PEKERJAAN SOSIAL
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Pekerjaan Sosial dan Multikultural
Dosen Pengampu: Budi Rahman Hakim, MSW. PhD.
Disusun Oleh:
Kelompok 3/ Kessos 5A
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tak lupa Shalawat serta salam
kami curahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita semua dari
zaman kegelapan hingga zaman terang benderang.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang diberikan
oleh Bapak Budi Rahman Hakim, MSW. PhD selaku dosen mata kuliah Pekerjaan Sosial dan
Multikultural. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
“Kompetensi Interkultural Bagi Praktek Pekerjaan Sosial” bagi para pembaca dan juga penulis.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik
serta saran yang membangun dari para pembaca, supaya makalah ini nantinya dapat disusun
lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada penulisan makalah ini kami
mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan Penulis
1. Memahami seberapa pentingnya Kompetensi Inter-Kultural bagi Praktek Pekerjaan
Sosial.
2. Untuk mengetahui Kompetensi Inter-Kultural dalam Praktek Pekerjaan Sosial.
3. Untuk mengetahui Cultural Awareness dalam cakupan yang lebih luas.
4. Memahami implikasi penindasan dan kekuasaan dalam praktik pekerjaan sosial.
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Kramsch, Claire. 1993. Context and Culture in Language Teaching. Oxford: Oxford University Press
2
Allen, Bem. P. 2003. Personality Theories: Development, Growth, and Diversity 4th edition.
United States of America : Pearson Education Inc
3
telah dikenal dan menjadi bagian dari pekerjaan sosial sejak lama terutama di tempat-
tempat dimana tingkat etnisitas dan kelompok marginal yang tinggi.
Banyak negara di dunia yang memiliki keberagaman secara sosial dan kultural,
salah satunya Indonesia. Indonesia Merupakan negara yang beragam karena terdapat
berbagai suku bangsa, agama, kemampuan ekonomi, dan bahkan ras yang tersebar
dalam wilayah geografi yang sangat luas.Fakta tersebut menggambarkan bahwa
keanekaragaman sosial dan kebudayaan di Indonesia (Syaifuddin, 2006:3-4).4
3
Yan, Miu Chung. 2005. Rethinking Self-Awareness in Cultural Competence: Toward a Dialogic Self in Cross-
Cultural Social Work. Families in Society
4
Saifuddin, Achmad Fedyani. (2006). “Membumikan Multikulturalisme di Indonesia”.
Jurnal Antropologi Sosial Budaya Etnovisi. Vol. II. No. 1, April 2006.
4
seorang pekerja sosial akan lebih sensitif dan empati terhadap kebutuhan-kebutuhan
dari klien(Nylund, 2006:28).5
Selain itu, seorang pekerja sosial dapat memahami bahwa kelompok yang
menjadi sasaran pekerjaan sosial berhak untuk mengekspresikan identitas mereka
sendiri tanpa dipengaruhi oleh budaya atau nilai baru yang dibawa oleh para pekerja
sosial. Hal ini meliputi juga hak untuk tetap berpegang pada warisan, tradisi dan bahasa
mereka (Reisch, 2008:798).6
Dari definisi di atas, terdapat dua elemen penting yaitu pengetahuan dan
keterampilan. Kedua elemen tersebut harus dilatih sebagai sebuah kecakapan oleh
seorang pekerja sosial. National Association of Social Workers(NASW), sebuah
organisasi pekerja sosial profesional di Amerika Serikat, telah mengeluarkan standar-
standar bagi kompetensi inter-kultural dalam praktek pekerjaan sosial. Standar dan
indikator tersebut diharapkan menjadi dasar dan pegangan bagi para pekerja sosial
5
Nylund, David. 2006. Critical Multiculturalism, Whiteness and Social Work: Towards a More Radical View
of Cultural Competence. Journal of Progressive Human Service Vol. 17 No. 2
6
Reisch, Michael. 2008. From Melting Pot to Multiculturalism: The Impact of Racial and Ethnic Diversity on
Social Work and Social Justice in the USA. British Journal of Social Work Vol. 38
7
Yan, Miu Chung. 2005. Rethinking Self-Awareness in Cultural Competence: Toward a Dialogic Self in Cross-
Cultural Social Work. Families in Society
5
ketika dengan situasi lapangan yang beragam.Standar-standar tersebut menjadi sebuah
tuntutan sebagaimana seorang pekerja sosial dihadapkan pada tanggung jawab etis
untuk menjadi seorang yang kompeten secara kultural(National Association of Social
Workers, 2015:7)
Dalam menghadapi situasi lapangan yang beragam dari berbagai aspek, sudah
seharusnya seorang pekerja sosial dibekali dengan kompetensi inter-kultural.Dari
berbagai standar yang ada, ada dua standar dalam kaitannya dengan kondisi
kemajemukan dan keragaman di Indonesia. Yang pertama adalah pengetahuan lintas
budaya yaitu pekerja sosial harus memiliki pengetahuan dan pemahaman lintas budaya
serta terus mengembangkannya. Pengetahuan tersebut meliputi sejarah, tradisi, nilai,
sistem keluarga, dan ekspresi artistik seperti ras dan etnisitas. Selain itu kelompok
imigran atau pengungsi, kelompok suku, orientasi seksual, identitas dan ekspresi
gender, kelas sosial, kemampuan mental dan fisik dari setiap kelompok
budaya(National Association of Social Workers,2015:24).8
Kompetensi inter-kultural tidak hanya dibatasi pada level praktek dengan klien
saja. Kompetensi kultural bisa diimplementasikan pada level kebijakan khususnya
untuk kesejahteraan sosial serta ke level penelitian yang akan memberi banyak
sumbang saran bagi pengembangan pendidikan dan praktik pekerjaan sosial. Dalam
konteks praktik pekerjaan sosial di Indonesia, kompetensi inter-kultural bagi pekerja
sosial menjadi relevan untuk dibahas serta diimplementasikan. Pekerjaan sosial yang
tumbuh dan berkembang di lingkungan yang beragam dan majemuk membutuhkan
suatu kompetensi kultural yang baik dan memadai. Dengan demikian, seorang pekerja
sosial bisa memiliki pengetahuan dasar dalam menghadapi berbagai macam
karakteristik dalam budaya serta nilai-nilai yang dipegangnya.
8
National Association of Social Workers. 2015. Standards and Indicators for Cultural Competence in Social
Work Practice. Washington DC: National Association of Social Workers.
6
Di bidang pendidikan pekerjaan sosial, kompetensi inter-kultural telah banyak
dibahas dalam kurikulum pendidikan pekerjaan sosial, walaupun belum disusun secara
sistematis sebagai pedoman bagi pekerja sosial profesional di Indonesia.Pekerja sosial
diharapkan telah dibekali kompetensi ini sebelum turun ke lapangan baik secara formal
maupun informal.Pengetahuan informal bisa diperoleh lewat relasi dengan yang
berbeda latar belakang Di sisi lain, hingga kini belum banyak penelitian maupun
evaluasi tentang implementasi kompetensi kultural terutama dalam konteks Indonesia
yang majemuk dan beraneka ragam.
9
Vacc, Nicholas., DeVaney, Susan., Brendel, Johnston. (2003). Counseling Multicultural and Diverse
Populations: Strategies for Practitioners. Brunner-Routledge, NY, USA.
10
Wunderle, William. (2006). Through the Lens of Cultural Awareness: A Primer for US Armed Forces
Deploying to Arab and Middle Eastern Countries. Combat Studies Institute Press, USA.
7
2.2.2. Tingkatan Cultural Awareness (Kesadaran Budaya)
Menurut Wunderle (2006), tingkatan cultural awareness dibagi menjadi lima:
1. Data dan Informasi
Tingkatan terendah secara kognitif dalam memahami kesadaran budaya.
Berupa kode-kode yang berada dalam lingkungan yang mendeteksi
tentang manusia. Tingkatan ini, data dan informasi membantu seseorang
memahami perbedaan dan melancarkan proses komunikasi.
2. Cultural Consideration
Setelah memperoleh informasi tentang budaya dan faktor nilai budaya
tertentu, hal ini menjadi pertimbangan untuk memaknai konsep-konsep
budaya yang sudah ada secara umum. Fungsinya untuk memperkuat
proses komunikasi dan interaksi.
3. Cultural Knowledge
Ketika informasi dan pertimbangan sudah didapat belum tentu mampu
diterapkan dalam pemahaman. Oleh karena itu, perlu dilakukan
pelatihan-pelatihan khusus yang tujuannya untuk membuka pemahaman
lebih dalam. Hal ini termasuk pada pembahasan isu-isu seperti
kelompok, pemimpin, dinamika, keutamaan budaya dan keterampilan
bahasa untuk memahami budaya tertentu.
4. Cultural Understanding
Pengetahuan tentang budaya sendiri dan orang lain melalui aktivitas
pelatihan penting agar memahami dinamika yang terjadi. Maka,
pelatihan bisa terus dilakukan agar mengarah pada kesadaran mendalam
hingga membantu proses pengambilan keputusan pada kondisi tertentu.
5. Cultural Competence
Kompetensi budaya berada pada tingkat paling atas dalam kesadaran
budaya, fungsinya membantu penemuan hingga penarikan keputusan.
Kompetensi budaya merupakan pemahaman terhadap kelenturan
budaya (culture adhesive). Hal ini penting karena dengan kompetensi
budaya akan memfokuskan pemahaman pada perencanaan dan
pengambilan keputusan untuk menghadapi suatu kondisi, dan implikasi
lainnya dapat memahami kelompok tertentu secara intensif.
8
Tingkatan Cultural Awareness lainnya disebutkan oleh Robert Hanvey yang
membagi dalam 4 tingkat Cross-cultural awareness, yaitu:11
1. Awareness of superficial or visible cultural traits (Kesadaran akan ciri-ciri
budaya yang dangkal atau terlihat). Berada pada tingkatan pertama dimana
seseorang memperoleh suatu informasi tentang budaya melalui apa yang hanya
dilihat. Misalnya, mengunjungi suatu negara, daerah, tempat bersejarah dan
sebagainya. Pemahaman hanya terbatas pada apa yang nampak tanpa mencari
tahu lebih dalam, maka seringkali adanya pandangan stereotip.
2. Awareness of significant and subtle cultural traits that others are different and
therefore problematic (Kesadaran akan ciri budaya yang lebih halus bahwa
setiap orang berbeda, dan timbul permasalahan). Level kedua ini, seseorang
mulai memahami perbedaan budaya secara signifikan terhadap budaya atau
nilai yang ia miliki dan terkadang menimbulkan rasa frustasi atau kebingungan
sehingga terjadi konflik dalam dirinya.
3. Awareness of significant and subtle cultural traits that others are believable in
an intellectual way (Kesadaran akan ciri budaya yang lebih halus bahwa setiap
orang berbeda, dan dapat dipahami secara intelektual). Pada level ini, seseorang
sudah mampu memahami dan menerima kebudayaan lain secara utuh dan
signifikan sebagai manusia.
4. Awareness of how other culture feels from the standpoint of the insider
(Kesadaran tentang bagaimana perasaan orang lain dari sudut pandang orang
dalam). Level ini merupakan level tertinggi yang dimana seseorang telah
11
Yan-li, Zhang. (2007). Critique on the four levels of cross-cultural awareness. Sino-US English
Teaching. Volume 4, No.12 p. 26-28
9
memahami dan menerima suatu kebudayaan bahkan sudah melibatkan
emosinya terkait perasaan budaya lain dan perilakunya melalui pengalaman
langsung dengan situasi budaya tertentu seperti belajar bahasa, kebiasaan, dan
memahami nilai-nilai yang berlaku pada kebudayaan itu.
10
1. Respect. Menghargai klien, dengan asumsi bahwa klien mampu
mengambil tanggung jawab dalam menentukan pilihan dan
memecahkan masalah untuk dirinya sendiri.
2. Genuineness. Hubungan antara konselor-konseli nya harus nyata,
diamana seorang konselor harus sesuai dengan diri sesungguhnya
(kongruensi) berarti konselor betul-betul menjadi dirinya tanpa
kepalsuan.
3. Empathic understanding. Pemahaman empati terhadap klien bukan
hanya sebatas luar nya saja, melainkan melibatkan pemahaman dunia
dan kebudayaan klien secara mendalam.
4. Communication of empathic, respect, and genuineness to the client.
Penting bagi konselor memahami perbedaan budaya oleh klien, dengan
meliputi menerima persepsi, mengakui dan dapat merasakan
kebudayaan klien. Pemahaman terhadap perbedaan ini akan membantu
proses konseling baik secara verbal maupun non-verbal.
5. Structuring. Salah satu elemen penting yang terkadang tidak disadari
oleh konselor adalah struktur atau susunan dalam proses konseling.
Pekerjaan konselor dalam proses konseling sebaiknya memiliki susunan
dan mengartikan perannya pada klien. Konselor sebaiknya menyatakan
bahwa apa, bagaimana dan mengapa dia bermaksud melakukan
konseling. Apabila terjadi kegagalan untuk memberikan pemahaman
peran konselor di awal proses konseling, maka dapat menghasilkan
ketidakpahaman antara keduanya.
11
proses pelayanan. Terlibat dalam kesadaran budaya adalah salah satu tujuan menjadi
praktisi yang profesional dan bertanggung jawab. Adapun dalam hal ini terdapat 2
strategi yang dapat dilakukan:13
1. Mengontrol budaya
Pekerja sosial berusaha menahan pengaruh identitas budaya non-
profesional mereka dalam berpraktik. Mengendalikan pengaruh budaya, dapat
dilakukan dengan 6 cara:
a. Detaching oneself from one’s own culture (melepaskan diri dari budaya
sendiri)
Menjadi seorang konsultan atau professional terkadang harus
melepaskan identitas etnis/ ras mereka dari peran profesionalnya. Hal
ini dilakukan untuk mencegah adanya perilaku menghakimi seperti
rasisme dan narsisme antara pekerja sosial dan klien.
b. Separate life domains (memisahkan domain kehidupan)
Memisahkan domain antara kehidupan pribadi dengan pekerjaan ketika
keduanya tidak koheren. Memisahkan sedikit kebudayaan rumah dan
mendapatkan kebudayan baru pada lingkungan kerja memudahkan
proses adaptasi dalam melakukan pelayanan
c. Switching hats (berganti topi)
Meskipun seorang praktisi berusaha memisahkan domain kehidupan,
tetap budaya pribadi tidak dapat sepenuhnya dihilangkan. Pergantian
topi non-profesional ke topi atau budaya profesional mungkin berat
dilakukan terutama ketika perbedaan budaya yang besar, akan tetapi
tindakan ini diperlukan untuk menjaga keseimbangan antara profesional
dan pribadi diri seseorang.
d. Selective presentation of self (presentasi diri yang selektif)
Penolakan dalam layanan oleh klien sering kali disertai alasan
“kompetensi bahasa atau perbedaan budaya”. Namun, dalam hal ini
dibanding budaya, praktisi merasa bahwa pengetahuan dan keterampilan
lebih penting dalam memberikan bantuan.
13
Yan, Miu Chung. 2005. How Cultural Awareness Works: An Empirical Examination of the
Interaction Between Social Workers and Their Clients. Canadian Association for Social Work
Education (CASWE), Canadian Social Work Review Vol.22 No.1.
12
e. Assuming the “white” identity (asumsi identitas “putih”)
Pekerjaan sosial merupakan profesi yang tertanam dalam budaya barat,
pelatihan intensif dipraktikkan disana, sementara konteks sosial dan
organisasi tempat mereka berlatih dominan “putih” dan dianggap
memiliki hak istimewa. Bagi pekerja sosial minoritas, mereka akhirnya
melakukan countertransference dimana memposisikan diri sebagai
orang kulit putih meskipun bukan, agar tidak terlihat lemah dan
memiliki kesempatan pekerjaan yang sama seperti mereka.
f. Retrospection
Sejauh usaha untuk mengontrol budaya, terkadang budaya dapat hilang
sebelum adanya kesadaran diri. Hilangnya aspek budaya ini merupakan
suatu hal manusiawi ketika adanya budaya lain yang dianggap
bertentangan dengan budaya yang dimiliki. Seperti, Ellen seorang
pekerja sosial di rumah sakit ketika menghadapi klien seorang anak yang
ingin meninggalkan orang tuanya yang sedang kritis, secara tidak sadar
dibalik itu Ellen merasa kesal dan merutuki niat kliennya, dalam hal ini
tentu bertentangan oleh etika pekerjaan sosial yang melarang adanya
sikap menghakimi. Retrospeksi adalah bentuk kesadaran diri yang
diperlukan pekerja sosial untuk mengontrol budaya agar tidak
berpengaruh buruk pada intervensi. Dapat dilakukan melalui pencatatan,
konsultasi, pengawasan klinis, dan menangkap pengaruh budaya yang
lolos dalam praktik.
2. Menggunakan Budaya
Penggunaan budaya dan pengalaman mereka sendiri dengan
mengubahnya menjadi sarana untuk membantu klien, terutama bagi klien yang
memiliki latar belakang budaya yang sama. Secara umum, tiga strategi
menggunakan budaya dalam praktek pekerjaan sosial:
a. Pemahaman empati berdasarkan kesamaan
Budaya yang sama antara pekerja sosial dengan klien akan semakin
membangun hubungan kerja yang lebih efektif dan empati yang lebih
intim. Misalnya, Ursula seorang pekerja sosial imigran yang bertugas
kepada klien imigran, dirinya merasa nyaman dalam berinteraksi dengan
klien ini karena merasa berada pada posisi yang sama oleh klien, dengan
13
hal ini komunikasi keduanya lebih efektif sehingga dapat ditemukan
teknik pelayanan yang sesuai.
b. Pengungkapan diri terapeutik
Pengungkapan diri adalah teknik menggunakan diri sendiri. Terkadang
klien bertanya kepada pekerja sosial tentang siapa dirinya, dengan
alasan “apakah ini benar-benar bisa membantunya?”. Pengungkapan diri
seorang pekerja sosial tentu dapat membantu membangun suatu
kepercayaan antara pekerja sosial dan klien. Dengan ini, juga membantu
klien untuk lebih terbuka tentang siapa dirinya. Namun, pengungkapan
diri perlu selektif dan hati-hati karena tidak semua hal dapat
diungkapkan, maka dari itu perlu batasan dengan melihat bagaimana
dampak dari informasi budaya tersebut “apakah untuk kepentingan
pekerja sosial?” “apakah untuk kepentingan pribadi klien?”.
c. Menjembatani klien ke budaya dominan
Menggunakan pengetahuan dan pengalaman mereka sendiri untuk
membantu klien beradaptasi pada suatu kondisi atau budaya baru.
Berbagi pengalaman pribadi yang relevan terhadap apa yang dibutuhkan
klien, akan memudahkan proses intervensi. Seperti yang dilakukan Paul
seorang pekerja sosial dari Afrika yang bekerja di layanan perlindungan
anak, berhadapan dengan klien sebuah keluarga, dengan pengalamannya
Paul membantu klien menyesuaikan dengan harapan budaya masyarakat
yang dominan. Akan tetapi karena pekerja sosial juga menjadi agen
integrasi sosial, dalam hal ini harus memperhatikan dua perspektif yaitu
mendengarkan cerita klien kemudian menjembatani klien dengan
budaya yang lebih dominan.
14
2.3. Memahami Implikasi Penindasan dan Kekuasaan Dalam Praktek Pekerjaan
Sosial
2.3.1 Penindasan dan Kekuasaan
Sebelum memahami lebih jauh tentang penindasan dan kekuasaan dalam
praktik pekerjaan sosial, ada baiknya kita memahami dulu apa itu arti penindasan dan
kekuasaan. Bullying atau penindasan adalah tindakan intimidasi yang dilakukan pihak
yang lebih kuat terhadap pihak yang lemah. Menurut Bambang Sudiyo yang dikutip
dalam Kompas menyatakan bahwa bullying bermakna penyiksaan atau pelecehan yang
dilakukan tanpa motif tetapi dengan sengaja atau dilakukan berulang ulang terhadap
orang yang lebih lemah.
Sedangkan, Kekuasaan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi pihak
lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan tersebut. Kekuasaan
terdapat di semua bidang kehidupan dan dijalankan. Kekuasaan mencakup kemampuan
untuk memerintah (agar yang diperintah patuh) dan juga memberi keputusan-
keputusan yang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi tindakan-tindakan
pihak lainnya. Max Weber menyatakan bahwa kekuasaan adalah kesempatan seseorang
atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya
sendiri sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari orang-
orang atau golongan- golongan tertentu14.
14
Max Weber, Essay in Sociology, Oxford University Press, 1946, hal.180, yang diterjemahkan oleh
Noor Kholis dan Tim Penerjemah Promethea, Sosiologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006
15
Dinamika sosial dan budaya dapat mengganggu proses pertolongan dan
menyebabkan kesalahan diagnosis, kebingungan, rasa sakit, dan penguatan bias
dan stereotip yang dimiliki keduanya (pekerja sosial dan klien) satu sama lain.
Berdasarkan hal tersebut, pekerja sosial harus menyadari dinamika sosial politik
yang membentuk tidak hanya pandangan dunia klien mereka tetapi juga pandangan
dunia mereka sendiri15.
Dalam semua kasus, kepercayaan terhadap pekerja sosial dapat diuji dengan
berat. Pekerja sosial yang kompeten secara budaya dilihat dari kemampuannya untuk
tidak menghakimi perilaku klien. Pekerja sosial menganggap klien tidak selalu
menunjukkan patologi, tetapi bentuk dari mekanisme kelangsungan hidup adaptif.
Pekerja sosial juga dapat menghindari segala potensi permusuhan yang diekspresikan
terhadap klien. Terakhir, pekerja sosial budaya dapat secara memadai menyelesaikan
tantangan terhadap kredibilitasnya.
15
Sue, D. W., Rasheed, M. N., & Rasheed, J. M. (2015). Multicultural social work practice: A
competency-based approach to diversity and social justice. John Wiley & Sons. h. 93
16
Clifford, D.J. (1995) ‘Methods in oral history and social work’, Journal of the Oral History Society 23
(2).
16
2. Menghubungkan Individu dan Politik. Dalam konteks sosial yang lebih luas,
kehidupan individu dilihat dalam kaitannya dengan sistem sosial seperti
keluarga, kelompok sebaya, organisasi dan masyarakat. Dalam hal ini,
menyadari bahwa masalah individu bukan hanya disebabkan oleh dirinya, tetapi
harus dipahami dalam kaitannya dengan ideologi, kebijakan, dan politik yang
ada dalam lingkungan sosial di mana individu tersebut berada.
3. Kekuasaan. Kekuasaan dapat dilihat beroperasi pada tingkat pribadi dan
struktural. Hal ini dipengaruhi oleh faktor sosial, budaya, ekonomi dan
psikologis. Semua faktor ini perlu diperhitungkan dalam setiap analisis tentang
bagaimana individu atau kelompok memperoleh akses yang berbeda ke sumber
daya dan posisi kekuasaan membentuk dan menentukan hubungan pada
tingkat individu, kelompok, komunitas, organisasi dan masyarakat
4. Lokasi Historis dan Geografis. Pengalaman dan peristiwa hidup individu
ditempatkan dalam waktu dan tempat tertentu, sehingga harus memahami
bahwa pengalaman tersebut diberi makna dalam konteks gagasan, fakta sosial,
dan perbedaan budaya yang berlaku oleh masyarakat setempat.
5. Refleksivitas. Refleksivitas adalah pertimbangan terus-menerus tentang
bagaimana nilai, perbedaan sosial, dan kekuasaan mempengaruhi interaksi antar
individu. Interaksi ini harus dipahami tidak hanya dalam istilah psikologis,
tetapi juga sebagai masalah sosiologi, sejarah, etika dan politik.
17
memperoleh kepercayaan, motivasi untuk bekerja atau berubah, dan pengungkapan
diri, yang merupakan kondisi penting dalam pemberian layanan17.
Kredibilitas dapat didefinisikan sebagai konstelasi karakteristik yang membuat
individu tertentu tampak layak dipercaya, mampu, berhak atas keyakinan, dapat
diandalkan, dan dapat dipercaya. Pekerja sosial yang kredibel dapat dilihat dari, sebagai
berikut:
1. Keahlian
Keahlian tergantung pada seberapa baik informasi, kemampuan, atau
kecerdasan klien memandang pekerja sosial. Keahlian yang dirasakan biasanya terlihat
dari reputasi, bukti pelatihan khusus, dan bukti perilaku kemahiran dan kompetensi.
Sangat penting untuk menggunakan keterampilan dan strategi intervensi yang sesuai
dengan nilai-nilai kehidupan klien yang beragam secara budaya dan tidak
menstereotipkan mereka. Klien akan merasa bahwa pekerja sosial memiliki
keterampilan untuk memahami posisi dirinya dan juga budayanya.
2. Kepercayaan
Seorang pekerja sosial dianggap dapat dipercaya cenderung memberikan
pengaruh yang lebih besar terhadap klien. Kepercayaan yang dirasakan meliputi faktor-
faktor seperti ketulusan, keterbukaan, kejujuran, dan tidak memikirkan keuntungan
pribadi. Etnis minoritas sering menganggap pekerja sosial hanya orang dari perusahaan
yang tidak tulus sehingga mereka tidak mau mengungkapkan dirinya secara terbuka.
Pekerja sosial yang membangun kepercayaan harus diimbangi dengan perilaku yang
alami, tulus, spontan, terbuka dan tulus.
17
Sue, S., & Zane, N. (1987). The role of culture and cultural techniques in psychotherapy: A
reformation. American Psychologist, 42, 37–45.
18
sebenarnya dan perilaku yang dihasilkan dari penindasan sistematis dan perjuangan
untuk bertahan hidup.
b. Tidak mempersonalisasi kecurigaan yang mungkin dimiliki klien terhadap motif
seorang pekerja sosial.
c. Seorang pekerja sosial yang kompeten secara budaya bersedia mempertanyakan
pandangan dunianya sendiri dan bersedia untuk memahami dan mengatasi
stereotip, bias, dan asumsinya sendiri tentang kelompok budaya lain.
d. Menyadari bahwa klien dari kelompok yang termarjinalkan terkadang menganggap
sertifikasi pekerja sosial tidak memadai.
e. Adanya perbedaan besar antara pekerja dengan klien yang dapat dijembatani
melalui menghargai beragam budaya dan bekerja secara efektif.
19
Pemberdayaan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Keseluruhan tahap
pemberdayaan tidak terlepas dari peran pekerja sosial. Peranan pekerja sosial di dalam
masyarakat/badan/lembaga/panti sosial menurut Bradford W. Sheafor dan Charles R.
Horejsi (dalam Soeharto, 2011: 155-160) yaitu sebagai perantara, pemungkin, mediator,
pelindung, advokasi, perunding, inisiator, dan negosiator. Namun, dalam menjalankan
perannya pekerja sosial memiliki peranan yang bervariasi sesuai dengan permasalahan
yang dihadapi. Peran pekerja sosial yaitu sebagai konselor, motivator, mediator,
pelindung, edukator, dan fasilitator. Melalui kegiatan bimbingan fisik, mental, sosial,
spiritual, dan keterampilan. Tahap ini, klien memiliki bekal pengetahuan dan
keterampilan. Klien memiliki keterampilan sesuai dengan bidang yang ditekuni yaitu jahit,
olahan pangan, rias, atau batik. Aspek pengetahuan yaitu, klien mengetahui cara atau
proses dalam menjahit, membuat olahan pangan, merias, ataupun membatik. Berbekal
pengetahuan, sikap, dan keterampilan klien mampu untuk kembali bersosialisasi dengan
lingkungan pasca permasalahan yang dialami sebelumnya.
Pengaruh peran pekerja sosial dalam pemberdayaan yaitu korban Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT) termotivasi untuk bangkit kembali, mampu mengontrol sikap,
memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan, serta mampu merencanakan kehidupan ke
depan. Peningkatan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor itulah yang menjadi indikator
dalam keberhasilan suatu proses pemberdayaan. Adapun Tujuan adanya program tersebut
agar korban tidak kembali ke masa yang suram serta mampu hidup mandiri, percaya diri
untuk bersosialisasi di masyarakat. Adanya keinginan yang kuat dari korban bahwa korban
harus bertahan hidup untuk anak anaknya menjadi alasan pekerja sosial memberikan
pelayanan termasuk pemberdayaan bagi korban. Selain itu, korban juga membutuhkan
perlindungan agar hidupnya merasa lebih aman dan nyaman dari tekanan pihak luar.
Tujuannya, agar korban berdaya memiliki pencaharian hidup untuk menghidupi anak
anaknya setelah pisah dari suami.
20
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Seorang pekerja sosial penting untuk memahami tentang Interkultural Budaya karena
pada dasarnya manusia melakukan praktik budaya melalui bahasa. Pekerja sosial akan
memahami, menerima dan menghargai klien yang memiliki perbedaan secara sosial, ekonomi,
budaya, serta kelompok yang terpinggirkan, serta sensitif dan empati terhadap kebutuhan klien.
Pekerja sosial juga tidak lepas dari pemahaman tentang kesadaran budaya untuk menyadari
adanya perbedaan nilai dan masing-masing budaya. Ketika melakukan praktek dengan
menggunakan konsep kesadaran budaya, pekerja sosial akan mampu melewati hambatan
budaya dari klien yang berbeda. Selain itu, kredibilitas juga penting dimiliki oleh pekerja sosial
untuk menghindari kesalahan diagnosis dan rasa sakit pada klien yang sering merasa tertindas
oleh kelompok penguasa. Hal tersebut tentunya akan menjadikan pekerja sosial sebagai praktisi
yang bertanggung jawab dan profesional.
3.2 Saran
Manusia hidup di tengah keberagaman yang ada, baik itu keragaman budaya, sosial,
maupun agama. Dalam keberagaman tersebut, setiap orang harus memiliki nilai toleransi yang
tinggi agar tidak terjadi pertikaian, bahkan perpecahan. Kompetensi interkultural, kesadaran
budaya, serta praktik anti-penindasan pada dasarnya bukan hanya harus dimiliki beberapa
profesi saja, melainkan harus diterapkan seluruh individu. Hanya saja, pekerja sosial sebagai
salah satu profesi yang langsung berhadapan dengan banyak orang harus lebih peka dan empati
terhadap keberadaan kliennya, termasuk klien dari kelompok kecil yang mengalami
penindasan. Dengan demikian keanekaragaman dapat menjadi suatu anugerah apabila
masyarakatnya dapat saling menghargai.
21
DAFTAR PUSTAKA
Allen, Bem. P. 2003. Personality Theories: Development, Growth, and Diversity 4th
edition.United States of America : Pearson Education Inc
Clifford, D.J. (1995) ‘Methods in oral history and social work’, Journal of the Oral History
Society 23 (2).
Kramsch, Claire. 1993. Context and Culture in Language Teaching. Oxford: Oxford University
Press.
Max Weber, Essay in Sociology, Oxford University Press, 1946, hal.180, yang diterjemahkan
oleh Noor Kholis dan Tim Penerjemah Promethea, Sosiologi, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2006
National Association of Social Workers. 2015. Standards and Indicators for Cultural
Competence in Social Work Practice. Washington DC: National Association of Social
Workers.
Nylund, David. 2006. Critical Multiculturalism, Whiteness and Social Work: Towards a More
Radical View of Cultural Competence. Journal of Progressive Human Service Vol. 17
No. 2
Reisch, Michael. 2008. From Melting Pot to Multiculturalism: The Impact of Racial and Ethnic
Diversity on Social Work and Social Justice in the USA. British Journal of Social Work
Vol. 38
22
Saifuddin, Achmad Fedyani. (2006). “Membumikan Multikulturalisme di Indonesia”.Jurnal
Antropologi Sosial Budaya Etnovisi. Vol. II. No. 1, April 2006.
Sue, D. W., Rasheed, M. N., & Rasheed, J. M. (2015). Multicultural social work practice: A
competency-based approach to diversity and social justice. John Wiley & Sons.
Sue, S., & Zane, N. (1987). The role of culture and cultural techniques in psychotherapy: A
reformation. American Psychologist, 42, 37–45.
Vacc, Nicholas., DeVaney, Susan., Brendel, Johnston. (2003). Counseling Multicultural and
Diverse Populations: Strategies for Practitioners. Brunner-Routledge, NY, USA.
Wunderle, William. (2006). Through the Lens of Cultural Awareness: A Primer for US Armed
Forces Deploying to Arab and Middle Eastern Countries. Combat Studies Institute
Press, USA.
Yan, Miu Chung. 2005. How Cultural Awareness Works: An Empirical Examination of the
Interaction Between Social Workers and Their Clients. Canadian Association for Social
Work Education (CASWE), Canadian Social Work Review Vol.22 No.1.
Yan-li, Zhang. (2007). Critique on the four levels of cross-cultural awareness. Sino-US English
Teaching. Volume 4, No.12 p. 26-28
23