Anda di halaman 1dari 23

TUGAS KELOMPOK 6

MAKALAH
KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA

Disajikan Pada Mata Kuliah


KOMUNIKASI BISNIS 2
Dosen Pengampu
DR. H. RIDWAN ROY T., S.H., M.SI.

Disusun Oleh :
Kelas AB – 3D

1. Septiani Br. Anturi (2005311109)


2. Sheva Chandra Anggraini (2005311014)

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI BISNIS


JURUSAN ADMINISTRASI NIAGA
POLITEKNIK NEGERI JAKARTA
Tahun Ajaran 2020/2021
Jalan Professor Doktor G.A. Siwabessy, Kukusan, Kecamatan Beji,
Kampus Baru UI Depok, Jawa Barat 16425
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami. Sholawat serta salam kami junjungkan kepada Sang Refolusioner
Nabi Muhammad SAW. yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah sampai ke zaman yang
penuh ilmu ini.

Makalah yang berisikan tentang Komunikasi Antar Budaya ini kami susun guna
memenuhi tugas Komunikasi Bisnis 2 dari dosen pengampu Bapak Dr. H. Ridwan Roy T., S.H.,
M.Si. yang senantiasa mendampingi kami untuk menimba ilmu. Tujuan membuat makalah ini
agar seluruh mahasiswa dan mahasiswi dapat meninjau dan mengetahui tentang Komunikasi
Antar Budaya.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir baik yang secara langsung maupun tidak
langsung.

Depok, 01 Oktober 2020

Kelompok 6

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................................i


DAFTAR ISI ........................................................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah ...................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................................. 2
1.3 Tujuan Masalah .................................................................................................................... 2
BAB II .................................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN .................................................................................................................................... 3
2.1 Definisi Komunikasi Budaya ................................................................................................ 3
2.2 Tujuan Komunikasi Budaya ................................................................................................ 3
2.3 Prinsip Komunikasi Budaya ................................................................................................ 4
2.4 Komponen Budaya ................................................................................................................ 5
2.5 Tingkatan Budaya ................................................................................................................. 7
2.6 Perbedaan Budaya ................................................................................................................ 7
2.7 Teori High Context-Low Context Culture ........................................................................ 10
2.8 Teori Komunikasi Antarbudaya ........................................................................................ 11
2.9 Fakta Budaya dalam Kehidupan Kerja ............................................................................ 14
2.10 Model Komunikasi Antarbudaya ...................................................................................... 14
2.11 Contoh Perbedaan Budaya ................................................................................................. 16
2.12 Studi Kasus Komunikasi Budaya ...................................................................................... 17
BAB III ................................................................................................................................................. 19
PENUTUP ............................................................................................................................................ 19
3.1 Kesimpulan .......................................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 20

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Budaya yang diperoleh dan dimiliki seseorang sejak bayi sangat mempengaruhi cara
seseorang tersebut dalam berpikir, berperilaku, dan berinteraksi atau berkomunikasi
dengan orang lain. Oleh karena itu, ketika seseorang dipindahkan ke lingkungan beda
budaya, dia tidak bisa serta merta meninggalkan pengaruh budaya yang melekat dalam
dirinya di lingkungan yang baru. Kebudayaan sendiri menurut Djoko Widaghdo (1994)
dalam bukunya yang berjudul Ilmu Budaya Dasar memberikan pembedaan pengertian
budaya dan kebudayaan. Dengan mengartikan budaya sebagai daya dari budi yang berupa
cipta, rasa, dan karsa. Sedangkan kebudayaan diartikan sebagai hasil dari cipta, karsa,dan
rasa tersebut.

Dalam literatur lain dikatakan bahwa kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari
masyarakat yang manapun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup itu yaitu
bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan. Komunikasi
merupakan hal yang sangat vital dalam proses interaksi dengan masyarakat sosial. Pada
awalnya kita merasa kaget, cemas dan seperti orang aneh yang tidak tahu apaapa
dilingkungan baru. Tapi dengan belajar dan berkomunikasi yang baik maka semua bisa
diatasi Pengalaman menjadikan sebuah pelajaran.

Komunikasi antarbudaya (intercultural communication) adalah proses pertukaran


pikiran dan makna antara orang-orang berbeda budaya. Komunikasi antarbudaya pada
dasarnya mengkaji bagaimana budaya berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi.
Komunikasi antar etnis terjadi apabila terjadi perpindahan tempat atau migrasi dari etnis
yang berbeda ke wilayah atau daerah yang mempunyai etnis yang berbeda. Disitulah
terjadi yang dinamakan komunikasi antar etnis. Ketika pendatang tersebut bermaksud
untuk menetap di daerah tersebut mereka perlu melakukan adaptasi di daerah tersebut
baik dari segi adat, bahasa budaya dan lain-lainnya. Dalam proses adaptasi tersebut akan
muncul kesulitan-kesulitan yang akan ditemui, baik secara kognitif maupun afektif.

1
Komunikasi Antarbudaya (KAB) dibangun atas dua konsep utama, yaitu konsep
komunikasi dan konsep kebudayaan. Mulyana dan Rakhmat (2005: 20) menyebut kedua
konsep tersebut ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan dan saling
mempengaruhi karena budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang
apa, dan bagaimana komunikasi berlangsung, tetapi juga turut menentukan bagaimana
orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisikondisinya untuk
mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Charley H.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang
dibahas dalam program ini adalah :
1. Apa saja komponen dan tingkatan dalam budaya?
2. Apa perbedaan dari budaya tersebut?
3. Apa saja teori dari komunikasi antar budaya?
4. Apa fakta komunikasi budaya dalam kehidupan kerja?
5. Apa saja contoh dari perbedaan budaya?

1.3 Tujuan Masalah


Tujuan dari praktik kewirausahaan ini dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Mengetahui komponen-komponen dan tingkatan dalam budaya.
2. Mengetahui perbedaan dari budaya tersebut.
3. Meningkatkan pengetahuan tentang teori dari komunikasi antar budaya.
4. Mengetahui fakta dari budaya dalam kehidupan kerja
5. Mengetahui contoh-contoh dari perbedaan budaya.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Komunikasi Budaya


Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi diantara orang-orang yang
memiliki kebudayaan yang berbeda (Perbedaan Ras, etnik, atau Sosial Ekonomi atau
gabungan dari semua perbedaan ini. Kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang
dan dianut oleh sekelompok orang serta berlangsung dari generasi kegenerasi.

Tubbs dan Moss dalam (Sihabudin 2013:13) komunikasi antarbudaya merupakan


komunikasi antar orang-orang yang berbeda budaya (baik dalam arti ras, etnik ataupun
perbedaan sosio ekonomi). Menurut Young Yung Kim dalam (Suranto 2010:32)
komunikasi antarbudaya menunjukkan pada suatu fenomena komunikasi dimana para
pesertanya memiliki latar belakang budaya yang berbeda terlibat dalam suatu kontak
antara satu dengan yang lainnya, baik secara langsung atau tidak langsung. Komunikasi
antarbudaya (Intercultural Communication) adalah proses pertukaran pikiran dan makna
antara orang-orang berbeda budaya.

Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi antar budaya
dapat diartikan sebagai komunikasi yang terjadi diantara orang-orang yang memiliki latar
belakang budaya yang berbeda.

2.2 Tujuan Komunikasi Budaya


Adapun tujuan komunikasi antarbudaya lainnya (Suranto 2010:36) yaitu :
1. Memahami bagaimana perbedaan latar belakang sosial budaya mempengaruhi praktik
komunikasi.
2. Mengidentifikasi kesulitan-kesulitan yang muncul dalam komunikasi antar budaya.
3. Meningkatkan keterampilan verbal dan nonverbal dalam berkomunikasi.
4. Menjadikan kita mampu berkomunikasi efektif

3
2.3 Prinsip Komunikasi Budaya
Menurut Suranto (2010:40-43) Prinsip-prinsip umum untuk memperbaiki
kemampuan berkomunikasi dengan berbagai pihak yang berbeda latar belakang.
1. Komunikasi hendak meraih tujuan tertentu.
Setiap proses komunikasi pastilah terkait dengan adanya tujuan atau harapan
tertentu, apabila kita mengetahui tjuan aktivitas komunikasi yang ingin kita capai,
maka dengan sendirinya kita akan merancang suatu strategi komunikasi yang relevan.
Ada cara yang bisa dilakukan untuk mendefinisikan tujuan berkomunikasi, yaitu:
1) Apa yang kita inginkan untuk terjadi.
2) Memastikan apakah tujuan kita realistis, dalam arti apakah tujuan yang kita
harapkan memiliki peluang untuk berhasil atau tidak.

2. Komunikasi adalah suatu proses


Komunikasi adalah kegiatan dinamis yang berlangsung secara berkesinambungan.
Di samping itu, komunikasi juga menunjukan suasana aktif diawali dari seorang
komunikator menciptakan dan menyampaikan pesan, menerima umpan balik dan
begitu seterusnya yang pada hakikatnya menggambarkan suatu proses yang
senantiasa berkesinambungan.

3. Komunikasi adalah sistem transaksional informasi


Dari proses komunikasi dapat diidentifikasi adanya unsure atau komponen yang
terlibat didalamnya, mulai dari komunikator, pesan, sampai komunikan. Setiap
komponen memiliki tugas atau karakter yang berbeda, namun saling mendukung
terjadinya sebuah proses transaksi yang dinamakan komunikasi. Dari proses
komunikasi tersebut, yang ditransaksikan adalah pesan atau informan.

4. Karakteristik komunikan penting untuk diperhatikan


Setiap pesan yang kita sampaikan, karena berkomunikasi dengan setiap orang
mensyaratkan satu pendekatan yang berbeda dan kemungkinan akan mendapatkan
hasil yang berbeda-beda pula. Dengan kata lain, karakteristik komunikan merupakan
informan yang sangat berharga untuk dapat mengorganisirkan pesan relevan dengan
karakteristik komunikan tersebut.

4
5. Komunikasi perlu dukungan saluran (channel) yang relevan
Ada beberapa saluran komunikasi baik secara lisan maupun tertulis yang dapat
digunakan untuk menyampaikan pesan.

6. Adanya efek komunikasi yang sesuai maupun tidak sesuai dengan yang
dikehendaki
Salah satu karakteristik komunikasi antarmanusia (human communication)
menegaskan, bahwa tindak komunikasi akan mempunyai efek yang dikehendaki
(intentional effect) dan efek yang dikehendaki (unintentional effect). Pernyataan
tersebut bermakna, bahwa apa yang kita lakukan pada orang lain tidak selalu
diinterpretasi dan sama seperti yang kita kehendaki.

7. Adanya perbedaan latar belakang sosial budaya.


Setiap orang memiliki latar belakang sosial budaya yang unik, berbeda dengan
orang lain. Adanya perbedaan latar belakang budaya dapat menimbulkan kesulitan
dalam berkomunikasi, karena terjadinya perbedaan perbedaan penafsiran atau
interpretasi atas pesan dan simbol yang di gunakan dalam komunikasi itu.

2.4 Komponen Budaya


Budaya mencakup berbagai aspek kehidupan manusia, terutama yang berkaitan
dengan dimensi hubungan antarmanusia, meskipun bentuk dari setiap komponen budaya
dapat berbeda-beda dari suatu tempat ke tempat lain.

Menurut Lehman, Himstreet dan Baty, setiap komponen terbangun atas beberapa
komponen utamanya, yaitu nilai-nilai (baik atau buruk, diterima atau tidak), norma-
norma (tertulis maupun tidak tertulis), simbol-simbol (warna logo suatu perusahaan),
bahasa dan pengetahuan.

Menurut Mitchell, komponen budaya mencakup antara lain bahasa,


kepercayaan/keyakinan, sopan santun, adat istiadat, seni, pendidikan, humor, dan
organisasi sosial. Sementara itu menurut Ceteora, budaya memiliki beberapa elemen,
yaitu budaya material, lembaga sosial, sistem kepercayaan, estetika dan bahasa.

5
1. Budaya material (material culture) dibedakan ke dalam dua bagian yaitu teknologi
dan ekonomi. Teknologi mencakup teknik atau cara yang digunakan untuk mengubah
atau membentuk material menjadi suatu produk yang dapat berguna bagi masyarakat
pada umumnya. Negara maju lebih mementingkan adopsi teknologi baru daripada
negara berkembang. Ekonomi dalam hal ini dimaksudkan sebagai suatu cara orang
menggunakan segala kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat
untuk dirinya dan orang lain. Termasuk di dalamnya adalah segala bentuk kegiatan
yang menghasilkan barang atau jasa, distribusi, konsumsi, cara pertukaran dan
penghasilan yang diperoleh dari kegiatan kreasi.

2. Organisasi sosial (social institution) dan pendidikan adalah suatu lembaga yang
berkaitan dengan cara bagaimana orang berhubungan dengan orang lain.
Mengorganisasikan kegiatan mereka untuk dapat hidup secara harmonis dengan
orang lain, dan mengajar perilaku yang dapat diterima oleh generasi berikutnya.
Penduduk pria dan wanita dalam suatu masyarakat, keluarga, kelas sosial, dan
kelompok umur dapat ditafsirkan secara berbeda/berlainan dalam setiap budaya.

3. Sistem kepercayaan atau keyakinan (belief system) yang dianut oleh suatu
masyarakat akan berpengaruh terhadap sistem nilai yang ada di dalam masyarakat
tersebut. Keyakinan yang dianut oleh suatu masyarakat juga akan mempengaruhi
kebiasaan-kebiasaan mereka, bagaimana mereka memandang hidup dan kehidupan
ini, jenis produk yang mereka konsumsi, dan cara bagaimana mereka membeli suatu
produk. Bahkan jenis pakaian yang dikenakan, jenis makanan yang dikonsumsi, dan
bacaan yang dibaca setiap harinya, sebenarnya juga tidak lepas dari pengaruh yang
kuat atas keyakinan atau kepercayaan yang dianut seseorang.

4. Estetika (aesthetics) berkaitan dengan seni, dongeng, hikayat, musik, drama dan tari-
tarian. Nilai-nilai setetika yang ditunjukkan masyarakat dalam berbagai peran
tentunya perlu dipahami secara benar, agar pesan yang disampaikan mencapai sasaran
secara efektif.

5. Bahasa (language) adalah suatu cara yang digunakan seseorang dalam


mengungkapkan sesuatu melalui simbol-simbol tertentu kepada orang lain.

6
2.5 Tingkatan Budaya
Menurut murphy dan Hildebrandt, dalam dunia praktis terdapat tiga tingkatan budaya,
yaitu: formal, informal, dan teknis. Masing-masing tingkatan budaya tersebut dapat
dijelaskan secara lebih rinci sebagai berikut:
1. Formal
Budaya pada tingkatan formal merupakan sebuah tradisi atau kebiasaan yang
dilakukan oleh suatu masyarakat yang turun menurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya dan hal itu bersifat formal/resmi. Contoh nya adalah Bahasa.
2. Informal
Pada tingkat ini, budaya lebih banyak diteruskan oleh suatu masyarakat dari
generasi ke generasi berikutnya melalui apa yang didengar, dilihat, dipakai
(digunakan) dan dilakukan, tanpa diketahui alasannya mengapa hal itu dilakukan.
Sebagai contoh, mengapa seseorang bersedia dipanggil nama julukan bukan nama
aslinya.
3. Teknis
Pada tingkat ini, bukti-bukti dan aturan-aturan merupakan hal yang terpenting.
Terdapat suatu penjelasan logis mengapa sesuatu harus dilakukan dan yang lain tidak
boleh dilakukan. Contoh ilmu matematika.

2.6 Perbedaan Budaya


Untuk memahami perbedaan budaya, berikut diulas secara singkat mengenai budaya
konteks tinggi dan budaya konteks rendah, konsep wajah, serta dimensi-dimensi budaya
(Jandt, 2009 : 399-401).
1. Budaya Konteks Tinggi dan Budaya Konteks Rendah
Satu konsep yang sangat berguna untuk memahami perbedaan budaya dalam
komunikasi bisnis adalah dengan konsep yang dikenalkan oleh Edward T.
Hall (1976) yang membedakan budaya konteks rendah dengan budaya konteks tinggi.
Budaya dengan makna lebih kecil ditentukan oleh konteks karena sebagian besar
pesan di-encode dalam bahasa sendiri dinamakan konteks rendah. Dalam budaya
konteks rendah pesan-pesan verbal dinilai tinggi serta memiliki spesifikasi yang tinggi
serta rinci.

7
Dalam budaya konteks tinggi, sangat sedikit pesan-pesan yang dikode secara
eksplisit. Budaya konteks tinggi lebih sensitif terhadap pesan-pesan nonverbal dan
lebih seperti menyajikan sebuah konteks dan latar belakang. Dalam budaya konteks
tinggi, orang membawa lebih dekat dengan pentingnya konteks yang dibagi. Pesan
bisa jadi hilang dalam budaya konteks rendah.

2. Konsep Wajah
Wajah dapat dipahami dalam dua cara. Pertama, wajah merujuk pada rasa percaya
diri terhadap orang lain dalam hal karakter moral. Dan kedua, wajah merujuk pada
prestise atau reputasi seseorang yang dicapai dalam hidup. Komunikasi yang
dilakukan melalui perantara dapat mengeliminasi terjadinya konfrontasi tatap muka
dan mengurangi resiko kehilangan muka. Terdapat lebih dari negosiasi wajah dan
kesamaan wajah atau pengelolaan wajah lainnya.

3. Dimensi-Dimensi Budaya
Dimensi lintas budaya telah menjadi salah satu faktor penting untuk memahami
berbagai macam lingkungan ekomoni dan bisnis. Geert Hofstede (1980)
mempublikasikan hasil studinya mengenai berbagai macam dimensi budaya yaitu
individualisme, maskulinitas, kekuatan jarak, dan penghindaran ketidakpastian.
Konsep ini telah diterapkan ke berbagai macam bidang seperti psikologi lintas
budaya, manajemen internasional dan bisnis, komunikasi lintas budaya, dan lain-lain.

4. Individualisme dan Kolektivisme


Dimensi ini merujuk pada bagaimana individu memandang atau mendefinisikan
dirinya sendiri dan hubungannya dengan orang lain dari strukturnya longgar hingga
yang terintegrasi dengan kuat. Dalam budaya individualis, minat individu berada di
atas minat kolompok. Budaya individualis menekankan pada arahan diri dan
pencapaian diri, misalnya adalah Negara Kanada.

Sedangkan, dalam budaya kolektif, minat kelompok berada di atas minat individu.
Budaya kolektif menekankan pada kesetiaan pada kelompok dan konformitas,
misalnya adalah Indonesia. Dimensi individualisme dan kolektivisme adalah dimensi
budaya yang umumnya digunakan sebagai landasan teori dalam berbagai penelitian
komunikasi lintas budaya dalam bidang komunikasi, psikologi, dan antropologi

8
5. Maskulinitas dan Feminitas
Hofstede memberikan label sebagai budaya maskulin untuk menggambarkan
perbedaan maksimal antara pria dan wanita. Budaya yang menempatkan nilai tinggi
pada maskulin memberlakukan tekanan pada keasertifitas, kompetisi, dan sukses
materi, misalnya adalah Negara Jepang. Sedangkan label budaya feminin merujuk
pada adanya tumpang tindih peran sosial yang dialami oleh wanita. Budaya yang
menempatkan nilai tinggi terhadap feminin memberlakukan tekanan pada kualitas
hidup, hubungan interpersonal, dan lebih memperhatikan kelemahan, misalnya adalah
Negara Norwegia.

6. Kekuatan Jarak
Kekuatan jarak mengindikasikan tingkat dimana kekuatan didistribusikan secara
seimbang dalam sebuah masyarakat dan derajat penerimaan masyarakat terhadap
distribusi tersebut. Budaya dengan kekuatan jarak yang tinggi dan pengaruh
terkonsentrasi pada beberapa orang dibandingkan dengan seluruh polpulasi. Negara
dengan kekuatan jarak yang tinggi cenderung otoriter dan berkomunikasi dengan
interaksi yang terbatas dan penguatan perbedaan diantara orang-orang. Negara
dengan kekuatan jarak tinggi misalnya Malaysia, sedangkan Negara dengan kekuatan
jarak rendah misalnya Israel.

7. Penghindaran Ketidakpastian
Penghindaran ketidakpastian adalah tingkat dimana orang dalam suatu budaya
merasa terancam oleh situasi yang tidak dikenal dan diketahui dan merasa
membutuhkan aturan yang tertulis maupun tidak tertulis. Dalam dunia bisnis, hal ini
membuat orang membutuhkan kerja keras karena aturan, presisi, dan puntualitas
dinilai. Negara dengan tingkat penghindaran ketidakpastian tinggi misalnya Yunani
dan Negara dengan tingkat penghindaran ketidakpastian rendah misalnya Singapura.

8. Orientasi Jangka Panjang dan Orientasi Jangka Pendek


Hofstede berpendapat bahwa dimensi-dimensi budaya dapat digambarkan sebagai
pentingnya hubungan dengan masa depan dibandingkan dengan masa lalu dan masa
kini. Orientasi jangka panjang merujuk pada individu-individu yang berdedikasi,
termotivasi, bertanggung jawab, dan berpendidikan dengan sebuah rasa komitmen
dan kesetiaan terhadap identitas organisasi.

9
Pada orientasi jangka panjang, konsisten dengan penghematan, ketekunan pada
hasil, dan keinginan untuk berada pada sisi sub-ordinat bagi sebuah tujuan. Sedangkan
dalam orientasi jangka pendek, konsisten dengan pemborosan dan ketekunan pada
hasil yang cepat. Negara dengan tingkat orientasi jangka panjang yang tinggi
misalnya Tiongkok. Sedangkan, Negara dengan tingkat orientasi jangka pendek
misalnya Inggris Raya.

2.7 Teori High Context-Low Context Culture


Edward T. Hall mengemukakan sebuah teori Low Context Culture & High Context
Culture yang didasari pada teori individual dan collectivism. Low context
culture terdapat pada masyarakat yang menganut budaya individual, sedangkan High
context culture terdapat pada masyarakat yang menganut budaya kolektif.

Budaya konteks tinggi ditandai dengan komunikasi konteks tinggi, yaitu kebanyakan
pesan bersifat implisit tidak langsung dan tidak terus terang. Pesan yang sebenarnya
tersembunyi dalam perilaku nonverbal pembicara: intonasi suara, gerakan tangan, postur
badan, ekspresi wajah, tatapan mata atau bahkan konteks fisik (dandanan, penataan
ruangan, benda-benda dan sebagainya). Pernyataan verbalnya bisa berbeda atau
bertentangan dengan pesan nonverbal. Sebagaimana Edward T. Hall (1976) menyatakan
bahwa,”A high context (HC) communication or message is one in which most of the
information is already in the person, while very little is in the coded, explicit, transmitted
part of the message”.

Konteks budaya rendah (A low context / LC) ditandai dengan pesan verbal dan
eksplisit, gaya bicara langsung, lugas dan terus terang. Pada budaya konteks rendah
mereka mengatatakan maksud (They say what they mean) dan memaksudkan apa yang
mereka katakan (they mean what they way). Teori ini mengkategorikan masyarakat
melalui banyaknya simbol-simbol ataupun makna yang tersembunyi dalam setiap
interaksi. Semakin banyak simbol atau makna yang tersmbunyi semakin ia bersifat High
Context Culture. Jelasnya ditegaskan bahwa,”A low context (LC) communication is just
the opposite of high context (HC), the mass of the information is vested in the explicit
code”.

10
Namun dalam kenyataannya, sebuah kebiasaan tidak secara utuh dikategorikan High
Context Culture karena sebagiannya memiliki kecenderungan termasuk dalam Low
Context Culture. Demikian pula sebaliknya dalam sebuah kebiasaan yang
didominasi Low Context Culturedidalamnya terdapat bagian High Context Culture. High
Context adalah perkataan atau pernyataan yang sekedar basa basi atau kata yang sekedar
candaan yang tidak memberi arti yang serius, maksudnya adalah type high contect ini
merupakan type yang suka berputar-putar dalam memberikan pernyataan sebelum
menjelaskan maksud atau arti yang sebenarnya. Sedangkan Low Context adalah
perkataan atau sebuah pernyataan yang tidak mengandung candaan dan langsung
menjelaskan maksud atau arti sebenarnya. Low context memang kebalikan dari High
Context.

Dalam budaya konteks tinggi, komunikasi yang dilakukan cenderung kurang


terbuka, mereka menganggap konflik berbahaya pada semua jenis komunikasi. Bagi
masyarakat yang menganut budaya ini, konflik dipandang harus dihadapi dengan hati-
hati. Beberapa negara yang tergolong menganut budaya ini adalah Amerika Indian,
Amerika Latin, Jepang, China, Afrika-Amerika, Korea, termasuk Indonesia.

Sedangkan komunikasi konteks rendah merupakan komunikasi yang mana jumlah


informasi lebih besar dari yang disampaikan. Atau, dalam komunikasi konteks rendah,
pesan verbal mengandung banyak informasi dan hanya sedikit yang tertanam dalam
konteks atau peserta.

Contoh masyarakat konteks rendah adalah masyarakat Amerika yang lebih


bergantung pada perkataan yang diucapkan dibanding perilaku nonverbal untuk
menyatakan pesan. Beberapa negara yang tergolong menganut budaya konteks rendah
adalah Jerman Swiss, Skandinavia dan Amerika Utara.

2.8 Teori Komunikasi Antarbudaya


1. Teori Kecemasan dan Ketidakpastian
Teori ini dikembangkan oleh William Gudykunts yang memfokuskan pada
perbedaan budaya antar kelompok dan orang asing. Ia menjelaskan bahwa teorinya
ini dapat digunakan dalam segala situasi dan kondisi berkaitan dengan terdapatnya

11
perbedaan diantara keraguan dan ketakutan. Gudykunts berpendapat bahwa
kecemasan dan ketidakpastianlah yang menjadi penyebab kegagalan komunikasi
antar kelompok. lebih lanjut ia menjabarkan bahwa terdapat enam konsp dasar
dalam teorinya ini yaitu :
1) Konsep diri, berkaitan dengan meningkatnya harga diri ketika seseorang
berinteraksi dengan orang lain akan menghasilkan kemampuan meningkatkan
kecemasan.
2) Motivasi berinteraksi dengan orang asing, berkaitan dengan peningkatan
kebutuhan diri untuk masuk dalam kelompok. Ketika seseorang berinteraksi
dengan orang asing, interaksi tersebut akan meningkatkan kecemasan.
3) Reaksi terhadap orang asing, berkaitan dengan peningkatan menerima
informasi, toleransi dan empati terhadap orang asing akan meningkatkan
kemampuan seseorang untuk memprediksi perilaku orang asing tersebut.
4) Kategori sosial orang asing, berkaitan dengan peningkatan kesamaan personal
diantara kita dengan orang asing. Tujuannya adalah meningkatkan kemampuan
memprediksi perilaku mereka secara akurat serta kemampuan mengelola
kecemasan begitu pula sebaliknya.
5) Proses Situasional, berkaitan dengan peningkatan situasi informal dimana kita
berinteraksi dengan orang asing. Dengan tujuan akan meningkatkan kemampuan
kita dalam mengelola kecemasan serta meningkatkan kepercayaan diri kita
terhadap mereka.
6) Koneksi dengan orang asing, berkaitan dengan peningkatan ketertarikan,
hubungan dan jalinan kerja dengan orang asing. Dengan tujuan akan
menurunkan kecemasan dan meningkatkan kepercayaan pada diri kita.

2. Teori Negosiasi Wajah


Teori yang di kemukakan oleh Stella Ting-Toomey ini menjelaskan bagaimana
perbedaan-perbedaan dari berbagai budaya dalam merespon berbagai konflik yang
dihadapi. Ia berpendapat bahwa orang-orang dalam setiap budaya akan selalu
mencitrakan dirinya didepan publik, hal tersebut merupakan cara baginya agar orang
lain melihat dan memperlakukannya. Lebih lanjut Ia menjelaskan bahwa wajah
bekerja merujuk pada pesan verbal dan non verbal yang membantu menyimpan rasa
malu, dan menegakkan muka terhormat. Dalam hal ini, identitas selalu

12
dipertanyakan, kecemasan dan ketidakpastian yang disebabkan konflik membuat
kita tak berdaya dan harus menerima.

Terkait dengan hal tersebut, dalam teori ini juga dijelaskan lima model dalam
pengelolaan konflik yang meliputi :
1) Avoiding (penghindaran), yaitu berkaitan dengan upaya untuk menghindari
berbagai macam konflik yang dimungkinkan terjadi.
2) Obliging (keharusan), yaitu berkaitan dengan keharusan untuk menyerahkan
keputusan pada kesepakatan bersama.
3) Comproming, berkaitan dengan saling memberi dan menerima segala sesuatu
agar sebuah kompromi dapat tercapai.
4) Dominating, berkaitan dengan dominasi salah satu pihak dalam penanganan
suatu masalah.
5) Integrating, berkaitan dengan penanganan secara bersama-sama terhadap suatu
masalah.

3. Teori Kode Bicara


Gerry Phillipsen dalam teorinya ini berusaha menjelaskan bagaimana
keberadaan kode bicara dalam suatu budaya. Dan juga bagaimana kekuatan dan dan
substansinya dalam sebuah budaya. Lebih lanjut ia menjelaskan kiranya terdapat
lima proporsi dalam teori ini yaitu :
1) Dimanapun ada budaya, disana pasti ada kode bahasa yang menjadi ciri khas.
2) Sebuah kode bahasa mencangkup sosiologi budaya, retorika dan psikologi
budaya.
3) Pembicaraan yang signifikan bergantung pada kode bicara yang digunakan
pembicara dan pendengar untuk mengkreasikan dan menginterprestasi
komunikasi mereka.
4) Berbagai istilah aturan dan premis terkait dalam pembicaraan itu sendiri
5) Kegunaan suatu kode bicara adalah untuk menciptakan kondisi yang memadai.
Kondisi yang terkait dengan prediksi, penjelasan dan kontrol guna menciptakan
formula wacana tentang kecerdasan, kebijaksanaan dan moralitas perilaku
dalam berkomunikasi.

13
2.9 Fakta Budaya dalam Kehidupan Kerja
Budaya kerja merupakan sekumpulan pola perilaku yang melekat secara keseluruhan
pada diri di setiap individu dalam sebuah organisasi. Membangun budaya berarti juga
meningkatkan dan mempertahankan sisi-sisi positif serta berupaya membiasakan pola
perilaku tertentu agar tercipta suatu bentuk baru yang lebih baik.

Budaya kerja yang terbentuk secara positif akan bermanfaat karena setiap anggota
dalam suatu organisasi membutuhkan sumbang saran, pendapat bahkan kritik yang
bersifat membangun dari ruang lingkup pekerjaannya demi kemajuan di Lembaga
Organisasi tersebut, namun budaya kerja akan berakibat buruk jika pegawai dalam suatu
organisasi mengeluarkan pendapat yang berbeda, hal itu dikarenakan adanya perbedaan
setiap individu dalam mengeluarkan pendapat, tenaga, dan pikirannya. Karena setiap
individu mempunyai kemampuan dan keahliannya sesuai bidangnya masing-masing.

2.10 Model Komunikasi Antarbudaya


Gudykunst dan Kim (1992:33) mengilustrasikan sebuah model Komunikasi Antar
Budaya yaitu proses penyandian dan penyandian balik pesan dalam interaksi antar
individu beda budaya dipengaruhi oleh filter-filter konseptual yang terdiri dari:
1. Faktor Budaya, berhubungan dengan nilai, norma dan aturan yang mempengaruhi
perilaku komunikasi manusia yang meliputi pandangan dunia (agama), bahasa, dan
sikap terhadap orang lain yang dipengaruhi oleh budaya individu atau budaya
kolektif.
2. Faktor Sosiobudaya, menyangkut proses penataan sosial (social ordering process)
yang berkembang berdasarkan interaksi dengan orang lain ketika pola-pola perilaku
menjadi konsisten dengan berjalannya waktu, misalnya pola outgroup dan ingroup,
konsep diri, ekspektasi peran, dan defenisi hubungan antar pribadi.
3. Faktor Psikobudaya, mencakup proses penataan pribadi (personal ordering
process) yang memberi stabilitas pada proses psikologis, misalnya: stereotip,
etnosentrisme dan prasangka

14
4. Faktor Lingkungan yang meliputi lingkungan fisik atau ruang dan wilayah
komunikasi, lingkungan situasi dan kondisi atau latar dan tujuan interaksi, lingkungan
aturan dan norma atau kesepakatan sosial yang menjadi aturan main sosial,
lingkungan psikologi meliputi persepsi tentang kebebasan pribadi, penggunaan waktu
dan interaksi lingkungan yang potensial.

Dalam komunikasi antar personal, untuk mengakomodir perbedaan latar belakang


budaya individu-individu yang terlibat dalam KAB, Liliweri (2003:32)
menggambarkan strategi komunikasi yang adaptif dan efektif dalam sebuah model
KAB pada gambar 2 berikut:

15
Perbedaan budaya menyebabkan individu A dan B memiliki perbedaan
kepribadian dan persepsi terhadap relasi antar pribadi. Jika A dan B “menerima”
perbedaan maka tingkat ketidakpastian dan kecemasan relasi antar pribadi akan
menurun. Menurunnya tingkat ketidakpastian dan kecemasan akan memotivasi
terciptanya strategi komunikasi akomodatif. Strategi tersebut juga dihasilkan
sehingga dapat mempersempit wawasan dan pandangan kita terhadap orang lain yang
memiliki perbedaan budaya.

2.11 Contoh Perbedaan Budaya


Perbedaan-perbedaan antara budaya Indonesia dan budaya Jepang terutama yang
berhubungan dengan kebiasaan berkomunikasi, dan yang terkait dengan nonverbal
communication adalah sebagai berikut.
1. Orang Indonesia mudah bicara dengan orang yang tidak dikenal, sementara orang
Jepang sulit atau tidak biasa berbicara dengan orang yang tidak dikenal.
2. Respon saat orang lain sedang berbicara, orang Indonesia tidak biasa menimpali orang
lain yang sedang berbicara dengan kata-kata tertentu sedangkan orang Jepang
menimpali pembicaraan orang lain dengan ucapan-ucapan tertentu yang disebut
dengan aizuchi.
3. Orang Jepang biasa meminta maaf, berterima kasih dan memuji, sedangkan orang
Indonesia juga mengucapkan terima kasih dan minta maaf, dan memuji tetapi tidak
sesering atau semudah yang dilakukan oleh orang Jepang pada umumnya.
4. Orang Indonesia pada umumnya berbicara dengan 60 persen memandang mata lawan
bicara, kebanyakan orang Jepang pada umumnya berbicara dengan tidak memandang
mata lawan bicara, atau memandang ke arah lain.
5. Orang Indonesia dikatakan mempunyai raut wajah yang ceria, Jepang mempunyai
aturan yang telah lama ada dalam bertingkah laku, dalam situasi "Umum" (kou) dan
situasi "Saya" (shi atau watashi) , dimana pengungkapan perasaan raut muka dalam
situasi umum sangat terbatas.
6. Di Idonesia dengan orang yang baru dikenalpun tidak sedikit orang yang berbicara
sambil menyentuh bagian tubuh orang lain, Orang yang berbudaya Jepang termasuk
orang yang tidak biasa menyentuh bagian tubuh lawan bicara.
7. Jepang termasuk negara yang berpola pikir monochronic time, sedangkan Indonesia
cenderung kepada polychronic time.

16
Dari perbedaan perbedaan yang ada tersebut apabila ada ketidaktahuan atau
ketidakpahaman dari salah satu pihak maupun kedua belah pihak hal-hal yang mungkin
terjadi adalah adanya kesalahpahaman yang ringan, salah penilaian terhadap lawan
bicara, salah penangkapan pesan, terjadi saling tidak menghormati, serta munculnya
perasaan kesepian, ketakutan, risih, bingung, marah, rasa saling tidak percaya dan
perasaan lain yang negatif yang efeknya bisa fatal apabila hal itu berhubungan dengan
suatu bisnis atau hal yang besar. Untuk itu penelitian, pengetahuan dan pemahaman
terhadap budaya Jepang bagi orang Indonesia atau sebaliknya, sangat dibutuhkan untuk
memperlancar komunikasi sekaligus meminimalisai kesalahpahaman yang mungkin
selama ini terjadi. Sekaligus hal ini juga ikut memelihara keberlangsungan hubungan
antara Jepang dan Indonesia dalam segala bidang.

2.12 Studi Kasus Komunikasi Budaya


Komunikasi Mahasiswa Papua dan Jawa di Universitas Brawijaya
Ditinjau dari aspek bahasa, perbedaan bahasa menjadi salah satu kendala bagi
mahasiswa Papua Junior (semester 2) untuk bisa berkomunikasi secara layak dengan
dengan mahasiswa Jawa. Kebiasaan mahasiswa Jawa, yang sering berbahasa daerah
ataupun mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa daerah dalam komunikasi non-
formal, menjadi kendala bagi mahasiswa Papua untuk langsung bisa melibatkan diri
dalam komunikasi sehari-hari. Sebagai efeknya, ketika berada di tengah-tengah teman
Jawa mereka lebih banyak diam. Beberapa mahasiswa Papua yunior menyatakan, ketika
berkomunikasi dengan teman Jawa yang sudah biasa mengajak mereka berinteraksi,
mereka tidak segan menanyakan arti kata-kata yang tidak dipahami. Tetapi ketika berada
di tengah orang yang belum akrab, mereka dihinggapi rasa malu atau enggan menanyakan
hal yang kurang mereka pahami secara terus terang sehingga komunikasi antar
mahasiswa beda etnis tersebut sering diwarnai ketidakpastian tanpa klarifikasi. Dalam
komunikasi formal, mahasiswa Papua juga sering tidak melakukan klarifikasi jika kurang
memahami pesan yang disampaikan oleh komunikator.

17
SOLUSI
Solusi bagi mahasiswa dari papua yaitu, lebih berani dalam menanyakan hal-hal baru
kepada teman-teman mahasiswa jawa, serta tidak malu dan enggan dalam mempelajari
hal-hal baru. Bagi mahasiswa jawa seharusnya lebih menyesuaikan diri, dan lebih
bertoleransi dalam meggunakan komunikasi, hendaknya mereka mengajak teman dari
papua berkomunikasi namun degan meggunakan bahasa indoensia yang baik dan benar
agar mereka mengerti dan bisa lebih aktif lagi dalam berkomunikasi.

18
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Komunikasi antarbudaya menunjukkan pada suatu fenomena komunikasi dimana para
pesertanya memiliki latar belakang budaya yang berbeda terlibat dalam suatu kontak
antara satu dengan yang lainnya, baik secara langsung atau tidak langsung. Dari beberapa
definisi, dapat disimpulkan bahwa komunikasi antar budaya dapat diartikan sebagai
komunikasi yang terjadi diantara orang-orang yang memiliki latar belakang budaya yang
berbeda. Setiap proses komunikasi pastilah terkait dengan adanya tujuan atau harapan
tertentu, apabila kita mengetahui tjuan aktivitas komunikasi yang ingin kita capai, maka
dengan sendirinya kita akan merancang suatu strategi komunikasi yang relevan. Di
samping itu, komunikasi juga menunjukan suasana aktif diawali dari seorang
komunikator menciptakan dan menyampaikan pesan, menerima umpan balik dan begitu
seterusnya yang pada hakikatnya menggambarkan suatu proses yang senantiasa
berkesinambungan. Adanya perbedaan latar belakang budaya dapat menimbulkan
kesulitan dalam berkomunikasi, karena terjadinya perbedaan perbedaan penafsiran atau
interpretasi atas pesan dan simbol yang di gunakan dalam komunikasi itu.

19
DAFTAR PUSTAKA

ANZDOC. (-, - -). BAB II . Retrieved from TEORI KOMUNIKASI DAN KOMUNIKASI
ANTARBUDAYA. ISTILAH KOMUNIKASI ATAU DALAM BAHASA INGGRIS
COMMUNICATION BERASAL DARI KATA: https://adoc.pub/bab-ii-uraian-
teoritis-ii1-teori-komunikasi-dan-komunikasi-
a.html#:~:text=Jadi%2C%20teori%2Dteori%20komunikasi%20antarbudaya,Liliweri
%3A%202001%3A%2029).
Arkanudien. (2009, Maret 25). Memahami Perbedaan Budaya dalam Komunikasi Antar
Budaya. Retrieved from Perbedaan Budaya, Komunikasi Antar Budaya:
https://arkandien.blogspot.com/2009/03/memahami-perbedaan-budaya-melalui.html
Dina Sudarmika, S. M. (2020, Maret -). JURNAL ORATIO DIRECTA VOL. 2 NO. 2.
Retrieved from MEMAHAMI PERBEDAAN KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DI
LINGKUNGAN TEMPAT KERJA: file:///C:/Users/hape/Downloads/115-262-1-
PB%20(1).pdf
Ima Hidayati Utami, D. W. (-, - -). Artikel Mod Kom Jurnal. Retrieved from Analisis Model
Komunikasi Antarbudaya: Studi Kasus Komunikasi Mahasiswa Papua dan Jawa di
Universitas Brawijaya: http://fisip.ub.ac.id/wp-content/uploads/2013/08/artikel-model-
kom-jurnal-profit.pdf
Lagu, M. (2016, - -). Komunikasi Antar Budaya. Retrieved from KOMUNIKASI ANTAR
BUDAYADI KALANGAN MAHASISWA ETNIK PAPUA DAN ETNIK
MANADO UNIVERSITAS SAM RATULANGI MANADO:
https://media.neliti.com/media/publications/93124-ID-komunikasi-antarbudaya-di-
kalangan-mahas.pdf
Malang, E. U. (-, - -). Teori Budaya Kerja. Retrieved from Budaya Kerja: http://etheses.uin-
malang.ac.id/1817/6/09410014_Bab_2.pdf
SUDARTO, E. (2015, September 28). binmasnokenpolri.com. Retrieved from High Context
and Low Context communication:
https://www.binmasnokenpolri.com/2015/09/28/high-context-and-low-context-
communication-komunikasi-pada-fungsi-reserse-dan-pada-fungsi-intelijen/
Uinsby, D. (-, - -). Kajian Teoritis. Retrieved from Karakteristik Komunikasi Antar Budaya:
http://digilib.uinsby.ac.id/16608/56/Bab%202.pdf
Walisongo, E. (-, - -). Dakwah Komunikasi. Retrieved from Pola Komunikasi Antar Budaya:
http://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/1914/3/091211042_Bab2.pdf
Yogya, M. (-, - -). Landasan Teori. Retrieved from Komunikasi Antar Budaya:
http://eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1781/3/BAB%20II.pdf

20

Anda mungkin juga menyukai