Anda di halaman 1dari 26

KOMPETENSI INTER-KULTURAL BAGI PRAKTEK

PEKERJAAN SOSIAL
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Pekerjaan Sosial dan Multikultural
Dosen Pengampu: Budi Rahman Hakim, MSW. PhD.

Disusun Oleh:
Kelompok 3/ Kessos 5A

Aura Sekar Sukmaguna 11200541000004


Michelle Celsilia Syaharani 11200541000013
Miranda Aulia Maharani 11200541000014
Ahmad Febrian Fauzi 11200541000031

PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL


FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tak lupa Shalawat serta salam
kami curahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita semua dari
zaman kegelapan hingga zaman terang benderang.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang diberikan
oleh Bapak Budi Rahman Hakim, MSW. PhD selaku dosen mata kuliah Pekerjaan Sosial dan
Multikultural. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
“Kompetensi Interkultural Bagi Praktek Pekerjaan Sosial” bagi para pembaca dan juga penulis.

Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik
serta saran yang membangun dari para pembaca, supaya makalah ini nantinya dapat disusun
lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada penulisan makalah ini kami
mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima Kasih.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Ciputat, 23 September 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... ii


DAFTAR ISI........................................................................................................................ iii
BAB I .................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ......................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................................... 1
1.3. Tujuan Penulisan ...................................................................................................... 2
BAB II .................................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN .................................................................................................................. 3
2.1. Kompetensi Inter-Kultural Bagi Praktek Pekerjaan Sosial ....................................... 3
2.2. Cultural Awareness................................................................................................... 7
2.3. Memahami Implikasi Penindasan dan Kekuasaan Dalam Praktek
Pekerjaan Sosial ....................................................................................................... 15
BAB III................................................................................................................................ 21
PENUTUP........................................................................................................................... 21
3.1. Kesimpulan ............................................................................................................ 21
3.2. Saran ...................................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 22

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Banyak negara di dunia yang memiliki keberagaman secara sosial dan kultural, salah
satunya Indonesia. Indonesia merupakan negara yang beragam karena terdapat berbagai suku
bangsa, agama, kemampuan ekonomi, dan bahkan ras yang tersebar dalam wilayah geografi
yang sangat luas. Fakta tersebut menggambarkan bahwa keanekaragaman sosial dan
kebudayaan di Indonesia Keberagaman tersebut harus terus dirawat karena memberikan
banyak manfaat. Feit (2010:1) menangkap bahwa keberagaman merupakan kenyataan yang
harus dihadapi. Lebih jauh, keberagaman bisa menjadi kekuatan dalam praktik pekerjaan sosial
bersama kelompok kelompok dengan berbagai permasalahannya masing-masing.
Maka dari itu, dalam praktek pekerjaan sosial, seorang pekerja sosial membutuhkan
pengetahuan dan keterampilan tertentu. Salah satu dari pengetahuan dan keterampilan tersebut
adalah kompetensi kultural. Konsep tentang kompetensi kultural telah dikenal dan menjadi
bagian dari pekerjaan sosial sejak lama terutama di tempat-tempat dimana tingkat etnisitas dan
kelompok marginal yang tinggi. Dengan dimilikinya kompetensi kultural, seorang pekerja
sosial dapat memahami, menerima dan menghargai sasaran pekerjaannya yang berbeda secara
sosial dan kultural. Indonesia sebagai negara dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi
membutuhkan pekerja-pekerja sosial yang memiliki kompetensi kultural.
Pekerjaan sosial memiliki kaitan erat dengan kompetensi kultural. Pada praktiknya,
pekerja sosial dan klien dapat berasal dari berbagai latar belakang sosial ekonomi dan kultural
yang berbeda. Seorang pekerja sosial akan bertemu dengan berbagai kelompok dengan latar
belakang suku, bahasa, budaya, agama dan ras serta kelompok marginal seperti anak jalanan,
pengemis, pemulung, penderita AIDS, dan sebagainya. Berbagai latar belakang kondisi dan
permasalahan di atas merupakan hal yang lumrah ditemukan dalam praktik pekerjaan sosial.

1.2 Rumusan Masalah

1. Seberapa pentingkah Kompetensi Inter-Kultural bagi Praktek Pekerjaan Sosial ?


2. Bagaimana Kompetensi Inter-Kultural dalam Praktek Pekerjaan Sosial?
3. Apa yang dimaksud dengan Cultural Awareness?
4. Apa maksud dari Memahami implikasi penindasan dan kekuasaan dalam praktik
pekerjaan sosial?

1
1.3 Tujuan Penulis
1. Memahami seberapa pentingnya Kompetensi Inter-Kultural bagi Praktek Pekerjaan
Sosial.
2. Untuk mengetahui Kompetensi Inter-Kultural dalam Praktek Pekerjaan Sosial.
3. Untuk mengetahui Cultural Awareness dalam cakupan yang lebih luas.
4. Memahami implikasi penindasan dan kekuasaan dalam praktik pekerjaan sosial.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Kompetensi Interkultural Bagi Praktek Pekerjaan Sosial


2.1.1. Definisi Intercultural Competence (Kompetensi Interkultural)
Kompetensi/pemahaman lintas budaya (intercultural competence), menjadi
suatu hal yang penting karena pada dasarnya manusia melakukan praktik berbudaya
terutama melalui bahasa. Pemaknaan terhadap konsep intercultural competence ini
memang cukup beragam.Kramsch 1993, dalam Liddicoat, (2004:20-21), menyatakan
bahwa setiap kali kita menggunakan bahasa secara bersamaan pula kita mempraktikkan
budaya. Kompetensi interkultural muncul ketika pembelajar bahasa mampu
memunculkan sensitivitas budaya, yang ditandai dengan perubahan dari yang tadinya
melihat realitas hanya dari sudut pandang budayanya sendiri menuju pada menyadari
akan adanya banyak sudut pandang lain.1
Benneth,Allen (2003:237-270), berkaitan dengan hal ini, menyatakan bahwa
kompetensi interkultural(intercultural competence) adalah kemampuan untuk bergerak
dari sikap etnosentrik menuju sikap menghargai budaya lain, hingga akhirnya
menimbulkan kemampuan untuk dapat berperilaku secara tepat dalam sebuah budaya
atau budaya-budaya yang berbeda.2
Deardorff mengatakan bahwa : “intercultural competence is the ability to
develop targeted knowledge, skills and attitudes that lead to visible behavior and
communication that are both effective and appropriate in intercultural interactions.”
Yang artinya kompetensi antarbudaya adalah kemampuan untuk mengembangkan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang ditargetkan yang mengarah pada perilaku
dan komunikasi yang terlihat yang efektif dan sesuai dalam interaksi antarbudaya.

2.1.2. Kompetensi Inter-kultural Dalam Praktik Pekerjaan Sosial


Dalam praktek pekerjaan sosial, seorang pekerja sosial membutuhkan
pengetahuan dan keterampilan tertentu.Salah satu dari pengetahuan dan keterampilan
tersebut adalah kompetensi Inter-kultural.Konsep tentang kompetensi inter-kultural

1
Kramsch, Claire. 1993. Context and Culture in Language Teaching. Oxford: Oxford University Press
2
Allen, Bem. P. 2003. Personality Theories: Development, Growth, and Diversity 4th edition.
United States of America : Pearson Education Inc

3
telah dikenal dan menjadi bagian dari pekerjaan sosial sejak lama terutama di tempat-
tempat dimana tingkat etnisitas dan kelompok marginal yang tinggi.

Dengan dimilikinya kompetensi inter-kultural, seorang pekerja sosial dapat


memahami, menerima dan menghargai sasaran pekerjaannya yang berbeda secara
sosial dan kultural. Indonesia Sebagai negara dengan tingkat keanekaragaman yang
tinggi membutuhkan pekerja-pekerja sosial yang memiliki kompetensi inter-kultural.

Pekerjaan sosial memiliki kaitan erat dengan kompetensi Inter-kultural.Pada


praktiknya,pekerja sosial dan klien dapat berasal dari berbagai latar belakang sosial
ekonomi dan kultural yang berbeda. Seorang pekerja sosial akan bertemu dengan
berbagai kelompok dengan latar belakang suku, bahasa, budaya, agama dan ras serta
kelompok marginal seperti anak jalanan, pengemis, pemulung, penderita AIDS, dan
sebagainya. Berbagai latar belakang kondisi dan permasalahan di atas merupakan hal
yang lumrah ditemukan dalam praktik pekerjaan sosial.

Sejalan dengan keterkaitan pekerjaan sosial dan kompetensi inter-kultural di


atas, di berbagai tempat di dunia terjadi peningkatan dalam hal perbedaan kultural. Hal
ini menyebabkan pemahaman dan praktek pekerja sosial lintas budaya tumbuh secara
signifikan.Selain itu, muncul diskusi antara pendidik, peneliti maupun praktisi
pekerjaan sosial tentang arti penting dari pekerjaan sosial lintas budaya dalam literatur
pekerjaan sosial saat ini(Yan, 2005:181).3

Banyak negara di dunia yang memiliki keberagaman secara sosial dan kultural,
salah satunya Indonesia. Indonesia Merupakan negara yang beragam karena terdapat
berbagai suku bangsa, agama, kemampuan ekonomi, dan bahkan ras yang tersebar
dalam wilayah geografi yang sangat luas.Fakta tersebut menggambarkan bahwa
keanekaragaman sosial dan kebudayaan di Indonesia (Syaifuddin, 2006:3-4).4

Dalam praktek pekerjaan sosial, kompetensi tentang inter-kultural, kompetensi


tentang budaya dan sensitivitas etnis telah lama dimasukkan dalam literatur dan
kurikulum pekerjaan sosial. Hal tersebut penting karena dengan pengetahuan tersebut

3
Yan, Miu Chung. 2005. Rethinking Self-Awareness in Cultural Competence: Toward a Dialogic Self in Cross-
Cultural Social Work. Families in Society
4
Saifuddin, Achmad Fedyani. (2006). “Membumikan Multikulturalisme di Indonesia”.
Jurnal Antropologi Sosial Budaya Etnovisi. Vol. II. No. 1, April 2006.

4
seorang pekerja sosial akan lebih sensitif dan empati terhadap kebutuhan-kebutuhan
dari klien(Nylund, 2006:28).5

Selain itu, seorang pekerja sosial dapat memahami bahwa kelompok yang
menjadi sasaran pekerjaan sosial berhak untuk mengekspresikan identitas mereka
sendiri tanpa dipengaruhi oleh budaya atau nilai baru yang dibawa oleh para pekerja
sosial. Hal ini meliputi juga hak untuk tetap berpegang pada warisan, tradisi dan bahasa
mereka (Reisch, 2008:798).6

Kompetensi inter-kultural seorang pekerja sosial tidak lepas dari peran


organisasi dimana pekerja sosial tersebut berada. Organisasi pelayanan manusia harus
selalu menanamkan kompetensi inter-kultural kepada setiap pekerjanya. Kompetensi
inter-kultural bisa diberikan lewat pendidikan formal dan informal serta praktek
bersama dengan orang-orang yang memiliki latar belakang sosial kultural yang
berbeda. Praktek tersebut untuk melatih seorang pekerja sosial untuk peka dan belajar
menghargai perbedaan yang ada.

Untuk membantu memahami pengertian kompetensi inter-kultural, W. Sue dan


rekan-rekannya telah mencoba menggaris bawahi beberapa dimensi. Dimensi yang
pertama adalah kesadaran dan sensitivitas terhadap perbedaan antara nilai-nilai yang
dibawa oleh seorang pekerja sosial dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh klien. Dimensi
yang kedua adalah pengetahuan tentang lingkungan praktek, metode-metode
pertolongan dan budaya dari klien. Dimensi yang ketiga adalah keterampilan dalam
komunikasi verbal dan nonverbal (Yan, 2005:182).7

Dari definisi di atas, terdapat dua elemen penting yaitu pengetahuan dan
keterampilan. Kedua elemen tersebut harus dilatih sebagai sebuah kecakapan oleh
seorang pekerja sosial. National Association of Social Workers(NASW), sebuah
organisasi pekerja sosial profesional di Amerika Serikat, telah mengeluarkan standar-
standar bagi kompetensi inter-kultural dalam praktek pekerjaan sosial. Standar dan
indikator tersebut diharapkan menjadi dasar dan pegangan bagi para pekerja sosial

5
Nylund, David. 2006. Critical Multiculturalism, Whiteness and Social Work: Towards a More Radical View
of Cultural Competence. Journal of Progressive Human Service Vol. 17 No. 2
6
Reisch, Michael. 2008. From Melting Pot to Multiculturalism: The Impact of Racial and Ethnic Diversity on
Social Work and Social Justice in the USA. British Journal of Social Work Vol. 38
7
Yan, Miu Chung. 2005. Rethinking Self-Awareness in Cultural Competence: Toward a Dialogic Self in Cross-
Cultural Social Work. Families in Society

5
ketika dengan situasi lapangan yang beragam.Standar-standar tersebut menjadi sebuah
tuntutan sebagaimana seorang pekerja sosial dihadapkan pada tanggung jawab etis
untuk menjadi seorang yang kompeten secara kultural(National Association of Social
Workers, 2015:7)

Dalam menghadapi situasi lapangan yang beragam dari berbagai aspek, sudah
seharusnya seorang pekerja sosial dibekali dengan kompetensi inter-kultural.Dari
berbagai standar yang ada, ada dua standar dalam kaitannya dengan kondisi
kemajemukan dan keragaman di Indonesia. Yang pertama adalah pengetahuan lintas
budaya yaitu pekerja sosial harus memiliki pengetahuan dan pemahaman lintas budaya
serta terus mengembangkannya. Pengetahuan tersebut meliputi sejarah, tradisi, nilai,
sistem keluarga, dan ekspresi artistik seperti ras dan etnisitas. Selain itu kelompok
imigran atau pengungsi, kelompok suku, orientasi seksual, identitas dan ekspresi
gender, kelas sosial, kemampuan mental dan fisik dari setiap kelompok
budaya(National Association of Social Workers,2015:24).8

Yang kedua adalah keterampilan lintas budaya yaitu sekumpulan keterampilan-


keterampilan dan teknik-teknik baik mikro, mezzo dan makro yang menunjukkan
pemahaman dan penghormatan terhadap pentingnya budaya dalam praktek, kebijakan
dan penelitian (National Association of Social Workers, 2015:28)

Kompetensi inter-kultural tidak hanya dibatasi pada level praktek dengan klien
saja. Kompetensi kultural bisa diimplementasikan pada level kebijakan khususnya
untuk kesejahteraan sosial serta ke level penelitian yang akan memberi banyak
sumbang saran bagi pengembangan pendidikan dan praktik pekerjaan sosial. Dalam
konteks praktik pekerjaan sosial di Indonesia, kompetensi inter-kultural bagi pekerja
sosial menjadi relevan untuk dibahas serta diimplementasikan. Pekerjaan sosial yang
tumbuh dan berkembang di lingkungan yang beragam dan majemuk membutuhkan
suatu kompetensi kultural yang baik dan memadai. Dengan demikian, seorang pekerja
sosial bisa memiliki pengetahuan dasar dalam menghadapi berbagai macam
karakteristik dalam budaya serta nilai-nilai yang dipegangnya.

8
National Association of Social Workers. 2015. Standards and Indicators for Cultural Competence in Social
Work Practice. Washington DC: National Association of Social Workers.

6
Di bidang pendidikan pekerjaan sosial, kompetensi inter-kultural telah banyak
dibahas dalam kurikulum pendidikan pekerjaan sosial, walaupun belum disusun secara
sistematis sebagai pedoman bagi pekerja sosial profesional di Indonesia.Pekerja sosial
diharapkan telah dibekali kompetensi ini sebelum turun ke lapangan baik secara formal
maupun informal.Pengetahuan informal bisa diperoleh lewat relasi dengan yang
berbeda latar belakang Di sisi lain, hingga kini belum banyak penelitian maupun
evaluasi tentang implementasi kompetensi kultural terutama dalam konteks Indonesia
yang majemuk dan beraneka ragam.

Dalam konteks regulasi, kompetensi inter-kultural telah dimuat dalam Peraturan


Menteri Sosial Nomor 12 Tahun 2017 tentang Standar Kompetensi Pekerja Sosial. Di
dalamnya secara eksplisit dinyatakan bahwa salah satu sikap yang dibutuhkan oleh
seorang pekerja sosial adalah menghargai keanekaragaman budaya, pandangan, agama,
dan kepercayaan, serta pendapat atau temuan orisinal orang lain.

2.2. Cultural Awareness


2.2.1. Definisi Cultural Awareness (Kesadaran Budaya)
Kesadaran budaya adalah kemampuan seseorang untuk melihat ke luar dirinya
sendiri dan menyadari akan adanya nilai, kebiasaan atau budaya yang masuk. Proses
selanjutnya, seseorang dapat menilai apakah kebudayaan itu dapat diterima atau
dianggap tidak lazim oleh budaya lain.9
Definisi lain datang dari Wunderle, bahwa cultural Awareness sebagai
kemampuan seseorang untuk menyadari, mengakui dan memahami pengaruh budaya
terhadap nilai dan perilaku manusia. Implikasi dari kesadaran budaya terhadap
pemahaman ialah untuk mempertimbangkan budaya pada faktor-faktor penting ketika
menghadapi situasi tertentu. Pada tingkatan dasar, cultural awareness adalah
informasi, atau makna tentang kemanusiaan yang bisa dilakukan dengan
mengumpulkan informasi tentang budaya dan mentransformasikannya.10

9
Vacc, Nicholas., DeVaney, Susan., Brendel, Johnston. (2003). Counseling Multicultural and Diverse
Populations: Strategies for Practitioners. Brunner-Routledge, NY, USA.
10
Wunderle, William. (2006). Through the Lens of Cultural Awareness: A Primer for US Armed Forces
Deploying to Arab and Middle Eastern Countries. Combat Studies Institute Press, USA.

7
2.2.2. Tingkatan Cultural Awareness (Kesadaran Budaya)
Menurut Wunderle (2006), tingkatan cultural awareness dibagi menjadi lima:
1. Data dan Informasi
Tingkatan terendah secara kognitif dalam memahami kesadaran budaya.
Berupa kode-kode yang berada dalam lingkungan yang mendeteksi
tentang manusia. Tingkatan ini, data dan informasi membantu seseorang
memahami perbedaan dan melancarkan proses komunikasi.
2. Cultural Consideration
Setelah memperoleh informasi tentang budaya dan faktor nilai budaya
tertentu, hal ini menjadi pertimbangan untuk memaknai konsep-konsep
budaya yang sudah ada secara umum. Fungsinya untuk memperkuat
proses komunikasi dan interaksi.
3. Cultural Knowledge
Ketika informasi dan pertimbangan sudah didapat belum tentu mampu
diterapkan dalam pemahaman. Oleh karena itu, perlu dilakukan
pelatihan-pelatihan khusus yang tujuannya untuk membuka pemahaman
lebih dalam. Hal ini termasuk pada pembahasan isu-isu seperti
kelompok, pemimpin, dinamika, keutamaan budaya dan keterampilan
bahasa untuk memahami budaya tertentu.
4. Cultural Understanding
Pengetahuan tentang budaya sendiri dan orang lain melalui aktivitas
pelatihan penting agar memahami dinamika yang terjadi. Maka,
pelatihan bisa terus dilakukan agar mengarah pada kesadaran mendalam
hingga membantu proses pengambilan keputusan pada kondisi tertentu.
5. Cultural Competence
Kompetensi budaya berada pada tingkat paling atas dalam kesadaran
budaya, fungsinya membantu penemuan hingga penarikan keputusan.
Kompetensi budaya merupakan pemahaman terhadap kelenturan
budaya (culture adhesive). Hal ini penting karena dengan kompetensi
budaya akan memfokuskan pemahaman pada perencanaan dan
pengambilan keputusan untuk menghadapi suatu kondisi, dan implikasi
lainnya dapat memahami kelompok tertentu secara intensif.

8
Tingkatan Cultural Awareness lainnya disebutkan oleh Robert Hanvey yang
membagi dalam 4 tingkat Cross-cultural awareness, yaitu:11
1. Awareness of superficial or visible cultural traits (Kesadaran akan ciri-ciri
budaya yang dangkal atau terlihat). Berada pada tingkatan pertama dimana
seseorang memperoleh suatu informasi tentang budaya melalui apa yang hanya
dilihat. Misalnya, mengunjungi suatu negara, daerah, tempat bersejarah dan
sebagainya. Pemahaman hanya terbatas pada apa yang nampak tanpa mencari
tahu lebih dalam, maka seringkali adanya pandangan stereotip.
2. Awareness of significant and subtle cultural traits that others are different and
therefore problematic (Kesadaran akan ciri budaya yang lebih halus bahwa
setiap orang berbeda, dan timbul permasalahan). Level kedua ini, seseorang
mulai memahami perbedaan budaya secara signifikan terhadap budaya atau
nilai yang ia miliki dan terkadang menimbulkan rasa frustasi atau kebingungan
sehingga terjadi konflik dalam dirinya.
3. Awareness of significant and subtle cultural traits that others are believable in
an intellectual way (Kesadaran akan ciri budaya yang lebih halus bahwa setiap
orang berbeda, dan dapat dipahami secara intelektual). Pada level ini, seseorang
sudah mampu memahami dan menerima kebudayaan lain secara utuh dan
signifikan sebagai manusia.
4. Awareness of how other culture feels from the standpoint of the insider
(Kesadaran tentang bagaimana perasaan orang lain dari sudut pandang orang
dalam). Level ini merupakan level tertinggi yang dimana seseorang telah

11
Yan-li, Zhang. (2007). Critique on the four levels of cross-cultural awareness. Sino-US English
Teaching. Volume 4, No.12 p. 26-28

9
memahami dan menerima suatu kebudayaan bahkan sudah melibatkan
emosinya terkait perasaan budaya lain dan perilakunya melalui pengalaman
langsung dengan situasi budaya tertentu seperti belajar bahasa, kebiasaan, dan
memahami nilai-nilai yang berlaku pada kebudayaan itu.

Tingkatan-tingkatan kesadaran budaya perlu dimiliki seorang pekerjaan sosial


guna menemukan teknik-teknik yang tepat yang disesuaikan dengan perbedaan
budaya klien dalam memberikan pelayanan pada praktek pekerjaan sosial.

2.2.3. Konselor dan Cultural Awareness


Peran konselor dalam memandirikan individu sangatlah penting, maka konselor
tentu perlu untuk memiliki pemahaman yang mendalam terhadap konselinya.
Pemahaman tersebut mencakup hal-hal yang ada dalam dirinya sendiri dan juga
konselinya. Kesadaran akan perbedaan yang dimiliki antara keduanya menjadi salah
satu cara yang penting untuk menjaga hubungan dan interaksi dalam proses konseling.
Pelayanan konseling selalu berekspektasi pada motif gerakan altruistic yang
selalu menggunakan penyikapan yang empatik, menghormati keberagaman, serta
mengedepannya kemashalatan pengguna pelayanannya, dilakukan dengan selalu
mencermati kemungkinan dampak jangka panjang dari tindak pelayanannya itu
terhadap pengguna pelayanan, sehingga pelayanan professional ini dinamakan “the
reflective practitioner. Penting bahwa konselor memahami budaya mereka sendiri
dalam rangka untuk bekerja dengan klien tanpa memaksakan nilai-nilai mereka,
menyinggung klien, atau perilaku nonverbal klien yang salah diinterpretasikan. Untuk
menghindari terjadinya kesalahapahaman atau ketidakmengertian maka konselor
harus memiliki kesadaran akan perbedaan yang terjadi tersebut agar klien dapat
merasa nyaman.
Kesadaran budaya (cultural awareness) merupakan salah satu dimensi yang
penting untuk dimiliki oleh konselor agar dapat memiliki pemahaman dan kesadaran
bahwa faktor budaya yang dimilikinya (ras, jender, nilai-nilai, kelas sosial, dan lain-
lain) akan mempengaruhi perkembangan diri dan pandangan terhadap dirinya.
Konselor harus memiliki kualitas dasar diantaranya:12

12Patterson, CH. (2004). Do We Need Multicultural Counseling Competencies?. Journal of Mental


Health Counseling.Vol. 26, 1, p. 67-73.

10
1. Respect. Menghargai klien, dengan asumsi bahwa klien mampu
mengambil tanggung jawab dalam menentukan pilihan dan
memecahkan masalah untuk dirinya sendiri.
2. Genuineness. Hubungan antara konselor-konseli nya harus nyata,
diamana seorang konselor harus sesuai dengan diri sesungguhnya
(kongruensi) berarti konselor betul-betul menjadi dirinya tanpa
kepalsuan.
3. Empathic understanding. Pemahaman empati terhadap klien bukan
hanya sebatas luar nya saja, melainkan melibatkan pemahaman dunia
dan kebudayaan klien secara mendalam.
4. Communication of empathic, respect, and genuineness to the client.
Penting bagi konselor memahami perbedaan budaya oleh klien, dengan
meliputi menerima persepsi, mengakui dan dapat merasakan
kebudayaan klien. Pemahaman terhadap perbedaan ini akan membantu
proses konseling baik secara verbal maupun non-verbal.
5. Structuring. Salah satu elemen penting yang terkadang tidak disadari
oleh konselor adalah struktur atau susunan dalam proses konseling.
Pekerjaan konselor dalam proses konseling sebaiknya memiliki susunan
dan mengartikan perannya pada klien. Konselor sebaiknya menyatakan
bahwa apa, bagaimana dan mengapa dia bermaksud melakukan
konseling. Apabila terjadi kegagalan untuk memberikan pemahaman
peran konselor di awal proses konseling, maka dapat menghasilkan
ketidakpahaman antara keduanya.

2.2.4. Cultural Awareness Dalam Praktek Pekerjaan Sosial


Pekerja sosial yang kompeten secara budaya diharapkan mampu memiliki
setidaknya empat aspek yaitu pengetahuan, keterampilan, pembelajaran induktif dan
kesadaran budaya. Singkatnya, praktek pekerjaan sosial melibatkan dua subjek
manusia yakni pekerja sosial dan klien, yang masing-masing membawa identitas
budaya yang berbeda yang seringkali terjadi ketegangan. Kesadaran budaya sangat
membantu seorang konselor atau praktisi pekerja sosial untuk menerobos hambatan
budaya dengan klien yang beragam.
Kesadaran diri juga terlibat dalam praktek pekerjaan sosial dengan klien yang
berbeda dimana mereka secara sadar menghindari bias yang mereka miliki kepada

11
proses pelayanan. Terlibat dalam kesadaran budaya adalah salah satu tujuan menjadi
praktisi yang profesional dan bertanggung jawab. Adapun dalam hal ini terdapat 2
strategi yang dapat dilakukan:13
1. Mengontrol budaya
Pekerja sosial berusaha menahan pengaruh identitas budaya non-
profesional mereka dalam berpraktik. Mengendalikan pengaruh budaya, dapat
dilakukan dengan 6 cara:
a. Detaching oneself from one’s own culture (melepaskan diri dari budaya
sendiri)
Menjadi seorang konsultan atau professional terkadang harus
melepaskan identitas etnis/ ras mereka dari peran profesionalnya. Hal
ini dilakukan untuk mencegah adanya perilaku menghakimi seperti
rasisme dan narsisme antara pekerja sosial dan klien.
b. Separate life domains (memisahkan domain kehidupan)
Memisahkan domain antara kehidupan pribadi dengan pekerjaan ketika
keduanya tidak koheren. Memisahkan sedikit kebudayaan rumah dan
mendapatkan kebudayan baru pada lingkungan kerja memudahkan
proses adaptasi dalam melakukan pelayanan
c. Switching hats (berganti topi)
Meskipun seorang praktisi berusaha memisahkan domain kehidupan,
tetap budaya pribadi tidak dapat sepenuhnya dihilangkan. Pergantian
topi non-profesional ke topi atau budaya profesional mungkin berat
dilakukan terutama ketika perbedaan budaya yang besar, akan tetapi
tindakan ini diperlukan untuk menjaga keseimbangan antara profesional
dan pribadi diri seseorang.
d. Selective presentation of self (presentasi diri yang selektif)
Penolakan dalam layanan oleh klien sering kali disertai alasan
“kompetensi bahasa atau perbedaan budaya”. Namun, dalam hal ini
dibanding budaya, praktisi merasa bahwa pengetahuan dan keterampilan
lebih penting dalam memberikan bantuan.

13
Yan, Miu Chung. 2005. How Cultural Awareness Works: An Empirical Examination of the
Interaction Between Social Workers and Their Clients. Canadian Association for Social Work
Education (CASWE), Canadian Social Work Review Vol.22 No.1.

12
e. Assuming the “white” identity (asumsi identitas “putih”)
Pekerjaan sosial merupakan profesi yang tertanam dalam budaya barat,
pelatihan intensif dipraktikkan disana, sementara konteks sosial dan
organisasi tempat mereka berlatih dominan “putih” dan dianggap
memiliki hak istimewa. Bagi pekerja sosial minoritas, mereka akhirnya
melakukan countertransference dimana memposisikan diri sebagai
orang kulit putih meskipun bukan, agar tidak terlihat lemah dan
memiliki kesempatan pekerjaan yang sama seperti mereka.
f. Retrospection
Sejauh usaha untuk mengontrol budaya, terkadang budaya dapat hilang
sebelum adanya kesadaran diri. Hilangnya aspek budaya ini merupakan
suatu hal manusiawi ketika adanya budaya lain yang dianggap
bertentangan dengan budaya yang dimiliki. Seperti, Ellen seorang
pekerja sosial di rumah sakit ketika menghadapi klien seorang anak yang
ingin meninggalkan orang tuanya yang sedang kritis, secara tidak sadar
dibalik itu Ellen merasa kesal dan merutuki niat kliennya, dalam hal ini
tentu bertentangan oleh etika pekerjaan sosial yang melarang adanya
sikap menghakimi. Retrospeksi adalah bentuk kesadaran diri yang
diperlukan pekerja sosial untuk mengontrol budaya agar tidak
berpengaruh buruk pada intervensi. Dapat dilakukan melalui pencatatan,
konsultasi, pengawasan klinis, dan menangkap pengaruh budaya yang
lolos dalam praktik.
2. Menggunakan Budaya
Penggunaan budaya dan pengalaman mereka sendiri dengan
mengubahnya menjadi sarana untuk membantu klien, terutama bagi klien yang
memiliki latar belakang budaya yang sama. Secara umum, tiga strategi
menggunakan budaya dalam praktek pekerjaan sosial:
a. Pemahaman empati berdasarkan kesamaan
Budaya yang sama antara pekerja sosial dengan klien akan semakin
membangun hubungan kerja yang lebih efektif dan empati yang lebih
intim. Misalnya, Ursula seorang pekerja sosial imigran yang bertugas
kepada klien imigran, dirinya merasa nyaman dalam berinteraksi dengan
klien ini karena merasa berada pada posisi yang sama oleh klien, dengan

13
hal ini komunikasi keduanya lebih efektif sehingga dapat ditemukan
teknik pelayanan yang sesuai.
b. Pengungkapan diri terapeutik
Pengungkapan diri adalah teknik menggunakan diri sendiri. Terkadang
klien bertanya kepada pekerja sosial tentang siapa dirinya, dengan
alasan “apakah ini benar-benar bisa membantunya?”. Pengungkapan diri
seorang pekerja sosial tentu dapat membantu membangun suatu
kepercayaan antara pekerja sosial dan klien. Dengan ini, juga membantu
klien untuk lebih terbuka tentang siapa dirinya. Namun, pengungkapan
diri perlu selektif dan hati-hati karena tidak semua hal dapat
diungkapkan, maka dari itu perlu batasan dengan melihat bagaimana
dampak dari informasi budaya tersebut “apakah untuk kepentingan
pekerja sosial?” “apakah untuk kepentingan pribadi klien?”.
c. Menjembatani klien ke budaya dominan
Menggunakan pengetahuan dan pengalaman mereka sendiri untuk
membantu klien beradaptasi pada suatu kondisi atau budaya baru.
Berbagi pengalaman pribadi yang relevan terhadap apa yang dibutuhkan
klien, akan memudahkan proses intervensi. Seperti yang dilakukan Paul
seorang pekerja sosial dari Afrika yang bekerja di layanan perlindungan
anak, berhadapan dengan klien sebuah keluarga, dengan pengalamannya
Paul membantu klien menyesuaikan dengan harapan budaya masyarakat
yang dominan. Akan tetapi karena pekerja sosial juga menjadi agen
integrasi sosial, dalam hal ini harus memperhatikan dua perspektif yaitu
mendengarkan cerita klien kemudian menjembatani klien dengan
budaya yang lebih dominan.

Tujuan utama dari strategi pekerjaan sosial dalam menghadapi masyarakat


multikultural adalah untuk memastikan pekerja melakukan perannya secara efektif,
menjaga citra profesi pekerjaan sosial. Dengan ini, cultural awareness adalah proses
konstan yang terjadi selama intervensi. Terkait salah satu strategi diatas adalah
menggunakan budaya, ini memungkinkan intervensi lebih kreatif dan proaktif dan
memastikan bahwa klien yang berbeda budaya menerima layanan yang efektif.

14
2.3. Memahami Implikasi Penindasan dan Kekuasaan Dalam Praktek Pekerjaan
Sosial
2.3.1 Penindasan dan Kekuasaan
Sebelum memahami lebih jauh tentang penindasan dan kekuasaan dalam
praktik pekerjaan sosial, ada baiknya kita memahami dulu apa itu arti penindasan dan
kekuasaan. Bullying atau penindasan adalah tindakan intimidasi yang dilakukan pihak
yang lebih kuat terhadap pihak yang lemah. Menurut Bambang Sudiyo yang dikutip
dalam Kompas menyatakan bahwa bullying bermakna penyiksaan atau pelecehan yang
dilakukan tanpa motif tetapi dengan sengaja atau dilakukan berulang ulang terhadap
orang yang lebih lemah.
Sedangkan, Kekuasaan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi pihak
lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan tersebut. Kekuasaan
terdapat di semua bidang kehidupan dan dijalankan. Kekuasaan mencakup kemampuan
untuk memerintah (agar yang diperintah patuh) dan juga memberi keputusan-
keputusan yang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi tindakan-tindakan
pihak lainnya. Max Weber menyatakan bahwa kekuasaan adalah kesempatan seseorang
atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya
sendiri sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari orang-
orang atau golongan- golongan tertentu14.

2.3.2 Memahami Penindasan dan Kekuasaan Dalam Praktek Pekerjaan Sosial


Dalam praktik pekerjaan sosial, pekerja sosial akan banyak menemukan klien
dari kelompok terpinggirkan. Kelompok-kelompok tersebut di antaranya adalah
perempuan, lanjut usia, penyandang disabilitas, kelompok LGBT, dan lainnya.
Masyarakat hidup di bawah payung kekuasaan individu, institusi, dan budaya yang
seringkali merendahkan, merugikan, dan menghilangkan peluang untuk kelompok
terpinggirkan. Rasisme institusional ini berpengaruh pada landasan psikologis yang
menghambat proses pelayanan sosial. Berdasarkan pengalaman diskriminasi oleh
kelompok penguasa, kelompok terpinggirkan seringkali memberikan persepsi terhadap
pekerja sosial yang secara profesional menolong orang-orang di ranah multikultural.

14
Max Weber, Essay in Sociology, Oxford University Press, 1946, hal.180, yang diterjemahkan oleh
Noor Kholis dan Tim Penerjemah Promethea, Sosiologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006

15
Dinamika sosial dan budaya dapat mengganggu proses pertolongan dan
menyebabkan kesalahan diagnosis, kebingungan, rasa sakit, dan penguatan bias
dan stereotip yang dimiliki keduanya (pekerja sosial dan klien) satu sama lain.
Berdasarkan hal tersebut, pekerja sosial harus menyadari dinamika sosial politik
yang membentuk tidak hanya pandangan dunia klien mereka tetapi juga pandangan
dunia mereka sendiri15.
Dalam semua kasus, kepercayaan terhadap pekerja sosial dapat diuji dengan
berat. Pekerja sosial yang kompeten secara budaya dilihat dari kemampuannya untuk
tidak menghakimi perilaku klien. Pekerja sosial menganggap klien tidak selalu
menunjukkan patologi, tetapi bentuk dari mekanisme kelangsungan hidup adaptif.
Pekerja sosial juga dapat menghindari segala potensi permusuhan yang diekspresikan
terhadap klien. Terakhir, pekerja sosial budaya dapat secara memadai menyelesaikan
tantangan terhadap kredibilitasnya.

2.3.3 Praktik Anti-Penindasan


Istilah 'anti-penindasan' digunakan untuk memandang divisi sosial dalam
masyarakat (terutama 'ras', kelas, jenis kelamin, kecacatan, orientasi seksual dan usia)
sebagai masalah struktur sosial yang luas, baik itu masalah pribadi atau organisasi. Hal
ini terlihat dari adanya penggunaan dan penyalahgunaan kekuasaan dengan perilaku
individu atau organisasi, yang rasis, kelas, seksis dan sebagainya16.
Dalam definisi ini, ada pemahaman yang jelas tentang penggunaan dan
penyalahgunaan kekuasaan dalam hubungan pada tingkat pribadi, keluarga,
masyarakat, organisasi dan struktural. Oleh karena itu, dirumuskan prinsip-prinsip
anti-diskriminasi, yaitu:
1. Perbedaan Sosial. Perbedaan sosial muncul karena adanya perbedaan
kekuasaan antara kelompok sosial yang dominan dan yang didominasi yang
meliputi ras, jenis kelamin, kelas, preferensi seksual, kecacatan dan usia. Prinsip
perbedaan sosial didasarkan pada pemahaman tentang bagaimana perbedaan
saling berhubungan dan membentuk kehidupan manusia.

15
Sue, D. W., Rasheed, M. N., & Rasheed, J. M. (2015). Multicultural social work practice: A
competency-based approach to diversity and social justice. John Wiley & Sons. h. 93
16
Clifford, D.J. (1995) ‘Methods in oral history and social work’, Journal of the Oral History Society 23
(2).

16
2. Menghubungkan Individu dan Politik. Dalam konteks sosial yang lebih luas,
kehidupan individu dilihat dalam kaitannya dengan sistem sosial seperti
keluarga, kelompok sebaya, organisasi dan masyarakat. Dalam hal ini,
menyadari bahwa masalah individu bukan hanya disebabkan oleh dirinya, tetapi
harus dipahami dalam kaitannya dengan ideologi, kebijakan, dan politik yang
ada dalam lingkungan sosial di mana individu tersebut berada.
3. Kekuasaan. Kekuasaan dapat dilihat beroperasi pada tingkat pribadi dan
struktural. Hal ini dipengaruhi oleh faktor sosial, budaya, ekonomi dan
psikologis. Semua faktor ini perlu diperhitungkan dalam setiap analisis tentang
bagaimana individu atau kelompok memperoleh akses yang berbeda ke sumber
daya dan posisi kekuasaan membentuk dan menentukan hubungan pada
tingkat individu, kelompok, komunitas, organisasi dan masyarakat
4. Lokasi Historis dan Geografis. Pengalaman dan peristiwa hidup individu
ditempatkan dalam waktu dan tempat tertentu, sehingga harus memahami
bahwa pengalaman tersebut diberi makna dalam konteks gagasan, fakta sosial,
dan perbedaan budaya yang berlaku oleh masyarakat setempat.
5. Refleksivitas. Refleksivitas adalah pertimbangan terus-menerus tentang
bagaimana nilai, perbedaan sosial, dan kekuasaan mempengaruhi interaksi antar
individu. Interaksi ini harus dipahami tidak hanya dalam istilah psikologis,
tetapi juga sebagai masalah sosiologi, sejarah, etika dan politik.

Prinsip-prinsip tersebut saling berhubungan satu sama lain. Pekerja sosial


dengan perspektif yang dijiwai oleh prinsip-prinsip anti-diskriminasi memberikan
pendekatan yang mulai mencocokan isu-isu kompleks kekuasaan, penindasan dan
ketidakberdayaan yang menentukan kehidupan masyarakat penerima layanan
perawatan sosial.

2.3.4 Kredibilitas Pekerja Sosial


Kurangnya kepercayaan sering menyebabkan kewaspadaan, ketidakmampuan
untuk membangun hubungan, dan kurangnya pengungkapan diri klien. Hal ini dapat
menyebabkan berkurangnya kredibilitas pekerja sosial. Seorang pekerja sosial yang
dianggap oleh klien sebagai profesional kredibel dan kompeten lebih mungkin untuk

17
memperoleh kepercayaan, motivasi untuk bekerja atau berubah, dan pengungkapan
diri, yang merupakan kondisi penting dalam pemberian layanan17.
Kredibilitas dapat didefinisikan sebagai konstelasi karakteristik yang membuat
individu tertentu tampak layak dipercaya, mampu, berhak atas keyakinan, dapat
diandalkan, dan dapat dipercaya. Pekerja sosial yang kredibel dapat dilihat dari, sebagai
berikut:
1. Keahlian
Keahlian tergantung pada seberapa baik informasi, kemampuan, atau
kecerdasan klien memandang pekerja sosial. Keahlian yang dirasakan biasanya terlihat
dari reputasi, bukti pelatihan khusus, dan bukti perilaku kemahiran dan kompetensi.
Sangat penting untuk menggunakan keterampilan dan strategi intervensi yang sesuai
dengan nilai-nilai kehidupan klien yang beragam secara budaya dan tidak
menstereotipkan mereka. Klien akan merasa bahwa pekerja sosial memiliki
keterampilan untuk memahami posisi dirinya dan juga budayanya.
2. Kepercayaan
Seorang pekerja sosial dianggap dapat dipercaya cenderung memberikan
pengaruh yang lebih besar terhadap klien. Kepercayaan yang dirasakan meliputi faktor-
faktor seperti ketulusan, keterbukaan, kejujuran, dan tidak memikirkan keuntungan
pribadi. Etnis minoritas sering menganggap pekerja sosial hanya orang dari perusahaan
yang tidak tulus sehingga mereka tidak mau mengungkapkan dirinya secara terbuka.
Pekerja sosial yang membangun kepercayaan harus diimbangi dengan perilaku yang
alami, tulus, spontan, terbuka dan tulus.

2.3.5 Implikasi Bagi Praktek Pekerjaan Sosial Multikultural


Pekerja sosial yang bekerja pada setting multikultural tentunya akan bertemu
dengan banyak klien dari latar belakang yang berbeda-beda. Oleh karena itu penting
untuk mengembangkan keterampilan menuju kompetensi budaya agar klien yang
tertindas tidak merasa didiskriminasi. Adapun beberapa pedoman untuk pekerja sosial,
di antaranya:
a. Dalam bekerja dengan klien yang beragam secara budaya, penting untuk
membedakan antara perilaku yang menunjukkan masalah individu yang

17
Sue, S., & Zane, N. (1987). The role of culture and cultural techniques in psychotherapy: A
reformation. American Psychologist, 42, 37–45.

18
sebenarnya dan perilaku yang dihasilkan dari penindasan sistematis dan perjuangan
untuk bertahan hidup.
b. Tidak mempersonalisasi kecurigaan yang mungkin dimiliki klien terhadap motif
seorang pekerja sosial.
c. Seorang pekerja sosial yang kompeten secara budaya bersedia mempertanyakan
pandangan dunianya sendiri dan bersedia untuk memahami dan mengatasi
stereotip, bias, dan asumsinya sendiri tentang kelompok budaya lain.
d. Menyadari bahwa klien dari kelompok yang termarjinalkan terkadang menganggap
sertifikasi pekerja sosial tidak memadai.
e. Adanya perbedaan besar antara pekerja dengan klien yang dapat dijembatani
melalui menghargai beragam budaya dan bekerja secara efektif.

2.4 Studi Kasus Pekerja Sosial dalam Penindasan dan Kekuasaan


Sebagai seorang pekerja sosial, tentunya kita harus banyak memahami segala
bentuk permasalahan sosial yang terjadi di lingkungan kita, terutama pada kasus
penindasan dan kekuasaan. Tentu masih banyak sekali kasus yang masih kita lihat dan
nyata keberadaanya di lingkungan sekitar kita, salah satu contoh kasus yang berkaitan
dengan penindasan dan kekuasaan yang biasanya dialami oleh kelompok rentan dan salah
satunya adalah perempuan yang menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT). Seperti yang sudah dijelaskan di dalam UUD RI tentang Korban yang telah
mengalami tindak kekerasan, UU RI Nomor 23 tahun 2004 pada poin 4 yaitu “berhak
mendapatkan Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat
proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan”.
Biasanya Sasaran tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga atau keluarga
adalah istri. Berbagai akibat dapat ditimbulkan dari tindak kekerasan tersebut, hal ini
disebabkan karena perempuan biasanya berada dibawah laki - laki atau kurang adanya rasa
kesetaraan sehingga laki - laki yang terlalu memiliki banyak kekuasan dalam rumah
tangga. Dampaknya istri akan mengalami beberapa permasalahan pada psikisnya yaitu
seperti adanya pergolakan batin antara penderitaan dengan keinginan untuk
mempertahankan rumah tangga dapat mengakibatkan perasaan rendah diri, tidak percaya
diri, selalu menyalahkan diri sendiri, mengalami gangguan fertilitas (kesuburan) dan
gangguan siklus haid dapat terganggu karena jiwanya tertekan.
Sehingga, berdasarkan dalam pasal yang terkandung tersebut menyebutkan bahwa
Pekerja Sosial memiliki tanggung jawab dan peran yang sangat penting dalam

19
Pemberdayaan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Keseluruhan tahap
pemberdayaan tidak terlepas dari peran pekerja sosial. Peranan pekerja sosial di dalam
masyarakat/badan/lembaga/panti sosial menurut Bradford W. Sheafor dan Charles R.
Horejsi (dalam Soeharto, 2011: 155-160) yaitu sebagai perantara, pemungkin, mediator,
pelindung, advokasi, perunding, inisiator, dan negosiator. Namun, dalam menjalankan
perannya pekerja sosial memiliki peranan yang bervariasi sesuai dengan permasalahan
yang dihadapi. Peran pekerja sosial yaitu sebagai konselor, motivator, mediator,
pelindung, edukator, dan fasilitator. Melalui kegiatan bimbingan fisik, mental, sosial,
spiritual, dan keterampilan. Tahap ini, klien memiliki bekal pengetahuan dan
keterampilan. Klien memiliki keterampilan sesuai dengan bidang yang ditekuni yaitu jahit,
olahan pangan, rias, atau batik. Aspek pengetahuan yaitu, klien mengetahui cara atau
proses dalam menjahit, membuat olahan pangan, merias, ataupun membatik. Berbekal
pengetahuan, sikap, dan keterampilan klien mampu untuk kembali bersosialisasi dengan
lingkungan pasca permasalahan yang dialami sebelumnya.
Pengaruh peran pekerja sosial dalam pemberdayaan yaitu korban Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT) termotivasi untuk bangkit kembali, mampu mengontrol sikap,
memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan, serta mampu merencanakan kehidupan ke
depan. Peningkatan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor itulah yang menjadi indikator
dalam keberhasilan suatu proses pemberdayaan. Adapun Tujuan adanya program tersebut
agar korban tidak kembali ke masa yang suram serta mampu hidup mandiri, percaya diri
untuk bersosialisasi di masyarakat. Adanya keinginan yang kuat dari korban bahwa korban
harus bertahan hidup untuk anak anaknya menjadi alasan pekerja sosial memberikan
pelayanan termasuk pemberdayaan bagi korban. Selain itu, korban juga membutuhkan
perlindungan agar hidupnya merasa lebih aman dan nyaman dari tekanan pihak luar.
Tujuannya, agar korban berdaya memiliki pencaharian hidup untuk menghidupi anak
anaknya setelah pisah dari suami.

20
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Seorang pekerja sosial penting untuk memahami tentang Interkultural Budaya karena
pada dasarnya manusia melakukan praktik budaya melalui bahasa. Pekerja sosial akan
memahami, menerima dan menghargai klien yang memiliki perbedaan secara sosial, ekonomi,
budaya, serta kelompok yang terpinggirkan, serta sensitif dan empati terhadap kebutuhan klien.
Pekerja sosial juga tidak lepas dari pemahaman tentang kesadaran budaya untuk menyadari
adanya perbedaan nilai dan masing-masing budaya. Ketika melakukan praktek dengan
menggunakan konsep kesadaran budaya, pekerja sosial akan mampu melewati hambatan
budaya dari klien yang berbeda. Selain itu, kredibilitas juga penting dimiliki oleh pekerja sosial
untuk menghindari kesalahan diagnosis dan rasa sakit pada klien yang sering merasa tertindas
oleh kelompok penguasa. Hal tersebut tentunya akan menjadikan pekerja sosial sebagai praktisi
yang bertanggung jawab dan profesional.

3.2 Saran
Manusia hidup di tengah keberagaman yang ada, baik itu keragaman budaya, sosial,
maupun agama. Dalam keberagaman tersebut, setiap orang harus memiliki nilai toleransi yang
tinggi agar tidak terjadi pertikaian, bahkan perpecahan. Kompetensi interkultural, kesadaran
budaya, serta praktik anti-penindasan pada dasarnya bukan hanya harus dimiliki beberapa
profesi saja, melainkan harus diterapkan seluruh individu. Hanya saja, pekerja sosial sebagai
salah satu profesi yang langsung berhadapan dengan banyak orang harus lebih peka dan empati
terhadap keberadaan kliennya, termasuk klien dari kelompok kecil yang mengalami
penindasan. Dengan demikian keanekaragaman dapat menjadi suatu anugerah apabila
masyarakatnya dapat saling menghargai.

21
DAFTAR PUSTAKA

Allen, Bem. P. 2003. Personality Theories: Development, Growth, and Diversity 4th
edition.United States of America : Pearson Education Inc

Burke, B., & Harrison, P. (2004). Anti-oppressive practice. In Communication, relationships


and care (pp. 141-148). Routledge.

Clifford, D.J. (1995) ‘Methods in oral history and social work’, Journal of the Oral History
Society 23 (2).

Kramsch, Claire. 1993. Context and Culture in Language Teaching. Oxford: Oxford University
Press.

Max Weber, Essay in Sociology, Oxford University Press, 1946, hal.180, yang diterjemahkan
oleh Noor Kholis dan Tim Penerjemah Promethea, Sosiologi, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2006

National Association of Social Workers. 2015. Standards and Indicators for Cultural
Competence in Social Work Practice. Washington DC: National Association of Social
Workers.

Nylund, David. 2006. Critical Multiculturalism, Whiteness and Social Work: Towards a More
Radical View of Cultural Competence. Journal of Progressive Human Service Vol. 17
No. 2

Patterson, CH. (2004). Do We Need Multicultural Counseling Competencies?. Journal of


Mental Health Counseling.Vol. 26, 1, p. 67-73.

Poluakan, M. V., Apsari, N. C., & Raharjo, S. T. (2019). KOMPETENSI KULTURAL


DALAM PEKERJAAN SOSIAL PASCA BENCANA. Share: Social Work Journal,
9(1), 28-36.

Reisch, Michael. 2008. From Melting Pot to Multiculturalism: The Impact of Racial and Ethnic
Diversity on Social Work and Social Justice in the USA. British Journal of Social Work
Vol. 38

22
Saifuddin, Achmad Fedyani. (2006). “Membumikan Multikulturalisme di Indonesia”.Jurnal
Antropologi Sosial Budaya Etnovisi. Vol. II. No. 1, April 2006.

Sue, D. W., Rasheed, M. N., & Rasheed, J. M. (2015). Multicultural social work practice: A
competency-based approach to diversity and social justice. John Wiley & Sons.

Sue, S., & Zane, N. (1987). The role of culture and cultural techniques in psychotherapy: A
reformation. American Psychologist, 42, 37–45.

Vacc, Nicholas., DeVaney, Susan., Brendel, Johnston. (2003). Counseling Multicultural and
Diverse Populations: Strategies for Practitioners. Brunner-Routledge, NY, USA.

Wunderle, William. (2006). Through the Lens of Cultural Awareness: A Primer for US Armed
Forces Deploying to Arab and Middle Eastern Countries. Combat Studies Institute
Press, USA.
Yan, Miu Chung. 2005. How Cultural Awareness Works: An Empirical Examination of the
Interaction Between Social Workers and Their Clients. Canadian Association for Social
Work Education (CASWE), Canadian Social Work Review Vol.22 No.1.

Yan, Miu Chung. 2005. Rethinking Self-Awareness in Cultural Competence: Toward a


Dialogic Self in Cross-Cultural Social Work. Families in Society

Yan-li, Zhang. (2007). Critique on the four levels of cross-cultural awareness. Sino-US English
Teaching. Volume 4, No.12 p. 26-28

23

Anda mungkin juga menyukai