Anda di halaman 1dari 23

ILMU DAKWAH

ILMU DAKWAH DALAM PERSPEKTIF AKSIOLOGIS

Makalah Ini dibuat Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Ilmu Dakwah

Dosen Pembimbing : Sumaiyah, M.I.kom

Disusun Oleh :

M. Dary Fajr Kausar (11940314047)

Putri Yulyani (11940321999)

Renol Alfarisi (11940312006)

Thessy Nabella (11940322047)

Tolhah (11940325279)

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UIN SUSKA RIAU

2019/2020
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan YME, atas segala kebesaran
dan kelimpahan nikmat yang diberikan-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan
makalah tentang ilmu dakwah dalam perspektif aksiologis.

Dalam penulisan makalah ini, berbagai hambatan telah kami alami. Oleh karena itu
terselesaikannya makalah ini tentu saja bukan karena kemampuan penyusun semata-mata.
Namun, karena adanya bantuan dan dukungan dari pihak-pihak yang terkait.

Dalam penyusunan makalah ini, penyusun menyadari pengalaman dan pengetahuan


masih sangat terbatas. Oleh karena itu, penyusun sangat mengharapkan adanya kritik dan
saran dari berbagai pihak agar makalah ini lebih baik dan bisa bermanfaat.

Pekanbaru, 19 September 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................... i

DAFTAR ISI.............................................................................................................. ii

BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................. 1

1.1 LATAR BELAKANG ...................................................................... 2


1.2 RUMUSAN MASALAH ..................................................................
1.3 TUJUAN .......................................................................................... 2

BAB 2 PEMBAHASAN ..................................................................................... 3

2.1 MEMAHAMI KEBENARAN .......................................................... 4


2.2 PERSOALAN REKAYASA MASA DEPAN ................................. 7
2.3 PERSOALAN NILAI-NILAI ISLAM ............................................. 11

BAB 3 PENUTUP ............................................................................................... 18

3.1 KESIMPULAN ................................................................................. 18


3.2 SARAN ............................................................................................. 18

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 19

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Para pakar filsafat pendidikan Islam seperti Syed Naquib al-Attas menyatakan bahwa
ilmu pengetahuan modern tidak bebas nilai, ia netral sebab dipengaruhi oleh pandangan-
pandangan keagamaan, kebudayaan dan filsafat. Oleh karena itu, umat Islam perlu
mengislamisasikan ilmu.[1] Pernyataan al-Attas tersebut bahwa ilmu bebas nilai
mengindikasikan adanya aksiologi, yakni pertimbangan nilai dalam ilmu pengetahuan. Ilmu
apapun namanya, jika ia diletakkan dalam wadah yang Islami, maka ilmu tersebut adalah
“ilmu Islam” dan di luar itu tidak Islami.

Ilmu pengetahuan yang merupakan produk kegiatan berpikir manusia yang merupakan
wahana untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan pengetahuan yang
diperolehnya, termasuk di dalamnya adalah ilmu dakwah. Proses penerapan itulah yang
menghasilkan peralatan-peralatan dan berbagai sarana hidup seperti kapak dan batu di zaman
dahulu hingga peralatan komputer di zaman sekarang ini, serta alat-alat yang lebih canggih
(mutakhir) lagi untuk masa-masa mendatang. Meskipun demikian, pada hakikatnya upaya
manusia dalam memperoleh pengetahuan tetap didasarkan pada tiga masalah pokok, yakni;
apa yang ingin diketahui, bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan, dan bagaimana
nilai pengetahuan itu.[2] Masalah yang terakhir ini, yaitu nilai ilmu pengetahuan yang pada
bagian ini adalah ilmu dakwahberkenaan dengan aksiologi. Karena itu menarik untuk dikaji
apa yang dikandung dalam ilmu dakwah dan kaitannya dengan aksiologi, pertimbangan nilai
serta hal lain yang terkait dengannya.

1
1.2 RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah dalam pembahasan ini sebagai berikut :

1. Apa pengertian aksiologi ?

2. Apa nilai yang terkandung dalam dakwah berkenaan dengan aksiologi ?

1.3 TUJUAN

Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :

1. Untuk mengetahui arti aksiologis


2. Untuk mengetahui nilai yang terkandung dalam dakwah dengan aksiologis.

2
BAB II

PEMBAHASAN

Ilmu Dakwah Dalam Perspektif Aksiologis

Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari cara-cara yang berbeda di mana
sesuatu hal dapat baik atau buruk (baca: mempunyai akibat positif atau negatif) dan
hubungan nilai dengan menilai di satu pihak dan dengan fakta-fakta eksistensi objektif di
pihak lain. Aksiologi adalah perluasan dari bidang etika tradisional. Etika memusatkan
perhatiannya pada nilai-nilai normal, Aksiologi memperluas diri dengan memusatkan
perhatiannya pada semua jenis nilai. Nilai dalam etika tradisional diartikan sama dengan baik
dan jahat, sedangkan dalam aksiologi, nilai memiliki arti lebih luas lagi meliputi baik dan
buruk/jahat (dalam pengertian etika), indah dan jelek (dalam pengertian estetika), serta benar
dan salah (dalam pengertian logika). Aksiologi adalah teori tentang nilai dalam berbagai
makna yang dikandungnya.1

Dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, aksiologi dapat dipahami sebagai bidang
telaah terhadap ilmu yang mempertanyakan tujuan ilmu: apakah teori ilmu itu hanya
merupakan penjelasan objektif terhadap realitas, atau teori ilmu merupakan pengetahuan
untuk mengatasi berbagai masalah yang relevan dengan bidang kajian ilmu yang
bersangkutan.2 Tujuan dasar ilmu menurut beberapa ahli tidak selalu sama. Seperti dikutip
Muslim A. Kadir (1996), Fred Kerlinger berpendapat bahwa tujuan dasar ilmu hanyalah
menjelaskan realitas (gejala yang ada), bagi Bronowsky, tujuan ilmu adalah menemukan
yang benar sedangkan menurut Mario Bunge, tujuan ilmu lebih dari sekedar menemukan
kebenaran. Akan tetapi, juga mendapatkan kesejahteraan dan kekuasaan.3 Menurut Mahdi
Ghulsyani (1986), tujuan ilmu adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah.4 Tujuan dasar
ilmu dakwah, dengan merujuk pada beberapa ayat Al-Qur’an yang relavan, adalah untuk :

1
The Liang Gie, Suatu Konsepsi Ke Arah Penertiban Bidang Filsafat, terj. Ali Mudhofir, (Yogyakarta : Karya
Kencana, 1977), hlm. 144-145.
2
Bustanuddin Agus, The Liang Gie, Suatu Konsepsi Ke Arah Penertiban Bidang Filafat. terj. Ali Mudhofir,
(Yogyakarta: Karya Kencana, 1977 ), hlm. 144-145. Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1999), hlm.109.
3
Muslim A Kadir, “Filsafat Ilmu dan Nilai dalam Islam” dalam Chabib Thoha ed.), Reformulasi Filsafat
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 40.
4
Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut al-Qur’an, terj. Agus Effendi,(Bandung: Mizan, 1986), hlm.55.

3
1. Menjelaskan realitas dakwah sebagai suatu kebenaran
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segenap
ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu
benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia
menyaksikan segala sesuatu. (QS Fushshilat [41]: 53)
2. Mendekatkan diri kepada Allah sebagai Kebenaran
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku.
(QS Al-Dzariyat [51]: 56)
3. Merealisasikan kesejahteraan untuk seluruh alam (Rahmat li al-Alamin)
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam. (QS Al- Anbiya [21]: 107).

2.1 MEMAHAMI KEBENARAN

Dalam Al-Qur’an, kebenaran itu disebut dengan istilah al-haq. Dalam Al-Qur’an,
kebenaran berhubungan dengan keadilan dan persamaan. Hal itu mengindikasikan bahwa
setiap kebenaran terkait secara inheren dalamnya keadilan dan persamaan. Dalam Al-Qur’an,
al-haq dipakai untuk menunjuk Allah dan suatu pengertian yang berlawanan dengan arti
istilah batil dan halal. Berikut ini akan dikemukakan beberapa ayat Al-Qur’an yang di antara
kandungan katanya adalah istilah al-haq.

1. Maka (Dzat yang demikian) itulah Allah, Tuhan kamu yang al-haq. Maka tidak ada
sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan
(dari kebenaran) (QS Yunus [10]: 32)
2. (Kuasa Allah) yang demikian itu, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang al-haq
dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah adalah batil (QS Al-Hajj
[22]: 62)
3. Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya
(al-haq) dan tahulah mereka bahwa Allah lah yang al-haq (QS Al-Nur [24]: 25)
4. Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa al-haq,
supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan
kepadamu (QS An-Nisa [4]: 105)
5. Allah lah yang menurunkan kitab dengan (membawa al-haq) neraca (keadilan) (QS
As-Syura [42]: 17)

4
6. Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya. Yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya)
dan batu ujian terhadap kitab-kitab lain itu; maka putuskanlah perkara mereka
menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka
dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu (QS Al-Maidah [5]:
48)

7. Dan sekelompok dari mereka benar-benar menyembunyikan kebenara padahal


mereka tau (QS Al-Baqarah [2]:146)

8. Maka tawakallah kepada Allah, sesungguhnya kamu berada diatas kebenaran


yang nyata (QS Al-Nahl [16]:76)
9. Demi massa, sesungguhnya manusia itu dalam kerugian, kecuali orang-orang yang
beriman, beramal saleh, dan saling berwasiat akan kebenaran dan berwasiat akan
kesabaran (QS Al- Ashr [103]:1-3)
10. Bersabarlah, sesungguhnya janji Allah itu benar dan janganlah sekali-kali orang
yang tidak menyakini kebenaran itu menggelisahkan kamu (QS Ar-Rum [30]:60)
11. Maka tahulah mereka bahwa sesungguhnya yang hak itu kepunyaan Allah dan
lenyaplah dari mereka apa yang dulu pernah mereka ada-adakan (QS Al-Qashash
[28]:75)

Berapa ayat Al-Qur’an seperti di kutip di atas memberitahukan bahwa Kebenaran itu
milik allah swt. , datang dari allah, bersifat abadi, sangat nyata dan tidak pernah membuat
celaka bagi umat manusia khususnya. Kebenaran adalah allah swt., segala hal yang datang
dari allah swt. Yang di pahami di hayati dan di amalkan secara benar dan bersih dari hawa
nafsu manusia.

Dalam salah satu karya nya,5 yusuf Qardhawi (1993) mengemukakan penggunaan kata
al-haq oleh beberapa kalangan dalam pengertian masing-masing. Al-haq bagi filosofi adalah
perpaduan antara kebenaran, kebajikan dan keindahan. Maka yang menekuni bidang etika
mengartikan al-haq sebagai sisi lain kewajiban, seperti dapat di pahami dari ungkapan “setiap
hak harus di imbangi dengan kewajiban:” masih menurut yusuf Qardhawi, dalam uraian

5
Yusuf Qardhawi, Epistemologi Al-Qur’an ( al-Haq), terj. Luqman Hakiem,(Surabaya: Risalah Gusti, 1993), HLM.
3-4.

5
selanjutnya tentang kebenaran di kutip sebagai berikut. Mengenal kebenaran mengandung
arti mengenal esensi segala hal rahasia wujud dan tujuan akhir kehidupan.

Kebeneran bisa mewujud dalam aturan keadilan yang memisahkan antar Sesama
manusia, mendistribusikan hak dan kewajiban secara adil memberikan sekaligus membela
hak masing-masing individu, keluarga dan masyarakat. Kebenaran juga bisa mewujud pada
aturan keutamaan yang menjadi batas-batas mana yang bersih dan kotor.6

Kebenaran harus di tegakkan. Para penganut agama pada umumnya sepakat Bahwa
kebenaran agama bersifat absolut, sedangakan kebenaran ilmu sebagai “kebetulan”. Baginya,
jika sesuatu ilmu berbijak pada agama , maka “ kebetulannya” itu baru bisa di sebut
kebenaran. Kebenaran ilmu itu parsial dan kondisional sedangakan kebenaran (yang bukan
“kebetulan”) adalah konvergensi antara pengenalan ilmiah dengan ajaran agama yang benar.
Unutuk mengenali kebenaran terakhir, kita harus berbijak pada ciri-ciri kebenaran universal ,
dan hal itu hanya termuat dalam al-qur’an sebagai sumber kebenaran. Untuk itu, manusia
harus dapat mencari indikator nya dengan mengingkari makna kesadaran manusiawi yang
berbagi kedalam tiga tingkat kesadaran, yaitu amarah ,lawwamah, dan mutmainah.7

Kebenaran nisbi dapat diberi pengertian dengan kesesuaian antara pikiran dan kenyataan.
8
Ada yang membagi kebenaran nisbi ke dalam 4 macam, yaitu kebenaran keresponden ,
koherensi, pragmatik dan kebenaran semantik . kebenaran keresponden adalah kesesuaian
antara pernyataan dan kenyataan . kebenaran koherensi ialah pernyataan (proposisi ) di
anggap benar ketika ia memiliki hubungan dengan gagasan dan proposisi sebelumnya yang
di anggap benar. Kebenaran pragmatik , maksud nya proposisi di anggap benar jika memberi
konsekuensi praktis dan bermanfaat , yaitu ketika ia bersifat fungsional dalam kehidupan
praktis manusia. Kebenaran semantik artinya kebeneran berdasarkan sudut arti atau makna
yang terkandung dalam pernyataan yang ada.9 Noeng Muhadjir membagi kebenaran kepada
empat tingkat , yaitu kebenaran empiris rasional, kebenaran empirisetik, dan kebenaran
empiris transendental. Baginya, kebenaran itu bersifat dimensional . dimensi insaniah dari
kebenaran adalah derajat kebenaran mutlak sebagai kebijakan yang moralistik. Kebenaran

6
Yusuf Qardhawi, op.cit.,hlm.17-18. Hidayat Nattaadmadja,”Dakwah Islam di Masa Depan, Bagaimana
Dakwah di Kalangan Intelektual dan Teknokrat”, Dalam Amrullah Achmad (ed.), Dakwah Islam dan Perubahan
Sosial, (Yogayakarta: PLP2M.,1983) hlm.52-57.
7
Ibid.
8
Kenneth T. Gallagher, Epistemologi, Filsafat Pengetahuan, terj. P. Pardono Hadi, ( Yogyakarta: Kanisius,1994),
hlm. 145.
9
Miska Muhammad Amin, Epistemologi Islam, (Jakarta: UI Press, 1983), hlm.148-150.

6
insaniyah inilah telah menempuh jalan yang benar bila berusaha untuk selalu mengacu pada
kebenaran ilahiyah.10

Sampai disini dapat dikemukakan, bahwa telaah aksiologi ilmu dakwah terutama meliputi
ilmu dan moral yaitu ilmuan dakwah dan tanggung jawab sosialnya. Kebenaran yang
ditemukan ilmu dakwah harus dipakai untuk membela, menegakkan dan melestarikan
kebenaran bukan untuk membela, menegakkan dan melestarikan kesalahan, kebatilan dan
kesesatan.

2.2 PERSOALAN REKAYASA MASA DEPAN

Perubahan sosial adalah perubahan dalam segi struktur dan hubungan sosial. Bisakah
arah perubahan sosial diramaikan dan dikendalikan menjadi perdebatan terutama dikalangan
mengarahkan perubahan sosial. Perubahan sosial berjalan dengan hukumnya sendiri tanpa
ada kemampuan manusia untuk ikut terlibat di dalamnya. Bagi mereka,upaya perencanaan
sebenarnya tidak akan mengubah apa-apa kecuali sekedar cara penerapan yang lebih rapih
atas perubahan yang tidak akan dapat dihindari. Namun demikian, ada juga yang berpendapat
sebaliknya. Bahwa manusia dapat memberikan pengaruh tertentu terhadap arah perubahan
sosial.11 Merujuk pada pendapat terakhir, perubahan sosial yang direncanakan disebut dengan
beberapa istilah, diantaranya rekaya-sosial, perencanaan-sosial dan manajemen-perubahan.
Dari ketiga istilah itu, rekayasa sosial memiliki makna yang lebih pasti dibandingkan dengan
manajemen-perubahan, dan memiliki jangkauan makna yang lebih pramagtis dibandingkan
dengan istilah perencanaan sosial. Objek perubahan dari pengertian yang ditunjuk, oleh
istilah manajeme perubahan kurang pasti dan terlalu luas, sedangkan objek perubahan dari
istilah rekayasa sosial memiliki tingkat kepastian tertentu, yaitu perubahan sosial menuju
suatu tatanan dan sistem baru sesuai dengan apa yang dikehendaki perekayasa. Dibandingkan
pengertian yang diacu isitilah perencanaan sosial, istilah rekayasa sosial mengandung arti
perencanaan tertentu, tidak dalam arti seluruh perencanaan diimplementasikan hingga

10
Noeng Muadjir, “Metodologi Penilitian Agama”, Ceramah Ilmiah, dalam rangka Visiting Professor, di IAIN Ar-
Raniry Banda Aceh, 13-15 Mei 1997. Bandingkan dengan Noeng Muhadjir, Metodologi Penilitian Kualitatif
(Yogyakarta: Rakesarasin, 1996).
11
Paul B Horton and Chaster L. Hunt, Sosiologi, Jilid ll, terj. Aminuddin Ram dan Tita Sobari, (Jakarta:Erlangga,
1989), hlm 208-242.

7
teraktualisasikan secara nyata. Maka rekayasa sosial mengandung makna pramagtis dengan
relatif lebih pasti12

Istilah dakwah mengandung penolakan esensial terhadap ide determinisme mutlak dari
sejarah dan teologi. Maka ilmuwan dakwah tertentu sepakat bahwa arah peubahan sosial
dapat diramalkan, diarahkan, dan direncanakan. Perubahan sosial yang bergerak melalui
rekayasa sosial terutama dapat dimulai dari perubahan individual, baik dalam cara berfikir
maupun bersikap. Dalam konteks dakwah, arah perubahan yang dituju adalah pembentukan
Khairul al-Ummah. Hal itu diawali dengan pembentukan Khairul al-bariyah, yaitu dengan
mentranformasikan iman ke dalam amal saleh, kemudian mengembangkan amal saleh
individual ke dalam amal saleh sosial. Secara berkelanjutan, Khairul al-Bariyah yang
menjadi basis Khairul al-Usrah akan memunculkan pembentukan Khairul al-Usrah, lalu dari
Khairul al-Usrah yang merupakan basis khaira jamaah akan melahirkan khaira jamaah,
demikian seterusnya hingga lahir Khairul al-Ummah.

Dalam Al-Quran, Khairul al-Ummah disebut dengan istilah ummah muslimah atau umat
wasat dalam QS Al-Baqarah[2]:128-143

Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan
(jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau ( Umat
Muslimah) dan tunddukanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami.
Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS.Al-
Baqarah [2]:128)

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan Kamu (Umat Islam), Umat yang adil dan
pilihan (Umat Wasath) saksi atas (pebuatan) kamu. Dan kami tidak menetapkan kiblat yang
menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa siapa
yang mengetahui Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu
terasa amat berat, kecuali bagi orang –orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah;dan
Allah tidak akan menyia-nyiakan

Umat dengan sebutan itu adalah umat yang terdiri dari orang-orang yang beramal ma’ruf
nahi mungkar (QS Ali-Imran [3]:104), berpedoman pada Al-Haq (QS Yunus [10]:32 dan QS
Al-Zumar [39]:66), berpedoman pada ilmu pengetahuan (QS Ali-Imran [3]:7) dan bersikap

12
Dimitri Mahayana, “ Antara Dosa Sosial dan Rekayasa Sosial”, dalam Jalaluddin Rakhmad, Rekayasa Sosial,
Reformasi atau Revolusi, (Bandung: Remaja Rosdakaryan, 1999), hlm.vi

8
hanif (cenderung pada kebenaran) (QS Ar-Rum [30]:30), sebagaimana ayat-ayat sebagai
berikut :
1. Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyeru kepada yang ma’fuf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-
orang yang beruntung. (QS Ali-Imran [3]:104)
2. Maka (Dzat yang demikian) itulah Allah, Tuhan kamu yang al-Haq. Maka tidak ada
sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan
(dari kebenaran). (QS Yunus[10]:32)
3. Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan kamu termasuk orang-
orang yang bersyukur. (QS Al-Zumar[39]:66)
4. Dialah yang menurunkan Al-kitab (Al-Qur’an) kepada kamu diantara (isinya) ada
ayat-ayat muhkamat, isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) adapun orang-orang
yang dalam hatinya kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang
mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak
ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalami
ilmu berkata : “ Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semua nya itu
dari sisi Tuhan kami "Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)
melainkan orang-orang yang berakal. (QS Al-Imran [3]: 7)
5.Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus (hanief) kepada agama (Allah) ;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah mendapatkan manusia menurut fitrah itu.Tidak
ada perubahan pada fitrah Allah.(itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui. (QS Al-Rum [30]: 30)

Pembentukan Khairu al-Ummah memiliki nilai strategis bagi umat manusia pada
umumnya dalam kedudukannya sebagai saksi. Dalam hubungan itu, Nabi Muhammad Saw.
diposisikan sebagai saksi untuk Khairu al-Ummah tersebut (QS Al-Baqarah [2]: 143).
Meskipun Islam tidak mengenal paksaan dalam beragama, namun hal itu tidak menafikan
bahwa manusia harus bergerak merencanakan arah perubahan, sekuat tenaga.

Dengan merujuk pada pendapat Jalaluddin Rakhmat (1999), rekayasa sosial dapat
dipahami sebagai pemasaran sosial. Dalam pengertian tersebut, sebagai upaya merekayasa
umat menuju ke arah pembentukan Khairu Al-Ummah, da’i dalam proses dakwahnya dapat
dikatakan sebagai memasarkan rencana atau solusi atas problem-problem sosial yang
dihadapi masyarakat, dalam konteks penegakan kebenaran dan keadilan. Dakwah dalam
pengertian itu dapat mengambil bentuk kegiatan yang berupa aksi-aksi kolektif, teknik-teknik
9
pengembangan masyarakat, gerakan sosial bahkan bisa juga berbentuk revolusi. Untuk
menjelaskan keberhasilan Rasulullah Saw. Dalam membangun ke-islam-an para sahabat,
Jalaluddin Rakhmat menafsirkan QS Al-Hadid [57]: 25. Terjemahan atas ayat yang dimaksud
sebagai berikut:

Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang
nyata dan telah kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya
manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan kami ciptakan besi yang padanya terdapat
kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan
besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-
Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.(QS
Al-Hadid [57]: 25)

Dalam QS Al-Hadid [57]: 25) terkandung antara lain tiga istilah yang di pahami oleh
Jalaluddin Rakhmat sebagai tiga macam cara bagaimana Rasulullah Saw, merekayasa umat.

1. Al-Kitab, yaitu mengembalikan umat manusia pada fitrali kemanusiaan dan nilai-nilai
ilahiyah;

2. Al-Mizan, yaitu mengembangkan argumentasi rasional dan akal sehat agar tercipta
kejernihan pola pikir;

3. Al-Hadid, yaitu berusaha memiliki kekuasaan yang sepenuhnya digunakan untuk


menegakkan keadilan, seperti yang telah diberikan oleh Allah Swt. Kepada Rasulullah Saw.

Sebagai suatu sistem, rekayasa sosial mempunyai beberapa unsur yaitu sebab, pelaku
perubahan, target perubahan, media perubahan, dan unsur strategi perubahan.

1. Strategi perubahan dapat berupa strategi pembangunan, strategi revolusi, strategi persuasi,
strategi normatif re-edukatif.

2. Pelaku perubahan pada pokoknya terdiri dari dua kelompok, yaitu leaders dan supporters.
Kelompok leaders bisa terdiri dari pengarah perubahan, pendukung perubahan dan
pembacking perubahan (seperti yang mendukung dari sumber dana), administrator,
teknisi/konsultan, organizer (ketika aksi sosial/gerakan sosial itu jelas berbentuk partai
politik, misalnya). Kelompok suppoters bisa terdiri dari aktivis (workers), penyumbang yang
tidak ikut aktif (donors) dan simpatisan.

10
3. Adapun unsur target perubahan, maka hal itu bersifat kondisional disesuaikan dengan
rekomendasi hasil penelitian dan pertimbangan di lapangan tentang apa yang dirasa sedang
mendesak untuk diselesaikan. Target itu berupa upaya membantu (korban dari masalah sosial
yang melilitnya) memprotes atau memperbarui institusi-institusi sosial.

4. Sedangkan unsur media secara garis besar dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu media
pengaruh dan media respons. Media pengaruh adalah media komunikasi yang digunakan
pelaku perubahan untuk mencegah sasaran perubahan. Sedangkan media respons adalah
media komukasi yang digunakan oleh sasaran perubahan untuk menggulingkan tanggapan
mereka. 13
Dilihat dari targetnya, fungsi-fungsi dakwah dapat dibedakan sebagai berikut :
1. I’tiyadi,yaitu ketika target dakwah adalah normalisasi tata nilai yang telah ada, hidup dan
berkembang di suatu komunitas agar tata nilai itu kembali kepada yang sesuai dengan nilai-
nilai keislaman.
2. Muharriq, ketika target dakwah berupa peningkatan tatanan sosial yang sebenarnya sudah
Islami agara semakin meningkat lagi nilai-nilai keislamannya hidup dalam komunitas
tersebut.
3. I’kaf, ketika target dakwah adalah upaya prefentif dengan sejumlah petunjuk-petunjuk dan
peringatan-peringatan yang relevan agar komunitas tersebut tidak terjerumus kedalam tatanan
yang tidak Islami atau kurang mencerminkan nilai-nilai keislaman.
4. Tahrif, ketika target dakwah adalah upaya membantu untuk ikut meringankan beban
penderitaan akibat problem-problem yang secara riil telah mempersulit kehidupan
komunitas.14

2.3 PERSOALAN NILAI-NILAI ISLAM

Nilai (value) merupakan suatu konsep yang sangat bermakna ganda. Nilai adalah
pandangan tertentu yang berkaitan dengan apa yang penting dan yang tidak penting. 15 Terma
nilai dapat dipakai dalam pengertian psikologis seperti kepuasan dan kenikmatan. Dalam
ilmu sosial persoalan nilai dapat dimaknai dalam pengertiannya yang terdiri: dari dua
subkelas: yaitu nilai sebagai objek dari tujuan-tujuan yang disetujui secara sosial dan nilai
sebagai sumbangan untuk mencapai kemakmuran masyarakat, nilai juga dapat dipahami

13
Jalaluddin Rakhmad, op.cit.,hlm.48-88.
14
Syafaat Habib, Buku Pedoman Dakwah, (Jakarta:Wijaya, 1982), hlm.54-55.
15
Paul B. Horton dan Chaster L Hunt, op.cit., hlm.258.

11
sebagai suatu kata benda abstrak yaitu mengacu pada sifat dari nilai atau sifat bernilai.
Sebagai kata konkret, terma nilai menunjuk pada suatu benda yang mempunyai sifat daripada
nilai atau suatu benda yang dinilai. Sebagai kata kerja, nilai berarti tindakan mental tertentu
dalam menilai atau penilaian. Istilah nilai terkadang dilawankan dengan “fakta” dan juga
dianggap sebanding dengan kebaikan untuk dilawankan dengan ketepatan.16

Al-Qur’an dipercaya memuat nilai-nilai tertinggi yang ditetapkan oleh Allah Swt. dan
merupakan nilai-nilai resmi dari-Nya. Nilai-nilai yang termuat dalam Al-Qur’an selamanya
“ada di langit” kecuali setelah melalui proses dakwah. Dakwah adalah upaya “menurunkan”
dan menjadikan nilai-nilai Al-Qur’an agar membudaya dalam kehidupan masyarakat.
Dakwah adalah suatu rekayasa sosial guna membentuk suatu persekutuan budaya yang para
anggotanya menaati kerangka ide dan nilai-nilai yang bersumber dari Al-Qur’an untuk
17
menjaga kehidupan yang harmonis dan menghindari terjadinya anarki. Dalam persekutuan
budaya itu terdapat nilai-nilai Al-Qur’an yang hidup dan mengejawantah dalam satu set
ketentuan hukum, berbagai kebiasaan, aturan-aturan yang dapat mengontrol konflik dan
kompetisi serta konsep-konsep yang disepakati bersama tentang apa yang disebut “jujur”,
“baik”, dan “buruk” dan lain sebagainya yang memiliki kaitan satu dengan lainnya.

Apa yang paling dasar dan paling sentral dari nilai-nilai Islam adalah tauhid. Tauhid
adalah suatu konsep sentral yang berisi ajaran bahwa Allah Swt. adalah pusat dari segala
sesuatu dan bahwa manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah Swt. Hal itu
berarti, bahwa konsep mengenai kehidupan dalam Islam bersifat teosentris, seluruh
kehidupan berpusat pada Allah Swt. Islam menjadikan tauhid sebagai pusat dari semua
orintasi nilai. Sistem nilai dalam Islam mendasarkan diri pada pandangannya yang bersifat
teosentris. Tapi kemudian konsep tauhid itu ternyata mempunyai arus balik kepada manusia.
Di dalam Al-Qur’an banyak di jumpai seruan agar manusia beriman dan beramal.
Sebagaimana ayat berikut ini :

(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang Ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan
sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. (QS Al- Baqarah [2]:3)

Ayat di atas mengajarkan trilogi: iman-shalat-zakat. Sementara dalam formulasi lain,


dapat ditemukan juga trilogi iman-ilmu amal. Dengan memerhatikan hal itu, maka dapat
dikemukakan bahwa iman berujung pada amal. Artinya, iman yang berpangkal pada Allah

16
The Liang Gie, op.cit., hlm.144.
17
Abdurrahman Moeslim, Islam Transformatif, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm.174

12
Swt. harus diaktualisasikan dalam kehidupan nyata yang berujung aktualisasinya adalah
manusia. Dengan demikian, Islam itu agama; yang sangat mementingkan manusia sebagai
tujuan sentral inilah nilai dasar Islam yang lain di samping sifatnya yang, teosentris. Maka,
Islam merupakan sebuah ajaran yang memusatkan dirinya pada keimanan kepada satu Tuhan,
tetapi pada saat yang sama Islam mengarahkan perjuangannya untuk kemuliaan peradaban
manusia. Prinsip humanisme-teosentrisme inilah yang merupakan nilai inti (core-value) dari
seluruh ajaran Islam. Prinsip tersebut kemudian akan ditransformasikan sebagai tata nilai
yang dihayati dan dilaksanakan sepenuhnya dalam masyarakat dan budaya 18 melalui proses
dakwah Islam sebagai sistem nilai memiliki tema sentral kebudayaan humanisme-teosentris
yang bertujuan untuk pembebasan dan emansipasi manusia.

Bagi umat Islam, tata nilai yang Islami dianggap sebagai nilai yang telah jelas karena
sumber dan rujukannya jelas, yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Namun, ada sebagian yang
berpandangan bahwa nilai-nilai Islami yang termuat dari sumber Islam itu produk jadi yang
sudah siap pakai untuk segala kasus. Implikasi dari pandangan itu, jika ditemukan tingkah
laku yang tidak sesuai dengan sumber Islam itu maka dianggap menyimpang, dan
penyelesaian yang diambil untuk perilaku itu adalah “menghakiminya”, tapa diawali dengan
upaya sungguh-sungguh untuk memahami cara yang paling tepat untuk itu.Cara demikian,
menafikan dan cenderung mengabaikan proses penanaman nilai-nilai Islami yang sebenarnya
memerlukan proses dialog yang panjang, pendalaman materi yang serius serta kajian yang
mendalam dan berkesinambungan terhadapa kondisi nyata di masyarakat. Penafian dan
pengabdian itu dalam dirinya berlawanan dengan watak dasar Islam sendiri.

Dari sejumlah ayat-ayat Al-Qur’an dapat diperoleh pemahaman bahwan tata nilai
bukanlah suatu “barang yang mati” atau produk jadi yang statis. Tata nilai Islami itu bersifat
historis, dinamis, dialektis dan profetik-transformatif. Penanaman nilai-nilai Islami yang tidak
disertai dengan proses dialog yang sungguh-sungguh dengan tata nilai yang secara riel telah
berlaku di masyarakat, hanya akan menimbulkan kesenjangan yang semkain tajam antara
tata-tata nilai yang diidam-idamkan dan kenyataan yang ada. Cara itu hanya akan
menimblkan pernyataan nilai-nilai secara verbal. Maka sekali lagi, diperlukan dialog yang

18
Koentowidjojo, Paradigma Islam, Interpertasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1993), hlm.229.

13
intens dengan berbagai tata nilai yang ada untuk dapat memunculkan pergeseran paradigma
pemikiran dalam bentuk simbol-simbol yang aplicable dalam kehidupan budaya setempat.19

Penanaman nilai-nilai Islami ke dalam realitas kehidupan menusia pada dasarnya adalah
suatu rekayasa budaya dan strategi kebudaayaan yang berlandaskan pada konsep-konsep
yang matang sesuai dengan arus perubahan zaman yang tidak pernah berhenti. Tata nilai
berkait erat dengan pola pikir yang hidup di dalam masyarakat dan merupakan landasan
gerak kegiatan individu dalam masyarakat. Dalam pengertian itu, tata nilai berhubungan
dengan literatur, pola pendidikan, wejangan-wejangan, buku-buku keagamaan, wasiat-wasita
leluhur, dan lain sebagaina yang dipergunakan oleh masyarakat sebagai rujukan pola berpikir
dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari.

Itulah sebabnya tata nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat tidak bisa berdiri
sendiri, terlepas dari kenyataan dan realitas sosial yang mengitarinya. Agar tata nilai Islam
dapat hidup dan berkembang di masyarakat, dengan demikian tidak cukup hanya
disampaikan dengan menggunakan dakwah bi al-lisan semata, lebih dari itu diperlukan juga
tahap-tahap lain secara berkesinambungan dalam wujud rekayasa sosial yang
terpadu.Dakwah bi al-lisan merupakan bagian dari proses rekayasa sosial tersebut, yang telah
diawali dengan pengenalan dan pemahaman secara mendalam komponen kebudayaan yang
20
secara nyata telah hidup di masyarakat yang bersangkutan. Pemahaman dan pendalaman
pengetahuan mengenai tata nilai yang telah hidup itu ditempuh agar dapat ditemukan
misalnya kerangka berpikir yang mendasar dalam masyarakat. Perilaku atau aktivitas yang
menampak di permukaan, sulit dipahami kecuali dengan merujukkannya pada sumber-
sumber yang menjadi pola pikirnya. Dengan demikian, tata nilai Islami yang akan
ditanamkan, didasarkan pada pengetahuan yang mendalam mengenai realitas yang ada di
masyarakat, yang diperoleh antara lain melalui studi literatur keagamaan yang bersifat
normatif dan historis yang memungkinkan diperoleh simbo-simbol baru sebagai pengganti
dari simbol-simbol lama yang tidak Islami.

19
Amin Abdullah, Studi Agama, Normativitas atau Historisitas, 4 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm.216-
226
20
Dalam salah satu bukunya, S.Wakar A.Husaini membagi lapisan kebudayaan menjadi 3 kompenen. Yaitu
pertama, sistem nilai-nilai, arti-arti dan norma-norma; kedua, sistem sarana-sarana, alat-alat dan cara-cara
empiris; ketiga adalah tokoh-tokoh manusia yang mendukung kebudayaan. Lihat S.Wakar A. Husaini, Sistem
Rekayasa Sosial dalam Islam, (Jakarta: Depag R L, 1995), hlm.245., Fuad Amsyari membagi lapisan kebudayaan
ke dalam tiga kompenen sebagai berikut. Pertama, budaya ide yang terdiri dan pola pikir dan nilai-nilai yang di
anut, kedua budaya perilaku, berupa pola-pola : aktivitas suatu masyarakat; ketiga budaya fisik material dari
aktivitas sosial. Lihat Fuad Amsyari, Masa Depan Umat Islam Indonesia, peluang dan tantangan, (Bandung: al-
Bayan, 1993), hlm.165.

14
Dalam kaitannya dengan disiplin ilmu tafsir, rekayasa penanaman nilai-nilai islami
tersebut diatas memperoleh penjelasan akademik dari pemikiran Fazlur Rahman mengenai
pola penafsiran Al-Qur’an yang diusulkannya. Baginya, proses penafsiran Al-Qur’an perlu
dilakukan melalui gerakan ganda, yaitu dari situasi sekarang ke masa Al-Qur’an diturunkan,
dan kembali lagi ke masa kini. Menurut Fazlur Rahman (1985), Al-Qur’an adalah respon
illahi, melalui ingatan dan pikiran Nabi, kepada situasi moral- sosial arab pada masa Nabi
Muhammad Saw. Al-Qur’an sebagian besar terdiri dari pernyataan-pernyataan moral religius
dan sosial yang menanggapi problem-problem spesifik yang di hadapkan kepadanya dalam
situasi yang konkret. Berpijak pada pandangan tersebut gagasan Fazlur Rahman tentang pola
penafsiran Al-Qur’an terbagi ke dalam dua gerakan. Gerakan pertama pada dasarnya adalah
upaya-upaya intelektual dari hal-hal spesifik dalam Al-Qur’an yang mengarah ke penggalian
dan sistemasisasi prinsip-prinsip umum, nilai-nilai dan tujuan panjangnya. Gerakan pertama
ini terdiri dari dua langkah :

1. Langkah memahami arti atau makna dari satu pernyataan Al-Qur’am dengan
mengkaji situasi atau problem historis dimana pernyataan Al-Qur’an tersebut
merupakan jawabannya. Dalam kaitan itu, perlu penegasan bahwa sebelum dilakukan
kajian atas ayat-ayat spesifik dalam sinaran situasi-situasi spesifik nya, harus pula
dilakukan tindakan-tindakan sebagai berikut :
a. Mengkaji situasi makro dalam batasan-batasan masyarakat, agama, adat istiadat,
dan lembaga-lembaga yang hidup di masyarakat.
b. Mengkaji kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada saat kehadiran Islam dan
khususnya di sekitar Makkah, termasuk mengenai peperang-peperangan Persia-
Bizantium
1. Langkah melakukan generalisasi jawaban-jawaban spesifik tersebut dan
menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral
sosial umum yang dapat di saring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang
sosiohistoris dan rasiologis yang sering dinyatakan.
Gerakan kedua dari pola penafsiran diarahkan pada upaya tertentu sehingga situasi
sekarang bisa di nilai dan di ubah se-jauh yang di perlukan serta di tentukan prioritas-
prioritas baru untuk bisa dimuati nilai-nilai Al-Qur’an. Gerakan kedua dari penafsiran
yang diusulkan terdiri dari dua langkah :

15
1. Merumuskan pandangan umum yang dihasilkan oleh proses penafsiran dari
gerakan pertama diatas, dalam konteks sosiohistoris yang konkret dimasa
sekarang.
2. Upaya penumbuhan dan perumusan itu harus diawali dengan kajian yang cermat
atas situasi sekarang dan analisis berbagai unsur-unsur komponen.21

Menurut Koentowidjojo (1993), proses penanaman nilai-nilai Islam dimulai dari


perumusan nilai-nilai Al-Qur’an yang pada dasarnya bersifat normatif, menjadi konsep-
konsep yang bersifat operasional dalam kehidupan sehari-hari . Untuk itu ada dua cara yang
dinyatakan :

1. Nilai-nilai normatif yang terambil dari sumber ajaran Islam itu diaktualkan
langsung menjadi perilaku. Jenis aktualisasi semacam ini misalnya berupa seruan
moral praktis agar kita menghormati orang tua, jangan berbuat zalim kepada harta
anak yatim dan lain-lain. Seruan itu langsung dapat diterjemahkan kedalam pratik
atau perilaku seperti telah dikembangkan dalam disiplin ilmu fikih. Dengan pola
itu, maka dapat segera diketahui bagaimana cara legal sesuatu perilaku harus
sesuai dengan sistem normatif.
2. Mentransformasikan nilai-nilai normatif itu menjadi teori ilmu sebelum
diaktualisasikan kedalam perilaku. Disamping itu, perlu pula dilakukan
transformasi nilai-nilai Islam yang subjektif kedalam kategori-kategori yang
objektif.

Menurut penilaiannya, cara pertama sudah kurang relevan lagi karena dengan cara
itu,penanaman nilai-nilai Islam cenderung menggunakan pendekatan legal-formal. Yang
dinilai relevan adalah cara yang kedua, hanya saja untuk itu diperlukan pendekatan yang
lebih komprehensif empiris dan dialogis. Cara kedua membawa implikasi pada perlunya
penciptaan ilmu-ilmu sosial Islami.22

Menurut Yunan Yusuf, penanaman nilai-nilai Islam dimulai dari upaya intelektual
mengungkap nilai-nilai yang menjadi dasar pembentukan masyarakat Madinah pada zaman
Nabi, yang dilanjutkan dengan upaya penyusunan nilai-nilai tersebut menjadi rumusan-
rumusan yang konkret, jelas dan dapat dilaksanakan. Hal itu, menurutnya hanya dapat

21
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Muhammad, (Bandung: Penerbit Pustaka,
1985), hlm.6-8.
22
Koentowidjojo, op.cit., hlm.170.

16
dilaksanakan melalui upaya rethinking atau reconstruction secara akademik, tugas tersebut
menjadi tanggung jawab pemikir dan intelektual Muslim dibidang dakwah dalam
memanfaatkan bidang kajian Pemikiran Islam. Dengan merujuk pada bidang-bidang yang
dikembangkan dalam disiplin Pemikiran Islam, rethinking atau reconstruction pun harus
dikembangkan dalam kaitannya dengan pengintegrasian antara akal dan kalbu. Dengan
demikian, maka tidak terjadi kesenjangan antara nilai yang dihidup di masyarakat dengan
nilai yang diidam-idamkan.Nilai-nilai Islam benar-benar ada dan hidup di masyarakat dalam
arti yang sesungguhnya, tidak hanya dalam dataran verbal semata. 23

Upaya tersebut dalam konteks Indonesia merupakan kebutuhan mendesak untuk memberi
substansi nilai-nilai etik nasional dengan muatan nilai-nilai Al-Qur’an baik secara sosiologis
maupun kultural. Untuk itu, dia mengusulkan langkah-langkah berikut ini :

1. Merumuskan pemahaman sistematik ajaran Islam dalam : pemikiran setiap individu


masyarakat Muslim. Pemahaman itu dapat dibangun melalui penghayatan dari
pengalaman ajaran Islam secara holistik dan komprehensif yang mencakup akidah,
ibadah, akhlak, dan mualmalah.

2. Mempertimbangkan kembali ajaran-ajaran Islam dan warisan Intelektual Muslim


yang pernah ada dalam berbagai aspeknya, sehingga jelas terpahami mana ajaran yang
mutlak (sehingga tidak dapat dan tidak bisa diubah) dan mana ajaran yang relatif dan
misbi (sehingga menerima perubahan).
3. Membangun kembali tumbuhnya kesadaran waktu di kalangan umat Islam. Untuk itu
perlu reinterpretasi terhadapat beberapa ajaran yang relevan seperti Hari Akhir, agar
tidak dipahami sebagai hari setelah kematian semata akan tetapi juga masa depan
umat ketika masih hidup di dunia.
4. Mencerahkan pemahaman tentang amal saleh (memperbarui konsep kerja dalam
Islam).Dengan begitu, umat Islam dapat memiliki pemahaman yang utuh tentang amal
saleh. Amal saleh tidak hanya dalam konteks ibadah ritual semata, tetapi juga dalam
lapangan lainnya (QS Al-Najmm53:39).24

Dengan merujuk pada pengertian dakwah yang meliputi proses tabligh (penyiaran), tatbiq
(penerapan / pengalaman) dan tandlim (pengelolaan), maka beberapa pendapat tersebut dapat

23
M. Yunan Yusuf ,”Internalisasi Etika Islam ke dalam Etika Nasional: Agenda Dakwah Dalam Perspektif
Pemikiran Islam” Dalam Dkwah;Jurnal Kajian Dakwah dan Kemasyarakatan,vol.I,No.3,1999, hlm.3-5.
24
M. Yunan Yusuf, op.cit., hlm.9-16.

17
diikhtisarkan sebagai berikut. Bahwa dakwah pada pokoknya berkaitan dengan persoalan
penanaman nilai-nilai Islam di masyarakat. Penanaman nilai-nilai Islam itu dapat mengambil
beberapa pola yang terdiri dari proses internalisasi (disingkat I), sosialisasi (disingkat S), dan
eksternalisasi (disingkat E). Dengan ketiga proses utama dakwah itu maka ditemukan
sedikitnya tiga.

Pola penanaman nilai-nilai Islam sebagai proses dakwah. Pola pertama adalah I-S-E,
meliputi tahap-tahap menerapkan, mengamalkan dan mengaktualisasikan nilai-nilai Islam ke
dalam diri pribadi, nilai-nilai Islam yang telah teramalkan itu kemudia di sebarluaskan
kepada orang lain secara terus menerus sampai perkembangan berikutnya bahwa nilai
tersebut menjadi milik publik dan menjadi bagian dari budaya yang hidup di masyaraka.

Pola kedua adalah E-I-S, yaitu nilai-nilai Islam yang secara nyata telah menjadi publik
dan menjadi elemen budaya yang telah hidup di mayarakat, dengan sadar diikuti,
diaplikasikan, dan diaktualisasikan kedalam diri pribadi lalu seseorang tersebut ikut berperan
aktif pula dalam membela, melestarikan, dan menyerbarluaskan nilai-nilai Islam yang telah
milik publik dan telah diamalkan secara pribadi itu supaya semakin mengakar kedalam pola
budaya setempat.

Pola ketiga S-E-I adalah langkah-langkah mengaktualisasikan, memperkenalkan,


menyebarluaskan nilai-nilai Islam yang belum menjadi milik publik bahkan juga belum
teraplikasi kedalam diri pribadi. Upaya itu telah sampai pada tahapan ekternalisasi dimana
nilai-nilai Islam yang sebenarnya belum diamalkan secara pribadi itu menjadi milik publik,
menjadi bagian dari pola budaya masyarakat setempat. Namun dalam perkembangan
berikutnya, karena telah menjadi bagian dari pola budaya yang telah berperan aktif itupun
mengamalkan dan mengaktulisasikan pula nilai-nilai tersebut.

18
BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Aksiologi dakwah secara sederhana adalah menelusuri nilai-nilai yang terkandung


dalam kegiatan dakwah. Nilai-nilai dakwah universal yang dapat diaplikasikan dalam
kehidupan umat diantaranya, kedisiplinan, kejujuran, kerja keras, kebersiha dan kompetisi.
Selain itu, masih banyak lagi nilai-nilai dakwah universal yang terkandung di dalam dakwah
itu sendiri.

Selain itu, bagi para da’i yang menjadi pelaku dakwah, aksilogi dakwah juga
mengajarkan bagaimana etika seorang da’i yang seharusnya dalam menjalankan peranannya,
diantaranya: Dakwah hendaknya dilakukan dengan menafikan unsur-unsur kebencian,
dakwah hendaknya dilakukan secara persuasif dan jauh dari sikap memaksa, menghindari
pikiran dan sikap menghina serta menjelek-jelekkan agama atau menghujat Tuhan yang
menjadi keyakinan agama lain, mengapresiasi peredaan dan menjauhi sikap ekstremisme
dalam beragama dan dakwah hendaknya dilakukan dengan jujur dan proporsinal. Dalam
mengemukakan dalil-dalil dan pembuktian hendaknya dilakukan secara baik.

3.2. PESAN DAN SARAN

Dalam kesempatan ini kami ingin menyampaikan pesan dan saran untuk kami pribadi
khususnya dan untuk pembaca sekalian umumnya. Pesan dan saran pokok yang ingin kami
sampaikan adalah pahamilah hakikat, metode dan nilai-nilai yang terkandung dalam dakwah
tersebut agar segala bentuk kegiatan dakwah yang kita lakukan dapat sukses guna tetap
tegaknya marwah Islam dalam kancah peradaban dunia.

19
DAFTAR PUSTAKA

Saputra, Wahidin. 2011. Pengantar Ilmu Dakwah . Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Aziz, Moh. Ali. 2004. Ilmu Dakwah. Jakarta : Reanada Media.

Effendy, Onong Uch Jana. 1993. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung : Citra
Aditya Bakti.

20

Anda mungkin juga menyukai