Anda di halaman 1dari 151

REHABILITASI SOSIAL UNTUK PENYALAHGUNA NAPZA DI

YAYASAN KARYA PEDULI KITA TANGERANG SELATAN

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:
ROUDHOTUL FIRDHA
NIM: 1112054100036

PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL


FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2016
ABSTRAK
Roudhotul Firdha. 1112054100036. Rehabilitasi Sosial Untuk Penyalahguna
NAPZA di Yayasan Karya Peduli Kita Tangerang Selatan. Dibawah
bimbingan Ismet Firdaus, M.Si
Permasalahan narkoba saat ini tidak mudah untuk ditangani karena antara
produsen, pengedar, dan pengguna sulit untuk terdektesi. Anak-anak mulai dari
usia 14 sampai 18 tahun yang merupakan usia rawan ingin mencoba narkoba.
Sehingga peran rehabilitasi dalam pemulihan ketergantungan bagi penyalahguna
narkotika sangat penting, baik rehabilitasi sosial ataupun medis karena semakin
bertambahnya pecandu narkotika di Indonesia. Efektifitas rehabilitasi untuk
memulihkan korban dari narkotika sangat diperlukan, mengingat sulitnya korban
atau pengguna narkotika untuk dapat terlepas dari ketergantungan narkotika
secara individu. Yayasan Karya Peduli Kita adalah tempat rehabilitasi sosial yang
menyediakan program khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing
individu, seperti program ganggguan penggunaan zat untuk remaja, wanita,
eksekutif muda, orang dengan gangguan pesikologis,dll.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses rehabilitasi
sosial dan bagaimana hasil rehabilitasi sosial yang diberikan Yayasan Kapeta bagi
klien penyalahguna NAPZA. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan
kualitatif jenis deskriptif. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
merupakan kumpulan data dari wawancara, observasi dan studi dokumentasi yang
diperoleh dari informan yang berjumlah 6 orang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses rehabilitasi sosial Yayasan
Kapeta melalui beberapa fase, mulai dari fase rawat inap sampai dengan fase
rawat jalan. Dalam rawat inap, diawal bulan klien dilakukan Asesmen kemudian
diberikan rencana rawatan, pemahaman adiksi, kesehatan diri, di bulan kedua
klien mulai mengembangkan rencana rawatan, lalu diberikan edukasi pemahaman
tentang pemulihan, pendidikan kesehatan diri, diberikan keterampilan hidup dan
pencegahan kekambuhan, kemudian di fase bulan ketiga ini adalah akhir dari
rawat inap dimana klien sudah pada tahap pemantapan rencana rawatan, dengan
diberikan terapi pencegahan kekambuhan, lalu ditambahkan dengan kelompok
bantu diri, dan dialog untuk keluarga bersama YKPI (Yayasan Keluarga Pengasih
Indonesia) kemudian dilanjutkan rencana rawat jalan, rawat jalan dilakukan
selama 3 bulan sesuai dengan kebutuhan klien. Dalam tahap ini klien sudah boleh
pulang ke rumah, dan hanya beberapa hari berada di tempat rehabilitasi. Kegiatan
yang dilakukan selama rawat jalan tidak jauh berbeda dengan saat klien
melakukan rawat inap, klien tetap mendapatkan konseling individu, terapi
kelompok, mendapatkan kelompok dukungan, dan kelompok bantu diri, juga
mendapatkan kegiatan vokasional setelah itu dilakukan asesmen kembali untuk
mengetahui perkembangan yang didapat setelah menyelesaikan rawatan. Dan
hasil dari rehabilitasi bisa dilihat dari niat klien itu sendiri apakah dirinya mau
untuk berubah atau ada support system seperti keluarga tetapi tujuan Yayasan
Kapeta ialah melakukan kondisi abstinen yaitu berpantang dari segala bentuk
pemakaian dan penyalahgunaan zat serta alkohol.
Kata Kunci : Rehabilitasi Sosial, Penyalahgunaan NAPZA, Yayasan Karya
Peduli Kita.

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu


Alhamdulillahirrabbil ‘alamin, segala puji dan syukur penulis haturkan
kepada Allah SWT yang telah memberikan dan melimpahkan bentuk nikmat
kepada penulis, nikmat jasmani, rohani, nikmat lahir dan batin, sehingga penulis
bisa menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam tak lupa pula
penulis ucapkan kepada Nabi besar kita, Nabi Muhammad SAW, yang telah
menjadi suri tauladan bagi kita semua.
Dalam penulisan skripsi ini, peneliti menyadari masih banyak kekurangan-
kekurangan ataupun kesalahan baik pada teknis penulisannya ataupun materinya,
mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu, kritik serta saran
dari semua pihak sangat penulis harapkan demi menyempurnakan pembuatan
skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang
telah membantu dari mulai proses penyusunan sampai dengan skripsi ini selesai.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Arief Subhan, MA Selaku Dewan Fakultas Ilmu Dakwah dan
Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Suparto,
M. Ed, Ph. D selaku Wakil Dekan Bidang Akademik. Dr. Roudhonah, MA
selaku Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum. Dr. Suhaimi, M.Si selaku
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan.
2. Ibu Lisma Dyawati Fuaida, M.Si selaku Ketua Program Studi Kesejahteraan
Sosial, Hj. Nunung Khairiyah, MA selaku Sekretaris program Studi
Kesejahteraan Sosial. Terima kasih atas bimbingannya.
3. Bapak Ismet Firdaus, M.Si selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah
membantu membimbing dan memberikan masukan dalam menyelesaikan
skripsi ini.
4. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Kesejahteraan Sosial UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan waktu dan tenaganya dalam
mendidik dan memberikan wawasan selama mengikuti perkulihahan di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Orang tuaku tercinta dan adikku, Bapak Hambali dan Ibu Yulianti dan
Muhamad Farizi. Terimakasih tak terhingga untuk kasi sayang yang
diberikan kepada penulis. Perhatian, do’a, motivasi, nasehat-nasehat
berharga yang penulis dapat selama ini. Terimakasih, semoga Allah
memberikan kesehatan, kebahagiaan dan berkah kepada keluarga kita.
6. Kepada seluruh pegawai dan petugas serta klien Yayasan Kapeta, Tangerang
Selatan, terimakasih atas waktu dan izinnya sehingga penulis bisa
melaksanakan penelitian ini.
7. Sahabatku Novita Amalia dan Pamela Nurul Khairani.S.E , Salwa Hayati.
S.H, yang telah kurang lebih tujuh tahun ini menemani perjalanan hidup
penulis dengan senyum, tawa dan motivasinya kepada penulis.
8. Dan sahabatku semasa sekolah di MAN 7 Jakarta, Rahmi Shidqiyah, Rica
Fahmia. S,Pd. Dan Nurul Pratiwi yang telah memberikan semangat, do’a
serta dukungan kepada penulis.

ii
9. Keluarga besar SAROJA dan keluarga besar dari Bapak yang selalu
memberikan semangat, dukungan baik moril maupun materil selama ini.
10. Ratna Wati dan Miftah Mawadah, S.Pd. Teman yang sudah menjadi
keluarga, terimakasih telah memberikan semangat, keceriaan dan dukungan
kepada penulis.
11. Teman-teman seperjuangan skripsi Syarifah Malahayati, Nuni Nuraini, Dwi
Hardianti, Rahmawati Agustini, Heni Purwati, Nurfauziah Safitri, Fahmi
Islam yang telah berjuang bersama dan saling memotivasi selama
mengerjakan skripsi.
12. Teman-teman Kesejahteraan Sosial kelas B angkatan 2012 yang telah
memberikan canda, tawa serta kebersamaan selama masa perkuliahan.
13. Dan teman-teman angkatan 2012 Kesejahteraan Sosial yang telah
memberikan warna baru selama perkuliahan, Terutama kepada Aisyah
Rahma Utami.S.Sos dan Ira Rahmawati.S.Sos yang telah memberikan
bantuan kepada penulis mulai dari mencari judul sampai selesai.
14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
penulis untuk menyelesaikan skripsi dan perkuliahan.
Penulis juga berharap bahwa skripsi ini memberikan pengetahuan baru dan
bermanfaat bagi penulis, mahasiswa Kesejahteraan Sosial UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan pembaca pada umumnya.

Jakarta, 10 Oktober 2016

Roudhotul Firdha

iii
DAFTAR ISI

ABSTRAK…………………..…………………………………………………… i
KATA PENGANTAR……...…………………………………………………... ii
DAFTAR ISI……………….………………………………………………....... iv
DAFTAR TABEL………….…………………………………………………... vi
DAFTAR BAGAN………..……………………………………………………. vi

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………… 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………………………….. 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………….... 9
D. Metodologi Penelitian……………………………………………... 10
E. Sistematika Penulisan……………………………………………... 22

BAB II LANDASAN TEORI


A. Rehabilitasi Sosial…………………………………………………. 24
1. Pengertian Rehabilitasi sosial………………………………… 24
2. Sarana dan Prasarana Rehabilitasi…………………………... 25
3. Rehabilitasi Korban Penyalahguna NAPZA………………… 28
4. Tahapan Rehabilitasi Sosial…………………………………... 30
5. Teori Kognitif-Perilaku……………………………………….. 31
6. Peran Pekerja Sosial…………………………………………... 32
7. Terapi Kelompok……………………………………………… 35
8. Instrument Yang Digunakan…………………………………. 36
9. Sumber-sumber Self-help……………………………………... 39
10. Ukuran Hasil…………………………………………………... 40
11. Teori Sistem Ekologi………………………………………….. 40
B. Penyalahguna NAPZA……………………………………………. 42
1. Pengertian Penyalahguna…………………………………….. 42
2. Akibat Penyalahguna…………………………………………. 43
3. Dampak dari Penyalahgunaan NAPZA……………………... 44
C. NAPZA……………………………………………………….......... 45
1. Pengertian NAPZA……………………………………………. 45
2. Jenis-jenis NAPZA…………………………………………….. 47

BAB III PROFIL LEMBAGA


A. Latar Belakang Lembaga…………………………………………. 54
1. Sejarah Yayasan Kapeta……………………………………… 54
2. Visi dan Misi…………………………………………………… 55
3. Prosedur Penerimaan Klien…………………………………... 56
4. Alur Layanan………………………………………………….. 58
5. Struktur Organisasi…………………………………………… 59
6. Sarana dan Prasarana………………………………………… 60
7. Landasan Hukum……………………………………………... 60
8. Program Rehabilitasi………………………………………….. 61

iv
9. Kerjasama Lembaga…………………………………………... 62

BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS


A. Proses Rehabilitasi Sosial…………………………………………. 63
B. Hasil Rehabilitasi Sosial…………………………………………... 89
C. Peran Pekerja Sosial………………………………………………. 93

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan………………………………………………………… 96
B. Saran……………………………………………………………….. 98

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….. 99

v
DAFTAR TABEL DAN DAFTAR BAGAN

Tabel 1. Subjek dan Informan............................................................................... 12


Bagan 1. Alur Layanan......................................................................................... 58
Bagan 2. Stuktur Organisasi.................................................................................. 59

vi
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Saat ini tidak hanya kalangan menengah keatas atau artis saja yang menjadi

korban narkoba melainkan semua kalangan masyarakat sudah banyak yang menjadi

korban dari obat terlarang ini, mulai dari kalangan pelajar/mahasiswa, sampai

pekerja. Sekarang ini masyarakat menyebut obat terlarang itu dengan sebutan

narkotika namun yang dimaksud narkotika itu sendiri adalah penggunaan narkoba

dan psikotropika atau NAPZA (Narkotika,Psikotropika,dan Zat Adiktif).

Narkotika adalah zat-zat (obat) baik dari alam atau sintetis maupun semi sintetis

yang dapat menimbulkan ketidaksadaran atau pembiusan. Efek narkotika disamping

membius dan menurunkan kesadaran adalah mengakibatkan daya khayal/halusinasi

(ganja), serta menimbulkan daya rangsang/stimulant (cocaine). Narkotika tersebut

dapat menimbulkan ketergantungan (depence). Narkotika yang dibuat dari alam yang

kita kenal adalah candu (opium),ganja dan cocaine.1

Sebagian dari narkoba itu menimbulkan gairah, semangat dan keberanian,

sebagian lagi menimbulkan perasaan mengantuk, yang lain bisa menyebabkan rasa

tenang dan nimat sehingga bisa melupakan segala kesulitan. Oleh karena efek-efek

itulah beberapa remaja menyalahgunakan narkoba dan alkohol.2

1
Sasangka Hari, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Manjur,
2003), Cetakan I, h. 35.
2
Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja , (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,2007), h. 217-
218.
2

Begitu juga dengan penggunaan narkoba ini member efek rasa percaya diri yang

berlebihan, sehingga pemakaiannya dapat nekat dalam melakukan hal-hal yang

berbahaya. Beberapa tindakan tawuran pelajar dan tindakan pidana lainnya juga

dirangsang dengan narkoba ini.3

Penyalahgunaan NAPZA itu sendiri dilakukan seseorang tanpa dengan adanya

resep dari dokter dan dipakai secara berulang kali sampai akhirnya menjadi pecandu,

yang juga melanggar hukum dan merusak fisik serta kehidupan sosialnya.

Dalam al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 90 sudah dijelaskan tentang

penyalahunaan narkotika ini:

Artinya: “wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras,

berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah

perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan)

itu agar kamu beruntung.”4

Sesuai dengan firman Allah.SWT, di atas dijelaskan bahwa segala zat yang dapat

memabukkan seseorang sampai hilang kesadaran itu adalah haram, dan tidak boleh

digunakan sembarangan tanpa adanya resep dari dokter.

3
Topo Santoso dan Anita Silalahi, Penyalahgunaan Narkoba Di Kalangan Remaja: Suatu
Perspektif, Jurnal Kriminolog Indonesia, Vol. 1, No. 1 (September 2000): h.37
4
Al-Qur’an Tajwid 12 warna dan Terjemah, Al-Maidah ayat 90, (Jakarta: PT. Suara Agung,
2009), cetakan ke-2, h. 221.
3

Berdasarkan data statistik sepanjang tahun 2015 BNN telah mengungkap

sebanyak 102 kasus Narkotika dan TPPU yang merupakan sindikat jaringan nasional

dan internasional, dimana sebanyak 82 kasus telah P21. Kasus-kasus yang telah

diungkap tersebut melibatkan 202 tersangka yang terdiri dari 174 WNI dan 28 WNA.

Berdasarkan seluruh kasus Narkotika yang telah diungkap, BNN telah menyita

barang bukti sejumlah 1.780.272,364 gram sabukristal; 1.200 mililiter sabu cair;

1.100.141,57 gram ganja; 26 biji ganja; 95,86 canna chocolate; 303,2 gram happy

cookies; 14,94 gram hashish; 606.132 butir ekstasi; serta cairan prekursor sebanyak

32.253 mililiter dan 14,8 gram. Sedangkan dalam kasus TPPU total asset yang

berhasil disita oleh BNN senilai Rp 85.109.308.33.5

Untuk persoalan penyalahgunaan NAPZA ini memang harus ditindaklanjuti, baik

secara hukum ataupun memberikan rehabilitasi kepada penyalahguna NAPZA.

Karena penyalahguna zat ini tidak cukup untuk diberi hukuman saja, melainkan harus

di rehabilitasi agar mereka tidak kembali memakai NAPZA tersebut. Menurut

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,

bagian kedua mengenai rehabilitasi pasal 55:

1) Orang tua atau wali dari pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib

melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga

rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh pemerintah untuk

mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan

rehabilitasi sosial.

5
Humas BNN, “Executive Summary Press Release Akhir Tahun 2015-BNN”, Diakses pada
tanggal 16 April 2016 dari www.bnn.co.id.
4

2) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau

dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat,rumah

sakit,dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk

oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui

rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.6

Menurut peraturan kepala Badan Narkotika Nasional tentang rehabillitasi

narkotika komponen masyarakat nomor 14 tahun 2011, Pasal 3 yang berbunyi,

“Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik,

mental maupun sosial, agar mantan pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan

fungsi sosialnya dalam kehidupan bermasyarakat.”7

Dengan rehabilitasi psikososial ini dimaksudkan agar peserta rehabilitasi dapat

kembali adaptif bersosialisasi dalam lingkungan sosialnya, yaitu di rumah, di

sekolah/kampus dan ditempat kerja. Program rehabilitasi psikososial merupakan

persiapan untuk kembali ke masyarakat (reentry program). Oleh karena itu mereka

perlu dibekali dengan pendidikan dan keterampilan misalnya berbagai kursus ataupun

rehabilitasi. Dengan demikian diharapkan bila mereka telah selesai menjalani

program rehabilitasi dapat melanjutkan kembali sekolah/kuliah atau bekerja.8

Kemudian hal ini dibahas salah satunya oleh Journal of Substance Abuse

Treatment ditulis oleh Steven L. Proctor, Ph.D, dkk dengan judul “A Naturalistic

Evaluation of the Effectiveness of a Protracted Telephone-Based Recovery Assistance


6
M. Wresniwiro, Selamatkan Anak Bangsa dari Bahaya Narkoba, (Jakarta: Mitra Bintibmas,
2010), Cetakan Pertama, h. 122-123
7
Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 14 tahun 2011, Rehabilitasi Narkotika
Komponen Masyarakat.
8
Dadang Hawari, Penyalahguna & Ketergantungan NAZA (Narkotika, Alkohol, & Zat Adiktif),
(Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000), h. 138.
5

Program on Continuing Care Outcomes” yang membahas mengenai treatmen atau

cara rehabilitasi sosial pada penyalahgunaan narkoba. Pada jurnal ini di jelaskan

bahwa para mantan pengguna narkoba memiliki banyak permasalahan sosial dan hal

tersebut membuat mereka sulit mengelola permasalahannya diri sendiri. namun, pada

jurnal ini memberikan beberapa cara yang membantu agar klien mampu

memanajemen diri sendiri. seperti bergabung dalam kelompok intervensi berbasis

telfon. Disini para klien akan memiliki anggota kelompok yaitu

perawat/dokter/pekerja sosial, keluarga dan sesama mantan pengguna narkoba.

Mereka dapat menceritakan masalah masalah yang dialami kepada anggota kelompok

lainnya hal ini bertujuan agar klien tidak merasa mengalami masalah sendirian dan

mampu untuk melanjutkan kegiatan selanjutnya. Kegiatan ini berlangsung selama 6

bulan. Intervensi berbasis telepon dianggapp cukup praktis karena klien dapat

melakukannya dimana saja tanpa harus mendatangi pada suatu tempat.

Tidak hanya itu pada jurnal ini juga membahas mengenai metode 12 langkah

yang dianggap dapat berkontribusi sangat baik untuk pemulihan mantan pecandu

narkoba. Hasil penelitian pada jurnal ini menemukan bahwa mereka yang

menggunakan metode 12 langkah dapat membantu dalam menangani permasalahan-

permasalahan pada dirinya dan dapat membantu anggota kelompok lain apa bila

memiliki permasalahan serta para klien mau berjanji untuk berhenti menggunakan

narkoba dan mau mengatasi masalah kecanduan yang ada pada dirinya.

Yayasan Karya Peduli Kita (KAPETA) adalah sebuah lembaga swadaya

masyarakat yang didirikan melalui kepedulian sebuah komunitas yang terdiri dari

psikolog, praktisi pendidikan dan para orangtua yang memiliki pengalaman dengan
6

masalah Gangguan Penggunaan Zat di antara keluarga dan lingkungannya. KAPETA

memulai kegiatan sejak Juni 2002 melalui pertemuan dukungan untuk orang tua

(Family Support Group) dan program terapi Gangguan Penggunaan Zat rawat jalan

(daycare), hinggaa kemudian resmi didirikan dengan berbadan hukum Yayasan pada

tanggal 24 Februari 2004. Melalui berbagai program terkait penanggulangan masalah

Gangguan Penggunaan Zat (NAPZA) dan HIV / AIDS, Yayasan KAPETA berusaha

untuk dapat membantu pemulihan orang-orang dengan masalah Gangguan

Penggunaan Zat untuk dapat kembali ke fungsi sosialnya di masyarakat dan

memberikan dukungan sosio-psikologis bagi para ODHA (Orang Dengan HIV AIDS)

dalam menapaki kehidupannya. Masih terbatasnya penyebaran informasi dan edukasi

terkait masalah Gangguan Penggunaan Zat dan HIV / AIDS di Indonesia,

menyebabkan keanekaragaman pemahaman dan sudut pandang masyarakat akan

masalah tersebut.

Yayasan Kapeta dalam memberikan program membaginya menjadi 2 bagian,

program untuk rawat inap dan rawat jalan. Untuk rawat inap dibagi lagi menjadi

rawat inap jangka pendek dan menengah, untuk mengakomodir rawatan Gangguan

Penggunaan zat, khususnya heroin (putaw), ATS – Amphetamine Type of Stimulants,

dan zat lain dengan tingkat yang lebih kompleks, yayasan Kapeta membuka layanan

program rawat inap (residensial) jangka pendek dan menengah. Kemudian ada Rawat

jalan, yaitu program terapi dan pemulihan ini ditujukan khususnya kepada mereka

yang memiliki Gangguan Penggunaan Zat yang masih dalam tahap awal atau

menengah (light to moderate).


7

Dipilihnya durasi jangka pendek dan menengah adalah untuk memenuhi

kebutuhan, khususnya para pengguna zat yang telah menjalani program pemulihan

jangka panjang sebelumnya, menjalani program perawatan yang tidak

mengharuskannya meninggalkan keluarga dalam waktu yang cukup lama. Selain itu

program ini diinisiasi untuk mengisi lubang dari rangkaian rentang rawatan

(Continuum of Care) Gangguan Penggunaan Zat, yang umumnya diisi di Indonesia

oleh program terapi dan rehabilitasi rawat inap dengan durasi lebih lama (6 bulan

hingga 2 tahun), tanpa pilihan lain yang secara signifikan berbeda.

Alasan penulis memilih Yayasan Kapeta sebagai tempat penelitian karena

Yayasan Kapeta telah terakreditasi sebagai pusat terapi rehabilitasi NAPZA

komponen masyarakat peringkat A (terbaik) nasional dan berada di peringkat

program di wilayah jabodetabek berdasarkan penilaian Badan Narkotika Nasional

tahun 2014. Kemudian para konselor adiksi Yayasan Kapeta telah tersertifikasi

sebagai Internasional Certified Addiction professionals (ICAP) oleh ICCE

(Internasional Centre for Certification and Education of Addiction Professionals) dan

sebagai Certified Substance Abuse Therapies oleh APBC (Asia Pasific Certification

Board) sehingga dapat memberikan pelayanan terbaik. Dan penulis juga ingin

mengisi kekurangan dari penelitian sebelumnya yang membahas tentang rehabilitasi

sosial untuk penyalahgunaan NAPZA.

Rehabilitasi terhadap penyalahguna NAPZA juga merupakan suatu bentuk

perlindungan sosial yang mengintegrasikan pecandu narkotika ke dalam tertib sosial

agar tidak lagi melakukan penyalahgunaan NAPZA. Sudah seharusnya mereka yang

menyalahgunakan narkotika dibawa ke tempat rehabilitasi, baik itu rehabilitasi medis


8

ataupun sosial. Sudah banyak tempat rehabilitasi penyalahguna narkoba, baik yang

didirikan oleh pemerintah ataupun swasta.

Berdasarkan penjelasan diatas diperlukannya rehabilitasi sosial untuk memulihkan

kondisi dari penyalahguna zat, agar mereka dapat kembali fungsi sosialnya.

Penyalahguna zat tidak hanya memerlukan obat saja untuk pulih namun

membutuhkan terapi-terapi yang lain yang dapat membantu penyalahguna zat ini

kembali baik secara fungsi sosialnya, oleh karena itu peneliti melakukan penelitian

mengenai “Rehabilitasi Sosial Untuk Penyalahguna NAPZA di Yayasan

KAPETA, Tangerang Selatan”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Untuk memfokuskan pembahasan dalam penelitian ini, sehingga sampai pada

tujuannya, maka penulis membatasi penelitian ini pada:

1) Rehabilitasi sosial dalam penelitian ini yaitu suatu proses kegiatan

pemulihan baik secara fisik, mental ataupun sosial untuk penyalahguna

NAPZA agar dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan

masyarakat. Dalam penelitian ini yang diukur adalah bagaimana proses

rehabilitasi sosial yang diberikan untuk penyalahguna NAPZA.

2) Terapi dalam rehabilitasi sosial dalam penelitian ini yaitu terapi medis

untuk memulihkan kondisi fisik yang lemah seperti memberikan kegiatan

olahraga, selanjutnya terapi psikiatrik diberikan dalam bentuk psikoterapi

baik secara individu atau kelompok tujuannya untuk menghilangkan sikap

anti sosial dan juga untuk keluarga agar memahami permasalahan


9

mengenai narkoba. Terapi psikososial juga diberikan agar penyalahguna

NAPZA dapat kembali dalam lingkungan sosialnya dan terapi

psikoreligius yaitu agar memulihkan penyalahguna dalam menjalankan

ibadahnya.

2. Rumusan Masalah

Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini:

a) Bagaimana proses rehabilitasi sosial yang diberikan di Yayasan Kapeta?

b) Bagaimana terapi rehabilitasi sosial yang diberikan Yayasan Kapeta?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah:

a) Mendeskripsikan proses rehabilitasi sosial di Yayasan Kapeta.

b) Mendeskripsikan terapi yang ada saat rehabilitasi sosial yang

diberikan oleh Yayasan Kapeta.

2. Manfaat penelitian

a) Manfaat Akademis

Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan diharapkan penelitian ini dapat

menjadi tambahan referensi dan meningkatkan wawasan akademi dalam

bidang kesejahteraan sosial khususnya yang terkait dengan rehabilitasi

sosial untuk para penyalahguna narkoba.

b) Manfaat Praktis

1) Menginformasikan hasil yang dicapai dari rehabilitasi sosial bagi

penyalahgunaan NAPZA di Yayasan Kapeta Indonesia.


10

2) Memberikan pemahaman dan masukan untuk penelitian-penelitian

lebih lanjut dan juga praktisi di lembaga.

D. Metodologi Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian dengan

pendekatan kualitatif menekankan analisis proses dari proses berpikir secara

induktif yang berkaitan dengan dinamika hubungan antarafenomena yang

diamati, dan senantiasa menggunakan logika ilmiah.

Penelitian kualitatif menurut Bodgan & Taylor (1990) adalah prosedur

penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau

lisan dari orang-orang dan berperilaku yang dapat diamati yang diarahkan

pada latar dan individu secara holistic (utuh).

Metode penelitian merupakan strategi umum yang dipakai dalam

pengumpulan dan analisis data yang diperlukan, guna menjawab

permasalahan yang dihadapi. Menurut Denzin dan Lincoln, penelitian

kualitatif lebih ditunjukan untuk mencapai pemahaman mendalam mengenai

organisasi atau peristiwa khusus daripada mendeskripsikan bagian permukaan

dari sampel besar dari sebuah populasi.9

Penggunaan pendekatan kualitatif ini mempunyai beberapa alasan yakni

salah satunya adalah bersifat luwes dan fleksibel, menyajikan secara langsung

hakikat hubungan antara penulis dengan penelitian.

9
Koentjoro, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial, (Jakarta:Salemba
Humanika, 2012).
11

2. Sumber Data

Sumber data adalah segala sesuatu yang dapat memberikan informasi

mengenai data. Berdasarkan sumbernya, data dibedakan menjadi dua, yaitu data

primer dan data sekunder.

a. Data Primer

Data Primer yaitu data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian.

Data primer dari penelitian ini adalah staff klinis dan klien dari Yayasan

Kapeta, Tangerang Selatan.

b. Data Sekunder

Data Sekunder yaitu data yang diperoleh sumber-sumber infomasi baik

secara langsung maupun tidak langsung, baik berupa dokumen, arsip-arsip,

memo atau catatan tertulis lainnya maupun gambar atau benda yang berkaitan

dengan penelitian. Data sekunder ini peneliti dapatkan dari Yayasan Kapeta,

website Yayasan Kapeta, media masa, dan lain-lain.

3. Teknik Pemilihan Informan

Menurut Sugiyono, purposive sampling adalah teknik untuk menentukan

sampel penelitian dengan beberapa pertimbangan tertentu bertujuan agar data

yang diperoleh nantinya bisa lebih representatif. Dalam penelitian ini yang

menjadi subjek penelitian adalah klien, konselor dan pekerja sosial yang ada di

Yayasan Kapeta. Sedangkan objek penelitian ini adalah rehabilitasi sosial untuk

penyalahguna NAPZA di yayasan Kapeta, Tangerang Selatan. Dalam memilih

subjek penelitian ini, penulis menggunakan pengambilan informan menggunakan

purposive sampling yaitu peneliti sudah mempunyai informan yang dituju untuk
12

membantu melakukan penelitian ini. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan

teknik purposive sampling yang diberikan keleluasaan kepada peneliti dalam

menyeleksi informan yang sesuai dengan tujuan penelitian, yang terpenting disini

bukanlah jumlah informan, melainkan potensi diri tiap kasus untuk memberikan

pemahaman teoritis yang lebih baik mengenai aspek yang dipelajari.10

Purposive sampling juga merupakan teknik penentuan sampel dengan

pertimbangan tertentu. Jadi sebelumnya peneliti sudah melakukan perencanaan

yang menjadi informan dalam penelitian yang sesuai dengan penelitian ini.

Berikut ini jumlah informan yang terpilih dalam pengumpulan data yang

diperlukan dalam penelitian.

Tabel 1 Subjek dan Informan Penelitian

No. Informan Informasi yang dicari Jumlah

1. Klien AR, P, AR Mengetahui apa saja yang 3 orang

didapatkan selama proses

rehabilitasi sosial di Yayasan

Kapeta.

2. Bapak Gidien dan Mengetahui proses 2 orang

Bapak Irfan rehabilitasi sosial, terapi-

(Konselor) terapi yang diberikan, serta

kegiatan yang dilakukan

10
Nanang Martono, Metode Penelitian Kualitatif Analisis Isi dan Analisis Data Sekunder,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h.79.
13

selama proses rehabilitasi

sosial. Dan hasil yang didapat

setelah menjalankan

rehabilitasi sosial.

3. Siti Jumartina Mengetahui gambaran 1 Orang

(Pekerja Sosial) tentang profil lembaga, dan

tugas pokok pekerja sosial

dalam proses rehabilitasi

sosial di Yayasan Kapeta.

Jumlah Informan 6 orang

Sumber : Penentuan Informan Penulis

4. Teknik Pengumpulan Data

Adapun untuk pelaksanaan penelitian ini, teknik pengumpulan data yang

dilakukan adalah dengan cara:11

a. Wawancara

Wawancara mendalam (in-dept, intensive interview). dalam hal ini

seharusnya peneliti mempelajari teknik wawancara agar bisa dilakukan

wawancara secara mendalam. Teknik ini menuntut peneliti untuk mampu

bertanya sebanyak-banyaknya dengan perolehan jenis data terntentu

sehhingga diperoleh data atau informasi yang rinci.

11
Hamidi, Metode Penelitian Kualitatif Pendekatan Praktis Penulisan Proposal dan Laporan
Penelitian, (Malang: Umm Press, 2010), Cetakan kedua, h. 56.
14

Melakukan wawancara mendalam berarti menggali informasi atau data

sebanyak-banyaknya dari responden atau informan. Agar informasi yang

detail diperoleh, peneliti hendaknya berusaha mengetahui, menguasai

sebelumnya tentang topik penelitiannya.

Sebelum wawancara peneliti menyiapkan pedoman wawancara yang

berhubungan dengan keterangan yang ingin digali. Adapun hal yang

diwawancarai adalah seputar proses rehabilitasi sosial untuk penyalahguna

NAPZA di Yayasan Kapeta dan Hasil yang didapat setelah melakukan

rehabilitasi sosial. Dalam hal ini peneliti menggunakan bahasa Indonesia

dalam mewawancarai responden, yaitu para klien, staff klinis, dan pekerja

sosial Yayasan Kapeta.

b. Observasi

Dengan teknik ini (termasuk wawancara) peneliti harus berusaha dapat

diterima sebagai warga atau orang dalam para responden, karena teknik ini

memerlukan hilangnya kecurigaan para subjek penelitian terhadap

kehadiran peneliti.

Observasi, berarti peneliti melihat dan mendengarkan (termasuk

menggunakan tiga indera yang lain, jika terjadi) apa yang dilakukan dan

dikatakan atau diperbincangkan para responden dalam aktivitas kehidupan

sehari-hari baik sebelum, menjelang, ketika dan sesudahnya. Aktivitas

yang diamati terutama yang berkaitan dengan konsep-kunci penelitian,

tanpa melakukan intervensi atau member stimuli pada aktivitas subjek

penelitian.
15

Observasi dilakukan untuk memperoleh data tentang proses

rehabilitasi sosial untuk penyalahguna NAPZA dan hasil rehabilitasi sosial

di yayasan Kapeta.

c. Dokumentasi

Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu yang

berbentuk tulisan, gambar, atau karya monumental dari seseorang. Studi

dokumen merupakan perlengkap dari penggunaan metode observasi dan

wawancara.12

Teknik dokumentasi yang berupa informasi yang berasal dari catatan

penting baik dari lembaga atau organisasi maupun perorangan.

Peneliti berusaha mengumpulkan, membaca, dan mempelajari

berbagai bentuk data tertulis yang ada dilapangan serta data-data lain yang

didapat dari buku, majalah, surat kabar, artikel, kliping, dan lain-lain.

5. Tempat dan Waktu Penelitian

a) Tempat Penelitian

Tempat penelitian yang diambil oleh penulis yaitu Yayasan Kapeta.

Disana penulis melakukan penelitian untuk mendapatkan informasi dari

staff yang memberikan rehabilitasi dan penerima pelayanan dengan

melakukan wawancara langsung serta observasi terhadap proses

rehabilitasi sosial dan hasil rehabilitasi sosial yang diberikan Yayasan

12
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori & Praktik, (Jakarta: PT. Bumi Aksara,
2013), Cetakan Pertama, h. 176.
16

Kapeta tersebut untuk mendapatkan data tertulis seperti dokumentasi dan

data-data lain yang mendukung penelitian ini.

b) Waktu Penelitian

Waktu penelitian yang dilakukan penulis berlangsung selama enam

bulan dimulai dari bulan Juni 2016 sampai bulan November 2016.

6. Analisa Data

Analisis data adalah pencarian atau pelacakan pola-pola. Analisis data

kualitatif adalah pengujian sistematik dari sesuatu untuk menetapkan bagian-

bagiannya, hubungan antar kajian dan hubungannya terhadap keseluruhan.

Artinya, semua analisis kualitatif akan mencakup penelusuran data, melalui

catatan-catatan (pengamatan lapangan) untuk menemukan pola-pola budaya yang

dikaji oleh peneliti.13

Penelitian ini dilakukan dengan penelitian kualitatif, data yang diperoleh

melalui wawancara dan pengamatan tersebut dideskripsikan dalam bentuk uraian.

Setelah data terkumpul dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan

permasalahan penelitian, maka selanjutnya peneliti melaksanakan analisis

terhadap data dan informasi tersebut. Dalam menulis data tersebut, peneliti

menggunakan analisis deskriptif, yaitu mendeskrpsikan hasil temuan penelitian

secara sistematik, faktual dan akurat yang disertai dengan petikan wawancara

yang akan dipaparkan oleh peneliti.

13
Ibid, h. 210.
17

7. Teknik Keabsahan Data

Teknik pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini memiliki kriteria,

yaitu, Dilakukan dengan membandingkan dan mengecek baik derajat kepercayaan

suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan cara yang berbeda dalam

metode kualitatif yang dilakukan dengan membandingkan data hasil pengamatan

dengan hasil wawancara, membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu

dokumen yang berkaitan. Hasil dari perbandingan yang diharapkan adalah berupa

kesamaan atau alasan-alasan terjadinya perbedaan.14

8. Teknik Penulisan

Untuk mempermudah dalam penulisan skripsi ini maka penulis mengacu pada

pedoman penulisan karya ilmuan (skripsi, tesis, dan disertasi) yang diterbitkan

oleh CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta tahun 2008.

9. Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan tinjauan pustaka terhadap beberapa

hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.

Adapun penelitian tersebut diantaranya:

a. Journal of Substance Abuse Treatment ditulis oleh Steven L. Proctor,

Ph.D, dkk dengan judul “A Naturalistic Evaluation of the Effectiveness of

a Protracted Telephone-Based Recovery Assistance Program on

Continuing Care Outcomes” yang membahas mengenai treatmen atau cara

14
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial
Lainnya, (Jakarta: Kencana, 2011), Edisi kedua, Cetakan ke-5, h. 264-265.
18

rehabilitasi sosial pada penyalahgunaan narkoba. Pada jurnal ini di

jelaskan bahwa para mantan pengguna narkoba memiliki banyak

permasalahan sosial dan hal tersebut membuat mereka sulit mengelola

permasalahannya diri sendiri. namun, pada jurnal ini memberikan

beberapa cara yang membantu agar klien mampu memanajemen diri

sendiri. seperti bergabung dalam kelompok intervensi berbasis telfon.

Disini para klien akan memiliki anggota kelompok yaitu

perawat/dokter/pekerja sosial, keluarga dan sesama mantan pengguna

narkoba. Mereka dapat menceritakan masalah masalah yang dialami

kepada anggota kelompok lainnya hal ini bertujuan agar klien tidak

merasa mengalami masalah sendirian dan mampu untuk melanjutkan

kegiatan selanjutnya. Kegiatan ini berlangsung selama 6 bulan. Intervensi

berbasis telepon dianggapp cukup praktis karena klien dapat

melakukannya dimana saja tanpa harus mendatangi pada suatu tempat.

Tidak hanya itu pada jurnal ini juga membahas mengenai metode 12

langkah yang dianggap dapat berkontribusi sangat baik untuk pemulihan

mantan pecandu narkoba. Hasil penelitian pada jurnal ini menemukan

bahwa mereka yang menggunakan metode 12 langkah dapat membantu

dalam menangani permasalahan-permasalahan pada dirinya dan dapat

membantu anggota kelompok lain apa bila memiliki permasalahan serta

para klien mau berjanji untuk berhenti menggunakan narkoba dan mau

mengatasi masalah kecanduan yang ada pada dirinya.


19

b. Program Rehabilitasi Sosial Bagi Narapidana Di Lembaga

Pemasyarakatan Klas I Cipinang Jakarta: Perspektif Pekerjaan Sosial

Koreksional. Disusun Oleh Ilmawati Hasanah, jurusan Kesejahteraan

Sosial/Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, tahun 2015.

Isi skripsi ini meneliti tentang Program rehabilitasi sosial bagi

narapidana di lembaga Pemasyarakatan klas I Cipinang Jakarta: Perspektif

pekerjaan sosial koreksional, skripsi ini bertujuan untuk mengetahui

bagaimana pola rehabilitasi sosial melalui pembinaan berdasarkan

perspektif pekerjaan sosial koreksional, bagaimana metode pembimbingan

narapidana yang diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang

Jakarta, dan bagaimana pendampingan bagi narapidana selama mengikuti

pembinaan. Dalam hal ini, penulis dengan peneliti terdahulu sama-sama

mengambil metode group work, yang jadi pembeda antara penelitian

terdahulu tersebut dengan skripsi penulis ialah subjek yang diteliti.

c. Peran peer counselor dalam rehabilitasi korban napza di Panti Sosial

Pamardi Putra Galih Pakuan Bogor. Disusun oleh Nurjanah, jurusan

Bimbingan Penyuluhan Islam/Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi, tahun 2014.

Isi dari skripsi ini menjelaskan mengenai Proses rehabilitasi korban

penyalahgunaan NAPZA merupakan upaya kesehatan yang dilakukan

secara utuh dan terpadu melalui pendekatan non-medis, psikologis, sosial

dan religi agar pengguna NAPZA yang menderita ketergantungan dapat

mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Dalam mencapai


20

tujuan dari proses tersebut dibutuhkan suatu layanan bantuan berupa peran

peer counselor. Hal ini didasari bahwa tidak semua klien yang mengikuti

program rehabilitasi memiliki masalah yang sama (walaupun samasama

pengguna). Adanya peer counseling tersebut tentunya memiliki beberapa

tujuan yang hendak dicapai, dasar komunikasi dalam peran peer

counselor, dan keberhasilan yang dicapai dalam peer counselor. Perbedaan

penelitian terdahulu dengan penelitian yang penulis teliti yaitu terletak

pada pembahasan, pada penelitian yang penulis lakukan ialah membahas

keseluruhan proses rehabilitasi sosial dengan berbagai macam terapi yang

diberikan. Persamaannya terdapat pada salah satu pembahasan mengenai

terapi konseling, dimana terapi konseling ini perlu diberikan kepada klien

baik secara individu ataupun kelompok agar terciptanya komunikasi yang

saling terbuka dan terjadinya pemberdayaan konseling agar mampu

mengambil keputusan untuk permasalahan klien. Perbedaannya terdapat

pada lembaga penelitian yang diambil oleh penulis.

d. Rehabilitasi Mental Remaja Korban Penyalahgunaan Narkoba Di Yayasan

Madani Mental Health Care Cipinang Besar Selatan, Jakarta Timur.

Disusun oleh Jovendra Aliansyah, jurusan Bimbingan Penyuluhan

Islam/Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Isi skripsi ini adalah Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh

gambaran mengenai proses rehabilitasi yang dilakukan dalam

penyembuhan korban penyalagunaan narkoba di Yayasan Madani Mental


21

Health Care Cipinang Besar Selatan, Jakarta Timur. Yang membedakan

dengan skripsi peneliti adalah subjek penelitiannya adalah klien dari

Yayasan Kapeta Tangerang Selatan. Sedangkan objek penelitian adalah

mengetahui proses rehabilitasi sosial yang diberikan Yayasan Kapeta

untuk penyalahguna NAPZA. Dan persamaanya adalah membahas

mengenai Penyalahguna NAPZA.

e. Peran Pekerja Sosial Dalam Rehabilitasi Sosial Penyalahguna Narkoba di

Panti Sosial Pamardi Putra (PSPP) “Galih Pakuan” Bogor. Disusun oleh

Risdiyanto, jurusan kesejahteraan sosial/Fakultas ilmu dakwah dan ilmu

komunikasi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Skripsi ini membahas Peran Pekerja Sosial dalam rehabilitasi sosial

memiliki beberapa peran yaitu, peran sebagai perantara, peran sebagai

pendorong, peran sebagai penghubung, peran sebagai advokasi, peran

sebagai perunding, peran sebagai pelindung, peran sebagai fasilitator,

peran sebagai negosiator. Peran yang paling menonjol dari peran tersebut

adalah peran sebagai pendorong dan peran sebagai fasilitator, dan yang

menonjol dari PSPP “Galih Pakuan” Bogor adalah rehabilitasi sosialnya

yang menerapkan penuh pembinaan mental, sosial, dan fisik tanpa

menggunakan obat-obatan pemulihan kecanduan narkoba.

Perbedaan dalam skripsi ini adanya objek yang diteliti dalam

penelitian, dan persamaannya adalah peran pekerja sosial yang menonjol

yaitu sebagai pendorong dan peran sebagai fasilitator serta dalam


22

rehabilitasi sosial ini tidak menggunakan obat-obatan seperti metadon

dalam pemulihan kecanduan narkoba.

E. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis membagi dalam lima bab, masing-

masing bab terdiri dari beberapa sub bab secara sistematis sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Mengemukakan: Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan

Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, dan

Sistematika Penulisan.

BAB II: LANDASAN TEORI

Dalam bab ini, dikemukakan teori-teori yang melandasi dan mendukung

penelitian. Yang meliputi pengertian rehabilitasi sosial, sarana dan prasarana

rehabilitasi, rehabilitasi bagi korban narkoba, tahapan rehabilitasi sosial, teori

kognitif-perilaku, teori sistem ekologi, terapi kelompok, peran pekerja sosial

dengan kelompok, pendekatan penanganan penyalahgunaan obat, asesmen,

skrining, hasil rehabilitasi, pengertian penyalahguna narkoba, akibat

penyalahgunaan narkoba dan cara mengatasinya, Dampak penyalahgunaan

NAPZA, serta pengertian napza, jenis-jenis dan tahapan penyalahgunaan

napza.

BAB III: PROFIL LEMBAGA

Menjelaskan tentang profil lembaga, pertama penulis menguraikan latar

belakang berdirinya Yayasan Kapeta Indonesia, Visi dan Misi, Landasan


23

Hukum, Struktur Organisasi, Sarana dan Prasarana, Prosedur Penerimaan

klien, Kerja sama lintas sektoran, Program Yayasan Kapeta.

BAB IV: ANALISIS DAN TEMUAN LAPANGAN

Bab ini membahas tentang Proses rehabilitasi sosial yang diberikan

Yayasan Kapeta kepada penyalahguna NAPZA dan terapi-terapi yang

diberikan Yayasan Kapeta.

BAB V: PENUTUP

Bab terakhir ini, memberikan kesimpulan terhadap hasil penelitian yang

dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, guna menghasilkan masukan

ataupun saran terhadap program lembaga.


24

BAB II

LANDASAN TEORI

A. REHABILITASI SOSIAL

1. Pengertian Rehabilitasi Sosial

Rehabilitasi menurut Dadang Hawari yaitu upaya memulihkan dan

mengembalikan kondisi para mantan penyalahguna/ketergantungan zat kembali

sehat secara fisik, psikologik, sosial dan spiritual/ agama (keimanan). Dimana

dalam keadaan sehat tersebut diharapkan mereka akan mampu kembali berfungsi

secara wajar dalam kehidupannya sehari-hari baik di rumah, sekolah/kampus, di

tempat kerja dan lingkungan sosialnya.15

Menurut Undang-Undang nomor 35 tahun 2009, pasal 1 poin 17 menyatakan,

rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik

fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali

melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.16

Kemudian rehabilitasi itu dibagi lagi berdasarkan objeknya rehabilitasi dibagi

menjadi 2 yaitu:

a. Rehabilitasi cacat yaitu rehabilitasi bagi orang-orang yang memiliki cacat

fisik seperti tuna netra, tuna rungu dll

15
Ferlinda Cristianingrum, Penerapan Pendekaran Therapeutic Community Pada Program
Rehabilitasi Remaja Korban Penyalahgunaan NAPZA, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Indonesia, 2002), h.32.
16
Wresniwiro, dkk., Selamatkan anak bangsa dari bahaya narkoba, (Jakarta: Mitra Bintibmas,
2010), Cetakan Pertama, h.105.
25

b. Rehabilitasi sosial yaitu rehabilitasi bagi orang yang tunasosial atau memiliki

kelainan atau penyimpangan sosial seperti tuna susila, korban narkotika, anak

nakal dll.17

Rehabilitasi sosial sendiri bertujuan untuk para mantan penyalahguna napza

agar mereka dapat pulih kembali dan sehat baik secara mental dan fisik, serta

melaksanakan fungsi sosialnya.

Program rehabilitasi sosial ini merupakan persiapan untuk kembali ke

masyarakat (reentry program). Oleh karena itu mereka perlu dibekali dengan

pendidikan dan keterampilan misalnya berbagai kursus ataupun balai latihan kerja

dapat diadakan di pusat rehabilitasi.

2. Sarana dan Prasarana Rehabilitasi

Setiap korban narkoba berhak memperoleh kesehatah dan kesembuhan yang

didambakannya. Maka harus tersedia dukungan dan pertolongan bagi harapannya

itu, dengan perlengkapan-perlengkapan teknis lainnya. Selain tempat, diperlukan

juga berbagai perlengkapan fisik, baik langsung ataupun tidak langsung, baik

pokok maupun tambahan, baik kebutuhan pribadi ataupun bersama, yang

mendukung dan memberi nuansa kondusif bagi semua yang berkepentingan. Staf

maupun pecandu narkoba (pasien) harus bekerja sama untuk mencapai hasil yang

maksimal.

Sarana dan prasarana rehabilitasi yang merupakan alat untuk mengatasi

masalah-masalah ketidakmampuan atau cacat (disability), dapat dibagi ke dalam

17
Listiyana Kurniawan, Pengaruh Konsep Pemulihan Terhadap Pusat Rehabilitasi Narkoba,
(Skripsi S1 Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia Depok, 2005), h.13.
26

empat kategori, yaitu program, pelayanan (service), sumber daya manusia

(personnel), dan fasilitas serta peralatan. Berikut adalah penjelasan mengenai hal-

hal diatas:18

a. Program Rehabilitasi

Program rehabilitasi digambarkan sebagai suatu rencana prosedur yang

bersifat luas yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh kelompok-kelompok orang.

Program rehabilitasi berbeda dalam hal jangkauan (scope), organisasi, tujuan, dan

praktek operasionalnya. Jangkauan program dapat meliputi lingkup nasional,

regional atau lokal. Organisasi suatu program dapat dikategorikan ke dalam

organisasi pemerintah (public) atau swasta (private).

Tujuan suatu program dapat dihubungkan dengan salah satu tipe masalah

sosial, dan dapat juga dihubungkan dengan kategori kecacatan atau masalah sosial

yang lebih umum atau luas. Seringkali tujuan program berkaitan dengan suatu

bagian khusus dari proses rehabilitasi. Praktek operasional suatu program

rehabilitasi dapat dilaksanakan melalui berbagai kegiatan, diantaranya pengadaan

pelayanan, informasi dan publikasi, koordinasi kegiatan-kegiatan, pertukaran ide

atau pemikiran antara profesi atau disiplin ilmu, pengumpulan dana, penelitian

dan pendidikan.

b. Pelayanan Rehabilitasi

Penyandang rehabilitasi diorganisasikan untuk kepentingan langsung para

penyandang masalah sosial. Pelayanan rehabilitasi merupakan penerapan

18
Edi Suhato, Isu-isu Tematik Pembangunan Sosial: Konsepsi dan Strategi, (Jakarta: Badan
Pelatihan dan Pengembangan Sosial Departemen Sosial RI, 2004), h.187
27

kombinasi talenta dan metode yang pada umumnya bersifat professional atau

teknis dan membuahkan hasil berupa pengurangan atau peringaqnan dari

konsekuensi masalah yang dihadapi.

c. Sumber Daya Manusia yang Melakukan Pelayanan Rehabilitasi

Sumber daya manusia atau personel yang melakukan pelayanan rehabilitasi

disesuaikan dengan persyaratan keterampilan pada masing-masing bidang

pelayanan. Dengan demikian sumber daya manusia terdiri dari orang-orang dari

berbagai profesi yang memiliki keterampilan-keterampilan khusus seperti dokter,

perawat, psikolog, pekerja sosial, pekerja sosial medis, konselor, vokasional, ahli

terapi bicara dan mendengar, ahli terapi phisik dsb. Selain personel tersebut,

terdapat bagian dari masyarakat yang memberikan kontribusi pada seluruh

prosedur rehabilitasi, diantaranya adalah volunteer atau sukarelawan, pencari

dana, pekerja sosial dan kesehatan masyarakat, dsb.

d. Fasilitas sarana dan prasarana

Fasilitas sarana dan prasarana rehabilitasi merupakan sesuatu yang

memperlancar setiap tindakan, pelaksanaan atau kegiatanan rehabilitasi. Perlu

adanya sarana atau lokasi khusus bagi pekerja medis, psikolog, dan pekerja

rehabilitasi vokasional. Fasilitas tersebut dapat berupa, rumah sakit, lembaga atau

pusat rehabilitasi dll.

e. Peralatan

Peralatan yang dipergunakan merupakan bagian penting dari kelengkapan

kegiatan rehabilitasi untuk kelancaran proses rehabilitasi. Sifat dari peralatan


28

dapat manual atau menggunakan teknologi tinggi. Jenis dan jumlahnya tergantung

pada banyaknya profesi yang terlibat dalam proses rehabilitasi.

3. Rehabilitasi Korban Penyalahguna NAPZA

Rehabilitasi korban narkoba adalah suatu proses yang berkelanjutan dan

menyeluruh. Rehabilitasi korban narkoba, harus meliputi usaha-usaha untuk

mendukung para korban, hari demi hari, dalam membuat pengembangan dan

pengisian hidup secara bermakna serta berkualitas dibidang fisik, mental, spiritual

dan sosial.19

Seseorang yang menjadi korban penyalahguna zat memang harus diberikan

perawatan guna memulihkan kondisinya agar baik seperti kondisi awal sebelum

menggunakan NAPZA, menurut Peter jenis perawatan terhadap korban penyalahguna

zat meliputi:

a. Getting People Off Drugs, yaitu upaya perawatan untuk menghentikan

pemakaian obat atau zat melalui detoksifikasi.

b. Keeping Them Off, yaitu upaya perawatan untuk mempertahankan

penghentian pemakaian obat atau zat melalui rehabilitasi.20

Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik

fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali

melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Rehabilitasi sosial

19
Lambertus Somar, Rehabilitasi Pecandu Narkoba, (Jakarta: Grasindo, 2001), h. 20.
20
Ferlinda Cristianingrum, Penerapan Pendekaran Therapeutic Community Pada Program
Rehabilitasi Remaja Korban Penyalahgunaan NAPZA, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Indonesia, 2002), h. 32.
29

dilakukan pada panti rehabilitasi atau diterapkan pada beberapa fasilitas pendidikan

yang berorientasi keagamaan.21

Bentuk-bentuk terapi dalam rehabilitasi sosial adalah:

a. Terapi medis, ditunjukan agat para pengguna narkoba sehat secara fisik.

Kegiatan dalam terapi ini yaitu memulihkan kondisi fisik yang lemah, dengan

pemberian makanan yang bergizi dan kegiatan olahraga.

b. Terapi psikiatrik, dimaksudkan agar peserta rehabilitasi dapat menghilangkan

sikap antisosial. Kegiatan utamanya adalah psikoterapi baik secara individu

maupun kelompok. Selain itu terapi ini juga ditunjukan untuk keluarganya

agar dapat memahami permasalahan seputar narkoba dan persiapan atau sikap

yang harus diambil bila anggota keluarganya kambuh kembali.

c. Terapi psikososial ditunjukan agar peserta rehabilitasi dapat bergabung

kembali ke dalam lingkungan sosialnya. Kegiatan utamanya adalah

pembekalan dengan pendidikan dan latihan keterampilan.

d. Terapi psikoreligius untuk memulihkan peserta rehabilitasi dalam

menjalankan ibadahnya. Hal ini untuk memperkuat keimanan mereka

sehingga tidak kembali pada narkoba.22

21
Wresniwiro, dkk., Selamatkan anak bangsa dari bahaya narkoba, (Jakarta: Mitra Bintibmas,
2010), Cetakan Pertama, hal. 105.
22
Listiyana Kurniawan, Pengaruh Konsep Pemulihan Terhadap Pusat Rehabilitasi Narkoba,
(Skripsi S1 Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia Depok, 2005), h. 14-15.
30

4. Tahapan Rehabilitasi Sosial

Terdapat 7 (tujuh) tahapan dalam melaksanakan rehabilitasi sosial, yaitu:23

a. Pendekatan awal. Merupakan rangkaian yang mengawali keseluruhan proses

rehabilitasi sosial, terdiri atas kegiatan sosialisasi dan konsultasi, identifikasi,

motivasi, seleksi penerimaan.

b. Pengungkapan dan pemahaman masalah. Merupakan kegiatan

mengumpulkan, menganalisis dan merumuskan masalah, kebutuhan, potensi

dan sumber yang meliputi aspek fisik, psikis, sosial, spiritual dan budaya.

c. Penyusunan rencana pemecahan masalah. Merupakan kegiatan penyusunan

rencana pemecahan masalah berdasarkan hasil pengungkapan dan pemahaman

masalah meliputi penentuan tujuan, sasaran, kegiatan, metoda, strategi, dan

teknik, tim pelaksana, waktu pelaksanaan dan indikator keberhasilan.

d. Pemecahan masalah. Merupakan pelaksanaan kegiatan dari rencana masalah

yang telah disusun.

e. Resosialisasi. Merupakan kegiatan menyiapkan lingkungan sosial, lingkungan

pendidikan dan lingkungan kerja.

f. Terminasi. Merupakan kegiatan pengakhiran rehabilitasi sosial kepada korban

penyalahgunaan NAPZA.

g. Bimbingan lanjut. Merupakan bagian dari penyelenggaraan rehabilitasi sosial

sebagai upaya yang diarahkan kepada klien yang telah selesai mengikuti

proses rehabilitasi sosial, baik di dalam maupun di luar lembaga.

23
Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2012 Tentang Standar
Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya.
31

5. Teori Kognitif-Perilaku

Seperti yang dikutip oleh Siti Napsiyah dan Lisma Diawati Fuaida, Scott dan

Dryden mengklarifikasi terapi Kognitif-Perilaku dalam empat kategori:

a) Keterampilan menyelesaikan (coping skills) terdiri dari dua elemen, yaitu

“verbalisasi diri” (suatu intruksi terhadap diri sendiri) dan tingkah laku yang

dihasilkannya. Kesulitan dalam menghadapi situasi dapat berasal dari

ketidakmampuan untuk mengucapkan secara verbal maupun melakukannya

dalam bentuk aksi sesuai. Pelatihan inokulasi stress (stress inoculation

training) yang dilakukan oleh Meichenbaum bertujuan untuk mengurangi dan

mencegah stress dengan cara mengajari klien apa yang harus dikatakan atau

dilakukan dalam situasi yang sulit.

b) Penyelesaian masalah (problem solving) berbeda dari teori psikodinamik

sosial. Ini fokus melihat kehidupan manusia sebagai proses untuk

menyelesaikan permasalahan hidup. Disini penyelesaian masalah lebih mirip

dengan kerja yang berfokus pada tugas: klien didorong untuk “mengunci” dan

mendefinisikan masalah, menemukan solusi, memilih yang terbaik,

merencanakan cara untuk penyelesaiannya dan mereview peningkatannya.

c) Restrukturasi kognitif (cognitive restructuring) lebih dikenal sebagai bentuk

terapi kognitif. Sheldon menekankan untuk memfokuskan kepada kekacauan

dalam persepsi dan dampak atribut persepsi, yaitu bagaimana seseorang

menyikapi segala sesuatu yang menimpa mereka. Atribusi adalah penilaian

mereka terhadap makna dari pengalaman mereka.


32

d) Terapi kognitif stuktural (structural cognitive therapy) fokus terhadap tiga

struktur kepercayaan atau keyakinan dalam pemikiran klien; keyakinan utama

adalah asumsi terhadap diri sendiri; keyakinan tengah-tengah adalah deskripsi

ekplisit yang dibuat oleh manusia terhadap dunia; keyakinan terakhir adalah

rencana aksi dan strategi penyelesaian masalah yang digunakan dalam

kehidupan sehari-hari.24

Pada prinsipnya terapi kognitif perilaku adalah mengidentifikasikan kandungan

pemikiran, yang meliputi asumsi, keyakinan, harapan, pesan kepada diri sendiri (self

talk), atau kelengkapan (attributions). Melalui berbagai teknik, pemikiran-pemikiran

kemudian dikaji untuk menentukan dampak akhirnya terhadap emosi dan perilaku

klien.

6. Peran Pekerja Sosial

Menurut Jim Ife, peran pekerja sosial antara lain:

a. Peranan Fasilitatif

Peranan praktek yang dikelompokan ke dalam peranan fasilitatif merupakan

peranan yang dicurahkan untuk membangkitkan semangat atau memberi

dorongan kepada individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat untuk

menggunakan potensi dan sumber yang dimiliki untuk meningkatkan

produktivitas dan pengelolaan usaha secara efisien. Melakukan mediasi dan

negosiasi, yaitu pekerja sosial memerankan diri sebagai mediator dalam

pemanfaatan lahan dengan pihak lain untuk memperluas aktivitas kerjasama

24
Siti Napsiyah Ariefuzzaman dan Lisma Diawati Fuaida, Belajar Teori Pekerjaan Sosial,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 42.
33

dengan menguntungkan pihak-pihak yang terlibat. Memberikan

support/dukungan, yaitu memberikan dukungan untuk memperkuat, mengakui

dan menghargai nilai yang dimiliki oleh individu-individu, kelompok-kelompok

dan masyarakat, menghargai kontribusi dan kerja mereka. Dukungan ini dapat

bersifat formal dan informal. Membangun consensus dengan sesama pihak untuk

melakukan kerjasama dalam rangka pengembangan potensi individu-individu,

kelompok-kelompok dan masyarakat. Memfasilitasi individu-individu, kelompok-

kelompok dan masyarakat dalam meningkatkan produktivitas dan pemasaran

hasil produksi.

b. Peranan Educational

Pekerja sosial memainkan peranan dalam penentuan agenda, sehingga tidak

hanya membantu pelaksanaan proses peningkatan peningkatan produktivitas akan

tetapi lebih berperan aktif dalam memberikan masukan dalam rangka peningkatan

pengetahuan, keterampilan serta pengalaman bagi individu-individu, kelompok-

kelompok dan masyarakat. Peran pendidikan ini dapat dilakukan dengan

peningkatan kesadaran, memberikan informasi, mengkonfrontasikan, melakukan

pelatihan bagi individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat.

c. Peranan-peranan Representasional

Pekerja sosial melakukan interaksi dengan badan-badan di masyarakat yang

bertujuan bagi kepentingan individu-individu, kelompok-kelompok dan

masyarakat. Peranan ini dilakukan, antara lain dengan : mendapatkan sumber-

sumber dari luar tetapi dengan berbagai pertimbangan yang matang, seperti

bantuan modal usaha, pelatihan pengembangan potensi dan produktivitas dari


34

berbagai donator. Melakukan advokasi untuk membela kepentingan-

kepentingan individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat seperti

mendukung upaya implementasi program dan berupaya merealisasikan program

tersebut. Memanfaatkan Media Masa untuk memperkenalkan hasil produksi.

Selain itu juga bertujuan menerima dukungan dari pihak lain yang lebih luas;

membuka jaringan kerja, dengan mengembangkan relasi dengan berbagai pihak,

kelompok dan berupaya mendorong mereka untuk turut serta dalam upaya

pengembangan potensi, seperti pemerintah, pengusaha, dan masyarakat’ selain itu

pula, pekerja sosial berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan stakeholder.

d. Peranan Teknis

Di sini pekerja sosial melakukan pengumpulan dan analisis data, kemampuan

menggunakan komputer, kemampuan melakukan presentasi secara verbal maupun

tertulis, manajemen serta melakukan pengendalian finansial, dan melakukan need

assessment terhadap pengembangan potensi individu-individu, kelompok-

kelompok dan masyarakat. Peran-peran ini dapat dilakukan pekerja sosial

bersama individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat melakukan

mendapatkan informasi dan data yang dapat digunakan baik untuk mengundang

perhatian dari stakeholders untuk mengembangkan potensi tetapi juga membantu

mempromosikan.

Dengan demikian, pekerjaan sosial memiliki peran yang sangat penting

dalam pengembangan potensi individu-individu, kelompok-kelompok dan

masyarakat.
35

7. Terapi Kelompok

Terapi kelompok menurut Albert S. Alissi, terapi kelompok terutama

mengkonsentrasikan diri pada pemberian pengalaman-pengalaman kelompok untuk

memenuhi kebutuhan-kebutuhan perkembangan secara normal, membantu mencegah

perpecahan sosial, memudahkan tujuan-tujuan korektif dan rehabilitatif, serta

mendorong keterlibatan dan tanggungjawab penduduk dalam aksi sosial.25

Seperti yang di kutip Edi Suharto, menurut Zastrow dalam kaitannya dengan

terapi kelompok, terdapat beberapa jenis kelompok yang sering digunakan sebagai

media pertolongan pekerjaan sosial, yaitu:26

a. Kelompok Keterampilan Rekreasi (Recreaction Skill Group)

Selain tujuan kelompok ini untuk menyelenggarakan kegiatan kreatif, juga

untuk meningkatkan keterampilan tertentu diantara para anggotanya. Berbeda

dengan kelompok rekreasi, kelompok ini memiliki penasihat, pelatih atau

instruktur serta memiliki orientasi tugas yang lebih jelas.

b. Kelompok Pemecahan Masalah dan Pembuatan Keputusan (Problem-Solving

and Decision-Making Group)

Kelompok ini melibatkan klien/penerima pelayanan dan para petugas

pemberi pelayanan di suatu lembaga kesejahteraan sosial. Bagi klien, tujuan

bergabungnya dengan kelompok ini adalah untuk menemukan pendekatan-

pendekatan yang dapat digunaan untuk menemukan sumber-sumber baru

dalam memenuhi kebutuhan baru. Sedangkan bagi para pemberi pelayanan,

25
Edi Suharto, Pekerjaan Sosial di Dunia Industri Memperkuat CSR (Corporate Social
Resposibility), (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 38.
26
Ibid, h. 39.
36

kelompok ini dijadikan sarana untuk mengembangkan rencana penyembuhan

bagi klien atau sekelompok klien, merumuskan keputusan dalam

mengalokasikan sumber-sumber pelayanan yang terbatas, memperbaiki

kualitas pelayanan, menyempurnakan kebijakan-kebijakan lembaga, atau

memperoleh masukan untuk meningkatkan koordinasi dengan lembaga-

lembaga lain.

c. Kelompok Penyembuhan (Therapeutic Group)

Kelompok terapi umumnya beranggotakan orang-orang yang mengalami

masalah personal dan emosional yang berat atau serius. Pemimpin kelompok

dituntut memiliki pengetahuan dan keterampilan yang handal mengenai

tingkah laku manusia dan dinamika kelompok, konseling kelompok,

penggunaan kelompok sebagai sarana pengubahan tingkah laku. Mirip

konseling perseorangan, tujuan kelompok terapi adalah mengupayakan agar

para anggota kelompok mampu menggali masalahnya secara mendalam, dan

kemudian mengembangkan satu atau lebih strategi pemecahan masalah. Ahli

terapis kelompok biasanya menggunakan satu atau lebih pendekatan terapi

sebagai pedoman dalam melakukan pengubahan tingkah laku.

7. Instrumen yang digunakan

a. Skrining (screening)

Ada banyak instrument tersedia bagi pekerja sosial untuk melakukan

skrining bterhadap individu yang mengalami masalah alkohol dan obat-

obatan. Pada umumnya pekerja sosial menggunakan instrumen yang diisi oleh
37

individu sendiri (yaitu klien mengisi sendiri) atau instrument yang digunakan

oleh pekerja sosial dengan mengajukan pertanyaan pada klien.

Instrument singkat dan cepat yang paling sering digunakan dalam skrining

adalah sebagai berikut:

- CAGE (empat topic CAGE adalah instrumen yang paling singkat)

- Michigan Alcoholism Screening Test (MAST)

- Drug Abuse Screening Test (DAST)

- Alcohol Use Disorders Indentification Test (AUDIT)

- Substance Abuse Subtle Screening Inventory (SASSI)

Seleksi alat skrining harus didasarkan sesuai dengan setting (tempat)

digunakannya termasuk tempat pelayanan klien. Menurut Skinner, skrining

bermanfaat apabila:

- Klien bebas alkohol dan obat serta mentalnya stabil

- Individu yang melakukan skrining membangun kedekatan dengan klien

- Klien memahami bahwa informasi yang mendukung akan digunakan

- Klien dijamin adanya kerahasiaan.

Dibanyak setting kerahasiaan sering tidak mungkin terjamin karena klien

dirujuk oleh pengadilan, petugas kejaksaan atau lembaga pelayanan

perlindungan anak yang memberikan informasi untuk menentukan adanya


38

masalah penyalahgunaan atau ketergantungan obat sehingga perlunya

dilakukan intervensi.27

b. Assessment

Instrumen standar yang paling umum digunakan dalam asesmen orang dewasa

yang bermasalah kecanduan alkohol dan obat adalah ASI (Addiction Severity

Index). Instrument ini mencakup tujuh bidang, medis, pekerjaan, alkohol, obat,

legal, keluarga/sosial, psikiatrik yang memberikan informasi sejarah sosial yang

substansial.

Pekerja sosial umumnya terampil dalam menyusun sejarah sosial, mengingat

kebanyakan pekerja sosial tidak bekerja dalam program penanganan

ketergantungan obat tetapi menghadapi klien dengan masalah tersebut, McNeece

& DiNitto memberikan informasi dan panduan untuk menyusun sejarah sosial

klien dalam kasus-kasus ketika informasi tentang masalah kecanduan alkohol dan

obat diperlukan. Sejarah sosial membahas 10 bidang: pendidikan, lapangan kerja,

sejarah keterlibatan sebagai militer (apabila sesuai), sejarah keluarga, relasi

dengan orang penting lain, dan alasan individu mencari bantuan.28

8. Penanganan Penyalahgunaan Obat

Salah satu bentuk layanan rawat rumah yang dibutuhkan klien adalah

komunitas terapeutik dan rumah singgah, yang mempunyai tingkat supervise dan

monitoring serta jangka waktu tinggal di tempat tersebut. Tidak banyak

27
Albert R. Roberts dan Gilbert J. Greene, Buku Pintar pekerja Sosial Social Workers’ Desk
reference, Penerjemah Juda Damanik dan Cynthia Pattiasina (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2009),
Cet. 1, h. 302.
28
Ibid, h. 304.
39

kesepakatan tentang pendekatan teori yang terbaik untuk merawat klien dengan

masalah ketergantungan alkohol atau obatan lain. Proyek MATCH, yaitu studi

tentang penanganan alkoholisme yang disponsori oleh National Institute on

Alcohol Abuse and Alcoholism (NIAAA) menggunakan tiga pendekatan waktu

terbatas bagi individu, dan penanganan rawat rumah (kadang-kadang lanjutan dari

rawat inap):

- Fasilitas dua belas langkah (12 sesi) yang dirancang untuk membantu

klien menggunakan Alcoholics Anonymous dan kelompok-kelompok

serupa.

- Terapi peningkatan motivasi (4 sesi) yang dirancang untuk membantu

klien menggalang sumber-sumbernya sendiri untuk penyembuhan.

- Terapi perilaku kognitif (12 sesi) yang di rancang untuk meningkatkan

kemampuan penyelesaian masalah klien untuk mempertahankan

kesembuhan.29

9. Sumber-sumber Self-Help

Sumber pertama program 12 langkah adalah Alcoholic Anonymous (AA).

Berbagai kelompok lain juga membantu orang yang bermasalah ketergantungan

obat seperti Narcotic Anonymous (NA) dan Cocaine Anonymous (CA). AA, NA,

dan kelompok lain telah membuka pertemuannya untuk membantu non-anggota

belajar lebih banyak tentang kelompok itu. Mereka berbeda dari apa yang

dibayangkan oleh orang yang sering merujuk klien ke kelompok tersebut.

Sekalipun beberapa klien merasa bahwa kelompok demikian tidak bermanfaat,

29
Ibid, h. 306.
40

namun demikian kelompok tersebut dapat menjadi sumber penyembuhan utama

bagi klien. Apabila digunakan bersama dengan penanganan professional,

kelompok demikian merupakan sumber yang baik untuk rawatan lanjutan.30

10. Ukuran Hasil

Mengukur hasil klien individu dalam praktik klinis sering dilakukan secara

informal, tetapi ada beberapa instrument dalam bidang penyalahgunaan obat dan

penanganan ketergantungan. Allen dan Columbus, banyak diantaranya terdapat

instrument mengukur hasil pada tingkat lembaga atau program. Misalnya, ASI

(Addiction Severity Index) mempunyai versi tindak lanjut yang dapat digunakan

untuk mengukur hasil seorang klien pascapenanganan.31

11. Teori Sistem-Ekologi

A. Pengertian Sistem Ekologi

Menurut David Easton teori sistem adalah suatu model yang menjelaskan

hubungan tertentu antara sub-sub sistem dengan sistem sebagai suatu unit yang

bisa saja berupa suatu masyarakat, serikat, buruh, organisasi pemerintahan.32

Teori sistem memfokuskan pada aspek-aspek relasi antara orang-orang dan

lingkungannya, bahwa individu secara konstan berinteraksi dengan individu

lainnya. Ketika seseorang bertindak sesuai dengan sistem, maka seseorang

tersebut mempengaruhi perubahan dalam sistem, sebaliknya mungkin

mempengaruhi individu.

30
Ibid, h. 309.
31
Ibid, h. 310.
32
Singgih D Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, ( Jakarta, Gunung
Mulia:1999), cet. ke-7, h. 6
41

B. Jenis-Jenis Sistem

Dalam teori yang diungkapkan Urie Bronfenbrenner bahwa terdapat lima

sistem lingkungan yakni:

a) Mikrosistem

Lingkungan dimana individu tinggal, hal ini meliputi keluarga, teman,

sekolah, tetangga, tempat kerja. Adanya interaksi maka mempengaruhi seorang

individu dalam pembentukan tingkah laku mereka.

b) Mesosistem

Hubungan antar mikrosistem atau hubungan antar konteks. Contohnya

hubungan antar pengalaman dalam keluarga dan pengalaman di sekolah,

pengalaman keluarga dengan tempat kerja dan lain-lain.

c) Ekosistem

Pengalaman individu yang dapat mempengaruhi individu lain secara tidak

langsung, melibatkan pengalaman individu yang tidak memiliki peran aktif di

dalamnya. Misalnya, pengalaman kerja dapat mempengaruhi hubungan wanita

dengan suami dan anaknya.

d) Makrosistem

Kebudayaan dimana individu hidup, perkembangan individu dipengaruhi oleh

norma, nilai, dan amalan masyarakat. Budaya dimana seseorang tinggal, budaya

merupakan pola, perilaku, keyakinan yang diwariskan dari satu generasi ke

generasi berikutnya.
42

e) Kronosistem

Merujuk pada pola peristiwa dan transisi yang berlaku dalam sekitar individu

disepanjang kehidupannya.

B. Penyalahguna Narkoba

1. Pengertian Penyalahguna

Penyalahguna zat adalah pemakaian zat di luat indikasi medik, tanpa

petunjuk/resep dokter, pemakaian sendiri secara teratur atau berkala sekurang-

kurangnya selama satu bulan. Pemakaian bersifat patologik dan menimbulkan

hendaya (impairment) dalam fungsi sosial, pekerjaan, dan sekolah.33

Menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika pasal 1

poin 15 menyatakan: “Penyalahguna adalah orang yang menggunakan Narkotika

tanpa hak atau melawan hukum”.

Mekanisme terjadinya penyalahguna NAZA, oleh peneliti Hawari

dikemukakan sebagai berikut: penyalahguna NAZA terjadi oleh interaksi antara

faktor-faktor predisposisi (kepribadian, kecemasan, depresi), faktor kontribusi

(kondisi keluarga), dan faktor pencetus (pengaruh teman kelompok sebaya dan

zatnya itu sendiri).

Dari sudut psikiatri (ilmu kedokteran jiwa) penyalahgunaan NAZA dapat

mengakibatkan gangguan mental organik akibat NAZA atau disebut juga

Sindrom Otak Organik, yang disebabkan oleh efek langsung dari NAZA tersebut

terhadap susunan saraf pusat/otak.

33
Dadang Hawari, Penyalahgunaan Narkotika dan Zat Adiktif, (Jakarta: Fakultas Kedokteraan
Universitas Indonesia, 1991), h. 42.
43

2. Akibat Penyalahgunaan NAPZA

Akibat-akibat Narkoba Terhadap Individu, Narkoba yang disalahgunakan

dapat membawa efek-efek terhadap tubuh si pemakai sebagai berikut:34

a) Euphoria: ialah suatu persaan riang gembira (well being) yang dapat

ditimbulkan oleh narkoba yang abnormal dan tidak sepadan atau tidak sesuai

dengan keadaan jasmani atau rohani si pemakai yang sebenarnya.

b) Delirium: yaitu menurunnya kesadaran mental si pemakai disertai kegelisahan

yang agak hebat yang terjadi secara mendadak, yang dapat menyebabkan

gangguan coordinator otot-otot gerak motorik (mal coordinator).

c) Halusinasi: yaitu suatu kesalahan persepsi panca indera, sehingga apa yang

dilihat, apa yang didengar tidak seperti kenyataan sesungguhnya.

d) Weakness: yaitu suatu kelemahan jasmani atau rohani atau keduanya yang

terjadi akibat ketergantungan dan kecanduan narkoba.

e) Drowsiness: yaitu kesadaran yang menurun, atau keadaan antara sadar dan

tidak sadar, seperti keadaan setengan tidur disertai fikiran yang sangat kacau

dan kusut.

f) Collapse: yaitu keadaan pingsan dan jika si pemakai over dosis, dapat

mengakibatkan kematian.

3. Dampak dari Penyalahgunaan NAPZA

Dampak penyalahgunaan narkotika pada seseorang sangat tergantung pada

jenis narkotika yang dipakai, kepribadian pemakai dan situasi atau kondisi

34
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Mandar Maju,
2003), Cetakan I, h.24.
44

pemakai. Secara umum, dampak kecanduan narkotika dapat terlihat pada fisik,

psikis maupun sosial seseorang.

Dampak Fisik, Gangguan pada system syaraf (neurologis) seperti: kejang-

kejang, halusinasi, gangguan kesadaran, kerusakan syaraf tepi, gangguan pada

jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler) seperti: infeksi akut otot jantung,

gangguan peredaran darah, gangguan pada kulit (dermatologis) seperti:

penanahan (abses), alergi, eksim, gangguan pada paru-paru (pulmoner) seperti:

penekanan fungsi pernapasan, kesukaran bernafas, pengerasan jaringan paru-paru.

Sering sakit kepala, mual-mual dan muntah, murus-murus, suhu tubuh meningkat,

pengecilan hati dan sulit tidur. Selanjutnya berdampak terhadap kesehatan

reproduksi adalah gangguan padaendokrin, seperti: penurunan fungsi hormon

reproduksi (estrogen, progesteron, testosteron), serta gangguan fungsi seksual,

juga berdampak terhadap kesehatan reproduksi pada remaja perempuan antara

lain perubahan periode menstruasi, ketidakteraturan menstruasi, dan amenorhoe

(tidak haid).

Bagi pengguna narkotika melalui jarum suntik, khususnya pemakaian jarum

suntik secara bergantian, risikonya adalah tertular penyakit seperti hepatitis B, C,

dan HIV yang hingga saat ini belum ada obatnya. Penyalahgunaan narkotika bisa

berakibat fatal ketika terjadi Over Dosis yaitu konsumsi narkotika melebihi

kemampuan tubuh untuk menerimanya. Over dosis bisa menyebabkan kematian.

Dampak Psikologi, Dampak psikologi yang ditimbulkan adalah: lamban

kerja, ceroboh kerja, sering tegang dan gelisah, hilang kepercayaan diri, apatis,

pengkhayal, penuh curiga, agitatif, menjadi ganas dan tingkah laku yang brutal,
45

sulit berkonsentrasi, perasaan kesal dan tertekan, cenderung menyakiti diri,

perasaan tidak aman, bahkan bunuh diri, gangguan mental, anti-sosial dan asusila,

dikucilkan oleh lingkungan, merepotkan dan menjadi beban keluarga serta

pendidikan menjadi terganggu, masa depan suram.

Dampak fisik dan psikis berhubungan erat. Ketergantungan fisik akan

mengakibatkan rasa sakit yang luar biasa (sakaw) bila terjadi putus obat (tidak

mengkonsumsi obat pada waktunya) dan dorongan psikologis berupa keinginan

sangat kuat untuk mengkonsumsi (biasa disebut sugest). Gejala fisik dan

psikologis ini juga berkaitan dengan gejala sosial seperti dorongan untuk

membohongi orang tua, mencuri, pemarah, manipulatif, dan lain-lain.35

C. NAPZA (Narkoba, Psikotropika, Zat Adiktif)

1. Pengertian NAPZA

a) Narkotika

Perkataan narkotika berasal dari perkataan Yunani “narke” yang berarti

terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Pengertian yang paling umum dari

narkotika adalah zat-zat (obat) baik dari alam atau sintetis maupun semi

sintetis yang dapat menimbulkan ketidaksadaran atau pembiusan.36

Smith Kline dan French Clinical staff dalam bukunya “Drug Abuse,

Amanual for law enforcement officer” membuat definisi tentang narkotika

sebagai berikut:

35
Sumarlin Adam, Dampak Narkotika Pada Psikologi dan Kesehatan Masyarakat, Diakses Pada
20 Oktober 2016, www.portalgaruda.org.
36
Ibid, h.35.
46

“Narcotics are drugs which produce insensibility or stupor due to their

depressant effect on the central vervous system. Included in this definition are

opium, opium derivatives (morphine, codein, heroin) and synthetic apiates

(meperidin, methadone)”.

Artinya lebih kurang sebagai berikut:

“Narkotika adalah zat-zat (obat) yang dapat mengakibatkan ketidak

sadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi

susunan syaraf sentral. Dalam definisi narkotika ini sudah termasuk jenis

candu, zat-zat yang dibuat dari candu (morphine dan lain-lain)”.37

b) Psikotropika

Obat psikotropika adalah obat yang bekerja pada susunan syaraf pusat

(S.S.P) yang memperlihatkan efek yang sangat luas. Istilah psikotropik mulai

banyak dipergunakan pada tahun 1971, sejak dikeluarkan Convention on

Psycotropic Substance oleh General Assembly (PBB) yang menempatkan zat-

zat tersebut dibawah control internasional.38

Psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintetis bukan

narkotika, yamg berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan

syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan

perilaku.39

37
Dinas Penerangan Polri, Narkotika, Bahaya dan Penanggulangannya, (Jakarta: Karisma
Indonesia, 1986), h. 12.
38
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana Untuk Mahasiswa dan
Praktisi Serta Penyuluh Masalah Narkotika, (Bandung: Mandar Maju,k 2003), Cetakan I, h.63.
39
A. Kadarmanta, Narkoba Pembunuh Karakter Bangsa, (Jakarta: PT. Forum Media Utama,
2010), h. 41.
47

Psikotropika merupakan zat atau obat bukan narkotika, baik alamiah

maupun sintesis, yang memiliki khasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif

pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas

normal dan perilaku.40

c) Zat Adikitif

Zat adiktif adalah obat serta bahan-bahan aktif yang apabila dikonsumsi

oleh organism hidup dapat menyebabkan kerja biologi serta menimbulkan

ketergantungan atau adiksi yang sulit dihentikan dan berefek ingin

menggunakan secara terus menerus yang jika dihentikan dapat member efek

lelah luar biasa atau rasa sakit luar biasa, atau zat yang bukan narkotika dan

psikotropika tetapi menimbulkan ketagihan.41

Unsur paling penting pada zat adiktif ini adalah karena zat tersebut

membuat pemakainya ketergantungan.

2. Jenis-jenis NAPZA

a. Narkotika

Dalam pasal Undang-undang No.35 tahun 2009, narkotika dikelompokkan

ke dalam tiga golongan, yaitu:

1) Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan

untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dalam jumlah terbatas

dan dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan, serta

40
Joyo Nur Suryanto Gono, Narkoba: Bahaya Penyalahgunaan dan Pencgahannya, h. 81.
41
Nurbani Ulfah, Evaluasi Program Art Therapy Bagi Pasien Dual Diagnosis (NAPZA-
Skizofrenia) Di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta, (Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta), h.63.
48

mempunyai potensi yang sangat tinggi mengakibatkan

ketergantungan. Contohnya: opium, heroin, kokain, dan lain-lain.

2) Narkotika golongan II adalah narkotika yang berkhasiat untuk

pengobatan yang digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat

digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu

pengetahuan serta mempunyai potensi tinggu mengakibatkan

ketergantungan. Contohnya: banzetidin, betametadol, difenoksilat,

hidromorfinol, metadon, morfin, petidin dan turunannya, dan lain-lain.

3) Narkotika golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan

dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan

ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan

ketergantungan. Contohnya: kodein, norkodina, propiran dan lain-lain.

Jenis-jenis narkoba diantaranya:42

a) Opium berarti getah, yaitu getah dari kotak biji tumbuhan yang belum

matang dari tumbuhan Papaver Somniferum L. bila kotak biji tumbuhan

tersebut diiris akan mengeluarkan getah yang berwarna putih seperti air

susu, yang bila dikeringkan akan menjadi sejenis bahan seperti karet

berwarna kecokelatan.

b) Opioida adalah nama sekelompok zat alamiah, semi sintetik atau sintetik

yang mempunyaio khasiat farmakologi mengurangi atau memtikan rasa

nyeri (analgesic).

42
Wresniwiro, dkk., Selamatkan anak bangsa dari bahaya narkoba, (Jakarta: Mitra Bintibmas,
2010), Cetakan Pertama, h.28.
49

c) Morfin adalah bahan analgesic yang kuat khasiatnya, tidak berbau, bentuk

Kristal, berwarna putih, yang berubah warnanya menjadi kecoklatan.

Opium mentah mengandung 4% sampai 21% morfin. Sebagian besar

opium diolah menjadi morfin dan codein.

d) Codein adalah alkaloida terkandung dalam opium sebesar 0,7% sampai

2,5%. Codein merupakan opioida alamiah yang banyak digunakan untuk

keperluan medis.

e) Heroin/putaw adalah opioida semi sintetik, berupa serbuk putih dan

berasa pahit yang disalahgunakan secara meluas. Di pasar gelap heroin

dipasarkan dalam ragam warna karena dicampur dengan bahan lainnya

seperti gula, cokelat, tepung susu, dan lain-lain dengan kadar sekitar 24%.

f) Metadon adalah opioida sintetik yang mempunyai daya kerja lebih lama

serta lebih efektif daripada morfin dengan pemakaian ditelan.

g) Ganja, cimeng, marijuana, atau cannabis sativa atau cannabis incida

adalah tumbuha perdu liar di daerah beriklim tropis dan sedang seperti

Indonesia, India,, Laos, Cambodia.dll

h) Hashish adalah getah ganja yang di keringkan dan dipadatkan menjadi

lempengan.

i) Kokain adalah alkaloida dari tumbuhan Erythroxylon Coca, sejenis

tumbuhan di lereng pegunungan Andes di Amerika Selatan.


50

b. Psikotropika

Dalam United Nation Conference for Adoption of protocol on Psycotropic

Substance disebutkan batasan-batasan zat psikotropik adalah bentuk bahan

yang memiliki kapasitas yang menyebabkan:

a. Keadaan ketergantungan

b. Depresi dan stimulant susunan saraf pusat (SSP)

c. Menyebabkan halusinasi

d. Menyebabkan gangguan fungsi motorik atau persepsi atau mood.43

Didalam ilmu kejahatan tentang penyalahgunaan obat psikotropika seperti

yang telah diuraikan, dibagi menjadi:

1) Stimulansia

Yang digolongkan stimulansia adalah obat-obat yang mengandung zat-zat

yang merangsang terhadap otak dan syaraf. Obat-obat yang dimasukan dalam

golongan stimulansia adalah Amphetamine beserta turunan-turunnya.44

Ada beberapa jenis psikotropika diantaranya:

a. Amphetamine dan ATS (Amphetamine Type Stimulant) adalah stimulant

susunan syaraf pusat, seperti kokain, kafein, nekotin dan cathine.

b. Ekstasi adalah zat sintetik amfetamin yang dibuat dalam bentuk pil. Ekstasi

berarti sukacita yang berlimpah-limpah, berlebihan, meluap. Pil ini bekerja

merangsang syaraf pusat otonom.

43
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana Untuk Mahasiswa dan
Praktisi Serta Penyuluh Masalah Narkotika, (Bandung: Mandar Maju,k 2003), Cetakan I, h. 64.
44
Ibid, h. 69.
51

c. Shabu adalah zat metilamfetamin (turunan amfetamin), dimana namanya

meminjam nama sebuah masakan dari jepang. Shabu berbentuk Kristal putih

mirip vetsin dan cairan mudah larut dalam alkohol dan air.45

2) Depresiva

Depresiva adalah obat-obatan yang bekerja mempengaruhi otak dan SSP

yang didalam pemakaiannya dapat menyebabkan timbulnya depresi pada si

pemakai.

Dalam ilmu kejahatan yang menyangkut NAPZA, biasanya yang

digolongkan obat-obat depresiva adalah:

1. Barbiturat dan turunan-turunannya

2. Benzodiazepine dan turunan-turunannya

3. Metakualon

4. Alkohol

5. Zat-zat pelarut/solvent.

3) Halusinogen

Halusinogen adalah obat-obatan yang dapat menimbulkan daya hayal

(halusinasi) yang kuat, yang menyebabkan salah persepsi tentang lingkungan

dan dirinya baik yang berkaitan dengan pendengaran, pengelihatan maupun

perasaan.

Secara umum halusinogen bekerja terhadap sistem neurotransmisi serotonin

di otak. Dimasa kini, zat halusinogen tidaklah merupakan zat yang bersifat

45
Wresniwiro, dkk., Selamatkan anak bangsa dari bahaya narkoba, (Jakarta: Mitra Bintibmas,
2010), Cetakan Pertama, hal 9.
52

menyembuhkan. Bahkan di Amerika Serikat sejak tahun 1965, penggunaan

halusinogen dianggap menimbulkan resiko terhadap kesehatan sehingga

dilarang pemakaian dan penjualannya.

Berikut ini adalah beberapa macam halusinogen:

a) LSD

LSD merupakan kependekan Lysergic acid diethylamide, yang merupakan

obat yang dibutuhkan oleh manusia (sintetis). Di Indonesia LSD dikenal

dengan sebutkan Elsid.

b) D.M.T

D.M.T merupakan singkatan kata dari Dimethly triptamine. Zat ini berasal

dari tanaman Cohoha. Tanaman tersebut ditanam oleh penduduk asli India

Barat dan Amerika Selatan.

c) D.E.T

D.E.T merupakan suatu singkatan dari kata Diethly tryptamine. Zat ini

tidak didapat dari tumbuhan alam. DET seratus persen dibuat secara kimiawi

dilaboraturium.

d) D.O.M

D.O.M merupakan singkatan dari kata Dimethoxy amphetamine. DOM

hanya dibuat secara kimiawi, dan tidak diketemukan dari tumbuhan alam.

e) P.C.P

Pada saat ini PCP merupakan obat-obatan yang mempunyai resiko yang

paling besar bagi pemakaiannya dibanding obat-obatan lain yang

disalahgunakan.
53

f) MESCALINE

Mescaline dibuat dari bahan alamiah dan sintetik. Antara keduanya

didalam penyalahgunaan tidak banyak berbeda yakni dipergunakan untuk

menimbulkan halusinasi.

c. Zat Adiktif

Zat adiktif yang lazim digunakan adalah nikotin dalam produk-produk

tembakau dan caffeine, zat aktif dalam kopi, teh dan beberapa minuman botol

yang dijual disetiap supermarket.

Ada beberapa jenis zat adiktif diantaranya:

a) Nicotin

Nicotin terdapat dalam tembakau (nicotiana tabacum L, berasal dari

argentina) dengan kadar sekitar 1%-4. Dalam setiap batang rokok terdapat

1,1 mg nikotin, nikotin merupakan stimulant susunan syaraf pusat.

b) Alkohol

Alkohol termasuk zat adiktif, artinya zaat tersebut dapat menimbulkan

adiksi (addiction) yaitu ketagihan dan dependensi (ketergantungan).

Penyalahgunaan/ketergantungan NAZA jenis alkohol ini dapat

menimbulkan gangguan mental organik yaitu gangguan dalam fungsi

berfikir, berperasaan dan berperilaku.46

46
Dadang Hawari, Penyalahgunaan & Ketergantungan NAZA (Narkotika, Alkohol & Zat
Adiktif), (Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000), h.51.
54

BAB III

PROFIL LEMBAGA

A. Latar Belakang Lembaga

1. Sejarah Yayasan KAPETA

Yayasan Karya Peduli Kita (KAPETA) adalah sebuah lembaga swadaya

masyarakat yang didirikan melalui kepedulian sebuah komunitas yang terdiri dari

psikolog, praktisi pendidikan dan para orangtua yang memiliki pengalaman

dengan masalah gangguan penggunaan zat di antara keluarga dan lingkungannya.

KAPETA memulai kegiatan sejak Juni 2002 melalui pertemuan dukungan untuk

orang tua (Family Support Group) dan program terapi Gangguan Penggunaan Zat

rawat jalan (daycare), hingga kemudian resmi didirikan dengan berbadan hukum

Yayasan pada tanggal 24 Februari 2004.

Melalui berbagai program terkait penanggulangan masalah gangguan

Penggunaan Zat (NAPZA) dan HIV / AIDS, Yayasan KAPETA berusaha untuk

dapat membantu pemulihan orang-orang dengan masalah gangguan penggunaan

zat untuk dapat kembali ke fungsi sosialnya di masyarakat dan memberikan

dukungan sosio-psikologis bagi para ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) dalam

menapaki kehidupannya.

Masih terbatasnya penyebaran informasi dan edukasi terkait masalah Gangguan

Penggunaan Zat dan HIV / AIDS di Indonesia, menyebabkan keanekaragaman

pemahaman dan sudut pandang masyarakat akan masalah tersebut. Hal ini
55

seringkali berdampak dan menjadi beban tersendiri bagi orang-orang atau

lingkungan dekat dari para penderita Gangguan Penggunaan Zat dan ODHA.

Apabila tidak ditanggulangi dengan baik, hal ini dapat menjadi stigma dan

diskriminasi yang justru akan membuat masalah Gangguan Penggunaan Zat dan

HIV / AIDS ini menjadi semakin rumit untuk ditanggulangi. Untuk itu, yayasan

KAPETA juga mencoba mewujudkan kepeduliannya kepada para orang-orang dan

masyarakat umum yang didalam kehidupannya bersinggungan erat dengan

penderita Gangguan Penggunaan Zat maupun ODHA, dalam bentuk pemberian

informasi, edukasi dan dukungan sosio-psikologis secara berkala. Kegiatan ini

dikemas dalam bentuk pertemuan dukungan sebaya dan pertemuan dukungan

keluarga, seminar, workshop, outbound maupun pelatihan, yang menjadi bagian

dari pelayanan program untuk masyarakat umum (Public Program Services).47

2. Visi dan Misi

a. Visi

Menciptakan sebuah karya sebagai wujud kepedulian kepada diri, keluarga

dan masyarakat secara luas akan penanggulangan masalah Narkoba dan HIV /

AIDS.

b. Misi

- Mencegah meningkatnya permasalahan terkait dari penggunaan Narkoba dan

epidemi HIV/AIDS.

47
Yayasan Kapeta Indonesia, Program Kapeta , artikel diakses pada 6 maret 2016 dari
http://kapeta.org/.
56

- Membantu memberikan perawatan dan dukungan kepada para pengguna

Narkoba dan ODHA.

- Memberikan dukungan kepada keluarga dan lingkungan terkait lain dari para

pengguna narkoba dan ODHA dalam pemulihan.

- Memberikan dukungan orang dengan masalah narkoba dan ODHA di dalam

pemulihan untuk dapat hidup mandiri dan berdaya. Membangun lingkungan

kondusif untuk mendukung pencegahan dan penanggulangan masalah

narkoba dan HIV / AIDS di masyarakat.

- Menciptakan sebuah karya sebagai wujud kepedulian kepada diri, keluarga

dan masyarakat secara luas akan penanggulangan masalah masalah narkoba

dan HIV / AIDS di masyarakat.48

3. Prosedur Penerimaan Klien

a) Prosedur Kedatangan

Klien datang diantar oleh orang tua/ didampingi oleh wali yang ditunjuk

orang tua.

b) Wawancara Awal

Klien datang menjalani wawancara awal terkait beberapa hal berikut:

- Perjanjian masuk

- Perilaku yang dapat mengakibatkan dikeluarkan dari program

- Penjelasan program

- Peryataan keluar

48
Yayasan Kapeta Indonesia, Tengtang Kami, artikel diakses pada 6 maret 2016 dari
http://kapeta.org/.
57

- Hak klien di dalam program

- Kewajiban program terhadap klien.

Jika klien setuju dengan pernyataaan diatas maka dipersilahkan untuk

membubuhkan tanda tangannya pada kolom yang tersedia atau paraf di

bagian kanan bawah pernyataan tersebut.

c) Pengisian Formulir dan Pemeriksaan Awal

Fisik dan barang bawaan adalah kegiatan pemeriksaan kepada calon

klien terhadap barang bawaan dan tubuh yang bertujuan mencegah adanya

barang-barang yang dilarang masuk kedalam fasilitas. Hal ini dilakukan

untuk menjamin keamanan dan kenyamanan seluruh klien kami, dengan

meminta ijin dan persetujuan klien terlebih dahulu.49

49
Data diperoleh dari Klien Handbook Yayasan Kapeta.
58

ALUR LAYANAN

4. Alur pelayanan yang diberikan Yayasan Kapeta untuk rehabilitasi sosial: 50


Edukasi dasar,
Wawancara,
Keluarga 8 Family Support
Group Yayasan
keluarga
pengasih
Indonesia

Penerimaan Rawat 8.1


ATS
Klien Kapeta Inap
KOKAIN
Head Office (Jl. 2.1
Abdul Madjid 5
Raya No.9,
Cipete Utara,
Jakarta Selatan)
OPIAT
Pluto 8 Pemerikasa Detoksifi Half-way Konseling,
2.2 an kasi House Family
Treatment Center
(Jl. Pluto Dalam Kesehatan Penangan Support Group
1 no.8, Villa Dasar an Gejala 6 yayasan
Skrining Putus Zat Keluarga
Cinere Mas)
Pengenalan 3 Pengasih
Program BENZO 4 Indonesia
Intake 1.1
ALKOHO
1.2 L 8.2

2.3
Rawat
Jalan After Care
KANABIS
Dan Lain- 7 9
lain

2.4

50
Data Diperoleh dari Dokumentasi Yayasan Kapeta.
59

5. Struktur Organisasi51

STRUKTUR ORGANISASI
KAPETA

DEWAN PEMBINA

- Dra. Psi. Betty Kemal Taruc,


Psi.
a.
- Alita Damar, MPH
- Ir. Adji Sarnanto

DEWAN PENGAWAS

- Ir. Paramayudha
- Ir. Wisdarmanto GS
- Dra. Ottyawati Adji
- Drs. Kemal Taruc

KETUA/DIRECTUR

Erry Wijoyo, S.Ikom

SEKRETARIS BENDAHARA

Adinda P. Kusubandio Gita Kencana Poetri

DIVISI PROGRAM DIVISI PROGRAM DIVISI DIVISI


GANGGUAN
HIV & AIDS PENGGUNAAN KEUANGAN & PENGEMBANGAN
ZAT ADMINISTRASI PROGRAM

STAFF STAFF STAFF STAFF

SSR DF R 8 RAWAT INAP KEUANGAN DESAIN GRAFIS &


ADMINISTRASI PAKAIAN
JAKARTA RAWAT JALAN
SELATAN

51
Yayasan Kapeta Indonesia, Tentang Kami, artikel diakses pada 6 maret 2016 dari
http://kapeta.org/.
60

6. Sarana dan Prasarana

Untuk menunjang kualitas program, yayasan KAPETA menyediakan

layanan dan fasilitas pendukung seperti:

a) Konseling gangguan penggunaan zat terstruktur

b) Konsultasi psikologi

c) Konsultasi dokter umum dan spesialis

d) Kamar tidur AC + water heater

e) Kolam renang

f) TV kabel dan internet

g) Wellnes program

h) Fasilitas olahraga

i) Self-help Group dan family support group

j) Vokasional

k) Outing

l) Dan lain-lain.

7. Landasan Hukum

a. Undang-undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika.

b. Peraturan Pemerintah No.25 tahun 2011 tentang Institusi Penerima Wajib

Lapor.

c. Peraturan Menteri Sosial NO/HUK/2009 Standar Pelayanan dan Rehabilitasi

Sosial Penyalahgunaan NAPZA.


61

d. Peraturan Menteri Sosial No.3 Tahun 2012 Standar pelayanan dan

Rehabilitasi Sosial Penyalahgunaan NAPZA.52

8. Program Rehabilitasi

Ada beberapa program rehabilitasi KAPETA, diantaranya:

a. Program Rawat Inap

Program untuk Gangguan Penggunaan Zat yang didisain berdasarkan

kebutuhan klien dengan jangka waktu 1 sampai dengan 6 bulan. Klien akan

menjalankan berbagai kegiatan terapi seperti: konseling individu, konseling

kelompok, edukasi, relaksasi dan yoga, terapi seni, kegiatan olahraga,

kegiatan rogani, kegiatan rekreasi dan kegiatan teraputik lainnya.

Menggunakan pendekatan elektik yang mengintegrasikan model pembelajaran

sosial dengan pendekatan motivasional, terapi kognitif-perilaku, pengenalan

12-langkah dan strategi pengendalian HIV&AIDS.

b. Program Rawat Jalan

Program yang dirancang khususnya untuk gangguan pennggunaan zat

yang masih dalam taraf menengah atau belum mengalami ketergantungan

(adiksi). Program ini cocok untuk membantu menyelesaikan masalah

gangguan penggunaan zat jenis stimulant (shabu, ekstasu, dll),

benzodiazepine (Xanax, Dumolid, Happy Five, dll) hingga alcohol dan ganja.

Program ini juga dapat menjadi lanjutan dari program rawat inap intensif yang

dirancang dengtan tetap mempertimbangkan kebutuhan primer seperti

sekolah, bekerja hingga mengurus anak.

52
Studi Dokumentasi Yayasan Kapeta.
62

c. Layanan Keluarga

Yayasan Kapeta menyediakan layanan untuk keluarga, pasangan maupun

pihak terdekat lainnya untuk dapat mendukung dan terlibat langsung di dalam

program. Program ini adalah wadah bagi keluarga yang salah satu anggotanya

mengalami masalah dengan Gangguan Penggunaan Zat untuk dapat berbagi,

saling menguatkan dan mendapatkan pengetahuan menghadapi masalah

tersebut.53

9. Kerjasama Lembaga

Yayasan Karya Peduli Kita didukung oleh beberapa lembaga terkait seperti:54

- IKAI (Ikatan Konselor Adiksi Indonesia)

- BNN (Badan Narkotika Nasional)

- Komisi Penanggulangan AIDS

- Kementrian Sosial Republik Indonesia

- YKPI (Yayasan Keluarga Pengasih Indonesia).

53
Studi Dokumentasi Yayasan Kapeta.
54
Studi Dokumentasi Yayasan Kapeta.
63

BAB IV

TEMUAN DAN ANALISIS

Pada bab empat ini mengenai temuan lapangan yang selanjutnya dianalisa sesuai

dengan tinjauan pustaka, berdasarkan hasil temuan lapangan yang penulis peroleh

mengenai judul Rehabilitasi Sosial untuk Penyalahguna Napza di Yayasan Karya

Peduli Kita, maka penulis akan menjelaskan pada bab ini melalui proses rehabilitasi

dan hasil rehabilitasi yang diberikan di Yayasan Kapeta. Adapun sub-bab yang akan

dibahas:

A. Proses Rehabilitasi Sosial

Proses rehabilitasi sosial diberikan Yayasan Kapeta untuk klien penyalahgunaan

NAPZA melalui beberapa program, baik itu sifatnya individu ataupun kelompok.

Dalam program rehabilitasi sosial, klien diberikan beberapa macam rawatan, seperti

Rawat Inap dan Rawat Jalan.

Program rawat inap merupakan program yang diberikan untuk gangguan

penggunaan NAPZA yang didisain berdasarkan kebutuhan klien dengan rentang

waktu 1 s.d. 6 bulan. Klien menjalankan berbagai kegiatan terapi seperti: konseling

individu, konseling kelompok, edukasi, relaksasi dan yoga, terapi seni, kegiatan

olahraga, kegiatan rohani, kegiatan rekreasi dan kegiatan teraputik lainnya.55 Dalam

tahap rawat inap, klien diberikan beberapa fase mulai dari fase awal bulan pertama

sampai dengan fase bulan ketiga.

55
Studi Dokumen, Brosur Yayasan KAPETA.
64

Dalam program rawat inap terdapat tahapan sebelum klien menjalankan rawatan

yaitu Assessment. Assessment adalah proses penilaian dan estimasi atau evaluasi

kebutuhan klien yang dilakukan oleh staff, assessment diberikan saat awal bulan

pertama. Seperti yang telah disampaikan oleh bapak Gidien selaku konselor di

Kapeta, sebagai berikut:

“Assesment ada beberapa yang kita lakukan, tujuannya itu untuk


mendiagnosa, apapun alatnya yang kita pakai tujuannya ya untuk
mendiagnosa. Seperti addiction severity index (ASI) ini adalah
standar internasional, untuk mengetahui tingkat keparahan
menggunakannya dan permasalahan apa saja yang menyerta,
biasanya kan jika menggunakan zat itu ada masalah yang menyerta
lainnya seperti dari medis, keluarga dll, untuk menjadi alat ukur kita
memberikan terapi. Dan juga ada assessment yang lain, seperti bunuh
diri jadi untuk mendeteksi ada riwayat bunuh diri. Jadi disini kita bisa
mengantisipasi. Supaya kita punya dasar untuk memberikan terapi,
makanya dibutuhkan assessment.”56
Assessment perlu dilakukan untuk mengetahui permasalahan yang timbul

terhadap klien, juga untuk menentukan perencanaan rawatan yang dibutuhkan oleh

klien. Serta mengetahui tingkat keparahan klien dalam penggunaan zatnya itu sendiri,

seperti yang dikatakan oleh pekerja sosial Siti Jumartina sebagai berikut:

“ assesment yang pertama itu ada ASI (addiction severity index), itu
zat yang di pake apa, tingkat keparahannya apa, gak jauh beda sama
pengecekannya biopsikososial spiritual”57

Tidak hanya ASI, dalam melakukan assessment perangkat yang digunakan ada

WHOQOL yaitu alat untuk mengukur kualitas hidup dari klien dan BBV-Traq yaitu

untuk menilai resiko tercapainya virus melalui transmisi darah. Hal ini disampaikan

juga oleh pekerja sosial Siti Jumartina yang mengatakan:


56
Wawancara Pribadi dengan Bapak Gidien, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9
September 2016.
57
Wawancara Pribadi dengan Siti Jumartina, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan,
29 Juli 2016.
65

“Selanjutnya ada WHOQOL itu mengenai 30 hari terakhir sebelum


klien ada disini, kaya gitu”
“Setelah itu ada BBV traq itu perilaku beresiko saat dia pake, kaya
perilaku dia menyuntik, lalu perilaku seksual dan penetrasi kulit itu
kaya pake barang-barang pribadi bersamaan dengan orang lain
seperti gunting kuku, alat cukur, sisir kaya gitu jadi mereka harus
punya barang masing-masing”58

Selanjutnya dari hasil assessment, konselor akan menentukan langkah apa yang

tepat untuk diberikan ke klien. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, instrumen yang

digunakan untuk assessment ialah ASI (Addiction Severty Index). Instrument tersebut

mencakup tujuh bidang: medis, pekerjaan, alkohol, obat, legal, keluarga/sosial,

psikiatrik yang memberikan informasi sejarah sosial yang substansial. Assesment

diperlukan untuk klien agar klien mendapatkan rawatan yang tepat dalam

menjalankan rehabilitasi sosial yang diberikan.

Dari data diatas dapat penulis simpulkan untuk melakukan assessment, Yayasan

Kapeta menggunakan beberapa perangkat assessment seperti ASI (addiction severity

index), WHOQOL, dan BBV-Traq. Assesment dilakukan oleh staff yang bertugas saat

itu. Assesment juga berguna untuk mengetahui permasalahan yang lain diluar

penggunaan NAPZA. Dari assessment tersebut, konselor dapat menentukan rawatan

selanjutnya bagi klien.

Setelah melakukan assessment diawal, klien akan menjalani program rawat inap

di Yayasan Kapeta. Dalam program rawat inap terdapat beberapa program yang

diberikan Yayasan Kapeta kepada klien baik secara individu atau kelompok. Adapun

ini program individu yang diberikan Yayasan Kapeta, sebagai berikut:

58
Wawancara Pribadi dengan Pekerja Sosial, Tangerang Selatan, 29 Juli 2016.
66

a. Konseling Individu

Konseling individu yaitu merupakan salah satu pemberian bantuan secara

perseorangan dan secara langsung. Adapun konseling individu yang dilakukan

oleh Yayasan Kapeta kepada penyalahguna NAPZA dijelaskan oleh Bapak

Gidien sebagai konselor, sebagai berikut:

“Konseling disini dilakukan klien dengan konselornya, konseling


individu ini dilakukan berbeda-beda karena setiap klien berbeda
bentuk terapinya bisa berbeda-beda makanya topiknya juga berbeda
karena setiap orang punya masalah yang gak sama kan.. jadi
konseling individu itu kita sesuaikan dengan permasalah klien yang
sudah kita ketahui melalui assessment biar berkesinambungan
konteknya gak keluar dari permasalahannya biasanya dari
permasalahan dari penggunaanya terus mungkin ada permasalahan,
faktor pemicu kenapa dia menggunakan, atau pola penggunaannya
atau strategi mencegah penggunaan, strategi mencegah kekambuhan
atau bisa juga tentang dampak-dampaknya. Lebih banyak itu kita
lihat masalah penggunaannya dulu, bisa juga masalah keluarga tapi
kita hanya bisa mendengarkan.”59
Hal ini juga dikatakan oleh Bapak Irfan sebagai konselor, sebagai berikut:

“Minimal 8 kali pertemuan, balik lagi ke resume assessment tadi


biasanya udah ditentuin apa nih yang akan kita kasih ke dia nanti
dapet stukturnya nanti kita bahas tuh prioritas-prioritas itu. Misalnya
apa aja nih yang mau kita bahas masalah napza, kita konseling itu
klien center jadi yang memutuskan klien, tapi kita susun secara
terstuktur ini loh yang mau dibahas jadi konseling juga gak ngalor
ngidul gitu nah sesuai rencana rawatannya apa yang mau dibahas.”60
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, konseling yang dilakukan oleh

Yayasan Kapeta merupakan interaksi antara klien dan konselor untuk

mengetahui dan mendengarkan permasalahan yang dihadapi klien mulai dari

penyebab dan faktor-faktor yang menyebabkan klien menggunakan NAPZA.

59
Wawancara Pribadi dengan Bapak Gidien, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9
September 2016.
60
Wawancara Pribadi dengan Bapak Irfan, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9
September 2016.
67

Konseling individu di Yayasan Kapeta dilakukan dalam 8 kali pertemuan, hal ini

dijelaskan oleh Bapak Irfan sebagai Konselor.

Jadi dapat disimpulkan bahwa konseling individu sangat dibutuhkan dalam

rehabilitasi, agar setiap apa yang dirasakan oleh klien selama didalam Yayasan

bisa disampaikan kepada konselor dan jika ada masalah, konselor sebagai

fasilitator bisa mencari jalan keluar bersama klien untuk mencari solusinya. Saat

konseling individu, klien lebih ditekankan membahas penggunaan zat itu sendiri

baik untuk pemulihan maupun pencegahan kekambuhan, namun jika klien ingin

membicarakan hal lain juga diperbolehkan.

Berdasarkan observasi yang dilakukan penulis, ruangan untuk konseling

individu saat ini sedang dalam renovasi. Jika ada klien ingin melakukan konseling

biasanya mereka mencari tempat yang sepi dan kondusif untuk sharing semua

yang dirasakan oleh klien, konseling juga dapat dilakukan di luar Kapeta tapi

dengan persetujuan bersama dengan konselor.

Berikut pernyataan klien AR mengenai konseling individu yang dilakukan

oleh konselornya:

“Nah kalo konseling disini kaya cerita, misalkan ( iya nih gara-gara
drugs saya jadi lemot, gimana sih caranya biar gak lemot lagi?) dia
tuh kaya kasih tahu gitu, atau gak kan kalo make narkoba tuh kaya
jadi banyak gitu masalah, duit abis mulu atau gak kalo lagi gak ada
barang lu tuh butuh banget sampe jual sepatu baju lah kaya gitu..
konseling tuh sejam cuma kan udah asik cerita kadang lebih dari
sejam.”61
Berdasarkan hasil wawancara diatas disimpulkan bahwa kegiatan konseling

individu ini yang dilakukan dengan konselor, dilakukan minimal 8 kali pertemuan

61
Wawancara Pribadi dengan Klien, Tangerang Selatan, 26 Agustus 2016.
68

dan setiap pertemuan hal yang dibicarakan klien biasanya mengenai adiksi itu

sendiri, atau hal mengenai pencegahan kekambuhan. Namun setiap individu

memiliki perpedaan masalah, jadi setiap yang konselor memiliki cara mereka

sendiri untuk membantu klien.

Program yang diberikan oleh Yayasan Kapeta setelah proses konseling adalah

memberikan berbagai terapi. Terapi yang diberikan yaitu:

b. Terapi Religius

Terapi religi ini adalah suatu proses penyembuhan dan pengobatan suatu

penyakit baik mental, spiritual, moral, maupun fisik. Terapi religius yang

diberikan oleh Yayasan Kapeta disampaikan oleh Siti Jumartina sebagai Pekerja

Sosial, Sebagai berikut:

“ada sesi religi juga, setiap hari rabu jam 3 rutin kita ngundang pak
ustadz kesini untuk ceramah..”62
Berdasarkan hasil wawancara, bahwa terapi religi yang dilakukan dengan

mengundang Bapak Ustadz untuk memberikan ceramah kepada penyalahguna

NAPZA pada setiap hari rabu pukul 3 sore. Berdasarkan hasil temuan lapangan

tidak hanya dipanggil seorang ustadz, melainkan ada beberapa sesi yang sifatnya

mengajarkan klien untuk ingat akan Tuhan dimanapun dia berada. Dan juga

kegiatan solat berjam’ah bagi yang muslim dilakukan di Yayasan Kapeta, bagi

yang non muslim setiap mereka yang ingin beribadah makan Yayasan akan

memberikan izin tapi tetap dengan persetujuan konselor.

62
Wawancara Pribadi dengan Siti Jumartina, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan,
29 Juli 2016.
69

Terapi psikoreligius merupakan terapi untuk memulihkan peserta rehabilitasi

dalam menjalankan ibadahnya. Hal ini untuk memperkuat keimanan mereka

sehingga tidak kembali pada narkoba.63 Berdasarkan analisis penulis bahwa terapi

religi merupakan terapi yang dibutuhkan oleh klien untuk memperkuat keimanan

klien sehingga para penyalahguna tidak kembali dalam menggunakan narkoba.

Terapi religi ini diharapkan kepada klien agar mereka lebih memikirkan lagi

hukum dosa atau tidaknya suatu perbuatan mereka karena agama juga

mengajarkan berbuat kebaikan, apabila seseorang tidak mempunyai pengetahuan

agama maka potensi mereka berbuat kesalahan akan lebih besar.

c. Terapi Olah Raga

Yayasan Kapeta sudah memfasilitasi klien untuk kegiatan Olahraga, seperti

penyediaan kolam renang, boxing, dan alat fitness. Kegiatan ini juga diberikan

dalam bentuk kompetisi seperti, futsal, basket, badminton, jalan pagi, dan tenis

meja dengan tujuan untuk membantu menumbuhkan perilaku yang bertanggung

jawab diantara mereka. Proses terapi olahraga yang dilakukan oleh penyalahguna

NAPZA seperti yang disampaikan oleh Siti Jumartina:

“iya jadi anak-anak disini dibebasin kalo mau olah raga, tapi tetap
ada waktunya. Mereka bisa pilih sendiri mau olah raga apa,
misalnya kan dibelakang ada kolam renang ya mereka boleh
berenang dibebasin terus kemarin ada yang mau ikutan boxing nanti
kami disini memfasilitasi mereka”64
Berdasarkan hasil wawancara menjelaskan bahwa terapi medis melalui

kegiatan olahraga dilakukan tanpa adanya paksaan dari Yayasan Kapeta. Para
63
Listiyana Kurniawan, Pengaruh Konsep Pemulihan Terhadap Pusat Rehabilitasi Narkoba,
(Skripsi S1 Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia Depok, 2005), h.14-15.
64
Wawancara Pribadi dengan Pekerja Sosial Siti Jumartina, Ruang Tamu Yayasan Kapeta,
Tangerang Selatan, 26 Agustus 2016.
70

klien diberikan kebebasan untuk melakukan kegiatan olahraga yang mereka

inginkan. Karena berdasarkan hasil temuan penulis bahwa yayasan Kapeta telah

memfasilitasi kegiatan olahraga untuk para klien seperti kolam renang, alat

fitness, boxing dan tenis meja yang berada di halaman belakang. Klien melakukan

kegiatan olahraga setelah mereka selesai melakukan sesi di pagi hari seperti

berenang bersama.

Terapi olahraga ini merupakan bagian dari jenis terapi medis, terapi medis

ditunjukan agar para pengguna narkoba sehat secara fisik. Kegiatan dalam terapi

ini yaitu memulihkan kondisi fisik yang lemah, dengan pemberian makanan yang

bergizi dan kegiatan olahraga.65 Jadi dapat disimpulkan bahwa terapi medis

melalui kegiatan olahraga bertujuan untuk memulihkan kondisi fisik para

pengguna narkoba sehingga terapi ini bermanfaat untuk klien guna menjaga

kesehatan diri klien, karena setiap individu yang memiliki badan yang sehat tidak

ingin memakai zat narkoba. Terapi medis ini juga bisa menjauhkan diri klien dari

hal-hal bersifat negative dengan melakukan berbagai kegiatan olahraga.

d. Terapi Seni

Dalam memberikan terapi seni Yayasan Kapeta memberikan kebebasan

terhadap klien untuk memilih apa yang diinginkan, yang biasa diberikan seperti

bermain gitar, karaoke, art therapy, membuat puisi, melukis, dan membuat

gambar atau prakarya. Hal ini disampaikan oleh Bapak Gidien:

“Lalu ada terapi seni, ada terapi seni yang memang berkaitan
langsung dengan seni yang dijadikan terapi untuk adiksi, ada yang

65
Listiyana Kurniawan, Pengaruh Konsep Pemulihan Terhadap Pusat Rehabilitasi Narkoba,
(Skripsi S1 Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia Depok, 2005), h.14-15.
71

sifatnya untuk rekreasional itu kita jalankan dua-duanya, kalo terapi


seni itu kita yang mengadakan dan yang rekreasional itu dipilih oleh
mereka dan kita didiskusikan.”66

Kemudian kegiatan seni ini juga bersifat terapi agar mengetahui psikologis

klien seperti apa, hal ini dijelaskan oleh Bapak Gidien:

“Kalo itu ada yang namanya art feeling itu jenis terapi seni yang
menggunakan medianya melukis, jadi dari hasil lukisan itu baik dari
segi warna gambar itu bisa kita evaluasi jadi bisa lebih tau ada
permasalahan apa untuk kedepannya bisa dibantu.”67
Berdasarkan hasil wawancara diatas dapat dikatakan bahwa kegiatan seni ini

diberikan untuk mengatahui psikologis dari masing-masing klien, misalnya klien

sedang merasa senang atau sedih. Dan kegiatan ini juga untuk memberikan

kegiatan tambahan disaat klien sedang tidak melakukan kegiatan terapi yang lain.

Kegiatan ini merupakan bisa diberikan melalui kelompok, seperti yang

dijelaskan oleh Zastrow kelompok ini termasuk dalam kelompok keterampilan

rekreasi, tujuan dari kelompok ini untuk menyelenggarakan kegiatan kreatif, juga

meningkatkan keterampilan tertentu diantara para anggotanya.68 Berdasarkan

analisis penulis dapat disimpulkan bahwa kegiatan seni ini sifatnya rekreasi

untuk meningkatkan keterampilan dari klien. Selain itu tujuan kelompok ini

untuk menyelenggarakan kegiatan kreatif, juga untuk meningkatkan

keterampilan tertentu diantara para anggotanya. Kelompok seni ini berguna

66
Wawancara Pribadi dengan Konselor Bapak Gidien, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang
Selatan, 9 September 2016
67
Wawancara Pribadi dengan Konselor Bapak Gidien, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang
Selatan, 9 September 2016.
68
Edi Suharto, Pekerjaan Sosial di Dunia Industri Memperkuat CSR (Corporate Social
Responsibility), (Bandung: Alfabeta, 2009), h.38.
72

untuk membantu klien disini agar klien dapat melakukan kegiatan yang positif

dan menghasilkan suatu karya dibandingkan klien harus menggunakan NAPZA.

e. Personal Time

Personal time adalah waktu yang disediakan Kapeta bagi klien untuk

memenuhi kebutuhan pribadi mereka seperti menyelesaikan tugas, mencuci baju,

merapihkan kamar, dan lain-lain. Berikut ini adalah wawancara penulis dengan

Bapak Gidien sebagai salah satu konselor:

“Kalo personal time itu adalah waktu mereka melakukan kewajiban-


kewajiban pribadi mereka, baik dari merapihkan tempat tidur,
kamar, baju dan sebagainya.”69
Dari hasil observasi yang dilakukan penulis, klien melakukan hal pribadi

mereka seperti mencuci pakaian, mencuci piring yang telah selesai dipakai

kemudian membuat makanan atau minuman saat waktu istirahat, ataupun

mengobrol dengan klien yang lain.

Berdasarkan data diatas penulis menyimpulkan bahwa kegiatan personal time

sangat bermanfaat bagi klien, dengan kegiatan tersebut dapat mengajarkan klien

tanggung jawab terhadap pekerjaan dan dirinya sendiri. Selain itu juga

mengajarkan klien untuk lebih disiplin.

69
Wawancara Pribadi dengan Konselor Bapak Gidien, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang
Selatan, 9 September 2016.
73

Yayasan Kapeta juga memberikan terapi kelompok bagi para klien yang

bertujuan untuk meningkatkan kesadaran diri, meningkatkan hubungan

interpersonal, membagi emosi atau perasaan yang dimiliki klien dan agar klien

mandiri. Terapi kelompok yang diberikan di yayasan Kapeta adalah:

a. Morning Meeting

Morning meeting adalah kegiatan yang dilakukan setiap pagi hari yang

mengawali kegiatan awal hari klien. Beberapa proses Morning Meeting yang

dilakukan oleh Yayasan Kapeta disampaikan oleh Bapak Irfan salah satu

Konselor, sebagai berikut:

“Yaa pertama itu ada just for today biasanya ngebacain tulisan
yang ada di buku ini yang dibuat oleh NA (Narcotic Anonymous),
nanti dibaca oleh satu orang dan yang lainnya menanggapi.
Morning meeting ini biasanya berkumpul mereka semua dan
ditemani oleh staff yang bertugas, satu sesi harian tadi ada sesi 12
langkah dan langkah-langkah itu harus mereka jalani dan orang
yang mengajari 12 langkah itu harus sudah pernah menjalani
tahapan 12 langkah itu. Jadi kalo belum menjalani 12 langkah itu
belum bisa mengajari klien itu sendiri.”70
Jadi sebelum melakukan morning meeting klien harus membuar format circle

baik itu di ruang kelas ataupun di ruang sesi, kemudian seluruhnya membacakan

doa kedamaian atau yang sering disebut serenity prayer satu sama lain

berpegangan tangan dan kemudian satu orang diantara mereka membacakan buku

just for today dimana di dalam buku tersebut berisikan tulisan 12 langkah.

Kemudian setelah selesai dibacakan just for today tersebut kemudian selanjutnya

70
Wawancara Pribadi dengan Bapak Irfan, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9
September 2016.
74

dilakukan belly check. Belly check ini juga dijelaskan oleh Bapak Irfan salah satu

konselor:

“Lalu ada belly check disitu mereka mengungkapkan perasaannya


di hari itu seperti apa, apakah baik seperti itu.. Dan ada
announcement itu disini adalah pengumuman, misalnya hari ini saya
mau telepon orang tua, hari ini saya mau cuci baju, yaa mulai
kegiatan hari ini. Terus community concerns itu kepedulian
komunitas isinya menegur, memberikan informasi, ucapan
terimakasih dan ucapan penghargaan tapi dengan cara yang baik
dan benar dan berfokus pada masalah tidak merembet ke yang lain
dan terjadi pada hari itu juga, dan ada juga yang memberikan
motivasi.”71
Untuk belly check ini setiap klien menceritakan perasaannya di hari itu,

misalnya tentang kesehatannya apakah baik atau kurang baik. Selanjutnya ada

announcements, community concerns, awareness, hause issue dan theme of the

day. Sebagaimana yang juga disampaikan oleh Siti Jumartina salah satu pekerja

sosial yang mengatakan:

“announcement misalnya dia mau ngapain hari ini entah nyuci baju
atau telpon ortunya, community concern itu memberi peringatan
misalnya selesai mandi handuknya jangan taro sembarangan, terus
ada awareness itu pemberitahuan aja kaya cucian piring numpuk
siapa yang mau cuci, terus house issue biasanya kita tentuin isu
rumah buat hari ini, theme of the day itu membahas yang house
issue itu dan yang bertugas itu mayor on duty”72
Morning meeting memiliki durasi waktu sekitar 45 menit sampai satu jam

tergantung dari banyaknya klien, diadakannya setiap pagi setelah makan pagi dan

dipimpin oleh satu orang staff yang sedang bertugas atau sering disebut mayor on

duty. Setelah selesai morning meeting, klien berperan menjadi “chief”

71
Wawancara Pribadi dengan Bapak Irfan, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9
September 2016.
72
Wawancara Pribadi dengan Siti Jumartina, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan,
29 Juli 2016.
75

mengingatkan klien untuk mengembalikan kursi dan peralatan lain yang

digunakan di dalam pertemuan pagi untuk dikembalikan ke tempat semula, dan

kemudian melakukan selanjutnya yang sudah direncanakan.73

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh penulis, saat melakukan

morning meeting semua klien disana aktif dan semua berbicara. Penulis

mengikuti semua proses saat morning meeting tersebut, tidak ada pembatas antara

penulis dan klien semua sama menjadi satu saat melakukan format circle. Klien

semua terbuka menceritakan apa yang sedang dirasakan hari itu ataupun apa yang

akan dilakukan dan melakukan kepeduliannya sesama residen seperti

memberitahukan mesin cuci yang sedang rusak dan kerja sama mereka kompak

seperti membersihkan kamar tidur mereka sendiri ataupun ruangan lain yang

masih berantakan.

Berdasarkan data diatas penulis menyimpulkan bahwa morning meeting

menggunakan kelompok penyembuhan (therapeutic group), kelompok terapi ini

umumnya beranggotakan orang-orang yang mengalami masalah personal dan

emosional yang berat dan serius.74 Dalam pemberian kegiatan ini Yayasan Kapeta

bertujuan untuk mengupayakan agar para anggota kelompok mampu menggali

masalahnya secara mendalam, dan kemudian mengembangkan satu atau lebih

strategi pemecahan masalah. Penggunaan kelompok ini guna untuk mengubah

tingkah laku anggota kelompok.

73
Data didapat dari Klien handbook Yayasan Kapeta.
74
Edi Suharto, Pekerjaan Sosial di Dunia Industri Memperkuat CSR (Corporate Social
Resposibility), (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 39.
76

b. Assertive Group

Assertive Group merupakan pembentukan kelompok bertujuan untuk

membuat klien dapat menyampaikan apa yang dirasakan dengan menggunakan

komunikasi yang baik agar mendapatkan ouput yang baik pula.

Salah satu keterampilan menyelesaikan “coping skill” yang perlu dimiliki oleh

klien adalah keterampilan mengutarakan pendapat kepada seseorang secara apa

adanya dan tidak bersifat agresif terhadap perasaan orang lain, yang disebut

dengan komunikasi asertif. Pada kontek pemulihan, faktor relapse pada seseorang

sering terjadi salah satunya karena ketidakmampuan untuk berbicara secara

asetif.75 Hal ini disampaikan oleh salah satu konselor yaitu Bapak Gidien:

“Assertive itu jadi gini, hambatan-hambatan komunikasi yang


terjadi tuh biasanya gak nyampe nih pesannya sama orangnya.. jadi
misalnya gini saya gak suka nih sama mba tapi gak saya sampein,
jadi saya pendem padahal kalo itu saya sampaikan dengan jelas
mungkin kekesalan saya akan berkurang walaupun gak ilang sama
sekali tapi kalo itu gak saya sampaikan nantinya akan cenderung
agresif. Akhirnya di assertive grup ini untuk menyampaikan unek-
unek perasaan tapi dengan aturan-aturan tertentu, tanpa
menyinggung perasaan seseorang dan itu diadakan biasanya saat
mereka ada masalah.”76

Dari wawaancara diatas dapat dikatakan bahwa assertive group ini

merupakan kelompok yang bertujuan untuk klien agar dapat mengemukakan

pendapatnya dengan komunikasi yang baik, tentu saja dalam kelompok ini klien

diberikan aturan-aturan agar apa yang disampaikan tidak menyinggung perasaan

orang lain.

75
Data didapat dari Klien Handbook Yayasan Kapeta.
76
Wawancara Pribadi dengan Pak Irfan sebagai Konselor, Ruang Tamu Yayasan Kapeta,
Tangerang Selatan, 9 September 2016.
77

Hal ini berkaitan dengan teori yang di sampaikan oleh scott dan Dryden,

mengenai Keterampilan menyelesaikan (coping skills). Melalui sesi Assertive

Group ini klien dibantu untuk dapat menyampaikan apa yang dirasakan,

diajarkan agar bisa menyampaikan dengan cara yang benar serta dapat

menghadapi apa yang terjadi ketika mereka dalam kondisi sulit.77 Jadi dapat

disimpulkan bahwa assertive group ini berguna untuk mengutarakan pendapat

dengan membentuk sebuah kelompok diharapkan klien dapat menjadi lebih

komunikatif, asertif, dan dapat menempatkan emosinya dengan cara yang

terkontrol, terutama ketika menghadapi masalah dan konflik.

c. Static Group

Suatu kelompok kecil klien yang ditunjukkan untuk membahas

perkembangan-perkembangan yang dialami klien dengan konselor.78 Hal ini

dijelaskan oleh Bapak Gidien salah satu konselor, yang mengatakan bahwa:

“Static group itu lebih pendekatan ke terapi kelompok tetapi


memang kelompoknya itu lebih tertutup jadi sesuai dengan konselor
yang sama, jadi kelompok ini memiliki konselor yang sama paling
banyak anggotanya 4 orang. Di grup ini karena rekan sebaya dan
karena memang tujuannya untuk diskusi supaya input dan satu sama
lain saling memberikan, rekan sebaya disini adalah karena satu
permasalahan dan satu tujuan untuk pulih.”79
Kemudian hal ini juga dikatakan oleh konselor yang lain yaitu Bapak irfan,

sebagai berikut:

“Jadi yang dibahas itu biasanya tema besarnya datang dari


konselor, atau bisa kita lempar ke mereka.. temanya sedikit banyak
77
Siti Napsiyah Ariefuzzaman dan Lisma Diawati Fuaida, Belajar Teori Pekerjaan Sosial,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h.42.
78
Data didapat dari Klien Handbook, Yayasan Kapeta.
79
Wawancara Pribadi dengan Bapak Gidien, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9
September 2016.
78

tentang kepulihan, selain kepulihan disini juga bisa tentang yang


lain setelah mereka selesai rehabilitasi. Diskusi disini didampingi
oleh konselor dan konselor sendiri itu sebagai fasilitator.”80
Berdasarkan wawancara diatas bahwa static group ini dibentuk berdasarkan

kelompok sebaya yang mempunyai konselor yang sama, permasalahan yang

sama dan kemudian ini adalah terapi kelompok yang bertujuan agar sesama

anggota kelompoknya dapat bercerita dan mencari jalan keluar bersama atas

permasalahannya.

Berdasarkan teori mengenai kelompok pemecahan masalah dan pembuat

keputusan, adanya kegiatan static group ini diharapkan bagi klien untuk

menemukan pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan untuk menemukan

sumber-sumber baru dalam memenuhi kebutuhan baru.81 Jadi dapat disimpulkan

bahwa static group merupakan pembentukan kelompok kecil yang dilakukan

klien untuk mendiskusikan, membahas suatu permasalahan rencana dank lien

ketika tahap rehabilitasi telah selesai dengan konselor. Dengan static group, klien

dapat menemukan sumber-sumber dan informasi yang dibutuhkan oleh klien

tersebut.

Materi dalam kelompok ini membahas tentang kepulihan ataupun mengenai

zat itu sendiri, namun anggota kelompok dapat meminta apa yang akan dibahas

materinya sesusai dengan permintaan dari anggota kelompok namun agar tidak

melenceng tetap ada arahan dari konselor.

80
Wawancara Pribadi dengan Konselor, Tangerang Selatan, 9 September 2016.
81
Edi Suharto, Pekerjaan Sosial di Dunia Industri Memperkuat CSR (Corporate Social
Responsibility), (Bandung: Alfabeta, 2009), h.38.
79

d. Kelompok Pencegahan Kekambuhan

Terapi ini diberikan ada yang sifatnya edukasi ataupun yang memulihkan,

terapi ini wajib diikuti oleh semua klien sesuai dengan rencana perawatannya.82

Hal ini juga dijelaskan oleh konselor bapak Gidien, mengatakan:

“Kalo pencegahan kekambuhan itu ada yang sifatnya edukatif dan


ada yang mengembangkan keterampilan mereka supaya mereka
tidak kambuh, misalnya bagaimana caranya menghadapi rasa
menagih, bagaimana caranya melakukan strategi penolakan, dan
mengidentifikasi rasa nagihnya itu kambuh. Diisi oleh staff kita
disini.”83
Menurut wawancara diatas, kelompok pencegahan kekambuhan ini diberikan

edukasi dengan cara memberikan informasi kepada klien untuk mengontrol diri

mereka agar mampu untuk menahan rasa ingin kembali untuk memakai zat/rasa

menagih.

Terapi ini merupakan jenis terapi psikiatrik, dimaksudkan agar peserta

rehabilitasi dapat menghilangkan sikap anti sosial. Selain itu terapi ini juga

ditunjukkan untuk keluarganya agar dapat memahami permasalahan seputar

narkoba dan persiapan atau sikap yang harus diambil bila anggota keluarganya

kambuh kembali.84 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kelompok

pencegahan kekambuhan merupakan terapi yang wajib diikuti oleh semua klien

dengan memberikan edukasi informasi mengenai pemulihan baik dari cara

menghadapi rasa ingin mencoba kembali dan melakukan penolakan serta cara

mengembangkan keterampilan klien agar mereka tidak mengulang kesalahan lagi.


82
Data didapat dari Klien Handbook, Yayasan Kapeta.
83
Wawancara Pribadi dengan Bapak Gidien, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9
September 2016.
84
Listiyana Kurniawan, Pengaruh Konsep Pemulihan Terhadap Pusat Rehabilitasi Narkoba,
(Skripsi S1 Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia Depok, 2005). h. 14-15.
80

e. Terapi Kelompok Psikoedukasi

Terapi ini ditunjukan untuk klien agar lebih memahami mengenai adiksi, baik

dari segi dampak menggunakan adiksi atau bahaya yang ditimbulkan. Kegiatan

ini berupa pembekalan dengan pendidikan. Kegiatan utamanya adalah

pembekalan dengan pendidikan dan keterampilan, dalam terapi ini klien diberikan

pendidikan mengenai adiksi seperti apa dan juga keterampilan dalam menyiapkan

diri klien untuk nantinya kembali ke lingkungan sosialnya. Kemudian hal ini

disampaikan oleh Konselor Bapak Gidien di yayasan Kapeta, yang menyatakan

sebagai berikut:

“Kelompok psikoedukasi, materinya tentang adiksi atau bahaya dari


adiksi.”85

Berdasarakan hasil wawancara diatas, kelompok ini berguna untuk para klien

dalam memberikan informasi tentang adiksi, karena klien membutuhkan

informasi ini agar dapat mengetahui apa itu adiksi dan bagaimana bahaya yang

ditimbulkan dari adiksi. Dan juga agar nantinya klien tidak lagi ingin

menggunakan NAPZA. Seperti yang disampaikan oleh Pekerja Sosial, Siti

Jumartina yang menyatakan:

“jadi kalo terapi psikodinamik itu kita bisa kasih mereka semacem
informasi tidak hanya adiksi, ataupun tentang kesehatan diri terus
sama tentang kejiawaan. Nanti bentuknya tuh kaya seminar gitu kita
tampilin pake proyektor”86

85
Wawancara Pribadi dengan Bapak Gidien, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9
September 2016.
86
Wawancara Pribadi dengan Siti Jumartina, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan,
29 Juli 2016.
81

Terapi ini termasuk dalam terapi psikososial dimana terapi ini bertujuan untuk

para klien dapat bergabung kembali ke dalam lingkungannya. 87 Berdasarkan

hasil analisa penulis dapat dikatakan bahwa terapi psikoedukasi memberikan

informasi tentang kejiwaan ataupun kesehatan diri, terapi ini berguna bagi klien

dalam menjaga kesehatan dirinya yang telah menggunakan zat dan mengontrol

diri agar bersikap sesuai dan juga agar klien dapat kembali kedalam

lingkungannya.

f. Terapi Kelompok Kognitif-Perilaku

Menurut Scott dan Dryden, pada prinsipnya terapi kognitif perilaku adalah

mengidentifikasikan kandungan pemikiran, yang meliputi asumsi, keyakinan,

harapan, pesan kepada diri sendiri (self talk), atau kelapangan (attributions).

Melalui berbagai teknik, pemikiran-pemikiran kemudian dikaji untuk menentukan

dampak akhirnya terhadap emosi dan perilaku klien.88 Bapak Irfan sebagai

konselor di Yayasan Kapeta menyatakan bahwa:

“terapi kalo disini ada beberapa pokok bahasan, secara garis besar
ada pembahasan CBT (cognitive behavioral therapy) terapi pikiran
dan perilaku”89
Dari hasil wawancara diatas dapat dikatakan bahwa terapi kognitif perilaku ini

adalah untuk mengidentifikasi pikiran yang paling penting, perasaan dan perilaku

yang membentuk reaksi dan memutuskan apakah tanggapan tersebut rasional dan

bermanfaat. Prinsip dasar dari CBT adalah bahwa cara berpikir dalam situasi

87
Listiyana Kurniawan, Pengaruh Konsep Pemulihan Terhadap Pusat Rehabilitasi Narkoba,
(Skripsi S1 Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia Depok, 2005). h. 14-15.
88
Siti Napsiyah Ariefuzzaman dan Lisma Diawati Fuaida, Belajar Teori Pekerjaan Sosial,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h.42.
89
Wawancara Pribadi dengan Bapak Irfan, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9
Semptember 2016.
82

tertentu mempengaruhi bagaimana seseorang merasa emosional dan fisik, dan

mengubah perilaku individu. Setiap orang akan memiliki cara berpikir sendiri,

respon individu terhadap peristiwa tertentu. Kemudian Pekerja Sosial Siti

Jumartina menyatakan mengenai terapi kognitif perilaku ini, yaitu:

“iya jadi kali CBT disini tuh, kaya ngasih tau klien buat menolak
untuk pake zat lagi kalo nantinya diluar ada yang ngajak memakai
zat lagi, terus menggali sugest klien yang ingin pake lagi agar tidak
memikirkan zat seperti itu”90

Berdasarkan analisa penulis, terapi kognitif perilaku ini dirancang untuk

meningkatkan kemampuan penyelesaian masalah klien untuk mempertahankan

kesembuhan dan terapi kognitif perilaku ini adalah terapi yang membantu dan

menanggulangi gejala putus zat klien dengan memberikan informasi kepada

klien. Terapi yang memberikan keterampilan mengenai perilaku dan jalan

pikirannya, seperti mengendalikan pikiran tentang NAPZA dan penggunaannya.

g. Terapi Kelompok Life Skill

Terapi life skill ini berupa pendidikan yang memberikan keterampilan non

formal, life skill ini dibutuhkan setiap klien penyalahgunaan NAPZA sebagai

keterampilan untuk dapat berprilaku positif dan beradaptasi dengan lingkungan,

yang memungkinkan klien mampu menghadapi berbagai tuntuan, dan tantangan

dalam hidupnya sehari-hari dan termasuk dalam menyelesaikan masalah adiksi.

Seperti yang dikatakan oleh konselor di Yayasan Kapeta yaitu Bapak Gidien,

sebagai berikut:

90
Wawancara Pribadi dengan Siti Jumartina, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan,
29 Juli 2016.
83

“Kelompok terapi life skill, meningkatkan keterampilan mereka kaya


manajemen waktu, rasa marah, stress, bagaimana melakukan
perencanaan, berkomunikasi dengan baik”91
Berdasarkan hasil wawancara diatas terapi life skill diberikan kepada klien

dengan tujuan agar klien dapat mengontrol diri mereka sendiri dari rasa marah,

stress dan dapat mengatur waktu agar dapat berkomunikasi dengan baik.

Berdasarkan teori kognitif-perilaku yang salah satu kategorinya ialah

keterampilan menyelesaikan, disini klien diajarkan bagaimana klien dapat

mengelola self control kemudian klien diajarkan cara menyampaikan apa yang

harus dikatakan dalam situasi yang sulit, dan klien juga dapat mengetahui masalah

yang ada dalam dirinya dan bisa merencanakan apa yang harus dilakukan.92 Jadi

dapat disimpulkan bahwa terapi kognitif perilaku ini bertujuan agar klien dapat

melakukan self control mereka dan klien juga dapat menemukan apa yang menjadi

penyebab dalam permasalahan dirinya dan bisa menemukan solusi untuk

menyelesaikan masalah mereka, dalam terapi ini klien juga diajarkan untuk

menyampaikan apa yang dirasakan disaat kondisi yang sulit.

h. Family Support Group

Dalam memberikan terapi peran keluarga juga sangat membantu proses

pemulihan klien yang sedang menjalankan rehabilitasi sosial, dalam hal ini

Yayasan Kapeta memfasilitasi keluarga klien dengan memberikan program

khusus seperti memberikan informasi dan pengetahuan menghadapi masalah

adiksi.
91
Wawancara Pribadi dengan Konselor Bapak Gidien, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang
Selatan, 9 September 2016.
92
Siti Napsiyah Ariefuzzaman dan Lisma Diawati Fuaida, Belajar Teori Pekerjaan Sosial,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h.42.
84

Hal ini seperti yang disampaikan oleh Bapak Gidien berikut:

“Kalo family support group ini yang kita ketahui masalah adiksi ini
harus ditangani secara komperhensif, jadi pendekatannya bukan
hanya dari kita aja nih pemberi layanan tapi perlu adanya dukungan
keluarga, dukungan sosial yang baik juga berperan juga. Jadi ini
adalah kelompok dukungan keluarga, jadi bukan hanya masalah
dari klien saja makanya keluarga itu terpengaruh akibat adanya
anggota keluarga ada yang menggunakan baik secara psikologis,
emosional bahkan sampe peran dikeluarga bisa jadi berantakan
menjadi malfunction. Selain mereka lebih paham masalah adiksi,
tentunya mereka perlu dukungan sesame keluarga dengan keluarga
sesama untuk membantu mereka, kalo klien punya kelompok
dukungan juga maka keluarga juga perlu kelompok dukungannya.
Biasanya dilakukan di kantor pusat, setiap hari selasa atau rabu kita
bekerja sama dengan yayasan keluarga pengasih Indonesia, jadi
yang dilakukan tidak hanya sharing dan menggunakan praktisi juga
untuk jadi pembicara.”93
Hal ini juga senada yang diucapkan oleh Bapak Rahardianto:

“iya jadi kita disini ada pertemuan keluarga mba, yang rutin
dilakukan biasanya di tempat kita yang di Senayan.. karena peran
keluarga sendiri sangat berpengaruh untuk mensuport keluarga
yang memakai zat, kegiatannya disana itu diberikan edukasi
mengenai adiksi”94
Berdasarkan hasil wawancara, penulis menyimpulkan bahwa family Suport

group bertujuan agar keluarga klien dapat memahami permasalahan mengenai

adiksi, dan dapat memberikan dukungan kepada anggota keluarga yang sedang

dalam pemulihan. Kegiatan ini bekerja sama dengan Yayasan Keluarga Pengasih

Indonesia.

Family support group adalah kelompok dukungan yang ditujukan untuk

keluarga agar keluarga dapat menerima anggota keluarga yang memakai zat.

93
Wawancara Pribadi dengan Konselor Bapak Gidien, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang
Selatan, 9 September 2016.
94
Wawancara Pribadi dengan Manajer Program Bapak Rahardianto, Ruang Tamu Yayasan
Kapeta, Tangerang Selatan, 18 April 2016.
85

Kegiatan dalam kelompok ini edukasi mengenai adiksi.95 Menurut analisa

penulis dukungan keluarga dalam proses rehabilitasi korban penyalahgunaan

narkoba memiliki andil yang sangat penting karena klien sangat membutuhkan

dukungan untuk terbebas dari narkoba sehingga tercipta hubungan yang

harmonis dan komunikasi yang baik antar anggota keluarga.

Kemudian Yayasan Kapeta memiliki program rawat jalan, program rawat

jalan dirancang untuk gangguan penggunaan NAPZA yang masih taraf

menengah atau belum mengalami ketergantungan (adiksi). Program ini juga

dapat menjadi lanjutan dari program rawat inap intensif yang dirancang dengan

tetap mempertimbangkan kebutuhan primer seperti sekolah, bekerja hingga

mengurus anak.96

Dalam tahap rawat jalan ini klien sudah boleh pulang kerumah tetapi 1

sampai dengan 5 hari permingggu klien menginap di Yayasan Kapeta dan sesuai

kebutuhan. Adapun program-program yang didapat tidak jauh berbeda dengan

saat rawat inap, tetapi dalam rawat jalan ini klien ditambahkan terapi kelompok

bantu diri dan kegiatan vokasional. Berikut penjelasan mengenai program

kelompok bantu diri dan vokasional:

a. Self Help Group

Kelompok yang terdiri dari beberapa klien dan berfungsi sebagai ruang

berbagi tiap klien dalam menghadapi masalahnya. Hal ini disampaikan oleh

Bapak Gidien berikut:

95
Dokumentasi Yayasan Kapeta.
96
Studi Dokumen, Brosur Yayasan Kapeta.
86

“Nah itu kelompok bantu diri atau kelompok dukungan yang


ditujukan untuk klien, jadi orang-orang yang sudah pulih untuk
menjaga tetap pulih mereka perlu kelompok dukungan untuk bantu
diri dari situlah mereka ada untuk membantu satu sama lain nah
jadi untuk masalah adiksi ini maka perlu dirawat supaya gak
kambuh maka perlu adanya kelompok dukungan namanya kelompok
bantu diri itu fungsinya untuk mengingatkan, berbagi pengalaman
bagaimana mengatasi masalah-masalah setelah selesai dari rehab
nah sudah diluar tantangannya banyak misalnya gak gampak cari
kerja bosenlah, makanya butuh kelompok ini. Salah satunya adalah
kelompok Narcotic Anonymous.”97
Berdasarkan hasil wawancara diatas, kelompok dukungan klien ini

dibutuhkan untuk klien agar klien dapat sharing kepada orang-orang yang sudah

mengalami permasalahan yang sama sebelumnya seperti klien, klien juga

mendapatkan pengetahuan lebih tentang pencegahan kekambuhan itu sendiri

ataupun saat fase pemulihan. Di kelompok ini klien juga dapat menambah

teman agar wawasan klien bertambah.

Menurut analisa penulis, kelompok dukungan untuk diri klien ini

bermanfaat dan bisa menjadi sumber penyembuhan utama bagi klien, apabila

digunakan bersama dengan penanganan professional, kelompok dukungan ini

merupakan sumber yang baik untuk rawatan lanjutan.98 Jadi dapat disimpulkan

bahwa kelompok dukungan yang diberikan Yayasan Kapeta kepada

penyalahguna NAPZA dapat membantu klien dalam proses pemulihan, karena

dengan bergabungnya klien dengan kelompok ini klien dapat berbagi

97
Wawancara Pribadi dengan Bapak Gidien, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9
September 2016.
98
Albert R. Roberts dan Gilbert J. Greene, Buku Pintar Pekerja Sosial Social Workers’ Desk
Reference, Penerjemah Juda Damanik dan Cyntia Pattiasina, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2009),
Cet. 1, h. 309,
87

pengalaman dengan anggota lainnya dan juga mendapatkan informasi baru

menganai adiksi dan lainnya.

b. Kegiatan Resosialisasi

Yayasan Kapeta memberikan Kegiatan Resosialisasi dengan memberikan

program kerja sosial, kegiatan ini bertujuan agar klien dapat mengadapi

lingkungan mereka yang sesungguhnya dan mampu berkomunikasi dengan baik

serta bekerja dengan masyarakat. Adapun proses kegiatan resosialisasi di Yayasan

Kapeta seperti yang dikatakan oleh Siti Jumartina salah satu Pekerja Sosial yang

ada di Yayasan Kapeta:

“Nah kita disini kaya kasih business pass sama home leave, jadi biar
mereka tuh terbiasa di luar, gimana ngejalin komunikasi di luar biar
gak kaku. Soalnya kan kalo disini kegiatan mereka rutin dari pagi
sampe malem setiap hari kaya gitu, berbeda saat mereka diluar.
Nanti pas mereka udah balik kesini kita review, apa aja yang
dilakuin selama diluar itu.. melatih mereka juga agar mereka
mandiri”99
Jadi berdasarkan wawancara, proses resosialisasi yang digunakan oleh pihak

Yayasan Kapeta kepada klien dengan memberikan kegiatan business pass dan

home leave dengan tujuan untuk melatih klien ketika mereka berada di

masyarakat.

Dalam kerja sosial klien sendiri harus mendapatkan imbalan sebagai bentuk

implementasi dari filosofi “lakukan yang terbaik, maka segala hal yang baik akan

mengikuti” dan “kompensasi itu sebuah hal yang valid”100 Ada bermacam-macam

kerja sosial yang disediakan oleh Yayasan Kapeta seperti, mencuci motor dan

99
Wawancara Pribadi dengan Siti Jumartina, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan,
26 Agustus 2016.
100
Dokumentasi Yayasan Kapeta.
88

mobil warga, merawat dan membersihkan halaman rumah tetangga, dan

membantu program panti asuhan/panti jompo.

Tahap resosialisasi merupakan kegiatan menyiapkan lingkungan sosial,

lingkungan pendidikan, dan lingkungan kerja.101 Berdasarkan analisa penulis pada

tahap resosialisasi, kegiatan ini baik untuk klien dalam menyiapkan diri klien agar

dapat menyiapkan dirinya kembali ke dalam lingkungan, baik keluarga ataupun

masyarakat. Dengan mengikuti berbagai kegiatan di masyarakat, mengajarkan

klien untuk lebih aktif dan bersosialisasi dengan baik kepada masyarakat sehingga

bisa menghilangkan stigma negatif yang timbul di masyarakat mengenai

penyalahguna NAPZA itu sendiri.

c. Kegiatan Vokasional

Kegiatan vokasional mendukung produktifitas dan menumbuhkan nilai

kewirausaan dalam diri klien, maka perlu dilakukan kegiatan vokasional di sela

kegiatan program lainnya.102 Hal ini disampaikan oleh Bapak Rahardianto sebagai

Program Manajer yang menyatakan bahwa:

“iya kita disini ada kegiatan vokasional yang diberikan kepada


klien seperti memberikan pelatihan menyablon, jadi waktu itu kita
bawa mereka ke tempat penyablonan gitu mba jadi mereka diberikan
pelatihan disana. Untuk saat ini sih kita masih mencari kegiatan
yang lain selain menyablon”103
Kemudian hal ini juga diperkuat oleh Pekerja Sosial, Siti Jumartina yang

menyatakan, sebagai berikut:

101
Ibid, h. 309.
102
Dokumentasi Yayasan Kapeta.
103
Wawancara Pribadi dengan Bapak Rahardianto, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang
Selatan, 18 April 2016.
89

“oh kalo kegiatan vokasional kita disini waktu itu sih kita bawa klien
ke tempat penyablonan yang dari kemensos kalo gak salah, abis itu
kita panggil tukang sama bawa alat penyablonanya kesini itu sih
buat sablon yang mudah dulu belum yang sulitnya”104
Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan kegiatan vokasional ini

diberikan disela-sela program yang tujuannya untuk membuat keterampilan baru

terhadap klien, dan juga menumbuhkan kewirausahaan bagi klien. Kegiatan

voksional ini bagus untuk diberikan agar klien setelah menyelesaikan rehabilitasi

bisa membuka usaha diluar untuk pekerjaan baru.

B. Hasil Rehabilitasi

Tujuan setelah selesai melakukan rehabilitasi sosial di Yayasan Kapeta membuat

klien yaitu untuk tetap abstinen. Maksud dari abstinen itu sendiri adalah kondisi yang

berpantang dari segala bentuk pemakaian dan penyalahgunaan zat serta alkohol. Hal

ini seperti yang telah dikatakan oleh Bapak irfan:

“Secara garis besar sih yang dibilang berhasil mereka sudah tidak
menggunakan zat kembali, terus yang kedua meskipun nantinya
mereka akan jatoh kembali tapi itu tadi mereka tahu harus ngapain..
kalo toh mereka menggunakan kembali, mereka sudah tahu
menggunakan yang tidak terpapar penyakit yang menular. Tapi kalo
tujuan utama itu sih memang abstinen, sudah tidak lagi
menggunakan.”105
Hasil dari rehabilitasi disini dimaksudkan kepada klien mereka sudah pulih

dan berkurangnuya keinginan untuk memakai zat, serta klien juga sudah berubah

secara perilaku. Dari hasil temuan lapangan yang penulis lakukan klien sendiri sudah

bisa lebih teratur kehidupannya, mulai dari melakukan kegiatan dengan positif dan

104
Wawancara Pribadi dengan Siti Jumartina, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan,
29 Juli 2016.
105
Wawancara Pribadi dengan Bapak Irfan, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9
September 2016.
90

tepat waktu seperti mencuci baju sendiri, mencuci peralatan makanan yang telah

dipakai, kemudian melakukan kegiatan seperti olah raga ataupun kegiatan seni yang

meningkatkan keterampilan mereka. Seperti yang telah dikatakan oleh Konselor

Bapak Gidien, sebagai berikut:

“Kalo yang bisa kita lakukan, kita melakukan assessment lanjutan


dan itu menjadi bahan evaluasi.. dan memakai assessment ASI, nah
dilanjutan ini dibulan ke 6 seperti apa, Apakah sudah meningkat
atau belom, walaupun udah pulih tapi masih ada yang harus
diperbaikin kita kasih tau ke klien. Karena kalo udah diluar ya itu
jadi tanggung jawab pribadi dan sudah tidak difasilitasi lagi.”106
Di dalam Yayasan Kapeta ini juga mengizinkan klien untuk tetap melakukan

kegiatan di luar rumah yang dinamakan Business Pass misalnya mereka adalah

mahasiswa diluar mereka tetap kuliah, jika yang bekerja mereka tetap melakukan

pekerjaan. Dengan rehabilitasi ini mereka diharapkan untuk tetap abstinen dan bisa

untuk menolak jika diajak untuk menggunakan zat kembali.

Ukuran hasil individu bisa dilihat dari asesmen ASI yang mempunyai versi saat

tindak lanjut, di Yayasan Kapeta melakukan asesmen ASI tindak lanjut tepatnya

setelah 6 bulan perawatan dan yang diperiksa kembali adalah medis, sosial seperti

hubungan dengan keluarga, pendidikan, psikologis, dan hukum. Seperti yang telah

dikatakan oleh Program Manajer Bapak Rahardianto, sebagai berikut:

“iya benar, setelah 6 bulan bisa diberlakukan asi lagi.. hasilnya


akan bisa menjadi tolak ukur perkembangan klien khususnya dalam
program, contoh mengenai status sosial di asi awal misalnya dia
menyatakan bahwa dalam 30 hari terakhir ada maslah dengan
keluarga dan lingkungan sekitar, nah setelah program berjalan dan

106
Wawancara Pribadi dengan Bapak Gidien, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9
September 2016.
91

asi kembali dilihat apakah mengalami perkembangan atau tidak


seperti itu kira-kira..”107
Dan untuk mengetahui hasil dari rehabilitasi setiap individu dilihat

perkembangannya setelah melakukan rawatan selama 6 bulan, jika dilihat klien

mengalami perkembangan dari aspek-aspek yang dilakukan ASI saat asesmen

diawal nantinya klien akan dibuatkan resume rawatan yang menjadi hasil

evaluasi rawatan yang telah dijalankan, juga diperkuat dengan pernyataan

berikut:

“lebih tepat setelah 6 bulan sejak asi 1 dilakukan mba, indikator


lainnya dengan melihat rencana rawatan apa saja yang sudah
berjalan dan mengalami perkembangan.. jadi setiap klien yang
selesai program akan dibuatkan resume rawatan sebagai evaluasi
rawatan yang sudah dijalankan”108
Kemudian klien AR juga mengatakan perkembangan yang dirasakan setelah

mengikuti rawatan selama berada di Yayasan Kapeta, sebagai berikut:

“Fisik sih membaik, dari sisi psikologi juga membaik, hubungan


dengan keluarga juga membaik.”109
Klien AR adalah klien yang paling lama mengikuti rawatan diantara klien

yang sebagai informan, klien AR merasakan bahwa dirinya semakin baik setelah

mengikuti rawatan di Kapeta. Berdasarkan dari data diatas penulis

menyimpulkan bahwa program rehabilitasi sosial di Yayasan Kapeta sudah

berjalan dengan baik dan berdampak positif terhadap diri klien.

107
Wawancara Pribadi dengan Bapak Rahardianto, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang
Selatan, 22 Oktober 2016.
108
Wawancara Pribadi dengan Bapak Rahardianto, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang
Selatan, 22 Oktober 2016.
109
Wawancara Pribadi dengan Klien AR, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 20
September 2016.
92

Kemudian juga ada klien P yang memberikan pernyataan mengenai

perkembangnnya selama mengikuti rehabilitasi, sebagai berikut:

“mungkin gua berkurang keinginan butuh zat gua, udah gak mikirin
zat lagi, waktu awalnya masih mikirin shabu gua pengenlah
ibaratnya nagih. Sekarang udah ilang sedikit demi sedikit, sama fisik
gue lebih baik kesehatan lebih baik”110
Jadi dapat disimpulkan bahwa hasil dari rehabilitasi ini dilihat dari asesmen

menggunakan ASI setelah mereka selesai melakukan rawatan, dan aspek-aspek

dalam ASI itu seperti kesehatan, psikologis, relasi dengan keluarga ataupun orang

lain. Dari situ dapat disimpulkan hasil, apakah dari fisik yang semula klien sakit

setalah mengikuti rawatan menjadi membaik, kemudian jika sebelumnya klien

addict untuk menggunakan zat setelah mengikuti rehabilitasi klien sudah

berkurang untuk memikirkan zat itu lagi dan sudah tidak lagi menggunakan zat,

dan juga hubungan dengan keluarga yang kurang baik akibat menggunakan

NAPZA sekarang klien sudah berhubungan membaik karena perubahan yang

dialami oleh klien yang tidak lagi memakai zat. Dan keluarga juga sudah

diberikan pengetahuan mengenai adiksi, dan bagaimana cara menghadapi anggota

keluarga yang penyalahguna NAPZA.111

110
Wawancara Pribadi dengan Klien P, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 26
Agustus 2016.
111
Albert R. Roberts dan Gilbert J. Greene, Buku Pintar Pekerja Sosial Social Workers’ Desk
Reference, Penerjemah Juda Damanik dan Cyntia Pattiasina, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2009),
h. 304.
93

C. Peran Pekerja Sosial

Pekerja Sosial di Yayasan Kapeta menjalankan berbagai peranan, Salah

satunya sebagai fasilitator. Pekerja sosial Siti Jumartina menjelaskan sebagai

berikut:

“kita disini tugasnya membantu konselor saat melakukan asesmen,


contohnya kita ngebuat ecomap, genogram kaya gitu karena
konselor sendiri kurang paham untuk ngebuat itu makanya kita
bantu. Terus juga kita isi sesi-sesi yang ada disini..”112

Seperti yang terlihat saat peneliti melakukan observasi, pekerja sosial

mengisi sesi. Saat itu pekerja sosial memberikan materi psikoedukasi, dan dalam

sesi tersebut pekerja sosial mendorong anggota untuk berpartisipasi aktif hal

tersebut terlihat saat pekerja sosial menanyakan jika ada yang tidak mengerti

sebaiknya bertanya. Kemudian dalam sesi yang lain ada dynamic group,sesi ini

dibuat oleh pekerja sosial, seperti yang dikatakan oleh klien AR sebagai berikut:

“kalo setiap hari jum’at disini kita ada dynamic group, biasanya sih
kita main games aja sama klien yang lain didampingin sama peksos..
gamesnya sih macem-macem kalo setiap minggu..”113

Kemudian hal tersebut dipekuat oleh penyataan pekerja sosial Siti Jumartina,

yang menyatakan bahwa:

“iya peksos disini biasanya setiap hari jumat bikin dynamic group,
tujuannya itu gak cuma sekedar kasih games gitu aja tapi kita juga
bikin biar kelompok itu tuh saling mensuport satu sama lain biar
kompak..”114

112
Wawancara Pribadi dengan Siti Jumartina, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan,
26 Agustus 2016.
113
Wawancara Pribadi dengan klien AR, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 26
Agustus 2016.
114
Wawancara Pribadi dengan Siti Jumartina, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan,
26 Agustus 2016.
94

Dan dalam sesi yang lain pekerja sosial juga membantu klien untuk

membantu dalam isu permasalahan, seperti yang terlihat saat peneliti mengikuti

sesi morning meeting. Terlihat pekerja sosial menanyakan apa yang sedang

dirasakan saat itu, kemudian apakah ada masalah atau tidak, jika ada maka

pekerja sosial akan berdiskusi dengan kelompok untuk menemukan jalan keluar

bersama dengan klien.

Kemudian pekerja sosial Siti Jumartina menjelaskan kembali tentang

peranan yang dijalankan oleh pekerja sosial dalam proses rehabilitasi di Yayasan

Kapeta, sebagai berikut:

“jadi kalo disini tuh biasanya klien kalo ada apa-apa biasanya
ngomong ke kita dulu, misalkan uang mereka udah abis tapi mau
beli sesuatu nanti kita nyampein ke konselornya baru dipenjemin
uang dulu kaya gitu, terus kalo mereka lagi ada masalah juga
mereka ceritanya ke kita dulu”115
Menurut analisa penulis bahwa peran pekerja sosial di Yayasan Kapeta

menjalankan peranan sebagai fasilitator yaitu pekerja sosial membantu konselor

untuk membuat instrument untuk melakukan assessment dengan menggunakan

ecomap dan genogram. Instrument tersebut bisa mengetahui hubungan yang

terjalin oleh klien seperti hubungan negatif klien dengan teman diluar yang

mempengaruhi penyalahgunaan NAPZA setelah itu pekerja sosial

memberitahukan hal tersebut kepada konselor untuk ditindaklanjuti.116

115
Wawancara Pribadi dengan Siti Jumartina, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan,
26 Agustus 2016.
116
95

Kemudian sebagai mediator seperti yang telah dibahas oleh pekerja sosial,

mediator disini pekerja sosial membantu klien untuk menyampaikan apa yang

dirasakan selama menjalankan rehabilitasi dengan konselor mereka, agar

nantinya berdiskusi untuk menemukan solusi yang tepat untuk penyelesaian

masalah.
96

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang diperoleh penulis di Yayasan Karya Peduli Kita untuk

melihat proses rehabilitasi dan hasil rehabilitasi melalui wawancara, observasi, dan

studi dokumentasi maka dapat disimpulkan:

1. Proses Rehabilitasi Sosial

Proses Rehabilitasi sosial yang dilakukan diawal yaitu melakukan assessment

yang bertujuan untuk mengetahui masalah yang timbul, kemudian untuk mencari

tahu kebutuhan klien. Setelah itu klien ditentukan rawatan apakah rawat inap atau

rawat jalan dan diberikan program-program rehabilitasi.

Rawat inap diberikan selama 3 bulan, dan rawat jalan juga diberikan selama 3

bulan namun saat melakukan rawat jalan klien sudah diperbolehkan untuk

business pass untuk bekerja ataupun kuliah. Dan diberikan kegiatan vokasional

agar klien dapat meningkatkan keterampilannya. Setelah rawat jalan akan

dilakukan assessment akhir untuk mengetahui pekembangan klien, dan dilakukan

proses terminasi.

Proses terminasi dilakukan jika klien sudah menyelesaikan program, klien

meminta untuk tidak meneruskan, ataupun keterbatasan lembaga dan diperlukan

sistem rujukan, dan tahap terakhir adalah pembinaan lanjut yang bertujuan untuk

pemeliharaan rehabilitasi klien di masyarakat, ataupun melihat kondisi


97

lingkungan keluarga, sosial atau kerja yang kondusif dan mengembalikan

keberfungsian sosialnya.

2. Terapi yang diberikan Yayasan Kapeta

Dalam memberikan terapi, yayasan Kapeta memberikan terapi baik secara

individu ataupun kelompok. Bentuk terapi dalam rehabilitasi sosial ini antara lain:

Terapi kelompok pencegahan kekambuhan, Terapi kelompok kognitif-perilaku,

Terapi kelompok psikoedukasi, Terapi kelompok life skill, Terapi kelompok

dukungan keluarga, Terapi psikoreligius, Terapi psikososial. Pemberian terapi ini

bertujuan untuk memulihkan kondisi fisik ataupun mental penyalahguna NAPZA,

seperti pemberian kegiatan olahraga ataupun memberikan pembekalan dengan

pendidikan dan latihan keterampilan agar klien dapat kembali berfungsi sosial

dalam kehidupan bermasyarakat.

Hasil dari rehabilitasi sosial Yayasan Kapeta adalah membuat klien tetap

abstinen artinya klien sudah tidak lagi menggunakan zat dan bisa untuk menolak

untuk tidak menggunakan kembali jika ada yang mengajak, serta klien tahu apa

yang harus dilakukan saat mereka dalam keadaan terpuruk.

Untuk mengetahui hasil dari rehabilitasi sosial di Yayasan Kapeta ini, Kapeta

melakukan Asesment akhir yaitu dengan menggunakan ASI, aspek-aspek yang

diperiksa antara lain mengenai perkembangan kesehatan, psikologis, dan

hubungan dengan keluarga ataupun lingkungan.


98

B. Saran

Dari hasil kesimpulan yang tertera diatas penulis akan memberikan saran yang

terkait dengan rehabilitasi sosial dan hasil rehabilitasi yang diberikan Yayasan Kapeta

kepada penyalahaguna NAPZA, sebagai berikut:

1. Yayasan Kapeta sebaiknya menambahkan kegiatan vokasional untuk klien

untuk mengurangi kebosanan. Seperti pemberian keterampilan tata boga atau

wirausaha yang nantinya setelah klien selesai menjalankan rehabilitasi bisa

membuka usaha sendiri agar lebih mandiri atau kegiatan vokasional seni

musik yang bertujuan untuk mengembangkan keterampilan bermusik, selain

itu juga sebagai sarana hiburan bagi klien setelah seharian menjalani

rehabilitasi.

2. Yayasan Kapeta menggunakan kembali ruang konseling saat klien melakukan

konseling bersama konselor, agar kerahasiaan klien bisa tetap terjaga.

3. Pekerja sosial juga dapat mengerjakan tugas seorang konselor, seperti

melakukan tahapan assessment sampai pada tahapan terminasi.


99

DAFTAR PUSTAKA

A. SUMBER BUKU
Al-Qur’an Tajwid 12 warna dan Terjemah, Al-Maidah ayat 90, Jakarta: PT.
Suara Agung, 2009.
Ariefuzzaman, Siti Napsiyah dan Fuaida, Lisma Diawati, Belajar Teori
Pekerjaan Sosial, Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2011.
Bungin, Burhan, Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik,
dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta: Kencana, 2011.
Dinas Penerangan Polri, Narkotika, Bahaya dan Penanggulangannya, Jakarta:
Karisma Indonesia, 1986.
Gunawan, Imam, Metode Penelitian Kualitatif Teori & Praktik, Jakarta: PT.
Bumi Aksara, 2013.
Hamidi, Metode Penelitian Kualitatif Pendekatan Praktis Penulisan Proposal
dan Laporan Penelitian, Malang: Umm Press, 2010.
Hawari, Dadang, Lima Besar Penyakit Mental Masyarakat ,Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,2008.
Hawari, Dadang, Penyalahguna & Ketergantungan NAZA (Narkotika, Alkohol,
& Zat Adiktif), Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000.
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori & Praktik, (Jakarta: PT.
Bumi Aksara, 2013), Cetakan Pertama, h. 176.
Kadarmanta, Narkoba Pembunuh Karakter Bangsa, Jakarta: PT. Forum Media
Utama, 2010.
Koentjoro, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial,
Jakarta:Salemba Humanika, 2012.
Rukminto, Isbandi, Kesejahteraan Sosial (Pekerjaan Sosial, Pembangunan
Sosial, dan Kajian Pembangunan), Jakarta: PT Raja Grafindo, 2013.
Sarwono, Wirawan Sarlito, Psikologi Remaja ,Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada, 2007.
Sasangka, Hari, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, Bandung:
Mandar Manjur, 2003.
Somar, Lambertus, Rehabilitasi Pecandu Narkoba, Jakarta: Grasindo, 2001.
Suharto, Edi, Pekerjaan Sosial di Dunia Industri Memperkuat CSR (Corporate
Social Resposibility), Bandung: Alfabeta, 2009.
Suhato, Edi, Isu-isu Tematik Pembangunan Sosial: Konsepsi dan Strategi,
Jakarta: Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial Departemen Sosial
RI, 2004.
Wresniwiro, dkk., Selamatkan anak bangsa dari bahaya narkoba, Jakarta: Mitra
Bintibmas, 2010.
100

B. SUMBER SKRIPSI
Cahyani Putri, Perbandingan Parental Attachment Antara Remaja Pria
Penyalahguna Narkoba Dengan Remaja Pria Bukan Penyalahguna
Narkoba, Skripsi S1 Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, 2004.
Cristianingrum, Ferlinda, Penerapan Pendekaran Therapeutic Community Pada
Program Rehabilitasi Remaja Korban Penyalahgunaan NAPZA, Skripsi
S1 Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2002.
Kurniawan, Listiyana, Pengaruh Konsep Pemulihan Terhadap Pusat
Rehabilitasi Narkoba, Skripsi S1 Departemen Arsitektur Fakultas Teknik
Universitas Indonesia Depok, 2005.
Ulfah, Nurbani, Evaluasi Program Art Therapy Bagi Pasien Dual Diagnosis
(NAPZA-Skizofrenia) Di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO)
Jakarta, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.

C. SUMBER UNDANG-UNDANG
Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 14 tahun 2011, Rehabilitasi
Narkotika Komponen Masyarakat.
Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2012 Tentang
Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika,
Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya.

D. SUMBER WEBSITE
Humas BNN, “Executive Summary Press Release Akhir Tahun 2015-BNN”,
Diakses pada tanggal 16 April 2016 dari www.bnn.co.id.
Yayasan Kapeta Indonesia, Program Kapeta , artikel diakses pada 6 maret 2016
dari http://kapeta.org/.

E. SUMBER JURNAL
Gono, Joyo Nur Suryanto, Narkoba: Bahaya Penyalahgunaan dan
Pencegahannya.
Proctor, L, Steven, dkk, A Naturalistic Evaluation of The Effectiveness of a
Protracted Telephone-Based Recovery Assistance Program on
Continuing Care Outcomes, Journal of Substance Abuse Treatment, Vol.
73.
Santoso, Topo dan Silalahi, Anita, Penyalahgunaan Narkoba Di Kalangan
Remaja: Suatu Perspektif, Jurnal Kriminolog Indonesia, Vol. 1, No. 1
September 2000.

F. Hasil Wawancara
Wawancara Pribadi dengan klien AR, Tangerang Selatan, 20 September 2016.
Wawancara Pribadi dengan klien AR, Tangerang Selatan, 26 Agustus 2016.
Wawancara Pribadi dengan klien P, Tangerang Selatan, 26 Agustus 2016.
101

Wawancara Pribadi dengan Konselor Gidien Ryaan, Tangerang Selatan, 9


September 2016.
Wawancara Pribadi dengan Konselor Irfan Seiff, Tangerang Selatan, 9
September 2016.
Wawancara Pribadi dengan Pekerja Sosial Siti Jumartina, Tangerang Selatan, 29
Juli 2016 dan 26 Agustus 2016.
Wawancara Pribadi dengan program manajer Yayasan Kapeta Rahardianto
Purnomo, Tangerang Selatan, 18 April 2016.
HASIL OBSERVASI

Waktu : Pukul 09.00.WIB

Hari/Tanggal : 16 September 2016

Observasi Sesi Morning Meeting

Observasi yang penulis lakukan pada hari ini adalah Sesi Morning

meeting. Kegiatan ini dilakukan di ruang kelas yang berada di dekat halaman

belakang Yayasan Kapeta. Kegiatan ini dipimpin oleh staff yang bertugas saat itu

atau biasa yang disebut dengan mayor on duty. Sesi ini adalah kegiatan yang

mengawali pagi hari klien sebelum melakukan sesi-sesi di hari ini, sesi dimulai

pukul 09.00 pagi, semua klien wajib mengikuti sesi morning meeting ini.

Morning meeting dilakukan dalam format circle, sebelum sesi dimulai

semua yang hadir dalam morning meeting membacakan doa perdamaian dengan

berpegangan tangan, doa perdamaian dibacakan oleh satu orang kemudian orang

yang lain mengikuti. Setelah doa perdamaian selesai selanjutnya membacakan just

for today, just for today adalah sebuah buku yang berisikan tulisan-tulisan

penyemangat untuk para klien. Just for today juga dibacakan oleh satu orang yang

memimpin dan yang lain mengikuti, tujuan dari just for today itu sendiri adalah

untuk memberikan motivasi dan hanya memikirkan untuk hari ini saja jangan

memikirkan untuk hari-hari kedepan seperti apa yang telah disampaikan oleh

salah satu konselor.


Setelah itu dilakukan belly check, yaitu setiap klien menyampaikan

perasaannya di hari itu seperti kesehatan ataupun perasaannya hari ini, hari ini

semua klien sehat tapi ada satu orang yang merasa kurang enak badan. Dan

kemudian announcement yaitu memberitahukan apa yang akan dilakukan pada

hari ini, seperti salah satu klien yang mengatakan bahwa hari ini akan

menghubungi orang tuanya dan ada juga yang akan solat jumat.

Lalu community concern dimana bagian ini lebih menunjukkan

perhatiannya terhadap anggota lainnya, seperti memberitahukan apakah yang

merasa kesal dengan klien yang lain tapi saat itu tidak ada yang merasa kesal atau

punya permasalahan dengan yang lain. Selanjutnya awareness yaitu

pemberitahuan untuk anggota kelompok lainnya, hari ini ada seorang klien yang

memberitahukan bahwa filter mesin cuci sudah rusak dan jika selesai mencuci

harus membersihkan filter tersebut.

Kemudian ada house issue yaitu isu apa yang diangkat oleh klien, hari ini

isu yang diangkat nuansa weekend, sepi dan selanjutnya adalah theme of the day

yaitu kerja bakti untuk membersihkan kamar masing-masing dan membersihkan

kamar mandi serta dapur. Setelah selesai setiap anggota kelompok

mengembalikan kursi ke tempat awal.


Tanggal/Hari :26 Agustus 2016/ Jum’at

Waktu : 13.30 WIB.

Mengikuti Sesi yang diberikan oleh Pekerja Sosial dan wawancara dengan 2

orang klien.

Hari ini adalah hari pertama penulis mengikuti sesi yang dibawakan oleh

Pekerja Sosial, sesi diberikan pukul 13.00 siang dan sesi dilakukan diruang kelas.

Saat penulis mengikuti sesi, sebelumnya penulis meminta izin kepada seluruh

klien untuk bisa mengikuti sesi. Sesi ini membahas mengenai life skill, pekerja

sosial yang bertugas memberikan materi layaknya guru memberikan pelajaran

kepada muridnya begitupun saat pekerja sosial memberikan materi semua klien

mendengarkan dengan baik dan mencatat hal-hal yang penting dalam materi

tersebut.

Kemudian penulis melihat bahwa klien disana benar-benar fokus

mendengarkan apa yang diberikan pekerja sosial, dan jika ada yang tidak

dimengerti oleh klien maka mereka akan bertanya dan akan diberikan penjelasan

oleh pekerja sosial. Sesi berjalan kurang lebih 30 menit, setelah sesi selesai klien

mengisi buku kehadiran sesi yang harus ditanda tangani oleh pengisi sesi saat itu.

Setelah mengikuti sesi bersama klien, kemudian penulis menunggu untuk

wawancara dengan klien A dan P. Saat itu semua klien sedang tidak ada kegiatan,

dan mereka hanya melakukan kegiatan pribadi mereka yang ingin dilakukan

seperti bermain gitar, mengobrol, makan siang, ataupun tidur siang. Pertama

penulis melakukan wawancara dengan klien A yang berumur 18 tahun, klien

sangat ramah dengan penulis dan saat penulis menanyakan beberapa pertanyaan
klienpun menjawab dengan apa adanya dan seperti curhat karena setiap satu

pertanyaan yang diberikan klien selalu menjawab dengan panjang dan

menjelaskan secara lengkap, walaupun umur klien lebih muda dari penulis tapi

klien A menjelaskan secara dewasa tetapi masih terlihat jelas klien A adalah ABG

karena suaranya masih sangat ABG.

Dan penulispun melihat bahwa klien sudah mulai menerima kondisinya

sekarang yang dimasukan oleh orang tuanya ke tempat rehabilitasi, menurut klien

A jika seseorang sudah masuk ke tempat rehabilitasi orang tersebut sudah sangat

nakal dan menurutnya dia tidak seharusnya dia dmasukkan ke tempat rehabilitasi

karena kondisinya belum parah. Dan klien juga merasa jika dia bukan anak yang

senakal seperti yang dibayangkan orang tuanya itu, menurut pengamatan penulis

klien A sudah banyak belajar didalam Kapeta dan sudah bisa mengendalikan

dirinya.

Selanjutnya penulis wawancara dengan klien P, berbeda dengan klien A

saat wawancara klien P terlihat lebih pendiam dan tidak terlalu banyak bicara.

Klien P saat itu adalah klien baru yang sudah 3 minggu berada di Kapeta, saat

penulis menanyakan kenapa bisa masuk ke Kapeta terlihat ada emosi didalam diri

klien saat menceritakan proses kenapa klien bisa masuk ke dalam rehabilitasi ini,

walaupun klien baru merasakan 3 minggu tapi klien sudah berinteraksi dengan

baik terhadap orang-orang yang berada di Kapeta. Klien juga mengatakan bahwa

dirinya sudah mulai bisa untuk tidak memikirkan zat kembali, tidak seperti diluar

yang kemungkinan untuk memikirkan zat masih sangat bisa menggunakannya

lagi.
Hari/Tanggal : Jum’at/ 19 Agustus 2016

Waktu : 11.00 WIB

Melihat Sarana dan Prasarana untuk Rehabilitasi

Hari ini penulis ditemani oleh Pekerja Sosial untuk melihat sarana dan

prasarana di Kapeta. Di Kapeta sendiri terdapat 2 kamar tidur AC untuk klien dan

kamar mandi yang ada didalam setiap kamar, kemudian terdapa kolam renang dan

fasilitas olahraga seperi tenis meja, alat boxing, fitness dll. Kemudian ada ruang

kelas untuk sesi, dan ruang konseling untuk melakukan konseling individu dengan

konselor tapi saat penulis melihat ruang konseling sedang tidak bisa digunakan

karena sedang dilakukan renovasi.

Terdapat ruang tamu untuk klien yang digunakan bertemu dengan kerabat

ataupun keluarga yang berkunjung, dan ada ruang tengah yang biasa digunakan

untuk menonton tv bersama atau sekedar mengobrol. Di Kapeta juga menyediakan

TV kabel dan internet, dan ada dapur, tempat mencuci pakaian yang juga

digunakan setiap klien. Untuk staff sendiri ada ruang kerja dan satu kamar yang

disediakan untuk staff yang berjaga malam.


PEDOMAN WAWANCARA

Rehabilitasi Sosial Untuk Penyalahguna NAPZA di Yayasan Karya Peduli

Kita Tanggerang Selatan

Informan Klien

A. Waktu :

Hari dan Tanggal :

Tempat :

B. Identitas Informan :

Nama :

Jenis Kelamin :

Usia :

Agama :

Pendidikan :

C. Pertanyaan :

1. Apa yang melatarbelakangi anda memakai zat?

2. Sudah berapa lama anda menggunakan NAPZA?

3. Jenis NAPZA apa yang digunakan pertama kali dan yang pernah

digunakan?

4. Apa yang dirasakan setelah menggunakan zat?


5. Apakah ada dampak negatif yang dirasakan?

6. Bagaimana kamu mengetahui adanya rehabilitasi sosial di Kapeta?

7. Kegiatan rutin apa yang dilakukan dari bangun tidur sampai tidur lagi?

8. Program rehabilitasi sosial apa saja yang diberikan Kapeta?

9. Apa kegiatan yang dilakukan di luar kapeta?

10. Berapa lama bertemu dengan konselor dalam seminggu?

11. Apa yang dilakukan saat bertemu pekerja sosial/konselor?

12. Apa manfaat yang didapat setelah mengikuti program rehabilitasi sosial?

13. Apakah ada perubahan yang didapat setelah mengikuti rehabilitasi sosial

di Kapeta?

14. Apa harapan anda setelah menjalankan rehabilitasi sosial di Kapeta?

Jakarta, 26 Agustus 2016

Klien

( )
PEDOMAN WAWANCARA

Rehabilitasi Sosial Untuk Penyalahguna NAPZA di Yayasan Karya Peduli

Kita Tanggerang Selatan

Informan Pekerja Sosial

A. Waktu :

Hari dan Tanggal :

Tempat :

B. Identitas Informan :

Nama :

Jenis Kelamin :

Usia :

Agama :

Pendidikan :

C. Pertanyaan :

1. Bagaimana pendekatan awal rehabilitasi?

2. Bagaimana respon awal klien terhadap pendekatan awal rehabilitasi?

3. Bagaimana proses rehabilitasi untuk mengetahui masalah yang ada pada

klien?
4. Bagaimana cara peksos menggali masalah yang ada pada klien?

5. Rencana apa yang dibuat untuk pemecahan masalah klien?

6. Apa tanggapan klien mengenai rencana yang dibuat?

7. Kegiatan apa saja yang diberikan untuk menyelesaikan masalah klien?

8. Apakah ada kendala dalam melaksanakan kegiatan rehabilitasi?

9. Kegiatan apa saja yang diberikan kepada klien agar klien mampu kembali

ke lingkungan mereka?

10. Apakah ada surat pernyataan atau sejenisnya saat terminasi?

11. Saat melakukan bimbingan lanjut bagi klien, bagaimana peksos

mengetahui bahwa klien sudah tidak memakai zat lagi?

Jakarta, 29 Juli 2016

Pekerja Sosial

( )
PEDOMAN WAWANCARA

Rehabilitasi Sosial Untuk Penyalahguna NAPZA di Yayasan Karya Peduli

Kita Tanggerang Selatan

Informan Konselor

A. Waktu :

Hari dan Tanggal :

Tempat :

B. Identitas Informan :

Nama :

Jenis Kelamin :

Usia :

Agama :

Pendidikan :

C. Pertanyaan :

1. Apa tugas pokok dan fungsi anda sebagai konselor dalam melakukan

rehabilitasi kepada klien?

2. Bagaimana proses rehabilitasi yang dijalankan klien di Kapeta?

3. Program serta pelayanan apa saja yang di berikan Kapeta?

4. Berapa lama klien di rehabilitasi di Kapeta?


5. Kendala atau hambatan apa yang dihadapi dalam menjalankan tugas

sebagai seorang konselor di Kapeta?

6. Tujuan apa yang ingin dicapai pada program rehabilitasi di Kapeta?

7. Apa harapan anda kepada klien setelah menjalankan rehabilitasi sosial di

Kapeta ini?

Jakarta, 9 September 2016

Konselor

( )
PEDOMAN OBSERVASI

1. Untuk melihat bagaimana emosi klien ketika membicarakan masalahnya

2. Untuk melihat bagaimana interasksi klien dengan orang lain saat di dalam

Kapeta

3. Berbagi informasi mengenai program rehabilitasi di Kapeta

4. Untuk melihat kegiatan sesi yang diberikan peksos

5. Untuk melihat sarana dan prasarana yang menunjang rehabilitasi yang ada

di Kapeta
TRANSKIP WAWANCARA

Nama : AR

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 18 Tahun

Agama : Islam

Pendidikan : Mahasiswa

Wawancara ini dilaksanakan pada tanggal 26 Agustus 2016 di

ruang tamu Kapeta Tanggerang Selatan. Waktu pelaksanaan wawancara

ini pada pukul 14.00.WIB. Informan yang diwawancarai adalah klien yang

dipilih langsung oleh staff Kapeta untuk diwawancarai. Informan ini

adalah klien yang sudah berada di Kapeta kurang lebih 3 bulan rawat inap.

Jakarta, 26 Agustus 2016

Klien

( )
NO. PERTANYAAN JAWABAN

1. Saya mahasiswa dari UIN Oiya UIN ciputat, oke oke boleh..
yang mau melakukan skripsi emang? Heem skripsi agak
penelitian skripsi disini.. ribet ya? Iya gapapa..
nah izin nih sebelumnya
kalo boleh nanya-nanya..
2. Awalnya apasih yang Temen sih, lingkungan.. jadi pertama
melatarbelakangi pake zat? kali tuh lagi nongkrongan kan di
pondok indah nah ketemu temen-
temen SMP, jadi SMP gue tuh emang
kaya gitu kan negeri kan SMP ***
nah nongkrongnya emang di belakang
pondok indah, nah awalnya kaya
Cuma minum-minum doing kaya
jamu kaya intisari.. nah pertama tuh
nyobain ganja lagi hallowen party di
daerah cinere di rumah temen terus
kaget rasanya kok kaya gini ternyata
terus pas udah ke dua tiga kali masih
gak suka.. tapi temen tuh suka
namarin, nah belom ada penderian
gitu (oh yaudah lah yantai yantai),
terus pas kelas 3 SMP (ah minum
ngapain ribet kan muntah muntah)
pakelah gue ganja abis itu masuk
SMA kirain kan bener niatnya gue
mau ngambil basket tuh nah gak
taunya kaka kelasnya tuh pada kaya
gitu juga, nah kerjaannya tuh
ngeganja ngeganja yaudah akhirnya
bablas deh tuh.. terus akhirnya
ketauan nyokap.
3. Oh gitu, emang yang Pertama kali sih minum terus abis itu
dipake dari awal itu ganja? baru ganja..
4. Nah itu berapa lama pake Make ganjanya? Kalo bener-bener
ganja? addictnya sih 3 tahun dari kelas 3
SMP..
5. Nah terus efeknya apasih Lebih enjoy, seneng, ketawa pokonya
dari pake ganja itu, kalo nyantai gitu jadinya pengen makan
secara fisik? terus nafsu makan.
6. Kalo dampak negative Dampak negatifnya banyak sih, mikir
yang dirasin apa nih? jadi males.. jadi kaya belajar kalo di
kelas tuh Cuma numpang tidur doang
gitu, kalo guru ngomong masuk
kuping kanan keluar kuping kiri. Jadi
sekolah tujuannya ya ngeganja gitu.
7. Oh jadi makenya Makenya di kantin, gak haha
disekolah? Emang ketauannya ya ngerokok paling gitu..
dibolehin? Gak ketauan gak boleh tapi gimana sih SMA ya
apa itu? paling ngumpet-ngumpet.
8. Terus bisa masuk kesini Tau dari om, om dulu pernah disini..
tau dari siapa? terus tiba-tiba dibawa nyokap kesini
selesai SBM kan.
9. Baru banget dong? Terus Iya baru banget, disini ini mau
disini udah berapa lama? menjelang 3 bulan udah 2 bulan 2
minggu..
10. Nah terus adaptasi pertama Banget, awalnya sih gak terima
disini ada kesulitan gak? kayanya kesannya gue udah parah
bangat.. gila lu udah masuk rehab
kayanya udah nakal banget sih gue
mikirnya.. tapi pas 2 minggu 3
minggu disini, gue masih gak ngerti
sih sebenernya apasih rehab gak
penting, pelajaran gue udah tau
semua. Tapi lebih mikir aja sih, susah
sih jelasinnya.
10. Terus kegiatan yang udah Banyak sih, kalo disini ada yang
dilakuin disini apa aja? namanya sesi.. kaya kita tuh belajar
yang namanya narkoba belajar buat
gimana cara ngindarinnya? Apa
dampak positif negatifnya? Terus kalo
lu lagi suges, jadi lu tuh lebih mikir
lah kalo sugest.. kaya contohnya nih
lagi ujan-ujan sugest lu tuh pengen
makan bakso Cuma tuh gimana
caranya kita ngindarin dulu mungkin
kaya (ah gue beli es krim aja deh).
Main gitar, tidur, ketawa ngobrol-
ngobrol gitu sih..
11. Nah kalo misalkan Banyak, cara perilaku.. terus gimana
program rehabilitasi yang sih kenapa menggunakan gitu?
diberikan Kapeta apa aja? Pokonya banyak deh tentang adiksi
gitu, jadi lebih banyak belajar gitu..
12. Disini kan ada konselor Nah kalo konseling disini kaya cerita,
ya? Itu ketemunya berapa misalkan (gue iya nih gara-gara drugs
lama? gue jadi lemot, gimana sih caranya
biar gak lemot lagi?) dia tuh kaya
ngasih tau gitu, atau gak kan kalo
make narkoba tuh kaya jadi banyak
gitu masalah, duit abis mulu atau gak
kalo lagi gak ada barang lu tuh butuh
banget sampe jual sepatu baju lah
kaya gitu.. konseling tuh sejam cuma
kan udah asik cerita kadang lebih dari
sejam.
13. Terus kalo manfaat yang Lebih mikir mikir banget, dan
didapet setelah melakukan walaupun kita gak berenti tapi kita tuh
program ini apa? lebih mikir gitu gak kaya dulu addict
tiap hari tuh harus kaya gitu.. dan kalo
misalkan kita berenti juga udah
diajarin banget sih tinggal ngikutin
yang udah diajarin aja sih.
14. Perubahan yang udah Kalo perubahan negatifnya sih kurang
didapet setalah 3 bulan aktifitas aja sih.. tapi kalo positifnya
setengah disini apa? banyak banget sih, kepercayaan orang
tua mungkin terus lu tuh lebih mikir
kaya masa sih lu mau gitu-gitu aja.
Terus banyak aktifitas jadinya
olahraga kek, kuliah kek, les apa kek
gitu.
15. Terus kegiatan yang Oh iya gue tanggal 14 besok udah
dilakuin selain di Kapeta mulai kuliah..
apa?
16. Kalo harapan setelah Banyak banget, kuliah, magang,
selesai rehab apa? pengen buka usaha sih, usaha sepatu
terus hidup sewajarnya aja normal
gitu kaya orang-orang.
TRANSKIP WAWANCARA

Nama : PPS

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 23 Tahun

Agama : Islam

Pendidikan : SMA/Wiraswasta

Wawancara ini dilaksanakan pada tanggal 26 Agustus 2016 di ruang tamu

Kapeta Tanggerang Selatan. Waktu pelaksanaan wawancara ini pada pukul

14.00.WIB. Informan yang diwawancarai adalah klien yang dipilih langsung oleh

staff Kapeta untuk diwawancarai. Informan ini adalah klien yang sudah berada di

Kapeta baru 3 minggu.

Jakarta, 26 Agustus 2016

Klien

( )
NO. PERTANYAAN JAWABAN

1. Yang melatarbelakangi P Waktu itu sih, karena faktor tongkrongan


menggunakan zat apa sih temen-temen deket itu sih.. awalnya sih coba-
saat itu? coba, terus berapa saat kemudian butuh zat
nagih.
2. Berapa lama tuh make Terakhir gua sebulan full setiap hari, awalnya
zat diawal? gua make kelas 2 SMP..
3. Kalo boleh tau jenis apa Gua pake shabu sama ganja, yang rutin dipake
tuh yang dipake? pas rutin sebulan itu shabu dan ganjanya udah
gak.
4. Yang dirasakan fisik Mungkin lebih kerja semangat, kesehatan juga
setelah memakai zat tuh kaya kebal gak ngerasain rasa sakit.. sama
apa sih? perasaan seneng.
5. Efek dari ganja sama Beda, kalo ganja tuh laper bawaannya
shabu tuh beda atau pengennya ketawa seneng aja sih lupa sama
sama? semua masalah. Kalo shabu lebih kaya buat
kerja aja sih waktu itu gua buat doping.
6. Terus awalnya bisa Gua ditangkep sama polres, gara-gara
masuk disini tuh gimana? dirembetin temen.. jadi gua gak ada sangkut
pautnya sama temen gue tiba-tiba bilang dapet
barang dari gua padahal gak, dari polres ke
BNNK abis itu baru dirujuk kesini. Gua disini
baru 3 minggu.
7. Adaptasi awal sama Kalo awal biasa aja sih, gua karena sakit
orang-orang di Kapeta diawal vertigo selama satu minggu sempet
gimana? dirawat.. setelah bangun ya sok kenal sok deket
aja.
8. Kegiatan rutinnya selama Ikutin sesi,gua tuh biasanya bangun pagi,
disini apa? olahraga berenang, sarapan minum obat.
Minum obat tuh rutin setiap pagi.
9. Terus kegiatan selain di Kalo gua masih belom boleh karena gua masih
Kapeta apa? baru 3 minggu disini, kalopun mau keluar ya
didampingin sama staff. Diliat
perkembangannya juga.
10. Kalo program rehabilitasi Gua baru sedikit sih program gua, kaya pengen
yang diberikan kapeta ketemu orangtua gua. Nanti bilang ke konselor
apa aja? gua.
11. Nah kalo ketemu Baru sekali konseling, kalo durasinya sih
konselor berapa lama waktunya satu jam minimal.. gua sih 8 bulan
waktunya? pertemuan ya sekitar 3 bulan, ditentuin
konselor itu 2 minggu setelah masuk.
12. Biasanya kalo ketemu Ngobrol biasa, sharing.. terbuka juga, ceritain
konselor ngapain aja sih? masalah.
13. Manfaat yang setelah Mungkin gua berkurang keinginan butuh zat
didapet selama 3 minggu gua, udah gak mikirin zat lagi, waktu awalnya
ini apa? masih mikirin shabu gua pengenlah ibaratnya
nagih. Sekerang udah ilang sedikit demi
sedikit.
14. Terus kalo perubahan Fisik gua lebih baik, kesehatan lebih baik.
yang dirasain sekarang
apa?
15. Kira-kira harapanya apa Gua lepas dari narkoba itu aja, sama jadi orang
nih setelah selesai lebih baiklah..
program di Kapeta?
TRANSKIP WAWANCARA

Nama : AR

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 29 Tahun

Agama : Islam

Pendidikan : Wiraswasta

Wawancara dilakukan di Yayasan Kapeta tanggal 20 September 2016

pukul 13.00, saat itu klien sedang tidak melakukan aktifitas hanya mengobrol

dengan klien lainnya. Klien sudah 2 kali berada di Yayasan Kapeta untuk

menjalankan rehabilitasi.

Jakarta, 20 September 2016

Klien

( )
NO. PERTANYAAN JAWABAN

1. Awalnya gimana tuh bang Awalnya sih dari temen nyoba-


kenapa bisa ngegunain zat? nyoba, pake itu juga karena untuk
pelampiasan dari masalah aja. Dan
awalnya juga gak pake yang
langsung kecanduan gitu secara
bertahap.
2. Terus kalo pakenya itu udah Pemakaian on off, gak secara terus-
berapa lama? menerus.
3. Awal pake umur berapa tuh Heeem umur 17 tahun.
bang?
4. Nah kalo pemakaian yang Waktu itu heem tahun 2010 hampir
sampe terus menerus itu satu tahun makenya
berapa lama jangka
waktunya?
5. Jenisnya sendiri yang Eeehm ganja, ekstasi, baru nyobain
dipake apa? shabu.
6. Efeknya dari masing-masing Kalo ganja tuh bikin ngelayang
tuh kaya gimana bang? karena jenisnya halusinogen jadi
bikin halusinasi, tapi saya gak suka
udah tau rasanya yaudah nah kalo
ekstasi sama dia bikin halusinasi
juga. Kalo shabu itu kan stimulant
gak terlalu banyak halusinasi, jadi
masih bisa aktifitas kalo ngapa-
ngapain juga enak.
7. Dampak negatif yang Males-malesan, males kerja, males
dirasain apa? mikir ya maonya yang enak-enak
mulu.
8. Kalo dari secara fisik apa Kalo dampak fisik mah biasanya pas
yang dirasain? udah berenti pake, macem-macem
dah timbul asam lambung, asma tapi
kalo lagi maboknya mah gak ada.
9. Awal dateng ke Kapeta itu Saya awal dateng tahun 2014, dan
kapan? Tahu dari mana ini yang kedua. Saya tau Kapeta dari
datang kesini salah satu staff yang emang temen
saya, saya dateng sendiri kesini
10. Kegiatan rutin yang dilakuin Banyak, bangun, mandi, sarapan,
selama disini apa aja? olahraga, nonton tv, denger musik.
11. Kalo program Sesi? Banyak sih, sesi pencegahan,
rehabilitasinya yang dikasih sesi psikoedukasi, manajemen
itu apa aja? kesehatan, CBT, 12 langkah,
macem-macem.
12. Terus kalo adaptasinya itu Kalo saya karena pernah ditempat
kaya gimana pas awal lain jadi cepet aja, terus kalo sesama
kesini? residen dari tempat ke tempat lain
pasti masih ada yang kenal, jadi
udah gak kaku.
13. Dan dari pihak keluarga Semua sih menerima keadaan ini, ya
sendiri tanggepannya sejauh ini semuanya baik.
gimana?
14. Kalo dari segi agama islam Dosa sih pasti ada, jadi kalo lagi gini
nih bang, menurut abang ya belom kapok sampe nanti, kalo
yang abang lakuin gimana belom sampe puncak ya belom
nih? berenti belom mao juga dateng ke
tempat rehabilitasi.
15. Masalah kesehatan udah Ngecek sih belom, tapi Cuma asem
pernah di cek belom bang? lambung aja yang dirasa.
16. Kalo ketemu, konselor tuh Waktu intesifnya sih seminggu
berapa lama terus ngapain sekali, ketemu ya cuma konseling
aja? aja sih.
17. Disini kan ada peksos ya Kalo peksos kan gak punya
bang, dia ngapain kalo pengalaman adiksi ya, jadi dia gak
disini? bisa konseling paling disini dia kaya
ngebantuin bawain sesi. Kalo
masalah klinis mereka gak bisa, kan
emang bukan jurusannya.
18. Manfaat yang udah dirasain Banyak sih menunjang pemulihan.
apa bang setelah udah ikut
program?
19. Perubahan yang dirasain apa Fisik sih membaik, dari sisi
bang? psikologi juga membaik, hubungan
dengan keluarga juga membaik.
20. Harapan abang setelah Yaa berguna bagi keluarga,
selesai program apa nih masyarakat dan agama serta nusa
bang? dan bangsa haha bener kan tuh..
TRANSKIP WAWANCARA

KONSELOR

Nama : Irfan Seiff

Jabatan Konselor : Konselor

Waktu : 14.00 WIB

Hari/Tanggal : Jum’at/9-September-2016

Tempat : Ruang Tamu Yayasan Kapeta

NO. PERTANYAAN JAWABAN


1. Prosedur penerimaan klien Jadi gini klien tuh dateng ada beberapa cara,
disini dilakakukan oleh ada yang dateng sendiri, ada yang dateng
staff atau konselor pak? diantar keluarga dan ada yang rujukan dengan
bnnk atau lembaga lain misalnya puskesmas
terus ada juga dari penjangkau, jadi selain
disini kita punya tempat juga yang di Abdul
Majid divisi disana tentang HIV biasanya
mereka mengunjungi tempat-tempat yang
pecandu ketika mereka membutuhkan
rehabilitasi mereka mengantarkan kesini..
2. Setelah datang kesini apa Diawal itu ada yang namanya skrining secara
yang dilakukan? kasat mata aja dulu, terus ada wawancara
juga terus kemudian ada penjelasan program
dan inform concern.. disitu klien mengisi
biodata, termasuk disitu ada data orang tua,
zat yang digunakan apa nanti keliatan kira-
kira secara fisik bisa gak dia ikutin kegiatan
disini kalo emang bisa diterima..
3. Disini ada kriterianya gak kriteria utama disini umur 18 tahun,
pak untuk masuk kesini? mempunyai wali atau orang tua dan bersedia
mengikuti kegiatan disini..
4. Kalo peraturan disini ada Sebenernya peraturan disini banyak, seperti
apa aja pak? no drugs, no alkohol, no sex, .
5. Lalu sesi yang dijalankan Sesi kalo disini ada beberapa pokok bahasan,
disini ada apa aja pak? secara garis besar ada pembahasan CBT
(cognitive-behavioral therapy) terapi pikiran
dan prilaku, sesi pencegahan kekambuhan,
sesi art class, dan ada juga sesi manajemen
kesehatan.. manajemen kesehatan disitu yang
dibahas masih berhubungan dengan napza
yaa jadi apa dampak buruk terhadap
kesehatan terus bisa kena sakit apa aja,
resikonya tuh apa, terus perilaku apa aja yang
menyebabkan penularan penyakit seperti hiv,
jarum suntik, tato, gunting kuku, sisir, sikat
gigi, terus ada juga pembahasan kewaspadaan
universal. Jadi disini gak boleh tukeran
barang-barang pribadi itu diawal kita kasih
penjelasan.
6. Kalo kesehatan fisik dan Kalo fisik yaa mungkin secara kasat mata
psikis klien disini diawal kira-kira bisa atau gak ikutin kegiatan sehari-
pemeriksaan seperti apa? hari, kalo jiwa kita lihat diajak ngobrol
nyambung apa gak terus kira-kira apa yang
kita sampaikan bisa ditangkep apa gak.
Makanya saat wawancara kita sangat
memperhatikan, dan setiap orang yang
menggunakan zat yang berbeda juga
penangannya berbeda, kalo heroin efeknya
kebalikan waktu dia menggunakan jadi gini
kalo heroin digunakan jarum suntik atau
diatas timah yang dibakar terus dihirup
asapnya, kalo sabu pake bong yang biasa
didenger.. nah efek dari heroin itu orang jadi
santai, agak ngantuk nah kalo udah tidak
menggunakan tuh kebalikannya gak bisa
tidur, gelisah, badan sakit. Tapi kalo pake
sabu kebalikannya nih, kalo abis pake sabu
itu gak tidur, tahan sampe berhari-hari ketika
gak make bisa tidur dan jadi doyan makan.
7. Proses detoksifikasi disini Yaa pada prinsipnya proses detoksifikasi itu
seperti apa kalo boleh tau kan mengeluarkan sisah zat yang ada didalam
pak? tubuh, tapi ada juga untuk menangani gejala
putus zat tadi itu.. jadi istilahnya orang sakau,
orang sakau bisa seminggu, sepuluh hari bisa
juga dua minggu, kalo heroin itu bisa dibantu
dengan obat namanya codein itu emang untuk
membantu ngelewatin masa putus zatnya itu.
Tapi kalo shabu laen lagi, shabu lebih ke
psikologisnya emosi, sensi, sedih, moodnya
naek turun, lebih baper.
8. Lalu kemudian setelah Assessment biasanya kita dilakukan oleh staff
melawati tahapan awal yang saat itu bertugas, assessment biasanya
untuk masuk kesini, ada ASI (addiction severity index) indeks
apakah yang dilakukan keparahan adiksi, jadi setelah dilakukan
selanjutnya pak? assessment keluar resumenya kita adain case
conference kita bahas si klien setelah dibahas
keluar rencana rawatan seperti apa baru kita
tentuin konselornya, assessment dilakukan
setelah melakukan putus zatnya.
9. Setelah proses assessment Iyaa betul, jadi nanti intervensinya disarankan
itu apakah langsung apakah dilakukan rawat inap atau rawat jalan,
dilakukan intervensinya kalo rawat inap itu dikasihnya apa aja..
seperti apa? biasanya saat assessment itu ada masalah
yang dimenjadi prioritas, biasanya sih ada
tiga masalah. Masalah napzanya, masalah
medis sama masalah keluarga nanti dari hasil
itu baru nentui intervensinya apa.
10. Kalo rawat inap tadi Rawat inap sendiri tergantung kondisinya
lamanya berapa lama? sendiri, biasanya sih 3 bulan dan dilanjutkan
rawat jalan bergantung sama kondisi
perkembangan dan kebutuhannya kalo
kebutuhannya dilihat lebih lama bisa jadi
lebih lama.
11. Lalu kesepakatan program Setelah resume jadi dan sudah ditentukan
dilakukan seperti apa? konselornya, awalnya bertemu dengan klien
itu dijelasin perawatannya seperti apa,
prioritas utamanya apa terus kemudian
rawatannya seperti apa.
12 Terus konseling apa aja Minimal 8 kali pertemuan, balik lagi ke
yang dilakukan? resume assessment tadi biasanya udah
ditentuin apa nih yang akan kita kasih ke dia
nanti dapet stukturnya nanti kita bahas tuh
prioritas-prioritas itu. Misalnya apa aja nih
yang mau kita bahas masalah napza, kita
konseling itu klien center jadi yang
memutuskan klien, tapi kita susun secara
terstuktur ini loh yang mau dibahas jadi
konseling juga gak ngalor ngidul gitu nah
sesuai rencana rawatannya apa yang mau
dibahas.
13. Kalo program rehabilitasi Yaa pertama itu ada just for today biasanya
mulai dari morning ngebacain tulisan yang ada di buku ini yang
meeting itu apa aja yang dibuat oleh NA (Narcotic Anonymous), nanti
dibahas? dibaca oleh satu orang dan yang lainnya
menanggapi.
Morning meeting ini biasanya berkumpul
mereka semua dan ditemani oleh staff yang
bertugas, satu sesi harian tadi ada sesi 12
langkah dan langkah-langkah itu harus
mereka jalani dan orang yang mengajari 12
langkah itu harus sudah pernah menjalani
tahapan 12 langkah itu. Jadi kalo belum
menjalani 12 langkah itu belum bisa
mengajari klien itu sendiri.
Lalu ada bellu check disitu mereka
mengungkapkan perasaannya di hari itu
seperti apa, apakah baik seperti itu..
Dan ada announcement itu disini adalah
pengumuman, misalnya hari ini saya mau
telepon orang tua, hari ini saya mau cuci baju,
yaa mulai kegiatan hari ini.
Terus community concerns itu kepedulian
komunitas isinya menegur, memberikan
informasi, ucapan terimakasih dan ucapan
penghargaan tapi dengan cara yang baik dan
benar dan berfokus pada masalah tidak
merembet ke yang lain dan terjadi pada hari
itu juga, dan ada juga yang memberikan
motivasi.
Lalu ada awareness itu lebih kewaspadaan,
misalnya gini hati-hati ya lagi musim dbd
tolong bersihin kamar mandi dan tempat
tidur, jangan buang sampah sembarangan.
Kalo house issue itu biasanya berkaitan
dengan isu negative yang ada di rumah secara
keseluruhan. Ini dibangung agar mereka bisa
melihat isu-isu negative yang ada
dilingkungan mereka.
Kalo theme of the day itu kebalikan dari
house issue, misalnya gini hari ini lagi gak
pada semangat nih jadi TOTDnya tetap
semangat ya, tema harian yang akan
dilakukan hari ini.
Dan remarks itu yaa hanya catetan tambahan
aja.
Dilakukan rutin senin sampe jumat, kalo
malem biasanya namanya wrap up itu
dilakukan belly check sama announcement
jadi apa yang dilakukan hari ini saat wrap up
ditarik kesimpulan dari kegiatan yang
seharian udah dilakuin sama klien.
14. Disini kan ada Assertive Assertive itu jadi gini, hambatan-hambatan
grup, itu apa aja sih yang komunikasi yang terjadi tuh biasanya gak
dilakukan klien pak? nyampe nih pesannya sama orangnya.. jadi
misalnya gini saya gak suka nih sama mba
tapi gak saya sampein, jadi saya pendem
padahal kalo itu saya sampaikan dengan jelas
mungkin kekesalan saya akan berkurang
walaupun gak ilang sama sekali tapi kalo itu
gak saya sampaikan nantinya akan cenderung
agresif. Akhirnya di assertive grup ini untuk
menyampaikan unek-unek perasaan tapi
dengan aturan-aturan tertentu, tanpa
menyinggung perasaan seseorang dan itu
diadakan biasanya saat mereka ada masalah.
15. Ada gak sih pak kendala Karena disini setiap orang berbeda, unik jadi
dan hambatannya dalam kita disini dituntut kreatif nih disini dengan
menjalankan tugas sebagai latar belakang berbeda, pendidikan yang
konselor? berbeda, dan dari keluarga yang berbeda kita
disini saat memfasilitasi mereka itu beragam
banget caranya.
Kalo dari dalam sendiri, kadang-kadang kita
sendiri ada masalah diluar tapi saat disini kita
harus fokus nih gak boleh membawa masalah
luar kesini, jadi makanya kita dituntut
mengesampingkan masalah yang lain.
16. Harapan bapak terhadap Apapun yang terjadi, meskipun keluar disini
klien saat selesai program ada jatuh bangun paling tidak dia tahu harus
inginya kaya gimana nih berbuat apa.. saya tidak pernah
pak? menggantungkan harapan kepada dia, yang
penting dia tahu harus berbuat apa.
17. Kalo hasil dari rehabilitasi Secara garis besar sih yang dibilang berhasil
mereka ini seperti apa? mereka sudah tidak menggunakan zat
kembali, terus yang kedua meskipun nantinya
mereka akan jatoh kembali tapi itu tadi
mereka tahu harus ngapain.. kalo toh mereka
menggunakan kembali, mereka sudah tahu
menggunakan yang tidak terpapar penyakit
yang menular. Tapi kalo tujuan utama itu sih
memang abstinen, sudah tidak lagi
menggunakan.
18. Terus kapeta sendiri untuk Yaa kita tetap menghubungi mereka, itu ada
mengetahui mereka sudah di after care dan kapan-kapan kita bisa
tidak lagi menggunakan menghubungi mereka.
gimana caranya pak?
19. Lalu saat after care itu Biasanya sih mereka tetep mengikuti kegiatan
sendiri dilakukannya kaya yang sudah dijadwalkan, dan tetap ada
gimana pak? kontak.
TRANSKIP WAWANCARA

KONSELOR

Nama : Gidien Ryaan

Jabatan Konselor : Konselor/Staff klinis

Waktu : 15.40 WIB

Hari/Tanggal : Jum’at/9-September-2016

Tempat : Ruang Tamu Yayasan Kapeta

NO PERTANYAAN JAWABAN

1. Static group disini dilakukan Static group itu lebih pendekatan ke terapi
seperti apa ya pak? kelompok tetapi memang kelompoknya itu
lebih tertutup jadi sesuai dengan konselor
yang sama, jadi kelompok ini memiliki
konselor yang sama paling banyak
anggotanya 4 orang. Di grup ini karena
rekan sebaya dan karena memang tujuannya
untuk diskusi supaya input dan satu sama
lain saling memberikan, rekan sebaya disini
adalah karena satu permasalahan dan satu
tujuan untuk pulih.
2. Lalu yang dibahas saat statik Jadi yang dibahas itu biasanya tema
group itu apa sih biasanya besarnya datang dari konselor, atau bisa kita
pak? lempar ke mereka.. temanya sedikit banyak
tentang kepulihan, selain kepulihan disini
juga bisa tentang yang lain setelah mereka
selesai rehabilitasi. Diskusi disini
didampingi oleh konselor dan konselor
sendiri itu sebagai fasilitator.
3. Selanjutnya ada program Kalo personal time itu adalah waktu mereka
personal time, apa sih yang melakukan kewajiban-kewajiban pribadi
dimaksud personal time ini mereka, baik dari merapihkan tempat tidur,
pak? kamar, baju dan sebagainya.
4. Bagaimana dengan program Kalo family day ini berbeda dengan jenguk,
family day? kalo jenguk itu visit.. jadi kalo family ini,
berbentuk kegiatan kita tunjukan untuk
keluarga, klien, juga kita sebagai pemberi
pelayan tujuannya untuk mempererat kita
satu sama lain sebagai kelompok dukungan
jadi peran keluarga juga penting, saat
berkumpul ada materi yang kita berikan
sebagai edukasi, apa itu adiksi, bagaimana
cara mengatasinya.. waktunya itu sendiri
biasanya setelah lebaran atau sebelum puasa
yang sudah pasti.
5. Lalu kemudian ada proses Assessment ada beberapa yang kita lakukan,
assessment, apa saja yang tujuannya itu juga untuk mendiaknosa,
dilakukan saat melakukan apapun alatnya yang kita pakai tujuannya ya
assessment? untuk mendiaknosa. Seperti adiksi seferity
index (ASI) ini adalah standar internasional,
untuk mengetahui tingkat keparahan
menggunakannya dan permasalahan apa
saja yang menyerta, biasanya kan jika
menggunakan zat itu ada masalah yang
menyerta lainnya seperti dari medis,
keluarga dll, untuk menjadi alat ukur kita
memberikan terapi. Dan juga ada
assessment yang lain, seperti bunuh diri jadi
untuk mendeteksi ada riwayat bunuh diri
jadi disini kita bisa mengantisipasi disini.
Supaya kita punya dasar untuk memberikan
terapi, makanya dibutuhkan assessment.
6. Konseling individu ini Konseling disini dilakukan klien dengan
dilakukan dengan siapa yak konselornya, konseling individu ini
pak? Lalu saat konseling itu dilakukan berbeda-beda karena setiap klien
apa saja yang dilakukan? berbeda bentuk terapinya bisa berbeda-beda
makanya topiknya juga berbeda karena
setiap orang punya masalah yang gak sama
kan.. jadi konseling individu itu kita
sesuaikan dengan permasalah klien yang
sudah kita ketahui melalui assessment biar
berkesinambungan konteknya gak keluar
dari permasalahannya biasanya dari
permasalahan dari penggunaanya terus
mungkin ada permasalahan, faktor pemicu
kenapa dia menggunakan, atau pola
penggunaannya atau strategi mencegah
penggunaan, strategi mencegah
kekambuhan atau bisa juga tentang dampak-
dampaknya. Lebih banyak itu kita lihat
masalah penggunaannya dulu, bisa juga
masalah keluarga tapi kita hanya bisa
mendengarkan.
7. Kemudian setalahIya sudah pasti klien ikut serta, kita
assessment, intervensi sepertimerancang intervensi bersama klien karena
apa yang diberikan? Apakah klien harus tau mengapa intervensi tersebut
klien diikut sertakan? diberikan sama dia dan setelah mengetahui
masalahnya dari assessment kita
merekomendasikan intervensinya klien juga
lebih tau kenapa dapet bantuannya seperti
ini, karena memang permasalahannya
seperti ini.
8. Yang dimaksud family Kalo family support group ini yang kita
support group itu apa ya ketahui masalah adiksi ini harus ditangani
pak? secara komperhensif, jadi pendekatannya
bukan hanya dari kita aja nih pemberi
layanan tapi perlu adanya dukungan
keluarga, dukungan sosial yang baik juga
berperan juga. Jadi ini adalah kelompok
dukungan keluarga, jadi bukan hanya
masalah dari klien saja makanya keluarga
itu terpengaruh akibat adanya anggota
keluarga ada yang menggunakan baik secara
psikologis, emosional bahkan sampe peran
dikeluarga bisa jadi berantakan menjadi
malfunction. Selain mereka lebih paham
masalah adiksi, tentunya mereka perlu
dukungan sesame keluarga dengan keluarga
sesama untuk membantu mereka, kalo klien
punya kelompok dukungan juga maka
keluarga juga perlu kelompok dukungannya.
Biasanya dilakukan di kantor pusat, setiap
hari selasa atau rabu kita bekerja sama
dengan yayasan keluarga pengasih
Indonesia, jadi yang dilakukan tidak hanya
sharing dan menggunakan praktisi juga
untuk jadi pembicara.
9. Selanjutnya program self helf Nah itu kelompok bantu diri atau kelompok
group itu bagaimana pak? dukungan yang ditujukan untuk klien, jadi
orang-orang yang sudah pulih untuk
menjaga tetap pulih mereka perlu kelompok
dukungan untuk bantu diri dari situlah
mereka ada untuk membantu satu sama lain
nah jadi untuk masalah adiksi ini maka
perlu dirawat supaya gak kambuh maka
perlu adanya kelompok dukungan namanya
kelompok bantu diri itu fungsinya untuk
mengingatkan, berbagi pengalaman
bagaimana mengatasi masalah-masalah
setelah selesai dari rehab nah sudah diluar
tantangannya banyak misalnya gak gampak
cari kerja bosenlah, makanya butuh
kelompok ini. Salah satunya adalah
kelompok Narcotic Anonymous.
10. Apakah materi-materi yang Itu semua tergantung, jadi kita liat dulu dia
ada dalam program harus klien rawat jalan atau rawat inap. Jadi
semua diikuti oleh klien? terapi-terapi itu terjadwal dan diharapkan
memang klien untuk mengikuti terapi
kelompok ini seperti 12 langkah, cbt,
pencegahan kekambuhan, art therapy dll.
11. Lalu terapi-terapi yang ada Kalo pencegahan kekambuhan itu ada yang
disini diberikannya seperti sifatnya edukatif dan ada yang
apa? mengembangkan keterampilan mereka
supaya mereka tidak kambuh, misalnya
bagaimana caranya menghadapi rasa
menagih, bagaimana caranya melakukan
strategi penolakan, dan mengidentifikasi
rasa nagihnya itu kambuh. Diisi oleh staff
kita disini.
Kelompok psikoedukasi, materinya tentang
adiksi atau bahaya dari adiksi.
Kelompok terapi life skill, meningkatkan
keterampilan mereka kaya manajemen
waktu, rasa marah, stress, bagaimana
melakukan perencanaan, berkomunikasi
dengan baik.
Lalu ada terapi seni, ada terapi seni yang
memang berkaitan langsung dengan seni
yang dijadikan terapi untuk adiksi, ada yang
sifatnya untuk rekreasional itu kita jalankan
dua-duanya, kalo terapi seni itu kita yang
mengadakan dan yang rekreasional itu
dipilih oleh mereka dan kita didiskusikan.
12. Terapi seni itu kegiatannya Kalo itu ada yang namanya art feeling itu
apa pak? jenis terapi seni yang menggunakan
medianya melukis, jadi dari hasil lukisan itu
baik dari segi warna gambar itu bisa kita
evaluasi jadi bisa lebih tau ada
permasalahan apa untuk kedepannya bisa
dibantu.
13. Untuk mengetahui itu Kita panggil ahli yang mengerti tentang itu,
bagaimana cara melihatnya? yang jelas dari pemilihan warna, bentuk,
dan tebal tipisnya arsiran gambar.
14. Apakah ada kendala dan Yaa gimana ya, kalo kendala dan hambatan
hambatan selama menjadi ya pasti ada tapi ya memang harus
konselor? dihadepin.
15. Lalu apa sih tujuan dari Ya tujuannya pasti mereka sudah tidak
kapeta sendiri dalam menggunakan lagi, total abstinens.. tidak
rehabilitasi? menggunakan zat dan alkohol apapun itu.
16. Dan apa harapan bapak Ya saya gak menuntut dia apa-apa, yang
sebagai konselor terhadap penting bisa pulih aja. Kalo udah pulih kan
klien? terserah deh tuh dia bisa ngapain aja, bisa
ngembangin bakat dia jalanin hobi dia.
17. Kemudian hasil yang Kalo yang bisa kita lakukan, kita melakukan
diperoleh setelah rehabilitasi assessment lanjutan dan itu menjadi bahan
apa pak? evaluasi.. dan memakai assessment ASI,
nah dilanjutan ini dibulan ke 6 seperti apa,
Apakah sudah meningkat atau belom,
walaupun udah pulih tapi masih ada yang
harus diperbaikin kita kasih tau ke klien.
Karena kalo udah diluar ya itu jadi tanggung
jawab pribadi dan sudah tidak difasilitasi
lagi.
TRANSKIP WAWANCARA

PEKERJA SOSIAL

Nama : Siti Jumartina

Jabatan Konselor : Pekerja Sosial

Waktu : 15.00 WIB

Hari/Tanggal :26 Agustus 2016

Tempat : Ruang Tamu Yayasan Kapeta

1. Bagaimana pendekatan awal rehabilitasi?

2. Bagaimana respon awal klien terhadap pendekatan awal rehabilitasi?

3. Proses apakah yang dilakukan peksos untuk mengetahui permasalahan

klien memakai adiksi?

4. Bagaimana cara peksos menggali masalah yang ada pada klien?

5. Rencana apa yang dibuat untuk pemecahan masalah klien?

6. Apa tanggapan klien mengenai rencana yang dibuat?

7. Kegiatan apa saja yang diberikan untuk menyelesaikan masalah klien?

8. Apakah ada kendala dalam melaksanakan kegiatan rehabilitasi?

9. Kegiatan apa saja yang diberikan kepada klien agar klien mampu kembali

ke lingkungan mereka?

10. Apakah ada surat pernyataan atau sejenisnya saat terminasi?

11. Saat melakukan bimbingan lanjut bagi klien, bagaimana peksos

mengetahui bahwa klien sudah tidak memakai zat lagi?


NO. PERTANYAAN JAWABAN
1. Pendekatan awal yang Biasanya sih kita ya small talk, ngobrol
dilakukan dengan klien kaya biasa aja, terus penjalinan relasinya itu
gimana? sharing aja dulu.. mereka sih kadang
cerita sendiri aja.
2. Terus untuk pendekatan awal Yaa kita kan di awal ada assessment
rehabilitasi seperti apa? sama skrining nanti mereka dikasih tau
apa aja program rehabilitasi, nanti
mereka langsung ke konselor yang sudah
ditentukan tapi di awal sih mereka
ketemu sama staff yang bertugas dulu
sebelum konselornya ditentuin.
3. Bagaimana sih cara peksos Kita disini bikin kaya genogram, ecomap
mengetahui permasalahan kaya gitu nah nanti kalo ada masalah
klien? yang kita ketemuin dari saat assessment
itu ya setelah kita tau kita langsung lapor
ke konselornya masing-masing.
4. Bagaimana rencana awal Biasanya udah direncanain sama
program dibuat? konselornya, jadi peksos disini
membantu untuk pelayanan program.
Bentuknya itu kaya menjadi mediator,
membuat ecomap sama genogram tadi,
jadi masalahnya bisa lebih keliatan
mungkin bisa jadi permasalahannya tidak
hanya dari satu sumber aja bisa jadi ada
sumber penyebab yang lain.
5. Lalu cara pemecahan Ya itu dilakukan klien dengan konselor
masalahnya itu bagaimana? juga, tapi biasanya setelah kita kasih
kaya ecomap sama genogram tadi ke
konselor, terus kita diskusiin aja gimana
ya baiknya jalan keluarnya apa, karena
kan aku disini peksos baru jadi kalo
untuk memutuskan sendiri masih ragu.
6. Apa klien diikut sertakan iya klien ikut ambil keputusan, jadi
dalam perencanaan pemutusan dibikin kesepakatan.. misalkan klien
masalah itu? maunya kaya gini, dirancang bareng-
bareng tapi hasilnya harus begini jangan
sampe melenceng dari yang udah dibikin.
7. Jika ada hambatan dalam Peksos disini sih gak terlalu banyak ikut
perencanaan program, apa campur ya, jadi disini yang lebih tau
yang dilakukan oleh peksos? memang konselor. Disini kita ya
memang membantu aja.
8. Terus kegiatan yang dibuat Nah kita disini kaya kasih business pass
untuk klien agar mampu sama home leave, jadi biar mereka tuh
kembali ke masyrakat terbiasa di luar, gimana ngejalin
bentuknya kaya gimana? komunikasi di luar biar gak kaku.
Soalnya kan kalo disini kegiatan mereka
rutin dari pagi sampe malem setiap hari
kaya gitu, berbeda saat mereka diluar.
Nanti pas mereka udah balik kesini kita
review, apa aja yang dilakuin selama
diluar itu.. melatih mereka juga agar
mereka mandiri
9. Lalu apakah disini diberikan Kalo disini sendiri, berbeda dengan panti
pelatihan-pelatihan untuk atau lembaga yang memang biasanya
klien? pelatihan sudah disediakan kaya las,
salon dll, disini balik lagi ke klien
masing-masing minat mereka dimana
kalo mereka pengen muaytai ya kita coba
untuk memfasilitasi mereka. Contohnya
kaya kemaren, ada yang bakat melukis
jadi kita memfasilitasi panggil guru lukis
dan ada juga kegiatan kemarin
menyablon. Jadi kalo disini itu tidak
terpaku dengan program pelatihan yang
seperti di panti yang memang sudah
disediakan, kalo disini sesuai kebutuhan
mereka aja tapi dengan kesepakatan yang
mereka buat dengan konselor.
10. Nanti setelah mereka selesai, Setelah mereka selesai dari program
saat terminasi itu apakah ada rawat inap dan rawat jalan serta after
surat atau apa yang didapat? care, nanti mereka mendapatkan
sertifikat telah selesai melakukan
rehabilitasi.
11. Terus after care disini seperti Jadi after care disini, ya paling
apa? komunikasi lagi sama konselor..
misalnya mereka ada keinginan untuk
pake lagi atau mereka lagi galau, nanti
mereka cerita ke konselornya.
DOKUMENTASI

Sesi yang dibawakan oleh Pekerja Sosial Terapi Psikoedukasi yang dibawakan oleh
Staff

mengenai Pencegahan Kekambuhan

Terapi Pencegahan kekambuhan Ruang Tamu atau Ruang Kunjungan


Saturday Night Activity Yoga dan Relaksasi

Ruang Makan Dapur Bersih


Tempat klien mencuci pakaian Dapur Kotor untuk memasak

Musholah Kolam Renang dihalaman belakang

Ruang Sesi Kamar Klien


Ruang tengah untuk berkumpul dan juga bisa digunakan untuk sesi.

Kamar Staff Kantor

Anda mungkin juga menyukai