Anda di halaman 1dari 146

ADVOKASI SOSIAL TERHADAP ANAK KORBAN

KEKERASAN FISIK
(KASUS DI LEMBAGA BANTUAN HUKUM JAKARTA DAN
YAYASAN PULIH)

SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

LISDA NUR ASIAH


NIM: 1113054100030

PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL


FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
ABSTRAK
Lisda Nur Asiah
Advokasi Sosial Terhadap Anak Korban Kekerasan Fisik (Kasus di
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan Yayasan Pulih)
Banyaknya kasus kekerasan yang menimpa anak dan lemahnya penegak
hukum oleh aparat penegak hukum yang menyebabkan banyak kasus kekerasan
fisik tidak mendapat keadilan yang seharusnya. Dalam masing-masing proses
untuk mencapai keadilan yang diharapkan oleh anak yang menjadi korban
kekerasan fisik diperlukan adanya pendampingan. Advokasi sosial merupakan hal
penting yang harus dilakukan oleh pihak yang bersangkutan dalam mendampingi
anak korban kekerasan fisik. Advokasi sosial dalam penelitian ini melibatkan dua
lembaga yaitu Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan Yayasan Pulih. Sebab, selain
membutuhkan bantuan hukum, korban juga membutuhkan layanan-layanan
lainnya, seperti layanan psikologis. Hal itu berguna untuk pemulihan rasa trauma
bagi korban yang mengalami dampak kekerasan secara langsung dan tidak
langsung.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses advokasi sosial yang
dilakukan LBH Jakarta dan Yayasan Pulih dalam kasus kekerasan fisik terhadap
anak. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif yaitu
peneliti mengumpulkan informasi-informasi menjadi suatu kesamaan dengan cara
mengumpulkan data, menyusun, mengklarifikasi dan menganalisa. Teknik
pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti adalah penelitian lapangan dengan
melakukan wawancara. Selain itu, peneliti juga melakukan penelitian kepustakaan
yakni memperoleh data ilmiah dan akurat yang bersumber pada buku-buku,
dokumen, dan rujukan lain yang berkaitan dengan pokok pembahasan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa advokasi yang dilakukan LBH
Jakarta dan Yayasan Pulih merupakan suatu bentuk pendampingan dalam
memberikan layanan terbaik bagi anak korban kekerasan. Adapun proses advokasi
yang dilakukan oleh LBH Jakarta dan Yayasan Pulih, antara lain: mencari akar
permasalahan, melakukan analisis dan mengkaji kasus, membangun opini publik,
membangun jaringan dan koalisi, tindakan kebijakan, dan penilaian. Dalam proses
advokasi, LBH Jakarta dan Yayasan Pulih fokus kepada advokasi klien yang
dimana tujuannya adalan untuk membantu klien dalam memenangkan dan
memperoleh kembali hak-haknya. Hasil advokasi ini menunjukkan bahwa LBH
Jakarta dan Yayasan Pulih berhasil memenangkan kasus tersebut selama
menjalani proses hukum dengan hasil putusan bahwa oknum TNI mendapatkan
hukuman 8 bulan penjara dan korban bisa kembali bersosialisasi dengan
lingkungan sekitarnya.

Kata Kunci : Advokasi sosial, Anak korban kekerasan fisik, LBH Jakarta,
Yayasan Pulih

i
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim...

Dengan memanjatkan puji serta syukur kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Sehingga pada akhirnya penulis dapat

meyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya yang ditujukan sebagai

persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi

Kesejahteraan Sosial. Shalawat serta salam Allah limpahkan kepada Nabi besar

Muhammad SAW beserta para sahabat dan umatnya.

Pada kesempatan ini pula, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang

tak terhingga kepada pihak-pihak yang sangat berperan penting dalam proses

penyusunan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Arief Subhan, MA Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan

Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Suparto, M. Ed, Ph. D Wakil Dekan Bidang Akademik. Dr. Roudhonah,

MA Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum, Dr. Suhaimi, M.Si Wakil

Dekan Bidang Kemahasiswaan.

2. Ibu Lisma Dyawati Fuaida, M.Si Ketua Program Studi Kesejahteraan

Sosial, Hj. Nunung Khairiyah, MA Sekretaris Program Studi

Kesejahteraan Sosial. Terima kasih atas bimbingannya.

3. Ibu Nurhayati Nurbus, M.Si Dosen Pembimbing Skripsi yang telah

membantu membimbing dan memberikan masukan serta support dalam

ii
menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan

dan keikhlasan yang telah beliau curahkan.

4. Seluruh Dosen dan Staf Akademik Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak

memberikan bimbingan dan bantuan kepada penulis selama kuliah.

5. Kedua Orang tuaku, Ayahanda Liswar Munaf dan Ibunda Ida Farida yang

senantiasa mendo’akan, memberikan dukungan tenaga dan semangat

setiap harinya sehingga penulis termotivasi untuk dapat menyelesaikan

skripsi ini.

6. Segenap pihak LBH Jakarta yang sudah mengizinkan penulis untuk

melakukan penelitian serta telah berpartisipasi untuk membantu penulis

dalam pengumpulan informasi untuk penyelesaian skripsi ini.

7. Segenap pihak Yayasan Pulih yang telah bersedia membantu penulis untuk

memberikan informasi yang diperlukan oleh penulis dalam penyelesaian

skripsi ini.

8. Abangku Fahrijan dan Adikku tercinta Nisa Aulia yang selalu memberikan

dukungan dan kasih sayang kepada penulis.

9. Sahabat yang penulis sayangi yaitu Dewi Nawang, Sarah Dwi, dan Diana

yang telah memberikan semangat dengan ocehan yang bermutu dan

candaan sehingga penulis tidak terbebani dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Dinara Oktaviana, Fitri Qomariah teman tersabar serta Isra Wahyuni,

Qayumah, dan Sarah Amalia Kusnendar teman debat yang saling support,

iii
kritik dan memberikan masukan satu sama lain dalam mengejar gelar

sarjana strata 1.

11. Erby Eko, Ichsan Kurnia, Ari Herlangga, Eko Radityo, dan Indah

Choirunnissa yang merupakan teman travelling dan teman kuliner yang

telah meluangkan waktunya untuk menghibur penulis dikala jenuh dalam

menyelesaikan skripsi.

12. Teman-teman Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2013,

yang telah memberikan warna selama menjalankan perkuliahan dan

berjuang bersama-sama untuk mendapatkan gelar sarjana strata 1.

13. Senior terbaik Ira Rahmawati S.Sos dan Yogi Surya yang telah membantu

penulis dari awal masuk perkuliahan hingga saat ini.

14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah

membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi dan perkuliahan.

Penulis hanya dapat mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada pihak-pihak yang bersangkutan semoga dukungan yang diberikan dibalas

oleh Allah SWT. Penulis juga berharap bahwa skripsi ini memberikan

pengetahuan baru dan bermanfaat bagi penulis, mahasiswa Kesejahteraan Sosial

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan pembaca pada umumnya.

Jakarta, 28 September 2017

Lisda Nur Asiah

iv
DAFTAR ISI

ABSTRAK ............................................................................................................. i

KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii

DAFTAR ISI ..........................................................................................................v

DAFTAR TABEL .............................................................................................. viii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... ix

DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................................x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ....................................................................................1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ..........................................................8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...........................................................9

D. Metodologi Penelitian .......................................................................10

E. Tinjauan Pustaka ...............................................................................16

F. Sistematika Penulisan .......................................................................17

BAB II LANDASAN TEORI

A. Advokasi Sosial ................................................................................19

1. Pengertian Advokasi Sosial .......................................................19

2. Tujuan Advokasi ........................................................................26

3. Jenis-jenis Advokasi Pekerja Sosial ..........................................27

4. Strategi Advokasi.......................................................................28

5. Prinsip-prinsip Advokasi ...........................................................32

v
6. Unsur-unsur Pokok Kegiatan Advokasi Sosial..........................34

7. Dinamika Proses Advokasi ........................................................36

8. Mandat Pekerja Sosial Untuk Melakukan Advokasi .................37

9. Nilai Dalam Advokasi Pekerjaan Sosial ....................................39

B. Kekerasan Terhadap Anak ................................................................40

1. Pengertian Kekerasan terhadap Anak ........................................40

2. Bentuk-Bentuk Kekerasan .........................................................43

a. Penelantaran Anak ................................................................44

b. Kekerasan Fisik .....................................................................44

c. Pelecehan Seksual Anak .......................................................45

d. Kekerasan Emosional atau Psikologis ..................................46

3. Pengertian Kekerasan Fisik .......................................................46

BAB III GAMBARAN UMUM LEMBAGA

I. Gambaran Umum Lembaga Bantuan Hukum Jakarta ......................49

A. Sejarah Berdirinya Lembaga Bantuan Hukum Jakarta ................49

B. Visi dan Misi LBH Jakarta...........................................................52

C. Peran dan Fungsi ..........................................................................53

D. Struktur Organisasi ......................................................................55

II. Gambaran Umum Yayasan Pulih .....................................................56

A. Sejarah Berdirinya Yayasan Pulih ...............................................56

B. Visi dan Misi Yayasan Pulih ........................................................58

C. Nilai Dasar ...................................................................................58

vi
D. Organisasi .....................................................................................59

1. Bidang Umum dan Keuangan ...............................................59

2. Bidang PRC (Pulih Resource Center) ...................................59

3. Bidang Layanan Klinik .........................................................60

4. Bidang Advokasi dan Edukasi Publik...................................60

E. Layanan ........................................................................................60

F. Daftar Program Rutin Yayasan Pulih...........................................61

G. Struktur Organisasi ......................................................................64

BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS

A. Identitas dan Gambaran Kasus .........................................................66

1. Identitas Korban .........................................................................66

2. Gambaran Kasus ........................................................................66

B. Advokasi Sosial ................................................................................69

C. Faktor Pendukung dan Penghambat .................................................93

1. Faktor Pendukung ......................................................................93

2. Faktor Penghambat ....................................................................94

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................................97

B. Saran .................................................................................................99

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

vii
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Informan

Tabel 2.1 Strategi Advokasi

Tabel 4.1 Jenis Kasus Perempuan dan Anak

Tabel 4.2 Bentuk-bentuk Kekerasan yang ada di Yayasan Pulih

viii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Proses Advokasi

Gambar 3.1 Struktur Organisasi LBH Jakarta

Gambar 3.2 Struktur Organisasi Yayasan Pulih

Gambar 4.1 Alur Prosedur Layanan Yayasan Pulih

Gambar 4.2 Proses Advokasi LBH Jakarta

Gambar 4.3 Proses Advokasi Yayasan Pulih

Gambar 4.4 Proses Asesmen Pemeriksaan Psikologis

ix
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Surat Bimbingan Skripsi

Lampiran 2 : Surat Izin Penelitian Skripsi LBH Jakarta

Lampiran 3 : Surat Izin Penelitian Skripsi Yayasan Pulih

Lampiran 4 : Struktur Organisasi LBH Jakarta

Lampiran 5 : Struktur Organisasi Yayasan Pulih

Lampiran 6 : Pedoman Wawancara

x
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap hari kita mendengar berita atau membaca di media massa

tentang kasus kekerasan seperti penyiksaan, pemukulan, penganiayaan,

penyekapan, pelecehan seksual, bahkan pembunuhan terhadap anak.

Ironisnya pelaku tindak kekerasan tersebut melibatkan orang terdekat, baik

keluarga seperti ayah atau Ibu kandung, ayah atau Ibu tiri, saudara ataupun

masyarakat di lingkungan anak berada. Anak-anak yang menjadi korban

kekerasan hingga kini belum mendapatkan penanganan atau pelayanan

sosial secara memadai baik dari pemerintah maupun masyarakat, sehingga

menimbulkan traumatis dan mengahambat masa depan anak.1 Dari sisi

kehidupan anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita

bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan

berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak

kekerasan dan diskriminasi.

Pengertian dan definisi anak dapat dikelompokkan menurut umur,

hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak Pasal 1 ayat 1 yang menyebutkan bahwa Anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak

1
Eny Hikmawaty dan Chatarina Rusmiyati, Kajian Kekerasan Terhadap Anak,
(Yogyakarta: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial, 2016), h.
26.

1
2

yang masih dalam kandungan.2 Berbicara mengenai anak adalah hal yang

sangat penting karena anak merupakan potensi nasib suatu generasi atau

bangsa di masa mendatang. Anak merupakan cerminan sikap hidup bangsa

dan penentu perkembangan bangsa tersebut.3

Di Indonesia salah satu masalah besar yang marak diperbincangkan

adalah tindak kriminal terhadap anak. Mulai dari kekerasan, pembunuhan,

penganiayaan dan bentuk tindakan kriminal lainnya yang berpengaruh

negatif bagi kejiwaan anak. Kekerasan terhadap anak dapat diartikan

sebagai perilaku yang sengaja maupun tidak sengaja yang ditujukan untuk

mencederai atau merusak anak, baik berupa serangan fisik maupun mental.

United Nations International Children’s Emergency Fund

(UNICEF) menyalurkan informasi pada 20 November 2015 tentang sifat

dan jenis kekerasan terhadap anak di Indonesia, diantaranya: 40% anak

berusia 13-15 tahun melaporkan pernah diserang secara fisik sedikitnya

satu kali dalam setahun. 26% melaporkan pernah mendapat hukuman fisik

dari orang tua atau pengasuh di rumah. 50% anak melaporkan dibully di

sekolah dan 45% perempuan dan anak perempuan di Indonesia percaya

bahwa suami atau pasangan boleh memukul istri atau pasangannya dalam

situasi-situasi tertentu.4

Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), menunjukkan

setiap tahun angka kekerasan terhadap anak mencapai 3.700, dan rata-rata

2
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perlindungan Anak.
3
Wagiati Sutedjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung: Refika Aditama, 2010), h. 5.
4
www.unicef.org diakses pada 09 Februari 2017.
3

terjadi 15 kasus setiap harinya. Ironisnya, sekitar 70% pelaku kekerasan

terhadap anak adalah orangtua mereka sendiri.5 Selain itu, menurut

Direktur Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak Direktorat

Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham, Djoko Setiyono, mengatakan

ada kenaikan signifikan selama tiga pekan pada kasus kekerasan terhadap

anak. Pada 26 Mei 2016, angka kekerasan terhadap anak tercatat sebanyak

16.750 kasus. Per 14 Juni 2016, angka kekerasan terhadap anak mencapai

18.078 kasus. Bentuk kejahatannya berupa kasus kekerasan terhadap hak-

hak perlindungan anak, baik kekerasan fisik, kekerasan seksual maupun

kekerasan psikologis.6

Secara teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat

didefinisikan seperti perlakuan fisik, mental, atau seksual yang umumnya

dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap

kesejahteraan anak yang diindikasikan dengan kerugian dan ancaman

terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak. Kekerasan dan penganiayaan

biasanya terjadi di kalangan anak-anak di bawah umur karena anak-anak

tidak dapat membalas perlakuan yang telah ia dapati, lebih mudah di

bujuk, lebih mudah untuk diancam dan lebih cenderung pendiam dan malu

serta takut untuk mengungkapkan kekerasan dan penganiayaan yang telah

didapatinya. Namun demikian child abuse sebetulnya tidak hanya berupa

pemukulan atau penyerangan fisik saja, melainkan juga bisa berupa

berbagai bentuk eksploitasi melalui, misalnya pornografi dan penyerangan


5
http://m.tempo.co.id diakses pada 18 Desember 2016
6
http://m.republika.co.id/berita/nasioanal/umum/16/0614/angka-kekerasan-pada-anak-
meningkat-signifikan. diakses pada 18 Desember 2016.
4

seksual (sexual assault), pemberian makanan yang tidak layak bagi anak

atau makanan kurang gizi (malnutrition), pengabaian pendidikan dan

kesehatan (educational and medical neglect) dan kekerasan yang berkaitan

dengan medis (medical abuse).7

Tindak kekerasan terhadap anak, meski diakui sering kali terjadi di

masyarakat, namun demikian ketika kita berbicara tentang pembuktiannya

dari segi hukum, ternyata tidaklah semudah yang dibayangkan. Dalam

berbagai kasus kita tahu bahwa trauma fisik akibat tindak kekerasan

terhadap anak dapat hilang setelah 48 jam kecuali tindak kekerasan yang

menimbulkan bekas luka yang serius dan parah.8

Dalam hal ini peran pemerintah sangatlah dibutuhkan untuk

menangani kasus ini. Selain itu masyarakat juga harus ikut serta dalam

menangani kasus seperti ini. Hal yang dapat dilakukan pemerintah salah

satunya dengan advokasi. Advokasi adalah upaya pemberian jaminan

kepada pihak yang sedang terlibat dengan kasus untuk memperoleh

peradilan.9

Dalam hal ini pendampingan advokasi sosial juga diperlukan untuk

anak korban kekerasan karena tidak semua permasalahan dapat

diselesaikan dengan jalur hukum. Advokasi sosial adalah tindakan

mengubah kebijakan, kebutuhan atau program dari suatu institusi atau

7
Bagong Suyanto dan Sri Sanituti, Krisis & Child Abuse, (Surabaya: Airlangga
University, 2002), h. 114.
8
Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 96.
9
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan
Seksual: Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan, ( Bandung: Refika Aditama, 2001), h. 23.
5

lembaga yang ditujukan memberikan pelayanan dan perlindungan kepada

klien dan hak-hak kemanusiaannya.

Di Jakarta ada lembaga yang menangani berbagai macam kasus

misalnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, kasus

perburuhan, kasus non struktural, dan kasus keluarga. Lembaga tersebut

yaitu Lembaga Bantuan Hukum Jakarta atau disebut LBH Jakarta,

merupakan Lembaga Bantuan Hukum terbesar di Indonesia dengan

akreditasi A yang memberikan bantuan hukum kepada rakyat miskin, buta

hukum dan tertindas. Bukan hanya sekedar memberikan bantuan hukum

secara cuma-cuma kepada masyarakat tidak mampu, namun juga membela

tanpa membedakan jenis kelamin, agama, suku, etnis, keyakinan politik

telah menjadi prinsip utama LBH Jakarta yang dipegang secara teguh.

LBH Jakarta tidak hanya menjadi pembela di bidang hukum saja, namun

memadukan dengan gerakan pemberdayaan rakyat. Konsep pembelaan

dan pemberdayaan masyarakat tersebut oleh Paul Moedikdo Moeliono

dinamakan sebagai gerakan Bantuan Hukum Struktural (BHS) yang

kemudian identik dengan LBH Jakarta.10 Konsep Bantuan Hukum

Struktural merupakan suatu konsep kegiatan pemberian bantuan hukum

yang bertujuan untuk menciptakan kondisi-kondisi bagi terwujudnya

hukum yang mampu mengubah struktur yang timpang menuju ke arah

struktur yang lebih adil tempat peraturan hukum dan pelaksanaannya

menjamin persamaan kedudukan, baik di lapangan ekonomi maupun

10
Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2007), h.
136.
6

lapangan politik. Hal ini berarti bahwa pelaksanaan dan pengembangan

hukum harus dilihat dari sudut bantuan hukum struktural yang

dilaksanakan dalam konteks turut membangun masyarakat yang adil dan

makmur.11

November 2014 sampai dengan Oktober 2015, LBH Jakarta

menerima 1.322 pengaduan, yang terdiri dari 1.142 pengaduan individu

dan 180 pengaduan kelompok dengan total jumlah pencari keadilan

sebanyak 56.451 orang. Tahun 2016, LBH Jakarta menerima sebanyak

1.444 pengaduan dengan jumlah pencari keadilan sebanyak 121.571

orang. Untuk kasus anak dan perempuan di tahun 2016, LBH Jakarta

menerima pengaduan sebanyak 31 kasus dan 39 pencari keadilan,

diantaranya kasus kekerasan fisik, kekerasan seksual dan kekerasan

psikologis.

Dalam menangani kasus-kasus tersebut, bidang penanganan kasus

LBH Jakarta memiliki tiga program, diantaranya: Pertama, Advokasi

layanan bantuan hukum. Program ini mencakup pemberian layanan

bantuan hukum secara langsung kepada masyarakat. Kedua, konsolidasi

masyarakat. Program ini meliputi advokasi pengawalan ataupun litigasi

dari berbagai isu. Ketiga, advokasi penerapan prinsip-prinsip keadilan

dalam pemenuhan hak-hak korban. Program ini mencakup optimalisasi

pemberian keadilan dalam pemenuhan hak-hak kemanusiaan.

11
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum Dan Hak Asasi Manusia,
(Jember: Mandar Maju, 1994), h. 30
7

Untuk kasus kekerasan, LBH Jakarta juga sering melakukan

kerjasama dengan lembaga-lembaga lain untuk meningkatan legitimasi

dari masyarakat, salah satunya adalah lembaga yang cukup proaktif dalam

menangani korban kekerasan terutama korban kekerasan terhadap anak

yaitu Yayasan Pulih. Yayasan Pulih adalah sebuah organisasi nirlaba yang

bergerak dalam penanganan trauma dan pemulihan psikososial bagi

masyarakat yang mengalami dampak kekerasan secara langsung dan tidak

langsung dan bencana alam di berbagai wilayah Indonesia dengan

pendekatan yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan penerima

manfaat.

Menurut salah satu Pengacara Publik LBH Jakarta, Bunga Siagian,

mengatakan, “Pada dasarnya LBH Jakarta memberikan bantuan hanya

bantuan hukum, namun demikian kita menyadari bahwa pendampingan

dalam bidang itu tidak cukup. Maka dari itu, salah satu alasan LBH Jakarta

melakukan kerjasama dengan Yayasan Pulih terutama dalam kasus

kekerasan terhadap perempuan dan anak yang mengalami trauma dan

pemulihan psikososial karena Yayasan Pulih melakukan kerja yang nyata

dan cukup sejalan dengan advokasi yang ada di LBH Jakarta”.

Selain itu, LBH Jakarta bekerjasama dengan Yayasan Pulih guna

untuk menangani konsekuensi pada kasus yang dialami oleh masyarakat.

Sebab, selain membutuhkan bantuan hukum, masyarakat juga

membutuhkan layanan-layanan lainnya, seperti layanan psikologis bagi

korban yang mengalami kekerasan dalam suatu kelompok atau individu.


8

Hal itu berguna untuk pemulihan rasa trauma bagi masyarakat yang

mengalami dampak kekerasan secara langsung dan tidak langsung.

Adapun alasan LBH Jakarta dan Yayasan Pulih melakukan advokasi

terhadap anak korban kekerasan fisik, diantaranya: Pertama, anak

merupakan warisan yang patut dijaga dan dilindungi. Kedua, melibatkan

oknum TNI. Menurutnya, siapapun yang melanggar hukum harus diproses

demi keadilan. Mengingat pelaku adalah anggota TNI aktif maka

instansinya wajib memberikan sanksi tegas.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk

meneliti dalam sebuah penulisan skripsi dengan judul “Advokasi Sosial

Terhadap Anak Korban Kekerasan Fisik (Kasus di Lembaga Bantuan

Hukum Jakarta dan Yayasan Pulih).”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Melihat luasnya pembahasan yang berkaitan dengan permasalahan

yang peneliti teliti, agar lebih terfokus dan efektif dalam penelitian ini

peneliti membatasi masalah penelitian, yaitu advokasi sosial terhadap anak

korban kekerasan fisik (Kasus di LBH Jakarta dan Yayasan Pulih).

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana proses

advokasi sosial yang dilakukan LBH Jakarta dan Yayasan Pulih

dalam kasus kekerasan fisik terhadap anak?”


9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Dengan mengacu kepada permasalahan yang dikemukakan di atas,

maka tujuan yang ingin peneliti capai adalah mengetahui proses advokasi

sosial yang dilakukan LBH Jakarta dan Yayasan Pulih dalam kasus

kekerasan fisik terhadap anak.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan

wawasan sebagai bahan rujukan tambahan referensi atau

perbandingan penelitian selanjutnya bagi Program Studi

Kesejahteraan Sosial mengenai advokasi sosial.

2. Manfaat Praktis

a. Dapat dijadikan sebagai bahan untuk meningkatkan kualitas

pelayanan sosial sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan

pengembangan masyarakat.

b. Diharapkan dapat menambah informasi bagi para pembaca,

mengenai pelayanan sosial yang diberikan oleh LBH Jakarta dan

Yayasan Pulih kepada masyarakat, salah satunya anak korban

kekerasan.
10

D. Metodologi Penelitian

Metodologi merupakan strategi umum yang dipakai dalam

pengumpulan dan analisis data yang diperlukan, guna menjawab

permasalahan yang diteliti. Metode penelitian pada dasarnya adalah cara

ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan manfaat tertentu.12 Oleh

karena itu, metode yang relevan dengan suatu kegiatan akan menunjang

keberhasilan suatu penelitian.

Penggunaan metodologi ini dimasukkan untuk menentukan data

valid, akurat, dan signifikan dengan permasalahan sehingga dapat

digunakan untuk mengungkapkan permasalahan yang diteliti.

1. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif.

Karena penelitiannya merupakan studi yang mendalam dengan

menggunakan teknik pengumpulan data langsung dari subjek lingkungan

alamiahnya. Bodgam dan Taylor mendefinisikan penelitian kualitatif

sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat

diamati.

Sedangkan menurut Lexy J. Moleong pendekatan kualitatif ini

bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan secara sistematis,

faktual dan akurat mengenai faktor-faktor, sifat, serta hubungan antara

fenomena yang diteliti. Penggunaan pendekatan kualitatif ini yaitu dengan

12
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta,
2014), h. 2.
11

melakukan penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Laporan

penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran

dalam penyajian laporan.13

2. Sumber data

Data primer adalah data pokok yang mendukung penelitian dimana

data diperoleh secara langsung dari subjek penelitian yaitu Pengacara

Publik LBH Jakarta, Administrasi dan Humas Yayasan Pulih, Bidang

Advokasi dan Edukasi Publik Yayasan Pulih, Klien.

Sedangkan data sekunder peneliti adalah para informan yaitu orang-

orang selain dari subjek penelitian seperti keluarga korban. Kemudian

sumber data sekunder juga berupa data-data atau dokumen-dokumen yang

berkaitan dengan penelitian dari lembaga, dan referensi, serta berbagai

sumber buku dari perpustakaan. Dengan demikian, peneliti mengharapkan

nantinya mendapat informasi yang jelas dan valid.

3. Waktu dan Lokasi Penelitian

Peneliti melakukan penelitian pada tanggal 13 Maret sampai dengan

10 Agustus 2017. Adapun lokasi yang dijadikan objek penelitian yaitu

Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, yang beralamat lengkap di Jalan

Pangeran Diponegoro No. 74, RT.9/RW.2, Pegangsaan, Menteng, Kota

Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10320 dan Yayasan Pulih,

yang beralamat lengkap di Jalan Teluk Peleng 63 A, Komplek AL Rawa

Bambu, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12520. Peneliti melakukan

13
Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2005), h. 6.
12

penelitian pada 2 lokasi, karena penelitian tersebut saling bersinergi untuk

kasus kekerasan terhadap anak.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data diperlukan untuk mendapatkan data dan

informasi yang diperlukan untuk dapat menjelaskan dan menjawab

permasalahan penelitian ini. Teknik pengumpulan data ini dilakukan

dengan:

a. Observasi atau pengamatan, merupakan sebuah teknik pengumpulan

data yang mengharuskan peneliti turun ke lapangan mengamati hal-

hal yang berkaitan dengan ruang, tempat, pelaku, kegiatan, benda-

benda, waktu, peristiwa, tujuan dan perasaan.14 Dalam hal ini

peneliti terjun langsung ke tempat penelitian yaitu di Jalan Pangeran

Diponegoro No. 74, RT.9/RW.2, Pegangsaan, Menteng, Jakarta

Pusat 10320 dan di Jalan Teluk Peleng 63 A, Komplek AL Rawa

Bambu, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12520.

b. Wawancara, merupakan salah satu teknik untuk mengumpulkan data

dan informasi. Penggunaan metode ini didasarkan pada dua alasan.

Pertama, dengan wawancara, peneliti dapat menggali tidak saja apa

yang diketahui dan dialami subjek yang diteliti, tetap apa yang

tersembunyi jauh didalam diri subjek penelitian. Kedua, apa yang

ditanyakan kepada informan bisa mencakup hal-hal yang bersifat

lintas waktu, yang berkaitan dengan masa lampau, masa kini dan

14
M. Djunaedi Ghony & Fauzan Almanshur, Metode Penelitian Kualitatif, (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2012), h. 165.
13

juga masa mendatang.15 Peneliti melakukan wawancara kepada

subjek penelitian yaitu pengurus yang melakukan advokasi dan

keluarga korban yang dianggap berkepentingan dalam kegiatan

penelitian.

c. Dokumentasi, merupakan teknik pengambilan data penelitian yang

diperlukan melalui dokumen, baik dokumen yang tertulis, elektronik

maupun gambar.16 Metode dokumentasi ini dilakukan untuk

mendukung data lain yang telah terkumpul melalui observasi dan

wawancara.

5. Teknik Analisis Data

Secara umum dinyatakan bahwa analisis data merupakan suatu

pencarian pola-pola dalam data perilaku yang muncul, objek-objek, terkait

dengan fokus penelitian. Suatu pola diidentifikasi dan diinterpretasi

kedalam istilah-istilah teori sosial atau latar, di mana teori sosial itu terjadi.

penelitian kualitatif pindah dari deskripsi peristiwa historis atau latar sosial

ke interpretasi maknanya yang lebih umum. Analisis data mencakup,

menguji, menyeleksi, menyortir, mengategorikan mengevaluasi,

membandingkan, menyintesiskan, dan merenungkan data yang telah

direkam, juga meninjau kembali data mentah dan terekam.17

Adapun proses dari analisis data sebagai berikut:

15
Ibid, h. 176.
16
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta,
2014), h. 221.
17
M. Djunaedi Ghony & Fauzan Almanshur, Metode Penelitian Kualitatif, (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2012), h. 246.
14

1. Mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dan hal hal itu diberi

kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri.

2. Mengumpulkan, memilih dan memilah, mensintesiskan,

mengklarifikasikan, membuat ikhtisar dan membuat indeksnya.

3. Berpikir dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai

makna, mencari, dan menemukan pola dan hubungan-hubungan, dan

membuat temuan-temuan umum.18

Berdasarkan hal tersebut maka teknik analisis data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif, yaitu teknik analisis

yang menggambarkan dan memberikan analisa terhadap kenyataan di

lapangan. Deskripsi yang dilakukan meliputi deskripsi data dan deskripsi

hasil interpretasi data.

6. Teknik Keabsahan Data

Dalam kegiatan penelitian, peneliti menggunakan teknik triangulasi

untuk validasi data. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data

yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan

pengecekan atau sebagai pembanding terhadap itu.19 Dengan semakin

banyaknya sumber maka semakin valid data yang didapatkan peneliti.

7. Teknik Pemilihan Informan

Teknik yang digunakan untuk pemilihan informan dalam penelitian

ini adalah teknik purposive sampling yaitu penentuan sampel penelitian

18
Ibid, h.248.
19
Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2005), h. 178.
15

tidak secara random karena dianggap tidak penting. Oleh karena itu,

sampel ditentukan secara purposive (sengaja) sehingga sampel penelitian

tidak perlu mewakili populasi. Adapun pertimbangan purposive lebih pada

kemampuan sampel (informan) untuk memasok informasi selengkap

mungkin kepada peneliti. Dengan kata lain informan yang dipilih

berdasarkan pertimbangan tertentu dan dianggap sebagai orang-orang yang

dapat dalam memberikan informasi yang sesuai dengan kebutuhan

penelitian.20 Berikut ini tabel informan yang terpilih dalam pengumpulan

data yang diperluaskan dalam penelitian.

Tabel 1.1

Informan

No Informan Informasi yang dicari Jabatan


Gambaran umum LBH Pengacara
1 Ayu Eza Tiara Jakarta, peran pelayanan publik LBH
hukum Jakarta
Proses penanganan
Pengacara
kasus dan bentuk sinergi
2 Bunga M.R Siagian publik LBH
antara LBH Jakarta dan
Jakarta
Yayasan Pulih
Administrasi dan
Gambaran umum
3 Fransiskus Sugiarto humas Yayasan
Yayasan Pulih
Pulih
Advokasi sosial dan
bentuk sinergi antara Psikolog anak
4 Gisella T. Pratiwi
LBH Jakarta dan Yayasan Pulih
Yayasan Pulih
Kronologi dan dampak
Orang tua
5 HT psikologis yang dialami
korban
korban

20
M. Djunaedi Ghony & Fauzan Almanshur, Metode Penelitian Kualitatif, (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2012), h. 89.
16

Dalam melakukan wawancara, peneliti tidak bisa melakukan

penggalian data lebih mendalam dengan informan karena sesuai dengan

kode etik yang dimiliki LBH Jakarta dan Yayasan Pulih bahwa dalam

melakukan advokasi, advokat atau pendamping harus menjaga kerahasiaan

klien.

Dari pertanyaan yang peneliti ajukan kepada klien sebanyak 10

pertanyaan hanya disetujukan 3 pertanyaan karena dalam melakukan

wawancara kepada klien, peneliti didampingi oleh pengacara publik LBH

Jakarta yaitu Bunga Siagian. Berikut pertanyaan terlampir.

E. Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan tinjauan pustaka terhadap

beberapa skripsi terdahulu yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.

Adapun beberapa penelitian yang menggambarkan tema tentang apa yang

peneliti paparkan diantaranya yakni:

Pertama, skripsi dari Momba Donna Sari Lubis, mahasiswa UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, jurusan Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu

Dakwah dan Ilmu Komunikasi, tahun 2015 yang berjudul “Advokasi

Sosial Untuk Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di

LBH APIK Jakarta”. Dalam penelitian tersebut peneliti melihat bahwa

pembahasannya lebih terfokus kepada bagaimana tahapan dalam

memberikan perlindungan, jenis penanganan terhadap perempuan korban

kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh LBH APIK Jakarta

dan apa saja faktor penghambat dalam pemberian perlindungan.


17

Kedua, skripsi dari Ade Mega Suryani, mahasiswa UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, jurusan Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Dakwah

dan Ilmu Komunikasi, tahun 2014 yang berjudul “Upaya Komisi

Perlindungan Anak (KOMNAS PA) dalam Memberikan Perlindungan

Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual”. Dalam penelitian tersebut

peneliti melihat bahwa pembahasannya lebih terfokus kepada bagaimana

upaya Komnas PA dalam memberikan perlindungan terhadap anak korban

kekerasan seksual dan manfaat apa saja yang didapat dari korban

kekerasan seksual terhadap pelayanan Komnas PA.

Ketiga, skripsi dari Indah Amalia, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta, jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Dakwah dan

Komunikasi, tahun 2015 yang berjudul “Pendampingan Anak Korban

Kekerasan Fisik di Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Yogyakarta”.

Dalam penelitian tersebut peneliti melihat bahwa pembahasannya lebih

terfokus kepada bagaimana pendampingan anak korban kekerasan fisik di

Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Yogyakarta.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I: Merupakan bab pendahuluan yang menjelaskan latar

belakang masalah, pembatasan masalah, perumusahan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, dan

sistematika penulisan.
18

BAB II: Dalam bab ini membahas tinjauan umum mengenai

Advokasi terhadap anak korban kekerasan fisik di Yayasan Pulih yang

meliputi: Pengertian advokasi, tujuan advokasi, jenis-jenis advokasi

pekerja sosial, strategi advokasi, prinsip-prinsip advokasi, dinamika

advokasi, mandat pekerja sosial untuk melakukan advokasi, nilai dalam

advokasi pekerjaan sosial, kekerasan terhadap anak, bentuk-bentuk

kekerasan, pengertian kekerasan fisik.

BAB III: Dalam bab ini membahas tentang gambaran umum

lembaga yang nantinya akan menjelaskan profil LBH Jakarta dan profil

Yayasan Pulih.

BAB IV: Dalam bab ini berisi mengenai hasil penelitian dan

pembahasan tentang advokasi terhadap anak korban kekerasan (studi kasus

di Yayasan Pulih) serta bentuk sinergi antara Lembaga Bantuan Hukum

Jakarta dan Yayasan Pulih dalam menangani kasus kekerasan terhadap

anak.

BAB V: Merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari hasil

penelitian, saran-saran. Pada bagian akhir dari skripsi ini terdiri dari daftar

pustaka dan berbagai lampiran-lampiran yang terkait dengan penelitian.


BAB II

LANDASAN TEORI

A. Advokasi Sosial

1. Pengertian Advokasi Sosial

Menurut Bahasa Belanda, advocaat atau advocateur berarti

pengacara atau pembela. Karenanya tidak heran jika advokasi sering

diartikan sebagai kegiatan pembelaan kasus atau beracara di pengadilan.

Dalam bahasa Inggris, to advocate tidak hanya berati to defend (membela),

melainkan pula to promote (juga mengemukakan atau memajukan), to

create (menciptakan) dan melakukan to change (perubahan).1

Dalam pekerja sosial, tema advokasi dapat ditelusuri dari sejarah

pekerja sosial itu sendiri. Pekerja sosial wujud untuk membantu individu,

kelompok, dan orang yang tidak mampu agar mampu dapat membantu diri

mereka sendiri. Pekerja sosial berasal dari falsafah, nilai dan praktek

Judeo-Christian yang kemudian fenomena ini mengalami evolusi yang

mempengaruhi falsafah sosial dan nilai etika dalam memberikan

perlindungan dan bantuan kepada individu agar mereka berubah. Disinilah

asal muasal tema advokasi sehingga menjadi bagian yang tidak

terpisahkan dengan pekerja sosial.2

Menurut Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, advokasi sebagai

upaya pemberian jaminan kepada pihak yang sedang terlibat dengan kasus

1
Edi Suharto, Pekerjaan Sosial di Dunia Industri Memperkuat Corporate Social
Responsibility, (Bandung: Alfabeta, 2009), h.165.
2
Edi Suharto, Isu-isu Tematik Pembangunan Sosial: Konsepsi dan Strategi, (Jakarta:
Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial Departemen RI, 2004), h. 169.

19
20

untuk memperoleh peradilan. Peranan advokasi memiliki keterkaitan

dengan pekerja sosial. Konteks pekerja sosial dalam melakukan proses

advokasi menurut Jim Ife peranan pekerja sosial dalam mewakili

kepentingan-kepentingan klien berupa lobbying dengan para politisi atau

pemegang kekuasaan (Jaksa, Hakim, saksi dan lain-lain).3

Advokasi sosial menurut Nenden Desnawati dalam Forum

Komunikasi Fungsional Pekerja Sosial Jawa Timur yaitu merupakan upaya

pembelaan, pendampingan, sasaran pelayanan sosial dengan hak-haknya.4

Berdasarkan definisi di atas maka dapat dijelaskan bahwa advokasi

pekerjaan sosial itu terdiri dari beberapa komponen yaitu:

1) Ekslusif. Terma ini digunakan untuk menjelaskan hubungan antara

klien dan advokat yang menunjukkan hubungan tersebut hubungan

tunggal, unik, terfokus kepada klien, tanggung jawab utama kepada

klien, dan berpusatkan kepada kebutuhan manusia.

2) Timbal balik. Terma ini digunakan untuk menjelaskan hubungan

antara klien dan advokat sebagai hubungan timbal balik, saling

ketergantungan, kesamaan, bersama, berbagi tahap hubungan satu

sama lain, pertukaran gagasan dan merencanakan bersama-sama, dan

memiliki kebersamaan satu sama lain. Hubungan timbal balik

bermaksud bahwa advokat tidak mendominasi atau menyusun

agenda klien sebab kebutuhan klien diberi perhatian yang khusus.

3
Jim Ife dan Frank Tesorieo, Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi
Community Development, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 595-597.
4
Nenden Desnawari, Pentingnya Forum Perlindungan dan Advokasi Sosial, Forum
Komunikasi Fungsional Pekerja Sosial, (Jawa Timur, 2012).
21

Advokat bekerjasama dengan klien, dan mereka memprosesnya

sesuai dengan kesepakatan yang disetujui bersama-sama. Termasuk

dalam terma hubungan timbal balik ini adalah pemberdayaan sebagai

nilai pekerjaan sosial utama.

3) Representasi. Terma ini adalah berkaitan orientasi tindakan dan

menjelaskan aktivitas advokat dengan berbicara, menulis, atau

bertindak bagi pihak lain, berkomunikasi atau pernyataan kepedulian

terhadap klien.

4) Klien. Dalam advokasi pekerja sosial, klien mendelegasikan kepada

pekerja sosial untuk bertindak atas dirinya yaitu reperesentation

sebagaimana disebutkan di atas. Klien mungkin individu perorangan,

kelompok kecil atau besar, persatuan masyarakat, populasi etnik

tertentu, individu-individu dengan kesamaan karaktersitik dan

kepedulian.

5) Masalah penyebab. Masalah biasanya tunggal, kondisi atau masalah

yang menyebabkan sejumlah orang berminat dan dan mendukung.

Ada tiga jenis penyebab yaitu :

a. Helping cause, masalah pertolongan dimana advokat mencoba

memberikan pertolongan, kenyamanan, atau pendidikan kepada

korban kesalahan bantuan sosial termasuk rumah perlindungan

bagi wanita korban kekerasan atau perlindungan kepada lanjut

usia.
22

b. Protest cause atau tindakan protes, dimana advokat mencoba

mereformasi institusi yang menimbulkan masalah sosial,

mepersoalkan tingkah laku baru untuk memperbaiki kondisi,

contohnya rehabilitasi lingkungan kumuh, atau menuntut

pemerintah mengalokasikan dana untuk pelayanan kesehatan

mental berbasis masyarkat.

c. Revolutionary causes, dalam hal ini advokat berharap dapat

mengurangi isntitusi atau pihak-pihak yang yang tidak

mendukung perbaikan kondisi.

6) Forum. Sebuah forum adalah majelis yang diorganisir untuk

mendiskusikan isu, undang-undang, peraturan-peraturan, ketentuan-

ketentuan, masalah publik, atau penyampaian opini. Dua hal yang

perlu dilakukan untuk melaksanakan forum:

a. Menetapkan seperangkat prosedur yang memandu peserta.

b. Mekanisme pembuatan keputusan.

7) Sistematika. Advokasi pada dasrnya bersifat sistematik. Hal in

karena advokasi menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam

suatu perencanaan. Keputusan tidak didasarkan kepada intuisi

melainkan berdasarkan keterampilan menganalisis situasi bersama

klien.

8) Pengaruh. Pengaruh bermaksud modifikasi, perubahan, kesan,

tindakan, atau keputusan yang mempengaruhi klien.


23

9) Pembuatan keputusan. Terma ini merujuk kepada usaha

mempengaruhi. Paling utama adalah advokat ingin melakukan

perubahan dengan membuat keputusan berdasarkan rumusan dan

penilaian mengenai berbagai aspek seperti alokasi sumber daya,

keuntungan, kelayakan, dan akses pelayanan.

10) Tingkat ketidakadilan. Karakteristik terma ini adalah suatu tindakan,

pendirian, institusi, peraturan, prosedur atau keputusan tidak sesuai

dengan undang-undang atau prinsip-prinsip keadilan.

11) Tindak responsif. Terma ini khususnya diterapkan kepada

perorangan atau institusi yang gagal menjawab, mengakui, atau

merespon terhadap pertanyaan, permohonan, petisi, tuntutan, surat,

komunikasi, atau permohonan sesuai dengan masanya.

12) Sistem. Dalam konteks pekerjaan sosial, perkataan sistem merujuk

kepada badan yang terorganisasi yang didesain dan

bertanggungjawab untuk memberikan pelayanan kepada orang-orang

yang layak, mendistribusikan sumber, penegakan hukum dan

bertanggungjawab penuh dalam interaksi masyarakat dengan sistem

sumber.5

Menurut Sheafor advokasi sosial dapat dikelompokan ke dalam dua

jenis, yaitu advokasi kasus (case advocacy) dan advokasi kelas (class

advocacy).

5
Edi Suharto, Isu-Isu Tematik Pembangunan Sosial: Konsepsi dan Strategi, (Jakarta:
Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial Departemen Sosial RI, 2004), h. 170-173.
24

1) Advokasi kasus adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang

Pekerja Sosial untuk membantu klien agar mampu menjangkau

sumber atau pelayanan sosial yang lembaga, dunia bisnis atau

kelompok profesional terhadap klien dan klien sendiri tidak mampu

merespon situasi tersebut dengan baik. Pekerja Sosial berbicara,

berargumen, dan bernegosiasi atas nama klien individual.

Karenanya, advokasi ini sering disebut pula sebagai advokasi klien

(client advocacy).

2) Advokasi kelas menunjuk pada kegiatan-kegiatan atas nama kelas

atau sekelompok orang untuk menjamin terpenuhinya hak-hak warga

dalam menjangkau sumber atau memperoleh kesempatan-

kesempatan. Fokus advokasi kelas adalah mempengaruhi atau

melakukan perubahan-perubahan hukum dan kebijakan publik pada

tingkat lokal maupun nasional. Advokasi kelas melibatkan proses-

proses politik yang ditujukan untuk memperngaruhi keputusan-

keputusan pemerintah yang berkuasa. Pekerja Sosial biasanya

bertindak sebagai perwakilan sebuah organisasi, bukan sebagai

seorang praktisi mandiri. Advokasi kelas umumnya dilakukan

melalui koalisi dengan kelompok dan organisasi lain yang memiliki

agenda yang sejalan.6

Pekerja sosial adalah orang yang mempunyai keahlian melakukan

advokasi sebagai penguatan dan pemulihan diri anak yang berkonflik

6
Edi Suharto, Pekerja Sosial di Dunia Industri Memperkuat Coorporate Social
Responbility , (Bandung: AlfabetaI, 2009), h.166.
25

dengan hukum. Peranan pekerja sosial sebagai seorang advokad adalah

sebagai berikut :

1. Menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan

seorang atau beberapa orang pendamping.

2. Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat

pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban untuk secara

obyektif (lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang

dialaminya).

3. Mendengarkan secara empati segala penuntutan korban sehingga

korban merasa aman didampingi oleh pendamping

4. Memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik

kepada korban.

Karakteristik profesionalisme pekerja sosial adalah penekanannya

pada tiga dimensi yaitu kerangka pengetahuan, nilai, dan keterampilan,

yang dalam pendidikannya, harus dikembangakan ketiga-tiganya secara

seimbang dan simultan. Pekerja Sosial sejak semula mempunyai komitmen

tinggi terhadap penanaman nilai dalam proses pendidikannya, serta

merumuskan dirinya sebagai bukan profesi yang bebas nilai, tetapi

berkiprah dalam suatu posisi nilai yang jelas dan eksplisit, seperti martabat

manusia, keadilan sosial, keberpihakan kepada mereka yang tidak

beruntung.

Penekanan pada pengetahuan, keterampilan dan nilai mempunyai

implikasi terhadap hakikat pratek Pekerjaan Sosial. Bila pengetahuan


26

dipandang sebagai sama pentingnya dengan keterampilan, maka

pemahaman sama pentingnya dengan kompetensi. Pekerja sosial

memandang dirinya sebagai pemikir dan pekerja, serta sebagai orang yang

harus membuat pertimbangan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman

sebelum bertindak.

Pekerja sosial melakukan praktek dalam lingkungan pengaturan,

panduan praktek, serta arahan administratif. Menghubungkan dan

memperkuat pengetahuan, nilai dan keterampilan menimbulkan

permasalahan tersendiri bagi pekerja sosial dalam lingkungan politik,

birokrasi dan managerial, dimana pekerja sosial perlu menyesuaikan diri.

2. Tujuan Advokasi

Pada dasarnya tujuan advokasi adalah untuk mengubah kebijakan

program atau kedudukan dari sebuah pemerintahan, institusi atau

organisasi. Advokasi pada hakikatnya adalah apa yang ingin kita rubah,

siapa, yang akan melakukan perubahan tersebut, seberapa besar dan kapan

perubahan itu bermula. Meskipun tidak ada jangka waktu yang pasti untuk

mencapai tujuan advokasi, namun umumnya kegiatan pencapaian tujuan

advokasi berlangsung antara 1-3 tahun. Tujuan advokasi semestinya dapat

diukur dan bersifat spesifik. Tujuan advokasi juga haruslah merupakan

langkah peningkatan realistis kearah tujuan yang lebih luas atau menuju

suatu visi tertentu. Menurut Zastrow advokasi adalah menolong klien atau

sekelompok klien untuk mencapai layanan tertentu ketika mereka ditolak


27

suatu lembaga atau sistem pelayanan, dan membantu memperluas layanan

agar mencakup lebih banyak orang yang membutuhkan.

3. Jenis-jenis Advokasi Pekerja Sosial

Scheneider mengemukakan 4 jenis advokasi dalam pekerja sosial, yaitu :

1) Advokasi klien (client advocacy). Tujuan akhirnya adalah untuk

membantu klien tentang bagaimana klien berjuang memenangkan

pertarungan terhadap hak-haknya di lembaga lain dan sistem

pelayanan sosial yang ada. Advokasi ini bersifat individu. Advokasi

ini dilaksanakan pada saat individu mendapatkan suatu masalah dan

membutuhkan advokasi untuk menyelesaikan permasalahannya

dengan dibantu oleh para advokat. Dan advokasi ini biasanya

bersifat tertutup.

2) Advokasi masyarakat (cause advocacy). Advokasi pekerja sosial

selalu membantu klien individu, dan keluarga dalam memperoleh

pelayanan. Jika terdapat masalah yang mempengaruhi kelompok

yang lebih besar maka advokasi ini yang paling sesuai digunakan.

Advokasi ini dilaksanakan pada saat masyarakat tidak memperoleh

pelayanan yang semetinya didapatkan sehingga ada sesuatu yang

harus diperjuangkan mengenai hak dan kewajiban yang tidak

terpenuhi.

3) Advokasi legislatif (legislative advocacy). Advokasi jenis ini

biasanya dilakukan untuk mempengaruhi proses pembuatan suatu

undang-undang.
28

4) Advokasi Administrasi (administrative advocacy). Advokasi jenis ini

bertujuan untuk memperbaiki atau mengoreksi keluhan-keluhan

administratif dan mengatasi masalah-masalah administratif.7

4. Strategi Advokasi

Strategi advokasi dibagi ke dalam tiga setting atau aras (mikro,

mezzo dan makro) dan mengkajinya dari empat aspek (tipe advokasi,

sasaran atau klien, peran pekerja sosial dan teknik utama) seperti yang

ditampilkan tabel:

Tabel 2.1

Strategi Advokasi

SETTING
ASPEK
MIKRO MEZZO MAKRO
Tipe Advokasi Advokasi Kasus Advokasi Kelas Advokasi Kelas

Sasaran atau Kelompok


Individu dan Masyarakat lokal
formal dan
Klien Keluarga dan nasional
organisasi
 Aktivis
Peran Pekerja
 Analisis
Broker Mediator
Sosial kebijakan

 Aksi sosial
Manajemen
Jejaring  Analisis
Teknik Utama kasus (case
(networking) kebijakan
management)

Sumber: dikembangkan dari DuBois dan Milley (2005).

7
Edi Suharto, Isu-Isu Tematik Pembangunan Sosial: Konsepsi dan Strategi, (Jakarta:
Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial Departemen Sosial RI, 2004), h. 174-175.
29

Advokasi yang dilakukan Pekerja sosial dalam memberdayakan

orang miskin biasanya dilakukan dengan membantu klien mengakses

sumber-sumber, mengkoordinasi distribusi pelayanan sosial atau

merancang-kembangkan kebijakan-kebijakan dan program-program

kesejahteraan sosial. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan bagian dari

fungsi manajemen sumber.

Dengan demikian, manajemen sumber mencakup pengkoordinasian,

pensistematisan dan pengintegrasian sumber-sumber dan pelayanan-

pelayanan sosial yang dapat meningkatkan kepercayaan diri, kapasitas

pemecahan masalah, dan kemampuan memenuhi kebutuhan klien.

1. Aras Mikro

Pada aras mikro, peran utama Pekerja sosial adalah sebagi broker

(pialang) sosial yang menghubungkan klien dengan sumber-sumber

yang tersedia di lingkungan sekitar. Sebagai pialang sosial, teknik

utama yang mengkoordinasi berbagai pelayanan sosial yang

disediakan oleh beragam penyedia. Beberapa kegiatan yang dapat

dilakukan meliputi:

a. Melakukan asesmen terhadap situasi dan kebutuhan khusus klien.

b. Memfasilitasi pilihan-pilihan klien dengan berbagai informasi dan

sumber alternatif

c. Membangun kontak antara klien dan lembaga-lembaga pelayanan

sosial
30

d. Menghimpun informasi mengenai berbagai jenis dan lokasi

pelayanan sosial, parameter pelayanan, dan kriteria eljibilitas

(kelayakan).

e. Mempelajari kebijakan-kebijakan, syarat-syarat, prosedur-

prosedur dan proses-proses pemanfaatan sumber-sumber

kemasyarakatan.

f. Menjalin relasi kerjasama dengan berbagai profesi kunci.

g. Memonitor dan mengevaluasi distribusi pelayanan.

2. Aras Mezzo

Sebagai mediator, Pekerja sosial mewakili dan mendampingi

kelompok-kelompok formal atau organisasi dalam mengidentifikasi

masalah sosial yang dihadapi bersama, merumuskan tujuan,

mendiskusikan solusi-solusi potensial, memobilisasi sumber,

menerapkan, memonitor dan mengevaluasi rencana aksi. Teknik

advokasi yang dilakukan adalah membangun jejaring (networking)

guna mengkoordinasi dan mengembangkan pelayanan-pelayanan

sosial, embangun koalisi dengan berbagai kelompok, organisasi,

lembaga bisnis dan industri serta tokoh-tokoh berpengaruh dalam

masyarakat yang memiliki kepentingan sama. Kegiatan yang dapat

dilakukan Pekerja sosial sebagai mediator diantaranya mencakup:

a. Menelisik pandangan dan kepentingan-kepentingan khusus dari

masing-masing pihak.
31

b. Menggali kesamaan-kesamaan yang dimiliki oleh pihak-pihak

yang mengalami konflik.

c. Membantu pihak-pihak agar dapat bekerja sama dengan berbagai

faksi.

d. Mendefinisikan, mengkonfrontasi dan menangani berbagi

hambatan komunikasi.

e. Mengidentifikasi berbagai manfaat yang ditimbulkan dari sebuah

koalisi atau kerjasama.

f. Memfasilitasi pertukaran informasi serta terbuka diantara

berbagai pihak yang terlibat.

g. Bersikap netral, tidak memihak, dan pada saat yang sama tetap

percaya diri, yakin dan optimis terhadap manfaat kerjasama dan

perdamaian.

3. Aras Makro

Peran pekerja sosial pada tataran makro adalah menjadi dan analisis

kebijakan. Sebagai aktivis, Pekerja sosial terlibat langsung dalam

gerakan perubahan dan aksi sosial bersama masyarakat.

Meningkatkan kesadaran publik terhadap masalah sosial dan

ketidakadilan, memobilisasi sumber untuk mengubah kondisi-

kondisi yang buruk dan tidak adil, melakukan lobby dan negosiasi

agar tercapai perubahan di bidang hukum, termasuk melakukan class

action.
32

Peran analisis kebijakan lebih bersifat tidak langsung dalam

melakukan reformasi sosial. Pekerja sosial melakukan identifikasi

asalah dan kebutuhan masyarakat, mengevaluasi bagaimana respon

pemerintah terhadap masalah, mengajukan opsi-opsi kebijakan dan

memantau penerapan kebijakan. Analisis kebijakan dapat dilakukan

melalui tiga pendekatan, yaitu pendekatan prospektif, retrospektif

dan integratif.

a. Pendekatan prospektif. Analisis dilakukan terhadap kondisi sosial

masyakarat sebelum kebijakan diterapkan. Mengajukan opsi

kebijakan baru terhadap pemerintah untuk merespon kondisi atau

masalah sosial yang dihadapi masyarakat, karena belum ada

kebijakan untuk itu.

b. Pendekatan retrospektif. Analisis dilakukan terhadap kebijakan

yang sudah ada, artinya menganalisis dampak-dampak yang

ditimbulkan akibat diterapkannya sebuah kebijakan.

c. Pendekatan integratif. Perpaduan dari kedua pendekatan di atas.

Analisis dilakukan baik sebelum maupun sesudah kebijakan

diterapkan.

5. Prinsip-Prinsip Advokasi

Sejak tujuan advokasi adalah melakukan perubahan, maka akan

selalu ada resistansi, oposisi dan konflik. Tidak ada faktor tunggal yang

menjamin keberhasilan advokasi. Beberapa prinsip di bawah ini bisa

dijadikan pedoman dalam merancang advokasi yang sukses.


33

1. Realistis. Advokasi yang berhasil bersandar pada isu dan agenda

yang spesifik, jelas dan terukur.

2. Sistematis. Advokasi adalah seni, tetapi bukan lukisan abstrak.

Advokasi memerlukan perencanaan yang akurat.“If we fail to plan,

we plan to fail,” artinya jika kita gagal merencanakan, maka itu

berarti kita sedang merencanakan kegagalan. Kemas informasi

semenarik mungkin. Libatkan media secara efektif. Proes advokasi

dapat dimulai dengan memilih dan mendefinisikan isu strategis,

membangun opini dan mendukungnya dengan fakta, memahami

sistem kebijakan publik, membangun koalisi, merancang sasaran dan

taktik, mempengaruhi pembuat kebijakan, dan memantau serta

menilai gerakan atau program yang dilakukan.

Gambar 2.1

Proses Advokasi

Memahami
Memilih Membangun
sistem
isu opini & fakta
kebijakan
strategis publik

Membangun
Koalisi

Memantau Mempengaruhi Merancang


& menilai pembuat sasaran &
gerakan kebijakan taktik

Sumber: Topatimasang, Fakih dan Rahardjo (2000) dimodifikasi.


34

3. Taktis. Pekerja sosial harus membangun koalisi atau aliansi atau

sekutu dengan pihak lain. Sekutu dibangun berdasarkan kesamaan

kepentingan dan saling percaya. Sekutu terdiri dari sekutu dekat dan

sekutu jauh. Sekutu dekat biasanya dinamakan lingkar inti, yakni

kumpulan orang atau organisasi yang menjadi penggagas,

pemrakarsa, penggerak dan pengendali utama seluruh kegiatan

advokasi. Sekutu jauh adalah pihak-pihak lain yang mendukung kita,

namun tidak terlibat dalam gerakan advokasi secara langsung.

4. Strategis. Advokasi melibatkan penggunaan kekuasaan atau power.

Kekuasaan intinya menyangkut kemampuan untuk mempengaruhi

dan membuat orang berperilaku seperti yang kita harapkan.

5. Berani. Advokasi menyentuh perubahan dan rekayasa sosial secara

bertahap. “Trust your hopes, not fear”. Jadikan isu dan strategi yang

telah dilakukan sebagai motor gerakan dan tetaplah berpijak pada

agenda bersama. Pragmatis tanpa harus opportunis.8

6. Unsur-unsur Pokok Kegiatan Advokasi

Dalam advokasi sosial terdapat beberapa unsur pokok penting, yaitu:

1) Memilih tujuan advokasi. Masalah yang diadvokasi mungkin sangat

kompleks. Oleh sebab itu, agar advokasi berhasil maka tujuan

advokasi harus dipertajam sedemikian rupa.

2) Mengunakan data dan penelitian untuk advokasi. Data dan penelitian

merupakan hal yang sangat penting untuk membuat keputusan yang

8
Edi Suharto, Pekerja Sosial di Dunia Industri Memperkuat Coorporate Social
Responbility , (Bandung: AlfabetaI, 2009), h.167-172
35

tepat ketika memilih masalah yang akan diadvokasi,

mengidentifikasi cara permasalahan bagi masalah tersebut, dan

menentukan tujuan yang realistis. Data yang valid, lengkap dan

akurat juga dapat menjadi argumentasi yang kuat.

3) Mengidentifikasi sasaran advokasi. Jika masalah dan tujuan telah

ditetapkan, maka kegiatan advokasi harus diarahkan kepada orang-

orang yang memiliki otoritas untuk mengambil keputusan, misalnya

staf, pimpinan, orang tua, media, dan masyarakat.

4) Mengembangkan dan menyampaikan pesan advokasi. Sasaran

advokasi berbeda-beda memberikan respon terhadap pesan yang

berbeda pula.

5) Membentuk koalisi. Kekuatan advokasi kerap kali ditentukan oleh

kuatnya koalisi beberapa orang, organisasi, atau lembaga yang

mendukung tujuan advokasi. Bahkan melibatkan banyak orang yang

mewakili kepentingan berbeda-beda dapat memberi keuntungan dari

sisi keamanan bagi advokasi maupun untuk memperoleh dukungan

politik.

6) Membuat presentasi yang persuasif. Kesempatan untuk

mempengaruhi sasaran advokasi baik individu maupun organisasi

kadangkala sangat terbatas.

7) Mengumpulkan dana untuk kegiatan advokasi. Kegiatan advokasi

memerlukan dana. Usaha untuk melakukan advokasi secara

berkelanjutan dalam waktu yang panjang berarti menyediakan waktu


36

dan energi dalam mengumpulkan dana atau sumber daya yang lain

untuk mendukung tugas advokasi.

8) Mengevaluasi usaha advokasi. Paling akhir dari kegiatan advokasi

adalah evaluasi untuk mengetahui apakah tujuan advokasi telah

tercapai.9

7. Dinamika Proses Advokasi

Advokasi merupakan proses yang dinamis yang menyangkut pelaku,

gagasan, agenda dan politik yang selalu berubah. Proses ini berlangsung

dalam lima tahap:10

1) Mengidentifikasi masalah. Langkah pertama adalah mengidentifikasi

masalah untuk mengambil tindakan kebijakan. Tahap ini mengacu

pada penetapan agenda. Pekerja sosial sebagai advokat harus

menentukan masalah mana yang perlu dituju dan diusahakan untuk

mencapai lembaga yang menjadi sasarn agar diketahui bahwa isu

tersebut memerlukan tindakan.

2) Merumuskan solusi. Pekerja sosial yang berperan sebagai advokat

harus merumuskan solusi mengenai masalah yang telah diidentifikasi

dan memlilih salah satu yang paling mudah ditangani secara politis,

ekonomis dan sosial.

9
Edi Suharto, Isu-Isu Tematik Pembangunan Sosial: Konsepsi dan Strategi, (Jakarta:
Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial Departemen Sosial RI, 2004), h. 113.
10
Edi Suharto, Pekerja Sosial di Dunia Industri Memperkuat Coorporate Social
Responbility , (Bandung: AlfabetaI, 2009).
37

3) Membangun kemauan politik. Membangun kemauan politik untuk

bertindakmenangani isu dan mendapatkan solusinya merupakan

bagian terpenting dan advokasi.

4) Melaksanakan kebijakan. Jika masalahnya telah dikenal pasti, solusi

telah dirumuskan serta adanya kemauan politik untuk bertindak

maka peluang ini dapat dijadikan titik masuk pekerja social untuk

bertindak melaksanakan kebijakan.

5) Evaluasi. Kegiatan advokasi yang baik harus menilai efektifitas

advokasi yang telah dilakukan.

8. Mandat Pekerja Sosial Untuk Melakukan Advokasi

Profesi pekerjaan sosial pada dasarnya melaksanakan advokasi klien

berdasarkan tanggungjawab etika dan fungsi utama praktek pekerjaan

sosial. Terdapat beberapa obligasi yang mendasari praktek advokasi yang

dilakukan oleh pekerja sosial antara lain:11

1) Kode Etik. Dalam kode etik tercantum nilai-nilai dan prinsip etika

antara lain dinyatakan bahwa tujuan utama pekerja sosial adalah

membantu orang dalam memenuhi kebutuhan dan ditujukan kepada

pemecahan masalah sosial, menentang ketidakadilan sosial,

menghargai harkatdan martabat manusia serta mempromosikan

kesejahteraan umum masyarakat. Kode etik juga mencantumkan

tentang perlunya pekerja sosial menyadari dampak arena dan

kebijakan politik terhadap praktek yang karenanya perlu advokasi

11
Edi Suharto, Pekerja Sosial di Dunia Industri Memperkuat Coorporate Social
Responbility , (Bandung: AlfabetaI, 2009).
38

untuk perubahan kebijakan dan perundangan yang dapat

meningkatkan kondisi sosial dalam memenuhi kebutuhan dasar

manusia dan keadilan sosial.

2) Pemahaman Pekerjaan Sosial tentang Person-in Environment.

Profesi pekerjaan sosial mempunyai pendekatan yang unik dalam

membantu orang tumbuh dan berkembang yaitu keyakinan bahwa

persekitaran atau lingkungan sosial individual mempengaruhi

kesejateraan mereka secara langsung. Oleh sebab itu dalam

membantu individu-individu dengan permasalahannya juga harus

mampu mengintervensi secara efektif pada level masyarakat, daerah,

nasional atau internasional.

3) Posisi Historis Advokasi dalam Pekerjaan Sosial berdasarkan

sejarah, advokasi mendapat tempat utama dalam praktek pekerjaan

sosial.

4) Sanksi Masyarakat dari Advokasi. Masyarakat modern telah

mengakui pekerjaan sosial sebagai disiplin profesional untuk

membantu individu dan kelompok yang tidak terlibat dalam

pembangunan industri, perkotaan dan teknologi.

5) Alasan pribadi untuk menjadi seseorang advokat. Berdasarkan hasil

penelitian, seseorang menjadi seorang advokat disebabkan alasan-

alasan pribadi seperti frustasi dengan pekerjaan yang ada, latar

belakang keluarga, latar belakang pribadi terlibat dalam

kesukarelaan, pengalaman seseorang dibawah tekanan, dan


39

pembacaan tentang perubahan sosial telah turut mempengaruhi

mereka dan evolusi ideologi pribadi yang mencerminkan keyakinan

mereka tentang perubahan.

6) Pengaruh badan sosial tempat praktek pekerjaan sosial. Pekerja

sosial yang bekerja di sebuah badan atau organisasi dimana advokasi

ditonjolkan mau tidak mau turut mempengaruhi praktek advokasi.

Fungsi agensi mungkin yang utama adalah mencari faktor penyebab

masalah.

9. Nilai Dalam Advokasi Pekerjaan Sosial

Nilai merujuk kepada keyakinan yang penting, dimensi yang penting

dan isu fital yang ada pada individu atau oleh kelompok. Advokasi

pekerjaan sosial mengandung beberapa nilai yang menunjukkan profesi

pekerjaan sosial mempunyai harga diri yang tinggi dan fundamental

bentuk yang asli suatu profesi. Nilai dasar dalam praktek advokasi

pekerjaan sosial antara lain:

1) Hak dan martabat individual.

2) Pemberian suara kepada yang tiada kuasa.

3) Penentuan diri sendiri.

4) Pemberdayaan dan perspektif penguatan.

5) Keadilan sosial.12

12
Edi Suharto, Pekerja Sosial di Dunia Industri Memperkuat Coorporate Social
Responbility , (Bandung: AlfabetaI, 2009), h. 177-180.
40

B. Kekerasan Terhadap Anak

1. Pengertian Kekerasan terhadap Anak

Menurut WHO kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan

kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau

sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau

kemungkinan besar mengakibatkan memar, trauma, kematian, kerugian

psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.

Kata kekerasan berasal dari bahasa latin, yaitu violentina, yang

berarti kekerasan, keganasan, kedahsyatan, aniaya dan perkosaan.13

Kekerasan dalam Kamus Bahasa Indonesia adalah:

1. Perihal yang bersifat, berciri keras.

2. Perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cidera

atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau

barang orang lain, atau ada paksaan.14

Menurut Yayah Khisbiyyah, seorang pakar psikolog memberikan

tanggapan mengenai kekerasan terhadap anak dalam bukunya yang

berjudul “Melawan kekerasan tanpa kekerasan, Agresi dan Kekerasan:

Perspektif Teori Psikologi” bahwa kekerasan adalah suatu agresi atau

serangan yang mengakibatkan kerusakan atau gangguan menyakitkan yang

ditujukan kepada orang lain dengan niat terencana.15

13
K Prent XC, MJ Adi Subrata, WJS Purwadarminta, Kamus Latin-Indonesia,
(Yogyakarta: Kanisius, 1969), h.930.
14
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Pustaka Utama, 2008), h. 667.
15
Yayah Khisbiyyah, Melawan kekerasan tanpa kekerasan, Agresi dan Kekerasan:
Perspektif Teori Psikologi, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h.3.
41

Kekerasan terhadap anak merupakan segala bentuk perbuatan dan

tindakan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara

fisik, seksual dan psikis yang terjadi kepada anak. Di Amerika Serikat,

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) mendefinisikan

penganiayaan anak sebagai setiap tindakan atau serangkaian tindakan wali

atau kelalaian oleh orang tua atau pengasuh lainnya yang dihasilkan dapat

membahayakan, atau berpotensi bahaya, atau memberikan ancaman yang

berbahaya kepada anak.

Dalam ajaran agama islam, sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat

Al-Qur’an dan Sunnah Rasul serta pendapat para ulama, anak menempati

posisi yang sangat mulia, sejak masa pembuahan, pembentukan embrio,

perkembangan janin, hingga ia menjadi manusia dewasa sebagai khalifah

di muka bumi.

Anak merupakan buah hati kedua orang tuanya yang dapat

menyenangkan hati, dan memberikan kebahagiaan serta sebagai perhiasan

pada kehidupan rumah tangga, karena sudahlah lengkap kebahagiaan

dengan hadirnya buah hati (anak) sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-

Furqan ayat 74:16

‫اجنَا َو ُذرِّ يَّاتِنَا قُ َّزةَ أَ ْعي ٍُه َواجْ َع ْلنَا لِ ْل ُمتَّقِيهَ إِ َما ًما‬
ِ ‫َوالَّ ِذيهَ يَقُولُونَ َربَّنَا هَبْ لَنَا ِم ْه أَ ْس َو‬
Artinya: “Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah
kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-
orang yang bertakwa.”

16
Hasan Al-Banna, dkk, Departemen agama RI Al-Qur’an dan Terjemahan Woman,
(Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2010), h. 366.
42

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 35 tahun 2014

tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang

perlindungan anak, telah menyatakan bahwa: “tanpa terkecuali, siapapun

yang termasuk dalam kategori anak berhak mendapatkan hak-haknya

sebagai anak”.17

PBB mengesahkan Konvensi Hak-hak Anak (Convention On The

Rights of The Child) untuk memberikan perlindungan terhadap anak dan

menegakkan hak-hak anak di seluruh dunia pada tanggal 20 November

1989 dan mulai mempunyai kekuatan memaksa (entered in to force) pada

tanggal 2 September 1990. Konvensi ini telah diratifikasi oleh semua

negara di dunia, kecuali Somalia dan Amerika Serikat. Indonesia telah

meratifikasi Konvensi Hak Anak ini dengan Keputusan Presiden Nomor

36 Tahun 1996. Menurut KHA yang diadopsi dari majelis ulama PBB

tahun 1989, setiap anak tanpa memandang ras, jenis kelamin, asal-usul

keturunan, agama, maupun bahasa, mempunyai hak-hak yang mencakup

empat bidang:

1) Hak atas kelangsungan hidup, menyangkut hak atas tingkat hidup

yang layak dan pelayanan kesehatan.

2) Hak untuk berkembang, mencakup hak atas pendidikan, informasi,

waktu luang, kegiatan seni dan budaya, kebebasan berpikir,

berkeyakinan dan beragama, serta hak anak cacat atas pelayanan,

perlakuan dan perlindungan khusus.

17
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perlindungan Anak.
43

3) Hak perlindungan, mencakup perlindungan atas segala bentuk

eksploitasi, perlakuan kejam, dan perlakuan sewenang-wenang

dalam proses peradilan pidana.

4) Hak partisipasi, meliputi kebebasan untuk menyatakan pendapat,

berkumpul dan berserikat, serta hak untuk ikut serta dalam

pengambilan keputusan yang menyangkut dirinya.18

Berdasarkan beberapa rumusan pengertian tentang kekerasan, dapat

diperoleh kesimpulan bahwa kekerasan merupakan suatu tindakan yang

dapat berakibat terjadinya kerusakan pada orang lain yang tidak saja

berupa hal-hal yang fisik, tetapi juga menyangkut psikis, ekonomi, seksual

dan sebagainya. Kekerasan tidak hanya terjadi pada ruang lingkup rumah

tangga (keluarga) saja tetapi kekerasan juga terjadi pada relasi personal

dan relasi kerja.

2. Bentuk-Bentuk Kekerasan

Untuk mengetahui bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi pada anak

sesungguhnya tidaklah sulit dan tidak jauh dari sekitar kita. Realita

kekerasan yang dialami anak-anak sampai saat ini terjadi masalah yang

cukup besar di Indonesia. Pemberitaan pada media seperti, media cetak

dan media elektronik mengenai kekerasan terhadap anak dapat dijumpai

setiap hari.

18
Abu Hurarerah, Child Abuse (Kekerasan Terhadap Anak), (Bandung: Nuansa, 2007), h.
32-33.
44

Dari klarifikasi yang dilakukan para ahli, tindakan kekerasan atau

pelanggaran hak terhadap anak tersebut dapat terwujud setidaknya dalam

empat bentuk, yaitu:

a) Penelantaran anak

Penelantaran anak adalah praktik melepaskan tanggung jawab dan

klaim atas keturunan dengan cara ilegal. Hal ini antara lain

disebabkan oleh faktor-faktor seperti faktor ekonomi dan sosial, serta

penyakit mental. Seorang anak yang ditinggalkan atau dibuang oleh

orangtuanya disebut dengan bayi telantar atau anak buangan

(berbeda dengan anak yang kabur atau yatim piatu). Sedangkan

penelantaran bayi mengacu pada orangtua (biasanya ibu) yang

meninggalkan atau membuang bayinya yang berusia kurang dari 12

bulan dengan sengaja di tempat umum ataupun tempat tersembunyi

dengan maksud untuk membuangnya.

b) Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik adalah agresi fisik diarahkan pada seorang anak oleh

orang dewasa. Bentuk kekerasan ini paling mudah dikenali seperti;

menampar, menendang, memukul, atau meninju, mencekik,

mendorong, menggigit, membenturkan, mengancam dengan benda

tajamdan sebagainya. Korban kekerasan jenis ini biasanya lebih

mudah diketahui karena akibatnya bisa terlihat pada tubuh korban

kasus physical abuse, seperti; luka memar, berdarah, patah tuang,

pingsan, dan bentuk lain yang kondisinya lebih berat. Persentase


45

tertinggi usia 0-5 tahun (32.3%) dan terendah usia 13-15 tahun

(16.2%).

c) Pelecehan seksual anak

Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan

anak di mana orang dewasa atau pelanggaran yang dilakukan oleh

remaja yang lebih tua terhadap seorang anak untuk mendapatkan

stimulasi seksual. Jenis kekerasan seksual ini termasuk dalam

kategori segala tindakan yang muncul dalam bentuk paksaan atau

mengancam untuk melakukan hubungan seksual, melakukan

penyiksaan atau bertindak sadis serta meninggalkan seseorang

termasuk mereka yang tergolong masih berusia anak-anak setelah

melakukan hubungan seksualitas. Segala perilaku yang mengarah

pada tindakan pelecehan seksual terhadap anak-anak, baik di

sekolah, didalam keluarga, maupun di lingkungan sekitar tempat

tinggal anak juga termasuk dalam kategori kekerasan atau

pelanggaran terhadap hak anak.19 Sekitar 15% sampai 25% wanita

dan 5% sampai 15% pria yang mengalami pelecehan seksual ketika

mereka masih anak-anak. Kebanyakan pelaku pelecehan seksual

adalah orang yang kenal dengan korban mereka; sekitar 30% adalah

keluarga dari anak, paling sering adalah saudara, ayah, ibu, paman

atau sepupu, sekitar 60% adalah kenalan teman lain seperti keluarga,

19
Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2003), h. 29-30
46

pengasuh anak, atau tetangga; orang asing adalah yang melakukan

pelanggar hanya sekitar 10% dari kasus pelecehan seksual anak.20

d) Kekerasan emosional atau psikologis

Dari semua kemungkinan bentuk pelecehan, pelecehan emosional

adalah yang paling sulit untuk didefinisikan. Itu bisa termasuk nama

panggilan, ejekan, degradasi, perusakan harta benda, penyiksaan atau

perusakan terhadap hewan peliharaan, kritik yang berlebihan,

tuntutan yang tidak pantas atau berlebihan, pemutusan komunikasi,

dan pelabelan sehari-hari atau penghinaan.

Korban kekerasan emosional dapat bereaksi dengan menjauhkan diri

dari pelaku, internalisasi kata-kata kasar atau dengan menghina

kembali pelaku penghinaan. Kekerasan emosional dapat

mengakibatkan gangguan kasih sayang yang abnormal atau

terganggu, kecenderungan korban menyalahkan diri sendiri

(menyalahkan diri sendiri) untuk pelecehan tersebut, belajar untuk

tak berdaya, dan terlalu bersikap pasif.

3. Pengertian Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik adalah kekerasan yang melibatkan kontak langsung

dan dimaksudkan untuk menimbulkan perasaan intimidasi, cedera, atau

penderitaan fisik lain atau kerusakan tubuh. Kekerasan fisik yaitu jenis

kekerasan yang kasat mata. Artinya, siapapun bisa melihatnya karena

terjadi sentuhan fisik antara pelaku dengan korbannya. Contohnya adalah:

20
Ibid.
47

menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal, meludahi, memalak,

melempar dengan barang, dan lain-lain.

Kekerasan fisik yang terjadi kepada anak-anak biasanya

menimbulkan dampak atau akibat terhadap fisik anak sehingga fisik anak-

anak yang menjadi korban kekerasan biasanya mengalami memar, luka

bakar, patah tulang, trauma kepala, cedera pada perut dan cedera lainnya

pada tubuh karena berbagai bentuk kekerasan yang di dapatinya.

Dampak kekerasan pada anak yang diakibatkan oleh orangtuanya sendiri

atau orang lain sangatlah buruk, antara lain:

1. Agresif

Sikap ini biasa ditujukan anak kepada pelaku kekerasan. Umumnya

ditujukan saat anak tidak ada orang yang bisa melindungi dirinya. Saat

orang yang dianggap tidak bisa melindunginya itu ada disekitarnya, anak

akan langsung memukul atau melakukan tindak agresif terhadap si pelaku.

Tetapi tidak semua sikap agresif anak muncul karena telah mengalami

tindak kekerasan.

Anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya akan

menjadi sangat agresif, dan setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam

kepada anak-anaknya. Orang tua agresif melahirkan anak-anak yang

agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang menjadi

agresif. Lawson menggambarkan bahwa semua jenis gangguan mental ada

hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia

masih kecil. Kekerasan fisik yang berlangsung berulang-ulang dalam


48

jangka waktu lama akan menimbulkan cedera serius terhadap anak,

meninggalkan bekas luka secara fisik hingga menyebabkan korban

meninggal dunia.

2. Murung atau Depresi

Kekerasan mampu membuat anak berubah drastis seperti menjadi

anak yang memiliki gangguan tidur dan makan, bahkan bisa disertai

penurunan berat badan. Ia akan menjadi anak yang pemurung, dan terlihat

kurang ekspresif.

3. Mudah menangis

Sikap ini ditunjukkan karena anak merasa tidak nyaman dan aman

dengan lingkungan sekitarnya. Karena dia kehilangan figur yang bisa

melindunginya, kemungkinan besar pada saat dia besar, dia tidak akan

mudah percaya pada orang lain.

4. Melakukan tindak kekerasan terhadap orang lain

Sering mendapatkan perlakuan kekersan fisik yang diterima oleh

anak, menyebabkan berubahnya sikap anak kepada orang di sekitarnya.

Anak tersebut menjadi hiperaktif, emosional, berperilaku aneh, dan

gangguan pengendalian diri. Anak yang sering mendapat kekerasan akan

menganggap bahwa melakukan kekerasan dapat digunakan sebagai

masalah penyelesaian masalah secara mudah. Dengan demikian anak akan

meniru dan melampiaskan kepada orang lain, karena mereka menganggap

kekerasan adalah cara untuk menyelesaikan masalah.


BAB III

GAMBARAN UMUM LEMBAGA

Dalam penelitian ini akan menggambarkan dua lembaga, yaitu:

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Yayasan Pulih. Sebab, selain

membutuhkan bantuan hukum, masyarakat juga membutuhkan layanan-

layanan lainnya, seperti layanan psikologis. Hal itu berguna untuk

pemulihan rasa trauma bagi korban yang mengalami dampak kekerasan

secara langsung dan tidak langsung.

I. Gambaran Umum Lembaga Bantuan Hukum Jakarta

A. Sejarah Berdirinya Lembaga Bantuan Hukum Jakarta

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta didirikan atas gagasan

yang disampaikan pada Kongres Persatuan Advokat Indonesia (Peradin)

ke III tahun 1969 oleh Alm. Adnan Buyung Nasution. Gagasan tersebut

mendapat persetujuan dari Dewan Pimpinan Pusat Peradin melalui Surat

Keputusan Nomor 001/Kep/10/1970 tanggal 26 Oktober 1970, yang berisi

penetapan pendirian Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan Lembaga

Pembela Umum yang mulai berlaku tanggal 28 Oktober 1970.

Pendirian LBH Jakarta yang didukung oleh Pemerintah Daerah

(Pemda) DKI Jakarta Alm. Ali Sadikin, pada awalnya dimaksudkan untuk

memberikan bantuan hukum bagi orang-orang yang tidak mampu dalam

memperjuangkan hak-haknya, terutama rakyat miskin yang digusur,

dipinggirkan, di PHK, dan pelanggaran atas hak-hak asasi manusia pada

umumnya. Disamping itu dukungan yang diberikan oleh mantan Guberbur

49
50

DKI Jakarta terhadap LBH Jakarta melalui SK Gubernur DKI Jakarta No.

Ib.3/31/70 tentang Pembentukan Lembaga Bantuan Hukum/Lembaga

Pembela Umum (Legal Aid/ Public Defender) dalam wilayah DKI Jakarta

tertanggal 14 November 1970 ini dimaksudkan agar LBH Jakarta

sekaligus berfungsi sebagai lembaga kritik Pemerintah DKI Jakarta. 1

Lambat laun LBH Jakarta menjadi organisasi penting bagi gerakan

pro-demokrasi. Hal ini disebabkan upaya LBH Jakarta membangun dan

menjadikan nilai-nilai hukum, hak asasi manusia dan demokrasi sebagai

pilar gerakan bantuan hukum di Indonesia. Cita-cita ini ditandai dengan

semangat perlawanan terhadap rezim orde baru yang dipimpin Soeharto

dan berakhir dengan adanya pergeseran kepemimpinan pada tahun 1998.

Bukan hanya itu, semangat melawan ketidakadilan terhadap penguasa

menjadi bentuk advokasi yang dilakukan sampai saat ini. Hal tersebut

merupakan wujud kritik terhadap pengemban tugas perlindungan,

pemenuhan dan penghormatan Hak Asasi Manusia di Indonesia.

Pembentukan lembaga ini dimaksudkan untuk dibentuk di seluruh

Indonesia yang dimulai dari Daerah Khusus Ibukota Jakarta (sebagaimana

dikukuhkan dalam Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor

1.b.3/1/31/70 tanggal 14 November 1970) dan disusul di kota-kota lain,2

seperti di Medan, Yogyakarta, Solo, dan Palembang. Di samping itu,

beberapa kota lainnya di daerah-daerah juga mengirimkan utusannya ke

1
Data diperoleh dari Wawancara dengan Ayu Eza Tiara, Pengacara Publik LBH Jakarta,
Jakarta, 13 Maret 2017, LBH JAKARTA.
2
Abdurrahman, Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Cendana Press,
1983), h. 233.
51

LBH di Jakarta untuk meninjau dan mempelajari segala sesuatu mengenai

LBH di Jakarta dengan maksud hendak mendirikan Lembaga Bantuan

Hukum di daerahnya. Maksud dan tujuan dari didirikannya LBH dapat

dilihat dari Anggaran Dasar LBH Jakarta (sebagai LBH yang pertama kali

dibentuk), antara lain:

1. Memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (pro bono

publico/prodeo) kepada masyarakat luas yang tidak mampu.

2. Menumbuhkan, mengembangkan, serta meninggikan kesadaran

hukum masyarakat pada umumnya, khususnya kesadaran akan hak-

hak sebagai subyek hukum.

3. Memajukan hukum dan pelaksanaan hukum sesuai dengan

perkembangan zaman (modernisasi).

Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut, maka LBH melakukan

upaya-upaya sebagai berikut:

1. Menyelenggarakan pemberian bantuan hukum dan/atau pembelaan

umum yang meliputi segala pekerjaan atau jasa advokat terhadap

kliennya di dalam maupun di luar Pengadilan.

2. Mengadakan ceramah, diskusi, penerangan, penerbitan buku dan

brosur, dan lain sebagainya.

3. Mengadakan kerja sama dengan lembaga-lembaga/badan-

badan/instansi pemerintah maupun non-pemerintah.

4. Menyediakan diri selaku wadah guna latihan praktek hukum bagi

para mahasiswa Fakultas Hukum.


52

B. Visi dan Misi LBH Jakarta

Visi

1. Terwujudnya suatu-suatu sistem masyarakat hukum yang terbina di

atas tatanan hubungan sosial yang adil dan beradab atau

berperikemanusiaan secara demokratis (A just, humane and

democratic sociol-legal system).

2. Terwujudnya suatu sistem hukum dan administrasi yang mampu

menyediakan tata-cara (prosedur-prosedur) dan lembaga-lembaga

lain, melalui mana setiap pihak dapat memperoleh dan menikmati

keadilan hukum (A fair and transparent institutionalized legal-

administrative system).

3. Terwujudnya suatu sistem ekonomi, politik dan budaya yang

membuka akses bagi setiap pihak untuk turut menentukan setiap

keputusan yang berkenaan dengan kepentingan mereka dan

memastikan bahwa keseluruhan sistem itu tetap menghormati dan

menjunjung tinggi HAM (An open political-economic system with a

culture that fully respects human rights).

Misi

1. Menanamkan, menumbuhkan dan menyebarluaskan nilai-nilai

Negara hukum yang berkeadilan sosial, demokratis serta menjunjung

tinggi HAM kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia tanpa

kecuali, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.


53

2. Menanamkan dan menumbuhkan sikap kemandirian serta

memberdayakan potensi lapisan masyarakat miskin, sehingga

mereka sendiri mampu merumuskan, menyatakan, memperjuangkan

dan mempertahankan hak-hak dan kepentingan mereka baik secara

individual maupun secara kolektif.

3. Mengembangkan sistem, lembaga-lembaga serta instrumen-

instrumen pendukung untuk meningkatkan efektifitas upaya-upaya

pemenuhan hak-hak lapisan masyarakat yang lemah dan miskin.

4. Mempelopori, mendorong, mendampingi dan mendukung program

pembentukan hukum, penegakan keadilan hukum dan pembaharuan

hukum nasional sesuai dengan Konstitusi dan Deklarasi Umum Hak-

Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang

tanggap terhadap kebutuhan dan kepentingan golongan masyarakat

miskin.

5. Memajukan dan mengembangkan program-program yang

berdimensi keadilan dalam bidang politik, sosial-ekonomi, budaya

dan gender, utamanya bagi golongan masyarakat miskin.

C. Peran dan Fungsi

LBH dalam pengabdiannya kepada masyarakat mempunyai fungsi atau

peranan sebagai berikut:

1. Public service

Hal ini berhubungan dengan kondisi sosial-ekonomis dimana sebagian

besar masyarakat Indonesia tergolong tidak mampu (onvermogen)


54

atau kurang mampu (mindervermogen) untuk menggunakan dan

membayar jasa advokat sehingga LBH memberikan jasanya dengan

cuma-cuma.

2. Social education

Hal ini berhubungan dengan kondisi sosial-kultural dimana LBH

dengan suatu perencanaan yang matang dan sistematis serta metode

kerja yang praktis harus memberikan penerangan-penerangan dan

petunjuk-petunjuk untuk mendidik masyarakat agar lebih sadar dan

mengerti hak-hak dan kewajibannya menurut hukum sehingga dengan

demikian menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran hukum

masyarakat.

3. Perbaikan tertib hukum

Hal ini berhubungan dengan kondisi sosial-politis dimana peranan

LBH tidak hanya terbatas pada perbaikan-perbaikan di bidang

peradilan pada umumnya dan profesi pembelaan khususnya, akan

tetapi juga dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan ombudsman selaku

partisipasi masyarakat dalam bentuk kontrol dengan kritik-kritik dan

saran-sarannya untuk memperbaiki kepincangan-kepincangan ataupun

mengoreksi tindakan-tindakan penguasa yang merugikan masyarakat.

4. Pembaharuan hukum.

Banyak sekali peraturan-peraturan hukum yang perlu diperbaharui

karena tidak memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, bahkan

menghambat atau bertentangan dengan keadaan. Dalam hal ini, LBH


55

dapat mempelopori usul-usul perubahan undang-undang (law reform)

ke arah pembaharuan hukum sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

5. Practical training.

LBH bekerjasama dengan Fakultas-Fakultas Hukum. Bagi Fakultas-

Fakultas Hukum, LBH dapat dijadikan tempat latihan praktek bagi

para mahasiswa hukum dalam rangka mempersiapkan dirinya menjadi

sarjana hukum dengan menguji teori-teori yang dipelajari dengan

kenyataan sehingga mendapatkan pengalaman. Bagi LBH, kerja sama

tersebut dapat turut membantu menjaga idealisme LBH di samping

memperoleh sumbangan-sumbangan pikiran dan saran-saran berupa

gagasan-gagasan ilmiah maupun sumber dan partisipasi tenaga

mahasiswa dari fakultas untuk perkembangan dan kemajuan LBH. 3

D. Struktur Organisasi

Gambar 3.1

Struktur Organisasi LBH Jakarta

Direktur
Alghiffari Aqsa, S.H.

Kepala Divisi Internal Kepala Divisi Advokasi


Uni Illian Marcianty, S.H Yunita, S.H., L,LM.

Keuangan Kesekretariatan
Santi Sudarwanti Abdul Rosyid

3
Data diperoleh dari Wawancara dengan Ayu Eza Tiara, Pengacara Publik LBH Jakarta,
Jakarta, 13 Maret 2017, LBH JAKARTA.
56

Dalam menangani kasus, LBH Jakarta juga sering bekerjasama

dengan lembaga-lembaga lain untuk meningkatan legitimasi dari

masyarakat, salah satunya adalah lembaga yang cukup proaktif dalam

menangani korban kekerasan terutama kekerasan terhadap perempuan dan

anak, yaitu Yayasan Pulih. LBH Jakarta bekerjasama dengan Yayasan

Pulih guna untuk menangani konsekuensi pada kasus yang dialami oleh

masyarakat. Sebab, selain membutuhkan bantuan hukum, masyarakat juga

membutuhkan layanan-layanan lainnya, seperti layanan psikologis bagi

korban yang mengalami kekerasan dalam suatu kelompok atau individu.

Hal itu berguna untuk pemulihan rasa trauma bagi masyarakat yang

mengalami dampak kekerasan secara langsung dan tidak langsung.

II. Gambaran Umum Yayasan Pulih

A. Sejarah Berdirinya Yayasan Pulih

Yayasan Pulih adalah sebuah organisasi nirlaba yang bergerak dalam

penanganan trauma dan pemulihan psikososial bagi masyarakat yang

mengalami dampak kekerasan secara langsung dan tidak langsung dan

bencana alam di berbagai wilayah Indonesia dengan Pendekatan yang

sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan penerima manfaat.

Awalnya Yayasan Pulih berdiri karena mimpi 6 orang aktivis, Livia

Iskandar, Kristi Poerwandari, Ali Aulia, Saparinah Sadli, Irwanto dan

Karlina Supeli. Saat itu tahun 2001, keadaan Indonesia sangat

memprihatinkan. Kekerasan dimana-mana, kriminalitas meningkat dan

penghakiman massa menjadi cara-cara yang digunakan orang-orang yang


57

kehilangan harapan. Masyarakat membutuhkan layanan psikologis bagi

korban kekerasan domestik, seksual, kekerasan yang terjadi dalam

komunitas atau akibat konflik politik dan juga bantuan terhadap pekerja

kemanusiaan yang rentan mengalami burn-out, kelelahan, kepedulian

maupun trauma sekunder.

Pada akhirnya Yayasan Pulih dapat didirikan pada tanggal 24 Juli

2002 di hadapan notaris. Selama 7 tahun sejak berdirinya, Pulih

melakukan berbagai kegiatan untuk pemulihan dan penguatan psikososial.

Beberapa kegiatan yang pernah dilakukan Pulih yaitu penguatan

psikososial berbasis komunitas di daerah konflik berkekerasan dan

bencana Alam di Aceh, Ambon, Biak, Pangalengan dan yang terakhir di

Padang, pendampingan penyintas bom, layanan konseling untuk

perempuan penyintas kekerasan, menjadi ahli saksi Psikologis,

mengembangkan dan melaksanakan Jurnalisme dan Trauma,

Pendampingan untuk korban kekerasan struktural (program Survivorof

torture), Pendampingan untuk pendamping kemanusiaan (Care for

Caregiver), Penelitian untuk perbaikan dan pengembangan program,

Advokasi dan menjadi narasumber dan tempat rujukan informasi seputar

isu pemulihan dan penguatan psikososial. Yayasan Pulih selalu berusaha

untuk “Memulihkan harapan, memutus rantai kekerasan, menggalang

perdamaian”.4

4
Laporan Tahunan Yayasan Pulih, Profil Organisasi (Jakarta: Perpustakaan Yayasan
Pulih, 2009), h. 14.
58

B. Visi dan Misi Yayasan Pulih

Visi

Terwujudnya masyarakat sejahtera dan tangguh melalui penguatan

psikososial yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan Hak Asasi

manusia.

Misi

1. Mengarusutamakan penguatan psikososial untuk rakyat dalam

pelayanan publik.

2. Menguatkan peran psikologi dalam proses hukum untuk mendukung

tercapainya keadilan dalam penanganan kasus kekerasan.

3. Menguatkan kapasitas psikososial lembaga dan pekerja

kemanusiaan.

4. Menjadikan Pulih lembaga acuan utama model penguatan

psikososial bagi penanganan kekerasan pada kelompok rentan.

5. Menjadikan Pulih organisasi yang kompeten, terjangkau, terpercaya,

mandiri dan terus berkembang.

C. Nilai Dasar

1. Demokratis

2. Menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia

3. Keadilan sosial dan gender

4. Transparan dan dapat dipertanggungjawabkan

5. Damai dan Anti kekerasan


59

D. Organisasi

Untuk mewujudkan visi dan misi yang telah ditetapkan dan

menjalankan aktivitas sehari-hari, maka Pulih dibagi menjadi beberapa

bidang kerja yang tercakup dalam peran dan tanggungjawab personel

Pulih.

1. Bidang Umum dan Keuangan

Bidang ini berperan sebagai tulang punggung kegiatan kantor Pulih.

Bagian Umum bertugas untuk mendukung dan memastikan

keberlangsungan program-program dari masing-masing bidang kerja

di Pulih.

2. Bidang PRC (Pulih Resource Center)

Bagian PRC bertanggungjawab dalam pengembangan riset,

publikasi, pendokumentasian, serta penyediaan materi yang

berkaitan dengan bidang psikososial yang merupakan fokus kerja

Pulih di masyarakat serta pendokumentasian rekaman kerja

lapangan. Bahan publikasi Pulih diterbitkan dalam bentuk: buku,

video, modul penelitian dan materi-materi psikoedukasi untuk

pendidikan kesehatan mental kepada masyarakat dalam bentuk: buku

saku, leaflet, brosur, agenda, flip chart, poster, juga menerbitkan

newsletter dan mengembangkan website.


60

3. Bidang Layanan Klinik

Bidang Klinik merupakan bagian dari Pulih yang menyediakan

layanan bagi berbagai lapisan masyarakat baik individu, keluarga,

kelompok, maupun pekerja media dan pekerja kemanusiaan.

4. Bidang Advokasi dan Edukasi Publik

Bagian ini berperan untuk menjalin kerjasama dengan jaringan kerja,

dan pemerintah dalam memberikan edukasi yang tepat terkait isu-isu

yang diusung Pulih.

E. Layanan

1. Konsultasi masalah psikologis tertentu untuk anak, remaja, dewasa,

perempuan dann laki-laki secara individual, keluarga dan kelompok.

2. Rujukan bagi orang yang mengalami dampak psikologis akibat

peristiwa kekrasan, konflik, bencana alam dan pengalaman lain.

3. Jika diperlukan mendapatkan kesaksian ahli psikologis untuk kasus-

kasus yang sedang diproses secara hukum.

4. Konsultasi untuk masalah-masalah psikologis yang dialami oleh

jurnalis media cetak dan elektronik, pekerja kemanusiaan,

pendamping penyintas dan pejuang HAM sebagai konsekuensi dari

pekerjaannya.

5. Pelatihan dan menjadi narasumber terkait dengan isu pemulihan

trauma dan pengutan psikososial dalam konteks kekerasan dan

bencana.
61

6. Penguatan psikososial berbasis komunitas bagi masyarakat paska

bencana dan konflik kekerasan.

7. Penelitian terkait isu pemulihan trauma dan penguatan psikososial

dalm konteks kekerasan dan bencana.5

F. Daftar Program Rutin Yayasan Pulih

1. Pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak melalui

pelibatan laki-laki (2013-sekarang).

Gerakan ini dilakukan melalui dua buah program, yaitu program men

care+ (2013-2015) dan dilanjutkan dengan program prevention+

(2016-2020). Men care+ merupakan sebuah inisiatif kampanye

global untuk mempromosikan keterlibatan laki-laki, baik laki-laki

dewasa sebagai pasangan, dan juga laki-laki muda atau remaja, agar

bertanggung jawab dan berperilaku tanpa kekerasan. Program men

care+ yang didukung oleh Kementrian Luar Negeri Belanda ini

bertujuan untuk mengatasi norma-norma sosial dan budaya yang

perilakunya memberikan dampak negatif terhadap pemenuhan

SRHR (Sexual and Reproductive Health and Rights) dan kesehatan

ibu anak dengan melibatkan laki-laki muda dan dewasa sebagai

mitra dalam pengasuhan. Kegiatan ini meliputi kampanye dan

advokasi, edukasi untuk remaja dan anak muda di universitas dan

sekolah, edukasi ke orang tua, melatih fasilitator muda, melatih

tenaga kesehatan, melatih konselor laki-laki dan memberikan

5
Data diperoleh dari Wawancara dengan Fransiskus Sugiarto, Administrasi dan Humas
Yayasan Pulih, Jakarta, 25 April 2017, Yayasan Pulih.
62

layanan konseling bagi laki-laki dan pasangan. Prevention+

merupakan kelanjutan dari program men care+. Kegiatan yang

dilakukan hampir sama akan tetapi perbedaan pada program ini

disertai adanya pemberdayaan ekonomi bagi kelompok perempuan

yang menjadi penyintas kekerasan.

2. Mampu (2014-sekarang).

Program Mampu (Majulah Perempuan Indonesia melalui

Pengentasan Kemiskinan) memfokuskan pada penanganan kekerasan

seksual yaitu program pemulihan transformatif bagi perempuan.

Tujuan umum dari program ini adalah untuk berkontribusi dalam

menguatnya sistem perlindungan dan pemenuhan hak perempuan

korban kekerasan seksual melalui undang-undang kekerasan seksual.

Dalam program ini, Yayasan Pulih memberikan pendampingan

kepada korban dan melakukan kajian terkait penaganan kekerasan

seksual untuk wilayah DKI Jakarta.

Adapun tujuan khusus dari program ini yang diturunkan menjadi

tujuan program lembaga, yaitu:

1. Meningkatkan penanganan korban kekerasan seksual secara

komprehensif.

2. Meningkatkan sumber dukungan sosial bagi korban kekerasan

seksual.

3. Mengembangkan pembelajaran dan praktek terbaik program.


63

Beberapa kegiatan utama yang digunakan dalam mencapai tujuan

khusus diatas adalah sebagai berikut :

1. Memberikan layanan pendampingan kasus kekerasan seksual

dan kasus kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk lainnya.

Layanan pendampingan kasus yang diberikan merupakan

implementasi pemulihan dalam makna luas, di mana pemulihan

tetap mengutamakan unsur keadilan bagi korban dan melibatkan

pemulihan aspek psikososial. Layanan tidak hanya berupa

pemulihan psikologis, namun juga layanan psikologis dalam

proses hukum.

2. Membangun pemahaman masyrakat terhadap penanganan kasus

kekerasan seksual yang berperspektif korban.

Kegiatan ini dilakukan melalui berbagai metode, diantaranya:

koordinasi rutin antar instansi, pengembangan materi psikoedukasi,

dan kampanye.

3. YSIKA Peduli (2014-2016).

Yayasan Pulih sebagai mitra strategis dari Yayasan Indonesia untuk

Kemanusiaan (YSIKA) memberikan pelatihan penguatan psikososial

untuk pendampingan korban pelanggaran HAM, serta melakukan

kegiatan pemantauan hasil kerja terhadap 5 lembaga pendampingan

program peduli.

Program Peduli memiliki tujuan umum, yaitu korban pelanggaran

HAM berdaya untuk mengakses layanan publik yang dibutuhkan,


64

dalam kerangka kebijakan dan lingkungan sosial yang inklusif,

berspektif HAM dan berkelanjutan.

4. Klinik (2002-sekarang).

Layanan klinik yang dilakukan pulih adalah sebagai berikut:

1. Konsultasi psikologis: layanan ini diperuntukan bagi klien (bagi

korban kekerasan maupun pelaku) atau klien rujukn yang

membutuhkan penanganan profesional untuk masalah psikologis

yang dialami, baik secra perorangan, keluarga, maupun

kelompok.

2. Saksi ahli psikologis: layanan ini diperuntukan bagi klien

rujukan yang sedang menjalankan proses hukum untuk

melakukan pemeriksaan.

3. Layanan lainnya: konseling untuk keperluan perusahaan, tes

minat bakat dan tes intelegensi.

G. Struktur Organisasi

Gambar 3.2

Struktur Organisasi Yayasan Pulih

Ketua Dewan Pembina Ketua Dewan Pengawas Ketua Dewan Pengurus


E. Kristi Poerwandari Miryam S.V. Nainggolan Nirmala Ika K.

Wakil Ketua
Anggota Anggota Nurcahyo Budi Waskito
Livia Iskandar Wakhit Hasim
Irma S. Martam Dian Marina
Anggota
Sahawiyah
Jackie Viemilawati
Vitria Lazzarini
Sidiq Gunawan
BAB IV

TEMUAN DAN ANALISIS

Peneliti melakukan penelitian pada dua lembaga yaitu LBH Jakarta

dan Yayasan Pulih. Dalam kasus kekerasan fisik terhadap anak, LBH

Jakarta bekerjasama dengan Yayasan Pulih guna untuk menangani

konsekuensi pada kasus yang dialami oleh masyarakat. Sebab, selain

membutuhkan bantuan hukum, masyarakat juga membutuhkan layanan-

layanan lainnya, seperti layanan psikologis bagi korban yang mengalami

kekerasan dalam suatu kelompok atau individu. Hal itu berguna untuk

pemulihan rasa trauma bagi masyarakat yang mengalami dampak

kekerasan secara langsung dan tidak langsung.

Peneliti akan membahas tentang proses advokasi sosial yang

dilakukan LBH Jakarta dan Yayasan Pulih terhadap kasus kekerasan fisik

terhadap anak. Analisis dilakukan dengan menggunakan dan mengkaji

antara temuan hasil wawancara, observasi dan dokumentasi dengan teori-

teori yang telah dijelaskan pada bab II. Dari hasil penelitian, peneliti

menemukan beberapa hal mengenai advokasi sosial dan bentuk sinergi

antara LBH Jakarta dan Yayasan Pulih terhadap kasus kekerasan fisik

terhadap anak.

Dalam bab ini akan dijelaskan tentang kasus yang dialami oleh

korban yang meliputi: identitas korban, gambaran kasus yang dialami

korban dan bagaimana korban bisa melapor ke LBH Jakarta dan Yayasan

Pulih, upaya LBH Jakarta dan Yayasan Pulih dalam memberikan

65
66

perlindungan terhadap korban, serta dampak psikologis yang dialami

korban.

A. Identitas dan Gambaran Kasus

Nama korban bukanlah nama sebenarnya atau nama inisial, hal ini

dimaksudkan untuk menjaga kerahasiaan korban. Penelitian ini melibatkan

satu kasus anak korban kekerasan yang terpilih menjadi informan

penelitian. Korban memiliki kekerasan fisik. Tindak kekerasan yang

dialami korban dilakukan oleh anggota TNI AL.

1. Identitas Korban

No Data Korban
1 Nama Inisial HA
2 Jenis Kelamin Laki-laki
3 Alamat Depok
4 Umur 13 tahun
5 Agama Islam
6 Nama Ayah HT

2. Gambaran Kasus

HA serta temannya SKA sedang liburan sekolah dengan berkunjung

ke rumah temannya, R, yang berada di Bojong Gede. Mereka bertiga main

ke kawasan Cibinong. Tiga sekawan ini kembali ke rumah R dengan

berboncengan satu sepeda motor. Ketika itu, motor dikendarai R.

Sepanjang perjalanan, HA yang diboncengi paling belakang memegang

minuman gelas plastik. Namun, begitu melewati jalan Noble yang berada
67

di Perumahan Graha Kartika Pratama, motor yang ditumpangi mereka

oleng karena kondisi jalan yang rusak parah.

Teh yang dipegang HA terlempar ke tembok rumah di pinggir jalan

yang sedang dibetulkan. Bunyi minuman plastik terkena tembok membuat

pemilik rumah mendengar kemudian keluar. Namun, pemilik rumah yang

diketahui anggota TNI aktif itu berteriak maling yang ditujukan ke HA,

SKA, dan R. Berikut ini kutipan wawancara yang dijelaskan HT:

“Dia anggota TNI AL, pangkat kopral. Dia teriak maling ke anak
saya dan temannya.”1

Karena panik, R pun mengendarai sepeda motor dengan kencang.

Apalagi, karena teriakan maling membuat warga sekitar penasaran untuk

keluar dan mengejar. Setelah mengebut, akhirnya R menghentikan sepeda

motor yang dikendarainya. Ia menjelaskan bukan maling seperti yang

dituduh dan diteriaki. Berikut ini kutipan wawancara yang dijelaskan HT:

“Warga minta anak saya, SKA, R itu agar jelasin langsung ke S


oknum TNI tersebut. Anak saya HA, dan temannya SKA dibawa
warga menemui oknum S. Tapi, R yang bawa motor berhasil
menyelamatkan diri, terus kasih tahu ke saya dan orangtua SKA.”2

Di tengah jalan, HA yang dibawa warga bertemu dengan oknum S.

Ketika itu, oknum S yang sedang panas langsung turun dan memukuli HA.

Tak lama setelah HA, SKA yang merupakan teman HA juga dipukuli

oknum S tersebut. Setelah itu, oknum S membawa HA dan SKA ke lahan

kosong. Di lahan kosong itu, HA dan SKA lagi-lagi dipukuli. Tak hanya

dipukuli, bahkan baju bocah SKA juga dibuka, yang digunakan untuk
1
Data diperoleh dari Wawancara dengan HT, Orang Tua Korban, Jakarta, 05 Juli 2017,
LBH Jakarta.
2
Ibid.
68

mengikat bocah itu ke pohon. Oknum S juga mengambil kalung baja putih

yang digunakan SKA untuk mencambuk badan dengan kalung tersebut.

Berikut ini kutipan wawancara yang dijelaskan HT:

“Saya ngilu bayangannya. Saya bilang itu anak-anak. Tapi, saya


lihat, anak saya dilakukan kayak binatang. Diikat, diinjak-injak,
diancam mau dibakar juga.”3

Terkait penganiayaan yang dialami putranya, orang tua korban

melaporkan ke Polsek Bojong Gede. Laporan pada 18 Desember 2015 ini

ditolak. Orang tua korban kembali melaporkan ke Garnisun Gambir tetapi

diarahkan ke Polisi Militer TNI AL di Jalan Bungur. Orang tua korban ini

mengaku kebingungan karena setelah mondar-mandir merasa dipersulit

saat melaporkan. Kemudian, pada Januari 2016, orang tua yang ditemani

kerabat juga melaporkan ke Polres Depok dan Polres Bogor. Selain itu,

keluarga juga mendatangi LBH Jakarta untuk melapor dan mencari

keadilan terhadap putranya. Setelah melapor, orang tua korban diminta

untuk mengisi formulir terlebih dahulu, setelah selesai mengisi formulir,

pihak LBH Jakarta akan segera menangani kasus permasalahan yang

dialami HA dan SKA. Setelah beberapa hari kemudian, pihak LBH Jakarta

meminta agar keluarga korban mendatangi kembali LBH Jakarta untuk

melakukan wawancara mendalam terhadap korban terkait kasus yang

dialaminya.

3
Data diperoleh dari Wawancara dengan HT, Orang Tua Korban, Jakarta, 05 Juli 2017,
LBH Jakarta.
69

B. Advokasi Sosial

Pada bab ini, peneliti akan membahas tentang advokasi sosial

terhadap anak korban kekerasan fisik. Dari penelitian yang sudah

dilakukan, peneliti melibatkan dua lembaga yang sangat berperan dalam

melakukan advokasi terhadap kasus anak korban kekerasan fisik yaitu

LBH Jakarta dan Yayasan Pulih. Hal ini diungkapkan oleh pengacara

publik LBH Jakarta Bunga Siagian:

“LBH Jakarta pada dasarnya memberikan bantuan hanya bantuan


hukum, namun itu saja tidak cukup. Ada beberapa kegiatan yang
dilakukan LBH Jakarta salah satunya dengan advokasi. Advokasi
di LBH Jakarta tidak hanya advokasi hukum tetapi juga advokasi
kebijakan.”4

Sementara psikolog anak Yayasan Pulih Gisella T Pratiwi

mengungkapkan:

“Pelayanan di Pulih terfokus pada layanan psikologis. Secara


umum peran psikologi dibagi dua, yaitu kelimuwan dan aplikatif.
Pada tataran keilmuwan, piskologi berperan dalam proses
pengembangan hukum berdasarkan riset-riset psikologi. Sementara
pada tataran aplikatif, psikologi berperan dalam intervensi
psikologis yang dapat membantu proses hukum.”5

Dari pemaparan informan dapat disimpulkan bahwa LBH Jakarta

menyadari bahwa pendampingan di bidang hukum saja tidak cukup,

apalagi LBH Jakarta bergerak dalam bidang isu sosial politik. Maka dari

itu, dalam kasus ini LBH Jakarta bekerja sama dengan Yayasan Pulih guna

untuk menangani konsekuensi kasus yang dialami oleh korban. Sebab,

4
Data diperoleh dari Wawancara dengan Bunga Siagian, Pengacara Publik LBH Jakarta,
Jakarta, 10 April 2017, LBH Jakarta.
5
Data diperoleh dari Wawancara dengan Gisella T. Pratiwi, Psikolog Anak, Jakarta, 08
Juni 2017, Yayasan Pulih.
70

selain membutuhkan bantuan hukum, korban juga membutuhkan layanan-

layanan lainnya, seperti layanan psikologis.

Dengan memahami advokasi sebagai bantuan hukum, advokasi juga

bisa dilakukan oleh semua disiplin ilmu salah satunya ilmu kesejahteraan

sosial. Ilmu kesejahteraan sosial secara langsung juga dapat dikatakan

sebagai ilmu yang terkait dengan profesi yang memberikan bantuan

terhadap klien, penerima layanan ataupun kelompok sasaran. Hal ini

terungkap dari hasil wawancara yang dikemukakan oleh pengacara publik

LBH Jakarta Bunga Siagian sebagai berikut :

“Secara umum advokasi adalah serangkaian tindakan yang


dilakukan oleh ahli hukum atau lembaga bantuan hukum dalam
bentuk konsultasi, negosiasi, mediasi, serta pendampingan baik di
dalam maupun di luar pengadilan yang bertujuan untuk
menyelesaikan sengketa yang berdimensi hukum.”6

Hal ini juga diperjelas oleh Ayu Eza Tiara selaku pengacara publik LBH

Jakarta sebagai berikut:

“Adapun peran-peran yang dimiliki LBH Jakarta, salah satunya


adalah sebagai advokat. Ini adalah peran dalm mengubah kebijakan
ataupun praktik, misalnya melakukan gugatan terhadap pemerintah
karena kebijakan yang menindas ataupun melakukan lobi kepada
pemangku kebijakan.” 7

Sementara Gisella T. Pratiwi selaku Psikolog anak Yayasan Pulih juga

menjelaskan:

6
Data diperoleh dari Wawancara dengan Bunga Siagian, Pengacara Publik LBH Jakarta,
Jakarta, 10 April 2017, LBH Jakarta.
7
Data diperoleh dari Wawancara dengan Ayu Eza Tiara, Pengacara Publik LBH Jakarta,
Jakarta, 06 April 2017, LBH Jakarta.
71

“Advokasi merupakan suatu pembelaan terhadap kepentingan


individu, kelompok, masyarakat dalam memenuhi hak-haknya.”8

Selain itu, HT selaku orang tua korban mengatakan:

“LBH Jakarta memberikan pendampingan hukum dari awal sampai


akhir kasus anak saya selesai. Gak cuma LBH Jakarta, anak saya
juga dirujuk ke Yayasan Pulih untuk konseling psikologisnya.”9

Dari penjelasan informan diatas dapat disimpulkan bahwa advokasi

yang dilakukan oleh LBH Jakarta dan Yayasan Pulih merupakan upaya

pemberian jaminan, pembelaan, pendampingan serta pelayanan sosial

lainnya kepada pihak yang sedang terlibat dengan kasus untuk

memperoleh peradilan. Kegiatan advokasi ini untuk memudahkan dan

mendekatkan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan advokasi yang

dikemukakan oleh Zastrow yaitu menolong klien atau sekelompok klien

untuk mencapai layanan tertentu ketika mereka ditolak suatu lembaga atau

sistem pelayanan, dan membantu memperluas layanan agar mencakup

lebih banyak orang yang membutuhkan.

Dalam perspektif pekerjaan sosial, advokasi terdiri dari beberapa

komponen, yaitu: 1) ekslusif, 2) timbal balik, 3) representasi, 4) klien, 5)

masalah penyebab, 6) forum, 7) sistematika, 8) pengaruh, 9) pembuatan

keputusan, 10) tingkat ketidakadilan, 11) tidak responsif, 12) sistem.10

Dibawah ini adalah hasil analisis advokasi dalam kemampuan mengatasi

permasalahan yang dihadapi. Seperti yang dikutip berikut ini:

8
Data diperoleh dari Wawancara dengan Gisella T. Pratiwi, Psikolog Anak, Jakarta, 08
Juni 2017, Yayasan Pulih.
9
Data diperoleh dari Wawancara dengan HT, Orang Tua Korban, Jakarta, 05 Juli 2017,
LBH Jakarta.
10
Lihat Bab II, h.23.
72

“Dari awal keluarga korban mendatangai LBH Jakarta dan


menceritakan kejadian yang dialaminya, LBH Jakarta tertarik
dengan kasus tersebut karna ini menimpa anak dan oknum TNI.
Seharusnya kan anak dilindungi karna udah jelas di dalam undang-
undang. Dalam kasus ini tidak hanya memberikan layanan bantuan
hukum tapi juga layanan pemeriksaan psikologis yang dilakukan
oleh Yayasan Pulih.”11

Hal ini juga diperjelas oleh Gisella T Pratiwi selaku Psikolog Anak

Yayasan Pulih sebagai berikut:

“LBH Jakarta menghubungi Psikolog Pulih, lalu pihak LBH


Jakarta dan Pulih bertemu untuk menceritakan kronologi yang
terjadi, akhirnya setelah diceritakan ya Pulih sangat siap untuk
membantu, karna ini juga kan tentang kekerasan yang menimpa
pada anak.”12

Sementara HT juga mengatakan:

“Saya lapor sana-sini merasa dipersulit, ada juga yang


menyepelekan. Ya sudah akhirnya saya langsung lapor ke LBH
Jakarta, saya tau LBH Jakarta juga dikasih tau sama temen saya.
Respon LBH Jakarta juga sangat baik dan cepat proses laporan
saya.”13

Hasil wawancara dengan informan menunjukkan bahwa LBH

Jakarta dan Yayasan Pulih mampu membantu klien untuk mengatasi

masalah yang dihadapi, hal ini dapat dilihat dari penerimaan laporan

korban yang mendapatkan respon baik dari LBH Jakarta dan Yayasan

Pulih dalam memberikan pendampingan kepada klien. Hal ini juga dapat

dilihat dari tujuan dilakukannya advokasi, seperti yang dikatakan oleh

pengacara publik LBH Jakarta Bunga siagian:

11
Data diperoleh dari Wawancara dengan Bunga Siagian, Pengacara Publik LBH Jakarta,
Jakarta, 06 April 2017, LBH Jakarta.
12
Data diperoleh dari Wawancara dengan Gisella T. Pratiwi, Psikolog Anak, Jakarta,
08 Juni 2017, Yayasan Pulih.
13
Data diperoleh dari Wawancara dengan HT, Orang Tua Korban, Jakarta, 05 Juli 2017,
LBH Jakarta.
73

“Tujuannya pertama, memberikan pemahaman dan kesadaran


kepada korban atau keluarga korban tentang hak dan kewajibannya.
Kedua, memberikan saran-saran dan pendapat hukum. Ketiga,
memberikan bantuan hukum terhadap korban atau keluarga korban
yang bermasalah, dan terakhir memperjuangkan terpenuhinya hak-
hak korban.”14
Sementara Gisella T. Pratiwi selaku Psikolog anak juga mengatakan:
“Tujuan advokasi yang dilakukan oleh Pulih terfokus dengan
layanan yang ada di Pulih sendiri yaitu konseling psikologis dan
pemeriksaan psikologis. Maka dari itu, tujuan Pulih melakukan
advokasi untuk mencari kebenaran atau hal yang sebenarnya terjadi
yaitu dengan cara bagaimana dan mengapa seseorang itu berprilaku
demikian.”15

Tujuan advokasi pada dasarnya untuk mengubah kebijakan program

atau kedudukan dari sebuah pemerintahan institusi atau organisasi. Dari

tujuan advokasi yang sudah dijelaskan diatas peneliti dapat menyimpulkan

bahwa tujuan advokasi di LBH Jakarta dan Yayasan Pulih untuk

memberikan pendampingan bagi korban dan keluarga korban berkaitan

dengan permasalahan yang dihadapi mereka terutama dalam bidang

hukum. Selain itu, LBH jakarta dan Yayasan Pulih juga memberikan suatu

perlindungan dan pemahaman kepada korban dan keluarga korban dalam

memahami dan memperjuangkan terpenuhinya hak dan kewajibannya. Hal

ini sesuai dengan Undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa: “tanpa terkecuali, siapapun

yang termasuk dalam kategori anak berhak mendapatkan hak-haknya

sebagai anak.”

14
Data diperoleh dari Wawancara dengan Bunga Siagian, Pengacara Publik LBH Jakarta,
Jakarta, 10 April 2017, LBH Jakarta.
15
Data diperoleh dari Wawancara dengan Gisella T. Pratiwi, Psikolog Anak, Jakarta,
08 Juni 2017, Yayasan Pulih.
74

Dalam melakukan advokasi, ada 4 jenis advokasi dalam pekerja

sosial, yaitu: Pertama, advokasi klien (client advocacy) dimana advokasi

ini bertujuan untuk membantu klien tentang bagaimana klien berjuang

memenangkan pertarungan terhadap hak-haknya di lembaga lain dan

sistem pelayanan sosial yang ada. Kedua, Advokasi masyarakat (cause

advocacy) advokasi pekerja sosial selalu membantu klien individu, dan

keluarga dalam memperoleh pelayanan. Jika terdapat masalah yang

mempengaruhi kelompok yang lebih besar maka advokasi ini yang paling

sesuai digunakan. Ketiga, Advokasi legislatif (legislative advocacy).

Advokasi jenis ini biasanya dilakukan untuk mempengaruhi proses

pembuatan suatu undang-undang. Keempat, Advokasi Administrasi

(administrative advocacy) bertujuan untuk memperbaiki atau mengoreksi

keluhan-keluhan administratif dan mengatasi masalah-masalah

administratif.16

Tabel 4.1

Jenis Kasus Perempuan dan Anak

Perlindungan Anak Perlindungan Perempuan

No Tahun Pengaduan Pencari Pengaduan Pencari


Keadilan Keadilan
1 2014 37 46 10 10
2 2015 34 39 11 11
3 2016 31 39 12 21

Sumber: LBH Jakarta

16
Lihat Bab II, h.25.
75

Hal ini disampaikan oleh Ayu Eza Tiara selaku pengacara publik LBH

Jakarta mengatakan:

“Untuk jenis kasus perlindungan terhadap anak tahun 2016, LBH


Jakarta memiliki jumlah pengaduan sebanyak 31 pengaduan dan 39
pencari keadilan. Jumlah ini bisa tiga kali liat dari jumlah
pengaduan dan pencari keadilan jenis kasus perlindungan terhadap
perempuan.”17

Sejauh ini memang penanganan kasus kekerasan fisik terhadap anak

yang dilakukan oleh LBH Jakarta dengan 4 layanan yaitu: non litigasi

(konsultasi dan mediasi serta pembuatan draf), litigasi (pendampingan,

pemberian atau permintaan dukungan, koordinasi dengan aparat penegak

hukum), investigasi, dan jemput bola. Pertama, non litigasi adalah

penanganan kasus diluar proses hukum melalui konsultasi, mediasi dan

pembuatan draf. Kedua, Litigasi adalah proses penanganan kasus melalui

peradilan ditingkat kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan proses litigasi

melalui pendampingan, pemberian atau permintaan dukungan dan

koordinasi dengan aparat penegak hukum dan institusi lain. Ketiga,

Investigasi adalah seluruh rangkaian kegiatan untuk menggali dan

mendapatkan fakta hukum yang lebih dalam menangani suatu kasus yang

sedang ditangani oleh LBH Jakarta. Keempat, Jemput bola adalah upaya

penanganan kasus yang dilakukan oleh LBH Jakarta secara pro aktif

dengan mendatangi atau menjumpai korban atau yang menjadi tersangka,

17
Data diperoleh dari Wawancara dengan Ayu Eza Tiara, Pengacara Publik LBH Jakarta,
Jakarta, 06 April 2017, LBH Jakarta.
76

guna memberikan informasi hukum atau pemberian penguatan hukum.

Seperti yang dikatakan oleh pengacara publik LBH Jakarta Bunga siagian:

“Dari jumlah laporan kasus yang masuk tidak semua jenis kasus
dapat LBH tangani, karna LBH mempunyai syarat dan kriteria
yang berhak mendapatkan bantuan hukum. Selain itu, kasus dapat
kita tangani sesuai prioritas kasus.”18

Hal ini juga diperjelas oleh pengacara publik LBH Jakarta Ayu Eza Tiara:

“Syarat-syarat mendapatkan bantuan hukum di LBH Jakarta, 1)


korban memiliki ketidakadilan, 2) korban berasal dari DKI Jakarta
dan sekitarnya (Bogor, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan,
Bekasi, & Banten).19

Hal ini juga disampaikan oleh psikolog anak Yayasan Pulih Gisella T

Pratiwi:

“Pulih melakukan advokasi tergantung jenis kasus dan


kebutuhannya. Misal seperti kasus pada anak, Pulih melakukan
layanan pemeriksaan psikologis untuk membantu anak dalam
memenuhi hak-haknya, salah satunya perlindungan.”20

Gambar 4.1

Alur Prosedur Layanan Yayasan Pulih

Klien/Lembaga perujuk Staf Pulih membuatkan


menghubungi hotline Pulih janji dengan psikolog

Jika
Klien dan psikolog Pertemuan pertama
Diperlukan
membuat janji untuk dengan psikolog
pertemuan selanjutnya
Pertemuan lanjutan
dengan psikolog

18
Data diperoleh dari Wawancara dengan Bunga Siagian, Pengacara Publik LBH Jakarta,
Jakarta, 10 April 2017, LBH Jakarta.
19
Data diperoleh dari Wawancara dengan Ayu Eza Tiara, Pengacara Publik LBH Jakarta,
Jakarta, 06 April 2017, LBH Jakarta.
20
Data diperoleh dari Wawancara dengan Gisella T. Pratiwi, Psikolog Anak, Jakarta,
08 Juni 2017, Yayasan Pulih.
77

Melihat dari pemaparan informan diatas dapat disimpulkan bahwa

advokasi yang dilakukan lebih kepada advokasi klien yang dimana

tujuannya adalah untuk membantu klien tentang bagaimana klien berjuang

memenangkan pertarungan terhadap hak-haknya di lembaga lain dan

pelayanan sosial yang ada. Hal ini juga bisa dilihat dari strategi advokasi

yang dilakukan LBH Jakarta dan Yayasan Pulih.

Dalam melakukan advokasi diperlukannya strategi. Strategi advokasi

dibagi ke dalam tiga setting atau aras (mikro, mezzo dan makro) dan

mengkajinya dari empat aspek (tipe advokasi, sasaran atau klien, peran

pekerja sosial dan teknik utama). Pada aras mikro, peran utama Pekerja

sosial adalah sebagi broker (pialang) sosial yang menghubungkan klien

dengan sumber-sumber yang tersedia di lingkungan sekitar. Sebagai

pialang sosial, teknik utama yang mengkoordinasi berbagai pelayanan

sosial yang disediakan oleh beragam penyedia. Sedangkan aras mezzo,

jenis advokasinya adalah advokasi kelas yaitu menunjuk pada kegiatan-

kegiatan atas nama kelas atau sekelompok orang untuk menjamin

terpenuhinya hak-hak warga dalam menjangkau sumber atau memperoleh

kesempatan-kesempatan. Sasarannya adalah kelompok formal dan

organisasi dan peran pekerja sosial disini adalah sebagai mediator, dan

menggunakan teknik utamanya yaitu jejaring (Networking). Dan terakhir

aras makro, jenis advokasinya sama seperti aras mezzo yaitu advokasi

kelas, sasarannya adalah masyarakat lokal dan nasional. Peran pekerja

sosial disini sebagai aktivis dan analis kebijakan dan teknik utama yang
78

digunakan yaitu aksi sosial dan analisis kebijakan.21 Berikut hasil

wawancara oleh Bunga Siagian selaku pengacara publik LBH Jakarta:

“Dalam melakukan advokasi yang dilakukan pertama, advokat atau


pendamping mendengarkan secara empati segala penuntutan dan
pendamping juga berhak memberikan pendapat, saran atau
penegasan terhadap korban. Pendamping melakukan pencatatan
terkait dengan apa yang korban ceritakan mengenai kasus yang
dialami dan melakukan visum terhadap korban. Selain itu,
pendamping merujuk korban kesalah satu rekan jaringan LBH
Jakarta yaitu Yayasan Pulih untuk melakukan pemeriksaan
psikologis yang nanti hasilnya akan menjadi salah satu bukti untuk
membantu proses hukum yang dijalani oleh korban.”22

Sementara Gisella T Pratiwi selaku psikolog anak Yayasan Pulih

menjelaskan:

“Advokasi yang dilakukan Pulih pada kasus ini yaitu melakukan


proses asesmen pemeriksaan psikologis dalam membantu LBH
Jakarta untuk menjalani proses hukum, diantaranya: menerima
data-data terkait advokasi yang sudah dilakukan oleh LBH Jakarta
dan Pulih melakukan kembali prosedur pengambilan data yang
terdiri dari wawancara, observasi, dan tes untuk menguatkan bukti
data-data yang sudah dilakukan LBH Jakarta.”23

Hal ini diperjelas oleh orang tua korban HT:

“Kami dirujuk ke Yayasan Pulih buat pemeriksaan psikologis anak


saya. Di Pulih anak saya ditanya-tanya awal kejadiannya gimana
tapi nanyanya sambil diajak main ular tangga sama psikolognya.”24

Berdasarkan teori advokasi pekerjaan sosial, permasalahan yang

peneliti angkat dalam skripsi ini masuk kedalam kategori advokasi tipe

mikro yang mengusulkan peran LBH Jakarta dan Yayasan Pulih sebagai

21
Lihat Bab II, h.26.
22
Data diperoleh dari Wawancara dengan Bunga Siagian, Pengacara Publik LBH Jakarta,
Jakarta, 10 April 2017, LBH Jakarta.
23
Data diperoleh dari Wawancara dengan Gisella T. Pratiwi, Psikolog Anak, Jakarta, 08
Juni 2017, Yayasan Pulih.
24
Data diperoleh dari Wawancara dengan HT, Orang Tua Korban, Jakarta, 05 Juli 2017,
LBH Jakarta.
79

broker sosial yang menghubungkan klien dengan sumber-sumber yang

tersedia di lingkungan sekitar. Adapun teknik utama yang dilakukan

adalah manajemen kasus (case management) yang mengkoordinasikan

berbagai pelayanan sosial yang disediakan oleh beragam penyedia.

Kegiatan yang dilakukan oleh LBH Jakarta dan Yayasan Pulih,

diantaranya: 1) melakukan asesmen, 2) memfasilitasi pilihan-pilihan klien,

3) menjalin relasi kerja sama antara LBH Jakarta dan Yayasan Pulih untuk

membantu klien dalam memenuhi hak-haknya.

Selain itu, dalam melakukan advokasi perlunya pedoman dalam

merancang advokasi yang sukses. Berikut proses advokasi yang dilakukan

oleh LBH Jakarta dan Yayasan Pulih.

Gambar 4.2

Proses Advokasi LBH Jakarta

Mencari akar
permasalahan

Membangun
opini dan fakta

Tindakan
kebijakan

Membangun
koalisi

Penilaian

Sumber: LBH Jakarta


80

Gambar 4.3

Proses Advokasi Yayasan Pulih

Melakukan
Memilih Menentukan
analisis dan
isu tujuan dan
mengkaji
strategis target
kasus

Membangun
opini publik
Melakukan
loby, Membangun
Refleksi jaringan dan
mempengaruhi
dan mendesak koalisi.
Sumber: Yayasan Pulih

LBH Jakarta dan Yayasan Pulih memiliki cara ketika LBH Jakarta

dan Yayasan Pulih merasakan empati, LBH Jakarta dan Yayasan Pulih

ingin membantu korban dan keluarga korban yang mengalami kasus

tersebut dengan cara:

“Dalam melakukan advokasi yang dilakukan pertama, pendamping


mendengarkan secara empati segala penuntutan dan pendamping
juga berhak memberikan pendapat, saran atau penegasan terhadap
korban. Pendamping melakukan pencatatan terkait dengan apa
yang korban ceritakan mengenai kasus yang dialami dan
melakukan visum terhadap korban.”25

Hal ini diperjelas oleh keluarga korban HT:

“Kami menceritakan dari awal kejadian dan mendapat respon yang


baik dari LBH Jakarta, setelah itu beberapa hari kemudian saya
balik ke LBH Jakarta. Lalu kami dan pendamping dari LBH Jakarta
membawa HA kerumah sakit untuk melakukan visum.”26

25
Data diperoleh dari Wawancara dengan Bunga Siagian, Pengacara Publik LBH Jakarta,
Jakarta, 06 April 2017, LBH Jakarta.
26
Data diperoleh dari Wawancara dengan HT, Orang Tua Korban, Jakarta, 05 Juli 2017,
LBH Jakarta.
81

Dari pengakuan informan, peneliti menyimpulkan bahwa advokasi

yang dilakukan oleh LBH Jakarta bersandar pada isu dan agenda yang

spesifik, jelas dan terukur serta memerlukan perencanaan yang akurat. Hal

ini juga disampaikan oleh pengacara publik LBH Jakarta Bunga Siagian:

“Selain melakukan visum, pendamping merujuk korban kesalah


satu rekan jaringan LBH Jakarta yaitu Yayasan Pulih untuk
melakukan pemeriksaan psikologis yang nanti hasilnya akan
menjadi salah satu bukti untuk membantu proses hukum yang
dijalani oleh korban.”27

Gambar 4.4

Proses Asesmen Pemeriksaan Psikologis

Perencanaan dalam prosedur pengambilan data.

Pengumpulan data untuk asesmen.

Pengolahan data dan pembentukan hipotesis.

Mengomunikasikan data asesmen baik dalam


bentuk laporan maupun dalam bentuk lisan.

Melihat proses asemen pemeriksaan psikologis, Gisella T. Pratiwi selaku

psikolog anak Yayasan Pulih menjelaskan:

“Advokasi yang dilakukan Pulih pada kasus ini yaitu melakukan


proses asesmen pemeriksaan psikologis dalam membantu LBH
Jakarta untuk menjalani proses hukum, diantaranya: menerima

27
Data diperoleh dari Wawancara dengan Bunga Siagian, Pengacara Publik LBH Jakarta,
Jakarta, 10 April 2017, LBH Jakarta.
82

data-data terkait advokasi yang sudah dilakukan oleh LBH Jakarta


dan Pulih melakukan kembali prosedur pengambilan data yang
terdiri dari wawancara, observasi, dan tes untuk menguatkan bukti
data-data yang sudah dilakukan LBH Jakarta.”28

Sementara orang tua korban HT mengatakan:

“Kami dirujuk ke Yayasan Pulih buat pemeriksaan psikologis anak


saya. Di Pulih anak saya ditanya-tanya awal kejadiannya gimana
tapi nanyanya sambil diajak main sama psikolognya.”29

Hasil wawancara dari beberapa informan menunjukkan bahwa

membangun koalisi dengan pihak lain adalah salah satu tolak ukur

keberhasilan pada saat melakukan advokasi. Koalisi dibangun berdasarkan

kesamaan kepentingan dan saling percaya. Hal ini juga bisa dilihat dari

pendampingan yang dilakukan Yayasan Pulih, seperti yang dikutip berikut

ini:

“Untuk wawancara kita menggunakan rumus seperti biasa yaitu


5W+1H. Dalam melakukan wawancara kita menggunakan metode
tatap muka dengan cara sambil mengajak HA bermain. Observasi
kita bisa lihat dari penampilan fisik secara keseluruhan dan bisa
dilihat juga dari reaksi emosi serta cara berbicara saat wawancara.
Temuan dari observasi dan wawancara dapat digunakan sebagai
sampel tingkah laku sebagai korelat atau penyerta tingkah laku,
atau sebagai tanda dari adanya hal yang melandasi tingkah laku
itu.”30

Berdasarkan hasil pemaparan informan diatas, advokasi yang

dilakukan melibatkan kekuasaan atau power. Kekuasaan intinya

menyangkut kemampuan untuk mempengaruhi dan membuat orang

berprilaku seperti yang kita harapkan.

28
Data diperoleh dari Wawancara dengan Gisella T. Pratiwi, Psikolog Anak, Jakarta, 08
Juni 2017, Yayasan Pulih.
29
Data diperoleh dari Wawancara dengan HT, Orang Tua Korban, Jakarta, 05 Juli 2017,
LBH Jakarta.
30
Data diperoleh dari Wawancara dengan Gisella T. Pratiwi, Psikolog Anak, Jakarta, 08
Juni 2017, Yayasan Pulih.
83

Peran dan fungsi advokat dapat dilihat dalam undang-undang

advokat pasal 1 ayat 1 yang berbunyi: “Advokat adalah orang yang

berprofesi memberikan jasa hukum baik di dalam maupun di luar

pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan ini”.

Seperti yang diungkap oleh psikolog Anak Gisella T Pratiwi di bawah ini:

“Sesuai dengan kebutuhan pada kasus, hasil pemeriksaan


psikologis berupa surat keterangan ahli diberikan kepada LBH
Jakarta yaitu lembaga perujuk untuk salah satu bukti klien dalam
menjalani proses hukum.”31

Hal ini diperjelas oleh Bunga Siagian pengacara publik LBH Jakarta:

“Selanjutnya, setelah menerima hasil pemeriksaan psikologis yang


dilakukan Pulih, advokat atau pendamping memberikan konsultasi
hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan
proses peradilan untuk melakukan penegasan terhadap korban. Dan
yang terakhir, mendampingi korban ditingkat penyidikan,
penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan.”32

Dari pemaparan diatas, dapat diketahui bahwa peran dan fungsi

advokat meliputi pekerjaan baik yang dilakukan di pengadilan maupun di

luar pengadilan tentang masalah hukum pidana atau perdata, seperti

mendampingi klien dalam tingkat penyelidikan dan penyidikan, atau

beracara di muka pengadilan. Hal ini terungkap dari pengacara publik

LBH Jakarta Bunga Siagian:

“Alhamdulillah setelah kita mendampingi ditingkat pengadilan


akhirnya mendapat putusan bahwa oknum TNI tersebut dijatuhkan
hukuman 8 bulan penjara.”33

Gisella T Pratiwi juga mengungkapkan:

31
Data diperoleh dari Wawancara dengan Gisella T. Pratiwi, Psikolog Anak, Jakarta, 08
Juni 2017, Yayasan Pulih.
32
Data diperoleh dari Wawancara dengan Bunga Siagian, Pengacara Publik LBH Jakarta,
Jakarta, 10 April 2017, LBH Jakarta.
33
Ibid.
84

“Setelah melakukan asesmen pemeriksaan psikologis pada HA, HA


sedikit lebih bisa bersosialisasi kembali dengan lingkungan sekitar,
dan lebih ceria dari yang sebelum-sebelumnya.”34

Berdasarkan hasil pemaparan informan diatas dapat disimpulkan

bahwa LBH Jakarta meminta dan mendesak agar keadilan ditegakkan dan

pelaku segera diadili. Padahal, TNI semestinya bertugas melindungi

segenap bangsa rakyat Indonesia bukan sebaliknya. Keberhasilan yang

dicapai oleh LBH Jakarta tidak terlepas dari kerjasama dengan Yayasan

Pulih. Yayasan Pulih melakukan proses asesmen pemeriksaan psikologis

yang didalamnya terdapat memberikan pemulihan fisik dan psikis serta

perlindungan pada korban.

Sesuai pada bab II mengenai pelaksanaan advokasi, seseorang

advokat harus melaksanakan unsur pokok penting dalam menjalankan

kegiatan advokasi, karena unsur pokok ini sangat mempengaruhi

keberhasilan dari kegiatan advokasi yang dilakukan oleh advokator mulai

dari mengumpulkan dan menganalisa informasi latar belakang

permasalahan, memilih strategi untuk membantu proses advokasi hingga

menyusun rencana advokasi, didalam penyusunan rencana advokasi

banyak yang harus dipertimbangkan karena advokasi akan berhasil

dilaksanakan bila sesuai dengan susunan yang telah dibuat. Seperti hasil

wawancara berikut ini:

“Dalam melakukan advokasi yang dilakukan pertama, advokat atau


pendamping mendengarkan secara empati segala penuntutan dan

34
Data diperoleh dari Wawancara dengan Gisella T. Pratiwi, Psikolog Anak, Jakarta, 08
Juni 2017, Yayasan Pulih.
85

pendamping juga berhak memberikan pendapat, saran atau


penegasan terhadap korban. Pendamping melakukan pencatatan
terkait dengan apa yang korban ceritakan mengenai kasus yang
dialami dan melakukan visum terhadap korban. Selain itu,
pendamping merujuk korban kesalah satu rekan jaringan LBH
Jakarta yaitu Yayasan Pulih untuk melakukan pemeriksaan
psikologis yang nanti hasilnya akan menjadi salah satu bukti untuk
membantu proses hukum yang dijalani oleh korban.”35

Dari pengakuan informan, peneliti menyimpulkan bahwa advokasi

yang dilakukan oleh LBH Jakarta memiliki tujuan memberikan suatu

perlindungan dan pemahaman kepada korban dan keluarga korban dalam

memahami dan memperjuangkan terpenuhinya hak dan kewajibannya.

Hal ini juga disampaikan oleh psikolog anak Gisella T Pratiwi:

“Advokasi yang dilakukan Pulih pada kasus ini yaitu melakukan


proses asesmen pemeriksaan psikologis dalam membantu LBH
Jakarta untuk menjalani proses hukum, diantaranya: menerima
data-data terkait advokasi yang sudah dilakukan oleh LBH Jakarta
dan Pulih melakukan kembali prosedur pengambilan data yang
terdiri dari wawancara, observasi, dan tes untuk menguatkan bukti
data-data yang sudah dilakukan LBH Jakarta.”36

Hasil wawancara korban, peneliti menyimpulkan bahwa tujuan

menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan advokasi. Tujuan Yayasan

Pulih melakukan advokasi yaitu untuk memberikan pendampingan bagi

korban dan keluarga korban berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi

mereka terutama dalam bidang hukum. Selain itu, asesmen pemeriksaan

psikologis yang dilakukan Yayasan Pulih merupakan hal yang sangat

penting untuk membuat keputusan yang tepat ketika melakukan advokasi.

35
Data diperoleh dari Wawancara dengan Bunga Siagian, Pengacara Publik LBH Jakarta,
Jakarta, 10 April 2017, LBH Jakarta.
36
Data diperoleh dari Wawancara dengan Gisella T. Pratiwi, Psikolog Anak, Jakarta, 08
Juni 2017, Yayasan Pulih.
86

Mengenai dinamika pada proses advokasi, advokasi merupakan

proses yang dinamis yang menyangkut pelaku, gagasan, agenda dan

politik yang selalu berubah. Didalam pelaksanaan advokasi, seorang

advokat harus melaksanakan tahapan advokasi karena dinamika inilah

mengatur susunan advokasi mulai dari pendahuluan hingga penutup. Pada

proses berlangsung dalam lima tahap:

a) Mengidentifikasi masalah

Pada tahapan ini Bunga Siagian mengatakan:

“Kita dengerin dulu kronologi yang terjadi pada korban, lalu kita
pertimbangkan kembali laporannya. Setelah dinyatakan bahwa
kasus ini harus kita bantu, kita melakukan kembali wawancara
mendalam dengan korban dan keluarga korban, Setelah itu kita
analisis kasus tersebut.”37

Sementara Gisella T Pratiwi mengungkapkan:

“Dalam mengidentifikasi masalah yang kami lakukan pertama,


menerima data-data terkait advokasi yang sudah dilakukan oleh
LBH Jakarta. Setelah itu, Pulih melakukan kembali prosedur
pengambilan data yang terdiri dari wawancara, observasi, dan
tes.”38

Pada tahap ini LBH Jakarta dan Yayasan Pulih mengidentifikasi

masalah pada korban dengan melakukan pengulangan pertanyaan

saat melakukan wawancara guna untuk menguatkan jawaban-

jawaban yang sebelumnya sudah dipaparkan.

b) Merumuskan solusi

Hal ini disampaikan oleh Bunga Siagian:

37
Data diperoleh dari Wawancara dengan Bunga Siagian, Pengacara Publik LBH Jakarta,
Jakarta, 10 April 2017, LBH Jakarta.
38
Data diperoleh dari Wawancara dengan Gisella T. Pratiwi, Psikolog Anak, Jakarta, 08
Juni 2017, Yayasan Pulih.
87

“Setelah kita menganalisis kasus tersebut, kita melakukan visum


terhadap korban dan merujuk korban kesalah satu rekan jaringan
LBH Jakarta yaitu Yayasan Pulih untuk melakukan pemeriksaan
psikologis.”39

Hal ini juga diperjelas oleh Gisella T Pratiwi:

“Pulih melakukan proses asesmen pemeriksaan psikologis terhadap


korban untuk membantu LBH Jakarta dalam menjalani proses
hukum pada HA.”40

Pada tahap ini LBH Jakarta dan Yayasan Pulih melakukan kerja

sama dalam melakukan advokasi terhadap korban. Dalam melakukan

advokasi, Pulih melakukan dengan cara asesmen pemeriksaan

psikologis pada HA.

c) Membangun kemauan politik

Seperti dikutip berikut ini:

“Selanjutnya, setelah menerima hasil pemeriksaan psikologis yang


dilakukan Pulih, advokat atau pendamping memberikan konsultasi
hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan
proses peradilan untuk melakukan penegasan terhadap korban.”41

Pada tahap ini LBH Jakarta melakukan konsultasi hukum guna

memberi pemahaman dan penegasan kepada korban dan keluarga

korban terkait hak-haknya.

d) Melaksanakan kebijakan

Hal ini disampaikan oleh Gisella T Pratiwi:

“Sesuai dengan kebutuhan pada kasus, hasil pemeriksaan


psikologis berupa surat keterangan ahli diberikan kepada LBH

39
Data diperoleh dari Wawancara dengan Bunga Siagian, Pengacara Publik LBH Jakarta,
Jakarta, 10 April 2017, LBH Jakarta.
40
Data diperoleh dari Wawancara dengan Gisella T. Pratiwi, Psikolog Anak, Jakarta, 08
Juni 2017, Yayasan Pulih.
41
Data diperoleh dari Wawancara dengan Bunga Siagian, Pengacara Publik LBH Jakarta,
Jakarta, 10 April 2017, LBH Jakarta.
88

Jakarta yaitu lembaga perujuk untuk salah satu bukti klien dalam
menjalani proses hukum.”42

Hal ini diperjelas oleh Bunga Siagian pengacara publik LBH Jakarta:

“Setelah menerima hasil pemeriksaan psikologis yang dilakukan


oleh Yayasan Pulih, Pihak LBH Jakarta mendampingi korban di
tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan
pengadilan.”43

Pada tahap ini LBH Jakarta dan Yayasan Pulih jelas menyatakan

bahwa LBH jakarta dan Yayasan Pulih bertindak melaksanakan

kebijakan pada kasus kekerasan yang dialami oleh HA.

e) Evaluasi

Pada tahap evaluasi ini menurut hasil wawancara oleh pengacara

publik LBH Jakarta Bunga Siagian:

“Selesainya memberikan bantuan kepada korban, pihak-pihak yang


terlibat berkumpul untuk membicarakan kekurangan-kekurangan
apa saja yang terjadi dalam kasus tersebut. Kekurangannya itu bisa
kita pelajari dan pahami untuk memberikan bantuan selanjutnya
dalam kasus yang sama terhadap masyarakat yang mendapat
ketidakadilan.”44

Sementara hasil wawancara oleh psikolog anak Yayasan Pulih

Gisella T Pratiwi:

“Selalu, kami selalu melakukan evaluasi untuk meningkatkan


layanan bantuan berikutnya kepada lembaga atau masyarakat yang
membutuhkan.”45

42
Data diperoleh dari Wawancara dengan Gisella T. Pratiwi, Psikolog Anak, Jakarta, 08
Juni 2017, Yayasan Pulih.
43
Data diperoleh dari Wawancara dengan Bunga Siagian, Pengacara Publik LBH Jakarta,
Jakarta, 10 April 2017, LBH Jakarta.
44
Ibid.
45
Data diperoleh dari Wawancara dengan Gisella T. Pratiwi, Psikolog Anak, Jakarta, 08
Juni 2017, Yayasan Pulih.
89

Dari wawancara tersebut jelas menyatakan bahwa LBH Jakarta dan

Yayasan Pulih melakukan evaluasi untuk memberikan bantuan yang

lebih baik kedepannya.

Dalam melaksanakan advokasi ada beberapa obligasi yang

mendasari praktek advokasi yang dilakukan oleh pekerja sosial, antara

lain: Kode etik, dalam kode etik tercantum nilai-nilai dan prinsip etika

antara lain dinyatakan bahwa tujuan utama pekerja sosial adalah

membantu orang dalam memenuhi kebutuhan dan ditujukan kepada

pemecahan masalah sosial, menentang ketidakadilan sosial, menghargai

harkat dan martabat. Pemahaman pekerjaan sosial tentang Person-in

Environment, pendekatan yang dilakukan oleh seorang pekerja sosial

dalam membantu orang tumbuh dan berkembang yaitu keyakinan bahwa

persekitaran atau lingkungan sosial individual mempengaruhi kesejateraan

mereka secara langsung. Posisi historis advokasi dalam pekerjaan sosial

berdasarkan sejarah, advokasi mendapat tempat utama dalam praktek

pekerjaan sosial. Sanksi masyarakat dari advokasi, alasan pribadi untuk

menjadi seseorang advokat, pengaruh badan sosial tempat praktek

pekerjaan sosial. Salah satu yang mempengaruhi praktek advokasi adalah

sebuah badan atau organisasi dimana advokasi ini ditonjolkan. Seperti

yang dikutip berikut ini:

“Kode etik yang harus dimiliki seorang advokat seperti seorang


advokat tidak boleh memihak pada satu orang saja tetapi harus
memposisikan dirinya sebagai penengah diantara dua kubu.
Seorang advokat tidak boleh memberikan jaminan bahwa
90

perkaranya akan menang. Yang paling penting seorang advokat


harus saling menghormati, menghargai dan mempercayai
sesama.”46

Sementara Gisella T. Pratiwi selaku psikolog anak mengungkapkan:

“Bahwa kode etik yang harus tercermin pada advokat diantaranya


advokat harus mengupayakan keadilan bagi yang membutuhkan
keadilan, advokat memiliki kewajiban menjaga kerahasiaan klien,
advokat harus bisa menangani dan membela kepentingan klien
dengan profesional dan dengan segala keahlian yang
dimilikinya.”47

Dari pemaparan informan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam

melaksanakan tugasnya, LBH Jakarta dan Yayasan Pulih melakukan

tanggung jawab etika yang menunjukkan profesi pekerjaan sosial yaitu

memiliki harga diri yang tinggi dan fundamental pada suatu profesi.

Tabel 4.2

Bentuk-bentuk Kekerasan yang ada di Yayasan Pulih.

No Bentuk-bentuk Kekerasan Persentase


1 Psikis 30,77 %
2 Fisik 23,9 %
3 Seksual 23,08 %
4 Ekonomi 8,55 %
5 Perselingkuhan 13,68 %

Berdasarakan data diatas, kekerasan psikis sering dialami oleh klien

dalam bentuk ucapan atau kata-kata kasar yang dapat menimbulkan stigma

negatif pada diri klien. Di samping itu, klien yang ada di Yayasan Pulih

46
Data diperoleh dari Wawancara dengan Bunga Siagian, Pengacara Publik LBH Jakarta,
Jakarta, 10 April 2017, LBH Jakarta.
47
Data diperoleh dari Wawancara dengan Gisella T. Pratiwi, Psikolog Anak, Jakarta, 08
Juni 2017, Yayasan Pulih.
91

juga mengalami kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Yang dapat

mengakibatkan trauma dan dampak yang buruk terhadap kepribadian serta

kehidupan klien di masa depan.

Salah satu dampak dari kekerasan yaitu klien menjadi menarik diri

terhadap lingkungan sekitar yang seharusnya klien bisa menyesuaikan diri

dan membaur dengan teman-teman sebayanya malah ia tertutup dengan

lingkungan sekitar. Faktor ekonomi juga dapat membuat anak

mendapatkan kekerasan baik itu kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan

kekerasan seksual. Selain itu, kurangnya perhatian dan pengawasan orang

tua juga dapat mengakibatkan anak mengalami kekerasan.

Kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan,

ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok

orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar

mengakibatkan memar, tarauma, kematian, kerugian, psikologis, kelainan

perkembangan atau perampasan hak.48

Kekerasan fisik yang terjadi kepada anak-anak biasanya

menimbulkan dampak atau akibat terhadap fisik anak sehingga fisik anak-

anak yang menjadi korban kekerasan biasanya mengalami memar, luka

bakar, patah tulang, trauma kepala, cedera pada perut dan cedera lainnya

pada tubuh karena berbagai bentuk kekerasan yang didapatinya. Seperti

yang dikutip berikut ini: Dampak kekerasan pada anak yang diakibatkan

48
Lihat Bab II, h.38.
92

oleh orangtuanya sendiri atau orang lain sangatlah buruk. Seperti hasil

wawancara oleh pengacara publik LBH Jakarta Bunga Siagian berikut ini:

“Awal saya bertemu dengan korban, korban tidak bisa diajak


berkomunikasi karna korban masih memiliki rasa takut bila melihat
orang asing.”49

Hal ini juga diperjelas oleh Gisella T Pratiwi selaku psikolog anak

Yayasan Pulih:

“Dampak kekerasan yang terjadi pada korban. Pertama, korban


mengalami dampak terhadap fisik korban, yaitu: korban mengalami
memar dan cidera pada bagian tubuh lainnya. Kedua, selain
berdampak pada fisik, korban juga mengalami dampak terhadap
kondisi psikologis, korban merasa trauma dan memiliki perasaan
takut.”50

Sementara orang tua korban HT mengatakan:

“Anak saya mengalami trauma karna anak saya mendapatkan


perlakuan yang sadis. Anak saya juga takut kalau melihat orang
banyak disekelilingnya, bahkan anak saya juga sering murung dan
mudah menangis.51

Dari pemaparan informan diatas dapat terlihat bahwa korban

mengalami kekerasan fisik yaitu kekerasan yang melibatkan kontak

langsung dan dimaksudkan untuk menimbulkan perasaan intimidasi,

cedera, atau penderitaan fisik lain atau kerusakan tubuh. Selain mengalami

kekerasan fisik, korban juga mengalami kekerasan psikologis. Korban

mengalami trauma yang mengakibatkan korban memiliki rasa takut yang

berlebihan.

49
Data diperoleh dari Wawancara dengan Bunga Siagian, Pengacara Publik LBH Jakarta,
Jakarta, 10 April 2017, LBH Jakarta.
50
Data diperoleh dari Wawancara dengan Gisella T. Pratiwi, Psikolog Anak, Jakarta, 08
Juni 2017, Yayasan Pulih.
51
Data diperoleh dari Wawancara dengan HT, Orang Tua Korban, Jakarta, 05 Juli 2017,
LBH Jakarta.
93

C. Faktor Pendukung dan Penghambat

1. Faktor Pendukung

Ada beberapa peranan menjadi faktor pendukung yang dimiliki oleh

pekerja sosial dalam melakukan advokasi sosial yaitu: menginformasikan

kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau beberapa

orang pendamping, mendampingi korban ditingkat penyidikan, penuntutan

atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban secara

obyektif, mendengarkan secara empati segala penuntutan korban sehingga

korban merasa aman didampingi oleh pendamping, dan memberikan

dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban. Hal ini

diungkapkan oleh Bunga Siagian:

“Dalam melakukan advokasi, advokat harus profesional dalam


melaksanakan tugasnya seperti advokat wajib memberikan
informasi mengenai hak-hak korban, baik informasi mengenai
Undang-undang maupun yang lainnya. Advokat juga mempunyai
kewajiban mendampingi korban dari pendahuluan sampai dengan
penutup. Hal ini sudah dilakukan oleh advokat LBH Jakarta dan ini
menjadi salah satu keberhasilan yang dimiliki seorang advokat
dalam menjalani tugasnya.”52

Selain LBH Jakarta, Yayasan Pulih juga mempunyai beberapa

kesamaaan peranan yang menjadi faktor pendukung dalam melakukan

advokasi yaitu mendampingi korban ditingkat penyidikan, penuntutan atau

tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban secara

obyektif. Memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik

kepada korban.

52
Data diperoleh dari Wawancara dengan Bunga Siagian, Pengacara Publik LBH Jakarta,
Jakarta, 10 April 2017, LBH JAKARTA.
94

Hal ini juga disampaikan oleh psikolog anak Yayasan Pulih Gisella T.

Pratiwi:

“Yang menjadi faktor pendukungnya bahwa selain memberikan


konseling psikogis, Pulih juga memiliki layanan pemeriksaan
psikologis. Layanan ini dapat membantu lembaga perujuk
khususnya membantu klien dalam menjalani proses hukum seperti
pada kasus ini. Bahkan jika diperlukan, Pulih juga dapat
memberikan kesaksian ahli psikologis di kepolisian maupun di
pengadilan, terkait pemeriksaan psikologis yang telah dilakukan
sebelumnya.”53

Sementara orang tua korban HT juga mengatakan:

“Bagusnya ada LBH Jakarta, lembaga yang mau membantu orang-


orang seperti saya ini. Dan LBH juga kerja sama dengan Yayasan
Pulih untuk mebantu saya menyelesaikan kasus yang dialami anak
saya.”54

Dari beberapa peranan yang menjadi faktor pendukung ada beberapa

kesamaan peranan yang dimiliki LBH Jakarta dan Yayasan Pulih dalam

melakukan perannya sebagai advokat seperti menginformasikan kepada

korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau beberapa orang

pendamping, mendampingi korban ditingkat penyidikan, penuntutan atau

tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban secara

obyektif, mendengarkan secara empati segala penuntutan korban sehingga

korban merasa aman didampingi oleh pendamping.

2. Faktor Penghambat

Selain peranan yang menjadi faktor pendukung, ada beberapa

kendala yang dialami oleh pekerja sosial dalam melakukan advokasi sosial

53
Data diperoleh dari Wawancara dengan Gisella T. Pratiwi, Psikolog Anak, Jakarta, 08
Juni 2017, Yayasan Pulih.
54
Data diperoleh dari Wawancara dengan HT, Orang Tua Korban, Jakarta, 05 Juli 2017,
LBH Jakarta.
95

yaitu: sejarah atau isu profesionalisme pekerjaan sosial, ketiadaan standar

norma professional, masalah managerial, tempat bekerja, persepsi

advokasi sebagai konforontasi, tidak memahami kebutuhan klien,

ketakutan kehilangan status, ketiadaan pendidikan atau pelatihan khusus,

strategi intervensi yang tidak popular, ketidakmengertian mengenai bentuk

advokasi. Seperti hasil wawancara oleh Bunga Siagian selaku pengacara

publik LBH Jakarta

“Kalau kendala yang kita alami seperti kurang terkonsepnya


pengelolaan kasus karena lagi-lagi SDM faktornya. SDM yang
dimiliki oleh LBH Jakarta masih sangat terbatas khususnya dalam
mendampingi korban kekerasan terhadap anak.”55

Sementara Gisella T. Pratiwi selaku psikolog anak juga mengungkapkan:

“Kalau bicara tentang kendala, masih banyak kendala yang dialami


Yayasan Pulih dalam melakukan advokasi. Maka dari itu, kami
masih sangat perlu belajar, belajar dan belajar serta adanya
pelatihan khusus untuk melakukan advokasi.”56

Selain itu, HT selaku orang tua korban juga mengungkapkan:

“Merasa dipersulit lapor kesana-kesini, alasannya inilah-itulah,


seperti mengabaikan kasus-kasus seperti ini.”57

Dari pemaparan informan diatas dapat disimpulkan bahwa ada

beberapa kesamaan kendala yang dihadapi oleh LBH Jakarta dan Yayasan

Pulih dalam melakukan perannya sebagai advokat seperti managerial,

tempat bekerja dan pelatihan khusus. Dalam melakukan advokasi,

managerial yang kurang terkonsep akan menimbulkan ketidakseimbangan

55
Data diperoleh dari Wawancara dengan Bunga Siagian, Pengacara Publik LBH Jakarta,
Jakarta, 10 April 2017, LBH JAKARTA.
56
Data diperoleh dari Wawancara dengan Gisella T. Pratiwi, Psikolog Anak, Jakarta, 08
Juni 2017, Yayasan Pulih.
57
Data diperoleh dari Wawancara dengan HT, Orang Tua Korban, Jakarta, 05 Juli 2017,
LBH Jakarta.
96

antara tugas yang akan dikerjakan dengan masalah yang timbul. Serta

ketidaksesuaian antara Undang-undang dengan kasus yang menimpa para

korban, sehingga sering terjadi ketidakseimbangan antara Undang-undang

dan kasus yang dihadapi.


BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Advokasi sosial dalam penelitian ini melibatkan dua lembaga yaitu

Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan Yayasan Pulih. Dalam kasus

kekerasan fisik terhadap anak, LBH Jakarta bekerjasama dengan Yayasan

Pulih guna untuk menangani konsekuensi pada kasus yang dialami oleh

masyarakat. Sebab, selain membutuhkan bantuan hukum, masyarakat juga

membutuhkan layanan-layanan lainnya, seperti layanan psikologis bagi

korban yang mengalami kekerasan dalam suatu kelompok atau individu.

Hal itu berguna untuk pemulihan rasa trauma bagi masyarakat yang

mengalami dampak kekerasan secara langsung dan tidak langsung.

Proses advokasi yang dilakukan oleh LBH Jakarta terhadap anak

korban kekerasan fisik antara lain: pendamping mendengarkan secara

empati segala penuntutan. Dalam hal ini pendamping memberikan

pendapat, saran, atau penegasan terhadap korban. Pendamping melakukan

pencatatan terkait dengan apa yang korban ceritakan mengenai kasus yang

dialami dan melakukan visum terhadap korban. Selain itu, pendamping

merujuk korban kesalah satu rekan jaringan LBH Jakarta yaitu Yayasan

Pulih untuk melakukan pemeriksaan psikologis. Selanjutnya, setelah

menerima hasil pemeriksaan psikologis yang dilakukan Pulih, advokat

atau pendamping memberikan konsultasi hukum yang mencakup

informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan untuk

97
98

melakukan penegasan terhadap korban. Dan yang terakhir, mendampingi

korban ditingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan

pengadilan. Pada tingkat ini diputuskan bahwa oknum TNI mensdapatkan

hukuman 8 bulan penjara.

Sementara advokasi yang dilakukan oleh Yayasan Pulih terhadap

anak korban kekerasan fisik yaitu proses asesmen pemeriksaan psikologis,

diantaranya: Pertama, perencanaan dalam prosedur pengambilan data.

Dalam proses ini, Pulih menerima data-data terkait advokasi yang sudah

dilakukan oleh LBH Jakarta. Kedua, pengumpulan data untuk asesmen.

Proses ini, Pulih melakukan pengumpulan data melalui wawancara dan

observasi. Ketiga, Pengolahan data dan pembentukkan hipotesis. Temuan

dari observasi dan wawancara digunakan Pulih sebagai sampel tingkah

laku sebagai hubungan timbal balik atau sebab akibat adanya hal yang

melandasi tingkah laku tersebut. Keempat, Mengomunikasikan data

asesmen baik dalam bentuk laporan maupun dalam bentuk lisan. Sesuai

dengan kebutuhan pada kasus, hasil pemeriksaan psikologis berupa surat

keterangan ahli diberikan kepada LBH Jakarta yaitu lembaga perujuk

untuk salah satu bukti klien dalam menjali proses hukum. Dalam

melakukan asesmen pemeriksaan psikologis, perubahan yang terjadi pada

korban yaitu korban sedikit lebih bisa bersosialisasi kembali dengan

lingkungan sekitar dan lebih ceria.

Adapun faktor pendukung dan penghambat yang dimiliki LBH

Jakarta dan Yayasan Pulih dalam melakukan advokasi. Beberapa yang


99

menjadi faktor pendukung LBH Jakarta dan Yayasan Pulih dalam

melakukan perannya sebagai advokat yaitu dapat menginformasikan

kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau beberapa

orang pendamping, mendampingi korban ditingkat penyidikan, penuntutan

atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban secara

obyektif, mendengarkan secara empati segala penuntutan korban sehingga

korban merasa aman didampingi oleh pendamping. Sedangkan faktor

penghambat yang dimiliki oleh LBH Jakarta dan Yayasan Pulih dalam

melakukan peranannya sebagai advokat adalah managerial yang kurang

terkonsep. Dalam melakukan advokasi, managerial yang kurang terkonsep

akan menimbulkan ketidakseimbangan antara tugas yang akan dikerjakan

dengan masalah yang timbul.

B. SARAN

Setelah melakukan penelitian terkait advokasi sosial terhadap anak

korban kekerasan fisik, maka penulis mencoba memberikan dan

mengemukakan masukan atau rekomendasi kepada pihak-pihak

bersangkutan yang kiranya menjadi bahan pertimbangan kedepannya.

1. Kepada tim advokasi LBH Jakarta dalam melakukan tugas diharapkan

selalu melakukan komunikasi yang baik terhadap sesama tim agar

tidak terjadinya kesalahpahaman dan ditambahnya SDM khususnya

dalam mendampingi anak korban kekerasan seperti pekerja sosial,

psikolog, dan profesi lainnya. Serta LBH Jakarta diharapkan dapat

terus mengembangkan dan meningkatkan pelayanan dengan


100

mengadakan sosialisasi yang lebih luas lagi, sehingga LBH Jakarta

dapat memberikan manfaat yang lebih besar kepada masyarakat.

2. Kepada Yayasan Pulih diharapkan tetap berupaya untuk selalu

meningkatkan mutu pelayanan terutama dalam proses perlindungan

serta meningkatkan sosialisasi dalam rangka menyebar luaskan

pengetahuan dan kesadaran bagi masyarakat.

3. Karena keterbatasan waktu yang peneliti miliki sehingga penelitian ini

belum komprehensif, maka peneliti berharap kepada peneliti

selanjutnya untuk melakukan penelitian lanjutan mengenai dukungan

keluarga atau peran komunitas dalam permasalahan anak ini.

Demikian kesimpulan dan saran-saran yang dapat penulis simpulkan,

semoga saran-saran ini menjadi sebuah kritik yang membangun guna

meningkatkan kinerja LBH Jakarta dan Yayasan Pulih serta peneliti

selanjutnya ke arah yang lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia, Jakarta: Cendana Press, 1983.

Al-Banna, hasan dkk, Departemen agama RI Al-Qur’an dan Terjemahan Woman,


Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2010.

Desnawari, Nenden, Pentingnya Forum Perlindungan dan Advokasi Sosial, Forum


Komunikasi Fungsional Pekerja Sosial. Jawa Timur, 2012.

Ghony, M. Djunaedi & Almanshur, Fauzan, Metode Penelitian Kualitatif, Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media, 2012.

Hikmawaty, Eny dan Rusmiyati, Chatarina, Kajian Kekerasan Terhadap Anak,


Yogyakarta: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan
Sosial, 2016.

Ife, Jim dan Tesorieo, Frank., Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi
Community Development, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Januardi, Alldo Felix dkk, Mundurnya Demokrasi dan Kalahnya Negara Hukum, Jakarta:
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, 2016.

Khisbiyyah, Yayah, Melawan kekerasan tanpa kekerasan, Agresi dan Kekerasan:


Perspektif Teori Psikologi, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Moleong, Lexy J, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005.

Nasution, Adnan Buyung, Bantuan Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2007.

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2014.

Suharto, Edi, Pekerjaan Sosial di Dunia Industri Memperkuat Corporate Social


Responsibility, Bandung: Alfabeta, 2009.

Suharto, Edi, Isu-isu Tematik Pembangunan Sosial: Konsepsi dan Strategi, Jakarta:
Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial Departemen RI, 2004.

Sunggono, Bambang dan Harianto, Arie, Bantuan Hukum Dan Hak Asasi Manusia,
Jember: Mandar Maju, 1994.
Sutedjo, Wagiati, Hukum Pidana Anak, Bandung: Refika Aditama, 2010.

Suyanto, Bagong dan Sanituti, Sri, Krisis & Child Abuse, Surabaya: Airlangga
University, 2002.

Suyanto, Bagong, Masalah Sosial Anak, Jakarta: Kencana, 2010.

Tim Penyusun Kamus Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
2005.

Wahid, Abdul dan Irfan, Muhammad, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan


Seksual: Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan, Bandung: Refika Aditama, 2001.

XC, K Prent dkk, Kamus Latin-Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 1969.

Media Internet

Republika. Angka Kekerasan terhadap Anak. Artikel diakses pada tanggal 18


Desember 2016 dari http://m.republika.co.id/16/06/14/angka-kekerasan-
terhadap-anak/

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

SKRIPSI

Amalia, Indah, “Pendampingan Anak Korban Kekerasan Fisik di Lembaga


Perlindungan Anak (LPA) Yogyakarta”, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Yogyakarta, 2015).

Lubis, Momba DS, “Advokasi Sosial Untuk Perempuan Korban Kekerasan


Dalam Rumah Tangga Di LBH APIK Jakarta”, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Jakarta, 2015).

Suryani, Ade Mega, “Upaya Komisi Perlindungan Anak (KOMNAS PA) dalam
Memberikan Perlindungan Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual”,
(Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Jakarta,
2014).
Struktur Organisasi LBH Jakarta

Direktur : Alghiffari Aqsa, S.H.

Kepala Divisi Internal : Uni Illian Marcianty, S.H.

Kepala divisi advokasi : Yunita, S.H., L.LM.

Pustakawati : T. Sri Haryanti

Arsiparis : Wulan Purnama

Keuangan : Santi Sudarwanti

Septi Ponco

Kesekretariatan : Abdul Rosyid

Resepsionis : Irma Apri Yulianti

Pengemudi : Juli Hartanto

Bagian Umum : Sagino

Kampanye : Aditya Megantara, S.Sos.

Angga Miga Pramono, S.Sos

Penggalangan Dana Publik : Khaerul Anwar

Widodo Budidarmo

Advokasi Internasional : Tommy Albert Tobing, S.H

Kaderisasi : Tri Devia

Pengacara Publik : Pratiwi Febry, S.H.

Arif Maulana, S.H., M.H.

Nelson Nikodemus Simamora, S.H.

Eny Rofiatul N, S.H


Alldo Fellix Januardy, S.H.

Bunga Meisha Rouli Siagian, S.H.

Matthew Michele Lenggu, S.H.

Oky Wiratama Siagian, S.H.

Gading Yonggar Ditya, S.H.

Citra Referandum, S.H.

Ayu Eza Tiara, S.H., S.Sy.

Asisten Bantuan Hukum : Andre Fitrah Anwar.

April Patisellano Putri.

Bonny Andalanta Tarigan.

Cindi Iqbalini Fortuna.

Gregorius R Daeng.

Harry Ashari.

Husni Mubarak.

Julikson Ruli Oscar S.

Julio Castor Achmadi.

M. Charlie Meidino A.

Muhamad Ali Hasan.

Muhamad Retza B.

Olivia Griselda S.

Shaleh Al Ghifari.

Sony Gusti Anasta.

Sulaiman Khosyi S.
Yohanis Mambrasar.

M. Rizky Yudha Prawira.


Struktur Organisasi Yayasan Pulih

a. Dewan Pembina

Ketua : E. Kristi Poerwandari

Anggota : Livia Iskandar

Irma S. Martam

Sahawiyah

b. Dewan Pengawas

Ketua : Miryam S.V. Nainggolan

Anggota : Wakhit Hasim

Dian Marina

c. Dewan Pengurus

Ketua : Nirmala Ika K.

Wakil Ketua : Nurcahyo Budi Waskito

Anggota : Jackie Viemilawati

Vitria Lazzarini

Sidiq Gunawan

d. Pengurus Harian

Koordinator Eksekutif : E. Kristi Poerwandari

Manajer Pengembangan Organisasi : Nirmala Ika K.

Manajer Program : Jackie Viemilawati

Konsultan Program : Vitria Lazzarini

Keuangan : Sidiq Gunawan

Kasir dan Kerumahtanggaan : Ahmad Sopiyan


Administrasi dan Humas : Fransiskus Sugiarto

Penanggungjawab Klinik : Danika Nurkalista

Penanggungjawab Kerjasama : Gisella T. Pratiwi

Jane Pietra

Cantyo A. Dannis
Pedoman Wawancara

Objek Wawancara

A. Nama : Ayu Eza Tiara, S.H., S.Sy.

Jabatan : Pengacara Publik LBH Jakarta

1. Bagaimana awal mula berdirinya LBH Jakarta?

2. Jenis kasus apa saja yang ditangani oleh LBH Jakarta?

3. Berapa banyak LBH Jakarta dalam menangani kasus kekerasan terhadap anak

pada tahun 2016 dan apa saja kasus kekerasannya?

4. Dengan siapa saja LBH Jakarta melakukan jejaring?

5. Apa saja peran-peran LBH Jakarta dalam memberikan bantuan hukum

terhadap anak korban kekerasan fisik?

6. Apa yang membedakan pengacara publik LBH Jakarta dan pengacara pada

umumnya?

7. Apa saja nilai-nilai yang dimiliki pengacara publik atau pelayanan hukum

dalam menangani kasus-kasus yang masuk?

8. Apa saja syarat-syarat untuk mendapatkan bantuan hukum di LBH Jakarta?

9. Bagaimana sikap keterlibatan LBH Jakarta dalam menangani setiap aduan

yang masuk, khususnya mengenai anak korban kekerasan fisik?


B. Nama : Bunga Meisha Rouli Siagian, S.H

Jabatan : Pengacara Publik LBH Jakarta

1. Apa saja bentuk layanan yang diberikan LBH Jakarta terhadap anak korban

kekerasan fisik?

2. Apa yang dimaksud dengan advokasi?

3. Siapa saja yang terlibat dalam penanganan advokasi?

4. Apa tujuan dari advokasi?

5. Bagaimana advokasi yang dilakukan LBH Jakarta dalam memberikan

bantuan hukum terhadap laporan kasus yang masuk?

6. Bagaimana seorang advokat dalam mengidentifikasi masalah terhadap kasus

anak korban kekerasan fisik?

7. Bagaimana proses kegiatan advokasi yang dilakukan LBH Jakarta dalam

menangani kasus korban kekerasan fisik terhadap anak?

8. Bagaimana upaya LBH Jakarta dalam memberikan perlindungan hukum

terhadap anak korban kekerasan fisik?

9. Apa saja faktor pendukung dan penghambat yang dihadapi LBH Jakarta

dalam melakukan advokasi terhadap anak korban kekerasan fisik?


C. Nama : Fransiskus Sugiarto

Jabatan : Administrasi dan Humas Yayasan Pulih

1. Bagaimana awal mula berdirinya Yayasan Pulih?

2. Apa saja bentuk pelayanan yang ada di Yayasan Pulih?

3. Dengan siapa saja Yayasan Pulih melakukan jejaring?

4. Apa saja program-program yang ada di Yayasan Pulih?

5. Bagaimana sikap keterlibatan Yayasan Pulih dalam menangani setiap aduan

yang masuk, khususnya mengenai anak korban kekerasan fisik?


D. Nama : Gisella T. Pratiwi

Jabatan : Psikolog Anak

1. Apa saja bentuk layanan yang diberikan Yayasan Pulih terhadap anak korban

kekerasan fisik?

2. Apa yang dimaksud dengan advokasi?

3. Siapa saja yang terlibat dalam penanganan advokasi?

4. Apa tujuan dari advokasi?

5. Bagaimana advokasi yang dilakukan Yayasan Pulih dalam memberikan

perlindungan terhadap laporan kasus yang masuk?

6. Bagaimana seorang advokat dalam mengidentifikasi masalah terhadap kasus

anak korban kekerasan fisik?

7. Bagaimana proses kegiatan advokasi yang dilakukan Yayasan Pulih dalam

menangani kasus korban kekerasan fisik terhadap anak?

8. Bagimana upaya Yayasan Pulih dalam memberikan perlindungan terhadap

anak korban kekerasan fisik?

9. Apa saja faktor pendukung dan penghambat yang dihadapi Yayasan Pulih

dalam melakukan advokasi terhadap anak korban kekerasan fisik?

10. Apa saja bentuk-bentuk kekerasan yang ditangani oleh Yayasan Pulih?
E. Nama : HT

Selaku : Orang tua korban

1. Bagaimana pihak keluarga bisa melaporkan kejadian ini ke LBH Jakarta?

2. Bagaimana kronologi kasus ini terjadi?

3. Apa saja dampak psikologis yang dialami korban?


Transkip Wawancara

A. Identitas Informan

a. Nama : Ayu Eza Tiara, S.H., S.Sy.

b. Jabatan : Pengacara Publik LBH Jakarta

c. Tanggal : 06 April 2017

Instrumen Wawancara

1. Bagaimana awal mula berdirinya LBH Jakarta?

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta didirikan atas gagasan yang

disampaikan pada Kongres Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) ke

III tahun 1969 oleh Alm. Adnan Buyung Nasution, gagasan tersebut

mendapat persetujuan dari Dewan Pimpinan Pusat Peradin. Pendirian

LBH Jakarta yang didukung oleh Pemerintah Daerah (Pemda) DKI

Jakarta Alm. Ali Sadikin, pada awalnya dimaksudkan untuk

memberikan bantuan hukum bagi orang-orang yang tidak mampu

dalam memperjuangkan hak-haknya, seperti rakyat miskin, buta

hukum dan tertindas. Lambat laun LBH Jakarta menjadi organisasi

penting bagi gerakan pro-demokrasi, hal ini disebabkan upaya LBH

Jakarta membangun dan menjadikan nilai-nilai hukum, hak asasi

manusia dan demokrasi sebagai pilar gerakan bantuan hukum di

Indonesia.

2. Jenis kasus apa saja yang ditangani oleh LBH Jakarta?

Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, kasus perburuhan,

kasus non struktural, kasus keluarga, serta kasus sipil dan politik.
2

3. Berapa banyak LBH Jakarta dalam menangani kasus kekerasan

terhadap anak pada tahun 2016 dan apa saja kasus kekerasannya?

Untuk jenis kasus perlindungan terhadap anak tahun 2016, LBH

Jakarta memiliki jumlah pengaduan sebanyak 31 pengaduan dan 39

pencari keadilan. Jumlah ini bisa tiga kali liat dari jumlah pengaduan

dan pencari keadilan jenis kasus perlindungan terhadap perempuan.

4. Dengan siapa saja LBH Jakarta melakukan jejaring?

Dengan Komnas PA, Komnas Perempuan, Yayasan Pulih, LPSK

(Lembaga Perlindungan Saksi Korban), ya banyak sih tergantung

dengan jenis kasusnya yang seperti apa.

5. Apa saja peran-peran LBH Jakarta dalam memberikan bantuan hukum

terhadap anak korban kekerasan fisik?

Adapun peran-peran yang dimiliki LBH Jakarta, salah satunya adalah

sebagai advokat. Ini adalah peran dalm mengubah kebijakan ataupun

praktik, misalnya melakukan gugatan terhadap pemerintah karena

kebijakan yang menindas ataupun melakukan lobi kepada pemangku

kebijakan.

6. Apa yang membedakan pengacara publik LBH Jakarta dan pengacara

pada umumnya?

1) Pengacara Publik LBH Jakarta dipaksa untuk menguasai berbagai

disiplin ilmu dan keahlian. Misalnya, dituntut untuk tidak hanya

menguasai ilmu hukum tapi juga ilmu sosial yang lain, seperti

sosiologi, ekonomi, politik, psikologi, hubungan internasional, dan


3

lain-lain. Bahkan, bukan tidak mungkin, dituntut untuk

mempelajari ilmu alam.

2) Pengacara publik LBH Jakarta memiliki posisi strategis dan

tanggung jawab yang lebih berat.

3) Pengacara Publik LBH Jakarta siap untuk hidup sederhana ataupun

kekurangan.

4) Pengacara publik LBH Jakarta haram menerima pemberian dari

klien. Dalam kode etik LBH Jakarta, dilarang keras menerima

pemberian dari klien.

5) Pengacara publik LBH Jakarta tidak boleh mentolerir sistem dan

aparatur yang korup.

6) Pengacara Publik LBH Jakarta merupakan aktivis politik yang

mendorong perubahan sosial.

7. Apa saja nilai-nilai yang dimiliki pengacara publik atau pelayanan

hukum dalam menangani kasus-kasus yang masuk?

 Professional

 Demokratis

 Adil

 Tanggung jawab

8. Apa saja syarat-syarat untuk mendapatkan bantuan hukum di LBH

Jakarta?

Syarat-syarat mendapatkan bantuan hukum di LBH Jakarta, 1) korban

memiliki ketidakadilan, 2) korban berasal dari DKI Jakarta dan


4

sekitarnya (Bogor, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, &

Banten).

9. Bagaimana sikap keterlibatan LBH Jakarta dalam menangani setiap

aduan yang masuk, khususnya mengenai anak korban kekerasan fisik?

LBH Jakarta termasuk Lembaga Bantuan Hukum yang sangat terlibat

dalam kasus-kasus yang ada di Indonesia apalagi untuk kasus anak.

Ya seperti kita ketahui bahwa tidak semua orang dikategorikan orang

berada (kaya), apalagi zama sekarang banyak orang yang selalu

berpendapat kalau orang miskin selalu kalah dengan orang-orang

berada khususnya dalam pengadilan. Nah, LBH Jakarta lah salah satu

lembaga yang memberi peluang bantuan hukum yang seadil-adilnya

untuk seluruh masyarakat terutama masyarakat yang miskin, buta

hukum dan tertindas.


5

B. Identitas Informan

a. Nama : Bunga Meisha Rouli Siagian, S.H

b. Jabatan : Pengacara Publik LBH Jakarta

c. Tanggal : 10 April 2017

Instrumen Wawancara

1. Apa saja bentuk layanan yang diberikan LBH Jakarta dalam

membantu anak korban kekerasan?

LBH Jakarta pada dasarnya memberikan layanan bantuan hanya

bantuan hukum, namun itu saja tidak cukup. Ada beberapa kegiatan

yang dilakukan LBH Jakarta salah satunya dengan advokasi.

Advokasi di LBH Jakarta tidak hanya advokasi hukum tetapi juga

advokasi kebijakan, yaitu perbuatan atau tindakan pembelaan secara

aktif untuk mendukung suatu maksud yang berkaitan dengan

kepentingan publik atau kepentingan anggota masyarakat.

2. Apa yang dimaksud dengan advokasi?

Secara umum advokasi adalah serangkaian tindakan yang dilakukan

oleh ahli hukum atau lembaga bantuan hukum dalam bentuk

konsultasi, negosiasi, mediasi, serta pendampingan baik di dalam

maupun di luar pengadilan yang bertujuan untuk menyelesaikan

sengketa yang berdimensi hukum.

3. Siapa saja yang terlibat dalam penanganan advokasi?

Korban dan keluarga korban.

4. Apa tujuan dari advokasi?


6

Adapun tujuan advokasi untuk memberikan komitmen dan dukungan

dalam upaya penyelesaian permasalahan maupun berbagai bentuk

lainnya sesuai dengan prioritas kasus. Sedangkan tujuan khusus

advokasi yang diberikan oleh LBH Jakarta dalam membantu korban

kekerasan fisik terhadap anak adalah:

5. Bagaimana advokasi yang dilakukan LBH Jakarta dalam memberikan

bantuan hukum terhadap laporan kasus yang masuk?

Dari jumlah laporan kasus yang masuk tidak semua jenis kasus dapat

LBH tangani, karna LBH mempunyai syarat dan kriteria yang berhak

mendapatkan bantuan hukum. Selain itu, kasus dapat kita tangani

sesuai prioritas kasus.

6. Bagaimana proses tahapan seorang advokat dalam melaksanakan

advokasi terhadap kasus anak korban kekerasan fisik?

a) Mengidentifikasi masalah

Kita mendengarkan dulu kronologi yang terjadi pada korban, lalu

kita pertimbangkan kembali laporannya. Setelah dinyatakan bahwa

kasus ini harus kita bantu, kita melakukan kembali wawancara

mendalam dengan pihak korban dan keluarga korban, Setelah itu

kita analisis kasus tersebut.

b) Merumuskan solusi

Setelah kita menganalisis kasus tersebut, kita melakukan visum

terhadap korban dan merujuk korban kesalah satu rekan jaringan


7

LBH Jakarta yaitu Yayasan Pulih untuk melakukan pemeriksaan

psikologis.

c) Membangun kemauan politik

Selanjutnya, setelah menerima hasil pemeriksaan psikologis yang

dilakukan Pulih, advokat atau pendamping memberikan konsultasi

hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan

proses peradilan untuk melakukan penegasan terhadap korban.

d) Melaksanakan kebijakan

Setelah menerima hasil pemeriksaan psikologis yang dilakukan

oleh Yayasan Pulih, Pihak LBH Jakarta mendampingi korban di

tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan

pengadilan.

e) Evaluasi

Selesainya memberikan bantuan kepada korban, pihak-pihak yang

terlibat berkumpul untuk membicarakan kekurangan-kekurangan

apa saja yang terjadi dalam kasus tersebut. Kekurangannya itu bisa

kita pelajari dan pahami untuk memberikan bantuan selanjutnya

dalam kasus yang sama terhadap masyarakat yang medapat

ketidakadilan.

7. Bagaimana upaya LBH Jakarta dalam memberikan perlindungan

hukum terhadap anak korban kekerasan fisik?

Selanjutnya, setelah menerima hasil pemeriksaan psikologis yang

dilakukan Pulih, advokat atau pendamping memberikan konsultasi


8

hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan

proses peradilan untuk melakukan penegasan terhadap korban. Dan

yang terakhir, mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan

atau tingkat pemeriksaan pengadilan.

8. Apa saja faktor pendukung dan penghambat yang dihadapi LBH

Jakarta dalam melakukan advokasi terhadap anak korban kekerasan

fisik?

Dalam melakukan advokasi, advokat harus profesional dalam

melaksanakan tugasnya seperti advokat wajib memberikan informasi

mengenai hak-hak korban, baik informasi mengenai Undang-undang

maupun yang lainnya. Advokat juga mempunyai kewajiban

mendampingi korban dari pendahuluan sampai dengan penutup. Hal

ini sudah dilakukan oleh advokat LBH Jakarta dan ini menjadi salah

satu keberhasilan yang dimiliki seorang advokat dalam menjalani

tugasnya. Kalau kendala yang kita alami seperti kurang terkonsepnya

pengelolaan kasus karena lagi-lagi SDM faktornya. SDM yang

dimiliki oleh LBH Jakarta masih sangat terbatas khususnya dalam

mendampingi korban kekerasan terhadap anak.


9

C. Identitas Informan

a. Nama : Fransiskus Sugiarto

b. Jabatan : Administrasi dan Humas Yayasan Pulih

c. Tanggal : 25 April 2017

Instrumen Wawancara

1. Bagaimana awal mula berdirinya Yayasan Pulih?

Yayasan Pulih adalah sebuah lembaga tidak untuk provit yang

keberadaannya berawal dari pemikiran Dr. Kristi Poerwandari, Dr.

Livia Istania, dan Ali Aulia Ramly tentang adanya ketimpangan antara

kebutuhan dan ketersediaan tenaga psikolog dalam situasi sosial

masyarakat. Berdirinya Pulih pun dipenuhi keinginan untuk memutus

rantai kekerasan agar penyintas kekerasan kelak tidak menjadi pelaku

kekerasan berikutnya.

2. Apa saja bentuk pelayanan yang ada di Yayasan Pulih?

 Konsultasi masalah psikologis tertentu untuk anak, remaja, dewasa,

perempuan dann laki-laki secara individual, keluarga dan

kelompok.

 Rujukan bagi orang yang mengalami dampak psikologis akibat

peristiwa kekrasan, konflik, bencana alam dan pengalaman lain.

 Jika diperlukan mendapatkan kesaksian ahli psikologis untuk

kasus-kasus yang sedang diproses secara hukum.

 Konsultasi untuk masalah-masalah psikologis yang dialami oleh

jurnalis media cetak dan elektronik, pekerja kemanusiaan,


10

pendamping penyintas dan pejuang HAM sebagai konsekuensi dari

pekerjaannya.

 Pelatihan dan menjadi narasumber terkait dengan isu pemulihan

trauma dan pengutan psikososial dalam konteks kekerasan dan

bencana.

 Penguatan psikososial berbasis komunitas bagi masyarakat paska

bencana dan konflik kekerasan.

 Penelitian terkait isu pemulihan trauma dan penguatan psikososial

dalam konteks kekerasan dan bencana.

3. Dengan siapa saja Yayasan Pulih melakukan jejaring?

Kemensos, Kemenkes, KPPA, Kemendikbud, Komnas perempuan,

Komnas Ham, Komnas Anak, LBH Jakarta, LBH APIK, Puskesmas,

LBH Mawar. Tergantung kasus dan kebutuhan klien sih.

4. Apa saja program-program yang ada di Yayasan Pulih?

 Pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak melalui

pelibatan laki-laki (2013-sekarang).

 Program Mampu (Majulah Perempuan Indonesia melalui

Pengentasan Kemiskinan) (2014-sekarang).

 YSIKA Peduli (2014-2016).

 Klinik (2002-sekarang).

5. Bagaimana sikap keterlibatan Yayasan Pulih dalam menangani setiap

aduan yang masuk, khususnya mengenai anak korban kekerasan fisik?


11

Pulih sangat terbuka untuk menerima setiap aduan yang masuk,

apalagi mengenai anak korban kekerasan. Pada umumnya, seseorang

menerima kekerasan tidak hanya yang dapat dilihat dengan mata,

seperti luka-luka, patah tulang, dan lain sebagainya tetapi juga

menerima kekerasan pada psikologis anak tersebut. Maka dari itu,

Pulih sangat membantu untuk melakukan konseling atau pemeriksaan

psikologis terhadap anak yang ditangani langsung oleh psikolog

professional.
12

D. Identitas Informan

a. Nama : Gisella T. Pratiwi

b. Jabatan : Psikolog Anak

c. Tanggal : 08 Juni 2017

Instrumen Wawancara

1. Apa saja bentuk-bentuk layanan yang diberikan Yayasan Pulih dalam

membantu anak korban kekerasan?

Pelayanan di Pulih terfokus pada layanan psikologis. Secara umum

peran psikologi dibagi dua, yaitu kelimuwan dan aplikatif. Pada

tataran keilmuwan, piskologi berperan dalam proses pengembangan

hukum berdasarkan riset-riset psikologi. Sementara pada tataran

aplikatif, psikologi berperan dalam intervensi psikologis yang dapat

membantu proses hukum.

2. Apa yang dimaksud dengan advokasi?

Advokasi merupakan suatu pembelaan terhadap kepentingan individu,

kelompok, masyarakat dalam memenuhi hak-haknya.

3. Siapa saja yang terlibat dalam penanganan advokasi?

LBH Jakarta, korban dan keluarga korban.

4. Apa tujuan dari advokasi?

Tujuan advokasi yang dilakukan oleh Pulih terfokus dengan layanan

yang ada di Pulih sendiri yaitu konseling psikologis dan pemeriksaan

psikologis. Maka dari itu, tujuan Pulih melakukan advokasi untuk


13

mencari kebenaran atau hal yang sebenarnya terjadi yaitu dengan cara

bagaimana dan mengapa seseorang itu berprilaku demikian.

5. Bagaimana advokasi yang dilakukan Yayasan Pulih dalam

memberikan perlindungan terhadap laporan kasus yang masuk?

Pulih melakukan advokasi tergantung jenis kasus dan kebutuhannya.

Misal seperti kasus pada anak, Pulih melakukan layanan pemeriksaan

psikologis untuk membantu anak dalam memenuhi hak-haknya, salah

satunya perlindungan.

6. Bagaimana proses tahapan seorang advokat dalam melaksanakan

advokasi terhadap kasus anak korban kekerasan fisik?

a) Mengidentifikasi masalah

Dalam mengidentifikasi masalah kasus ini yang kami lakukan

pertama, menerima data-data terkait advokasi yang sudah

dilakukan oleh LBH Jakarta. Setelah itu, Pulih melakukan kembali

prosedur pengambilan data yang terdiri dari wawancara, observasi,

dan tes.

b) Merumuskan solusi

Pulih melakukan proses asesmen pemeriksaan psikologis terhadap

korban untuk membantu LBH Jakarta dalam menjalani proses

hukum pada HA

c) Melaksanakan kebijakan

Sesuai dengan kebutuhan pada kasus, hasil pemeriksaan psikologis

berupa surat keterangan ahli diberikan kepada LBH Jakarta yaitu


14

lembaga perujuk untuk salah satu bukti klien dalam menjalani

proses hukum.

d) Evaluasi

Selalu, kami selalu melakukan evaluasi untuk meningkatkan

layanan bantuan berikutnya kepada lembaga atau masyarakat yang

membutuhkan.

7. Bagaimana proses kegiatan advokasi yang dilakukan Yayasan Pulih

dalam menangani kasus korban kekerasan fisik terhadap anak?

Advokasi yang dilakukan Pulih pada kasus ini yaitu melakukan proses

asesmen pemeriksaan psikologis dalam membantu LBH Jakarta untuk

menjalani proses hukum, diantaranya: menerima data-data terkait

advokasi yang sudah dilakukan oleh LBH Jakarta dan Pulih

melakukan kembali prosedur pengambilan data yang terdiri dari

wawancara, observasi, dan tes untuk menguatkan bukti data-data yang

sudah dilakukan LBH Jakarta. Untuk wawancara kita menggunakan

rumus seperti biasa yaitu 5W+1H. Dalam melakukan wawancara kita

menggunakan metode tatap muka dengan cara sambil mengajak HA

bermain. Observasi kita bisa lihat dari penampilan fisik secara

keseluruhan dan bisa dilihat juga dari reaksi emosi serta cara berbicara

saat wawancara. Temuan dari observasi dan wawancara dapat

digunakan sebagai sampel tingkah laku sebagai korelat atau penyerta

tingkah laku, atau sebagai tanda dari adanya hal yang melandasi

tingkah laku itu.


15

8. Bagaimana upaya Yayasan Pulih dalam memberikan perlindungan

terhadap anak korban kekerasan fisik?

Sesuai dengan kebutuhan pada kasus, hasil pemeriksaan psikologis

berupa surat keterangan ahli diberikan kepada LBH Jakarta yaitu

lembaga perujuk untuk salah satu bukti klien dalam menjalani proses

hukum.

9. Apa saja faktor pendukung dan penghambat yang dihadapi Yayasan

Pulih dalam melakukan advokasi terhadap anak korban kekerasan

fisik?

Yang menjadi faktor pendukungnya bahwa selain memberikan

konseling psikogis, Pulih juga memiliki layanan pemeriksaan

psikologis. Layanan ini dapat membantu lembaga perujuk khususnya

membantu klien dalam menjalani proses hukum seperti pada kasus ini.

Bahkan jika diperlukan, Pulih juga dapat memberikan kesaksian ahli

psikologis di kepolisian maupun di pengadilan, terkait pemeriksaan

psikologis yang telah dilakukan sebelumnya. Kalau bicara tentang

kendala, masih banyak kendala yang dialami Yayasan Pulih dalam

melakukan advokasi. Maka dari itu, kami masih sangat perlu belajar,

belajar dan belajar serta adanya pelatihan khusus untuk melakukan

advokasi.
16

E. Identitas Informan

a. Nama : HT

b. Selaku : Orang Tua Korban

c. Tanggal : 05 Juli 2017

Instrumen Wawancara

1. Bagaimana pihak keluarga bisa melaporkan kejadian ini ke LBH

Jakarta?

Awalnya saya melaporkan ke Polsek Bojong Gede tapi ditolak. Saya

langsung melaporkan lagi ke Garnisun Gambir tapi diarahkan ke

Polisi Militer TNI AL di Jalan Bungur. Disitu saya kebingungan

karena setelah mondar-mandir merasa dipersulit saat melaporkan.

Kemudian, sekitar Januari 2016, saya melaporkan ke Polres Depok

dan Polres Bogor. Selain kesana, saya juga mendatangi LBH Jakarta

untuk melapor dan mencari keadilan terhadap anak saya, karena yang

saya tau LBH Jakarta itu bisa membantu orang yang awam tentang

hukum kaya saya ini. Saya juga dirujuk ke Yayasan Pulih sama LBH

Jakarta untuk melakukan konseling psikologisnya anak saya.

2. Bagaimana kronologi kasus ini terjadi?

Waktu itu lagi liburan sekolah, anak saya main kerumah temannya.

Mereka bawa motor, anak saya diboncengin paling belakang sama

temennya, anak saya juga lagi megang minuman. Tiba-tiba motornya

oleh karena jalannya rusak parah, minuman yang dipegang anak saya

tumpah kena rumah yang lagi dibetulin gataunya itu rumah anggota
17

TNI. Dia anggota TNI AL, pangkat kopral. Dia teriak maling ke anak

saya dan temannya. Langsung warga mengejar anak saya dan teman-

temannya, warga minta anak saya dan teman-temannya itu agar jelasin

langsung ke oknum TNI tersebut. Anak saya dan temannya dibawa

warga menemui oknum TNI. Tapi, satu temannya si R yang bawa

motor berhasil menyelamatkan diri, terus kasih tahu ke saya dan

orangtua SKA. Anak saya dipukulin, bajunya dibuka bahkan sampai

dicambuk dengan kalung. Saya ngilu bayangannya. Saya bilang itu

anak-anak. Tapi, saya lihat, anak saya dilakukan kayak binatang.

Diikat, diinjak-injak, diancam mau dibakar juga. Dari situ saya

langsung lapor kejadian itu ke beberapa tempat untuk mendapt

keadilan buat anak saya.

3. Apa saja dampak psikologis yang dialami korban?

Anak saya mengalami trauma karna anak saya mendapatkan perlakuan

yang sadis. Anak saya juga takut kalau melihat orang banyak

disekelilingnya, bahkan anak saya juga sering murung dan mudah

menangis.

Anda mungkin juga menyukai