Anda di halaman 1dari 111

KEBERFUNGSIAN SOSIAL PENYANDANG

DISABILITAS TUNADAKSA PASCA PEMANFAATAN


MODIFIKASI MOTOR RODA TIGA DI KOMUNITAS
DIFABEL MOTOR COMMUNITY CIPUTAT TIMUR

Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Muhamad Norhalim(1112054100056)

PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL


FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H / 2019 M
ABSTRAK

Muhamad Norhalim, 1112054100056


Keberfungsian Sosial Penyandang Disabilitas
TunadaksaPasca Pemanfaatan Modifikasi Motor Roda Tiga
Di Komunitas DifabelMotorComunnityCiputat Timur

Penyandang Disabilitas Tunadaksa adalah salah satu


ragam dari jenis disabilitas dari sebagiam kelompok masyarakat
yang beragam dengan karateristik yang berbeda. Aksesibilitas
bagi disabilitas dari segala sektor adalah salah satu hak yang
dimiliki oleh setiap penyandang disabilitas. Transportasi
merupakan salah satu yang diperlukan bagi para disabilitas
sebagai alat bagi penyandang disabilitas untuk memudahkan
aksesibilitas untuk memperoleh keberfungsian sosial nya dalam
kehidupan bermasyarakat. Modifikasi Roda Tiga menjadi salah
satu alternatif transportasi yang sudah menjadi Trend di
masyarakat sekarang yang khusus nya modifikasi motor ini
dibuat untuk mendukung aksesibilitas penyandang disibilitas
dalam bidang transportasi.
Dalam pemelitian ini, peneliti ingin mencati tahu dan
menganalisa bagaimana keberfungsiansosial penyandang
disabilitas tunadaksa pasca menggunakan modifikasi motor roda
tiga di komunitas difabel motor community khusus nya
didaerahciputat timur. Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan penelitian kualitiatif dengan metode wawancara,
observasi dan data – data terkait dalam mencari informasi yang
dibutuhkan dalam penelitian.
Hasil penelitian menunjukan bahwa manfaat modifikasi
motor roda tiga terhadap keberfungsian sosial bagi penyandang
disabilitas tunadaksa pasca menggunakan modifikasi roda tiga
yaitu pertama, dapat meningkatkan kemandirian pribadi dalam
menjalani kesehariannya. Kedua, dapat bekerja sehingga
memiliki potensi untuk memenuhi biaya kehidupannya. Ketiga,
memiliki peran dalam kehidupan sosial nya.

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat


dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Tidak
lupa salawat serta salam penulis haturkan pada baginda alam
Nabi Muhammad SAW serta para sahabat dan kerabatnya yang
telah mengajarkan umatnya untuk bersungguh-sungguh dalam
menuntut ilmu dan terus berjalan di atas agama Allah.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak
kekurangan, baik dari segi isi maupun teknik penulisan, sekalipun
penulis sudah berusaha untuk menyusun skripsi ini sebaik
mungkin. Karena sesungguhnya kesempurnaan hanya miliki
Allah SWT.
Pada kesempatan ini penulis akan menyampaikan rasa
terimakasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan
bantuan, motivasi, dan arahan serta saran terhadap penulis
sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan ucapan
terimakasih kepada:
1. Kedua orang tua saya, Ibunda Nurhaniah dan Ayahanda
Ridwan yang telah mendidik dan selalu mendoakan anak-
anaknya berada dalam lindungan Allah SWT. Serta
seluruh anggota keluarga penulis yang tidak pernah lelah
untuk memberi dukungan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi.
2. Suparto M.Ed., Ph.D, sebagai Dekan Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah

ii
Jakarta. Dr. Siti Napsiyah Ariefuzzaman, MSW sebagai
Wakil Dekan Bidang Akademik. Dr. Shihabudin Noor
sebagai Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum. Drs.
Cecep Sastrawijaya, MA sebagai Wakil Dekan Bidang
Kemahasiswaan.
3. Ahmad Zaky, M.Si sebagai Ketua Program Studi
Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
Hj. Nunung Khoiriyah, MA selaku sekretaris Program
Studi Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
4. LismaDyawatiFuaida, M.Si, sebagai Dosen Pembimbing
Akademik dan Dosen Pembimbing Skripsi. Terimakasih
atas Bimbingan dan kesabaran nya dalam membimbing
penulis.
5. Seluruh Dosen Program Studi Kesejahteraan Sosial UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu
pengetahuan, pengajaran, dan bimbingan selama penulis
menjalani perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi dan Civitas Akademika yang telah
memberikan sumbangan ilmu pengetahuan, pengajaran,
dan bimbingan selama penulis menjalani perkuliahan di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, penulis mengucapkan terimakasih karena telah

iii
membantu dalam memberikan referensi buku, jurnal,
ataupun skripsi dari penelitian-penelitian terdahulu.
8. Bapak Catur Bambang dan Teman – teman Difabel Motor
Community. Dalam proses penelitian, peneliti sangat di
sambut dengan keramahan yang tulus dan membantu
penulis dalam menyelesaikan skripsi.
9. HMJ Kesejahteraan Sosial dan keluarga besar mahasiswa
Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah berperan besar dalam penulis selama menjadi
mahasiswa dan menerima penulis dalam keluarga
Kesejahteraan Sosial UIN Jakarta.
10. HMI Cabang Ciputat, keluarga besar HMI KOMFAKDA,
terkhusus Aula Insan Cita. Terimakasih telah memberikan
wadah dan mengajarkan banyak hal.
11. Kelompok Mahasiswa Lintas Alam Garuda FIDKOM
yang telah memberikan penulis pengalaman yang tidak
didapatkan ditempat mana pun.
12. Teman-teman seperjuangan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dari awal masuk kampus. Terimakasih yang
sebesar-besarnya atas segala perbuatan baik yang
diberikan kepada penulis dan selalu mendukung penulis
selama menjadi mahasiswa.

Jakarta, 5 Juli 2019


Penyusun,

Muhamad Norhalim
1112054100056

iv
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................... i
KATAPENGANTAR .............................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................ vi
DAFTAR TABEL ................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ............................................................... x
BAB I PENDAHULUAN ................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ......................... 6
1. Batasan Masalah ......................................... 6
2. Rumusan Masalah ...................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................... 7
1. Tujuan Penelitian ........................................ 7
2. Manfaat Penelitian ...................................... 7
D. Metodologi Penelitian ....................................... 8
1. Pendekatan Penelitian................................. 9
2. Jenis Penilitian ............................................ 9
3. Tempat dan Waktu Penelitian .................... 9
4. Sumber Data ............................................... 9
5. Teknik Pengumpulan Data ......................... 9
6. Keabsahan Data .......................................... 10
7. Teknik Analisis Data .................................. 11
8. Teknik Pemilihan Informan........................ 11
9. Teknik Penulisan ........................................ 13
E. Tinjauan Pustaka ............................................... 15
F. Sistermatika Penulisan....................................... 15

vi
BAB II LANDASAN TEORI .............................................. 21
A. Pengertian Disabilitas ........................................ 21
1. Pengertian Penyandang Difabel ................. 21
2. Pengertian Istilah Difabel........................... 24
3. Ciri – ciri Penyandang Disabilitas ............. 25
4. Pandangan Islam Terhadap
Penyandang Disabilitas .............................. 30
B. Akomodasi Yang Layak Untuk Penyandang
Disabilitas .......................................................... 33
1. Ragam Akomodasi Yang layak.................. 35
2. Aksesibilitas Fasilitas dan Transportasi
Umum......................................................... 38
C. Pengertian Keberfungsian Sosial ....................... 49
1. KarateristikKeberfungsian Sosial .............. 51
BAB III GAMBARAN UMUM ............................................ 59
A. Sejarah berdiri Bengkel Modifikasi Roda
Tiga ................................................................... 59
B. Tujuan Berdiri Komunitas Difabel Motor
Community ........................................................ 63

vii
BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN ................ 65
A. Pemanfaatan Modifikasi Motor Roda Tiga
Terhadap Penyandang Disabilitas
Tunadaksa pada Komunitas DMC..................... 65
B. Pemanfaatan Modifikasi Motor Roda Tiga
TerhadapKeberfungsian Sosial Anggota
Komunitas DMC ............................................... 68

BAB V ANALISIS DAN TEMUAN LAPANGAN ........... 71


A. Akomodasi yang Layak melalui
Pemanfaatan Modifikasi Motor Roda Tiga ...... 71
B. Keberfungsian Sosial Pemanfaat Modifikasi
Motor Roda Tiga ............................................... 74

BAB VI PENUTUP ............................................................... 79


A. Kesimpulan ........................................................ 79
B. Implikasi ............................................................ 80
C. Saran .................................................................. 81

DAFTAR PUSTAKA .............................................................. 83


LAMPIRAN ............................................................................. 85

viii
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Kerangka Sampel Informan ................................. 14

Tabel 1.2 Klasifikasi Disabilitas .......................................... 29

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Tampak Bengkel Modifikasi Motor Roda Tiga


CaturBambang dan Basecamp Komunitas Difabel
Motor
Community
Gambar 1.2 Pengerjaan Modifikasi Motor Roda Tiga
Gambar 1.3 Wawancara bersama Ucup salah satu
Karyawan Catur Bambang
Gambar 1.4 Motor Modifikasi Roda Tiga yang telah siap Pakai
Hasil Modifikasi Bengkel Catur Bambang

x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Permasalahan dalam kehidupan manusia
senantiasa memberikan warna terhadap lika-liku
kehidupan manusia, kelebihan dan kekurangan yang
terdapat pada manusia memberikan dampak masing-
masing. Salah satu kekurangan yang disandang manusia
yaitu kecacatan yang dialami manusia, dengan keadaan
tersebut orang-orang sering menggunakan istilah
penyandang disablitas. Terdapat beberapa jenis disabilitas
yang disandang manusia pada umumnya, diantaranya
yaitu tuna netra (buta), tuna rungu (tuli), tunadaksa (cacat
fisik), tuna grahita (gangguan mental), dan cacat ganda.
Jenis-jenis disabilitas tersebut membutuhkan penanganan
yang berbeda dalam menyelesaikan masalah yang
mengikuti penyandang disabilitas, masalah yang umum
dihadapi penyandang disabilitas yaitu terkait fasilitas dan
aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.
Penyandang Disabilitas menurut UU No 8 Tahun
2016 Pasal 1 adalah setiap orang yang mengalami
keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik
dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan
lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan
untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan
warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) DKI

1
Jakarta, pada 2015 tercatat jumlah penyandang disabilitas
di Ibu Kota mencapai 6.003 jiwa. Jakarta Selatan menjadi
daerah dengan penyandang disabilitas terbanyak, yakni
berjumlah 2.290, disusul oleh Jakarta Barat 1.155 jiwa.
Kepulauan Seribu menjadi wilayah yang paling sedikit
dengan 69 penyandang disabilitas. Salah satu penyandang
masalah kesejahteraan sosial sebagai sasaran dari
pembangunan sosial yaitu orang-orang yang berstatus
berkebutuhan khusus. Aksesibilitas adalah kemudahan
yang disediakan bagi disabilitas guna mewujudkan
kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan sebagai suatu kemudahan bergerak melalui
dan menggunakan bangunan gedung dan lingkungan
dengan memperhatikan kelancaran dan kelayakan, yang
berkaitan dengan masalah sirkulasi visual dan komponen
setting. Sehingga aksesibilitas wajib diterapkan secara
optimal guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam
mencapai segala aspek kehidupan dan penghidupan
menuntut adanya kemudahan dan keselamatan akses bagi
semua pengguna. (Lubis 2008,12)
Istilah tunadaksa berasal dari kata tuna yang
artinya kurang dan daksa yang artinya tubuh sehingga
dapat dikatakan bahwa tunadaksa adalah cacat tubuh/tuna
fisik. Astati (2010) mendefinisikan tunadaksa sebagai
penyandang bentuk kelainan atau kecacatan pada sistem
otot, tulang, dan persendian yang dapat mengakibatkan
gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi,

2
dan gangguan perkembangan. Soemantri (dalam Septian,
2012) menambahkan bahwa tunadaksa disebabkan karena
keadaan rusak/terganggu sebagai akibat gangguan bentuk
atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam
fungsinya yang normal. Tingkat gangguan pada tunadaksa
sendiri dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu ringan,
sedang, dan berat. Kategori ringan adalah seseorang yang
memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik
namun dapat ditingkatkan melalui terapi. Kategori sedang
yaitu seseorang yang memiliki keterbatasan secara
motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik,
sedangkan kategori berat adalah mereka yang memiliki
keterbatasan penuh dalam melakukan aktivitas fisik dan
tidak mampu mengontrol gerakan fisik (Soemantri, 2007).
Kondisi rusak atau terganggunya fungsi normal anggota
tubuh ini bisa disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor
bawaan lahir atau sakit/kecelakaan. Seperti yang telah kita
ketahui bersama, bahwa penyandang disabilitas fisik
termasuk tunadaksa masih belum mendapat perhatian
penuh di lingkungan masyarakat.
Namun perlu juga kita cermati bersama, bahwa
pemenuhan layanan sosial terhadap disabilitas tidak hanya
berhenti dalam penerimaan di suatu masyarakat. Akan
tetapi juga harus diperhatikan sejauh mana pemerintah
memberikan kebutuhan dan pelayanan dalam membangun
kemandirian penyandang disabilitas dalam melakukan
aktivitasnya sehari-hari.

3
Dalam Pasal 6 UU Nomor 4 Tahun 1997 disebutkan
bahwa setiap penyandang cacat berhak memperoleh:
1) Pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan
jenjang pendidikan;
2) Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai
dengan jenis dan derajat kecatatan, pendidikan,
dan kemampuannya;
3) Perlakuan yang sama untuk berperan dalam
pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya;
4) Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya;
5) Rehabilitasi bantuan sosial dan pemeliharaan
taraf kesejahteraan sosial; dan
6) Hak yang sama untuk menumbuh kembangkan
bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya,
terutama bagi penyandang cacat anak dalam
lingkungan keluarga dan masyarakat
Hak aksesibiltas disabilitas juga ditegaskan pada bagian
lain dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2007 ini pada
pasal 10 tentang kesamaan hak para disabilitas, yaitu
meliputi:
(1) Kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat
dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan dilaksanakan melalui penyediaan
aksesibilitas.
(2) Penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk
menciptakan keadaan dan lingkungan yang

4
lebih menunjang penyandang cacat dapat
sepenuhnya hidup bermasyarakat.
(3) Penyediaan aksesibilitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau
masyarakat dan dilakukan secara menyeluruh,
terpadu, dan berkesinambungan.
Transportasi kini sudah menjadi kebutuhan manusia yang
sangat produktif dalam membantu aktifitas manusia sehari
– hari, banyak orang yang menggantungkan hidupnya
bekerja dengan alat transportasi, segala macam jenis alat
transportasi dari transportasi publik maupun transportasi
pribadi dari mulai kendaraan yang hanya bisa digunakan
sendiri atau satu orang saja sampai bisa digunakan secar
massal. Seluruh aspek kehidupan apalagi sektor ekonomi
tidak bisa lepas dari alat transportasi. Dan yang lebih
penting adalah transportasi untuk akses setiap manusia
dalam menunjang kemandirian hidup seorang manusia
untuk mencapai tujuan entah sekolah, bekerja atau hanya
untuk berjalan – jalan bersama keluarga.
Aksesibilitas untuk disabilitas dalam hal transportasi
sudah didukung dengan diadakan nya Surat Izin
Mengemudi (SIM) D khusus untuk disabilitas dimana
para penyandang disabilitas dapat mengemudi kendaraan
pribadinya sendiri. Juga sudah banyak aksesibilitas untuk
penyandang disabilitas dalam hal transportasi yang
difasilitasi pemerintah provinsi DKI Jakarta seperti tempat

5
khusus disabilitas di KRL dan Transjakarta, namun itu
masih sangat terbatas dan justru sulit diakses oleh para
disabilitas. Para penyandang disabilitas perlu alat
transportasi khusus yang sesuai dengan kebutuhan seperti
yang sudah banyak terlihat dijalanan Motor Roda Dua
yang telah dimodifikasi menjadi roda tiga dikendarai oleh
para penyandang disabilitas yang umum nya penyandang
tunadaksa.
Motor Modifikasi Roda Tiga menjadi salah satu
solusi bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan
aksesibilitas transportasi dalam menunjang kehidupan
sehari – harinya. Kendaraan ini umum nya meuas dipakai
oleh penyandang disabilitas beberapa tahun belakangan
ini dan dapat membuktikan bahwa tidak ada keterbatasan
bagi penyandang disabilitas untuk dapat mandiri. Berjalan
kemana pun dengan aman dan nyaman. Maka dari itu
peneliti memilih judul “Akomodasi yang Layak Melalui
Pemanfaatan Motor Modifikasi Roda Tiga Untuk
Keberfungsian Sosial Penyandang Disabilitas Tunadaksa
pada Komunitas Difabel Motor Comunity Rempoa” untuk
mendeskripsikan manfaat dalam keberfungsian sosial para
pengguna motor modifikasi roda tiga tersebut.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar tidak terjadi kesalahpahaman dan pelebaran
pembahasan maka peneliti mencoba memfokuskan
mengenai kelayakan akomodasi dan keberfungsian

6
sosial bagi penyandang disabilitas Tunadaksa melalui
pemanfaatan modifikasi motor roda tiga.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, penelitian
dapat dirumuskan dalam pertanyaan penelitian sebagai
berikut:
a. Bagaimana pemanfaatan modifikasi motor
roda tiga sebagai akomodasi yang layak
untuk aksesibilitas penyandang disabilitas
Tunadaksa?
b. Bagaimana keberfungsian sosial
penyandang disabilitas Tunadaksa melalui
pemanfaatan modifikasi motor roda tiga?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui:
1. Mendeskripsikan manfaat modifikasi motor roda tiga
sebagai akomodasi yang layak untuk aksesibilitas
penyandang disabilitas Tunadaksa dalam bidang
transportasi.
2. Mendeskripsikan peningkatan keberfungsian sosial
penyandang disabilitas Tunadaksa pengguna
modifikasi motor roda tiga.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
informasi dan dokumentasi ilmiah serta dapat
memberikan sumbangan pemikiran pada lembaga

7
pendidikankhususnya bagi mahasiswa Program Studi
Kesejahteraan Sosial.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan
informasi yang berguna bagi pembacadan menjadi
bahan referensi untuk para penyandang disabilitas
Tunadaksa dalam pemanfaatan modifikasi motor roda
tiga dalam komunitas.
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
pendekatan kualitatif. Bodgan dan Taylor (1975:5)
mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka,
pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu
tersebut secara holistic (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak
boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke
dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu
memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.
Dengan demikian, laporan penelitian ini akan
berisi kutipan-kutipan untuk memberikan gambaran
penyajian laporan tersebut. Data tersebut berasal dari
hasil wawancara, observasi lapangan, catatan atau
memo dan dokumen-dokumen resmi lainnya.
Penelitian deskriptif ini, peneliti gunakan dalam

8
menjelaskan serta menerangkan Manfaat modifikasi
motor roda tiga untuk keberfungsian sosial
penyandang disabilitas Tunadaksa.
2. Sumber Data
Menurut Loftland dan Moelong, sumber data
utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan
tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti
dokumen dan lain-lain. Kata-kata dan tindakan orang-
orang yang diamati atau diwawancarai merupakan
sumber data utama. Sumber data utama dicatat melalui
catatan tertulis atau melalui perekaman video/audio.
Pencatatan sumber data utama melalui wawancara dan
pengamatan merupakan hasil usaha gabungan dari
kegiatan melihat, mendengar dan bertanya. (Lexy,
2006)
Walaupun dikatakan sebelumnya bahwa sumber di
luar kata dan tindakan merupakan sumber kedua, jelas
hal itu tidak bisa diabaikan. Dilihat dari segi sumber
data, bahan tambahan yang berasal dari sumber
tertulis dapat dibagi atas sumber buku dan majalah
ilmiah, sumber dari arsip, dokumen pribadi dan
dokumen resmi.
Sumber data yang diperoleh peneliti dalam
penelitian kualitatif deskriptif tentang Akomodasi
yang layak melalui pemanfaatan modifikasi motor
roda tiga untuk keberfungsian sosial penyandang
disabilitas Tunadaksa pada Komunitas Difabel Motor

9
Comunity Rempoa Tangerang Selatan. Sumber data
primer berasal dari data-data yang diperoleh dari
sumber utama. Sedangkan sumber data sekunder
berasal dari data-data yang diperoleh dari literatur
yang berhubungan dengan tulisan ini.
3. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di bengkel
modifikasi roda tiga Catur Bambang yang berlokasi di
Ciputat Timur Tangerang Selatan pada Komunitas
Motor Modifikasi Roda Tiga Difabel Motor Comunity
Rempoa atas pertimbangan :
a. Adanya keingintahuan peneliti terhadap
bagaimana manfaat kendaraan moodifikasi roda
tiga terhadap keberfungsian sosial penyandang
disabilitas Tunadaksa pengguna kendaraan
modifikasi roda tiga. Dan juga sebagai penambah
pemahaman dan wawasan peneliti dalam kajian
Aksesibilitas dan disabilitas.
b. Waktu penelitian dimulai pada bulan April 2019
sampai dengan bulan Juni 2019
4. Teknik Pengumpulan Data
Adapun untuk melaksanakan penelitian ini, teknik
pengumpulan data yang akan dilaksanakan adalah
melalui:
a. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud
tertentu oleh dua pihak, yaitu pewawancara

10
(interviewer) sebagai pemberi pertanyaan dan
yang diwawancarai (interviewee) sebagai pemberi
jawaban atas pertanyaan itu. Maksud diadakannya
wawancara seperti yang ditegaskan oleh Lincoln
dan Guba (1985:266) antara lain: mengonstruksi
perihal orang, kejadian, kegiatan, organisasi,
perasaan, motivasi, tuntutan dan kepedulian,
merekonstruksi kebulatan-kebulatan harapan pada
masa yang akan mendatang; memverifikasi,
mengubah dan memperluas informasi dari orang
lain baik manusia maupun bukan manusia
(triangulasi); dan memverifikasi, mengubah, dan
memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh
peneliti sebagai pengecekan anggota.
Jenis wawancara yang dilakukan adalah
wawancara terstruktur, wawancara terstruktur
adalah merupakan model pilihan apabila
pewawancara mengetahui apa yang tidak
diketahuinya, dan karenanya dapat membuat
kerangka pertanyaan yang tepat untuk
memperolehnya. Dalam wawancara terstruktur
pewawancaranya menetapkan sendiri masalah dan
pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan.
Wawancara ini bertujuan mencari jawaban
hipotesis. (Lexy, 2006)
b. Observasi

11
Observasi ialah metode atau cara-cara
menganalisis dan mengadakan pencatatan secara
sistematis mengenai tingkah laku dengan melihat
atau mengamati individu atau kelompok secara
langsung (Ngalim Purwanto, 1988). Metode ini
digunakan untuk melihat dan mengamati secara
langsung keadaan di lapangan agar peneliti
memperoleh gambaran yang lebih luas tentang
permasalahan yang diteliti.
Observasi yang peneliti lakukan adalah
observasi terus terang atau tersamar, dalam hal ini
peneliti dalam melakukan pengumpulan data
menyatakan terus terang kepada sumber data,
bahwa peneliti sedang melakukan penelitian, jadi
mereka yang diteliti mengetahui sejak awal sampai
akhir tentang aktivitas peneliti. Tetapi dalam suatu
saat peneliti juga tidak terus terang atau secara
tersamar dalam observasi, hal ini untuk
menghindari kalau suatu data yang dicari
merupakan data yang masih dirahasiakan yang jika
dikatakan terus terang peneliti kemungkinan tidak
akan diijinkan untuk melakukan
observasi.(Ngalim Purwanto, 1988)
c. Dokumentasi
Metode ini digunakan oleh peneliti guna
mengumpulkan data-data atau dokumen-dokumen
yang menunjang terhadap penelitian. Dokumen-

12
dokumen yang dikumpulkan yaitu berupa buku-
buku, data kepustakaan, brosur, artikel-artikel baik
tertulis maupun melalui internet, catatan, foto-foto
dan lain sebagainya.
d. Studi Dokumen
Metode ini digunakan untuk mengumpulkan
data yang sudah tersedia dalam catatan dokumen.
Dalam penelitian sosial, fungsi data yang berasal
dari dokumentasi lebih banyak digunakan sebagai
data pendukung dan pelengkap bagi data primer
yang diperoleh melalui observasi dan wawancara.
e. Teknik Pemilihan Informan
Sesuai dengan karakteristik penelitian
kualitatif teknik pemilihan responden dalam
penelitian ini adalah menggunakan metode
purposive sampling. Purposive sampling yakni
adalah sampel yang dipilih karena pertimbangan-
pertimbangan agar sesuai dengan tujuan peneliti.
Di sini tidak semua responden dapat menjadi
informan, harus disesuaikan dengan kebutuhan
peneliti. Hal yang terpenting di sini bukan jumlah
respondennya melainkan potensi dari tiap kasus
untuk memberikan pemahaman teoritis yang lebih
baik mengenai aspek yang dipelajari.(Sugiyono,
2010)

13
Tabel 1.2 Kerangka Sampel Informan
No. Informasi yang di Inforaman Jumlah
cari Informan
1. Mengetahui latar Ketua Difabel 1 orang
belakang berdirinya Motor Comunity
komunitas Difabel dan Pemilik
Motor Comunity Bengkel
Rempoa Maksud, dan Modifikasi
tujuan nya Motor Roda
Tiga
2. Mengetahui Penyandang 2 orang
keberfungsian sosial Difabel sebagai
penyandang disabilitas Pengguna Motor
tuna daksa pengguna Roda Tiga
manfaat modifikasi
motor roda tiga dalam
hal aksesibilitas
transportasi
3. Mengetahui tujuan Anggota Difabel 1 orang
serta kegiatan serta Motor Comunity
pelaksanaan kegiatan Rempoa
yang telah dilakukan
para anggota Difabel
Motor Comunity
Rempoa.

14
f. Teknik Analisis Data
Proses awal yang peneliti lakukan adalah
observasi ke lembaga, setelah itu peneliti
melakukan wawancara terhadap pihak terkait.
Peneliti juga mengabadikannya dalam bentuk
dokumentasi. Peneliti mengamati seluruh data dan
hasil wawancara secara detail dan melakukan
berulang-ulang dari awal penelitian dan selama
proses penelitian berlangsung lalu kemudian
peneliti merangkum dan menyeleksi data-data
yang terhimpun sesuai dengan konsep-konsep
penelitian. Peneliti juga melakukan studi dokumen
untuk keabsahan data. Selanjutnya peneliti
menyusun dalam catatan lapangan, kemudian
diringkas, dipilih-pilih hal yang penting dan
pokok, dikategorikan dan disusun secara
sistematis.
Data yang terkumpul selanjutnya peneliti
analisa secara kualitatif. Data-data kualitatif dari
hasil wawancara mendalam yang berupa kalimat-
kalimat atau pernyataan pendapat tersebut di
analisa untuk mengetahui makna yang terkandung
di dalamnya, untuk memahami keterlibatan
dengan permasalahan yang sedang diteliti.
g. Teknik Keabsahan Data
Salah satu cara paling penting dan mudah
dalam uji keabsahan hasil penelitian adalah

15
dengan melakukan triangulasi peneliti, metode,
teori dan sumber data. Dengan mengacu kepada
Denzin (1978) maka pelaksanaan teknis dari
langkah pengujian keabsahan ini akan
memanfaatkan; peneliti, sumber metode dan teori.
Untuk memeriksa keabsahan data, peneliti
menggunakan teknik triangulasi. Teknik
triangulasi merupakan teknik pemeriksaan
keabsahaan data yang memanfaatkan sesuatu yang
lain diluar data untuk keperluan pengecekan atau
pembanding terhadap data tersebut. (Denzin,
1978)
h. Pedoman Penelitian Skripsi
Teknik penelitian yang dilakukan dalam
skripsi ini merujuk pada buku pedoman penelitian
karya ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang
diterbitkan melalui keputusan rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Nomor: 507 Tahun 2017
sebagai pedoman penelitian skripsi ini.
F. Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan tinjauan
pustaka sebagai langkah penyusunan skripsi yang diteliti
agar terhindar dari kesamaan judul dan lain-lain dari
skripsi yang sudah ada sebelumnya, serta sebagai
referensi penelitian yang berhubungan dengan disabilitas.
Setelah mengadakan tinjauan pustaka, maka peneliti
menemukan beberapa skripsi yang berhubungan dengan

16
disabilitas, tetapi peneliti akan memaparkan dari sudut
yang berbeda yaitu
1. Skripsi berjudul “Dampak Penggunaan
Komputer Bicara untuk Tunanetra di Yayasan
Mitra Netra Jakarta Selatan” yang ditulis oleh
Netasari Risacita Maharani, NIM
109054100006, Program Studi Kesejahteraan
Sosial, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta Skripsi ini membahas
mengenai dampak dari penggunaan fasilitas
komputer bicara untuk penyandang tuanetra.
2. Skripsi Berjudul “Aksesibillitas Sarana
Prasarana Transportasi yang Ramah
Penyandang Disabilitas (Studi Kasus
Transjakarta)” yang ditulis oleh Dhini
Murdiyanti, NIM 0806332225, Program Studi
Arsitektur, Fakultas Teknik, Univeritas
Indonesia. Skripsi ini membahas implementasi
aksesibilitas dari Transportasi Publik
Transjakarta untuk Penyandang Disabilitas
yang dibuat agar fasilitas tersebut tergolong
ramah disabilitas.
G. Sistematika Penelitian
Untuk memermudah pembahasan skripsi ini, secara
sistematis penelitiannya dibagi ke dalam lima bab, yang

17
terdiri dari sub-sub bab. Adapun sistematikanya sebagai
berikut:

BAB I PENDAHULUAN
Didalamnya peneliti penguraikan latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan
sistematika penelitian skripsi.
BAB II KAJIAN TEORI
Pada bab ini mengemukakan mengenai
pengertian dari teori implementasi dan kebijakan
BAB III GAMBARAN UMUM
Pada bab ini membahas mengenai
gambaran umum objek penelitian.
BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
Pada bab ini menjelaskan mengenai hasil
pengamatan dan wawancara terkait Akomodasi
yang Layak Melalui Pemanfaatan Motor
Modifikasi Roda Tiga untuk Keberfungsian Sosial
Penyandang Disabilitas Tunadaksa pada
Komunitas Difabel Motor Comunity Rempoa.
BAB V PEMBAHASAN
Merupakan bab yang berisi uraian yang
mengaitkan latar belakang, teori dan rumusan teori
baru sebagai bentuk hasil dari analisa dalam
penelitian peneliti

18
BAB VI SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Simpulan
B. Implikasi
C. Saran

19
20
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Istilah Penyandang Cacat (Disabilitas)
1. Pengertian Istilah Penyandang Cacat
Kata “cacat” dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia memiliki beberapa arti, yaitu:
a. Kekurangan yang menyebabkan mutunya
kurang baik atau kurang sempurna (yang
terdapat pada benda, badan, batin, atau
akhlak);
b. Lecet (kerusakan, noda) yang menyebabkan
keadaannya menjadi kurang baik (kurang
sempurna);
c. Cela atau aib;
d. Tidak/kurang sempurna.
Dari beberapa pengertian ini tampak jelas bahwa
istilah “cacat” memiliki konotasi yang negatif,
peyoratif, dan tidak bersahabat terhadap mereka yang
memiliki kelainan. Persepsi yang muncul dari istilah
“penyandang cacat” adalah kelompok sosial ini
merupakan kelompok yang serba kekurangan, tidak
mampu, perlu dikasihani, dan kurang bermartabat.
Persepsi seperti ini jelas bertentangan dengan tujuan
konvensi Internasional yang mempromosikan
penghormatan atau martabat “penyandang cacat” dan
melindungi dan menjamin kesamaan hak asasi mereka
sebagai manusia.

21
Dalam The International Classification of
Impairment, Disability and Handicap (WHO, 1980),
ada tiga definisi berkaitan dengan kecacatan, yaitu
impairment, disability, dan handicap. Impairment
adalah kehilangan atau abnormalitas struktur atas
fungsi psikologis, fisiologis atau anatomi. Disability
adalah suatu keterbatasan atau kehilangan kemampuan
(sebagai akibat impairment) untuk melakukan suatu
kegiatan dengan cara atau dalam batas-batas yang
dipandang normal bagi seorang manusia. Handicap
adalah suatu kerugian bagi individu tertentu, sebagai
akibat dari suatu impairment atau disability, yang
membatasi atau menghambat terlaksananya suatu
peran yang normal. Namun hal ini juga tergantung
pada usia, jenis kelamin, dan faktor-faktor sosial atau
budaya.The International Classification of
Impairment, Disability and Handicap (WHO, 1980).
Definisi-definisi di atas menunjukkan bahwa
disability hanyalah salah satu dari tiga aspek
kecacatan, yaitu kecacatan pada level organ tubuh dan
level keberfungsian individu. Handicap merupakan
aspek yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak
terkait langsung dengan kecacatan. Suatu impairment
belum tentu mengakibatkan disability. Misalnya,
seseorang yang kehilangan sebagian dari jari
kelingking tangan kanannya tidak akan menyebabkan
orang itu kehilangan kemampuan untuk melakukan

22
kegiatan sehari-harinya secara selayaknya. Demikian
pula, Disability tidak selalu mengakibatkan seseorang
mengalami handicap. Misalnya, orang yang
kehilangan penglihatan (impairment) tidak mampu
mengoperasikan komputer secara visual (disability),
tetapi dia dapat mengatasi keterbatasannya itu dengan
menggunakan software pembaca layar dan, oleh
karemnanya, dia tetap dapat berperan sebagai
pemrogram (progamer) komputer. Akan tetapi,
handicap dalam bidang programming itu akan muncul
manakala dia dihadapkan pada komputer yang tidak
dilengkapi dengan speech screen reader. Ini berarti
bahwa keadaan handicap itu ditentukan oleh faktor-
faktor di luar dirinya. Gerakan Penyandang Cacat
secara tegas menolak definisi ketiga ini, yaitu
handicap, karena dianggap tidak berpihak dan lebih
banyak disebabkan oleh faktor dari luar diri mereka.
Mereka lebih memilih menggunakan dua konsep yang
berkaitan dengan model sosial, yaitu istilah
impairment dan disability, karena keduanya mencakup
“hilangnya suatu fungsi” dan “menjadi cacat akibat
sikap sosial”.
Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat, Pasal 1 Ayat 1, mendefinisikan
“penyandang cacat” sebagai “setiap orang yang
mempunyai kelainan fisik atau mental, yang dapat
mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan

23
baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya.
Definisi dan istilah “penyandang cacat” itu bukan
karena konsepnya yang salah, melainkan karena
pilihan kata yang dipergunakan untuk mewakili
konsep (cacat) tidak tepat.(Dr. Akhmad Soleh
2016,19)
2. Pengertian Istilah Difabel
Pada Konferensi Ketunanetraan Asia di Singapura
pada tahun 1981 yang diselenggarakan oleh
International Federation of The Blind (IFB) dan
World Council for the Welfare The Blind (WCWB),
istilah “diffabled” diperkenalkan, yang kemudian
diindonesiakan menjadi “difabel”. Istilah “diffabled”
sendiri merupakan akronim dari “differently abled”
dan kata bendanya adalah diffability yang merupakan
akronim dari different ability yang dipromosikan oleh
orang-orang yang tidak menyukai istilah “disabled”
dan “disability”. Bagi masyarakat Yogyakarta pada
umumnya, dan khususnya kalangan LSM, istilah
“difabel” sangat populer sebagai pengganti sebutan
penyandang cacat, karena dianggap lebih ramah dan
menghargai daripada sebutan “cacat”. Di samping
lebih ramah, istilah “difabel” lebih egaliter dan
memiliki keberpihakan, karena different ability berarti
“memiliki kemampuan yang berbeda”. Tidak saja
mereka yang memiliki ketunaan yang “memiliki
kemampuan yang berbeda”, tetapi juga mereka yang

24
tidak memiliki ketunaan juga memiliki kemampuan
yang berbeda.
3. Pengertian Istilah Penyandang Disabilitas
Dalam upaya mencari istilah sebagai pengganti
terminologi “penyandang cacat” maka diadakan
Semiloka di Cibinong Bogor pada 2009. Forum ini
diikuti oleh pakar linguistik, komunitas, filsafat,
sosiologi, unsur pemerintah, komunitas penyandang
cacat, dan Komnas HAM. Dari forum ini munculah
istilah baru, yaitu “Orang dengan Disabilitas”, sebagai
terjemahan dari “Persons with Disability”.
Berdasarkan saran dari pusat bahasa yang menetapkan
bahwa kriteria peristilahan yang baik adalah frase
yang terdiri dari dua kata, maka istilah “Orang dengan
Disabilitas” dipadatkan menjadi “penyandang
disabilitas”. Akhirnya, istilah “penyandang
disabilitas” inilah yang disepakati untuk digunakan
sebagai pengganti istilah “penyandang cacat”. Dengan
demikian, dikutip dari (Dr. Akhmad Soleh 2016, 22)
menggunakan istilah “penyandang disabilitas” sebagai
terminologi untuk merujuk kepada mereka yang
sebelumnya disebut “penyandang cacat”.
Disabilitas (disability) atau cacat adalah mereka
yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual,
atau sensorik, dalam jangka waktu lama di mana
ketika berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini
dapat menghalangi partisipasi penuh dan efektif

25
mereka dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan
dengan yang lainnya. Istilah (penyandang disabilitas)
mempunyai arti yang lebih luas dan mengandung
nilai-nilai inklusif yang sesuai dengan jiwa dan
semangat reformasi hukum di Indonesia, dan sejalan
dengan substansi Convention on the Rights of Persons
with Disabilities (CRPD) yang telah disepakati untuk
diratifikasi pemerintah Indonesia dan sudah disahkan
sebagai undang-undang negara Indonesia pada 2011.
Dimana tujuan CRPD adalah untuk memajukan,
melindungi, dan menjamin kesamaan hak dan
kebebasan yang mendasar bagi semua penyandang
disabilitas, serta penghormatan terhadap martabat
penyandang disabilitas sebagai bagian yang tidak
terpisahkan (inherent dignity).
Perubahan berbagai istilah penyebutan terhadap
penyandang disabilitas yang diusung oleh para
akademisi, kalangan LSM, Orsos/Ormas, dan para
birokrat itu merupakan proses perubahan pergeseran
dari paradigma lama ke paradigma baru. „hal ini
bertujuan untuk memperhalus kata sebutan dan
mengangkat harkat serta martabat penyandang
disabilitas, karena makna dari istilah sebutan tersebut
berpengaruh terhadap asumsi, cara pandang, dan pola
pikir seseorang terhadap penyandang disabilitas.
Pergeseran istilah sebutan, model pendekatan, dan
sifat pendekatan terhadap disabilitas telah

26
menggambarkan pergeseran posisi dan perkembangan
peran penyandang disabilitas. Menurut Brown S, pada
paradigma lama penyandang disabilitas dilihat sebagai
obyek, selalu diintervensi, menjadi pasien, penerima
bantuan, dan sebagai subyek penelitian. Sedangkan
pada paradigma baru penyandang disabilitas dilihat
sebagai pemakai/pelanggan, rekan yang terberdayakan
(empowered peer), menjadi partisipan riset, dan
pemegang kebijakan.
4. Ciri-Ciri Penyandang Disabilitas
Berikut adalah ciri-ciri penyandang disabilitas:
a. Penyandang cacat fisik, yaitu individu
yang mengalami kelainan kerusakan fungsi
organ tubuh dan kehilangan organ
sehingga mengakibatkan gangguan fungsi
tubuh. Misalnya gangguan penglihatan,
pendengaran dan gerak.
b. Penyandang cacat mental, yaitu individu
yang mengalami kelainan mental dan atau
tingkah laku akibat bawaan atau penyakit.
Individu tersebut tidak bisa mempelajari
dan melakukan perbuatan yang umum
dilakukan orang lain (normal), sehingga
menjadi hambatan dalam melakukan
kegiatan sehari-hari.
c. Penyandang cacat fisik dan mental, yaitu
individu yang mengalami kelainan fisik

27
dan mental sekaligus atau cacat ganda
seperti gangguan pada fungsi tubuh,
penglihatan, pendengaran, dan kemampuan
berbicara serta mempunyai kelainan mental
atau tingkah laku, sehingga yang
bersangkutan tidak mampu melakukan
kegiatan sehari-hari selayaknya
(Departemen Sosial RI 2006, 23).
Menurut Turnbull dan Stowe dalam Barnes
dan Mercer berpendapat bahwa studi mengenai
disabilitas dapat dilihat dari banyak perspektif,
yaitu human development, public policy, law,
culture ethics, philosophy, and technology.
Penelitian mengenai disabilitas menghasilkan
beberapa teori yang menjelaskan disabilitas dari
perspektif masyarakat. Colemen, Butcher, dan
Carson dalam Supraktiknya disabilitas fisik
dibedakan menjadi dua yaitu kontingental dan
bawaan. Kontingental ialah cacat yang sudah
dibawa sejak lahir kemudian cacat bawaan ialah
cacat yang dibawa setelah lahir (Michael Oliver
1996, 25). Menurut Kaufman dan Kallhallahan
dalam Pothier, dan Devlin, mengklarifikasikan
disabilitas fisik dan mental sebagai berikut:

28
Tabel 2.1
Klasifikasi Disabilitas
Tipe Nama Jenis Pengertian
Difabel
A Tuna Disabilitas Tidak dapat
Netra Fisik melihat
(Buta)
B Tuna Disabilitas Tidak dapat
Rugu Fisik mendengar
(Tuli)
C Tuna Disabilitas Tidak dapat
Wicara Fisik berbicara (Bisu)
D Tuna Disabilitas Cacat Tubuh
Daksa Fisik
E1 Tuna Difabel Cacat Suara dan
Laras Fisik Nada
E2 Tuna Disabilitas Sukar
Laras Mental mengendalikan
emosi dan sosial
F Tuna Disabilitas Cacat Pikiran
Grahita Mental (Lemah daya
tangkap)
G Tuna Disabilitas Penderita cacat
Ganda Ganda lebih dari satu
jenis kecacatan
(Fisik dan

29
Mental

5. Pandangan Islam terhadap Penyandang Disabilitas


Manusia dalam pandangan Islam adalah makhluk
yang paling sempurna bentuknya. Tidak ada yang
lebih tinggi kesempurnaannya dari manusia kecuali
Allah SWT., meskipun sebagian manusia diciptakan
dalam kondisi fisik kurang sempurna. Karena apa pun
yang sudah melekat dan terjadi pada manusia adalah
pemberian Allah SWT. Hal ini sesuai dengan firman
Allah yang tersurat dalam surat at-Tin ayat 4 yang
artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
Demikian juga terdapat dalam surat Al-Hujurat ayat
13 yang berbunyi:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal,” (QS. Al-Hujurat: 13).
Dalam sebuah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh
Bukhari-Muslim juga dikatakan bahwa:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuhmu, rupamu,
akan tetapi Allah melihat hatimu,” (HR. Bukhari-
Muslim).

30
Berdasarkan kedua ayat dan hadits di atas dapat
disimpulkan bahwa Islam memandang manusia secara
positif dan egaliter serta memandang substansi
manusia lebih pada sesuatu yang bersifat immateri
daripada yang bersifat materi. Dengan kata lain,
semua manusia memiliki hak dan kewajiban yang
sama, apa pun latar belakang sosial, pendidikan,
ataupun fisik seseorang. Yang membedakan di antara
manusia adalah aspek ketakwaan dan keimanannya.
Dalam sejarah Nabi Muhammad SAW. juga
dikenal tentang bagaimana seharusnya penyandang
disabilitas diperlakukan secara sama. Sebagaimana
yang dijelaskan dalam asbab an-nuzul surat „Abasa
ayat 1-4, dalam Tafsir Jalalain, bahwa pada suatu hari
datanglah kepada Nabi seorang tunanetra (buta)
bernama Abdullah Ibnu Ummi Maktum atau anak
Ummi Maktum, dan dikutip dari (Ahmad Mustafa Al-
Maragi 1993, 70) mengisahkan anak Ummi Maktum
bernama Amr Ibnu Qais (anak laki-laki paman Siti
Khadijah). Dia berkata dengan suara agak keras
kepada Nabi: “Ajarkanlah kepadaku apa-apa yang
telah Allah ajarkan kepadamu.” Karena buta maka
pada saat itu Abdullah Ibnu Ummi Maktum tidak
mengetahui kesibukan Nabi yang sedang menghadapi
para pembesar kaum musyrikin Quraisy. Nabi sangat
menginginkan mereka masuk Islam. Hal ini
menyebabkan Nabi bermuka masam dan berpaling

31
dari Abdullah Ibnu Ummi Maktum lalu menuju rumah
tetap menghadapi pembesar-pembesar Quraisy.
Karena merasa diabaikan, Abdullah Ibnu Ummi
Maktum berkata: “Apakah yang saya katakan ini
mengganggu Tuan?” Nabi menjawab: “Tidak.” Maka
turunlah wahyu yang menegur sikap Nabi tersebut.
Setelah itu setiap Abdullah Ibnu Ummi Maktum
datang berkunjung, Nabi selalu mengatakan: “Selamat
datang orang yang menyebabkan Rabbku menegurku
karenanya,” lalu Nabi menghamparkan kain serbannya
untuk tempat duduk Abdullah Ibnu Ummi Maktum.
Selanjutnya, Nabi mengangkat dan memberi
kepercayaan kepada Abdullah Ibnu Ummi Maktum
untuk memangku jabatan sebagai walikota, dan dia
adalah orang kedua dalam permulaan Islam sebelum
hijrah yang dikirim Nabi sebagai mubalig atau da‟i ke
Madinah.
Para ahli hukum Islam pada tahun 1981
mengemukakan tentang “Universal Islamic
Declaration of Human Right” yang diangkat dari Al-
Quran dan sunnah Nabi. Pernyataan deklarasi HAM
ini terdiri dari dua puluh tiga bab, enam puluh tiga
pasal, yang meliputi segala aspek kehidupan dan
penghidupan manusia. Beberapa hak pokok yang
disebutkan dalam deklarasi tersebut, antara lain, (a)
hak untuk hidup, (b) hak untuk mendapatkan
kebebasan, (c) hak untuk persamaan kedudukan, (d)

32
hak untuk mendapatkan keadilan, (e) hak untuk
mendapatkan perlindungan terhadap penyalahgunaan
kekuasaan, (f) hak untuk mendapatkan perlindungan
dari penyiksaan, (g) hak untuk mendapatkan atas
kehormatan dan nama baik, (h) hak untuk bebas
berfikir dan berbicara, (i) hak untuk bebas memilih
agama, (j) hak untuk bebas berkumpul dan
berorganisasi, (k) hak untuk mengatur tata kehidupan
ekonomi, (l) hak jaminan sosial, (m) hak untuk bebas
mempunyai keluarga dan segala sesuatu yang
berkaitan dengannya, (n) hak bagi wanita dalam
kehidupan rumah tangga, (o) hak untuk mendapatkan
pendidikan.
B. Akomodasi Yang Layak Untuk Penyandang
Disabilitas
Dengan lahirnya Undang-Undang No. 8 tahun
2016, kita semua diajarkan untuk memberikan “makna
baru” pada “Penyandang disabilitas”. Penyandang
disabilitas kini dimaknai sebagai bagian dari “keragaman
manusia”. Yang unik adalah, keragaman karena disabilitas
berdampak pada munculnya kebutuhan khusus. Lalu siapa
yang wajib memenuhi kebutuhan khusus para Penyandang
disabilitas? Tentu saja seluruh lembaga penyedia layanan
baik sector pemerintah maupun swasta. Semua layanan
harus dapat diakses oleh warga masyarakat penyadang
disabilitas, apa pun ragamnya.

33
Dalam rangka memenuhi kebutuhan khusus para
penyandang disabilitas, para penyedia layanan harus
melakukan “penyesuaian” yang diperlukan. Penyesuaian
yang dilakukan untuk memungkinkan Penyandang
disabilitas mengakses layanan sehingga hak para
Penyandang disabilitas untuk mendapatkan layanan dapat
dipenuhi disebut “akomodasi yang layak”, – “reasonable
accommodation”. Dalam UU Penyandang Disabilitas,
definisi “akomodasi yang layak” ada di pasal 1 angka 9,
yaitu:
“Akomodasi yang Layak adalah modifikasi dan
penyesuaian yang tepat dan diperlukan untuk menjamin
penikmatan atau pelaksanaan semua hak asasi manusia
dan kebebasan fundamental untuk Penyandang Disabilitas
berdasarkan kesetaraan.”
Pemenuhan Akomodasi yang layak bagi Penyandang
disabilitas ada di hamper semua aspek kehidupan. Jika hal
tersebut ditarik ke dalam tugas dan fungsi pemerintah
sebagai penyelenggara Negara, maka, pemenuhan
akomodasi yang layak bagi Penyandang disabilitas ada di
hamper semua sector pemerintahan. Olehkarenanya,
Undang-Undang No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang
disabilitas yang mengatur penghormatan, pelindungan dan
pemenuhan hak warga negara Penyandang disabilitas
merupakan Undang-Undang yang multi sector. Dengan
Undang-Undang tersebut, Isu disabilitas diletakkan
sebagai “isu pembangunan” yang multi sector; hamper

34
seluruh lini pemerintahan memiliki tanggungjawab, yang
sebelumnya, urusan Penyandang disabilitas hanya
dibebankan pada kementerian social di tingkat pusat, dan
dinas social di tingkat daerah.
1. Ragam Akomodasi Yang Layak Sesuai Ragam
Disabilitas.
Menurut pasal 1 angka 1 UU Penyandang
disabilitas, ragam disabilitas dibagi menjadi 4 kategori
untuk disabilitas tunggal, dan kombinasi dari 4
kategori tersebut untuk disabilitas ganda atau multi.
Pasal 1 angka 1 menyatakan :
“Penyandang Disabilitas adalah setiap orang
yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual,
mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama
yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat
mengalami hambatan dan kesulitan untuk
berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga
negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.”
Tiap ragam disabilitas memiliki kebutuhan khusus
yang berbeda. Oleh karenanya, akomodasi yang layak
tiap ragam disabilitas pun berbeda satu dengan
lainnya. Sebagai contoh, siswa Penyandang tunarungu
atau tuli membutuhkan akses ke komunikasi dalam
proses belajar di kelas. Untuk itu, komunikasi perlu
dilakukan dengan menggunakan bahasa isyarat
Indonesia (bisindo) yang dikombinasikan dengan “lip
reading atau membaca gerak bibir”. Proses belajar

35
untuk anak tunarungu harus lebih bersifat visual. Jika
ada informasi yang bersifat audio, harus dibarengi
dengan tulisan, sehingga anak tunarungu dapat
memahami isi informasi tersebut.
Sebaliknya, proses pembelajaran untuk anak
tunanetra yang sama sekali tidak dapat melihat (totally
blind) atau kurang dapat melihat dengan jelas (low
vision) harus lebih naratif. Jika ada gambar, harus
dinarasikan serta dibuat dalam bentuk gambar timbul
yang dapat diraba. Untuk membaca buku, anak
tunanetra memerlukan buku dalam bentuk buku
Braille, atau buku audio, dan / atau buku elektronik,
yang tidak ada di toko buku, sehingga harus ada
lembaga khusus yang memfasilitasi penyediaan buku
yang aksessibel untuk tunanetra.
Untuk anak dengan disabilitas intelektual,
pendidikan lebih ditekankan pada kemampuan anak
Penyandang disabilitas intelektual untuk dapat
menjalani kehidupan sehari-hari dengan baik;
Olehkarenanya pendidikan untuk anak dengan
disabilitas intelektual tidak terlalu menekankan pada
sisi akademik melainkan lebih menekankan pada
aspek fungsi. Jika anak Penyandang disabilitas
intelektual belajar berhitung misalnya, proses belajar
berhitung tersebut harus langsung dikaitkan dengan
aktivitas dalam kehidupan sehari-hari, sehingga lebih
kongkrit dan lebih mudah mereka pahami.

36
Untuk anak-anak yang memiliki disabilitas fisik,
akomodasi yang layak yang mereka perlukan pun
berbeda; Yaitu lebih bersifat akses ke tempat dan
fasilitas belajar secara fisik. Misalnya, akses ke tempat
yang lebih tinggi dengan menggunakan bidang miring
(ram) atau lift. Bagi mereka yang tidak memiliki
tangan atau ada kelemahan dengan fungsi tangan,
maka, segala aktifitas – termasuk aktivitas belajar –
dilakukan dengan kaki.
Disabilitas mental merupakan kelompok
Penyandang disabilitas yang baru dimasukkan ke
dalam kelompok Penyandang disabilitas oleh
konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas
(United Nations Convention on the Rights of Persons
with Disability UN CRPD). Berdasarkan pengalaman,
mereka yang mengalami disabilitas mental pada
umumnya diusia awal 20an, saat mereka memulai
pendidikan tinggi. Olehkarenanya akomodasi yang
layak bidang pendidikan untuk Penyandang disabilitas
mental hingga kini masih lebih banyak diperlukan di
tingkat pendidikan tinggi. Mereka yang mengalami
disabilitas mental adalah kelompok yang rentan pada
tekanan (stress). Pada saat tertentu, Penyandang
disabilitas mental juga memerlukan perawatan medis,
sehingga mereka harus istirahat dari proses belajar.
Olehkarenanya salah satu bentuk akomodasi yang
layak bagi Penyandang disabilitas mental adalah

37
fleksibilitas waktu, baik waktu belajar, waktu
mengerjakan tugas atau ujian, serta waktu menempuh
studi. Orang yang menyandang disabilitas mental
membutuhkan waktu menempuh studi yang lebih
lama, sehingga tidak dapat dikenakan “drop out
(DO)”.
2. Aksesibilitas Fasilitas dan Transportasi Umum
Setiap manusia dalam menjalankan aktivitasnya
sehari-hari pasti membutuhkan akses untuk
memudahkan mobilitas diri agar produktivitasnya
terjaga. Di sinilah salah satu peran negara untuk
membangun dan menata akses sarana dan prasarana
untuk warganya yang juga bisa disebut sebagai
fasilitas publik.
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997
tentang penyandang cacat, yang dimaksud
aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi
penyandang cacat dan lansia guna mewujudkan
kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan
dan penghidupan. Sementara dalam CRPD (The
Convention on the Human Right of Persons with
Disabilities) Pasal 9 Ayat 1 tentang aksesibilitas,
dinyatakan bahwa dalam rangka memampukan
penyandang cacat untuk hidup secara mandiri dan
berpartisipasi penuh dalam segala aspek kehidupan,
maka negara-negara pihak harus melakukan langkah-
langkah yang diperlukan untuk menjamin harus

38
melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk
menjamin akses penyandang cacat terhadap
lingkungan fisik, transportasi, informasi dan
komunikasi serta fasilitas dan pelayanan lainnya yang
terbuka atau disediakan bagi publik, baik di perkotaan
maupun di pedesaan, atas dasar kesetaraan dengan
orang-orang lain (Dr. Akhmad Soleh 2016, 53).
Fasilitas yang diperuntukkan untuk umum tentu
saja harus dapat diakses oleh siapa saja tanpa
terkecuali. Sarana prasarana transportasi yang
melayani kebutuhan manusia berpindah dari satu
tempat ke tempat lain tentu saja juga digunakan oleh
penyandang disabilitas. Oleh karena itu, layanan
berupa penyediaan ruang khusus dan alat bantu yang
membantu mengarahkan pergerakkan mereka untuk
berpindah, sehingga mereka ikut merasakan layanan
umum tersebut dengan nyaman.
3. Definisi Aksesibilitas
Aksesibilitas berasal dari kata akses yang berarti
jalan masuk. Aksesibilitas sendiri berarti hal dapat
dijadikan akses; hal dapat dikaitkan; keterkaitan.
Akses merupakan tujuan utama dari kegiatan
pengangkutan (transport), sehingga pengadaan sarana
perhubungan sebagai akses dari mobilitas memenuhi
kebutuhan masyarakat. Menurut Keputusan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 468/KPTS/1998 tentang
Persyaratan Teknis Aksesibilitas pada Bangunan

39
Umum dan Lingkungan, aksesibilitas adalah
kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat
dan orang sakit guna mewujudkan kesamaan
kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan. Jadi, penyediaan sarana prasarana yang
ditujukan untuk umum harus aksesibel terhadap semua
orang, tak terkecuali bagi mereka yang memiliki
keterbatasan. Aksesibel maksudnya adalah kondisi
suatu tapak, bangunan, fasilitas, atau bagian darinya
yang memenuhi persyaratan teknis aksesibilitas
berdasarkan pedoman ini. Dalam peraturan tersebut
juga dibahas mengenai asas aksesibilitas sebagai
pedoman dasar penyediaan akses pada sarana dan
prasarana, yaitu meliputi:
a. Kemudahan, yaitu setiap orang dapat mencapai
semua tempat atau bangunan yang bersifat umum
dalam suatu lingkungan;
b. Kegunaan, yaitu setiap orang harus dapat
mempergunakan semua tempat atau bangunan
yang bersifat umum dalam suatu lingkungan;
c. Keselamatan, yaitu setiap bangunan yang bersifat
umum dalam suatu lingkungan terbangun, harus
memperhatikan keselamatan bagi semua orang.
d. Kemandirian, yaitu setiap orang harus bisa
mencapai, masuk dan mempergunakan semua
tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam

40
suatu lingkungan dengan tanpa membutuhkan
bantuan orang lain. (WM 2007, 63)
Adanya asas ini menjadikan dasar dalam
penyediaan bangunan dan fasilitas umum yang
aksesibel. Bangunan dan fasilitas yang ditujukan
untuk umum memang harus dapat difungsikan
dengan baik oleh semua orang. Mudah, hal-hal
yang disediakan untuk kepentingan umum
seharusnya tidak mempersulit semua orang dalam
beraktifitas, justru kemudahan muncul sebagai
bantuan atas keterbatasan atau kesulitan yang
terjadi. Berguna, sarana prasarana sebagai
pendukung bangunan dan fasilitas umum dibuat
agar dapat membantu untuk beraktifitas. Selain itu,
sarana prasarana yang disediakan juga
memperhatikan keamanan, sehingga tidak
membahayakan keselamatan pengguna dan juga
menjadikan kemandirian bagi individu dalam
memfungsikannya.
Selain Keputusan Menteri Pekerjaan Umum di
atas, peraturan mengenai aksesibilitas bagi
penyandang disabilitas khususnya aksesibilitas di
angkutan umum juga dikeluarkan oleh Menteri
Perhubungan dalam Keputusan Menteri
Perhubungan Nomor KM 71 Tahun 1998 tentang
aksesibilitas bagi penyandang cacat dan orang
sakit pada sarana dan prasarana perhubungan.

41
Bahasan pada peraturan ini mencakup seluruh
angkutan yaitu, angkutan jalan, angkutan perkereta
apian, angkutan laut, dan angkutan udara. Kepmen
ini membahas mengenai fasilitas pelayanan untuk
penyandang cacat dan orang sakit pada sarana
angkutan jalan yaitu sebagai berikut.
a. Sarana angkutan jalan harus dilengkapi
dengan fasilitas dan pelayanan khusus
yang diperlukan dan memenuhi syarat
untuk memberikan pelayanan bagi
penumpang penyandang cacat dan orang
sakit.
b. Fasilitas dan pelayanan khusus
sebagaimana dimaksud dalam ayat(1),
meliputi:
1) Ruang yang dirancang dan
disediakan secara khusus untuk
penyandang cacat dan orang sakit
guna memberikan kemudahan
dalam bergerak.
2) Alat bantu untuk naik turun dari
dan ke sarana pengangkut.
c. Pengendara tuna rungu atau cacat kaki atau
tangan dalam berlalu lintas di jalan wajib
diberi tanda khusus pada kendaraannya
agar dapat lebih dikenal oleh pemakai jalan
lainnya.

42
Di bagian selanjutnya pada Kepmen ini juga
menegaskan mengenai prasarana apa saja yang
seharusnya terpenuhi pada fasilitas angkutan
umum, khususnya angkutan jalan sebagai berikut.
a. Penyelenggara/pengelola prasarana
angkutan jalan wajib menyediakan fasilitas
yang diperlukan dan memberikan
pelayanan khusus bagi penyandang cacat
dan orang sakit.
b. Fasilitas dalam pelayanan khusus
sebagaimana dimaksud dalam ayat(1),
meliputi:
1) Kondisi keluar masuk terminal
harus landai;
2) Kondisi peturasan yang dapat
dimanfaatkan penyandang cacat
dan orang s akit tanpa bantuan
pihak lain;
3) Pengadaan jalur khusus akses
keluar masuk terminal;
4) Konstruksi tempat pemberhentian
kendaraan umum yang sejajar
dengan permukaan pintu masuk
kendaraan umum;
5) Pemberian kemudahan dalam
pembelian tiket.

43
6) Pada terminal angkutan umum
dilengkapi dengan papan informasi
tentang daftar tarayek angkutan
jalan dilengkapi dengan rekaman
petunjuk yang dapat dibunyikan
bila dibutuhkan (atau ditulis dengan
huruf braille);
7) Pada tempat pemberhentian
kendaraan umum dapat dilengkapi
dengan daftar trayek dilengkapi
dengan rekaman yang dapat
dibunyikan bila dibutuhkan (atau
ditulis dengan huruf braille);
8) Pada tempat penyeberangan jalan
yang dikendalikan dengan alat
pemberi isyarat lalu lintas yang
sering dilalui oleh penyandang
cacat netra, dapat dilengkapi
dengan alat pemberi isyarat bunyi
pada saat alat pemberi isyarat untuk
pejalan kaki berwarna hijau atau
merah;
9) uang yang dirancang dan
disediakan secara khusus untuk
penyandang cacat dan orang sakit
guna memberikan kemudahan
dalam bergerak.

44
Dengan demikian, penyediaan layanan
sarana prasarana angkutan umum bagi mereka
yang berkebutuhan khusus memiliki dasar
hukum yang jelas. Hal ini menjadi landasan
bahwa sebenarnya kelompok disabilitas ini
mendapatkan perhatian, sehingga pengelola
penyediaan layanan ini dapat memenuhi
peraturan-peraturan yang telah ada.
4. Kemudahan dan Pergerakan
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.
30/PRT/M/2006, di dalam aksesibilitas terdapat
empat azas yang salah satunya adalah azas
kemudahan. Azas kemudahan artinya semua orang
dapat mencapai semua tempat atau bangunan yang
bersifat umum dalam suatu lingkungan. Kemudahan
penggunaan mampu mengurangi usaha seseorang baik
waktu maupun tenaga. Menurut Hutchinson dalam
Yusup (2007), pergerakan dikelom-pokkan menjadi
dua yakni pergerakan yang berbasis rumah dan
pergerakan yang berbasis bukan rumah. Pergerakan
berbasis rumah merupakan perjalanan yang berasal
dari rumah menuju tempat yang diinginkan
misalnya pergerakan untuk belanja, bekerja dan
sekolah. Sedangkan pergerakan berbasis bukan rumah
merupakan perjalanan yang berasal dari tempat
selain rumah, misalnya pergerakan antar tempat kerja
dan toko, pergerakan bisnis dan tempat kerja.

45
Sedangkan menurut Tamin (2000), pergerakan
diklasifikasikan menjadi tiga, yakni:
a) Berdasarkan tujuan pergerakan
Dalam kasus pergerakan berbasis rumah, 5
kategori tujuan pergerakan yang sering
digunakan adalah:
1) Pergerakan ke tempat kerja;
2) Pergerakan ke tempat pendidikan;
3) Pergerakan ke tempat belanja;
4) Pergerakan untuk kepentingan sosial dan
rekreasi;
5) Pergerakan ke tempat ibadah.
b) Berdasarkan Waktu
Pergerakan umumnya dikelompokkan
menjadi per-gerakan pada jam sibuk dan jam
tidak sibuk. Proporsi pergerakan yang dilakukan
oleh setiap tujuan pergerakan sangat bervariasi
sepanjang hari.
c) Berdasarkan jenis orang
Merupakan salah satu jenis
pengelompokkan yang penting karena perilaku
pergerakan individu sangat dipengaruhi oleh
atribut sosio-ekonomi, yaitu:
1) Tingkat pendapatan, biasanya terdapat tiga
tingkat pendapatan di Indonesia yaitu
pendapatan tinggi, pendapatan menengah
dan pendapatan rendah.

46
2) Tingkat pemilikan kendaraan, biasanya
terdapat empat tingkat yakni: 0, 1, 2 atau
lebih dari 2 kendaraan per rumah tangga.
3) Ukuran dan struktur rumah tangga.
5. Moda Transportasi .
Secara garis besar, moda transportasi dibagi
menjadi dua kelompok besar, yakni:
a. Kendaraan Pribadi
Menurut Miro (2005),kendaraan pribadi
memberikan kebebasan dalam beroperasi,
untuk memakai dan melakukan perjalanan ke
mana saja dan kapan saja. Selain itu menurut
Warpani (1990), kendaraan pribadi juga
memberi beberapa keuntungan seperti
perjalanan menjadi lebih cepat, tidak
tergantung waktu, bebas memilih rute
sesuai keinginan pengemudi.
b. Kendaraan Umum
Sesuai yang dikemukakan oleh Warpani
(1990): “Angkutan umum penumpang adalah
angkutan penumpang yang dilakukan dengan
sistem sewa atau membayar. Juga dikatakan
bahwa yang termasuk dalam pengertian
angkutan umum penumpang adalah angkutan
kota (bus, minibus, dan sebagainya), kereta
api, angkutan air, dan angkutan udara”,
(Warpani:170).
Adapun tujuan angkutan umum
penumpang adalah: 1) Menyelenggarakan
pelayanan angkutan yang baik dan layak
bagi masyarakat yaitu aman, cepat, murah
dan nyaman. 2) Membuka lapangan kerja. 3)

47
Pengurangan volume lalu lintas kendaraan
pribadi
Angkutan Umum Penumpang bersifat
massal sehingga biaya angkut dapat
dibebankan kepada lebih banyak orang atau
penumpang yang menyebabkan biaya per
penumpang dapat ditekan serendah mungkin.
Karena merupakan angkutan massal, perlu
ada kesamaan asal dan tujuan. Kesamaan ini
dicapai dengan cara pengumpulan di
terminal/tempat perhentian. Pelayanan
angkutan umum akan berjalan dengan baik
apabila tercipta keseimbangan antara
ketersediaan dan permintaan.
Oleh karena itu, pemerintah perlu campur
tangan dalam hal ini. Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1993
Tentang Angkutan Jalan menyebutkan
bahwa angkutan umum adalah pemindahan
orang dan/atau barang dari suatu tempat ke
tempat lain dengan menggunakan kendaraan
bermotor yang dipergunakan untuk umum
dengan dipungut bayaran. Tamin (2000)
mengatakan pemilihan moda sangat sulit
dimodelkan. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor yang sulit untuk
dikuantitatifikasikan, misalnya kenyamanan,

48
keamanan, keanda-lan atau ketersediaan mobil
pada saat diperlukan.
C. Pengertian keberfungsian sosial
Keberfungsian sosial (social functioning) menurut
Boehm merupakan termateknikal yang mendukung fokus
profesi pekerjaan sosiaI pada transaksi-transaki manusia
dalam lingkungannya. Hal ini merujuk kepada
kemampuan klien untuk melaksanakan tugas
kehidupannya sehari-hari (termasuk mendapatkan
makanan, tempat tinggal, dan transportasi) dan memenuhi
peranan-peranan sosial utamanya sebagaimana diharapkan
oleh masyarakat atau subbudaya klien (Karls & Wandrei,
I994).
Oleh karena itu, menurut hemat saya tanpa
memahami konsep keberfungsian sosial maka seorang
pekerja sosial tidak akan dapat membedakan antara
dirinya dengan profesi lain, dan dia kehilangan identitas
diri dan profesinya. Pentingnya konsep keberfungsian
sosial ini dipertegas lagi oleh Morales dan sheafor (1999)
dengan mengatakan bahwa keberfungsian sosial
merupakan sebuah konsep pembeda antara profesi
pekerjaan sosial dengan profesi lainnya.
Konsep keberfungsian sosial tidak terlepas dari
karakteristik orang dalam konteks lingkungan sosialnya.
Keberfungsian sosial menunjuk pada cara-cara individu-
individu maupun kolektivitas dalam rangka melaksanakan
tugas-tugas kehidupannya dan memenuhi kebutuhannya.

49
Oleh karena itu keberfungsian seseorang sangat berkaitan
dengan peranan-peranan sosialnya sehingga
keberfungsian sosial dapat pula diartikan sebagai
kegiatan-kegiatan yang dianggap penting dalam
menampilkan beberapa peranan yang diharapkan atau
yang seyogianya ditampilkan oleh setiap orang karena
keanggotaannya dalam kelompok kelompok sosial.
Keberfungsian sosial positif adalah kemampuan
orang untuk menangani tugas-tugas dan aktivitasnya yang
penting dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan
melaksanakan peranan sosial utamanya sebagaimana yang
diharapkan oleh kebudayaan dari suatu komunitas yang
khusus (Karls & Wandrei, 1998; Longres 1995). Peranan
sosial yang utama yaitu menjadi anggota dalam keluarga,
otang tua, pasangan, mahasiswa, pasien, pegawai,
tetangga dan warga negara. Peranan sosial orang berubah
melalui kehidupan dan harapan tentang peranan ini
berbeda tergantung kepada gender orang, suku bangsa,
budaya, agama, pekerjaan dan komunitas. Sebagian ahli
berpendapat bahwa konsep keberfungsian sosial terfokus
pada keserasian antara kapasitas individu dengan tindakan
dan tuntutan, harapan, sumber-sumber serta kesempatan
dalam lingkungan sosial dan ekonominya.
Pekerjaan sosial berhubungan dengan
keberfungsian sosial semua orang tapi prioritasnya yaitu
pada masalah pemenuhan kebanyakan anggota-anggota
masyarakat yang rentan. Pada dasarnya masyarakat yang

50
rentan ini adalah korban dari situasi pengabaian,
ketidakadilan sosial, diskriminasi dan penindasan.
Secara umum keberfungsian sosial merupakan
kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap individu,
dalam menyesuaikan diri dan mengatasi masalah yang
dihadapinya. Hal ini berkaitan erat dengan interaksi antara
individu dengan Iingkungan sosialnya, sehingga
memberikan hasil yang bermanfaat bagi dirinya dan orang
lain.
1. Karakteristik Keberfungsian Sosial
Fokus atau pusat perhatian pekerjaan sosial yaitu
social functioning atau keberfungsian sosial.
Pekerjaan sosial berusaha untuk memperbaiki,
mempertahankan atau meningkatkan keberfungsian
sosial orang, kelompok atau masyarakat. Definisi ke
empat walaupun tidak menyebut keberfungsian sosial,
secara tersurat juga tetap mempunyai fokus pada
keberfungsian sosial orang. Hal ini tersirat dalam
pernyataan bahwa pekerjaan sosial melakukan
Intervensi pada titik-titik dari mana orang berinteraksi
dengan lingkungannya.
Bartlett (1970) menyatakan bahwa keberfungsian
sosial merupakan fokus utama pekerjaan sosial.
Menurut Bartlett keberfungsian sosial adalah
kemampuan mengatasi (coping) tuntutan (demands)
lingkungan yang merupakan tugas tugas kehidupan.
Dalam kehidupan yang baik dan normal terdapat

51
keseimbangan antara tuntutan Iingkungan dan
kemampuan mengatasinya oleh individu. Kalau terjadi
ketidakseimbangan antara keduanya maka terjadi
masalah, misalnya tuntutan lingkungan melebihi
kemampuan mengatasi yang dimiliki individu. Dalam
hal ini pekerjaan sosial membantu menyeimbangkan
tuntutan lingkungan dengan kemampuan
mengatasinya oleh individu.
Siporin (1975) menyatakan bahwa keberfungsian
sosial merujuk pada cara individu-individu atau
kolektivitas seperti keluarga, perkumpulan,
komunitas, dan sebagainya. Berperilaku untuk dapat
melaksanakan tugas tugas kehidupan mereka dan
memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Karena
orang berfungsi dalam arti peranan peranan sosial
mereka, maka keberfungsian sosial menunjukkan
kegiatan-kegiatan yang dipandang pokok untuk
pelaksanaan beberapa peranan yang, karena
keanggotaannya dalam kelompok kelompok sosial,
setiap orang diminta untuk melakukannya. Setiap
orang menduduki beberapa status sosial sekaligus,
misalnya status sebagai suami, sebagai ayah, sebagai
pegawai, sebagai warga masyarakat, dan sebagainya.
Setiap status sosial disertai oleh peranan sosial
tertentu, dan pelaksanan peranan-peranan sosial ini
menunjukkan keberfungsian sosial. Keberfungsian
sosial menunjukkan keseimbangan penukaran,

52
kesesuaian, kecocokan, dan penyesuaian timbal balik
secara individual atau secara kolektif, dan lingkungan
mereka.
Keberfungsian sosial dinilai berdasarkan apakah
keberfungsian sosial tersebut memenuhi kebutuhan
dan memberikan kesejahteraan kepada orang
dankomunitasnya, dan apakah keberfungsian sosial itu
normal dan dibenarkan secara sosial.
Untuk mencapai keberfungsian sosial maka
peranan sumber daya menjadi sangat penting.
Kesempatan dan sumber sumber daya yang ada dapat
dimanfaatkan sehingga memungkinkan pencapaian
keberfungsian sosial internal sebagaimana mestinya.
Seseorang dapat dikatakan berfungsi sosial apabila Ia
mampu menjalankan tugas-tugas kehidupannya
melalui tiga cara yaitu:
a. Individu mampu menjalankan peranannya
dengan baik. Peranan merupakan tingkah
laku yang diharapkan ke atas orang yang
memegang peranan itu. Dalam hal ini
individu dapat mengefektifkan segala
sesuatu yang diharapkannya untuk
diwujudkan secara konkret.
b. lndividu memiliki tanggung jawab
terhadap orang lain. Ia mampu membuat
keputusan yang rasional, dapat dipercaya
dan mampu berupaya untuk kesejahteraan

53
orang lain. Hal-hal yang dicapainya akan
dijadikan modal untuk kegiatan
selanjutnya.
c. Individu memperoleh kepuasan diri dari
penampilan/kinerja dan tugas tugasnya
serta pelaksanaan tanggung jawabnya.
Namun terkadang kegiatan-kegiatan yang
dilakukan seseorang mengalami hambatan dan
memberikan hasil tidak memuaskan, sehingga
individu yang bersangkutan dikatakan tidak dapat
menjalankan fungsi sosialnya. Kondisi seperti ini
dapat dikarenakan hal-hal sebagai berikut:
a. Kekurangan sumber-sumber internal
Kondisi tersebut mengakibatkan
seseorang memiliki harapan yang semu,
kebutuhan fisik dan psikis tidak terpenuhi,
serta ketidakberdayaan dalam hidupnya.
Secara situasional sumber-sumber internal
diperlukan untuk membangun semangat
individu dalam melangsungkan
kehidupannya.
b. Pengaruh negatif faktot lingkungan
Kondisi tersebut berkaitan dengan
perkembangan pengetahuan kemajuan
teknologi dan yang tidak seimbang dengan
kemampuan individu dalam menerimanya.
Keterbatasan individu untuk memperoleh
informasi, mengolah dan memilah hal-hal
yang bermanfaat mengakibatkan lemahnya
kontrol sosial terhadap dampak negatif
kemajuan tersebut. Hal ini memerlukan

54
penyeimbangan antara peningkatan
kemampuan individu sehingga dapat
memilah hal-hal yang positifnya saja.
c. Kombinasi antara faktor personal dan
lingkungan
Kondisi tersebut merupakan gabungan
dari akibat-akibat yang ditimbulkan oleh
faktor internal individu dan pengaruh
lingkungan. Kombinasi masalah seperti ini
memiliki dampak yang lebih kompleks
terhadap terganggunya keberfungsian
sosial seseorang.
Dalam keadaan normal seseorang harusnya
mampu melakukan tugas-tugas kehidupannya. Hal ini
berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan fisik dan
psikis sebagai manusia. Maslow dalam ive (2001: 76)
menyatakan bahwa ”terdapat lima tingkat kebutuhan
manusia yaitu kebutuhan psikologis yang fundamental,
kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan kasih sayang,
kebutuhan untuk dihargai dan kebutuhan untuk
mengaktualisasikan diri"
Berdasarkan hal tersebut maka setiap individu
memiliki hak yang sama dalam pemenuhan kebutuhan
hidupnya. Namun pada kenyataannya masih ada individu-
individu yang mengalami masalah dalam pemenuhan
kebutuhan. Ketiga hal di atas menjadi pemicunya dan
mengakibatkan pencapaian kondisi normal yang
diharapkan menjadi terganggu.

55
Florence Hollis dalam loewenberg (1977: 57)
mengatakan: "to enhance the social functioning of the
client is alleviating them from stress and malfunctioning
in their person situation system'. Hal ini menunjukkan
bahwa untuk meningkatkan keberfungsian sosial klien,
dapat dilakukan dengan mengurangi stres dan
menurunkan ketidakberfungsian yang terdapat dalam
dirinya dan sistem yang berada di sekitarnya.
Keberfungsian sosial biasanya dibagi ke dalam
dua kategori yaitu keberfungsian sosial internal dan
keberfungsian sosial eksternal. Proses penbentukan
keberfungsian sosial internal memerlukan waktu yang
cukup lama, karena dibutuhkan adaptasi untuk
mempertahankan interaksi dengan lingkungannya.
Pengaruh internal memegang peranan yang sangat besar
untuk menyesuaikan pengalaman yang diterima, dengan
kenyataan yang ada dalam kehidupan
Skidmore, Farley dan Thackeray (1 991: 19)
membuat segitiga keberfungsian sosial yang terdiri dari:
'feeling of self-worth, satisfaction with roles in life and
positive relationships with others'. Ketiga hal tersebut
menunjukkan bahwa keberfungsian sosial seseorang tidak
terlepas dari apa yang dirasakan oleh dirinya, perasaan
berharga, kepuasan dengan peranan dalam kehidupannya
dan hubungan positif dengan sesamanya. Secara umum
segitiga keberfungsian sosial diutamakan pada
pengungkapan perasaan individu sebagai pribadi yang

56
berguna (seIf-worth). Hal ini difokuskan pada
pembentukan kognisi seseorang untuk memaknai sebuah
kejadian. Bila ia merasa sebagai orang yang berguna
maka aspek-aspek positif keberfungsian sosial internalnya
akan lebih menonjol dibandingkan dengan aspek-aspek
negatifnya.
Hal ini menggambarkan bahwa keberfungsian
sosial internal terletak pada keyakinan supernatural untuk
menyelesaikan segala masalah yang signifikan. Stres,
ketidakberdayaan dan kekecewaan yang muncul
merupakan bagian dari kelemahan mereka terhadap
kekuatan internal tersebut. Individu beradaptasi
memunculkan kemampuan mereka untuk mengatasi stres,
kekecewaan dan ketidakberdayaan. Keberfungsian sosial
internal seseorang harus segera dipulihkan saat ia merasa
tidak berdaya, tidak mampu beradaptasi dengan
lingkungan dan mengalami tekanan-tekanan dalam
dirinya. Hal ini ditujukan agar mereka tidak mengalami
ketidakberfungsian sosial internal, yang dapat
menghambat aktivitas dalam kehidupan selanjutnya.
Berdasarkan uraian keberfungsian sosial diatas
maka keberfungsial sosial yang akan dipakai pada konten
skripsi ini yaitu :
1. Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan
penyandang disabilitas Tunadaksa dalam
kehidupan sehari – hari
2. melaksanakan peran sesuai stastusnya

57
3. Kemampuan mengatasi masalah
4. Kepuasan kinerja dan tugas – tugasnya
5. Merasa menjadi orang berguna

58
BAB III
GAMBARAN UMUM
A. Sejarah Berdirinya Bengkel “Modifikasi Motor Roda
Tiga”
Bengkel „Modifikasi Motor Roda Tiga‟ adalah
salah satu jenis usaha dalam bidang otomotif yang khusus
memodifikasi kendaraan untuk difabel. Bengkel tersebut
didirikan oleh Catur Bambang pria 45 tahun yang
membuka bisnis bengkel difabel sejak 2004 karena
pengalaman pribadinya. Catur yang kakinya diamputasi
itu sering kali kesulitan bila ingin berpergian.
“Menjadi difabel ini ke mana-mana kalau mau
pergi itu kesulitan masalah transportasi. Dari situ
kita membikin rangkaian yang sederhana waktu
itu, mudah dikendarain, dan mudah dirawat
diservis atau gimana gitu.,”
Pria asal Surabaya tersebut mendapat respons dari rekan-
rekan sesama difabel. Keluarganya pun mendukung niatan
tersebut. Dengan modal sendiri, Catur mulai merintis
bisnisnya. Bengkel miliknya cukup asri dan teduh, terletak
di Ruko PU Komplek Mabad 60 Kecamatan Ciputat
Timur, Jalan Wijaya Kusuma, Rengas, Kota Tangerang
Selatan, Banten.
Catur miris melihat kaum difabel masih diperlakukan tak
adil, bahkan belum menjadi prioritas. Misalnya saat
mereka menumpang angkutan umum atau layanan publik
lainnya.

59
Padahal dalam Undang-undang nomor 8 tahun
2016 disebutkan, "bahwa untuk mewujudkan
kesamaan hak dan kesempatan bagi penyandang
disabilitas menuju kehidupan yang sejahtera,
mandiri, dan tanpa diskriminasi diperlukan
peraturan perundang-undangan yang dapat
menjamin pelaksanaannya".
UU baru ini menggantikan UU nomor 4 tahun
1997 tentang Penyandang Cacat, yang dinilai sudah tidak
sesuai lagi dengan paradigma kebutuhan penyandang
disabilitas.Catur menyatakan ia memang kerap melihat
spanduk bertuliskan himbauan untuk mengutamakan
orang tua dan kaum difabel, namun kenyataan tak semanis
tulisan itu.Karenanya ia bertekad mandiri dan ingin benar-
benar menjadi manusia yang tak merepotkan orang lain,
terutama dalam hal transportasi.
Atas dasar itulah ia merancang dan merakit sendiri motor
roda tiga guna kepentingan transportasinya sendiri.
Keberhasilan itu menjadi awal dari bisnis yang
dijalankannya saat ini.
"Saya tergerak membangun ini karena masalah
transportasi tentunya. Selain itu saya mau kaum kami
(difabel) tak mau merepotkan orang banyak, sehingga
terkadang diremehkan," cerita priaberdarah Surabaya
yang membuka gerai bengkelnya sejak 2004 tersebut.
Pria yang sebelumnya bekerja sebagai pegawai
pemerintah ini mengatakan hidupnya nyaris hancur ketika
sebuah kecelakaan kerja menimpanya pada 1993.

60
Kecelakaan itu membuat Catur harus kehilangan kedua
kakinya, pun kemudian pekerjaannya.
Sempat terpuruk, Catur, didukung istrinya,
Rumandang Tinambunan (41), mencoba bangkit menata
kehidupannya kembali.Karena penyandang cacat sulit
mendapatkan pekerjaan, Catur akhirnya membangun
bisnis jasa perbaikan perangkat elektronik pada 1999.
Akan tetapi ia menghadapi kesulitan lain, nyaris tak ada
angkutan umum yang mau mengangkutnya dari rumah ke
lokasi kerja.
Kesulitan itu memberinya tantangan baru.
Akhirnya, walau tak memiliki pengetahuan mengenai
modifikasi kendaraan, Catur bertekad untuk membuat
kendaraan yang bisa membawanya pergi ke manapun, tak
tergantung pada angkutan umum. Beberapa kali gagal,
upaya tersebut akhirnya menemui hasil, sebuah sepeda
motor roda tiga hasil rakitannya sendiri.
Awalnya Catur merasa kesulitan karena tidak
memilliki pengalaman modifikasi motor. Dia dulunya
adalah seorang pekerja abdi negara di Surabaya. Lepas
dari masa-masa kelam yang membuat dirinya trauma,
perlahan Catur mulai belajar memodifikasi motor dari
rekan-rekannya yang ahli. Catur belajar mengelas dan
juga konstruksi motor.
Jemari tangan itu terus menggerakkan kursi roda
hitam yang didudukinya. Gerakan tangan yang lincah

61
membawa langkah dia ke sebuah bengkel kecil di sudut
Kota Tangerang Selatan.
Tekad pria asal Surabaya itu mendapat respons
baik dari rekan-rekan sesama difabel. Keluarganya pun
mendukung niatan tersebut. Dengan modal sendiri, Catur
mulai merintis bisnisnya.
Setelah semua teknik modifikasi dikuasai, Catur
dihadapkan pada kesulitan lain yaitu mencari bahan baku
untuk modifikasi kendaraan khusus difabel. Dia berjuang
mencari penjual bahan baku dari Bekasi hingga ke daerah
yang jauh dari tempat tinggalnya. Dia mencari sendiri
semua bahan-bahan itu hingga akhirnya kini dia punya
langganan.
“Kesulitannya dulu pertama-tama bahan baku karena
enggak semua bahan baku ada di pasaran. Dan kita harus
inden atau pesan. Tapi, lama-lama kita punya channel
dan akhirnya tinggal telepon barang ada gitu,”
Pria yang sehari-hari tinggal di Bogor itu
mengklaim, para pelanggannya datang dari hampir semua
wilayah di Indonesia. Maklum, Catur merupakan pendiri
bengkel difabel pertama yang khusus untuk sesama
difabel. Namanya cukup tersohor di antara para difabel.
Para pelanggan rela mengirim motornya mahal-
mahal hanya untuk dibuatkan roda tiga oleh Catur.
Dengan usahanya yang semakin lancar itu, Catur meraup
penghasilan yang lumayan. Pesatnya bengkel Catur
ternyata memotivasi para difabel lain untuk bisa belajar
dengannya. Namun, karena kondisi bengkelnya yang kecil

62
membuat Catur tak mampu merealisasikan asa para
temannya itu.
Kaum pemotor difabel yang dibekali dengan SIM
D (khusus difabel), ternyata juga memiliki masalah ketika
berkendara di jalan raya. Salah satunya ketika mereka
melakukan pengisian bahan bakar di SPBU. Para pemotor
difabel kerap dipandang sebelah mata dan tak dilayani
selayaknya.
Karena motor mereka lebar, tentunya tak pas
masuk dalam jalur kategori motor, mau tak mau harus
masuk ke jalur mobil, namun terkadang suka tak dilayani
atau di "pingpong".
Selain di SPBU, masalah juga kerap menimpa
mereka adalah saat di parkiran pusat perbelanjaan yang
kerap diperlakukan semena oleh juru parkir. Meski begitu,
dia tetap bahagia melihat teman-temannya bisa mandiri
dengan motor roda tiga rancangannya.
Untuk menguatkan rasa persaudaraan dengan
sesama pemotor difabel, Catur dan beberapa koleganya
membentuk komunitas sendiri bernama Difabel Motor
Community (DMC) yang bermarkas di bengkel
RempoaCiputat Timur yang saat ini beranggotakan 30
orang. Selain itu ada beberapa komunitas pengendara
difabel lainnya, termasuk Difabel Motor Indonesia (DMI).
B. Tujuan Didirikanya Bengkel
Undang-undang nomor 8 tahun 2016 disebutkan,

63
"bahwa untuk mewujudkan kesamaan hak dan
kesempatan bagi penyandang disabilitas menuju
kehidupan yang sejahtera, mandiri, dan tanpa
diskriminasi diperlukan peraturan perundang-
undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya".
UU baru ini menggantikan UU nomor 4 tahun
1997 tentang Penyandang Cacat, yang sudah tidak sesuai
lagi dengan paradigma kebutuhan penyandang disabilitas.
Dengan adanya undang-undang baru tersebut, catur
bertujuan untuk merealisasikan hak-hak kaum disabilitas
sampai kepada mereka (difabel) karena pada selama ini
catur melihat kaum difabel masih diperlakukan tak adil,
bahkan belum menjadi prioritas. Misalnya saat mereka
menumpang angkutan umum atau layanan publik lainnya.
Catur menyatakan ia memang kerap melihat
spanduk bertuliskan himbauan untuk mengutamakan
orang tua dan kaum difabel, namun kenyataan tak semanis
tulisan itu.Karenanya ia bertekad mandiri dan ingin benar-
benar menjadi manusia yang tak merepotkan orang lain,
terutama dalam hal transportasi.
Atas dasar itulah ia merancang dan merakit sendiri
motor roda tiga guna kepentingan transportasinya sendiri.
"Saya tergerak membangun ini karena masalah
transportasi tentunya. Selain itu saya mau kaum
kami (difabel) tak mau merepotkan orang banyak,
sehingga terkadang diremehkan,"

64
BAB IV
DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Pemanfaatan Modifikasi Motor Roda Tiga pada
Penyandang Disabilitas Tunadaksa
1. Pemanfaatan Modifikasi Motor Roda Tiga Bagi
Penyandang Disabilitas Tuna Daksa Pada
Komunitas Difabel Motor Comunity Rempoa
Motor Modifikasi Roda Tiga menjadi salah
satu solusi bagi penyandang disabilitas untuk
mendapatkan aksesibilitas transportasi dalam
menunjang kehidupan sehari – harinya. Kendaraan ini
umum nya meluas dipakai oleh penyandang disabilitas
beberapa tahun belakangan ini dan dapat
membuktikan bahwa tidak ada keterbatasan bagi
penyandang disabilitas untuk dapat mandiri. Berjalan
kemana pun dengan aman dan nyaman.
Bermula dari seorang bernama Catur
Bambang yang mendirikan bengkel Modifikasi Motor
Roda Tiga di kawasan Rempoa, Tangerang Selatan.
Catur mengalami kecelakaan yang membuat nya
kehilangan kedua kaki nya sehingga timbul keinginan
Catur untuk mendirikan motor modifikasi roda tiga.
Bagi catur mandiri adalah harga mati dalam menjalani
hidup meski menyandang status disabilitas, hidup
tanpa dua kaki tidak bergantung pada orang lain
adalah prinsip yang terus dipegangnya.

65
Pada awalnya bukan hal mudah bagi catur
memodifikai roda tiga karena latar belakang nya yang
bukan ahli otomotif. Namun tekadnya bulat ingin
membuka bengkel difabel yang bisa bermanfaat bagi
rekan senasib.
“Kita minta ajarkan orang, belajar sama
beberapa teman yang ahli di bidangnya. Mulai
dari las, konstruksi kita pelajari khusus motor ini”
ujarnya.
Catur belajar dengan tekun membutuhkan
waktu 3 tahun lebih untuk menguasai semua teknik
modifikasi motor, setelah itu barulah Catur membuka
bengkel difabel “Modifikasi Roda Tiga” tepatnya awal
tahun 2004 lalu. Dari mulai seorang diri, perlahan
Catur mulai memiliki karyawan. Mereka bahu
membahu menciptakan motor roda tiga bagi para
difabel. Di samping itu, Catur juga memodifikasi
mobil untuk para difabel.
Tentu saja kebutuhan para difabel bervariasi
dalam memodifikasi motornya. “Jadi saya tahu persis
tingkat kesulitan dari teman – teman difabel dan tahu
cara merespons agar mereka bisa dengan mudah
mengendarainya. Dari polio, amputasi, paraplegia atau
spastik. Saya tahu persis rangkaian motor yang
mereka butuhkan”, katanya menjawab pertanyaan
macam – macam jenis modifikasi yang dibuat nya.
Dalam mengerjakan modifikasi motor roda
tiga membutuhkan waktu 4 hari sampai satu minggu.

66
Bermacam – macam motor pernah Catur modifikasi
untuk para difabel pelanggan nya. Status nya yang
juga sebagai penyandang disabilitas ini membuatnya
lebih mengerti apa yang dibutuhkan pelanggan nya
yang juga penyandang disabilitas, itulah yang
membuat para difabel yang ingin memodifikasi roda
tiga lebih mudah mendapatkan modifikasi yang sesuai
dengan yang mereka butuhkan dan sesuai yang di
ingikan. “Karena mereka kan enggak tahu kesulitan
orang cacat itu seperti apa, naik turunnya. Enggak
tahu, tahunya bikin doang, kenyataan nya pas dinaikin
enggak bisa” katanya ketika ada pelanggan difabel
yang mengeluhkan modifikasi motor nya di bengkel
lain.
Catur dan beberapa teman – teman difabel
untuk menguatkan rasa persaudaraan membentuk
komunitas bernama Difabel Motor Comunity (DMC)
yang bermarkas dibengkel rempoa. Di komunitas
inilah Catur dan teman – teman difabel mengadakan
diskusi – diskusi terkait modifikasi motornya yang
bervariasi, mulai dari masalah – masalah yang
dihadapi ketika di jalan. Salah satunya ketika
melakukan pengisian bahan bakar di SPBU. Para
pemotor difabel kerap dipandang sebelah mata dan
tidak dilayani selayaknya. Karena motor mereka lebar,
tentunya tak pas masuk dalam jalur kategori motor,
sehingga harus masuk dalam jalur mobil namun

67
kadang tak dihiraukan. Tidak hanya di SPBU dan juga
dijalan raya, di pusat perbelanjaan mereka mengalami
masalah saat parkir kendaraan nya yang tak jarang
juga diperlakukan semena oleh petugasnya.
“Kasusnya sama seperti di SPBU itu, kalau parkir di
pusat belanja suka dicarikan tempat yang jauh. Tidak
boleh ditempat parkir motor maupun mobil,” terang
Catur.
Melaui komunitas ini Catur dan teman –
teman komunitas melakukan beragam upaya agar
dapat diterima lebih baik. Dengan pendekatan –
pendekatan bersama pihak terkait juga agar
pemerintah dapat lebih memperhatikan hal – hal
seperti itu walaupun sampai saat ini hasil nya belum
memuaskan. Sudah banyak bukti yang menunjukan
bahwa jika didukung penuh dan diberi kesempatan,
para difabel bahkan bisa melakukan hal – hal yang
sulit dilakukan oleh orang – orang normal.
2. Pemanfaatan Modifikasi Motor Roda Tiga
Terhadap Keberfungsian Sosial Anggota
Komunitas Difabel Motor Comunity Rempoa
Seperti yang telah dibahas diatas tentang
bagaimana komunitas dapat menjadi wadah bagi para
difabel pengguna modifikasi roda bukan hanya sebatas
menjalin tali persaudaraan, diluar itu dinamika para
anggota komunitas yang awalnya ini terbentuk karena
memodifikasi motor nya di bengkel motor difabel

68
milik Catur Bambang memiliki potensi lebih untuk
pengembangan individu anggota komunitas juga
dalam mengembangkan keberfungsian sosial nya
sebagai warga negara indonesia.
Melalui pemanfaatan modifikasi motor roda
tiga ini pasti berdampak pada kehidupan sehari – hari
pengguna manfaat itu. Aksesibilitas untuk difabel
melalui pemanfaatan modifikasi roda tiga ini menjadi
solusi khusus Aksesibilitas nya di bidang transportasi.
Transportasi sudah menjadi kebutuhan yang terbilang
sangat penting dalam kehidupan manusia apalagi ini
adalah yang jelas dibutuhkan para difabel agar dapat
mandiri, juga dalam menjalankan keberfungsian
sosialnya.
Aksesibilitas transportasi untuk disabilitas
memang sudah dilakukan mulai dari adanya kursi
prioritas pada transportasi publik yang telah
difasilitasi oleh pemerintah seperti pada bus
transjakarta atau disetiap gerbong kereta commuter
line namun justru malah sulit diakses oleh para
difabel. Pemanfaatan modifikasi motor roda tiga ini
menjadi salah satu upaya yang dilakukan oleh para
difabel dalam rangka memenuhi kebutuhan nya
memiliki akomodasi yang layak.
Dalam kehidupan sehari – hari manusia
menjalankan aktivitasnya membutuhkan akses untuk
memudahkan mobilitas diri agar produktivitas nya

69
terjaga. “sejak jatuh, kaki saya yang sebelah gak kuat
menahan beban, makanya tidak bisa kalau pakai motor
biasa”, kata Tedi salah satu anggota komunitas yang
bekerja mejadi kurir mengantar barang daring. Tedi
merasa lebih aman setelah mengendarai sepeda motor
yang telah dimodifikasi di bengkel Catur.
Hasil dari pemanfaatan motor roda tiga bagi
para penyandang disabilitas untuk hidup mandiri dan
dapat berpartisipasi penuh dalam segala aspek
kehidupan. Terlihat jelas dampak positif yang diterima
bagi para penyandang disabilitas pengguna modifikasi
roda tiga dimulai dasri sisi psikologis, mendapatkan
pencerahan kembali dalam hidupnya, dapat
mengembalikan kemandirian nya dengan tidak
bergantung dengan orang lain ketika ingin berpindah
ke suatu tempat dalam menjalankan aktivitas sehari –
hari, hal ini sangat berpengaruh dalam sektor ekonomi
para penyandang disabilitas pengguna modifikasi roda
tiga, dengan itu mereka memiliki akses lebih luas
dalam mengembangkan kapasitas juga pertumbuhan
perekonomian individu dan juga keluarganya. Dalam
aspek sosial, tentu saja aksesibilitas penyandang
disabilitas untuk bersosialisasi dengan masyarakat
tidak lagi terbatas.

70
BAB V
PEMBAHASAN
A. Akomodasi Yang Layak Melalui Pemanfaatan
Modifikasi Roda Tiga Bagi Penyandang Disabilitas
Tunadaksa
Penyandang disabilitas tunadaksa di indonesia saat
ini jumlah nya minoritas dan kurang mendapat perhatian
walaupun sudah ditetapkan Undang – Undang No. 4
Tahun 1997 pasal 6 tentang hak dan kewajiban
penyandang disabilitas, namun sarana dan prasarana
umum yang telah disediakan masih minim terutama dalam
bidang transportasi. Telah lama sekali para pengguna
kursi roda terbelunggu oleh kebutuhan transportasi yang
tidak aksesibel.
Pemanfaat modifikasi motor roda tiga dalam
komunitas ini rata – rata adalah difabel yang mengalami
kecelakaan yang dampak nya menjadikan anggota
komunitas ini kehilangan bagian tubuh yang dalam
disabilitas termasuk golongan penyandang disabilitas
tunadaksa (cacat fisik). Merujuk pada Undang – undang
No. 8 tahun 2016 dalam memberikan makna baru untuk
penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas kini
dimaknai sebagai bagian dari keragaman manusia.
Keragaman dari disabilitas memunculkan kebutuhan
khusus para penyandang disabilitas dan lembaga dari
sektor pemerintah maupun swasta agar semua layanan
dapat diakses oleh warga masyarakat penyandang

71
disabilitas dengan berbagai macam ragamnya. (Bab II
2019, 23)
“Akomodasi yang Layak adalah modifikasi dan
penyesuaian yang tepat dan diperlukan untuk
menjamin penikmatan atau pelaksanaan semua
hak asasi manusia dan kebebasan fundamental
untuk Penyandang Disabilitas berdasarkan
Kesetaraan”, berdasarkan Undang – undang
Penyandang Disabilitas pasal 1 angka 9 tentang
Akomodasi yang layak (Reasonable
accomodation).
Untuk memenuhi Akomodasi yang layak dalam
setiap aspek kehidupan menjadi tugas dan fungsi
pemerintah sebagai penyelanggara negara.
Pemanfaatan motor modifikasi motor roda tiga
telah membuktikan mampu membuat penyandang
disabilitas untuk hidup secara mandiri dalam aksesibilitas
nya dalam hal transportasi merujuk Undang – undang
nomor 4 tahun 1997 tentang penyandang disabilitas, yang
dimaksud aksesibilitas adalah kemudahan yang
disediakan bagi penyandang disabilitas dan lansia guna
mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek
kehidupan dan penghidupan. Diperkuat dalam CRPD
(The Convetion on the Human Right of Persons with
Disabilities) Pasal 9 Ayat 1 tentang aksesibilitas, negara –
negara pihak harus melakukan langkah – langkah yang
diperlukan untuk menjamin akses penyandang disabilitas
dalam lingkungan fisik, transportasi, informasi dan
komunikasi serta fasilitas pelayanan lainnya yang terbuka

72
atau disediakan bagi publik, baik perkotaan maupun
pedesaan, atas dasar kesetaraan dengan orang – orang lain
(Dr. Akhmad Soleh 2016, 53).
Kelayakan modifikasi motor roda tiga terbilang
ramah difabel, modifikasi yang dibuat sesuai kebutuhan
itu sudah dipehitungkan sampai bagaimana kendaraan
tersebut mampu melewati jalan yang menanjak dan juga
untuk berbelok hingga dibuat bisa mundur kebelakang.
Banyak penelitian teknik terkait peracangan modifikasi
motor roda tiga seperti yang dilakukan oleh Febrian
Miarppa dan B. Kristyanto, mahasiswa program S1 Prodi
Teknik Industri Universitas Atmajaya yang membuat
jurnal karya ilmiah tentang Perancangan Sepeda Motor
Roda Tiga dengan tujuan rancangan redesain motor untuk
penyandang disabilitas Tunadaksa yang telah memenuhi
atribut – atribut produk sehingga modifikasi motor sesuai
dengan aspek - aspek desain kendaraan bermotor dengan
konstruksi yang di inginkan difabel. Hingga kini terus
berkembang desain modifikasinya, hanya saja sampai saat
ini belum ada keputusan agar tercipta rancangan
modifikasi dengan konstruksi yang layak dan ramah
difabel sehingga modifikasi roda tiga dapat tergolong
Akomodasi Yang Layak, dan membantu mewujudkan
aksesibilitas transportasi untuk difabel yang praktis, aman
dan tentunya sangat bermanfaat bagi difabel pemanfaat
modifikasi roda tiga.

73
B. Keberfungsian Sosial Penyandang Disabilitas
Tunadaksa Pemanfaat Modifikasi Roda Tiga
Keberfungsian sosial dinilai berdasarkan apakah
keberfungsian sosial tersebut memenuhi kebutuhan dan
memberikan kesejahteraan kepada orang
dankomunitasnya, dan apakah keberfungsian sosial itu
normal dan dibenarkan secara sosial (Bab II 2019, 41).
Dalam mencapai keberfungsian sosial internal peran
sumber daya menjadi penting, kesempatan dan sumber
daya dapat dimanfaatkan.
Seperti yang telah dikemukakan pada Bab
sebelumnya, para penyandang disabilitas pemanfaat
modifikasi motor roda tiga masih memiliki dampak positif
ketika menggunakan Modifikasi motor roda tiga dalam
mengembalikan keberfungsian sosialnya di kehidupan
masyarakat. (BAB IV 2019, 53) yang di dasari teori pada
Bab II, Keberfungsian sosial positif adalah kemampuan
orang untuk menangani tugas-tugas dan aktivitasnya yang
penting dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan
melaksanakan peranan sosial utamanya sebagaimana yang
diharapkan oleh kebudayaan dari suatu komunitas yang
khusus (Karls & Wandrei, 1998; Longres 1995).
Peranan sosial yang utama yaitu menjadi anggota
dalam keluarga, otang tua, pasangan, mahasiswa, pasien,
pegawai, tetangga dan warga negara. Peranan sosial orang
berubah melalui kehidupan dan harapan tentang peranan
ini berbeda tergantung kepada gender orang, suku bangsa,

74
budaya, agama, pekerjaan dan komunitas. Sebagian ahli
berpendapat bahwa konsep keberfungsian sosial terfokus
pada keserasian antara kapasitas individu dengan tindakan
dan tuntutan, harapan, sumber-sumber serta kesempatan
dalam lingkungan sosial dan ekonominya (Bab II 2019,
39)
Pembangunan kapasitas (Capacity Building)
dalam lingkup praktek pekerjaan sosial diwilayah
disabilitas adalah mengembalikan keberfungsian sosial
difabel dengan cara mengembangkan kapasitas diri.
Kebangkitan Catur sebagai penyandang disabilitas yang
memiliki keinginan untuk dapat kembali normal dalam
menjalani kehidupannya yang sempat terpuruk karena
kecelakaan dan kehilangan kakinya, menjadi alasan utama
Catur memodifikasi motor nya sampai belajar selama tiga
tahun mendalami akhirnya catur dapat memodifikasi
setiap jenis motor untuk dimodifikasi sesuai kebutuhan
pelanggan yang juga penyandang disabilitas.
Saat ini modifikasi motor dibengkel Catur telah
produksi telah mencapai lebih dari 100 unit, mayoritas
pelanggan nya juga penyandang disabilitas yang pada
akhirnya membentuk sebuah komunitas yaitu Difabel
Motor Comunity Rempoa yang bermarkas di bengkel
modifikasi roda tiga milik catur (Bab III 2019, 50).
Komunitas DMC Rempoa dibuat agar setiap anggota nya
dapat menjalin tali persaudaraan, menjaga komunikasi
dan mengadakan kegiatan. Kopdar (pertemuan) rutin

75
dilakukan, salah satu kegiatan yang dilakukan para
anggota komunitas saat ini adalah menjawab
permasalahan – permasalahan yang terjadi dijalan, seputar
perkembangan modifikasi khusus difabel juga peraturan –
peraturan yang telah diberlakukan pemerintah namun
belum dapat dirasakan oleh para anggota komunitas.
“Sudah ada kebijakan untuk kita ini, kaya kita sekarang
bisa punya SIM D khusus difabel, tapi dalam pelaksanaan
nya kita masih belum dapat perhatian lebih, soalnya kita
kan motor nya ada yang lebar juga jenis sespan, kalo
dijalan raya kita kadang bingung harus ada dijalur motor
tapi besar kendaraan kita kaya mobil. Apalagi diparkiran
yang pakai sistem untuk masuk. Kita kadang gak dikasih
masuk parkir”, ujar Ucup (39) salah satu anggota
komunitas saat diwawancarai.
Para anggota komunitas pernah melakukan
kegiatan konvoi keliling jakarta untuk menyuarakan hak
dan kewajiban bagi difabel seperti dalam UU No. 4 tahun
1997 Pasal 4 tentang hak dan kewajiban penyandang
disabilitas agar mendapatkan akses yang sama seperti
warga negara lainnya. Selain itu komunitas ini juga
melakukan kegiatan seperti halnya para komunitas motor
lain yaitu touring. Tak jarang komunitas DMC bergabung
dengan komunitas motor difabel lainnya untuk berjumpa
dalam kegiatan touring. Ini merupakan pembuktian bahwa
modifikasi motor roda tiga telah menjadi alternatif yang
sangat efektif untuk para penyandang disabilitas

76
tunadaksa dalam memenuhi aksesibilitas nya sendiri
dalam bidang transportasi. Apabila alternatif ini
ditanggapi oleh pemerintah dan dibuatkan kebijakan yang
lebih bisa menyetarakan para pengguna modifikasi roda
tiga ini, baik itu dijalan maupun bangunan – bangunan
agar nanti nya kendaraan para difabel ini benar dirasa
aksesibiliti. Apalagi masih banyak difabel yang mampu
menggunakan modifikasi motor roda tiga namun masih
terbatas materi, apabila alternatif ini dilakukan secara
masif tak bisa dibayangkan betapa banyak penyandang
disabilitas yang akan kembali bangkit dan menjalankan
kembali keberfungsian sosial nya dalam kehidupan
bermasyarakat khusus nya untuk diri nya sendiri dan juga
keluarga akan mewujudkan kemandirian dan tidak
memungkinkan menumbuhkan sendiri fungsi sosial dan
juga pertumbuhan perekonomian nya.

77
78
BAB VI
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan
Akomodasi yang Layak adalah kebijakan
pemerintah yang bertujuan mewujudkan aksesibilitas dan
fasilitas bagi penyandang disabilitas dari segala sektor
kehidupan. Dalam bidang transportasi, Modifikasi Motor
Roda Tiga merupakan wujud dalam menjawab kebutuhan
difabel agar dapat berfungsi kembali dalam kehidupan
bermasyarakat. Melalui pemanfaatan tersebut para difabel
memiliki aksesibilitas yang jauh melampaui keterbatasan
nya.
Moda transportasi baru ini memiliki dampak,
dengan itu para difabel tunadaksa ini dapat kembali
merasakan hidup, berpindah dari suatu tempat ke tempat
lain yang menjadi tujuan bukan lagi menjadi masalah
yang besar. Bahkan para difabel tunadaksa ini dapat
terlepas dari kebergantungan terhadap pertolongan orang
lain. Mereka dapat mengakses tujuan yang mereka
inginkan sendiri, menggunakan Modifikasi Motor Roda
Tiga. Dalam membangun kapasitas diri juga kelompok
nya tentu saja Modifikasi Roda Tiga adalah solusinya.
Bukan hanya dalam mengakses tempat namun berdampak
pada pertumbuhan ekonomi pengguna juga yang lebih
penting dari segi sosial, para difabel mampu bersosialisasi
dengan masyarakat sehingga keberfungsian sosial nya
dalam tatanan masyarakat dapat dirasakan.

79
B. Implikasi
Pemanfaatan Modifikasi Motor Roda Tiga terus
menerus bertambahjumlah nya karena menjadi kebutuhan
para difabel tunadaksa untuk kegiatan sehari harinya, akan
berdampak pula pada media dimana modifikasi ini
digunakan, di jalan raya saat ini sudah tidak jarang lagi
ditemui para difabel sedang menggunakan transportasinya
sendiri, dinamika yang kita ketahui di jalan raya bukan lah
tempat yang aman semua orang dengan kendaraan
melintasi jalan yang sama dengan para difabel jadi akan
ada perubahan dinamika ketika kendaraan modifikasi
motor roda tiga ini juga telah banyak beroperasi di jalan
raya maka masyarakat juga perlu mengetahui dan
menerima bahwa perbedaan kendaraan karena modifaksi
tersebut.
Penelitian ini memiliki implikasi bahwa masih
banyak elemen yang perlu mengetahui keberadaan para
difabel dengan kendaraan Modifikasi Roda Tiga nya di
jalan raya sehingga keberadaan para difabel dan
kendaraan nya dapat merasakan bagaimana mendapatkan
aksesibilitas yang memang sudah menjadi hak setiap
warga negara, karena ini sangat berdampak positif juga
untuk negara dimana masyarkat nya semua bisa mandiri
sehingga mampu menjadi individu yang berfungsi secara
sosial dan juga mandiri secara ekonomi, maka akan terjadi
kemajuan budaya dan juga ekonomi walaupun sedikit dan
kecil lingkupnya.

80
C. Saran
Hasil penilitian dan analisa yang telah dilakukan
diperlukan masukan untuk berbagai pihak terutama bagi
pemerintah, dimana pemerintah sebagai penyelenggara
negara ini dapat lebih memperhatikan tentang usaha para
difabel untuk mandiri ini, sehingga tindak lanjut dari
pemanfaatan ini juga menjadi bagian yang pemerintah
lakukan dalam merencanakan pembangunan sosial untuk
setiap kalangan masyarakat.
Kendaraan Modifikasi Roda Tiga yang digunakan
para difabel juga perlu disosialisasikan lebih jelas, dari
mulai kebijakan sampai pelaksanaan nya karena mengacu
pada penelitian ini bahwa masalah yang terjadi belum
teridentifikasi apa penyebab nya. Peneliti memiliki
masukan untuk para difabel dalam penguatan kapasitas
nya individu juga megopyimalkan keberadaan komunitas,
baik didaereah maupun lingkup nasional agar keberadaan
modifikasi motor roda tiga inib lebih masif lagi jumlah
nya dengan kegiatan – kegiatan yang dilakukan oleh
komunitas sehingga setiap masyarakat dapat menerima
keberadaan dan pemanfaatan kendaraan ini akan bisa
diterima.

81
82
DAFTAR PUSTAKA

Bungin, Burhan. 2013. Analisis Data Dan Penelitian


Kualitatif, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Cet ke 2
Bungin, M Burhan. 2005. Memahami Penelitian
Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Group
Departemen Sosial RI. Panduan Kriteria Penyandang
Cacat Fisik. Jakarta: Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial
Penyandang Cacat, Direktorat Jenderal Pelayanan dan
Rehabilitasi Sosial, Direktorat Sosial RI, 2006
Moleong, Lexy J. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif,
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Oliver, Michael. 1996. Understanding Disability (From
Theory To Practice). London: Macmillan Press
Rachma, Dini. “Implementasi Menurut Para Ahli.”
Artikel diakses pada 27 April 2019 dari
http://elib.unikom.ac.id/download.php?id=112335
Rustanto, Bambang. 2015. Penelitian Kualitatif Pekerja
Sosial. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Soleh, Akhmad. 2016. Aksesibilitas Penyandang
Disabilitas Terhadap Perguruan Tinggi. Yogyakarta: LKiS
Pelangi Aksara
Subarsono, AG. 2005. Analisis Kebijakan Publik: Konsep,
Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sugiono. 2009. Memahami Penelitian Kualitatif.
Bandung: CV Alfabeta, Cet ke 5

83
Undang-Undang RI No. 8 Tahun 2016 Tentang
Penyandang Disabilitas
WM, Mujimin. 2007. “Penyediaan Fasilitas Publik Yang
Manusiawi Bagi Aksesibilitas Difabel”, Dinamika Pendidikan,
No. 1, h 65
https://m.brilio.net/creator/begini-aksesibilitas-bagi-
penyandang-disabilitas-di-gelora-bung-karno-6cf57f.html

Pasal 6, KeputusanMenteriPerhubunganNomor KM 71 Tahun


1998
Pasal 5, KeputusanMenteriPerhubunganNomor KM 71
Tahun 1998

84
Lampiran 1
Transkip Wawancara Mendalam Untuk Keberfungsian
Sosial Penyandang DisabilitasPaca Pemanfaatan Modifikasi
Motor Roda Tiga di Komunitas Difabel Motor
CommunityCiputat Timur

Tanggal : Selasa, 28 Mei 2019


Nama Informan : Catur Bambang (41)
Jabatan : Ketua Komunitas Difabel Motor
Communitydan Pemilik Bengkel Khusus
Difabel

1. Bagaimana anda memulai modifikasi motor roda tiga


khusus difabel?
Waktu saya mengalami kecelakaan terus kaki saya
hilang saya juga kehilangan kedua kaki saya, saya sangat
kesulitan menerima kehidupan saya begitu. Saya tidak bisa
kemana mana, saya bingung dan tidak tahu lagi bagaimana
harus hidup sehari – hari.
Saya tergerak membangun ini karena masalah
transportasi tentunya. Selain itu saya mau kaum kami
(difabel) tak merepotkan orang banyak sehingga terkadang
diremehkan. Tahun 2004 saya mulai memodifikasi motor,
awalnya saya tidak punya keahlian modifikasi motor tapi saya
belajar terus, istri saya selalu mendukung saya. Saya bertanya
teman – teman saya yang memang ahli nya. Saya masih pakai

85
kursi roda, saya berkunjung kebengkel – bengkel yang ada
dirempoa untuk membuat modifikasi motor ini.
Kesulitannya dulu pertama – tama bahan baku karena
enggak semua bahan baku ada dipasaran, saya harus pesan
terlebih dahulu tapi lama – lama kita punya channel dan
akhirnya tinggal telepon. Mulai saat ini saya memulai
merintis bisnis ini.

2. Bagaimana perasaan Anda ketika bisa memodifikasi


motor khusus difabel?
Mulanya saya sangat bahagia ketika saya bisa kemana
mana sendiri engganyusahin orang lain, apalagi ketika istri
saya pun berhasil menggunakan motor modifikasi ini, istri
saya juga difabel dan dia bisa nganterin anak saya sekolah,
belanja keperluan sehari – hari nya sendiri dan istri saya bisa
juga berkumpul sama ibu – ibu kapan saja istri saya ingin.
Saat ini saya dan karyawan yang bekerja di bengkel
bisa memproduksi modifikasi motor roda tiga ini sampai 8
motor perbulan nya. Hitung saja dari tahun 2015 lah kita rata
rataperbulan nya membuatkan motor untuk para difabel
pelanggan kita sampai saat ini sekitar 500 motor, bukan main
beragam pelanggan kita yang difabel akhirnya bisa bergerak
melakukan apa yang seharusnya dilakukan nya sehari hari,
bahkan yang sudah kehilangan semangat hidupnya selama 15
tahun bisa bangkit senyum bahagia nongkrong sama kita
setiap hari karena menggunakan motor yang kita buatkan.

86
3. Bagaimana proses anda dan teman – teman membuat
komunitas Difabel Motor Community?
Pelanggan dibengkel kita itu berasal dari mana saja
dari mulai kawasan ciputat Tangerang selatan, jaksel sampai
luar pulau ada saja pesanan yang datang, banyak juga teman –
teman yang datang setiap hari nya hanya untuk
sekedarngobrol – ngobrol. Mulanya saya dan teman saya pak
liem yang kerjanya jadi orang IT yang penghasilan nya juga
besar membantu Sutisna (40) yang sudah 15 tahun dirumah
saja, kursi roda nya sudah sering dibawa ketukang las karena
rusak, saya dan pak liem mencoba membantunya memiliki
kursi roda baru dengan swadaya kita. Lalu saya dan teman –
teman lain juga akhirnya membantu nya memiliki modifikasi
motor roda tiga juga. Kita mulai dari carikan motor nya
karena Sutisna tidak memiliki motor untuk di jadikan roda
tiga ya sampai Sutisna bisa punya dan pakai motor nya sendiri
hari ini.
Waktu itu kita akhirnya kumpul dan punya keinginan
bikin komunitas yang sama nasibnya agar kita punya keluarga
yang lebih banyak saja niatnya. Kita berbagi pengalaman –
pengalaman dijalan dan gimanangatasin nya karena beragam
ada yang lucu sampai cerita yang bikin kita miris makanya
kita buat komunitas ini agar bisa sering kumpul.
Kalau kegiatan kita ya sekitar ngumpul aja bagi bagi
kebahagiaan, pernah juga kita bikin touring, waktu itu ada
komunitas difabel di bogor bikin acara, kita yang punya
waktu dan ingin mencoba rasanya jalan bareng – bareng

87
berangkat kesana dan bertemu dengan teman – teman senasib
lain nya. Sampai saat ini ada sekitar 10 komunitas difabel
kaya kita yang kesebar di pulau jawa dan pulau luar jawa.
Keluarga kita berasa banyak jadinya.

88
Lampiran 2
Transkip Wawancara Mendalam Untuk Keberfungsian
Sosial Penyandang DisabilitasPaca Pemanfaatan Modifikasi
Motor Roda Tiga di Komunitas Difabel Motor
CommunityCiputat Timur

Tanggal : Selasa, 28 Mei 2019


Nama Informan : Tedi (45)
Jabatan : Anggota Komunitas Difabel Motor
Community

1. Bagaimana perasaan Anda sebelum dan sesudah


menggunakan modifikasi motor roda tiga?

Sejak jatuh kaki saya yang sebelah tidak kuat


menahan beban, makanya saya tidak bisa kalau pakai motor
biasa, akhirnya saya yang kerjanya kurir harus berhenti kerja
kan kalau berhenti kerja saya ga bisa hidup, buat saya sendiri
gak bisa apalagi keluarga.
Saya dapat info ada bengkel dekat dari rumah,
saya tinggal di komplekmabad dan saya masih punya motor
buat di modif. Sisa uang saya, saya coba untuk modifikasi
motor roda tiga di bengkel nya pak Catur yasudah dengan
dana yang saya punya saya coba ke bengkel terus saya bilang
saya begini dan punya dana segini, yasudah saya tinggal
motor saya yang merkHonda Beat di bengkel selama
seminggu jadi lah motor saya.

89
Saya engganyangka saja, tadinya saya mikir kalo
saya sudah engga bisa apa-apa, gak bisa kemana – mana dan
gak bisa kerja. Tapi saya bisa kerja lagi setelah seminggu
motor saya selesai. Gampang menyesuaikan diri pakai motor
nya makanya saya balik lagi ketempat kerja dan jadi kurir.

2. Bagaimana manfaat yang anda rasakan setelah


menggunakan modifikasi motor roda tiga dalam
memenuhi kebutuhan sehari - hari?
Saya bisa nerusin kerja ya otomatis saya bisa dapat
penghasilan dong, nah saya juga bisa beli kebutuhan buat
saya dan keluarga malah saya juga bisa nyari tambahan
diluar kerja saya. Motor nya dipakai istri saya buat beli
bahan bahan jahit soalnya istri saya kerjaan nya menjahit.
Anak saya yang sekolah juga bisa saya antar pakai
motor ke sekolah jadinya ya saya kebantu. Bisa kemana –
mana sendiri itu nikmat ketika saya sudah terpuruk waktu
itu. Hasilnya ya saya bisa mandiri lagi hidupin keluarga, bisa
jalan – jalan juga sama istri dan anak.

90
Lampiran 3
Transkip Wawancara Mendalam Untuk Keberfungsian
Sosial Penyandang DisabilitasPaca Pemanfaatan Modifikasi
Motor Roda Tiga di Komunitas Difabel Motor
CommunityCiputat Timur

Tanggal : Selasa, 28 Mei 2019


Nama Informan : Ridwan (37)
Jabatan : Anggota Komunitas Difabel Motor
Community

1. Bagaimana perasaan Anda sebelum dan sesudah


menggunakan modifikasi motor roda tiga?

Pada awalnya saya memiliki kondisi atau fisik


yang tubuh sempurna seperti pada layaknya orang normal
pada umumnya. Saat kondisi fisik saya sempurna pada
umumnya orang normal, disaat saya berumur 25 tahun saya
menjadi salah satu atlit sepak bola. Pada saat saya mengikuti
turnamen sepak bola, saya mengalami insiden yang
menyebabkan saya cedera parah pada kaki saya yang
berujung kelumpuhan total.
Setelah kejaidan itu kondisi saya sangat terpuruk
karena segala aktifitas saya terhambat dengan kondisi dan
kekurangan saya untuk bersosialisasi serta menjalankan
aktifitas saya secara normal. Pada saat itu banyak sekali

91
kerabat, saudara saya yang memberikan saya dukungan serta
motifasi.
Sejak jatuh kaki saya yang sebelah tidak kuat
menahan beban, makanya saya tidak bisa kalau pakai motor
biasa, akhirnya saya yang kerjanya kurir harus berhenti kerja
kan kalau berhenti kerja saya ga bisa hidup, buat saya sendiri
gak bisa apalagi keluarga. Pada tahun 2015 saya melihat di
jalan ada sebuah motor roda tiga yang pemakainya adalah
kaum disabilitas yang hampir mirip seperti saya.
Saya berfikir dan tertarik setelah melihat motor roda tiga
tersebut. Saya langsung mencari informasi tentang motor
roda tiga tersebut, karena saya berpfikir kalau saya memiliki
motor roda tiga itu saya dapat menjalankan aktifitas saya
dalam mobilitas. Gak banyak berpikir panjang saya langsung
memodifikasi motor saya untuk menjadi motor roda tiga.
Setelah saya memiliki motor roda tiga, saya sangat
menerima manfaatnya dari motor roda tiga tersebut.
Sebelumnya saya sangat susah dalam menjalankan mobilitas
sosial saya, setelah memiliki motor roda tiga tersebut saya
dapat menjalankan aktifitas sosial saya.
Sangat jauh berbeda ketika saya belom memiliki
dan setelah memiliki motor modifikasi roda tiga. Saya sangat
bersemangat untuk melanjutkan hidup dan berjuang dalam
keterbatasan yang saya miliki.

92
2. Bagaimana manfaat yang anda rasakan setelah
menggunakan modifikasi motor roda tiga dalam
memenuhi kebutuhan sehari - hari?
Banyak sekali manfaat yang saya rasakan dengan
adanya motor modifikasi roda tiga. Yang pertama saya
merasakan lebih semnagat dalam menjalankan mobilitas
saya dalam menjalankan kegiatan sehari-hari. Kedua, saya
merasa kalau saya dapat peluang dalam memenuhi
kebutuhan saya untuk memenuhi kebutuhan hidup saya.
Ketiga, ketika saya memiliki motor roda tiga saya merasa
keberfungsian saya sama dengan orang-orang lain dan yang
lebih terasa saya sangat merasa lebih semangat untuk
berjuang lebih dengan keterbatasan saya saat ini.

93
Lampiran 4

Gambar 1.1 Tampak Bengkel Modifikasi Motor Roda Tiga


Catur bambang dan Basecamp Komunitas Difabel Motor
Community

94
Gambar 1.2 Pengerjaan Modifikasi Motor Roda Tiga

95
Gambar 1.3 Wawancara bersama Ucup salah satu Karyawan
Catur Bambang

96
Gambar 1.4 Motor Modifikasi Roda Tiga yang telah siap
Pakai Hasil Modifikasi Bengkel Catur Bambang

97

Anda mungkin juga menyukai