Anda di halaman 1dari 16

KONSELING LINTAS BUDAYA

Mata Kuliah Bimbingan Konseling

Dosen Pengampu : AHMAD SYARQAWI, M. Pd.

Disusun Oleh :

KELOMPOK 6

MAMTA HUMAIROH NST (0310193116)

RIZKI PUTRI ANANDA SRG (0310193138)

SYAHRO RAIHAN TIKA NST (0310193135)

WULAN PURNAMA SARI VINIA (0310193140)

TADRIS BIOLOGI 4 SEMESTER III

PROGRAM STUDI TADRIS BIOLOGI


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA MEDAN
2020/ 2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, taufiq, serta
hidayah dan inayah – Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah
yang berjudul “Konseling lintas Budaya”. Adapun tujuan dari penulisan makalah
ini adakah untuk memenuhi tugas mata kuliah “BIMBINGAN KONSELING”.
Disamping itu kami berharap semoga isi dari makalah ini dapat bermanfaat bagi
kami, khususnya para pembaca serta dapat menambah wawasan dan pengetahuan
dalam materi yang dikaji di dalamnya.

Dalam pembuatan makalah ini tentunya tidak terlepas dari bantuan berbagai
pihak. Untuk itu kami ucapkan terimakasih kepada bapak , selaku dosen
pengampu mata kuliah ini. Kami menyadari masih banyak kekurangan dan
kesalahan dalam penyusunan makalah ini, karena keterbatasan kemampuan yang
kami miliki. Oleh karena ini, kami meminta kritik dan saran yang bersifat
membangun agar dapat memperbaiki makalah – makalah selanjutnya.

Medan, 14 Desember 2020

Kelompok 6

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................... ii


DAFTAR ISI ............................................................................................. iii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ........................................................................... 2
C. Tujuan............................................................................................. 2

BAB II : PEMBAHASAN

A. Pengertian Konseling Lintas Budaya ............................................... 3


B. Konsep Yang Berkaitan Dengan Budaya ......................................... 4
C. Unsur – Unsur Pokok dalam Konseling Lintas Budaya .................... 5
D. Keterampilan dan Sikap Konselor Lintas Budaya ............................ 6

BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan ...................................................................................... 12
B. Saran ................................................................................................ 12

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 13

iii
BAB I

PENDALUHUAN

A. Latar Belakang

Pelayanan konseling bertugas melayani individu - individu normal yang


sedang dalam proses memperkembangkan dirinya secara optimal sesuai dengan
tahap-tahap perkembangan yang dijalaninya. Perkembangan individu itu secara
dinamik terkait dengan lingkungan dan budaya sekitarnya. Konseling yang
kepedulian utamanya dipusatkan pada eksistensi individu sebagai manusia,
mendasarkan pencapaian tujuannya melalui interaksi konselor dan individu yang
kondusif. Interaksi tersebut haruslah diletakkan dalam konteks budaya Indonesia,
sehingga pendekatan konselor terhadap individu (klien) dapat dipertanggung-
jawabkan.

Dipandang dari perspektif budaya, situasi konseling adalah sebuah


“perjumpaan cultural” antara konselor dengan klien. Dalam konseling terjadi
proses belajar, transferensi dan kaunter-transferensi, serta saling menilai. Oleh
karena itu, konselor perlu memiliki kepekaan budaya agar dapat memahami dan
membantu klien sesuai dengan konteks budayanya. Konselor yang demikian
adalah konselor yang menyadari benar bahwa secara kultural, individu memiliki
karakteristik yang unik dan ke dalam proses konseling ia membawa serta
karakteristik tersebut. Untuk memiliki kepekaan budaya, konselor dituntut untuk
mempunyai pemahaman yang kaya tentang berbagai budaya di luar budayanya
sendiri, khususnya berkenaan dengan latar belakang budaya klien di Indonesia.

Penerapan konseling lintas budaya mengharuskan konselor peka dan tanggap


terhadap adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antar
kelompok klien yang satu dengan kelompok klien lainnya, dan antara konselor
sendiri dengan kliennya. Konselor harus sadar akan implikasi diversitas budaya
terhadap proses konseling.

1
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Konseling Lintas Budaya?


2. Apa saja konsep yang berkaitan dengan budaya?
3. Apa unsur – unsur pokok dalam konseling lintas budaya?
4. Bagaimana keterampilan dan sikap konselor lintas budaya?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian dari konseling lintas budaya.


2. Untuk mengetahui konsep yang berkaitan dengan budaya.
3. Untuk mengetahui unsur – unsur pokok dalam konseling lintas budaya.
4. Untuk mengetahui keterampilan dan sikap konselor lintas budaya.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Konseling Lintas Budaya

Definisi-definisi awal tentang lintas budaya cenderung untuk menekankan


pada ras, etnisitas, dan sebagainya; sedangkan para teoretisi mutakhir cenderung
untuk mendefinisikan lintas budaya terbatas pada variabel - variabelnya
(Ponterotto, Casas, Suzuki, dan Alexander, 1995; Locke, 1992; Sue dan Sue,
1990). Namun, argumen-argumen yang lain menyatakan, bahwa lintas budaya
harus melingkupi pula seluruh bidang dari kelompok-kelompok yang tertindas,
bukan hanya orang kulit berwarna, dikarenakan yang tertindas itu dapat berupa
gender, kelas, agama, keterbelakangan, bahasa, orientasi seksual, dan usia
(Trickett, Watts, dan Birman, 1994; Arrendondo, Psalti, dan Cella, 1993;
Pedersen, 1991).

Dilihat dari sisi identitas budaya, konseling lintas budaya merupakan hubungan
konseling pada budaya yang berbeda antara konselor dengan konseli. Burn (1992)
menjelaskan cross cultural counseling is the process of counseling individuals
who are of different culture/cultures than that of the therapist. Oleh sebab itu
menurutnya sensitivitas konselor terhadap budaya konseling menjadi sangat
penting. Ia menegaskan:

is important for counselors to be sensitive to and considerate of a client's


cultural makeup. Clinicians encounter many challenging and complex issues
when attempting to provide accessible, effective, respectful and culturally
affirming chemical dependency treatment to a multi-cultural population of Deaf
and hard of hearing individuals.

Dalam pandangan Rendon (1992) perbedaan budaya bisa terjadi pada ras atau
etnik yang sama ataupun berbeda. Oleh sebab itu definisi konseling lintas budaya
yang dapat dijadikan rujukan adalah sebagai berikut. Konseling lintas budaya
adalah berbagai hubungan konseling yang melibatkan para peserta yang berbeda
etnik atau kelompok-kelompok minoritas; atau hubungan konseling yang

3
melibatkan konselor dan konseli yang secara rasial dan etnik sama, tetapi
memiliki perbedaan budaya yang dikarenakan variabel-variabel lain seperti Jenis
kelamin, orientasi seksual, faktor sosio-ekonomik, dan usia (Atkinson, Morten,
dan Sue, 1989:37).

Dedi Supriadi (2001:6) mengajukan alternatif untuk keefektifan konseling,


setelah mengemukakan definisi konseling lintas budaya. Bagi Dedi, konseling
lintas budaya melibatkan konselor dan konseli yang berasal dari latar belakang
budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh
terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling
tidak berjalan efektif. Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk
memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti
dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki keterampilan-
keterampilan yang responsif secara kultural. Dengan demikian, maka konseling
dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara konselor dan
klien.

B. Konsep yang Berkaitan dengan Kebudayaan

Menurut Liliweri (2013), untuk memahami kebudayaan secara keseluruhan


terdapat beberapa konsep yang berkaitan dengan kebudayaan di antaranya adalah :

1. Budaya dominan, merupakan sebuah kebudayaan yang sangat menonjol


dalam suatu masyarakat sehingga tampilan kebudayaan itu seolah-olah
berada "di atas"atau "menguasai"kebudayaan lain, kebudayaan itu seolah-
olah "mengatur" seluruh aspek kehidupan dalam suatu masyarakat.
2. Common culture, merupakan suatu sistem pertukaran simbol-simbol yang
sama, makna atas simbol tersebut dipahami oleh dua pihak melalui sebuah
proses persetujuan.
3. Sub kultur, merupakan suatu kelompok atau sub unit budaya yang
berkembang ketika adanya kebutuhan sekelompok orang untuk memecahkan
sebuah masalah berdasarkan pengalaman bersama. Kebudayaan subkultur
seringkali merupakan gambaran sebuah kelompok minoritas yang ada dalam
kehidupan budaya mayoritas.

4
4. Cultural lag, menggambarkan proses sosial, budaya, dan perubahan
teknologi. Konsep ini diperkenalkan oleh William Oghburn. Perubahan
sosial cenderung dinilai “ketinggalan" dari perubahan teknologi.
5. Culture schock, kekacauan budaya yang dalam perspektif sosial merupakan
hasil dari konfrontasi suatu masyarakat terhadap kebudayaan baru yang
mendadak masuk dan mengganggu kebudayaan mereka.
6. Kebudayaan tradisional, adalah perilaku yang merupakan kebiasaan atau
cara berpikir dari suatu kelompok sosial yang ditampilkan melalui tidak saja
adat istiadat tertentu tetapi juga perilaku adat istiadat yang diharapkan oleh
anggota masyarakatnya.
7. Multikultural, Konsep ini menggambarkan usaha untuk memahami berbagai
kelompok budaya, kelompok ras, dan apresiasi dari kebudayaan yang
berbeda-beda dalam pergaulan yang seringkali mengakibatkan ketegangan
dan konflik antar etnik.

Jika terjadi proses adaptasi antar budaya dalam masyarakat multikultural maka
menurutLiliweri (2013) kelompok baru itu terbentuk melalui beberapa tahapan,
yakni:

1. Perubahan atas pola pola budaya yang sesuai dengan kelompok dominan,
2. Perkembangan dalam skala luas dalam hubungan antara kelompok primer
dengan kelompok dominan,
3. Perkawinan dengan kelompok dominan,
4. Kehilangan rasa kebersamaan dan terjadi pemisahan dari kelompok
dominan,
5. Bersahabat tanpa diskriminasi, dan
6. Tidak menumbuhkan isu yang meliputi konflik nilai dan kekuasaan
dengan kelompok dominan.
C. Unsur-unsur Pokok dalam Konseling Lintas Budaya

Dalam pengkajian isu tentang budaya, Locke dalam Brown (1988)


mengemukakan tiga unsur pokok dalam konseling lintas budaya, yaitu :

1. Individu adalah penting dan khas.

5
2. Konselor membawa nilai-nilai yang berasal dari lingkungan budayanya.
3. Klien yang datang menemui konselor juga membawa seperangkat nilai
dan sikap yang mencerminkan budayanya.

Selanjutnya Brown menyatakan bahwa keberhasilan bantuan konseling sangat


dipengaruhi oleh factor-faktor bahasa, nilai, stereotype, kelas sosial, suku, dan
juga jenis kelamin. MenurutSue, faktor-faktor budaya yang berpengaruh dalam
dalam konseling adalah pandangan mengenai sifat hakikat manusia, orientasi
waktu, hubungan dengan alam, dan orientasi tindakan. Sehubungan dengan hal
tersebut, Clemon E. Vontres dalam dialognya dengan Morris Jacson
mengemukakan bahwa budaya terdiri dari lima lingkaran sosialisasi yang
melingkupi dan mempengaruhi sikap, nilai-nilai dan buhasa. Lima lingkup yang
dimaksud meliputi: interaksi universal (dunia), ekologi nasional (negara),
regional, ras, dan etnis. Unsur-unsur tersebut mempengaruhi manusia sebagai
individu dalam berbagai bentuk kondisi.

Dari paparan di atas dapat dianalisis bahwa unsur-unsur pokok yang perlu
diperhatikan dalam konseling lintas budaya adalah sebagai berikut:

Klien sebagai individu yang unik, yang memiliki unsur-unsur budaya


tertentu yang berpengaruh pada sikap, bahasa, nilai-nilai, pandangan
hidup, dan sebagainya.
Konselor sebagai individu yang unik juga tidak terlepas dari pengaruh
unsure-unsur budaya seperti halnya klien yang dilayani.
Dalam hubungan konseling konselor harus menyadari unsur-unsur tersebut
dan menyadari bahwa unsur-unsur budaya itu akan mempengaruhi
keberhasilan proses konseling.
D. Keterampilan dan Sikap Konselor Lintas Budaya
1. Keterampilan dan Pengetahuan Konselor

Khusus dalam menghadapi klien yang berbeda budaya, konselor harus


memahami masalah sistem nilai. M. Holaday, M.M. Leach dan Davidson (1994)
mengemukakan bahwa konselor professional hendaknya selalu meningkatkan

6
pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan konseling lintas budaya, yang
meliputi hal-hal sebagai berikut.

a) Pengetahuan dan informasi yang spesifik tentang kelompok yang dihadapi.


b) Pemahaman mengenai cara kerja sistem sosio-politik di negara tempat
kelompok berada, berkaitan dengan perlakukan terhadap kelompok
tersebut.
c) Pengetahuan dan pemahaman yang jelas dan eksplisit tentang karakteristik
umum konseling dan terapi.
d) Memiliki keterampilan verbal maupun non-verbal.
e) Mampu menyampaikan pesan secara verbal maupun non-verbal.
f) Memiliki keterampilan dalam memberikan intervensi demi kepentingan
klien.
g) Menyadari batas-batas kemampuan dalam memberikan bantuan dan dapat
mengantisipasi pengaruhnya pada klien yang berbeda.
2. Sikap Konselor

Sikap konselor dalam melaksanakan hubungan konseling akan menimbulkan


perasaan-perasaan tertentu pada diri klien, dan akan menentukan kualitas dan
keefektifan proses konseling. Oleh karena itu, konselor harus menghormati sikap
klien, termasuk nilai-nilai agama, kepercayaan, dan sebagainya. Sue, dkk (1992)
mengemukakan bahwa konselor dituntut untuk mengembangkan tiga dimensi
kemampuan, yaitu :

1) Dimensi keyakinan dan sikap.


2) Dimensi pengetahuan.
3) Dimensi keterampilan sesuai dengan nilai-nilai yang dimilki individu.

Sementara itu, Rao (1992) mengemukakan bahwa jika klien memiliki sifat
atau kepercayaan yang salah atau tidak dapat diterima oleh masyarakat dan
konselor akan hal tersebut, maka konselor boleh memodifikasi kepercayaan
tersebut secara halus, tetapi apabila kepercayaan klien berkaitan dengan dasar
filosofi dari kehidupan atau kebudayaan dari suatu masyarakat atau agama klien,
maka konselor harus bersikap netral, yaitu tidak mempengaruhi kepercayaan klien

7
tetapi membantunya untuk memahami nilai-nilai pribadinya dan nilai-nilai
kebudayaan tersebut.

Selanjutnya, Rao juga mengemukakan bahwa aspek-aspek yang mendasari


sikap tersebut adalah sebagai berikut:

a. Keyakinan

Konselor harus yakin bahwa klien membicarakan martabat persamaan (hak)


dan kepribadiannya. Konselor percaya atas kata dan nilai-nilai klien. Di samping
itu juga yakin bahwa klien membutuhkan kebebasan dan memiliki kekuatan serta
kemampuan untuk mencapai tujuan.

b. Nilai-nilai

Konselor harus bersikap netral terhadap nilai-nilai terhadap nilainilainya.


Konselor tidak menggunakan standar moral dan sosial berdasarkan nilai-nilainya.
Dalam hal ini konselor harus memiliki keyakinan penuh akan nilai-nilainya dan
tidak mencampurkan nilainilainya dengan nilai-nilai klien.

c. Penerimaan

Penerimaan konselor menunjukkan pada klien bahwa ia dihargai sebagai


peribadi dengan suasana yang menyenangkan. Penerimaan tersebut bersifat wajar
tanpa dibuat-buat.

d. Pemahaman

Konselor memahami klien secara jelas. Dalam hal ini ada empat tingkatan
pemahaman, yaitu (1) pengetahuan tentang tingkah laku, kepribadian, dan minat-
minat individu, (2) memahami kemampuan intelektual dan kemampuan verbal
individu, (3) pengetahuan mengenai dunia internal individu, dan (4) pemahaman
diri yang meliputi keseluruhan tingkatan tersebut.

e. Rapport

Konselor menciptakan dan mengembangkan hubungan konseling yang hangat


dan permisif, agar terjadi komunikasi konseling yang intensif dan efektif

8
f. Empaty

Kemampuan konselor untuk turut merasakan dan menggambarkan pikiran dan


perasaan klien.

3. Persyaratan Konselor Lintas Budaya

Isu konselor dalam penyelenggaraan konseling lintas budaya adalah


bagaimana konselor dapat memberikan pelayanan konseling yang efektif dengan
klien yang memiliki latar belakang budaya yang bereda. Dalam hubungan dengan
isu ini, Lorion dan Parron (1985) mengemukakan persyarakat konselor lintas
budaya sebagai berikut:

a) Konselor harus terlatih secara khusus dalam perspektif multi budaya, baik
akademik maupun pengalaman.
b) Penciptaan situasi konseling harus atas persetujuan bersama antara klien
dan konselor, terutama yang berkaitan dengan dengan kemampuan mereka
dalam mengembangkan hubungan kerja teurapetik.
c) Konselor harus fleksibel dalam menerapkan teori terhadap situasi-situasi
khusus klien.
d) Konselor harus terbuka untuk dapat ditantang dan diuji.
e) Dalam situasi konseling multi budaya yang lebih penting adalah agar
konselor menyadari sistem nilai mereka, potensi, stereotipe, dan
prasangka-prasangkanya.
f) Konselor menyadari reaksi-reaksi mereka terhadap perilaku-perilaku
umum.

Karakteristik konselor yang terampil secara budaya, Sue dan Sue (1990)
meliputi tiga dimensi :

Pertama, seorang konselor yang terampil secara budaya adalah seseorang


yang secara aktif dalam proses menjadi sadar akan asumsinya sendiri tentang
perilaku manusia, nilai-nilai, bias, gagasan yang terbentuk sebelumnya,
keterbatasan pribadi, dan sebagainya.

9
Kedua, konselor yang terampil secara budaya adalah mereka yang secara aktif
berupaya memahami pandangan dunia kliennya yang berbeda secara budaya tanpa
penilaian negatif.

Ketiga, konselor yang terampil secara budaya adalah mereka yang dalam
proses mengembangkan dan mempraktikkan secara aktif strategi dan keterampilan
intervensi yang tepat, relevan, dan peka dalam bekerja dengan kliennya yang
berbeda secara budaya.

Konselor dalam konseling lintas budaya harus mempunyai kemampuan baik


secara akademik ataupun pengalaman dalam menerima multi budaya. Situasi
konseling adalah adanya kesepakatan dengan konseli dan konselor harus bisa
terbuka dengan perbedaan budaya, memahami reaksi yang timbul, dan bersikap
fleksibel dengan teori serta kondisi yang di bawa oleh konseli.

4. Aspek dan Faktor yang mempengaruhi Konseling Lintas Budaya

Menurut Pedersesn, Lonner dan Draguns (dalam Carter, 1991) dinyatakan


bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas budaya adalah:

1) Latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor,


2) Latar belakang budaya yang diimiliki oleh klien,
3) Asumsi-asumsi terhadap masalah yang akan dihadapi selama konseling,
dan
4) Nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya
kesempatan dan hambatan yang berlatar belakang tempat di mana
konseling itu dilaksanakan.

Konseling lintas budaya memperhatikan aspek dari budaya yang di miliki oleh
konselor dan konseli karena akan mempengaruhi proses konseling. Efektifnya
konseling lintas budaya adalah apabila adanya sikap saling menghormati dan
menghargai budaya dari konselor dan konseli. Adapun faktor faktor lain yang
secara signifikan mempengaruhi proses konseling lintas budaya adalah (a)
keadaan demografi yang meliputi jenis kelamin, umur tempat tinggal, (b) variabel
status seperti pendidikan, politik dan ekonomi, serta variabel etnografi seperti

10
agama, adat, sistem nilai (Arredondo & Gonsalves, 1980; Canary & Levin dalam
Chinapah, 1997; Speight dkk, 1991; Pedersens, 1991; Lipton dalam Westbrook &
Sedlacek, 1991).

Selain masalah budaya, faktor yang mempengaruhi konseling lintas buadaya


adalah masalah demografi, tingkat status dan masalah etnografi. Ketiga hal ini
saling mempengaruhi ketika proses konseling. Ketika tidak ada pemahaman dan
pengertian dengan atribut yang melekat baik dalam konselor maupun konseli
maka proses konseling akan mengalami hambatan dini. Memahami budaya dapat
di artikan sebagai sikap konselor dalam memahami dan mengerti budaya konseli
yang merupakan bawaan dan kebiasaan dari lingkungannya. Hal ini menjadi hal
yang penting karena budaya sudah menempel dalam diri konseli dan sebagai
konselor dalam konseling lintas budaya di tuntut untuk bersikap proaktif dalam
menerima budaya klien. Salah satu cara yang dilakukan oleh konselor adalah
dengan mau untuk membuka diri dan belajar dari berbagai sumber serta
melakukan observasi terhadap budaya kien secara langsung.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penerapan konseling lintas budaya hendaknya mengharuskan konselor yang peka


dan tanggap terhadap adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya
antar kelompok klien yang satu dengan kelompok klien lainnya, dan antara
konselor sendiri dengan kliennya. Konselor harus sadar akan implikasi diversitas
budaya terhadap proses konseling. Budaya yang dianut sangat mungkin
menimbulkan masalah dalam interaksi manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Masalah bisa muncul akibat interaksi individu dengan lingkungannya. Sangat
mungkin masalah terjadi dalam kaitannya dengan unsur-unsur kebudayaan, yaitu
budaya yang dianut oleh individu, budaya yang ada di lingkungan individu, serta
tuntutan-tuntutan budaya lain yang ada di sekitar individu.

Kebudayaan sebagai sistem pengetahuan yang meliputi sistem idea tau


gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-
hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan konsleing lintas budaya
merupakan proses pemberian bantuan yang mana antara konselor dengan klien
memiliki latar belakang budaya yang berbeda, seperti nilai-nilai, kepercayaan, dan
lain-lainnya.

B. Saran

Alhamdulillah pada akhirnya makalah ini dapat terselesaikan dengan lancar


dan tepat waktu. Harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami
maupun membaca. Namun, kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata
sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan masukan dan kritik yang
membangun dari pembaca supaya kedepannya bisa lebih baik lagi. Sekian dan
Terima kasih.

12
DAFTAR PUSTAKA

Triningtyas, Diana Ariswanti. 2019. Konseling Lintas Budaya. Jawa Timur: CV.
AE. MEDIA GRAFIKA

Jumarlin. 2002. Dasar – Dasar Konseling Lintas Budaya. Yokyakarta : Pustaka


Pelajar

Muhammad, Fadhil. 2019. Konseling Berbasis Wawasan Lintas Budaya Dalam


Meningkatkan Sikap Toleransi Remaja. SULOH. 4 (1) : 31 – 39

Sudibyo, L., Sudiatmi, T., Sudargono, A., Triyanto, B. (2013). Ilmu Sosial
Budaya Dasar. Yogyakarta: Andi Offset.

Nurdien Harry Kistanto. 2018. Jurnal Tentang Konsep Budaya. Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Diponegoro.

David matsumoto. 1994. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta;


Pustaka Pelajar.( terjemahan: Anindita Aditma).

Herimanto dan winarno. 2010. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta; Bumi
Aksara.

Abu Bakar M Luddin. 2010. Dasar-Dasar Konseling: Tinjauan Teori dan Praktik.
Bandung: Citapustaka Media Perintis

13

Anda mungkin juga menyukai