Anda di halaman 1dari 15

INKLUSIVISME DALAM DAKWAH

Kelompok 6
Aidal Rahmada Fitri, Meta Widari, Ratnayati
Program Studi Manajemen Dakwah
Aidalrahmada@gmail.com, metawdr13@gmail.com ,
Ratnaytiofficial22@gmail.com

Abstrak
Dakwah dilakukan sebagai jalan untuk menciptakan kedamaain atau sebagai
upaya amar ma`ruf dan nahi mungkar, untuk keharmonisan dunia dan akhirat.
Tugas dakwah merupakan tugas setiap individu dan dilakukan dengan cara-cara
yang hikmah sebagaimana telah dianjurkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur`an.
Berangkat dari realitas yang majemuk dalam segala aspek masyarakat serta nilai-
nilai lokal yang inheren, dakwah inklusif tumbuh dan berkembang dengan
sendirinya hingga selanjutnya terbentuk dan mengakar sangat dalam dan menjadi
titik tolak dalam dakwah Islam. Hal ini juga terdorong dari suatu keyakinan
bahwa setiap agama membawa ajaran keselamatan. Semua agama pada
substansinya adalah sama, namun memiliki syarat dan ajaran yang berbeda-beda.
Inklusivisme merupakan fitrah yang telah dititipkan Tuhan kepada setiap manusia
agar membangun kesetaraan, persamaan, kerukunan, dan keadilan. Inklusivisme
merupakan salah satu jalan untuk membangun peradaban toleransiyang beraspek
kehendak kuat untuk memahami pihak lain tanpa harus kehilangan jati diri
sendiri. Selain itu, esensi dari paham inklusivisme adalah dibawanya pesan-pesan
kemanusiaan yang bersifat universal dengan menumbuhkembangkan sikap-sikap
serta prasangka yang baik terhadap sesama. Mengenal dan memahami pribadi
orang lain akan memudahkan jalan untuk mengenali dan menjalin kerjasama.

Kata Kunci: Dakwah, Inklusivisme, Toleransi

Pendahuluan
A. Latar Belakang
Dakwah adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk menyampaiakan ajaran Islam
melalui lisan, tindakan, atau perbuatan dan ketauladanan. 1 Dakwah adalah sebuah proses terus
menerus menuju kepada yang baik dan yang lebih baik dalam mewujudkan tujuan dakwah,
sehingga dalam dakwah terkandung ide dinamis, sesuatau yang terus tumbuh dan berkembang
sesuai tuntutan ruang dan waktu. Menjadi suatu keharusan dalam melaksanakan dakwah agar
tetap kontestual dengan jamannya. Proses dakwah demikian perlu untuk melihat pluralistik
dalam masyarakat dalam melakasanakan dakwah Islam. Itulah mengapa perlu mendorong

1
Sampo seha, Paradigm Dakwah Menata Ulang Dakwah di Indonesia (Makassar: Alauddin University press,
2012) h. 2.
1
dakwah Inklusif sebagai alternative dalam menata dakwah pada aspek konsep yang mesti di
implementasikan secara baik dan benar dalam masyarakat.
Pengembangan dakwah inklusif bertitik tolak dari berbagai problem yang ada di tengah-
tengah masyarakat, berdasarkan kebutuhan akan hal yang tengah di perhadapakan oleh situasi
saat ini, perumuskan dalam materi dakwah (maddah) untuk mengintegrasikan kehiduapan
sosial yang pluralis. Inklusivisme dalam Islam, bersifat sangat longgar kepada orang-orang di
luar keyakinannya, tidak menjustis apalagi menganggap salah dan sesat agama lain. Sesuai
dengan ajaran yang terdapat dalam al-Qur`an, Islam sangat menekankan kerukunan dan tidak
memberikan paksaan kepada non-Islam untuk keluar dari keyakinannya, karena memang
Allah SWT sudah memberikan penjelasan agama yang bagaimana yang palig benar dan Dia
memberikan kelonggaran kepada kita untuk memilih sesuai apa yang diyakini oleh kita
sendiri. Inklusifisme Islam sebagaimana di dalam QS Al-Fushshilat/41: 33,

“Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah
dan mengerjakan kebajikan dan berkata, “Sungguh, aku termasuk orang-orang muslim (yang
berserah diri)?”.

Dakwah Islam adalah panggilan dengan cara yang halus, baik, dan hendak dilakasanakan
dengan jalan yang tanpa paksaan. Dengan demikian, Islam mengakui hak hidup agama-agama
lain, dan membenarkan para pemeluk agama-agama lain tersebut untuk menjalankan ajaran-
ajaran agama masing-masing. Disinilah terletak dasar ajaran Islam mengenai toleransi
beragama. Islam memang menutut kepada setiap pemeluknya untuk mendakwahkan Islam
kepada seluruh umat manusia tetapi memperhatikan kemajemukan masayarakat menjadi hal
penting dalam dakwah Islam tersebut.
Penataan dakwah Islam ini menjadi perlu dalam merawat kebhinekaan yang tetap
menjadi dasar pengikat dalam kehidupan dan menghargai keberagaman menjadi kesemstian
yang ada dalam masyarakat saat ini. Kreatifitas dan inovasi umatlah yang membuat Islam
hingga hari ini memapu beradapatasi dengan segala perubahan jaman yang terjadi dalam
masyarakat. Sehingga mampu menjadi agama yang dapat dipilih oleh orang yang diluar Islam
lewat berbagai kemajemukan wajah Islam yang damai.

B. Tujuan Kajian
1. Untuk mengetahui apa itu inklusivisme dan bagaimana peranannya dalam agama
2. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan inklusivisme dalam dakwah Islam

C. Manfaat Kajian
Hasil kajian ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan pembaca mengenai
inklusivisme dalam beragama, khususnya keberadaan inklusivisme dalam dakwah Islam.

2
Kajian Pustaka/Kajian Teoritis
Dakwah jika ditinjau dari etimologis berasal dari bahasa arab da`a-yad`u-da`watan, yang
berarti ajakan, seruan panggilan atau undangan. 2 Sedangkan terminologi menurut Prof. Dr. M.
Quraish Shihab dakwah adalah seruan atau ajakan kepada keinsyafan atau usaha mengubah
situasi yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap pribadi maupun masyarakat. Dalam
maksud lain dakwah juga bisa mencakupi doktrin secara universal dalam upaya meyakinkan
umat manusia lainya, jika melihat dari sejarah bahwa kedatangan Islam di Indonesia telah
memberi dampak perubahan melalui sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Pelaksanan tersebut
juga dilakukan dengan membentuk struktur organisasi modern.
Kemajemukan sikap masyarakat di Indonesia sangat masif, sikap demikian sebagaimana
diklasifikasikan menjadi lima tipologi yaitu; Eklusivisme, inklusivisme, pluralisme,
ekstektivisme, dan universalisme. 3 Pertama, eklusivisme, yaitu sikap keagamaan yang
memandang bahwa ajaran yang paling benar adalah agama yang di peluknya. Kedua,
inklusivisme yaitu sikap keagamaan yang berpandangan bahwa di luar agama yang di
peluknya, juga terdapat kebenaran meskipun tidak seutuh dan sesempurna agama yang di
anutnya. Ketiga, pluralisme merupakan sikap keagamaan yang berpandangan bahwa secara
teologis, pluralitas agama dipandang sebagai realitas niscaya yang masing-masing berdiri
sejajar sehingga semangat misionaris dan dakwah di anggap “tidak relevan”. Keempat,
eklektivisme yaitu sikap keaagamaan yang berusaha memilih dan mempertemukan berbagai
ajaran agama yang dipandang baik dan cocok untuk dirinya sehingga format akhir dari sebuah
agama menjadi semacam mozaik eklektik. Kelima, universalisme yaitu sikap keagamaan yang
berpandangan bahwa pada dasarnya semua agama adalah satu dan sama, hanya karena faktor
historis yang menyebabkan agama tampil dakam format yang plural.
Melihat dari kedua istilah dakwah dan inklusivisme di atas tampak ada korelasi dalam
pelaksanaan kegiatan dakwah sebagai aktivitas sosial kemasyarakatan dan bertuntut untuk
berwatak terbuka. Dalam konteks kebutuhan dakwah hari ini pelaksanaan dakwah sekiranya
memberikan inovasi baru dalam masyarakat dan memperhatikan keberlangsungan kehidupan
berbangsa dan bernegara dengan segala kemajemukan yang ada. Sekiranya rekonstruksi itu
dilakukan dalam upaya agar Islam dapat diterima sebagai agama rahmat bagi semesta alam,
pelaksanaan dakwah inklusif atau dakwah yang hendaknya memperhatikan aspek perbedaan,
dengan tidak memaksa keyakinan yang dimaksud untuk dipercaya oleh orang lain, karena
kebenaran agama harus diterima tanpa paksaan.
Pengembangan dakwah inklusif mendasar pada: pertama, menghormati perbedaan.
Masih disayangkan praktik dakwah Islam di Indonesia masih diwarnai oleh praktik dakwah
yang eksklusivisme yang melahirkan pandangan bahwa ajaran yang paling benar hanyalah
agama yang dipeluknya. 4 Karenanya mereka menggangap orang lain terkutuk dalam
pandangan Tuhan. Islam sebagai agama samawi dan terakhir yang seluruh ajaranya
peruntukan bagi rahmatan lil`alamin. Oleh karena alam semesta ini pada dirinya mengandung
keanekaragaman, maka ungkapan untuk seluruh alam dengan sendirinya mengandung

2
Mulyadi, Dakwah inklusif (Makassar: Alauddin University Press, 2013), h.1
3
Abu bakar, MS, Argument Al-Qur‟an tentang Eksklusivisme, Inklusivisme dan Pluralisme, (jurnal Toleransi:
media komunikasi umat beragama, Vol. 8, No. 1, Januari-Juni, 2016), h. 46
4
Mulyadi, Dakwah inklusif, h. 65
3
pengertian dengan semua perbedaan yang dimiliki oleh alam semesta itu. Hal ini juga bisa di
lihat dari Firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah /2: 256,

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan)
antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan
beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat
kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui”.

Ayat di atas sudah cukup jelas dalam melihat fenomena perbedaan yang ada dalam
masyarakat. Islam yang menekan tentang pentingnya pengembangan tali persaudaraan dan
persamaan di antara umat manusia serta mengingkari kebencian di antaranya. Inti sari dari
dakwah adalah petunjuk atau huda. Bagaimana manusia menjaga nilai dan martabat
kemanusiaan itu supaya jangan melunjur ke derajat yang paling rendah. Untuk itulah dakwah
Islam hadir sebagai petunjuk agar kelak manusia mencapai jalan kebenaran dan kebahagiaan.
Kedua, memerhatikan hubungan antar umat beragama. Dalam masyarakat modern yang
kompleksitas cukup padat maka pengembangan dakwah Islam di tinjau dari kuantitas terbagi
menjadi dua hal yaitu pengembangan dakwah di dalam umat Islam yang sudah menyatakan
keislamannya disini dilaksanakan amar makruf nahi mungkar, sedangkan dakwah yang
dilaksanakan terhadap orang yang menerima Islam atau dakwah keluar disini dilaksanakan
penyampaian ajaran Islam secara umum. 5 Oleh karena masyarakat Indonesia yang heterogen
dalam berbagai aspek maka dakwah Islam dilakukan dengan cara yang bijaksana. Kebenaran
Islam kita terima sebagai kepercayaan yang mutlak kebenaranya dan dianut sebagai jalan
keselamatan atas hidup sebagaimana dalam QS Ali-Imran/3: 19,

“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah
diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka.
Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat
perhitunganNya.”.

5
Sampo seha, “Paradigma Dakwah Menata Ulang Penerapan Dakwah, (Makassar, Alauddin University Press,
2012) h. 164
4
Ayat di atas mempertegas kemutlakan atas Islam di antara agama wahyu (langit). Lalu
bagaimana dengan agama di luar Islam. Dari berbagai konsep al-Qur`an di atas, para juru
dakwah dalam melaksanakan tugasnya harus benar-benar bijaksana, dan pandai-pandai
memilih cara dan kata yang menggembirakan, sehingga mampu mendekatkan sasaran dakwah
kepada Islam.
Dakwah pula sebagai suatu ikhtiar melanjutkan taradisi Nabi terdahulu dalam
menyadarkan manusia harus sungguh-sungguh melihat perbedaan walaupun risalah dakwah
salah satu tujuan akan mendatangkan rahmat bagi seluruh alam. Kebutuhan akan strategi
dakwah dalam menghadapi masyarakat dengan keadaan sepert ini menjadi hal yang sangat
urgen. Melaksankan dengan cara yang bijaksana dan memperhatikan situasi, strategis, dan
kondisi inilah menjadi celah agar dakwah islam dengan mudah di terima oleh masyarakat.
Tiga, ramah budaya. Dalam buku-buku sejarah kita telah dijelaskan mengenai kepercayan
atau Agama masyarakat jauh sebelum kemerdekan, yaitu masyarakat nusantara yang masih
memiliki suatu kepercayaan animisme dan dinamisme lalu bertransisi kepada agama Hindu
dan Budha. Islam kemudian hadir di tengah-tengah kepercayan tersebut kemudian
berakulturasi dengan budaya yang ada sehingga perlahan Islam menjadi budaya baru ditengah
budaya masyarakat yang ada.
Penyebaran yang begitu cepat mamasuki lapisan masyarakat luas yang memiliki karakter
yang beragam akibat latar kehidupan masing-masing misalnya kebudayaan pedalaman,
kebudayaan nalayan dan kebudayaan petani. Hal ini dengan sendirinya mendorong lahirnya
transformasi nilai yang tak terhindarkan dari nilai-nilai Islam yang murni. hal lain juga yang
patut di lihat yaitu latar budaya masyarakat yang begitu jauh berbeda kondisi geografi yang
memisahkan antara pulau-pulau nusantara dan Arab. Proses kompromi kebudayaan seperti ini
tentu membawa resiko yang tidak sedikit, karena dalam keadaan tertentu seringkali
mentoleransi penafsiran yang mungkin agak menyimpang dari ajara Islam yang murni. 6 Dan
pada akhirnya melahirkan apa yang kita kenal dengan istilah singkritisme atau Islam abangan.
Dari perubahan aspek di atas maka pengembangan dakwah Islam juga atuomatis harus
berubah, adanya kemungkinan akulturasi timbal balik antara Islam dan budaya lokal diakui
dalam kaidah Fiqih “al-adah syari‟ah muhakkamah” artinya adat dan kebiasaan suatu
masyarakat yaitu budaya lokal, adalah sumber hukum.
Bertitik tolak dari hal demikian maka budaya bukan hal yang tidak mungki menjadi
metode dakwah, tentunya harus ada perpaduan antara Islam dan budaya. Dapat kita rujuk
pada salah satu ayat QS An-Nahl/16: 125,

6
Muhammad Harfin Zuhdi, Dakwah dan Dialektika Akulturasi Budaya, (jurnal Religia Vol. 15 No. 1, April 2012)
h. 48
5
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan
berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang
lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa
yang mendapat petunjuk.”

Dari uraian di atas maka pengembang dakwah pada aspek budaya hendakanya
dilakasanakan dengan betul-betul menjiwai perbedaan yang ada dan menyadarkan masyarakat
untuk menerima dengan cara yang hikmah. Demi terciptanya harmonis dalam lingkungan
masyarakat.

Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu jenis penelitian
yang berusaha menggali dan menjawab persoalan melalui sumber-sumber atau bahan
kepustakaan, pertama berbagai literatur yang terkait dengan objek penelitian. Pengumpulan
sumber dimulai dengan mengumpulkan sejumlah literatur yang terkait dengan pembahasan.
Kemudian dilakukan untuk menggali dan mencari jawaban atas permasalahan yang telah
dirumuskan. Kemudian setelah itu dilakukan klasifikasi untuk memudahkan penyajian
analisis.
Penelitian dilakukan sebagian besar dengan meneliti dan mengutip pemikiran tokoh-
tokoh yang tertuang dalam banyak literatur seperti, dokumen, buku-buku, jurnal dan berbagai
sumber ilmiah lainnya yang terkait. Data dalam penelitian ini di peroleh melalui studi
kepustakaan, dengan cara mengumpulkan data-data atau dokumen terkait yang relevan. Lalu,
teknik analisa dan pengolahan data dilakukan dengan penegakan teknik dan interpretasi data
dengan berpikir induktif, yaitu mengurai data yang bersifat khusus kemudian mengambil
kesimpulan yang bersifat umum. Instrumen penelitian yaitu oleh peneliti itu sendiri dan di
dukung oleh pedoman penelitian untuk menghasilkan data yang cukup valid dan akurat dari
penelitian.

6
Hasil dan Pembahasan
Insklusivisme adalah sikap keagamaan yang berpandangan bahwa di luar agama yang
dipeluknya, juga terdapat kebenaran, meskipun tidak seutuh dan sesempurna agama yang
dianutnya. Kelompok inklusif biasanya, cenderung mendorong pemeluknya bersikap terbuka
terhadap kelompok dari agama lain. Sikap terbuka akan berdampak pada relasi sosial yang
sehat dan harmonis antarsesama warga masyarakat. Inklulsivisme yang dilandasi toleransi itu
tidak berarti bahwa semua agama dipandang sama. Sikap toleran hanyalah suatu
penghormatan akan kebebasan dan hak setiap orang untuk beragama. Perbedaan agama tidak
boleh menjadi penghalang untuk saling menghargai, menghormati, dan kerjasama.
Inklusif adalah sikap berfikir terbuka dan merhargai perbedaan, baik perbedaan tersebut
dalam bentuk pendapat, pemikiran, etnis, tradisi berbudaya hingga perbedaan agama. 7 Sikap
terbuka kemudian menjadi prasyarat utama terjadianya dialog antar agama, tradisi atau dialog
antar peradaban dengan tujuan tidak lagi ada pembenaran absholut dan ekstrim dalam
berpendapat ataupun beragama, namun bukan hal ini yang dimaksud sebagai paradigma
inklusif, melainkan sebuah tujuan untuk menemukan kebenaran universal dalam setiap
perbedaan atau sekedar tidak saling mencurigai. Sikap inklusif (al-infitah) akan melahirkan
sikap untuk menghormati dan menghargai keberadaan umat agama lain.
Karena dalam ajaran agamanya sendiri menuntut untuk menghormati keberadaan agama
lain yang diakui oleh penganutnya sebagai kebenaran juga, maka ini merupakan manifestasi
sikap inklusivisme. Sikap ini selalu diikuti oleh pemberian kesempatan dan kebebasan
terhadap penganut agama untuk melakukan ritual dan peribadatannya sesuai apa yang mereka
yakini. Di dalam mengakui klaim orang lain atas kebenaran agamanya, apapun bentuk
pengakuan itu, seorang inklusif tidak pernah kehilangan karakter dan jati dirinya sebagai
seorang yang mentaati dan membela kebenaran agamanya. Dia justru menunjukkan identitas
agamanya sebagai pelaksanaan nilai luhur agamanya sendiri atas pengakuan orang lain
terhadap agamanya sendiri, dan dengan semangat keberagamaanya dia dapat bergaul dan
berkomunikasi secara elegan dengan penganut agama lain dengan tetap memegang prinsip
kebenaran universal agamanya. 8
Dalam tataran teologi, inklusif ini lawan dari eksklusif. Masalah inklusif dan ekslusif
dalam Islam merupakan kelanjutan dari pemikiran/gagasan neo-modernisme kepada wilayah
yang lebih spesifik setelah pluralisme, tepatnya pada bidang teologi. Gagasan tersebut
berangkat, bahwa teologi kita pada saat ini seperti sudah di setup dalam kerangka teologi
ekslusif yang menganggap bahwa kebenaran dan keselamatan (truth and salvation) suatu
agama, menjadi monopoli agama tertentu. Sementara agama lain, diberlakukan bahkan
ditetapkan standar lain yang sama sekali berbeda;”salah dan karenanya tersesat di tengah
jalan”.
Klaim inklusivisme ini terutama muncul setelah konsili Vatikan II di mana mereka
mengakui kehadiran Allah di dalam agama-agama lain juga. Dalam konsili tersebut
dinyatakan:

7
M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding Untuk Demokrasi dan Keadilan,
(Yogyakarta: Pilar Media, 2005), Hal, 34.
8
Iskandar Zukarnain, Realitas Keagamaan di Indonesia dan Inklusifitas Islam, makalah seminar, di Lor In Solo,
18-20 Juni 2012.
7
“Gereja Katolik tak menolak apa pun yang benar dan kudus dalam agama-agama ini. Ia
menyikapi dengan rasa hormat yang tulus jalan-jalan perilaku dan kehidupan ini, aturan-
aturan dan ajaran-ajaran yang, sekalipun berbeda dalam banyak segi dari yang dipegang
dan diteruskan oleh Gereja, namun kerap memantulkan sinar Kebenaran yang menerangi
semua manusia”.
Dalam dokumen lain di konsili tersebut juga dinyatakan bahwa:
“Mereka yang... tidak mengenal Injil Kristus atau Gereja-Nya, namun yang mencari Allah
dengan hati tulus dan tergerak oleh anugrah, mencoba dalam tindakan mereka untuk
melakukan kehendak-Nya selama mereka mengenalnya melalui suara hati mereka-mereka
juga dapat memperoleh keselamatan kekal”.
Pernyataan ini pun memiliki kemiripan dalam konteks Islam dari ayat al-Baqarah/2:62:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan


orang-orang sabi'in, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari
akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa
takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.”

Karl Rahner, seorang teoritis inklusivisme Kristen, mengajukan konsep The Anonymous
Christian, yang menyatakan bahwa agama-agama lain selain Kristen bagaikan Kristen anonim
(tak bernama) yang juga dapat memperoleh anugrah keselamatan (salvific grace). Konsep ini,
oleh Budhy Munawar Rachman, disamakan dengan makna Islam dalam arti sikap pasrah yang
ada pada agama-agama lain selain Islam.
Memang di sinilah letak perbedaan pemahaman antara kelompok eksklusivis dan
kelompok inklusivis dalam memahami makna Islam dalam ayat al-Baqarah. Bagi kaum
eksklusivis, surat al-Baqarah/2:62 di atas telah di-naskh dengan surat ali-Imran/3:38 yang
berbunyi,
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima
agama itu”.

Agama seharusnya dapat menjadi pendorong bagi umat manusia untuk selalu
menegakkan perdamian dan meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia dibumi
ini. Sayangnya, dalam kehidupan yang sebenarnya, agama justru seringkali menjadi salah satu
penyebab terjadinya kekerasan dan kehancuran umat manusia. Kenyataan pahit yang
menyangkut kehidupan umat bergama ini dialamai oleh berbagai macam pemeluk agama dan
terjadi diseluruh belahan dunia.

8
Dengan demikian seluruh manusia adalah bersaudara karena sama-sama makhluk Tuhan.
Adanya persamaan keyakinan sama-sama makhluk Tuhan dan rasa persaudaraan tersebut
yang dapat menjadi landasan toleransi. 9 Adanya keyakinan itu mengasumsikan bahwa
ciptaan-Nya juga pada hakikatnya adalah suatu kesatuan. Pandangan ini membawa pada
kesimpulan bahwa seluruh jagat raya (universe) termasuk didalamnya seluruh umat manusia
apapun bangsa dan bahasanya adalah makhluk Tuhan juga meskipun agama dan
keyakinannya berbeda.
Islam pada dasarnya adalah sebagai agama rahmatan lil‘alamin (rahamat bagi seluruh
alam semesta), meskipun islam sendiri telah menegaskan bahwa agama yang benar adalah
Islam (Ali Imran/3: 19 dan 85):

“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah
diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka.
Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat
perhitungan-Nya.”

“Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia
termasuk orang yang rugi.”

Namun secara prinsip dan kehidupan sosial bermasyarakat, Islam mengakui entitas
agama-agama lain dan membiarkan pemeluknya untuk melakukan dan menjalankan
peribadatan masing-masing. Islam tidak pernah memaksa seseorang untuk masuk Islam.
Karena keimanan seseorang dapat diterima jika hal itu dilakukan dengan sukarela tanpa ada
sedikitpun pemaksaan.Tidak ada gunanya keimanan seseorang yang lahir dari pemaksaan.
Untuk apa Islam dipaksakan, padahal kebenaran dan petunjuknya sudah sangat jelas bagi
siapapun yang menginginkan kebenaran Islam.
Sikap inklusif ada karena al-Qur`an mengajarkan paham religious plurality. Bagi orang
Islam, dianut suatu keyakinan bahwa sampai hari ini pun didunia ini akan terdapat keragaman
agama. Meskipun ada klaim bahwa kebenaran agama ada pada Islam, sebagaimana tercantum
dalam Q.S Ali Imran:13:

9
Yaya Suryana dan Rusdiana, Pendidikan Multikultural Suatu Upaya Penguatan Jti Diri Bangsa,(Bandung: CV
Pustaka Setia,2015), 330
9
“Sungguh, telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang berhadap-hadapan. Satu
golongan berperang di jalan Allah dan yang lain (golongan) kafir yang melihat dengan mata
kepala, bahwa mereka (golongan Muslim) dua kali lipat mereka. Allah menguatkan dengan
pertolongan-Nya bagi siapa yang Dia kehendaki.”

Akan tetapi di dalam Alquran disebutkan pula adanya hak orang lain untuk beragama dan
agama tidak bisa di paksakan kepada orang lain sebagaimana tercantum dalam Q.S Al
Baqarah: 256:

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan)
antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan
beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat
kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui”.

Sikap inilah yang menjadi prinsip pada masa kejayaan Islam sekaligus mendasari
kebijakan politik kebebasan beragama. 10 Inklusivisme Islam tersebut juga memberikan
formulasi bahwa Islam adalah agama terbuka. Islam menolak eksklusivisme, absolutisme, dan
memberikan apresiasi yang tinggi terhadap pluralisme.
Dakwah merupakan hal yang sentral dalam agama Islam,. Nurcholish Madjid
berpendapat bahwa dalam dakwah ada ide tentang progresivitas dan sekaligus ide dinamis.
Maksudnya, dakwah adalah sebuah proses terus menerus menuju kepada yang baik dan yang
lebih baik dalam mewujudkan tujuan dakwah, sehingga dalam dakwah terkandung ide
dinamis, sesuatau yang terus tumbuh dan berkembang sesuai tuntutan ruang dan waktu.
Menjadi suatu keharusan dalam melaksanakan dakwah agar tetap kontestual dengan
zamannya.

10
Yaya Suryana dan Rusdiana, Pendidikan Multikultural Suatu Upaya Penguatan Jti Diri Bangsa,(Bandung: CV
Pustaka Setia,2015), 329.
10
Nurcholish Madjid mendasarkan pemikiran dakwah Inklusif pada QS. AliImran (3): 104.

“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung.”

Dan juga pada ayat 110.

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu)
menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka
ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.”

Dari ayat tersebut di atas, uraian Cak Nur, terdapat tiga hal yang mendasar dan
berkaiatan, yaitu: al-da‟wah ila-khayr (menyerukan kebaiakan universal), alamru bi al-
ma‟ruf (memerintahkan kebaikan kontekstual), dan al-nahy al-mungkar (mencegah
kemungkaran). Tiga hal mendasar ini, oleh madjid disebut “trilogi”.
Dari uraian pendapat tersebut tampak bahwa pemikiran Nurcholish Madjid tampak sangat
noramatif dan vokal dalam menyusun konsep serta gagasan dalam aspek dakwah dan selalu
terintegrasi dengan bidang-bidang pemikiran sosial lainya.
Setiap khatib dan juru dakwah dapat dipastikan telah mengetahui adanya prinsip tidak
boleh dalam agama. Seiring dan di pertegas dalam QS Al-Baqarah/2: 256. Memaksakan
agama yang dianut kepada orang lain (diluar agama Islam) bukan saja hanya melanggar
prinsip kebebasan agama yang di jelasakan dalam AlQura‟an tetapi bagian dari ketidak
dewasaan sikap dalam beragama. Maka dari itu, prinsip kebebasan beragama adalah
kehormatan bagi manusia dari Tuhan, karena Tuhan mengakui hak manusia untuk memilih
jalan hidupnya, tentu tidak perlu lagi ditegaskan bahwa semua resiko pilihan itu adalah
tangunggjawab sepenuhnya manusia sendiri.
Dakwah Islam umumnya masih diyakini berasas pada al-Qur`an, maka upaya-upaya
rekonstruksi dan reinterpretasi pemahaman atas teks-teks al-Qur`an mesti dilakukan guna

11
menghindari jurang perbedaan yang jauh antara pemahamanpemahaman atas makna dan
praktek yang seharusnya dipahami da`i dengan praktik-praktik penganut agama yang tidak
terlepas dari pengaruh budaya masyarakat. Upaya ini dapat menjadi titik awal dalam
membangun dakwa Islam yang ada dalam masyarakat. Sebagai pengusung kebenaran dan
nilai-nilai universal, Islam dengan sendirinya beratak Inklusif dan terbuka, serta diharapakan
menjadi miliki semua komunitas umat manusia di muka bumi . Dari titik inilah dakwah Islam
hendak bertitik tolak dan dapat termakna menjadi agama Universal.
Dakwah Islam yang inklusif dapat kembali pada tiga aspek yang terdapat dalam ajaran
agama Islam. Nurcholish Madjid yang dikutip Luluk Fikri Zuhriyah mengatakan, Pertama,
inklusifisme Islam berpijak pada semangat humanitas dan universalitas Islam. Humanitas
mengandung arti Islam merupakan agama pada umumnya. Kedua, Islam adalah agama
terbuka yang menolak eksklusifisme dan absolutisme dan memberikan apresiasi yang tinggi
terhadap pluralisme. Ketiga, inklusifisme Islam memiliki komitmen yang kuat terhadap
pluralisme, yaitu sisem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan,
dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin atas dasar kenyataan itu.
Berangkat dari berbagai keragaman dan perbedaan dalam masyarak yang ada sehingga
harus memiliki suatu bentuk dasar sehingga perbedaan itu di bangun tampa harus
mengedepankan sentimen yang di bangun dari keragaman tersebut. Perbedaan suku, agama,
ras, dan golongan itu akan menjadi hal yang hikmah dan tak terhindarkan. Keharusan
menerima agama secara benar dengan tidak ada keterpaksaan merupan keniscahyaan, sebagai
kelanjutan dari hakikat kemanusiaan itu sendiri.
Penafsiran yang bertitik tolak dari pemkanaan atas Islam membawa kerangka teologi
inklusif sebagai agama yang bukan hanya agama yang di pahami sebagai agama dalam bentuk
formal saja melainkan sebagai jalan yang memiliki istilah yang serupa seperti sirath, sabil,
syari`ah, thariqah, minhaj dan manskh. Yang memiliki rumpun makna “jalan”. Kesemuanya
itu metafor-metafor yang menunjukan bahwa Islam adalah jalan menuju perekenaan Allah.
Segala orientasi dari sikap pasrah menjadi inti ajaran Islam yang benar di sisi Allah SWT.
Bagaimanapun orang mengakui muslim atau penganut Islam adalah tidak benar dan tidak
diterima tanpa medasi pada sikap pasrah, dari sini juga mendasari seorang muslim, jika tidak
tunduk dan pasrah kepada Tuhan, ia termasuk orang yang merugi di akhirat kelak.
Dalam pandagan Nurcholish Madjid, dakwah yang inklusif dibangun dari dua pilar:
Pertama, pluralitas sebagai sunnatullah kemajemukan (pluralitas) adalah salah satu kenyataan
obyektif komunitas umat manusia, sejenis Hukum Allah atau Sunnat Allah, dan bahwa hanya
Allah yang tahu dan dapat menjelaskan, di hari akhir nanti, mengapa manusia berbeda satu
dari yang lain.
Kedua, adanya titik temu agama-agama. Dalam al-Qur‟an ditegaskan bahwa Islam tidak
boleh dipaksakan oleh siapa pun kepada siapa pun, karena jika Tuhan menghendaki, maka
semua manusia akan beriman. Allah swt. berfirman dalam QS. Yunus/10: 99.

12
“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi
apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman?”

Islam seperti agama lainnya tidak dapat mengelak diri dari penyebaran misinya yang
diyakini mempunyai kebenaran eksklusif. Tetapi karena dakwah adalah “panggilan”,
konsekuensinya adalah tidak boleh ada pemaksaan. Dakwah harus memperhatikan realitas
sosial yang plural.
Dakwah Inklusif dilakukan atas dasar atau reaksi dari tindakan yang terjadi dalam
masyarakat yang menyebakan dis-harmonis atau ketimpangan dari implementasi keagamaan
yang kaku serta didorong oleh dalil agama yang di tafsiran secara sepihak dan tampa ada
pembanding. Dakwah inkluisf hadir dalam melihat perbedaaan pada aspek agama, budaya dan
kelompok dan memasuk di dalamnya tampa harus menciptakan situasi tumpang tindih
sehinga masyarakat terasing dengan kehadiran dakwah Islam yang inklusif menabrak tembok
budaya dan agama yang berbeda dengan melihat denga cara pandang oposisi biner atau hitam
putih.
Tantangan dalam implemtasi dakwah semakin kompleks dan menjadi pemicu untuk
berupaya dalam menyebarkan dakwah Islam dalam masyarakat. Radikalisme,
fundamentalisme, dan eklusivisme menjadi hal yang niscaya dalam ekspresi keagamaan,
semua memiliki dasar dalam al-Qur`an dan Sunnah. Sebuah tuntutan pula untuk menjelsakan
atau memperkenalkan Islam dalam sudut pandang yang berbeda. Dari berbagi fenomena
keagamaan yang ada tersebut mestinya harus ada upaya untuk memunculkan gerakan Islam
yang sebanding dengan tindakan yang berbeda serta harus memperhatikan kaidah Islam yang
menjadi pegangan agar Islam tidak melulu dipandang sebagai agama yang anti terhadap
perubahan sosial serta dapat menyesuaikan diri dengan kemajuan ilmu pegetahuan dan
teknologi, bila perlu Islam harus menjadi agama yang menjadi titik awal dalam perencenakan
kemajuan pengetahuan dan pengembangan teknologi di masa depan.

13
Kesimpulan
Insklusivisme adalah sikap keagamaan yang berpandangan bahwa di luar agama yang
dipeluknya, juga terdapat kebenaran, meskipun tidak seutuh dan sesempurna agama yang
dianutnya. Kelompok inklusif biasanya, cenderung mendorong pemeluknya bersikap terbuka
terhadap kelompok dari agama lain. Inklusivisme sendiri bersifat lebih longgar dan terkesan
fleksibel terhadap sesuatu yang di luar dirinya, tidak kaku dan memberi jalan kepada selain
dirinya untuk mengakui kebenaran mereka. Jadi, asumsi dasar inklusivisme agama adalah
mengakui bahwa kebenaran hanya terdapat dalam agama sendiri, namun memberi kesempatan
atau jalan bagi mereka yang berlain keyakinan untuk mengakui bahwa agama mereka juga
benar.
Dakwah dilakukan sebagai jalan untuk menciptakan kedamaian atau sebagai upaya amar
ma`ruf dan nahi mungkar, untuk keharmonisan dunia dan akhirat. Tugas dakwah merupakan
tugas setiap individu dan dilakukan dengan cara-cara yang hikmah sebagaimana telah
dianjurkan oleh Allah swt dalam al-Qur`an. Menurut Nurcholish Madjid Dakwah inklusif
memiliki akar yang sangat dalam untuk menjadi titik tolak dalam dakwah Islam, berangkat
dari realitas yang majemuk dalam segala aspek masyarakat, serta nilai-nilai lokal yang inhren
tumbuh dan berkembang dengan sendirinya dakwah inklusif harus memperhatikan keadaaan
demikain.
Pandangan Islam terhadap agama-agama lain adalah sebagai perbedaan dan keragaman
hakikat dan sunnatullah. Islam memperlakukan agama-agama lain sebagaimana adanya dan
membiarkan mereka untuk menjadi diri mereka sendiri, tanpa reduksi dan manipulasi. Ada
banyak ayat-ayat yang membuktikan bahwa dalam Islam terdapat paham inklusivisme. Islam
sangat menekankan kerukunan dan tidak memberikan paksaan kepada non-Islam untuk keluar
dari keyakinannya, karena memang Allah SWT sudah memberikan penjelasan agama yang
bagaimana yang palig benar dan Dia memberikan kelonggaran kepada kita untuk memilih
sesuai apa yang diyakini oleh kita sendiri.
Dakwah perlu dilakukan sebagai upaya agar dapat diterima dan terus di perbaruhkan
dalam masyarakat, untuk menghindari kejenuhan, kevakuman dan keadaan yang monoton
itulah mengapa dakwah Islam perlu di konestualisasikan (proses perbaikan yang
berkesinambungan secara keseluruhan). Dakwah Inklusif menjadi sangat penting untuk
kemudian diterapkan dalam masyarakat yang majemuk atau plural, di lain hal penetrasi
idiologi-idiologi yang tengah berkecambah dalam berbagai bentuk dalam masyarakat yang
setiap saat bisa saja merong-rong persatuan dan kebinekaan yang ada. Dakwah Inklusif dapat
menjadi titik awal bagaimana mata rantai unsur-unsur dakwah dapat di konstruksi untuk dapat
tetap kompatibel dengan zaman, dan Islam dapat sepenuh menjadi agama rahmatan lil alamin.

14
Referensi

Iskandar Zukarnain, Realitas Keagamaan di Indonesia dan Inklusifitas Islam, makalah


seminar, di Lor In Solo, 18-20 Juni 2012

M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding Untuk


Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media, 2005

MS Abu Bakar, Argument Al-Qura`an tentang Eklusivisme, Inklusifisme dan Pluralisme,


(jurnal Toleransi: media komunikasi umat Beragama, Vol.8, no, 1, januari-juni, UIN Syarif
Kasim Riau, 2016.

Mulyadi. Dakwah Inklusif Makassar: Alauddin University Press. 2013

Seha Sampo, Paradigm Dakwah Menata Ulang Dakwah di Indonesia. Makassar.


Alauddin university press. 2012.

Yaya Suryana dan Rusdiana, Pendidikan Multikultural Suatu Upaya Penguatan Jti Diri
Bangsa. Bandung: CV Pustaka Setia,2015

Zuhd, Muhammad Harfin. Fundamentalisme Dan Upaya Deradikalisasi Pemahaman Al-


Qur‟an Dan Hadis. Religia: 13, No. 1 2010.

https://media.neliti.com/media/publications/162288-ID-merajut-kerukunan-dalam-
keragaman-agama.pdf

https://media.neliti.com/media/publications/164554-ID-argumen-al-quran-tetang-
eksklusivisme-in.pdf

http://lpm.iainjember.ac.id/download/file/INKLUSIVISME_DAN_EKSKLUSIVISME_SER
TA_PENGARUHNYA_TERHADAP_PENDIDIKAN_MULTIKULTURAL.pdf

https://idr.uin-antasari.ac.id/10157/1/Inklusivisme%20Beragama.pdf

http://repositori.uin-alauddin.ac.id/16350/1/HAMIDUN%2050100115045.pdf

15

Anda mungkin juga menyukai