Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

BK MULTIBUDAYA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah BK Multibudaya

DOSEN PENGAMPU:

Dr. Suciani Latif, M.Pd. & M. Amirullah, S.Pd., M.Pd.

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 1

SALMI ADHAWI YAH TAUFIK (200404501030)

REZA ARDIANSYAH PUTRA (1844042051)

DEWI MARLINA (200404502028)

KELAS B

PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat dan karunia-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun judul dari makalah ini
yaitu “Pendekatan Etik dan Emik Konseling Multibudaya”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
ibu Dr. Suciani Latif, M.Pd., dan bapak M. Amirullah, S.Pd., M.Pd selaku dosen pengampu
mata kuliah BK Multibudaya.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu,
kami mengharapkan segala bentuk saran serta kritik yang membangun dari berbagai pihak.
Kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia
pendidikan.

Makassar, 27 Februari 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i

DAFTAR ISI...............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................1

A. Latar Belakang.................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................3

A. Definisi Etik dan Emik dalam Konseling Multibudaya...................................................3


B. Implikasi Pendekatan Etik dan Emik dalam Konseling Multibudaya.............................9
C. Contoh Kasus Isu Etik dan Emik dalam Konseling Multibudaya..................................10

BAB III PENUTUP..................................................................................................................13

A. Kesimpulan....................................................................................................................13
B. Saran...............................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kehidupan masyarakat tidaklah pernah dapat dihindari, keyataan bahwa
budaya sangat berpengaruh terhadap perilaku, ekspresi emosi, kepribadian,
keyakinan, dan kehendak. Budaya dapat diartikan secara umum sebagai keseluruhan
sistem gagasan,tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat
yang dijadikan milik diri manusia. Karena budaya berfungsi bagi masyarakat sebagai
transmisi budaya, pengembang kehidupan ekonomi, pelanjut keturunan, keagamaan,
pengendali sosial, dan rekreasi. Selain budaya berfungsi bagi masyarakat, budaya
berpengaruh pula terhadap cara berpikir, ekspresi emosi, kepribadian, keyakinan, dan
kehendak individu, kelompok sehingga kebudayaan sangat mewarnai kehidupan
individu atau kelompok masyarakat.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK),
beberapa para ahli mencoba meneliti berbagai bentuk atau ragam budaya yang ada
dalam masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian mereka dari kajian multibudaya di
temukan dua jenis budaya didalam masyarakat. Budaya tersebut dibedakan dengan
sebutan etik (etics) ialah budaya bersifat universal, dan emik (emics) ialah kekhasan
dari budaya setempat.
Berdasarkan kajian-kajian konseling multibudaya tersebut penulis tertarik untuk
mencoba menjelaskan secara terperinci tentang isu etik dan emik. Oleh karena itu, di
dalam pembahasan makalah ini akan memuat pembahasan tentang etik dan emik
dalam konseling multibudaya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi etik dan emik dalam konseling multibudaya?
2. Bagaimana konselor menggunakan pendekatan etik dan emik dalam konseling
multibudaya?
3. Apa contoh kasus isu etik dan emik dalam konseling multibudaya?

1
C. Tujuan
1. Mengetahui definisi etik dan emik dalam konseling multibudaya.
2. Mengetahui penggunaan pendekatan etik dan emik dalam konseling multibudaya.
3. Mengetahui contoh kasus isu etik dan emik dalam konseling multibudaya.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Etik dan Emik dalam Konseling Multibudaya


Kehidupan masyarakat tidaklah pernah dapat dihindari keyataan bahwa budaya
sangat berpengaruh terhadap perilaku, ekspresi emosi, kepribadian, keyakinan, dan
kehendak. Budaya dapat diartikan secara umum sebagai keseluruhan sistem gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan
milik diri manusia. Shiraf dan Levi (dalam buku Sarlita W. Sarwono) mengemukan
sebuah defenisi budaya ialah suatu set dari sikap, perilaku, dan simbol-simbol yang
dimilki bersama oleh manusia dan biasanya dikomunikasikan dari satu generasi ke
generasi selanjutnya.
Dalam lingkup sosial, terutama sosial multikultural, individu akan berkumpul
dengan berbagai kalangan yang berbeda-beda latar belakangnya, antara lain: agama,
ethnis, keadaan sosial, adat istiadat, dan ekonomi. Hal semacam ini dapat
menimbulkan bertumpuknya masalah yang akan dihadapi oleh individu. Selain itu
faktor pertumbuhan dan perkembangan manusia yang semakin meluas sehingga
terjadi saling berebut kesempatan dan peluang dalam berbagai hal merupakan masalah
yang perlu ditangani oleh para konselor.
Dalam kaitannya dengan bimbingan dan konseling, khusunya dalam konteks
Indonesia, seorang konselor tidak dapat mengabaikan klien yang memiliki latar
belakang budaya yang beragam. Dalam memberikan layanan bimbingan dan
konseling, tidak tertutup kemungkinan seorang konselor akan berhadapan dengan
klien yang berbeda baik dalam hal kepribadian, nilai, moral maupun budaya. Dalam
hal ini, seorang konselor perlu memberikan penghargaan serta penilaian atas budaya
yang dianut klien tanpa meremehkan atau memojokkan kebudayaannya. Dengan
demikian relasi konseling tidaklah sederhana. Konselor harus memiliki kesadaran
adanya perbedaan karakteristik (pribadi, nilai, moral, budaya) antara dirinya dengan
kliennya, serta menghargai keunikan kliennya. Perbedaan–perbedaan ini akan
mempengaruhi proses konseling. Di sinilah perlunya konseling berwawasan lintas
budaya, yaitu konseling yang mangakomodasi adanya perbedaan budaya antara
konselor dan klien. Konseling berwawasan lintas budaya akan mengeleminir
kemungkinan munculnya perilaku konselor yang menggunakan budayanya sendiri
(counselor encaptulation) sebagai acuan dalam proses konseling.

3
Perbedaan budaya akan menyebabkan pula pemahaman dan cara tersendiri dalam
menjalin komunikasi dalam pemberian pelayanan bimbingan dan konseling.
Dipandang dari perspektif budaya, situasi konseling adalah sebuah perjumpaan
kultural antara konselor dengan klien. Oleh karena itu, konselor perlu memiliki
kepekaan budaya agar dapat memahami dan membantu klien sesuai dengan konteks
budayanya. Konselor yang demikian adalah konselor yang menyadari benar bahwa
secara kultural, individu memiliki karakteristik yang unik dan dalam proses konseling
akan membawa karakteristik tersebut.
Sifat budaya ada dua, yaitu budaya yang bersifat universal (umum) dan budaya
yang khas (unik). Budaya universal mengandung pengertian bahwa nilai nilai yang
dimiliki oleh semua lapisan masyarakat. Nilai nilai ini dijunjung tinggi oleh segenap
manusia. Dengan demikian, secara umum umat manusia yang ada dunia ini memiliki
kesamaan nilai nilai tersebut. Contoh nilai universal ini antara lain manusia berhak
menentukan hidupnya sendiri, manusia anti dengan peperangan, manusia
mementingkan perdamaian, manusia mempunyai kebabasan dan lain lain. Nilai
budaya yang khas (unik) adalah suatu nilai yang dimiliki oleh bangsa tertentu. Lebih
dari itu, nilai- nilai ini hanya dimiliki oleh masyarakat atau suku/ etnis tertentu dimana
keunikan ini berbeda dencan kelompok atau bangsa lain. Keunikan nilai ini dapat
meniadi barometer untuk mengenal bangsa atau kelompok tertentu. Nilai budaya yang
dianut oleh masyarakat tertentu pada umumnya dianggap mutlak kebenarannya. Hal
ini tampak pada perilaku yang ditampakkan oleh anggota masyarakat itu. Mereka
mempunyai keyakinan bahwa apa yang dianggap benar itu dapat dijadikan panutan
dalam menjalani hidup sehari hari. Selain itu, nilai budaya yang diyakini
kebe¬narannya tersebut dapat dipergunakan untuk membantu menyelesaikan masalah
yang timbul. Dengan kata lain bahwa nilai budaya tertentu yang ada dalam suatu
masyarakat mempunyai suatu cara tersendiri untuk memecahkan permasalahan yang
timbul dalam anggota masyarakat tersebut (Lee & Sirch, 1994).
Dalam bidang konseling dan psikologi, pendekatan lintas budaya dipandang
sebagai kekuatan keempat setelah pendekatan psikodinamik, behavioral dan
humanistik (Paul Pedersen, 1991). Suatu masalah yang berkaitan dengan lintas
budaya adalah bahwa orang mengartikannya secara berlain-lainan atau berbeda, yang
mempersulit untuk mengetahui maknanya secara pasti atau benar. Dapat dinyatakan,
bahwa konseling lintas budaya telah diartikan secara beragam dan berbeda-beda;
sebagaimana keragaman dan perbedaan budaya yang memberi artinya.

4
Definisi-definisi awal tentang lintas budaya cenderung untuk menekankan pada
ras, etnisitas, dan sebagainya; sedangkan para teoretisi mutakhir cenderung untuk
mendefinisikan lintas budaya terbatas pada variabel-variabelnya (Sue dan Sue, 1990).
Namun, argumen-argumen yang lain menyatakan, bahwa lintas budaya harus
melingkupi pula seluruh bidang dari suatu kelompok, bukan hanya orang kulit
berwarna, dikarenakan yang tertindas itu dapat berupa gender, kelas, agama,
keterbelakangan, bahasa, orientasi seksual, dan usia (Trickett, Watts, dan Birman,
1994).
Konseling lintas budaya melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar
belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh
terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak
berjalan efektif. Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki
kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat
mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki keterampilan-keterampilan yang
responsif secara kultural. Dengan demikian, maka konseling dipandang sebagai
“perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara konselor dan klien (Dedi Supriadi,
2001:6).
Dengan berbagai latar belakang yang dihadapi oleh masing-masing individu
konselor akan dihadapkan dengan berbagai latar belakang pula. Perbedaan latar
belakang akan menimbulkan budaya-budaya yang diproduksi oleh masyakat. Alhasil
bukan sekedar ethnis-ethnis saja, melainkan komponen kebiasaan yang dilakukan oleh
masyarakat tergantung pada latar belakangnya akan menjadikan budaya tersendiri
bagi mereka. Sebuah tentangan tersendiri yang harus diselesaikan dalam proses
konseling. Bukan sekedar menyelesaikan masalah saja, namun juga perlu ada faktor
sikap fundamental dalam memahami konseli yang dihadapi oleh konselor.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat dikatakan bahwa di dalam
masyarakat, sebuah budaya menempatkan posisi penting dalam kehidupan
masyarakat. Budaya dalam kehidupan individu atau kelompok membuat suatu
perbedaan antara sekelompok orang dengan kelompok lain. Di dalam penelitian, para
ahli dalam konseling multibudaya mengemukakan dua jenis ragam budaya yang ada
dalam masyarakat yaitu etik dan emik. Etik dan Emik merupakan istilah antroplogi
yang dikembangkan oleh Pike (1967). Pike menggunakan istilah etik dan emik untuk
menjelaskan dua sudut pandang (point of view) untuk mempelajari perilaku dalam
kajian budaya. Salah satu cara utama mengkoseptualisasikan prinsip-prinsip serta

5
perbedaan budaya, dapat dilakukan melalui penggunaan istilah etik dan emik. Kedua
istilah ini mengacu pada keunikan yang bersifat universal dan kekhasan budaya,
pengetahuan, dan kebenaran.
Dalam hal ini etik mengacu pada temuan-temuan yang tampak konsisten tetap
diberbagai budaya; dengan kata lain, sebuah etik mengacu pada sebuah kebenaran
atau prinsip-prinsip yang universal. Sebaliknya, emik mengacu pada temuan-temuan
yang tampak berbeda untuk budaya yang berbeda; dengan demikian, emik mengacu
pada kebenaran yang bersifat khas budaya. Karena implikasinya pada apa yang kita
ketahui sebagai kebenaran yang bersifat khas budaya. Etik dan emik merupakan
konsep-konsep yang kuat. Jika kita tahu sesuatu tentang perilaku manusia dan
menganggapnya sebagai kebenaran, dan hal itu adalah suatu etik (universal) maka
kebenaran sebagaimana kita ketahui itu adalah kebenaran bagi semua orang dari
budaya lain. Kalau yang kita ketahui tentang perilaku manusia dan yang kita anggap
sebagai kebenaran itu ternyata adalah suatu emik (bersifat khas dari suatu budaya),
maka apa yang kita angggap kebenaran tersebut belum tentu merupakan kebenaran
bagi individu dari budaya lain.
Bahkan kebenaran itu bisa sangat berbeda, kebenaran dalam hal ini adalah hal
yang relatif. Defenisi kebenaran yang memperhitungkan etik dan emik ini, memaksa
untuk mempertimbangkan kebenaran hal-hal yang kita yakini. Etik dan Emik adalah
dua macam sudut pandang dalam etnografi yang cukup mengundang perdebatan.
Emik misalnya, mencoba menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan
sudut pandang masyarakat itu sendiri, sebaliknya Etik merupakan penggunaan sudut
pandang orang luar yang berjarak (dalam hal ini siapa yang mengamati) untuk
menjelaskan fenomena dalam masyarakat.
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan tentang
definisi etik dan emik. Etik adalah suatu kebenaran yang diakui, diterima oleh seluruh
masyarakat tanpa memandang perbedaan budaya, dengan kata lain kebenaran yang
dimaksud berlaku untuk semua orang (bersifat universal). Sedangkan emik adalah
suatu kebenaran yang hanya diterima dan di akui oleh masyarakat setempat dan tidak
berlaku bagi orang yang berasal dari budaya yang berbeda. Emik dalam hal ini
menawarkan sesuatu yang lebih obyektif. Pendekatan universal atau etik, yaitu
menekankan pada keuniversalan kelompok-kelompok. Memandang secara luas
tentang apa yang sekiranya dapat diterima dan diaplikasikan dalam semua sisi budaya.
Pendekatan semacam ini akan memicu perasaan kesepahaman antara konselor dengan

6
konseli, sehingga akan terbangunlah hubungan yang bersinergi dalam proses
konseling tersebut. Sedangkan pendekatan emik atau kekhususan budaya, yaitu
menekankan pada karakteristik-karakteristik khusus yang dimilki oleh suatu budaya,
atau karakteristik yang berbeda antara budaya satu dengan budaya yang lainnya,
sehingga memunculkan ciri khas dan keunikan dari masing-masing budaya untuk
menciptakan rasa cinta terhadap budaya yang membesarkannya.
Secara umum, sebagian besar ahli konseling multibudaya, sepakat bahwa jumlah
etik dan emik sama, atau bahkan lebih banyak emik dari pada etik. Artinya, orang dari
budaya yang berbeda memang menemukan cara-cara yang berbeda dalam kebanyakan
aspek perilaku manusia. Kalau dipikirkan hal ini tidaklah mengejutkan. Setiap budaya
berevolusi dengan cara khasnya masing-masing untuk menangani perilaku manusia
dengan gaya yang paling efisien dan sesuai agar sukses bertahan hidup. Cara-cara ini
akan berbeda tergantung kepadatan penduduk, ketersediaan makanan, dan sumber-
sumber lain. Karena pasti menghadap kebutuhan yang berbeda dengan
lingkungannya, setiap kebudayaan akan mengembangkan perbedaan-perbedaan yang
kemudian berdampak kepada orang-orang yang berada di dalam budaya tersebut.
Adanya emik atau perbedaan kultural, bukan sesuatu yang problematik dalam diri
individu atau kelompok masyarakat. Namun permasalahannya secara potensial akan
muncul ketika kita mencoba menafsirkan alasan yang mendasari atau yang
menyebabkan adanya berbagai perbedaan itu. Karena kita berada dalam budaya kita
masing-masing, dengan latar belakang kultur kita sendiri, kita cenderung melihat
sesuatu dari kacamata latar belakang tersebut. dengan kata lain, budaya bertindak
sebagai suatu filter (penyaring), tidak hanya ketika kita mempersepsikan seseorang,
tetapi juga ketika kita berpikir tentang menafsirkan suatu kejadian, kita bisa
menafsirkan perilaku orang lain dari latar belakang kultural kita sendiri dan menarik
beberapa kesimpulan tentang perilaku tersebut berdasarkan keyakinan kita tentang
perilaku dan budaya kita sendiri. Tetapi penafsiran kita bisa salah bila perilaku yang
sedang kita nilai berasal dari suatu orientasi kultural yang berbeda dari budaya kita.
Terkadang kita tidak bisa memisahkan diri kita dari latar belakang dan bias-bias
budaya kita sendiri dalam memahami perilaku orang lain. Hal ini disebut sebagai
etnosentrisme. Etnosentrisme berkaitan erat dengan stereotip, yaitu sikap, keyakinan,
atau pendapat yang baku tentang orang-orang yang berasal dari budaya lain
(Matsumoto,1994).
1. Etnosentrisme

7
Etnosentrisme didefinisikan sebagai kepercayaan pada superioritas
inheren kelompok atau budayanya sendiri; etnosentrisme mungkin disertai
rasa jijik pada orang-orang lain yang tidak sekelompok; etnosentrisme
cenderung memandang rendah orang-orang lain yang tidak sekelompok dan
dianggap asing; etnosentrisme memandang dan mengukur budaya-budaya
asing dengan budayanya sendiri. (Mulyana:2000;70).
Jelas sekali bahwa dengan kita bersikap etnosentrisme kita tidak dapat
memandang perbedaan budaya itu sebagai keunikan dari masing-masing
budaya yang patut kita hargai. Dengan memandang budaya kita sendiri lebih
unggul dan budaya lainnya yang asing sebagai budaya ’yang salah’, maka
komunikasi lintas budaya yang efektif hanyalah angan-angan karena kita akan
cenderung lebih mebatasi komunikasi yang kita lakukan dan sebisa mungkin
tidak terlibat dengan budaya asing yang berbeda atau bertentangan dengan
budaya kita. Masing-masing budaya akan saling merendahkan yang lain dan
membenarkan budaya diri sendiri, saling menolak, sehingga sangat potensial
muncul konflik di antaranya. Contoh konflik yang sudah terjadi misalnya
suku dayak dan suku madura yang sejak dulu terus terjadi. Kedua suku
pedalaman itu masing-masing tidak mau saling menerima dan menghormati
kebudayaan satu sama lain. Adanya anggapan bahwa budaya sendiri lah yang
paling benar sementra yang lainnya salah dan tidak bermutu tidak hanya
berwujud konfik namun sudah berbentuk pertikaian yang mengganas,
keduanya sudah saling mmbunuh atar anggota budaya yang lain. Contoh
lainnya, orang Indonesia cenderung menilai budaya barat sebagai budaya
yang ’vulgar’ dan tidak tahu sopan santun. Budaya asli-budaya timur dinilai
sebagai budaya yang paling unggul dan paling baik sehingga masyrakat kita
cenderung membatasi pergaulan dengan orang barat. Orang takut jika terlalu
banyak komunikasinya maka budaya asli akan tercemar—budaya barat
sebagai polusi pencemar.
2. Stereotype
Kesulitan komunikasi akan muncul dari penstereotipan (stereotyping),
yakni menggeneralisasikan orang-orang berdasarkan sedikit informasi dan
membentuk asumsi orang-orang berdasarkan keanggotaan mereka dalam
suatu kelompok. Dengan kata lain, penstereotipan adalah proses
menempatkan orang-orang ke dalam kategori-kategori yang mapan, atau

8
penilaian mengenai orang-orang atau objek-objek berdasarkan kategori-
kategori yang sesuai, ketimbang berdasarkan karakteristik individual mereka.
Banyak definisi stereotype yang dikemukakan oleh para ahli, kalau boleh
disimpulkan, stereotip adalah kategorisasi atas suatu kelompok secara
serampangan dengan mengabaikan perbedaan-perbedaan individual.
Kelimpik-kelompok ini mencakup : kelompok ras, kelompok etnik, kaum tua,
berbagai pekerjaan profesi, atau orang dengan penampilan fisik tertentu.
Stereotip tidak memandang individu-individu dalam kelompok tersebut
sebagai orang atau individu yang unik. Contoh stereotip: a) Laki-laki
cenderung berpikir logis, b) Wanita cenderung bersikap mental , c) Orang
berkaca mata minus jenius, d) Orang batak kasar, e) Orang padang pelit, f)
Orang jawa halus-pembawaan

B. Implikasi Pendekatan Etik dan Emik dalam Konseling Multibudaya


Para ahli dan praktisi lintas budaya pun berbeda paham dalam menggunakan
pendekatan universal atau etik, yang menekankan inklusivitas, komonalitas atau
keuniversalan kelompok-kelompok; atau pendekatan emik (kekhususan-budaya) yang
menyoroti karakteristik-karakteristik khas dari populasi-populasi spesifik dan
kebutuhankebutuhan konseling khusus mereka. Namun, Fukuyama 1990 (dalam
Supriadi, 2001) yang berpandangan universal pun menegaskan, bahwa pendekatan
inklusif disebut pula konseling “transcultural” yang menggunakan pendekatan emik;
dikarenakan titik anjak batang tubuh literaturnya menjelaskan karakteristik-
karakteristik, nilai-nilai, dan teknik-teknik untuk bekerja dengan populasi spesifik
yang memiliki perbedaan budaya dominan. Tampaknya konsep konseling lintas
budaya yang melingkupi dua pendekatan tersebut (etik dan emik) dapat dipadukan
sebagai berikut. Konseling lintas budaya adalah berbagai hubungan konseling yang
melibatkan para peserta yang berbeda etnik atau kelompok-kelompok minoritas; atau
hubungan konseling yang melibatkan konselor dan klien yang secara rasial dan etnik
sama, tetapi memiliki perbedaan budaya yang dikarenakan variabel-variabel lain
seperti seks, orientasi seksual, faktor sosio-ekonomik, dan usia.
Konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika antara konselor dan klien
mempunyai perbedaan. Kita tahu bahwa antara konselor dan klien pasti mempunyai
perbedaan budaya yang sangat mendasar. Perbedaan budaya itu bisa mengenai
nilainilai, keyakinan, perilaku dan lain sebagainya. Perbedaan ini muncul karena
9
antara konselor dan klien berasal dari budaya yang berbeda. Konseling lintas budaya
akan dapat terjadi jika konselor kulit putih memberikan layanan konseling kepada
klien kulit hitam atau konselor orang Batak memberikan layanan konseling pada klien
yang berasal dari Ambon. Layanan konseling lintas budaya tidak saja terjadi, pada
mereka yang berasal dari dua suku bangsa yang berbeda. Tetapi layanan konseling
lintas dapat pula muncul pada suatu suku bangsa yang sama. Sebagai contoh, konselor
yang berasal dari jawa Timur memberikan layanan konseling pada klien yang berasal
dari jawa tengah, mereka sama sama berasal dari suku atau etnis jawa. Tetapi perlu
kita ingat, ada perbedaan mendasar antara orang jawa Timur dengan orang Jawa
Tengah. Mungkin orang Jawa Timur lebih terlihat "kasar", sedangkan orang jawa
Tengah lebih "halus".
Konselor perlu menyadari akan nilai-nilai yang berlaku secara umum. Kesadaran
akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya akan
membuat konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal. Persamaan
pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk
melaksanakan konseling.
Jadi kesimpulannya, sebuah perilaku dari manusia dan kita akui kebenarannya
sebagai sebuah etik, maka dapat dikatakan bahwa perilaku tersebut adalah universal
termasuk dalam kebenarannya. Contohnya budaya yang dibenarkan secara universal
misalnya budaya sopan santun, bhineka tunggal ika, budaya yang mencakup
keseluruhan, maulid, natal, dll. Sebaliknya, sebuah perilaku atau nilai yang ada hanya
ditemukan pada satu budaya dan benar hanya pada budaya tersebut, maka tidak boleh
digeneralisasi, dan dikatakan hanya berlaku pada satu budaya tersebut. Contohnya
yaitu tentang kelahiran, pernikahan atau kematian yang setiap budaya pandangan dan
ritual yang berbeda-beda. Ini adalah contoh emik bagaimana memiliki kekhasan,
sesuatu yang unik yang hanya ada di budaya tersebut.

C. Contoh Kasus Isu Etik dan Emik dalam Konseling Multibudaya


Ada banyak contoh etik dan emik dalam psikologi lintas- budaya. Bahkan
barangkali bisa dikatakan bahwa tujuan utama psikologi lintas-budaya sebagai sebuah
disiplin adalah untuk memeriksa mana aspek-aspek perilaku manusia yang merupakan
etik dan mana yang merupakan emik.
Contoh dalam kasus ini adalah suatu fenomena yang terdapat di dalam
masyarakat seperti pengemis. Bila perilaku pengemis disebut sebagai sebuah fakta

10
sosial atau sebuah keniscayaan. Maka berlaku sebutan: pengemis adalah sampah
masyarakat, manusia tertindas, manusia yang perlu dikasihani, manusia kalah,
manusia korban kemiskinan struktural, dan sebagainya. Anggapan ini bukan sebuah
kesalahan berpikir, melainkan sebuah sudut pandang etik orang di luar pengemis
untuk menunjukkan fakta yang semestinya berlaku seperti itu, bukan pandangan emik,
bagaimana pengemis melihat dirinya sendiri.
Dalam pandangan emik yang bersifat interpretif atau fenomenologis, pengemis
adalah subjek. Mereka adalah aktor kehidupan yang memiliki hasrat dan kehidupan
sendiri yang unik. Pandangan subjektif seperti ini diperlukan untuk mengimbangi
pandangan obyektif yang seringkali justru memojokkan mereka, melihat mereka
sebagai korban kehidupan, kesenjangan ekonomi, atau ketidakadilan sosial, bukan
sebagai entitas masyarakat yang memiliki pemikiran dan pengalaman hidup yang
mereka rasakan dan alami sendiri.
Adapun contoh kasus lain yaitu misalkan saja Anda sedang berbincang-bincang
dengan seorang wanita dari suatu budaya lain. Dalam perbincangan tersebut Anda
memperhatikan bahwa ia tidak melakukan kontak mata dengan anda ketika sedang
berbicara. Ia juga tidak benar-benar melihat anda ketika anda berbicara. Ketika
matanya memandang ke arah anda, ia cepat-cepat mengalihkan pandangan bila mata
anda bertemu pandang dengannya. Berdasarkan latar belakang kultural anda atau
yang anda yakni secara umum, anda barangkali akan menafsirkan bahwa ia merasa
tidak terlalu positif dengan anda atau dengan interaksi tersebut. Anda bahkan
mungkin merasa ditolak dan akan menghindari interaksi dengannya di kemudian hari.
Anda mungkin tidak menaruh kepercayaan atau merasa dekat dengannya. Namun
demikian, ia bisa saja berasal dari sebuah budaya di mana orang tidak dianjurkan
menatap/memandang secara langsung, yang bahkan dianggap sebagai tanda
keangkuhan atau penghinaan. Ia menghindari kontak mata dengan anda bukan
terdorong oleh perasaan negatif, melainkan justru karena keseganan dan
kesopanannya pada anda. Tentunya berbagai masalah potensial seperti ini mempunyai
implikasi yang nyata dan praktis dalam kehidupan sehari-hari.
Jika yang kita ketahui tentang perilaku manusia dan yang kita anggap sebagai
kebenaran itu ternyata adalah suatu emik (alias bersifat khas-budaya), maka apa yang
kita anggap kebenaran tersebut belum tentu merupakan kebenaran bagi orang dari
budaya lain. Secara sangat sederhana dapat disimpulkan bahwa emik mengacu pada

11
pandangan konselor terhadap kebudayaan klien, sedangkan etik mengacu pada
pandangan konselor terhadap kebudayaan secara keseluruhan dalam proses konseling.

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Etik adalah suatu kebenaran yang diakui,diterima oleh seluruh masyarakat tanpa
memandang perbedaan budaya, dengan kata lainkebenaran yang dimaksud berlaku
untuk semua orang (bersifat universal). Sedangkan Emik merupakan suatu kebenaran
yang hanya diterima dan di akui oleh masyarakat setempat dan tidak berlaku bagi
orang yang berasal dari budaya yang berbeda. Emik dalam hal ini menawarkan
sesuatu yang lebih obyektif. Etik mencakup pada temuan-temuan yang tampak
konsisten atau tetap di berbagai budaya, dengan kata lain sebuah etik mengacu pada
kebenaran atau prinsip yang universal. etik merupakan penggunaan sudut pandang
orang luar yang berjarak (dalam hal ini siapa yang mengamati) untuk menjelaskan
suatu fenomena dalam masyarakat.
Karena implikasinya pada apa yang kita ketahui sebagai kebenaran, emik, dan
etik merupakan konsep-konsep yang kuat. Bila kita mengetahui tentang perilaku
manusia dan menganggapnya sebagai kebenaran dan hal itu adalah etik (bersifat
universal), artinya kebenaran yang kita ketahui itu juga kebenaran bagi semua orang
dari budaya manapun. Sedangkan bila kita mengetahui tentang perilaku manusia dan
kita anggap sebagai kebenaran ternyata adalah suatu emik (bersifat khas budaya),
maka apa yang kita anggap kebenaran belum tentu merupakan kebenaran bagi budaya
lain.
B. Saran
Sebagai seorang calon konselor hendaknya memahami isu etik dan emik yang
terdapat pada konseling lintas budaya sedini mungkin. Hal ini dilakukan untuk dapat
memahami dan menafsirkan perilaku dari latar belakang budaya yang lain. Selain itu
etik dam emik ini dapat menjadi sudut pandang calon konselor untuk mendapatkan
analisa hingga interpretasi atas data-data yang diperolehnya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Zulfa, E. I., & Suryadi, S. (2021). Studi Kode Etik Konseling Multikultural. Jurnal
Bimbingan Penyuluhan Islam, 3(1), 65-77.

David, M. (2016). Pengantar psikologi lintas budaya.

Ristianti, D. H. (2018). Psikologi lintas budaya.

Petrus, J. (2011). Perbedaan dan Persamaan Manusia Secara Budaya dan Implikasinya
dalam Konseling Lintas Budaya.

Pratama, B. D. (2016, May). Kompetensi lintas budaya dalam pelayanan konseling. In


Proceedings International Seminar FoE (Faculty of Education) (pp. 294-305).

Nugraheni, E. P. (2021). Analisis Isu Etis dalam Konseling Online dan Rekomendasi
untuk Perbaikan Praktik di Masa Depan. Indonesian Journal of Guidance and
Counseling: Theory and Application, 10(2), 24-34.

Syahril, S. (2018). Konseling Lintas Budaya dalam Perspektif Budaya Indonesia. Jurnal
Al-Taujih: Bingkai Bimbingan dan Konseling Islami, 4(1), 76-86.

14

Anda mungkin juga menyukai