19.20 WIB
https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/17/09/03/o
vpkdn-komnas-perempuan-pengungsi-perempuan-dan-
anak-rohingya-alami-trauma akses 30 Mei 23.33 WIB
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180403202148-
20-288003/warga-somalia-telantar-disebut-memaksa-
tinggal-di-kalideres akses 30 Mei 2019 23.38 WIB
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/sejuta-anak-
jadi-pengungsi-akibat-konflik-suriah akses 24 Juni 2019
19.08 WIB
https://www.dw.com/id/banyak-anak-pengungsi-alami-
trauma- psikis/a-18829905 akses 24 Juni 19.37 WIB
https://www.dw.com/id/anak-anak-jadi-korban-utama-perang-
di-suriah/a-18313583 akses 28 Juni 2019 11. 29 WIB
http://rri.co.id/post/berita/505223/nasional/penanganan_pengu
ngsi_di_indonesia_terbentur_regulasi.html akses 28 Juni
16.44 WIB
126
https://www.merdeka.com/peristiwa/krisis-global-unhcr-akui-
penempatan-imigran-ke-negara-ketiga-sulit.html akses 2
Juli 2019 08.25 WIB
https://www.radarcirebon.com/potret-nasib-para-imigran-dan-
pencari-suaka-di-indonesia.html akses 2 Juli 2019 08.39
WIB
https://www.matamatapolitik.com/pasar-minggu-baru-rumah-
bagi-para-pengungsi-afrika-timur/ akses 3 Juli 2019 13.53
WIB
https://www.matamatapolitik.com/pengungsi-di-indonesia-
diminta-untuk-berbaur-tapi-tidak-untuk-tinggal-
selamanya/ akses 3 Juli 2019 14.27 WIB
https://www.voaindonesia.com/a/meski-belum-ratifikasi-
konvensi-indonesia-tetap-diminati-
pengungsi/3740633.html akses 3 Juli 16.55 WIB
https://www.gatra.com/detail/news/422727/international/unhc
r-ungkap-ada-14000-pengungsi-dari-luar-negeri-di-
indonesia akses 4 Juli 2019 15.08 WIB
https://news.detik.com/berita/d-4412648/unhcr-harap-
indonesia-izinkan-pengungsi-cari-pemasukan akses 4 Juli
2019 20.35 WIB
https://exchanges.state.gov/non-us/adjusting-new-culture
akses 4 Juli 21.19 WIB
https://jakartaglobe.id/context/refugees-go-home-or-wait-
years-for-resettlement akses 13 Juli 2019 16.50 WIB
https://jakarta.tribunnews.com/2019/07/08/prihatin-nasib-
anak-imigran-pencari-suaka-lpai-berencana-surati-
gubernur-anies akses 18 Juli 2019 11.05 WIB
F. Sumber Wawancara
127
Wawancara dengan Bapak Sidik Eka Hermawan selaku
Kepala Sekolah SFR Dompet Dhuafa, Jakarta, 13 Mei
2019
G. Sumber Dokumentasi
128
LAMPIRAN – LAMPIRAN
Volunteer Guidelines for Working with Refugees
UNHCR Indonesia
Refugees are normal people who happen to be experiencing abnormal and unfortunate
circumstances. Many refugees share interests with volunteers, including sports, hobbies, music, and
so forth, and want to get to know people from their host community. As you volunteer with
refugees, be prepared to bring your enthusiasm, passion, and a desire to learn.
To guide you in your volunteer work with refugees in Indonesia, UNHCR encourages you to take time
to read the suggestions below to ensure that your experience working with refugees are effective
and successful.
a. Volunteers are not allowed to take personal photographs of refugees on personal cameras
or cellphones, but may be requested to take pictures on behalf of UNHCR. Furthermore,
many refugees may not want their photos taken, as they do not know you and might not
feel comfortable with strangers photographing them. Some people might have security
reasons for why they don’t want to be photographed (a wife is afraid of her abusive
husband, a child might be avoiding bullies, etc.). Taking photos of persons who have security
concerns is a protection violation and should be avoided. Always ask permission from
refugees to take their photographs.
b. Do not take pictures of refugees if they have requested to not be photographed. Be careful
to ensure that those persons are not visible in group photos.
c. The use of photos of refugees on volunteer personal social media is prohibited, unless you
have received explicit permission from all persons in the photo that the material can be
posted online. Do not take photos of people and upload them to social media without their
permission.
d. Many refugees come from conservative cultures that require women to be covered. Avoid
taking pictures of women who traditionally wear veils if they are unveiled or wearing less
modest clothing. Also avoid taking pictures of refugee women in revealing clothing or
swimsuits.
a. Although you are a volunteer, refugees might not understand that you do not officially work
for UNHCR and may ask you to help with their case. You may be asked to help refugees
receive faster case processing or push their case forward for resettlement. As a volunteer,
you are not in a position to handle a refugee’s case and should help refugees understand
that.
b. If asked, politely remind refugees that you do not work officially for UNHCR and do not
handle case management. Encourage refugees to direct their questions about their cases to
UNHCR staff or to submit a written request/plea to the UNHCR office.
c. When working with refugees, volunteers often want to help as many refugees as possible
and might accidentally commit to helping beyond their capacity. Avoid making promises to
refugees that you cannot fulfill (“I can help you get resettled,” “I will help you find a
home/enroll in school/pay for your medical bills/etc”).
d. Refugees might ask for your personal contact information (e.g. mobile phone number, email
address, Facebook account, etc) in order to be able to communicate with you. As a
volunteer, you have the right to decide whether to share your contact information with
refugees. Should you decide to not share your contact details, politely and gently clarify to
the refugees why your information cannot be shared so there is no miscommunication.
e. Refugees, like the rest of us, can get sick and often have limited money to pay for health
care treatments. As a volunteer, you do not have the obligation to pay for the medical
expenses of sick refugees and have the right to politely decline requests from refugees for
financial support. You can encourage refugees to visit Puskesmas clinics for affordable
medical care.
a. Refugees have fled traumatic situations, including war, conflict, violence, and discrimination,
and may not want to talk about their experiences. If a refugee does not want to talk about
his/her situation or background, respect his/her wish and do not ask for more information.
b. Gender norms and traditions vary among different cultures. In many countries from which
refugees originate, women and men often congregate in separate spaces and do not interact
in public with persons of the opposite gender who aren’t family members. Be aware of your
presence and how it may affect those around you. For example, Somali or Afghan women
might be uncomfortable being alone with a male volunteer in a room.
c. Refugees come from a wide variety of cultures and practice diverse religions. Even if a
volunteer shares the same religion as a refugee, they might practice the religion differently
through their rituals, religious clothing, and beliefs. Be open-minded and accepting, and
allow refugees to practice their beliefs without interfering.
d. Proselytization (sharing your religion with others) is illegal in Indonesia and can result in
series legal and social repercussions for refugees. This includes the distribution of religious
materials (pamphlets, Bibles, Qur’ans, etc) to refugees. Respect religious differences and
avoid religiously-motivated activities like proselytizing.
a. Many refugees come from places of conflict and violence. They may be struggling with
trauma and may react negatively at times by snapping, acting frustrated or upset, or
seeming impatient. Be patient with refugees and understand that they may be experiencing
flashbacks or struggling with depression.
b. Refugees might not speak the same language as you, and they often might not understand
what you’re saying. There may be moments of miscommunication or frustration due to lack
of understanding. Be patient and listen to refugees. Ask for clarification and look for non-
verbal communication cues.
c. Refugees might share their past experiences and traumatic stories that might include
potentially disturbing or emotionally challenging information. Should you feel
uncomfortable listening to the stories that refugees share, you have the right to request
that refugees refrain from sharing graphic details. Politely and gently explain to refugees
that you understand and regret their situation and ask them to kindly refrain from sharing
too much information. Gently remind them that they can share more details of their
situation with UNHCR staff who handle casework.
Responsible volunteering
U
a. Refugees have limited money to pay for health care treatments and cannot afford to get
sick. Do not volunteer on a day when you are sick – you don’t want to make other people
sick, too!
b. As refugees depend on the services you provide as a volunteer, be sure to give timely
warning if you cannot attend your volunteer session so UNHCR and partners can find a
suitable replacement.
Have fun!
Subject: Letter of request to be informant
To:
Parents of children
Jakarta
With respect,
Sincerely,
Riska Hariyana
PAPER OF APPROVAL STATEMENT TO BE INFORMANT
Hari / Tanggal :
Waktu :
Subjek Penelitian :
Disusun Hari / Tanggal :
Waktu :
Kondisi Psikososial:
1) Interaksi sosial:
a. Verbal
Nama Informan :
Jenis Kelamin :
Usia :
Hari / Tanggal :
Waktu :
Lokasi :
Daftar Pertanyaan:
Kondisi Psikososial:
1) Interaksi sosial:
a. Verbal
Interaksi sosial yang dilakukan sangat terbuka. NMK
menjelaskan tentang kehidupannya dengan jelas dan
dalam percakapan yang dilakukan selama wawancara,
NMK berbicara menggunakan bahasa Indonesia dan
sedikit bahasa Inggris. Dalam penguasaan bahasa
Indonesia, NMK lancar dan bisa berbicara bahasa
Indonesia yang baku dan formal maupun tidak baku
seperti percakapan yang orang Indonesia lakukan sehari –
hari ketika berinteraksi dengan orang lain. Ketika
berkumpul dengan pengungsi, ia berbicara bahasa Arab
dan Inggris seperti ketika menunggu kelas di SFR.
b. Fisik (ekspresi wajah, posisi tubuh, gerak – gerik tubuh,
dan kontak mata)
Ekspresi wajah yang digunakan NMK ketika
diwawancarai mengenai kehidupannya di Indonesia sesuai
dengan pertanyaan yang diberikan. Kontak mata yang
dilakukan juga menatap lawan bicara. Wajah sedih ketika
diwawancarai mengenai perasaan putus asa; wajah senang
ketika menjelaskan hal positif tentang Indonesia; dan
gerak – gerik tubuhnya yang menggunakan tangan untuk
menjelaskan dan mendukung apa yang ia bicarakan.
Kondisi Psikososial:
1) Interaksi sosial:
a. Verbal
Interaksi verbal yang dilakukan MNA dengan
menggunakan bahasa Inggris karena MNA belum dapat
memahami dan berbicara bahasa Indonesia sehingga
dalam wawancara, peneliti menggunakan bahasa Inggris.
MNA hanya sedikit menggunakan kalimat dalam bahasa
Indonesia. Kalimat yang diucapkan merupakan kalimat
percakapan sehari – hari yang biasa digunakan oleh orang
Indonesia. MNA dalam berinteraksi merupakan orang
yang terbuka kepada orang lain baik dengan pengungsi
dan orang Indonesia yang baru dikenalnya.
b. Fisik (ekspresi wajah, posisi tubuh, gerak – gerik tubuh,
dan kontak mata)
Ekspresi wajah yang digunakan MNA ketika melakukan
wawancara ialah sesuai dengan apa yang dijelaskan
seperti menjelaskan tentang keputusasaannya di Indonesia
diekspresikan dengan wajah kecewa dan sabar
menjalankan kehidupan tanpa masa depan. Ekspresi
wajah lainnya ketika MNA menjelaskan tentang
bagaimana berinteraksi dengan orang lain yang ia jelaskan
dengan ekspresi lucu karena banyak orang Indonesia yang
tidak bisa Bahasa Inggris. MNA ketika diwawancara juga
menunjukkan gerak – gerik tubuh ketika berpikir untuk
menjelaskan dengan bahasa Indonesia.
Kondisi Psikososial:
1) Interaksi sosial:
a. Verbal
Interaksi verbal yang dilakukan MIA menggunakan
bahasa Indonesia yang sangat lancar dan MIA dapat
berbicara bahasa percakapan orang Indonesia sehari – hari
dengan fasih. MIA yang tidak menggunakan bahasa
Inggris sama sekali ketika diwawancarai. Penjelasan MIA
dapat dimengerti oleh peneliti ketika ia bebicara
menggunakan bahasa Indonesia yang tidak formal. MIA
terbuka untuk menceritakan pengalamannya kepada
peneliti.
Kondisi Psikososial:
1) Interaksi sosial:
a. Verbal
Interaksi verbal yang dilakukan WA dengan
menggunakan bahasa Inggris karena WA baru enam bulan
di Jakarta dan belum lancar berbicara bahasa Indonesia.
WA hanya sedikit menggunakan kalimat dalam bahasa
Indonesia. Kalimat yang diucapkan dalam bahasa
Indonesia merupakan kalimat formal. Dalam menjelaskan
kehidupannya di Indonesia, WA menjelaskan dengan
bahasa Inggris yang lumayan lancar dan cepat sehingga
membuat peneliti benar – benar harus mengartikan ulang
maksudnya karena penyebutan kata dalam bahasa Inggris
yang masih belum benar.
b. Fisik (ekspresi wajah, posisi tubuh, gerak – gerik tubuh,
dan kontak mata)
Ekspresi wajah WA ketika menjelaskan menunjukkan
wajah yang serius dan penuh kesedihan saat bercerita
tentang kondisi keluarganya selama di Indonesia. Selain
itu, WA juga terus menunjukkan wajah penuh harap bisa
dikirim ke negara ketiga dan memulai hidup baru. Kontak
mata dan gerak – gerik tubuh yang dilakukan WA juga
menggunakan tangan seperti sedang menjelaskan kepada
peneliti untuk mengerti tentang kondisi dirinya dan
keluarganya di Indonesia.
2. Interaksi Sosial Bagaimana interaksi “Deket rumah saya itu ada Masjid
sosial yang kamu sebelahnya ada lapangan. Kan
lakukan dalam kesitu anak – anak pada main
menyesuaikan diri rame, nah kita main disitu jadi kalo
dengan lingkungan ada acara main bola main bola
di Indonesia? juga. Soalnya temennya agak
lumayan deket karena dulu kan
sesama negara saya itu kan deket
sama saya dulu nah mereka itu
pada main sama orang Indonesia
nah saya keluar main sama mereka
jadi gara – gara temen saya udah
apal.”
Nama Informan : WA
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 15 tahun
Hari / Tanggal : Kamis, 25 Juli 2019
Waktu : 11. 45 – 12. 35 WIB
Lokasi : Refugee Center, Tebet, Jakarta Selatan