Anda di halaman 1dari 241

PERAN LEMBAGA SOLIDARITAS PEREMPUAN

DALAM PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN


BURUH MIGRAN PEREMPUAN DAN KELUARGANYA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Sebagai Salah

Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

SYARIFAH ASMAR

NIM 11140540000016

JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440H/ 2019M
ABSTRAK
Syarifah Asmar
Peran Lembaga Solidaritas Perempuan Dalam Perlindungan
dan Pemberdayaan Buruh Migran Perempuan dan
Keluarganya.
Solidaritas Perempuan (SP) sebagai organisasi yang salah
satu fokusnya adalah pada isu buruh migran perempuan, telah
lebih dari 20 tahun, melakukan penguatan dan advokasi hak-hak
buruh migran, terutama perempuan. Solidaritas Perempuan secara
aktif mendorong kebijakan perlindungan buruh migran termasuk
bersama jaringan memperjuangkan Ratifikasi Konvensi Migran
90 dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Dalam memperjuangkan hak-hak buruh migran dan keluarganya,
SP juga melakukan pendampingan dalam kasus-kasus
pelanggaran hak yang dialami oleh PBM-PRT.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran yang
dilakukan Lembaga Solidaritas Perempuan dalam melakukan
perlindungan dan pemberdayaan Buruh Migran Perempuan dan
Keluarganya. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data
yaitu observasi, wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi.
Hasil penelitian menunjukan bahwa bantuan Advokasi
yang di berikan Lembaga Solidaritas Perempuan kepada buruh
migran perempuan dan keluarganya merupakan salah satu proses
perlindungan dalam memberikan fasilitas untuk membantu
korban agar terpenuhi hak-haknya kembali, hal ini dilihat dari
proses pendampingan yang diberikan oleh Lembaga Solidaritas
Perempuan baik advokasi kasus melalui litigasi dan non-litigasi
maupun advokasi kebijakan menjadi penghubung ke sumber
sosial yang mendukung maupun keluarganya.
Pemberdayaan yang dilakukan di Lembaga Solidaritas
Perempuan yang biasa disebut penguatan ini menciptakan benih-
benih paralegal yang dapat secara langsung ikut serta membantu
korban-korabn buruh migran perempuan dan keluarga, biasanya
paralegal ini akan mendapatkan seminar seputar learning cycle
dari pengalaman terdahulu pada saat menangani kasus mereka.

Key Word: Peran, Perlindungan, Advokasi, Pemberdayaan


Perempuan.

i
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Alhamdulillahhirobbil’alamin. Segala puji syukur saya


panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan kasih sayang-Nya, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan
dengan baik. Shalawat serta salam semoga selalu dilimpahkan
kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah
merubah zaman jahiliyah menjadi zaman penuh ilmu
pengetahuan.

Penulisan karya ilmiah dalam bentuk skripsi merupakan


salah satu persyaratan untuk menyelesaikan studi strata satu (S1)
guna memperoleh gelar Sarjana Sosial Islam di Fakultas Dakwah
dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kebahagian yang tidak ternilai bagi penulis secara pribadi adalah
dapat mempersembahkan hasil yang terbaik kepada kedua orang
tua, seluruh keluarga dan pihak-pihak yang telah ikut andil dalam
menyelesaikan katya ilmiah ini.

Sebagai bentuk penghargaan yang tidak tertuliskan


penulis sampaikan ucapan terimakasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Arief Subhan, M.A. sebagai Dekan Fakultas


Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.

ii
2. Bapak Suparto M. Ed, Ph. D sebagai Wakil Dekan I
Bidang Akademik Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi sekaligus menjadi Pembimbing Akademik
selama perkuliahan. Ibu Dr. Hj. Roudhonah M. Ag
sebagai Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Bapak Dr.
Suhaimi, M.Si sebagai Wakil Dekan III Bidang
Kemahasiswaan, Alumni dan Kerjasama Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.

3. Ibu Wati Nilamsari, M.Si, sebagai Ketua Jurusan


Pengembangan Masyarakat Islam, serta Bapak Drs. M.
Hudri M. Ag, selaku Sekretaris Jurusan Pengembangan
Masyarakat Islam, terima kasih atas segala ilmu dan
motivasi yang telah diberikan selama masa studi di
Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.

4. Rosita Tandos, M.A, M.Comdev, Ph.D sebagai Dosen


Pembimbing yang telah meluangkan waktunya
memberikan bimbingan dan pengarahan serta membantu
literatur dalam proses penyelesaian tugas akhir ini.

5. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu


Komunikasi khususnya dosen Jurusan Pengembangan
Masyarakat Islam, yang senantiasa memberikan wawasan
keilmuan, membimbing dan memberikan pengarahan

iii
selama mengikuti perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.

6. Abah dan Mamah tercinta, Sayid Faisal dan Nise Annisa


terimakasih atas segala perhatian, kasih sayang, semangat,
motivasi, yang selalu tulus ikhlas mendoakan penulis
sehinggga lancar dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga setiap doa dan pengorbanan mendapat balasan
berlipat dari Allah SWT. Amin. Serta selalu memberikan
dukungan moril dan materil terhadap penulisan sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

7. Adik saya Syarifah Aulia yang selalu memberil semangat


serta dukungan dan do'a kepada penulis selama
menyelesaikan skripsi ini.

8. Ibu Puspa Dewy selaku Ketua Lembaga Solidaritas


Perempuan yang telah memberi izin selama penelitian
berlangsung semoga kepemimpinan ibu selalu diberkahi
Allah SWT. Ibu Andriyeni selaku Staff Penanganan
Kasus Divisi Perlindungan Buruh Migran Dan
Keluarganya, Ibu Suci Fitri Tanjung selaku Staff
Penguatan Organisasi yang telah memberi izin, banyak
membantu dalam memperoleh data dan informasi yang
dibutuhkan dalam penyusunan skripsi selama penelitian
berlangsung, semoga diberi kelancaran dalam
pekerjaannya.

9. Teman-teman seperjuangan dan sahabat setia Ahmad


Rizal, Ikrima Nur Alfi, Syifa Nurrahmah, Daimatul

iv
Mawaddah, Fajar Wahyu, Syahrullah, Iqbal Zaenal
Mutaqin, Risna Siti Rahma, Yuyun Yunena, Agung
Apriliany, Ilka Sawidri dan Putri Lagi-lagi, yang saling
memberikan semangat untuk menyelesaikan penelitian
ini.

10. Teman-teman Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam


angkatan Tahun 2014 dan Kakak serta Adik kelas semua
yang telah banyak memberikan masukan kepada penulis
baik selama dalam mengikuti perkuliahan maupun dalam
penulisan skripsi ini.

Semua pihak yang tidak bisa disebutkan namanya satu


persatu dengan iringan do'a kepada Allah SWT, semoga Allah
SWT akan selalu melimpahkan balasan yang tiada tara kepada
semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya
penulisan skripsi ini.

Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis


menyadari masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan.
Penulis mengharapkan semoga penyusunan skripsi yang
sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb

Jakarta, Januari 2019

Syarifah Asmar

v
DAFTAR ISI

ABSTRAK................................................................................i

KATA PENGANTAR............................................................ii

DAFTAR ISI...........................................................................vi

DAFTAR TABEL...................................................................ix

DAFTAR BAGAN…..............................................................xi

DAFTAR SINGKATAN.......................................................xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.................................................1


B. Rumusan Masalah…………….....................................14
C. Tujuan Penelitian..........................................................14
D. Manfaat Penelitian........................................................15
E. Metodologi Penelitian...................................................16
F. Tinjauan Pustaka...........................................................26
G. Sistematika Penulisan....................................................33

BAB II TINJAUAN TEORITIS

A. Peran..............................................................................35
1. Pengertian Peran......................................................35
2. Tinjauan Sosiologi Tentang Peran...........................41
B. Buruh Migran.................................................................42
C. Perlindungan..................................................................46
1. Pengertian Perlindungan..........................................46

vi
2. Bentuk-Bentuk Perlindungan..................................48
3. Hak dan Kewajiban TKI.........................................51
4. Advokasi Dalam Melindungi Buruh Migran...........54
D. Pemberdayaan Perempuan.............................................62
1. Pengertian Pemberdayaan........................................62
2. Tahap-tahap Pemberdayaan.....................................66
3. Pemberdayaan Terhadap Perempuan.......................67

BAB III GAMBARAN UMUM PENELITIAN

A. Gambaran Umum Solidaritas Perempuan......................71


1. Profil Solidaritas Perempuan....................................71
2. Sejarah Solidaritas Perempan...................................72
3. Struktur Kepengurusan Solidaritas Perempuan........80
4. Visi Lembaga Solidaritas Perempuan.......................81
5. Misi Lembaga Solidaritas Perempuan......................82
6. Divisi Lembaga Solidaritas Perempuan....................99
B. Gambaran Umum Lokasi Penelitian.............................104

BAB IV ANALISIS TEMUAN LAPANGAN

A. Peran Lembaga Solidaritas Perempuan Dalam


Perlindungan Bagi Buruh Migran Perempuan Dan
Keluarganya..................................................................111
B. Bentuk-Bentuk Perlindungan Dan Pemberdayaan Buruh
Migran Perempuan Dan Keluarganya...........................123
1. Proses dan Tantangan Penanganan Kasus Buruh
Migran Perempuan…………………………..........130
2. Implementasi UU Perlindungan..............................137

vii
3. Pemberdayaan Mantan Buruh Migran Perempuan Dan
Keluarganya...........................................................139
C. Faktor Penghambat Yang Mempengaruhi Lembaga
Solidaritas Perempuan Dalam Melakukan Perlindungan
Terhadap Buruh Migran Perempuan Dan
Keluarganya.................................................................146

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan..................................................................154
B. Saran............................................................................156

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

viii
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Informan......................................................................22

Tabel 4.1 Bagan Pemberdayaan Masyarakat............................124

ix
DAFTAR BAGAN

Bagan 3.1 Struktur Kepengurusan Solidaritas Perempuan........79

Bagan 4.1 Skema Penanganan Kasus Solidaritas Perempuan..136

x
DAFTAR SINGKATAN

BHI :Badan Hukum Indonesia


BNP2TKI :Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
CEDAW :Convention on the Elimination of All
Discrimination Against Women
DPR :Dewan Perwakilan Rakyat
HAM :Hak Asasi Manusia
ILO :International Labour Organization
IOM :International Organization for Migration
KBRI :Kedutaan Besar Republik Indonesia
KEMENAKER :Kementerian Ketenagakerjaan
KEMLU :Kementerian Luar Negeri
KEPMEN :Keputusan Menteri
KJRI :Konsulat Jenderal Republik Indonesia
Mabes Polri :Markas Besar Kepolisian Negara Republik
Indonesia
MEA :Masyarakat Ekonomi Asean
MENAKER :Menteri Ketenagakerjaan
PBB :Perserikatan Bangsa-Bangsa
PBM :Perempuan Buruh Migran
POLDA :Kepolisian Daerah
POLSEK :Kepolisian Sektor
POLRES :Kepolisian Resor
PPTKIS :Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja
Indonesia Swasta

xi
PRT :Pekerja Rumah Tangga
RUU :Rancangan Undang-Undang
RUUPPILN :Rancangan Undang-Undang Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
di Luar Negeri
RUUPPMI :Rancangan Undang-Undang Perlindungan
Pekerja Migran Indonesia
SP :Solidaritas Perempuan
TKI :Tenaga Kerja Indonesia
WNI :Warga Negara Indonesia

xii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Fenomena migrasi di Indonesia lahir dari pemiskinan
struktural, di mana masyarakat, terlebih perempuan
kehilangan sumber-sumber kehidupan dan sumber mata
pencaharian mereka sehingga harus mencari sumber
penghidupan ke luar negeri sebagai sebuah strategi bertahan
hidup. Dalam situasi pemiskinan, perempuan dan laki-laki
mengalami dampak, namun dampak yang dirasakan
perempuan sangatlah berbeda dan berlipat ganda. Hal ini
diakibatkan oleh konstruksi gender maupun kontrol dan
penindasan seksualitas yang dialami perempuan.
Berbagai situasi, perempuan kerap tidak diminta
pandangan dan keputusannya atas hidup dan sumber
kehidupannya. Penindasan seksualitas yang dialami
perempuan tidak hanya dilakukan oleh individu, tetapi juga
oleh stigma masyarakat yang dilakukan melalui praktik-
praktik diskriminatif, hingga penindasan ekonomi struktural
oleh negara melalui minimnya kebijakan perlindungan dan
distribusi ekonomi yang tidak adil, termasuk hilangnya
sumber produksi ekonomi perempuan (Solidaritas Perempuan
2017, 1).
Fenomena migrasi yang berwajah perempuan diawali
dengan keterbatasan akses dan kontrol perempuan terhadap
sumber-sumber kehidupan akibat kebijakan pembangunan

1
2

yang cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi


global serta menempatkan perempuan dalam situasi
pemiskinan. Selama ini, perempuan kerap dijadikan solusi
dari setiap persoalan ekonomi yang dihadapi oleh keluarga,
seperti dijadikan objek tanggungan utang, asset ekonomi
untuk membantu keluarga mencari nafkah, termasuk
didalamnya menjadi Buruh Migran untuk memenuhi
kebutuhan keluarga. Perempuan Buruh Migran kerap
mengalami ketidakadilan dan penindasan berlapis yang terjadi
di Desa akibat pemiskinan maupun di seluruh tahapan
migrasi, yaitu, pra pemberangkatan, masa kerja hingga
kepulangan.
Dalam situasi tersebut, akhirnya perempuan mencari
nafkah keluarga dengan bekerja keluar negeri, mayoritas
sebagai Pekerja Rumah Tangga. Tingginya angka Perempuan
Buruh Migran (PBM) yang menempati sektor pekerjaan
domestik (PRT) karena diciptakannya faktor “push” dan
“pull” oleh pasar global, seperti hilangnya sumber produksi
perempuan dan sempitnya lapangan pekerjaan yang dapat
diakses perempuan di desa dengan tingkat pendidikan rendah
dan meningkatnya jumlah permintaan negara-negara ekonomi
maju terhadap tenaga kerja Indonesia untuk menangani
urusan domestik mereka. Di samping itu, mengakarnya
konstruksi budaya dan gender yang memberlakukan peran
dan tanggung jawab perempuan pada pekerjaan domestik,
termasuk tanggung jawab atas kebutuhan keluarga, juga turut
menjadi faktor pendorong (Solidaritas Perempuan 2017, 1).
3

Pemerintah telah mengatur Undang- Undang Nomor 6


Tahun 2012 pada Konvensi Internasional Mengenai
Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran Dan Anggota
Keluarganya. Guna melindungi pekerja migran indonesia
yang berada di luar negeri. Pekerja migran Indonesia
memiliki hak terhadap perlindungan tersebut. Dalam situasi
pemiskinan, perempuan dan laki-laki sama-sama mengalami
dampak, namun dampak yang dirasakan perempuan sangatlah
berbeda dan berlipat ganda. Hal ini diakibatkan oleh
konstruksi gender maupun kontrol dan penindasan seksualitas
yang dialami perempuan. Berbagai situasi, perempuan kerap
tidak diminta pandangan dan keputusannya atas hidup dan
sumber kehidupannya. Penindasan seksualitas yang dialami
perempuan tidak hanya dilakukan oleh individu, tetapi juga
oleh stigma masyarakat yang dilakukan melalui praktik-
praktik diskriminatif, hingga penindasan ekonomi struktural
oleh negara melalui minimnya kebijakan perlindungan dan
distribusi ekonomi yang tidak adil, termasuk hilangnya
sumber produksi ekonomi perempuan.
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa,
kemiskinan suatu negara berkaitan erat dengan dengan tingkat
pengangguran di negara tersebut. berkaitan dengan hasil-hasil
penelitian yang mengkaitkan antara pengangguran dan
kemiskinan, maka muncullah sebuah teori yang mengatakan
bahwa “tingkat kemiskinan akan bergerak mengikuti tingkat
pengangguran. Dalam hal ini ketika tingkat pengangguran
4

mengalami kenaikan maka secara otomatis tingkat


kemiskinan akan meningkat.”
Menurut laporan Badan Pusat Statistik, Jumlah
penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita
per bulan di bawah garis kemiskinan) di Indonesia pada
Maret 2011 mencapai 30,02 juta orang (12,49 persen) (Badan
Pusat Statistik 2011, Berita Resmi Statistik No. 45/07/Th. XIV).
Dengan angka pengangguran pada awal 2011 mencapai 9,25
juta.
Salah satu penyebab dari tingginya angka kemiskinan
dalam suatu negara adalah peluang dan kesempatan kerja
yang sidikit di dalam negara tersebut. Indonesia dengan
jumlah penduduknya yang lebih dari 230 juta jiwa termasuk
dalam negara yang memiliki jumlah pengangguran terbanyak.
Minimnya kesempatan kerja dan persaingan pasar kerja yang
begitu ketat di dalam negeri serta peluang memperoleh gaji
yang tinggi di luar negeri, telah menyebabkan banyak dari
warga Indonesia yang mencoba mencari peruntungan di luar
negeri. Warga negara indonesia yang bekerja di luar negeri ini
biasa dikenal dengan istilah TKI (Tenaga Kerja Indonesia).
Pengiriman TKI keluar negeri memang bisa
memberikan manfaat ekonomi yang relatif besar tidak hanya
bagi TKI itu sendiri dan keluarganya akan tetapi juga bagi
negara, karena itu negara menganggap pengiriman TKI ke
luar negeri merupakan sebuah jawaban atas absennya negara
dalam menyediakan lapangan kerja. Sulitnya kesempatan
kerja di dalam negeri dan semakin banyaknya pengangguran
5

di Indonesia pada akhirnya telah menjadikan Indonesia


sebagai pengekspor buruh migran terbesar di Asia dan bahkan
dunia (Handani, 2011).
Faktor budaya patriarki yang membatasi akses
perempuan untuk memiliki tingkat pendidikan tinggi
membuat perempuan tidak dapat memasuki lapangan
pekerjaan yang tersedia. Akhirnya perempuan tidak punya
banyak pilihan selain mencari nafkah keluarga dengan
bekerja ke luar negeri. Mengakarnya konstruksi budaya dan
gender yang memberlakukan peran dan tanggung jawab
perempuan pada pekerjaan domestik, termasuk tanggung
jawab atas kebutuhan keluarga menciptakan ruang pekerjaan
domestik bagi perempuan, yaitu sebagai PRT.
Pekerja Rumah Tangga, hingga saat ini masih
dipandang sebagai sebuah pekerjaan informal, yang tidak
diakui dalam regulasi perburuhan baik di negara asal maupun
negara tujuan, karena bekerja dalam ruang lingkup
privat/domestik dan memiliki hubungan kerja yang bersifat
personal dan sub-ordinasi dengan pengguna jasanya. Cara
pandang yang diskriminatif inilah yang menjadi akar
kerentanan posisi Buruh Migran PRT terhadap berbagai
praktek kekerasan dan pelanggaran hak (Solidaritas Perempuan
2017, 9).
Perempuan buruh migran mengalami penindasan
berlapis akibat lemahnya kebijakan Negara dalam melindungi
buruh migran. Tahun 2016 masih diwarnai dengan berbagai
kasus kekerasan dan pelanggaran hak Perempuan Buruh
6

Migran dan Keluarganya. Kekerasan fisik dan psikis,


kriminalisasi, hingga trafficking dan penghilangan nyawa
menjadi kasus-kasus yang hingga saat ini belum tertangani.
Pengalaman lembaga Solidaritas Perempuan dalam
menangani kasus menunjukkan bahwa satu perempuan buruh
migran bisa mengalami lebih dari satu kekerasan dan
pelanggaran hak. Diskriminasi berbasis gender, kelas sosial,
kelas ekonomi, ras, maupun agama, serta berbagai kebijakan
Negara telah menghasilkan penindasan berlapis terhadap
Perempuan Buruh Migran.
Diperlakukan secara manusiawi adalah hak dasar
setiap manusia sebagaimana firman Allah “

‫َولَقَ ْد َك َّر ْهنَا َب ِنى َءادَ َم َو َح َو ْل َٰ َن ُه ْن ِفى ْٱلبَ ِ ّر‬


‫ت َوفَض َّْل َٰنَ ُه ْن َع َل َٰى‬ َّ َ‫َو ْٱل َب ْح ِر َو َرزَ ْق َٰنَ ُهن ِّهن‬
ِ ‫ٱلط ِيّ َٰ َب‬
‫يل‬ ِ ‫ير ِّه َّو ْن َخلَ ْقنَا تَ ْف‬
ً ‫ض‬ ٍ ِ‫َكث‬
“Sungguh, Kami benar-benar telah memuliakan anakanak
Adam dan Kami angkut mereka di darat dan di laut dan Kami
beri mereka rizki dari yang baik –baik dan Kami lebihkan mereka
di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan
sempurna“ (Q.S. al-Isra (17):70 (Shihab 2013, 289).

Penghormatan terhadap martabat manusia ini juga


menjadi perhatian serius para imam madzahib, seperti Imam
Malik, Syafi‟i dan Ahmad dalam kitab at-Tasy ri al-Janai fi
al-Islami karya Abdul Qadir Audah (Juz 1 halaman 95)
dikatakan Barang siapa yang menyekap orang lain, tidak
memberi makan dan minum atau menempatkan di tempat
yang dingin, kemudian meninggal akibat kelaparan, kehausan
7

atau kedinginan, jika ia bermaksud membunuh maka hal itu


adalah bagian pembunuhan sengaja yang pelakunya boleh di
qishas. Ayat dan pendapat ulama di atas menunjukkan bahwa
setiap manusia berhak untuk diperlakukan secara manusiawi.
Demikian pula dengan calon Buruh Migran Perempuan dan
Buruh Migran Perempuan (Rofiah dan Nadjib 2010, 13).
Perlakuan manusiawi yang menjadi Hak Buruh
Migran selama menjadi buruh migran diluar negri adalah
tempat yang atau tidak terpencil, makan, minum, dan tempat
tidur yang layak, tidak mendapat pelecehan seksual, Tidak
dipekerjakan tanpa upah, Tidak disekap, berkomunikasi
dengan keluarga, mendapat pelatihan, mendapat perlindungan
hukum. Sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia No: PER07/MEN/1V/2005.
Data kasus kekerasan terjadi pada 2017, laporan yang
masuk ke Komnas Perempuan mencatat sebanyak 10 kasus
kekerasan terhadap PRT migran laporan yang masuk
sebanyak 10 kasus kekerasan sedangkan data BNP2TKI
memperlihatkan pada 2015 terdapat 18 kasus pelecehan
seksual pekerja migran. Yang lebih mengkhawatirkan, data
Balai Pelayanan Kepulangan TKI menyebut sepanjang 2008-
20014 menyebut 11.343 kasus pelecehan seksual (CNN
Indonesia).
Sepanjang Januari-Desember 2016 Solidaritas
Perempuan telah menangani 66 kasus kekerasan dan
pelanggaran hak yang terjadi pada perempuan buruh migran,
yang mayoritas bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Jenis
8

kasus yang paling banyak dilaporkan adalah gaji tidak dibayar


(19%), dan kasus trafficking (17%). Rentannya perempuan
buruh migran terutama Pekerja Rumah Tangga mengalami
pelanggaran hak Ketenagakerjaan merupakan manifestasi dari
paradigma negara yang belum mengakui pekerjaan rumah
tangga sebagai pekerjaan (Solidaritas Perempuan 2017, 3).
Setiap tahunnya, ratusan ribu Warga Negara Indonesia
bermigrasi untuk bekerja menjadi buruh migran. Mayoritas
dari mereka adalah perempuan, yaitu diperkirakan sebanyak
72% dari jumlah total Buruh Migran Indonesia BMI). Dari
seluruh Buruh Migran Perempuan (BMP) tersebut, 92%
diantaranya bekerja sebagai PRT. Buruh Migran Indonesia
(BMI), bekerja di berbagai Negara di dunia, termasuk
Negara-negara ASEAN. Berdasarkan data BNP2TKI,
Malaysia merupakan Negara tujuan dengan jumlah BMI
terbanyak kedua, setelah Arab Saudi. Tak hanya Malaysia,
Singapura, Brunnei Darussalam, dan Thailand juga menjadi
Negara tujuan BMI, termasuk Buruh Migran Perempuan
Pekerja Rumah Tangga (BMP PRT). Mereka berasal dari
berbagai wilayah di Indonesia, termasuk Karawang,
Sumbawa, Mataram, Kendari, Makassar, dan Palu. Tingginya
angka BMI yang bekerja di Negara-negara anggota ASEAN,
disertai dengan tingginya kasus kekerasan dan pelanggaran
hak buruh migran. Berdasarkan catatan BNP2TKI, selama
2012 sedikitnya ada 6.364 kasus TKI bermasalah (Data ILO
IPEC, 2003).
9

Pemerintah dan DPR telah meratifikasi konvensi


internasional, seperti Konvensi ILO Nomor 105 mengenai
Penghapusan Kerja Paksa melalui Undang Undang Nomor 19
Tahun 1999, ratifikasi Konvensi ILO Nomor 111 mengenai
Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan melalui Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 1999, ratifikasi Konvensi ILO
Nomor 138 mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan
Bekerja melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999, dan
ratifikasi Konvensi PBB tentang Perlindungan Hak-Hak
Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, atau yang dikenal
sebagai Konvensi Buruh Migran 1990. Sekalipun, pemerintah
telah mengeluarkan Undang-Undang No. 39 Tahun 2004
tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri dan meratifikasi beberapa konvensi
4 internasional, ini bukanlah jaminan bahwa persoalan
perlindungan tenaga kerja secara serta merta telah terpenuhi.
Migrasi ketenagakerjaan sebagai proses formal yang
dilakukan atas persetujuan dan keinginan individu berbeda
dengan tindak pidana perdagangan orang menurut Undang
undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Penghapusan Tindak
Pidana Perdagangan Orang. Trafficking sendiri diartikan
sebagai tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang, dengan
ancaman kekerasan atau penggunaan kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan,penipuan, penyalahgunaan kekuasaan
atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi
pembayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan
10

dari orang yang memegang kendaliatas orang lain tersebut,


baik yang dilakukan di dalam negara maupun antara negara
untuk tujuan eksplotasi atau mengakibatkan orang lain
tereksploitasi. Nyatanya, mayoritas modus perekrutan hingga
penempatan PRT juga saratdengan unsur-unsur di atas. Tidak
sedikit PBM bekerja untuk membayar utang keluarganya.
Jeratan utang sering dipergunakan untuk memaksa perempuan
menjadi buruh migran.
Hal ini membuat praktik perekrutan dan penempatan
PBM sarat dengan indikasi perdagangan manusia,
diantaranya:
1. Praktik percaloan yang mengaburkan informasi pokok
atau penipuan, praktik penjeratan utang, serta maraknya
pemalsuan dokumen yang dilakukan oleh sponsor/
PPTKIS termasuk yang melibatkan oknum aparat
pemerintah daerah. Melalui proses tersebut, PBM menjadi
kelompok yang tereksploitasi dan tidak berdaya.
2. Proses penandatangan perjanjian kerja yang dilakukan
melalui cara pemaksaan, seperti pemberian waktu singkat
untuk membaca perjanjian atau tidak adanya penjelasan
akurat dan rinci atas isi dari perjanjian kerja tersebut.
3. Praktik pembatasan komunikasi selama dalam
penampungan maupun di tempat kerja yang menyebabkan
PBM berada dalam situasi tidak berdaya untuk
mengambil keputusan atau berkonsultasi dengan orang
lain dalam pengambilan keputusan termasuk dalam
kategori penyekapan.
11

4. Praktik pembatasan informasi mengenai proses migrasi


melemahkan posisi pekerja migran yang membutuhkan
pekerjaan. Situasi ini membuka ruang pelaku perdagangan
orang untuk memanfaatkan situasi rentan yang dihadapi
calon pekerja/ pekerja migran. Pada akhirnya melahirkan
kerentanan lain sepertipemerasan, pelecehan dan
kekerasan seksual.
5. Jeratan utang, yang merupakan satu modus trafficking
juga kerap dialami oleh PBM. Salah satu penyebab jeratan
utang adalah penerapan biaya tinggi yang dilembagakan
oleh peraturan Menaker, menyebabkan calon PBM
semakin terbebani, tersudut perangkap dalam jebakan
utang. Pada akhirnya dapat menyebabkan eksploitasi
PBM dan berada dalam mata rantai pemiskinan
(Solidaritas Perempuan 2017, 11)
Data penempatan Buruh Migran sepanjang 2011
hingga 2015 menunjukkan kecenderungan yang berubah-
ubah. Pada 2015, jumlah Buruh Migran yang ditempatkan di
luar negeri sebanyak 275.736 TKI, menurun drastis
dibandingkan 2014 yang mencapai 429.872 TKI. Sementara
2013, penempatan Buruh Migran ke luar negeri sebanyak
512.168, pada 2012 berjumlah 494.609 Buruh Migran, dan
2011 sebanyak 586.802 Buruh Migran. Pemerintah sendiri,
masih menggunakan dikotomi antara pekerja formal dan
informal, di mana mayoritas pekerja informal mengacu pada
PRT. Dikotomi tersebut berdampak pada diskriminasi
terhadap pekerjaan yang dianggap „informal,‟ hingga
12

berpengaruh pada kebijakan. Pemerintah kemudian


menghasilkan kebijakan negara yang membatasi buruh
migran bekerja pada sektor informal (pekerja rumah tangga),
di mana pekerjaan informal mayoritas dilakukan oleh
perempuan. Hal itu terlihat dari data yang dilansir pemerintah
bahwa pada pada tahun 2015, 55% dari Buruh Migran yang
ditempatkan adalah pekerja formal, Sementara 45%
merupakan pekerja informal. Angka tersebut berbanding
terbalik dengan data tahun 2011, di mana 45% Buruh Migran
yang ditempatkan merupakan pekerja formal, sementara
mayoritasnya yaitu 55% merupakan pekerja informal (Data
BNP2TKI , 2016).
Solidaritas Perempuan (SP) didirikan pada 10
Desember 1990. Pada awalnya berbadan hukum yayasan, dan
pada April 1993 berubah menjadi organisasi perserikatan
dengan keanggotaan individu baik perempuan dan laki-laki.
Per-Februari 2012, SP memiliki 777 anggota berasal dari
komunitas akar rumput, aktivis, akademisi maupun
mahasiswa. Anggota SP yang tersebar di seluruh Indonesia,
bersama-sama merajut kekuatan perempuan untuk melawan
perlawanan terhadap segala bentuk penindasan terhadap
perempuan dalam berbagai konteks. Selama 21 tahun berdiri,
perserikatan Solidaritas Perempuan sebagai organisasi
feminis terus berkomitmen untuk bergerak bersama dalam
menciptakan tatanan yang adil dimana perempuan dan laki-
laki secara setara memiliki akses dan kontrol atas sumber
daya politik, ekonomi, sosial dan budaya.
13

Lembaga Solidaritas Perempuan (SP) yang berlokasi


di Pasar Minggu, Jakarta Selatan ini memiliki tujuan untuk
mewujudkan tatanan sosial yang demokratis, berlandaskan
prinsip-prinsip keadilan, kesadaran ekologis, meghargai
pluralisme dan anti kekerasan yang didasarkan pada sistem
hubungan laki-laki dan perempuan yang setara dimana
keduanya dapat berbagi akses dan kontrol atas sumber daya
alam, sosial, budaya, ekonomi dan politik secara adil.
Solidaritas Perempuan (SP) sebagai organisasi yang
salah satu fokusnya pada isu buruh migran perempuan, telah
lebih dari 20 tahun, melakukan penguatan dan advokasi hak-
hak buruh migran, terutama perempuan. Solidaritas
Perempuan secara aktif mendorong kebijakan perlindungan
buruh migran termasuk bersama jaringan perjuangan
Ratifikasi Konveksi Migran 90 dan UU Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dalam memperjuangkan
hak-hak buruh migran dan keluarganya solidaritas perempuan
juga melakukan pendampingan dalam kasus-kasus
pelanggaran hak yang dialami oleh PBM-PRT.
Pemerintah telah mengatur Undang- Undang Nomor 6
Tahun 2012 mengenai perlindungan hak-hak seluruh pekerja
migran dan anggota keluarganya. Tetapi Buruh Mirgan
Indonesia yang mayoritas perempuan masih banyak yang
tidak mendapatkan perlindungan dan hak-haknya. Seharusnya
dengan adanya UU perlindungan Buruh Migran yang telah
diatur Pemerintah tersebut, buruh migran indonesia
14

mendapatkan perlindungan dan hak-hak yang seharusya


mereka dapatkan.
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah
dipaparkan diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian ilmiah yang akan dituangkan dalam skripsi dengan
judul “Peran Lembaga Solidaritas Perempuan Dalam
Perlindungan dan Pemberdayaan Buruh Migran
Perempuan dan Keluarganya”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka
timbul beberapa permasalahan diantaranya
1. Bagaimana peran Lembaga Solidaritas Perempuan dalam
perlindungan bagi buruh migran perempuan dan
keluarganya?
2. Apa saja bentuk-bentuk perlindungan dan pemberdayaan
terhadap buruh migran perempuan dan keluarganya di
Lembaga Solidaritas Perempuan?
3. Apa faktor penghambat yang mempengaruhi Lembaga
Solidaritas Perempuan dalam perlindungan dan
pemberdayaan buruh migran perempuan dan
keluarganya?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas Tujuan
penelitian ini adalah
1. Untuk mengetahui peran Lembaga Solidaritas Perempuan
dalam advokasi bagi perempuan buruh migran.
15

2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk perlindungan dan


pemberdayaan di Lembaga Solidaritas Perempuan.
3. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat yang
mempengaruhi Lembaga Solidaritas Perempuan dalam
advokasi buruh migran perempuan.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara akademis, dapat menjadi bahan bagi
pengembangan Ilmu Pengembangan Masyarakat secara
nyata dalam mengembangkan bentuk-bentuk pelayanan
sosial, baik dalam lembaga-lembaga tertentu maupun
dalam masyarakat luas, khususnya mengenai pentingnya
pelayanan sosial bagi korban kekerasan buruh migran
perempuan yg berada diluar negri, selain itu melatih diri
dan mengembangkan pemahaman kemampuan berfikir
penulis melalui penulisan karya ilmiah mengenai peran
Dinas Ketenaga Kerjaan untuk memberikan perlindungan
dan hak-hak buruh migran indonesia khususnya
perempuan dengan menerapkan pengetahuan yang
diperoleh selama belajar di Fakultas Dakwah, Jurusan
Pengembangan Masyarakat Islam UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi
bahan masukan atau sumbangan pemikiran bagi Dinas
Ketenaga Kerjaan, Dinas Sosial dan bagi instansi terkait,
pemerintah, maupun pihak-pihak luar secara umum dalam
hal menangani permasalahan yang dihadapi dalam proses
penanganan kasus kekerasan perempuan buruh migran.
16

E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif analisis.
Deskriptif analisis yaitu analisi terhadap sempel
dimaksudkan untuk menarik kesimpulan. Dimana data
yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan
angka-angka. Data tersebut berasal dari naskah
wawancara, catatan lapangan, catatan atau memo dan
dokumentasi resmi lainnya.
Penelitian deskriptif analisis ini peneliti menganalisa
Peran lembaga Solidaritas Perempuan dalam melindungi
buruh migran perempuan korban kekerasan selama
menjadi TKW diluar negri. Bertujuan untuk mengetahui
sejauh mana peran lembaga Solidaritas Perempuan untuk
melindungi hak perempuan buruh migran korban
kekerasan selama bekerja di luar negeri.
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini dilakukan oleh penulis menggunakan
pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif digunkan
dalam beberapa pertimbangan, yaitu bersifat luwes, tidak
lazim mendefinisikan konsep, serta memberikan
kemungkinan berbagai perubahan-perbuhan mana kala
ditemukan fakta (Bungin 2003, 39).
Sedangkan menurut Bodgan Tailor metodologi kualitatif
adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data dan
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-
orang dan prilaku yang dapat diamati. Pendapat ini
17

diartikan pada latar dan individu secara holistic (utuh).


Peneliti tidak boleh mengisolasikan individu atau
organisasi kedalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu
gambaran sebagai dari suatu keutuhan (Moleong 2000, 3).
Melalui pendekatan ini data yang dikumpulkan berupa
jawaban dari informan secara langsung, gambar bukan
angka-angka, semua data yang dikumpulkan berdasarkan
kejadian atau tanggapan secara real kebenarannya tidak
menggunakan pemikiran peneliti. Pendekatan kualitatif
dipilih karena untuk mengetahui Peran lembaga
Solidaritas Perempuan dalam melindungi buruh migran
perempuan korban kekerasan selama menjadi TKW di
luar negeri.
3. Teknik Keabsahan Data
Untuk menjaga keabsahan dan validitas data dalam
rangkaian penelitian, tentunya diperlukan teknik
pemeriksaan data guna menjaga keabsahan data dan
validitas data. Burhan Bungin dalam bukunya penelitian
kualitatif mengatakan bahwa dalam melakukan penelitian
seringkali menghadapi persoalan dalam pengujian
keabsahan hasil penelitian. Banyak hasil penelitian
kualitatif diragukan keberadaanya karena beberapa hal (1)
Subjektifitas peneliti merupakan hal yang dominan dalam
penelitian kualitatif. (2) alat penelitian yang akan
diandalkan adalah wawancara dan observasi (adapun
bentuknya) mengandung banyak kelemahan ketika
dilakukan secara terbuka dan apalagi tanpa kontrol. (3)
18

sumber data kualitatif yang kurang credible akan


mempengaruhi hasil akurasi penelitian. Oleh sebab itu,
hendaknya seperti yang dijelaskan oleh Lexy J. Moleong
dalam bukunya Metodelogi Kualitatif, dalam menentukan
keabsahan data adalah dengan melakukan Trigulasi.
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data
yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Di luar data itu
untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding
terhadap data. Teknik trigulasi yang paling banyak
digunakan ialah melalui sumber lainnya. Trigulasi dengan
sumber berarti membandingkan dan mengecek balik
derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh
melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian
kualitatif (Moleong. 2009, 253).
Hal itu dapat dicapai dengan jalan :
a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil
wawancara, misalnya peneliti membandingkan hasil
wawancara subjek penelitian dengan hasi temuan
pengamatan lapangan tentang peran lembaga
Solidaritas Perempuan dalam perlindungan dan
pemberdayaan buruh migran perempuan dan
keluarganya.
b. Membandingkan keadaan dan persepektif seseorang
dengan berbagai pendapat dan pandangan orang lain,
misalnya peneliti membandingkan jawaban yang
diberikan oleh karyawan Solidaritas Perempuan
19

dengan jawaban buruh migran perempuan/


keluarganya.
c. Membandingkan hasil wawancara dengan hasil
dokumen yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
Wawancara tersebut untuk keperluan pengecekan atau
sebagai pembanding terhadap data tersebut.
4. Instrumen Penelitian
Pengumpulan data sebuah penelitian yang dilakukan
dengan metode penelitian seperti observasi, wawancara,
studi pustaka dan dokumentasi, memerlukan alat bantu
sebagai instrumen. Instrumen pengumpulan data adalah
alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti dalm
kegiatannya mengunpulkan agar kegiatan tersebut
menjadi sistematis dan dipermudah olehnya. Instrumen
terpenting dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu
sendiri dengan bantuan alat bantu yaitu kamera, telepon
genggam untuk merekam, pensil, pulpen dan buku.
Dalam mengumpulkan data-data penulis membutuhkan
alat bantu. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan
beberapa alat bantu yang digunakan:
a. Kamera
Kamera digunakan ketika melakukan observasi untuk
merekam kejadian yang penting pada suatu peristiwa
baik dalam bentuk foto maupun video.
b. Alat perekam
Alat perekam berguna sebagai alat bantu merekam
suara ketika melakukan pengumpulan data, baik pada
20

saat wawancara, observasi, dan lain-lain. Peneliti


dapat berkonsentrasi pada proses pengambilan data
tanpa harus berhenti untuk mencatat jawaban-jawaban
dari subjek. Dalam pengumpulan data, alat perekam
baru dapat dipergunakan setelah mendapat ijin dari
subjek untuk mempergunakan alat tersebut pada saat
wawancara berlangsung dengan karyawan SP dan
buruh migran perempuan/keluarganya.
c. Alat Tulis
Alat tulis meliputi pensil, buku dan pulpen digunakan
untuk menuliskan atau menggambarkan informasi
data yang didapatkan dari narasumber.
Melalui wawancara, peneliti mempersiapkan beberapa
pertanyaan untuk dijadikan bahan data atau sumber
yang relevan dalam penelitian peran lembaga
Solidaritas Perempuan dalam perlindungan dan
pemberdayaan buruh migran perempuan dan
keluarganya.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
adalah dengan:
a. Observasi
Observasi adalah suatu proses pengamatan melalui
indera penglihatan kita akan tetapi hanya
memperhatikan tanpa mengajukan pertanyaan.
Observasi dilakukan langsung ke Lembaga Solidaritas
Sosial. Metode observasi adalah teknik pengumpulan
21

data melihat, dan mengamati dari kegiatan sehari-hari


narasumber (Sugiyono 2013, 64). Narasumber yang
dimaksud disini yaitu anggota divisi buruh migran di
solidaritas perempuan dan korban buruh migran
perempuan. Pengumpulan data melalui pengamatan
atau pencatatan secara langsung terhadap kejadian-
kejadian yang diteliti. Peneliti melakukan observasi
dengan mendatangi lembaga Solidaritas Perempuan,
peneliti juga melihat dan mengikuti kegiatan penangan
kasus buruh migran perempuan tersebut .
b. Wawancara/interview
Metode wawacancara yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah bebas terpimpin, yaitu peneliti
mengajukan pertanyaan kepada informan berdasarkan
pedoman interview/wawancara tertulis yang sudah
disiapkan sebelumnya secara lengkap dan cermat,
dengan keadaan suasana yang tidak formal. Dalam
wawancara jenis ini lebih harmonis dan tidak kaku
sehingga mampu mendapatkan data yang
komperhensif (Abdurrahman 2002, 33-34)
Pengambilan data atau wawancara dilakukan dengan
akurat dan peneliti menggunakan alat perekam
handphone yang dapat menunjang berjalannya
wawaancara. Alat perekam handphone ini digunakan
untuk mengantisipasi jika terjadi kata atau kalimat
yang terlupa.
22

Tabel 1.1
Informan
NO. INFORMAN JUMLAH Keterangan Data

1. Divisi 1 a. Sejarah Lembaga


Penguatan b. Pengelolaan
Organisasi Program

2. Divisi Buruh 1 a. Bentuk kegiatan


Migram perlindungan buruh
Perempuan migran perempuan
dan keluarganya
b. Pelaksanaan program
c. Hasil program

3. Korban/ 8 a. Alasan memilih SP


Keluarga b. Proses selama
Korban penanganan kasus

c. Dokumentasi
Teknik pengumpulan data dengan menggunakan
metode dokumentasi merupakan satu cara yang
dilakukan peneliti dalam tahap proses pengumpulan
data untuk menghasilkan catatan-catatan penting yang
berhubungan dengan masalah yang sedang diteliti.
Sehingga nantinya akan diperoleh data yang lengkap
dan valid (bukan hasil pemikiran peneliti). Metode
dokumentasi hanya mengambil data yang sudah ada di
23

lembaga Solidaritas Perempuan (Basrowi dan Suwandi


2013, 158).
d. Catatan Lapangan
Catatan lapangan adalah catatan tertulis tentang apa
yang didengar, apa yang dilihat, apa yang dialami, dan
apa-apa yang dipikirkan dalam rangka pengumpulan
data dan refleksi tehadap data dalam penelitian
kualitatif (Ghony & Almanshur, 2012, 213).
e. Sumber Data
1) Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh
langsung dari lapangan sebagai gejala lainnya
yang ada di lapangan dengan mengadakan
peninjauan langsung pada objek yang diteliti.
2) Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui
studi pustaka yang bertujuan memperoleh
landasan teori yang bersumber buku literature,
perundang-undangan, Al-Qur‟an dan ada
hubungannya dengan buruh migran perempuan.
6. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan suatu proses penyelidikan dan
pengaturan secara sistematis transkip wawancara, catatan
lapangan dan materil lainnya yang peneliti kumpulkan
untuk meningkatkan pemahaman peneliti sendiri tentang
data, dan memungkinkan peneliti untuk
mempresentasikan apa-apa yang telah ditemukan pada
24

orang lain sebagai subyek penelitian. Analisis meliputi


mengerjakan data, mengorganisasi data, membagi data
menjadi satuan-satuan yang dapat dikelola,
mensintetiskan, mencari pola, menemukan apa yang
penting dan apa yang akan dipelajari dan memutuskan
apa-apa yang akan dilaporkan (Ghony dan Almanshur, 2012,
246). Analisis data yang digunakan dalam penelitian
kualitatif ini adalah analisis deskriptif dimana data dan
informasi yang diperoleh dari lapangan dideskripsikan
secara kualitatif, dengan titik tekan padaa penjelasan
hubungan kasualitas antara variabel indikator (Ghony dan
Almanshur, 2012, 306).
Terdapat tiga komponen analisis data yang digunakan
untuk melakukan analisi yaitu
a. Reduksi Data merupakan proses penyeleksian,
pemfokusan pada penyederhanaan, pengabstrakan
dan pentransformasian data kasar yang dihasilkan dari
lapangan. Proses ini dilakukan selama penelitian
berlangsung sampai laporan akhir tersususn denbgan
lengkap, yang mana hasilnya data dapat
disederhanakan dan ditransformasikan melalui
berbagai penyeleksian data yang ketat, hingga tercapai
pada ringkasan yang valid, tentunya hal ini
memudahkan peneliti untuk melakukan penarikan
sebuah kesimpulan.
b. Penyajian Data merupakan sekumpulan informasi
tersususn yang memungkinkan untuk menarik
25

kesimpulan dan pengambilan tindakan, sehingga


peneliti akan mudah dalam memahami yang sedang
terjadi dan apa yang harus dilakukan.
c. Penarikan Kesimpulan, proses ini dilakukan dari
permulaan pengumpulan data. Dalam hal ini peneliti
harus mengerti apa arti dari hal-hal yang ditelitinya.
Maka dari itu makna-makna yang muncul dari data
harus selalu diuji agar kevaliditasannya terjamin
(Miles & Huberman 1992, 16-19).
d. Dari ke tiga analisi data di atas dapat disimpulkan
bahwa setelah adanya proses pencarian dan
pengumpulan data dari hasil observasi, wawancara,
dan dokumentasi yang diperoleh dari lembaga
Solidaritas Perempuan dalam perlindungan dan
pemberdayaan buruh migran perempuan dan
keluarganya. peneliti mulai pengklasifikasian data-
data menurut katagori masing-masing. Hal ini
dilakukan agar mengahasilkan berbagai jawaban dari
permasalahan dan juga memperoleh kesimpulan yang
bersifat umum menjadi khusus.
7. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini berlangsung selama 1 bulan. Penelitian ini
bertempat di Lembaga Solidaritas Perempuan Jakarta Jln.
Siaga II RT. 002 RW. 005 No. 36 Pasar Minggu Jakarta
Selatan 12510. Telp. (021) 79183108. Adapun yang
menjadi latar belakang dan pertimbangan pemilihan
tempat ini yaitu karena di lembaga tersebut terdapat
26

kegiatan yang terkait dengan apa yang akan di teliti dan


mencakup masalah yang akan diteliti. Dengan adanya
Peran lembaga Solidaritas Perempuan dalam advokasi
perlindungi buruh migran perempuan korban kekerasan
selama menjadi TKW diluar negri peneliti memutuskan
tempat ini yang akan diteliti.
8. Subyek dan Obyek Penelitian
Adapun subyek penelitian adalah divisi Buruh Migran di
dalam menjalankan program perlindungan perempuan
buruh migran dan korban kekerasan perempuan buruh
migran yang sedang ditangani di Solidaritas Perempuan.
Objek penelitian dalam penelitian ini adalah pelaksanaan
penanganan kasus buruh migran perempuan korban
kekerasan selama menjadi TKW diluar negeri.
F. Tinjauan Pustaka
Dalam penyusunan skripsi ini sebelum mengadakan
penelitian lebih lanjut menyusun menjadi suatu karya ilmiah,
maka langkah awal yang penulis lakukan dengan mengkaji
hasil-hasil penelitian terdahulu yang mempunyai topik hampir
sama dengan yang akan penulis teliti. Pengkajian ini
dimaksud untuk mengetahui bahwa apa yang penulis teliti
sekarang mungkin telah diteliti oleh orang lain.
Beberapa hasil penelitian terdahulu yang dilakukan
oleh beberapa peneliti digunakan sebagai bahan dalam
penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Rizky
Nur Haryani dalam jurnalnya yang berjudul Tinjauan
Kriminologi Kritis Terhadap Kebijakan Negara Dalam
27

Melindungi Perempuan Buruh Migran Pekerja Rumah


Tangga, pada tahun 2011, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Indonesia, mengemukakan bahwa
pembagian kerja berdasarkan gender yang menempatkan
perempuan cenderung lebih dipekerjakan di ranah domestik
juga menjadikan mereka semakin rentan mengalami tindak
kekerasan. Mengingat lingkungan kerjanya tersebut, mereka
berhak mendapatkan porsi perhatian dan perlindungan yang
lebih besar.
Fokus pemerintah dalam meningkatkan perekonomian
negara yang tidak diimbangi dengan perlindungan terhadap
mereka yang berjasa di dalamnya adalah bentuk
pembiaran.Bentuk pembiaran ini sebenarnya adalah suatu
bentuk kebijakan yang dapat diambil oleh negara, tetapi
pembiaran ini menyebabkan mereka semakin rentan menjadi
korban kekerasan, diksriminasi, dan eksploitasi. Dengan kata
lain, negara turut serta melakukan kekerasan struktural
kepada mereka melalui kebijakan yang tidak memihak pada
kepentingan buruh migran.Negara bertugas melindungi setiap
warga negaranya seperti yang diamanatkan oleh Undang –
Undang DasarTahun 1945. Pemenuhan hak – hak bagi korban
menjadi salah satu kewajiban pemerintah yang selama ini
masih belum dilaksanakan dengan baik (Haryani, 2011).
Selanjutnya Penelitian yang dilakukan oleh Amasturi
Hadi dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul Tanggung Jawab
Pemerintah Dalam Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di
Luar Negeri pada tahun 2014, mengemukakan bahwa jika
28

berbicara mengenai implikasi dari perlindungan TKI berarti


kita berbicara tentang dampak dari ada atau tidaknya
perlindungan terhadap TKI. Selama ini pemerintah telah
mengeluarkan suatu kebijakan terkait dengan perlindungan
tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri yang salah
satunya adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004
tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri. Kementerian Luar Negeri sebagai
penanggung jawab bertugas membina melindungi dan
memberikan perlindungan hukum kepada Warga negara dan
tenaga kerja Indonesia (TKI) yang berada di luar negeri, serta
pembina urusan luar negeri.
Pemerintah juga memilki tanggung jawab terhadap
tenaga kerja Indonesia (TKI), yang berada di luar negeri
khususnya dalam memberikan perlindungan terhadap
kepentingan mereka. Perlindungan hukum yang di berikan
oleh pemerintah dapat dilihat dari instrument hukum dan
kebijakan-kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah,
kaitanya dengan tanggung jawab pemerintah dalam
memberikan perlindungan tenaga kerja Indonesia yang
bekerja di luar negeri di mulai dari tingkatan pemerintahan
dalam negeri, serta tanggungjawab pemerintah pusat dan
daerah, Badan Nasional Penempatan dan perlindungan
Tenaga kerja Indonesia (BNP2TKI), Balai Pelayanan,
Penempatan dan Perlindungan Tenaga kerja Indonesia
(BP3TKI), Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Kemenakertrans), Kedutaan Besar Republik Indonesia
29

(KBRI) serta (KJRI), dengan upaya perlindungan bantuan


hukum berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di
negara tujuan.
Skripsi ini berkaitan tentang tanggung jawab negara
dalam perlindungan setiap warga negaranya. Perbedaan
penelitian terdahulu dengan skripsi ini adalah perlindungan
hukum yang terfokus terhadap tenaga kerja wanita Indonesia
yang bekerja di luar negeri dan lebih mengacu kepada
langkah - langkah Lembaga Solidaritas Perempuan untuk
membantu pemerintah Indonesia dalam melindungi pekerja
migran perempuan Indonesia yang mengalami masalah
hukum di negara lain dengan peraturan hukum yang sangat
berbeda dengan Indonesia dan menggunakan konvensi
internasional perlindungan hak - hak buruh migran dan
anggota keluarganya sebagai acuan dalam proses
perlindungan hukum terhadap buruh migran (Hadi, 2014).
Sedangkan dua penelitian terdahulu lebih
mengutamakan kewajiban pemerintah dalam melakukan
perlindungan terhadap warga negaranya yang bekerja di luar
negeri. Belum dijelaskan lebih lanjut mengenai adanya
perlindungan dari lembaga dan pemerintah yang lebih
dispesifikasikan terhadap tenaga kerja wanita, masih
dijelasakan perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia
saja.
Selain itu skripsi yang hampir sama dengan yang
penulis teliti yaitu skripsi yang disusun oleh Farida Nur
Hidayah dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap
30

Tenaga Kerja Wanita Di Luar Negeri Korban Exploitation


Rape (Studi Normatif Terhadap Konvensi Internasional
Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota
Keluarganya Tahun 1990)”
Hasil penelitian dalam skripsi ini menjelaskan bahwa
perlindungan hukum terhadap tenaga kerja wanita Indonesia
korban exploitation rape pada saat ini masih sebatas
pemenuhan hak-hak korban saja yang bekerja secara legal,
tidak untuk TKW yang bekerja secara illegal. Konvensi
Internasional Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran
dan Anggota Keluarganya tahun 1990 belum efektif dalam
penerapannya. Sedangkan faktor yang menjadi kendala dalam
memberikan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja
wanita di luar negeri yang menjadi korban exploitation rape,
adnya perbedaan sistem hukum yang mengharuskan
pemerintah Indonesia tunduk pada hukum Negara penerima
TKI. Upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan
hukum bagi tenaga kerja wanita Indonesia di luar negeri yang
menjadi korban exploitation rape pada masa yang akan datang
dilakukan dengan menjalin kerja sama dengan Negara
penerima TKI yang sudah memuat unsur perlindungan
terhadap TKI.
Simpulan dari penelitian ini adalah perlindungan yang
dilakukan oleh pemerintah saat ini masih kurang maksimal
dikarenakan perbedaan sistem hukum dan dari pihak korban
sendiri dalam pelindungan terhadapnya. Upaya perlindungan
kedepan melalui hubungan diplomatik diharapkan adanya
31

pengawasan, pelatihan dan sinergi kerja sama dari semua


pihak untuk perlindungan terhadap TKW (Hidayah, 2015).
Penelitian selanjutnya tentang buruh migran
perempuan adalah “Strategi Kelangsungan Hidup Perempuan
Mantan Buruh Migran : Studi tentang mantan buruh migran
Kaliwedi kabupaten Cilacap “.Penelitian ini dibuat oleh Drs.
Togiaratua Nainggolan, M.Si, Dalam penelitian tentang buruh
migran perempuan ini berfokus pada kelangsungan hidup
buruh migran setelah menjadi TKW, sedangkan rencana
penelitian yang akan dilaksankan berfokus pada pola
negosiasi dalam keluarga mantan TKW.
Fokus penelitian sama-sama menuju pada keluarga
buruh migran perempuan atau TKW. Tujuan dari penelitian
yang dilakukan sebelumnya adalah mengidentifikasi kondisi
sosial-ekonomi mantan tenaga kerja wanita setelah menjadi
buruh migran, serta mendiskripsikan beberapa strategi
kelangsungan hidup yang dilakukan oleh para mantan TKW
dalam mengahadapi kesulitan ekonomi dan pemenuhan
kebutuhan seharihari. Sedangkan tujuan dari permasalahan
yang akan diteliti adalah dapat mengetahui terbentuknya pola
negosiasi yang ada di dalam keluarga mantan buruh migran di
desa Parang, kabupaten Magetan serta dapat mengetahui
kesetaraan dalam hal negosiasi pada keluarga mantan buruh
migran perempuan, yang kemudian dapat mempengaruhi
keputusan untuk negosiasi yang dilakukan.
Dari penelitian yang sebelumnya memang sudah
mengupas permasalahan yang ada pada buruh migran
32

perempuan, terutama sistem dalam keluarga buruh migran


perempuan ini. Tetapi penelitian yang akan dilakukan dengan
lebih meneliti pola negosiasi mantan buruh migran dalam
keluarga di desa Parang, Magetan yang difokuskan pada
suami-istri. Dimana ketika masih menjadi seorang buruh
migran yang bekerja dan menghasilkan perekonomian yang
lebih besar daripada suami posisi perempuan sebagai istri
dalam keluarga juga akan naik, perempuan mempunyai
kekuasaan dan pengaruh dalam keluarga, bisa juga dikatakan
bahwa perempuan lebih berkuasa daripada laki-laki
(Nainggolan, 2006).
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Any
Suryani H dalam jurnal yang berjudul Pengaturan
Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja Wanita Beserta
Keluarganya Berdasarkan UU No. 6 Tahun 2012 Tentang
Pengesahan Konvensi Internasional Perlindungan Buruh
Migran Beserta Keluarganya. Jurnal ini membahas tentang
Konvensi Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan
Anggota Keluarganya (International Convention on the
Protection of the Rights of All Migrant Workers and
Members of Their Families, ICRMW) mendefinisikan hak-
hak pekerja migran di bawah dua tajuk utama yaitu hak asasi
seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya (Bagian III),
dan hak-hak lain pekerja migran dan anggota keluarganya
yang berdokumen atau legal (Bagian IV). Hak asasi berlaku
pada seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya tanpa
memandang status hukum mereka, sementara hak-hak lain
33

berlaku hanya pada pekerja migran dan anggota (Suryani,


2016).
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini penulis menggunakan
Pedoman Karya Ilmiah Skripsi yang diterbitkan Universitas
Islam Negeri Jakarta sebagai pedoman pedoman penulisan
skripsi ini.
Untuk mempermudah penulisan skripsi ini penulis
membagi ke dalam enam bab. Adapun sistematiaka
penulisannya sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan,
Bab ini membahas tentang Latar Belakang,
Pembatasan dan Perumusan masalah, Tujuan
dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian,
Tinjauan Pustaka dan Sistematika Penulisan
BAB II Landasan Teoritis
Bab ini membahas mengenai Teori Peran,
Perlindungan dan Pemberdayaan.
BAB III Gambaran Umum
Bab ini membahas mengenai Profil lembaga,
Sejarah berdirinya Lembaga Solidaritas
Perempuan, Visi dan Misi, Struktur
Organisasi, Program Perlindungan Perempuan
buruh migran.
BAB IV Analisis Temuan Lapangan
Bab ini memuat tentang hasil penelitian,
berupa hasil observasi dan wawancara. Peneliti
34

membahas tentang temuan di lapangan


tentunya menggunakan metodologi yang sudah
dipilih yaitu metodologi kualitatif.
BAB V Penutup
Bab ini merupakan penutup dari penelitian
yang terdiri dari tentang kesimpulan dan saran.
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Peran
1. Pengertian Peran
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) Peran adalah beberapa tingkah laku yang
diharapkan dimiliki oleh seseorang yang
berkedudukan dimasyarakat (Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan 1998, 854). Sedangkan pengertian
peran dalam kamus modern ialah sesuatu yang
menjadi kegiatan atau memegang pimpinan yang
utama (Poewadarminta 1976, 473). Sedangkan makna
peran yang dijelaskan dalam status, Kedudukan dan
Peran dalam masyarakat, dapat dijelaskan melalui
beberapa cara, yaitu pertama penjelasan histories.
Menurut penjelasan histories, konsep peran
semula dipinjam dari kalangan yang meiliki hubungn
erat dengan drama atau teater yang hidup subur pada
zaman yunani kuno atau romawi. Dalam hal ini, peran
berarti karakter yang disandang atau di bawakan oleh
seorang aktor dalam sebuah pentas dengan lakon
tertentu. Kedua, pengertian peran menurut ilmu sosial.
Peran dalam ilmu sosial berarti suatu fungsi yang di
bawakan seseorang ketika menduduki jabatan tertentu,
seseorang yang dapat memainkan fungsinya karena
posisi yang didudukinya tersebut (Harahap 2007, 854).

35
36

Menurut Soejono Soekanto, peran adalah suatu


perilaku individu yang penting bagi struktur sosial
masyarakat, dan dapat dikatakan bahwa orang tersebut
memiliki suatu kedudukan dalam masyarakat, maka ia
pun melaksanakan suatu perannya tersebut dengan
memperhatikan hak dan kewajibannya (Soekanto 1988,
220) .
Seperti yang diketahui Lembaga Solidaritas
Perempuan merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat
yang salah satu fokusnya adalah perlindungan
terhadap buruh migran perempuan. Peneliti memilih
teori peran ini karena melihat harapan masyarakat
terhadap Lembaga Solidaritas Perempuan untuk
membantu mendampingi serta melindungi korban
buruh migran perempuan.
Sedangkan menurut Grass Massan dan A. W
Eachern sebagaimana dikutip oleh David Berry
mendefinisikan peranan sebagai seperangkat harapan-
harapan yang dikenakan pada individu yang menepati
kedudukan sosial tertentu. Harapan tersebut masih
menurut Berry, merupakan pertimbangan dari norma-
norma sosial, oleh karena itu dapat dikatakan peranan
itu ditemukan oleh norma-norma dimasyarakat.
Artinya seseorang diwajibkan untuk melakukan hal-
hal yang diharapkan oleh masyarakat didalam
pekerjaanya dan dalam pekerjaan-pekerjaan lainnya
(Massan dan Eachen 2003, 99-100).
37

Dari penjelasan tersebut diatas, terlihat suatu


gambaran bahwa yang dimaksud dengan peranan
merupakan kewajiban-kewajiban dan keharusan-
keharusan yang dilakukan seseorang maupun suatu
organisasi atau lembaga karena kedudukannya di
dalam status tertentu dalam suatu masyarakat di mana
ia berbeda.
Selanjutnya David Berry juga mengemukakan
bahwa didalam peranan terdapat dua macam harapan,
yaitu harapan masyarakat terhadap pemegang peran
atau kewajiban-kewajiban dari pemegang peran, dan
harapan yang dimiliki oleh si pemegang peran
terhadap orang-orang yang berhubungan dengannya
dalam menjalankan perannya atau kewajibannya
(Berry 2003, 107).
Berbicara mengenai peran, tentu tidak bisa
dilepaskan dari status (kedudukan). Walaupun
keduanya berbeda, akan tetapi mempunyai hubungan
erat antara yang Satu dengan yang lainnya, semua
diibaratkan seperti dua sisi mata uang yang berbeda,
akan tetapi kelekatannya sangat terasa sekali.
Seseorang dikatakan berperan atau memiliki peranan
karena dia (orang atau organisasi tersebut) memiliki
status dalam masyarakat, walupun kedudukannya
berbeda antara satu dengan yang lainnya, akan tetapi
masing-masing berperan dengan statusnya.
38

Peran yang melekat pada diri seseorang, harus


dibedakan dengan posisi atau tempatnya dalam
pergaulan kemasyarakatan. Posisi atau tempat
seseorang dalam masyarakat merupakan unsur statis
yang menunjukan tempat individu dalam organisasi
masyarakat. Sedangkan peran lebih banyak
menunjukan pada fungsi, artinya sesorang menduduki
tertentu dalam masyarakat dan menjalankan suatu
peran.
Dalam Peranan mencakup 3 (tiga) hal, yaitu:
a. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan
dengan posisi atau tempat seseorang didalam
masyarakat.
b. Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang
dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai
organisasi.
c. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku
individu yang penting bagi struktur sosial
masyarakat.
Peran juga dapat membimbing seseorang
dalam berprilaku, karena fungsi peran sendiri adalah
sebagai berikut:
a. Memberi arah pada proses sosialisasi.
b. Pewarisan tradisi, kepercayaan, nilai-nilai, norma-
norma dan pengetahuan.
c. Dapat mempersatukan kelompok atau masyarakat.
39

d. Menghidupkan sistem pengendalian dan kontrol,


sehingga dapat melestarikan kehidupan
masyarakat (Narwoko dan Suyanto 2011, 159-160).
Karenanya untuk mengoptimalkan program-
program pengembangan/ pemberdayaan tentu seorang
pemberdaya harus memeiliki beberapa peran sebagai
agen perubahan. Menurut Jim Ife, peran yang terkait
dengan pengembangan/pemberdayaan masyarakat
adalah yang ada kaitan eratnya dengan intervensi
kepada masayarakat, antara lain sebagai berikut:
a. Peran pertama adalah memfasilitasi komunitas
sasaran. Artinya dapat melakukan mediasi dan
negosiasi, memberikan dukungan, memfasilitasi
kelompok, memanfaatkan sumber daya dan
keterampilan dan mengorganisir.
b. Peran kedua adalah membangkitkan kesadaran
masyarakat, menyampaikan informasi,
mengkonfrontasikan dan latihan.
c. Peran ketiga adalah peran sebagai wakil
masyarakat dalam hal mencari sumber daya,
advokasi, memanfaatkan media, membina
hubungan masyarakat, mengembangkan jaringan,
membagi pengetahuan dan pengalaman (Fahrudin,
h.61).
Dari paparan tersebut Lembaga Solidaritas
telah memenuhi peran yang terkait dengan
40

pengembangan/pemberdayaan masyarakat menurut


Jim Ife. antara lain sebagai berikut:
a. Peran pertama adalah memfasilitasi komunitas
sasaran. Lembaga Solidaritas Perempuan
membantu melakukan mediasi dan negosiasi,
memberikan dukungan, memfasilitasi kelompok,
memanfaatkan sumber daya dan keterampilan dan
mengorganisir kasus buruh migran perempuan
yang sedang di tangani SP.
b. Peran kedua adalah Lembaga Solidaritas
Perempuan membangkitkan kesedaran
masyarakat, menyampaikan informasi,
mengkonfrontasikan dan latihan dengan cara
kampanye anti kekerasan buruh migran.
c. Peran ketiga adalah Lembaga Solidaritas
Perempuan sebagai wakil masyarakat dalam hal
mencari sumber daya, advokasi, memanfaatkan
media, membina hubungan masyarakat,
mengembangkan jaringan, membagi pengetahuan
dan pengalaman sebagai tindakan melindungi
saudara kita yang masih belum mendapatkan hak
nya atas perlindungan (Huraerah 2011, 163-165).
Dapat kita tarik Kesimpulan, bahwa Peran
(role) merupakan aspek dinamis kedudukan (status).
Apabila seseorang melakukan hak dan kewajiban
sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan
suatu peranan. Keduanya tidak dapat dipisahkan
41

karena satu dengan yang lainnya saling


ketergantungan, artinya tidak ada peran tanpa status
dan tidak ada status tanpa peran (Narwoko dan
Suyanto 2007, 158-159)
2. Tinjauan Sosiologi Tentang Peran
Tidak dapat dipungkiri bawasanya manusia
adalah makhluk sosial, yang tidak bisa melepaskan
sikap ketergantungan pada makhluk atau manusia
lainnya, maka pada posisi semacam inilah, peranan
sangat menentukan kelompok sosial masyarakat
tersebut, dalam artian diharapkan masing-masing
sosial masyarakat yang berkaitan agar menjalankan
peranannya yaitu menjalankan hak dan kewajiban
sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat.
Di dalam peranan terdapat dua macam harapan
yaitu: Harapan-harapan dari masyarakat terhadap
pemegang harapan dan harapan-harapan yang dimiliki
oleh si pemegang peranan terhadap masyarakat
(Massan dan Eachen 2003, 99). Dari kutipan tersebut
nyata lah bahwa ada suatu harapan dari masyarakat
terhadap individu akan suatu peran agar dijalankan
sebagaimana mestinya, sesuai dengan kedudukannya
dalam masyarakat tersebut.
Masyarakat yang bersangkutan akan dapat
menyesuaikan prilaku sendiri dengan prilaku orang-
orang sekelompoknya. Hubungan-hubungan sosial
42

yang ada dalam masyarakat. Norma-norma yang


berlaku (Soekanto, 1988).
individu maupun organisasi dituntut
memegang peranan yang diberikan masyarakat
kepadanya. Dalam hal ini peranan dapat dilihat
sebagai bagian dari struktur masyarakat. Misalnya,
peranan-peranan dalam pekerjaan, keluarga,
kekuasaan dan peranan-peranan lainnya yang
diciptakan masyarakat.
Demikian pula halnya dengan seorang ketua
yang memiliki sebuah organisasi atau lembaga
swadaya masyarakat sebagai tempat untuk membina
dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan sosial
pada umumnya. Disana ada suatu harapan yang sangat
besar sekali dari masyarakat dan mengingat
pentingnya hal ini untuk pembangunan dan perubahan
sosial bangsa indonesia. Maka dari itu penulis
mengambil peran lembaga pada program
pendampingan perlindungan buruh migran perempuan
yang akan dikembangkan dan mendapatkan suatu
pembelajaran dari hasil penelitian yaitu mengetahui
seberapa jauh peran lembaga tersebut.

B. Buruh Migran
Buruh, pekerja, worker, laborer, tenaga kerja atau
karyawan pada dasarnya adalah manusia yang
menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk
43

mendapatkan balasan berupa pendapatan baik berupa


uang maupun bentuk lainya kepada Pemberi Kerja atau
pengusaha atau majikan.
Buruh adalah mereka yang berkerja pada usaha
perorangan dan di berikan imbalan kerja secara harian
maupun borongan sesuai dengan kesepakatan kedua belah
pihak, baik lisan maupun tertulis, yang biasanya imbalan
kerja tersebut diberikan secara harian.
Pada dasarnya, buruh, Pekerja, Tenaga Kerja
maupun karyawan adalah sama. Namun dalam kultur
Indonesia, "Buruh" berkonotasi sebagai pekerja rendahan,
hina, kasaran dan sebagainya. sedangkan pekerja, Tenaga
kerja dan Karyawan adalah sebutan untuk buruh yang
lebih tinggi, dan diberikan cenderung kepada buruh yang
tidak memakai otot tapi otak dalam melakukan kerja. akan
tetapi pada intinya sebenarnya keempat kata ini sama
mempunyai arti satu yaitu Pekerja. Hal ini terutama
merujuk pada Undang-undang Ketenagakerjaan, yang
berlaku umum untuk seluruh pekerja maupun pengusaha
di Indonesia.
Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu
melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau
jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun
untuk masyarakat. (Undang Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan Bab I Pasal 1 ayat 2).
Tenaga kerja merupakan modal utama serta
pelaksanaan dari pembangunan masyarakat pancasila.
44

Tujuan terpenting dari pembangunan masyarakat tersebut


adalah kesejahteraan rakyat termasuk tenaga kerja.
Tenaga kerja sebagai pelaksana pembangunan harus di
jamin haknya, diatur kewajibannya dan dikembangkan
daya gunanya. Dalam peraturan Menteri Tenaga Kerja
Nomor: PER-04/MEN/1994 pengertian tenaga kerja
adalah setiap orang yang bekerja pada perusahaan yang
belum wajib mengikuti program jaminan social tenaga
kerja karena adanya pentahapan kepesertaan.
Beberapa pengertian Tenaga Kerja/ Buruh
menurut para ahli, yaitu : Eeng Ahman dan Epi Indriani
bahwa Tenaga kerja adalah seluruh jumlah penduduk
yang dianggap dapat bekerja dan sanggup bekerja jika ada
permintaan kerja.
Alam. S bahwa Tenaga kerja adalah penduduk
yang berusia 15 tahun keatas untuk negara-negara
berkembang seperti Indonesia. Sedangkan di negara-
negara maju, tenaga kerja adalah penduduk yang berumur
antara 15 hingga 64 tahun.
Suparmoko dan Icuk Ranggabawono, Tenaga
kerja adalah penduduk yang telah memasuki usia kerja
dan memiliki pekerjaan, yang sedang mencari pekerjaan,
dan yang melakukan kegiatan lain seperti sekolah, kuliah
dan mengurus rumah tangga.
Sjamsul Arifin, Dian Ediana Rae, Charles, Joseph
Tenaga kerja adalah merupakan faktor produksi yang
45

bersifat homogen dalam suatu negara, namun bersifat


heterogen (tidak identik) antar negara.
Buruh, pekerja, tenaga kerja atau karyawan pada
dasarny adalah manusia yang menggunakan tenaga dan
kemampuannya untuk mendapatkan balasan berupa
pendapatan baik berupa uang maupun bentuk lainnya
kepada pemberi kerja atau pengusaha atau majiakan.
Buruh dibagi atas 2 klasifikasi besar, yaitu:
1. Buruh profesional, biasa disebut buruh kerah putih,
menggunakan tenaga otak dalam bekerja.
2. Buruh kasar, biasa disebut buruh kerah biru,
menggunakan tenaga otot dalam bekerja.
Jadi Buruh adalah orang yang bekerja untuk orang
lain dengan mendapat upah pekerja. Buruh berbeda
dengan pekerja. Pengertian pekerja lebih menunjuk
pada prosesdan bersifat mandiri. Bisa saja pekerja itu
bekerja untuk dirinya dan menggaji dirinyasendiri pula.
Contoh pekerja ini antara lain Petani, nelayan, dokter
yang dalam prosesnya pekerja memperoleh nilai tambah
dari proses penciptaan nilai tambah yang mereka
buatsendiri. Istilah tenaga kerja di populerkan oleh
pemerintah orde baru, untuk menggantikata buruh yang
mereka anggap kekiri-kirian dan radikal.
Organisasi Perburuhan Internasional
(International Labour Organisation/ILO) mendefinisikan
seorang “pekerja migran”, sebagai seseorang yang
bermigrasi, atau telah bermigrasi dari satu negara ke
46

negara lain, dengan sebuah gambaran bahwa orang


tersebut akan dipekerjakan oleh seseorang yang bukan
dirinya sendiri, termasuk siapapun yang biasanya diakui
sebagai seorang migran, untuk bekerja. Karena dalam
prakteknya buruh migran tersebut menyangkut 2 negara,
maka pemerintah wajib ikut campur tangan dalam
mengurusi masalah penempatan para calon buruh migran
tersebut, oleh karena itulah dibuatnya beberapa regulasi
yang mengatur masalah TKI.
Menurut Wickramasekera (2002: 2), mengacu
pada konvensi ILO pada Buruh Migran tahun 1949, (No.
97) pada artikel 11, ialah orang yang bermigrasi dari satu
negara ke negara lain untuk tujuan bekerja. Sedangkan
menurut Departemen Sosial, definisi buruh migran adalah
orang yang berpindah ke daerah lain, baik di dalam
maupun ke luar negeri (legal ataupun illegal) untuk
bekerja dalam jangka waktu tertentu (Artikel ILO,
“Memerangi Kerja Paksa dan Perdagangan Pekerja Migran
Indonesia).

C. Perlindungan
1. Pengertian Perlindungan
Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 2
Tahun 2002 ditentukan bahwa yang dimaksud dengan:
a. Perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang
wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum
atau aparat keamanan untuk memberikan rasa
47

aman, baik fisik maupun mental, kepada korban


dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror dan
kekerasan dari pihak mana pun yang diberikan
pada tahap penyelidikan, penyidikan, penutupan
dan atas pemeriksaan di siding pengadilan
(Wiyono, 2007).
Dalam arti luas, perlindungan sosial dapat
didefinisikan sebagai segala inisiatif baik yang
dilakukan oleh pemerintah, sektor swasta maupun
masyarakat yang bertujuan untuk menyediakan
transfer pendapatan pada yang membutuhkan
arahan, melindungi kelompok rentan terhadap
resiko-resiko penghidupan (livelihood) dan
meningkatkan status dan hak sosial kelompok-
kelompok yang terpinggirkan di dalam suatu
masyarakat (Suharto 2011, 87)
b. Saksi adalah orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dan atau pemeriksaan di
sidang pengadilan tentang perkara pelanggaran
HAM yang berat yang ia dengar sendiri, lihat
sendiri dan alami sendiri yang memerlukan
perlindungan fisik dan mental dari ancaman,
gangguan, terror, dan kekerasan dari pihak mana
pun.
c. Ancaman, gangguan terror dan kekerasan adalah
segala bentuk perbuatan memaksa yang bertujuan
48

menghalang-halangi atau mencegah seseorang,


sehingga baik langsung atau tidak langsung
mengakibatkan orang tersebut tidak dapat
memberikan keterangan yang benar untuk
kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan
dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.

Perlindungan sosial dapat diartikan sebagai


perangkat kebijakan dan program yang dirancang
untuk mengurangi kerentanan serta melindungi diri
sendiri dari bahaya dan hilangnya penghasilan melalui
peningkatkan lapangan kerja.

2. Bentuk-Bentuk Perlindungan
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun
2002 Tentang perlindungan menetukan:
a. Setiap korban atau saksi dalam pelanggaran hak
asasi manusia yang berat berhak memperoleh
perlindungan dari aparat penegak hukum dan
aparat keamanan.
b. Perlindungan oleh aparat penegak hukum dan
aparat keamanan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diberikan sejak tahap penyelidikan,
penyidikan, pemantauan dan atau pemeriksaan di
sidang pengadilan.
Penjelasan Pasal 2 Ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 menyebutkan bahwa
yang dimaksud dengan “pemeriksaan di sidang
49

pengadilan” adalah proses pemeriksaan pada sidang di


Pengadilan Negri, Pengadilan Tinggi, atau Mahkamah
Agung.
Bentuk-Bentuk mengenai perlindungan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002, oleh Pasal 4
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002
ditentukan meliputi:
a. Perlindungan atas keamanan pribadi korban atau
saksi dari ancaman fisik dan mental. Intisari yang
menjadi pertanyaan yang berkaitan dengan bentuk
perlindungan ini adalah bagaimana tentang
perlindungan terhadap Keluarga Korban dan Saksi
dari ancaman fisik dan mental.
Pertanyaan ini perlu diajukan, karena
mungkin saja yang mendapat ancaman fisik dan
mental bukan pribadi korban atau saksi, tetapi
adalah keluarga korban atau saksi yang akan
diberikan oleh korban atau saksi pada tahap
penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan atau
pemeriksaan di pengadilan dalam perkara
pelanggaran HAM yang berat.
Oleh karena itu, kiranya tidak ada yang keberatan,
jika bentuk perlindungan yang ditentukan oleh
Pasal 4 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 2
Tahun 2002, tidak hanya terbatas pada
perlindungan atas keamanan pribadi korban atau
50

saksi tetapi juga meliputi perlindungan atas


keamanan pribadi korban atau saksi tetapi juga
meliputi perlindungan atas keamanan keluarga
korban atau saksi.
b. Perahasiaan Identitas Korban atau Saksi. Pada
tahap penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan,
perahasiaan identitas korban atau saksi tidak hanya
menjadi masalah. Perahasiaan korban atau saksi
pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan
hanya dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan di
sidang pengadilan oleh Hukum dinyatakan
tertutup atau tidak terbuka untuk umum.
Korban maupun saksi dalam upaya perlindungan
hukum berupa merahasiakan segala bentuk
identitas dari korban maupun saksi itu sendiri. Hal
ini ditujukan agar privasi korban ataupun saksi
tetap aman dan tidak disalahgunakan dalam
terwujudnya perlindungan.
c. Pemberian Keterangan Pada Saat Pemeriksaan di
Sidang Pengadilan Tanpa Bertatap muka dengan
Tersangka. Yang dimaksud dengan “tanpa
bertatap muka dengan tersangka” dalam Pasal 4
huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun
2012 ini adalah tanpa bertatap muka dengan
terdakwa, tetapi dengan melalui media elektronik,
yaitu dengan cara apa yang disebut teleconference
seperti yang pernah dilakukan pada waktu
51

pemeriksaan perkara Akbar Tanjung di Pengadilan


Negeri Jakarta Pusat, ketika mendengarkan
keterangan saksi BJ. Habibie dari kedutaan Besar
RI di Boon Jerman.
Dalam memberikan keterangan saat proses
pemeriksaan dilakukan dengan komunikasi tanpa
tatap muka melalui media elektronik. Hal ini
dilakukan demi menjaga perlindungan korban
maupun saksi saat persidangan.
3. Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
Dalam hukum seseorang yang mempunyai hak
milik atas sesuatu benda yang di izinkan untuk
menikmati hasil dari benda miliknya. Dalam buku
yang berjudul “Inleding Tot The Studie Van Het
Noderlanse Recht” Mr. L. J. Van Apeldoom
mengatakan bahwa “Hak ialah hukum yang
dihubungkann dengan seseorang manusia atau subjek
hukum tertentu dan dengan demikian menjelma
menjadi kekuasaan” dan suatu hak timbul apabila
hukum mulai bergerak (Kansil 1989, 119-120).
Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27 ayat (2)
menetapkan bahwa “Tiap-Tiap Warga Negara Berhak
Atas Pekerjaan dan Penghidupan Yang Layak Bagi
Kemanusiaan” (UUD 45 & Perubahannya Susunan
Kabinet RI Lengkap (1945-2009) + Reshuffle Kabinet
Indonesia Bersatu Jilid 2, 2008, 26).
52

Dari pasal tersebut, jelas dikehendaki agar


semua warga Negara mau dan mampu bekerja supaya
diberikan pekerjaan, sekaligus dengan pekerjaan
tersebut agar mereka dapat hidup layak sebagi
manusia yang mempunyai hak-hak yang di lindungi
oleh hukum.
Kewajiban adalah setiap keadaan yang di
dalamnya terdapat penyalahgunaan tenaga manusia
untuk merealisasikan tujuan tertentu. Boleh jadi
tenaga kerja disini bersifat fisik seperti mengangkat
barang ataupun intelektual seperti membuat rencana
kerja berupa pemindahansesuatu dari satu tempat,
merubah keadaannya atau menetapkannya dalam
tempat tertentu (Hamid 1999, 20).
Dalam Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun
2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia Di Luar Negeri Bab III tentang Hak
dan Kewajiban TKI terdapat di dalam Pasal 8 dan
Pasal 9 menerangkan sebagai Berikut.
Pasal 8 setiap calon TKI mempunyai hak dan
kewajiban yang sama untuk:
a. Bekerja di luar negeri
b. Memperoleh informasi yang benar mengenai pasar
kerja luar negeri dan prosedur penempatan TKI di
luar negeri.
c. Memperoleh pelayanan dan perlakuan yang sama
dalam penempatan di luar negeri.
53

d. Memperoleh kebebasan menganut agama dan


keyakinan serta kesempatan untuk menjalankan
ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang
dianutnya.
e. Memperoleh upah sesuai dengan standar upah
yang berlaku di Negara tujuan.
f. Memperoleh hak, kesempatan dan perlakuan yang
sama yang diperoleh tenaga kerja asing lainnya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan di
Negara tujuan.
g. Memperoleh jaminan perlindungan ukum sesuai
dengan peraturan perundang-undangan atas
tindakan yang dapat merendahkan harkat dan
martabatnya serta pelanggaran atas hak-hak yang
di tetapkan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan selama penempatan di luar negeri.
h. Memperoleh jaminan perlindungan keselamatan
dan keamanan kepulangan TKI ke tempat asal.
i. Memperoleh naskah perjanjian kerja yang asli.
Pasal 9 setiap calon TKI mempunyai
kewajiban untuk
a. Menaati peraturan perundang-undangan baik di
dalam Negeri maupun di Negeri tujuan.
b. Menaati dan melaksanakan perkerjaannya sesuai
dengan perjanjian kerja.
54

c. Membayar biaya pelayanan penempatan TKI di


luar negri sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
d. Memberitahukan atau melaporkan kedatangan
keberadaan dan pemulangan TKI kepada
Perwakilan Republik Indonesia di Negara tujuan.
4. Advokasi Dalam Melindungi Buruh Migran
a. Pengertian Advokasi
Menurut bahasa Belanda yaitu advocaat
atau advocateur berarti pengacara atau pembela.
Karena tidak heran jika advokasi sering diartikan
sebagai kegiatan pembelaan kasus atau beracara di
pengadilan. Dalam Bahasa Inggris, to advocate
tidak hanya berarti to defend (membela),
melainkan pula to promote (mengemukakan atau
mengajukan), to create (menciptakan) dan to
change (melakukan perubahan) (Topatimasang,
dkk., 2000).
Pengertian advokat menurut Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat,
dalam Pasal 1 angka (1) dikatakan:
“Advokat adalah orang yang berprofesi
memberikan jasa hokum baik di dalam
maupun di luar pengadilan yang
memenuhi persyaratan berdasarkan
ketentuan undang-undang ini.”
Kutchins dan Kutchins mengatakan
advokasi sesungguhnya tema yang tak dapat
55

didefinisikan karena advokasi merujuk pada


semua bentuk aksi sosial (Suharto 2004, 118).
Zastrow mengartikan advokasi adalah aktivitas
menolong klien untuk mencapai layanan ketika
mereka ditolak suatu lembaga atau suatu system
layanan, dan membantu dan memperluas
pelayanan agar mencakup lebih banyak orang
yang membutuhkan (Suharto 2004, 122).
Advokasi digunakan untuk mempengaruhi
dan bertindak secara kolektif untuk mempengaruhi
perubahan social. Schneider mengatakan bahwa
definisi terbaru mengenai advokasi harus terdiri
dari beberapa kriteria yaitu, kejelasan (clarify),
dapat diukur (measurable), pembatasan (limited),
berorientasi tindakan (action-oriented), fokus
kepada aktifitas bukan peranan atau hasil advokasi
(focus on activity, not rules or outcomes of
advocacy) dan bersifat mendefinisikan advokasi
pekerja social sebagai “the exclusive and mutual
representation of clients or a cause in a cause or a
cause in a form, attemping to systematically
influence decision making in an unjust or
unresponsive systems.” (Suharto 2004, 109).
Menurut Sheafor advokasi sosial dapat
dikelompokan ke dalam dua jenis, yaitu: advokasi
kasus (case advocacy) dan advokasi kelas (class
advocacy).
56

1) Advokasi kasus adalah kegiatan yang


dilakukan seorang pekerja sosial untuk
membantu klien agar mampu menjangkau
sumber atau pelayanan sosial yang telah
menjadi haknya. Alasannya: terjadi
diskriminasi atau ketidakadilan yang
dilakukan oleh lembaga, dunia bisnis atau
kelompok profesional terhadap klien dan klien
sendiri tidak mampu merespon situasi tersebut
dengan baik. Pekerja sosial berbicara,
berargumen dan bernegosiasi atas nama klien
individual. Karenanya, advokasi ini sering
disebut pula sebagai advokasi klien (client
advocacy).
2) Advokasi kelas menunjuk pada kegiatan-
kegiatan atas nama kelas atau sekelompok
orang untuk menjamin terpenuhinya hak-hak
warga dalam menjangkau sumber atau
memperoleh kesempatan-kesempatan. Fokus
advokasi kelas adalah mempengaruhi atau
melakukan perubahan-perubahan hukum dan
kebijakan publik pada tingkat lokal maupun
nasional. Advokasi kelas melibatkan proses-
proses politik yang ditujukan untuk
mempengaruhi keputusan-keputusan
pemerintah yang berkuasa. Pekerja sosial
biasanya bertindak sebagai perwakilan sebuah
57

organisasi, bukan sebagai seorang praktisi


mandiri. Advokasi kelas umumnya dilakukan
melalui koalisi dengan kelompok dan
organisasi lain yang memiliki agenda yang
sejalan.
b. Jenis-Jenis Advokasi
Scheider mengemukakan 4 jenis advokasi
yang juga di gunakan dilembaga Solidaritas
Perempuan dalam pekerjaan sosial, yaitu:
1) Advokasi Klien (Client Advocacy). Tujuan
akhirnya adalah untuk membantu klien tentang
bagaimana klien berjuang memenangkan
pertarungan terhadap hak-haknya di lembaga
lain dan system pelayanan sosial yang ada.
Advokasi ini bersifat individu. Advokasi ini
dilaksanakan pada saat individu mendapat
suatu masalah dan membutuhkan advokasi
untuk menyelesaikan permasalahannya dengan
dibantu oleh para advokat. Dan advokasi ini
bersifat tertutup.
2) Advokasi masyarakat (Cause Advocacy).
Advokasi pekerja sosial selalu membantu klien
individu, dan keluarga dalam memperoleh
pelayanan. Jika terdapat masalah yang
mempengaruhi kelompok yang lebih besar
maka advokasi ini yang paling sesuai
digunakan. Advokasi ini dilaksanakan pada
58

saat masyarakat tidak memperoleh pelayanan


yang semestinya didapatkan sehingga ada
sesuatu yang harus diperjuangkan mengenai
hak dan kewajiban yag tidak terpenuhi.
3) Advokasi legislatif (Legislative Advocacy),
advokasi jenis ini biasanya dilakukan untuk
mempengaruhi proses pembuatan suatu
undang-undang.
4) Advokasi Administrasi (Administrative
Advocacy). Advokasi jenis ini dilaksanakan
untuk memperbaiki atau mengoreksi keluhan-
keluhan administrative dan mengatasi
masalah-masalah administratif (Suharto 2004,
174).
Ada 4 jenis advokasi yang juga di gunakan
dilembaga Solidaritas Perempuan yaitu:
1) Advokasi Klien (Client Advocacy). Tujuan
akhirnya adalah untuk membantu klien tentang
bagaimana klien berjuang memenangkan
pertarungan terhadap hak-haknya di lembaga
lain dan system pelayanan sosial yang ada.
Advokasi ini bersifat individu. Advokasi ini
dilaksanakan pada saat individu mendapat
suatu masalah dan membutuhkan advokasi
untuk menyelesaikan permasalahannya dengan
dibantu oleh para advokat. Dan advokasi ini
bersifat tertutup. Solidaritas membantu
59

menjalankan advokasi klien untuk membantu


mendapatkan haknya serta melindungi buruh
migran perempuan yang bersangkutan dengan
masalah.
2) Advokasi masyarakat (Cause Advocacy).
Advokasi pekerja sosial selalu membantu klien
individu, dan keluarga dalam memperoleh
pelayanan. Jika terdapat masalah yang
mempengaruhi kelompok yang lebih besar
maka advokasi ini yang paling sesuai
digunakan. Advokasi ini dilaksanakan pada
saat masyarakat tidak memperoleh pelayanan
yang semestinya didapatkan sehingga ada
sesuatu yang harus diperjuangkan mengenai
hak dan kewajiban yag tidak terpenuhi.
Solidaritas perempuan tidak hanya membantu
buruh migran perempuan yang bersangkutan
tetapi juga keluarganya serta kelompok-
kelompok yang bersangkutan.
3) Advokasi legislatif (Legislative Advocacy),
advokasi jenis ini biasanya dilakukan untuk
mempengaruhi proses pembuatan suatu
undang-undang. Solidaritas membantu serta
mengusulkan untuk meratifikasi undang-
undang yang menurutnya kurang sesuai untung
melindungi buruh migran perempuan.
60

4) Advokasi Administrasi (Administrative


Advocacy). Advokasi jenis ini dilaksanakan
untuk memperbaiki atau mengoreksi keluhan-
keluhan administrative dan mengatasi
masalah-masalah administrasi. Solidaritas
perempuan mengoreksi keluhan yang masuk
serta mendampingi untuk mengatasi masalah-
masalah tersebut.
Selanjutnya jenis advokasi yang selalu
digunakan di lembaga Solidaritas Perempuan yaitu
advokasi Litigasi dan advokasi non-Litigasi.
1) Advokasi Litigasi
Advokasi Litigasi adalah salah satu bentuk
advokasi hukum yang dilakukan melalui
proses pengadilan, bahkan sebelum kasus atau
satu perkara di sidangkan ke pengadilan,
pendampingan klien atas pemeriksaan atau
penyidikan di tingkat kepolisian, serta proses
penuntutan di tingkat kejaksaan dapat juga
dikatagorikan sebagai bentuk litigasi.
Di dalam melaksanakan advokasi hukum
dalam bentuk litigasi ini jelas dibutuhkan
keahlian dan keterampilan serta pengetahuan
tentang prosedur hukum beracara mulai dari
tingkat kepolisian, kejaksaan, hingga tingkat
pengadilan. Lazimnya proses advokasi hukum
yang demikian ini dilakukan oleh kelompok
61

professional yang memiliki izin untuk itu,


yang biasanya dikenal dengan sebutan advokat
atau penasehat hukum.
2) Advokasi Non Litigasi
Di samping melalui Litigasi, juga dikenal
Alternatif penyelesaian sengketa di Luar
Pengadilan yang lazim disebut Non Litigasi.
Alternatif penyelesaian sengketa Non Litigasi
adalah suatu pranata penyelesaian sengketa di
luar pengadilan atau dengan cara
mengesampingkan penyelesaian secara litigasi
di Pengadilan Negeri. Dewasa ini cara
penyelesaian sengketa melalui peradilan
mendapat kritik yang cukup tajam, baik dari
praktisi maupun teoritisi hukum. Peran dan
fungsi peradilan, dianggap mengalami beban
yang terlampau padat (overloaded), lamban
dan buang waktu (waste of time), biaya mahal
(very expensif) dan kurng tanggap
(unresponsive) terhadap kepentingan umum,
atau dianggap terlalu formalistis (formalistic)
dan terlampau teknis (technically).
Dalam pasal (1) angka (10) Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999, disebutkan bahwa
masyarakat dimungkinkan memakai alternatif
lain dalam melakukan penyelesaian sengketa.
Alternatif tersebut dapat dilakukan dengan
62

cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi,


atau penilaian ahli.
Berdasarkan hal demikian ini, langkah
identifikasi aspek hukum suatu kasus adalah
sangat penting di dalam proses advokasi
hukum. Proses identifikasi yang akurat dan
obyektif, akan menghasilkan langkah dan
strategi yang tepat di dalam proses advokasi
hukum, yaitu:
a) Sejak dini sudah dapat dipastikan bahwa
kasus tersebut perlu dilakukan advokasi
hukum ataukah tidak.
b) Bahwa jika kasus tersebut perlu dilakukan
advokasi maka lakukanlah advokasi
c) Pemberian pendapat hukum (legal
memorandum.
d) Praktek pendampingan hukum.

D. Pemberdayaan Perempuan
1. Pengertian Pemberdayaan
Secara konseptual, Pemberdayaan
(Empowerment), berasal dari kata Power (kekuasaan
atau keberdayaan). Karenanya, ide utama
pemberdayaan bersentuhan dengan kemampuan untuk
membuat orang lain melakukan apa yang kita
inginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka
(Suharto 2005, 57). Pada penelitian ini, peneliti
63

menggunakan teori pemberdayaan dikarnakan


pemberdayaan yang dilakukan di lembaga Solidaritas
Perempuan berdasarkan keinginan pemberdaya untuk
membuat orang lain melakukan apa yang diinginkan
tidak terlepas dari keinginan mereka, seperti teori
yang dikemukakan oleh Edi Suharto di atas.
Pemberdayaan merujuk pada kemampuan
orang, khususnya kelompok rentan dan lemah
sehingga mereka mempunyai kekuatan atau
kemampuan dalam pertama, memenuhi kebutuhan
dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan
(freedom), dalam arti bukan saja bebas
mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari
kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari
kesakitan. Kedua menjangkau sumber-sumber
produktif yang memungkinkan mereka dapat
meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barng-
barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan, ketiga
berpartisipasi dalam proses pembangunan dan
keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.
Pemberdayaan merupakan transformasi
hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan
pada empat level yang berbeda, yakni keluarga,
masyarakat dan negara. Konsep pemberdayaan dapat
dipahami dalam dua konteks (Zakiyah 2010, 44).
Pertama, kekuasaan dalam proses pembuatan
keputusan dengan titik tekan pada pentingnya peran
64

perempuan. Kedua, pemberdayaan yang berkaitan


dengan fokus pada hubungan antara pemberdayaan
perempuan dan akibatnya pada laki-laki di masyarakat
yang beragam. Dalam upaya memberdayakan
masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi,yaitu:
Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang
memungkinkan potensi masyarakat berkembang
(enabling). Disini titik tolaknya adalah pengenalan
bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki
potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada
masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena jika
demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalah
upaya untuk membangun daya itu, dengan
mendorong, memotivasikan, dan membangkitkan
kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta
berupayauntuk mengembangkannya (Sumodiningrat
2002, 17).
Kedua, memperkuat potensi atau daya yang
dimiliki masyarakat (empowering). Dalam rangka ini
diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari
hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini
meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut
penyediaan berbagai masukan (input), serta
pembukaan akses ke dalam berbagai peluang
(opportunities) yang akan membuat masyarakat
menjadi berdaya.
65

Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti


melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus
dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh
karena kekurang berdayaan dalam menghadapi yang
kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan
kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam
konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak
berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi,
karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan
melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat
sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan
yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas
yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan
membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada
berbagai program pemberian (charity). Karena, pada
dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan
atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat dipertukarkan
dengan pihak lain).
Dengan demikian tujuan akhirnya adalah
memandirikan masyarakat, memampukan, dan
membangun kemampuan untuk memajukan diri ke
arah kehidupan yang lebih baik secara
berkesinambungan. Dari berbagai definisi tersebut,
dapat ditarik suatu benang merah bahwa
pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk
memampukan dan memandirikan masyarakat atau
66

dengan kata lain adalah bagaimana menolong


masyarakat untuk mampu menolong dirinya sendiri.
2. Tahap-Tahap Pemberdayaan
Tahapan-tahapan dalam pemberdayaan
meliputi beberapa aspek (Hermansah 2015, 44), yakni :
a. Tahap Perencanaan :
Pada tahap ini, masyarakat dapat berpartisipasi
dalam kegiatan perencanaan, melakukan
identifikasi masalah hingga pembuatan perumusan
kegiatan.
b. Tahap Pelaksanaan :
Masyarakat turut ikut serta dalam kegiatan
pelaksanaan program yang telah dirancang dan
direncanakan sebelumnya.
c. Tahap Pelembagaan :
Tahap ini, masyarakat ikut serta dalam penguatan
kelembagaan dalam hal ini pengkaderan anggota
sebagai langkah penguatan SDM untuk
keberlanjutan sebuah program pelaksanaan
kedepan.
d. Tahap Monitoring
Masyarakat turut dalam mengawasi kegiatan
pelaksanaan program yang telah dirancang.
Sehingga dalam hal ini masyarakat juga dapat
mengetahui secara langsung kegiatan yang telah
dirancang.
e. Tahap Evaluasi
67

Masyarakat berpartisipasi dalam melakukan


penilaian atas sejauh mana keberhasilan dan
hambatan dalam pelaksanaan program.
Dari tahapan pemberdayaan tersebut, dapat
dipahami bahwa pemberdayaan merupakan elemen
terpenting dalam tatanan sosial. Hal ini dimaknai
dengan segala aktivitas masyarakat dalam kehidupan
selalu mengalami perkembangan. Dengan adanya
kemajuan teknologi, perubahan gaya hidup, dan cara
berinteraksi orang antar sesama yang tak ada batas
ruang dan waktu mengindikasikan bahwa sistem sosial
yang ada selalu mengalami perubahan.
3. Pemberdayaan Terhadap Perempuan
Pemberdayaan perempuan disini memberikan
arti sebagai upaya peningkatan kemampuan
perempuan dalam mengembangkan kapasitas dan
keterampilan perempuan agar mampu meraih akses
dan penguasaan terhadap antara lain, Posisi pengambil
keputusan, Sumber-sumber, Struktur atau jalur yang
menunjang.
Proses pemberdayaan perempuan ini dapat
dilakukan melalui penyadaran (conscientation).
Dengan penyadaran ini diharapkan wanita mampu
menganalisis secara kritis situasi masyarakat sehingga
dapat memahami/mengetahui praktek-praktek
diskriminatif yang merupakan kontruksi sosial serta
membedakan peran antara peran kodrati dan peran
68

jender. Oleh karena itu, terhadap perempuan dalam


proses penyadaran perlu dibekali dengan informasi,
pendidikan, pelatihan dan motivasi agar mengenal jati
diri dan lebih percaya diri serta dapat mengambil
keputusan yang diperlukan (Ihromi, dkk 2006, 142).
Secara sederhana pendidikan memberikan arti
sebagai suatu proses perubahan perilaku dari yang
tidak tahu menjadi tahu. Proses ini dapat ditempuh
melalui pendidikan formal dan non formal. Karena
jalur pendidikan secara umum tidak mengenal
diskriminasi terhadap kaum perempuan. Jalur
pendidikan merupakan langkah yang strategis di
dalam pemberdayaan perempuan.
Pendidikan dipandang sebagai proses belajar
sepanjang hayat manusia. Artinya, pendidikan
merupakan upaya manusia untuk mengubah dirinya
ataupun orang lain selama ia hidup. Pendidikan
dimulai dari bayi sampai dewasa dan berlanjut sampai
mati, yang memerlukan berbagai metode dan sumber-
sumber belajar.
Pendidikan orang dewasa atau lebih dikenal
dengan pendekatan andragogy merupakan pendekatan
yang menempatkan peserta belajar sebagai orang
dewasa. Dibalik pengertian ini Knowles
mendefinisikan andragogi secara terminologis bahwa
Andragogy is the art and science of helping adult
learn (andragogi adalah seni dan ilmu membantu
69

orang dewasa untuk belajar). Tampak jelas Knowles


menghargai independensi sekaligus kapabilitas orang
dewasa untuk belajar, sehingga posisi pendidik dalam
andragogi hanya sekedar membantu atau
memfasilitasi mereka belajar. Laird mendefinisikan
andragogi sebagai ilmu tentang orang dewasa belajar.
Sedangkan menurut M. Saleh Marzuki yang dikutip
oleh Rosidin menilai andragogi sebagai proses
bantuan terhadap orang dewasa agar dapat belajar
secara maksimal. Maka kesimpulannya andragogi
adalah seni dan ilmu tentang bagaimana membantu
orang dewasa belajar. Adapun wujud bantuannya pasti
berbeda dengan anak, karena karakteristik yang
berbeda antara keduanya.
Salah satu jenis pendidikan yang cukup
strategis dalam upaya pemberdayaan itu adalah
melalui jalur pendidikan hukum. Pendidikan formal
hukum dapat membentuk sekaligus menempatkan
perempuan dalam “link and match”. Selanjutnya,
melalui konsep tersebut diharapkan perempuan dapat
turut serta menjadi perumus kebijaksanaan dan
pelaksanaan pembangunan hukum. Dengan demikian
undang-undang tidak lagi berpihak pada kaum pria
saja, sekaligus dapat memperbaiki citra perempuan
sebagai akibat pemahaman dan penerapan struktur
sosial dan budaya masyarakat. Maka dari itu perlu
adanya suatu gerakan yang mendukung perempuan
70

supaya permpuan tidak mengalami deskriminasi atau


ketimpangan terhadap perempuan, gerakan tersebut
disebut gerakan feminisme (Dadang, Anshori dan
Kosasih 1997, 19 ).
BAB III
GAMBARAN UMUM PENELITIAN

A. Gambaran Umum Lembaga Solidaritas Perempuan


1. Profil Lembaga
Solidaritas Perempuan (SP) didirkan pada
tahun 10 Desember 1990. Pada awalnya berbadan
hukum yayasan, dan pada April 1993 berubah menjadi
organisasi perserikatan dengan keanggotaan individu
baik perempuan dan laki-laki. Per-Februari 2012, SP
memiliki 777 anggota berasal dari komunitas akar
rumput, aktivis, akademisi maupun mahasiswa.
Anggota Solidaritas Perempuan yang tersebar
di seluruh Indonesia, bersama-sama merajut kekuatan
perempuan untuk melawan perlawanan terhadap
segala bentuk penindasan terhadap perempuan dalam
berbagai konteks. Selama 21 tahun berdiri,
perserikatan Solidaritas Perempuan sebagai organisasi
feminis terus berkomitmen untuk bergerak bersama
dalam menciptakan tatanan yang adil dimana
perempuan dan laki-laki secara setara memiliki akses
dan kontrol atas sumber daya politik, ekonomi, sosial
dan budaya (Laporan UAS Praktikum I Syarifah
Asmar 2017).

71
72

2. Sejarah Lembaga
Dasawarsa tahun 80-an, merupakan kurun
waktu saat rezim otoriter Orde Baru telah sampai pada
puncak kekuasaannya. Bagi rakyat Indonesia, masa itu
merupakan suatu babak di mana penyelenggaraan
kekuasaan di republik ini semakin kuat dikendalikan
dan digerakkan oleh cara pandang dan pola tindak
yang mengikuti logika penimbunan dan pelenyapan
sebagai hukum keniscayaan agar kekuasaan tetap ada
dalam genggaman. Model pembangunan Orde Baru
ditopang oleh dua pilar utama, yaitu kekuatan modal
konglomerasi dan kekuatan represi militer. Kedua
pilar tersebut telah menjadi pola dasar bagi sistem
kekuasaan tersebut dan telah membuahkan
kemakmuran luar biasa yang hanya dinikmati
segelintir kelas elit ekonomi dan politik.
Pola tersebut telah menghadirkan kondisi yang
menyajikan kenyataan akan dua sisi yang berbeda.
Satu sisi, prestasi hasil pembangunan ekonomi
mengalirkan surplus hanya bagi kelas elit. Di sisi
lainnya, proses peminggiran dan penelantaran
terhadap massa rakyat yang berlangsung makin
massif. Dengan demikian makin memperluas
kontradiksi sosial dalam masyarakat. Atas nama
“pembangunan”, petani kecil dipaksa keluar dari
tanah-tanah garapan yang menjadi gantungan
hidupnya, juga kekayaan sumber daya alam di luar
73

pulau Jawa dieksploitasi secara gila-gilaan bersamaan


dengan proses peminggiran masyarakat lokal
tradisionalnya. Atas nama “persatuan dan kesatuan”,
perbedaan dan kemajemukan ditindas dan
diharamkan. Atas nama “kebersihan dan ketertiban”
kota, para pedagang dan pengasong dikejar-kejar dan
digusur.
Di penghujung tahun 1980-an penggusuran
dan perampasan di banyak tempat itu, kemudian
memunculkan berbagai kelompok solidaritas untuk
massa rakyat yang tergusur dan terampas hak-hak
dasariahnya. Di antaranya, adalah Kelompok
Perempuan untuk Solidaritas Badega (KPSB) yang
mengadakan demonstrasi ke DPR untuk mendukung
perjuangan rakyat petani Badega. Bersamaan waktu
dengan berdirinya kelompok tersebut, juga lahir
Kelompok Kerja Solidaritas Perempuan (KSP) yang
melakukan investigasi dan pembelaan kasus-kasus
Pulau Panggung dan Sugapa tahun 1989. Pada waktu
itu, kelompok solidaritas tersebut hadir secara spontan
dengan struktur organisasi yang sederhana, bersifat
sementara dan lebih banyak dibimbing oleh spirit
voluntarisme (kesukarelaan). Bentuk aktivitasnya
meliputi mulai dari pengumpulan fakta-fakta di
lapangan hingga melancarkan aksi-aksi protes secara
terbuka. Fokus sasarannya secara umum diarahkan
pada satu agenda utama pada waktu itu: penguatan
74

perjuangan rakyat untuk merebut kembali tanah-tanah


garapannya.
Pada akhirnya disadari bahwa aksi organisasi
yang seperti itu sifatnya spontan, jangka pendek, dan
terbatas. Hal tersebut merupakan bagian dari
permasalahan besar yang harus diatasi. Telah terbukti
bahwa aksi yang sifatnya spontan tidak akan
membawa hasil yang signifikan. Permasalahan
penggusuran, kekerasan terhadap perempuan dan
pelanggaran HAM memiliki dimensi yang sangat
kompleks dan bercorak struktural.
Untuk alasan itulah, pada tanggal 10 Desember
1990 KSP bersama dengan beberapa sahabat
perempuan mendirikan sebuah organisasi yang disebut
dengan Yayasan Solidaritas Perempuan. Program dari
yayasan ini adalah pengembangan institusi yayasan
dan pengembangan hak asasi perempuan. Dan cita-
citanya adalah untuk mencapai masyarakat yang
demokratis dan egaliter.
Dalam perjalanannya, pada tahun 1992
diselenggarakan Management Improvement Program
(MIP) yang ditujukan untuk melakukan evaluasi
internal dan pembenahan organisasi secara
komprehensif. Salah satu rekomendasi penting yang
dihasilkan adalah perumusan visi dan perubahan
bentuk organisasi, dari yayasan menjadi sebuah
perkumpulan. Ada sejumlah pertimbangan yang
75

melatarbelakangi perubahan bentuk organisasi


tersebut. Pertama, selama ini bentuk yayasan hanya
mampu memberi ruang gerak organisasi secara
terbatas. Kedua, secara internal semakin dirasakan
bahwa bentuk yayasan tidak lagi memadai sebagai
wahana untuk membangun kehidupan demokrasi
secara nyata dan meluas di masyarakat. Ketiga,
menegaskan upaya menentang kesewenang-wenangan
pemerintah Orde Baru yang menindas kebebasan
berserikat. Jadi, perubahan bentuk organisasi dari
yayasan menjadi perserikatan pada intinya merupakan
hasil proses interaktif antara perkembangan dinamika
internal dan eksternal.
Namun demikian, kesepakatan untuk
melakukan perubahan bentuk organisasi ini disepakati
masih disertai dengan sebuah catatan, yaitu dengan
melewati sebuah proses semacam masa persiapan
yang disebut dengan masa transisi untuk
mempersiapkan organisasi berupa perserikatan.
Dalam kurun waktu tersebut, tuntutan
perubahan bentuk didiskusikan dan diperdebatkan.
Situasi dilematik ini akhirnya berhasil dipecahkan
pada saat organisasi ini mengadakan Kongres
Pertamanya pada tanggal 23 – 25 Maret 1995 di
Bogor. Dalam Kongres tersebut secara resmi
organisasi ini menetapkan dirinya sebagai sebuah
perserikatan (terbatas). Pengertian terbatas di sini
76

dengan catatan bahwa organisasi hanya menerima


calon anggota dalam jumlah yang terbatas, yakni:
mereka yang diyakini telah memiliki komitmen kuat
terhadap penegakan ideologi feminisme. Dalam
Kongres Pertama SP telah disahkan sebanyak 41
orang anggota perserikatan, yang umumnya berlatar
belakang kalangan intelektual/akademisi, profesional,
dan aktivis LSM.
Tidak seperti struktur sebelumnya yang
diketuai oleh Direktur, sejak Kongres I tahun 1995
struktur kepemimpinan Solidaritas Perempuan
menjadi struktur kepemimpinan kolektif. Penting juga
untuk dicatat bahwa perubahan bentuk organisasi
menjadi sebuah perserikatan ini pun disertai dengan
re-definisi visinya secara lebih spesifik:
„memperjuangkan hak-hak perempuan dengan
berpedoman prinsip-prinsip demokrasi, emansipasi,
egalitarian, dan non-sektarian‟. Visi inilah yang
hendak dijadikan titik orientasi PSP dalam
memperjungkan cita-cita tercapainya suatu tatanan
masyarakat yang simetris, berwawasan ekologik dan
gender. Dalam situasi demikian diharapkan baik
perempuan maupun laki-laki memiliki akses dan
kontrol terhadap sumber daya ekonomi, politik, dan
budaya secara adil.
Kongres II Solidaritas Perempuan diadakan di
Yogyakarta pada tanggal 26-28 Juni 1998, dan telah
77

memilih 7 orang pengurus eksekutif untuk periode


kepengurusan tahun 1998-2001. Pada 23-28 Juni
2001, Solidaritas Perempuan mengadakan Kongres
III-nya di Mataram. Dalam Kongres inilah
kepengurusan SP kemudian diefektifkan menjadi
kepengurusan kolektif sesuai dengan fungsi yang lebih
spesifik, dimana kemudian mulai digunakan istilah
Badan Eksekutif Nasional (BEN) yang terdiri dari
Ketua, Koordinator Program dan Bendahara; serta
Dewan Pengawas Nasional yang terdiri dari minimal 3
orang untuk melakukan pengawasan terhadap kerja-
kerja Badan Eksekutif Nasional (DPN). Model
kepengurusan ini masih dipraktekkan sampai saat ini.
Dengan bertambahnya jumlah anggota di
berbagai daerah, anggota kemudian dapat mendirikan
cabangnya sendiri yang dikenal dengan Komunitas
Solidaritas Perempuan. Sampai saat ini telah ada 10
Komunitas SP, dimana struktur kepengurusan juga
dipimpin oleh Badan Eksekutif Komunitas (BEK),
dan Dewan Pengawas Komunitas (DPK) yang dipilih
langsung oleh anggota komunitasnya.
Dalam Kongres IV yang diaksanakan pada 10-
16 Desember 2004 di Makassar. Solidaritas
Perempuan memutuskan adanya struktur Dewan
Komunitas – terdiri dari BEN, DPN, BEK, DPK –
yang bertemu setiap tahunnya dalam Rapat Nasional
Dewan Komunitas untuk membicarakan
78

perkembangan serta perencanaan program dan


keorganisasian. Rapat Nasional Dewan Komunitas
(RNDK) merupakan forum keputusan kedua tertinggi
setelah Kongres. RNDK juga memilih Komite
Program yang terdiri dari 3 orang BEK Komunitas SP
dan 1 BEN untuk memantau perkembangan program
dan kegiatan SP di tingkat nasional dan komunitas.
Kongres V Solidaritas Perempuan pada 20-27
Juni 2008 di Cimanggis, Depok kemudian
memandang fundamentalisme agama merupakan
tantangan gerakan feminis di Indonesia dan
menetapkan isu perempuan dan fundamentalisme
agama untuk masuk dalam program Solidaritas
Perempuan. Solidaritas Perempuan baru saja
mengadakan Kongres VI pada tanggal 19-26 Februari
2012 lalu, dengan tema: “Menguatkan Posisi Politik
Perempuan dalam Menghadapi Pemiskinan”. Kongres
ini telah berhasil memilih Badan Eksekutif Nasional
periode Februari 2012 – Februari 2015. Selanjutnya
Solidaritas Perempuan telah melakukan Kongres VII
di Yogyakarta, 20 – 26 Mei 2015. Kongres VII telah
berhasil memilih Badan Eksekutif Nasional dan
Dewan Pengawas Nasional periode 2015 – 2019
(Wawancara dengan SF, Staf Divisi Penguatan
Organisasi, 2018).
79

3. Struktur Kepengurusan Solidaritas Perempuan


Bagan 3.1
80

4. Visi Lembaga Solidaritas Perempuan


“Mewujudkan tatanan sosial yang demokratis,
berlandaskan prinsip-prinsip keadilan, kesadaran
ekologis, menghargai pluralisme, dan anti kekerasan
yang didasarkan pada sistem hubungan laki-laki dan
perempuan yang setara, dimana keduanya dapat
berbagi akses dan kontrol atas sumber daya alam,
sosial, budaya, ekonomi dan politik secara adil.”
Perserikatan ini berdasarkan keutuhan hak
azasi manusia yang bersifat universal, menolak
diskriminasi terhadap perempuan dan anti kekerasan
terhadap perempuan. Berangkat dari konflik sumber
daya alam untuk menurunkan tingkat penindasan yang
bertujuan untuk mengubah agar lebih adil, demokratis,
menghargai keberagaman, anti kekerasan, dank arena
melihat dari sumberdaya alam SP juga melihat dari
ekologis yang berpengarus terhadap kehidupan
perempuan bagaimana perempuan berelasi dengan
sumber-sumber kehidupannya. Mewujudkan adanya
pengambilan keputusan yang demokratis antara laki-
laki dan perempuan. Perempuan juga harus
menginterfensi dan tidak bisa diwakilkan, perempuan
harus bicara dan perempuan harus tau mereka
memiliki masalah apa (Wawancara dengan SF, Staf
Divisi Penguatan Organisasi, 2018).
81

5. Misi Lembaga Solidaritas Perempuan


a. Turut membangun kekuatan perempuan seluruh
Indonesia.
Jika ingin mencapai suatu tujuan harus kolektif
tidak bisa sendiri guna memperluas gerakan
tersebut. Menjadi kesadaran bersama bahwa
perempuan mengalami penindasan dan kita harus
merubah yang buruk menjadi baik, dan yang tidak
adil menjadi adil.
b. Menjalin kerjasama dengan gerakan perempuan di
seluruh dunia.
Sadarnya adanya kesamaan dari berbagai aspek
perlu adanya kerjasama terutama gerakan di semua
lagisan gerakan perempuan di seluruh dunia.
c. Memperjuangkan dan melakukan pembelaan
terhadap perempuan, terutama kelas marjinal dan
tertindas.
Melakukan fasilitasi secara bertahap melalui tiga
strrategi yaitu pengorganisasian, advokasi dan
kampanye.
d. Memajukan, membela dan meningkatkan
kesadaran hal azasi manusia dengan fokus hak
perempuan.
Melihat situasi masyarakatnya untuk
mengakomodir kebutuhan kepentingan warga
negaranya.
82

e. Memperjuangkan terjadinya perubahan nilai, sikap


dan prilaku yang merupakan manifestasi dari
ideologi patriarkhi.
f. Memperjuangkan nilai-nilai feminis ke dalam
berbagai sistem hukum dan kebijakan .
Perempuan lebih memiliki perspektif kelestarian
alam dan perempuan biasanya lebih berfikir secara
stragis.
g. Melakukan berbagai ikhtiar lain yang sah dan
tidak bertentangan dengan asas dan tujuan
perserikatan.
Melakukan ikhtiar yang lain selama tetap menjaga
keutuhan yang lain karena bukan berarti
perempuan tidak menggunakan patriarkhi
(Wawancara dengan SF, Staf Divisi Penguatan
Organisasi, 2018).
6. Divisi Lembaga Solidaritas Perempuan
a. Kedaulatan Perempuan Atas Tanah
Situasi penghancuran lingkungan dan konflik
sumber daya alam (SDA) dalam 5 (lima) tahun
terakhir ini semakin meningkat dan massif terjadi.
Kehadiran perusahaan transnasional dan
multinasional yang melakukan kegiatan eksploitasi
lingkungan setiap tahun terus bertambah. Ini
terjadi karena pemerintah memberikan dukungan
dan peluang kepada investor untuk mengeruk
sumber daya alam, salah satunya melalui
83

kebijakan Negara seperti UU No. 25 Tahun 2007


tentang Penanaman Modal, UU No. 4 Tahun 2009
tentang Mineral dan Batu Bara, UU No. 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan, dan lainnya. Setiap
kebijakan tersebut telah secara eksplisit
menyebutkan peluang perusahaan untuk dapat
secara leluasa melakukan aktivitas di bidang
tersebut.
Investasi disektor pertambangan, perkebunan
kelapa sawit, kehutanan, masih menjadi unggulan
pemerintah, padahal fakta menunjukkan bahwa
sektor tersebut banyak menimbulkan dampak
negatif, dan sangat sedikit memberikan manfaat
pada masyarakat, khususnya perempuan. Namun
pemerintah masih terus memberikan izin pada
perusahaan untuk aktifitasnya, dukungan
pemerintah tersebut terlihat dengan program
pembangunan infrastuktur melalui MP3EI dengan
tujuan mempermudah investasi.
Dampak negatif yang ditimbulkan mulai dari
rencana kegiatan industri ekstraktif, seperti konflik
lahan, penggusuran, intimidasi warga, hingga
kekerasan fisik. Ketika kegiatan berlangsung
pencemaran udara, air dan tanah, termasuk krisis
air, kerap terjadi. Ini berdampak pada kehidupan
perempuan, dimana hilangnya sumber – sumber
kehidupan mengakibatkan beban kerja perempuan
84

bertambah, semakin terpinggirkan dari akses dan


kontrol sumber daya alam. Terlebih dengan tidak
ada informasi dan dilibatkannya perempuan dalam
rapat pengambilan keputusan, perempuan tidak
memiliki ruang untuk menyampaikan pendapat,
dan pengalaman mereka. Aktifitas industri
ekstraktif juga menjadi salah satu penyumbang
emisi gas rumah kaca, yang menjadi penyebab
perubahan iklim. Ironisnya, solusi-solusi
perubahan iklim yang ditawarkan melalui skema
adaptasi, mitigasi dan perdagangan karbon malah
semakin meminggirkan perempuan dari sumber-
sumber kehidupan dan penghidupannya.
Melihat konteks itu, program Perempuan dan
Konflik Sumber Daya Alam difokuskan untuk
membangun gerakan feminis yang terorganisir
melawan ketidakadilan akibat hilangnya akses dan
kontrol perempuan terhadap sumber-sumber
kehidupan yang terancam dan terkena dampak dari
pengrusakan lingkungan dan eksploitasi SDA
akibat politik Negara dan Non-Negara.
Solidaritas Perempuan telah membangun sebuah
strategi kegiatan dan strategi isu yang
komprehensif, berbasiskan dari konteks
permasalahan Perempuan akar rumput di wilayah
masing-masing dengan dikaitkan trend politik
ekonomi di tingkat global, nasional maupun lokal.
85

Beberapa fokus isu yang kemudian diangkat


adalah:
1) Perempuan dan Kasus Konflik Sumber Daya
Alam, dengan berfokus pada isu
pertambangan, perkebunan kelapa sawit, air
bersih dan pembangunan infrastruktur.
2) Perempuan dan Kebijakan Pengelolaan
Sumber Daya Alam.
3) Perempuan dan Keadilan Iklim dengan
berfokus pada pendanaan iklim serta
mendorong standar aturan perlindungan
Perempuan untuk keadilan iklim.
4) Perempuan dan Lembaga Keuangan
Internasional dengan berfokus pada Kebijakan
dan Proyek ADB dan World Bank
(Wawancara dengan SF, Staf Divisi Penguatan
Organisasi, 2018).
b. Kedaulatan Perempuan Melawan Perdagangan
Bebas dan Investasi
Sistem pertanian di Indonesia merupakan
sistem pertanian tradisional yang sangat menjaga
kesuburan tanah dan nilai kearifan lokal dalam
pengelolaan yang dilakukan secara kolektif oleh
masyarakat. Dalam sistem pertanian tradisional
ini, berlaku pembagian peran antara perempuan
dan laki-laki. Dimana perempuan memiliki peran
yang sangat signifikan dalam pertanian keluarga.
86

Aktivitas seperti pemilihan benih, maupun


pengelolaan tanaman pangan selalu dipercayakan
kepada perempuan. Praktek selama ini,
pengetahuan kearifan lokal dan pengalaman yang
dimiliki perempuan mampu mempertahankan pola
pengelolaan produksi pangan, mulai dari
kesuburan tanah dan benih lokal hingga menjadi
pertanian yang berkelanjutan.
Pada masyarakat pesisir, perempuan juga
selalu menambah nilai jual hasil tangkap dengan
mengolahnya menjadi produk pangan perikanan.
Dalam hal distribusi juga bisa dilihat betapa
perempuan yang banyak menggerakkan pasar-
pasar tradisional, di desa hingga di kota. Bahkan
produk pangan dumahan banyak yang dikelola dan
dijalankan oleh perempuan. Hingga akhirnya
pangan tersedia di atas meja makan untuk
konsumsi keluarga pun tetap dilekatkan menjadi
tanggungjawab bagi perempuan. Dengan
demikian, perempuan dan pangan adalah kedua hal
yang saling terkait dan tak terpisahkan.
Namun perubahan sistem pangan di dunia,
termasuk di Indonesia, telah meminggirkan peran
dan pengetahuan perempuan. Sistem pertanian
tradisional yang dipandang tidak efektif dan
efisien dari segi produksi digantikan dengan sistem
pertanian modern untuk memacu peningkatan hasil
87

produksi. Sumber-sumber produksi pertanian


seperti lahan pun dipaksa untuk bisa mencapai
panen yang berlimpah dalam jangka waktu
sesingkat mungkin. Hingga pada akhirnya petani
secara sistemik dijebak dalam teknologi yang tidak
mampu diciptakannya sendiri. Petani pun menjadi
konsumen/pengguna teknologi yang diciptakan
oleh industri seperti benih unggul, pupuk dan
pestisida kimia sintesis serta alat produksi lainnya.
Mereka didorong untuk menggunakan teknologi
pertanian melalui subsidi yang lagi-lagi dananya
berasal dari dana hutang. Petani pun kehilangan
kreativitas untuk mencari solusi karena kehilangan
kearifan lokal yang secara turun temurun mereka
ketahui dan juga mereka praktekkan.
Perempuan yang selama ini berperan dalam
keanekaragaman hayati dan keberlangsungan alam
menjadi tersingkir. Keahliannya dalam konservasi
berbagai benih tanaman pangan, merawat tanaman
dan mengolah hasilpanen digantikan oleh benih
unggul, pupuk kimia, herbisida dan pestisida yang
diproduksi oleh pabrik. Belum lagi penggunaan
teknologi yang sulit diakses oleh perempuan.
Situasi demikian merupakan peran negara
industri, maupun perusahaan nasional dan
multinasional yang menguasai sektor pangan dunia
sebagai penyedia bibit, pupuk, pestisida dan alat-
88

alat pertanian modern. Serta menjadi peluang bagi


lembaga-lembaga internasional seperti IMF, Bank
Dunia, ADB ataupun WTO (yang merupakan
kelanjutan dari agenda GATT) untuk mendorong
liberalisasi di bidang ekonomi, perdagangan dan
investasi yang pada akhirnya mempengaruhi
kebijakan maupun program/proyek pangan
nasional. Liberalisasi tersebut memaksa Indonesia
untuk membuka pasarnya terhadap produk pangan
impor. Selain menggeser pangan lokal, kehadiran
pangan impor menjadi salah satu sebab terjadinya
pemiskinan terutama perempuan yang hidup dari
sektor pertanian tradisional. Bagi perempuan
miskin kota pun, meski pangan impor melimpah
tetap tidak terjangkau hingga mereka tidak mampu
mengakses pangan di negerinya sendiri yang kaya
raya dengan sumber daya alam.
Alih-alih melindungi kepentingan dan
kesejahteraan rakyat, Pemerintah bersama dengan
legislatif justru memuluskan agenda liberalisasi
dengan mendorong deregulasi kebijakan, hingga
menghasilkan berbagai undang-undang yang
memberi peluang besar bagi swasta dan investor
asing untuk dengan mudahnya menguasai tanah,
sumber daya alam, pasar, dan lainnya. Beberapa
undang-undang tersebut diantaranya adalah UU
Pangan, UU Penanaman Modal, UU Sumber Daya
89

Air, UU Kehutanan, UU Pengadaan Tanah


untukPembangunan, dll. Tak ayal lagi, perempuan
pun kehilangan kedaulatan atas pangannya.
Program perempuan dan kedaulatan pangan
diarahkan untuk memperkuat gerakan feminis
melawan hegemoni negara dan non-negara agar
perempuan mampu menentukan sendiri hak-
haknya atas pangan dalam memproduksi.
Mengelola, mendistribusi, hingga mengkonsumsi
sendiri (Wawancara dengan SF, Staf Divisi
Penguatan Organisasi, 2018).
c. Kedaulatan Perempuan Atas Seksualitas
Meningkatnya trend fundamentalisme di
Indonesia juga telah memperpanjang rantai
ketidakadilan yang dialami perempuan.
Fundamentalisme agama – sebagai sebuah reaksi
dari ketidakberdayaan dalam menghadapi tekanan
dan hegomoni dari kekuatan ekonomi global –
menyebabkan terjadi perlawanan radikal dalam
berbagai bentuk kekerasan. Fundamentalisme yang
berbasiskan perilaku radikal serta interpretasi
dogmatis dan unilateral dari ajaran agama,
digunakan oleh pihak-pihak tertentu sebagai alat
dominasi untuk membatasi tubuh,pikiran dan
mobilitas perempuan. Atas nama moral,
perempuan semkin dimarjinalisasi bahkan
90

dijauhkan dari kesempatan untuk mengembangkan


pemikiran-pemikiran lain dari nilai-nilai agama.
Dalam perkembangannya, fundamentalisme
agama kemudian kawin-mengawin dengan
kepentingan elit politik yang menggunakan
simbol-simbol keagamaan untuk mempertahankan
kekuasannya. Formalisasi syariat Islam di dalam
kebijakan negara khususnya dalam peraturan-
peraturan daerah kini telah menjamur menjadi
lebih dari 190 banyaknya.
Program ini difokuskan pada upaya-upaya
membangun pemahaman dan kesadaran kritis
perempuan akar rumput mengenai trend
fundamentalisme agama, politisasi agama dan hak
otonomi seksualitas dan tubuh perempuan.
Perempuan akar rumput juga didorong melakukan
advokasi kebijakan diskriminatif dan terkait
dengan isu fundamentalisme yang tidak berpihak
dan memiskinkan perempuan. Untuk mencapai
usaha ini, Solidaritas Perempuan penting untuk
membangun komunikasi dengan organisasi-
organisasi dalam elemen masyarakat akar rumput
untuk melawan radikalisasi agama dan kekerasan
atas nama agama yang membatasi tubuh, pikiran
dan mobilitas perempuan (Wawancara dengan SF,
Staf Divisi Penguatan Organisasi, 2018).
91

d. Penguatan Organisasi Perserikatan Solidaritas


Perempuan
Sebagai sebuah organisasi feminis, Solidaritas
Perempuan penting untuk terus melakukan upaya-
upaya untuk penguatan ideologi feminis kepada
anggota SP dan perempuan akar rumput, salah
satunya dengan membangun modul feminis
sebagai alat bantu untuk melakukan penguatan dan
pengorganisasian perempuan di akar rumput.
Solidaritas Perempuan juga perlu untuk terus
meningkatkan kapasitas anggota dan komunitas SP
sesuai dengan kebutuhan dan konteks isu di
wilayah masing-masing serta mendorong
peningkatan keterlibatan anggota SP dalam hal
pertukaran informasi, pengalaman dan kapasitas
antar anggota.
Mandat tersebut difokuskan pada 3 (tiga) misi
utama yang dikembangkan pada tataran, yaitu:
1) Perempuan: memperkuat kelompok-kelompok
perempuan dan masyarakat lainnya yang
dirugikan oleh globalisasi, fundamentalisme
serta kebijakan ekonomi politik yang represif,
destruktif dan eksploitatif.
2) Kebijakan: mendorong perubahan kebijakan
pengelolaan negara dan politik ke arah yang
berpihak pada kepentingan perempuan.
92

3) Organisasi: memperkuat kapasitas Perserikatan


Solidaritas Perempuan sehingga lebih mampu
memperkuat perempuan dan bersama-sama
perempuan akar rumput untuk mampu
mendorong perubahan kebijakan. Mulai dari
penguatan anggota, penguatan sistem
pengelolaan organisasi terutama sistem
pengambilan keputusan, dan memperkuat
fungsi pengelolaan organisasi melalui
perencanaan bersama, pelaksanaan dan
pengawasan.
Program Penguatan Organisasi diarahkan pada
upaya-upaya untuk melakukan penguatan
kapasitas anggota, baik di tingkat pemahaman dan
kemampuan internalisasi ideologi feminis, maupun
terkait pengelolaan dan manajemen organisasi
yang sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip
keorganisasian Solidaritas Perempuan
Untuk mencapai tujuan tersebut, Solidaritas
Perempuan telah membangun sebuah perencaan
program Penguatan Organisasi yang komprehensif
terkait beberapa hal dibawah ini:
1) Penguatan kapasitas anggota dan perserikatan
Solidaritas Perempuan.
2) penguatan sistem kaderisasi perserikatan
Solidaritas Perempuan.
93

3) Penguatan Sistem Pengambilan Keputusan


Solidaritas Perempuan.
4) Pengembangan sistem Perencanaan,
Monitoring dan Evaluasi.
5) Pengembangan sistem database dan informasi
Solidaritas Perempuan (Wawancara dengan
SF, Staf Divisi Penguatan Organisasi, 2018).
e. Perlindungan Perempuan Buruh Migran
Berdasarkan pemantauan kebijakan dan
pengalaman penanganan kasus Solidaritas
Perempuan, Solidaritas Perempuan menilai bahwa
telah terjadi pembiaran negara terhadap
perlindungan hak-hak Buruh Migran Perempuan
dan keluarganya. Situasi tersebut terlihat dengan
lemahnya tanggung jawab negara terkait
perlindungan BMP akibat tidak adanya kebijakan
yang melindungi BMP dan keluarganya secara
komperhensif. Minimnya perlindungan hak BMP
merupakan implikasi dari paradigma pemerintah
yang cenderung mengkomodifikasi BMI dan lebih
mementingkan aspek penempatan daripada
perlindungannya. Hal ini dapat dilihat dari
berbagai kebijakan negara yang bermuara dari UU
No. 39 tahun 2004 tentang Perlindungan dan
Penempatan TKI di Luar Negeri (PPTKILN) yang
lebih melihat buruh migran sebagai entitas
94

komoditas perniagaan dari pada sebagai manusia


yang hak-haknya harus dilindungi.
Pemerintah Indonesia dalam membangun
sistem dan menangani buruh migran belum
mengunakan kerangka HAM. Ini dibuktikan
dengan situasi saat ini dimana Indonesia belum
meratifikasi Konvensi Migran 1990 yang
menjamin perlindungan buruh migran dan anggota
keluarga di semua tahapan proses migrasi
(persiapan bermigrasi, keberangkatan, transit, dan
kepulangan ke Negara asal dan kampong
halaman).
Dalam Konvensi Migran 1990 ini, buruh
migran dilindungi dari kondisi hidup dan kondisi
kerja buruh migrant yang tidak manusiawi, sasaran
penyiksaan atau tindakan kejam, perlakuan tidak
manusiawi atau perlakuan yang menurunkan
martabat; untuk tidak dijadikan budak; kerja
paksa; kekerasan fisik, sexual serta perlakuan yang
buruk. Konvensi ini menjamin hak-hak BM untuk
memiliki kebebasan berfikir, berekspresi dan
beragama, menikmati perlakuan yang tidak
berbeda dari yang diberikan kepada penduduk di
Negara tempat kerja, terkait dengan upah dan
kondisi lain dari pekerjaan serta membentuk
serikat asosiasi dan serikat pekerja, akses terhadap
95

pendidikan, pelayanan kesehatan dan pelayanan


sosial.
Konvensi ini juga menjamin akses BM
terhadap informasi terkait dengan hak mereka;
kesamaan di muka hukum, akses untuk mendapat
pelayanan dan tidak dihukum secara tidak
proporsional seperti pengusiran; hak BM untuk
kembali ke Negara asal; melakukan partisipasi
politik di Negara asal; serta untuk mengirimkan
uang hasil kerjanya ke negara asal. Akibat belum
meratifikasi Konvensi tersebut, pemerintah belum
mempunyai sistem perlindungan BMI serta
kewajiban hukum untuk memenuhi hak-hak buruh
migran sebagaimana tercantum dalam konvensi
tersebut. Dari aspek substansi, UU yang ada yaitu
UUPPTKILN lebih mengatur aspek tata niaga
daripada aspek perlindungan hak-hak buruh
migran. Dari 109 (seratus sembilan) pasal, hanya 8
(delapan) pasal yang berjudul perlindungan. Pun
setelah dianalisa, pasal-pasal tersebut nyatanya
tidak betul-betul melindungi buruh migran.
Dari aspek kinerja aparat pemerintah, terlihat
bahwa respon dan penanganan buruh migran tidak
berjalan secara sistematis dan komprehensif.
Berbagai respon dilakukan hanya bersifat
reaksioner, tanpa menyentuh akar persoalan yaitu
sistem perlindungan buruh migran yang
96

berperspektif gender dan HAM. Akibatnya banyak


buruh migran yang mengalami kesulitan dalam
menuntut dan mengakses hak-haknya yang
terlanggar. Lebih parah lagi, banyak buruh migran
perempuan yang mengalami revictimisasi,
dipersalahkan (victim blaming) pada saat mereka
mencoba menyampaikan pengaduan atau
berkoordinasi dengan aparat pemerintah untuk
menangani kasus pelanggarannya.
Dari aspek budaya hukum, belum adanya
kerangka HAM pada sistem penempatan buruh
migran Indonesia terus menempatkan BMP rentan
terhadap berbagai ketidak adilan gender seperti
stereotyping, sub-ordinasi, beban ganda,
kekerasan, dan diskriminasi. Situasi ini didasarkan
pada pemahaman bahwa Buruh migran terus
dipandang sebagai sumber devisa bagi negara
semata dan luput bahwa buruh migran perempuan
adalah manusia yang melekat hak-haknya baik
sebagai pekerja, sebagai warga negara, maupun
sebagai perempuan.
Cara pandang bahwa buruh migran sebagai
sumber bisnis juga berimplikasi pada
terhambatnya pemenuhan hak-hak mereka. Pihak-
pihak terkait penempatan BMP seperti PPTKIS
dan cabang-cabangnya, sponsor, calo, pelaksana
tes kesehatan, BLK, petugas PAP belum melihat
97

BMP sebagai manusia yang harus dipenuhi


haknya. Pandangan tersebut selain menghambat
perlindungan hak buruh migran juga merentankan
BMP menjadi korban berbagai eksploitasi selama
proses migrasi baik saat sebelum berangkat hingga
kepulangan. Selain itu, aparat pemerintah dan
DPR masih banyak yang menstigma BMP PRT
sebagai pihak yang acapkali menurunkan harkat
martabat bangsa di luar negeri daripada sebagai
warga negara yang harus mendapatkan hak-
haknya.
Mandat program ini diarahkan pada upaya-
upaya untuk membangun gerakan feminis berbasis
pada Buruh Migran Perempuan (termasuk calon
dan mantan) beserta keluarganya untuk melawan
ketidakadilan gender dan pemiskinan akibat poliik
Negara dan non-negara, agar mereka mampu
memiliki akses dan kontrol atas hak-haknya dan
keputusan politik yang menentukan hidupnya.
Dengan penguatan ini, mereka diharapkan
mampu menghadapi kerentanan terhadap prose‟s
migrasi yang tidak aman, trafficking serta HIV dan
AIDS. Selain itu, dapat membangun konsolidasi
diantara komunitas SP dan anggota keluarganya
untuk mendesak pemerintah agar memberikan
jaminan payung hukum perlindungan hak-hak
BMP dan anggota keluarganya melalui ratifikasi
98

Konvensi Migran 1990, serra mendorong


perubahan sistem penempatan dan perlindungan
BMP yang lebih melindungi dari prose‟s yang
melemahkan dan memiskinkan mereka.
Program ini juga diarahkan pada upaya-upaya
menggalang dukungan publik di tingkat lokal,
nasional, regional dan internasional untuk
bersama-sama melindungi BMP dari kerentanan
mereka terhadap trafficking, HIV dan AIDS.
Untuk mencapai mandat tersebut, SP telah
merancang strategi program yang terdiri dari
peningkatan kapasitas, pengorganisasian,
penanganan kasus, serta advokasi dan kampanye.
Integrasi strategi ini ditujukan agar BMP-PRT
dapat mendesakkan adanya perubahan kebijakan
yang lebih melindungi hak-hak BMP dan anggota
keluarganya, antara lain:
1) Mendesakkan ratifikasi Konvensi Migran
1990,
2) Revisi UU No. 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Luar Negeri Indonesia,
3) Mendorong Perlindungan untuk Pekerja
Rumah Tangga,
4) Monitoring Implementasi CEDAW di
Indonesia,
99

5) Monitoring Implementasi MoU terkait dengan


Buruh Migran,
6) Monitoring implementasi UU Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang,
7) Advokasi terkait Kerentanan Buruh Migran
terhadap HIV dan AIDS,
8) membangun instrumen perlindungan BMP di
tingkat regional (ASEAN) dan Internasional
(Wawancara dengan SF Divisi Penguatan
Organisasi, 2018).
7. Program Perlindungan Buruh Migran Perempuan
a. Aktivitas Perlindungan Perempuan Buruh
Migran
Tingginya angka Buruh Migran Indonesia
yang bekerja di Negara-negara anggota ASEAN,
disertai dengan tinggiya kasus kekerasan dan
pelanggaran hak Buruh Migran. Berdasarkan
catatan BNP2TKI, selama 2012 sedikitnya ada
6.364 kasus TKI bermasalah. Jumlah itu tersebar
di Taiwan dengan 2.652 kasus, Singapura 1959
kasus, Hongkong 995 kasus, Malaysia 570 kasus,
Brunei Darussalam 165 kasus, Macao SAR 18
kasus, Korea empat kasus, dan Jepang satu kasus.
Situasi tersebut mendorong Solidaritas
Perempuan (SP) melakukan peningkatan
kapasitas bagi Buruh Migran Perempuan dan
keluarganya mengenai mekanisme ASEAN
100

terkait perlindungan Buruh Migran dan


keluarganya. Dilakukan untuk mendorong
keterlibatan Buruh Migran dalam
memperjuangkan hak-hak mereka termasuk
melalui mekanisme ASEAN.Peningkatan
kapasitas, dilakukan pada 17-18 Januari 2014 di
Sekretariat Nasional SP. Workshop ini
melibatkan 17 Buruh Migran Perempuan yang
berasal dari Karawang dan memiliki pengalaman
bekerja di Malaysia dan Brunei Darussalam.
Workshop juga melibatkan Solidaritas Buruh
Migran Karawang (SBMK).
Melalui workshop selama dua hari
tersebut, para peserta mendapatkan gambaran
mengenai trend Buruh Migran di ASEAN beserta
gambaran kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran
Buruh Migran. Workshop ini juga dihadiri oleh
dua orang narasumber dari LBH Jakarta yang
berbagi mengenai Hak Asasi Manusia,
Mekanisme ASEAN dan Ruang-ruang
Keterlibatan Masyarakat Sipil, dan Inisiatif
Perlindungan Buruh Migran di ASEAN.
Setelah mendapatkan pengetahuan
mengenai ASEAN, serta bagaimana melakukan
advokasi, kampanye, dan penanganan kasus, di
akhir sesi para peserta melakukan
permainan peran untuk mempraktikan
101

bagaiamana melakukan advokasi, kampanye, dan


penanganan kasus. Para peserta juga menguatkan
komitmen mereka untuk membagikan ilmu yang
mereka dapat ketika mereka kembali ke
kampung. Mereka berencana akan melakukan
sejumlah kegiatan, seperti diskusi, hingga
mendorong perlindungan buruh migran di
Karawang, baik melalui advokasi Perda Buruh
Migran, kampanye, maupun Penanganan kasus.
b. Proses Dan Tantangan Penanganan Kasus
Perempuan Buruh Migran
Penanganan kasus yang dilakukan SP
menggunakan metode penanganan kasus litigasi
dan non-litigasi. Litigasi adalah proses
penanganan yang ditempuh melalui jalur hukum
dengan menggunakan ketentuan-ketentuan
hukum nasional yang berlaku. Penanganan
litigasi dimulai dari membuat pengaduan kasus
ke pihak kepolisian (Polsek, Polres, Polda,
Mabes Polri hingga Interpol) kemudian
berlanjut sampai ke proses persidangan.
Sedangkan, penanganan non-litigasi merupakan
strategi bantuan hukum alternatif, biasa
disebut juga penyelesaian kasus diluar jalur
pengadilan. Prosesnya dimulai dengan
melaporkan kasus ke pihak-pihak yang
terlibat atau institusi yang terkait, seperti
102

PPTKIS, BNP2TKI, Kemlu, KBRI/KJRI,


Kemnakertrans, Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak. Proses pelaporan tidak harus
selalu meliputi semua pihak atau institusi di atas,
sangat tergantung dari tingkat penanganan
yang paling mendesak. Sedangkan penanganan
nonlitigasi dilakukan melalui negosiasi atau
mediasi. Cara ini dinilai cukup efektif dari segi
waktu dan tenaga dalam memperjuangkan hak-
hak peremuan buruh migran yang terlanggar
karena pendamping tidak hanya dapat
mengacu pada ketentuan-ketentuan hukum
nasional saja namun juga sekaligus dapat
memberikan pemahaman kepada pihak atau
institusi terkait tentang perspektif dan analisa
feminis yang kita miliki dengan tetap berbasis
pada prinsipprinsip pendekatan hak asasi
manusia. Selain itu, proses penanganan kasus SP
juga dilakukan dengan penguatan kepada PBM
dan anggota keluarganya terkait hak-hak mereka,
serta bersama menentukan langkah-langkah
pembelaannya.
c. Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan Dan
Pelanggaran Hak Perempuan Buruh Migran
Dalam menangani kasus-kasus kekerasan
dan pelanggaran hak Perempuan Buruh Migran,
103

fokus yang dilakukan bukan hanya untuk


penyelesaian kasus, tetapi juga untuk:
1) Pemenuhan hak-hak PBM/ keluarganya.
2) Memberikan penguatan dan pemberdayaan
bagi buruh migran/keluarga buruh migran
serta dapat menemukan solusi yang terbaik
bagi buruh migran/keluarga buruh migran.
3) Mendorong adanya perubahan kebijakan
yang melindungi buruh migran, dan
mempunyai perspektif Hak Asasi
Manusia. Apabila dalam proses
penanganan kasus ditemukan pasal
peraturan yang tidak adil bagi buruh
migran, kemudian pasal-pasal tersebut
akan dianalisa untuk dijadikan bahan
advokasi kebijakan. Selain itu, kebutuhan
kampanye kasus menjadi bagian yang
sangat penting untuk memperoleh
dukungan publik. Bentuk-bentuk
kampanye kasus yang biasa dilakukan,
antara lain melalui konferensi pers,
pembuatan dan penyebaran leaflet, dan
diskusi publik di daerah asal buruh
migran.1

1
Data diperoleh dari wawancara dengan kakak Suci Fitri Tanjung
Divisi Penguatan Organisasi pada tanggal 6 September 2018.
104

B. Gambaran Umum Lokasi Penelitian


1. Letak Geografis
Solidaritas Perempuan (SP) terletak di Jl.
Kemuning VI No. 83 RT. 015 RW. 06 yang
merupakan bagian dari wilayah Kelurahan Pejaten
Timur, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Wilayah ini terletak tidak jauh dari pusat keraamaian
kota antara Stasiun Kereta Api Pasar Minggu dan
Terminal Pasar Minggu.
Wilayah Pejaten Timur ini memiliki luas ±
267,83 Ha yang terdiri dari Rukun Warga (RW)
sebanyak 11, Rukun Tetangga (RT) 146, Kepala
Keluarga (18.977). Kependudukan wilayah Kelurahan
Pejaten Timur dengan Batas-batas wilayah sebagai
berikut,
a. Utara : Jl. Kalibata Timur dan Jl. Empang.
b. Timur : Kali Ciliwung.
c. Selatan : Jl. Pol Tangan dan Jl. Gunuk Raya.
d. Barat : Jl. Raya Pasar Minggu dan Jl. Raya
Tanjung Barat.
BAB IV
ANALISIS TEMUAN LAPANGAN
Salah satu kelompok perempuan yang sering
mengalami ketidakadilan adalah para buruh migran
perempuan. Ketidak adilan yang mereka alami terjadi berlapis
dari sebelum berangkat ke luar negeri, di negara yang mereka
datangi, bahkan sampai kepulangan mereka kembali ke
Indonesia.
Berdasarkan pemantauan kebijakan dan pengalaman
penanganan kasus Solidaritas Perempuan, SP menilai bahwa
telah terjadi pembiaran negara terhadap perlindungan hak-hak
Buruh Migran Perempuan dan keluarganya. Situasi tersebut
terlihat dengan lemahnya tanggung jawab negara terkait
perlindungan Buruh Migran Perempuan akibat tidak adanya
kebijakan yang melindungi Buruh Migran Perempuan dan
keluarganya secara komperhensif. Minimnya perlindungan
hak Buruh Migran Perempuan merupakan implikasi dari
paradigma pemerintah yang cenderung mengkomodifikasi
Buruh Migran Perempuan dan lebih mementingkan aspek
penempatan daripada perlindungannya. Hal ini dapat dilihat
dari berbagai kebijakan negara yang bermuara dari UU No.
39 tahun 2004 tentang Perlindungan dan Penempatan TKI di
Luar Negeri (PPTKILN) yang lebih melihat buruh migran
sebagai entitas komoditas perniagaan dari pada sebagai
manusia yang hak-haknya harus dilindungi.
Pemerintah Indonesia dalam membangun sistem dan
menangani buruh migran belum mengunakan kerangka HAM.

105
106

Ini dibuktikan dengan situasi saat ini dimana Indonesia belum


meratifikasi Konvensi Migran 1990 yang menjamin
perlindungan buruh migran dan anggota keluarga di semua
tahapan proses migrasi (persiapan bermigrasi, keberangkatan,
transit, dan kepulangan ke Negara asal dan kampong
halaman).
Dalam Konvensi Migran 1990 ini, buruh migran
dilindungi dari kondisi hidup dan kondisi kerja buruh migrant
yang tidak manusiawi, sasaran penyiksaan atau tindakan
kejam, perlakuan tidak manusiawi atau perlakuan yang
menurunkan martabat; untuk tidak dijadikan budak; kerja
paksa; kekerasan fisik, sexual serta perlakuan yang buruk.
Konvensi ini menjamin hak-hak BM untuk memiliki
kebebasan berfikir, berekspresi dan beragama, menikmati
perlakuan yang tidak berbeda dari yang diberikan kepada
penduduk di Negara tempat kerja, terkait dengan upah dan
kondisi lain dari pekerjaan serta membentuk serikat asosiasi
dan serikat pekerja, akses terhadap pendidikan, pelayanan
kesehatan dan pelayanan sosial.
Konvensi ini juga menjamin akses Buruh Migran
terhadap informasi terkait dengan hak mereka, kesamaan di
muka hukum, akses untuk mendapat pelayanan dan tidak
dihukum secara tidak proporsional seperti pengusiran; hak
Buruh Migran untuk kembali ke Negara asal melakukan
partisipasi politik di Negara asal serta untuk mengirimkan
uang hasil kerjanya ke negara asal. Akibat belum meratifikasi
Konvensi tersebut, pemerintah belum mempunyai sistem
107

perlindungan BMI serta kewajiban hukum untuk memenuhi


hak-hak buruh migran sebagaimana tercantum dalam
konvensi tersebut. Dari aspek substansi, UU yang ada yaitu
UUPPTKILN lebih mengatur aspek tata niaga daripada aspek
perlindungan hak-hak buruh migran. Dari 109 (seratus
sembilan) pasal, hanya 8 (delapan) pasal yang berjudul
perlindungan. Pun setelah dianalisa, pasal-pasal tersebut
nyatanya tidak betul-betul melindungi buruh migran.
Dari aspek kinerja aparat pemerintah, terlihat bahwa
respon dan penanganan buruh migran tidak berjalan secara
sistematis dan komprehensif. Berbagai respon dilakukan
hanya bersifat reaksioner, tanpa menyentuh akar persoalan
yaitu sistem perlindungan buruh migran yang berperspektif
gender dan HAM. Akibatnya banyak buruh migran yang
mengalami kesulitan dalam menuntut dan mengakses hak-
haknya yang terlanggar. Lebih parah lagi, banyak buruh
migran perempuan yang mengalami revictimisasi,
dipersalahkan (victim blaming) pada saat mereka mencoba
menyampaikan pengaduan atau berkoordinasi dengan aparat
pemerintah untuk menangani kasus pelanggarannya.
Dari aspek budaya hukum, belum adanya kerangka
HAM pada sistem penempatan buruh migran Indonesia terus
menempatkan Buruh Migran Perempuan rentan terhadap
berbagai ketidak adilan gender seperti stereotyping, sub-
ordinasi, beban ganda, kekerasan, dan diskriminasi. Situasi ini
didasarkan pada pemahaman bahwa Buruh migran terus
dipandang sebagai sumber devisa bagi negara semata dan
108

luput bahwa buruh migran perempuan adalah manusia yang


melekat hak-haknya baik sebagai pekerja, sebagai warga
negara, maupun sebagai perempuan.
Cara pandang bahwa buruh migran sebagai sumber
bisnis juga berimplikasi pada terhambatnya pemenuhan hak-
hak mereka. Pihak-pihak terkait penempatan Buruh Migran
Perempuan seperti PPTKIS dan cabang-cabangnya, sponsor,
calo, pelaksana tes kesehatan, BLK, petugas PAP belum
melihat BMP sebagai manusia yang harus dipenuhi haknya.
Pandangan tersebut selain menghambat perlindungan hak
buruh migran juga merentankan BMP menjadi korban
berbagai eksploitasi selama proses migrasi baik saat sebelum
berangkat hingga kepulangan. Selain itu, aparat pemerintah
dan DPR masih banyak yang menstigma BMP PRT sebagai
pihak yang acapkali menurunkan harkat martabat bangsa di
luar negeri daripada sebagai warga negara yang harus
mendapatkan hak-haknya.
Mandat program ini diarahkan pada upaya-upaya
untuk membangun gerakan feminis berbasis pada Buruh
Migran Perempuan (termasuk calon dan mantan) beserta
keluarganya untuk melawan ketidakadilan gender dan
pemiskinan akibat poliik Negara dan non-negara, agar mereka
mampu memiliki akses dan kontrol atas hak-haknya dan
keputusan politik yang menentukan hidupnya.
Pemberdayaan merujuk pada kemampuan orang,
khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka
mempunyai kekuatan atau kemampuan dalam pertama,
109

memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki


kebebasan (freedom), dalam arti bukan saja bebas
mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan,
bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan. Kedua
menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan
mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh
barng-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan, ketiga
berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-
keputusan yang mempengaruhi mereka (Suharto 2005, 57).
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teori
pemberdayaan yang dilakukan Solidaritas Perempuan di
karenakan adanya pemberdayaan yang dilakukan Solidaritas
Perempuan dalam bentuk penguatan terhadap buruh migran
dan keluarganya. Berikut hasil wawancara dengan SC selaku
staff penguatan organisasi:
“Pemberdayaan jelas karena bagian dari strategi
kita, supaya perempuan itu bisa kritis. Mandat kita itu
jelas. Yaitu perempuan marginal tidak punya akses,
control, edukasi rendahpokoknya sangat terbatas lah
ruang-ruang dan juga akses. Kita sebutnya
perempuan marginal dikampung” (Wawancara
dengan SF Staf Penguatan Organisasi, 2018).

Hal yang sama juga di ungkapkan oleh YN, selaku


staff Penanganan Kasus Divisi Perlindungan Buruh Migran
dan Keluarganya. Berikut penuturannya:
“Pemberdayaan sih kalo kita itu istilahnya penguatan
ya, penguatan terhadap buruh migran perempuan dan
keluarganya. Nah penguatannya dari mana ya dari
diskusi-diskusi, peningkatan-peningkatan kapasitas,
melibatkan mereka dalam kegiatan-kegiatan SP,
110

Mengikut sertakan mereka dalam penangan kasus di


SP” (Wawancara pribadi dengan AY Staf
Penanganan Kasus Divisi Perlindungan Buruh Migran
Dan Keluarganya, 2018).

Jika melihat dari sejarah berdirinya Solidaritas


Perempuan terbentuk atas dasar banyaknya isu-isu perempuan
terkait konflik perempuan yang terjadi karena pemikiran
tentang kurang edukasi yang dimiliki oleh masyarakat dalam
melihat perempuan yang masih dilihat entitas yang tidak
penting didalam masyarakat. Selanjutnya peneliti fokus pada
divisi perlindungan buruh migran dan keluarganya. Seperti
yang disampaikan oleh saudari SC, berikut penuturannya:
“SP tidak melihat isu secara tekotak-kotak tetapi
menjadi satu kesatuan, tidak semua perempuan punya
akses terhadap sumber-sumber kehidupan sehingga
perempuan buruh migran menjadi minim
perlindungan dari Negara. Kemarin tanggal 29 ada
yang di eksekusi mati di arab Saudi, jadi itu juga tidak
ada pemberitahuan ke pemerintah serta keluarga. Itu
terjadi dibanyak tempat tidak ada aperlindungan
sama sekali, sudah di kampong halamannya tidak ada
penghidupan sama sekali dinegara orang tidak
mendapat perlindungan. Padahal devisa yang masuk
kenegara masuk kedalam lima desar devisa Negara.
Dilain sisi kita tidak sepakat pada mobilisasi
perempuan, ada monatorium atau pemberentian
pengiriman buruh migran ke Negara-negara lain.
Menurut kita mobilitas itu adalah hak kita. Jadi hak
untuk berpindah itu menjadi hak kita. Tapi Negara itu
harusnya melindungi orang-orang yang memobilisasi
bukan memberhentikan mobilisasi tersebut. Pilhan itu
kita yang mengambil,, yang perludi lihat didesa itu
111

adalah latar belakang kenapa mobilisasi, misalkan


karena sudah tidak punya tanh. Tanahnya sudah
diambil sama perusahaan, terus kita melarang dia
untuk tidak bekerja” (Wawancara pribadi dengan SF
Staf Penguatan Organisasi, 2018).

Dari pernyataan di atas yang disampaikan oleh Staf


Penguatan Organisasi Divisi Perlindungan Buruh Migran
Perempuan dan Keluarganya yang terbentuk atas kurangnya
akses-akses kehidupan yang dimiliki buruh migran
perempuan serta minimnya perlindungan dari Negara. Untuk
itu peranan yang diberikan oleh Lembaga Solidaritas
Perempuan ini lahir dari suatu harapan-harapan masyarakat
khususnya buruh migran perempuan dan keluarganya yang
tidak mendapatkan hak-haknya.

A. Peran Lembaga Solidaritas Perempuan Dalam


Perlindungan Bagi Buruh Migran Perempuan Dan
Keluarganya
Berdasarkan uraian Bab II mengenai peran,
lembaga Soliaritas Perempuan dalam perlindungan buruh
migran perempuan dan keluarganya. Solidaritas
Perempuan khususnya divisi perlindungan buruh migran
perempuan dan keluarganya adalah lembaga yang
bertujuan untuk
“Terwujudnya perlindungan yang komprehensif
terhadap buruh migran perempuan dan
keluarganya” (Wawancara pribadi dengan AY
Staf Penanganan Kasus Divisi Perlindungan Buruh
Migran Dan Keluarganya, 2018)
112

Terwujudnya perlindungan yang komprehensif


terhadap buruh migran perempuan dan keluarganya
sejalan dengan perspektif Solidaritas Perempuan yaitu
perspektif feminisme khususnya dalam program
perlindungan buruh migran perempuan dan keluarganya.
“Perspektif kita kan perspektif feminis ya
bagaimana melihat relasi antara laki-laki dan
perempuan, dan kerentanan perempuan, karena
bagaimanapun kita melihat migrasi ini berwajah
perempuan karena kebanyakan buruh migran
yang bekerja di luar negri itu adalah perempuan
dan kebanyak dari perempuan yang bekerja di
luar negri itu sebagai PRT. Nah PRT itu kan
pekerjaan-pekerjaan domestik yang sampai
sekarang itu di anggap informal oleh Negara
(Wawancara pribadi dengan SF Staf Penguatan
Organisasi, 2018).”

Oleh karena perspektif feminis yang digunakan itu


peneliti akan melihat keberperanan Lembaga Solidaritas
Perempuan terhadap buruh migran khususnya perempuan,
dalam kaca mata masyarakat dan klien Solidaritas
Perempuan.
Menurut Soejono Soekanto, peran adalah suatu
perilaku individu yang penting bagi struktur sosial
masyarakat, dan dapat dikatakan bahwa orang tersebut
memiliki suatu kedudukan dalam masyarakat, maka ia
pun melaksanakan suatu perannya tersebut dengan
memperhatikan hak dan kewajibannya (Soekanto 1988,
220).
113

Seperti yang diketahui Lembaga Solidaritas


Perempuan merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat
yang salah satu fokusnya adalah perlindungan terhadap
buruh migran perempuan. Peneliti memilih teori peran ini
karena melihat harapan masyarakat terhadap Lembaga
Solidaritas Perempuan untuk membantu mendampingi
serta melindungi korban buruh migran perempuan.
Menurut Grass Massan dan A. W Eachern
sebagaimana dikutip oleh David Berry mendefinisikan
peranan sebagai seperangkat harapan-harapan yang
dikenakan pada individu yang menepati kedudukan sosial
tertentu. Harapan tersebut masih menurut Berry,
merupakan pertimbangan dari norma-norma sosial, oleh
karena itu dapat dikatakan peranan itu ditemukan oleh
norma-norma dimasyarakat. Artinya seseorang
diwajibkan untuk melakukan hal-hal yang diharapkan
oleh masyarakat didalam pekerjaanya dan dalam
pekerjaan-pekerjaan lainnya (Massan dan Eachen 2003,
99-100).
Dari penjelasan tersebut di atas, terlihat suatu
gambaran bahwa yang dimaksud dengan peranan
merupakan kewajiban-kewajiban dan keharusan-
keharusan yang dilakukan seseorang maupun suatu
organisasi atau lembaga karena kedudukannya di dalam
status tertentu dalam suatu masyarakat di mana ia
berbeda. Peranan yang dilakukan oleh Lembaga
Solidaritas Perempuan suatu kewajiban yang harus
114

dilakukan melihat harus adanya keadilan untuk seluruh


lapisan masyarakat dan timbullah harapan dari buruh
migran perempuan dan keluarganya serta masyarakat
yang melihat bahwa kurangnya perlindungan kepada
buruh migran perempuan di Negara ini.
Dari penelitian yang sudah peneliti lakukan,
Menurut Jim Ife, peran yang terkait dengan
pengembangan/pemberdayaan masyarakat adalah yang
ada kaitan eratnya dengan intervensi kepada masayarakat,
antara lain sebagai berikut (Fahrudin, 61):
1. Peran pertama adalah memfasilitasi komunitas
sasaran.
Kategori yang pertama dalam peran terkait
pemberdayaan yang dipaparkan oleh Jim Ife adalah
memfasilitasi komunitas sasaran. Menurut Jim Ife
memfasilitasi komunitas sasaran adalah dapat
melakukan mediasi dan negosiasi, memberikan
dukungan, memfasilitasi kelompok, memanfaatkan
sumber daya dan keterampilan dan mengorganisir.
Sedangkan menurut peneliti memfasilitasi komunitas
sasaran adalah upaya penyelesaian konflik pada kasus
yang dihadapi klien dengan berinteraksi dengan pihak-
pihak yang terlibat seperti memberikan dukungan,
mencari solusi dan dapat membuat seseorang terampil
dalam bermasyarakat.
Pihak Solidaritas Perempuan terhadap buruh
migran melakukan fasilitasi komunitas sasaran pada
115

buruh migran perempuan dan keluarganya. Dari


temuan lapangan yang peneliti temukan, berikut hasil
wawancara dengan NH dan M, selaku mantan buruh
migran perempuan:
“SP mendampingi saya dan keluarga ke polres
tabes, ke kantor DPTKI, SP mendampingi saya
terus dalam menangani kasus yang sedang
saya alami bersama suami yang belum balik
juga ke Indonesia. SP juga memberikan saya
semangat, motivasi agar tidak terlalu merasa
takut menghadapi masalah sebegini beratnya”
(Wawancara dengan NH Mantan buruh migran
dan keluarga, 2018).
“SP ngasih gambaran cara-caranya, SP
nganter saya ke pihak asuransi dianter
departemen luar negri dianter, kan saya ga tau
tuh cara-caranya bagaimana. Ke PT juga
minta surat-surat berkas-berkas gimana
caranya, SP memberikan prosedurnya, pihak
SP membantu mengantar dan semuanya deh”
(Wawancara dengan MN Mantan buruh
migran dan keluarga, 2018).

Berdasarkan pernyataan di atas Solidaritas


Perempuan selalu menfasilitasi kliennya dengan
mendampingi dalam keadaan apapun dan kemanapun
saat proses penangan kasus berlangsung. Solidaritas
Perempuan juga memberikan gambaran prosedur
selama penanganan kasus berlangsung terhadap
keluarga korban buruh migran perempuan.
“Pertama prosedurnya tuh SP ngasih
gambaran. Pihak SP mau bagaimana ke
keluarga, nah saya menyerahkan kuasa ke
pihak SP biar menyerahkan urusannya ke
pihak SP, jadi keluarga saya merasa dibantu,
116

karena pihak Taiwan memulangkan zenazah


harus lengkap semua surat-suratnya. Terus SP
nganter saya ke pihak asuransi dianter, di
depatemen luar negri dianter, kan saya ga tau
tuh cara-caranya bagaimana. Ke PT juga
minta surat-surat berkas-berkas gimana
caranya, kan saya gak tau cara-caranya. SP
memberikan prosedurnya” (Wawancara
dengan MN Mantan buruh migran dan
keluarga, 2018).

Dari wawancara dengan saudara NH dan MN


kita melihat fungsi peran dari Lembaga Solidritas
yang selalu memberi arahan serta prosedur yang harus
dilakukan untuk buruh migran perempuan dan
keluarga dalam proses penanganan kasus yang
dialaminya. Lembaga Solidaritas Perempuan
memfasilitasi komunitas-komunitas sasaran salah
satunya dalam divisi ini yaitu berfokus pada buruh
migran perempuan dan keluarganya. Memfasilitasi
disini sesuai kebutuhan kliennya tersebut dan dalam
bentuk-bentuk penguatan kepada kliennya tersebut.
2. Peran kedua adalah membangkitkan kesadaran
masyarakat, menyampaikan informasi,
mengkonfrontasikan dan latihan.
Peran kedua ini menurut Ife adalah dapat
membangkitkan kesadaran masyarakat, dapat
menyampaikan informasi dan mengkonfrontasikan
serta adanya pelatihan. Sedangkan menurut peneliti
Solidaritas Perempuan tidak hanya menangani kasus
117

yang ditanganinya saja tapi juga memotivasi buruh


migran perempuan dan keluarganya dalam
menghadapi masalahnya dan tidak hanya pada saat
permasalahannya berlangsung tetapi Solidaritas
Perempuan selalu memonitor setelah permasalahannya
selesai.
“Utamanya sih motivasi untuk saya ga putus
asa, untuk saya bisa semangat lagi,
memberikan motivasi yang positif lah agar
saya ga down pulang dari singapur itu. Dan
juga memberikan jalan keluar juga dari
masalah saya itu” (Wawancara dengan RN
Mantan buruh migran dan keluarga, 2018).

Dengan keberperanan Solidaritas Perempuan


dalam memotivasi Buruh migran perempuan dan
keluarga dirasa sangat berpengaruh untuk
membangkitkan semangat dalam mencari jalan keluar
penangan kasus. Motivasi yang dilakukan ini
membuat semangat baru dalam menanggapi masalah
buruh migran perempuan ini. Mereka jadi memiliki
visi misi yang jelas dan positif untuk kedepannya.
Selanjutnya saudari TD yang juga mantan
buruh migran ikut dalam berbagi pengalamannya pada
saat adanya diskusi kampung diadakan.
“Kaka tuh diajakin ikut kaya seminar gitu
Kaka si pengen ikut aja, jadi pas Kaka kesana
tuh ternyata solidaritas perempuan itu terfokus
kesitu jadi Kaka diminta bercerita begini-
begitu, itu pertama kalinya kaka ngasih tau ke
orang-orang kalau pengalaman disana tuh gak
118

enak” (Wawancara dengan TD Mantan buruh


migran dan keluarga, 2018).
Solidaritas Perempuan juga membuat diskusi
kampung dengan menjelaskan gender dan
semacamnya untuk membangkitkan kesadaran
dilingkungan tersebut. Solidaritas Perempuan juga
mengadakan learning cycle untuk berbagi pengalaman
guna melahirkan paralegal-paralegal. Bersama mantan
kliennya untuk bersama-sama membantu saudara dan
teman yang mengalami permasalahan seperti mereka
dan memberi tahu keadaan yang harus dilakukan
untuk menangani kasus serupa.
“Tadinya saya malu berbicara sekarang bisa
berbicara membela yang benar. Dulunya ga
tau cara membela perempuan jadinya tahu
cara membela perempuan” (Wawancara
dengan NH Mantan buruh migran dan
keluarga, 2018).

Dari pernyataan tersebut terlihat sedikit demi


sedikit hasilnya, adanya peningkatan kapasitas dari
pelatihan yang dilakukan oleh lembaga solidaritas
perempuan. Peserta pelatihan-pelatihan yang menjadi
peserta pada diskusi kamupung dan traning paralegal
juga diberi penyadaran, motivasi, dan informasi
seputar permasalahan-permasalah yang ada disekitar
mereka terutama permasalahan seputar prosedur
keberangkatan, prosedur penanganan kasus jika
bermasalah dan tata cara pelatihan menjadi muruh
migran diluar negeri.
119

“Yang pertama pengorganisasian sebenarnya


adalah bagaiman kita menguatkan perempuan,
ada pendidikan kritis didalamnya. Bagaimana
perempuan melihat dia sebagai entitas di
sosial, entitas dari warga Negara, salah satu
entitas warga Negara dia perlu kritis melihat
situasi sosial. Perempuan itu banyak beban
hidup, dia perlu dan juga dia dilihat sebagai
entitas yang tidak penting didalam
masyarakat, yang tidak diakui ya, perempuan
itu punya edukasi yang sangat rendah jadi dia
tidak bias mengakses pendidikan. Dari Rahim
aja sudah punya kunsumsi banyak nanti harus
jadi A, B, C, D. tergantung membentuk
perempuan itu sendiri jadi seperti misalnya
perempuan tidak biasa bicara. Dia tidak bisa
mengekspresikan yang dirasakan, dari situ kita
mendorong perempuan untuk bicara. Apa sih
yang dirasakan bagaiman dia harus bertani,
menjadi nelayan tapi dirumah harus juga
mengerjkan urusan rumah tangga dan tidak
bias berbagi dengan suami, sebenarnya
polanya partner ship karena sama-sama
bekerja diluar” (Wawancara dengan SC Staf
Penguatan Organisasi, 2018).

Pada saat diskusi-diskusi yang diberikan oleh


Lembaga Solidaritas Perempuan ini terlihat adanya
usaha untuk penyadaran kepada peserta diskusi.
Penyadaran dan edukasi yang diberikan ini berbasis
gender, bagaimana khususnya perempuan dilihat
sebagai entitas warga negara. Akses pendidikan yang
memadai juga merupakan jembatan terhadap suatu
keadilan. Selanjutnya penguatan juga selalu diberikan
agar bertambah kepercayaan dirinya.
120

3. Peran ketiga adalah peran sebagai wakil


masyarakat dalam hal mencari sumber daya,
advokasi, memanfaatkan media, membina
hubungan masyarakat, mengembangkan jaringan,
membagi pengetahuan dan pengalaman.
Peran ketiga menurut ife adalah peran sebagai
wakil masyarakat dalam hal mencari sumber daya,
advokasi, memanfaatkan media, membina hubungan
masyarakat, mengembangkan jaringan, membagi
pengetahuan dan pengalaman. Sedangkan menurut
peneliti adalah peran disini sebagai perwakilan
lembaga swadaya masyarakat untuk memecahkan
kasus contohnya melalui advokasi dan melalui
kampanye.
“Setelah Itu kita membawa perempuan-
perempuan yang sudah diedukasi itu pada
ranah advokasi bagaimana pengakuan-
pengakuan terhadap perempuan itu yang
sebelumnya tidak diakui tapi itu harus diakui
dulu, akhirnya barulah kebijakan-kebijakan
yang itu harus berperspektif perempuan yang
selama ini dikesampingkan jadi perempuan
harus terlibat dalam semua proses
pengambilan keputusan termasuk juga pada
kebijakannya bukan hanya dilihat sebagai
objek kebijakan selama ini perempuan tidak
bisa mengintervensi., dalam kebijakan
dirumuskan perempuan harus apa, tetapi pada
perumusannya perempuan tidak dilibatkan.”
(Wawancara dengan SC Staf Penguatan
Organisasi, 2018).
121

Tujuan advokasai pada dasarnya untuk


mengubah kebijakan program atau kedudukan dari
sebuah pemerintahan, institusi atau organisasi. Tujuan
advokasi di Solidaritas Perempuan adalah untuk
memberikan pedampingan bagi buruh migran
perempuan dan keluarganya berkaitan permasalahan
yang dihadapi mereka terutama hukum. Secara umum
tujuannya untuk memberikan komitmen dan dukungan
dalam upaya penyelesaian permasalahan, maupun
berbagai bentuk lainnya sesuai dengan prioritas kasus.
Dari tujuan advokasi yang sudah dijelaskan diatas
peneliti dapat menyimpulkan bahwa tujuan advokasi
adalah untuk memberikan pemahaman dan bantuan
hukum terhadap buruh migram perempuan dan
keluarganya dalam memperjuangkan terpenuhinya
hak-hak mereka.
“Harapannya konsistensi dan yang paling
penting adalah regenerasi, ada orang-orang
yang punya keresahan bersama terkait dengan
situasi hari ini, khususnya anak-anak muda.
Kita juga lagi bangun gerakan anak muda
yang mau mendengar isu perempuan isu
feminis dan tidak lagi melihat isu feminis
mengada ada. Kalo-kalo itu terjadi disekitar
kita dan tidak melihat lagi isu feminis itu
stigma-stigma misalnya feminis itu ngekang
banget padahal sebelum dideklarasikan.
Feminis itu kan Cuma nama, tapi perjuangan
soal bagaimana perempuan menuntut haknya
indonesia sudah lebih dulu dari pada ideologi
feminis itu sendiri efeknya itu sendiri
122

terminology yang ada didunia akademis kita


masyarakay tuh ga punya nama atas semua
perjuangan itu. Tapi karena mengenalnya
feminis jadi harapannya feminis tidak
dianggap sebagai pengaruhan laki-laki dan
segala macem karena bermitra bukan siapa
mendominasi siapa. Nah SP sangat menentang
perempuan yang dominan gak boleh
perempuan juga melakukan kekerasan itu juga
kita menentang itu tidak hanya laki-laki.”
(Wawancara dengan SC Staf Penguatan
Organisasi, 2018).

Lembaga Solidaritas Perempuan sebagai wakil


masyarakat dalam hal mencari sumber daya, salah
satunya mencari regenerasi yaitu anak-anak muda
yang memiliki kepedulian yang sama berbasis
feminis. Yang mau mendengar isu perempuan tidak
lagi melihat isu feminis mengada-ada jika terjadi
disekitar kita dan tidak melihat lagi isu feminis itu
suatu stigma yang mengekang. Jadi sangat penting
sekali mencari sumber daya manusia untuk
meregenerasi demi berelanjutan kearah yang lebih
baik.
“Kita kan punya kerja sama jaringan ya, Baik
itu level daerah maupun regional, dan
internasional” Wawancara dengan AY STAF
Penanganan Kasus Divisi Perlindungan Buruh
Migran Dan Keluarganya, 2018).

Mengembangkan jaringan di Solidaritas


Perempuan juga berguna dalam proses mengadvokasi
kasus yang masuk. Dengan adanya kerja sama
123

jaringan dirasa berguna untuk membantu buruh


migran dan keluarganya dalam proses penyelesaian
masalah mereka.

B. Bentuk-Bentuk Perlindungan Dan Pemberdayaan


Buruh Migran Perempuan Dan Keluarganya
Perlindungan dan pemberdayaan Di Solidaritas
Perempuan merujuk pada kemampuan orang, khususnya
kelompok rentan dan lemah (buruh migran perempuan/
keluarganya) sehingga mereka mempunyai kekuatan atau
kemampuan dalam pertama, memenuhi kebutuhan
dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom),
dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat,
melainkan bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan,
bebas dari kesakitan dan mendapatkan hak yang adil.
Kedua menjangkau sumber-sumber produktif yang
memungkinkan mereka dapat meningkatkan
pendapatannya dan memperoleh barng-barang dan jasa-
jasa yang mereka perlukan, ketiga berpartisipasi dalam
proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang
mempengaruhi mereka (Zakiyah 2010, 44).
124

Tabel 4.1
BAGAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
MELALUI PERLINDUNGAN BURUH MIGRAN
PEREMPUAN DAN KELUARGA DI LEMBAGA
SOLIDARITAS PEREMPUAN
NO Program Kegiatan Dampak Hasil

1 Penguatan Diskusi Pengetahuan Masyarakat setempat


Kapasitas Kampung dan dapat
dan mengedukasi mengimplementasika
Pelatihan. terhadap n dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari dan ketika
setempat memiliki
permasalahan yang
serupa.
Traning Buruh migran Paralegal-paralegal
Paralegal perempuan yang sudah
(termasuk calon mendapatkan traning
dan mantan dapat membantu dan
Buruh Migran menguatkan korban
Perempuan) buruh migran
mengerti perempuan yang
prosedur bermalasah.
penanganan
kasus korban
buruh migran
Solidaritas
Perempuan.
Learning Belajar dari Lebih memahami
Cycle pengalaman seluk beluk dalam
terdahulu dalam penanganan kasus
menangani selanjutnya.
kasus buruh
migran
perempuan
Penguatan Mendapat Lebih tenang dalam
Buruh penguatan Pra menangani dan
125

Migran dan penanganan terarah dalam


Keluarga kasus menangani kasus
berlangsung dan yang berlangsung
selesai kasus.
2. Advokasi Advokasi Litigasi Proses penanganan
Kasus kasus yang ditempuh
melalui jalur hukum
dengan menggunakan
ketentuan-ketentuan
hukum nasional yang
berlaku
Non-Litigasi Penyelesaian kasus
diluar jalur
pengadilan.
Advokasi Agar kebijakan Meratifikasi
kebijakan itu mempunyai kebijakan yang masih
perspektif yang kurang sesuai dengan
sesuai dengan realita buruh migran
keadaan yang ada.
sekarang
terhadap buruh
migran
3. Audiensi Audiensi Pemerintah Pemerintah
dengan sadar melakukan upaya-
Pemerintah perlindungan upaya kearah
buruh migran perbaikan
perempuan perlindungan Buruh
diluar negri Migran Indonesia
beserta khususnya
kerentanan- Perempuan.
kerentanan yang
terjadi disana.
Diskusi Memahami Lebih kritis dalam
tentang jaminan hukum kebijakan buruh
Kebijakan- untuk buruh migran yang ada dan
kebijakan migran aktif memberikan
buruh perempuan. saran terkait
migran Beserta realita pelaksanaan
perempuan yang terjadi perlindungan buruh
di luar negri sekarang. migran khususnya
126

perempuan.
4. Sosialisasi Kampanye Mata Meratifikasi UU
Stop pemerintah dan perlindungan buruh
Traficking masyaraka migran dan
terbuka untuk trafficking
melindungi
Buruh migran
dan
menganggap
buruh migran
khususnya
perempuan
adalah entitas
warga Negara
yang juga harus
dilindungi.
Kampanye Kegiatan Masyarakat
Memperinga berjalan keliling mendapatkan
ti Hari untuk informasi tentang
Buruh menyampaikan pentingnya
Internasiona infomasi perlindungan
l tentang terhadap buruh
pentingnya migran
perlindungan
terhadap
saudara kita
yang menjadi
buruh migran

Sumber : Hasil Penelitian


Jika dilihat dari tabel di atas pemberdayaan
masyarakat melalui perlindungan buruh migran dan
keluarganya di Lembaga Solidaritas Perempuan dengan
program kegiatan peningkatan kapasitas, audiensi,
sosialisasi dan advokasi dengan berbagai kegiatan yang
127

dilakukan terdapat dampak dan hasil yang dirasakan oleh


buruh migran dan keluarganya.
Disini tampak jelas bahwa adanya perlindungan
buruh migran perempuan dan keluarganya sangat
berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan dan
keterampilan. Pelatihan yang diberikan Lembaga
Solidaritas Perempuan bermanfaat dalam menunjang
paralegal yang dapat mengaplikasikakan peran dan
fungsinya sebagai paralegal Lembaga Solidaritas
Perempuan. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan
terlihat sudah dapat memberikan penyuluhan dan
melakukan advokasi dengan pihak pemangku
kepentingan di tingkat daerah dalam rangka mendapatkan
dukungan sumber daya untuk penunjang penanganan
kasus maupun untuk materi penyuluhan.
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun
2002 Tentang Perlindungan menentukan:
1. Setiap korban atau saksi dalam pelanggaran hak asasi
manusia yang berat berhak memperoleh perlindungan
dari aparat penegak hukum dan aparat keamanan.
“SP mendampingi saya ke polres tabes, ke
kantor DPTKI, SP mendampingi saya terus
dalam menangani kasus yang sedang saya
alami bersama suami yang belum balik juga ke
Indonesia. SP juga memberikan saya
semangat, motivasi agar tidak terlalu merasa
takut menghadapi masalah sebegini
beratnya.”
“SP menyelesaikan kasus pergi ke kantor-
kantor tenega kerja Indonesia, mengadvokasi
128

untuk menyelesaikan kasus saya.”


(Wawancara dengan NH Mantan buruh migran
dan keluarga, 2018).

Dari pernyataan NH tersebut Lembaga


Solidaritas membantu memperantarai antara buruh
migran yang membutuhkan perlindugan dengan aparat
pemerintahan khususnya yang berhubungan dengan
perlindungan buruh migran di luar negri serta
membantu mengadvokasi dalam penanganan kasus
yang dialami klien.
2. Perlindungan oleh aparat penegak hukum dan aparat
keamanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diberikan sejak tahap penyelidikan, penyidikan,
pemantauan dan atau pemeriksaan di sidang
pengadilan.
Bentuk-Bentuk mengenai perlindungan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002, oleh Pasal 4
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002
ditentukan meliputi:
a. Perlindungan atas keamanan pribadi korban atau
saksi dari ancaman fisik dan mental. Intisari yang
menjadi pertanyaan yang berkaitan dengan bentuk
perlindungan ini adalah bagaimana tentang
perlindungan terhadap Keluarga Korban dan Saksi
dari ancaman fisik dan mental.
129

Pertanyaan ini perlu diajukan, karena mungkin


saja yang mendapat ancaman fisik dan mental
bukan pribadi korban atau saksi, tetapi adalah
keluarga korban atau saksi yang akan diberikan
oleh korban atau saksi pada tahap penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dan atau pemeriksaan di
pengadilan dalam perkara pelanggaran HAM yang
berat.
Oleh karena itu, kiranya tidak ada yang keberatan,
jika bentuk perlindungan yang ditentukan oleh
Pasal 4 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 2
Tahun 2002, tidak hanya terbatas pada
perlindungan atas keamanan pribadi korban atau
saksi tetapi juga meliputi perlindungan atas
keamanan pribadi korban atau saksi tetapi juga
meliputi perlindungan atas keamanan keluarga
korban atau saksi.
b. Perahasiaan Identitas Korban atau Saksi. Pada
tahap penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan,
perahasiaan identitas korban atau saksi tidak hanya
menjadi masalah. Perahasiaan korban atau saksi
pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan
hanya dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan di
sidang pengadilan oleh Hukum dinyatakan
tertutup atau tidak terbuka untuk umum.
Korban maupun saksi dalam upaya perlindungan
hukum berupa merahasiakan segala bentuk
130

identitas dari korban maupun saksi itu sendiri. Hal


ini ditujukan agar privasi korban ataupun saksi
tetap aman dan tidak disalahgunakan dalam
terwujudnya perlindungan.
Pemberian Keterangan Pada Saat Pemeriksaan di
Sidang Pengadilan Tanpa Bertatap muka dengan
Tersangka. Yang dimaksud dengan “tanpa bertatap
muka dengan tersangka” dalam Pasal 4 huruf c
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2012 ini
adalah tanpa bertatap muka dengan terdakwa,
tetapi dengan melalui media elektronik, yaitu
dengan cara apa yang disebut teleconference.
1. Proses dan Tantangan Penanganan Kasus Buruh
Migran Perempuan
Ada 2 jenis advokasi penanganan kasus yang
ditangani SP menggunakan metode penanganan kasus
litigasi dan non-litigasai. Litigasi adalah persiapan dan
presentasi dari setiap kasus, termasuk juga
memberikan informasi secara menyeluruh
sebagaimana proses dan kerjasama untuk
mengidentifikasi permasalahan dan menghindari
permasalahan yang tak terduga. Sedangkan Jalur
litigasi adalah penyelesaian masalah hukum melalui
jalur pengadilan.
“Di advokasi kasus kan ada dua nih ada
litigasi dan non litigasi. Yang litigasi itu kaya
kita ke BNP2TKI, , Kementrian luar Negri,
kementrian tenaga kerja kemudaian beserta
131

jajarannya, di daerah ya BP3TKI dan LP3TKI


karena SP itu bukan hanya ada di Jakarta tapi
juga ada di sebelas komunitas lainnya dan
kemudian tujuh komunitas ngambil isu
migrasi, kemudian kementrian luar negri,
kementrian tenaga kerja dan pihak-pihak
lainnya. Kalo litigasi membuat laporan
pengaduan ke polisi umumnya terkait kasus
trafficking. Kalo non litigasi diluar jalur
hukum, prinsip dari penangan kasus SP itu kan
keterlibatan penuh dari keluarga atau PBM
langsung, Jadi memang bersama-sama
melakukan proses penanganan kasus bersama-
sama mendiskusikannya, bersama-sama
menganalisis, bersama-sama menentukan
strategi penangan kasusnya dan bersama-
sama melakukan proses penangan kasusnya
karena memang tujuan kita bukan hanya
sekedar kasus selesai tapi juga bagaimana
penguatan dan pemberdayaan terhadapa PBM
dan keluarganya. (Wawancara dengan
Andriyeni STAFF Penanganan Kasus Divisi
Perlindungan Buruh Migran Dan Keluarganya,
(Jakarta, Rabu 07 November 2018).

a. Litigasi adalah proses penanganan yang ditempuh


melalui jalur hukum dengan menggunakan
ketentuan-ketentuan hukum nasional yang berlaku.
Penanganan litigasi dimulai dari pengaduan kasus
ke pihak kepolisian (Polsek, Polres, Polda, Mabes,
Polri hingga Interpol) kemudian berlanjut sampai
ke proses persidangan.
Umumnya, pelaksanaan gugatan disebut litigasi.
Gugatan adalah suatu tindakan sipil yang dibawa
di pengadilan hukum di mana penggugat, pihak
132

yang mengklaim telah mengalami kerugian


sebagai akibat dari tindakan terdakwa, menuntut
upaya hukum atau adil. Gugatan buruh migran
perempuan di lembaga Solidaritas Perempuan
biasanya mengenai kasus yang mereka alami.
Kasusnya bisa tindak kekerasan, gaji belum
dibayarkan dan trafficking. Jika penggugat (buruh
migran perempuan/keluarganya) berhasil,
penilaian akan diberikan dalam mendukung
penggugat, dan berbagai perintah pengadilan
mungkin dikeluarkan untuk menegakkan hak,
kerusakan penghargaan, atau memberlakukan
perintah sementara atau permanen untuk
mencegah atau memaksa tindakan.
b. Sedangkan, penanganan non-litigasi merupakan
strategi bantuan hukum alternative, biasa disebut
juga penyelesaian kasus diluar jalur pengadilan.
Prosesnya untuk penanganan kasus di lembaga
solidaritas terhadap klien buruh migran
perempuan/keluarganya dimulai dengan
melaporkan kasus ke pihak-pihak yang terlibat
atau institusi yang terkait, seperti PPTKIS,
BNP2TKI, KEMLU, KBRI/KJRI, Kemnakertrans,
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak.
Penyelesaian perkara diluar pengadilan ini diakui
di dalam peraturan perundangan di Indonesia.
133

Pertama, dalam penjelasan Pasal 3 UU Nomor 14


Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman disebutkan
“Penyelesaian perkara di luar pengadilan,
atas dasar perdamaian atau melalui wasit
(arbitase) tetap diperbolehkan” . Kedua,
dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa Pasal 1 angka 10 dinyatakan ”

Alternatif Penyelesaian Perkara di Lembaga


Solidaritas Perempuan untuk kliennya yaitu Buruh
migran perempuan untuk penyelesaian sengketa
atau beda pendapat melalui prosedur yang
disepakati para pihak terutama keluarga buruh
migran, yakni penyelesaian di luar pengadilan
dengan cara konsultasi, negoisasi, mediasi, atau
penilaian para ahli.
Proses pelaporan tidak harus selalu meliputi semua
pihak atau institusi diatas, sangat tergantung dari
tingkat penanganan yang paling mendesak.
Sedangkan penangan non-litigasi dilakukan
melalui negosiasi atau mediasi. Cara ini dinilai
cukup efektif dari segi waktu dan tenaga dalam
memperjuangkan hak-hak buruh migran
perempuan yang terlanggar karena pendamping
tidak hanya mengacu pada ketentuan-ketentuan
hukum nasional saja namun juga sekaligus dapat
memberikan pemahaman kepada pihak atau
134

institusi terkait tentang perspektif dan analisa


feminis yang kita miliki dengan tetap berbasis
pada prinsip-prinsip pendekatan hak asasi
manusia. Selain itu proses penanganan kasus SP
juga dilakukan dengan penguatan kepada buruh
migran perempuan dan keluarganya terkait hak-
hak mereka, serta bersama menetukan langkah-
langkah pembelaannya.
Selanjutnya dari hasil wawancara dengan AY
selaku Staff penangan kasus buruh migran perempuan
dan keluarganya di Lembaga Solidaritas Perempuan,
ada tiga sumber kasus yang ditangani Solidaritas
Perempuan,
“Kasus masuk itu ada 3, ada yang datang
langsung buruh migran perempuan atau
keluarganya, ada yang rujukan dari lembaga
lain misalnya dari SBMI nih karena itu
kasusnya perempuan jadi mereka rujuk kesini,
atau rujukan dari komnas perempuan dirujuk
kesini. Dan hasil investigasi kita ke lapangan.
Jadi dari tiga itu kasus masuknya.
(Wawancara pribadi dengan AY, Staf
Penanganan Kasus Divisi Perlindungan Buruh
Migran Dan Keluarganya, 2018).

a. Pertama, Pengaduan langsung Buruh Migran


perempuan dan keluarganya atau keluarganya
langsung datang ke Solidaritas Perempuan untuk
melaporkan kasusnya. Informasi tentang
Solidaritas Perempuan biasanya diperoleh dari
media masa, orang yang pernah ditangani
135

kasusnya, atau leaflet, serta produk Solidaritas


Perempuan lainnya.
b. Kedua, Rujukan dari pihak ketiga (mitra atau
jaringan Solidaritas Perempuan). Mitra, rekan
kerja atau jaringan merujuk kasus kepada
Solidaritas Perempuan, hal ini biasanya terjadi
karena penanganan kasus buruh migran
perempuan bukan merupakan ruang lingkup
program kegiatan atau keterbatasan sumber daya
yang dimiliki organisasi tersebut.
c. Ketiga, Penjangkauan (Outreach) atau temuan.
Solidaritas Perempuan melakukan penjangkauan
terhadap kasus buruh migran perempuan.
Informasi awal mengenai kasus biasanya berasal
dari media masa atau temuan lapangan.
136

Skema Penanganan Kasus Solidaritas


Perempuan
Bagan 4.1

Dalam menangani kasus-kasus kekerasan dan


pelanggaran hak Perempuan Buruh Migran, fokus yang
dilakukan bukan hanya untuk penyelesaian kasus, tetapi
juga untuk:
a. Pemenuhan hak-hak Buruh Migran Perempuan
dan keluarganya.
b. Memberikan penguatan dan pemberdayaan bagi
buruh migran/keluarga buruh migran serta dapat
menemukan solusi yang terbaik bagi buruh
migran/keluarga buruh migran.
c. Mendorong adanya perubahan kebijakan yang
melindungi buruh migran, dan mempunyai
perspektif Hak Asasi Manusia. Apabila dalam
137

proses penanganan kasus ditemukan pasal


peraturan yang tidak adil bagi buruh migran,
kemudian pasal-pasal tersebut akan dianalisa
untuk dijadikan bahan advokasi kebijakan. Selain
itu, kebutuhan kampanye kasus menjadi bagian
yang sangat penting untuk memperoleh dukungan
publik. Bentuk-bentuk kampanye kasus yang biasa
dilakukan, antara lain melalui konferensi pers,
pembuatan dan penyebaran leaflet, dan diskusi
publik di daerah asal buruh migran.
2. Implementasi UU Perlindungan
Undang-undang perlindungan memberikan
norma baru sekaligus harapan baru bagi tenaga kerja
Indonesia. Sejumlah tindakan terhadap tenaga kerja
Indonesia khususnya perempuan yang dahulu bukan
merupakan tindak pidana, kini menjadi tindak pidana
(kriminalisasi). Pencegahan terjadinya kekeraasan
seksual dalam bekerja, perlindungan kepada buruh
migran perempuan, penindakan kepada pelaku
kekerasan, dan kesejahteraan merupakan tujuan dari
undang-undang ini.
Dengan adanya UU perlindungan ini, tenaga
kerja khususnya perempuan dapat menuntut keadilan
atas kekerasan yang mereka alami dalam bekerja.
Namun permasalahan kekerasan seksual tidak seketika
selesai dengan adanya UU perlindungan saja.
Meskipun UU perlindunan ini terbukti meningkatkan
138

kesadaran korban untuk melapor, dalam


pelaksanaannya ada sejumlah masalah yang timbul.
Perspektif perlindungan kepada korban begitu
kuat. Selain membentuk norma baru dalam
materilnya, sejumlah terobosan hukum formil pun di
ciptakan oleh undang-undang ini. Korban tidak harus
melaporakan kekerasan seksual yang di alaminya di
tempat kejadian, karena korban dapat melaporkannya
ke KBRI secara langsung. Pemerintah wajib segera
memberikan kepada korban. Hal ini dapat dibuktikan
pada pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 39 Tahun
2004 tentang Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
dinyatakan bahwa
“Pemerintah bertugas mengatur, membina,
melaksanakan, dan mengawasi
penyelenggaraan penempatan dan
perlindungan TKI di luar negeri”
Dan dalam pasal 6 Undang-undang No, 39
tahun 2004 bahwa pemerintah bertanggung jawab
untuk meningkatkan upaya perlindungan TKI diluar
negri. Pasal 27 Undang-undang No. 39 Tahun 2004
mengatur tentang penempatan TKI diluar negri hanya
dapat dilakukan ke Negara tujuan yang pemerintahnya
telah membuat perjanjian tertulis dengan pemerintah
Negara Republik Indonesia atau ke Negara tujuan
yang mempunyai peraturan perundang-undangan yang
melindungi tenaga kerja asing. Oleh sebab itu setiap
139

orang dilarang menempatkan calon TKI pada jabatan


dan tempat pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-
nilai kemanusiaan dan norma kesusilaan serta
peraturan perundang-undangan, baik di Indonesia
maupun di Negara tujuan yang telah dinyatakan
tertutup atau dinegara tujuan yang telah dinyatakan
tertutup sebagaimana dimaksud dalam pasal 27
Undang-undang No. 37 Tahun 2004.
3. Pemberdayaan Mantan Buruh Migran Perempuan
Dan Keluarganya
a. Pemberdayaan Terhadap Perempuan
Pemberdayaan di Lembaga Solidaritas
Perempuan merujuk pada kemampuan mantan
buruh migran perempuan/ keluarganya, khususnya
kelompok rentan dan lemah sehingga mereka
mempunyai kekuatan atau kemampuan dalam
pertama, mereka memiliki kebebasan (freedom),
dalam arti bukan saja bebas mengemukakan
pendapat, dan bebas dari kebodohan, bebas dari
kesakitan. Mereka butuh edukasi dari masalah
yang mereka hadapi tersebut. Prosedur penangan
kasus yang mereka alami salah satunya menjadi
pengalaman yang dapat mereka bagi untuk
saudaranya yang membutuhkan. Kedua
berpartisipasi dalam proses pembangunan dan
keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.
140

“Pemberdayaan sih kalo kita itu istilahnya


penguatan ya, penguatan terhadap buruh
migran perempuan dan keluarganya. Nah
penguatannya dari mana ya dari diskusi-
diskusi, peningkatan-peningkatan
kapasitas, melibatkan mereka dalam
kegiatan-kegiatan SP, dan Mengikut
sertakan mereka dalam penangan kasus di
SP.” Wawancara dengan AY, Staf
Penanganan Kasus Divisi Perlindungan
Buruh Migran Dan Keluarganya, 2018).

Dari pernyataan saudari AY di Lembaga


Solidaritas Perempuan ini menyebut
pemberdayaan dengan sebutan penguatan.
Pemberdayaan atau penguatan mantan buruh
migran perempuan maupun keluarga buruh migran
disini memberikan arti sebagai upaya peningkatan
kemampuan perempuan dalam mengembangkan
kapasitas dan keterampilan perempuan agar
mampu meraih akses dan penguasaan antara lain,
Posisi pengambil keputusan, Sumber-sumber,
Struktur atau jalur yang menunjang.
Proses pemberdayaan perempuan ini dapat
dilakukan melalui penyadaran (conscientation).
Dengan penyadaran ini diharapkan wanita mampu
menganalisis secara kritis situasi masyarakat
sehingga dapat memahami/mengetahui praktek-
praktek diskriminatif yang merupakan kontruksi
sosial serta membedakan peran antara peran
kodrati dan peran jender. Oleh karena itu, terhadap
141

perempuan dalam proses penyadaran perlu


dibekali dengan informasi, pendidikan, pelatihan
dan motivasi agar mengenal jati diri dan lebih
percaya diri serta dapat mengambil keputusan
yang diperlukan (Ihromi, dkk 2006, 142).
Penyadaran disini dilakukan dengan
berdiskusi, sharing pengalaman penanganan kasus.
Biasanya yang memberi pengalamannya yaitu
mantan buruh migran perempuan yang sudah
pulang. Dengan metode learning cycle ini dapat
lebih mengetahui seluk beluk dalam proses
penanganan kasus.
“Pertama prosedurnya tuh SP ngasih
gambaran. Pihak SP mau bagaimna ke
keluarga, nah saya menyerahkan kuasa ke
pihak SP biar menyerahkan urusannya ke
pihak SP, jadi keluarga saya merasa
dibantu, karena pihak Taiwan
memulangkan zenazah harus lengkap
semua surat-suratnya. Terus SP nganter
saya ke pihak asuransi dianter, di
depatemen luar negri dianter, kan saya ga
tau tuh cara-caranya bagaimana. Ke PT
juga minta surat-surat berkas-berkas
gimana caranya, kan saya gak tau cara-
caranya. SP memberikan prosedurnya.”
(Wawancara dengan MN Keluarga Mantan
buruh migran dan keluarga, 2018).

Paralegal-paralegal yang menceritakan


pengalamannya sebelumnya diarahlan oleh
Lembaga Solidaritas Perempuan untuk mengetahui
bagaimana prosedur penangana kasusnya. Setelah
142

memiliki pengalaman tersebut dilakukan edukasi


dengan diskusi-diskusi ditingkat komunitas.
“Bisa sih tapi gak mau terlalu pd, jadi pas
Kaka jadi para legalnya Kaka kan kuliah
kerja juga terus ikut juga sama SP jadi tuh
gak bener-bener bisa fokus. Tapi kaka bisa
sih buat jadi paralegalnya dengan
pengalaman yang kaka punya ini kan.”
(Wawancara dengan TD Mantan buruh
migran dan keluarga, 2018).

Selanjutnya setelah mendapatkan edukasi


dan sudah memilki pengalaman penanganan kasus
paralegal-paralegal ini diajak untuk langsung
membantu menangani kasus teman, maupun sanak
saudara yang membutuhkan.
Dalam upaya memberdayakan mantan
buruh migran/ keluarganya dapat dilihat dari tiga
sisi,yaitu:
Pertama, menciptakan suasana atau iklim
yang memungkinkan potensi masyarakat
berkembang (enabling). Disini titik tolaknya
adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap
masyarakat, memiliki potensi yang dapat
dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat
yang sama sekali tanpa daya, karena jika demikian
akan sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya
untuk membangun daya itu, dengan mendorong,
memotivasikan, dan membangkitkan kesadaran
akan potensi yang dimilikinya serta berupaya
143

untuk mengembangkannya (Sumodiningrat 2002,


17). Hal.17
“Pemberdayaan sih kalo kita itu istilahnya
penguatan ya, penguatan terhadap buruh
migran perempuan dan keluarganya. Nah
penguatannya dari mana ya dari diskusi-
diskusi, peningkatan-peningkatan
kapasitas, melibatkan mereka dalam
kegiatan-kegiatan SP, dan Mengikut
sertakan mereka dalam penangan kasus di
SP.” (Wawancara dengan AY, Staf
Penanganan Kasus Divisi Perlindungan
Buruh Migran Dan Keluarganya, 2018).

Penguatan yang dilakukan di Solidaritas


Perempuan ini merupakan pemberdayaan.
Pemberdayaan dsini salah satunya juga
penyadaran terhadap hikmah dan potensi yang
dimiliki buruh migran perempuan/keluarganya.
Potensi ini didorong dari kegiatan-kegiatan yang
dilaksanakan oleh Solidaritas Perempuan ini,
dalam tingkat komunitas maupun dalam tingkat
internasional. Selanjutnya upaya yang dilakukan
supaya mendapatkan edukasi untuk mendorng
potensi tersebut akan dikembangkan dan
diaplikasikan langsung untuk membantu kasus
saudara atau klien yang membutuhkan.
Kedua, memperkuat potensi atau daya
yang dimiliki masyarakat (empowering). Dalam
rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih
positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan
144

suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah


nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai
masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam
berbagai peluang (opportunities) yang akan
membuat masyarakat menjadi berdaya.
“Iya masih dibutuhkan para legal seperti
yang saya rujuk kemarin kasus
pemulangan TKI ternyata unprosedural,
saya selaku para legal rujukan ke SP
bahwa kemudian dalam peroses
penyelesaian dan penanganan sekarang,
kasus-kasus sekarang memang masih ada
walaupun dimoratorium timur tengah tapi
ada beberapa kasus juga muncul”
(Wawancara dengan RT Mantan buruh
migran dan keluarga, 2018).

Pemberdayaan yang dilakukan Solidaritas


Perempuan ini untuk melahirkan Paralegal yang
dapat memperkuat potensi atau daya yang dimiliki
kliennya. Dalam rangka ini diperlukan langkah-
langkah lebih positif, paralegal ini akan menyusun
langkah-langkah nyata, dan menyangkut
penyediaan berbagai masukan (input), serta
pembukaan akses ke dalam berbagai peluang
(opportunities) yang akan membuat masyarakat
menjadi berdaya, karena paralegal-paralegal
tersebut sudah memiliki pengalaman sebelumnya
dalam menyelesaikan masalah serupa diri mereka.
Ketiga, memberdayakan/ penguatan di
Solidaritas Perempuan mengandung pula arti
145

melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus


dicegah buruh migran perempuan dan keluarga
yang sedang menghadapi masalah menjadi
bertambah lemah, karena kekurang berdayaan
dalam menghadapi kasus mereka dan birokrasi
hukum. Oleh karena itu, perlindungan dan
pemihakan paralegal kepada yang buruh
migran/keluarga amat mendasar sifatnya dalam
konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi
tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari
interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan
yang kecil dan melunglaikan yang lemah.
Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk
mencegah terjadinya eksploitasi yang kuat atas
yang lemah.
“Kaka bisa sih buat jadi paralegalnya
dengan pengalaman yang kaka punya ini
kan. Kalau ada beri ta ini itu Kaka cuma
calling-calling kan Kaka Deket banget tuh
sama Diana itu adalah keuntungannya
karena Diana yang bener-bener fokus
disitu gak kemana-mana jadi yang bener-
bener tau”(Wawancara dengan TD Mantan
buruh migran dan keluarga, 2018).
Setelah mantan buruh migran
perempuan/keluarganya sudah selesai kasusnya
maka mereka akan di rekrut menjadi paralegal
untuk membantu permaslahan disekitaran mereka.
Dengan demikian tujuan akhirnya adalah
memandirikan mantan buruh migran perempuan/
146

keluarga, memampukan, dan membangun


kemampuan untuk memajukan diri ke arah
kehidupan yang lebih baik secara
berkesinambungan dengan sebelumnya
mendapatkan traning-traning paralegal terlebih
dahulu.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat
ditarik suatu benang merah bahwa pemberdayaan/
penguatan kapasitas di Lembaga Solidaritas
Perempuan merupakan upaya untuk memampukan
dan memandirikan mantan buruh migran
perempuan/ keluarga atau dengan kata lain adalah
bagaimana menolong buruh migran perempuan/
yang membutuhkan bantuan untuk mampu
menolong dirinya sendiri dan dapat membantu
saudara buruh migran yang lainnya.

C. Faktor Penghambat Yang Mempengaruhi Lembaga


Solidaritas Perempuan Dalam Melakukan
Perlindungan Terhadap Buruh Migran Perempuan
Dan Keluarganya
Pada proses penanganan kasus, Solidaritas
Perempuan juga mengalami tantangan dan hambatan
dalam memperjuangkan akses keadilan bagi perempuan
buruh migran dan keluarganya. Beberapa kasus Buruh
Migran Perempuan dan keluarganya mengalami
hambatan, karena Buruh Migran Perempuan dan
147

keluarganya tidak bisa dihubungi dan pendamping tidak


mengetahui keberadaan Buruh Migran Perempuan dan
keluarganya (alamat dan nomor kontak). Berbagai
langkah telah dilakukan Solidaritas Perempuan untuk
mengatasi situasi tersebut. Namun, beberapa kasus yang
tidak dapat dihubungi Buruh Migran Perempuan dan
keluarganya dalam jangka 1 bahkan hingga 2 tahun, maka
kasus tersebut dapat ditutup oleh Solidaritas Perempuan.
Kasus juga dianggap selesai, jika terjadi permintaan
pencabutan laporan kasus dari Buruh Migran Perempuan
dan atau keluarganya.
Dalam kasus yang pernah ditangani Solidaritas
Perempuan sebelumnya ada Pihak keluarga meminta
untuk menghentikan penanganan kasus dengan alasan
tidak ingin ada permasalahan nantinya ketika Buruh
Migran Perempuan pulang karena proses keberangkatan
yang sarat trafficking dan eksploitasi, dimana pihak
keluarga berperan dalam hal tersebut. Berdasarkan prinsip
penanganan kasus yang ditangani oleh Solidaritas
Perempuan, bahwa hubungan antara Solidaritas
Perempuan dengan Buruh Migran Perempuan /
keluarganya adalah setara. Proses analisa kasus dan
pilihan strategi penanganan kasus untuk pemenuhan hak-
hak Buruh Migran Perempuan dan keluarganya dilakukan
secara bersama-sama. Keputusan mengenai proses
penanganan kasus ada di tangan Buruh Migran
Perempuan dan keluarganya, dengan tetap memberikan
148

beberapa informasi tentang peluang, kesempatan,


hambatan, tantangan maupun target jangka panjang dari
kasus yang ditangani. Selain itu, satu kasus juga ditutup
karena proses yang dikehendaki oleh pemberi kuasa tidak
sesuai dengan prinsip dan mekanisme penanganan kasus
Solidaritas Perempuan, yaitu keterlibatan Buruh Migran
Perempuan /keluarganya dalam seluruh proses
penanganan kasus untuk membangun kesadaran mereka
terhadap peraturan pemerintah yang tidak adil, dan akan
melahirkan reaksi untuk melakukan perjuangan.
Selanjutnya menurut saudari AY di Lembaga Solidaritas
Perempuan kasus dianggap selesai jika,
“Secara penanganan kasus di anggap selesai
ketika tuntutan keluarga sudah dipenuhi. Tetapi
karena SP itu perspektifnya feminis, tidak selesai
komunikasi kita tidak selesai tapi kita
berkomunikasi dengan memberikan penguatan-
penguatan, pendampingan-pendampingan karena
harapannya agar mereka menjadi” (Wawancara
dengan AY, Staf Penanganan Kasus Divisi
Perlindungan Buruh Migran Dan Keluarganya,
2018).

Kasus-kasus yang ditutup tersebut, sewaktu-waktu


dapat ditangani kembali, jika terdapat laporan dari pihak
Buruh Migran Perempuan dan keluarganya untuk
melanjutkan kasusnya sesuai prinsip dan mekanisme
penanganan kasus Solidaritas Perempuan. Secara
keseluruhan, terdapat beberapa kendala yang menghambat
proses penanganan kasus dan mengakibatkan sulitnya
149

Buruh Migran Perempuan mendapatkan Hak-haknya,


yaitu:
1. Sistem Informasi dan pendataan yang tidak terstruktur
dan terintegrasi, antara instansi terkait. Hal ini
tercermin dari berbedanya data yang dimiliki oleh
BNP2TKI, Kementerian Tenaga Kerja, dan
Kementerian Luar Negeri. Tak hanya itu, tidak ada
mekanisme pendataan di tingkat desa yang baik,
sehingga sulit untuk mendapatkan informasi terkait
Perempuan Buruh Migran yang berangkat. Dalam
konteks penanganan kasus, situasi ini membuat
laporan pengaduan kasus menjadi berulang, tidak ada
standar jangka waktu yang ditetapkan untuk
melakukan koordinasi, informasi tidak update, tidak
ada mekanisme yang jelas untuk informasi yang
diterima oleh pelapor, baik melalui telepon maupun
surat sehingga menyulitkan untuk monitoring
sejauhmana kasus ditindaklanjuti.
2. Masih lemahnya koordinasi antar instansi dan
Pemerintahan.
Berikut bukti wawancara dengan saudari AY:
“Kendalanya sampai sekarang ini memang
perspektif Negara dalam melihat buruh
migran, karena perspektif itu menghasilkan
kebijakan-kebijakan yang tidak memberikan
perlindungan bagaimana sampai sekarang
buruh migran masih di jadikan komoditas.”
(Wawancara pribadi dengan AY Staf
150

Penanganan Kasus Divisi Perlindungan Buruh


Migran Dan Keluarganya, 2018).

Berdasarkan pernyataan AY, Negara masih


kurang melindungi Buruh Migran Perempuan
Indonesia dikarenakan faktanya masih adanya kurang
kesesuaian antar kebijakan dan realita sekarang.
“Padahal devisa yang masuk kenegara masuk
kedalam lima desar devisa Negara. Dilain sisi
kita tidak sepakat pada mobilisasi perempuan,
ada monatorium atau pemberentian
pengiriman buruh migran ke Negara-negara
lain. Menurut kita mobilitas itu adalah hak
kita. Jadi hak untuk berpindah itu menjadi hak
kita. Tapi Negara itu harusnya melindungi
orang-orang yang memobilisasi bukan
memberhentikan mobilisasi tersebut. Pilhan
itu kita yang mengambil,, yang perlu dilihat
didesa itu adalah latar belakang kenapa
mobilisasi, misalkan karena sudah tidak punya
tanah. Tanahnya sudah diambil sama
perubahan, terus kita melarang dia untuk tidak
bekerja” (Wawancara dengan Sc STAFF
Penguatan Organisasi, 2018).

Berdasarkan pernyataan ini, menurut peneliti


pelarangan mobilisasi merupakan pelanggaran hak.
Kebijakan mengenai pemberentian pengiriman buruh
migran ke Negara-negara lain kurang efisien karena
sama saja memberentikan penghidupan mereka,
karena buruh migran tersebut pasti memiliki alasan
yang jelas mengapa mereka memilih menjadi buruh
migran perempuan di luar negri. Selanjutnya belum
lagi berbagai kebijakan yang dikeluarkan baik oleh
151

Kemenaker dan BNP2TKI saling tumpang tindih yang


membuat tidak efektifnya proses-proses penanganan
kasus. Solidaritas Perempuan seringkali harus
memasukkan pengaduan ke tiga institusi, untuk satu
kasus. Selain itu, tumpang tindih kewenangan,
misalnya antara BNP2TKI dan Kemenaker juga
mempengaruhi proses penanganan kasus. BNP2TKI
seharusnya berkoordinasi dengan Kemenaker dalam
menjalankan tugasnya, karena posisi Kemenaker
sebagai regulator, dan BNP2TKI sebagai operator,
namun ketika sanksi tunda layan dijatuhkan oleh
BNP2TKI kepada PPTKIS yang bermasalah, tidak
serta merta izin PPTKIS dicabut oleh Kemenaker.
3. Keterlibatan keluarga/tokoh masyarakat setempat
dalam Proses Trafficking Beberapa kasus dengan
indikasi trafficking yang dilaporkan oleh Buruh
Migran Perempuan /keluarganya juga melibatkan
keluarga atau tokoh masyarakat setempat sebagai calo.
Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi SP
untuk melakukan proses penanganan kasus, baik baik
melalui jalur litigasi maupun non litigasi. Karena,
Buruh Migran Perempuan seringkali mendapat
tekanan pada saat ingin menindak lanjuti kasusnya.
4. Minimnya dokumen yang dimiliki Buruh Migran
Perempuan/ keluarganya.
Dalam berbagai kasus, Buruh Migran
Perempuan seringkali tidak memegang/memiliki
152

dokumen terkait. Dokumen-dokumen pribadi seperti


Paspor, Kontrak Kerja ditahan oleh majikan atau
agency. Sementara, proses penanganan kasus,
terutama di Kementerian Luar Negeri mensyaratkan
kelengkapan dokumen dalam mengajukan pengaduan.
Hal ini mengakibatkan terkendalanya laporan
pengaduan yang dibuat ke instansi terkait karena
kelengkapan dokumen menjadi syarat sebuah kasus
dapat ditindaklanjuti.
5. Ketidakpastian hukum dan Lemahnya Penegakan
Hukum. Permasalahan mendasar dalam UU 39/2004
mengandung ketidakpastian hukum.
Adanya ketidak jelasan subjek hukum,
inkonsistensi pengaturan, ketidak sinkronan isi kaedah
hukum dengan sanksinya. Dalam hal kewenangan dan
mekanisme antar instansi misalnya, pembagian tugas
dan wewenang antar instansi yang tidak proporsional,
menjadikan penegakan hukum menjadi tidak efektif.
Dari 109 pasal yang diatur, hanya 8 pasal yang
mengatur mengenai perlindungan itu pun
perlindungan pada saat penempatan. Sedangkan
perlindungan pra penempatan dan purna penempatan
tidak diatur secara tegas. Padahal dalam 7 huruf e
menyebutkan bahwa kewajiban pemerintah untuk
memberikan perlindungan kepada TKI selama masa
sebelum pemberangkatan, masa penempatan, dan
purnapenempatan. Namun bila dikaji pada tahap
153

prapenempatan mulai dari pemberian informasi


pekerjaan kepada calon Buruh Migran Perempuan,
pelatihan, pengurusan dokumen diserahkan kepada
PPTKIS tanpa pemerintah terlibat didalamnya,
akibatnya banyak terjadi kasus pemalsuan dokumen,
calon PBM yang diberangkatkan belum diberikan
pelatihan kerja/ kemampuan berbahasa yang
mengakibatkan PBM semakin rentan mengalami
eksploitasi dan trafficking. Selain itu, pemahaman dan
perspektif penyidik mengenai kasus trafficking masih
sangat lemah. Definisi trafficking sangat terbatas dan
sulit untuk diterapkan pada kasus-kasus trafficking
untuk Pekerja Rumah Tangga Migran. Dalam kasus
trafficking kemudian disimplifikasi menjadi kasus
pemalsuan dokumen yang diatur dalam UU No.39
Tahun 2004.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang peneliti lakukan
melalui pengumpulan data wawanacara, observasi, dan
studi dokumen di Lembaga Solidaritas Perempuan
mengenai peran lembaga solidaritas perempuan dalam
perlindungan dan pemberdayaan buruh migran perempuan
dan keluaraganya. Maka peneliti menarik kesimpulan
sebagai berikut:
Bantuan Advokasi yang di berikan Lembaga
Solidaritas Perempuan kepada buruh migran perempuan
dan keluarganya merupakan salah satu proses
perlindungan dalam memberikan fasilitas untuk
membantu korban agar terpenuhi hak-haknya kembali, hal
ini dilihat dari proses pendampingan yang diberikan oleh
Lembaga Solidaritas Perempuan baik advokasi kasus
melalui litigasi dan non-litigasi maupun advokasi
kebijakan menjadi penghubung ke sumber sosialyang
mendukung maupun keluarganya.
Pemberdayaan yang dilakukan di Lembaga
Solidaritas Perempuan yang biasa disebut penguatan ini
menciptakan benih-benih paralegal yang dapat secara
langsung ikut serta membantu korban-korabn buruh
migran perempuan dan keluarga, biasanya paralegal ini
akan mendapatkan seminar seputar learning cycle dari

154
155

pengalaman terdahulu pada saat menangani kasus mereka.


Dalam menangani kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran
hak Perempuan Buruh Migran, fokus yang dilakukan
bukan hanya untuk penyelesaian kasus, tetapi juga untuk:
1. Pemenuhan hak-hak Buruh Migran Perempuan dan
keluarganya.
2. Memberikan penguatan dan pemberdayaan bagi buruh
migran/keluarga buruh migran serta dapat menemukan
solusi yang terbaik bagi buruh migran/keluarga buruh
migran.
3. Mendorong adanya perubahan kebijakan yang
melindungi buruh migran, dan mempunyai perspektif
Hak Asasi Manusia. Apabila dalam proses
penanganan kasus ditemukan pasal peraturan yang
tidak adil bagi buruh migran, kemudian pasal-pasal
tersebut akan dianalisa untuk dijadikan bahan
advokasi kebijakan. Selain itu, kebutuhan kampanye
kasus menjadi bagian yang sangat penting untuk
memperoleh dukungan publik. Bentuk-bentuk
kampanye kasus yang biasa dilakukan, antara lain
melalui konferensi pers, pembuatan dan penyebaran
leaflet, dan diskusi publik di daerah asal buruh
migran.
Secara keseluruhan, terdapat beberapa kendala
yang menghambat proses penanganan kasus dan
mengakibatkan sulitnya Buruh Migran Perempuan
mendapatkan Hak-haknya, yaitu:
156

1. Sistem Informasi dan pendataan yang tidak terstruktur


dan terintegrasi, antara instansi terkait.
2. Masih lemahnya koordinasi antar instansi dan
Pemerintahan.
3. Keterlibatan keluarga/tokoh masyarakat setempat
dalam Proses Trafficking Beberapa kasus dengan
indikasi trafficking yang dilaporkan oleh Buruh
Migran Perempuan /keluarganya juga melibatkan
keluarga atau tokoh masyarakat setempat sebagai calo.
4. Minimnya dokumen yang dimiliki Buruh Migran
Perempuan/ keluarganya.
5. Ketidakpastian hukum dan Lemahnya Penegakan
Hukum. Permasalahan mendasar dalam UU 39/2004
mengandung ketidakpastian hukum.
B. Saran
Merujuk pada kesimpulan diatas maka peneliti
mencoba memberikan dan mengemukakan masukan atas
rekomendasi bagi Lembaga Solidaritas Perempuan yang
kiranya dapat menjadi bahan pertimbangan kedepannya.
1. Berdirinya Lembaga Solidaritas Perempuan
diharapkan dapat terus mengembangkan dan
meningkatkan pelayanan dengan mengadakan
sosialisasi yang lebih luas lagi, sehingga Lembaga
Solidaritas Perempuan dapat memberikan manfaat
yang lebih besar kepada buruh migran perempuan dan
keluarganya, serta masyarakat sekitar.
157

2. Untuk menambah kualitas Lembaga Solidaritas


Perempuan kepada klien buruh migran perempuan dan
keluarganya, Solidaritas Perempuan tetap berupaya
untuk selalu meningkatkan mutu pelayanan terutama
dalam proses perlindungan dan pemberdayaan yang
diberikan agar buruh migran perempuan/ keluarganya
dan paralegal-paralegal yang sudah terlahir ini tidak
ragu untuk melaporkan kasusnya serta ikut berperan
aktif dalam menindak lanjutin permaslahan yang ada.
Demikian kesimpulan dan saran-saran yang dapat
peneliti simpulkan, semoga saran-saran ini menjadi
sebuah kritik yang membangun guna meningkatkan
kinerja Lembaga Solidaritas Perempuan kearah yang lebih
baik.
PEDOMAN WAWANCARA DIVISI PENGUATAN
ORGANISASI LEMBAGA SOLIDARITAS PERERMPUAN

Nama : Suci Fitri Tanjung

Nama Inisial : SC

Hari/ Tanggal : Kamis, 01 November 2018

Jabatan : Staff Penguatan Organisasi

Tempat Wawancara : Kantor Solidaritas Perempuan

Daftar Pertanyaan

1. Bagaimana proses awal berdirinya lembaga Solidaritas


Perempuan?
Latar Belakang SP dibentuk pertama itu SP akan ke 28
tahun, SP dibentuk pada 10 Desember 1990, itu kita
mendirikan sekitar 7 atau 8 orang yang konsen pada isu
perempuan dan mendirikan SP pada 10 Desember 1990,
tapi sebelumnya SP berdiri ini sudah dari akhir ini
pertengahan sampai akhir 80 an ya, tapi waktu itu
konteks politiknya tidak mendukung akhirnya baru
terbentuk sp di akhir 90, latar belakang SP berdiri
pertama karena kita melihat banyak konflik-konflik terjadi
pelepasan lahan pada saat orde baru kita tahu sendiri
pola kepemimpinan orde baru itu kan tersentral betul jadi
ketika ada instruksi A pasti kebawah A jadi termasuk
pada proses pelepasan lahan untuk insfrastruktur itu juga
masih terjadi ketika itu dan akhirnya perampasan lahan
juga terjadi antara masyarakat juga dengan negara, nah
waktu itu tidak ada yang melihat soal perempuan di
ranah konflik, bagaimana perempuan itu punya beban
yang sangat berlapis karena pertama perempuan itu
berdampak pada psikologis dalam konflik itu tapi dia
harus memastikan dimana keluarga dan juga anaknya
aman, kita melihat perempuan punya kebutuhan khusus
terkait itu, nah itu sebenarnya prosesnya panjang bisa
dilihat di website kita, awal SP terbentuk dari
platformnya itu hanya semacam kerja begitu tapi banyak
dinamika di dalam organisasi, kemudian kita membentuk
satu yang direktur, nah waktu itu SP bentuknya masih
yayasan. Yayasan itu kenapa kita pake yayasan karena
semangatnya SP semangat perserikatan tapi karena
semangatnya itu semangat perserikatan hanya bentuk
yayasan yang diakui Negara akhirnya , kemudian pada
kongres pertama SP itu mengubah pola kepemimpinannya
menjadi , sebelumnya dipimpim oleh direktur maka itu
diubah menjadi badan eksekutif dipimpin oleh 3 orang
terdiri dari ketua bendahara dan kordinator program.
Nah akhirnya pola pengambilan keputusannya politik
poligial karena bukan lagi yayasan tapi perserikatan
jawaban SP itu terletak pada anggota yang kerjanya itu
mempertaggung jawabkan pada anggota yang terlihat
pada pola pengambilan keputusan di SP, jadi ada kongres
kemudian ada RNDK (Rapat Nasional Dewan Komunitas)
setiap satu tahun sekali kemudian ada rapat koordinasi
Badan Eksekutif Nasional(BEN) dengan dewan pengawas
nasional, kemudian ada rapat pleno dewan pengawas
nasional, kemudian ada rapat koordinasi Badan
Eksekutif Nasional nah itu di level nasional, dan di level
komunitas ada musyawarah komunitas kemudian ada
rapat konsultasi anggota (RKA) , kemudian ada raker
rapat kordinas BPK, kemudian ada rapat kordinasi dpk,
kemudian ada rapat koordinasi Badan Eksekutif
Komunitas (BEK), jadi sebelum tahun 2015 itu masa
kepemimpinan itu cuma 3 tahun tapi direfleksikan lagi
bahwa 3 tahun itu tidak cukup untuk kita bekerja,
akhirnya diperpanjang lagi periodenya di kongres 2015
jadi 4 tahun. Jadi tahun depan itu kita akan kongres
pengurusan baru. Nah di SP sendiri itu ada 5 fokus kerja
yaitu penguatan organisasi, penguatan organisasi ini inti
dari organisasi jadi melihat bagaimana organisasi itu
bergerak kemudian melihat bagaimana perempuan akar
rumput itu bergerak, termasuk kedalam proses
pemberdayaan dan juga edukasi kemudian bagaimana
perempuan itu bias mempunyai daya kritis sebuah
pengambilan keputusan di level keluarga sampai penjara
kita sebut itu pendidikan kritis terhadap perempuan nah
itu di penguatan organisasi untuk isunya itu ada 4 kita
sebutnya isu mandat yang dimandatkan kedalam kongres.
Jadi di kongres itu kita melihat apa yang terjadi kira-kira
kerja kita itu relevan tidak dengan situasi-situasi yang
terjadi kita terus melakukan penyesuaian-penyesuaian
agar kerja kita tetap relevan dari waktu ke waktu.

2. Berapa lama lembaga Solidaritas Perempuan didirikan?


SP akan ke 28 tahun, SP dibentuk pada 10 Desember
1990.
3. Apa saja program-program yang dilaksanakan di lembaga
Solidaritas Perempuan?
Ada 4 yang dimandatkan yang termasuk dalam proses
pemberdayaan, Pertama Kedaulatan Perempuan Melalui
Perdagangan Bebas dan Manifestasi. Jadi kita melihat
kebijakan-kebijakan internasional mengintervensi
Negara, mengintervensi pemerintah kita, sehingga
berdampak pada kebijakan-kebijakan yang kemudian
dibentuk, diciptakan dan itu berdampak pada perempuan
misalkan seperti perdagangan bebas lembaga-lembaga
perdagangan bebas, pada fokus pangan pemerintah tidak
bisa berbuat apa-apa karena mau tidak mau menjalankan
kebijakan di internasional karena Indonesia terlibat
didalamnya, penyesuaian kebijakan ini kemudian juga
berdampak pada perempuan petani yang akhirnya setiap
panen dia harus bersaing dengan barang-bareng impor,
itu yang pertama. Yang kedua ada kedaulatan perempuan
atas tanah, nah kita lihat dimana perempuan itu ada
kedekatan emosional terhadap tanahnya dia bukan saja
melihat tanah itu menjadi sumber ekonomi tertatpi juga
ad unsur spiritualitas disitu, bagaimana ketika kita Tanya
perempuan akar rumput apa sih maknanya tanah, tanah
ituternyata bukan hanya sumber pangan mereka bukan
hanya sumber ekonomi mereka, hidup mereka tetapi
disitu tempat ngati-ngati. Jadi disitu spiritualnya
dibangun, jadi bagaimana kita juga mendorong termasuk
juga mendorong Negara atas perempuan terhadap tanah.
Yang kedua atas kedaulatan perempuan atas seksualitas.
Seksualitas itu kalo kita punya definisi itu soal jumlah
perempuan tapi dimana perempuan juga berfikir, ruang
gerak perempuan itu termasuk seksualitas perempuan.
Fokus isu seksualitas ini kita biasanya mengadvokasi
kebijakan-kebijakan diskriminatif, salah satunya forum
jinayat di aceh dimana perepuan korban perkosaan,
pelaku korban perkosaaan itu dia bisa lolos hanya
dengan sumpah 4 kali, dengan hukum syariat. Tetapi
ketika permpuan korban perkosaan dia justru yang harus
dibuktikan dia diperkosa itu kan satu hal yang sebetulnya
itu tidak adil dalam konteks bagaimana perempuan mau
mencari bukti bahwa dia di perkosa jika dalam psikologia
dia tidak cukup kuat, karena korban-korban perkosaan itu
down jadi ada hal-hal yang sebenarnya itu tidak adil. Ada
banyak juga kita mengadvokasi dari level desa hingga
level nasional jadi kita mengadvokasi soal sunat
perempuan, secara agama contohnya. Tidak hanya dari
agama tetapi juga dari budaya tapi itu salah satu bentuk
pengekangan terhadap perempuan. Terakhir soal
perlindungan buruh migran dan keluarganya jadi kita
lihat perempuan butuh migran itu ujung dari dampak
yang terjadi pertama misalnya perempuan itu sudah tidak
punya lagi sumber ekonomi sudah tidak punya lagi
sumber kehidupannya mka pilihan lainnya adalah harus
menjadi perempuan buruh migran keluar negri nah
kenapa dalam SP itu kita harus melihat keluarganya
bukannya perlindungan perempuan buruh migrannya saja
karena pada fakta yang kita temukan dilapangan bahwa
faktanya sering di intimidasi untuk memperbolehkan
perempuan itu menjadi buruh migran kita melihat dari
pagkal hingga ke ujung jadi tidak terpisah isunya

4. Bagaimana peran yang dilakukan lembaga Solidaritas


Perempuan dalam menjalankan program yang ada di
lembaga Solidaritas Perempuan?
SP menggunakan tiga Peranan yang membentuk strategi
yang dilakukan. Yang pertama pengorganisasian
sebenarnya adalah bagaiman kita menguatkan
perempuan, ada pendidikan kritis didalamnya.
Bagaimana perempuan melihat dia sebagai entitas di
sosial, entitas dari warga Negara, salah satu entitas
warga Negara dia perlu kritis melihat situasi sosial.
Perempuan itu banyak beban hidup, dia perlu dan juga
dia dilihat sebagai entitas yang tidak penting didalam
masyarakat, yang tidak diakui ya, perempuan itu punya
edukasi yang sangat rendah jadi dia tidak bias mengakses
pendidikan. Dari Rahim aja sudah punya kunsumsi
banyak nanti harus jadi A, B, C, D. tergantung
membentuk perempuan itu sendiri jadi seperti misalnya
perempuan tidak bias bicara. Dia tidak bisa
mengekspresikan yang dirasakan, dari situ kita
mendorong perempuan untuk bicara. Apa sih yang
dirasakan bagaiman dia harus bertani, menjadi nelayan
tapi dirumah harus juga mengerjkan urusan rumah
tangga dan tidak bias berbagi dengan suami, sebenarnya
polanya partner ship karena sama-sama bekerja diluar.
Jadi SP melihat tidak ada didalam kerja perempuan itu
tidak ada yang dinamakan ranah public dan ranah privat
karena itu satu kesatuan tidak ada batas dan satu dan
yang lainnya saling mendukung dimana domestic juga
mendukung memberikan kepastian terhadap jalannya
baik atau tidak baik proses yang ada didalam public jadi
itu tidak bias dipisahkan sementara perempuan itu ada di
dua posisi itu. Dia harus tetap bekerja diluar, sebagai
petani, nelayan, sebagai wanita karir, dan macam-macam
lah ya. Tapi dirumah, biasanya kan sosial dan budaya
mengansumsikan ya peremuan itu kalo mau keluar
didalam itu dia harus beres dulu, harus bagaimana
anaknya punya kepastian pola asuh dan segala
macamnya, padahal seharusnya dua ranah itu bisa dibagi
perannya laki-laki dan perempuan bukan pembagian
perempuan di domestik aja, laki-laki di publik, bukan
begitu. Semuaya bias ada diruang itu persoalannya
adalah membaginya perempuan udah deh urusi rumah
aja dan laki-laki ada diranah-ranah publik. Sementara
pengambilan keputusan ada diranah publik jadi ketika
perempuan di domestikasi perempuan tidak bisa
mengintervensi keputusan politik, kebijakan yang
berdampak pada dirinya dia tidak bisa, padahal sudah
disekat. Kemudian kita mendorong bagaimana kemitraan
laki-laki dan perempuan itu bisa ada didalam segala hal.
Jadi jika mengasuh anak tidak hanya perempuan yang
berperan disitu, tapi juga bagaimana laki-laki berperan
di situ mengintervensi dan itu penelitiannya sudah banyak
bagaimana anak lahir dari pola asuh yang seimbang
antara bapak dan ibu itu bisa melahirkan generasi yang
berkualitas karena memang dapat dua peran penting.
Kemudian juga setelah kita melakukan pemberdayaan itu
bagaiman perempuan bisa berbicara, bisa
mengekspresikan, lalu bisa kritis melihat bahwa ini
sebenarnya tidak bisa begini karena A, B ,C ,D Pasti
Punya Alasan. Setelah Itu kita membawa perempuan-
perempuan yang sudah diedukasi itu pada ranah advokasi
bagaimana pengakuan-pengakuan terhadap perempuan
itu yang sebelumnya tidak diakui tapi itu harus diakui
dulu, akhirnya barulah kebijakan-kebijakan yang itu
harus berperspektif perempuan yang selama ini
dikesampingkan jadi perempuan harus terlibat dalam
semua proses pengambilan keputusan termasuk juga pada
kebijakannya bukan hanya dilihat sebagai objek
kebijakan selama ini perempuan tidak bisa
mengintervensi., dalam kebijakan dirumuskan perempuan
harus apa, tetapi pada perumusannya perempuan tidak
dilibatkan. Kita akhirnya membawa perempuan itu utuk
sama-sama menginterfesi secara politik baik diberbagai
level yang sebenarnya ini mengakomodir kepentingan
perempuan nah setelah dua itu kita lakukan menggalang
pola pikir. Pola pikir ini penting untuk menjadi penguat
untuk perempuan, bahwa perempuan tidak berjuang
sendiri konsekuensi logisnya kita harus mengedukasi
publik bahwa perempuan bukan entitas yang
dikesampingkan.

5. Bagaimana efektifitas lembaga Solidaritas Perempuan


dalam menjalankan program-programnya?
SP punya mekanisme yang cukup ketat dalam
pelaksanaan-pelaksanaanya. Tadi kita punya level
pengambilan keputusan dari nasional sampai ke
komunitas. Nah untuk itu salah satu bagaimana
merefleksikan bagiman melaksanakan program kita,
efektif gak sih, masih susuai sama konteksnya, apa sih
yang perlu diperbaruin selanjutnya, dan masih cocok gak
sih strategi ini diterapkan. kalo tidak cocok lagi ya kita
ubah termasuk juga dalam forum-forum kita
mengevaluasi sejauh ini pencapaiannya sudah sejauh
mana. Jadi sebelum melakukan itu ada proses
perencanaan bagaiman mengubah perencanaan itu empat
tahun kedepan satu tahun bahkan sampai enam bulan kita
rencanakan. Disitu lah efektifitasnya menjadi terukur,
jadi ada indicator-indikator terpenuhi atau tidak target
kita. Kalo tidak berarti kita perlu untuk mengubah
strategi jadi tidak saklek pada satu atau dua strategi. Nah
kalo efektif atau tidaknya seberapa besar itu
dinamikanya, kadang-kadang efektif dan tidak efektifnya
bukan hanya dari internal SP saja tapijuga dari
eksternal, bagimana dinamika politik di nasional
situasinya. Itu juga sangat mempengaruhi efektifitasnya.

6. Apakah ada kerja sama yang dilakukan dengan instansi


lain dalam menjalankan program-program di lembaga
Solidaritas Perempuan?
SP itu di atur dalam kode etik tidak boleh sembarangan
menjalin mitra dengan berbagai lembaga diluar SP tapi
sejauh ini dengan pemerintah kita bermitra dengan
kementrian pemberdayaan perempuan dan perlindungan
anak, kemudian ada juga beberapa mitra dalam segi
advokasi supaya bagaiman substansi yang kita mau
masuk dalam semua kebijakan itu biasanya tergantung
pada programnya apa, dan isu mandatnya apa. Misalnya
kaya perdagangan bebas dan infestasi, kita
mengelinkkannya itu bisa beda-beda tidak Cuma
kementrian pemberdayaan perempuan tapi juga ke
kementrian perikanan dan kelautan tapi role nya jelas,
track nya jelas. Tapi kita juga bermitra bagaimana sih
kita sama-sama mendorong Negara ini di internasional
mau apa nah itu kalo dari pemerintah. jadi di level desa
pun kita banyak bermitra dengan desa-desa untuk
kemudian memberikan ruang, penting mendapat
dukungan politik di level desa untuk kemudian bisa
mendapat ruang kepada perempuan di organisasi-
organisasi di level desa. Kita juga ada beberapa lembaga
baik internasional maupun nasional local, yang
mendukung kerja-kerja kita itu juga dibatasi dengan kode
etik. Di kode etik itu kita tidak boleh menerima dana dari
uang-uang haram. Yang dimaksud uang-uang haram
adalah yang dihasilkan dari lembaga aktor penindasan
terhadap perempuan, dan sangat haram menerima dana
dari lembaga keuangan internasional. Jadi kalo kita
melakukan kerja sama itu sangat ketat, karena aturannya
sangat ketat juga penjagaannya sampai kita menjadi
dualisme. Disatu sisi kita terima duitnya disatu sisi yang
memberikan duitnya pelaku penindasan terhadap
perempuan tapi disitu sisi kita bela perempuan. SP juga
mengadvokasi kebijakan internasional seperti bank dunia
kaya kemarin ada acara di bali itu kita mengintervensi
betul bagaiman intervensi word bank itu punya efek yang
sangat masif terhadap pelepasan lahan karena
pemerintah kita lagi gencar-gencarnya membangun
insfrastruktur dan sebenarnya tidak punya duit, mau ga
mau harus dapat hutang dari berbagai lembaga itu
sekarang, akhirnya itu juga menjadi dampak-dampak
pelepasan lahan-lahan yang terjadi. Selanjutnya yang
sesama LSM kita membangun koalisi karena kita sadar
betul bahwa tidak bisa berjuang sendiri membangun
kerjasama dengan organisasi-organisasi perempuan,
adapun pada level daerah itu kita juga membangun
lembaga agar kita bisa meguatkan, walau angle nya
bebeda ada yang lingkungan hidup sekali, kita bagian
yang soal perempuannya menjadi gerakan yang massif
dan komprehensif membuat kebijakan untuk rakyat
bersama disini.

7. Siapa saja yang mendukung dalam menjalankan program-


program di lembaga Solidaritas Perempuan?
Kita di SP struktur ada dua, struktur kepengurusan yang
dipilih langsung oleh anggota dan yang memang dibentuk
dari haknya eksekutif, misalnya eksekutif mengangkat
staff. jadi orang-orang yang melaksanakan program
adalah staffnya kemudian juga dengan kualiti control
yang dilakukan dengan pengurus. Dari eksternal
lembaga-lembaga ada, dari pendukung pendanaan itu
ada, dan dari pemerintah juga kita terus membangun
dukungan dari pemerintah .

8. Apa saja kendala-kendala yang dihadapi dalam


menjalankan program-program di lembaga Solidaritas
Perempuan?
Ada dua perspektif, perspektif feminis dalam konteks
pemerintah yaitu gender, biasanya susah jika perspektif
tidak terbangun. Mau tidak mau perspektif kita bangun
dulu dan itu butuh waktuyang lama dan susah karena
perspektif belum dibangun, kedua risistensi dari orang
diluar sana yang membuat perempuan jadi lemah atau
perempuan tidak boleh ngomong terlalu banyak jadi jika
ada perempuan ngomong akan timbul perspektif apaan
sih lu, nah ya itu sih sebenarnya jadi kendala.

9. Bagaimana cara mengatasi kendala-kendala yang dihadapi


dalam menjalankan program-program di lembaga
Solidaritas Perempuan?
Sp membangun peranannya serta strategi kita tidak bisa
frontal tapi pakai cara misalnya kita bisa mengintervensi
pakai cara yang pelan-pelan packaging harus gimana nih
supaya substansi yang kita mau masuk kekepala-kepala
pemerintahan misalnya. Di SP itu kadang-kadang keras,
kadang-kadang ya pelan-pelan.
10. Bagaimana proses pendanaan dalam pelaksanaan
program-program di lembaga Solidaritas Perempuan?
Kita punya role sangat jelas terkait pendanaan tidak bisa
terima yang tidak jelas kita telusiri sumber dananya dari
mana. Sekarang kita mau mendirikan organisasi dan juga
kemandirian. feminis economy solidarity bagian dari
bagaimana perempuan punya keberdayaan secara
ekonomi. Nah kalo kemandirian organisasi bagaimana
kita untuk menciptakan ruang-ruang untuk kita juga bisa
berdaulat jadi tidak tegantung pada pendanan-
pendanaan.
11. Apa saja hasil yang dicapai serta perubahan yang terlihat
dalam program-program di lembaga Solidaritas
Perempuan?
Pencapaiannya sudah banyak, isu perempuan bukan lagi
isu yang asing bukan isu yang aneh bagaiman kita untuk
mendorong perempuan untuk diakui, tetapi untuk menjadi
suatu kebijakan masih susah masih belum cukup massif
tapi untuk isu perempuan sendiri kita sudah tidak susah
payah lagi untuk berbicara mengenai perempuan,
misalnya dalam kontek perempuan di sektor perikanan,
ada orang yang tidak tau bahwa perempuan itu ada loh di
sektor perikanan dalam pikiran banyak orang banyak
nelayan itu laki-laki tapi ada loh perempuan yang
menjadi nelayan tapi sekarang sudah mulai terlihat
bahwa perempuan itu juga ada disektor-sektor yang
mereka tidak bayangi.

12. Bagaimana harapan untuk kedepannya dalam


menjalankan program di lembaga Solidaritas Perempuan?
Harapannya konsistensi dan yang paling penting adalah
regenerasi, ada orang-orang yang punya keresahan
bersama terkait dengan situasi hari ini, khususnya anak-
anak muda. Kita juga lagi bangun gerakan anak muda
yang mau mendengar isu perempuan isu feminis dan tidak
lagi melihat isu feminis mengada ada. Kalo-kalo itu
terjadi disekitar kita dan tidak melihat lagi isu feminis itu
stigma-stigma misalnya feminis itu ngekang banget
padahal sebelum dideklarasikan. Feminis itu kan Cuma
nama, tapi perjuangan soal bagaimana perempuan
menuntut haknya indonesia sudah lebih dulu dari pada
ideologi feminis itu sendiri efeknya itu sendiri
terminology yang ada didunia akademis kita masyarakay
tuh ga punya nama atas semua perjuangan itu. Tapi
karena mengenalnya feminis jadi harapannya feminis
tidak dianggap sebagai pengaruhan laki-laki dan segala
macem karena bermitra bukan siapa mendominasi siapa.
Nah SP sangat menentang perempuan yang dominan gak
boleh perempuan juga melakukan kekerasan itu juga kita
menentang itu tidak hanya laki-laki.

13. Apakah ada program pemberdayaan yang dilaksanakan di


lembaga Solidaritas Perempuan? Jika iya, dimanakah
letak pemberdayaan yang dilaksanakan di lembaga
Solidaritas Perempuan?
Pemberdayaan jelas karena bagian dari strategi kita,
supaya perempuan itu bisa kritis. Mandat kita itu jelas.
Yaitu perempuan marginal tidak punya akses, control,
dan edukasi. Rendah pokoknya sangat terbatas lah ruang-
ruang dan juga akses. Kita sebutnya perempuan marginal
dikampung. Tapi lebih spesifik kita sudah menguatkan
lebih dari 500 desa lebih dari 8000 perempuan untuk di
sebelas komunitas dengan dua daerah persiapan
penguatan komunitas, jadi SP daerahnya itu tidak disebut
cabang, tapi kita sebutnya komunitas ada di Aceh,
Palembang, Lampung, JABODETABEK, kemudian ada
Jogjakarta, di NTB ada dua Sumbawa dan mataram ,
diSulteng ada palu, kemudian ada di Kendari dan
Sulawesi selatan, makasar, dari situ ada dua di NTT dan
Palang Karaya. Yang langsung mengerjakan
pemberdayaannya di komunitas. Disini memberikan
pengutan bagaimana sih strategi pemberdayaan
perempuan. Pendekatan juga tidak hanya ke perempuan
tapi juga ke bapak-bapaknya sejauh ini itu cukup efektif
karena perempuan itu untuk keluar rumah harus ijin
suami, jadi kita butuh juga mengintervensi bahwa ini
bukan Cuma untuk perempuan tapi juga untuk bersama.

14. Apa target utama dalam pelaksanaan pemberdayaan di


lembaga Solidaritas Perempuan?
Targetnya secara umum kita mau perempuan diakui,
bahwa dia entitas warga Negara yang juga punya peran
dan dibuktikan dalam berbagai dimensi, kalo jagka
panjangnya yang penindasan terjadi di perempuan ya.
Semua itu hidup setara, hidup dengan proporsional
bagaimana perempuan yang dia itu dalam biologisnya
punya Rahim, punya kelenjar susu yang punya
keterbatasasn fisik, ya bermitra lah antar laki-laki dan
perempuan.

15. Apa saja yang melatarbelakangi dibentuknya program


perlindungan buruh migran perempuan di lembaga
Solidaritas Perempuan?
SP tidak melihat isu secara terkotak-kotak tetapi menjadi
satu kesatuan, tidak semua perempuan punya akses
terhadap sumber-sumber kehidupan sehingga perempuan
menjadi buruh migran,tapi minim perlindungand dari
Negara. Kemarin tgl 29 ada yang di eksekusi mati di arab
Saudi, jadi itu juga tidak ada pemberitahuan ke
pemirantah serta keluarga. Itu terjadi dibanyak tempat
tidak ada aperlindungan samsa sekali, sudah di kampung
halamannya tidak ada penghidupan sama sekali dan
dinegara orang tidak mendapat perlindungan. Padahal
devisa yang masuk kenegara masuk kedalam lima besar
devisa Negara. Dilain sisi kita tidak sepakat pada
mobilisasi perempuan, ada monatorium atau
pemberentian pengiriman buruh migran ke Negara-
negara lain. Menurut kita mobilitas itu adalah hak kita.
Jadi hak untuk berpindah itu menjadi hak kita. Tapi
Negara itu harusnya melindungi orang-orang yang
memobilisasi bukan memberhentikan mobilisasi tersebut.
Pilihan itu kita yang mengambil, yang perludi kita lihat
didesa itu adalah latar belakang kenapa ada
mobilisasi.Misalkan karena sudah tidak punya tanh atau
tanahnya sudah diambil sama perusahaan, terus kita
melarang dia untuk tidak bekerja.
PEDOMAN WAWANCARA DIVISI PERLINDUNGAN
BURUH MIGRAN DAN KELUARGANYA DI
LEMBAGA SOLIDARITAS PERERMPUAN

Nama : Andriyeni (40)

Nama Inisial : AY

Hari/ Tanggal : Rabu, 07 November 2018

Jabatan :STAFF Penanganan Kasus Divisi


Perlindungan Buruh

Migran Dan Keluarganya

Tempat Wawancara : Gazebo Lembaga Solidaritas Perempuan

Daftar Pertanyaan

1. Sudah berapa lama bekerja didivisi perlindungan buruh


migran perempuan dan keluarganya di lembaga
Solidaritas Perempuan?
4 tahun kurang lebih ya.
2. Apa saja tugas divisi perlindungan buruh migran
perempuan dan keluarganya di lembaga Solidaritas
Perempuan?
Menangani laporan masuk buruh migran dan
keluarganya dan memberikan penguatan terhadap buruh
migran perempuan dan keluarganya.
3. Bagaimana peran divisi perlindungan buruh migran
perempuan dan keluarganya dalam memberikan
perindungan terhadap buruh migran perempuan dan
keluarga yang tidak mendapatkan hak-haknya?
Di divisi migrasi itu ada dua, ada advokasi kasus dan
advokasi kebijakan. Advokasi kasus itu kemudian akan di
analisis untuk mengadvokasi kebijakan yang ada,
sehingga perlindungan itu tetap terwujud perlindungan
yang komprehensif terhadap buruh migran dan
keluarganya. Selanjutnya advokasi kebijakan itu
bagaimana kita mengadvokasi kebijakan agar kebijakan
itu mempunyai perspektif yang sesuai dengan keadaan
sekarang terhadap buruh migran
4. Siapa saja yang terlibat dan mendukung dalam
penanganan kasus buruh migran perempuan?
Di advokasi kasus kan ada dua nih ada litigasi dan non
litigasi. Yang litigasi itu kaya kita ke BNP2TKI,
Kementrian luar Negri, kementrian tenaga kerja
kemudaian beserta jajarannya, di daerah ya BP3TKI dan
LP3TKI karena SP itu bukan hanya ada di Jakarta tapi
juga ada di sebelas komunitas lainnya dan kemudian
tujuh komunitas ngambil isu migrasi, kemudian
kementrian luar negri, kementrian tenaga kerja dan
pihak-pihak lainnya. Kalo litigasi membuat laporan
pengaduan ke polisi umumnya terkait kasus trafficking.
Kalo non litigasi diluar jalur hukum, prinsip dari
penangan kasus SP itu kan keterlibatan penuh dari
keluarga atau PBM langsung, jadi memang bersama-
sama melakukan proses penanganan kasus bersama-sama
mendiskusikannya, bersama-sama menganalisis,
bersama-sama menentukan strategi penangan kasusnya,
dan bersama-sama melakukan proses penanganan
kasusnya karena memang tujuan kita bukan hanya
sekedar kasus selesai tapi juga bagaimana penguatan dan
pemberdayaan terhadapa PBM dan keluarganya.
5. Apa saja kegiatan atau program yang dilakukan dalam
program perlindungan buruh migran di lembaga
Solidaritas Perempuan?
Kita itu ada kalo kaya di komunitas kita ada diskusi
kampung, advokasi kasus, advokasi kebijakan, kita ada
learning crycle, kita ada audiensi, kita ada traning-
traning untuk penguatan kapasitas seperti traning
paralegal dan penguatan kapasitas lainnnya.

6. Apa saja metode dan strategi yang digunakan dalam


penanganan kasus buruh migran perempuan?
Perspektif kita kan perspektif feminis ya bagaimana
melihat relasi antara laki-laki dan perempuan, dan
kerentanan perempuan, karena bagaimanapun kita
melihat migrasi ini berwajah perempuan karena
kebanyakan buruh migran yang bekerja di luar negri itu
adalah perempuan dan kebanyak dari perempuan yang
bekerja di luar negri itu sebagai PRT. nah PRT itu kan
pekerjaan-pekerjaan domestik yang sampai sekarang itu
di anggap informal oleh Negara, karena dia informal
sehingga hubungannya dengan majikannya itu tidak ada
jam kerja yang jelas kalo dai formal kerja dipabrik kan
ada jam kerja yang jelas ada hitungan waktunya kalo
informal dia masuk kedalam rumah dan kemudian tidak
ada aturan yang jelas berapa jam sehingga banyak
kerentanan-kerentanan yang di alami oleh perempuan
buruh migran. Strategi untuk melakukan proses
penanganan kasus itu memang kita sesuaikan dengan
tuntutan keluarga, kan ada kasus masuk nih, kasus masuk
kemudian kita lihat berkasnya, isi form pengaduan SP
lalu sesuai kriteria kasus SP (dia perempuan, bekerja ke
luar negri menjadi PRT) sesuai dengan kriterian kasus itu
lalu kita dampingi, ada surat kuasanya, setelah ada form
pengaduannya kita analisis bersama-sama, setelah itu
kita bisa menentukan strategi penanganan kasusnya itu,
tentu bersama-sama dengan keluarga ya. Nah selanjutnya
melakukan proses penanganan kasusnya bersama juga
dengan keluarga.
7. Apa tujuan dari advokasi terhadap perlindungan buruh
migran perempuan?
Terwujudnya perlindungan yang komprensif terhadap
buruh migran perempuan dan keluarganya.

8. Dari mana saja masuknya laporan kasus yang ditangani


Lembaga Solidaritas Perempuan?
Kasus masuk itu ada 3, ada yang datang langsung dari
buruh migran perempuan atau keluarganya, ada yang
rujukan dari lembaga lain misalnya dari SBMI nih karena
itu kasusnya perempuan jadi mereka rujuk kesini, atau
rujukan dari komnas perempuan yang dirujuk kesini,dan
hasil investigasi kita ke lapangan. Jadi dari tiga itu kasus
masuknya.
9. Apa ada kerjasama yang dilakukan dalam program
perlindungan buruh migran di lembaga Solidaritas
Perempuan?
Kita kan punya kerja sama jaringan ya, baik itu level
daerah maupun regional, dan internasional.
10. Apa saja kendala-kendala yang dihadapi dalam
menjalankan program-program di lembaga Solidaritas
Perempuan khususnya divisi buruh migran dalam
menangani kasus-kasus perlindungan buruh migran?
Kendalanya sampai sekarang ini memang perspektif
Negara dalam melihat buruh migran, karena perspektif
itu menghasilkan kebijakan-kebijakan yang tidak
memberikan perlindungan, bagaimana sampai sekarang
buruh migran masih di jadikan komoditas.

11. Bagaimana cara mengatasi kendala-kendala yang dihadapi


dalam menjalankan program-program di lembaga
Solidaritas Perempuan khususnya divisi buruh migran
dalam menangani kasus-kasus perlindungan buruh
migran?
Yang dilakukan ya kita advokasi terus-terusan baik itu
advokasi kasus, advokasi kebijakan, kita kampanye, dan
aksi.
12. Apa yang membuat kasus yang sedang ditangani SP ini
dikatakan selesai?
Secara penanganan kasus di anggap selesai ketika
tuntutan keluarga sudah dipenuhi. Tetapi karena SP itu
perspektifnya feminis, tidak selesai komunikasi kita tidak
selesai tapi kita berkomunikasi dengan memberikan
penguatan-penguatan, pendampingan-pendampingan
karena harapannya agar mereka menjadi paralegal-
paralegal yang bisa bantu orang lain juga.
13. Apa hasil yang sudah didapatkan dalam program
perlindungan buruh migran di lembaga Solidaritas
Perempuan?
Kalo sekarang ini sudah ada kasus-kasus yang berhasil
diselesaikan, terpenuhinya hak buruh migran dan
keluarganya, kemudian advokasi kebijakan kita berhasil
bersama-sama dengan masyarakat sipil merevisi Undang-
Undang No 39 Tahun 2004 tentang PPTKIL menjadi
Undang-Undang No 18 Tahun 2017 Tentang
Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Saat ini
advokasi kebijakan masih terus berlanjut untuk aturan
turunan dari Undang-undang no 18 itu sendiri.
14. Apa yang dilakukan divisi buruh migran dalam
pemantauan klien setelah proses perlindungan?
Ya Penguatannya kita tetap melibatkan dalam diskusi-
diskusi kampung, peningkatan kapasitas yang sudah
memiliki pengalaman tersebut.
15. Apakah UU perlindungan sudah dapat diimplementasikan
secara baik belakangan ini?
Belum, karena UU No. 18 Tahun 2017 ini masih
memerlukan aturan turunan. Nah turunan ini masih
belum ada,sekarang ini masih advokasi kebijakan
bersama masyarakat untuk aturan turunan UU No. 18
tadi.
16. Apakah ada program pemberdayaan yang dilaksanakan di
lembaga Solidaritas Perempuan? Jika iya, dimanakah
letak pemberdayaan yang dilaksanakan divisi
perlindungan buruh migran dan kelurganya di lembaga
Solidaritas Perempuan?
Pemberdayaan sih kalo kita itu istilahnya penguatan ya,
penguatan terhadap buruh migran perempuan dan
keluarganya. Nah penguatannya dari mana ya dari
diskusi-diskusi, peningkatan-peningkatan kapasitas,
melibatkan mereka dalam kegiatan-kegiatan SP, dan
Mengikut sertakan mereka dalam penangan kasus di SP.
17. Apa target utama dalam pelaksanakan pemberdayaan
divisi perlindungan buruh migran dan kelurganya di
lembaga Solidaritas Perempuan?
Terwujudnya perlindungan yang komprehensip terhadap
buruh migran dan keluarganya.
18. Apa harapan kedepannya terkait kurangnya perlindungan
terhadap buruh migran perempuan di Indonesia?
Sebenarnya banyak harapannya. Pertama ada
perlindungan yang komprehensif buruh migran dan
keluarganya, kemudian perspektif kita selama ini melihat
buruh migran bukan hanya dilihat sebagai komoditas tapi
juga dilihat sebagai manusia, yang sama dengan manusia
lainnya memiliki hak untuk bekerja, berhak untuk
dilindungi. Yang itu kewajiban Negara mereka itu sebagai
warga Negara lainnya yang berhak mendapatkan
perlindungan Negara.
PEDOMAN WAWANCARA KORBAN BURUH MIGRAN
PEREMPUAN DAN KELUARGA YANG DITANGANI
LEMBAGA SOLIDARITAS PERERMPUAN

Nama : Nurhidayah (37)

Nama Inisial : NH

Hari/ Tanggal : Rabu, 7 November 2018

Tempat Wawancara : Melalui telepon (Makasar)

Negara Tempat Bekerja : Malaysia

Daftar Pertanyaan

1. Apakah anda pernah/mempunyai keluarga yang bekerja


sebagai buruh migran perempuan?
Saya dan suami pernah menjadi buruh migran di
Malaysia, kalo saya lima bulan tapi suami masih disana
sudah dua tahun lebih.

2. Apa masalah yang sedang atau pernah dihadapi selama


menjadi buruh migran perempuan?
Yang masalah itu gajinya dan Permasalahannya itu
perjanjian kontraknya tidak sesuai. Sebelum kita
berangkat di imingi gaji tinggi.

3. Dimana anda mengenal lembaga Solidaritas Perempuan?


Mengenal SP dari Ibu Ida, mengenal ibu Ida kan itu ada
spanduknya dekat rumah, trus ada tetangga ngasih tau
saya kalo kamu melapor kesana saja, dan saya lihat disitu
ada posko pembela buruh migran.
4. Apa alasan anda membutuhkan lembaga Solidaritas
Perempuan?
Alasan saya kalo sekarang supaya suami saya bisa
dipulangkan secepatnya.
5. Apa saja pelayanan yang diberikan lembaga solidaritas
perempuan untuk masalah yang dihadapi?
SP mendampingi saya ke polres tabes, ke kantor DPTKI,
SP mendampingi saya terus dalam menangani kasus yang
sedang saya alami bersama suami yang belum balik juga
ke Indonesia. SP juga memberikan saya semangat,
motivasi agar tidak terlalu merasa takut menghadapi
masalah sebegini beratnya.

6. Apa saja keterlibatan lembaga Solidaritas Perempuan


terhadap kasus yang anda pernah hadapi?
SP menyelesaikan kasus pergi ke kantor-kantor tenega
kerja Indonesia, mengadvokasi untuk menyelesaikan
kasus saya.
7. Apa saja solusi yang diberikan oleh lembaga Solidaritas
Perempuan? Apakah solusi yang diberikan membantu
dalam penyelesaiaan kasus anda?
Membantu, SP selalu membantu saya menyelesaikan
kasus ini. Solusinya katanya harus tenang, sabar dan
bersama sama mengupayakan permasalahan ini.
8. Apa ketika anda atau keluarga buruh migran perempuan
yang pernah menghadapi masalah ini dapat membagi
pengetahuannya untuk saudara yang membutuhkan atau
menjadi paralegalnya?
Insha Allah bisa, kalo saya melihat orang yang punya
masalah sama begini saya tau awal-awalnya harus
seperti apa dulu. Tapi kalo yang masalahnya mirip saya.

9. Apa saja manfaat yang dirasakan dari keterlibatan


lembaga Solidaritas Perempuan?
Manfaatnya banyak, tadinya saya malu berbicara
sekarang bisa berbicara membela yang benar. Dulunya
ga tau cara membela perempuan jadinya tahu cara
membela perempuan.

10. Apa saja harapan untuk lembaga Soildaritas Perempuan?


Harapan saya semoga lebih bagus lagi kedepannya dan
bisa menolong perempuan, supaya perempuan tidak
selalu tertindas.
PEDOMAN WAWANCARA KORBAN BURUH MIGRAN
PEREMPUAN DAN KELUARGA YANG DITANGANI
LEMBAGA SOLIDARITAS PERERMPUAN

Nama : Aziz (50)

Nama Inisial : Az

Hari/ Tanggal : Rabu, 7 November 2018

Tempat Wawancara : Melalui telepon (Sumbawa)

Negara Tempat Bekerja : Arab

Daftar Pertanyaan

1. Apakah anda pernah/mempunyai keluarga yang bekerja


sebagai buruh migran perempuan?
Iya istri sendiri namanya Mulyati
2. Apa masalah yang sedang atau pernah dihadapi selama
menjadi buruh migran perempuan?
Masalahnya hilang kontak selama 2 tahun.

3. Dimana anda mengenal lembaga Solidaritas Perempuan?


Saya mengenal SP dari ibu Sulyani dan Ningsih datang,
Kebetulan saya punya istri hilang kontak.
4. Apa alasan anda membutuhkan lembaga Solidaritas
Perempuan?
Karena Sp memperhatikan masalah perempuan terutama
masalah tenaga kerja. SP bantu urus masalah kita, kita
juga ikut mengurusnya tidak berpangku tangan saja
dirumah. Ya kita kan masyarakat awam tidak mengerti
cara-caranya.
5. Apa saja pelayanan yang diberikan lembaga solidaritas
perempuan untuk masalah yang dihadapi?
Memotivasi, mengurus semuanya bersama-sama, dan
transport saya juga di urus. Pengurusannya tidak pernah
terlambat. Jika saya disuruh ikut mengurus hari ini ya
saya langsung jalan.
6. Apa saja keterlibatan lembaga Solidaritas Perempuan
terhadap kasus yang anda pernah hadapi?
Membantu kelengkapan data, menghubungi KBRI agar
istri saya bisa dihubungi.
7. Apa saja solusi yang diberikan oleh lembaga Solidaritas
Perempuan.Apakah solusi yang diberikan membantu
dalam penyelesaiaan kasus anda?
Memberikan motivasi, kita harus sabar karena saya
dibantu untuk mengurus masalah ini. Karena berkat SP
saya bisa mengurus maslah ini.
8. Apa ketika anda atau keluarga buruh migran perempuan
yang pernah menghadapi masalah ini dapat membagi
pengetahuannya untuk saudara yang membutuhkan atau
menjadi paralegalnya?
Selama ini kalo ada keluarga yang punya masalah yang
sama saya pasti kasih motivasi juga, saya juga bilang
untuk ke SP saja karena SP bisa membantu juga.
9. Apa saja manfaat yang dirasakan dari keterlibatan
lembaga Solidaritas Perempuan?
Alhamdulilah selama mengenal SP ini tidak lagi hilang
kontak, tidak ada kekerasan di luar negri, bisa langsung
menghubingi SP jika ada masalah karena kebetulan
nomernya saya masih punya ini.
10. Apa saja harapan untuk lembaga Soildaritas Perempuan?
Harapannya SP kalo bisa memberikan usaha kecil dan
menegah lagi, agar memiliki usaha dikampung. Karena
masalah dsini untuk perempuan kenapa keluar negri
karena masalah ekonomi.
PEDOMAN WAWANCARA KORBAN BURUH MIGRAN
PEREMPUAN DAN KELUARGA YANG DITANGANI
LEMBAGA SOLIDARITAS PERERMPUAN

Nama : Ratna

Nama Inisial : RN

Hari/ Tanggal : Rabu, 7 November 2018

Tempat Wawancara : Melalui telepon

Negara Tempat Bekerja : Singapura

Daftar Pertanyaan

1. Apakah anda pernah/mempunyai keluarga yang bekerja


sebagai buruh migran perempuan?
Iya saya pernah menjadi buruh migran.
2. Apa masalah yang sedang atau pernah dihadapi selama
menjadi buruh migran perempuan?
Majikan pertama gelagatnya udah ga enak, tas dibuka-
bukain, dibuang-buangin barang saya, ga boleh dibawa
kerumahnya barang saya. Di majikan pertama
perlakuannya kurang baik lah, saya tidurnya di
gudang.Tapi dimajikan kedua rada baik Alhamdulillah,
tapi saya sakit trus kata majikan kedua saya gausah kerja
lagi suruh pulang aja ke Indonesia. Tapi yang
mempermasalahkan agent yang tidak memperbolehkan
saya pulang, akhirnya disitu saya tertekan bingung harus
gimana,kerja engga jadinya. Di suruh pulang sama
majikan tapi agent yang di Indonesia neken ibu saya
katanya harus ada jaminan saya pulang. Ya kurang lebih
seperti itu. Saya juga lagi coba lupain.
3. Dimana anda mengenal lembaga Solidaritas Perempuan?
Saya tau SP dari keluarga saya yang meminta bantuan SP
untuk bisa pulang. Taunya ya dari pak Iyos. Waktu itu kan
saya masih di Singapura ya. Waktu di jemput pun sama
SP dibandaranya.
4. Apa alasan anda membutuhkan lembaga Solidaritas
Perempuan?
Untuk pendampingan penyelesaian masalah yang sedang
saya hadapi.
5. Apa saja pelayanan yang diberikan lembaga solidaritas
perempuan untuk masalah yang dihadapi?
Utamanya sih motivasi untuk saya ga putus asa, untuk
saya bisa semangat lagi, dan memberikan motivasi yang
positif lah agar saya ga down pulang dari singapur itu.
Memberikan jalan keluar juga dari masalah saya itu.
6. Apa saja solusi yang diberikan oleh lembaga Solidaritas
Perempuan, Apakah solusi yang diberikan membantu
dalam penyelesaiaan kasus anda?
Saya disuruh menenangkan diri saya dulu, disuruh bed
res, memberi ketenangan dulu, biar ga terlalu banyak
pikiran.
7. Apa ketika anda atau keluarga buruh migran perempuan
yang pernah menghadapi masalah ini dapat membagi
pengetahuannya untuk saudara yang membutuhkan atau
menjadi paralegalnya?
Mungkin dari pengalaman saya ya saya bisa sharing,
misalkan ada keluarga yang punya masalah begitu juga
kenapa tidak saya memberikan infomasi juga gitu. Apa
yang saya alami ya saya sharing juga gtu.
8. Apa saja manfaat yang dirasakan dari keterlibatan
lembaga Solidaritas Perempuan?
Alhamdulillah bisa lebih tenang menjalankan aktifitas.
Tadinya saya masih ketakutan, masih trauma. Banyak
sekali segi positif yang diberika SP untuk saya dan
keluarga.
9. Apa saja harapan untuk lembaga Soildaritas Perempuan?
Semoga sukses sekalu, pokoknya yang baik-baik. Apaun
masalahnya pasti bisa dilalui dengan baik-baik.
PEDOMAN WAWANCARA KORBAN BURUH MIGRAN
PEREMPUAN DAN KELUARGA YANG DITANGANI
LEMBAGA SOLIDARITAS PERERMPUAN

Nama : Pak Icung

Nama Inisial : IC

Hari/ Tanggal : Rabu, 7 November 2018

Tempat Wawancara : Melalui telepon

Negara Tempat Bekerja : Arab

Daftar Pertanyaan

1. Apakah anda pernah/mempunyai keluarga yang bekerja


sebagai buruh migran perempuan?
Iya namanya Sumartini.
2. Apa masalah yang sedang atau pernah dihadapi selama
menjadi buruh migran perempuan?
Dituduh santet katanya, karena anak majikannya hilang
selama sepuluh hari terus balik lagi terus sudah terlanjur
dituntut sama majikannya, tapi kan anaknya sudah balik
selama sepuluh hari, dituduh tapi kan tidak ada bukti apa
katanya dia dulu waktu aku masih sambung hp nya dia
itu.
3. Dimana anda mengenal lembaga Solidaritas Perempuan?
SP datangi aku, aku pernah di Jakarta itu ke Seknas SP
Jakarta setengah bulan itu. Saya ke Jakarta bareng anak-
anak SP Sumbawa.

4. Apa alasan anda membutuhkan lembaga Solidaritas


Perempuan?
Untuk mendampingi saya menyelesaikan masalah
Sumartini itu, kan orang SP itu yang paham maslahnya.
5. Apa saja pelayanan yang diberikan lembaga solidaritas
perempuan untuk masalah yang dihadapi?
Dia kasih tau apa yang harus dilakukannya, makanya aku
minta tolong SP untuk Sumartini,
6. Apa saja keterlibatan lembaga Solidaritas Perempuan
terhadap kasus yang anda pernah hadapi?
Mencari informasi untuk selesaikan masalah Sumartini.
7. Apa saja solusi yang diberikan oleh lembaga Solidaritas
Perempuan, Apakah solusi yang diberikan membantu
dalam penyelesaiaan kasus anda?
Kan dia katanya mau kena hukuman pancung, supaya
bisa pulang saya berusaha sama SP, Sumartini itu sudah
sepuluh tahun di Arab. Saya di beri tahu apa-apa saja
yang harus dilakukannya.
8. Apa ketika anda atau keluarga buruh migran perempuan
yang pernah menghadapi masalah ini dapat membagi
pengetahuannya untuk saudara yang membutuhkan atau
menjadi paralegalnya?
Ya aku sedikit saja tau lah harus bagaimananya, tapipasti
aku suruh bilang ke SP saja kalo ada masalah-masalh
begitu.
9. Apa saja manfaat yang dirasakan dari keterlibatan
lembaga Solidaritas Perempuan?
Kasih tau aku proses-proses supaya Sumartini itu pulang
bagaimana saja gitu.

10. Apa saja harapan untuk lembaga Soildaritas Perempuan?


Supaya Sumartini cepat selesai masalahnya karena sudah
harus waktunya pulang ini, dan suapaya semua maslah
yang sedang di selesaikan SP ini selesai semua cepat-
cepat.
PEDOMAN WAWANCARA KORBAN BURUH MIGRAN
PEREMPUAN DAN KELUARGA YANG DITANGANI
LEMBAGA SOLIDARITAS PERERMPUAN

Nama : Ibu Min

Nama Inisial : MN

Hari/ Tanggal : Rabu, 7 November 2018

Tempat Wawancara : Melalui telepon

Negara Tempat Bekerja : Taiwan

Daftar Pertanyaan

1. Apakah anda pernah/mempunyai keluarga yang bekerja


sebagai buruh migran perempuan?
Iya ade saya namanya Kholifah.
2. Apa masalah yang sedang atau pernah dihadapi selama
menjadi buruh migran perempuan?
Pertamanya kan kerja di Panti ngurusin orang Jompo
gitu. Problemnya kana ade saya sakit kerja di pabrik
kadang kan lembur kan tuh, dia bikin mie, main-main air
bikin mienya, nah meninggalnya itu belum sampai dua
tahun lalu. Penyebabnya itu ga kuat dingin kayanya kan
di Taiwan itu waktu itu lagi musim dingin apa lagi
orderan mienya banyak di pabrik mie itu. Problemnya
justu nih sama orang Indonesia itu sendiri.
3. Dimana anda mengenal lembaga Solidaritas Perempuan?
Ade saya kan anak MAPA (Manusia Pecinta Alam) nah
ade saya lagi jenguk temennya di rumah sakit, ketemu di
RS ketemu sama mbak Yeni, minta tolong sama mba Yeni
yang kerja di SP.
4. Apa alasan anda membutuhkan lembaga Solidaritas
Perempuan?
Alasannya kana ade saya ini kan ada masalah dari PT,
nah pihak dari keluarga mau mengeluarkan zenazah ade
saya dari PT ada kesulitan , nah gimana gtu cara-cara
biar bisa pulang cepet, minta solusi deh ke SP. Trus saya
sama temen saya ke SP nih nah dibantuin itu. Disuruh
lengkapin semua data dulu untuk memulangkannya.
Untung Alhamdulillah dia meninggal paspornya, KTP
nya ada, kan saya minta tolong juga ke SP. Kan kalo ga
lengkap juga gabisa, harus lengkap.
5. Apa saja pelayanan yang diberikan lembaga solidaritas
perempuan untuk masalah yang dihadapi?
SP ngasih gambaran cara-caranya, SP nganter saya ke
pihak asuransi dianter depatemen luar negri dianter, kan
saya ga tau tuh cara-caranya bagaimana. Ke PT juga
minta surat-surat berkas-berkas gimana caranya, SP
memberikan prosedurnya, pihak SP membantu mengantar
dan semuanya deh.
6. Apa saja keterlibatan lembaga Solidaritas Perempuan
terhadap kasus yang anda pernah hadapi?
Pertama prosedurnya tuh SP ngasih gambaran. Pihak SP
mau bagaimna ke keluarga, nah saya menyerahkan kuasa
ke pihak SP biar menyerahkan urusannya ke pihak SP,
jadi keluarga saya merasa dibantu, karena pihak Taiwan
memulangkan zenazah harus lengkap semua surat-
suratnya. Terus SP nganter saya ke pihak asuransi
dianter, di depatemen luar negri dianter, kan saya ga tau
tuh cara-caranya bagaimana. Ke PT juga minta surat-
surat berkas-berkas gimana caranya, kan saya gak tau
cara-caranya. SP memberikan prosedurnya.
7. Apa saja solusi yang diberikan oleh lembaga Solidaritas
Perempuan? Apakah solusi yang diberikan membantu
dalam penyelesaiaan kasus anda?
Ya SP membantu nanyain Asuransi ke BNP2TKI juga, kan
PTnya resmi, jadi pasti ada di asuransiin. Ya sangat
membantu jadi paham juga cara-caranya.
8. Apa ketika anda atau keluarga buruh migran perempuan
yang pernah menghadapi masalah ini dapat membagi
pengetahuannya untuk saudara yang membutuhkan atau
menjadi paralegalnya?
Saya sudah pengalaman, pasti saya nerangin juga, tapi
kalo jalan sediri kurang ngerti juga, tapi tahapannya saya
ngerti. Tapi saya bisa kasih tau harus kemananya lah
hehe.
9. Apa saja manfaat yang dirasakan dari keterlibatan
lembaga Solidaritas Perempuan?
Ya manfaatnya mempermudah, namanya kita ga ngerti,
tadinya PT bilang ga dapet asuransi, tapi jadi bisa
dipulangkan dan dapat asuransi.
10. Apa saja harapan untuk lembaga Soildaritas Perempuan?
Harapannya saya kalo ada pihak dari keluarga yang ada
SP selalu membantu berbuat yang terbaik lah ya, cara
pengurusan masalah surat-suratnya, prosedurnya, kita ga
tau tempatnya dianter, semua-semuanya dibantu.
PEDOMAN WAWANCARA KORBAN BURUH MIGRAN
PEREMPUAN DAN KELUARGA YANG DITANGANI
LEMBAGA SOLIDARITAS PERERMPUAN

Nama : Rustandhi

Nama Inisial : RT

Hari/ Tanggal : Rabu, 7 November 2018

Tempat Wawancara : Melalui telepon

Negara Tempat Bekerja : Malaysia

Daftar Pertanyaan

1. Apakah anda pernah/mempunyai keluarga yang bekerja


sebagai buruh migran perempuan?
Pernah, anaknya Didi namanya Siti Bariah tujuannya ke
Malaysia sektor formal diakerja disalahsatu pabrik
pembuatan bahan baku pakaian
2. Apa masalah yang sedang atau pernah dihadapi selama
menjadi buruh migran perempuan?
Dia kerja di sektor pabrik yg sudah terjadwal kerjanya
dan saya selalu memperioritaskan keluarga saya bekerja
di sektor formal, untuk masalahnya kebetulan waktu itu
dia tidak ada kasus, adapun kasus yg di dampingi SP saat
itu tahun 2008 ada beberapa kasus yg didampingi SP
kasus fitnah dari majikan jadi mungkin kalau di Arab
Saudi kan kasusnya tuh waktu tahun 2008/2009 masih
buka kan tuh Arab Saudi di sektor informal yaa tapi saya
harus buka file lagi untuk nama” TKW nya yaa, yg di
dampingi dengan SP itu kasus indikasi meracuni majikan
jadi waktuitutuh dia itu dikasih makan sesuatu sehingga
dia padahal tuh majikannya ada kelainan di metabolisme
tubuhnya jadi si majikannya itu ada offer gula darahnya
kemudian dia meninggal dituduh meracuni atau
mengguna-guna majikan waktuitutuh, karena ada barang
bukti rambut yang tersisa kemudian ada Qur'an dulukan
dia suka baca ada Qur'an kecil disangkanya ada sihir itu
tahun 2009 itu mah sehingga mekanisme pembelaan
waktuitutuh nyaris hampir setengah tahun tuh lima
bulanan selesai kasus itu kurang lebih ya jadi saat
pendampingan itu kita mengadukan ke kementerian luar
negeri ke BNPB TKI sama ke kedutaan besar.
3. Dimana anda mengenal lembaga Solidaritas Perempuan?
dari keluarga korban dan saya memang ada teman saya
SDMI yang berjejaring dengan solidaritas perempuan,
nah inikan serikat buruh imigran Indonesia ada temen
saya disitu pengurus kemudian dia merekomendasi untuk
ke SP sayapun menuju ke SP untuk kasus yang saya
dampingi ini karena kitapun kan tidak punya kekuatan
kalau saya sendirikan cuma paguyuban
4. Apa alasan anda membutuhkan lembaga Solidaritas
Perempuan?
Membutuhkan SP disini karena memang masalah ini juga
ya masalah bahwa ini buruh imigran perempuan yang
mungkin konsen di solidaritas perempuan lebih fokus kalo
SP dan fasilitas semua diberikan sama SP ketika ada
beberapa ketika ada keluarga tidak mampu maka SP
memfasilitasi untuk transportasi danpenginapan fasilitas
berupa SP memberikan tranport untuk kita dan
akomodasi untuk kita kemudian fasilitas kita diberikan
rumah singgah rumah aman selama proses penanganan
kasus itu berjalan, kadang-kadang kasus kan tidak cukup
satu hari kan bisa dua hari gitu ya, kita nginap di SP ada
rumah aman SP
5. Apa saja pelayanan yang diberikan lembaga solidaritas
perempuan untuk masalah yang dihadapi?
Mendampingi kasus Hingga selesai dan selama proses
berlangsung kita tuh di sediakan rumah aman SP sama
ngasih transport juga ke kita
6. Apa saja keterlibatan lembaga Solidaritas Perempuan
terhadap kasus yang anda pernah hadapi?
Kalau terlibat secara langsung dia mendampingi kasus
sampai selesai jadi selama kasus itu memang di daerah
Jakarta itu ya penanganan kasusnya jadi saya sebagai
ormas buruh imigran sendirikan cuma bisa mengantarkan
ke SP kemudian siburuh imigran keluarganya memberi
surat kuasa ke SP
7. Apa saja solusi yang diberikan oleh lembaga Solidaritas
Perempuan? Apakah solusi yang diberikan membantu
dalam penyelesaiaan kasus anda?
Kalau SP itu memberi bantuan hukum jelas kalau
memang ada kasus-kasus hukum yang melibatkan
beberapa pihak jelas disini SP bisa selaku kuasa hukum
dari keluarga buruh imigran, jadi kemampuan SP disitu
saya lihat.
8. Apa ketika anda atau keluarga buruh migran perempuan
yang pernah menghadapi masalah ini dapat membagi
pengetahuannya untuk saudara yang membutuhkan atau
menjadi paralegalnya?
Iya masih dibutuhkan para legal seperti yang saya rujuk
kemarin kasus pemulangan TKI ternyata unprosedural,
saya selaku para legal rujukan ke SP bahwa kemudian
dalam peroses penyelesaian dan penanganan sekarang,
kasus-kasus sekarang memang masih ada walaupun
dimoratorium timur tengah tapi ada beberapa kasus juga
muncul.
9. Apa saja manfaat yang dirasakan dari keterlibatan
lembaga Solidaritas Perempuan?
Bagi kita keluarga buruh imigran kalaupun ada kasus ya
kita lebih tenang gitu, sebelumnya kan ketika masih awam
keluarga buruh imigran Kitakan ngadu kalau ada kasus
kan ke seponsor, seponsor larinya ke PT nanti justru
kalau jalurnya begitu nanti PT suka membela diri dan
selalu menyalahkan pihak buruh imigrannya jadi tidak
tenang, jadi kalau kita lari ke SP jelas-jelas sp tidak
memihak kesana dan tidak memihak kesini dan
berdasarkan hukum yang berlaku undang-undang yang
berlaku disitu bisa clear nah kadang PT menutup-nutupi
kan dibilang resmi, dibilang melalui BLK pelatihan ada
kontrak kerja ternyata pada pemberangkatannya dia
mengunakan visa kunjung yang waktunya 14hari. Kan ini
kasus yang sedang ditangani sp kasus kayak gini
penyalahgunaan dokumen
10. Apa saja harapan untuk lembaga Soildaritas Perempuan?
Harapannya sih SP maju terus gitu jadi artinya dia harus
eksis gitu ya untuk membela perempuan dan saya pikir
bukan kasus buruh imigran saja yaa, kasus-kasus
perempuan teraniaya lainnya juga, kasus anak-anak juga
ya bisa juga bekerja sama dengan SP continue.
PEDOMAN WAWANCARA KORBAN BURUH MIGRAN
PEREMPUAN DAN KELUARGA YANG DITANGANI
LEMBAGA SOLIDARITAS PERERMPUAN

Nama :Tri dayani (24)

Nama Inisial : TD

Hari/ Tanggal : Rabu, 7 November 2018

Tempat Wawancara : Melalui telepon

Negara Tempat Bekerja : Brunei Darussalam

Daftar Pertanyaan

1. Apakah anda pernah/mempunyai keluarga yang bekerja


sebagai buruh migran perempuan?
Iya saya pernah menjadi buruh migran perempuan.

2. Apa masalah yang sedang atau pernah dihadapi selama


menjadi buruh migran perempuan?
Kemarin pas Kaka pergi itu pas tamat SMA ada
sebenernya kalau ngikutin mekanisme orang-orang
Indonesia yg kerja di luar negeri kan batasnya kalo gak
salah 18tahun tapi pas Kaka kesana itu belum genap
17tahun, jadi darisitu semua dokumennya dipalsukan
terus pas masih dikampung dikasih tau, awalnya kan
perginya ke Singapore tuh makannya mau juga sama
temen-temen juga sama temen sekolah Kaka juga pengen
kesannya itu karena memang ada temen siapa tau ada
obat hati gitu di penampungan, setelah itu tau-taunya
temen-temen Kaka berangkat duluan terus Kaka dari
Sumbawa suruh berangkat sendiri naik bus dari Sumbawa
benar-benar sendiri gitu mulai dari naik bus, naik kapal,
dan ini itunya sendiri, terus semua itu balik lagi ke
dokumennya itu sendiri dirubah Kaka kan kelahiran 94
jadinya diubah jadi 19-mei-1992, semua mulai dari
paspor, KTP, dan KK itu keubah semua terus pas sampe
penampungan itu kan biasanya setidaknya kalau kita
berangkat keluar negeri Itukan ada semacam sekil Kusus
nah kalau disana enggak kita cuma nunggu doang jadi
tinggal makan tidur makan tidur gitu aja, terus setelah itu
coba kalau kita ngomong langsung saya nangis itu tapi
karena lewat telepon jadi gak papa. Setelah sebulan itu
kan ada pemberitahuannya kalo misalnya ada
majikannya, terus ada temen-temen yang lain kalau gak
salah kita ber5 kita dari Jakarta itu terbang lagi ke
Pontianak dari Pontianak 2mingu kalau gak salah terus
kita naik travel bayangin dari Pontianak itu terus sampai
situtuh bukan travel biasa kaya mobil kijang biasa gitu
disitu kita ber11 belum lagi koper dalam mobil itu
makannya heran kan yaa maksudnya kok bisa ya dengan
muatan yang lebih tapi bisa lewat, mungkin karena
pelosok jadi gampang gak terlalu banyak aturan
maksudnya penjagaannya ko dengan segitu banyak orang
kenapa bisa los gitu yaa gak ada pemeriksaan paspor dan
segalamacamnya itu gak di kasih liat, terus ko gini yaa
jalannya ke Malaysia dulu baru sampai Brunei, sampai
disana awalnya sih baik semuanya tapi maklum ya
dirumahnya orang kalau mau ngapa-ngapain kan takut
salah maksudnya pegang ini atau itu takutnya tuan rumah
gak ngasih jadi karena baru pertamakali karena masih
kecil juga jadi takut-takut mau buka lemari, beres-beres,
dan cuci-cuci piring kan takut-takut terus jadi banyak lah
kaya dimarahin contohnya kan kaya pas Kaka nyetrika
baju jadi hari itu pertama kali Kaka dikasih telpon untuk
telpon ibu dirumah Kaka seneng banget sampe lupa tuh
kalo colokan setrika belum dicabut dan saya lanjut
nyetrika jadi ada baju yg bolong kena setrikaan itu gaji
Kaka berapa bulan itu kena potong karena baju itu, terus
pas mau pulang tuh kontrak Kaka diperpanjang tanpa
sepengetahuan kaka, terus pas pulang kemarin harusnya
kan majikan Kaka yg masih bayar tapi kemarin engga
Kaka bayar sendiri karena Kaka benar-benar udah gak
tahan lagi untuk pulang ituaja si, kalo kaya masalah fisik
atau makan engga mereka baik cuma itu aja si suka ada
potongan gaji aja.

3. Dimana anda mengenal lembaga Solidaritas Perempuan?


Ohh itu dari teman Kaka itu Diana yang sekarang jadi
ketua koordinator, nah Kaka tuh diajakin ikut kaya
seminar gitu Kaka si pengen ikut aja ngehargain dia, jadi
pas Kaka kesana tuh ternyata solidaritas perempuan itu
terfokus kesitu jadi Kaka minta bercerita begini-begitu,
itu pertamakalinya kaka ngasih tau ke orang-orang kalau
pengalaman disana tuh gak enak.

4. Apa alasan anda membutuhkan lembaga Solidaritas


Perempuan?
Kaka berharap ketika sudah kenal SP kalau ada masalah
dikampung atau temen-temen kaka, kan mayoritas di
Sumbawa kalau sudah tamat SMA pengen kuliah pengen
itu tuh satu pemikiran mereka itutuh harus keluar negri
dulu.

5. Apa saja pelayanan yang diberikan lembaga solidaritas


perempuan untuk masalah yang dihadapi?
Semua hal apapun dan informasi apapun itu dikumpulin
gitu loh yang nantinya buat jadi di perjuangkan sama-
sama kalo misalkan 1 kasus belum selesai tuh mereka
akan tetap mengusahakannya berapa lamapun itu harus
tetep selesai.
6. Apa saja keterlibatan lembaga Solidaritas Perempuan
terhadap kasus yang anda pernah hadapi?
Ya seperti yang sudah diceritakan tadi selalu
mendampingi permasalahan kakak itu.
7. Apa saja solusi yang diberikan oleh lembaga Solidaritas
Perempuan? Apakah solusi yang diberikan membantu
dalam penyelesaiaan kasus anda?
Support terlebih dahulu soalnya kebanyakan yang minta
bantuan seperti itu logikanya berarti keluarga kita belum
mengerti hukum jadi pergi ke suatu instansi untuk
meminta bantuan.
8. Apa ketika anda atau keluarga buruh migran perempuan
yang pernah menghadapi masalah ini dapat membagi
pengetahuannya untuk saudara yang membutuhkan atau
menjadi paralegalnya?
Bisa sih tapi gak mau terlalu pd, jadi pas Kaka jadi para
legalnya Kaka kan kuliah kerja juga terus ikut juga sama
SP jadi tuh gak bener-bener bisa fokus. Tapi kaka bisa sih
buat jadi paralegalnya dengan pengalaman yang kaka
punya ini kan. Kalau ada berita ini itu Kaka cuma
calling-calling kan Kaka Deket banget tuh sama Diana itu
adalah keuntungannya karena Diana yang bener-bener
fokus disitu gak kemana-mana jadi yang bener-bener tau.
9. Apa saja manfaat yang dirasakan dari keterlibatan
lembaga Solidaritas Perempuan?
Banyak banget sekarang aja Kaka kan mau ke Hongkong
Kaka mau kerja kesana jadi karena kemaren kan Kaka
trauma sekali denger kata luar negeri, jangankan Kaka
yang mau pergi orang lain aja nii Kaka usahakan kasih
sugesti untuk jangan pergi, maksudnya kerja keluar
negeri itu jangan dipikirin gaji gede aja bener-bener
disana itu gak enak saya bilang kayak gitu kemereka tapi
sekarang karena saya udah kenal SP saya jadi gak
ngerasa takut apapun karena saya tau kalau saya ada
apa-apa disana saya punya temen-temen disini yang
bakal jagain saya meskipun dari jauh, mungkin dampak
besarnya SP tuh itu trauma saya hilang soalnya saya gak
bakal kenapa-kenapa disana karena ada orang-orang
disini yang bakal ngejagain saya terus.
10. Apa saja harapan untuk lembaga Soildaritas Perempuan?
Mungkin gak terlalu banyak harapan karena semua
temen-temen di SP itu sudah mengupayakan yang terbaik,
jadi harapan Kaka tetep kaya gini terus pertahankan yang
perlu di pertahankan dan tambah apah yang harus di
tambah dan selebihnya si perfek.
CATATAN LAPANGAN PENELITIAN

Kamis, 1 November 2018


Pada hari Kamis tanggal 31 Oktober 2018, saya
datang ke Lembaga Solidaritas Perempuan di Pejaten
Barat Pasar Minggu untuk melakukan wawancara kepada
divisi Penguatan Organisasi SP. Sebelumnya saya sudah
menghubungi AY dan SC izin meminta waktu untuk
melakukan wawancara. Sebelumnya saya sudah sempat
datang ke SP pada tanggal 5 September 2018 untuk
mengirimkan surat izin wawancara saya dan bertanya-
tanya sedikit mengenai profile SP.
Pada pukul 11.00 saya sampai di Lembaga
Solidaritas Perempuan. Suasana kantor sangatlah ramai
dengan para staff yang sibuk diruangannya. Saya awalnya
bertemu dengan SC dari Divisi Penguatan Organisasi.
Setelah itu Saya berbincang sedikit dengan SC di ruang
tamu Lembaga Solidaritas Perempuan selanjutnya
melakukan wawancara dengan beliau. Pada pukul 11.15
saya melakukan wawancara dengan SC, karena kebetulan
saya pernah praktikum di Lembaga Solidaritas Perempuan
ini saya sudah kenal dengan SC dan cukup mudah
bertanya terkait penelitian saya pada proses wawancara.
Pukul 12.00 prosesi wawancara selesai, saya
mengucapkan terimakasih kepada SC. Setelah wawancara
dengan SC saya bertemu dengan AY di ruang tengah
Lembaga Solidaritas Perempuan, karena AY sedang sibuk
dengan pekerjaannya jadi saya mengatur ulang jadwal
wawancara dengan AY. Setelah itu saya pamit pulang
karena AY sedang sibuk. Selanjutnya saya pergi ke
perpustakaan utama UIN untuk mentraskripkan hasil
wawancara dengan SC.
Rabu, 7 November 2018
Pada hari Rabu pada tanggal 7 November 2018
saya yang sebelumnya sudah mengatur janji dengan AY
untuk melakukan wawancara langsung bertemu dengan
beliau. Sebelumnya saya sudah mengatur waktu dengan
AY hari Selasa namun dikarenakan AY sedang ada
penanganan kasus diluar kantor jadi wawancara dilakukan
pada hari Rabu.
Pukul 10.30 saya sampai di Lembaga Solidaritas
Perempuan. Seperti biasanya suasana kantor sangat ramai
dengan kesibukan staff masing-masing. Saya langsung
bertemu dengan AY yang sudah menunggu saya. Saya di
ajak ke halaman belakang Lembaga Solidaritas
Perempuan di gazebonya saya berbincang sedikit dengan
AY. AY merupakan pamong saya di divisi Perlindungan
Buruh Migran Perempuan dan Keluarganya pada saat
saya praktikum dulu di Lembaga Solidaritas Perempuan
ini. Selanjutnya saya mewawancarai buruh migran
perempuan dan keluarga yang bisa di hubungi melalui
telepon untuk mewawancarainya dikarenakan jarak yang
jauh tidak ada yang di Jakarta. Setelah mewawancarai
buruh migran perempuan dan keluarganya ditutup dengan
mewawancarai AY yang selesai pukul 17.00 dan saya
pamit pulang serta berterima kasih untuk wawancara hari
itu.

DOKUMENTASI
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Dudung.2002. Pengantar Metodologi


Penelitian.Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Basrowi, Suwandi. 2013. MemahamiPenelitian
Kualitatif.Bandung: Alfabeta.
Berry, David. 2003 Pokok-pokok Pikiran Dalam
Sosiologi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada cet
ke 4.
Bungin, Burhan.2003. Analisis Data Penelitian
Kualitatif.Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Kamus
Besar Bahasa Indonesia.Jakarta: PT Balai
Pustaka.
Fahrudin, Adi. Pemberdayaan Pertisipasi dan
Penguatan Kapasitas Masyarakat , (Bandung:
Humaniora).
Ghony, Djunaidi, Fauzan Almanshur. 2012. Metodologi
Penelitian Kualitatif.Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.
Hadi, Amasturi.Tanggung Jawab Pemerintah Dalam
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Diluar
Negeri, Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas
Mataram. 2014.
Hamid, Abdul Mursi. 1999. SDM Yang Produktif
Pendekatan Al-Quran & Sains. (Jakarta: Gema
Insani Pess.
Hidayah, Farida Nur. Perlindungan Hukum Terhadap
Tenaga Wanita Diluar Negeri Korban
Eksploitation Rape (Studi Nromatif Terhadap
Konfrensi Internasional Perlindungan Hak-Hak
Seluruh Pekerja Migran Dan Anggota
Keluarganya Tahun 1990). Skripsi S1 Fakultas
Hukum, Universitas Negeri Semarang, 2015.
Harahap, E.St., dkk. 2007. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: PT.B. Angin.
Haryani, Rizky Nur. Tinjauan Kriminologi Kritis
Terhadap Kebijakan Negara Dalam Melindungi
Perempuan Buruh Migran Pekerja Rumah
Tangga. Depok. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Indonesia. 2011.
Huraerah, Abu. 2011. Pengorganisasian dan
Pengembangan Masyarakat. Bandung:
Humaniora. cet, ke2.
Miles, Huberman. 1992. Analisis Data
Kualitatif.Jakarta: UI Press.
Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Nainggolan, Togiaratua. 2006. Strateagi Kelangsungan
Hidup Perempuan Mantan Buruh Migran: Studi
Tentang Mantan Buruh Migran Kali Wedi
Kabupaten Cilacap. Pusat Penelitian
Pengembangan Kesejahteraan Sosial RI.
Narwoko , J. Dwi, Bagong Suyanto. 2007. Sosiologi
Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta: Kencana.
Poewadarminta , WJS.1976. Kamus Moder.
Jakarta: Jembatan.
Rofiah, Nur, Ala’i Nadjib. 2010. Mari Kenali Hak-Hak
Buruh Migran Indonesia Perspektif Islam dan
Perempuan. Jakarta: PP Fatayat NU Cetakan
pertama.
Shihab, M. Quraish. 2013. Al-Qur’an Dan
Maknanya..Tanggerang: Lentera Hati. Cet. Ke2.
Sugiyono. 2013. Memahami Penelitian Kualitatif,
Bandung: Alfabeta
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif
dan R&D.Bandung: Alfabeta.
Soekanto, Soerjono. 1988. Sosiologi Suatu Pengantar.
Jakarta: Rajawali.
Sumodiningrat, Gunawan. 2002. Pemberdayaan
Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial.
Jakarta: Gramedia.
Suryani, Any. 2016. Pengaturan Perlindungan Hukum
Bagi Tenaga Kerja Wanita Beserta Keluarganya
Berdasarkan Undang-Undang Tentang
Pengesahan Konvensi Internasional
Perlindungan Buruh Migran Beserta
Keluarganya. Fakultas Hukum. Universitas
Mataram. (7 Juni 2016)
Swarjana, I Ketut. 2012. Metode Penelitian
Kesehatan.Yogyakarta: Penerbit ANDI.
Zakiyah, Pemberdayaan Perempuan oleh Lajnah
Wanita, Jurnal Pengkajian Masalah Sosial
Keagamaan, XVII, 01 (Januari-Juni 2010).

Sumber Laporan
Laporan UAS Praktikum I, Syarifah Asmar di lembaga
Solidaritas Perempuan (2017)

Sumber Wawancara
Andriyeni, Staff Penanganan Kasus Divisi Perlindungan
Buruh Migran Dan Keluarganya, Wawancara
Pribadi, Jakarta 07 November 2018
Aziz, Keluarga Buruh Migran Perempuan, Wawancara
Pribadi, Jakarta 07 November 2018
Icung, Keluarga Buruh Migran Perempuan, Wawancara
Pribadi, Jakarta 07 November 2018
Min, Keluarga Buruh Migran Perempuan, Wawancara
Pribadi, Jakarta 07 November 2018
Nurhidayah, Mantan Buruh Migran Perempuan,
Wawancara Pribadi, Jakarta 07 November 2018
Ratna, Mantan Buruh Migran Perempuan, Wawancara
Pribadi, Jakarta 07 November 2018
Rustandhi, Keluarga Buruh Migran Perempuan,
Wawancara Pribadi, Jakarta 07 November 2018
Suci Fitri Tanjung, Staff Penguatan Organisasi Lembaga
Solidaritas Perempuan, Wawancara Pribadi,
Jakarta 01 November 2018
Tri Dayani, Mantan Buruh Migran Perempuan,
Wawancara Pribadi, Jakarta 07 November 2018

Anda mungkin juga menyukai