Anda di halaman 1dari 167

PROGRAM TERAPI APPLIED BEHAVIOUR ANALYSIS

DALAM MENINGKATKAN KEBERFUNGSIAN SOSIAL


ANAK PENYANDANG AUTISME DI YAYASAN CINTA
HARAPAN INDONESIA

Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

NADIRA SHAFA ATIQA


NIM 11160541000091

PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL


FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1442 H / 2021 M
i
LEMBAR PERNYATAAN

ii
iii
ABSTRAK

Nadira Shafa Atiqa, 11160541000091, 2021, Program Terapi


Applied Behaviour Analysis Dalam Meningkatkan
Keberfungsian Sosial Anak Penyandang Autisme di Yayasan
Cinta Harapan Indonesia.

Studi-studi mengenai keberfungsian sosial menyatakan


bahwa manusia dapat dikatakan berfungsi secara sosial apabila
mampu memenuhi tiga aspek, yaitu: mampu memenuhi
kebutuhan dasar, melaksanakan peranan sosial dan menghadapi
goncangan dan tekanan. Anak penyandang autisme memiliki
hambatan dalam berkomunikasi dan berinteraksi sosial. Hal itu
yang membuat mereka tidak berfungsi secata sosial. Maka dari
itu, diperlukan program untuk membantu mereka berfungsi secara
sosial. Melalui program terapi Applied Behaviour Analysis di
Yayasan Cinta Harapan Indonesia, dapat membantu anak
mengatasi hambatan-hambatan tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan
program dan dampak program terapi Applied Behaviour Analysis
yang dilakukan oleh Yayasan Cinta Harapan Indonesia
berpengaruh dalam meningkatkan keberfungsian sosial anak
penyandang autisme. Pendekatan penelitian ini menggunakan
penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Teknik
pengumpulan data menggunakan wawancara dan dokumentasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa program terapi
Applied Behaviour Analysis ini memberikan perubahan positif
bagi anak penyandang autisme. Diantaranya anak mampu
membina diri: makan, minum dan berpakaian, mampu
melaksanakan perintah sederhana dan meminimalisir perilaku
tidak wajar.

Kata Kunci: Anak Penyandang Autisme, Terapi Applied


Behaviour Analysis, Keberfungsian Sosial

iv
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahi Rabbil’alamin, puji syukur atas kehadirat


Allah SWT karena berkat rahmat dan karunianya, penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul Program Terapi Applied
Behaviour Analysis Dalam Meningkatkan Keberfungsian
Sosial Anak Penyandang Autisme di Yayasan Cinta Harapan
Indonesia. Pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan
terima kasih banyak kepada berbagai pihak, yang telah turut serta
memberikan motivasi, dukungan serta bantuan dalam proses
pembuatan skripsi ini. Dengan segala kerendahan hati, penulis
mengucapkan terima kasih banyak kepada :
1. Bapak Suparto, Ph. D selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah
dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ibu
Dr. Siti Napsiyah, MSW selaku Wakil Dekan I Bidang
Akademik, Bapak Dr. Sihabudin Noor, M.Ag., selaku
Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum, serta Bapak
Cecep Castrawijaya, M.A., selaku Wakil Dekan III Bidang
Kemahasiswaan.
2. Bapak Ahmad Zaky, M.Si selaku Ketua Jurusan
Kesejahteraan Sosial dan Ibu Hj. Nunung Khoiriyah, MA
selaku Sekretaris Jurusan Kesejahteraan Sosial UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.

v
3. Ibu Nurkhayati Nurbus, M.Si selaku dosen pembimbing,
terimakasih banyak atas kesediaannya untuk meluangkan
waktu ditengah kesibukannya untuk memberikan arahan,
masukan, dan membimbing penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini.
4. Para dosen Kesejahteraan Sosial, Fakultas Dakwah dan
Ilmu Komunikasi serta seluruh civitas akademika yang telah
memberikan wawasan, pengalaman serta membimbing
penulis selama mengikuti perkuliahan di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak Jupri Abdullah Mu’in selaku ketua harian Yayasan
Cinta Harapan Indonesia, Miss Fatimah, Miss Cony, Miss
Dewi, Miss Erna dan seluruh pihak yang telah membantu
penulis dalam melengkapi data selama penelitian di
Yayasan Cinta Harapan Indonesia.
6. Orangtua anak penyandang autisme yaitu Ibu IM dan SS
yang telah membantu penulis sebagai informan dalam
melengkapi data selama penelitian.
7. Anak penyandang autisme yaitu RA dan IF sebagai objek
penelitian.
8. Mami Rinawati tercinta dan kedua adik Iky dan Bian serta
keluarga besar H.Nurdin yang telah memberikan dukungan
baik secara moril maupun materi dan tidak pernah lelah
untuk mendoakan, menyemangati dan memberikan kasih
sayang yang tulus kepada penulis sehingga penulis bisa

vi
menyelesaikan skripsi ini berkat do’a dan dukungannya.
9. Kedua teman penulis Erlani Dewi H dan Firda Aulia
Rahmah terimakasih atas kebersamaan selama masa
perkuliahan, berbagi canda tawa dan suka duka.
10. Teman-teman seperjuangan Kessos 2016. Terimakasih telah
berjuang bersama-sama selama masa perkuliahan ini.
11. Yuan Erzal Prayoga terimakasih atas kasih sayang dan
selalu menyemangati penulis untuk menyelesaikan skripsi.
12. Serta semua pihak yang telah terlibat membantu peneliti dan
memberikan do’a dalam membuat skripsi yang tidak dapat
peneliti sebutkan satu-persatu
Akhir kata, penulis sepenuhnya menyadari bahwa pada
skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan sekalipun penulis telah
berusaha melakukan yang terbaik. Untuk itu, kritikan dan saran yang
membangun merupakan masukan bagi penulis agar dapat
menghasilkan karya ilmiah yang lebih baik lagi. Semoga skripsi ini
dapat membawa manfaat bagi kita semua yang membacanya,
terutama dalam memajukan keilmuan Kesejahteraan Sosial.

Tangerang Selatan, 28 April 2021

Penulis

vii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN...................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................... iii
ABSTRAK............................................................................... iv
KATA PENGANTAR .............................................................. v
DAFTAR ISI ......................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ................................................................ x
DAFTAR TABEL ................................................................... xi
DAFTAR BAGAN ................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................... 1
B. Pembatasan Masalah ......................................... 10
C. Perumusan Masalah........................................... 10
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................... 10
E. Review Kajian Terdahulu .................................. 11
F. Metode Penelitian.............................................. 15
G. Sistematika Penulisan ........................................ 23
BAB II KAJIAN PUSTAKA ............................................... 25
A. Program Terapi ABA ........................................ 25
B. Keberfungsian Sosial......................................... 33
C. Anak Penyandang Autisme................................ 40
D. Kerangka Berpikir ............................................. 51
BAB III GAMBARAN UMUM LEMBAGA ........................ 52
A. Latar Belakang .................................................. 52
B. Profil Yayasan Cinta Harapan Indonesia
Pusat ................................................................. 54
C. Visi dan Misi ..................................................... 54
D. Struktur Organisasi............................................ 56
viii
E. Kegiatan dan Program ....................................... 56
F. Alur Penanganan Klien...................................... 60
G. Sarana dan Prasarana ......................................... 61
H. Sumber Daya Manusia ...................................... 62
I. Penghargaan ...................................................... 63
J. Kemitraan ......................................................... 64
K. Alamat dan Kontak ........................................... 65
BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN .................. 67
A. Pelaksanaan Program Terapi Applied
Behaviour Analysis............................................ 67
B. Dampak Program Terapi Applied
Behaviour Analysis............................................ 80
BAB V PEMBAHASAN ...................................................... 91
A. Pelaksanaan Program Terapi Applied
Behaviour Analysis............................................ 91
B. Indikator Keberfungsian Sosial Anak
Penyandang Autisme Sesuai Teori Edi
Suharto............................................................ 103
BAB VI PENUTUP ............................................................. 117
A. Kesimpulan ..................................................... 117
B. Saran ............................................................... 118
DAFTAR PUSTAKA ........................................................... 121
LAMPIRAN ......................................................................... 124

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Konsep Tentang Keberfungsian Sosial ............... 34


Gambar 2. 2 Kebutuhan Menurut Maslow .............................. 35
Gambar 3. 1 Struktur Kepengurusan YCHI ............................ 56
Gambar 3. 2 Kegiatan Hydrotherapy ...................................... 58
Gambar 3. 3 Kegiatan Yoga ................................................... 59

x
DAFTAR TABEL

Tabel 1. 1 Informan .............................................................. 221


Tabel 2. 1 Skema Operant Conditioning................................. 28
Tabel 2. 2 Skema Respondent Conditioning ........................... 29
Tabel 3. 1 Sumber Daya Manusia YCHI ................................ 62
Tabel 3. 2 Daftar Anak Aktif YCHI Autism Center 2020 ....... 63
Tabel 4. 1 Indikator dalam Program Terapi ABA .................... 71
Tabel 4. 2 Data Anak Autisme ............................................... 81
Tabel 5. 1 Peningkatan Keberfungsian Sosial Anak
Penyandang Autisme Pada Program Terapi
ABA .................................................................... 110

xi
DAFTAR BAGAN

Bagan 2. 1 Kerangka Berfikir .................................................... 51


Bagan 3. 1 Alur Penanganan Klien ........................................... 60

xii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kehadiran anak merupakan anugerah yang Allah SWT
berikan kepada orangtua. Anak harus diberikan segala
haknya, baik itu hak untuk hidup, hak intelektualitas dan hak
untuk mendapatkan rasa aman dan kesehatan. Kesempurnaan
fisik maupun psikis seorang anak merupakan suatu
kebahagian bagi orang tua.
Namun, pada kenyataannya tidak semua anak terlahir
dengan sempurna. Ada anak yang terlahir dengan kelainan
fisik, mental dan bahkan keduanya. Anak Berkebutuhan
Khusus (selanjutnya akan disingkat dengan ABK) merupakan
anak yang menyimpang dari rata-rata normal dalam berbagai
hal, ciri-ciri mental, kemampuan sensorik, fisik dan
neuromaskular, perilaku sosial emosional, kemampuan dalam
berkomunikasi atau kombinasi dari keduanya atau lebih
diatas. (Mangunsong 2009)
Bagaimanapun keadaan dan kondisi anak, sudah wajib
hukumnya bagi orangtua untuk memberikan kasih sayang,
merawat dan memenuhi kebutuhan mereka. Hal
tersebut terdapat dalam Al-Qur’an QS. Al-Anfal: 27 yang
berbunyi:

1
2

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu


mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan
(juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-
amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang
kamu mengetahui.”

Berdasarkan ayat diatas kita dapat melihat bahwa


Allah SWT memerintahkan manusia untuk menjaga dan tidak
mengkhianati amanat yang Allah SWT berikan. Dalam hal ini
yang dimaksud adalah orangtua yang diberikan amanat
berupa seorang anak, dimana setiap orang tua harus
memelihara dan mengasuh anak dengan baik sebagaimana
amanah yang Allah SWT berikan.
Menurut penelitian yang berjudul “Pelaksanaan
Terapi Keterampilan Sosial Bagi Anak Autis Di Lembaga
Pendidikan Khusus Dan Pendidikan Layanan Khusus
Mutiara Bunda Bengkulu” oleh Siska Patdriani,
perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh proses
yang dilakukan oleh orangtua terhadap anak dalam
mengenalkan berbagai aspek kehidupan sosial atau norma-
norma kehidupan bermasyarakat serta mendorong dan
memberikan contoh kepada anak bagaimana menerapkan
norma dalam kehidupan sehari-hari. (Patdriani 2018, 4)
3

Selanjutnya, penjelasan mengenai ABK dijelaskan


dalam UU No.8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Dalam pasal 1 disebutkan bahwa penyandang disabilitas
adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik,
intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu
lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat
mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi
secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya
berdasarkan kesamaan hak.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2017
menjelaskan bahwa jumlah ABK di Indonesia adalah
sebanyak 1,6 juta orang. Pada tahun berikutnya, BPS dalam
Survei Ekonomi Sosial (SUSENAS) menjelaskan bahwa ada
1,4 juta ABK yang di bagi menjadi dua kategori, yaitu
penyandang disabilitas berat dan penyandang disabilitas
ringan. (Maulipaksi 2017) di akses pada 10 Januari 2020.
Data diatas hanya menunjukkan jumlah ABK secara
keseluruhan, tidak dibagi setiap jenis. Dari data diatas juga
bisa dilihat terjadinya penurunan jumlah ABK secara
keseluruhan pada tahun 2018. Bagaimana dengan ABK yang
tinggal dipelosok dan belum terdata? Tentunya, hal itu masih
menjadi misteri. Data yang sudah ada kemungkinan akan
bertambah, mengingat masih banyak daerah pelosok yang
belum terjamah serta kurangnya edukasi orangtua mengenai
ABK.
4

Terdapat banyak jenis ABK, diantaranya: tunanetra,


tunadaksa, tunawicara, autisme dan masih banyak lagi.
Dengan banyaknya jenis tersebut, hal ini membuat hambatan
serta potensi setiap ABK akan berbeda satu sama lainnya.
Namun, pada kenyataannya ABK bahkan orangtua
merekapun masih kesulitan dalam menentukan potensi apa
yang dimiliki anaknya. Mengingat masih banyak orangtua
yang kesulitan untuk mengakses informasi mengenai
pelayanan bagi ABK.
Agar penelitian ini lebih terperinci, maka peneliti akan
mengambil subjek dari satu jenis ABK. Salah satu jenis ABK
yang akan diteliti pada penelitian ini adalah Autisme. Istilah
Autisme berasal dari kata autos yang berarti diri sendiri dan
isme yang berarti aliran. Autisme diartikan sebagai suatu
paham yang hanya tertarik pada dunianya sendiri. Menurut
Murdjito, Autisme adalah anak yang memiliki gangguan
dalam berkomunikasi dan berinteraksi secara sosial serta
mengalami gangguan sensori, pola bermain dan emosi.
Penyebabnya karena tidak adanya sinkronisasi antara jaringan
dan fungsi otak. Pendapat lain dikatakan oleh Sutadi yang
mengatakan bahwa autistic adalah sebuah gangguan
perkembangan neurologis berat yang kemudian dapat
memengaruhi cara seseorang untuk berkomunikasi dan
berelasi. (Atmaja 2017)
5

Menurut penelitian yang berjudul “Penerapan Metode


Terapi Perilaku Pada Anak Usia Dini Dengan Autisme (Studi
Deskriptif Di Pusat Layanan Disabilitas Dan Pendidikan
Inklusif Kota Surakarta Dan Mutiara Center Kota
Surakarta “ oleh Evi Sulistyawati, anak dengan autisme lebih
suka menyendiri, memiliki reaksi emosi yang sering
membingungkan, cenderung acuh bila dipanggil dan
seringkali menunjukkan tanpa ekpresi. Saat sedang berada
dalam lingkungan sekitar, anak autisme kerap menghindar
dan menghindari kontak fisik bahkan tidak ada kontak mata.
(Sulistyawati 2018, 4)
Hingga sebelum tahun 2000, jumlah autisme sampai
15-20 per 1.000 kelahiran, 1-2 per 1.000 penduduk dunia.
Menurut data ASA (Autism Society of America) tahun 2000
yaitu 60 per 1.000 kelahiran, dengan jumlah 1: 250 penduduk.
Sementara itu menurut CDC (Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Penyakit, USA) tahun 2001 yaitu 1 diantara 150
penduduk, dan pada beberapa daerah di USA / UK yaitu
diantara 100 penduduk. pada tahun 2012, data CDC
menunjukkan bahwa sejumlah 1:88 anak menyandang
autisme, dan pada tahun 2014 meningkat 30% yaitu sebanyak
1,5% atau 1:68 anak di USA menyandang autisme.
(Permenkumham RI 2015) diakses pada 20 Januari 2020.
Sedangkan di Indonesia belum terdapat data yang
pasti. Menurut Dokter Rudy, yang memperhatikan pada
6

Incidence dan Prevalence ASD (Autistic Spectrum Disorder)


terdapat 2 kasus baru per 1.000 penduduk per tahun serta 10
kasus per 1.000 penduduk. Sedangkan penduduk Indonesia
yaitu 23,5 juta laju pertumbuhan penduduk sekitar 1,14%.
Maka diperkirakan penyandang ASD di Indonesia yaitu 2,4
juta orang dengan pertambahan penyandang baru 500
orang/tahun. (Permenkumham RI 2015) di akses pada
tanggal 20 Agustus 2020.
Dalam memahami ABK khususnya anak penyandang
autisme bukan hanya dilihat dari jumlah yang berupa angka,
tetapi memahami bagaimana mereka mampu melanjutkan
hidup dengan kondisi yang dialami dan bagaimana mereka
mampu berfungsi secara sosial. Sebagai manusia dan hidup
bermasyarakat, tentunya kita memiliki peran dan fungsi sosial
serta norma yang hidup di masyarakat. Hakikatnya, manusia
sebagai makhluk sosial membutuhkan bantuan dari orang lain
dan memerlukan adanya interaksi dengan orang lain dalam
lingkungan guna keberlangsungan hidup manusia.
Menurut penelitian yang berjudul “Pengaruh Terapi
Aba Terhadap Interaksi Sosial Anak Autis” oleh Raden Roro
Ajeng Jane dan Drs. M. Ilmi Hatta, M.Psi, interaksi sosial
merupakan suatu proses dimana seseorang memperoleh
kemampuan sosial untuk dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungan sosial. Interaksi sosial merupakan aspek penting
dalam perkembangan anak, karena pada masa ini merupakan
7

masa peralihan dari lingkungan keluarga kedalam lingkungan


yang lebih luas, misalnya sekolah. Anak dapat menuju fase
berfungsi dalam lingkungan sosial melalui tahap interaksi
sosial. (Adjeng and Hatta 2014, 431)
Manusia dikatakan dapat berfungsi secara sosial jika
memenuhi tiga aspek utama, yaitu : mampu memenuhi
kebutuhan dasar, mampu melaksanakan peanan sosial dan
mampu menghadapi goncangan tekanan. Dalam hal ini, anak
penyandang autisme memiliki keterbatasan dalam berinteraksi
dan berfungsi secara sosial. Mereka memerlukan metode dan
media yang tepat guna membangun keberfungsian sosial.
Sebagai upaya mewujudkan ABK yang mandiri dan
mampu melaksanakan pelayanan sosial, belakangan ini
banyak sekali terapi yang dilakukan untuk meminimalisir
gangguan yang dilakukan oleh anak dengan gangguan
perilaku, seperti anak penyandang autisme. Setiap terapi
memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Misalnya, terapi integrasi yang lebih melatih anak untuk
melatih keseimbangan otak kanan dan kiri agar secara
seimbang atau terapi biomedis yang difokuskan untuk
perilaku hiperaktivitas anak. Sedangkan dalam penanganan
anak penyandang autisme diperlukan terapi yang menyeluruh
dalam membantu perkembangan anak. (Handojo 2003)
Terapi yang bersifat menyeluruh dalam membantu
perkembangan anak adalah Terapi Applied Behaviour
Analysis (selanjutnya akan disingkat ABA). Terapi ini
8

bertujuan untuk mengajarkan bagaimana anak bisa merespon


komunikasi, bersosialisasi dalam lingkungan, menghilangkan
atau meminimalkan perilaku yang tidak wajar serta
menambah perilaku yang belum ada. Metode ini dapat
melatih setiap keterampilan yang tidak dimiliki oleh anak,
mulai dari merespon seperti kontak mata sampai
berkomunikasi secara spontan. Terapi ini dapat dikatakan
tepat bagi anak penyandang autisme karena terapi ini bersifat
menyuruh dan holistik yang mengajarkan anak mulai dari
materi mengikuti tugas, kognitif hingga kemandirian.
Menurut penelitian yang berjudul “Pelatihan Terapi
Autis Metode Applied Behaviour Analysis (ABA) (Studi Kasus
Pada Proses Pelatihan Terapi Autis Di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas 1 Tangerang)” oleh Nofri Juliamet
dan Sofyan Cholid, Applied Behaviour Analysis merupakan
sebuah metode penyembuhan bagi anak dengan autisme yang
belum banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia,
sementara itu ABA efektif dan efisien dalam mengurangi
perilaku disruptive yang umumnya muncul pada anak dengan
autisme. Kelebihan dari terapi ABA adalah diajarkan secara
sistematis, terstruktur dan terukur. (Julimet and Cholid 2017,
92)
Salah satu lembaga yang aktif dalam
menyelenggarakan kegiatan dan memberikan program terapi
bagi ABK adalah Yayasan Cinta Harapan Indonesia
(selanjutnya akan disingkat dengan YCHI). YCHI didirikan
9

oleh Bapak Zulfikar Alimuddin dan Ibu Nila Susanti karena


menyadari bagaimana beratnya tantangan mengurus anak
kedua mereka yaitu Rayhan yang menyandang Autisme.
YCHI telah mendampingi serta menangani lebih dari 50 ABK
yang tersebar diseluruh Indonesia, dengan memberikan
dukungan sosial baik kepada keluarga maupun ABK agar
mereka dapat mandiri dan kembali berfungsi secara sosial.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan
diatas, maka dari itu peneliti ingin melakukan penelitian
untuk mengetahui sejauh mana program terapi ABA bagi
anak penyandang autisme dengan judul penelitian berupa:
“PROGRAM TERAPI APPLIED BEHAVIOUR
ANALYSIS DALAM MENINGKATKAN
KEBERFUNGSIAN SOSIAL ANAK PENYANDANG
AUTISME DI YAYASAN CINTA HARAPAN
INDONESIA.”
10

B. Pembatasan Masalah
Dalam sebuah penelitian harus dibentuk pembatasan
masalah agar peneliti fokus dalam mencari dan meneliti objek
penelitiannya. Dari uraian latar belakang yang telah
dipaparkan, maka peneliti membatasi objek permasalahan
yang akan diteliti yaitu program terapi ABA dalam
meningkatkan keberfungsian sosial anak penyandang autisme.

C. Perumusan Masalah
Untuk memperjelas permasalahan diatas, maka
rumusan masalahnya adalah:
1. Bagaimana pelaksanaan program terapi ABA bagi
anak penyandang autisme di YCHI?
2. Bagaimana dampak program terapi ABA dalam
meningkatkan keberfungsian sosial anak
penyandang autisme di YCHI?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Tujuan dari penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui pelaksanaan program terapi ABA
bagi anak penyandang autisme di YCHI.
b. Untuk mengetahui dampak program terapi ABA
dalam meningkatkan keberfungsian sosial anak
penyandang autisme di YCHI.
11

2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut:
a. Manfaat Akademik
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
wawasan dan informasi bagi siapapun yang
membacanya.
2. Penelitian ini dapat dijadikan referensi literasi
mengenai pelaksanaan program terapi ABA,
terutama bagi anak penyandang autisme.

b. Manfaat Praktik
1. Hasil penelitian ini diharapkan membantu
pemikiran kepada YCHI dalam mengevaluasi dan
mengembangkan program terapi ABA dalam
meningkatkan keberfungsian sosial anak
penyandang autisme.
2. Hasil penelitian diharapkan membantu para
praktisi yang berprofesi di bidang disabilitas agar
dapat mengemban tugas dengan baik.

E. Review Kajian Terdahulu


Review kajian terdahulu dapat digunakan sebagai
acuan untuk membantu dan mengetahui dengan jelas
penelitian ini, penulis menggunakan keputusan berupa skripsi
12

dan jurnal. Ada beberapa skripsi dan jurnal yang berhubungan


dengan judul yang penulis ambil, diantaranya:

1. Jurnal hasil karya Nofri Juliamet dan Sofyan Cholid, Jurnal


Ilmu Kesejahteraan Sosial, Pelatihan Terapi Autis Metode
Applied Behaviour Analysis (ABA) (Studi Kasus Pada Proses
Pelatihan Terapi Autis Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1
Tangerang), Universitas Indonesia, 2015.

Dalam penelitian ini, Nofri dan Sofyan selaku peneliti


memberikan penjelasan bagaimana proses pelatihan terapi
bagi anak penyandang autisme melalui terapi ABA di
Lembaga Pemasyarakatan 1 Tangerang. Pada penelitian ini
Nofri dan Sofyan membagi terapi ABA menjadi tiga tahapan,
yaitu: pra pelatihan, pelatihan dan paska pelatihan. Persamaan
penelitian ini dan penelitian saya adalah keduanya sama-sama
membahas terapi ABA. Sedangkan perbedannya ialah,
penelitian ini membahas proses pelatihan terapi ABA,
sedangkan penelitian yang akan saya teliti membahas
keberfungsian sosial sebagai feedback dari keberhasilan terapi
ABA.

2. Jurnal hasil karya Raden Roro Ajeng Jane dan Drs. M. Ilmi
Hatta, M.Psi, Pengaruh Terapi Aba Terhadap Interaksi Sosial
Anak Autis, Universitas Islam Bandung, 2015.

Dalam penelitian ini Raden Roro dan Ilmi


menjelaskan tentang pengaruh terapi ABA dan interaksi
13

sosial yang merupakan feedback dari program terapi ABA.


Penelitian ini membahas tentang interaksi sosial anak yang
telah mengikuti terapi ABA. Persamaan penelitian ini dengan
penelitian saya adalah keduanya sama-sama membahas
keberhasilan dari terapi ABA bagi ABK. Sedangkan
perbedannya ialah, penelitian ini membahas interaksi sosial
sebagai feedback dari keberhasilan terapi ABA, sedangkan
penelitian yang akan saya teliti membahas keberfungsian
sosial sebagai feedback dari keberhasilan terapi ABA.

3. Penelitian hasil karya Silvi Nanda Revita, Pengaruh Terapi


Aba (Applied Behaviour Analysis) Terhadap Kemampuan
Bahasa Reseptif Pada Anak Autis Usia 3-6 tahun, Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan Patria Husada Blitar, 2014.

Hasil dari penelitian ini adalah pengaruh terapi ABA


dilihat melalui kemampuan bahasa reseptif pada anak autis
sebagai feedback dari program tersebut. Persamaan penelitian
Silvi pada tahun 2014 ini adalah menggunakan metode
kualitatif sebagai metode penelitian yang melihat bagaimana
pengaruh program terapi ABA bagi penerima manfaat.
Sedangkan perbedaannya adalah feedback atau dampak dari
terapi ABA. Jika penelitian Silvi ini menjelaskan feedback
berupa kemampuan bahasa reseptif, sedangkan penelitian
saya menjelaskan feedback berupa keberfungsian sosial anak
penyandang autisme.
14

4. Skripsi hasil karya Siska Patdriani, Pelaksanaan Terapi


Keterampilan Sosial Bagi Anak Autis Di Lembaga
Pendidikan Khusus Dan Pendidikan Layanan Khusus
Mutiara Bunda Bengkulu, Institut Islam Negeri Bengkulu,
2018.
Dalam penelitian ini Siska menjelaskan tentang
pelaksanaan terapi keterampilan sosial yang ada di lembaga
Mutiara Bunda. Terapi tersebut adalah terapi ABA dan terapi
wicara. Terdapat beberapa media yang digunakan dalam
terapi ABA, yaitu: puzzle, bola, gambar dan lukisan. Terapi
wicara menggunakan metode listening skill, dimana medianya
adalah TV dan HP. Persamaan penelitian Siska dan peneliti
adalah sama-sama meneliti program terapi ABA. Sedangkan
perbedaannya adalah penelitian Siska berfokus pada tahap
pelaksanaan, sedangkan penelitian ini melihat dampak dari
program terapi ABA.

5. Penelitian hasil karya Evi Sulistyawati, Penerapan Metode


Terapi Perilaku Pada Anak Usia Dini Dengan Autisme (Studi
Deskriptif Di Pusat Layanan Disabilitas Dan Pendidikan
Inklusif Kota Surakarta Dan Mutiara Center Kota Surakarta),
Universitas Negeri Semarang, 2018.
Dalam penelitian ini Evi menjelaskan tentang metode
terapi perilaku yang dilaksanakan di dua tempat, yaitu di
Pusat Layanan Disabilitas dan Mutiara Center. Hasil peneltian
15

ini adalah terdapat beberapa metode dari terapi perilaku yang


dilaksanakan pada dua tempat tersebut, yaitu: terapi ABA,
play therapy, floor time serta campuran dari ketiganya.
Persamaan dari penelitian Evi dan penelitian peneliti adalah
keduanya sama-sama membahas program terapi ABA.
Sedangkan perbedaannya adalah, penelitian Evi
membandingkan metode terapi perilaku yang dilaksanakan
pada dua tempat dan penelitian peneliti berfokus pada
pelaksanaan program terapi ABA pada satu tempat dengan
meneliti feedback dari terapi ABA yaitu keberfungsian sosial.

F. Metode Penelitian
Untuk melaksanakan sebuah penelitian diperlukan
metode atau cara untuk mengumpulkan berbagai data yang
diperlukan. Berikut metode-metode yang dipakai dalam
penelitian ini:
1. Pendekatan Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan kualitatif, Creswell mendefinisikannya
sebagai suatu pendekatan atau penelusuran untuk
mengeksplorasi dan memahami suatu gejala sentral (Raco
2010). Sedangkan penelitian menurut (Sugiyono 2015)
adalah suatu metode penelitian yang berlandaskan pada
filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada
kondisi objek yang alamiah dimana peneliti adalah
16

sebagai instrumen kunci, pengambilan sampel sumber


data dilakukan dengan purposive, teknik pengumpulan
dengan triangulasi, analisis data bersifat induktif/kualitatif
dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna
daripada generalisasi.
Penelitian kualitatif dipilih berdasarkan tujuan
penelitian yang ingin mendapatkan gambaran pelaksanaan
program terapi ABA dan bagaimana dampak program
terapi ABA bagi anak penyandang autisme di YCHI.
2. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis
penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif yang bertujuan
untuk membuat deskripsi tentang fakta-fakta dan sifat-
sifat suatu populasi atau daerah tertentu secara sistematik
dan teliti (Subagyo 2015). Berdasarkan penjelasan
tersebut peneliti akan mendeskripsikan dampak program
terapi ABA dalam meningkatkan keberfungsian sosial
anak penyandang autisme berdasarkan tiga kemampuan,
yaitu memenuhi kebutuhan dasar, kemampuan dalam
melaksanakan peranan sosial, serta kemampuan dalam
menghadapi goncangan dan terkanan.

3. Tempat dan Waktu Penelitian


a. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang diambil peneliti dalam
mencari data dan informasi terkait dengan penelitian
17

adalah YCHI yang beralamat di Ruko Green Rafflesia 8G


Jl. WR Supratman, Pondok Ranji, Tangerang Selatan,
Banten.
b. Waktu Penelitian
Waktu penelitian atau kegiatannya kurang lebih
selama 6 bulan terhitung mulai bulan Agustus 2020
sampai dengan bulan Februari 2021.

4. Sumber Data
Terdapat dua jenis sumber data yang dijadikan
acuan dalam melakukan penelitian ini, yaitu sumber data
primer dan sekunder:
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh melalui
proses penelitian secara langsung terhadap sasaran
penelitian atau informan di YCHI. Data primer ini
diperoleh melalui wawancara kepada informan secara
detail seperti kepala bidang program dan petugas yang
bertanggung jawab atas program tersebut.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diambil secara
tidak langsung dari sumber yang sudah ada. Data
sekunder biasanya dapat diperoleh dari website YCHI,
dokumen, arsip-arsip, jurnal, surat kabar dan literatur
yang memiliki keterkaitan dengan penelitian.
5. Teknik Pengumpulan Data
18

Pengumpulan data merupakan suatu proses dalam


penelitian, karena melalui pengumpulan data peneliti bisa
menemukan hasil yang diinginkan dalam penelitian.
Dalam pengumpulan data, peneliti harus bisa
mengumpulkan sampel dalam penelitian untuk
mendukung penelitian yang akan diteliti. Setelah
penentuan sampel, peneliti melakukan pengumpulan data
untuk penelitian.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua
teknik untuk mengumpulkan data secara menyeluruh.
Adapun teknik yang akan dilakukan yaitu:
a. Teknik Wawancara
Wawancara merupakan suatu kegiatan yang
dilakukan untuk mendapatkan informasi secara
langsung dengan mengungkapkan pertanyaan-
pertanyaan kepada informan (Subagyo 2015). Dalam
penelitian ini peneliti melakukan wawancara kepada
beberapa pihak guna mengetahui standar pelayanan di
YCHI, pelaksanaan program terapi ABA dan
mengetahui dampak dari terapi ABA dalam
meningkatkan keberfungsian sosial anak penyandang
autisme.
Dikarenakan kondisi pandemi dan pembatasan
sosial, maka wawancara ada yang dilakukan secara
langsung (tatap muka) dan melalui telepon Whatsapp.
19

Maka dari itu, peneliti mengakui tentunya ada


kekurangan dalam proses wawancara ini, mengingat
penelitian-penelitian sebelumnya yang menggunakan
metode kualitatif melakukan wawancara secara
langsung. Namun, peneliti yakin hal tersebut tidak
mengurangi validitas data yang telah didapatkan.
b. Teknik Dokumentasi
Teknik Dokumentasi yang digunakan dalam
penelitian ini berupa foto-foto, laporan hasil kegiatan
dari YCHI, buku-buku dan literatur yang berkaitan
dengan penelitian.
6. Teknik Pemilihan Informan
Sesuai dengan karakteristik penelitian kualitatif
maka teknik pemilihan responden dalam penelitian ini
menggunakan metode purposive sampling. Purposive
sampling adalah sample yang dipilih karena
pertimbangan-pertimbangan agar sesuai dengan tujuan
peneliti. Dalam hal ini, tidak semua responden dapat
menjadi informan, harus disesuaikan dengan kebutuhan
peneliti. Hal terpenting bukan dilihat dari jumlah
respondennya, tetapi potensi dari setiap kasus untuk
memberikan pemahaman teoritis yang lebih baik
mengenai hal yang dipelajari. (Sugiyono 2012)
. Informan dipilih berdasarkan pertimbangan
tertentu dan dianggap sebagai orang-orang yang tepat
20

dalam memberikan informasi tentang upaya YCHI dalam


meningkatkan keberfungsian sosial anak penyandang
autisme melalui program terapi ABA. Informan dalam
penelitian ini adalah orangtua dari penyandang autisme,
dikarenakan adanya keterbatasan komunikasi dengan
penyandang autisme, maka wawancara dilakukan dengan
orangtua sebagai informan.
Adapun pedoman wawancara dalam penelitian ini
yaitu:
21

Tabel 1. 1 Informan

No. Informasi yang dicari Informan Jumlah


1. Gambaran umum Ketua 1 Orang
lembaga, infomasi latar Harian
belakang, studi YCHI
dokumentasi serta
maksud dan tujuan
berdirinya YCHI.
2. Gambaran umum Pengurus 1 Orang
lembaga, infomasi latar YCHI
belakang, studi
dokumentasi serta
maksud dan tujuan
berdirinya YCHI.
3. Pelaksanaan program Terapis 2 Orang
terapi ABA bagi anak
penyandang autisme
4. Dampak yang Orang tua 2 Orang
dirasakan setelah anak
mengikuti program penyandang
terapi ABA dalam autisme
meningkatkan
keberfungsian sosial

7. Teknik Analisis Data


Proses analisis data dimulai dari reduksi data yang
dapat diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan
perhatian yang didapat dari data yang tersedia di
lapangan. Langkah berikutnya adalah penyajian data yang
dilakukan dengan menyusun informasi sehingga memberi
kemungkinan akan adanya penarikan kesimpulan. Bentuk
penyajian data kualitatif berupa teks naratif, matriks,
grafik, jaringan dan bagan. Langkah terakhir adalah
22

penarikan kesimpulan yang dapat digunakan untuk


mengambil tindakan (Hadi Sutopo 2010).
Dalam hal ini yang peneliti lakukan adalah peneliti
melakukan wawancara kepada ketua, pengurus, terapis
YCHI dan orang tua anak penyandang autisme. Peneliti
mengamati seluruh data dan hasil wawancara secara detail
dan kemudian data yang telah dikumpulkan selanjutnya
peneliti rangkum. Kemudian data tersebut diringkas,
dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok dan penting,
dikategorikan dan disusun secara sistematis dengan
mengacu pada rumusan masalah dan tinjauan teoritis yang
berkaitan dengan penelitian.

8. Teknik Keabsahan Data


Teknik triangulasi data adalah teknik pengumpulan
data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik
dan pengumpulan data dan sumber data yang telah ada.
Teknik pengumpulan data yang berbeda-beda untuk
mendapatkan data dari sumber yang sama. Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan wawancara
mendalam, dan dokumentasi untuk sumber data yang
sama.
Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti
menggunakan teknik triangulasi data, lalu peneliti
mengomparasikan hasil data yang diperoleh hasil dari
wawancara dan dokumentasi serta mengomparasikan hasil
23

temuan data dari informan yang satu dengan yang lainnya


di tempat dan waktu yang berbeda.

G. Sistematika Penulisan
Agar pembahasan ini menjadi sistematis serta untuk
mempermudah analisa materi dalam penulisan skripsi, maka
peneliti akan menjelaskan sistematika penulisan. Secara
umum, skripsi ini terdiri dari enam bab dengan beberapa sub
bab. Berikut adalah sistematika penulisannya secara lengkap:

BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini membahas Latar Belakang Masalah,
Pembatasan Masalah, Rumusan Masalah, Manfaat Penelitian,
Review Kajian Terdahulu dan Sistematika Penulisan.

BAB II LANDASAN TEORI


Pada bab ini menjelaskan tentang Landasan Teori
yang memperjelas pemahaman teoritis relevansinya dengan
penelitian ini. Maka dalam bab ini akan dijelaskan tentang
program terapi ABA dalam meningkatkan keberfungsian
sosial anak penyandang autisme dan kerangka berpikir.

BAB III GAMBARAN UMUM LEMBAGA


Pada bab ini peneliti menjelaskan mengenai gambaran
tentang profil keseluruhan dari YCHI, baik secara historis,
struktur organisasi dan alur penanganan klien.
24

BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN


Pada bagian ini menjelaskan tentang uraian penyajian
dan data temuan penelitian yang dilakukan di lapangan sesuai
dengan judul “Program Terapi ABA Dalam Meningkatkan
Keberfungsian Sosial Anak Penyandang Autisme Di YCHI”

BAB V PEMBAHASAN
Pada bagian ini peneliti akan melakukan analisis
secara deskriptif tentang bagaimana pelaksanaan program
terapi ABA bagi anak penyandang autisme serta dampak dari
program terapi ABA dalam meningkatkan keberfungsian
sosial anak penyandang autisme di YCHI.

BAB VI SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN


Pada bagian ini berisi kesimpulan, implikasi dan saran
mengenai penelitian tersebut. Diakhir penulisan penulis juga
memasukkan daftar pustaka dan lampiran-lampiran
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Landasan teori akan mendasari dan menjadi analisis


dalam sebuah penelitian, yang tujuannya adalah untuk
memperjelas masalah yang akan diteliti. Teori yang akan
digunakan dalam penelitian ini merupakan pembahasan semua
hal terkait proses pembuatan skripsi peneliti. Dimulai dari
menentukan topik sampai proses analisa permasalahan skripsi.
Berikut adalah landasan teori yang digunakan dalam penelitian
ini:

A. Program Terapi ABA


Menurut Gittinger dalam jurnal (Peningkatan, Hutan,
and Penelitian 2015) menjelaskan bahwa program pada
dasarnya adalah kumpulan kegiatan yang dapat dihimpun
dalam suatu kelompok yang sama secara mandiri atau
bersama-sama untuk mencapai suatu tujuan dan sasaran yang
sama. Program yang akan dibahas penelitian ini adalah
program teapi ABA.

1. Pengertian Terapi ABA


Terapi ABA memiliki banyak istilah lain yang
memiliki makna yang sama, istilah-istilah tersebut antara
lain: Discrete Trial Training (DTT), Intensive Behavioral

25
26

Intervention (IBI), Behavioral Therapy, Behavioral


Treatment, dan Behavioral Management. Dari semua
istilah-istilah diatas, dapat diartikan bahwa terapi ABA
merupakan terapi perilaku. Terapi perilaku dilakukan
pada dasarnya adalah untuk membentuk perilaku yang
lebih baik dan meminimalkan perilaku yang tidak wajar.
Menurut (Sutady 2002) pengertian ABA adalah
sebuah ilmu yang menggunakan prosedur perubahan
perilaku untuk membantu individu membangun
kemampuan dengan ukuran nilai-nilai yang ada di
masyarakat. Sedangkan menurut (Danuatmaja 2003)
terapi ABA yaitu suatu metode untuk membangun
kemampuan secara sosial bermanfaat dan mengurangi
atau hal-hal kebalikannya yang merupakan masalah.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan
bahwa terapi ABA merupakan suatu metode terapi
perilaku untuk mengurangi perilaku-perilaku yang
bermasalah. Terapi ABA menggunakan pendekatan
behavioral, dimana intervensi dini anak penyandang
autisme menekankan pada kepatuhan anak, keterampilan
anak dalam meniru dan membangun kontak mata.

2. Tujuan Terapi ABA


Menurut (Handojo 2003) ada beberapa tujuan
terapi yang perlu ditetapkan dan diingat, yaitu sebagai
berikut:
27

a. Komunikasi dua arah yang aktif


Mereka dapat melakukan percapakan paralel dan
dapat juga melontarkan hal-hal lucu. Tujuan ini harus
selalu diingat, sehingga kemampuan anak dapat terus
ditingkatkan sampai mendekati kemampuan anak normal.
b. Sosialisasi kedalam lingkungan
Setelah anak dapat berkomunikasi dengan cukup
baik, anak dapat melakukan hal-hal yang menyangkut
dengan hal-hal yang bersifat general. Hal ini dapat berupa
generalisasi subjek, intruksi, objek, respon anak ketika
berada dalam lingkungan yang berbeda.
c. Menghilangkan dan meminimalkan perilaku tidak
wajar
Perilaku tidak wajar pada anak dapat perlahan
menghilang. Perilaku ini perlu dihilangkan sebelum usia
lima tahun, agar tidak mengganggu kehidupan sosial anak
saat dewasa.
d. Mengajarkan materi akademik
Kemampuan akademik sangat bergantung pada IQ
anak. Apabila IQ anak dibawah normal, maka
kemmapuan akademiknya akan sulit untuk
dikembangkan. Maka dari itu, tujuannya agar IQ anak
dapat naik.
e. Kemampuan bantu diri atau bina diri dan keterampilan
lain
28

Ini adalah kemampuan dasar yang diperlukan oleh


semua individu, seperti makan, minum, memasang dan
melepas pakaian, dan sebagainya. Pada anak yang lebih
besar diajarkan keterampilan lain seperti berenang,
melukis, memasak, berolahraga, dan sebagainya.

3. Metode Terapi ABA


Menurut (Handojo 2003) ada beberapa hal yang
berkaitan dengan metode ABA yang perlu diketahui, yaitu
sebagai berikut:
a. Kaidah yang mendasari
Timbulnya suatu perilaku didasari oleh suatu
sebab atau antecendent. Kemudian suatu perilaku akan
memberikan suatu akibat atau konsekuensi atau lebih
dikenal dengan operant conditioning, yaitu :

Tabel 2. 1
Skema Operant Conditioning

ANTECENDENT BEHAVIOUR CONSEQUENCE

Operant Conditioning yang dapat diartikan


sebagai sebuah kondisi yang menimbulkan respon.
Pengertian akan rumusan ini sangat penting dalam
menghilangan perilaku tidak wajar seorang anak. Dengan
29

dasar rumusan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa


suatu perilaku anak didasari oleh suau penyebab.
Selanjutnya dijelaskan apabila suatu perilaku bila
diberi reinforcement (imbalan yang tepat) akan semakin
sering dilakukan, dan sebaliknya apabila suatu perilaku
tidak diberi imbalan maka perilaku tersebut akan terhenti.
Kaidah ini disebut dengan respondent conditioning, yaitu
sebuah kondisi dimana respon seseorang dapat diprediksi.

Tabel 2. 2
Skema Respondent Conditioning

PERILAKU + IMBALAN TERUS DILAKUKAN

PERILAKU – IMBALAN AKAN TERHENTI

Terapi perilaku ABA mempelajari bagaimana


individu bencana rangsangan, bencana dari sebuah
tanggapan dan bagaimana situasi ini mempengaruhi
kejadian di masa yang akan datang. Metode ini dapat
melatih semua keterampilan yang tidak dimiliki anak,
dari reaksi sederhana (seperti memandang orang lain
atau kontak mata) hingga keterampilan kompleks lainnya
(seperti komunikasi spontan atau interaksi sosial).
30

4. Teknik Terapi ABA


Menurut (Danuatmaja 2003) ada beberapa teknik
yang perlu diketahui sebelum memberikan terapi ABA
kepada anak. Teknik tersebut yaitu :

a. Instruksi
Instruksi yang diberikan pada waktu melakukan
terapi ABA harus singkat, jelas dan konsisten. Yang
dimaksud dengan singkat adalah instruksi hanya diberikan
satu kata, misalnya : lihat, tiru buka, tutup, tunjuk,
cocokkan. Terapis hanya mengucapkan kata kunci dan
diberikan dengan suara netral, cukup keras dan tegas
tetapi tidak membentak. Intruksi harus jelas, artinya
sesuai dengan apa yang diajarkan dan hanya mengajarkan
satu aktivitas.
Misalnya, terapis menerapkan perintah melepas
kancing, maka perintahnya “tiru” tetapi bersamaan
dengan prompt melepas kancing. Jika terapis memberikan
perintah “melepas kancing”, tetapi terapis juga ikut
melepas kancing, maka perintahnya menjadi tidak jelas.
Apakah terapis sedang mengatur instruksi (meniru) atau
perintah sederhana satu tahap (ikuti instruksi satu
langkah).
Instruksi konsisten adalah kata-kata yang
digunakan terapis untuk satu instruksi tahap awal harus
persis sama, misalnya “masukkan”, tidak boleh ada yang
31

memberikan perintah lain dengan kata “masukkin” atau


“masukken” karena anak akan menangkapnya sebagai
perintah yang berbeda.
b. Respon
Dalam menanggapi terapis, anak yang akan
melakukan dengan benar, setengah benar, salah atau tidak
merespon sama sekali. Jika anak merespon, biarkan sekiar
2-3 detik untuk anak memulai responnya, berikan umpan
balik lisan ringan, misalnya “tidak”. Kemudian ulangi
intruksi sekali lagi. Jika anak tetap salah atau tidak
merespons, berikan umpan balik ringan “tidak”, kemudian
berikan yang ketiga kali dan bersamaan dengan prompt,
seperti sentuhan di lengan atau bantuan penuh pada
tangan (hand over hand), setelah itu memberikan
keseimbangan. Setelah tenggat waktu (interval antar
suku), uji coba diulangi lagi dengan hitungan nomor
satu.Prompt (bantuan, dorongan dan arahan)
Prompt adalah setiap bantuan yang diberikan
kepada anak untuk menghasilkan respon yang benar.
Prompt merupakan tambahan, jadi tidak selalu digunakan,
bahkan saat pertama kali latihan. Misalnya, jika diukur
dengan “pegang hidung” yang diberikan dan anak tidak
merespons, maka terapis dapat melakukan prompt secara
fisik dengan menggerakkan tangan anak ketika
memberikan "pegang hidung".
32

Prompt disingkat dengan P. Prompt dapat


diberikan secara penuh yaitu hand on hand, dengan cara
tangan terapis memegang tangan anak dan mengarahkan
ke perilaku yang diinstruksikan. Prompt dapat dilakukan
dengan berbagai cara, misalnya: dengan menunjuk, gerak
tubuh, melalui pandangan mata ataupun dengan cara
verbal.
Setelah dilakukan berbagai cara dalam
melaksanakan terapi ABA, terapis wajib memberikan
imbalan kepada anak. Imbalan adalah “hadiah” yang
diberikan oleh terapis ketika anak berhasil melakukan
suatu perintah dan dapat diberikan juga agar anak mau
melakukan terus dan menjadi paham pada konsepnya.
Menurut (Sugiarmin 2006) ada beberapa jenis
reinforcement atau imbalan yang dapat diberikan kepada
anak yang mengikuti program terapi ABA, yaitu
diantaranya :
1) Komentar positif
2) Stiker, perangko, pulpen dan pembatas buku
3) Piagam dan sertifikat
4) Tanggung jawab tambahan didalam kelas
5) Mengajak anak keluar kelas
6) Memberi waktu bebas
7) Memberikan pilihan beragam mainan, dan lain-
lain.
33

B. Keberfungsian Sosial

1. Pengertian
Menurut Barker, Dubois dan Miley dalam buku
(Suharto 2014) menjelaskan bahwa keberfungsian sosial
dapat dilihat dari kemampuan dalam memenuhi
kebutuhan dasar, baik diri sendiri maupun keluarga serta
berkontribusi kepada masyarakat dengan lingkungan.
Sedangkan menurut Siporin dalam buku (Fahrudin
2014) mengungkapkan bahwa keberfungsian sosial adalah
bentuk perilaku agar dapat melaksanakan tugas kehidupan
dan memenuhi kebutuhan mereka. Seorang manusia dapat
dikatakan berfungsi apabila mampu menjalankan peranan
sosial dan melaksanakan tugas yang dianggap pokok atau
penting dan diminta untuk melaksanakannya.
Berdasarkan kedua definisi diatas, peneliti akan
menggunakan teori keberfungsiaan sosial untuk
mengetahui kemampuan manusia dalam menjalankan
kehidupan serta melaksanakan peranan sosialnya
khususnya pada anak penyandang autisme.

2. Konsep Keberfungsian Sosial


Menurut (Suharto 2014) keberfungsian sosial
merupakan suatu bentuk kemampuan baik orang
(individu, keluarga, kelompok atau masyarakat) maupun
sistem sosial (lembaga dan jaringan sosial) dalam
memenuhi kebutuhan dasar, menjalankan peranan sosial
34

dan menghadapi goncangan dan tekanan (stressed and


shocked).

Keberfungsian
Sosial

Sistem Orang
Sosial
Memiliki
kemampuan
atau
kapasitas
dalam

 Memenuhi/Merespon kebutuhan dasarnya


(pendapatan, pendidikan dan kesehatan)
 Melaksanakan peran-peran sosial sesuai dengan tugas
dan statusnya
 Menghadapi goncangan dan tekanan (misalnya
masalah psikososial dan ekonomi)

Gambar 2. 1 Konsep Tentang Keberfungsian Sosial (Suharto


2014)
35

3. Indikator Keberfungsian Sosial


Untuk melihat keberfungsian sosial pada anak
penyandang autisme, peneliti menggunakan tiga aspek
kemampuan yang dianggap pokok yaitu: memenuhi
kebutuhan dasar, melaksanakan peranan sosial,
menghadapi goncangan dan tekanan.
a. Kemampuan dalam Memenuhi Kebutuhan Dasar
Maslow dalam buku (Hidayat 2006)
mengungkapkan bahwa seseorang dapat dikatakan
mampu memenuhi kebutuhan dasar apabila mampu
memenuhi lima tingkatan kebutuhan (five hierarchy of
needs) yaitu yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan
rasa aman dan keamanan, kebutuhan rasa cinta dan
memiliki, kebutuhan harga diri serta kebutuhan
aktualisasi diri.

Gambar 2. 2 Kebutuhan Menurut Maslow


36

1) Kebutuhan Fisiologis, kebutuhan ini merupakan


kebutuhan yang paling dasar, yaitu kebutuhan seperti
oksigen, cairan (minuman), nutrisi (makanan),
keseimbangan suhu tubuh, tempat tinggal, istirahat
dan tidur serta kebutuhan seksual.
2) Kebutuhan Rasa Aman dan Perlindungan, kebutuhan
ini meliputi perlindungan atas ancaman terhadap
hidup atau tubuh serta aspek psikologis yaitu
perlindungan atas ancaman dari pengalaman yang
baru dan asing.
3) Kebutuhan Rasa Cinta Serta Rasa Memiliki,
kebutuhan ini meliputi memberi dan menerima kasih
sayang, mendapatkan kehangatan keluarga, memiliki
sahabat, diterima oleh kelompok sosial, dan lain
sebagainya.
4) Kebutuhan Harga Diri, kebutuhan ini meliputi harga
diri dan perasaan dihargai oleh orang lain terkait
dengan keinginan untuk mendapatkan kekuatan,
meraih prestasi, rasa percaya diri dan kemerdekaan
diri.
5) Kebutuhan Aktualisasi Diri, kebutuhan akan
aktualisasi diri merupakan kebutuhan tertinggi dalam
hierarki Maslow, berupa kebutuhan untuk
berkontribusi pada orang lain atau lingkungan serta
mencapai potensi diri sepenuhnya.
37

b. Kemampuan Dalam Melaksanakan Peran Sosial


Kemampuan melaksanakan peranan sosial
dijelaskan oleh (Suharto 2014) sebagai kapasitas
seseorang dalam menjalankan tugas-tugas
kehidupannya sesuai dengan status sosialnya.
Seseorang dapat dikatakan berfungsi sosial, bila
mereka mampu menjalankan peranan-peranannya
sesuai dengan status sosial, tugas-tugas dan tuntutan
norma lingkungan sosialnya.
Sementara itu, menurut (Raho 2014) peran
didefinisikan sebagai pola perilaku individu yang
diharapkan masyarakat memiliki status atau posisi
tertentu dalam masyarakat. Seseorang tidak hanya
memegang posisi tetapi juga memainkan peran.
Norma budaya kita mengajarkan bahwa orang dengan
status tertentu harus bertindak sesuai dengan harapan
masyarakat atas status tersebut.
Peran sosial diuraikan dalam beberapa
komponen. Menurut (Achlis 1996) komponen
tersebut diantaranya:
1) Komponen aktivitas, setiap peran yang
mengandung tingkah laku atau aktivitas-aktivitas
tertentu yang harus dilakukan oleh seorang
individu dalam bisnis dengan status tertentu.
38

2) Komponen interaksi, setiap pihak yang terlibat


interaksi dengan lingkungan sekitar.
3) Komponen harapan-harapan dan norma-norma
sosial. Peranan bekerja dengan adanya harapan-
harapan sosial serta norma-norma sosial bagi
aktivitas dan interaksi dengan orang lain.
4) Komponen nilai-nilai emosional dan sentimental.
Harapan-harapan dan norma-norma sosial, usaha
dan balas jasa, aksi dan tanggap, kewajiban dan
ketidakseimbangan, semua dirangsang dan
merangsang emosi.
c. Kemampuan dalam Menghadapi Goncangan dan
Tekanan
Kemampuan dalam menghadapi masalah atau
tekanan (problem solving) menurut Lubis dalam
jurnal (Patnani 2013) disamakan dengan pengambilan
keputusan, sementara pemecahan masalah lebih
spesifik dilakukan oleh konselor kepada kliennya
dengan pendekatan psikologi. Menurut Sanjaya,
pemecahan masalah (problem solving) juga diartikan
sebagai suatu proses mental dan intelektual dalam
menemukan masalah dan memecahkan berdasarkan
data dan informasi yang akurat, sehingga dapat
diambil kesimpulan yang tepat dan cermat.
39

Brandsford dan Stein dalam Jurnal (Patnani


2013) membagi lima langkah dalam memecahkan
masalah, sebagai berikut:
1) Identifikasi Masalah, langkah ini merupakan
langkah pertama dimana seseorang diharuskan
untuk memahami suatu masalah yang sedang
dialaminya.
2) Penggambaran Masalah, langkah ini merupakan
gambaran sederhana dari masalah yang dihadapi
biasanya menggunakan alat bantu seperti grafik,
gambar, daftar yang berguna untuk membantu
seseorang untuk memahami masalah.
3) Pemilihan Strategi Pemecahan Masalah, langkah
ini dilakukan ketika seseorang menghadapi
masalah dan harus mempunyai rencana dalam
memecahkan masalah tersebut.
4) Implementasi Pemecah Masalah, langkah ini
dilakukan ketika seseorang telah membuat
rencana atas masalah yang dihadapinya.
5) Evaluasi Hasil, langkah ini dilakukan untuk
menilai strategi pemecahan masalah yang sudah
diterapkan benar-benar mampu mengatasi
masalah yang dihadapi dan perlunya seseorang
menilai strategi yang dibuat sudah sempurna atau
perlu diubah untuk tujuan yang diinginkan.
40

C. Anak Penyandang Autisme

1. Pengertian Autisme
Menurut Dawson & Catelloe dalam buku (Atmaja
2017) Leo Kanner adalah ahli psikologi yang paling awal
menggunakan istilah autisme pada tahun 1943. Kanner
mendefinisikan autisme sebagai ketidakmampuan dalam
berinteraksi dengan orang lain, memiliki gangguan dalam
berbahasa yang ditunjukkan dengan kurangnya
penguasaan bahasa, ekolalia, mutism, pembalikan kalimat,
adanya aktifitas bermain repetitive dan stereotype, urutan
keinginan yang kuat, serta keinginan obsesif untuk
mempertahankan keteraturan didalam lingkungan.
Pada tahun 1992, WHO (World Health
Organization) mengartikan autisme yang secara khusus,
yaitu child autism (autisme masa anak-anak) sebagai
adanya keabnormalan dan atau gangguan perkembangan
yang muncul sebelum usia tiga tahun dengan tipe
karakteristik tidak normalnya tiga bidang, yaitu interaksi
sosial, komunikasi dan perilaku yang diulang-ulang.

2. Karakteristik Anak Penyandang Autisme


Autisme merupakan salah satu gangguan
perkembangan yang merupakan bagian dari kelainan
Spektrum Autisme atau Autism Spectrum Disorder (ASD)
dan juga merupakan salah satu dari lima jenis gangguan
41

dibawah payung Gangguan Perkembangan Pervasif atau


Pervasive Development Disorder (PDD) (Atmaja 2017).
Dalam buku yang sama (Atmaja 2017)
menjelaskan mengenai setidaknya enam karakter yang
dimiliki anak yang mengalami autisme:
a. Masalah di Bidang Komunikasi
1) Kata yang digunakan terkadang tidak sesuai arti.
2) Mengoceh tanpa arti berulang-ulang
3) Berbicara tidak menggunakan alat bantu.
4) Senang meniru kata-kata tanpa mengerti artinya.
5) Senang menarik tangan orang lain untuk melakukan
apa yang diinginkan.
6) Sebagai anak autisme tidak berbicara atau sedikit
berbicara.
7) Perkembangan bahasa lambat atau sama sekali
tidak berbicara.
b. Masalah di Bidang Interaksi Sosial
1) Suka tempat yang sepi atau menyendiri.
2) Menghindari kontak mata secara langsung.
3) Kurang suka untuk bermain bersama teman sebaya.
4) Menolak untuk bermain bersama teman sebaya.
c. Masalah di Bidang Sensoris
1) Kurang merasakan sentuhan.
2) Kurang merasakan rasa sakit.
3) Kurang senang mendengar suara yang begitu keras.
42

4) Senang mengoral benda disekitarnya.


d. Masalah di Bidang Pola Bermain
1) Tidak bermain seperti teman sebayanya.
2) Tidak memainkan mainan dengan baik.
3) Sangat lekat dengan benda-benda tertenu.
4) Senang melihat benda yang berputar.
5) Kurang memiliki kreativitas dan imajinasi.
e. Masalah di Bidang Perilaku
1) Terkadang berperilaku berlebihan atau sebaliknya.
2) Melakukan sesuatu yang berulang.
3) Kurang menyukai perubahan disekitar mereka.
4) Merangsang diri.
5) Dapat terdiam dengan pandangan kosong.
f. Masalah di Bidang Emosi
1) Terkadang sering marah, menangis dan tertawa
tanpa alasan.
2) Terkadang agresif dan merusak benda disekitar.
3) Dapat marah besar dan tak terkendali.
4) Dapat menyakiti diri sendiri.
5) Kurang memiliki rasa empati.

3. Klasifikasi Autisme
Autisme dapat diklasifikasikan menjadi beberapa
bagian berdasarkan gejalanya. Menurut Childhood Autism
Rating Score (CARS). Klasifikasinya adalah sebagai
berikut:
43

1) Autisme Ringan
Pada kondisi ini anak autisme masih menunjukkan
adanya kontak mata walaupun tidak berlangsung
lama. Anak autisme pada jenis ini dapat memebrikan
sedikit respon jika dipanggil namanya, menujukkan
beberapa ekspresi dan berkomunikasi dua arah
meskipun hanya terjadi sesekali.
2) Autisme Sedang
Pada kondisi ini anak autisme masih menunjukkan
sedikit kontak mata, namun tidak memberikan respon
ketika namanya dipanggil. Tindakan agresif atau
hiperaktif, menyakiti diri sendiri dan gangguan
motorik yang agak sulit dikendalikan.
3) Autisme Berat
Pada kondisi ini anak autisme menunjukkan tindakan-
tindakan yang tidak terkendali. Biasanya anak autisme
membenturkan kepala ke tembok secara berulang dan
tanpa henti. Ketika orangtua berusaha mencegah,
namun anak tidak memberikan respon. Anak baru
berhenti setelah merasa kelelahan kemudian langsung
tertidur.

4. Penyebab Autisme
Menurut (Atmaja 2017) autisme pada anak dapat
disebabkan oleh kombinasi dari berbagai faktor, seperti
44

karena faktor genetik dan juga lingkungan sekitarnya.


Inilah teori dari para ilmuwan bidang psikologi dan
mental tentang penyebab autisme pada anak. Dalam teori
biologis ada beberapa faktor yang semuanya merujuk
pada aktivitas dari biologis manusia. Beberapa faktor
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Faktor Genetik
Genetik yang dimaksudkan disini adalah
keturunan dari keluarga yang menderita autis memiliki
risiko lebih tinggi untuk terkena autisme pada anak.
Genetik autis menjadikan desain abnormal yang terjadi
pada cabang genetik yang akan memengaruhi faktor
genetik dibawahnya, menyebabkan abnormalitas pada
pertumbuhan sel dan saraf.
b. Faktor Prenatal, Natal, dan Postnatal
Faktor ini dijelaskan seperti pendarahan pada
kehamilan awal, penggunaan obat-obatan, tangis bayi
dalam kelahiran awal yang terlambat, gangguan
pernapasan dan anemia, semuanya adalah faktor yang
dapat memengaruhi dan menyebabkan autisme pada anak.
Kegagalan pada pertumbuhan otak yang disebabkan
kurangnya nutrisi yang diperlukan dalam pertumbuhan
otak.
c. Faktor Neuro Anatomi
45

Sebuah gangguan fungsi pada sel-sel otak selama


masih didalam kandungan yang dapat disebabkan oleh
terjadinya hambatan oksigenasi perdarahan atau infeksi,
yang hal ini bisa memicu terjadinya autisme. Keadaan
bayi ketika masih dalam kadungan sangat penting
sehingga harus dijaga dengan baik.
d. Faktor Kelainan Struktur dan Biokimiawi Otak Serta
Darah
Faktor ini merupakan kelainan atau abnormalitas
yang terdapat pada cerebellum dengan sel-sel yang
memiliki kandungan serotonin dengan kadar tinggi.
Kemungkinan karena tingginya kandungan dopamine dan
upioids dalam darah. Hal ini bisa dipicu karena zat kimia
yang dikonsumsi.
e. Teori Psikososial Penyebab Autisme
Beberapa ahli dalam hal ini menganggap autisme
terjadi akibat hubungan yang dingin/tidak dekat dan akrab
diantara orang tua ibu dan anak. Bisa juga karena anak
diasuh terlalu kaku secara emosional, obsesif dan bersikap
tidak hangat dapat menyebabkan anak yang diasuh
menjadi autis.
f. Teori Faktor Keracunan Logam Berat Penyebab Autis
Dalam teori ini dimaksudkan pada anak yang
tinggal dekat dengan tambang mineral bumi, seperti
batubara, emas dan sebagainya. Keracunan yang
46

dikonsumsi ibu hamil ini bisa menyebabkannya autisme


pada anak yang dikandungnya. Ikan dengan kandungan
mineral (logam) berat dengan kadar tinggi yang dimakan
juga dapat menjadi penyebab.
g. Teori Autoimun Tubuh
Imun adalah kekebalan tubuh terhadap
virus/bakteri pembawa penyakit, sedangkan autoimun
adalah kekebalan yang dikembangkan oleh tubuh sendiri
yang justru kebal terhadap zat-zat penting dalam tubuh
dan menghancurkannya.

D. Model Disabilitas Menurut Pekerjaan Sosial


Urgensi mengenai pentingnya membentuk
lingkungan yang ramah disabilitas atau inklusif terhadap
disabilitas telah mendapatkan banyak perhatian yang
semakin meningkat dalam berbagai bidang. Namun,
sebelum itu diperlukan pemahaman mengenai berbagai
model disabilitas yang membentuk persepsi masyarakat
tentang penyandang disabilitas.

1) Model Medis: Disabilitas Merupakan Sebuah


Penyakit
Pada model ini, disabilitas dianggap sebagai
kecacatan dalam diri individu. Kondisi cacat adalah
keadaan dimana individu memiliki kekurangan fisik,
seperti anggota tubuh atau organ tidak berfungsi,
47

serta kondisi mental yang tidak sehat. Untuk


mendapatkan kualitas hidup yang baik, maka
kecacatan harus disembuhkan, diperbaiki atau
dihilangkan sama sekali. Pelayanan kesehatan
profesional dan sosial memiliki kekuasaan untuk
memperbaiki atau mengubah kondisi ini. Ketika
disabilitas dilihat dari sudut pandang negatif, rasa
kasihan dan malu sering disampaikan melalui media,
orang-orang pada komunitas, bahkan terkadang oleh
layanan kesehatan profesional. Sehingga, pada model
ini terjadi perdebatan karena dianggap pada praktik
asesmen dan medikalisasi memicu timbulnya
pelabelan atau stigmatisasi terhadap penyandang
disabilitas. (Millati 2016)
2) Model Sosial
Model ini mengambil pendekatan yang berbeda.
Model ini menyatakan bahwa disabilitas merupakan
ketidakmampuan untuk berpartisipasi penuh dalam
kehidupan rumah tangga dan komunitas. Memiliki
keterbatasan dalam berinteraksi, gangguan fungsional
dan hambatan pada fisik serta sosial untuk
berpartisipasi dalam lingkungan. Model ini
membedakan kecacatan dengan kerusakan.
Disabilitas adalah batasan yang diberlakukan oleh
masyarakat. Sedangkan, kerusakan adalah efek dari
48

kondisi tertentu. Menurut model ini, solusinya adalah


tidak terletak pada memperbaiki kepribadian
saja,melainkan mengubah persepsi masyarakat. Pada
perawatan medis, misalnya, tidak berfokus pada
penyembuhan untuk menghilangkan gangguan
fungsional dari tubuh, melainkan juga berfokus pada
peningkatan fungsi sehari-hari penyandang disabilitas
di masyarakat. Model sosial menyerukan diakhirinya
diskriminasi pada disabilitas melalui pendidikan,
akomodasi dan rancangan menyeluruh. Melalui
pendidikan ini akan membawa perubahan pada cara
berpikir masyarakat tentang disabilitas. (Model and
Model, n.d.)

E. Teori Sistem
Teori sistem adalah teori yang membedakan antara
praktik pekerjaan sosial dengan profesi penolong lainnya.
Hal ini disebabkan oleh profesi pekerja sosial yang sangat
memperhatikan pengaruh lingkungan sekitar klien ketika
proses intervensi dan penyelesaian masalah. Teori ini
memiliki konsep tentang struktur sistem, yaitu sebagai
berikut: sistem berkaitan dengan batasan antara energi
fisik dan mental yang berubah secara internal lebih dari
biasanya. Konsep sederhana dalam memproses sistem,
sebagaimana berikut:

a) Input: energi yang dimasukkan kedalam sistem


melewati batas
b) Throughput: Bagaimana energi digunakan dalam
sistem
49

c) Output: Dampaknya terhadap lingkungan dimana


energy melewati batas sistem
d) Feedback Loops: Informasi dan energi yang melewati
sistem disebabkan oleh outputnya, menjelaskan
hasilnya
e) Entropy: Sistem menggunakan energi mereka agar
tetap berjalan kecuali mereka menerima inputnya
diluar batasan, mereka lari dan mati

Contoh dari proses tersebut adalah jika seseorang


memberitahu kepada orang lain (input kedalam sistem).
Ini menyebabkan bagaimana sikap yang ditunjukkan oleh
orang yang diberitahu (throughput dalam sistem), perilaku
orang yang diberitahu berubah (output) dan orang yang
memberitahu melihat perubahan tersebut. Jadi, orang yang
memberitahu menerima timbal balik bahwa orang yang
diberitahu telah mendengarkan dan memhami apa yang
sudah dikatakan kepadanya (feedback loop).
Sistem dijelaskan melalui lima karakteristik
sebagaimana berikut:
a) Its Steady State: bagaimana seseorang
mempertahankan dirinya dengan cara menerima input
dan menggunakannya
b) Keadaan yang homoestatis dan equilibrism. Hal ini
merupakan kealamiahan manusia yang fundamental
meskipun input telah merupah. Misalnya, manusia
boleh memakan nasi, tetapi manusia tidak bisa
menjadi nasi. Manusia tetaplah manusia, sementara
nasi yang dimakan manusia akan berubah menjadi
energi dalam tubuh manusia.
c) Differensiasi: hal ini menjelaskan bahwa sistem
tumbuh lebih kompleks dengan komponen yang lebih
kompleks
50

d) Non Summative: hal ini menjelaskan bahwa


keseluruhan melebihi bagiannya
e) Reciprocity: hal ini menjelaskan jika salah satu
bagian sistem berubah, maka sistem bagian lain dapat
berubah.

Sebagai hasilnya, sistem menunjukkan batas akhir


(equifinality) dan multifinality (keadaan yang sama dapat
memberikan hasil yang berbeda) karena setiap bagian
sistem berinteraksi dalam berbagai cara yang berbeda.
Mereka membantu manusia dalam memahami
kompleksitas hubungan antar manusia dan mengapa hasil
dari aksi yang sama dapat berbeda.
Dapat disimpulkan bahwa teori sistem
mempengrauhi bagaimana individu berkembangan dengan
pengaruh lingkungan disekitarnya. Pengaruh tersebut
biasanya berdampak besar apabila diberikan melalui
lingkungan terdekat. Teori ini membantu pekerja sosial
dalam melakukan intervensi masalah klien dengan
mengidentifikasi bagaimana pengaruh lingkungan
terdekat klien dalam permasalahan yang dihadapi.
51

F. Kerangka Berpikir

Program Terapi ABA di YCHI:

 Melatih motorik kasar dan motorik halus


 Melatih bantu diri
 Pemberian materi pre-akademik
 Pemberian keterampilan

Anak penyandang autisme

Permasalahan:

 Masalah di bidang
komunikasi
 Masalah di bidang
interaksi sosial
 Masalah di bidang
sensoris
 Masalah di bidang
pola bermain
 Masalah di bidang
emosi

Keberfungsian Sosial

 Kemampuan memenuhi kebutuhan dasar


 Kemampuan melaksanakan peranan sosial
 Kemampuan menghadapi goncangan dan
tekanan
BAB III

GAMBARAN UMUM LEMBAGA

A. Latar Belakang
Pengalaman merawat dan membesarkan anak kedua
yang merupakan penyandang autisme membuat Bapak
Zulfikar Alimuddin dan Ibu Nita Susanti Sulaiman merasakan
empati akan keluarga pra-sejahtera yang memiliki anak
berkebutuhan khusus. Dalam benak mereka, terpikir bahwa
harga pendidikan khusus yang tidak murah membuat keluarga
pra-sejahtera kesulitan untuk menjangkaunya. Didasari oleh
hal tersebut, pada tahun 2009 Bapak Zulfikar dan Ibu Nita
mendirikan YCHI. Sampai sekarang, YCHI merupakan satu-
satunya badan yang konsisten menyediakan terapi perilaku
penyandang autisme gratis bagi keluarga pra-sejahtera di
Indonesia.
Pada tahun 2009, YCHI mulai beroperasi melakukan
penanganan anak autisme dari keluarga tidak mampu,
berkantor di alamat: Gedung City Lofts Building lantai 15
unit 1503 Jalan Mas Mansyur No.121 Jakarta Selatan.
Namun, pada saat itu sangat sedikit keluarga yang membawa
anaknya untuk terapi, sehingga Tim YCHI harus melakukan
door to door untuk menjelaskan mengedukasi keluarga
mengenai pendidikan dan terapi untuk ABK khususnya
penyandang autisme.

52
53

Selain menjelaskan secara door to door YCHI


bekerjasama dengan universitas-universitas dan berbagai
komunitas untuk menyelenggarakan seminar dan penyuluhan
mengenai ABK khususnya penyandang autisme. Di tahun
yang sama, YCHI mendirikan kantor kedua atau yang disebut
kantor kesekretariatan di Pondok Pinang, Jakarta Selatan.
Hingga sampai sekarang, YCHI terus berkembang dan saat
ini terdapat 135 anak didik dan 53 pengajar yang tersebar di 8
cabang dan 1 sekolah di seluruh Indonesia. (Wawancara
dengan Ketua Harian YCHI Pusat pada tanggal 11 Agustus
2020)
Yayasan ini didirikan diatas ruko dengan tiga lantai.
Pada lantai pertama terdapat playground, ruang tunggu dan
ruangan administrasi. Lantai kedua terdapat ruangan besar
yang digunakan sebagai kelas dengan tiga lemari besar yang
berisi mainan, peralatan untuk ABA serta untuk keperluan
terapis. Dibagian ujung dekat tangga terdapat wastafel yang
menempel dengan kamar mandi. Di tangga menuju kebawah
diletakkan pagar disertai kunci agar anak tidak dapat turun
tangga tanpa pengawasan terapis. Pada lantai tiga, terdapat
ruangan besar yang digunakan sebagai ruangan untuk
manajemen dengan meja, kursi, komputer, lemari, berkas-
berkas. (Hasil observasi pada tanggal 11 Agustus 2020)
54

B. Profil Yayasan Cinta Harapan Indonesia Pusat


YCHI merupakan sebuah lembaga non profit yang
berfokus dalam menangani ABK, terutama anak penyandang
autisme dengan memberikan program terapi ABA. Berikut
adalah profil YCHI Pusat:

1. Nama: Yayasan Cinta Harapan Indonesia (YCHI)


2. Ketua Penanggung Jawab: Jupri Abdul Mu’in
3. Jumlah anak aktif: 24 orang
4. Nomor Telepon: 021-29047548
5. Alamat: Ruko Rafflesia No.8G Jl. WR Supratman,
Rengas, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten.
6. Website: ychiautismcenter.org
7. Akta Notaris Pratiwi Handayani No.2 Tanggal 15 Mei
2009
8. NPWP: 02.930.172.8-022.000
9. SK Menteri Hukum dan HAM: AHU-2231AH.01.04
Tahun 2009.

C. Visi dan Misi


1. Visi: Pada tahun 2020, YCHI ingin menjadi pusat yang
terunggul dan terdepan dalam penanganan autisme
berbasis ABA (Applied Behaviour Analysis) melalui
pendidikan, pelatihan, keterapisan dan penelitian.
55

2. Misi:
a. Mengembangkan praktik terbaik dalam terapi ABA
bagi anak-anak dengan sindrom autisme dan
memberikan pelatihan keterampilan yang handal dan
dukungan bagi pendidikan serta sumber daya.
b. Membangun sebuah organisasi yang transparan dan
kredibel yang bergantung pada tiap individu dan kerja
tim.
c. Meningkatkan kesadaran tentang autisme di
masyarakat yang lebih luas dan pentingnya
pengetahuan tentang ABA dalam penanganan autisme.
d. Menyinergikan para pemegang kepentingan lain
seperti pergurungan tinggi, professional medis dan
lembaga lainnya.
e. Memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk
belajar dan berkontribusi dalam penanganan autisme
didunia kearah yang lebih baik melalui berbagai
program dan kegiatan YCHI serta mitranya.
f. Mengangkat kualitas secara khusus terhadap sumber
daya dan layanan keterapisan untuk anak
berkebutuhan khusus dari keluarga tidak mampu.
g. Membangun program riset dengan kolaborasi dengan
berbagai institusi untuk kemajuan ilmu pengetahuan
mengenai autisme. Dikutip dari brosur YCHI tahun
2016.
56

D. Struktur Organisasi

Gambar 3. 1 Struktur Kepengurusan YCHI

Sumber foto: Arsip Dokumentasi YCHI

G. Kegiatan dan Program


Dalam setiap lembaga tentunya terdapat program dan
kegiatan bagi penerima manfaat dari lembaga tersebut.
Adapun kegiatan dan program di Yayasan Cinta Harapan
Indonesia adalah sebagai berikut:
57

1. Asesmen
Asesmen adalah penelusuran riwayat gangguan
yang dialami oleh anak. Untuk semua anak yang akan
diberikan terapi, sebelumnya harus diasesmen terlebih
dahulu agar mengetahui sejarah dan anamnesa gejala
yang dialami oleh anak. Proses asesmen akan dilakukan
oleh Kepala Keterapisan YCHI.
2. Terapi Anak
Setiap anak akan mendapat program terapi
seminggu dua kali pertemuan. Masing-masing sesi
selama dua jam. Jika seminggu dua kali maka sebulan
terdapat delapan sesi pertemuan. Proses terapi akan
dilakukan oleh terapis yang sudah mendapakan
pelatihan.
3. Evaluasi Perkembangan
Setiap enam bulan sekali setelah terapi, YCHI
akan melakukan evaluasi hasil perkembangan anak.
Evaluasi dilakukan guna mengetahui sejauh mana
perkembangan dan kendala apa yang dialami seorang
anak sehingga kemudian dari hasil evaluasi dapat
dikeluarkan rekomendasi kepada orangtua. Evaluasi
dilakukan oleh seorang Case Manager YCHI.
4. Konseling Orangtua dan Manajemen Program
Program konseling dibutuhkan sebagai media
konsultasi untuk memberikan jawaban secara langsung
58

kepada pihak terkait atas masalah-masalah yang dialami


oleh anak yang tidak terpecahkan. Konseling akan
dilakukan oleh Kepala Keterapisan YCHI.
5. Pelatihan Orangtua
Pelatihan orangtua dilakukan dua bulan sekali
selama enam sesi, tujuannya untuk meningkatkan
pengetahuan dan skill orangtua dalam memberikan
terapi mandiri kepada anaknya.
6. Pelatihan Terapis
Untuk meningkatkan kompetensi terapis YCHI
juga melaksanakan pelatihan kepada terapis, pelatihan
dilaksanakan setiap dua bulan sekali. Satu kali pelatihan
terdiri dari enam sesi acara.
7. Hydrotherapy
Hydrotherapy merupakan sebuah kegiatan terapi
yang dilakukan didalam air (biasanya kolam renang).
Kegiatan ini dilaksanakan sebulan atau dua bulan sekali.

Gambar 3. 2 Kegiatan Hydrotherapy

Sumber foto: Arsip Dokumentasi YCHI


59

8. Yoga
Yoga dilakukan sebulan sekali selama dua sesi.
Tujuannya untuk meningkat fokus serta mengurangi
tantrum anak.

Gambar 3. 3 Kegiatan Yoga

Sumber foto: Arsip Dokumentasi YCHI

Selain program-program diatas, YCHI juga


melaksanakan program diluar dari keterapisan, yaitu
sebagai berikut:
1. Festival Joy & Hope, yaitu perlombaan menyanyi dan
fashion show untuk ABK. Selain itu, ada juga
performance dan pameran karya dari ABK.
2. Outbond, kegiatan ini diadakan bagi ABK yang
berasal dari keluarga pra-sejahtera.
60

3. Sosialisasi ke Sekolah, kegiatan sosialisasi dan


edukasi ke sekolah-sekolah mengenai pemahaman
tentang ABK dan terapi yang diperlukan.
4. Seminar dan Workshop, kegiatan seminar yang
dilakukan bekerjasama dengan berbagai universitas
dalam rangka mengedukasi mahasiswa dan
masyarakat mengenai ABK. Wawancara dengan
Pengurus YCHI pusat pada tanggal 11 Agustus 2020.

H. Alur Penanganan Klien


Step dari alur pendampingan klien di Yayasan Cinta
Harapan Indonesia adalah sebagai berikut:

Bagan 3. 1
Alur Penanganan Klien

Wawancara Melengkapi Asesmen Screening


berkas

Mulai Sesi
Terapi
Penjelasan mengenai alur pendampingan:
1. Petugas bagian administrasi memberikan informasi
terlebih dahulu kepada orangtua calon klien. Informasi
yang diberikan melalui layanan yang diberikan oleh
YCHI serta informasi seputar Autisme.
61

2. Setelah memberikan informasi, petugas melakukan


wawancara seputar data pribadi orangtua dan calon
klien serta petugas memberitahu mengenai berkas yang
harus dilengkapi.
3. Setelah wawancara, orangtua calon klien akan datang
kembali dan membawa berkas-berkas yang diperlukan
(SKTM, KTP orangtua dan KK).
4. Pada tahapan asesmen, tidak semua calon klien akan
dilakukan asesmen. Jika calon klien sudah pernah
dilakukan asesmen oleh psikolog sebelumya, calon klien
cukup memberikan form dan akan dilakukan asesmen
lebih lanjut oleh psikolog di YCHI. Namun, jika calon
klien belum pernah diasesmen oleh psikolog, maka
psikolog YCHI akan melakukan asesmen kepada calon
klien.
5. Setelah melakukan asesmen, maka psikolog dan terapis
akan melakukan screening terkait materi pembelajaran
yang akan diberikan.
6. Setelah tahapan-tahapan diatas dilakukan, maka klien
dapat memulai program terapi. Wawancara dengan
Pengurus pada tanggal 18 Agustus 2020.

I. Sarana dan Prasarana


YCHI telah dilengkapi sarana dan prasarana yang
cukup memadai untuk mendukung proses pelayanan.
Berbagai upaya telah dilakukan dari awal berdiri hingga
62

sekarang agar pelayanan dapat diberikan secara maksimal.


Sarana dan Prasarana yang dimiliki oleh YCHI adalah:
1. Ruang tunggu bagi orangtua
2. Satu buah ruang kelas besar
3. Satu buah lemari yang berisi tools untuk terapi
4. Satu buah lemari yang berisi mainan
5. Satu buah lemari untuk keperluan terapis
6. Alat-alat untuk terapi ABA (puzzle, ATK, kartu
bergambar, dll)
7. Satu buah ruangan besar untuk manajemen

J. Sumber Daya Manusia


Yayasan Cinta Harapan Indonesia dilengkapi dengan
Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkompeten sesuai
dengan bidangnya masing-masing. Adapun SDM Yayasan
Cinta Harapan Indonesia sebagai berikut:

Tabel 3. 1
Sumber Daya Manusia YCHI
Jenis Jumlah
1. Staf Manajemen 4
2. Terapis 3
3. Petugas Kebersihan 1
4. Petugas Keamanan 1

Selama 11 tahun, Yayasan ini telah memiliki 24 anak


sebagai penerima manfaat. 21 anak laki-laki dan 3 anak
perempuan. Data anak-anak sebagai penerima manfaat di
Yayasan Cinta Harapan Indonesia adalah sebagai berikut:
63

Tabel 3. 2
Daftar Anak Aktif YCHI Autism Center 2020
No. Nama Diagnosa
1. Arsyad Autisme
2. Nadhifa Autisme, Microsefali
3. Affan Autisme
4. Zafran Autisme
5. Syamil Autisme
6. Baim Autisme
7. Fabian Down Syndrome
8. Satrio Down Syndrome
9. Rayi Retradasi Mental
10. Raihan Autisme
11. Irfan Autisme
12. Bagas Autisme
13. Gibran Autisme & Hyperactivity
14. Abel Low Vision
15. Fatih Epilepsi
16. Alycia Retradasi Mental
17. Farhan Down Syndrome
18. Aldo Retradasi Mental
19. Aya Retradasi Mental
20. Raziel Retradasi Mental
21. Faiz ADHD
22. Rafif Autisme
23. Yusuf Autisme Ringan
24. Nafi Autisme

K. Penghargaan
Berikut ini beberapa penghargaan yang telah diraih oleh
YCHI:
1. Penghargaan Outstanding Care and Compassion Award
yang diselenggarakan oleh United Nation Headquarter
64

atas komitmen dan konsistensi Bapak Zulfikar pada isu


autisme.
2. Penghargaan Sociopreneur Award yang diselenggarakan
oleh Prasetiya Mulya Alumni Achievement Award 2017.

L. Kemitraan
Berikut ini beberapa lembaga yang menjalin kerjasama
dengan YCHI:
1. Kerjasama dengan HBO Asia untuk peluncuran film
Temple pada bulan Agustus 2011.
2. Kerjasama dengan NGO dari USA Global Autism
Project dalam memberikan pelatihan keterapisan dan
manajemen selama delapan tahun (2012-2020).
3. Kerjasama dengan PT. Grandton Marketing dalam
Charity Campaign.
4. Kerjasama dengan Gopay untuk pembuatan QR Code
dalam program donasi.
5. Pada tahun 2013 bulan Juni-Juli bekerjasama dengan
GAP dan SkillCorps dalam memberikan pelatihan
kepada terapis, volunteer dan manajemen YCHI.
6. Pada tahun 2015 YCHI bekerjasama dengan Komunitas
Peduli Sehat mengadakan Stand Up Comedy For Care.
7. Pada tahun 2016 bekerjasama dengan Toothsie.com
dalam kegiatan promosi.
65

M. Alamat dan Kontak


1. Kantor Manajemen
Alamat: Ruko Rafflesia No.8G Jl. WR Supratman,
Rengas, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten.
Telepon: 021-29047548
Instagram: @ychiautismcenter.id
Website: ychiautismcenter.org
2. Klinik Terapi
a. Tangerang Selatan
Ruko Rafflesia No.8G Jl. WR Supratman, Rengas,
Ciputat Timur, Tangerang Selatan Banten.
b. Jakarta
Jl. Batu Rukun No.72 RT.08 RW.02, Kelurahan Batu
Ampar, Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur.
c. Jepara
Jl. Kauman 1 RT.01 RW.03, Margoyoso
Kalinyamatan, Jepara, Jawa Tengah.
d. Madiun
Desa Ketawang Kec. Dulopo, Kab. Madiun.
e. Bandung Barat
Kp. Cibanen RT 01/11 No.28 Desa Nanggeuleung
Cipeundeuy, Bandung Barat.
f. Kudus
Desa Karang Malang RT 03/02 Kec. Gebog, Kab.
Kudus, Jawa Tengah.
66

g. Demak
Desa Banjarsari RT 002/02 Gg. Kamboja, Kec.
Gajah, Kab. Demak, Jawa Tengah.
h. Nusa Tenggara Barat (NTB)
Jl. Paok Pampang, Dasan Lekong, Sukamulia,
Kab.Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
i. SLB Cinta Harapan
Jl. Parawisata Jurusan Toya, Kec. Aikmel, Lombok
Timur, Nusa Tenggara Barat. (Hasil Studi
Dokumentasi)
BAB IV

DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

Peneliti ingin menjabarkan secara lengkap berdasarkan


hasil temuan lapangan melalui metode wawancara dan studi
dokumentasi yang dilakukan di YCHI di Tangerang Selatan.
Berikut merupakan uraian data dan temuan peneliti:

A. Pelaksanaan Program Terapi Applied Behaviour Analysis


Seperti yang telah dipaparkan dalam BAB II hal.22,
Terapi ABA merupakan sebuah program terapi perilaku untuk
ABK, khususnya anak penyandang autisme. Program terapi
ABA ini mencakup beberapa kegiatan seperti, melatih
motorik kasar, melatih motorik halus sampai melatih bantu
(bina) diri. YCHI hadir sebagai lembaga yang memiliki
kepedulian akan ABK dengan mengadakan program terapi
ABA.
Menurut Bapak Jupri selaku ketua harian dan
pengurus YCHI pusat, tujuan pokok dari terapi ABA adalah
memberikan upaya dan bekal dasar bagi anak penyandang
autisme agar mereka mampu menjalani kehidupan sehari-hari
yang dapat memudahkan diri mereka, menghadapi kehidupan
dimasa depan agar tidak selalu bergantung dengan orang lain
dan mampu menjalani kehidupan secara layak. (Jupri, 8
September 2020).

67
68

Selanjutnya, peneliti akan menjelaskan hasil


wawancara mengenai terapi ABA dengan empat informan
yang merupakan pengurus dan terapis di YCHI. Adapun
uraiannya sebagai berikut:
1. Sosialisasi dan Peserta Program Terapi Applied
Behaviour Analysis
Sebuah program tidak akan berjalan lancar apabila
tidak ada masyarakat yang mengetahui dan ikutserta
kedalam program tersebut. Demikian pula dengan YCHI
yang memiliki tanggung jawab untuk mensosialisasikan
kepada masyarakat yang mana pada yayasan ini terdapat
program besar yaitu meningkatkan keberfungsian sosial
ABK.
Mensosialisasikan adanya yayasan ini merupakan
tanggung jawab semua orang yang tergabung dalam
yayasan. Seperti yang dipaparkan oleh Bapak Jupri,
mengenai awal mula terbentuknya YCHI dan hal yang
melatar belakangi terbentuknya yayasan ini.
“YCHI didirikan karena pendiri YCHI yaitu Bapak
Zulfikar yang memiliki anak dengan kebutuhan
khusu dan merasa bahwa perawatan untuk ABK
sangat mahal, sehingga tergerak hati beliau
untuk mendirikan tempat terapi ABK untuk
keluarga pra-sejahtera.” (Wawancara dengan
Bapak Jupri, 11 Agustus 2020).
69

Pada awalnya, hanya ada beberapa anak yang ikut


dalam terapi ABA. Seiring berjalannya waktu, sosialisasi
yang dilakukan oleh YCHI ke berbagai lini masyarakat
melalui berbagai program, workshop dan kerjasama
dengan berbagai lembaga akhirnya membuahkan hasil.
Hingga saat ini YCHI telah tersebar di 5 kota dan di
YCHI pusat terdapat 24 anak yang aktif dalam program
terapi ABA.
“YCHI sudah berdiri lebih dari 5 tahun, bahkan
10 tahun. Yang awalnya cuma ada beberapa
anak dan klinik terapi cuma ada di Jakarta,
Alhamdulillah berkat tim kita yang aktif
sosialisasi ke masyarakat dan ada beberapa kali
kerjasama juga, jadi YCHI sekarang makin luas
jangkauannya. Sudah ada di 5 kota dan kalau
jumlah anaknya disini ada 24 yang aktif.”
(Wawancara dengan Bapak Jupri, 11 Agustus
2020).
Hingga saat ini, YCHI membuka tidak hanya
untuk anak yang berasal dari keluarga pra-sejahtera yang
dapat mengikuti program terapi ABA. Syarat utama untuk
dapat berpartisipasi dalam terapi ABA adalah memiliki
surat analisa dari dokter terkait kondisi anak.
“Kalau untuk syarat tidak ada yang khusus seperti
harus keluarga pra-sejahtera. Kalau ada
70

keluarga sejahtera yang ingin terapi, ya silakan.


Biasanya syarat utama sih surat analisa dari
dokter mengenai kebutuhan khusus atau
disabilitas anak. Adanya analisa itu untuk
mempermudah proses asesmen oleh psikolog.
Kalau anak sudah pernah diberikan asesmen
sebelumnya, bisa pakai rekomendasi asesmen
tersebut.” (Wawancara dengan Miss Fatimah, 6
Oktober 2020)

2. Waktu Program Terapi Applied Behaviour Analysis


Hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti
melalui wawancara, studi dokumentasi bahwa
pelaksanaan program terapi ABA setiap anak yaitu dua
kali seminggu dan jadwal terapi anak disesuaikan dengan
jadwal orangtua.
“Setiap anak kita kasih jadwalnya seminggu dua
kali dengan waktu pertemuan 90 menit. Waktu
tersebut diluar kegiatan lain, seperti outing class,
yoga, hydroteraphy. Jadwal setiap anak juga
biasanya mengikuti orangtua. Jadi, sebelum
kontrak biasanya kita tanya orangtuanya mampu
untuk mengantar anak di jam berapa.“
“Kita ingin secara langsung koordinasi dengan
orangtua soal gimana perkembangan anak, maka
71

dari kita minta untuk orangtuanya yang antar


agar lebih mudah memonitor anaknya.”
(Wawancara dengan Miss Fatimah 6 Oktober,
2020)
3. Indikator Program Terapi Applied Behaviour Analysis
Selanjutnya, Informan menjelaskan mengenai
kurikulum terapi ABA yang dibuat oleh tim YCHI agar
memudahkan mereka dalam melaksanakan terapi dan
mengidentifikasi kemampuan apa saja yang sudah
dikuasai ataupun belum oleh anak.
“Di YCHI setiap tahunnya kita membuat
kurikulum. Yang isinya indikator apa saja yang
akan kita berikan kepada anak. Gunanya agar
lebih terarah program yang kita lagi jalankan.”
(Wawancara dengan Miss Fatimah, 6 Oktober
2020). Indikator tersebut diantaranya:

Tabel 4. 1
Indikator dalam Program Terapi ABA
No. Indikator
1. Kemampuan Kehadiran
2. Kognitif
3. Bahasa
4. Kemandirian
5. Pretend Play
Sumber: Arsip Dokumentasi YCHI
72

Lebih lanjut lagi informan menjelaskan bahwa


YCHI membuat indikator seperti tabel diatas agar
memudahkan terapis dalam memberi materi dan
mengetahui bagaimana perkembangan anak.
“Adanya tabel kayak gitu mempermudah terapis,
terutama untuk mengetahui perkembangan anak
yang kita handle sudah sejauh mana, karena kan
kita laporan ke orangtuanya.” (Wawancara
dengan Miss Fatimah, 6 Oktober 2020).
Berdasarkan hal tersebut, berikut uraian indikator
yang diberikan kepada anak penyandang autisme (IF dan
RA) ketika sesi terapi berlangsung:
a. Kemampuan Kehadiran
Menurut hasil wawancara dengan informan,pada
bagian ini terapis akan memberikan tugas berupa duduk
tenang dan menyelesaikan sebuah tugas.
“Di bagian ini biasanya rincian tugasnya itu kita
membuat anak duduk anteng dikursinya sampai
sesi terapi selesai. Biasanya IF gak akan stay di
kursi sampai selesai terapi, tetapi setiap IF turun
dari kursinya, kita selalu arahkan untuk kembali
duduk dan menyelesaikan semua tugas yang
dikasih dengan duduk dikursi.” (Wawancara
dengan Miss Cony, 12 Oktober 2020)
73

Hal tersebut juga disampaikan oleh informan lain


yang menjelaskan tentang indikator kemampuan
kehadiran.
“Setiap mau mulai terapi, saya perintahin RA agar
duduk ditempatnya. Walaupun nantinya RA bakal
turun atau tiduran dilantai. Tetap tugas kita harus
balikin lagi RA ke kursi.” (Wawancara dengan
Miss Erna, 19 Oktober 2020).
b. Kognitif
Menurut hasil wawancara dengan informan, pada
bagian ini terapis akan memberikan tugas berupa hal-hal
yang berkaitan dengan fungsi kognitif anak, seperti:
mengurutkan angka, menyusun benda, dan lain-lain.
“Kalau dibagian ini, materinya yang berhubungan
sama pola pikir. Contoh tugasnya itu
mengurutkan angka dari yang kecil sampai besar
atau sebaliknya. Biasanya saya sediain flashcard
berwarna yang ada tulisan besar angka 1-10 dan
minta IF untuk mengurutkan” (Wawancara
dengan Miss Cony, 12 Oktober 2020).
Hal tersebut juga disampaikan oleh informan lain
yang menjelaskan tentang indikator kognitif.
“Tugas di bagian kognitif ini contohnya kayak
masang puzzle, nyusun gambar berdasarkan
warna yang sama, menggunting dan menempel
74

ngikutin pola.” (Wawancara dengan Miss Erna,


19 Oktober 2020).
c. Bahasa
Menurut hasil wawancara dengan informan, pada
bagian ini terapis akan memberikan tugas berupa hal-hal
yang berkaitan dengan kemampuan reseptif anak, yaitu
kemampuan menerima isyarat bahasa yang diberikan
orang lain.
“Di bagian indikator bahasa, terapis fokus pada
memberikan anak perintah secara verbal.
Gunanya dari indikator ini agar anak bisa
merespon apa yang dikatakan orang lain.
Biasanya saya kasih IF perintah biasa sih, kayak:
ambil benda, angkat dan rapikan, ambil dan
simpan.kita juga ajarkan anak basic manners
seperti: maaf, tolong dan terimakasih.”
(Wawancara dengan Miss Cony, 12 Oktober
2020).
Selaras dengan informan sebelumnya, informan
selanjutnya menambahkan informasi tentang indikator
bahasa.
“Tugas dibagian bahasa contohnya kayak
memberikan contoh berbagai macam ekspresi
lewat gambar, terus juga kita kasih contoh
gambar, misalnya orang lagi makan buah apel.
75

Nah, saya kasih tahu ke RA dengan jelas kalau


di gambar itu ada anak laki-laki sedang makan
buah apel dan duduk diatas kursi.” (Wawancara
dengan Miss Erna, 19 Oktober 2020).
d. Kemandirian
Menurut hasil wawancara dengan informan, pada
bagian ini terapis akan memberikan tugas berupa hal-hal
yang berkaitan dengan kemandirian anak.
“Kalau di bagian indikator kemandirian anak,
paling dasar kita ajarkan dulu toilet training.
Kalau IF menurut penuturan ibunya, sudah
pernah diajarkan dirumah. Jadi, terapis
melanjutkan hal itu dengan mendisiplinkan anak
untuk buang air di toilet ketika sedang terapi.”
(Wawancara dengan Miss Cony, 12 Oktober
2020).
Selaras dengan informan sebelumnya, informan
selanjutnya menambahkan informasi tentang indikator
kemandirian anak.
“Tugas dibagian kemandirian ini, kita mulai dari
saat terapi dulu. Kalau RA tiba-tiba berantakin
mainannya, saya contohkan untuk merapikan
mainan, abis itu saya minta RA yang merapikan.
Setiap sesi terapi selesai, saya juga selalu minta
RA yang merapikan alat belajar dan memasukkan
76

kedalam tas.” (Wawancara dengan Miss Erna, 19


Oktober 2020).
e. Pretend Play
Menurut hasil wawancara dengan informan, pada
bagian ini terapis akan memberikan tugas berupa hal-hal
yang berkaitan dengan pretend play atau bermain peran.
“Pada bagian ini, fokusnya kita adalah supaya
anak tau berbagai peran yang ada dikehidupan
sehari-hari. Contohnya saya mengajak bermain
peran dengan IF menjadi kasir toko dan saya yang
belanja. Saya minta IF untuk memberikan
kembalian uang.” (Wawancara dengan Miss
Cony, 12 Oktober 2020).
Selaras dengan informan sebelumnya, informan
selanjutnya menambahkan informasi tentang indikator
pretend play.
“Di bagian ini kita ngajarin anak bermain peran
dari mainan yang ada. Misalnya ada mainan
masak-masakan. Nah, saya ajak main RA dengan
saya minta RA jadi kokinya yang masak dan saya
ceritanya jadi pembeli. Nanti saya pura-pura
makan dan muji hasil masakannya.” (Wawancara
dengan Miss Erna, 19 Oktober 2020).
Selain membuat kurikulum yang berupa indikator
untuk program terapi ABA, terapis juga memiliki teknik
77

dalam pelaksanaannya. Berikut data temuan yang peneliti


dapatkan terkait dengan teknik pelaksanaan terapi ABA di
YCHI :
1. Instruksi
Temuan mengenai instruksi peneliti dapatkan dari
hasil wawancara dengan dua orang terapis yang
menangani anak berbeda di YCHI. Tentunya setiap anak
memiliki kemampuan dan hambatan yang berbeda,
sebagaimana kutipan dari dua orang informan terapis:
“Saya memberikan instruksi ketika sedang
mengajari IF. Agar IF paham apa perintah yang
saya kasih. Biasanya yang dikasih perintah
sederhana, misal:”samakan warna”, “samakan
gambar”.” (Wawancara dengan Miss Cony, 12
Oktober 2020).
Pemaparan selanjutnya disampaikan oleh terapis
lain mengenai instruksi yang diberikan kepada anak
penyandang autisme:
“Kita menggunakan instruksi saat terapi. Disini
bahasanya perintah sederhana. Biasanya perintah
atau instruksi yang digunakan itu satu atau dua
kata saja, misalnya: “rapikan mainan” atau
“susun baloknya”. Yang sederhana saja seperti
itu.” (Wawancara dengan Miss Erna, 19 Oktober
2020).
78

Dari hasil wawancara bahwa kedua informan sama-


sama menggunakan instruksi sederhana kepada anak
didik mereka. Instruksi tersebut disesuaikan dengan
perintah apa yang ingin diberikan.
2. Respon
Temuan mengenai respon peneliti dapatkan dari
hasil wawancara dengan dua orang terapis yang
menangani anak berbeda di YCHI. Tentunya setiap anak
memiliki kemampuan dan hambatan yang berbeda,
sebagaimana kutipan dari dua orang informan terapis:
“Sama seperti memberi instruksi, kita juga harus
memberi respon pada semua yang sudah
dilakukan anak.. respon juga sederhana saja
seperti: “tidak” kalau yang dilakukan salah dan
“betul” kalau yang dilakukan betul.”
(Wawancara dengan Miss Cony, 12 Oktober
2020)
Pemaparan selanjutnya disampaikan oleh terapis
lain mengenai respon yang diberikan kepada anak
penyandang autisme:
“Setelah memberi perintah atau instruksi ke anak,
kita juga wajib ngasih respon. Misalnya “tidak”
atau “benar”, tergantung apa yang dilakukan
RA. Itu diperlukan biar anak tau yang dia
79

lakukan benar atau salah.” (Wawancara dengan


Miss Erna, 9 Oktober 2020)
Dari hasil wawancara bahwa kedua informan sama-
sama memberikan respon dari setiap instruksi yang sudah
dilakukan oleh anak. Respon tergantung dari bagaimana
instruksi yang telah dilaksanakan oleh anak.
3. Prompt (Bantuan)
Temuan mengenai prompt peneliti dapatkan dari
hasil wawancara dengan dua orang terapis yang
menangani anak berbeda di YCHI. Tentunya setiap anak
memiliki kemampuan dan hambatan yang berbeda,
sebagaimana kutipan dari dua orang informan terapis:
“Kita juga memberikan bantuan kalau anak belum
bisa melakukan instruksi yang kita kasih.
Bantuannya bisa berupa kita contohkan dulu
instruksi apa yang diberikan atau kita arahin
tangannya untuk melakukan instruksi itu.”
(Wawancara dengan Miss Cony, 12 Oktober
2020)
Pemaparan selanjutnya disampaikan oleh terapis
lain mengenai prompt yang diberikan kepada anak
penyandang autisme:
“Dulu waktu RA belum mengerti sama instruksi,
saya kasih bantuan berupa contoh dari instruksi
tersebut. Kadang RA tidak fokus kalau dicontohin
80

dan kalau masalahnya seperti itu, saya


praktekkan langsung dengan cara arahin tangan
RA biar mengikuti saya.” (Wawancara dengan
Miss Erna, 19 Oktober 2020).
Dari hasil wawancara bahwa kedua informan sama-
sama memberikan prompt (bantuan) jika anak belum
memahami konsep instruksi. Bantuan yang diberikan
dapat berupa contoh dari instruksi atau mengarahkan
tangan anak langsung untuk mengikuti instruksi yang
diberikan.

B. Dampak Program Terapi Applied Behaviour Analysis

Sebuah program pastinya akan memberikan dampak


untuk orang-orang yang ikut serta didalamnya. Setiap orang
akan merasakan dampak yang berbeda, meskipun program
yang diikuti sama. Program terapi ABA dilaksanakan dengan
tujuan meminimalkan perilaku tidak wajar pada ABK.
Dampak dari program ini dapat dilihat dari perkembangan
anak, seperti yang dijelaskan oleh Miss Fatimah selaku
pengurus YCHI:

“Dampaknya pasti tiap orang berbeda. Kalau kita


tanya ke anaknya kan nggak bisa ya, paling kita tanya
ke orangtuanya. Tolak ukur keberhasilan dilihat dari
perkembangan anak. Yang tadinya belum bisa ini,
81

sekarang bisa. Conothnya, anak tadinya belum ada


kontak mata, sekarang sudah ada sedikit-sedikit”
(Wawancara dengan Miss Fatimah, 6 Oktober 2020).

Untuk mengetahui dampak yang dihasilkan dari


program terapi ABA, peneliti melakukan wawancara dengan
2 orangtua. Adapun data informannya sebagai berikut:

Tabel 4. 2
Data Anak Autisme
No. Inisial Nama Anak Usia Jenis Kelamin
1. IF 7 Tahun Laki-Laki
2. RA 10 Tahun Laki-Laki
Sumber: Hasil Olah Data Wawancara

1. IF (Laki-laki)
IF merupakan anak satu-satunya dalam keluarga
dan usianya sekarang 8 tahun. IF telah mengikuti terapi di
YCHI selama hampir 5 tahun. IF telah didiagnosa autisme
oleh dokter sejak berusia 2 tahun. Saat ini IF ditangani
oleh Miss Cony saat mengikuti program terapi di YCHI.
“Awalnya, saya lihat kok IF perkembangannya
lambat gitu ya.Yang seharusnya usia segini udah
bisa begini, tapi dia kok belum. Akhirnya saya
bawa ke dokter dan didiagnosa autisme.”

“Lalu, saya tahu terapi ABA karena ada yang


share. Kemudian saya cari tahu dan ketemu
82

YCHI. Akhirnya saya coba kesana untuk tanya-


tanya. Menurut saya terapinya pas untuk IF
karena dia kan masih kecil ya, mungkin kalau
sejak kecil ikut terapi perilaku, perilakunya dia
juga akan baik.” (Wawancara dengan IM, 13
November 2020).

2. RA (Laki-laki)
RA merupakan anak pertama dan memiliki satu
orang adik. RA saat ini berusia 10 tahun. RA hanya
tinggal dan dirawat bersama ibunya, karena orangtuanya
telah berpisah. RA telah mengikuti terapi di YCHI sejak
tahun 2016. RA didiagnosa autisme oleh dokter sekitar
umur 2 atau 3 tahun.
“Awalnya itu saya sering dikasih tahu orang kalau
RA perkembangannya lambat, saya pikir mungkin
setiap anak kan beda ya perkembangannya.
Sampai waktu itu RA sering banget panas tinggi
dan kejang-kejang, makanya saya bawa ke
dokter.”
“Pas tahun 2015 saya pernah daftarin RA
sekolah, tapi sama sekolahnya waktu itu
disaranin untuk bawa RA ke autisme center. Saya
cari-cari dan ketemulah YCHI.” (Wawancara
dengan SS, 9 Oktober 2020).
83

Dalam penelitian ini yang ingin peneliti lihat


adalah keberfungsian sosial dari anak penyandang autisme
yang telah mengikuti program terapi ABA di YCHI.
Untuk melihat sudah sejauh mana keberfungsian sosial
anak penyandang autisme, peneliti menggunakan teori
keberfungsian sosial Edi Suharto, menurut beliau manusia
dapat dikatakan berfungsi secara sosial jika mampu
dalam: memenuhi kebutuhan dasar, melaksanakan
peranan sosial dan menghadapi goncangan dan tekanan.
Berikut ini merupakan gambaran keberfungsian
sosial dari kedua subjek penelitian yang diperoleh dari
wawancara:

1. Keberfungsian Sosial IF
Menurut penuturan orangtuanya, IF merupakan
anak yang tidak mudah dekat dengan orang baru dan lebih
senang bermain sendiri. IF merupakan anak tunggal dan
tidak memiliki saudara kandung untuk diajak bermain,
sehingga teman bermainnya dirumah adalah orangtuanya
dan IF paling dekat dengan ayahnya.
“IF kalau dirumah dekat banget sama ayahnya
dan sering main bareng ayahnya. Kalau sama
orang baru dia susah dideketin dan jarang mau
terlibat di kegiatan yang banyak orangnya.”
“Waktu pertama kali masuk YCHI juga saya harus
nemenin dulu karena dia nggak mau kalau cuma
84

sama miss-nya. Tapi, lama kelamaan setelah


nyaman mungkin ya, dia sudah bisa saya tinggal
kebawah.” (Wawancara dengan IM, 13 November
2020).

Sebelum mengikutsertakan anaknya, menurut IM


anaknya masih sulit untuk mengontrol emosi dan
cenderung tidak mau dilarang apabila melakukan sesuatu.
Namun, setelah mengikuti program terapi ABA di YCHI,
hal tersebut perlahan berkurang dan IF menunjukkan
keinginan untuk melakukan perintah.

“IF sudah ikut terapi ABA selama 4 tahun.


Sebelum ikut terapi, IF masih belum patuh jika
saya larang ini itu. Namun, setelah ikut terapi
ABA dia mulai paham pada perintah. Perihal
makanan, dulu kalau saya larang-larang dia bisa
marah. Namun, sekarang dia sudah mengerti apa
makanan yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi.
Jika dimeja ada buah dan ciki, dia akan pilih
buah karena tahu ciki itu yang tidak boleh dia
makan.” (IM, 13 Oktober 2020)

Selain itu, IM juga menuturkan bahwa beliau telah


mengajarkan beberapa aspek kemandirian seperti toilet
training kepada IF dari sebelum IF berpartisipasi dalam
program terapi ABA. IM baru mengetahui ternyata hal
85

kemandirian juga diajarkan ditempat terapi. Sehingga


beliau merasa terapi ini cocok untuk IF yang perlu banyak
belajar mengenai perilaku.

“Kalau soal kemandirian itu, IF banyak


perubahan dari ikut terapi ABA. Ternyata
kemandirian diajarin juga di YCHI. Dulu dia
apa-apa susah ikutin perintah, sekarang dia
kalau buang air sudah bisa ke kamar mandi
sendiri. Walaupun toilet training tuh udah bisa
dari dulu juga, tetapi dianya suka malas ke
kamar mandi sendiri. Kalau saya ajak ke kamar
mandi baru dia mau. Lalu, kalau mau makan dan
minum juga dia tahu ambil gelas dan piring
dimana. Setelah makan dia tahu harus
menaruhnya dimana.” (IM, Oktober 2020)

Selain mengenai kemandirian, IM juga


menuturkan bagaimana IF ketika menghadapi situasi
bertemu dengan orang baru atau ketika sedang dalam
lingkungan yang ramai. Berikut ini penuturannya:

“IF sangat sensitif terhadap sentuhan. Dia tidak


suka kalau disentuh oleh orang yang belum dekat,
apalagi orang yang baru kenal. Mungkin itu salah
satu bentuk perlindungan terhadap dirinya. IF
juga kalau dilingkungan baru tidak bisa langsung
86

akrab, butuh adaptasi yang agak lama sampai dia


merasa nyaman.” (IM, 13 Oktober 2020)
“IF sangat suka bermain sendiri. Kalau diajak
ngobrol dia akan diam saja, tetapi jika dipaksa
berulang-ulang diajak ngobrol dia bisa kesal dan
melampiaskannya dengan menangis. Setelah
mengikuti terapi ABA, belum terlihat banyak
perubahan dari segi sosialisasi dengan orang
lain, namun IF sudah tidak menghindari tempat
keramaian seperti dulu. Sekarang dia biasa saja
jika ditempat ramai dan ikut mau ikut bermain
bersama teman-teman sebayanya.” (IM, 13
Oktober 2020)

IF memiliki masalah dengan ketidakstabilan


emosi. Sebelum berpartisipasi dalam terapi ABA, IM
belum mengetahui strategi apa yang cocok diberikan
kepada IF jika sedang tantrum.
“Dulu saya belum ngerti apa yang harus
dilakukan kalau IF lagi tantrum. Jadi saya
biasanya tanyain dia kenapa dan maunya apa.
Kalau dia masih tetep nangis juga saya diemin
aja nanti juga capek sendiri dia.” (IM, 13
Oktober 2020)
87

Setelah mengikuti terapi ABA, IM banyak


berkonsultasi terkait kondisi IF kepada terapis dan
berkoordinasi dalam penanganan IF dirumah setelah sesi
terapi selesai.
“Saya sering konsul dan diberitahu juga sama
Miss Cony yang nanganin IF kalau anak harus
sering diberi reward kalau habis ngelakuin
sesuatu. Jadi, saya pakai cara itu juga kalau dia
lagi tantrum. Selain saya tanya maunya apa, saya
juga kasih hal-hal kesukaan dia.” (IM, 13
Oktober 2020)
2. Keberfungsian Sosial RA

Menurut penuturan orangtuanya, RA merupakan


anak yang cukup pendiam dan senang bermain bersama
adiknya. Dirumah kerika sedang tantrum, RA sering
melempar barang yang ada disekitarnya.

“RA kalau dirumah dan lagi tantrum biasanya


lemparin barang yang ada disekitar dia. Kalau
udah kayak gitu saya biasanya turun tangan buat
ngendaliin RA. Takutnya kan dia ngelempar
barang yang bahaya kayak beling gitu.”

“Dirumah RA senang main sama adiknya. Jadi,


walaupun keliatannya pendiam, tapi kalau udah
88

sama adiknya mah dia senang banget main.”


(Wawancara dengan SS, 9 Oktober 2020).

Sebelum mengikuti terapi ABA di YCHI, menurut


SS, anaknya sulit untuk mengikuti instruksi dan perintah.
RA lebih senang melakukan sesuatu yang dia inginkan
dan jika dilarang maka RA akan tantrum. Perubahan yang
terlihat adalah RA mau mengikuti perintah yang
diberikan, bahkan RA mampu melaksanakan perintah
tersebut.

“Sebelum ikut terapi ABA, RA sulit diperintah


melakukan ini dan itu. Dia hanya diam saja jika
saya perintah hal-hal sederhana. Setelah ikut
terapi ABA, pelan-pelan mulai terlihat
perubahannya. Jika saya perintah, dia mau
melakukan. Bahkan sekarang dia sudah bisa ke
toilet dan mandi sendiri. Lalu, kalau mau tidur
dia membersihkan kasurnya sendiri.” (SS, 9
Oktober 2020)

SS juga menuturkan mengenai bagaimana


kemampuan RA dalam bersosialisasi, baik dalam
lingkungan kecil maupun besar. SS mengutarakan bahwa
sebelum mengikuti program terapi ABA RA tidak suka
berada dalam keramaian dan cenderung akan menyendiri.
89

“RA tidak terlalu suka berada ditempat ramai.


Dia lebih memilih sendiri bersama mainannya
atau melakukan aktivitas yang dia suka. Kalau
dipaksa untuk bergabung dengan kegiatan yang
ramai dia akan menangis.” (SS, 9 Oktober 2020)
“Kalau teman bermain RA biasanya main dengan
adiknya. RA tidak suka bertemu orang baru. Dia
akan diam jika ditanya oleh orang baru yang
dikenalnya. Kalau dilingkungan rumah dan ada
teman-teman seusianya, RA lebih suka main
sendiri. Setelah ikut terapi ABA, belum banyak
perubahan sosialisasi RA. Dia masih lebih suka
menyendiri ketika ditempat ramai.” (SS, 9
Oktober 2020)

Sama dengan informan sebelumnya, RA juga


memiliki ketidakstabilan emosi. Dalam beberapa menit
mood nya dapat berubah. Sebelum berpartisipasi dalam
terapi ABA, RA belum mengetahui strategi apa yang
cocok diberikan kepada IF jika sedang tantrum.
“Dulu kalau RA tantrum saya bisa panik sendiri.
Saya selalu tanya maunya apa, tapi dia bisa
tambah kencang nangisnya. Sampai kadang
kalau lagi capek saya bisa kesal dan jadi agak
tinggi nada bicaranya.” (SS, 9 Oktober 2020)
90

Setelah mengikuti terapi ABA, IM banyak


berkonsultasi terkait kondisi IF kepada terapis dan
berkoordinasi dalam penanganan IF dirumah setelah sesi
terapi selesai.
“Saya selalu konsultasi dengan Miss Erna kalau
RA habis terapi. Miss Erna memberikan saya
informasi mengenai RA dan apa yang harus
dilakukan kalau RA lagi tantrum. Waktu dulu
sebelum terapi kalau RA tantrum biasanya saya
tanyain dia kenapa, tapi kalau ditanya dianya
malah terus nangis. Sekarang sih sudah dikasih
tau, lebih baik diamkan dulu, tanya pelan-pelan
dan beri hal kesukaannya dia.” (SS, 9 Oktober
2020)

Dari pemaparan diatas dapat dilihat bahwa


sebelum mengikuti terapi ABA, anak belum mampu
mengendalikan emosi dan strategi dalam mengatasi
masalah baru berikan setelah anak mengikuti terapi ABA.
Sehingga kemampuan anak dalam mengatasi masalah
tidak lepas dari bantuan terapis dan orangtua.
BAB V

PEMBAHASAN

Pada bab ini peneliti akan membahas hasil penelitian yang


telah dilaksanakan, kemudian hasilnya akan dikaitkan dengan
teori serta kerangka berpikir yang telah di jelaskan pada BAB II.
Dalam pembahasan ini, peneliti mengkaji temuan menggunakan
metode wawancara dan studi dokumentasi. Berdasarkan temuan
tersebut peneliti membagi pembahasan menjadi dua, yaitu
sebagai berikut:

A. Pelaksanaan Program Terapi Applied Behaviour Analysis


Hakikatnya anak penyandang autisme memiliki
gangguan dalam berkomunikasi, ketidakmampuan dalam
berinteraksi sosial dan cenderung menyendiri. Hal ini dapat
dikatakan bahwa anak penyandang autisme tidak berfungsi
secara sosial. Maka dari itu, diperlukan program
pembelajaran atau terapi yang dapat membantu mengatasi
masalah tersebut.
Program terapi ABA menurut Yayasan Cinta
Harapan Indonesia merupakan metode terapi perilaku untuk
mengurangi perilaku-perilaku tidak wajar pada ABK. Terapi
ABA menggunakan pendekatan behavioral (perilaku),
dimana intervensi dini anak penyandang autisme
menekankan pada kepatuhan anak, keterampilan anak dalam

91
92

meniru dan membangun kontak mata. Terapi ABA


merupakan terapi yang befokus pada perilaku. (BAB II, hal.
26)
Tujuan utama dari adanya terapi ABA adalah untuk
meminimalisir perilaku tidak wajar pada anak penyandang
autisme serta memberikan bekal dasar agar anak penyandang
autisme dapat mandiri dan tidak bergantung kepada orang
lain dimasa depan. Terapi ABA telah dilaksanakan di YCHI
selama hampir 10 tahun dengan saat ini telah memiliki
cabang di 5 kota besar di Indonesia. Program terapi yang
berfokus pada perubahan perilaku ini ditangani oleh terapis
yang telah mendapatkan pelatihan dan memiliki lisensi.
Terapi ABA dilaksanakan seminggu dua kali dengan 1,5 jam
sekali pertemuan.
Terapi ABA dilaksanakan dengan one on one, yaitu
satu terapis menangani satu anak. Hal ini karena anak
penyandang autisme mudah sekali terdistraksi, sehingga
demi kelancaran proses terapi, terapis hanya menangani satu
anak pada satu pertemuan. Namun, dimasa pandemi ini,
program terapi ABA lebih banyak dilaksanakan secara
daring dengan memberikan materi melalui online meeting
dan orangtua membantu mengarahkan anak dalam
melaksanakan terapi.
YCHI yang telah memiliki beberapa cabang tentunya
telah melewati berbagai rintangan hingga mencapai titik
93

tersebut. Keberhasilan tersebut tidak lepas dari sosialisasi


kepada masyarakat, sehingga banyak masyarakat lebih
aware mengenai ABK dan mencari tahu lebih jauh mengenai
program terapi apa saja yang cocok untuk ABK. Selain
sosialisasi secara langsung, beberapa program lain seperti
workshop,seminar, kerjasama dengan berbagai lembaga
untuk mensosialisasikan program ini ke berbagai lini
masyarakat. (BAB IV, hal. 68-71)
Demi tercapainya tujuan dari terapi ABA, maka
YCHI membuat kurikulum yang berguna untuk
memudahkan terapis dalam memberikan materi untuk anak
serta mengidentifikasi perkembangan anak setiap pertemuan
terapi. Kurikulum tersebut berisi beberapa indikator yang
akan diuraikan dibawah ini:
1. Kemampuan Kehadiran
Pada indikator ini, deskripsi tugasnya adalah anak
dapat duduk tenang dan menyelesaikan sebuah tugas.
Menurut Miss Erna, RA biasanya sudah mengetahui jika
dia datang ke YCHI untuk “sekolah”, sehingga RA
mengetahui dimana bangku dan meja yang biasa dia pakai
untuk belajar dan langsung duduk ditempatnya. Namun,
karena anak penyandang autisme biasanya memiliki
ketidakstabilan emosi, terkadang RA tidak mau duduk
dibangku ataupun menyelesaikan tugasnya. Jika sudah
94

seperti itu, maka Miss Erna akan tetap meminta RA untuk


menyelesaikan tugas dan duduk dibangkunya.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Miss Cony
yang merupakan terapis yang menangani IF. Berdasarkan
penuturannya, sulit membuat anak tetap diam duduk
dikursinya dan menyelesaikan tugas. Pada setiap sesi
terapi, ada momen dimana anak tiba-tiba turun dikursi dan
berhenti mengerjakan tugasnya. Jika sudah seperti itu
terapis akan terus berusaha untuk membuat anak tetap
duduk dikursi dan menyelesaikan tugasnya.
2. Kognitif
Pada indikator ini, deskripsi tugasnya adalah anak
mampu mengerjakan tugas yang berkaitan dengan
koginitif. Contoh dari tugas tersebut adalah: mengurutkan
angka dari yang besar ke yang kecil (sebaliknya),
menyusun puzzle, menggunting dan menempel sesuai
pola. Menurut Miss Erna, RA menyukai sesuatu yang
memiliki gambar dan pola. Jadi, ketika sedang proses
terapi ABA,materi yang RA sukai adalah meronce dan
menyusun puzzle. Jika sudah mengerjakan hal-hal tersebut
biasanya RA nyaman dan tidak perlu diperintah langsung
mengerjakan sendiri.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Miss Cony
selaku terapis yang menangani IF. Setiap anak memiliki
minat atau ketertarikan sendiri terhadap sesuatu dan
95

biasanya setiap anak memiliki minat yang berbeda. IF


sangat tertarik dengan apapun yang memiliki gambar dan
warna. IF sudah bisa mencocokkan gambar non identik
(mencocokkan sesuai gambar tetapi dengan warna yang
berbeda), mewarnai, menggambar. IF juga menyukai
kegiatan banyak gerak, misalnya saat melatih motorik
kasar, yang salah satu kegiatannya adalah melompat.
3. Bahasa
Pada indikator ini, deskripsi tugasnya adalah hal-
hal yang berkaitan dengan kemampuan reseptif anak,
yaitu kemampuan menerima bahasa isyarat bahasa yang
diberikan orang lain. Menurut Miss Cony, pada bagian ini
biasanya terapis berfokus pada pemberian perintah
sederhana secara verbal. Misalnya “samakan gambar”
ketika sedang belajar melalui flashcard, “urutkan dari
yang terbesar hingga terkecil” jika sedang belajar materi
kognitif dan juga basic manner seperti “maaf, tolong dan
terimakasih.”
Dalam hal ini, IF sudah mampu untuk
melaksanakan berbagai perintah sederhana seperti yang
disebutkan diatas. Untuk komunikasi verbal, IF baru bisa
menggumamkan kata “mama” dan “ayah”. Sehingga, IF
belum bisa merespon dengan verbal dari setiap perintah
yang diberikan. Namun, IF sudah bisa melaksanakan
perintah tersebut.
96

Miss Erna menjelaskan mengenai kemampuan RA


dalam melaksanakan perintah yang diberikan. Menurut
beliau, sama seperti IF, RA juga belum bisa merespon
dengan verbal setiap perintah yang diberikan, namun RA
sudah bisa melaksanakannya dengan baik. Misalnya, RA
diperintah untuk “mencocokkan warna” ketika sedang
belajar melalui flashcard dan RA akan langsung
mencocokkannya. Selain itu, melalui indikator ini
diajarkan juga mengenai berbagai ekspresi: marah, sedih,
takut, sakit. Gunanya adalah agar anak dapat mengenali
apa saja bentuk ekspresi yang dimiliki oleh manusia.
4. Kemandirian
Program terapi ABA juga mengajarkan
kemandirian. Kemandirian dalam hal ini adalah seperti:
toilet training, makan, minum, memasangkan kancing
baju, mengidentifikasi barang-barang milik sendiri.
Dalam hal ini, IF sudah diajarkan toilet training dari
rumah. Namun, menurut penuturan IM (Ibu dari IF), IF
masih sulit ketika diajak untuk toilet training. Sehingga,
IF masih sering buang air tidak di toilet. Mengenai hal itu,
Miss Cony berkoordinasi dengan IM untuk konsisten
dalam melaksanakan toilet training, sehingga sekarang IF
sudah bisa melaksanakan toilet training.
RA juga sudah mampu melaksanakan toilet
training baik di tempat terapi maupun di rumah.Menurut
97

penuturan SS (Ibu dari RA), di rumah bahkan RA sudah


bisa mandi sendiri. RA mengetahui bagaimana caranya
menggosok gigi, membersihkan badannya dan berpakaian
setelah mandi. Miss Erna menambahkan bahwa indikator
kemandirian yang diajarkan bukan hanya toilet training
saja, namun juga anak diajarkan untuk membereskan
setiap selesai main maupun belajar.
5. Pretend Play
Kata “play” yang artinya bermain disini memiliki
makna bahwa pada indikator ini pemberian materi
dilaksanakan seperti “bermain”. Deskripsi tugasnya
adalah anak dan terapis bermain peran bersama. Menurut
Miss Cony, biasanya anak penyandang autisme tidak tahu
bagaimana cara memainkan mainan dengan benar. Hal ini
juga berguna selain untuk mengenalkan anak berbagai
profesi, juga mengajarkan anak bagaiman bermain dengan
mainan yang benar.
Berrmain peran dapat dilakukan ketika anak
sedang ingin bermain. IF dan RA sama-sama menyukai
ketika diajak bermain peran. Misalnya adalah ketika ada
mainan masak-masakan, Miss Erna mengajak RA
bermain masak-masakan dengan RA yang menjadi
kokinya untuk memasak. Miss Erna memberitahu
bagaimana cara untuk memasak dan nanti Miss Erna akan
menjadi pembeli yang mencicipi masakannya.
98

Begitupun dengan IF, Miss Cony akan


mengajaknya bermain peran ketika IF sedang ingin
bermain dan tidak mood untuk belajar materi lain.
Misalnya, Miss Cony mengambil mainan kasir-kasiran
dan mengajak IF untuk menjadi kasir dan Miss Cony yang
akan membeli barang-barang tersebut. Sebelumnya, Miss
Cony mengajarkan terlebih dahulu bagaimana cara
menggunakan mesin kasir dan menghitung uang. (BAB
IV, hal. 71-76)
Indikator yang diberikan akan berjalan sesuai
apabila dilakukan dengan metode terapi ABA yang tepat.
Seperti dijelaskan pada BAB II terdapat pada tabel 2.1
skema Operant Conditioning yaitu perilaku yang terjadi
pada anak pasti memiliki sebab dan oleh karena itu
perilaku anak perlu dikondisikan. (BAB II, hal. 28-29).
Dalam hal ini, Miss Cony dan Miss Erna selaku terapis
meningkatkan kemampuan respon IF dan IM melalui
perintah sederhana.
Misalnya, pada IF jika sedang tantrum dan turun
dari kursi saat proses terapi berlangsung, Miss Cony akan
membuat IF kembali ke kursi dengan berkata bahwa
beliau akan menuruti kemauannya ketika IF kembali ke
kursinya. Hal tersebut selaras dengan tabel 2.3 mengenai
skema Respondent Conditioning dimana terapis
mempelajari perilaku anak sebelumnya, apa yang disukai
99

dan tidak disukai anak sehingga terapis mengetahui


bagaimana cara membuat anak merespon perintah yang
diberikan.
Miss Cony dan Miss Erna sama-sama mengajak
orangtua untuk kerjasama dalam melaksanakan terapi
ABA dirumah. Jadi, ketika di YCHI anak diajarkan
seperti ini dan dirumah juga diajarkan hal yang sama,
maka harapannya dalah perilaku akan terus dilakukan.
Ketika di YCHI IF diharuskan untuk belajar duduk
dikursi, maka dirumah pun IM selaku ibu IF mengajarkan
hal yang sama. RA pun demikian. Ketika di YCHI terapis
memberikan “imbalan” ketika RA berhasil melakukan
sesuatu dengan berupa mainan kesukaannya, dirumah pun
SS selaku ibu dari RA melakukan demikian.
Teknik pelaksanaan terapi ABA yang tepat juga
merupakan hal yang penting bagi keberhasilan program
terapi ABA. Seperti dijelaskan pada BAB II bahwa
komponen dari teknik pelaksanaan terapi ABA adalah:
instruksi, respon dan prompt (bantuan). (BAB II, hal. 30-
32)
1. Instruksi
Miss Cony memberikan instruksi sederhana
kepada IF agar IF memahami apa perintah yang diberikan
olehnya. Instruksi yang diberikan biasanya perintah
sederhana sesuai dengan materi yang sedang berlangsung
100

pada saat itu. Misalnya, “cocokkan warna” dan “urutkan


angka dari yang terbesar”. Dengan memberikan instruksi
singkat dan sering seperti itu, maka anak akan
mengingatnya. Sehingga, IF jika melihat flashcard angka
akan langsung mengurutkan angka tersebut tanpa
menunggu instruksi dari Miss Cony karena dia sudah
terbiasa dengan instruksi tersebut.
RA juga demikian. Miss Erna memberikan
instruksi sederhana saat proses terapi ABA berlangsung.
Misalnya, “pasang puzzle” dan “rapikan mainan” ketika
RA sudah selesai dengan mainannya. Hal itu membuat
RA terbiasa ketika dia sudah selesai dengan mainan A dan
ingin mainan B, maka RA akan membereskan mainan A
terlebih dahulu, kemudian RA baru akan mengambil
mainan B.
2. Respon
Setelah memberikan instruksi, terapis harus
memberikan respon agar anak mengetahui jika instruksi
yang dilaksanakannya benar atau salah. Miss Cony selalu
memberikan respon “Good job, IF” ketika IF
melaksanakan instruksi dengan benar dan ketika RA salah
melaksanakan instruksi, Miss Cony akan memberikan
respon “salah, IF” lalu mengulangi instruksinya kembali.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Miss Erna
terhadap RA. Ketika RA melaksanakan instruksi dengan
101

benar, Miss Erna akan memberikan respon “ya, benar”


dan ketika RA salah melaksanakan instruksi, Miss Erna
akan memberikan respon “bukan, salah” lalu mengulangi
instruksinya kembali.
3. Prompt (Bantuan)
Setiap anak memiliki hambatan yang berbeda,
maka dari tidak semua anak memahami instruksi yang
diberikan. Ketika sudah memberikan instruksi secara
berulang, namun anak masih belum memahami instruksi
tersebut, maka terapis dapat memberikan bantuan
langsung dengan cara mencontohkan atau hand on hand
yaitu mengarahkan tangan anak untuk melakukan sesuatu.
Pada awal-awal IF mengikuti terapi ABA, IF
belum banyak memahami instruksi yang diberikan,
sehingga Miss Cony memberikan contoh bagaimana
melakukannya. Misalnya, memasang puzzle. Miss Cony
mencontohkan dahulu bagaimana cara memasangnya.
Hal yang sama juga dialami oleh RA pada masa-
masa awal terapi. Miss Erna mencontohkan dan meminta
RA ikut terlibat ketika merapikan mainan setelah selesai
dimainkan, sehingga RA memahami bahwa seperti apa
cara merapikannya dan dimana menaruh mainan tersebut
sesuai tempatnya.
Pada pelaksanaannya terapis Miss Cony dan Miss
Erna memberikan program terapi ABA kepada IF dan RA
102

sesuai dengan indikator yang dibuat oleh psikolog di


YCHI. Dalam prosesnya, deskripsi dari indikator tersebut
disesuaikan dengan hambatan yang dimiliki oleh anak.
Dalam kasus IF, IF baru diberikan deskripsi program
mengenalkan angka dan mengurutkan angka setelah IF
mampu lebih dahulu melaksanakan indikator kemandirian
terlebih dahulu.
Pada RA juga demikian. Miss Erna terlebih dahulu
fokus terhadap kemandirian dan kemampuan kehadiran,
baru kemudian IF diberikan materi indikator kognitif.
Pada anak lain yang sudah mampu memenuhi indikator
kemandirian, dapat langsung diberikan materi indikator
kognitif. Dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan program
terapi ABA diberikan sesuai dengan kurikulum yang telah
dibuat, namun pada pelaksanaan tiap anak, disesuaikan
kembali dengan kondisi dan hambatan anak. (BAB IV,
hal. 77-80)
Berdasarkan uraian-uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa teknik pelaksanaan terapi ABA yang
tepat akan membuat terapi ABA berjalan dengan baik
sesuai dengan tujuan dari program tersebut. Dalam hal ini
YCHI bekerjasama dengan orangtua untuk
mendisiplinkan anak melakukan berbagai hal. Hal
tersebut tidak hanya dilakukan ditempat terapi, namun
103

juga dilakukan dirumah agar anak terbiasa dan semakin


memahami tentang perilaku yang telah dibangun.

B. Indikator Keberfungsian Sosial Anak Penyandang


Autisme Sesuai Teori Edi Suharto
Dalam sub-bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai
terapi ABA dan bagaimana pelaksanaannya. Maka pada sub-
bab selanjutnya, peneliti akan menjelaskan dampak yang telah
didapatkan oleh anak penyandang autisme setelah mengikuti
program tersebut. Dalam melakukan analisis dampak program
yang terkait dengan peningkatan keberfungsian sosial pada
anak penyandang autisme, peneliti menggunakan konsep
Suharto (BAB II, hal. 33) yang mendefinisikan keberfungsian
sosial pada tiga kemampuan yaitu memenuhi kebutuhan
dasar, melaksanakan peranan sosial serta menghadapi
goncangan dan tekanan. Berikut ini keberfungsian sosial anak
penyandang autisme yang telah mengikuti program terapi
ABA:
1. Kemampuan dalam Memenuhi Kebutuhan Dasar
Kebutuhan dasar menurut Maslow meliputi
kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman dan
perlindungan, kebutuhan harga diri, kebutuhan mencintai
dan dicintai serta kebutuhan aktualisasi diri. Berdasarkan
penjelasan tersebut, maka peneliti akan menjelaskannya
lebih rinci lagi yaitu sebagai berikut:
a. Kebutuhan Fisiologis
104

Seperti yang diuangkapkan Maslow mengenai


teori kebutuhan fisiologis sebagaimana pemenuhi
nutrisi anak untuk kesehatan tubuh karena merupakan
kebutuhan paling dasar misalnya oksigen, tidur dan
terbebas dari rasa sakit. (BAB II, hal. 36). Hasil
temuan peneliti pada kemampuan anak penyandang
autisme yaitu IF dan RA dalam memenuhi kebutuhan
fisiologis yaitu, sebelum megikuti terapi ABA IF dan
RA belum mampu memenuhi kebutuhan fisiologis
mereka. Setelah mengikuti terapi ABA keduanya
perlahan-lahan menunjukkan kemampuan dalam
membina diri (berpakaian dan toilet training),
mengerti asupan gizi yang seharusnya dikonsumsi,
dan dapat mengaktualisasikan diri dengan mengikuti
program terapi ABA.
Kebutuhan ini mungkin sangat dasar dan
hampir semua manusia pasti mampu untuk memenuhi
kebutuhan ini, namun karena keterbatasan yang
dimiliki oleh anak penyandang autisme, sulit untuk
mereka memenuhi kebutuhan dasar ini. Berdasarkan
wawancara dengan orangtua IF dan RA dan juga
terapis, IF dan RA dinilai mampu untuk memenuhi
kebutuhan dasar mereka karena mengikuti program
terapi ABA dan kerjasama yang baik antara terapis
dan orangtua dalam mendukung perkembangan anak.
105

b. Kebutuhan Rasa Aman dan Perlindungan


Sebagaimana yang dijelaskan oleh Maslow
bahwa perlindungan dan rasa aman merupakan bagian
dari fisiologis, dimana setiap manusai memiliki cara
masing-masing dalam melindungi dan menghindarkan
diri dari ancaman dan bahaya. (BAB II, hal. 36). Hasil
temuan peneliti pada kemampuan anak penyandang
autisme dalam memenuhi kebutuhan rasa aman dan
perlindungan yaitu, keduanya (IF dan RA) memiliki
cara sendiri dalam melindungi dan diri mereka, yaitu
salah satunya dengan menjaga jarak dengan orang
tidak dikenal, bahkan dengan yang baru dikenal
dengan cara tidak ingin disentuh dan tidak merespon
jika diajak berkomunikasi.
Sebaliknya, ketika anak berada didekat orang-
orang yang telah dipercaya dan memiliki ikatan yang
kuat, anak akan merasa aman berada disekitar orang-
orang tersebut. Hal itu dibuktikan dengan anak
mampu beradaptasi dengan lingkungan, mau
mengikuti perintah dan mau untuk diajak
berkomunikasi.
c. Kebutuhan Mencintai dan Dicintai
106

Sebagaimana yang diungkapkan Maslow


dalam teorinya bahwa kebutuhan mencintai dan
dicintai sangat besar pengaruhnya terhadap
kepribadian seseorang dan juga dapat mendorong
seseorang seperti orang yang sedang sakit dapat
bertahan karena mendapatkan dukungan dan rasa cinta
dari orang disekitarnya.
Namun, kebutuhan ini tidak hanya tentang
kasih sayang dengan lawan jenis, tetapi juga hubungan
afektif atau ikatan emosional dengan individu seperti
orangtua, anggota keluarga, teman, dan lainnya. Hasil
penelitian pada kebutuhan ini menunjukkan bahwa
anak penyandang autisme memiliki kasih sayang dan
dukungan yang diberikan oleh keluarga, terutama
orangtua dalam membantu mereka dalam menjalani
kehidupan. Selain itu, anak penyandang autisme juga
memberi kasih sayang untuk orang terdekat dengan
cara yang mungkin sangat sederhana, seperti berbagi
mainan, bermain bersama, mengikuti perintah dan
berkomunikasi sederhana.
d. Kebutuhan Harga Diri
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Maslow
dalam teorinya, harga diri merupakan bentuk
penghargaan dari sikap maupun lisan kepada orang
lain. Sehingga memberi nilai tersendiri kepada orang
107

tersebut bahwa dirinya masih diandalkan orang lain


maupun lingkungannya. (BAB II, hal. 37). Hasil
penelitian pada kebutuhan ini adalah anak penyandang
autisme mendapatkan penghargaan atau apresiasi dari
keluarga, terutama orangtua. Orangtua selalu
mendukung kegiatan positif bagi anak mereka. Maka
dari itu orangtua mengikutsertakan anak mereka dalam
kegiatan terapi ABA di YCHI. Selama mengikuti
program terapi, banyak perubahan yang dialami anak
dan itu membuat anggota keluarga lain selain orangtua
yang ikut mengapresiasi setiap perubahan anak.
Didalam lembaga, anak juga mendapat apresiasi dari
terapis setiap kali anak melakukan sesuatu yang baik.
e. Kebutuhan Aktualisasi
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Maslow
dalam teorinya, dimana seseorang tersebut sudah
mampu mengatur ataupun mengendalikan diri dari
berbagai tekanan yag menimpa seseorang.
Membebaskan diri dari tekanan merupakan suatu
pencapaian kematangan pada diri seseorang. (BAB II,
hal. 37). Hasil penelitian pada kebutuhan ini
menunjukkan bahwa setelah mengikuti terapi ABA,
orangtua anak baru mengetahui apa materi kesukaan
anak ketika belajar dan anak pun dapat
108

mengaktualisasikan dirinya lewat materi-materi yang


dibuat dari program terapi ABA di YCHI.

2. Kemampuan Dalam Melaksanakan Peranan Sosial


Menurut Suharto dalam teorinya yaitu bahwa
peranan sosial merupakan kapasitas seseorang dalam
menjalankan tugas-tugas kehidupannya sesuai dengan
status sosialnya. Seseorang dapat dikatakan berfungsi
sosial, bila mereka mampu menjalankan peranan-
peranannya sesuai dengan status sosial, tugas-tugas dan
tuntutan norma lingkungan sosialnya. (BAB II, hal. 37).
Manusia membutuhan interaksi dengan lingkungan
sekitarnya sehingga perilaku dan kedisiplinan yang
dimiliki setiap orang merupakn cerminan dari lingkungan
sekitar, begitupun dengan anak-anak. Dimana diusianya
anak-anak cenderung belajar dan meniru apa yang ada
dilingkungan sekitarnya.
Pada anak penyandang autisme, tentunya sulit
sekali melaksanakan peranan sosial, mengingat anak
penyandang autisme memiliki masalah pada komunikasi.
Maka hasil penelitian pada kemampuan melaksanakan
peranan sosial menunjukkan bahwa, anak penyandang
autisme tidak mampu melaksanakan peranan sosial.
Sedangkan pada anak yang telah mengikuti terapi ABA,
terjadi sedikit perubahan yaitu, anak tidak menolak jika
berada ditempat ramai, anak mau bermain dengan anak
109

seusianya, tetapi anak belum mampu untuk begabung dan


mengikuti kegiatan yang ada di masyarakat.
3. Kemampuan Dalam Menghadapi Goncangan dan
Tekanan
Menurut Lubis dalam teorinya, yaitu bahwa
kemampuan menghadapi tekanan sama dengan
pemecahan masalah. Lebih lanjut Bradford dan Stein
dalam teorinya mengatakan bahwa seseorang dikatakan
dapat mengatasi masalah yang dihadapi apabila dapat
mengidentifikasi masalah, menggambarkan masalah,
memilih strategi pemecahan masalah, implementasi
strategi masalah dan mengevaluasi hasil. (BAB II, hal.
38). Hasil penelitian menunjukkan bahwa, anak
penyandang autisme tidak mampu untuk mengidentifikasi
serta menggambarkan masalah apa yang sedang dialami
dirinya. Hal itu karena anak memiliki keterbatasan
komunikasi, sehingga sulit bagi anak untuk menjelaskan
apa yang dirasakan.
Masalah yang dialami anak penyandang autisme
seringkali berkaitan dengan emosi yang tidak stabil. Maka
dari itu, terapis membuatkan strategi pemecahan masalah
yang selanjutnya didiskusikan bersama orangtua. Dalam
hal ini orangtua berperan aktif dan mampu diajak
bekerjasama untuk mengimplementasikan strategi tersebut
dirumah. Sehingga anak terbiasa dengan strategi yang
110

diberikan dan membuat anak terbiasa menggunakannya


ketika ada masalah. (BAB IV, hal. 81-90)
Untuk melihat dampak program terapi ABA dalam
meningkatkan keberfungsian sosial anak penyandang
autisme, peneliti melakukan wawancara kepada dua
orangtua anak yang mengikuti program tersebut. Adapun
dampak program terapi ABA dalam meningkatkan
keberfungsian sosial anak penyandang autisme dapat
dilihat dari perubahan sebelum dan sesudah anak
mengikuti program terapi ABA di YCHI berdasarkan
indikator keberfungsian sosial.

TAbel 5. 1 Peningkatan Keberfungsian Sosial Anak Penyandang


Autisme Pada Program Terapi ABA

No. Indikator Deskripsi Indikator


IF RA
1. Kemampuan  Mampu  Mampu
Memenuhi melaksanakan toilet melaksanakan toilet
Kebutuhan training training
Dasar  Mampu makan dan  Mampu makan dan
minum sendiri minum sendiri
 Memahami  Mampu memahami
pemenuhan gizi barang-barang
dengan mengetahui miliknya dan
makanan apa yang menaruh barang
boleh dan tidak sesuai pada
111

untuk dikonsumsi tempatnya


 Mampu menaruh  Mampu berbagi
barang sesuai barang dengan orang
tempatnya lain yang merupakan
 Mampu berbagi adiknya
mainan dengan
orang lain
2. Kemampuan  Mampu beradaptasi  Mampu beradaptasi
Melaksanakan dengan orang baru dengan orang baru
Peranan Sosial  Mampu bermain  Mampu bermain
bersama dengan bersama dengan
orang lain orang lain
3. Kemampuan Mampu melaksanakan Mampu melaksanakan
Menghadapi strategi yang strategi yang diberikan
Goncangan diberikan oleh terapis oleh terapis dan
dan Tekanan dan orangtua dalam orangtua dalam
menghadapi masalah menghadapi masalah

Berdasarkan tabel diatas menunjukkan perubahan


yang dialami oleh anak saat sebelum mengikuti program
terapi ABA di YCHI dan setelah mengikuti program
tersebut. Jika disesuaikan dengan indikator keberfungsian
sosial yang dikemukakan oleh Edi Suharto bahwa
manusia dikatakan berfungsi secara sosial apabila
memenuhi tiga kemampuan yaitu: kemampuan memenuhi
112

kebutuhan dasar, melaksanakan peranan sosial serta


menghadapi goncangan dan tekanan, maka anak
penyandang autisme termasuk yang tidak berfungsi secara
sosial dengan hambatan yang dimiliki.
Pada kasus IF dan RA keduanya menunjukkan
perubahan secara bertahap setelah mengikuti terapi
selama 5 tahun. Dalam hal berinteraksi sosial, keduanya
masih terhambat dalam komunikasi, sehingga respon yang
diberikan masih sebatas non-verbal, seperti
menganggukan atau menggelengkan kepala.
IF sudah mampu mengucapkan beberapa kata,
seperti, “iya”, “mama” dan “ayah”, sementara RA masih
sedikit dan banyak menggumamkan kata-kata yang belum
jelas. Sehingga keduanya masih perlu belajar dalam hal
komunikasi. Dalam hal kemandirian, keduanya masih
perlu arahan dari terapis dan orangtua.
Berdasarkan uraian-uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa anak penyandang autisme tidak 100%
berfungsi sosial dengan baik. Tentunya masih ada
hambatan, mengingat kondisi setiap anak berbeda.
Dengan adanya terapi ABA ini, membantu anak
penyandang autisme dengan perlahan membentuk
perilaku yang lebih baik dan meminimalisir perilaku tidak
wajar dalam diri mereka.
113

Berdasarkan indikator keberfungsian sosial, yaitu:


kemampuan memenuhi kebutuhan dasar, melaksanakan
peranan sosial dan menghadapi goncangan dan tekanan,
bahwa dalam hal ini anak penyandang autisme yang
mengikuti terapi ABA terlihat lebih banyak perubahan
pada indikator kemampuan memenuhi kebutuhan dasar,
seperti: melakukan toilet training, makan dan minum
sendiri, berbagi kasih sayang dengan orang lain dan
mengaktualisasikan diri melalui mater-materi program
terapi ABA.
Pada indikator melaksanakan peranan sosial, anak
penyandang autisme menunjukkan beberapa perubahan
yaitu beradaptasi dengan lingkungan, mengikuti kegiatan
kelompok dan bermain bersama anak seusianya. Untuk
berinteraksi dua arah secara verbal, kedua anak tidak
mampu. Sedangkan pada indikator ketiga, anak mampu
menghadapi tekanan dengan bantuan strategi yang dibuat
oleh orangtua dan terapis.

C. Diskusi
Peneliti menemukan beberapa hal menarik, yaitu
diantaranya sebagai berikut:

Anak penyandang autisme merupakan anak yang


memiliki gangguan pada komunikasi, interaksi, sensoris
dan perilaku. Autisme didiagnosa oleh dokter tumbuh
kembang anak. Namun, autisme tidak bisa hanya
114

dikotakkan sebagai masalah medis saja, mengingat bahwa


gangguan yang dialami lebih banyak pada perilaku dan
komunikasi. Maka dari itu, diperlukan program terapi
yang menyeluruh bagi anak penyandang autisme. Terapi
ABA hadir sebagai program yang dapat membantu ABK,
khususnya anak penyandang autisme dalam membentuk
perilaku lebih baik dan meminimalisir perilaku tidak
wajar. Mengacu pada model disabilitas (BAB II, hal.44)
terdapat dua model disabilitas, yaitu model medis dan
sosial, maka anak penyandang autisme lebih condong
pada model sosial , dimana gangguan yang dialami lebih
banyak pada perilaku, komunikasi dan interaksi. Dalam
hal ini, program terapi ABA merupakan program yang
tepat karena berfokus pada meminimalkan perilaku tidak
wajar anak.
Dalam hal ini, tentunya peran orangtua sangat
penting dalam membantu anak untuk mencapai
keberfungsian sosial melalui program terapi ABA. Seperti
dijelaskan pada (BAB 1, hal.2) mengenai QS. Al-Anfal
ayat 27 yang memiliki makna bahwa Allah SWT
memerintahkan umat-Nya untuk menjaga amanat dan
tidak mengkhianati amanat yang Allah SWT berikan.
Dalam hal ini, amanat tersebut dapat berupa seorang anak
yang Allah titipkan melalui rahim seorang ibu. Melalui
ayat ini juga, amanat tidak hanya diberikan kepada
115

orangtua, melainkan juga kepada orang-orang yang


bertanggung jawab atas keberlangsungan hidup anak. Para
terapis di YCHI merupakan orang-orang yang memiliki
tanggung jawab dalam perkembangan anak yang mereka
tangani. Bukanlah hal mudah bagi mereka untuk bersabar
dalam menghadapi para ABK tersebut. Dengan kata lain,
para terapis ini menjalankan amanat yang Allah SWT
berikan dengan memberikan pelayanan terbaik bagi ABK
yang mereka tangani.
Pada (BAB II, hal. 44) dijelaskan mengenai teori
sistem dimana perkembangan individu berpengaruh dari
lingkungan terdekatnya. Dalam hal ini, segala
perkembangan yang terjadi pada anak penyandang
autisme yang mengikuti terapi ABA di YCHI, tidak lepas
dari dukungan keluarga, terutama orangtua. Orangtua
merupakan support system pertama bagi anak. Dapat
dilihat bahwa anak dapat mengikuti program terapi ABA
karena dukungan dari orangtua dan disamping itu,
orangtua juga ikut berperan aktif dalam kegiatan terapi
ABA. Sehingga anak lebih cepat mengalami
perkembangan berkat dukungan tersebut.
Pada (BAB III, hal. 57) dijelaskan bahwa proses
asesmen terhadap calon klien yang merupakan ABK yang
akan mengikuti terapi ABA di YCHI dilakukan oleh
psikolog. Dalam hal ini, psikolog hanya melakukan
116

asesmen kepada ABK dan megidentifikasi seperti apa


kebutuhan, hambatan serta potensi setiap anak. Sebagai
lembaga yang berfokus dalam melayani keluarga pra-
sejahtera diperlukan peran pekerja sosial dalam
mengidentifikasi orangtua serta lingkungan anak. Maka
akan lebih maksimal bagi lembaga dalam memberikan
pelayanan bagi anak. Seperti dijelaskan dalam paragraf
sebelumnya bahwa dukungan dari keluarga merupakan
hal penting dalam keberlangsungan hidup serta
perkembangan anak. Maka dari itu, penting bagi lembaga
untuk tidak hanya mengidentifikasi anak, namun juga
keluarga terutama orangtua guna mencapi tujuan dari
program terapi ABA.
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang
dilakukan oleh peneliti mengenai dampak program terapi
ABA dalam meningkatkan keberfungsian sosial anak
penyandang autisme di YCHI, melalui wawancara,
observasi dan dokumentasi, maka peneliti dapat
menyimpulkan bahwa:
1. Pelaksanaan program terapi ABA di YCHI ditujukkan
bagi ABK, khususnya anak penyandang autisme, namun
tidak menutup kemungkinan bagi anak dengan diagnosa
lain untuk mendapatkan pelayanan yang sama. Pada
pelaksanaannya, YCHI membuat kurikulum yang berisi
indikator terapi ABA agar memudahkan terapis untuk
melihat perkembangan anak.
2. Dampak program terapi ABA dilihat dari tiga aspek
utama anak dikatakan mampu untuk berfungsi secara
sosial, yaitu: memenuhi kebutuhan dasar, melaksanakan
peranan sosial serta menghadapi goncangan dan tekanan.
Dampak dari terapi ABA terhadap anak penyandang
autisme yang paling terlihat adalah perilaku tidak wajar
dapat berkurang, membina diri, beradaptasi dengan
lingkungan, mampu mengikuti perintah, mampu

117
118

berkomunikasi dua arah sederhana. Hal-hal tersebut


diharapkan dapat berguna pada kehidupan mereka di masa
yang akan datang.
3. Berdasarkan indikator keberfungsian sosial,
perubahan yang paling banyak dialami anak penyandang
autisme adalah pada indikator kemampuan memenuhi
kebutuhan dasar, sedangkan perubahan yang masih sedikit
adalah pada indikator kemampuan melaksanakan peranan
sosial.

B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
peneliti agar lebih meningkatkan kualitas program terapi
ABA di YCHI, maka peneliti ingin menyampaikan
beberapa saran sebagai berikut:
1. Saran untuk Yayasan Cinta Harapan Indonesia
(YCHI):
a. Kegiatan untuk berkelompok yang sempat
terhenti karena pandemi, agar setelah pandemi
dilanjutkan kembali dengan periode yang lebih sering
dari sebelumnya agar anak dapat bersosialisai dan
meningkatkan kemampuan adaptasi mereka.
b. Lebih diperkuat evaluasi serta monitoring anak-
anak yang mengikuti program, agar program tetap
berjalan sebagaimana mestinya dan anak-anak
mendapatkan manfaatnya.
119

c. Diperlukan pekerja sosial untuk berkoordinasi


dengan psikolog guna membuat kurikulum terapi
ABA yang tepat bagi ABK.
2. Saran untuk orangtua anak penyandang autisme yang
mengikuti program:
Agar dapat lebih aktif dalam berkoordinasi dengan
terapis mengenai apa kebutuhan anak, potensi anak,
hambatan yang dialami anak saat mengikuti terapi dan
mengimplementasikan kembali materi yang sudah
diberikan dikelas.
3. Saran untuk masyarakat:
Untuk masyarakat, khususnya bagi yang memiliki
anak dengan kebutuhan khusus agar tetap memenuhi hak
anak dalam pendidikan dengan mengikuti pendidikan
formal, informal, atau program terapi. Hal ini selain untuk
memenuhi hak anak juga berguna agar anak memiliki
kegiatan, mampu bermanfaat minimal bagi dirinya sendiri
dan orang terdekatnya.
4. Saran untuk Program Studi Kesejahteraan Sosial:
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan
salah satu dari PMKS (Penyandang Masalah
Kesejehateraan Sosial), namun masih banyak mahasiswa
yang kurang concern terhadap hal ini. Agar kedepannya
lebih diperdalami lagi mata kuliah disabilitas terutama
mengenai program-program yang dapat membantu ABK
120

atau penyandang disabilitas dalam mengembangkan diri


mereka.
5. Saran untuk penelitian selanjutnya:
Untuk peneliti selanjutnya agar lebih menggali
lebih dalam tentang program-program terapi untuk anak
penyandang autisme, juga lembaga-lembaga yang
mengadakan program serupa. Agar selanjutnya dapat
dijadikan bahan perbandingan terkait efektifitas dan
dampak yang dihasilkan dari program terebut.
DAFTAR PUSTAKA

Adjeng, Jane, and M Ilmi Hatta. 2014. “Pengaruh Terapi ABA


Terhadap Interaksi Sosial Anak Autis Di SLB Autis
Prananda Bandung.” Prosiding Penelitian Sivitas Akademika
Unisba (Sosial Dan Humaniora) 2: 430–36.
Atmaja, Jati Rinakri. 2017. Pendidikan Dan Bimbingan Anak
Berkebutuhan Khusus. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Danuatmaja, Bonny. 2003. Terapi Anak Autis Dirumah. Jakarta:
Puspa Swara.
fahrudin, Adi. 2014. Pengantar Kesejahteraan Sosial. Bandung:
PT. Refika Aditama.
Hadi Sutopo, Ariesto. Arief dan Adrianus. 2010. Terampil
Mengolah Data Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Group.
Handojo. 2003. Autisma: Petunjuk Praktis Dan Pedoman Materi
Untuk Mengajarkan Anak Normal, Autis Dan Perilaku Lain.
Jakarta: Bhuana Populer.
Hidayat, A. Aziz Alimul. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar
Manusia Aplikasi Konsep Dan Proses Keperawatan.
Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
Julimet, Nofri, and Sofyan Cholid. 2017. “Pelatihan Terapi Autis
Metode Applied Behavior Analysis (Aba) (Studi Kasus Pada
Proses Pelatihan Terapi Autis Di Lembaga Pemasyarakatan
Kelas I Tangerang).” Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial 16
(2): 92–115. https://doi.org/10.7454/jurnalkessos.v16i2.52.
Mangunsong, Frieda. 2009. Psikologi Dan Pendidikan Anak
Berkebutuhan Khusus. Jilid Kesa. Depok: LPSP3 UI.
Maulipaksi, Desiana. 2017. “Sekolah Inklusi Dan Pembangunan
SLB Dukung Pendidikan Inklusi.” Kemendikbud.
https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2017/02/sekolah-
inklusi-dan-pembangunan-slb-dukung-pendidikan-inklusi.
Millati, Sofiana. 2016. Social Relational Dalam Penyandang
Disabilitas. INKLUSI: Journal of Disability Studies 3 (2):
285–304. https://doi.org/10.14421/ijds.030207.

121
122

Model, Medical, and Social Model. n.d. “Office of


Developmental Primary Care,” no. 415.
Patdriani, Siska. 2018. Pelaksanaan Terapi Keterampilan Sosial
Bagi Anak Autis. Director. Vol. 15.
http://awsassets.wwfnz.panda.org/downloads/earth_summit_
2012_v3.pdf%0Ahttp://hdl.handle.net/10239/131%0Ahttps:/
/www.uam.es/gruposinv/meva/publicaciones
jesus/capitulos_espanyol_jesus/2005_motivacion para el
aprendizaje Perspectiva alumnos.pdf%0Ahttps://ww.
Patnani, Miwa. 2013. “Upaya Meningkatkan Kemampuan
Problem Solving Pada Mahasiswa.” Jurnal Psikogenesis 1
(2): 185–98.
Peningkatan, Pusat, Produktivitas Hutan, and Badan Penelitian.
2015. “Analisis Kelayakan Finansial Usaha Budidaya
Bambu.” Analisis Kelayakan Finansial Usaha Budidaya
Bambu 8 (1): 14–24. https://doi.org/10.22146/jik.8548.
Permenkumham RI 2015. “Permen PPPA Nomor 10 Tahun 2011
Tentang Kebijakan Penanganan Anak Berkebutuhan
Khusus.” Menteri Kesehatan Republik Indonesia Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 65 (879):
2004–6.
https://www.bphn.go.id/data/documents/12pmkumham014.p
df.
Raco, J.R. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Grasindo.
Raho, Bernard. 2014. Sosiologi. Flores NTT: Ledalero.
Subagyo. 2015. Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktik.
Jakarta: Rineka Cipta.
Sugiarmin, Baihaqi. 2006. Memahami Dan Membantu Anak
ADHD. Bandung: PT. Refika Aditama.
Sugiyono. 2012. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV
Alfabeta.
———. 2015. Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, R&D.
Bandung: Alfabeta.
Suharto, Edi. 2014. Membangun Masyrakat Memberdayakan
123

Rakyat Kajian Strategis Kesejahteraan Sosial. Bandung: PT.


Refika Aditama.
Sulistyawati, Evi. 2018. “Penerapan Metode Terapi Perilaku Pada
Anak Usia Dini Dengan Autisme (Studi Deskriptif Di Pusat
Layanan Disabilitas Dan Pendidikan Inklusif Kota Surakarta
Dan Mutiara Center Kota Surakarta).”
Sutady, Rudi. 2002. Autisme Dan ABA/Metode Loovas. Jakarta:
Jakarta Medical Center.
124

LAMPIRAN
125

Lampiran 1

SURAT BIMBINGAN SKRIPSI


126

Lampiran 2
SURAT IZIN PENELITIAN SKRIPSI
127

Lampiran 3

FOTO-FOTO KEGIATAN DI YAYASAN CINTA


HARAPAN INDONESIA

Salah satu kegiatan dalam program terapi ABA yaitu menyusun


puzzle.

Salah satu kegiatan dalam program terapi ABA yaitu melatih oral
dengan cara meniup pom-pom.
128

Lampiran 4

PEDOMAN WAWANCARA ORANGTUA ANAK


PENYANDANG AUTISME

Data Informan

Jenis Informan:

Nama:

Umur:

Hari/Tanggal:

Waktu:

Lokasi:

Topik Wawancara :

No. Pertanyaan
1. Bagaimana kronologi hingga anak didiagnosa Autisme ?
2. Apakah anak memiliki riwayat penyakit lain?
3. Apa saja terapi yang sedang atau pernah diikuti oleh
anak?
4. Bagaimana perubahan anak setelah terapi tersebut?
5. Sudah berapa lama anak menjalani terapi ABA di YCHI?
6. Bagaimana penyesuaian diri anak saat pertama kali
bergabung di YCHI?
129

7. Sebelum mengikuti terapi ABA, bagaimana kemampuan


anak dalam memenuhi kebutuhan dasar?
8. Setelah mengikuti terapi ABA, bagaimana kemampuan
anak dalam memenuhi kebutuhan dasar?
9. Sebelum mengikuti terapi ABA, bagaimana kemampuan
anak dalam bersosialisasi di lingkungan baru?
10. Setelah mengikuti terapi ABA, bagaimana kemampuan
anak dalam bersosialisasi di lingkungan baru?
11. Sebelum mengikuti terapi ABA, bagaimana strategi orang
tua untuk membantu anak dalam mengatasi masalah yang
dihadapinya?
12. Setelah mengikuti terapi ABA, bagaimana strategi orang
tua untuk membantu anak dalam mengatasi masalah yang
dihadapinya?
13. Apakah anak sudah menerapkan strategi yang diberikan?
14. Apa saja perubahan signifikan anak yang dirasakan oleh
orangtua setelah menjalani terapi ABA di YCHI?
130

PEDOMAN WAWANCARA TERAPIS ABA

Data Informan
Jenis Informan:
Nama:
Umur:
Hari/Tanggal:
Waktu:
Lokasi:
Topik Wawancara :

No. Pertanyaan
1. Sudah berapa lama Ibu menjadi terapis di YCHI ?
2. Ada berapa anak yang Ibu tangani di YCHI?
3. Bagaimana materi kemampuan kehadiran yang diberikan
kepada anak?
4. Bagaimana materi kognitif yang diberikan kepada anak?
5. Bagaimana materi bahasa yang diberikan kepada anak?
6. Bagaimana materi kemandirian yang diberikan kepada
anak?
7. Bagaimana materi pretend play yang diberikan kepada
anak?
9. Bagaimana instruksi yang diberikan kepada anak ketika
terapi ABA?
9. Bagaimana respon terapis kepada anak ketika anak telah
melaksanakan instruksi?
10. Bagaimana bantuan yang diberikan ketika anak tidak
mampu melaksanakan instruksi?
11. Apa saja hambatan dalam pelaksanaan program terapi
ABA?
131

PEDOMAN WAWANCARA KETUA HARIAN YCHI

Data Informan

Jenis Informan:

Nama:

Umur:

Hari/Tanggal:

Waktu:

Lokasi:

Topik Wawancara :

No. Pertanyaan
1. Sudah berapa lama Bapak menjadi ketua di YCHI?
2. Bagaimana latar belakang didirikannya YCHI?
3. Untuk mendukung program, dengan siapa saja YCHI
menjalin kerjasama?
4. Ada berapa anak yang tergabung didalam YCHI?
5. Bagaimana sosialisasi yang diberikan kepada masyarakat
terkait program yang diberikan oleh YCHI ?
6. Bagaimana pengorganisasian program di YCHI?
7. Bagaimana proses pengawasan program di YCHI?
132

PEDOMAN WAWANCARA PENGURUS YCHI

Data Informan

Nama:

Waktu Pelaksanaan:

Lokasi:

No. Pertanyaan
1. Sudah berapa lama Ibu menjadi pengurus di YCHI?
2. Apa saja program-program yang ada di YCHI selain
terapi ABA ?
3. Bagaimana alur penanganan klien di YCHI ?
4. Bagaimana proses pelaksanaan program terapi ABA ?
5. Bagaimana proses pembuatan perencanaan program?
6. Apa saja persyaratan yang diperlukan untuk mengikuti
program di YCHI?
7. Apa saja indikator yang ada dalam terapi ABA?
133

Lampiran 5

TRANSKRIP WAWANCARA

Jenis Informan: Ketua Harian YCHI

Nama: Jupri Abdul Mu’in

Umur: 35 Tahun

Hari/Tanggal: Selasa, 11 Agustus 2020

Waktu: 10.00 WIB

Lokasi: Ruang Manajemen YCHI

Topik Wawancara: Informasi umum mengenai lembaga

No. Pertanyaan Jawaban


1. Sudah berapa lama bapak Saya disini itu dari tahun
menjadi ketua harian di 2005 dan waktu itu belum
YCHI? menjadi ketua. Saya dipilih
menjadi ketua sekitar tahun
2010.
2. Bagaimana latar belakang YCHI didirikan oleh Bapak
didirikannya YCHI? Zulfikar dan Ibu Nila
istrinya, itu karena mereka
punya anak yang mengidap
autisme. Mereka
merasakan sulitnya
merawat dan apalagi
biayanya yang cukup besar.
Tergerak lah hati mereka
untuk membuat yayasan
134

ini, terutama bagi keluarga


pra-sejahtera.
3. Saat ini ada berapa cabang Sekarang ini YCHI ada 8
YCHI? cabang di 5 kota. Oh sama
ada 1 sekolah lagi. Beda
yah pusat terapi dengan
sekolah. Sekolahnya itu
SLB itu ada di NTT.
4. Ada berapa anak yang Jumlah anak yang aktif saat
tergabung didalam YCHI ini ada 23 ABK. Kalau
Pusat? penyandang autisme
sendiri itu ada 11 anak.
Semuanya kita kasih
program ABA.
5. Apa tujuan dari Tujuan utamanya ya terapi
diadakakannya program ABA memberika bekal
terapi ABA di YCHI? dasar bagi anak
penyandang autisme agar
mereka mampu menjalani
kehidupan sehari-hari. Itu
kan ya yang paling penting
dalam kehidupan, lalu yang
dapat memudahkan diri
mereka, karena kehidupan
dimasa depan anak tidak
bisa selalu bergantung
dengan orang lain.
6. Untuk mendukung program, Kalau kerjasama
dengan siapa saja YCHI Alhamdulillah sih, kita
menjalin kerjasama? sudah banyak ya. Ada dari
NGO USA, HBO Asia,
Komunitas Peduli Sehat,
Perusahaan Gopay untuk
donasi, ya rata-rata
135

kerjasama saat ada


kegiatan atau program
tertentu saja.

7. Bagaimana sosialisasi yang Kalau dari awal mulanya


diberikan kepadadidirikan sih masih door to
masyarakat terkait program door ya jelasin ke
yang diberikan oleh YCHI ? masyarakat mengenai apa
sih ABK, Autisme, ADHD
itu. Terus makin kesini
makin banyak partner
untuk kerjasama kayak dari
universitas, komunitas atau
lembaga peduli disabilitas
gitu, nah mulai lah kita
adain seminar-seminar
edukasi mengenai ABK
dan terapi ABA.
8. Apa harapan Bapak Saya sih berharap tujuan
kedepannya dengan dari program ini dapat
diadakannya program terapi tercapai dan dirasakan
ABA? manfaatnya bagi yang ikut.
Kedepannya semoga kita
bisa tambah SDM biar bisa
menangani lebih banyak
anak.
136

TRANSKRIP WAWANCARA

Jenis Informan: Pengurus YCHI

Nama: Fatimah

Umur : 29 Tahun

Hari/Tanggal: Rabu, 12 Agustus 2020

Waktu: 11.00 WIB

Lokasi: Ruang Tunggu YCHI

Topik Wawancara: Pelaksanaan program terapi ABA di YCHI

No. Pertanyaan Jawaban


1. Sudah berapa lama anda Saya sudah bergabung di
menjadi pengurus di YCHI? YCHI sejak masih kuliah,
sekitar tahun 2013.Waktu
itu YCHI buka untuk
volunteer. Selesai kuliah,
saya ikut pelatihan terapis
terus bergabung menjadi
terapis sejak 2016 dan
setahun terakhir ini saya ada
dibagian manajemen
sebagai pengurus juga.
2. Apa saja program-program Program utamanya yaitu
yang ada di YCHI selain terapi ABA. Program
terapi ABA ? pendukung lainnya ada yoga
dan hydroteraphy. Untuk
program diluar keterapisan
YCHI ada seminar yang
137

biasanya kerjasama dengan


lembaga atau perusahaan
tertentu, lalu ada outing
class (outbond, karyawisata)
dan sosialisasi ke sekolah-
sekolah.
3. Bagaimana alur penanganan Untuk alur penanganan
klien di YCHI ? klien kami ada 5 tahapan,
yaitu: wawancara,
melengkapi berkas,
asesmen, screening, lalu
setelah itu bisa mulai sesi
terapi ABA. Wawancara
dilakukan biasanya diawal
ketika orangtua mencari
informasi mengenai
program YCHI, disitu juga
kami menggali informasi
mengenai calon klien
melalui wawancara, setelah
itu kami meminta orangtua
untuk melengkapi berkas
yang berupa KTP orangtua,
KK dan SKTM (ini kalau
keluarganya pra-sejahtera).
Setelah berkasnya lengkap,
calon klien akan diberikan
asesmen oleh psikolog
YCHI. Tapi, ini nggak
semua anak. Kalau anak
sudah pernah diberikan
asesmen sebelumnya, boleh
diserahkan saja hasilnya ke
138

psikolog agar dikaji lebih


lanjut. Kalau sudah selesai,
psikolog dan terapis akan
melakukan screening terkait
materi pembelajaran yang
akan diberikan ke anak.

4. Berapa lama satu sesi anak Waktu terapi selama 90


terapi? menit seminggu dua kali. Itu
hanya untuk terapi ABA nya
saja, kalau yoga dan
hydroteraphy itu diluar
waktu tersebut, biasanya sih
sebulan sekali. Tapi, karena
lagi pandemi untuk
sementara di stop dulu jadi
kita fokusnya ke terapi ABA
saja.
5. Bagaimana menentukan Sebelum mulai terapi,
jadwal bagi anak dalam biasanya saat wawancara
pelaksanaan program terapi kita tanya dulu kira-kira
ABA ? orangtuanya ada waktu
kapan untuk nganter
anaknya agar nanti
jadwalnya disesuaikan. Kita
utamakan salah satu
orangtuanya bisa nganter
agar lebih mudah antara
orangtua dan terapis kalau
ingin konsultasi dan
orangtua juga leih mudah
kalau mau mantau anaknya.
6. Apa saja persyaratan yang Kalau syarat khusus nggak
139

diperlukan untuk mengikuti ada. Mau dari keluarga


program di YCHI? sejahtera ataupun pra-
sejahtera kita akan terima.
Syarat utama sih paling ya
surat dokter mengenai
diagnosa anak, sama kalau
ada surat hasil asesmen dari
psikologi, tapi ini nggak
masalah kalau tidak ada
karena nantinya YCHI akan
memfasilitasi pemberian
asesmen tersebut.
7. Bagaimana proses Untuk proses perencanaan,
pembuatan perencanaan tentunya setiap tahun kita
program? membuat perencanaan
secara umum. Kan inti dari
terapi ABA itu
meminimalkan perilaku
tidak wajar, jadi kami
fokusnya kesitu sih. Tapi,
karena setiap anak
kebutuhan, potensi dan
hambatannya akan berbeda,
maka dari itu kami akan
membuat perencanaan yang
lebih spesifik lagi
berdasarkan hasil asesmen
dari psikolog.
8. Apa saja indikator yang ada Secara umum indikatornya
dalam kurikulum terapi ada: kemampuan kognitif,
ABA tersebut? bahasa, kehadiran,
kemandirian dan role play.
Selebihnya disesuaikan
dengan hambatan dan
140

potensi masing-masing
anak.
9. Apa saja indikator Dampaknya pasti tiap orang
keberhasilan dari terapi berbeda. Kalau kita tanya ke
ABA? anaknya kan nggak bisa ya,
paling kita tanya ke
orangtuanya. Tolak ukur
keberhasilan dilihat dari
perkembangan anak.
Misalnya, yang tadinya
belum bisa ke toilet sendiri,
sekarang bisa.
Perkembangan dari hal-hal
kecil lah.
10. Apa harapan Ibu Ya harapan kedepannya
kedepannya dengan tentu aja semoga kualitas
diadakannya program terapi terapi dan terapisnya makin
ABA? baik dan manfaatnya bisa
dirasakan sama orangtua
dan anak.
141

TRANSKRIP WAWANCARA

Jenis Informan: Terapis ABA

Nama: Erna

Umur: 49 Tahun

Hari/Tanggal: Senin, 19 Oktober 2020

Waktu: 09.30 WIB

Lokasi: Ruang Terapi YCHI

Topik Wawancara: Pelaksanaan program terapi ABA bagi anak


penyandang autisme

No. Pertanyaan Jawaban


1. Sudah berapa lama anda Saya kira-kira sudah lima
menjadi terapis di tahun di YCHI.
YCHI ?
2. Ada berapa anak yang Sebelum pandemi itu ada 3
anda tangani saat ini? sampai 4 anak, tapi karena lagi
dibatasi jadi sekarang cuma
megang 2 anak.
3. Bagaimana materi Di bagian ini biasanya rincian
kemampuan kehadiran tugasnya itu kita membuat
yang diberikan kepada anak duduk anteng dikursinya
anak? sampai sesi terapi selesai.
Biasanya anak gak akan stay di
kursi sampai selesai terapi,
tetapi setiap anak turun dari
kursinya, kita selalu arahkan
untuk kembali duduk dan
menyelesaikan semua tugas
yang dikasih dikursinya.
142

4. Bagaimana materi Tugas di bagian kognitif ini


kognitif yang diberikan contohnya kayak masang
kepada anak? puzzle, nyusun gambar
berdasarkan warna yang sama,
menggunting dan menempel
ngikutin pola.
5. Bagaimana materi Tugas dibagian bahasa
bahasa yang diberikan contohnya kayak memberikan
kepada anak? contoh berbagai macam
ekspresi lewat gambar, terus
juga kita kasih contoh gambar,
misalnya orang lagi makan
buah apel. Nah, saya kasih tahu
ke RA dengan jelas kalau di
gambar itu ada anak laki-laki
sedang makan buah apel dan
duduk diatas kursi.
6. Bagaimana materi Tugas dibagian kemandirian
kemandirian yang ini, kita mulai dari saat terapi
diberikan kepada anak? dulu. Kalau RA tiba-tiba
berantakin mainannya, saya
contohkan untuk merapikan
mainan, abis itu saya minta RA
yang merapikan. Setiap sesi
terapi selesai, saya juga selalu
minta RA yang merapikan alat
belajar dan memasukkan
kedalam tas.
7. Bagaimana materi Di bagian ini kita ngajarin anak
pretend play yang bermain peran dari mainan
diberikan kepada anak? yang ada. Misalnya ada mainan
masak-masakan. Nah, saya
ajak main RA dengan saya
minta RA jadi kokinya yang
masak dan saya ceritanya jadi
pembeli. Nanti saya pura-pura
143

makan dan muji hasil


masakannya.
8. Bagaimana instruksi Kita menggunakan instruksi.
yang diberikan kepada Disini bahasanya perintah
anak ketika terapi ABA? sederhana. Biasanya perintah
atau instruksi yang digunakan
itu satu atau dua kata saja,
misalnya: “rapikan mainan”
atau “susun baloknya”. Yang
sederhana saja seperti itu.”
9. Bagaimana respon Setelah memberi perintah atau
terapis kepada anak instruksi ke anak, kita juga
ketika anak telah wajib ngasih respon. Misalnya
melaksanakan instruksi? “tidak” atau “benar”,
tergantung apa yang dilakukan
anak. Itu diperlukan biar anak
tau yang dia lakukan benar atau
salah.
10. Bagaimana bantuan Biasanya kalau anak belum
yang diberikan ketika mengerti sama instruksi, kita
anak tidak mampu kasih bantuan berupa contoh
melaksanakan instruksi? dari instruksi tersebut. Kadang
anak tidak fokus kalau
dicontohin dan kalau
masalahnys seperti itu, kita
praktekkan langsung dengan
cara arahin tangan anak biar
mengikuti kita.
11. Apa saja hambatan Biasanya sih ketika anak lagi
dalam pelaksanaan nggak mood atau naik turun
program terapi ABA? gitu emosinya. Banyak
penyebabnya kan ya kayak
gini. Kadang dari rumah udah
nggak mood dan berlanjut
sampe tempat terapi. Kalau
udah begitu kan anak biasanya
susah nggak mau disuruh
apapun.
144

TRANSKRIP WAWANCARA

Jenis Informan: Terapis ABA


Nama: Cony
Umur: 25 Tahun
Hari/Tanggal: Selasa, 03 November 2020
Waktu: 21.00 WIB
Lokasi: Via telepon Whatsapp
Topik Wawancara: Pelaksanaan program terapi ABA bagi anak
penyandang autisme
No. Pertanyaan Jawaban
1. Sudah berapa lama anda Saya disini dari tahun 2016.
menjadi terapis di Empat tahun lebih berarti ya.
YCHI ?
2. Ada berapa anak yang Saya awalnya menghandle 6
anda tangani saat ini? orang anak, tapi sekarang saya
hanya part-time di YCHI jadi
cuma menangani 2 anak saja.
3. Bagaimana materi Di bagian ini biasanya rincian
kemampuan kehadiran tugasnya itu kita membuat
yang diberikan kepada anak duduk anteng dikursinya
anak? sampai sesi terapi selesai.
Biasanya IF gak akan stay di
kursi sampai selesai terapi,
tetapi setiap IF turun dari
kursinya, kita selalu arahkan
untuk kembali duduk dan
menyelesaikan semua tugas
yang dikasih dengan duduk
dikursi.
4. Bagaimana materi Kalau dibagian ini, materinya
145

kognitif yang diberikan yang berhubungan sama pola


kepada anak? pikir. Contoh tugasnya itu
mengurutkan angka dari yang
kecil sampai besar atau
sebaliknya. Biasanya saya
sediain flashcard berwarna
yang ada tulisan besar angka 1-
10 dan minta IF untuk
mengurutkan
5. Bagaimana materi Di bagian indikator bahasa,
bahasa yang diberikan terapis fokus pada memberikan
kepada anak? anak perintah secara verbal.
Gunanya dari indikator ini agar
anak bisa merespon apa yang
dikatakan orang lain. Biasanya
saya kasih IF perintah biasa
sih, kayak: ambil benda, angkat
dan rapikan, ambil dan
simpan.kita juga ajarkan anak
basic manners seperti: maaf,
tolong dan terimakasih
6. Bagaimana materi Kalau di bagian indikator
kemandirian yang kemandirian anak, paling dasar
diberikan kepada anak? kita ajarkan dulu toilet training.
Kalau IF menurut penuturan
ibunya, sudah pernah diajarkan
dirumah. Jadi, terapis
melanjutkan hal itu dengan
mendisiplinkan anak untuk
buang air di toilet ketika
sedang terapi.
7. Bagaimana materi Pada bagian ini, fokusnya kita
pretend play yang adalah supaya anak tau
diberikan kepada anak? berbagai peran yang ada
dikehidupan sehari-hari.
Contohnya saya mengajak
146

bermain peran dengan IF


menjadi kasir toko dan saya
yang belanja. Saya minta IF
untuk memberikan kembalian
uang.
8. Bagaimana instruksi Saya memberikan instruksi
yang diberikan kepada ketika sedang mengajari IF.
anak ketika terapi ABA? Agar IF paham apa perintah
yang saya kasih. Biasanya yang
dikasih perintah sederhana,
misal:”samakan warna”,
“samakan gambar”.
9. Bagaimana respon Sama seperti memberi
terapis kepada anak instruksi, kita juga harus
ketika anak telah memberi respon pada semua
melaksanakan instruksi? yang sudah dilakukan anak..
respon juga sederhana saja
seperti: “tidak” kalau yang
dilakukan salah dan “betul”
kalau yang dilakukan betul.
10. Bagaimana bantuan Kita juga memberikan bantuan
yang diberikan ketika kalau anak belum bisa
anak tidak mampu melakukan instruksi yang kita
melaksanakan instruksi? kasih. Bantuannya bisa berupa
kita contohkan dulu instruksi
apa yang diberikan atau kita
arahin tangannya untuk
melakukan instruksi itu.
11. Apa saja hambatan Hambatan terbesar ketika anak
dalam pelaksanaan sedang nggak mood. Biasanya
program terapi ABA? anak jadi tantrum dan nangis.
Kalau sudah begitu, proses
terapi jadi terhambat. Kadang
kalau gak berhenti juga
tantrumnya, bisa-bisa selama
1,5 jam itu nggak ngapa-
ngapain.
147

TRANKSRIP WAWANCARA

Jenis Informan: Ibu dari RA

Nama: Susanah

Hari/Tanggal: Selasa, 11 Agustus 2020

Waktu: 10.00 WIB

Lokasi: Via telepon Whatsapp

Topik Wawancara: Dampak program terapi ABA dalam


meningkatkan keberfungsian sosial anak penyandang autisme

No. Pertanyaan Jawaban


1. Bagaimana kronologi Awalnya RA didiagnosa
hingga anak didiagnosa autisme iu waktu usia 2
Autisme ? tahun. Sebenernya dari bayi
itu dia sering kejang-kerjang
dan waktu dibawa ke dokter
dibilangnya epilepsi. Terus
lama-lama RA kok
perkembangannya lambat
dibanding anak lain. Saya
direkomendasiin bawa ke
dokter tumbuh kembang
waktu RA berusia 2 tahn
dan akhinya ya itu
didiagnosa autisme.
2. Apa saja terapi yang Kalau terapi sih baru ABA
sedang atau pernah diikuti ini aja. Tapi saya sempet
oleh anak terkait dengan masukin RA ke sekolah
kondisi tersebut? inklusi, cuma nggak lama
148

sih karena waktu itu RA


masih sering kejangnya jadi
berhenti dulu sekolahnya
buat lanjutin pengobatan.
4. Bagaimana perubahan Waktu itu sih belum banyak
anak setelah terapi perubahan karena nggak
tersebut? nyampe sebulan waktu itu
sekolahnya cuma sebentar
saja.
5. Sudah berapa lama anak Sekitar 4 tahun kak.
menjalani terapi ABA di
YCHI?
7. Sebelum mengikuti terapi RA belum paham untuk
ABA, bagaimana makan, minum sendiri,
kemampuan anak dalam bahkan buang airnya juga
memenuhi kebutuhan masih sama saya waktu itu.
dasar?
8. Setelah mengikuti terapi Alhamdulillah kak setelah
ABA, bagaimana beberapa tahun ikut terapi
kemampuan anak dalam banyak perubahan terutama
memenuhi kebutuhan dalam hal makan, minm
dasar? sendiri, ke toilet sendiri
(buang air dan mandi
sendiri), pakai dan lepas
baju sendiri, merapikan
tempat tidur pas mau tidur.
9. Sebelum mengikuti terapi RA anaknya pemalu banget
ABA, bagaimana sih. Dia nggak terlalu suka
kemampuan anak dalam dengan keramaian. Jadi dia
bersosialisasi di biasanya ngehindar kalau
lingkungan baru? ada keramaian, dia lebih
suka menyendiri saja.
10. Setelah mengikuti terapi Belum banyak perubahan
149

ABA, bagaimana sih kak. RA masih nggak


kemampuan anak dalam terlalu nyaman kalau
bersosialisasi di ditempat ramai, tapi dia juga
lingkungan baru? nggak menolak kayak dulu
kalau saya ajak ke tempat
ramai.
11. Sebelum mengikuti terapi Dulu kalau RA tantrum saya
ABA, bagaimana strategi bisa panik sendiri. Saya
orang tua untuk membantu selalu tanya maunya apa,
anak dalam mengatasi tapi dia bisa tambah
masalah yang kencang nangisnya. Sampai
dihadapinya? kadang kalau lagi capek
saya bisa kesal dan jadi
agak tinggi nada bicaranya.
12. Setelah mengikuti terapi Saya selalu konsultasi
ABA, bagaimana strategi dengan Miss Erna kalau RA
orang tua untuk membantu habis terapi. Miss Erna
anak dalam mengatasi memberikan saya informasi
masalah yang mengenai RA dan apa yang
dihadapinya? harus dilakukan kalau RA
lagi tantrum. Waktu dulu
sebelum terapi kalau RA
tantrum biasanya saya
tanyain dia kenapa, tapi
kalau ditanya dianya malah
terus nangis. Sekarang sih
sudah dikasih tau, lebih baik
diamkan dulu, tanya pelan-
pelan dan beri hal
kesukaannya dia.
13. Apakah anak sudah Kalau dia sendiri sih belum,
menerapkan strategi yang harus saya yang bantuin
diberikan? karena dia juga nggak bisa
150

omongin kalau dia tantrum


itu sebabnya apa.
14. Apa saja perubahan Paling keliatan sih dibagian
signifikan anak yang emosi ya. Sekarang RA
dirasakan oleh orangtua kalau tantrum nggak pernah
setelah menjalani terapi lagi lempar-lempar barang
ABA di YCHI? terus juga kalau saya
perintah dia mau ngerjain,
bahkan kalau hal yang udah
sering diperintah dia bisa
hafal dan langsung
ngelakuin tanpa diperintah.
151

TRASKRIP WAWANCARA

Jenis Informan: Ibu dari IF

Nama: Imelda

Hari/Tanggal: Selasa, 11 Agustus 2020

Waktu: 10.00 WIB

Lokasi: Via telepon Whatsapp

Topik Wawancara: Dampak program terapi ABA dalam


meningkatkan keberfungsian sosial anak penyandang autisme

No. Pertanyaan Jawaban


1. Bagaimana kronologi hingga IF waktu itu saya bawa
anak didiagnosa Autisme ? ke dokter saat usia 2
tahun karena speech
delay dan
perkembangannya
lambat. Dokter
mendiagnosa IF
autisme PDD-NOS.
3. Apa saja terapi yang sedang Belum pernah ikut
atau pernah diikuti oleh anak? terapi lain selain ABA.
5. Sudah berapa lama anak Sudah dari tahun 2016
menjalani terapi ABA di kak.
YCHI?
7. Sebelum mengikuti terapi IF waktu belum ikut
ABA, bagaimana kemampuan terapi, belum paham
anak dalam memenuhi tentang kebutuhan
kebutuhan dasar? dasar. Dia belum bisa
makan dan minum
152

sendiri, toilet training


sudah diajari dari kecil
tapi belum bisa.
8. Setelah mengikuti terapi ABA, Setelah ikut terapi
bagaimana kemampuan anak ABA, mulai ada
dalam memenuhi kebutuhan perubahan pelan-pelan.
dasar? Di mulai dari bisa
makan dan minum
sendiri, mau mengikuti
perintah saya kayak
makanan apa yang
dilarang, jadinya dia
paham sendiri tanpa
saya larang dia sudah
ngerti makanan paa
yang boleh dan tidak
boleh dia makan. Terus
juga dia sudah mau
melaksanaka perintah
sederhana dari saya
maupun dari ayahnya.
9. Sebelum mengikuti terapi IF sih anaknya cuek aja
ABA, bagaimana kemampuan kalau diajak ketempat
anak dalam bersosialisasi di ramai. Dia nggak
lingkungan baru? menolak tapi juga
nggak mau kalau diajak
komunikasi. Dia lebih
suka main sendiri aja.
10. Setelah mengikuti terapi ABA, Setelah ikut terapi, dia
bagaimana kemampuan anak mau kalau diajak main
dalam bersosialisasi di bareng sama temen
lingkungan baru? seusianya, kayak main
sepeda atau main lari-
153

larian aja gitu. Kalau


masalah interaksi gitu
dia belum bisa sama
sekali. Paling dirumah
aja sama saya dan
ayahnya dia bawel
banget walaupun
ngomongnya juga
masih sering bubbling
aja.
11. Sebelum mengikuti terapi Dulu saya belum ngerti
ABA, bagaimana strategi orang apa yang harus
tua untuk membantu anak dilakukan kalau IF lagi
dalam mengatasi masalah yang tantrum. Jadi saya
dihadapinya? biasanya tanyain dia
kenapa dan maunya
apa. Kalau dia masih
tetep nangis juga saya
diemin aja nanti juga
capek sendiri dia.
12. Setelah mengikuti terapi ABA, Saya sering konsul dan
bagaimana strategi orang tua diberitahu juga sama
untuk membantu anak dalam Miss Cony yang
mengatasi masalah yang nanganin IF kalau anak
dihadapinya? harus sering diberi
reward kalau habis
ngelakuin sesuatu. Jadi,
saya pakai cara itu juga
kalau dia lagi tantrum.
Selain saya tanya
maunya apa, saya juga
kasih hal-hal kesukaan
dia.
154

13. Apakah anak sudah IF sih belum ya dan


menerapkan strategi yang kata Miss nya pun
diberikan? strategi akan berhasil
kalau yang memberikan
adalah orang yang
dipercaya oleh anak.
14. Apa saja perubahan signifikan Perubahan yang
anak yang dirasakan oleh keliatan banget sih
orangtua setelah menjalani kontrol emosi, kayak
terapi ABA di YCHI? misalnya dia udah
nggak gampang marah
ketika saya larang dan
melaksanakan perintah,
kayak beresin piring
kalau abis makan dan
beresin mainannya.
Kebetulan dia anaknya
nggak suka berantakan
jadi kalau ada yang
berantakan sedikit dia
langsung ambil
barangnya dan naruh
ditempat yang biasanya
dia tahu barang itu
letaknya disitu. Dua hal
itu yang paling
keliatan.

Anda mungkin juga menyukai